TLNJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Kentang Kentang merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak atau
herbaciow. Batang tanaman cukup tebal berbentuk bulat sampai persegi , berwarna hijau dan keunguan bila mengandung antosianin dengan susunan utama terdiri atas
stolon, umbi, batang, daun, bunga dan biji, serta akar. Stolon merupakan tunas lateral yang twnbuh dari ketiak daun dibawah permukaan tanah (Rukmana, 1997). Daun kentang adaiah daun rnajemuk yang menyirip ganjil dengan anak dam
primer tersusun diantara anak daun sekunder. Bentuk daun prime^ hulat sampai lonjong, susunannya diakhiri dengan anak daun tunggal pada ujung tangkai. Wama
daun hrjau atau hjau keputih-putihan. Posisi tangkai daun terhadap batang tanaman membentuk sudut kurang dari 45 derajat atau lebih. Pada dasar tangkai daun terdapat tunas ketiak yang dapat berkembang menjadi cabang sekunder (Rukmana, 1 997).
Bunga tanaman kentang merupkm bunga hermapradit, setiap bunga rnempunyai lima benang sari yang mengelilinp sebuah putik. Putik tanaman kentang
lebih cepat rnasak dibanding tepungsarinya (protogeni), sehingga terjadi penyerbukan silang. Bunga tersusun dalam karangan bunga dan tumbuh pada ujung batang dan tiap
karangan memilib 7 - 15 kuntum bunga. Mahkota bunga berwarna putih, merah atau biru (Thompson clan Kelly, 1957).
Buah kentang be-
hijau tua s a m p keunguan, berbentuk bulat ($ 2.5
cm) dan berongga dua Buah mengandung sekitar 500 bakal biji, tetapi yang dapat
berkembang menjadi biji hanya berkisar 10 - 300 biji. Biji berwama krem, krukuran
kecil (4 0.5 mm) clan rnempunyai masa domansi lebih kurang 6 bulan (Rukrnana, 1997).
Dalam sisternatika tumbuhan, tanaman kentang termasuk dalam Kingdom Plantae, Divisio Spermatophyta, Sub Divisio Angosperrnae, Kelas Dicotyledonae,
Ordo Solanales,
Famili Solanaceae, Genus Sulunurn
tuberosurn L (Rukrnana, 1997).
dan
Spesies Solanurn
Introduksi tanaman kentang di Indonesia dilakukan oleh Belanda pada bhun 1794 yang mulai ditanam didaerah Cisarua, Cimahi, kemudian menyebar ke daerah
lain seperti Lembang, Pangalengan, Wonosobo, Curug, Brastagi dm Tomohon (Wattimena, 1994).
Soianum ruberosum terdiri dari dua subspecies, yaitu subsp. andigena
dan
subsp ruberosum. Keduanya mempunyai jurnlah kromosom 2n = 4x = 48. Perbedaan dari kedua subspecies ini addah pada komponen sitoplasrniknya. Kemungkman S. tuherosum subsp. t uberosum mendapatkan komponen sitoplasmiknya dari S. chacoense
(Grun, 1990). Solanum catherosum subsp, andigena berasal dari
persilangan S. stenotomum (2n = 2X) dengan S. , ~ p ~ r . ~ i p i I(2n u m= 2x) yang diikuti
dengan proses penggandaan kromosom. Kentang yang
sekarang urnum
dibudidayakan disel uruh dunia adalah kentang tetrapl oid (2n=4x=48) yang berasal
dari Peru dan Bolivia dan dikenal dengan tuherosum dan tuhermum barn. Demikian juga hibrida antara kedua spesies tersebut atau hibrida dengan spesies lain, misdnya
dari species liar. Genus Solanurn mempunyai sekitar 2000 species dan 160
diantaranya benunbi (Hawkes, 1994). Kondisi lingkungan dan iklim mempengaruhl perturnbuhan tanaman
kentang dan tingkat produksi wnbi. Tanaman kentang umumnya tumbuh baik di daerah dataran tinggi dengan ketinggian 500
-
3000 m dari permukaan lad (dpl).
Selama pertumbuhan diperlukan curah hujan rata-rata 1000 mm atau sekitar 200
-
300 m m setiap bulan. Au yang berlebihan dapat menyebabkan umbi busuk,
sedangkan pada konhsi kering dapat terbentuk umbi abnormal. Suhu rendah 1 5
-
20
"C, cukup sinar matahari dan kelembaban udara tinggi 80 - 90 O h sangat baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan bunga. Sebaliknya suhu tinggi, keadaan berawan
dan kelembaban yang rendah mmghambat perhrmbuhan dan perkembangan umbi
serta bunga. Pembentukan umbi kentang mernerlukan suhu udara rnaupun suhu tanah yang dingin berkisar antara 1 0 - 20 "C. Jika selama pembentukm umbi suhu udara
berada dibawah atau diatas kisam tersebut, dengan suhu kritis 30 OC,maka produksi
umbi akan rendah. Suhu malam yang dingn serta perbedaan suhu siang dan malam yang besar sangat membantu pengisisan umbi kentang (Wattimena, 1994).
Penyakit Layu Bakteri pada Tanaman Kentang Penyalut layu sampai saat ini masih m e r u m kendala utama Warn
pertanian & Indonesia, terutama untuk fmili Solanaceae. Penyakit l a p dapat
disebabkan oleh bakteri dm jarnur patogen. Layu yang disebabkan oleh bakteri R solunaceartrm mirip dengan layu yang disebabkan kekurangan air atau patogen-
patogen lainnya seperti Fmarium dan Verticillim Penyebab layu dapt diketahui dengan cara merendam potongan batang atau umbi tanaman sskit dalarn air jernih.
Jika penyebab layu adalah e r i maka dalam beberapa menit ptongan batang tersebut akan rnengeluarkan cairan putih kenrh yang merupakan eksudat bakteri, ha1
ini yang membedakannya dari Fwurium (Semangun, 1989).
