atap untuk memandang ke arah laut, dengan kekaguman yang mendalam, untuk menikmati sebuah sumber daya alami yang teramat jarang ditemui dalam dunia kita kini. Yang kumaksud adalah keheningan umat manusia bisa dibilang juga telah memusnahkan hal itu. Sekali lagi aku telah berada di atas tanah walaupun hampir dapat dikatakan bahwa aku belum mendarat, apalagi melupakan penerbangan itu, bahkan setelah ada jaminan bahwa untuk penerbangan kembali ke Nadi, aku akan mendapat kursi di dalam pesawat yang dijadwalkan. Suasana hatiku tengah diliputi kepanikan yang menggelisahkan, sebuah keadaan jiwa yang kuyakin tidak akan dapat kusingkirkan. Seolah aku tengah menikmati gelegak alkohol dalam tubuhku, namun sambil menyadari pula bahwa sekali ini aku telah meminum anggur yang tidak akan pernah keluar dari tubuhku. Aku pernah mendengar tentang para dokter yang berubah menjadi penderita hipokondrial, para pendaki gunung yang menjadi takut akan ketinggian, dan para pendeta yang kehilangan keimanan mereka. Aku pun hampir sama buruknya. Aku adalah ahli palaeontologi yang terjangkiti rasa takut akan tulang belulang. Aku adalah ahli zoologi yang hampir tidak dapat mengakui bahwa ia sendiri adalah seekor hewan. Aku adalah ahli biologi evolusioner yang sulit menerima bahwa waktunya di Bumi pun terbatas. Separuh dari hidupku telah kuhabiskan untuk mengamati sisa-sisa tulang belulang dari mamalia; dengan penuh keingintahuan aku telah menceburkan diri untuk menganalisis sisa-sisa hewan yang mati, dan sekarang aku terjangkit sebuah ketakutan yang nyaris menjurus ke kepanikan. Ketakutan bahwa suatu hari aku akan menyumbangkan tumpukan kecil diriku sendiri ke dalam materi yang selama ini begitu kunikmati. Aku merasa bangkrut. Tetapi, ini tidak terasa seperti sebuah obsesi, ini hanyalah suatu pengertian intuitif yang begitu mutlak. Buddha telah melihat seorang yang sakit, seorang tua, dan jenazah. Pada masa kecil, aku telah menemukan seekor anak rusa mati di hutan, dan sekarang setelah penerbangan yang berbahaya dari Nadi ke Matei itu luka lama itu terbuka lagi. Sekali lagi, aku memutar ulang film panjang yang dimulai dari saat kehidupan dimulai di Bumi empat miliar tahun yang lalu. Sejarah diriku sendirilah yang tengah kutonton, nenek moyangku sendiri. Bukan garis langsung nenek moyangku yang kembali kepada reptil-reptil kecil mirip mamalia yang hidup di sini beberapa ratus juta tahun yang lalu tetapi lebih jauh lagi kepada seekor reptil primitif, seekor amfibi, seekor ikan duri berongga, seekor invertebrata, dan terus kembali kepada sel hidup yang paling awal di dunia. Bukan saja aku diturunkan dari reptil-reptil mirip mamalia yang hidup di sini beberapa ratus juta tahun yang lalu, tetapi setiap sel di dalam tubuhku mengandung gen yang benar-benar setua itu. Aku adalah mata rantai terakhir dalam sebuah rantai pembelahan sel yang tidak terputuskan, mata rantai terakhir dari proses-proses biokimia yang kurang lebih telah diketahui, dan dalam analisis terakhir mata rantai terakhir dari biologi molekuler. Aku tersadar bahwa pada dasarnya, aku tidaklah berbeda dari organisme-organisme sederhana bersel satu yang merupakan nenek moyangku yang paling pertama. Singkatnya, aku tidaklah lebih dari sebuah koloni sel dengan satu perbedaan penting bahwa sel-sel milikku lebih saling menyatu dibandingkan sel-sel yang terdapat dalam sebuah kultur bakteri, sel-selku lebih berbeda-beda dan karenanya mampu melakukan pembagian tanggung jawab yang lebih radikal. Namun, aku pun terdiri dari sel-sel yang terpisah, dan setiap sel tersebut terbentuk dari sebuah faktor pemersatu paling sederhana, yaitu kode genetik, sang master plan itu sendiri, yang tertanam di setiap sel di dalam tubuhku. Kode DNA sendiri mewakili suatu akumulasi mikroskopik dari beratus-ratus juta tahun permainan tanpa tujuan dengan asam nukleat. Dan walau begitu, dari sudut pandang genetik, aku tidaklah lebih dari sebuah konstruk raksasa dari sel-sel kembar yang identik. Namun, bagaimana hiperklon-hiperklon ini dapat berkomunikasi satu sama lain, dan terlebih lagi, menyalakan dan memadamkan gen mereka demi keuntungan maksimal bagi keseluruhan ini adalah salah satu misteri terbesar di Bumi.
