2
Membaca UUD 1945 Pasca Amandemen
4
Meninjau Kembali DPD
6
Mempertimbangkan Semi-Presidensialisme
8
Meluruskan Arah Menuju Amandemen Kelima
no.9 februari 2008
konstelasi
Analisis Dua Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Syarat-Syarat Amandemen DI alam demokrasi, politik adalah wahana yang hidup, oleh karena itu kehidupan konstitusional di dalamnya juga selalu bergerak dinamis. Konstitusi mencoba menangkap, mengikuti dan membekukan secara sementara politik yang hidup itu ke dalam rumusanrumusan barunya, untuk kemudian bertahan secara sementara, menunggu waktu yang nanti akan mengubahnya lagi. Keadaan ini merupakan status alamiah dari kehidupan politik dan konstitusional manapun. Namun begitu, keadaan alamiah ini tentu tidak boleh berlangsung secara sewenangwenang. Karena konstitusi mengatur kehidupan fundamental suatu bangsa, maka dinamika perubahan itu mesti diantisipasi, dikelola dan direncanakan supaya perubahannya benar-benar berisi hal baru yang esensial bagi bangsa itu. Dan karena bangsa selalu diorientasikan untuk waktu yang panjang, maka konstitusi suatu bangsa juga dimaksudkan untuk bertahan dan berlaku dalam waktu yang juga panjang. Di titik ini penyusunan konstitusi selalu mensyaratkan visi jangka panjang dan tetapantetapan yang komprehensif bahkan universal. Ia tidak dibentuk secara ad hoc dan “gampangan”. Ia tidak
boleh bersifat instan sehingga bisa digoyang berdasarkan kepentingan-kepentingan remeh. Dengan cara pandang semacam ini, maka setiap kali membicarakan amandemen maka kita perlu mempertimbangkan setidaknya tiga hal. Pertama, substansi apa yang mau ditambahkan di dalam konstitusi? Sejauh mana ia secara fundamental relevan bagi ciri kenegaraan yang hendak dibentuk oleh sebuah bangsa? Pertimbangan kedua adalah mengenai metode perubahannya. Karena konstitusi mengatur seluruh kehidupan bersama dan ia sendiri tunduk di bawah tujuan-tujuan umum/ nasional sebuah bangsa, maka komprehensi, sistematisasi dan partisipasi menjadi kata kunci dalam amandemen. Ketiga, aspek pemeliharaan kehidupan konstitusional itu sendiri, yang menyangkut bagaimana ia dihayati dan hidup sebagai bagian dalam politik kewargaan pada bangsa itu. Konstitusi yang baik tidak akan berarti apabila ia tidak dilandasi kehidupan konstitusional yang aktif. Dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip di atas, maka niat untuk amandemen konstitusi kita belakangan ini mesti benar-benar dilandasi oleh motif untuk mem-
bentuk tatanan kenegaraan dan kepolitikan umum yang baik dan diorentasikan untuk jangka waktu panjang. Amandemen harus diarahkan untuk memangkas alur yang salah di hadapan logika demokrasi dan tujuan-tujuan nasional kita, merefleksikan kekuatan dan keutamaan kedaulatan rakyat, serta menyatakan secara terang status kewargaan dan identitas kebangsaan yang baru. Ia mestinya diarahkan untuk bisa merumuskan penyelesaian sengketa antara presidensialisme dan multipartisme. Ia mesti bisa menetapkan watak otonomi daerah dalam demokrasi langsung kita yang belakangan ini cenderung lebih banyak mereproduksi neofeodalisme, serta memperkuat watak negara sosial yang belakangan ini justru makin absen. Di tingkat cara dan prosedur, amandemen hendaknya juga dikelola oleh sebuah institusi yang berwatak imparsial, diisi oleh mereka yang memahami keutamaan, dan bebas dari kepentingan jabatan apapun. Ia dibuat dengan jaminan untuk tidak dikhianati dengan “akal-akalan” politik di kemudian hari. Inilah yang mestinya dipertimbangkan sebagai syarat sebelum amandemen dilakukan. RB-09 www.p2d.org — konstelasi
1
analisis
Membaca UUD 1945 Pasca TEROBOSAN luar biasa telah dilakukan pemerintahan reformasi ketika secara berani mengamandemen UUD 1945. Tidak tanggung-tanggung, amandemen dilakukan sebanyak empat kali, yaitu tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Padahal pada pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto, UUD 1945 disucikan dan haram hukumnya untuk diutakatik, dikritik, dan apalagi diubah. Meskipun merupakan suatu prestasi, tetapi hasil amandemen tersebut masih menyisakan problematika. Problematika tersebut semakin nyata ketika UUD 1945 hasil amandemen diterapkan. UUD 1945 versi asli menempatkan presiden sebagai sentral dari kekuasaan. Hal ini dapat dilihat pada pengaturan mengenai kewenangan presiden yang relatif tidak seimbang dengan bidang kekuasaan lainnya. Di bidang legislasi misalnya, presiden memiliki kewenangan yang cukup besar, sementara DPR hanya sebagai lembaga yang menyetujui legislasi yang diajukan presiden. Besarnya kekuasaan presiden (eksekutif) telah dibuktikan oleh dua pemerintahan sebelumnya, demokrasi terpimpin Soekarno dan orde baru Soeharto. Salah satu hal yang mendasari amandemen UUD 1945 adalah semangat untuk membatasi kekuasaan eksekutif dan memberdayakan DPR. Melalui amandemen pertama (1999), kekuasaan presiden dipangkas dan kekuasaan DPR ditambah. Kewenangan legislasi yang dimiliki presiden dalam Pasal 21 telah diubah sehingga presiden hanya mempun-
2
konstelasi — www.p2d.org
Sumber gambar: www.mpr.go.id
yai hak untuk mengajukan RUU. Sementara dalam UUD 1945 versi asli dinyatakan bahwa, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Selain itu, masa jabatan presiden dibatasi secara tegas. Hak diplomatik presiden, seperti mengangkat duta besar, konsul, dan menerima duta dari negara lain dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 2 Amandemen I). Begitu pula halnya dengan hak lain, seperti pemberian grasi dan rehabilitasi, dilakukan presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Sedangkan dalam memberikan amnesti dan abolisi, presiden harus pula memperhatikan pertimbangan DPR. Sementara Pasal 14 UUD 1945 naskah asli hanya menyebutkan “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi”.