Penyebab penyakit layu bakteri pertama kali dilaporkan oleh Smith pada tahun 1896. Patogen penyebabnya dinarnakan Bacterium solanuceanmt kemudian diganti namanya menjah Phytomonas solanacearum, P,vewlomonas ,~olanaceurum, Rukhoderia solanacearum (Kelman et al-, 1 994). Termasuk dalam Ordo
Pseudomonadales, Fam il i Pseudornonadaceae dan Genus Pseudo~nonas (Hooker, 1981). Sekarang patogen tersebut dikenal dengan narna Rdstonia solanacearum
(Yabuuch ef n l , 1995). Penyakit layu bakteri merupakan penyakit utama pada tanaman kentang, tomat, terung, la&, jahe, cabe,kacang tanah, pisang dm tembakau
baik d~daerah tropis maupun sub tropis.
Iherr h Sebaran Patogen Daerah sebaran penyakit layu bakteri sangat luas dan mmbatasi perhrmbuhan kentang di Asia, Afnka, Amerika Selatan dan Tengah, yang mengakibatkan kerugian
hebat di daerah tropis maupun sub tropis. Dalam beberap kasus, penyakit ini j u g ditemukan didaerah beriklim dingin, seperb di damah tropis yang relatif tinggi atau
daerah bergaris lintang yang lebih tinggi (Martin dan French, 1 996). S e b a n besar
inang d m R. solanuceurum termasuk dalam famili Solanaceae, Musaceae, Asteraceae
dan Fabaceae (Kelman, 1953; French, 1996). Pada tahun 1994 dilaporkan bahwa inang dari patogen ini telah mencapai 50 famili tanaman, baik spesies budidaya maupun spesies liar. Sedangkan tanrunan yang sangat rentan terhadap penyakit ini adalah kentang, tomat, tembakau, terong, cabai, paprika dan kacang tanah (Hayward, 1990). Sumber utama penularan penyakit layu bakteri di lapangan adalah melalui umbi bibit yang terinfeksi, termas.uk umbi yang terinfeksi secara laten, serta tanah yang terinfeksi. Perpindahan umbi bibit yang terinfeksi yang dipanen di daerah yang
relatif panas ke lokasi yang lebih dingin terrnasuk dataran tinggi di daerah tropis juga merupakan salah satu sebab tejadmya infeksi secara laten pada umbi yang di prduksi ol eh tanaman yang kelihatannya sehat di lapangan (French, 1 994).
Di Indonesia, penyakit layu bakteri dijumpai di seluruh daerah sentra produksi kentang di pulau Jawa. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian tanaman kentang 1&30 % bahkan kadang-kadang menurunkan hasil produksi kentang sampai 80 %
(Wattimena, 1994). Ciri-ciri R solQmcearirutr
Bakteri R solanacearum W n t u k batang dan berujung bulat, gram negatif,
aerobik, tidak membentuk spra, tidak berkapsul, dan sering bersifat tidak motil (Kelman, 1953; Martin dan French, 1996). Berukuran 0.5 - 1.0 x 1.5 - 4.0 pm (Hildebrand et al., 1988). Ukuran ini tergantung dari kondisi pertumbuhan dari
bakteri tersebut. Isolat yang virulen umumnya ti&
berflagela dan tidak dapat
bergerak, sedangkan yang tidak v i d e n mengandung 1 - 4 flagela, &pat bergerak
dan ti&
membentuk spora istirahat ( K e h q 1953).
R. solunacemrn mempunyai pertumbuhan optimum pa& kisaran suhu antara 25 sampai 35 "C clan tidak dapat tumbuh pada suhu 40 "C. Patogen ini
memperlihatkan tolemsi yang rendah terhadap NaCI . lsolat bakteri tidak dapat tumbuh pada media yang mengandung 2 % NaCl dan terhambat perturnbuhannya pa& medium yang mengandung 0.5 - 1.5 % NaCl (Mehan et al., 1 994).
Bentuk koloni bakteri bervariasi dan tidak tembus cahaya sampai bintik-
bintik kecil atau intermediet. Strain virulen sering dapt d i k e d i dengan bentuk
koloni yang berlendir atau fluidal yang kemudian berubah menjadi tidak virulen dengan bentuk koloni kecil-kecil atau bintik-bintik. Perbedaan bentuk koloni dm derajat virulensinya dihubungkan dengan produksi cairan yang mengmdung
polisakarida.
Klasifikasi R solanacearum dibedakan &lam dua sistem, yaitu sistern ras dan sistem biovar. Ras dan biovar ini merupkan pengelompokan informal pada tingkat
inm sub-species d m bukm dikembangkan melalui pengkodean nomenklatur bakteri . Pengelompokan dalam sistem ras didasarkan pa&
herah asal hang dan kisaran
inangnya, morfologi koloni, tramrnisi oleh insekta dm adaptasi suhu serta hubungan patogenitas dengan inang. Sedangkan si stem bi ovar didasarkan p d a perkdaan sifat
biokimia, serologi dan si fat-sifat lainnya pada media biakan, yaitu kemampuan
bakteri menggunakan atau menghidrolisi s tiga senyawa disakarida (selubiosa, laktosa
dan maltosa) dan tiga alkohol heksosa (manitol, sorbitol dan dubitol). Berdasarkan sistem ras, saat ini isolat R solanaceurum hbedakan menjadi 5 ras, yaitu : ras 1 mempunyai kisluan inang yang sangat luas di daerah tropis dan sub
tropis, menyerang famili Solanaceae (Solunaceaestrum), Leguminosae, dan beberapa species gulma. %ring terjadi di areal panas clan dataran rendah di daerah tropik.
