11. TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kentang Tanaman kentang adalah salah satu dari sekitar 2000 spesies dari famili Solanaceae.
Famili ini tennasuk tembakaq tomat, terung, cabe dan pitunia.
Tanaman kentang pertama kali diintroduksikan ke Eropa rnelalui Spanyol pada tahun 1570 dan rnelalui Inggris pada tahun 1590 (Kehr et al., 1964; Hawkes, 1994). Sedangkan di Indonesia, introduksi tanaman kentang dilakukan oleh Belanda pada tahun 1794 yang mulai ditanam di daerah Cisarua, Cimahi kemudian menyebar ke daerah lain seperti Lembang, Pengalengan, Wonosobo, Curug, Brastagi, Tomohon dan lain-lain (Wattimena, 1994).
Gambar 4. Diagram bagian-bagian tanaman kentang (Solanurn fuberosurn L.).
Tanarnan kentang adalah tanaman semusim herbasius dan dikotiledon. Batang tanaman kentang berbentuk bulat keunguan bila mengandung antosianin. pada Gambar 4.
atau persegi dengan warna hijau atau Morfologi tanaman kentang dapat dilihat
Daun kentang adalah daun rnajemuk dengan anak daun primer
tersusun diantara anak daun sekunder.
Bentuk anak daun primer bulat sarnpai
lonjong. Semua anak daun primer diakhiri dengan anak daun tunggal pada ujung
tangkai daun. Bunga kentang merupakan bunga hermaprodit, dimana setiap bunga mempunyai lima benang sari yang mengelilingi sebuah putik. Putik bunga kentang lebih cepat rnasak dari pada tepung sarinya atau sering disebut protogeni, ha1 ini menyebabkan tejadinya penyerbukan silang (Thompson dan Kelly, 1957; Kehr et al., 1964). Bunga tanaman kentang tersusun dalam karangan bunga (inflorescence) yang tumbuh pada ujung-ujung batang. Banyaknya bunga setiap karangan bunga, panjang dan wama tangkai bunga bervariasi tergantung kultivarnya (Thompson dan Kelly, 1957; Burton, 1966). Buah kentang berwarna hijau tua sampai keunguan, berbentuk bulat dan berongga dua, dengan biji berwarna h e m dan berukuran kecil (I+ 0,5 mm). Pada bagian batang yang terletak di bawah permukaan tanah terdapat daund a m kecil seperti sisik. Pada ketiak daun ini terdapat tunas ketiak yang tumbuh menjulur secara diageotropik.
Tunas ketiak ini disebut stolon.
Panjang stolon
berbeda-beda tergantung kultivarnya. Umbi kentang terbentuk sebagai pembesaran bagian ujung stolon dan berfingsi sebagai tempat cadangan makanan (Kehr et al., 1964; Burton, 1966). Tanaman kentang (Solanum tuberosum L) terdiri dari dua subspesies, yaitu Solanum tuberosum subsp. andigena dan Solanum tuberosum subsp tuberosum. Keduanya mempunyai jurnlah kromosom 2n=4x==8.
Menurut Grun (1990)
perbedaan dari kedua subspesies tersebut adalah pada komponen sitoplasmiknya. Kemungkinan
S.
tuberosum
subsp.
tuberosum
mendapatkan
komponen
sitoplasmiknya dari S. chacoense. Menurut Hawkes (1994), Solanum tuberosum subsp andigena berasal dari persilangan S. stenotomum (2n=2x) x S. sparsipilum (2n=2x) yang diikuti dengan proses penggandaan kromosom.
SilsiIah tanaman
kentang dapat dilihat pada Gambar 5. Menurut Hawkes (1994) dari 160 spesies solanum yang berumbi, delapan diantaranya dibudidayakan
yang terdiri dari diploid sampai pentaploid, yaitu: S.
ajanhuiri. S. goniocalyx, S. stenotomum, S. phureja, S. chaucha, S. Juzepczukii, S. ruberosum dan S. curtilobum (Tabel 1).
~
.............................
~
......................
~
.
........ ~ . .... ~ .... ~
1-
. . ............
~
~~
~
( C ) pentaploid 2n=5& (allopentaploid) !
tetraploid 2n=4x-48
triploid 2n=3x=36
x
diploid
x 4
2n=2x=24 n=12
hibridisasi domestikasi
S. megisiacrolob~m
Gambar 5. Silsilah tanaman kentang yang dibudidayakan (Hawkes, 1994)
Tabel 1. Spesies yang dibudidayakan Triploid (2n=3x=36) S. chaucha S. juzepczukii
Diploid (2n=2x=24) S. ajanhuiri S. goniocalyx S. stenoromum S. phureja
Tetraploid (2n4x=48) S. tuberosum L Subsp Andigena Subsp tuberosum
Pentaplo id (2n=5x 4 0 ) S. curtilobum
Pemuliaan pada tanaman kentang Tanaman kentang adalah tanaman agronomi yang dikembangbiakan secara vegetatif. Penggunan umbi yang terus menerus akan menyebabkan degenerasi yang disebabkan oleh virus. Oleh karena itu sebelum teknik kultur jaringan berkembang, tanarnan kentang "disehatkan" melalui penanaman stok baru yang berasal dari biji Cara ini disadari atau tidak merupakan
botani (Bradshaw dan Mackay, 1994). seleksi untuk mendapatkan kultivar baru. Penyilangan secara artifisial pert-
kali dilaporkan pada tahun 1807 oleh
Knight (Bradshaw dan Mackey, 1994; Hawkes, 1994), kemudian rnulai dikenalnya Amerika tengah dan Amerika Selatan sebagai center of origin dan sumber keragaman genus solanurn berumbi,
mempakan awal dari usaha rnengumpukan
spesies-spesies sumber ketahanan terhadap hama, penyakit dan cekaman lingkungan. Saat ini telah diketahui bahwa beberapa spesies solanum mempakan sumber dari sifat-sifat ketahanan tersebut (Tabel 2). Tanaman kentang yang urnum dibudidayakan secara komersial adalah tetraploid (2n=4x=48).
Pemuliaan tanarnan dapat dilakukan pada level tetraploid
rnaupun level dihaploid (Wenzel, 1994). Pemuliaan tanaman kentang pada level tetraploid adalah pekerjaan yang mahal, lama dan sulit. Mackay (1994), untuk mendapatkan
Menurut Bradshaw dan
kultivar baru diperlukan waktu 11 tahun
dengan j mlah klon awal sebanyak 100 000.
Pada tahun ke empat, populasi
berkurang dari 100 000 menjadi 4000, dengan demikian telah mengeliminasi 96%
variasi genetik. Setelah melaIui beberapa seleksi, pada tahun ke-1 l diperoleh dua
klon yang siap diomersialisasi.
TabeI 2. Sifat-sifat ketahanan pada beberapa spesies solanum (Hawkes, 1994) Jenis Ketahanan
I Spesies yang tahan
Hawar dam (Phytophthora infestans)
ssum, S. microdontum, S. phureja, S.pinnatisecturn, S. polydenium, SstoloniSerum, S. tarijense, S. vernei, S.verrucosum
Layu bakteri (Pseudomonassolanacearum)
S. chacoense, S. sparsipilum, S.microdonrum, S. phureja, S. stenotomum.
Sofi rot dan Blackleg (Envinia carotovora)
S. bulbocastanum, S. chacoense, S.demissum, S. hjertingii, S. Zeptophyes, S.megistacrolobum, S. microdontum, S. phureja, S. pinnatisectum.
Potato Virus X (PVX)
S. acauk S-chacoense, S. curtilobum. S. phureja, S. sparsipilum, S. sucrense, S. tarijense
Potato Virus Y (PVY)
S. chacoense, S. demissum, S. phureja, S. stoloniferum
Potato Leaf Roll Virus (PLRV)
S. acaule, S. breidens. S. etuberosum, S. raphanzyolium
Serangga (insect resistance) Myzus persicae
Nematoda (nematode resistance)
I S. berthaultii, S. bukasovii, S bulbocasta- I
I
num, S. chornotophilum, S.infundibuleforme, S. lignicaule, S. marinasense, S. medians, S. multidissectum, stolonz~eruu S. acaule, S. boliviense, Sbulbocastanum, S. capsicibaccatum, S. cardiophyllum, S. gourlayi, S. oplocense, S. spursipilum, S. spegazzinii, S. sucrense, S vernei.
I
Panjangnya proses tersebut, menyebabkan pemuliaan tanaman kentang lebih sering dilakukan pada level dihaploid. Tanaman dihaploid diperoleh rnelalui ekstraksi dari tanaman tetraploid melalui partenogenesis, atau androgenesis (Wattimena, 1993). Menurut Wenzel er al. (1979), pemuliaan kentang yang efisien adalah seperti pada Gambar 6. efisien,
tetua tetraploid
partenogenesis atau
Agar supaya program pernuliaan menjadi sangat
diekstraksi menjadi monohaploid melalui dua kali
androgenesis.
Tanaman
monohaploid
yang
terseleksi
digandakan kromosomnya melalui teknik in vitro atau menggunakan kolkisin, s e h i i g a diperoleh tanaman dihaploid yang homosigot.
Penyilangan-penyilangan
dilakukan pada tanarnan dihaploid tersebut, sehingga diperoleh tanaman hibrida dihaploid. Pada tahap akhir, untuk memaksimalkan heterosigositas, dilakukan fisi
antar kultivar dihaploid terseleksi. Menurut Ducreux et al. (1991), skema yang diajukan oleh Wenzel et al. (1979) adalah sangat atraktif, hanya memungkinkan untuk
karakter-karakter
monogenik dan sulit penanganan tanaman monohaploid karena umurnnya sangat lemah.
Colin et al. (1987) mengusulkan suatu skema (Gambar 6), dimana
partenogenesis hanya sampai pada tingkat dihaploid.
Pada tanaman dihaploid
tersebut dilakukan penyilangan-penyilangan clan diseleksi terhadap hasil, morfologi dan kualitas umbi.
Selain itu dilakukan juga seleksi terhadap spesies diploid
terhadap sifat-sifat ketahanan, vigor dan adaptasi agronomi. Kedua gen pol tersebut kemudian di gabungkan melalui h s i protoplas atau penggunaan diplogamet. Dalam ha1 ini Colin et al. (1987) meningkatkan penampilan kultivar diploid dan dihaploid terlebih dahulu, sebelum digandakan. (1991)
Skema yang diajukan oleh Ducreux et al.
adalah merevisi skema Wenzel et al. (1979) yaitu menyilangkan antar
tanarnan dihaploid hasil ekstraksi atau dihaploid dengan diploid untuk menghasilkan tanaman dihaploid unggul.
Kemudian teknik fisi protoplas dipergunakan untuk
menggabungkan tanaman dihaploid terseleksi.
APLIKASI DALAM P E M U L M (DUCREUX ET AL.,1991
SKEMA OLEH COLIN ET AL., 1987 4x Tanaman tetraploid
4x
I
Tanaman tetraploid
SKEMA OLEH WENZEL ET AL., 1979 Tanaman tetraploid dengan gen ketahanan
4x
reduksi tingkatbloidi dengan parthenogenesis (seleksi terhdap tanaman dihaploid: resisiensi danferiiiilas)
parthenogenesis
2x IX
Tanaman dihaploid diseleksi terhadap: Hasil, morfologi, adaptasi fotoperiod kual~tasumb~
ekstraksi menda atkan monohaploid anBrogenesls 1
Spesies diploid liar diseleksi terhadap vigor and fertilitas resistensi terhadap penyakit dan adaptasi agronomi
+
doubling bomo~ome secara in vltro atau dg kolkisin Penyilangan dengan spesies diploid mendapatkan variasi (Vigor, fertilitas dan resistensi)
[q Persilangan (hibrida heterosigoi dihaploid)
JI Penggunaan diplogamet atau Fusi Protoplas I Tetraploid untuk Program Pemuliaan
Fusi Rotoplas
I
PTshapl
Tanaman tetraploid
Fusi Protoplas
4x
1
tetraploid dengan maksimum heterosigositas dengan resistensi
Sangat atraktif, sulit penanganannya dan dapat dilakukan hanya pada sifat-sifat monogenik
Gambar 6. Kompilasi teknik dan program pemuliaan tanaman kentang
N
w
Fusi Protoplas Usaha untuk mernfusikan sel somatik dirnulai pada awal abad ini oleh Winkler, Kuster dan Michel (Power et al., 1970; Melchers and Labib, 1974). Michel pada tahun 1937 mendemonstrasikan fusi protoplas dengan menggunakan NaN03. Fusi yang terjadi sangat jarang dan produk fusi tidak dapat dikulturkan (Power et al., 1970). Pada beberapa
dekade kemudian
banyak tanaman hibrida somatik dan
sibrida (hibrida sitoplasma) telah diproduksi.
