ketika
~kisah pembawa cincin~ Buku 1 Trilogi Majikan Cincin. J.R.R . Tolkien
"Begitukah?" tawa Gildor. "Kaum Peri jarang memberikan nasihat begitu saja, karena nasihat adalah pemberian berbahaya, walau datangnya dari yang bijak dan untuk yang bijak pula; salah-salah segala sesuatunya bisa berakibat buruk. ….”
2011/2012
siswa dan saya berbeda cara pandang; Di suatu siang setelah bel akhir jam sekolah. Ada sebagian siswa kelas 9E yang tetap tinggal di ruangan saya. Ketimbang pulang, sembari menunggu jam latihan nenggak pil-pil ganda dosis tinggi jelang UNUS, mereka 'ngobrol' dengan saya. “ … … ….” “ … … ….” Hingga kemudian; ada permintaan yang diajukan. “Pak, Irul itu selesain aja Pak.” “Iya Pak. Selesain aja sama Bapak.” “Selesaikan? Lha! Memangnya ada urusan apa sampai Irul perlu diselesaikan segala? Apa pula maksudmu dengan selesaikan itu?” saya menjawab dengan tanya. “Itu Pak, dia itu sering ngganggui Fitria, Pak?” “Betul begitu Fitria?” Hanya anggukan sebagai jawaban. “Apa yang dia lakukan terhadapmu?” Belum sempat Fitria menjawab; Miranda, Aminah Rizky, dan Resa menyerobot bicara, menyodorkan laporan dengan suara saling bertumpangan. “ “ … … … ….!” “ “Bentar dulu dong, ini orangnya ada kok. Beri Fitria kesempatan untuk cerita sendiri. Fitria; bersedia cerita padaku?” Begitu Fitria mulai cerita, dan tampaknya begitu saja ada sesak mendesak pada Fitria. Ada sedikit tangis yang sangat sebentar dan sesengguk yang sangat ditahan. Fitria berhasil menahan tangis dan sesengguknya. Tapi sesaknya yang ditahan melompat mencari pembebasan; dan dengan cara yang begitu saja, dada saya mendadak dicengkeram sesak yang pekat. Sesak Fitria itu pastilah sesak yang sudah lama ditekan dan dimampatkan. Begitulah saya merasakan. Berdasarkan ucapan serobotan teman-teman Fitria, sepertinya ada beberapa tindakan gangguan yang dilakukan Irul kepada Fitria. Tetapi Fitria hanya
menceritakan dua: dibikin terkejut dengan gebrakan meja, dan buku yang direnggut selagi dibaca. Selesai mendengarkan keluhan, khususnya kepada Fitria, saya membicarakan ihwal mengelola perasaan dan latihan menjadi kuat menahan beban. Hingga kemudian, Puteri Wijayanti yang kemudian bicara 'mengusulkan', “Pak, Irul itu dipanggil aja Pak.” Tentu saya sudah memikirkan untuk bikin temu muka dengan Irul meski tidak saya katakan; dan lagi, setiap ada kesempatan untuk iseng, sayang bila dilewatkan; jadi, saya tanggapi permintaan Puteri begini, “Baiklah Puteri, aku panggil Irul. Ruuuull, Iruuuul, ke marilah kau Rul. Ir.....” belum selesai saya omong, sudah ada yang potong. “Ih, Bapak ni.” Dan yang manyun bukan cuma yang usul. Yang malah agak mesem lantaran saya semprul begitu justeru Fitria. “Bapak ni, ada orang sedih malah guyon.” “Lho, memangnya nggak boleh ya? Bukankah guyonan bisa menjadi penghiburan bagi mereka yang sedih? Lha wong tadi waktu mulai cerita Fitria saja malah nahan diri biar nggak sampai nangis kok. Lha malah kamu yang pengen ngungkat perasaan ...hiks,” sambil saya agak tertawa. “Apa menurutmu aku perlu juga ikut-ikutan sedih begitu? Itu malah cuma bakal bikin kamu terpuruk dalam sedih. Padahal Fitria tadi sudah bisa mesem lho. … … “Aku punya cara sendiri kok, untuk bisa ikut merasakan, tapi bukan dengan cara ikut-ikutan manyun macam kamu. Tampang penyok macamku, manyun, apa malah nggak tambah penyok. “Tapi kamu perlu tahu. Kamu tuh, orang baik. Sedia merasakan ketidaknyamanan dan kesedihan orang lain. Menurutku, kamu bukan sekadar bersimpati, tapi lebih dari itu, kamu memberi ruang untuk empati. Kamu bersedia mbela temanmu. Bagus sekali itu.” “ … … ….”