Anggotanya termasuk biovar 1 , 3 dan 4. Ras 2 menyerang pisang, Heliconia ssp., dan
famili Musac-
lainnya (Musaceae strain), dengan kisaran inang di daerah tropik
Amerika dm Asia. Ras 3 menyerang kentang (Potato strain) dan tomat dengan kisaran inang urnumnya dt daerah d a m t i n e tropik
dan beranggota biovar 2. Ras
4 terutama menyerang tanaman jahe (Ginger struin), dengan kisaran inang terutama di Filipina dan b e m g g ~ t d mbiovar 3 dan 4. Isolat dengan virulensi yang tinggi umumnya hanya diperoleh dari tanaman jahe yang sakit. Ras 5 menyerang tanaman murbei (Mulberry strain) di Cina dan anggotanya biovar 5 (Hayward, 1986; Martin
and French, 1996).
Isolat R solanacearum dibedakan menjadi 5 biovar berdasarkan reaksi
biokimianya (tabel 1). H a m (1991) melaporkan bahwa biovar 1 dominan ditemukan di Arnerika Serikat, sedangkan biovar 3 banyak dijumpai di Asia. Biovar 2, 3, dan 4 umumnya ditemukan di Australia, Cina (&lam ras 51, India, Indonesia,
Papua New Genea dan Srilangka. Biovar 1 s a m p 4 secara lengkap hanya ditemukan & Filipina dan biovar 5 hanya terdapat pada tanaman Murbei di Cina.
Tabel 1. Pengelompokan isolat R. soIanucearum dalam biovar berdasarkan kem-mp-Ya menggunakan senyawa karbohidrat (He et ol., 1983) w w 8 i m 2 karmidM 1 3 1 4 I 5 I
,
Selubiosa
I
Sorbitol Bulsitol
+
-
1
-
1
-
-
+
1
+
-
Keterangan : (+) = reaksi positif (tumbuh);
1 +
+
-
+
1 -t
-
1
-
(-1 = reaksi negatif (tidak tumbuh)
Hubungan antara ras dan biovar belum banyak diketahui, namun ras 3
dinyatakan identik dengan biovar 2. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Machmud, Hifni dan Hayward ( I 987) diketahui bahwa R solanacearum yang ditemukan di
Indonesia adalah ras 1 dm 3, yang berdawkan sistem biovar tennasuk biovar 2, 3
dm 4. Biovar 2 (m3)diternukan pda tanman kentang di daerah dengan ketinggan 1000 m (dpl). Biovar 3 (rasl) ditemukan pada cabai, tembakau, jahe, h a n g tanah,
buncis, terong, tomtit kentang dan gulrna, sedangkarn biovar 4 (ras3) btemukan pada kentsng di Malang (Jawa Timur).
Pada media biakan padat dan disimpm &lam jangka waktu yang lama, R solanacearum cenderung rnembentuk koloni ti&
virulen atau tingkat vimlensinya
rendah. DaIam media SPA (Sucrose Peptone Agar) koloni berwarna putih keruh,
tidak b e r a m , halus, bercahaya, kebasd-bas& yang virulen dan tidak virulen &pat di-n
dan berdiameter 3-5 mm. Koloni
dengan menumbuhkan isolat bakteri
pada medurn yang mengandung 2,3,5 -triphenyl tetrazolium chloride (media TZC ). Koloni yang virulen berwarna putih dengan pusat berwarna merah muda dan
berbentuk bulat tak beraturan, sedangkan yang tidak virulen koloninya berbentuk bulat kecil dan berwama rnerah tua. Pada media cair bakteri yang virulen biasanya non motil, s e h g k a n yang a h f bergerak biasanya adalah bakteri yang tidak virulen (Kelman, 1953; Hooker, 1 990). Gejala Penyakit
Gejala penyakit layu yang disebabkan R salanuceurum d a p t terlihat pada setiap fase perhmbuhan tanaman kentang, baik pada bagian tanaman di atas maupun
di bawah tanah. Gejala khas di atas permukaan tanah ditandai dengan tejadinya
kelayuan pada pucuk, rontok, tanaman kerdil dan daun rnenguning. Kadangkala
kelayuan kurang berkembang, akan tetapi tejadi pengerdilan pada tanaman muda, terutama pada varietas-varietas yang rentan (Kelman, 1953; Martin dan French, 1996).
Pada tanaman kentang gejala penyakit pertama kali biasanya terlihat pada
tanaman yang befufnur sekitar enam minggu. Dam-daun layu biasanya dimulai dari
dam muda dan awalnya hanya pa& satu cabang yang lam kemudian jika penyakit berkembang cept maka seluruh daun dapat layu tanpa banyak mengalami perubahan warna. hundaun b e ~ w n as
m sampai hijau pucat, akhimya benrbab menjadl
coklat tanpa ctiikuti penggulungan tepi daun. Kelayuan yang hebat disertai dengan robohnya batang lebih sering terjadi pada tanaman muda dan s M e n dari varietas-
vari etas yang rentan (Semangun, 1 989). Pada umbi kentang, gejala p y a k i t layu bakteri dibedakan antara gejala Iuar dan gejala dalarn, Gejala Iw tidak selalu terlihat pada umbi terinfeksi. Pa& kasus
infeksi berat b&ri
akan mengumpul @a mata umbi atau ujung titik stolon dan
menyebabkan tanah akan menempel di bagan tersebut atau tam@
berupa bercak-
krcak atau cekungan benvarna hitam. Pada patongan umbi a h krlihat pengotoran di lingkaran vaskuler dm jika ditekan akm rnengeluarkan eksudat putih keruh yang merupakm massa bakteri, sehingga mernpercepat umbi menjadi busuk. Tidak semua
umbi terinfeksi bakteri berasal dari tanaman layu dan juga tidak semua umbi terinfeksi dapat menunjukkan gejala atau umbi salut dapat berasal dm tanaman yang
sehat (infeksi laten). lnfeksi laten dapat di deteksi dengan cara umbi di inkubasi pada
suhu 30 "C dengm kelembahan yang tinggi. Setelah 2-3 minggu gejala yang khas dapat diamati (Martin and French, 1997). Penyakit Busuk Lunak pada Tanaman Kentang Penyaht kaki hitam (black leg) pada tanaman kentang dan busuk lunak (soft
rot) pada umbi merupakan penyakit yang tersebar luas, dan merupakan pengharnbai
pertumbuhan pertanaman kentang yang penting di berbagai belahan dunia. Di Indonesia yang rnerupakan &erah tropis penyakit ini disebabkan oleh bakteri E. c. pv curotovora. Salah satu upaya menghindari k m a k a n oleh penyakit ini dilakukan
dengan ti&k menanam kentang di Man-lahan basah atau tidak melakukan pengairan y ang berlebihan. Memanen umbi pa& waktunya (setelah tua) d m tidak menempatkan
umbi hasil panen dihwah sinar matahari dapat mengurangi resi ko terserang penyakit ini. Sebaiknya umbi harus kering dulu sebelurn disimpan atau di kernas (Bradbwy,
1986; Lelliot, 1 987). Daerah Sebaran Patogen
Daerah sebaran penyakit ini cukup Iuas terutamst daerah beriklim hangat yaitu E.