Melalui amandemen pertama, masa jabatan presiden dipertegas untuk menghindari interpretasi yang keliru — seperti yang dipraktekkan Soekarno dan Soeharto. Selain itu, Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR melainkan dipilih secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilu. Pada amandemen kedua, DPR diberi hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Selain itu, setiap anggota DPR mempunyai hak untuk mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas (Pasal 20A). Penambahan kekuasaan DPR dan pemangkasan kekuasaan presiden tersebut dalam prakteknya telah mengakibatkan kekuasaan terpusat pada DPR (legislative centered). Checks and balances antara dua kekuasaan ini juga tidak terjadi dalam pembentukan UU. DPR mempunyai posisi yang determinan dalam penyusunan UU, termasuk juga penyusunan APBN. Hal ini tentu saja dapat mengacaukan agenda-agenda pemerintahan yang telah dirancang sebelumnya. Checks and balances juga tidak terjadi ketika presiden tidak diberi kekuasaan semacam hak veto (meminjam istilah Syamsuddin Haris) untuk menolak undang-undang yang telah disahkan oleh DPR. Apalagi ketika Pasal 20 diubah melalui amandemen kedua, yang menentukan bahwa, “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang
Amandemen tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”. Semangat amandemen untuk memberdayakan DPR dan mengurangi kekuasaan presiden berdampak negatif ketika UUD 1945 hasil amandemen diterapkan. Kewenangan interpelasi yang dimiliki DPR menjadi alat untuk mengintervensi kebijakan presiden. Melalui hak interpelasi ini, DPR bahkan dapat menjatuhkan presiden sebagaimana terjadi pada Abdurrahman Wahid. Melalui amandemen, struktur lembaga legislatif juga diubah. Selain perwakilan rakyat (DPR), lembaga legislatif diisi pula dengan perwakilan daerah, yang disebut dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).Tetapi, struktur ini tidak sepenuhnya mencerminkan sistem bikameral. DPD yang semestinya salah satu kamar dari sistem dua kamar, tidak mempunyai kekuasaan yang memadai. Kewenangan DPD hanya terbatas pada kekuasaan-kekuasaan yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi lainnya, serta masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 22D UUD 1945). Di luar itu, kekuasaan DPD hanya memberi pertimbangan kepada DPR. Dengan demikian, keberadaan DPD relatif tidak berfungsi. Dampak lainnya adalah, tidak terjadi checks and balances antara DPR dan DPD itu sendiri.
Amandemen UUD 1945 juga mengubah fungsi dan kedudukan MPR. Awalnya, MPR diberi kewenangan untuk memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden. Tetapi, sejak diberlakukan pemilihan langsung, berdasarkan hasil amandemen ketiga, MPR hanya diberi kewenangan untuk melantik presiden dan wakil presiden, serta memberhentikan presiden dan wakil presiden setelah melalui prosedur tertentu. Di sisi lain, MPR yang semestinya merupakan wadah sidang gabungan antara DPR dan DPD cenderung dilembagakan secara permanen. Hal ini mengakibatkan seolah-olah sistem pemerintahan Indonesia mempunyai tiga lembaga parlemen, yaitu: DPR, DPD, dan MPR. Padahal, sebagaimana berlaku di dalam sistem presidensial, seharusnya parlemen nasional bersifat satu kesatuan majelis dengan dua kamar, yaitu DPR yang merupakan representasi rakyat dari segi penduduk, DPD sebagai representasi rakyat dari segi wilayah. Selain itu, lepasnya hubungan presiden dengan MPR telah mengakibatkan hilangnya GBHN. Lebih jauh lagi hal itu telah mengakibatkan kebijakan pembangunan menjadi arena pertarungan politik. Amandemen UUD 1945 juga mempertegas pemisahan kekuasaan kehakiman yang ditempatkan di bawah MA. Independensi kekuasaan yudikatif ini berusaha diimbangi dengan membentuk Komisi Yudisial (KY). Tetapi kenyataannya, keberadaan KY ini tidak cukup untuk mengawasi
sepak terjang MA. KY tidak diberi kewenangan yang cukup memadai untuk dapat menjadi lembaga kontrol bagi insitusi peradilan. Selain hal tersebut di atas, amandemen juga mencoba merasionalkan struktur kelembagaan negara. Di antaranya dengan menghapus Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dengan demikian, dibandingkan dengan naskah asli, hasil amandemen UUD 1945 sudah cukup mengatur sistem ketatanegaraan secara rasional. Tetapi, di sisi lain, hasil UUD 1945 memiliki banyak kelemahan, di antaranya terkait dengan kewenangan masing-masing lembaga yang cukup mempengaruhi sirkulasi elit. Dengan kekuasaan yang lebih terpusat di DPR, maka sirkulasi elit juga cenderung terpusat pada DPR. Di samping memiliki beberapa kelemahan, amandemen UUD 1945 juga telah memiliki kemajuan yang cukup berarti untuk menciptakan kehidupan bernegara yang demokratis. Di antaranya, kedudukan warga negara sudah semakin dekat dengan pusat kekuasaan ketika diatur mengenai pemilihan presiden secara langsung. Pada amandemen kedua telah diatur mengenai hak asasi manusia, meskipun masih mempunyai beberapa kekurangan. Begitu pula mengenai partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, sudah cukup dijamin oleh UUD 1945 hasil amandemen, hanya dalam pembuatan kebijakan publik hal tersebut masih terlalu minim FJ-11
www.p2d.org — konstelasi
3
analisis