Hal ini dapat dilakukan karena
perbaiian teknik dalam isolasi protoplas, kultur, fusi, regenerasi dan seleksi heterokarion. Fusi protoplas dapat terjadi secara spontan atau dapat diiiduksi dengan beberapa cara antara lain dengan NaN03, asarn lernak, ion kalsium dan pH tinggi, dekstran sulfat, polifenil alkohol (PVA), polietilen glikol (PEG) dan induksi fusi dengan arus listrik. Jika dinding sel tanarnan dihilangkan secara enzimatik, protoplas yang dihasilkan seringkali
rnultinucleate fusion
melakukan fusi secara spontan sehingga membentuk
bodies.
Kejadian
ini
biasa
terjadi
karena
adanya
plasmodesmata yang rnenghubungkan sei-sel tanaman (Withers dan Cocking, 1972). Terjadinya fusi spontan ini berkisar dari 8% pada Sphaerocarpus donnellii (Schieder, 1975) sampai 30% pada N. tabacum (Power et al., 1970). Miller et al. (1971) menyatakan bahwa 25% dari protopas yang diisolasi dari sel kedelai adalah multi inti.
Motoyosi (1972) menyatakan bahwa 50% dari total protoplas yang
diisolasi secara enzimatik dari kalus dan endosperm adalah multi inti. Frekuensi fusi spontan bervariasi dari 20-SO%, tetapi fiekuensi yang lebih besar dapat diinduksi dengan meningkatkan suhu menjadi 35-40°C selama isolasi (Keller et aZ, 1973). Power el al. (1970) melaporkan bahwa protoplas yang diisolasi dari ujung akar tanaman Oat dan beberapa serealia dalam 0,56M sukrosa, 10% selulase onozuka dan 5% maserozim dapat difusikan dalam 0,25M NaN03. Kameya (1979) menyatakan bahwa isolasi protoplas dalam larutan enzim yang berisi garam kalium yang kemudian dicuci dengan garam natrium sangat efektif untuk menginduksi fusi.
Carlson et al. (1972) melaporkan bahwa hibrida sornatik antara Nicotiana glauca+N.
langsdorffii diperoleh rnelalui penambahan NaN03,
namun menurut Keller dan
MeIcher (1983) pada konsentrasi yang menginduksi fusi, NaN03 bersifat toksik terhadap sel tanaman, sehiigga hanya meningkatkan sedikit saja dari fusi spont'm. Menurut
Power et al. (1970) sekitar 30 jenis
asam lemak dapat
menyebabkan pembentukan multi inti dalam sel darah merah tikus dan ayam, akan tetapi menurut Keller et al. (1973) penggunaan asam lemak lysolecithin dalam protoplas tanaman tidak memperbaiki eekuensi h i . Nagata et al. (1979) melaporkan bahwa penambahan 1,2-O-dipentadesill-methylidin-gliserol-3-fosferil(N-etanolamin) dapat menginduksi i k i jika ditambahkan pada medium fusi yang mengandung 1 mM fosfolipid, 0,05M CaCE dan 0,7 M rnanitol. Ion kalsium mampu menginduksi fusi dari sel darah merah pada pH 10,5 (Power et al., 1970).
Segera setelah itu Keller dan Melcher (1983) rnarnpu
mendapatkan h i dengan fiekuensi tinggi (25%) antar protoplas daun jika d i i i u b a s i pada suhu 37OC, dalarn larutan 0,05 M CaCh, 0,05M ~ a - & i n dan 0,4 M manitol pada pH 10,5. Menurut Keller dan Melcher (1983) pada kondisi pH tinggi dengan ion calsium, membran phosphatidylethanolamime dan lesitin dihidrolisa membentuk bahan liso.
Bahan liso ini k e m u n g k i i besar bertanggung jawab terhadap
pembentukan homokaryon. Agregasi dari protoplas dapat terjadi dengan penambahan dekstran atau dekstran sulfat (Kameya, 1975).
Akan tetapi dekstran sulfat toksik terhadap
protopas, sedangkan dekstran tidak toksik.
Pada konsentrasi yang tinggi (15%)
dalam larutan garam inorganik, dekstran rnampu mengmduksi agregasi protoplas dan fusi sampai 10% (Kameya, 1975). K i s h i i dan Widholm (1987) rnampu meregenerasikan koloni sel dari protoplas yang dfisikan dengan dekstran. Agregasi protoplas dan fusi juga dapat diinduksi oleh PVA (Nagata, 1978). Larutan yang efektif untuk fusi protoplas adalah 15% PVA, 0,05 mM CaCh dan 0,3 M manitol. Setelah medium tersebut dicuci, protoplas banyak yang berfusi. PVA tidak toksik terhadap viabilitas protoplas.
Metode fusi yang banyak digunakan saat ini adalah penambahan polietilen glikol (PEG) pada campuran protoplas.
Metode ini pertarna kali dilaporkan oleh
Kao dan Michayluk (1975). Proses fusi diawali dengan aglutinasi protoplas tanaman oleh PEG. Aglutinasi akan terjadi jika PEG yang berat molekul tinggi (1540-6000) ditambahkan pada konsentrasi 25-30%. Jika larutan protoplas difisikan dengan pH dan ion ~
a tinggi + ~ditambahkan PEG, maka fi-ekuensi fusi protoplas rnenjadi
tinggi. Polietilen glikol (HOCH2(CH2-0-CH2)nCH20H) adalah bahan kimia yang larut air. PEG daiam air mempunyai muatan sedikit negatif dan mampu membentuk ikatan hidrogen dengan membran plasma pada
protoplas.
Poletilen
glikol
memungkinkan berfungsi sebagai jernbatan antar dua protoplas dan agregasi protoplas tejadi. PEG juga dapat mengikat ~ mungkin akan membentuk jembatan meningkatkan agregasi.
a atau + kation ~ lain. Kation ~
antara
membran dan
PEG,
a ini+
sehingga
Meskipun pada saat inkubasi antar protoplas menempel
sangat ketat, namun hanya sedikit saja yang berfusi, akan tetapi segera setelah PEG dicuci dengan medium atau larutan hipotonik, banyak sel yang berfusi (Kao dan Michayluk, 1975). Jadi kebanyakan fusi terjadi setelah pencucian protoplas.
Elektrofusi Menurut Zimrnerman dan Scheurrich (1981) di dalam larutan, protoplas akan bermuatan negatif sehiigga akan saling tolak menolak, sehingga jarang terjadi agregasi protoplas. Apabila protoplas diletakkan di daIam suatu medan listrik bolak balik (alternating field), protoplas akan bermuatan sehingga mempunyai kutub negatif dan kutub positif. Pada kondisi tersebut protoplas akan bergerak ke arah kuat medan yag lebih besar. Pergerakan ini dikenal sebagai dielektroforesis. Pergerakan protoplas tidak lurus ke arah kuat medan, tetapi membentuk sudut. Selama proses dielektrophoresis, protoplas akan saling menernpel membentuk rantai dan akan saling melepaskan diri apabila medan listrik dihilangkan. Fusi antar protoplas akan terjadi akibat proses yang disebut elehroporasi, yaitu
pernbentukan celah
pada protoplas akibat adanya arus listrik DC (direr!
~
current) dengan tegangan tertentu (Z-ermann
et al., 1974; Zimmermann dan
Scheurich, 1981). Akan tetapi apabila tegangan yang diberikan terlalu tinggi maka membran plasma akan pecah ( Zimmermann dan Scheurich, 1981; Hibi et al., 1988; Mahrle et al., 1990). Menurut de Vries dan Templaar (1987) protoplas kentang &an membentuk rantai jika diberikan 100-200 Volt/cm, 1 Mhz arus AC. Kemudian pemberian pulsa
DC antara 1000-3000 Volt/cm selama 10-50 rnikrodetik akan menyebabkan celah pada sisi protoplas yang menghadap elektroda, sehingga h s i antara protoplas yang berkaitan terjadi. Menurut Tempelaar dan Jones (1985) pulsa yang lebih banyak, pemberian pulsa yang lebih lama, dan l e b i panjangnya protoplas yang membentuk rantai menyebabkan semakin banyak protoplas yang berfusi. Akan tetapi ha1 ini juga menyebabkan semaJsii tingginya kkuensi multifusi.
Templaar dan Jone (1985)
juga menunjukkan bahwa induksi fusi b i e r dari protoplas daun Solanurn brevidens dan protoplas sel suspensi Nicotiana tabacum dilakukan dengan cara memanipulasi rasio dari jumlah protoplas daun dan protoplas sel suspensi.
Pada rasio jumlah
protoplas yang tepat diperoleh prosentase heterofusi biner yang lebih tinggi. Hal ini dilakukan karena &man protoplas yang diperoleh dari sel suspensi Nicofiana tabacurn lebih kecil dibandiigkan protoplas d a m Solanum brevidens. Oleh karena itu diperlukan rasio yang
tepat sehingga tiap protoplas daun dikelilingi oleh
protoplas sel suspensi. Pada penelitian yang sering dilakukan, dirnana ukuran kedua protoplas yang difksikan relatif sama, rasio antara kedua protoplas adalah 1:l (Sihachakr et al., 1989; Serraf ef al., 1991; Mollers et al., 1992).
Fusi Protoplas pada tanaman Kentang Tujuan utama fusi protoplas pada kentang (S. tuberosum) adalah (1) introgresi sifat-sifat ketahanan dari spesies atau genus lain dan (2) meresintesis tingkat tetraploidi untuk memaksirnakan heterosigositas. Introgresi sifat ketahanan ke dalam genom kentang yang dilakukan melalui h s i protoplas umurnnya karena alasan inkompat ibilitas seksual antara dua tetua, misalnya karena nilai EBN
(endosperm balance number) dari spesies liar yang digunakan adalah 1, sehmgga tidak bisa disilangkan dengan kentang dihaploid dengan EBN
=
2 (Millam et al.,
1995). Telah banyak penelitian fusi protoplas yang dilakukan pada kentang yang bertujuan mengintrogresikan sifat-sifat
ketahanan (Mattheij dan Puite, 1992;
Kaendler et al, 1996; Menke et al., 1996; Rasmussen et al., 1996; Nyman dan Waara, 1997; Oberwalder et al., 1997). Spesies liar yang digunakan antara lain S.
circaefolium yang mempunyai sifat ketahanan terhadap Phyrophthora infestans dan Globodera pallida (Mattheij dan Puite, 1992), S. brevidens mempunyai sifat ketahanan terhadap PLRV (Austin et al.,1985), S. vernei ketahanan terhadap Globodera pallida (Rassmusen et al., 1996), S. pinnatisectum ketahanan terhadap Phytophthora investans (Menke et al., 1996), S. commersonii ketahanan terhadap
cost myman dan Waara, 1997), Lycopersicon pennellii, ketahanan terhadap salinitas (Serraf et al., 1991). Hibrida
somatik
yang
dihasilkan
umumnya
mempunyai
morfologi
intermediat, lebih vigor dibandingkan kedua tetuanya, berbunga dan menghasilkan biji (Menke et al., 1996; Rasmussen et al., 1996; N y m a n dan Waara, 1997). Fertiliias jantan (male fertility) sangat tergantung dari genotipe S. tuberosum yang digunakan (Nyman dan Waara,
1997).
Sedangkan sifat-sifat ketahanannya
meningkat dibandingkan S. tuberosum tetuanya (Mattheij dan Puite,
1992;
Rasmussen et al., 1996; Nyrnan dan Waara, 1997; Oberwalder et al., 1997). Akan tetapi hasil h s i
S. tuberosum+ Lycopersicon penneNii menghasilkan hibrida
somatik yang lemah (tidak vigor), menghasilkan stolon yang pendek, umbi yang tidak beraturan. Walaupun demikian hibrida yang dihasilkan dapat berbunga dan menghasilkan biji dan meningkat ketahanannya terhadap salinitas (Serraf, 1991). Selain untuk mengatasi inkompatibilitas seksual, fusi protoplas juga merupakan
metode untuk meresintesis ke tingkat tetraploidi.
Kentang, sebagai
tanaman yang dikembangbiakan secara vegetatif, resintesis tanarnan tetraploid dari donor d i p l o i d yang terseleksi meialui fusi protoplas akan menghasilkan tanarnan
heterosigous dalam sekali langkah (Ross, 1986). Penelitian resintesis tetraploid pada tanaman kentang relatif lebih jarang dilakukan dibandingkan h s i interspesifik (Waara et al., 1991; Mollers et al., 1992; Rasrnussen et al., 1996). Rasrnussen e f al. (1996) memfusikan dua klon mandul jantan kentang dihaploid (S. tuberosum) melalui elektrofusi.