c.
ssp curr~fovora.Sedangkan di daerah benklim sejuk (dingin) biasanya di
dominasi oleh E.
c.
ssp atroseptica dan di daerah panas di dominasi oleh h'.
chrysunthemi (French dan Lindo, 1979). E. c. pv carolovora dan E. ch?ysunthernr
mempunyai kisaran inang yang luas termasuk famili Solanaceae,sedangkan E. c. pv atrosepticu mernpunyai hang yang spesifik yaitu tanaman kentang.
Berbagai faktor yang mendorong berkembangnya penyakit bus& lunak telah
banyak diidentifikasi, namun bagaimam mekanisme serangan penyakit ini masih belum banyak dikehbui (Peromklon, 1 979). Pada d a e d ternperate, dirnansl hanya
terkontaminasi oleh patogen ini . Penyebaran penyalut busuk lunak seringkali terjadi melalui penggunaan bibit urnbi yang telah terkontaminasi oleh patogen ini. Pertumbuhan tanaman yang b e r d dan bibit yang terinfeksi oleh penyakit (busuk
kering, layu, late blight, dll) atau kenrsakan secara fisiolog sering rnembuat level
busuk Iunak b e d diatas rata-rata. Dari beberapa penelitian juga dilaporkan adanya hubungan antara blackleg dan rendahnya level keseburan tanah (Semangun, 1989). Ciri-ciri E. c. pv carotovora. Bakteri E. c. pv carofovora merupakan bakteri pektolitik, berbentuk batang,
berukuran 0.5 - 3 pin, bentuk tunggal, berpasangan atau d a m keaderan tertentu dapat membentuk rantai dan merupdan organisme prohotik yang tidak mempunyai klorofil. Termasuk gram negatif, sebagian besar bersifat saprofit
fakultatif, anaembik, tidak membentuk s p a , tidak berkapsul, bergerak menggunakan flagel yang terdapat disekeliling batang dan mampu memproduksi
enzim pektinase dalarn jumlah ksar. E. c pv carotovora merupakan bakteri tular
tanah yang &pat menyerang apa saja dari bagan tanaman. Sebagan besar strain tidak marnpu mernpraduksi polisakarida ekstra seluler daiam jumlah besar pada
media yang kaya gula (French and Lindo, 1979).
Ddam media biakan mumi, E. c pv carotavara berbentuk bulat dengan pin-r
tidak rata, berwarna kekuningan (krem), cembung dm agak encer. Untuk
r n e m b d a h kaloni yang virulerr dm ti&
vinzlen dapat dilakukan dengan
rnenumbuhkan isol at bakteri pada medi urn yang mengindung 2,3,5 -tnphenyl tetrazolium chloride. KoIoni yaag vinden berwarna krem dengan pusat
berwama
rnerah muda sedangkan yang tidak virulen koloninya berbentuk bulat kecil dan berwarna merah tua. Envinia berdasarkan taxonomi dikelompkkan menjadi 2 species yaitu E. ~ktysunthem~ dan E. carotovoru. E. curobovoru dibag menjah dua patovar yaitu E.c.
pv carotovora dan E.c. pv atroseptico. Selanjutnya species tersebut d i k e d dengan
strain Carotovoru, strain Atrosepfrca clan strain C,'iysantherni(Bradbury, 1986).
Klasifikasi utama Ewinia yang meyebabkan penyakit pada kentang oleh
Graham (1979) yang didasarkan pada h i 1 uji terhadap kemampuan Envinia untuk tumbuh pada senyawa biokimia yang diujikan, dikelompokan menjah tiga seperti
Tabel 2. Karakteristi k m a E m inza penyebab penyakit busuk lunak (so8r ~dan) Kaki hitam (black leg) pada tanaman berdasarkan kemampuan untuk turnbuh pada senyawa kimia (Graham, 1979)
1 a-methyl glucosida i
-
I Platinosa
-
I
I I
+ +
I
I
-
+
I I
Trehalose + Reduksi sucrosa + atau + Indole + Lektinase Phophatase + Pertumbuhan pd 5% + + NaCl Ketemgan : (+) = reaksi positif (tumbuh); I-) = reaksi negatif (tidak twnbuh)
I
Suhu optimum untuk pertumbuhan E. c pv atroseprica addah 27 - 27,l "C,
17.c pv carotovora berkisar antara 28 sampai 30,5 "C dan E. crysunthemi 34 sampai 36 OC. Dan tidak dapat tumbuh atau sangai terhambat perkembangannya d i m suhu 41
OC
serta dibawah 15 ' C (Singh, 1973).