Motor penggerak evolusi yang sesungguhnya adalah suatu kenyataan sederhana bahwa hanya suatu bagian yang sangat kecil dari setiap generasi mampu tumbuh dewasa dan bereproduksi; tanpa adanya seleksi, evolusi tidak akan mungkin terjadi. Pengikisan keturunan secara permanen dan perjuangan demi kelangsungan hidup yang juga berlangsung selamanya menjadi pilar-pilar evolusi. Tetapi, nyatanya aku duduk di sini, di sebuah pulau kecil di Oseania laksana sebuah perkecualian yang luar biasa langka dalam peraturan yang mengatakan bahwa engkau tidak akan mungkin memenangi hadiah pertama lotre seribu kali berturut-turut. Aku dan dengan ini yang kumaksud adalah garis nenek moyangku, pohon silsilahku, garis zigot dan pembelahan sel diriku sendiri yang tak pernah terputus telah bertahan selama berjuta-juta generasi. Dalam setiap generasi, pertama-tama aku berhasil membelah sel-selku, kemudian berkembang biak, membuahi telurku atau bertelur, dan dalam tahap terakhir, menghasilkan keturunan yang hidup. Jika satu saja dari berjuta-juta nenek moyangku, misalnya seekor amfibi yang menjalani kehidupan yang dingin dan lembap pada periode Devon, atau seekor reptil yang merangkak di antara tumbuhtumbuhan pteridofita pada zaman Perm, jika satu saja individu itu mati sebelum matang secara seksual sama seperti anak rusa malang di kampung halamanku di Norwegia itu aku tidak akan mungkin duduk di beranda ini sekarang. Dan jangan katakan bahwa aku memandang segalanya dari sudut pandang yang terlalu jangka panjang, karena aku dapat saja mundur lebih jauh lagi: jika ada satu saja mutasi yang fatal dalam sebuah pembelahan sel bakteri tertentu dua atau tiga miliar tahun yang lalu, aku tidak akan pernah melihat dunia ini. Dari satu bakteri itulah aku berasal, dan khususnya dari satu sel tersebut marilah kita menyebut sel tersebut sebagai sel ZVG 31.514. 718.120.211.212.091.514 dalam koloni sel KAR 251. 521.118.512.391.414.518 pada 180° garis bujur beberapa derajat sebelah utara dari garis balik selatan. Aku tidak pernah mendapatkan kesempatan. Maka, aku telah bertahan bermiliar-miliar kali dari bahaya-bahaya paling mengerikan, tetapi nah, nah, nenek moyangku selalu berhasil oh ya, oh ya mereka selalu berhasil meneruskan tongkat estafet genetik mereka. Dan dalam keadaan utuh pula, Vera, selalu dalam keadaan utuh, walaupun secara berkala mereka sedikit mengubah warisan itu dengan beberapa variasi teramat kecil yang menguntungkan. Jadi, selalu ada estafet baru, karena akan masih ada berjuta-juta estafet yang harus dilakukan. Dan walaupun hanya memiliki peluang yang amat kecil, kini tibalah giliranku. Tetapi, estafet yang ba-ru telah dimulai, dan demikian selanjutnya, dan mungkin generasi berikutnya akan tumbuh dewasa walaupun kita tidak akan terlalu menghargainya. Tetapi begitulah yang akan terjadi, berulang-ulang, karena tidak ada yang sudi jatuh ke dalam perangkap. Semua orang selalu berjagajaga, tongkat estafet genetik ini telah diteruskan dari generasi ke generasi selama beratus-ratus juta kali. Buktinya, aku bisa berada di sini. Demikianlah isi pikiranku. Bisa dibilang bahwa semua ini berkat perusahaan penerbangan itu, karena mereka telah menempatkan bagasi genetikku yang berusia jutaan tahun dalam bahaya besar. Aku merenungkan fakta bahwa diriku pagi ini sudah larut dalam berbagai pemikiran pelik, padahal ikan-ikan duri berongga yang menjadi nenek buyut dan kakek buyutku yang kebetulan hidup