“ … … ….” “ … … ….” “ … … ….” Ada beberapa hal lain yang masih kami bicarakan sebelum mereka saya 'usir' lantaran sudah sampai pada jadwal bagi mereka untuk neggak pil-pil ganda tambahan jelang UN. Sore itu juga, saya mengharapkan bisa ketemu dengan Irul; ternyata Irul tidak mengikuti les. Baru esok harinya saat jam istirahat, Irul dan saya saling temu. Untuk urusan dengan siswa-siswa yang dianggap pembuat masalah, saya selalu mengatur posisi kursi agar saya dan siswa duduk bersisian. Saya berusaha menempatkan diri sebagai kawan yang mengiring, tidak berhadapan. Semata-mata karena saya tidak ingin ada kesan pertentangan dalam benak dan perasaan siswa. Dan begitulah kemudian saya mengawali tanpa basa-basi. “Irul,” nama lengkapnya Khairul Tamimi, “aku dapat laporan, ada teman sekelasmu yang kerap kamu ganggu. Betul itu?” “ .. .. Ndak ah Pak. Ndak ada. Siapa Pak?” “Begitu menurutmu? Aku bisa jawab pertanyaanmu tentang siapa; siapa yang kamu ganggu dan siapa yang kasih konfirmasi padaku. Kalau sekarang ini aku tanya padamu, aku hanya pengen tahu apa kamu punya keberanian untuk mengaku atau tidak. …… “Betul ada teman kelasmu yang kerap kamu ganggu?” “Iya Pak.” “Siapa?” “Fitria Pak.” “Nah, kalau begitu cocok dengan laporan dan pengakuan Fitria. Apa yang sering kamu lakukan pada Fitria?” “Ngatai Pak.” “Dan apa kata-kata yang kerap kamu lontarkan pada Fitria?” “Nenek …....” Saya tidak bisa mengingat kata ejekan yang digunakan, yang saya ingat bahwa kata tersebut diakhiri dengan huruf 's' ini pun saya tidak yakin betul. Lebih dari itu, saya memang tidak tahu makna yang disasar oleh frasa 'nenek .. …' tersebut. Tapi saya tak hendak menanyakan artinya. “Selain itu?” “Ndak ada Pak.”