Gejala Penyakit Penyakit kaki hitarn dm busuk lunak &pat terjadr pada setiap fase perhmbuhan tanarnan dan akan menyebar ke pucuk, terutama bila kelembaban
udaranya tinggi. Infeksi Erwinia pada tanaman menyebabkan pembusukan pads jaringan parenkim. Gejala penyakit dicirikan dengan busuk lunak pa& hapan dasar
dari batang dan selalu krhubungan dengan kerusakan dari umbi bibit. Penyakit kaki
hitam dan busuk luinak terjadi secara sporadis pa& umbi sehingga membusuk atau
sebaliknya hitam. Luka berlendir seringkdi menyebabkan batang menjadi kunak
secara cepat karena umbi bibit yang membusuk.Infeksi pada tunas muda atau stolon yang lanjut biasanya menyebabkan kematian pada tatlaman.Busuk pa& ujung stolon terjad pada umbi-urnbi mu&. Tanaman muda umumnya kerdil dan tegak. Dam-dam menguning clan menggulung ke atas, seringkali diikuti dengan l a p dm matinya
tanaman. Ketika tunas yang lebih tua terinfeksi, pada awal perkernbangan penyakit
daun rnenjadi tegak dan pada daun yang lebih mudanya menggulung kedalam seperti gejala yang disebabkan leafroll virus. Bedanya, pada busuk lunak hanya keberapa
dam yang menggulung sedangkan leaftoll virus menyebabkan seluruh daun menggulung (French dan Lindo, 1979).
Pada cuaca kering pucuk yang terinfeksi rnenjadi kering dan mati, kemudian gugur, biasanya pada pangkal batang berwama coklat tua atau hitam. Gejala kaki
hitam dan busuk lunak dapat krkembsng di setiap masa pertumbuhan tanaman dan
serangan di distribusikan secara acak (Semangun, 1989). Dalam penyirnpanan, Erwinia menyebabkan kerusakan pa& umbi dengan terjadinya busuk lunak. Bakteri busuk lunak menpnfeksi lentisel rnelalui permukaan
umbi yang basah, menyebabkan permukaan tersebut tertekan (terdepresi) secara sirkuler (melingkar). Umbi busuk menyebar dengin cepat pada saat pengangkutan atau penytmpanan d~ gudang. Di Iapangan atau digudang bus&
lunak sering dipicu
oleh kemakan mekanik atau kerusakan oleh serangan hama dan penyakit lainnya
pada umbi. Jaringan yang terinfeksi menjah basah, berwarna krem kehitam-hiiaman dan lunak, sehingga mudah dibedakan dari jaringan yang sehat (CIP dm Balitsa,
I 999). ktahansn Tsnaman Kentang terhadap Penyakit
Tanaman akan memberikan reaksi tertentu terhadap faktor luar, termasuk infeksi oleh patogen. Betat ringannya infeksi tergantung pada ketahanan tanaman itu
sendiri ,vidensi patogen serta faktor lingkungan (Agnos, 1 988).
Gen virulensi patogen dan gen kerentmm pa& umumnya bersifat spesifik
untuk satu atau beberap species tanaman yang masih berhubungan secara taxonomi. Spesifitas gen vindensi dm gen kerentanan dapat menerangkan mengapa suatu gen patogen virulen pda satu species tanaman dm tidak pa& species tanaman lain atau sebaliknya mengapa suatu species tanaman rentan terhadap patogen tertentu tapi
tahan terhadap patogen yang lainnya. Ketahanan suatu tanaman terhadap patogen dapat dibedakm menjadi ketahanan horizontal dm ketahanan veriikal. Ketahanan horiwntal di kontrol oleh banyak gen sehingga disebut ketahanan poligenik atau rnultigenik. e n - g e n yang
k p a n dalam ketahanan horimntscl mernberi pengaruh d q g n cam mengontrol tahaptahap fisiologrs tanaman yang menyebabkan terjadkya mekanisme pertahanan. Ketahanan horizontal tidak melindungi tanaman dm infeksi, tetapi menghambat perkembangan patogen sehmgga penyebaran penyakit j uga terhambat dan ini akan r n e m p e n m epidemi penyakit di1apanga.n (Semangun, 199 I ).
Ketahanan vertikal dikontrol oleh satu atau beberap gen sehingga disebut j uga ketahamn monogenik atau oligogenik. Gen monogenik mengontrol sebagian
besar tahaptahap dalm interaksi inang dm patogen, sehingga besar peranannya dalm ekspresi ketahmm. Oleh karena itu terdapat tanaman yang sangat tahan terhadap satu atau bekrapa ras patogen namun rentan terhadap ras lainnya dari patogen yang sama. Interaksi inang-patogen yang tidak cocok menyebabkan patogen
tidak dapat bertahan dan memperbanyak diri dalam tanaman inang. Ketahanan vertikaI meqbambat epidemi dengan cara membatasi inokulwn (Agnos, 1988).
Pemuliaan tanaman kentang terhadap penyakit layu b&eri di Indonesia telah
dimulai sejak tahun 1975, dengan rnemperkenalkan sebanyak 25 klon kentang yang berasal dari persilangan S. phureja dun S tubero.~um,yang memberikan tingkat
ketahanan yang k a r i a s i . Untuk rnendapatkan tanaman kentang yang benar-benar tahan terhadap R. solanacearum bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, sehingga sampai saat ini di Indonesia belum dijirmgsi klon kentang yang mempunyai
ketahanan yang tinggi terhadap penyakit layu bakteri tersebut (Sahat dan Sulaiman, 1990).