bertetangga di periode Devon merangkak dari satu kubangan ke kubangan lain agar tidak kehabisan napas karena kekurangan oksigen. Tetapi dan ini adalah bagian yang menyakitkan kini, lomba estafet yang luar biasa panjang tetapi amat jelas dan transparan ini akan berakhir. Permainan domino yang tak berkesudahan dan terus berlangsung tanpa henti sedetik pun selama lebih dari tiga miliar tahun kini telah menemui jalan buntu. Aku sudah mulai bersiap menghadapinya. Aku merasa memiliki latar belakang yang sungguh kaya. Berapa generasi leluhurku yang dapat kuhitung sejak amfibi pertama? Berapa kali pembelahan selkah yang berhubungan dengan diriku sejak zigot paling awal? Aku adalah seorang profesor dengan masa lalu yang sungguhsungguh kaya. Tetapi, aku tidak memiliki masa depan. Setelah ini, aku bukanlah apa-apa. Demikianlah jalan pikiranku, dan mungkin sebaiknya aku menambahkan bahwa aku
memikirkan kita berdua. Tentu saja, aku juga merenungkan bahwa aku tidak memiliki seorang anak pun. Lebih menyedihkan lagi, bahwa sejauh ini, dari garis yang begitu panjang dan banyak yang berjalan selama beratus-ratus juta generasi sebelum diriku, akulah generasi pertama yang tidak memiliki keturunan. Karena, telah jelas diketahui bahwa ketidakmampuan memiliki anak tidak pernah dapat diturunkan. Sudah menjadi hukum biologi evolusioner bahwa ketidakmampuan menghasilkan keturunan adalah suatu karakteristik yang amat merugikan sehingga dengan segera disingkirkan. Hanya mereka yang mampu memiliki anaklah yang dapat mengimpikan memiliki cucu, dan tanpa cucu, seseorang tidak dapat menjadi seorang nenek buyut atau kakek buyut. Dan tepat saat segalanya tengah berjalan lancar, pikirku. Dan tepat saat aku tengah mengagumi harta keluargaku yang tak ternilai. Pada satu sisi, aku sangat kaya, aku memiliki berjuta-juta batu permata warisan kuno menghiasi dasar petiku. Tetapi, aku menyanyikan bait yang terakhir. Usiaku hampir empat puluh tahun, dan aku tidak melihat sedikit pun tanda-tanda bahwa aku akan memiliki keturunan. Aku begitu sendirian di dunia ini, begitu terasing. [] Adam yang Tak Terheran-heran Aku mencoba membaca ulang catatan terakhir yang kubuat di Auckland setelah melakukan berbagai pertemuan dengan orang-orang dari pelestarian lingkungan hidup. Beberapa kali kudengar suara berdebum pelan. Awalnya kukira itu adalah gema suara petir di kejauhan, tetapi kemudian kusadari bahwa itu tentulah suara kelapa yang berjatuhan ke tanah dari puncak pohon-pohon kelapa yang tinggi. Setelah buah kelapa ketigaberdebum jatuh, tiba-tiba terdengar suara-suara semakin mendekat, dan aku melihat seorang pria dan seorang wanita berjalan di samping dinding pondokku dan terus menembus pepohonan palem melalui jalan setapak kecil yang menurun ke arah laut dan jalanan. Lengan sang pria merengkuh erat bahu sang wanita, begitu eratnya hingga sebenarnya aku merasa agak malu berada di situ. Ini membuatku membayangkan seandainya Tuhan berkeliling di dalam Taman Firdaus sambil mengamati makhluk-makhluk-Nya. Sekarang aku mengambil alih peran tersebut, walaupun kejadian sekarang ini tentunya berlangsung setelah kejatuhan mereka, karena tidak saja kedua makhluk itu berpelukan begitu erat, mereka juga tidak lagi telanjang. Tuhan telah memakaikan sebuah gaun merah menyala kepada sang wanita, dan sang pria diberi pakaian dari linen hitam. Aku mendengar mereka berbicara dalam bahasa Spanyol dan aku pun menajamkan telingaku. Tiba-tiba