“Betul begitu?” “Iya Pak.” “Kalau dalam bentuk tindakan? Apa yang kamu lakukan pada Fitria?” “Ndak ada ah Pak.” “Iruuull, kemarin itu Fitria sempat nangis lho waktu cerita.” “Tapi dia tadi ketawa-ketawa....” “Wah! Tidak baik itu Irul kalau kamu mengharapkan Fitria cemberut saben saat. Boleh-boleh saja dong kalau dia senang, ketawa-ketawa, becanda dengan yang lainnya. Yang aku bicarakan ini kemarin Irul; nangisnya memang sebentar, tapi nyesek, Irul.” … … …. “Aku dengar dari teman-temanmu, kamu pernah kena marah guru?” Irul meng-iya-kan. Lalu kami membincangkan beberapa perlakuan guru yang pernah Irul terima. “ … … ….” “ … … ….” “ … … ….” “Dan bahkan ada guru yang sampai mengharapkan kamu tidak diterima masuk ke SMA 2 sini karena dia nggak pengen ketemu kamu lagi di sana? Nggak pengen ngajar kamu lagi, betul begitu?” Pertanyaan yang di-iya-kan lagi oleh Irul. “Apa perasaanmu ada guru yang ngomong sampai begitu terhadapmu?” “Sakit Pak.” Ada getaran isak tipis hanya sepanjang suku kata 'sak' pada kata sakit saat Irul mengatakannya. Lalu, saya biarkan jeda agak panjang melintasi kami sebelum kemudian saya mengatakan kepada Irul; “Aku justeru punya harapan sebaliknya Irul. Aku malah mengharapkan kamu bisa masuk ke SMA 2. Kamu bisa dan boleh buktikan bahwa dia salah kalau mengharapkan kamu tidak diterima di SMA 2. Kamu bisa buktikan; bahwa kamu juga bisa berubah menjadi lebih baik.” “Nah, kamu pun bisa merasa sakit. Coba ingatkan pada dirimu sendiri bahwa perasaan seperti yang kamu rasa itu juga ada pada Fitria pada saat kamu ngganggu dia. Bahkan, perasaan Fitria mungkin lebih sakit lagi dibandingkan perasaan sakitmu. ” … … …. “Kamu ingat apa yang kukatakan tentangmu waktu di kantin Mbak Eli beberapa hari lalu? Waktu aku nimbrungi kamu dan teman-temanmu di sana?”
“Nggak Pak.” “Jelas tidak. Memang. Ada saat waktu teman-temanmu ngomentari kamu, sambil jongkok di bangku, kamu tempelkan telinga kirimu di lengan sambil jari tangan kirimu kamu sumpelkan ke kuping kanan. Kamu agak menghadap ke arahku berdiri. Kamu nggak pengen dengar omongan teman-temanmu, itu pikiranku tentang caramu ambil sikap badan. Dan waktu aku nimpali omongan mereka, kamu ganti posisi kepala dan tanganmu, kamu juga menolak dengar bicaraku. Sikapmu menunjukkan itu. Kamu mungkin anggap aku sekongkol dengan mereka ngomong hal yang kamu nggak ingin dengar. Tapi aku bicara sesuatu yang lain. Sesuatu yang berbeda dengan cakapan temantemanmu; dan waktu entah bagaimana kamu sadar aku bicara sesuatu yang menurutmu layak didengar, kamu tegakkan kepalamu, kamu lihat ke arahku dan siap nyimak. Tapi kamu telat, Irul. Saat itu, aku sudah selesai bicara. “Aku bisa saja mengulang yang kukatakan saat itu. Tapi aku nggak akan lakukan; … karena ada hal lain yang lebih baik untuk kubicarakan denganmu.” Lalu; kami membicarakan sesuatu yang pernah Irul tulis. Sesuatu yang layak untuk disebut istimewa, tetapi terlalu kerap diabaikan. Saya tidak memaksdukan keistimewaan tersebut dalam sifatnya yang individual melulu tentang Irul, bukan. Memang sama sekali bukan. Karena apa yang tampak pada Irul pun banyak muncul pada orang-orang lainnya. Keistimewaan tersebut lebih merupakan sesuatu yang terkait dengan sikap yang tampak muncul begitu saja. Sesuatu yang biasanya gampang ditemukan pada tulisan-tulisan tangan anak-anak dan orang dewasa. Dan begitulah jam istirahat di hari itu kami gunakan untuk ngobrol. Selesaikah urusan? Belum. Esok harinya, dua teman sekelas Irul---Miranda