Sahat (1985) menyimpulkan bahwa sifkt ketahmm tanaman terhadap layu bakteri dikontrol oleh tiga gen dominan. Sedangkan Hooker ( 1990) rnengatakan bahwa setidaknya terdapst tiga gen dominan dan gen bebas yang mengontrol sifat
ketahanan kentang terhadap penyakit l a p bakteri. Pada tanaman kacang tanah ketahanan terhadap penyakit layu bakteri bersifat dominan dan dikendalikan oleh tiga pasang gen mayor dan tingkat ketahanan populasi hibridnya lebih besar jika
dibandingkan dengan rata-rata tetuaaya. Rowe (1 970) mengemukakan bahwa sumber Iretahanan terhadap penyakit Iayu bsskteri terdapat pada s p i e s kentang liar seperh S. phzaqa, dan berkesirnpuian
bahwa sifat ketahmannya dikontrol oleh beberapw gen yang bersifat oligogenik
dominan, S. phure~atelah digunakan ddam program pemuliaan kentang s emi sumber utama gen ketahanan terhadap R. solanaceunmr (Elphinstone, 1994). Reaksi k e t a h m klon-klon hasil silangan S phweja bervariasi terhadap strain-strain R solanacearum. Hal ini menunjukkan bahwa sifat ketahanan terhadap strain tertentu
& p e n m i oleh banyak gen. Selain dari S. phureja, Schimiediche (1986)
mengatakan Mwa sumber ketahanan terdapat pula pada species S. spustprlum, S. chucoense dan S. microdontm dan sifat ketahmnya tersebut kemungkinan
dlwariskan secara poligenik oleh gen mayor. Sedangkan Iwanaga (1980) menyebutkan bahwa species liar seperti S chucoeme, S. sparspilum dm S. stenoronurn juga merupkan sumbw ketahanan terhadap penyakit layu bakteri.
Namun demikian gen yang terlibat Uarn ekspresi ketahanan tersebut s a m p saat ini belurn diketahui. Tung et al., (1 992) menyatakan bahwa kestabilan ekspresi k e t a h m pada
kondi si daerah tropis meningkat apabila gen tahatl bkombinasi dengan gen adaptasi terhadap linghangan, seperti toleransi terhadap panas. Ditmbahkan pula M w a frekwensi gen tahan terhadap strain patogen tertentu meningkat apabila sumber ketahanan berbeda berasosiasi dalam populasi.
Tingkat ketahanan yang dapat diterirna tergantung pada kepentingan produksi kentang yang dihasilkan (French, 1996). Apabila dig&
untuk konsumsi segar
maka persentase infeksi masih dapat ditoleransi, akan tetapi jika digunakan untuk produksi benih, maka persentase layu dalam jumlah kecl sekalipun tidak bisa di
tolerir (Hakim, 1999). Hal ini karena dengan beberapa bibit saja terinfeksi, maka
sudah dapat I m p a n untuk menye-
penyakit dalam areal yang lebih luas.
Seleksi ketahanan trtnaman kentang terhadap patogen secara ~n vitro rnerupakan salah satu metode yang memberikan harapan, karena mempunyai
beberap keuntungan antara hn dapat mengwangi kemuagluaan terjadinya escape yang biasa teqadi melalui inokulasi alami dilapang, hasil seleksi &pat diulang di
rumah kaca atau di lapang, dan patogen yang digunakan tetap &tas laboratoriurn. Metade seleksi
in
di
vrtro dapat menghemat biaya dan waktu pengujian
dengan hasil yang relatif m a dmgm pmmjian di lapwng karena hmya klon-lrlorr yang tahan dalam p g u j i a n in vltro saja yang dilanjutkan pengujiannya di lapang. Metode ini mudah dikerjakan dan telah dipelajari pada beberap tanman dalam program pemuliaan untuk mendapatkan sifat ketahanm terhadap penyakit Samanhudi (200 1).
Wenzel dan Forough-Wehr (1990) memperlihatkan bahwa ketahanan @a barley, gandum dan kentang dihasilkan melalui seleksi secara m vitro. Fock et ul., (2000) juga telah melakukan seleksi secara In vltro terhadap klon-klon kentang hasil
fusi protoplas antara BF15 (2x1 dengan S. phureja (2x) mtuk mendapatkan klon yang
tahan terhadap penyakit layu bakteri den- metode inokulasi memasukkan inokdum ke akar tanaman. Sedangkan Samanhud (2001) menguji tingkat ketahanan beberapa klon kentang hasil fusi protoplas antara BF15 (2x) dengan S. stenotomum dengan metode inokulasi gunting pucuk dm siram.
Regeaerasi pada Tansmaa Kentang
Regenemi tanaman mmpakan salah satu tahapan penting dalam pengembangan tehnik pemuliaan tanaman melalw kultur j aringan, seperb tmsformasi, kultur dan fusi protoplas atau induksi variasi somaklonal untuk mendapatkan tanaman baru dengan sifat-sifat tertentu. Keberhasilan regenerasi tanaman tidak hanya dipense-
oleh faktor genetik tetapi juga faktor-faktor kimiawi
media tumbuh dan faktor fisiolog seperh pH, temperatur m a n , cahaya dm
lain-lain. Menurut George dan Sherrington (1984), Pierik (1987) dm Phillips &
Hubstenberg (19951, regenerasi &pat dilakukan melalui proses organogenesis atau embriogenesis. Cara pertama rtkan diperoleh tunas atau akar sedangkm cam kedua akan dihasilkan suatu bentuk bipolar dimana tunas dan akar dalam suatu kesatuan
yang utuh. Pada umumnya penel itian regenerasi yang berhasil pada tanman kentang
adalah dengan menggunakan dua tahap media. Tahap pertama adalah induksi kalus dengan penmbahsrr! auksir! dm z m i n atau zeatin ribasida serta media tahap kadua untuk regenmi tunas dengan menggunakm sitokinin selain zeatin (DeBlock, 1988; Yadaf clan Sticklen, 1995).
Peranan media dan zat pengatclr twnbuh penting dalarn mengatur arah pertumbuhan dan perkembangan eksplan (George d m sherrington, 1984; Pierik, 1987). Penggunaan sitokinin selain zeatin clan pengmngan tahap media regenerasi akan menguntungkan, karena mengurangi biaya dan lamanya kultur beregenerasi .