sang pria berhenti di tengah jalan setapak itu. Ia mengangkat lengannya dari bahu Hawa dan menunjuk menembus kebun ke arah lautan. Kemudian ia berbicara dengan lantang dan jelas: “Sama sekali tidak aneh bahwa Sang Pencipta beristirahat setelah membentuk manusia dari debu dan meniupkan kehidupan ke dalam lubang hidungnya, sehingga menjadikannya makhluk hidup. Yang mengejutkan dari kejadian itu adalah Adam yang sama sekali tidak keheranan.” Udara saat itu panas, langit telah menjadi cerah setelah turunnya hujan deras di pagi hari, tetapi aku dapat merasakan dingin merambati tubuhku. Tidakkah ia nyaris seperti membaca pikiranku? Si wanita tertawa. Ia berpaling kepada si pria dan menjawab, mengucapkan dengan lantang: “Tidak bisa disangkal, menciptakan dunia seisinya adalah sebuah prestasi yang patut dikagumi. Walaupun tentu dunia yang mampu menciptakan dirinya sendiri pantas mendapatkan penghargaan lebih besar. Dan sebaliknya: pengalaman menjadi sesuatu yang diciptakan tidak ada artinya dibandingkan perasaan yang meluap-luap karena telah menciptakan diri sendiri dari kehampaan dan berdiri tegak dengan kedua kakinya.” Sekarang giliran si pria yang tertawa. Ia mengangguk sambil berpikir dan melingkarkan lengannya di bahu sang wanita lagi. Ketika mereka kembali beranjak
dan segera akan menghilang di antara pepohonan palem, kudengar si pria berkata: “Perspektif-perspektif ini begitu rumit; karenanya kita harus tetap membuka diri terhadap berbagai kemungkinan. Jika memang ada Sang Pencipta, seperti apakah dia? Dan jika Sang Pencipta itu tidak ada, apakah hakikat dunia ini?” Aku sama sekali tidak bisa menduga siapakah sebenarnya kedua peramal ini. Aku benar-benar terpaku. Apakah aku baru saja menyaksikan sebuah ritual pagi yang telah berjalan sejak zaman dahulu kala? Ataukah aku hanya kebetulan menangkap beberapa bagian dari sebuah percakapan yang lebih panjang? Jika memang begitu adanya, andai saja aku dapat mendengar semuanya. Aku merogoh buku harian kecilku dan berusaha mencatat semua yang telah mereka ucapkan. Tidak lama kemudian, saat berjalan-jalan menjelajah, aku bertemu mereka lagi, dan sekali ini aku bertemu langsung. Aku menyusuri jalan yang mengikuti garis pantai, kecuali di bagian-bagian yang paling curam di bagian tenggara. Aku mengikuti jalan tersebut selama sekitar 1,6 kilometer lalu tiba di suatu tempat yang menurut peta dinamakan Pantai Pangeran Charles. Sebuah nama yang terlalu muluk untuk sebuah laguna yang begini kecil, pikirku. Pada hari-hari tertentu, pantai ini bahkan tidak akan memikat siapa pun untuk berenang di sini. Tetapi mungkin sang ahli waris takhta Kerajaan Inggris itu pernah diseret ke sini karena para penduduk ingin menunjukkan pantai yang paling indah di Taveuni kepadanya. Pilihan mereka memang tepat. Melalui sela-sela pohon bakau, aku dapat melihat Adam dan Hawa berjalan tanpa alas kaki di dekat garis air, seakan-akan mereka tengah mengumpulkan kulit-kulit kerang. Aku merasa diriku tertarik menuju mereka dan aku pun memutuskan untuk berjalan ke arah pantai, seolah-olah karena kebetulan belaka. Tepat saat aku keluar dari antara pepohonan, aku mendapat sebuah inspirasi: mengapa harus menunjukkan bahwa aku bisa berbahasa Spanyol? Kemampuanku itu adalah sebuah kartu as yang mungkin akan berguna jika kusimpan, setidaknya untuk saat ini. Mereka mendengar kedatanganku dan mengamatiku dengan tatapan menyelidik. Kurasa si wanita mengatakan