dan Amina Rizky--datang lagi pada saya dan bikin laporan, “Pak, Irul sudah nggak ganggu Fitria lagi, Pak; tapi dia sekarang malah gangguin Erna, Pak.” “Ah, begitu ya. Nanti kita bahas di kelas. Nanti siang belajar di kelasmu saja, ruang ini mau dipakai kelas 7 soalnya. Kasih tahu teman-temanmu ya.” Apakah saya menyiapkan setumpuk kemarahan terhadap Irul lantaran saya menganggapnya tidak 'patuh' pada apa yang kami cakapkan sebelumnya. Apa yang kemudian dilakukan Irul itu adalah suatu kewajaran dan bahkan dalam sudut pandang tertentu memang begitulah semestinya. Irul melakukan semacam riset. Saya tidak bersikap apriori dan
menganggap Irul menutup-nutupi tindakan lainnya yang bagi Fitria merupakan gangguan. Amat sangat boleh jadi, dan belakangan terbukti, bagi kesadaran Irul, hal yang dilakukannya dianggapnya sebagai geguyon, candaan. Bahwa ia tidak memahami tindakannya merupakan gangguan lantaran yang diganggunya masih berada dalam taraf kesanggupan untuk menanggung. Dan karena dalam percakapan kami saya sama sekali tidak menyinggung tindakantindakan lain yang dilakukan Irul, Irul tidak tahu. Sehingga, Erna menjadi subjek risetnya. … … …. 9E. Jadwal tatap muka terakhir hari Kamis itu. Begitu memasuki kelas, sembari berjalan menuju meja guru, saya berkata, “Irul; aku dengar laporan lagi tentangmu. Kamu berhenti ganggu Fitria, tapi pindah sasaran pada Erna. Dan kepada yang lain, aku minta bantuan kalian, harap sedia menolong, kalau kamu lihat Irul ganggu siapa pun lagi, ingatkan dia, 'Ruuul, ingat Rul, evaluasi dirimu sendiri Rul.' Kuberitahu kamu, Irul temanmu itu, punya kemampuan untuk melakukan evaluasi dirinya sendiri, harap kamu bersedia membantu mengingatkannya kalau Irul lalai. … … …. … … …. “Nah; hari ini aku punya sesuatu untuk dibahas bersama, tapi sebelum kita bahas, aku mulai dulu dengan, assalamu'alaikum warahmatullah wabarakaatuh.” “Wa 'alaikum salam warahmatullah wabarakaatuh.” … … …. “Nih, yang akan kita bahas. Ada seseorang yang menulis tentang cita-citanya. Dia ingin menjadi pemain bola karena, menurutnya, pemain bola gajinya banyak. Tetapi kemudian ada yang diubah (sambil saya menuliskan di papan tulis), kata 'gajinya' dicoret dan diganti 'dikenal', lalu ada tambahan kata 'orang'. dikenal … karena gajinya banyak orang. “Nah, menurutmu; menurut penilaianmu, sifat-sifat macam apakah yang ada pada orang tersebut?”
“Bimbang.” “Ragu-ragu.” “Plin plan.” “ … … ….” “ … … ….” “ … … ….” “Gampang berubah pendirian.”
sepak bola
evaluasi
ingin dikenal
“Menurut pendapatmu, sifat-sifat semacam itu sifatsifat positif, atau negatif?” “ “Negatiiiif.” “ “Nah, sekarang bandingkan caramu dengan caraku membuat penilaian terhadap orang ini. “Kalau seorang guru membaca hasil kerja siswa, kemudian ada bagian yang dicoret karena keliru, lalu diganti dan diubah, tindakan guru itu disebut sebagai tindakan apakah?” “Mengoreksiii!” “Mengevaluasi.” “Memperbaiki?!” “ … … ….” “Aku terima semua jawabanmu. Dan itulah penilaianku terhadap orang itu. Orang itu memiliki kemampuan untuk melakukan koreksi, evaluasi, memperbaiki, meninjau ulang dirinya sendiri. Menurutmu, sifat-sifat yang positif atau negatif tuh?” “ “Positif Paaak.” “ “Dan itu lah Irul temanmu.” Mendengar ternyata bahwa Irul lah yang menjadi pokok bahasan saya, Resa Moristi langsung menoleh pada Irul yang duduk di pojok belakang. “Yang kutuliskan itu adalah salinan tulisannya ketika menulis cita-citanya dalam biodata pertemuan kita yang paling awal dulu.”