Sitokinin 2 ip merupakm salah satu altematif yang sering diwbakan sebagai pengganti zeatin dalam proses regenerasi pada tanaman kentang. 2 ip mempunyai
struktur molekd yang lebih mendekati zeatin daripada sitokinin lainnya, sehingga
kemungkinan mempunyai aktivitas yang mendekati zeatin (Weaver, 1972). Di ddam perbanyakan zn vim, peranan auksin adalah merangsang pembentukm kalus, pernanjangan sel, p k s a r a n jaringan dm pembentukm aka.
Beberapa eksplan secara alamiah rnemproduksi cukup auksin. Jeais auksin indogen
adalah IAA sedangkan yang sintetik adalah 2,443, NAA, LBA dan pCPA. Menwut
Pierik ( 1 9871, NAA sebagai auksin sintetik dipergunakan pada selang 0.001 mgll sampai 10 mglI. Pengaruh sitokinin &lam perbanyakan in vitro adalah merangsang
pemklahan sel dm rnultifikasi tunas (George dan Sherrington, 1984). Sitokinin yang biasa digunakan dab BAP, kinetin, 2 ip dan zeatm. Keseimbangan ~11t.a.m auksin
dan sitokinin yang yang tambahkan pada media tumbuh akan menentukan arah perkembangan eksph (Wattirnena, 1992). Tunas akan terkntuk apabila perbandingan konsentrasi sitokinin lebih tinm dan pada auksin, sedangankan akar
akan terbentuk apabila perbandingan auksin lebih t i n a dari sitokinin. bolasi dan Kultur Protoplas
Media Tumbuh Tamman In Vr~ro Media tumbuh bag^ tanaman in vitru sangat memegang peranan penting terhsdap arah perturnbuhan dari eksplan. Media tumbuh yang sesuai akan
rnenghasilkan tanaman in vitro sesuai dengan harapan. Mesofil daun dari tanaman in vitro paling banyak digunakan sebagai sumber protoplas pada Solanuceae (Nyman
dan Waara, 1997; Jar1 et ul., 1999). Hal ini karena tingkat keseragaman tanaman m vitro lebih tinggi, dapat tersedia s&ap saat dan ti& perlu melakukan sterilisasi. Pada tanaman kentang in vitro, pengaturan cam clan intensitas penyinaran,
peningkatan konsentmi media dasar dan sukrosa, serts pemberian aerasi pada kultur dapat rnemperbailu ukuran dam dan meningkatkan produksi protoplas yang
dihasilkan (Purwito, 1999). Pertumbuhan tanaman in vitro yang kurus, banyak percabangan dengan daun yang kecil biasanya hsebabkan kurangnya sirkulasi udara sehingga tejadi akumulasi gas etilen di dalam tabung kultur (Cassells et al., 1980;
Mollers er nl., 1992). Untuk mengatasi hd tersebut &pat dilakukan dengan cara
memperbesar ukuran tabung kultur, memberikan aerasi atau dengan memaaipulasi
media hunbuh, b o k i ProtopIas Protoplas dapat diisolasi dari harnpir seluruh bagian tanaman, seperti akar
(Cocking, 19601, dam (Wenzel, 19801, nodul akar (Davey
et
al., 19731, coleoptil
(Hall dan Cocking, 1974), jaringan buah (Cocking, 1970), tajuk bunga (Potrykus, 19731, serbuk sari (Bajaj, 19771, kultur Wus (Schenk dm Hildebrandt, 1969; Gosch e6 ul., 1975), daun in vitro (Binding el aL , 1 982, Serraf er a[., 1 99 1 ).
lsolasi protoplas umumnya dilakukan secara enzimatik. Jenis dan konsentrasi enzim yang Q gmakan sangat menentukan keberhasilan dari isolasi protoplas.
Menurut Punvito (1999), sedikitnya a& 15 en*
yang dapat digunakan untuk
mengsolasi protoplas tanaman, yaitu pektin glikosidase, pektinase, selulase R 1 0,
silanase, maseroenzim, meiselase, rohamen P, selulase Onozuka RS, driselase, pektoliase Y-23, hemisellulase, selulisin, maserase dan rozim.
1sol;tsi protoplas s e w enzimatik dapt dilakukan dengan dua cara, yaitu (1 ) metode langsung dan (2) metode tidak langsung. Metode langsung dilahkan dengan cara memasukkan cacahan dam dalam petri yang berisi campuran enzim steril(0.5 %
maseroenzim + 2 % selulase onozuka R-1 0 dalam 13 % sorbitol atau manitol pada pH 5.4) kemuctian diinkubasi semalam (15-18 jam) pda suhu 25 "C (Power et al., 1970).
Setelah diinkubasi, potongan dam dig0yang agar protoplasnya terlepas kedalam
larutan, kemudian disaring dm supernatan disentifuse I00 g selarna 1 menit.