Meninjau Kembali DPD SUDAH lebih dari satu tahun gagasan untuk memperkuat posisi DPD terus bergulir dan menjadi salah satu agenda amandemen ke lima UUD 1945. Gagasan ini dilontarkan terutama oleh anggota DPD yang merasa tidak dapat bekerja maksimal karena terbatasnya kewenangan yang dimiliki oleh DPD. Sampai saat ini, walaupun belum ada kesepakatan tentang waktu yang tepat untuk melakukan amandemen, namun nampaknya proses politik ini akan terus bergulir. Dokumen resmi DPD menyatakan bahwa pembentukan lembaga ini pada awalnya merupakan bagian dari transisi politik otoriterisme ke sistem politik yang lebih demokratis. Salah satu argumentasi yang digunakan adalah perlu adanya lembaga yang dapat mewakili kepentingan daerah, serta untuk menjaga keseimbangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan serasi. Dengan kata lain, gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik, terutama untuk hal-hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. (www.dpd.go.id) Lebih jauh lagi dijelaskan, sesuai dengan konstitusi kita, DPD memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu: legislasi, pertimbangan dan pengawasan. Tugas dan kewenangan untuk setiap fungsi adalah sebagai berikut:
4
konstelasi — www.p2d.org
1. Fungsi Legislasi. Tugas dan wewenang DPD dalam fungsi legislasi adalah mengajukan rancangan undangundang (RUU) kepada DPR dan ikut dalam pembahasannya. Namun fungsi ini hanya dilakukan untuk bidang-bidang tertentu yaitu: Otonomi daerah; Hubungan pusat dan daerah; Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; Perimbangan keuangan pusat dan daerah. 2. Fungsi Pertimbangan Tugas dan wewenang dalam fungsi ini adalah memberikan pertimbangan kepada DPR terkait RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; Pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. 3. Fungsi Pengawasan DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Selain itu DPD juga dapat menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK. Namun fungsi ini dilakukan hanya untuk bidang-bidang tertentu yaitu: Otonomi daerah; Hubungan pusat dan daerah; Pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah; Pengelolaan sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya; Perimbangan keuangan pusat dan daerah; Pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN); Pajak, pendidikan, dan agama. Problem utama dari fungsi DPD adalah ketiadaan kewenangan untuk ikut mengambil atau menolak keputusan berkaitan dengan pembuatan UU, seperti hak veto yang dimiliki oleh upper house di Slovenia, Russia dan Amerika. Selain itu, pelaksanaan fungsi-fungsi DPD dibatasi hanya untuk bidang-bidang tertentu terutama yang berkaitan dengan otonomi daerah dan kepentingan-kepentingan daerah lainnya. Produk dari pelaksanaan fungsifungsi tersebut sebagian besar berupa usulan atau pertimbangan kepada DPR. Terbatasnya kewenangan DPD ini yang sering dijadikan alasan oleh anggota DPD untuk mengusulkan amandemen UUD 1945. Hal ini dikemukakan Wakil Ketua DPD Irman Gusman, anggota DPD Piet Herman Abik (Kalimantan Barat), Hussein Rahayaan (Maluku) dan Ikhsan Loulembah (Sulawesi Selatan). Lebih jauh lagi disebutkan bahwa usulan itu sudah ditandatangani oleh seluruh anggota DPD dan telah disampaikan kepada pimpinan MPR 8 Juni 2006 lalu oleh Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita.(Sinar Harapan, 16/6/2006) UNIKAMERAL ATAU BIKAMERAL? Menyelesaikan persoalan yang di DPD bukanlah perkara mudah karena menyangkut konsep kehidupan bernegara kita. Perdebatan yang muncul selama ini lebih
banyak berkaitan dengan persoalan penambahan kewenangan DPD atau tetap mempertahankan kewenangan yang ada. Tidak pernah ada perdebatan yang cukup serius tentang sistem legislatif yang kita butuhkan, apakah unikameral atau bikameral. Dalam konteks ini kita tidak bisa menutup kemungkinan untuk kembali menjadi unikameral, yang berarti menghapuskan keberadaan DPD. Argumentasi utama penganjur bikameralisme adalah fakta demografi berupa kepadatan penduduk yang berbeda di setiap wilayah. Dengan kondisi seperti ini, maka daerah yang berpenduduk padat akan memiliki wakil yang lebih banyak di legislatif. Ketidakseimbangan keterwakilan ini dikhawatirkan akan berakibat ketidaksempurnaan kebijakan yang dihasilkan. Untuk mengatasi hal tersebut maka kamar kedua dari legislatif dibentuk untuk menampung perwakilan yang seimbang dari tiap daerah. Dua kamar legislatif inilah yang akan berperan dalam pembuatan legislasi dan pengawasannya. Oleh karena itu, sejak amandemen ke tiga UUD 1945, Indonesia memiliki DPR yang mewakili populasi dan DPD yang mewakili daerah. Hal ini mirip dengan sistem bikameral di AS, dimana House of Representatif (lower house) mewakili populasi dan Senate (upper house) mewakili negara bagian. Selain masalah keterwakilan, sistem bikameral dibuat atas dasar prinsip check and balance dalam proses legislasi. Dengan adanya dua kamar legislasi, setiap rancangan undang-undang akan melewati tahap pengujian yang dilakukan oleh setiap kamar. Untuk itu, setiap kamar memiliki derajat kewenangan masing-masing, bukan hanya sekedar meng-
