Lis Maulina
“MAHARANI…? Maharani Farah Diba…?‛ Bola mata Bayu seakan hendak meloncat keluar. Suaranya bagai orang sedang tersedak. ‚Mengapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya, Man?‛ Herman merasa serba salah. ‚Aku bukan sengaja, Bay. Pak Hendro sendiri yang memilih bintang utamanya. Aku juga baru tahu tiga hari lalu.‛ ‚Dan kamu tidak segera memberitahuku?‛ Bayu masih menyesalkan. ‚Untuk apa? Toh, ceritamu sudah dibeli. Kamu tidak berniat menarik keputusanmu untuk menjadikan cerita itu sinetron hanya karena bintang utamanya Maharani, kan? Kamu harus realistis, Bay. Kamu mungkin tidak suka Rani, namun diakui atau tidak penggemarnya jutaan. Pak Hendro benar, nama Marahani yang diletakkan sebagai bintang utama sudah merupakan jaminan bagi para calon sponsor, sinetron itu akan ditonton jutaan mata.‛ Bayu mendengus, membuang kekesalan hatinya. Maharani Farah Diba--- sesuai namanya memang sudah diakui publik sebagai ratu panggung hiburan papan atas negeri ini. Apapun produknya, entah berupa film, sinetron, iklan atau talk show yang membawa namanya, dipastikan akan sukses. Bukan hanya karena dia muda, cantik, menarik 2
dan memikat, tapi juga berbakat serta sangat profesional dan penuh totalitas. Meski harus diakui juga, di tengah jutaan pemuja, tidak sedikit yang tidak menyukai Maharani. Terutama pada sikap, prilaku, dan gaya hidupnya. Salah satunya adalah Bayu. Penampilan Maharani yang selalu berani tampil terbuka alasan paling utama. Gaya berpakaiannya selalu sensual, minim dan ketat. Bahasa tubuhnya seakan mengungkapkan kesombongan, ketidakpedulian, dan apatisme. Bila dikritik cara berpakaiannya, pasti tanggapannya tidak pernah positif, selalu mengandung provokasi yang mengundang penggemarnya untuk mengikuti. Belum lagi gaya hidupnya yang kontroversial. Gossip gonta-ganti pacar, kumpul kebo, dan perselingkuhan, selalu ditanggapinya dengan santai seakan dia sudah terbiasa. Setiap melihat Maharani tampil di televisi, darah Bayu mendidih, giginya gemerutuk, dan rahangnya mengeras. Bila sudah begitu, dia lebih suka mematikan televisi daripada akhirnya dia melempar wajah cantik dalam kaca itu dengan asbak atau barang apa saja yang ada di meja. Setiap mendengar namanya, Bayu selalu berdoa agar tidak ada lagi selebritis yang seperti dia. Satu saja aktris top bertingkah seperti Rani, rusak jutaan masyarakat, apalagi lebih dari satu. 3
Sekarang, bintang paling disebelinya itu justru akan menjadi pemeran utama dalam sinetron yang kisahnya diangkat dari novelnya. Bagaimana mungkin Bayu bisa menerimanya? Awalnya sederhana saja. Herman, temannya yang kebetulan bekerja di sebuah production house membaca naskah novel islaminya yang baru dirilis. Dia menganggap karyanya itu cukup menarik. ‚Novelmu coba kubawa ke bos ya, Bay! Kebetulan, beliau sedang mencari-cari cerita untuk sinetron khusus Ramadhan mendatang. Siapa tahu ceritamu ini bisa disinetronkan, kan lumayan,‛ ujarnya. Saat itu Bayu tidak menanggapinya secara serius. Dia menganggap tidak mungkin produser tertarik dengan novelnya. Pasalnya kisah di novel itu berbeda dengan cerita sinetron Ramadhan yang biasa tayang di layar kaca. Nilai Islami di novelnya tergolong strict bila dibanding cerita sinetron Ramadhan yang kebanyakan selalu menyesuaikan tuntutan komersialisme. Kenyataannya, Herman justru membawa berita gembira. Katanya, Pak Hendro --- bosnya tertarik menjadikan novelnya sinetron ramadhan. Dia bahkan meminta Bayu untuk menulis skenarionya dibantu Herman yang kebetulan sudah sering menulis skenario untuk sinetron. Bayu setuju, asal sinetron tersebut benar-benar murni berdasarkan 4
novelnya, tanpa perubahan-perubahan dengan alasan tuntutan pasar. Mereka menyanggupi persyaratan tersebut. Bayu pun mulai menggarap penulisan skenarionya. ‚Sudahlah, Bay, kenapa hal ini harus jadi masalah? Bukankah kemurnian ceritamu tetap terjaga? Bila semuanya harus menurut kehendakmu, artinya kamu harus jadi produser sendiri. Ingat, biaya membuat sinetron tidak murah lho, Bay!‛ bujuk Herman. ‚Yah, terutama bila bintang utamanya sekaliber Maharani!‛ ‚Karena namanya memang jaminan keuntungan, Bay! Produser tentu saja tidak mau rugi. Mereka kan bisnis, bukan kerja bakti.‛ ‚Siapa yang kerja bakti?‛ Seseorang tiba-tiba memotong perdebatan mereka. Seorang wanita muda dan cantik, bertubuh langsing dibalut kulit kuning langsat yang mulus melangkah mendekati Bayu dan Herman yang sedang saling ngotot di pojokan. Bayu buru-buru membuang pandangannya. Jeans teramat ketat, dan kaos buntung menggantung sehingga bagian pinggang yang mulus seringkali terlihat membuatnya jengah. Namun wanita yang memakainya sama sekali tidak tampak terganggu. 5