Kalus yang mampu beregenerasi adalah 6%, dirnana 45%
diantaranya adalah hibrida somatik. Hibrida somatik yang dihasilkan sangat vigor dengan morfologi intermediate antara kedua tetua, baik dalam panjang internode, ukuran daun dan pigmentasi. Fusi secara simetris memungkinkan penggabungan antar dua jenis genom secara cepat dengan hasil intermediate (Mattheij dan Puite, 1992; Kaendler et al., 1996; Menke et al., 1996; Rasmusen et al., 1996; Nyrnan dan Waara, 1997; Oberwalder et al., 1997).
Hasil dari fusi simetris tersebut akan menghasikan
sumber variasi genetik untuk program pemuliaan tanaman, kemudian melalui beberapa kali silang balik (back cross) dan seleksi akan rnenghasilkan kultivar baru (Millam et al., 1995). Fusi non simetris menawarkan pendekatan yang berbeda. Fusi non simetris
adalah fusi antara tetua yang mempunyai kornposisi genom yang berbeda yang dibuat dengan perlakuan kimia atau irradiasi pada protoplas sebelum difusikan. Hibrida non simetris antara Sfuberosum tetraploid dengan S.brevidens diploid diperoleh dengan cara rneirradiasi protoplas S. breviden dengan sinar X (Feher et al., 1992).
Rarnulu et al. (1996) berhasil mentransfer satu krornosom khusus yang
mernbawa sifat ketahanan terhadap kanamycine dan P-glukoronidase (GUS) dari kentang ke Lycopersicon peruvianum melalui fusi dengan
metode PEG, setelah
protoplas kentang perlakukan dengan inhibitor sintesis DNA dan sentrihgasi dengan kecepatan tinggi. Jenis h s i non simetris tersebut diberi nama h s i mikroprotoplas. Pada contoh fusi non sirnetris yang lain adalah fusi dirnana genom inti salah satu tetua dihilangkan melaIui iiradiasi, sedangkan pada tetua yang lain genom sitoplasrnanya dihilangkan rnelalui perlakuan iodoasefamide. Hasi 1 h s i sernacarn ini disebut cybrid (cytoplasmic hybrid) (Aviv et a!.. 1986).
Identifikasi dan Seleksi Hibrida Somatik Setelah perlakuan h s i , protoplas kemudian meregenerasikan dinding sel dan mulai melakukan mitosis menghasikan campuran populasi antara sel-sel tetua, produk fusi yang homokarion dan produk fusi yang heterokarion atau hibrid (Ammirato e f al., 1983). Sel hibrida somatik dapat segera diseleksi menggunakan kombinasi antara mikrornanipulator dengan sistem dual-flouresen (Waara et aZ., 1991), akan tetapi pada umumnya populasi sel tersebut diregenerasikan lebih dahulu menjadi tanaman, kemudian diidentifikasi melalui beberapa metode. Carlson er al. (1972) menggunakan rnetode kornpfementasi untuk rnengisolasi hibrida somatik antara dua spesies Nicotiana, dimana masing-masing membutuhkan auksin untuk perturnbuhan sel. Hibrida somatik diseleksi dengan menumbuhkan pada media yang bebas dari auksin.
Auksin autotropi diekspresikan sebagai hasil dari kombinasi
genetik dari dua induk yang dipergunakan. Perkembangan dalam
metode
seleksi yang
penggunaan rnutan yang diinduksi secara in vih.0.
sangat penting
adalah
Penggunaan mutan resisten
terhadap asam amino-analog (White dan Vasil, 1979) dan mutan defisiensi nitrat reduktase (Glimelius dan Bonnet, 1981) banyak membantu identifikasi hibrida somatik.
Asam amino analog adalah toksik terhadap sel tanaman, baik akibat
dimasukkannya zat tersebut pada susunan asam amino dalam protein atau disebabkan penghambatan yang bersifat alosterik terhadap biosintesis suatu enzim
(Tan, 1987). Beberapa mutan resisten terhadap asam amino analog pada kentang telah diisolasi seperti resisten terhadap 5-aminoetilsistein, 5-metiltriptopan dan hidroksiprolin (Jacobsen et al., 1985). Cara yang paling efisien dalam rnengidentifhi hasil fusi adalah secara visual. Sebagai contoh fusi dari protoplas mesofil yang mengandung kloroplas hijau dengan protoplas sel kultur yang tidak berwarna (albino) yang mengandung granul pati akibat pertumbuhannya dalam sukrosa yang ditambahkan pada medium, produk fusi dapat segera dibedakan segera setelah fisi. Setelah perlakuan PEG, produk fusi akan mengandung kloroplas dan granol pati masing-masing setengah bagian dari sel
(Potrykus, 1973; Ammirato et al., 1983). Pada kasus tertentu fusi dari dua protoplas semacam itu menghasilkan warm yang unik (Flick dan Evan, 1983). Sifat-sifat morfologi tertentu dapat diintroduksikan melalui cara transformasi. Kaender er al. (1996) me-sikan
S. tuberosum dengan S. papita.
Solanum tuberosum
yang
digunakan membawa gen rolC yaitu gen yang menghambat dominansi apikal, sehiigga tanaman mempunyai percabangan yang banyak, sedangkan S. papita yang digunakan ditransformasi dulu dengan gen ketahanan terhadap kanamycin. Hibrida somatik dapat diseleksi dengan mudah, yaitu tanarnan yang mempunyai percabangan yang banyak dan dapat hidup pada medium yang mengandung kanamycin.
Menurut
Debnath dan Wenzel (1987), hibrida somatik juga &pat diseleksi menggunakan hibrid vigor dari rnikrokalus yang dihasilkan dan tanaman di rumah kaca. Analisis kariotipe dari somatik hibrid dengan menghitung jumlah kromosom adalah cara karakterisasi yang banyak dilakukan (Binding et al., 1982; Sihachakr et ul., 1988; Thach er al., 1993; Nyman dan Waara, 1997).
JumIah kromosom
setidaknya merupakan penjumlahan dari jumlah kromosom kedua tetuanya, akan tetapi pada beberapa fusi antar tetua yang agak jauh kekerabatannya jumlah kromosom hibri& somatik bervariasi (Shepard et al., 1983). Hibrida sornatik antara S. brevidens x S. tuberosum tidak ada yang tepat menpakan penjumlahan kedua tetuanya, tetapi
semuanya
mempunyai jumlah
kromosom
mendekati
level
tetraploidnya (Austin et al., 1985). Jika bentuk kromosom tetuanya berbeda maka penentuan hibrida somatik akan lebih mudah. Chaput et al. (1990) dan Menke et al. (1 996) menggunakanflow cyfometry untuk menentukan tingkat ploidi dari regeneran
sebelum menentukan hibrida somatik yang dihasilkan. Cara ini dapat lebih efisien dalam menghilangkan tanarnan regeneran yang bukan hasil ksi. Analisa isoenzim dari hibrida somatik juga merupakan cara yang sering digunakan untuk menemukan hibrida somatik.
Sekali suatu jenis isoenzim dapat
ditentukan untuk membedakan kedua tetua, maka hibrida somatik dapat dengan mudah ditentukan (Ferreira dan Zelcer, 1989). glukomutase,
Peroksidase, esterase, fosfo-
rnalat dehidrogenase, dan katekol oksidase adalah
jenis-jenis
isoenzim yang sering digunakan
untuk mengidentifikasi hibrida somatik pada
Solanurn (de Vries, 1987; Tan, 1987; Sihachakr ef al., 1988; Ferreira clan Zelcer, 1989; Serraf et aL, 1991, Thach et al., 1993). Teknik RFLP dengan menggunakan pelacak tertentu, telah banyak dilakukan (Kaendler et a f . , 1996; Menke et a f . , 1996; Oberwalder et aI., 1997).
Selain itu
penggunaan metodologi berbasis PCR seperti marker RAPD, AFLP dan rnikrosatelit juga telah dikembangkan untuk mengidentifrkasi hibrida somatik. Dengan metode ini, hibrida somatik dapat dideteksi sedini mungkin pada tahap mikrokali. karena isolasi DNA pada mikrokali juga telah dikembangkan (Millam et al., 1995).
Variabilitas antar Tanaman Hibrid
Populasi dari tanaman yang diregenerasikan dari fusi protopias mengandung variabilitas yang lebii tinggi dibandingkan variabilitas dari populasi tanarnan yang dihasilkan
dari
hibridisasi seksual (Wenzel, 1980).
Variabilitas diarnati pada
bagian yang berbeda dari karakter fenotipik seperti tinggi tanaman
bentuk daun,
ukuran daun, ukuran petiol daun, panjang d a m warna bunga, dan viabilitas serbuk sari (Dudits et al., 1977; de Vries, 1987; Guri dan Sink, 1988; Sihachakr et al., 1989; Serraf et al., 1991; Nyman dan Waara, 1997). Variabilitas dari suatu karakter seperti viabilitas serbuk sari sangat penting jika akan menggunakan tanaman yang berasal dari hibrida sornatik dalam program pemuliaan.
Variabilitas hibrida somatik seperti yang tejadi pada serbuk sari akan
sangat menentukan kegunaan dari klon hasil hibridisasi somatik. Variabilitas hibrida somatik menurut Amrnirato et al. (1 983) dapat merupakan hasil dari satu atau ketiga mekanisme berikut (1) variabilitas genetik akibat sub kultur kalus yang dilakukan terus menerus yang mengakibatkan suatu variasi sornaklonal (2) ketidakstabilan dari kombinasi inti sel yang rnengakibatkan hilangnya ekspresi gen atau hilangnya bagian dari informasi genetik (3) adanya segregasi dari sitoplasma atau inti setelah fusi sehingga menghasilkan suatu kombinasi yang unik antara informasi genetik pada sitoplasma dan inti.
Hasil Fusi dengan Beberapa Inti Pengamatan secara mikroskopik pada kultur setelah fusi memperlihatkan adanya fisi berganda yang dapat menghasilkan tanaman hibrid.
Fenomena h i
berganda sangat penting dalam fusi protoplas. Menurut Chupeau et al. (1978) fusi Nicotiana glauca
dan N. Iangsdorfii
kromosom yang sangat bervariasi.
menghasilkan tanaman dengan jumlah
Pada tanaman yang berasal dari dua varietas
tembakau yang difisikan, dimana masing-rnasing mempunyai kromosum 2n=24, sejumlah regenerannya mempunyai kromosom 2n=72 (Melchers dan Sacristan, 1977). Jiia fusi dari dua sel, maka yang terjadi adalah penjurnlahan kromosom tetuanya sehingga 2n=48, maka diduga telah terjadi h i 3 sel sekaligus sehingga menjadi tanaman triploid. Demikian juga Smith et al. (1976) yang memfusikan N. Langsdorfii (2n=18) dengan N. Glauca (2n=24), dari 23 regeneran tidak ada yang
mempunyai kromosom 21142, akan tetapi bervariasi dari 56-63, dimana diduga adanya kombinasi kromosom dari tetua-tetuanya.
Segregasi Inti Segregasi inti terjadi segera setelah fusi dan selama proses pertumbuhan dinding set serta selama proses pembentukan mikrokalus (Tan, 1987). Pada Gambar 7 dapat dilihat segregasi inti setelah fusi dibandingkan persilangan secara seksual. Pada suatu kasus, fusi antar inti tidak terjadi, meskipun kedua protoplas telah menyatu (Kao, 1981). Jiia inti sel tidak berfusi sedangkan protoplas telah berfusi, maka kemungkinan dapat menghasilkan sel-sel yang mengandung inti fusi dan non hsi.
SeI-sel demikian dapat juga bersegregasi menjadi sel yang mengandung inti
dari salah satu tetua dan sitophsma dari tetua lainnya (Kao, 1981, Gleba dan Sytnik, 1984, Tan, 1987).
Gabungan genom inti dari dua tetua mungkin menjadi stabil
dalam campuran dua jenis sitoplasma setelah fusi menghasilkan amphidiploid (Tan, 1987), atau mungkin terjadi eliminasi
sebagian kromosom pada somatik hibrid.
Beberapa hasil fusi protoplas mesofil daun Pisum sativum dengan protoplas kalus Nicotiana chinensis, kromosom Pisum sativum hilang sehiigga menghasilkan cybrid
(Gleba dan Sytnic, 1984). Terjadinya segregasi tergantung seberapa jauh hubungan kekerabatan antara tetua yang diksikan (Menczel dan Wolfe, 1984).