Terbatasnya kewenangan DPD sering dijadikan alasan oleh anggota DPD untuk mengusulkan amandemen UUD 1945. usulkan akan tetapi juga memutuskan. Sistem bikameral di Slovenia misalnya, memberikan hak veto bagi Dewan Nasional (Upper House) terhadap RUU yang disetujui oleh Majelis Nasional (Lower House) dalam waktu tujuh hari. Namun Majelis Nasional dapat dapat menolak veto hanya dengan mayoritas sederhana. Sedangkan di Russia, Dewan Federasi dapat menolak UU yang disetujui oleh Duma (Lower House) akan tetapi Duma dapat menolak veto dengan jika mendapatkan 2/3 suara mayoritas. Menyelesaikan problem keterwakilan tidak selalu mengharuskan pembentukan bikameralisme. Dalam sistem unikameralisme, sistem pemilu dapat menerapkan bilangan pembagi yang berbeda untuk setiap daerah sesuai dengan jumlah populasinya. Daerah yang memiliki populasi yang lebih sedikit memiliki bilangan pembagi yang lebih kecil, sedangkan daerah dengan populasi besar memiliki bilangan pembagi yang juga besar. Dengan demikian diharapkan terjadi perimbangan perwakilan antar daerah yang cukup seimbang. Sistem legislatif dangan satu kamar akan membuat proses legislasi menjadi lebih sederhana dibanding dengan sistem bikameral. Dengan demikian, selain dapat
menghindari dead lock, keputusan dapat diambil secara lebih efektif dan efisien. Sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Minnesota House of Representatives menyebutkan bahwa, hal yang penting dalam rangka merespon perbedaan kepentingan dan aspirasi minoritas bukan pada jumlah badan legislatif, akan tetapi dengan membentuk sistem Pemilu yang baik. Selain itu, dengan menggunakan timeconsuming legislative practices, akan menjamin seluruh kepentingan dapat disuarakan dan dipertimbangkan secara cermat. Karena proses pembuatan keputusan relatif sederhana dan efisien, legislasi unikameral dapat menyediakan waktu yang cukup bagi perdebatan dan diskusi yang panjang. Dengan demikian akan dihasilkan satu produk legislasi yang baik. (www.house.leg.state.mn.us) PENUTUP: KEMBALI KE UNIKAMERAL Untuk konteks Indonesia, masalah yang ada pada lembaga legislatif (DPR) kita cukup banyak yang membuat proses legislasi seringkali memakan waktu lama. Pada sisi lain, eksekutif pun memiliki peran dalam pembuatan UU yang dapat memperumit dan memperlambat proses legislasi. Kelambatan dalam pembahasan RUU Pemilu adalah salah satu contohnya. Jika demikian, mengapa harus menambah rumit proses legislasi dengan membentuk sistem bikameral? Jika masalah perwakilan dapat diselesaikan lewat perbaikan sistem Pemilu, maka memperkuat sistem unikameral nampaknya lebih masuk akal untuk dilakukan. Konsekuensinya tentu saja menghapus DPD dari sistem ketatanegaraan kita IK-06 www.p2d.org — konstelasi
5
analisis
Mempertimbangkan SemiPADA edisi terdahulu, dalam analisa terhadap praktek kombinasi presidensialisme dan multipartisme di Indonesia, media ini telah mengindikasikan potensi keadaan buntu dalam dinamika pemerintahan kita, terutama dalam konteks hubungan antara eksekutif dan legislatif. Kalaupun keadaan buntu itu bisa dielakkan, terbukti biaya politik yang harus dibayar untuk menghindarinya sangat mahal, misalnya: terhambatnya program pemerintahan yang berujung pada keterlambatan implementasi kebijakan, serta kecenderungan terbukanya peluang “penyuapan” eksekutif kepada legislatif untuk melicinkan jalan kedua belah pihak. Untuk mengatasi itu, media ini pernah mengusulkan kepada para pengambil kebijakan untuk mulai mempertimbangkan alternatif lain di luar sistem presidensialisme guna mencegah kemungkinan yang lebih buruk di masa depan. Pembahasan mengenai perubahan sistem pemerintahan makin menemukan relevansinya ketika PKS dalam Rapimnas tahun 2007 mengusulkan perubahan sistem pemerintahan dari presidensialisme ke parlementer, dengan alasan sistem presidensial kurang efektif dalam menyelesaikan masalah bangsa (detik.com 30/8/2007). Namun demikian, sebagian kalangan menilai bahwa presidensialisme tetap yang lebih cocok untuk kultur politik Indonesia saat ini. Kalaupun ada masalah, itu lebih disebabkan oleh figur presidennya yang dianggap ragu dan “malu-malu” menjalankan presidensialisme secara konsisten (detik.com, 14/9/ 6
konstelasi — www.p2d.org
Presiden SBY di hadapan Rapat Paripurna DPR-RI. Sumber foto: abror/presidensby.info
2007). Jadi yang perlu diubah bukan sistemnya, melainkan gaya kepemimpinannya. Terlepas dari latar belakang kepentingan yang lebih khusus yang mungkin ada di balik ide PKS itu — mengingat kenyataan bahwa selama sistem persidensialisme yang berlaku, maka hampir tidak mungkin buat mereka untuk meraih kekuasaan kepresidenan — memperlihatkan adanya pergeseran dalam pandangan sistem pemerintahan. Di sini kita mulai bisa melihat kemungkinan adanya dua kutub dalam pandangan sistem pemerintahan yakni presidensialisme murni di satu sisi, dan parlementarisme di sisi yang lain. Melampaui dua kutub pandangan di atas, media ini mengambil sikap ketiga dan menyarankan untuk memikirkan alternatif dari dua sistem yang sudah ada. Mengapa? Berdasarkan argumen dan pertimbangan di atas, kita memang melihat sejumlah persoalan