Protoplas akan mernbentuk pelet sedangkan debris pada supernatan &bung dengan
hati-hati. Proses ini diulang tiga kali, dan terakhir protoplas dicuci dengan 13 % sorbitol. Pada akhir pencucian sorbitol & g a d dengan 20 % sukrosa kemudian
disentrifbse 200 g selama 1 menit. P r o s e h ini menghasilkan protoplas yang tercuci melayang diatas lamtan. Protoplas yang berada diatas tersebut kemudian dipipet
secara hati-hati dengan pipet steril (Power et uL., 1970). Metode dua tahap adalah modifikasi dari metode Otsuh dm Takak el ai (1996). Pada tahap prtama cacahan dam dimasukkan dalam campuran enzim A
(maseroenzim 0.5 %, kalium dextran sulphate 0.3 % dalam 13 % manitol, pH 5.8) selama 5 menit dalam desikator, kemudian ditransfer &lam waterbath pada suhu 25 O C
dengan penggoyangan lamhat. Setelah 1 5 menit campuran enzi m kemudi an
dibuang perlahan dan digantikan dengan enzirn baru dengan komposisi yang sarna
dan diinkubasi dengan cara yang sama pula. Campwan enzim kemudian disaring dan
disentifuse 100 g selama 1 menit dm dicuci 3 kali dengan 13 % manitol untuk mendapatkan sel yang terisolasi. Tahap kedua adalah menginkubasi has11dari tahap 1
dengan campuran enzim B (2 % selulase, 13 % larutan manitol, pH 5.4) selama 90 menit pada suhu 30 "C. Setelah itu disentifuse lagi pada 100 g selama 1 menit, sehingga protoplas mengendap sebagai pelet. Supematan dibuang dm protoplas
dicuci 3 kali dengan manitol dan selanjutnya diisolasi dengan cara melayangkan protoplas tersebut pada 20 - 30 % lamtan sukrosa (Power ei u.,1970). Umumnya protoplas yang didapat dari metode langsung leblh banyak dari
pada metode 2 tahap, namun berisi campuran protoplas dari mesofil spongi dan mesofil palisade,Sedangkan penggrrnaan metode dua tahap hanya diisolasi protoplas
dari mesofil palisade (Bajaj, 1 977). Kultur dan Regenerasi ProtopIas
Beberapa publikasi menunjukkan bahwa keberhasilan kultur protoplas dm regenerasinya menjadi tanaman ditenmkan oleh banyak faktor seperti genotipe, jaringan yang dipergumkm, kondisi fisiologis dari jaringan, kemurnian enzim, periode clan konhsi inkubasi, media kultur serta zat pengatur tumbuh (Serraf el a/., 1991; Bradsaw dan Mackay, 1994). Protoplas yang ditanam dalam media kultur dapat meregenerasikan dinding sel disekelilingnya untuk mernbentuk sel sempurna yang &pat rnembelah diri
mernbentuk rnikro kalus. Dengan rnemanipulasi nutnsi dan kondisi fisiologis, kultur
kalus tersebut dapat terinduksi menjadi anaman (Vasil dan Vasi I, 1 973). Umumnya untuk menginduksi pembelahan, protoplas h a m ditanam dalam kernpatan tidak lebih dari 1 o4 protopladm1 (Abersheim, 1974).
Regenerasi tanaman dari protoplas merupakan tahap yang paling sulit dengan
metode yang berbeda-beda dan sering tidak dapat hulang dengan keberhasilan yang sama pada waktu yang berbeda (Evan dan Bravo, 1 983). Metode regenemi protoplas
berbeda-beda tergantung dari jaringan donor dan jenis tanamannya. Penggunaan zeatin dan IAA dilaporkan dapat meregenerasib beberapa species tanaman seperti ubi kayu, asparagus, kubis dan jeruk (Binding
ef
al., 1981; Chand et ul., 1990).
Menurut Evan dm Bravo (1 983) paling tidak 28 species protoplas telah dapat diregenemilcan menjad tanaman. Walaupun demikim regenerasi masih merupakm
masalah p d a beberapa tanaman.
Media Kultur Protoplair
Media kultur protoplas merupakan faktor sentral yang banyak diteliti, baik yang berkenaan dengan isolasi, pembentukan mikrokali dan regenerasi menjadi
tanaman (Nagata dan Takebe, 1971; Hakrlach et aL, 1985; Sihachakr et al., 1989). Meda KM8p (Kao clan Michaluk, 1975) dm media V-KM yang merupakan
kombinasi media V-47 (Binding, 1974) dan KM8p banyak digunakan sebagai media dalam percobam-percobaan kultur protoplas untuk Solanaceae (Binding dan Nehls, 1977; Kowalczyk et al., 1983; Serraf et al., 1991; Mollers et d.,1992; Thach el aJ.,
1993). Thach er a1 (1993) menggunakan media VKM, SKM clan SKMmod dengan
menambahkan 0.1 M manit01 atau 0.2 mg.1 zeatin dalarn kdtur somatik hibrid untuk menghasilkan kentang tahan virus. Shepard dan Totten (1 977) j u g telah mmgembangkan media yang terdiri dar~
media A (pernumian protoplas), media B (induksi kalus), media C dan media I3 (regenerasi tunas) serta media E (perkembangan !mas serta inisiasi a h ) . M d a ini berhasil meregenerasikan protoplas dari mesofil daun kentang kultivar Russet
Burbank. Media yang banyak dipaJrai untuk kultur protopias Solanuceae adalah KM8p (Kao dan Michaluk, 19751, VKM (Binding dan Nehls, 1977), SKM (Hunt dan
Hegelson, 1 989) dan ST (Shepard dan Totten, 1977).Beberap media lain yang clapat
dipakai wltuk kultur protoplas yaitu media Thomas (1981), DPD (Durand er al., 1973) dan VKCLG (Foulger ddn Jones, 1986).
Meskipun beberapa kdtivar dan gefibs Solarium telah dapat diregenerasikan
dari protoplas, prosedur kultur dan regenetasi pa& banyak kasus masih hams diperbaiki (Purwito, 1999). Proses pra isolasi , sumber protoplas, genotipe tanaman
dan kondisi inkubasi pasca isolasi dan saat kultur sangat berpenganrh terhadap keberhasilan kultur dan regenerasi protoplas (Ferreim dan Zelcer, 1989). Demikiam pula zat pengatur tumbuh yang d i p a h pada suatu proses akan beqmgamh pada
proses berikutnya. Sebagai contoh adalah pemberian 0.5 - 2 mgll BAP atau zeatin pada tahap penaburan protoplas mengmngi pembelahan sel S. phureja, akan tetapi adahya zat pengatur tumbuh tersebut dan tidak adanya 2,443 sangat penting dalarn
regenerasi tunas (Craig el al., 1994).