Segregasi dan Rekombinasi dari Organel Sel Hibridisasi sornatik adalah suatu metode menggabungkan materi genetik dari tetua melalui penggabungan protoplas. Sebagian besar materi genetik tanaman berada di genom inti, sedangkan sisanya ada di organel sel tanaman. Pada tanaman tingkat tinggi, organel sel hanya mengandung 0,l sampai 0,01% dari total DNA yang ada di sel tanaman (Smith, 1977).
Walaupun informasi genetik dari organel sel
tampak tidak begitu penting, beberapa sifat agronomi yang vital dikode oleh DNA pada kloroplas dan mitokondrii (de Vries, 1987, Tan, 1987). Replikasi, transkripsi dan translasi
tejadi di dalarn organel s e l tetapi bersifat tidak otonom, sebab
sebagian komponen dikode oleh DNA sel org&el, sisanya dikode oleh DNA inti (Smith, 1977).
Organel
sel kemudian
terlibat dalam fimgsi interaksi yang
kompleks antara genom sel organel dan genom inti serta lingkungan tumbuhnya dalam menghasilkan diferensiasi, perturnbuhan dan perkembangan sel (Tan, 1987). Pada kondisi heteroplasmik setelah h i protoplas,
biasanya kloroplas dua
tetua tidak stabil, secara cepat dan random terjadi sorting out, menuju homogenitas ke salah satu kloroplas tetua (Chen et a]., 1977; Lossl et al., 1994). Sorting out secara random terhadap kloroplas tersebut dapat tejadi pada hasil fusi intraspesifik, interspesifik dan intergenerik somatik hibrid atau cybrid (Aviv dan Galun, 1980; Glimelius dan Bonnett, 1981; Medgyesy et al., 1985). Rekombinasi dari kloroplas jarang terjadi, mungkin karena genom protoplas sangat stabil (Fluhr dan Edelman, 1981). Seperti diketahui bahwa sebagian protein kloroplas disandi oleh genom inti, ditranslasi pada ribosom sitoplasmik dan diekspor ke kloroplas (Ellis, 1981). Adanya kloroplas lain dalam sel mungkin dapat mengalami ketidaksesuaian (mismatch) antara genom kloroplas yang mengkode suatu subunit yang satu dan inti yang mengkode subunit yang lain dari produksi suatu komplek multi enzim sehingga menghalangi fungsi normal dari kloroplas (Ellis, 1981).
Mitokondria adalah suatu tempat tranduksi energi non-fotosintesis di dalam tanaman.
Substrat organik dioksidasi dan energi bebas yang dihasilkan diubah
dalam bentuk yang siap dipakai, yaitu adenosin-5-trifosfat (ATP).
Genom
mitokondria dari tanaman tingkat tinggi umumnya lebih besar dibandingkan pada organisme lain (Tan, 1987). Ukuran genom tanaman tingkat tinggi bervariasi dari 250 sampai 2500 kb, sedangkan mitokondria binatang
berukuran 15-18 kb,
cendawan 18-78, dan kloroplas tanaman 140-180 kb (Ward et al., 1981).
Ada tiga
bentuk genom mitokondria yaitu linier, open sirkuler dan covalently closed circuler (Levings, 1983). Pada umumnya eekuensi genom linier sangat rendah, sedangkan fiekuensi genum sirkuler sangat tinggi, paling tidak pada kentang, tembakau dan bit gula (Levings, 1983). Sekitar 5% dari protein mitokondria dikode oleh gen pada mitokondria, seperti subunit sitokrom oksidase, kompleks sitokrom b c l , kompleks ATPase dan protein yang berasosiasi dengan ribosom (Tan, 1987).
Seperti juga terjadi pada
kloroplas, kompleks enzim mitokondria (misalnya ATPase) terdiri dari subunit yang dikode oleh genom mitokondria dan subunit yang lain dikode oleh genom inti (Ellis, 1981).
Pada hibrida somatik, rnitokondrial DNA (mtDNA) sering secara ekstensif
melakukan rekombinasi. Hal ini akan menghasillcan pola pita baru pada pola retriksi dari mtDNA hibrida somatik atau sibrida somatik, dimana pita tersebut tidak nampak pada kedua tetuanya (Quertier dan Vedel, 1977; Nagy et al., 1981; Matthews dan Widholm, 1985). Berbeda dengan hibrida somatik, pada persilangan seksual genom metokondria dan kloroplas selalu diturunkan secara maternal (Gambar 7). Analisis retriksi endonuklease adalah pendekatan yang sangat baik untuk mengkarakterisasi cpDNA dan mtDNA (de Vries, 1987; Tan, 1987; Thach et al., 1993; Loss1 et al., 1994). Hibrida somatik
S. tuberosurn + S. brevidens, hanya
mengandung cpDNA dari S. brevidens (Austin, et al., 1985), sementara itu hibrida somatik atrazin resisten (S. tuberosum + S. n i p r n ) hanya mengandung cpDNA S. nigrurn ( Binding et al., 1982). Artinya hibrida somatik tidak disertai rekombinasi
dari DNA kloroplas, sedangkan pada mtDNA, hibrida somatik menunjukkan adanya
rekombiiasi (Shepard et al., 1983). Analisis dari fragmen retriksi dari mtDNA dapat rnenentukan hibrida somatik dengan cara hibridisasi dengan suatu pelacak yang tepat
(Tan, 1987). A
&
Kloroplas
@ i
Inti Mitokondria
prOtOplas
Elirninasi kromosom Sibrida
Sibrida
Eliminasi kromosom
@ @ Eliminasi kromosom
Sibrida
Sibrida
Fusi Parsial
Persilangan somatik dengan fusi protoplas
e x @ ) A
1 @
ax@ B Genom inti % A+% B
1
A
Sitoplasma dari tetua betina
Persilangan seksual resiprokal
Gambar 7. Skema kemungkinan distribusi genom inti dan sitoplasmik pada sel hasil hibridisasi somatik dan hibridisasi seksual
Protoplas Kemajuan pesat dalarn penelitian virus, induksi variasi melalui mutagenesis produksi hibrida sornatik dan sibrida dan transfer DNA tidak terlepas dari kemajuan dalam teknik isolasi, kultur dan regenerasi protoplas menjadi tanaman.
Sejak
pertarna kali dilaporkan tentang regenerasi protoplas menjadi tanaman lengkap (Takebe et al., 1971), teknik isolasi, kultur dan regenerasi protoplas pada banyak tanaman seperti tembakau, tomat, timun, kentang, slada dan sebagainya telah banyak diketahui (Bradsaw dan Mackey, 1994). Banyak pubIikasi yang ada menunjukkan bahwa keberhasilan kultur protoplas dan regenerasinya ditentukan oleh banyak faktor seperti genotipe, jaringan yang dipergunakan, kondisi fisiobgi dari jaringan, kemurnian enzim, periode inkubasi, media kultur, zat pengatur turnbuh clan kondisi inkubasi (Cocking, 1960, Bawa dan Torrey, 1971; Binding et al., 1982, Serraf et al., 1991; Bradsaw dan Mackey, 1994).
Isolasi Protoplas Saat ini protoplas dapat diisolasi dari hampir seluruh bagian tanarnan, seperti akar (Cocking, 1960, Bawa dan Torrey, 1971), daun (Wenzel, 19XO), nodul akar (Davey et al., 1973), wleoptil (Hall dan Cocking, 1974), jaringan buah (Cocking,
1970), tajuk bunga (Potrykus, 1973), serbuk sari (Bajaj, 1977), kultur kalus (Schenk d m Hildebrandt, 1969; Gosch et al., 1975), daun in vitro (Binding et al., 1982, Serraf et al., 1991). Isolasi protoplas kebanyakan dilakukan secara enzimatik.
Jenis dan
konsentrasi enzirn yang dipergunakan d a b isolasi protoplas sangat bervariasi. Paling tidak ada 15 jenis enzim yang dapat dipergunakan yaitu: pektin glikosidase. pektinase,
selulase R10, silanase,
rnaserozim, meiselase,
rohamen P, selulase
onuzuka RS, driselase, pektoliase Y-23, hemisellulase, selulisin, maserase, rozim. Isolasi protoplas dari daun meliputi empat tahap, yaitu: (1) sterilisasi daun (2) penghilangan epidermis (3) perlakuan enzim dan (4) isolasi dan pemurnian
protoplas. Daun yang telah tumbuh sempurna pada &se vegetatif (sekitar 10 minggu pada kentang) dilakukan sterilisasi dengan merendam ke dalarn 70% alkohol selama satu menit, kemudian direndam dalam 2%
natrium hipoklorit selama 20-30 menit.
Daun kemudian dibilas tiga kali dengan air steril untuk menghilangkan sterilan. Manipulasi bahan
sterilan dan
waktu
perendaman
dapat
dilakukan untuk
menghasilkan bahan yang benar-benar steril (Flick dan Evan, 1983). Untuk mendapatkan protoplas secara enzimatis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1)
metode langsung dan (2) metode dua tahap.
rnetode langsung
dilakukan dengan cara sebagai berikut: cacahan daun dimasukkan dalam cawan petri yang berisi campuran enzim steril (0,5% maserozim + 2% selulase onozuka R-10 dalam 13% sorbitol atau rnanitol pada pH 5,4) kemudian diinkubasi semalam (15-18 jam) pada 25 OC (Power et al., 1970). Setelah diinkubasi, potongan daun digoyang-
goyang untuk melepaskan protoplas, kemudian disaring dengan nilon untuk membuang debris, kernudian supernatan disentrufuse pada 100 g selarna 1 menit. Protoplas akan membentuk pelet sedangkan debris pada supernatan dibuang dengan hati-hati.
Proses ini kemudian diulang tiga kali, clan protoplas kernudian dicuci
dengan 13% sorbitol. Pada akhir pencucian, sorbitol diganti dengan 20% sukrosa kemudian disentrihs pada 200 g selama 1 menit.
Penggunaan prosedur ini
menghasilkan protoplas yang tercuci berada di larutan, sedangkan debris akan berada dibawah.
Protoplas yang melayang tersebut kemudian dipipet secara hati-hati
dengan pipet pastur (Power et al., 1970). Cara yang kedua, yaitu metode dua t b p adalah modifikasi dari Otsuki dan Takabe et al. (1969).
metode
Pada tahap pertama cacahan daun dimasukkan
dalam campuran enzim A (maserozim 0,5%, kalium dekstran sulphate 0,3% dalam 13% rnanitol pada pH 5.8) selama 5 menit dalam desikator, kemudian ditransfer dalam waterbath pada 25 OC dengan penggoyangan
lambat.
Setelah 15 menit
campuran enzim kemudian dibuang perlahan digantikan dengan enzim barn dengan komposisi yang sama, kemudian cacahan daun diinkubasi dengan cara yang sama. Carnpuran enzim kemudian disaring pa& nilon, disentrifuse pada 100 x g seIama 1
menit dan dicuci selama 3 kali dengan 13% manitol untuk mendapatkan sel yang terisolasi. Tahap ke dua adalah menginkubasi hasil dari tahap 1 dengan campuran enzim B (2% selulase, 13% larutan rnanitol ) pada pH 5.4 selama 90 menit pada 30 OC. Setelah inkubasi kemudian disentrifus pada 100 x g selama 1 menit, protoplas
mengendap sebagai pelet. Supernatan dibuang dan protoplas dicuci 3 kali dengan manitol. Protoplas kemudian diisolasi dengan cara melayangkan protoplas pada 2030% larutan sukrosa (Power el al., 1970). Hasil protoplas yang didapatkan dari metode langsung lebih tinggi tetapi berisi protoplas baii dari mesofil spongi dan mesofil palisade, penggunaan
sedangkan
metode dua tahap hanya menghasillcan protoplas yang berasal dari
mesofil palisade (Bajaj, 1977). Sel suspensi yang sedang aktif membelah adalah salah satu material yang baii untuk mendapatkan protoplas dalarn jumlah besar.
Protoplas dapat secara
langsung diperoleh dari kultur sel dengan cara merendam dalam campuran enzim 2-
4% selulase onozuka dalam 0,6 M rnanitol selama 4-6 jam pada 30-33 OC dalam waterbath yang digoyang perlahan (Gosch et al. , 1975). Dengan sedikit modifiasi, tergantung pada umur dan jenis sel, protoplas telah diisolasi dari sel suspensi wortel (Hellmann d m Reinert, 197l), sel suspensi jagung (Motoyoshi, 1972), sel suspensi kedelai (Keller dan Melchers, 1983), dan tebu (Maretzki dan Nickell, 1973). Sel yang telah tua cenderung membentuk sel ralcsasa dengan dinding sel yang tebal sehiigga sulit didegradasi dengan larutan enzim (Eriksson, 1985). Oleh karena itu sangat penting
dilakukan subkultur secara periodi terhadap
suspensi
sel.