mendasar dalam praktek presidensialisme kita sekarang ini. Sebagaimana dikemukakan oleh berbagai kritik, kombinasi multipartai dengan sistem presidensialisme murni yang sekarang berlaku di Indonesia memang berpotensi menghasilkan situasi immobile. Ada keadaan situasi di mana seluruh pemerintahan tersandera di bawah tarik-menarik politik legislatif, yang mengakibatkan pemerintahan tidak berjalan secara efektif. Ini memerlukan jalan pemecahan. Pokok persoalannya bisa kita persempit. Apabila kita bersikukuh untuk tetap mempertahankan presidensialisme murni, maka jalan ke luar paling masuk akal adalah dengan memberlakukan sistem dwi-partai. Ini artinya kita harus melakukan penyederhanaan partai secara ekstrim. Jalan semacam ini selain akan sulit, karena pasti akan dibendung oleh partai yang kepentingannya telah mengakar dalam kondisi multi partai yang sekarang ada, juga secara esensial tetap tidak menjamin stabilitas yang dikehendaki. Mengingat, bahkan di Amerika saja, kemungkinan buntu politik kerap mungkin terjadi. Namun demikian di pihak lain, untuk secara radikal berubah ke sistem parlementer juga bukan tanpa resiko. Karena sebagaimana dikemukakan oleh Giovanni Sartori, bagi negara-negara yang sudah lama dan terbiasa dengan presidensialisme, perubahan ke parlemeterisme akan merupakan sebuah lompatan yang terlampau jauh dan drastis. Karena hal itu akan sama sekali memutus akar dan pengalaman kepolitikan sebelumnya, sehingga akan men-
Presidensialisme jadi lompatan petualangan yang penuh risiko. Bisa melahirkan konflik yang berkepanjangan antar fraksi di parlemen dan tidak produktif. Di titik ini, tidak bisa tidak, kita mesti memikirkan semipresidensialisme sebagai alternatif yang paling masuk akal. Menurut Duverger, sebuah rejim secara konstitusional disebut semipresidensialisme apabila ia memiliki tiga kombinasi unsur yakni: (1) presiden dipilih dengan suara pilih universal; (2) dengan demikian presiden tetap memiliki kekuasaan yang besar untuk memimpin negara; (3) berhadapan dengannya, ada seorang perdana menteri serta menteri-menteri yang memegang kekuasan eksekutif dan kekuasan pemerintahan selama dikehendaki oleh parlemen. (Duverger dalam Elgie, 2004: 316) Definisi Duverger ini diperjelas lagi oleh definisi Sartori yang mengemukakan lima ciri sistem semi-presidensial yakni pertama, kepala negara dipilih oleh popular vote —bisa melalui pemilu langsung maupun tak langsung — untuk masa periode pemerintahan yang tetap. Kedua, kepala negara membagi (share) kekuasaan eksekutif dengan seorang perdana menteri, sehingga tercipta struktur kekuasaan ganda yang mengakibatkan ciri ketiga, yaitu presiden tidak tergantung dari parlemen namun juga tidak dapat memerintah secara sendiri ataupun langsung. Sehingga kehendak presiden mesti disalurkan melalui proses pemerintahan perdana menteri. Keempat, perdana menteri dan kabinetnya tidak tergan-
tung kepada presiden tapi tergantung kepada parlemen. Kedudukan perdana menteri tergantung pada parliamentary confidence. Kelima, struktur otoritas ganda semi-presidensialisme membolehkan perbedaan keseimbangan dan pergeseran penyebaran kekuasaan dalam eksekutif, di bawah syarat yang ketat bahwa “potensi otonomi” dari setiap komponen yang menyatukan eksekutif tetap dipelihara. Misalnya dalam kasus di mana parlemen memilih perdana menteri dari partai yang berbeda dengan presiden, maka potensi otonomi di sini bisa memungkinkan terjadinya kohabitasi. (Sartori, 1997, hlm, 133). Dengan struktur di atas, maka jelas bahwa semi-presidensialisme cenderung masih mempertahankan ciri kekuasaan pemerintahan kepresidenan yang kuat sebagaimana yang berakar dalam tradisi kepolitikan kita, tapi tetap mengakomodasi realitas multipartai yang tumbuh dan menjadi ciri dari aspirasi demokrasi kita sekarang. Dengan demikian, meski menerima logika dan dinamika kontestasi politik dalam sistem multi partai itu, semi-presidensialisme tetap berkemampuan melindungi pemerintahan secara umum dari kemungkinan krisis sehingga laju pemerintahan tetap stabil. Untuk itu, seiring dengan munculnya usulan amandemen konstitusi belakangan ini, media ini mengusulkan bahwa, ketimbang melakukan perubahan konstitusi yang dilakukan demi mengakomodir kepentingan segelintir elit DPD yang hanya memikirkan perpanjangan masa jabatan, karir
dan kewenangan politik, dan malah menghasilkan benangkusut dalam sistem ketatanegaraan kita, akan lebih baik apabila amandemen konstitusi ini dipakai secara serius dan sunggguh-sungguh untuk mengatasi masalah ketatanegaraan kita. Di sini yang perlu kita agendakan dengan sungguh-sungguh adalah arah membentengi demokrasi dan negara Bhinneka Tunggal Ika, baik dari ancaman krisis akibat instabilitas permanen dalam pemerintahan, maupun dari telikung ideologis partai-partai agama RB-09
P2D konstelasi diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Redaksi Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Elisabet R. Kuswijayanti Fajrimei A. Gofar Hendrik A. Boli Tobi Ikravany Hilman Isfahani Otto Pratama Rachland Nashidik Robby Kurniawan Robertus Robet Santi Nuri
Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 http://www.p2d.org E-mail:
[email protected]
www.p2d.org — konstelasi
7
analisis