sesuatu kepada si pria bahwa mereka tidak lagi sendirian. Kecantikan wanita itu sebagaimana yang digambarkan dalam kisah Penciptaan dengan rambut hitam yang tergantung dalam ikal-ikal lebat di atas gaun merahnya, gigi yang putih bersih, dan mata yang hitam legam. Tubuhnya yang cokelat terbakar matahari itu semampai, molek, dan mengagumkan, dan menurutku ia bergerak dengan suatu keanggunan yang tidak biasa. Si pria lebih pendek dan tampak lebih pendiam, menurut hampir seperti menutup diri, walaupun sebuah senyum nakal tebersit di wajahnya yang tirus saat aku berjalan mendekat. Kulitnya pucat dan ia memiliki rambut pirang dan mata biru. Usianya mungkin sekitar usiaku, dan setidaknya sepuluh tahun lebih tua daripada usia si wanita. Bahkan pada pertemuan pertama itu aku merasa pernah melihat wanita muda ini sebelumnya. Walaupun aku tidak terlalu suka pada ide-ide seperti ini, tetapi hampir seakan-akan aku pernah bertemu dengannya dalam kehidupan sebelum ini, atau dalam keberadaan yang lain. Setelah sekilas merunut masa laluku dan kenalan-kenalanku belakangan ini, aku tidak bisa memastikan pada episode kehidupanku yang manakah ia hadir. Tetapi aku yakin pernah bertemu dengan wanita ini sebelumnya, dan mengingat ia masih begitu muda, tentunya itu terjadi belum terlalu lama. Aku menyapa mereka dengan menggunakan bahasa Inggris, mengatakan betapa indahnya cuaca hari itu dan bahwa aku baru saja tiba di pulau itu. Mereka memperkenalkan diri sebagai Ana dan Jose, dan aku memberi tahu mereka bahwa namaku Frank. Segera kami tahu bahwa kami sama-sama menginap di Maravu, karena memang tidak ada akomodasi lain dalam beberapa kilometer di sekitar tempat itu. Kemampuan bahasa Inggris mereka bagus.
“Liburan?” tanya Jose. Aku menarik napas. Percakapan ini tidak perlu berpanjang-panjang. Aku memberi tahu mereka bahwa aku sedang dalam perjalanan pulang setelah melakukan penelitian lapangan selama beberapa minggu di Pasifik Selatan. Ketika aku menambahkan beberapa kata mengomentari ancaman terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan asli daerah itu, mereka mendengarkan lebih saksama. Mereka bertukar tatapan penuh makna dan tampak begitu terikat sebagai pasangan sehingga aku pun kembali merasa tidak nyaman. Aku sadar bahwa dalam sebuah situasi seperti ini, beroperasi berpasangan memberikan keuntungan sangat besar. “Dan Anda berdua?” tanyaku. “Sedang berbulan madu?” Ana menggelengkan kepalanya. “Kami bekerja dalam industri perfilman,” ujarnya. “Dalam industri perfilman?” ulangku. Aku berusaha menggunakan kalimat itu sebagai upaya terakhir untuk mengetahui di mana aku pernah bertemu dengan wanita anggun ini. Mungkinkah ia seorang bintang film terkenal yang tengah menikmati liburan di Lautan Selatan dengan suaminya yang sedikit lebih tua, sang sutradara atau juru kamera terkenal Jose entah siapa? Toh bisa saja aku tidak pernah bertemu dengan wanita itu dalam kehidupan nyata; mungkin aku hanya melihatnya di layar bioskop. Tidak, ini tidak mungkin, aku tidak pernah gemar menonton film, terutama pada masa Ana menginjak usia dewasa. Si wanita menatap suaminya dan tampak ragu sejenak sebelum menoleh ke arahku lagi. Ia mengangguk dengan gaya menantang. “Kami bekerja untuk sebuah stasiun TV Spanyol.” Seakan-akan untuk membuktikan kebenaran pernyataannya, ia mengambil sebuah kamera kecil dan mulai memotret pemandangan pantai, Jose, dan diriku. Si wanita tersenyum nakal, dan aku curiga