Penambahan selulase pada konsentrasi rendah (0,1%) pada suspensi sel dua hari sebelum digunakan akan mengharnbat terjadinya pembentukan dinding tebal. Bahan kimia tertentu seperti kolkisin dan bahan kelat jika ditambahkan ke dalam sel suspensi juga cenderung mengharnbat pembentukan agregat sel (Gosch et al., 1975).
Kultur dan Regenerasi Protoplas Protoplas yang ditanam di dalam media kultur akan meregenerasi dinding sel di sekelilingnya untuk membentuk sel yang sempurna yang dapat rnembelah dan memperbanyak diri membentuk mikro kalus.
Dengan mernanipulasi nutrisi dan
kondisi fisiobgi kultur kalus tersebut akan terinduksi menjadi tanaman (Vasil dan Vasil, 1973). Protoplas dapat disuspensikan dalam medium cair pada erlenmayer tanpa dikocok dan dapat diulturkan dalam jumlah sedikit dalam bentuk tetesan (Bawa dan Torrey. 1971).
Umumnya untuk menginduksi pembelahan, protoplas
harus ditanam dalam kerapatan tidak
lebih dari
lo4 protoplas/ml medium
(Albersheim, 1974). Protoplas dalam kultur mulai meregenerasikan dinding sel dalam beberapa jam sampai beberapa hari untuk melengkapinya (Bawa dan Torrey,
1971).
Regenerasi dinding protoplas melalui proses akumulasi bahan dinding sel secara perlahan-lahan pada permukaan plasmalema d a b beberapa jam setelah kultur. Selulose dikumpulkan
baik
antara
plasmalema
dan
antara
bahan
dinding
multilamelar atau langsung pada plasmalema (Albersheim, 1974). Biosintesis dari dinding sel bervariasi tergantung dari material tanaman. Jika protoplas dikulturkan dalam kerapatan yang tinggi, sel akan saling bersentuhan maka akan terbentuk agregat (Cocking, 1970). Regenerasi tanaman dari protoplas ~lle~pZikan tahap yang paling sulit dengan metode yang berbeda-beda clan sering tidak dapat diulang dengan keberhasilan yang
sama pada waktu yang berbeda (Evan dan Bravo, 1983). F'rotoplas yang berasal dari kalus, suspensi sel, daun dan petal telah dilaporkan dapat diregenerasikan (Bajaj, 1977; Binding dan Nehls, 1977;
de Vries, 1987; Tan, 1987).
Sebagian besar
metode regenerasi protoplas berbeda-beda tergantung jaringan donor dan jenis tanamannya. Meskipun zat pengatur tumbuh yang dipakai bervariasi antar kultivar atau varietas, auksin dan sitokinin hampir selaIu digunakan pada awal kultur (Binding et al., 1981; Bokelmann dan Roest, 1983; Evan dan Bravo, 1983; Chand
el
al., 1990). Penggunaan zeatin dan IAA dilaporkan dapat meregenerasikan protoplas
beberapa spesies tanaman seperti ubi kayu, alfafa, millet, asparagus, kubis dan jeruk (Binding et al., 1981; Evan dan Bravo, 1983; Chand et al., 1990). Protoplas biasanya ditempatkan pada kondisi gelap beberapa hari sebelum ditransfer ke cahaya 4001500 lux (Gosch ef al., 1975). Menurut Evan dan Bravo (1983) paling ti&
28
spesies protoplas tanaman dikotil clan monokotil telah dapat diregenerasikan menjadi tanaman, walaupun demikian regenerasi mash merupakan masalah pada beberapa tanaman.
Media Kultur Protoplas
Media kultur protoplas merupakan faktor sentral yang banyak diteliti, baik berkenaan dengan isolasi, pembentukan mikrokali dan regenerasi menjadi tanaman wagata dan Takebe, 1971;Durand et al., 1973; Binding, 1974; Binding, 1975; Kao dan Michayluk, 1975; Binding dan Nehls, 1977; Shepard dan Totten, 1977; Shepard, 1980; Thomas, 1981; Binding ef al., 1982; Austin ef al., 1985; Haberlach et al., 1985; Tavazza dan Ancora, 1986; Masson et al., 1987; Sihachakr et al., 1989). Nagata dan Takebe (1971) berhasil mengisolasi protoplas mesofil daun tembakau dan meregenerasikan menjadi tanaman dengan media yang dimodifikasi dari Murashige dan Skoog (1962) antara lam mengganti CoClz menjadi CoS04. Media tersebut kemudian dikenal sebagai media NT. Binding (1975) memodifikasi medium NT dengan menambahkan 0,5 mg/l asam folat, 0,l mg/l BAP clan 2 mg/l NAA
yang disebut sebagai media NT-A
yang sangat reproducible dalam
menghasilkan efisiensi penaburan yang tinggi. Di tempat lain Kao dan Michayluk (1975)
mengembangkan
medium untuk pertumbuhan
protoplas
daun
Vicia
hajasrana. Media yang dikembangkan adalah KMl sarnpai KM8 dan KMlp sampai KM8p.
Hasil yang didapatkan adalah bahwa media KM8p dengan media dasar
modifikasi dari media B-5 (Gamborg et al., 1968) adalah media yang terbaik. Sementara itu Durand ef a[. (1973) juga berhasil mengembangkan media untuk pertumbuhan protoplas Pitunia, medium ini dikenal dengan nama medium DPD. Binding ( 1974) memodifikasi medium DPD menjadi medium V-47 clan V-60 yang
menghasilkan efisiensi penaburan yang lebih baik pada protoplas Petunia hybrida L. Selanjutnya Binding dan Nebls (1977) mengkombinasikan media V-47 dan media KM8p (Kao dan Michayluk, 1975) berhasil meregenerasikan Solanurn dulcarnara.
Kombinasi media tersebut disebut sebagai media V-KM yang saat ini banyak digunakan (Binding dan Nehls, 1977). Pada percobaan tersebut media NT (Nagata dan Takebe, 1971) masih digunakan sebagai media layering dengan menambahkan 1,O m asam folat, 5 p M BAF' dan 2 pM NAA. Media KM8p dan Media V-KM ini kemudian banyak digunakan sebagai media dalam percobaan-percobaan kultur protoplas untuk Solanaceae
(Binding dan Nehls, 1977; Kowalczyk et al., 1983;
Serraf er al., 1988; Sihachakr, 1989; Serraf er al., 1991; Mollers et al., 1992; Thach et al., 1993; Chand er al., 1990).
Sedangkan Hunt dan Hegelson (1989)
memodifikasi medium medium KM8p dan V-KM menjadi medium SKM. Medium SKM dilaporkan sangat cocok untuk kentang (Stuberosum) kultivar Katahdin, Russet Burbank, dan Merrimac. Mollers et al. (1992) menggunakan medium SKM dan VKM untuk melihat pengaruh silver thiosulfat pada kultur protoplas kentang klon D90, dimana dihasilkan bahwa medium SKM lebih baii dibandingkan VKM. Thach et al. (1993) menggunakan media VKM, SKM dan SKMmod dengan menambahkan 0.1 M manitol atau 0,2 mg/l zeatin dalarn kultur somatik hibrid untuk menghasilkan kentang tahan virus. Dilain pihak Shepard dan Totten (1977) juga telah mengembangkan media yang terdiri dari media A (pemurnian protoplas), media B (induksi kalus), media C dan media D (regenerasi tunas), serta media E (perkembangan tunas dan inisiasi
akar). Media
in1
berhasil meregenerasikan protoplas dari mesofil daun kentang
kultivar Russet Burbank. Shepard (1980) mernperbaiki media regenerasi (media D) dengan menambahkan 0,2 rngll ABA yang meningkatkan jumlah tunas beregenerasi pada kultivar Russet Burbank atau menarnbah 0,05-0,1 mg/l ABA untuk kultivar Atlantic. Shepard (1 982) kemudian memperbaiki media kultur protoplas yang dapat berhngsi tidak tergantung kutivar yang digunakan. Pada media ini terdiri dari media
CL (ceN layering), media Res (reservoir), media Cul (culture) dan media Dif
(dz~erentiation). Media Shepard dan Totten (1977) terbukti dapat berfungsi mengkulturkan dan meregenerasikan berbagai rnacam spesies dari Solanum dan kultivar-kultivar dihaploid, tetraploid dan kultivar komersial kentang (S. tuberosum) (Austin et al., 1985; Haberlach et al.,
1985). Dari banyak publikasi, media yang
paling banyak dipakai untuk kultur protoplas solanurn adalah KM8p (Kao clan Michayluk, 1975), media VKM (Binding dan Nehls, 1977), media SKM (Hunt dan Hegelson, 1989) dan medium ST (Shepard dan Totten, 1977), selain itu ada beberapa jenis media lain yang bisa dipakai untuk kultur protoplas yaitu media Thomas (1981), media DPD (Durand et al., 1973) dan medium VKCLG (Foulger dan Jones, 1986). Komposisi medium
yang kompleks pada umumnya
komposisi medium KM8p (Kao dan Michayluk,
1975).
diturunkan dari
Modifkasi yang telah
diterapkan misalnya dengan mengurangi kadar glukosa d m menambah sukrosa, serta mengubah komposisi ;rat pengatur tumbuh (Kowalczyk et al., 1983; Chand et al., 1990).
Menurut
Kowalczyk et al. (1983),
kadar sukrosa yang tinggi dapat
mencegah penurunan pH yang mengganggu pertumbuhan sel semasa awal kultur protoplas S. torvum. Untuk mencegah pembahan pH didalam medium KMSp, peneliti lain menambahkan bufer lemah MES (Tan et al., 1987; Serraf et al., 1988; Sihachakr et al., 1988). Medium Kao (1981) adalah modifikasi dari medium KMlp dangan mengurangi kadar gula, asam organik, beberapa vitamin, kasein hidrolisat, dan air kelapa. Suatu modifikasi l e b i lanjut dari medium ini telah berhasil digunrtkan untuk mendapatkan regenerasi produk fusi
protoplas
S.
melongena
dan
S.
sysimbriifolium (Gleddie et al., 1986). Bahan organik menurut KM8p terdiri atas berbagai
asam
organik,
gulq
dan
vitamin
serta
faktor
pertumbuhan.
Senyawa-senyawa itu dipandang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan protoplas sehingga di masukkan dalam berbagai komposisi. Ada tidaknya zat pengatur turnbuh dan konsentrasinya dalam media memegang peranan penting pada setiap tahap dari regenerasi protoplas. Perbedaan
respon dari zat pengatur tumbuh juga akan nampak pada setiap tahap dari pertumbuhan mulai dari protoplas, sel tunggal dan kumpulan sel, sehingga setiap tahap dari pertumbuhan dan perkembangan protoplas memerlukan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang khusus pula. Inisiasi dari pembelahan awal diinduksi oleh adanya auksin. Pada tahap awal Grun dan Chu (1978) menggunakan 3.0 mg/l NAA, sedangkan Binding et al. (1978) dan Ferreira dan Zelcer (1989) menggunakan 2,O mg/l NAA dan 1,O mg/l2,4-D pada penaburan protoplas. Adanya sitokiiin pada media penaburan juga penting untuk mendapatkan pertumbuhan yang
baik (Thach e f al., 1993), akan tetapi penambahan 1,O mg/l 2,4-D pembelahan s e l tetap terjadi walaupun tanpa penambahan sitokinin (Binding e f al., 1978). Kebanyakan peneliti mempergunakan NAA dadatau dikombinasikan dengan 2,4-D pada medium penaburan (Durand et al., 1973; Binding dan Nehls, 1977; Shepard dan Totten, 1977; Sihachakr, 1989; Mollers e f al., 1992), sementara itu BAP atau zeatin dalarn konsentrasi rendah banyak digunakan sebagai sumber s i t o k i (Binding dan Nehls, 1977; Shepard dan Totten, 1977; Mollers et al., 1992). Meskipun
beberapa
kultivar
maupun
spesies
Solanum
telah
dapat
diregenerasikan dari protoplas, prosedur kultur clan regenerasi pada banyak kasus masih hams diperbaiki.