Meluruskan Arah Menuju Prosedur Tidak Kalah Penting dari DISKURSUS mengenai amandemen kelima UUD 1945 belakangan ini kembali menguat dan segera disambut oleh pelbagai kalangan yang melihat adanya kelemahan mendasar dalam amandemen sehingga memandang perlu adanya upaya untuk menyempurnakan konstitusi kita. Usulanusulan mengenai perubahan substansi konstitusi mulai ramai diperbincangkan dan bahkan sempat diupayakan, hanya saja pembahasan mengenai perbaikan prosedur amandemen terlihat kurang diminati dibandingkan pembahasan mengenai substansi konstitusi. Padahal, empat kali proses amandemen yang dijalankan MPR selama empat tahun berturut-turut (1999-2002), dan telah menghasilkan empat naskah perubahan konstitusi, menuai banyak kritikan karena mengandung kelemahan. PENTINGNYA PROSEDUR YANG DEMOKRATIS Perkembangan demokrasi memunculkan ide dan praktik baru dalam perancangan konstitusi di pelbagai negara. Kritik pada praktik lawas yang cenderung elitis dan berorientasi semata-mata pada produk, telah memaksa adanya perubahan dalam proses perancangan konstitusi. Perbaikan itu bertujuan untuk meningkatkan legitimasi dan kualitas dari proses dan hasil perancangan sebuah konstitusi. Vivien Hart mengungkapkan
8
konstelasi — www.p2d.org
Sumber gambar: http://nolimitgraphics.files.wordpress.com
bahwa norma-norma di dalam prosedur demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas yang diaplikasikan pada pembuatan keputusan politik sehari-hari, kini juga didesakkan dalam perumusan
konstitusi. Dalam pandangannya, pembuatan konstitusi tidak lagi dapat dibatasi secara eksklusif ke dalam domain high politics dan negosiasi antara para elit yang merumuskan teks di balik pintu
Amandemen Kelima:
Substansi
“Seperti juga isinya, bagaimana konstitusi dibuat merupakan sesuatu yang penting. Proses (penyusunan konstitusi) menjadi sama pentingnya dengan materi rumusan final dari konstitusi tersebut, dalam hal legitimasi dari sebuah konstitusi baru” (Vivien Hart: 2003).
tertutup. Oleh karena itu, prosedur pembuatan merupakan hal yang sama pentingnya dengan substansi konstitusi itu sendiri. Sebagaimana diungkapkannya:
Pandangan di atas segaris dengan pendapat Julius Lhonvbere mengenai proses pembuatan konstitusi yang demokratis sebagai unsur yang amat vital bagi kekuatan, penerimaan, dan legitimasi konstitusi. Pelibatan masyarakat dan komunitas-komunitas dapat membuat mereka memahami naskah konstitusi, baik signifikansinya, maupun relevansinya bagi proses demokrasi yang lebih besar. Selain untuk meningkatkan kualitas organisasi politik, serta perdebatan dan tingkat kepercayaan rakyat pada rule of law, Ihonvbere juga menambahkan bahwa hal yang lebih penting dari pelibatan masyarakat dalam proses itu adalah untuk memastikan agar konstitusi merefleksikan kebutuhan dan prioritas mereka, serta membantu membangun kepemilikan naskah konstitusi tersebut. Dengan cara itu, konstitusi akan diterima dan senantiasa didukung (Julius O. Ihonvbere: 2000). EVALUASI PROSES AMANDEMEN Kritik terhadap amandemen UUD 1945 terutama karena pro-
sesnya dianggap kurang deliberatif. Kalaupun ada dengar pendapat dengan wakil-wakil masyarakat, kegiatan tersebut dilakukan secara ala kadarnya, seremonial, elitis, dan semata-mata bertujuan demi menciptakan citra positif lembaga MPR. Pernyataan Pers Koalisi ORNOP Untuk Konstitusi Baru (2002) menggambarkan kondisi saat itu sebagai berikut : “Partisipasi publik hanya diberlakukan secara simbolik karena sebagian besar masukan sama sekali tidak dipertimbangkan atau diolah dalam pembahasan selama proses amandemen. Semua keputusan akhir tetap di tangan sebagian kecil anggota yang berhasil duduk di Tim Lobby dan Tim Perumus. Demikian pula sosialisasi yang dilakukan oleh anggota PAH I ke propinsi-propinsi lebih mencerminkan komunikasi satu arah dan lebih banyak melibatkan peserta dari kalangan Pemda dan parpol setempat”. Dengan demikian, salah satu kelemahan utama dari proses perubahan UUD 1945 terletak pada institusi yang merancangnya. Dalam hal ini, MPR telah mengabaikan partisipasi dan aspirasi masyarakat, dan seolah menganggap proses perubahan UUD 1945 adalah kewenangan yang dimilikinya secara eksklusif. Kelemahan dalam segi formil amandemen itu tidak boleh dipandang sebelah mata, karena proses amandemen turut mempengaruhi tingkat legi-
www.p2d.org — konstelasi
9
timasi dan kualitas produk konstitusi yang dihasilkan. KOMISI KONSTITUSI: PROYEK SETENGAH HATI Selain masalah tingkat partisipasi dan deliberasi publik, proses amandemen juga menemui kendala utama yang diakibatkan oleh tajamnya perbedaan pendapat di antara fraksi-fraksi di dalam MPR. Perbedaan dan tarik menarik kepentingan yang sedemikian kuat itu memang dapat diselesaikan lewat lobi-lobi. Lobi-lobi tersebut di satu sisi mampu berfungsi untuk menghindari dead lock, namun di sisi lain menghasilkan kesepakatan politik pragmatis yang berujung pada rumusan konstitusi yang rancu dan tidak sistematis. Problem itu disorot dan dikritik secara tajam oleh masyarakat. Pada saat itu muncul desakan kuat pada MPR untuk membentuk suatu komisi konstitusi yang independen dan memiliki legitimasi untuk merancang konstitusi. Desakan itu pun tak terbendung, dan akhirnya MPR mengeluarkan TAP MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi dan TUS MPR No.4/MPR/2003 tentang Susunan, Kedudukan, Kewenangan, dan Keanggotaan Komisi Konstitusi. Anggota Komisi Konstitusi (KK) berjumlah 31 orang dan memiliki masa tugas selama enam bulan. KK ditugaskan untuk melakukan pengkajian secara komprehensif tentang Perubahan UUD 1945 dan dalam melakukan tugasnya KK harus berpedoman pada Pembukaan UUD 1945. Pada bulan Oktober 2003, KK mulai menyelenggarakan sidang-sidangnya. Setelah menyelesaikan tugasnya, KK menyerahkan hasil kerjanya pada MPR, yaitu: 10