“Profesi apa, yang berhubungan dengan sepak bola, dapat dikenal oleh banyak orang dan butuh kemampuan evaluasi? Hayo!” “Wasit.” “Hakim garis.” “... … ....” dst. “Kamu mikirnya masih di dalam kotak stadion sepak bola sih. Coba perluas ruang imajinasimu sehingga ke luar dari lapangan sepak bola. Tambahi deh lingkaran pada peta itu dengan satu lingkaran lagi dengan kemampuan yang kamu pelajari sejak SD, tetapi sudah lebih berkembang, menulis!” “... … ....” “... … ....” “ “Wartawan?!” “ “Nah tu. Kamu yang suka nonton pertandingan bola di tivi, sebelum pertandingan biasanya ada obrolan yang menghadirkan siapa?” “... … ....” “... … ....” “... … ....”
“Yaaah Pak; yang diomongin malah nggak dengerin,” Resa yang berkomentar.
… … …. gegu… … …. yonan.
“Siapa bilang nggak dengerin? Buktinya kamu, Resa, menyimak. Yang kuomongin kan kamu-kamu selain Irul?! Irul; dalam hal bahasan kita, menjadi bahan omongan. Iya kan? Hayoooo.... Dan lagi, kemarin Irul sudah dengar duluan kok sebelum kamu. Kamu juga perlu paham bahwa hanya karena Irul tidak melihat ke depan sini, belum tentu dia nggak dengerin.”
“Baik, kita lanjutkan lagi. Kamu masih ingat dengan gambar-gambar yang pernah kutayangkan? Gambar yang bisa dilihat sebagai bebek sekaligus kelinci; nenek-nenek yang sekaligus gadis muda; kumbang yang bisa berada di dalam maupun di luar kotak; masih ingat?”
… … …. “Kita lanjut lagi nih. “Faktanya, ternyata Irul nyaris tidak pernah latihan sepak bola. Kita andaikan keadaannya terus begitu sehingga Irul batal menjadi pemain sepak bola. Dengan data yang kita punya, kira-kira pekerjaan dan atau profesi apa yang bisa Irul jalani. Kubikin petanya.
“ “Masiiii...h!” “ “Kamu lihat persamaannya dengan yang kita bahas ini? Ada yang tahu apa persamaannya?” “...?! ...?! ...?! ...?! ...?! ...?!” saya memberi tawaran kepada beberapa siswa untuk menjawab. “Itu Pak, satu hal yang sama, bisa dilihat dengan dua
cara yang beda.” “ … … ….” “ … … ….” “ … … ….” dan saya pun menerima beberapa jawaban lain yang kurang lebih sama. … … …. “Nah, begitulah ya. Sisi positif dan negatif, baik dan buruk selalu ada pada manusia, termasuk juga padaku, dua sisi itu ada. Kalau dibuat dalam bentuk timbangan, kurang lebih begini: (menggambar timbangan) BAIK
BURUK
“Bener nggak tuh gambarnya? Jangan-jangan lengan timbangannya terbalik?” “ … … ….” “ … … ….” “ … … ….” “Coba saja kamu bikin pembuktian. Buat timbangan sederhana, lalu kamu banduli beban dan geser-geser posisi bebannya. ”Nah, kamu yang beragama Islam, saya percaya sebagian kamu pernah membaca ayat yang membahas tentang berat ringan timbangan kebaikan dan keburukan.” “ … … ….” “ … … ….” “ … … ….” “ … … ….”
Persoalan kemudian adalah, apakah seseorang akan memperkuat timbangan sisi baiknya atau justeru sebaliknya. Misalnya begini: (menggambar timbangan lagi) BURUK B A IK
Alhamdulillah, terkait dengan tindakan Irul sebelumnya, tak ada saya terima laporan lagi. Dan yang paling menyenangkan saya, saat refleksi yang saya lakukan dengan mengambil jadwal Ujian Sekolah, ada satu butir pendapat Irul yang sangat berbeda dengan lebih dari 180 peserta lainnya. Seperti yang saya kemukakan dalam [fragmen]-1 pada surel saya sebelum ini, Irul ke luar pagar tanpa melanggar, ia melompatinya.