Proses pra isolasi, sumber protoplas, genotipe tanaman
berpengaruh terhadap keberhasilan kultur dan regenerasi protoplas (Ferreira dan Zelcer, 1989). Dernikian juga zat pengatur tumbuh yang dipakai pada suatu proses akan berpengaruh pada proses berikutnya, sebagai contoh 0,5-2 mg/l BAP atau zeatin pada tahap penaburan protoplas mengurangi pembelahan sel S. phureja, &an tetapi adanya zat pengatur tumbuh tersebut dan tidak adanya 2,4-D, sangat penting dalam regenerasi tunas (Craig, et al., 1994). Tan et al. (1987) mendapatkan bahwa 2,4-D sangat penting dalam permulaan p e r t u m b h akan tetapi pada media regenerasi tidak diharapkan adanya 2,4-D untuk mendorong regenerasi tunas. Kowalczyk el al. (1983) menunjukkan bahwa pada S. melongena, protoplas akan membelah dan membentuk koloni jika ada 2,443 dan NAA.
Inisiasi tunas pada umurnnya berhasil dengan rnenggunakan kornbinasi IAA dan zeatin (Shepard, 1980; Bokehann dan Roest, 1983; Haberlach et al., 1985). Zeatin terbukti sangat esensial dalam induksi morfogenesis tunas dari S. tuberosum (Mollers el al., 1992). Hal ini didukung oleh Thach et al. (1993) bahwa efisiensi dari sitokinin untuk menginduksi morfogenesis tunas berkurang dari (0,s-1,O mg/l) zeatin ke (2 mg/l) BA ke (2,O mg/l) 2-iP dan ke (2 rng/I) Kinetin. Pada beberapa penelitian, medium regenerasi hanya zeatin (tanpa IAA) dapat digunakan untuk induksi morfogenesis tunas (Saxena er al., 1981; Thomas, 1981), tetapi menurut Ferraira dan Zelcer (1989), penggunaan 0.1 mg/l IAA akan meningkatkan kwlitas tunas yang diregenerasikan.
Meskipun NAA memperbaiki pertumbuhan kalus,
tetapi menghambat regenerasi tunas walaupun pada konsentrasi rendah 0,02 mg/l (Shepard, 1982). Pada b u s S. mammosom adanya 0,l mg/l 2,4-D meningkatkan regenerasi tunas (Priyanto, 1996). Akan tetapi rendahnya konsentrasi auksin dan tingginya konsentrasi sitokinin diperlukan selarna tahap regenerasi.
Konsentrasi
sampai 4 mg/l BAP digunakan untuk S. melongena (Jia dan Potrikus, 1981), sedangkan Ferreira dan Zelcer (1989) mendapatkan bahwa primordia tunas S.
phureja berkembang cepat pada medium yang mengandung 0,s-5 g/l zeatin. Penambahan 0,l mg/l GA3 meningkatkan kualitas tunas yang diregenerasikan, sedangkan penambahan ABA akan meningkatkan mikrokali yang beregenerasi, meningkatkan perturnbuhan tunas dan multiplikasi tunas sernakin banyak (Shepard, 1980). Pada kadar kurang dari 0,2 mg/l, ABA dilaporkan menaikkan respon regenerasi tunas pada kalus protoplas kentang kultivar Russet Burbank (Shepard, 1980), akan tetapi menurut Haberlach el al. (1985) penambahan ABA tidak diperlukan bila kadar zeatin ditingkatkan dua kalinya. Komposisi medium juga sangat berpengaruh terhadap regenerasi tunas. Penambahan kasein hidrolisat dan adenin sulfat dilaporkan dapat meningkatkan respon morfogenesis pada kentang (Shepard dan Totten, 1977). Konsentrasi gula yang dapat dimetabolisme (sukrosa) clan manitol juga mempengaruhi regenerasi
tunas. Konsentrasi sukrosa sebesar 1-5 g/l adalah optimum pada berbagai susunan medium dasar dari kultivar kentang. Kombinasi 2,5 g/l sukrosa dan 0,2 M manitol juga bermanfaat untuk regenerasi tunas dari kultur protoplas tornat (Tan et al., 1987). Mollers ef al. (1992) mempergunakan kombinasi 10 g/l sukrosa dan 15 g/l (0,l MJ manitol untuk regenerasi galur dihaploid kentang. Upadya (1975) mendapatkan bahwa ammonium dalam bentuk arnonium nitrat maupun amonium khlorida berpengaruh toksik terhadap protoplas S. ruberosum bahkan pada konsentrasi 100 mg/l. Dikemukakan pula bahwa ammonium tidak diperlukan untuk perkembangan dan pembelahan dari protoplas. Akan tetapi amonium sangat penting untuk menunjang perturnbuhan dari mikrokali.
Menurut
Ferreira dan Zelcer (1989) protoplas interspesifik hibrid (S.phureja x S.chacoense J gibberulosum) akan dapat viabel jika berada pada medium tanpa ion amonium Sernentara itu medium V-KM yang digunakan oleh Bokelmann d m Roest (1983) dan Debnath ef al. (1986) juga tanpa amonium, sehingga dapat menginduksi kultur protopIas S. tuberosum dan beberapa kultivar dihapoid. Shepard dan Totten (1977) juga menghilangkan amonium pada media penaburan protoplas, media reservoir dan media conditioning untuk meregenerasikan protoplas dari S. fuberosum.
Akan tetapi Binding dan Nehls (1977) melaporkan bahwa efisiensi penaburan protoplas meningkat 10% pada protoplas S. dulcamara jika konsentrasi amonium nitrat pada medium KM8p ditingkatkan menjadi 2 kali lipat, sedangkan kalium nitrat dihilangkan.
Peningkatan efisiensi penaburan juga meningkat pada protoplas S.
tuberosum dihaploid jika kalium nitrat dihilangkan (Binding et al., 1978). Thomas (1981) menggunakan 300 mg/l arnonium nitrat pada medium penaburan pada S. tuberosum menghasikan efisiensi penabwan yang baik.
Umurnnya peneliti
mengurangi nitrogen pada proses regenerasi, walupun demikian peranan dari setiap sumber nitrogen perlu klarifikasi (Ferreira dan Zelcer, 1989). Pada sumber nitrogen organik, penghilangan serin mengurangi pembelahan sel dari S. tuberosum dan S. phureja, sedangkan penghilangan casein hidrolisat sangat menghambat pembelahan
sel. J i a Glutamin juga dihilangkan dari media, pembelahan sel semakin terhambat lagi (Ferreira dan Zelcer, 1989). Jenis osmotikum yang ada pada media juga berpengaruh dalam regenerasi protopas. Setiap sel mempunyai konsentrasi cairan yang unik, sehingga sel akan berespons terhadap level osmotikum dalam isolasi protoplas maupun media kultur (Smith et al., 1976). Penggunaan stabilisator osmotik metabolik seperti glukosa atau sukrosa bersarna dengan stabilisator osmotik inert seperti manitol atau sorbitol sangat menguntungkan, sebab osmotikum tipe pertama dapat langsung dipergunakan oleh protoplas pada saat awal pertumbuhan dan regenerasi dinding sel, dan menghilangkan perubahan yang tiba-tiba dari potensial osmotik ketika sel tersebut dipindahkan ke media lain untuk pertumbuhan selanjutnya (Ferreira dan Zelcer, 1989). Stabilitas, viabilitas dan pertumbuhan protoplas sangat berhubungan dengan osmotikum yang tepat selama isolasi dan kultur (Moilers, 1990). Deviasi dari media protoplas dari konsentrasi isotonik menyebabkan protoplas akan mengkerut (Smith
et a / . , 1976). Protoplas Solanaceae pada umumnya sangat sensitif terhadap osmotikum. Sihachakr et al. (1989) menyatakan bahwa pada protoplas dari S. melongena, jika manitol pada media V-47 dan glokusa pada media KM8p digantikan dengan sukrosa 0.6M, viabilitas protoplas akan turun drastis.
Akan tetapi tekanan osmotik 680
mOsm adalah tekanan optimal yang diperoleh dengan 18% sukrosa dan 11% manitol (Kowalczyk et al., 1983).
Sulcrosa adalah osmotikum yang sering digunakan.
Shepard dan Totten (1977) menyatakan bahwa dalam isolasi protoplas S.tuberosum, produksi protoplas akan meningkat dua kali lipat jika menggunakan 0.6M dibandingkan menggunakan 0,3 M sukrosa, akan tetapi menurut Shepard clan Totten
(1 977) pada konsentrasi sukrosa lebih dari I% pada media regenerasi menyebabkan kalus menjadi coklat dan terhambat. Sukrosa juga dapat menghambat pembelahan mitosis pada S. melongena jika berada bersarna-sama dengan glukosa (Sihachakr et
a/., 1989).
Faktor penting yang harus dipertimbangkan dalarn penanaman protoplas adalah kerapatannya, sebab akan mempengaruhi pembelahan protoplas (Kowalczyk et aZ., 1983). Kerapatan protoplas untuk solanum bervariasi dari 103- 1o5 protoplas
per mililiter media. Kerapatan optimum harus ditentukan untuk setiap spesies atau kultivar yang digunakan.
Pada S. melongena fkekuensi pembelahan protoplas
menurun pada mulai kerapatan 5 x lo3 protophs / ml dan pada kerapatan 5 x 1o5 protopladml tidak ada protoplas yang membelah. Pada S. khasianum, kerapatan 5 x 105 protoplas/ml dan pada 2 x lo4 protoplas/ml tidak menunjukkan adanya pembelahan sel, sementara itu Carlberg et al. (1987) rnenyatakan bahwa kerapatan kurang dari 2 x
lo4 protopladm1 dari S.
tuberosum tidak rnembelah diri sedangkan
jika kerapatan lebih tinggi dari 8 x lo4 protoplas/ml, protoplas akan cepat menggumpal dan browning.
Daftar Pustaka Albersheim, P. 1974. Structure and growth of cell wall in culture. &: H.E. Street. Academic Press. (ed). Tissue Culture and Plant Science. pp379-404. London. Amrnirato, P.V., D.A. Evan, W.R. Sharp, Y. Yarnada. 1983. Handbook of Plant Cell Culture. Vol 1. MacMiIlan Publ. Co. New York, London. Austin, S., M.A. Baer, M.K. Ahlenfeldt, P.J. Kazmierczak, and P.J. Helgelson. 1985. Interspecific fusion in Solanum tuberosum. Theor. Appl. Genet. 7 1:172-175. Aviv, D. and E. Galun, 1980. Restoration of fertility in cytoplasmic male sterility (CMS) Nicotiana gdvestris by fusion with X-radiated N. tabacum protoplast. Theor. Appl. Genet. 58:121-127. Aviv. D., R. Chen and E. Galun. 1986. Dosage pretreatment by rhodamine 6-G affect the mitochondria1 composition of fusion-derived Nicotiana cybrid?. Plant Cell Rep. 3:227-230. Bajaj, Y. P. S. 1977. Protoplast isolation, culture and somatic hybridization. In.J. Reinert and Y. P.S. Bajaj, (eds.). Applied and Fundamental Aspects of Plant Cell, Tissue, and Organ Culture. pp. 467-496. Springer-Verlag, Berlin.
Bajaj, Y.P.S. 1987. Biotechnology and 21st century potato. In: Y.P.S. Bajaj (ed.). Biotechnology o f plant improvement, Vol.111, Potato. pp.3- 19. Springer, Berlin Heidelberg, New York. Bawa, S.B. and J.G. Torrey, 1971. Budding and nuclear division in cultured protoplast of corn, Convolvulus and union Botan. Gaz. 132:240-245. Binding, H. 1975. Reproducibly high plating efficiencies of isolated protoplasts *om shoot cultures of tobacco. Physiol. Plant. 35: 225-227. pflanzen aus Binding, H. 1974. Regeneration von haploiden und diploiden protoplasten von Petunia hybrida L. Z. Pflanzenphysiol. 74: 327-356. Binding, H. and R-Nehls. 1977. Regenerationof isolated protoplasts to plants in Solanunum dulcamara L. Z.Pflanzenphysio1. 85:279-280. Binding, H., R. Nehls, 0. Schieder, S, K. Sopory, and G. Wenzel. 1978. Regeneration of mesophyl protoplasts isolated fiom dihaploid clones of Solanum tuberosum. Physiol. Plant. 43: 52-54. Binding, H., R. Nehls, R. Kock, J. Finger, and G. Mordhorstt. 1981. Comperative studies on protoplast regeneration in herbaceous species of the dicotyledoneae class. Z. Pflanzenphysiol. 101: 1 19-130. Binding, H., S. M. Jain, J. Finger, G. Mordhorst, R Nehls and J. Gresel. 1982. Somatic hybridization of an atrazine resistance biotype of Solanum nignrrn with Solanurn tuberasum. Part 1: Clona.1variation in morphology and in atrazine sensitivity. Theor. Appl. Genet. 63: 273-277. BokeImann, G.S. and S. Roest, 1983. Plant regeneration fiom protoplast of potato (Solanum ruberosum L cv Bintje). Z. Pflanzenphysiol. 109:259-265. Bradsaw, J-E. and G.R. Mackey, 1994. Breeding strategies for clonally propagated potatoes. In: J.E. Bradsaw and G.R. Mackey (eds.). Potato Genetic. pp.467498. CAB International Cambridge. Burton, W.G. 1966. The potato: A Survey of its History and Factors Influencing its Yield, Nutritive Value, Quality and Storage. H. Veerman and Zonen N.V., Wageningen, the Netherlands, 2"* ed. Carlberg, I., S. Karlsson, and T. Eriksson. 1987. Improved culture technique for (ed.). Biotechnology of plant potato protopIast. b: Y.P.S. Bajaj improvement, Vol.111, Potato. pp. 187-193. Springer, Berlin Heidelberg, New York. Carlson, P.S., H.H. Smith and R.D. Dearing. 1972. Parasexual interspecific plant hybridization. Proc.Natl.Acad. Sci. USA. 693292-2294.