konstelasi — www.p2d.org
MPR telah mengabaikan partisipasi dan aspirasi masyarakat dan seolah menganggap proses perubahan UUD 1945 adalah kewenangan yang dimilikinya secara eksklusif. (a) Naskah Kajian Akademik Komprehensif tentang Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan (b) Naskah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil Komisi Konstitusi. Fraksi-fraksi di MPR berbeda pendapat dalam menanggapi hasil kerja KK. Sebagian mengapresiasi secara baik dan sebagian lainnya justru menganggap KK telah melewati kewenangan yuridis yang diberikan kepadanya (terutama dalam hal penyusunan naskah yang memuat usulan perubahan pasal-pasal UUD 1945). Beda tanggapan di MPR itu hingga kini tak menemui titik temunya. Hasil kerja KK yang pembiayaan operasionalnya telah dibebankan pada negara telah diabaikan begitu saja dan dianggap seolah angin lalu. Rekomendasi para pakar yang terhimpun di dalam KK itu sia-sia karena tidak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. MERETAS JALAN BARU Ide pembentukan suatu komisi atau panitia nasional yang bertugas menelaah sistem ketatanegaraan muncul dalam Sidang Paripurna Khusus Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) yang dihadiri presiden pada 23 Agustus 2007. Sejauh ini, belum jelas apakah gagasan itu sekedar upaya untuk melumerkan kebekuan politik dan sekaligus suatu undangan terbuka bagi kita semua untuk memperbincangkan hal itu, atau pemerintah memang sudah memikirkan suatu konsep yang hendak ditawarkan untuk kemudian disepakati secara bersama-sama? Langkah presiden itu telah memicu reaksi beragam. Sebagian kalangan politisi mempermasalahkan determinasi presiden yang dianggap berlebihan, khususnya dalam mendorong proses amandemen kelima. Meski demikian, tak kurang juga yang menyambut baik dan mendukung ide itu. Jelas berlebihan jika mempermasalahkan asal bergulirnya wacana itu. Semestinya tak perlu jadi soal, sebab legislatif atau eksekutif, bahkan setiap warga masyarakat punya hak untuk menawarkan gagasannya. Ruang diskursus mesti terbuka lebar bagi kemunculan ide-ide segar yang mampu mengatasi keringnya imajinasi politik dan kekakuan bangunan hukum. Dalam upaya pembenahan prosedur amandemen, ide mengenai pembentukan kembali KK perlu mendapat ruang. Ide itu perlu ditanggapi secara serius dan dielaborasi lebih lanjut sehingga bisa menjadi jalan terbentuknya KK baru yang tidak akan berujung tragis seperti KK sebelumnya. Untuk itu, segala kritik yang pernah diajukan seputar pembentukan, kewenangan, dan posisi KK dapat dijadikan acuan bagi konsep KK yang baru yang memiliki legitimasi kuat dan kewenangan yang lebih besar sehingga mampu menghasilkan produk rancangan konstitusi yang AB-19 terbaik bagi bangsa ini
analisis Catatan Untuk Amandemen Kelima lembaga pengawas peradilan. Dalam Pasal 24B disebutkan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri, berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Namun, pada prakteknya, kewenangan KY tidak sepenuhnya dapat dijalankan.
BELAKANGAN ini muncul wacana untuk mengamandemen kembali UUD 1945. Yang jadi soal, seandainya hendak diamandemen kembali, bagian mana saja yang perlu diamandemen dan diarahkan ke mana? KEKUASAAN EKSEKUTIF Melalui amandemen UUD 1945 banyak kekuasaan eksekutif dialihkan ke legislatif. Dalam praktiknya, hal ini menimbulkan sirkulasi elit terpusat pada legislatif, di mana kontrol legislatif begitu kuat terhadap kebijakan-kebijakan eksekutif. Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, cenderung tidak mandiri. Hampir setiap kebijakan presiden menjadi arena pertarungan politik, akibatnya energi eksekutif tersita untuk melayani intervensi DPR dan kemudian mengkompromikannya. Dengan demikian, sistem pemerintahan presidensil tidak bisa dioptimalkan dan berjalan secara tidak rasional. Oleh karena itu, diperlukan suatu perubahan untuk menjembatani tarik-menarik kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Dalam hal ini, sistem pemerintahan semi-presidensialisme patut dipertimbangkan.
DPD selaku perwakilan daerah, memiliki kewenangan yang sangat minim. Akibatnya, lembaga legislatif didominasi oleh perwakilan rakyat (DPR) yang mempunyai kewenangan berlimpah. Dalam prakteknya, DPD — sebagai perwakilan daerah — sebenarnya sudah cukup terwakili oleh DPR melalui daerah pemilihan. Dengan kata lain, DPR pada dasarnya adalah perwakilan daerah juga. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan kelembagaan DPD.
KEKUASAAN LEGISLATIF Secara struktural, kekuasaan legislatif telah dirombak melalui penambahan perwakilan daerah di samping perwakilan rakyat. Dengan demikian, struktur legislatif menganut sistem dua kamar. Namun, sistem ini tidak bisa dijalankan sepenuhnya karena ketimpangan kewenangan yang dimiliki masing-masing kamar.