‚Halo, Mas Herman! Asyik sekali ngobrolnya! Tapi kedengarannya tadi ada yang menyebut-nyebut nama Rani,‛ ujarnya dengan suara ringan. ‚Hai, Ran!‛ Herman cepat menjawab. ‚Kami cuma lagi mendiskusikan karakter yang akan kamu perankan. Kebetulan, ini adalah Bayu, penulis cerita aslinya.‛ ‚Oya?‛ Sepasang mata jeli yang dihiasi bulu-bulu lentik itu menatap Bayu tajam. ‚Katanya, cerita ini berasal dari novel, ya? Mas yang menulisnya? Boleh saya membaca novel aslinya?‛ ‚Oh, tentu boleh!‛ Lagi-lagi Herman yang menjawab. Takut keduluan Bayu menyahut dengan kalimat yang tidak diinginkan. ‚Apa menurut kalian, saya cocok memerankan karakter Zahra?‛ tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari Bayu. ‚Anda ingin jawaban jujur?‛ Bayu mendelik. ‚Tentu saja.‛ Bayu menatap Maharani dari ujung kaki ke ujung rambut dengan sinis. Melihat adegan tersebut, kembali Herman menyela. ‚Sekarang mungkin tidak. Tapi bila Rani berganti kostum, tentu lain keadaannya,‛ cetus Herman. 6
Maharani memandang Herman. Dia kemudian tertawa renyah. ‚Mas Herman benar. Tunggu, saya akan memperlihatkan sesuatu pada kalian berdua!‛ Maharani menjauh. Dia memberi isyarat pada asistennya untuk mengikuti. Beberapa menit sebelum konferensi press dimulainya syuting sinetron Ramadhan berjudul ‘Di Pintu-Mu Aku Mengetuk’, Maharani sebagai pemeran utama muncul. Semua yang hadir di ruangan tersebut terpana. Penampilan Rani berbeda seratus delapan puluh derajat. Dia mengenakan baju panjang hijau lumut dengan motif bunga. Rambut indahnya yang biasa tergerai tertutup jilbab berwarna senada. Dia melangkah anggun. ‚Bukan main…. Maharani cantik sekali dengan busana muslimah itu!‛ puji Herman. Decak kagum serupa susul-menyusul. Mereka memuji penampilan Maharani yang benar-benar tampak berbeda. Rani menanggapinya dengan senyum bangga. Selesai konferensi pers, Maharani mendekati Bayu. ‚Bagaimana, Mas? Apakah sekarang saya cocok memerankan Zahra?‛ tanyanya. 7
Bayu menatap tersungging.
sejenak.
Bibirnya
perlahan
‚Kekuatan karakter Zahra bukan pada pakaiannya,‛ sahutnya sambil melangkah pergi. *** SEJAK saat itu, Bayu berusaha melupakan ceritanya yang disinetronkan. Herman berkali-kali mengajaknya ke lokasi syuting, untuk menyaksikan langsung suasana pengambilan gambar, namun selalu ditolak. Bahkan saat mulai ditayangkan, Bayu tak pernah menyaksikan. Meski selalu menghindar, tak urung kabar burung tentang sinetron itu tetap kerap mampir di kupingnya. Kedengarannya, sinetron tersebut mendapat sambutan hangat pemirsa. Para kritisi juga memujinya. Bahkan, sinetron itu mendapat penghargaan dari sebuah organisasi pemuka agama. Bayu mendapat undangan untuk menghadiri malam penyerahan penghargaan tersebut. ‚Apa kali ini kamu masih ingin menghindar, Bay?‛ ujar Herman yang bertugas mengantarkan undangan. Bayu menghela nafas. Senja --- adik perempuannya muncul membawa suguhan minum dan makanan ringan. Dua buah hatinya --- Dija dan Fikri, 8
menguntil di belakang. Sejak ditinggal ibu mereka dua tahun lalu, keduanya memang semakin akrab dengan Tante Senja yang membantunya mengurus mereka. ‚Undangan apa Mas Herman?‛ tanya Senja saat melihat undangan indah masih terbungkus plastik tergeletak di meja. ‚Malam Penghargaan. Tampaknya sinetron ‘DPAM’ akan memperoleh penghargaan lagi. Tapi entah, apa kali ini Abangmu mau datang atau tidak,‛ sahut Herman sambil melirik Bayu. ‚Masak tidak mau datang, Bang?‛ Senja meraih undangan. ‚Ini kan suatu kehormatan. Pasti banyak pejabat yang hadir. Maharani sendiri juga diundang, kan? Wah, jadi kepengin melihat langsung Rani yang berjilbab. Pasti lebih cantik dari yang terlihat di televisi.‛ Bayu mendengus. Semula Senja juga tidak menyukai Maharani. Tapi sejak Rani menjadi bintang utama sinetron Ramadhan yang ditulis Abangnya, pendapatnya berubah. Dia sering memuji kecantikan dan akting Maharani di sinetron tersebut. Bahkan Dija dan Fikri juga ikut memujanya. ‚Mas, apa benar Maharani sekarang lebih sering tampil berjilbab?‛ tanya Senja pada Herman. 9