Chand, P.K., M. R. Davey, and J. B. Power. 1990. Efficient plant regeneration fkom cell suspension protoplast of the woody medicinal plant Solanum dulcamara L . Plant Cell and Organ Culture 22:119-125. Chaput, M.H., D. Sihachakr, G. Ducreux, D. Marie and N. Barghi. 1990. Somatic hybrid plants produce by electrofusion between dihaploid potatoes: BF15 (Hl), Arninca (H6) and Cardinal (H3). Plant Cell Rep. 9:411-414. Chen, K., S.G. Wildman and H.H. Smith, 1977. Chloroplast DNA distribution in parasexual hybrids a s shown by polipeptide composition of fi-action-1 protein. Proc. Nat. Acad.Sci.74:5 109-5112. Chupeau, Y., C. Missonier, M.C. Hornmel and J. Goujaud.1978. Somatic hybrids of plants by hsion o f protoplasts: Observations on the model system Nicofiana glauca-Nicotiana langsdor-i. Mol. Gen. Genet. 165:239-245. Cocking, E.C. 1960. A. method for isolation Nature 187:962-963.
of plant protoplasts and vacuola.
Cocking, E.C. 1970. Virus uptake, cell wall regeneration and virus multiplication in isolated plat protoplasts. Intl. Rev. Cytol. 28:89-124. Colin, B., F. Lammin and Y. Dattee. 1987. Use in vitro culture of Solanurn tuberosum in potato breeding, &: G.J. Jellis and D.E. Richardon. (eds.). The Production of New Varieties-Technological Advances. pp.3 3 1-334. Cambridge University Press. Craig, L., I. Momson, E. Baird, R. Waugh, M. Coleman, P. Davie and W. Powel. 1994. Expression of reducing sugar accumuIation in interspecific somatic hybrid of potato. Plant Cell Rep. 13:401-405. Davey, M.R., E.E. Cocking, dan E. Bush. 1973. Isolation of legume root nodule protoplast. Nature 244:460-46 1. de Vries, S and M.J. Tempelaar. 1987. Electrokion and analysis of somatic hybrids. &: Y.P.S. Bajaj (ed.). Biotechnology of Plant Improvement, Vol.111, Potato. pp.2 12-222. Springer, Berlin Heidelberg, New York. de Vries, S. 1987. Somatic Cell Genetics of the Potato (Solanum tuberosum). Intra and Interspecific Somatic Hybridization. Disertation, Groningen. Debnath, S. C. and G. Wenzel. 1987. Selection of somatic fusion products in potato by hybrid vigor. Potato Res. 30: 371-380. Debnath, S.C., R. Schumann and G. Wenzel. 1986. Regeneration capacity o f potato protoplasts isolated fkorn single cell derived donor plants. Acta Botanica Nerlandica 35:233-241.
Ducreux G., L. Rossignol and D. Sihachakr (1991). Exploitation of genetic and physiological variability in Solanaceae: the examples of potato and egg plant. Acta Horticulturae 289:65-73. Dudits, D., G. Hadlaczky, E. Levi, 0. Fejer, Z . Haydu, and G. Lazar. 1977. Somatic hybridization of Daucus carota and D. capilifolius by protoplast fusion. Theor. Appl. Genet. 51: 127-132. Dwand, J., I. Potrykus, and G. Dom. 1973. Plant tissues protoplastes de Petunia. Z.Pflanzenphysio1. 69:26-34. Ellis, R.J. 1981- Chloroplast proteins: synthesis, transport and assembly. Ann Rev. Plant Physiol. 32:lll-137. Eriksson, T.T. 1985. Protoplast isolation and culture. In : L.C. Fowke and F. Constabel, (eds.). Plant Protoplast. pp.1-20. CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida. Evans, D.A. and J.E. Bravo. 1983. Protoplasts isolation and culture. &: P.V. Ammirato, D.A. Evan, W.R Sharp, Y. Yarnada (eds.). Handbook of Plant Cell Culture. MacMillan Pub. Co. New York, London. Feher, A., J. Freiszner, 2. Litkey, G. Csanadi and D. Dudits. 1992. Characterization of chromosome instability in interspecific somatic hybrids obtained fiom Xray k i o n between potato (S.tuberosum L) and S.brevidens . Theor. Appl. Genet. 84:880-890. Ferreira, D. I. and A. Zelcer. 1989. Advances in protoplast research Solanurn Intl. Rev. Cytol. 115: 1-65. Flick, C.E. and D.A. Evan. 1983. Isolation, culture and plant regeneration of protoplast isolated e o m lower petals of ornamental Nicotianas. Z Pflanzenphysiol 109:379-383. Fluhr, R. and M. Edelrnan, 1981. Conservation of sequence arrangement among higher plant chloroplast DNAs: Molecular cross hybridization among the Solanaceae and between Nicotiana and Spinacia. Nucl. Acid Res. 9:68416853. Foulger, D and M.G.K. Jones, 1986. Improved efficiency of genotype-dependent regeneration kern protoplasts of important potato cultivars. Plant Cell Rep. 5:72-76. Gamborg, O.L., R.A. Miller and K. Ojirna.1968. Nutrien requirements of suspension cultures of soybean root cells. Exp. Cell Res. 50: 151-158. Gleba, Y.Y. and K. M. Sytnik. 1984. Protoplast Fusion: Genetic Engineering in Higher Plants. Springer-Verlag, Berlin
Gleddie, S., W.A. Keller, and G. Satterfield, 1986. Production and characterization of somatic hybrids between S.melongena and S.sysimbri~~olium Lam. Theor. Appl. Genet. 71:613-621. Glimelius, K and H.T. Bomett. 1981. Somatic hybridization in Nicotiana: Restoration of photoautotrophy to an albino mutant with defective plastids. Planta 153:497-503. Gosch, G., Y.P.S. Bajaj and J. Reinert. 1975. Isolation, culture and fusion studies &om different species. Protoplasma 85:327-336. Gmn, P. 1990. The evolution of cultivated potato. Economic Botany (Suppl. 3) 3955. Grun, P. and L.J. Chu. 1978. Development of plants i?om protoplast of solanum. Am. J. Bot. 65:538-543. Guri, A. and K. C. Sink. 1988. interspecific somatic hybrid plants between eggplant (Solanum melongena) and Solanum torvurn. Theor. Appl. Genet. 76:490-496. Haberlach, G. T., B. A. Cohen, N. A. Reichert, M. A. Bear, L.E. Towill, and J. P. Helgeson. 1985. Isolation, culture and regeneration of protoplasts fkom potato and several related solanum species. Plant Sci. 39:67-74. Hall, M.D. and E.C. Cocking, 1974. The response of isolated avena coleoptile protoplast to indole 3-acetic acid. Protoplasma 19:225-234. Hawkes, J.G. 1994. Origin of cultivated potatoes and species relationships. &I: J.E. Bradshaw and G.R. Mackay (eds.). Potato Genetic. pp.3-42. CAB International. Hellmann, S. and J. Reinert. 1971. Protoplasten aus zellkulturen von Daucus carota. Protoplasma. 72:479-484. Hibi, T., H. Kano, M. Sugiura, T. Kazami, and S. Kimura. 1988. High-speed electrofision and elecrto-transfection of plant protoplast by a continuous flow electro-manipulator. Plant Cell Rep. 7:153-157 Hunt, G. J. and J. P. Helgeson. 1989. A medium and simplified prosedure for growing single cells &om solanum species. Plant Sci. 60:251-257. Jacobsen E., R.G.F. Visser and J. Wijbrandi. 1985. Phenylalanine and tyrosine accumulating cell lines of dihapbid potato selected by resistance to 5methyltryptophan. Plant Cell Rep. 4:15 1-154. Jia, J. and I. Potrykus, 1981. Mesophyll protoplasts kom Solanum melongena var. Depressurn Bailey regenerate to fertile plants. Plant Cell Rep. l:7 1-72.
Kaendler, C., M. Fladung, H. Uhrig. 1996. Production and identification of somatic hybrids between Solanum tuberosum and S.papita using the rolC gene as a morfological selectable marker. Theor. Appl. Genet. 92:455-462. Kameya, T. 1975. Culture of protoplast fkom chimera1 plant tissue of nature. Jpn. J. Gen. 50:4 17-420. Kameya, T. 1979. Studies of plant fusion: effect of dextran and pronase-E on fision. Cytologia 44:449-456. Kao , K.N. and M. Saleem 1986. Improved fusion of leaves mesophyll and cotyledon protoplasts with PEG and high pH-Ca solutions. J. Plant Physiol. 122:2 17-225. Kao,
K. N. 1986. Fusion of plant protoplast at the interface of glucose and a sucrose-polyethylene glycol solution. J. Plant Physiol. 126:55-58.
Kao, K. N. 1981. Plant protoplast fusion and somatic hybrids. Proceedings of Symposium on Plant Tissue Culture. Peking. pp. 331-339. Pitman Publishing Ltd. ,London. Kao, K. N. and M. R Michayluk. 1975. Nutritional requirements for growth of Vicia hajastana cell and protoplast at a very low population density in liquid media. Planta. 125:105-1 10. Kao, K.N., F. Constabel M. R. Michayluk, and 0. L. Gamborg. 1974. A method for high frequency intergenericfusion of plant protoplasts. Planta 1 15:355367 Keh,
E.K., V.A. Robert, and V.C.H. Geofiey.1964. Commercial Potato Production. Agriculture Handbook No.267. Agriculture Research Service. U.S. Depart-ment of Agriculture, Washington D.C.
Keller, W.A. and G. Melchers, 1983. The effect of high pH and calcium o n tobacco leaf protoplasts fusion. Z. Planzenphysiol. 28:2 11-2 16. Keller, W.A., B.L. Harvey, K.N. Kao, R.A. Miller and O.L. Gamborg.1973. Determination of eequency of interspecific protoplast fusion by differential staining. Protoplastes et Fusion de Cellules Sornatique Vegetales, Proc. C.N.R.S. 21 2:455-463. Kishiami, I and J.M. Widholm. 1987. Auxotrophic complementation in intergeneric hybrid cell obtained by electrical and dextran-induced protoplast fusion. Plant Cell Physiol. 28:211-218. Kowalczyk, T.P., I. A. Mackenzie, and E. C. Cocking. 1983. Plant regeneration from organ explants and protoplasts of the medicinal plant Solanurn khasianum C. B . clarke var. chatterjeeanum Sengupta (syn. SoIanum viarum Dunal). Z . Pflanzenphysiol. 11 155-68.