KEKUASAAN YUDIKATIF Melalui amandemen, Mahkamah Agung menjadi lembaga yang independen dan membawahi sistem peradilan di Indonesia. Campur tangan kekuasaan ditanggalkan sehingga MA menjadi lembaga yang mandiri. Untuk mengontrol kekuasaan MA, UUD 1945 hasil amandemen membentuk Komisi Yudisial (KY) sebagai
Sumber gambar: http://www.infid.be
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT Dalam naskah asli UUD 1945 MPR merupakan lembaga yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Oleh karena itu ia diberi kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan presiden, serta menetapkan GBHN dan UUD 1945. Sebagai lembaga yang menjalankan kedaulatan rakyat, keanggotaan MPR terdiri atas anggota DPR ditambah utusan daerah dan golongan. Setelah diamandemen, kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan oleh MPR. Kewenangan MPR dipangkas hanya untuk: (i) mengubah dan menetapkan UUD; (ii) melantik Presiden dan/atau wakil Presiden; dan memberhentikan presiden berdasarkan prosedur UUD. Dari segi keanggotaan, MPR terdiri dari perwakilan rakyat (DPR) dan perwakilan daerah (DPD). Jadi, setelah diamandemen, kedudukan MPR merupakan wadah bagi DPR dan DPD bersidang (joint session) dalam sistem dua kamar. Tetapi, dalam hasil amandemen tidak ditentukan secara jelas apakah MPR, sebagai wadah, merupakan lembaga permanen atau tidak. Dalam prakteknya (melalui UU www.p2d.org — konstelasi
11
Susduk), MPR ditempatkan sebagai lembaga permanen yang memiliki ketua dan alat-alat perlengkapan lainnya. Sebagai wadah joint session, mustinya lembaga ini tidak perlu bersifat permanen, cukup sebagai lembaga ad hoc. Alat kelengkapannya hanya dibentuk ketika akan diadakan sidang. Hal ini diperlukan untuk menghindari kesan seolah-olah ada tiga lembaga perwakilan, yaitu: MPR, DPR, dan DPD, di samping untuk efisiensi anggaran. Ini yang perlu dipertegas dalam amandemen. PROSES LEGISLASI Sejak amandemen, kekuasaan legislasi dimiliki sepenuhnya oleh lembaga legislatif. Dalam hal ini, DPR lebih dominan sementara eksekutif hanya diberi hak untuk mengajukan rancangan. Proses legislasi dilakukan secara bersama oleh legislatif dan eksekutif. Jika tidak terdapat persetujuan bersama, maka keputusan DPR lah yang harus disahkan. Ini artinya, presiden tidak dapat menggagalkan legislasi yang tidak disetujuinya. Sebagai rekomendasi untuk amandemen, sebaiknya presiden diberi pula hak untuk menggagalkan suatu legislasi yang tidak disetujuinya, di luar mekanisme uji materil ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, banyak legislasi yang merupakan hasil kompromi politik. Untuk menghindari legislasi yang sarat dengan kompromi politik yang cenderung membahayakan, sebaiknya dalam pembentukan legislasi anggota DPR cukup menyetujui atau tidak suatu rancangan. Untuk membahasnya, DPR dapat melimpahkannya kepada lembaga lain semacam staf ahli. Hal ini dilakukan agar substansi legislasi tidak menyim12
konstelasi — www.p2d.org
pang terlalu jauh dari semangat konstitusi. PEMBATALAN LEGISLASI UUD 1945 hasil amandemen memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan substansi legislasi melalui mekanisme uji materil. Setiap orang dapat melakukan uji materil apabila legislasi tersebut merugikan hak konstitusinya atau dianggap bertentangan dengan konstitusi. Celakanya, pengujian legislasi terhadap UUD 1945 sangat tergantung pada pemikiran para hakim konstitusi. Tidak sedikit prinsip-prinsip demokrasi dicoreng oleh putusan-putusan MK. Misalnya putusan MK yang menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945, padahal dalam Pasal 28i UUD 1945 sangat jelas kalau hak hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun. PEMERINTAHAN DAERAH Dalam UUD 1945 hasil amandemen disebutkan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintah daerah diatur dengan undangundang. Pemerintah daerah ini diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam pengaturan tersebut tidak dinyatakan secara jelas berapa jumlah provinsi dan kabupaten di Indonesia. Ketidakjelasan ini mengakibatkan kebijakan untuk menggabungkan dan memekarkan pemerintah daerah menjadi sering dilakukan. Hal ini tentu saja mempengaruhi anggaran negara dan struktur cabang-
cabang kekuasaan di daerah. Dalam UUD 1945 hasil amandemen disebutkan bahwa kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis. Namun, praktiknya, pemilihan demokratis ini dilakukan melalui mekanisme pemilihan langsung yang sering menimbulkan konflik dan menjadi alat reproduksi neo-feodal di sejumlah daerah. Selain itu, biaya untuk melakukan pemilihan secara langsung di daerah sangat menyita anggaran negara. HUBUNGAN WARGA NEGARA DAN NEGARA Hubungan antara warga dan penguasa semakin dekat ketika ada pengaturan mengenai pemilihan presiden secara langsung. Selain itu, UUD 1945 sudah secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Ini artinya, kedaulatan berada di tangan rakyat, perjalanan pemerintahan dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Kemajuan yang cukup berarti dalam amandemen UUD 1945 adalah menempatkan hak asasi manusia sebagai hak konstitusi. Hak warga negara diatur cukup terperinci — baik itu hak ekonomi, sosial, dan budaya maupun hak sipil dan politik — melalui penambahan pada Pasal 28. Namun, masih banyak hak yang diatur dalam Kovenan Hak Ekosob dan Kovenan Hak Sipol belum diadopsi. Oleh karena itu, dalam amandemen nanti, pengaturan hak dalam kedua kovenan itu perlu diangkat ke konstitusi untuk menggantikan pengaturanpengaturan yang lama. Pengaturan tersebut diperlukan untuk meningkatkan partisipasi publik dalam pemerintahan dan jaminan kebebasan bagi warga negara FJ-11