Levings, C.S. 1983. The plant mitochondria1 genome and its mutants. Cell 32:659661. Loss1 A., U. Frei and Wenzel. 1994. Interaction between cytoplasmic composition and yield parameters in somatic hybrids of S. fuberosumL. Theor. Appl. Genet. 89:873-878. Mahrle, W., B. Naton and R. Hampp. 1990. Determination of physical membrane properties and plant cell protoplast via electroksion technique: prediction of optimal fusion yields and protoplast viability. Plant CellRep. 8:687-691. Maretzki, A. and L.G. Nickell. 1973. Formation of protoplasts *om sugarcane cell suspensions and the regeneration of cell culture *om protopiasts. In: Proptoplastes et Fusion de Cellules Somatique Vegetales. pp. 5 1-63. Colloq. Inter. Centre Nat. Res. Sci. Paris. Masson, J., M. Lecerf, P. Rousselle, P. Perennec, and G. Pelletier. 1987. Plant regeneration £kom protoplast of diploid potato derived &om crosses of Solanum tuberosum with wild solanum species. Plant Sci. 53: 167-176. Mattheij, W.M, and K.J. Puite. 1992. Tetraploid potato hybrids through protoplast fusion and analysis of their performance in the field. Theor. Appl. Genet. 832307-812. Matthews, B.F. and J.M. Widholm, 1985. Organelle DNA composition and isoenzyme expression in an interspecific somatic hybrid of Daucus carota. Mol. Gen. Genet. 1983371-376. Medgyesy, P., E. Fijes and P. Maliga. 1985Interspecific chloroplasts recombination in a Nicotiana somatic hybrid. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 825960-6964. Melchers , G. and M.D. Sacristan, 1977. Somatic hybridization o f plants by protoplast fusion 11. The chromosom numbers of somatic hybrid plants of four different fusion experiments. In: R.J. Gautheret. (ed.). La culture des tissues et des cellules des vegetaux . pp. 189-177. Melchers, G. 1981. Plant hybrids by fusion of protoplasts. Proceedings of symposium of plant tissue culture, Peking. pp. 279-283. Pitman Publishing Ltd., London. Melchers, G. and G. Labib, 1974. Somatic hybridization of plants by fusion of protoplast I. Selection of light resistant hybrids of haploid light sensitive varieties of tobacco. Mol. G e n Genet. 135:277-294. Melchers, G., M.D. Sacristan, and A.A. Holder, 1978. Somatic hybrid plants of Carlsberg Res. potato and tomato regenerated fiom fixed protoplast. Commun. 43:203-218.
Menczel, L. and K. Wolfe. 1984. High frequency of fusion induce fieely suspended protoplast mixtures by polyethylene glycol and dirnetylsulfoxide at high pH. Plant Cell Rep. 3 :196-198. Menke, U., L. Schilde-Rentschler, B. Ruoss, C. Zanke, V. Hemleben, H. Ninnemann. 1996. Somatic hybrids between the cultivated potato Solanurn tuberosum L. and 1 EBN wild species Solanum pinnutisecturn Dun.: morfological and molecular characterization. Theor. Appl. Genet. 92:617626. Millam, S., L.A. Payne and G.R Mackay. 1995. The integration of protoplast firsion-derived material into a potato breeding programme: a review of progress and problems. Euphytica 85:45 1-455. Miller, R.A., O.L. Gamborg, W.A. Keller, K.N. Kao. 1971. Fusion and division of nuclei in multinucleated soybean protoplasts. Can. J. Genet. Cytol. 13:347353. Mollers, C. 1990. Protoplastenfusion als praxisgerechte mothode fbr die Kombinati-onszuchtung bei der kartoffel. Disertation. Universitat Hohenheim. Germany. Mollers, C., S. Z h g , and G. Wenzel. 1992. The influence of silver thiosulfate on potato protoplast culture. P h t Breeding 108:12- 18. Motoyoshi, F. 1972. Protoplast isolation fiom callus cell o f maize endosperm. Exp. Cell Res. 68:452-456, Murashige, T and F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassay with tobacco tissue culture. Physiol. Plant. 15:473-497. Nagata, T. and I. Takebe. 1971. Plating of isolated tobacco mesophyl protoplasts on agar medium Planta 99~12-20. Nagata, T., H. Eibb., G. Melchers. 1979. Fusion of plant protoplast induced by a positively charged synthetic phospholipide. Z. Naturforsch. 34B:460-462. Nagata, T.1978. A novel cell-fusion method of protoplast by polyvinyl alcohol. Naturwissenschaften 65363-264. Nagy, F., I. Torok and P. Maliga. 1981. Extensive rearrangements in the mitochondria1 DNA in somatic hybrids of Nicotiana tabacum and N. Knightiana. Mol Gen. Genet. 183:437-439.
Nyman, M. And S. Waara. 1997. Characterization of somatic hybrids between Solanurn fuberosurn and its fiost-tolerant relative SoCanum commersonii. Theor. Appl. Genet. 95: 1127-1 132.
Oberwalder, B., B. Rous, L. Schilde-Rentschler, V. Hemleben, and H. N i e m a n n . 1997. Asymetric fusion between wild and cultivated species of potato (Solanum spp.): detection of asyrnetric hybrids and genome elimination. Theor. Appl. Genet. 94: 1104- 11 12. Otsuki, Y . and I. Takebe. 1969. Isolation of intact mesophyll cell and their protoplasts fi-om higher plants. Plant Cell Physiol. 10:917-921. Potrykus, I. 1973. Transplantation of chloroplast into protoplast of petunia. Zpflanzenphysiol. 70:364-366. Power, J.B., S.E. Curnrnins and E.C. Cocking. 1970. Fusion of isolated plant protoplasts. Nature 255:1016-1018. Priyanto, B. 1996. Studi k s i protoplas Solanum khasianum Clarke dengan Solanum mammosum L. Disertasi Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Quertier, F and F. Vedel, 1977. Heterogeneous population of mitochondria1 DNA moleculles in higher plants. Nature 268:365-368. Ramulu, K.S., P. Dijkhuis, E. Rutgers, J. Blaas, F.A. Krens, W.H.J. Verbeek, C.M. Colijn-Hooyrnans and H.A. Verhoeven. 1996. Intergeneric transfer of a partial genome and direct production of monosomic addition plants by microprotoplast fusion. Theor. Appl. Genet. 92:3 16-325. Rasmussen, J.O., J.P Nepper, O.S. Rasmussen. 1996. Analysis of somatic hybrids between two sterile dihapbid Solanurn tuberosum L. breeding line. Restoration of fertility and complementation of G-pallida Pa2 and Pa3 resistance. Theor. Appl. Genet. 92:403-410. Ross, H. 1986. Potato breeding: problem and perspective. Adv. Plant Breeding 13:1132.
Saxena, P.K, R. Gill, and S.C. Maheswari, 1981. Plantlet formation &om isolated protoplast of Solanum melongena L. Protoplasma 106:355-359. Schenk, R.U. and A.C. Hildebrandt, 1969. Production of protoplast fiom plant cells in liquid culture using purified commercial cellulase. Crop Sci. 9:629-63 1. Schieder, 0. 1975. Selection of a somatic hybrid between auxotrophic mutants of Sphaerocarpos donnellii using the method of protoplast fusion. Z. Pfianzenphysiol. 74(4): 357-365. Serraf, I. 1991. Evaluation des Combinations Genomiques Obtenues par Hybridation Somatique entre la Pomme de Terre (Solanurn tuberosum L.) et des Solanacees de Plus ou Moins Grandes Affiites Phylogenetiques. These. Universite de Paris-Sud, Centre d'Orsay, France.
Serraf, I., D. Sihachakr, G. Ducreux, S. Brown, M. Allot, N. Barghi and L. Rossignol. 1991. Interspecific somatic hybridization in potato by protoplast electrofusion. Plant Sci. 76: 115-126. Serraf, I., D. Sihachakr, N.T.L. Chi, C . Herbreteau, L. Rossignol, and G. Ducreux. 1988. High rate of plant regeneration fiom cultured protoplasts of two medicinal plants: Solanum khasianum ait . and Solanum khasianum C.B. Clarke. J . Plant Physiol. 133:498-501. Shepard J.F., D. Bidney, T.L. Barsby abd R J . Kemble. 1983. Genetic transfer in plants through interspecific protoplast fusion Science 2 19:683-686. Shepard, J.F. 1980. Abscisic acid-enhanced shoot initiation in protoplast-derived calli of potato. Plant Sci. Lett. 26:127-132. Shepard, J.F. 1982. Cultivar dependent cultural refinement in potato protoplast regeneration. Plant Sci. Lett. 26: 127-132. Shepard, J.F. and R.E. Totten. 1977. Mesophyll cell protopkst of potato. Physiol. 60:313-316. Shepard, J.F., D. Bidney and E. Shahin. 1980. improvement. Science 208: 17-24.
Plant
Potato protoplast in crop
Sihachakr, D., R. Haicour, I. Serraf, E. Barrientos, C. Herbreteau, G. Ducreux, L. Rossignol, and V. Souvannavong. 1988. Electrofkion for production of somatic hybrid plants of Solanum rnelongena L. and Solanum khasianum C.B. Clark. Plant Sci. 57:215-223. Sihachakr, D., R. Haicour, M.H. Chaput, E. Barrientos, G. Ducreux, L. Rossignol. 1989. Somatic hybrid plants produced by electrofusion between Solanum melongena L. and Solanum torvum Sw. Theor. Appl. Genet. 77: 1-6. Smith, H. 1977. Molecular Biology of Plant Cells. Blackwell scientific publication, Oxford. Smith, H.H., K.N. Kao and N.C. Combatti. 1976. Intraspecific hybridization by protoplast fusion in Nicotiana. J. Hered. 67: 123- 128 Takabe, I., G. Labib and G. Melchers, 1971. Regeneration of whole plants &om isolated mesophyll protoplast of tobacco. Naturwissenschaften 58:3 18-320. Tan, M.M.C. 1987. Somatic hybridization and cybridisation in some Solanaceae. Academisch Proefichrift. Vrije Universiteit te Amsterdam. Tan, M.M.C., E.M. Regeneration Esculentum): regeneration.
Rietveld, G.A.M. Van Merrewijk, and Ad. J. Kool. 1987. of leaf mesophyll protoplasts of tomato cultivars (L. factors important for efficient protoplast culture and plant Plant Cell Rep. 6: 172-175.
Tavazza, R and G. Ancora, 1986. Plant regeneration &om mesophyll protoplasts in commercial potato cultivars (Primura, Kennebec, Spunta, Desiree). Plant Cell Rep. 5:243-346. Tempelaar, M.J. and M.G.K. Jones, 1985. Fusion characteristics of plant protoplasts in electric field. Planta 165:205-216. Thach, N.Q., U. Frei, and G. Wenzel. 1993. Somatic fusion for combining virus resistences in Solanurn tuberosum L. Theor. Appl. Genet. 85:853-867.
Thomas, E. 1981. Plant regeneration fiom shoot culture-derived protoplasts of tetraploid potato (Solanurn tuberosum cv. Maris Bard). Plant Sci. Lett. 23381-88. Thompson, H.C. and W.C. Kelly. 1957. Vegetable Crops. York.
McGraw Hill. New
Upadya, M.D. 1975. Isolation and culture of mesophyll protoplast of potato (Solanum fuberosurn). Potato Res. 18:438-445. Vasil, V and I.K. Vasil 1973. Growth and cell division in isolated protoplasts in microchembers. pp.139-149. &: Protoplasts et Fusion Cellules Somatiques Vegetales. Colloq. Intern. Centre Nat. Rech. Sci. Paris. Waara S., A. Wallin ana T. Eriksson. 1991. Production and analysis of intraspecific somatic hybrids of potato (Solanurn tuberosum L.). Plant Sci. 75: 107-115. Ward, B.L., R.S. Anderson and A.J. Bendich, 1981. The mitochondria1 genome is large and variable in a family of plant (Cucurbifaceae). Cell 25:793-803. Wattimena, 1993. Studi pemuliaan tanaman kentang. Laporan Penelitian Riset Uggulan Terpadu (RUT) 1. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Wattimena, 1994. Merakit kultivar kentang toleran terhadap penyakit degenerasi (PVX, PVY, PLRV), penyakit layu bakteri dan penyakit hawar daun melalui ekstraksi transformasi dan fisi. Laporan Hibah Tim. Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Jakarta. Wenzel G., 0.Schieder, T. Przewomy, S.K. Sopory and G. Melchers. 1979. Comparison of single cell culture derived Solanum tuberosum L. plants and model for their application in breeding programs. Theor. Appl. Genet. 55:4955 Wenzel, G. 1980. Protoplast techniques incorporated into applied breeding program. In: L. Ferenczy L and G.L. Farkas, (eds.). Advances in Protoplas Research. Pergamon Press. Oxford, pp 327-340. Wenzel, G. 1994. Tissue culture. &: J.E. Bradshaw and G.R Mackay (eds.). Potato Genetic. CAB International.
White, D.W.R and I.K. Vasil, 1979. Use of amino acid analogue-resistant cell line for selection of Nicotiunu sylvestris somatic cell hybrids. Theor. Appl. Genet. 55:107-112. Withers, I and E.C. Cocking, 1972. Fine structural studies on spontaneous and induced fusion of higher plant protoplast. J. Cell Sci. 11:59-75. Zimrnermann, U and P. Scheurich. 1981. High frequency fusion of plant protoplast by electric field. Planta. 15 1:26-32. Zimmermann, U. 1982. Electric field mediated fusion and related electrical phenomena. Biochem. Biophys. Acta. 694:227-340. Zimmermann, U., G. Pilwat, and F. Riemann. 1974. Dielectric breakdown of cell membranes pp.146-153. In.- U. Zimrnermann and J. Dainty, (eds.). Membrane Transport in Plants. Springer Verlag, Berlin.