ia tengah menertawakan diriku. Jika memang itu yang ia lakukan, tidak akan sulit bagiku untuk memaafkannya, karena aku tengah tersilaukan oleh sesuatu yang melebihi pasir koral putih dan matahari tengah hari. Si lelaki bertanya kepada si wanita pukul berapa saat itu, dan aku ingat bahwa hal itu kuanggap aneh karena kuperhatikan keduanya tidak mengenakan jam tangan. Aku memberi tahu mereka bahwa saat itu pukul dua belas lewat seperempat, dan sambil melambaikan tangan, aku berkata akan menjelajahi pulau itu. Tepat ketika aku berbalik memunggungi mereka dan mulai menuju jalanan, aku mendengar si wanita membisikkan sesuatu dengan nada seperti bacaan sakral. “Ketika kita mati-saat adegan-adegan teiah terekam daiam pita seiuioid dan dekor teiah dilepas dan dibakar kita ada f ah arwah daiam ingatan keturunan kita. Kemudian kita ada f ah hantu, Sayangku, kemudian kita adaiah mitos. Tetapi, kita masih bersama, kita masih merupakan masa iaiu yang bersama, kita adaiah masa iaiu yang jauh. Di baiik kubah masa iaiu yang misterius, aku masih mendengar suaramu.” Aku berusaha terus melangkah ke jalan seolah-olah tidak mendengar apa pun, atau setidaknya berpura-pura tidak mengerti ucapannya itu. Begitu melewati sebuah belokan, kukeluarkan buku catatan kecilku dan kucoba menuliskan apa yang telah ia katakan. “Di balik kubah masa lalu yang misterius, aku masih mendengar suaramu ….” Aku menimbang-nimbang apakah Ana telah memberiku sebuah petunjuk untuk kuikuti.
Mungkin aku harus mencari kunci jati dirinya pada suatu masa lalu yang misterius. Aku pernah melihat wanita itu sebelumnya; aku benar-benar yakin. Tetapi pada saat yang sama, terasa ada yang tak beres. Aku memiliki perasaan tidak menyenangkan bahwa pada suatu waktu, sesuatu pernah terjadi pada dirinya. * Pertemuanku dengan kedua orang Spanyol itu telah membuatku begitu resah sehingga aku pun memutuskan untuk berjalan sejauh S kilometer sepanjang pantai menuju garis bujur 180°, tempat kabarnya terdapat sebuah monumen yang didirikan tepat di garis pemisah dua hari. Perjalanannya ternyata cukup panjang, tetapi aku jadi berkesempatan untuk melihat-lihat kehidupan sehari-hari di pulau itu. Aku berjalan melalui beberapa desa yang ramai dan disambut oleh senyuman para warga yang berpakaian warna-warni. Beberapa sungai dipenuhi anak-anak yang sedang berenang, ada pula satu atau dua orang dewasa yang berada di dalam air. Aku memerhatikan bahwa lebih banyak para lelaki yang berkeliaran sambil menggendong balita. Kaum wanita yang bekerja. Aku tidak dapat menemukan satu pun wajah yang bersedih, padahal siang itu aku mendapat kesempatan untuk mempelajari banyak wajah. Bunga dan buah kelapa, ikan dan sayuran banyak terdapat di mana-mana, tetapi selain dari hal-hal itu, tidak banyak yang mereka miliki menurut standar Dunia Barat. Tetapi bukankah Adam dan Hawa pun hidup dalam kondisi seperti ini dalam Taman Firdaus, sebelum mereka memakan buah dari pohon pengetahuan? Kemudian mereka dikutuk untuk bekerja di bumi seumur hidup dan memakan roti hasil kerja keras mereka? Aku tidak dapat membayangkan bahwa para wanita di pulau ini membutuhkan gas tawa maupun pethidine untuk membantu kelahiran. Hidup ini bagaikan sebuah permainan, pikirku, semua ini hanyalah sepotong gula-gula. Kedua kakiku pegal ketika akhirnya aku mendekati Desa Waiyevo, yang hanya berjarak 8DD meter dari dateline tersebut. Di sini, aku bercakap-cakap dengan Libby Lesuma, seorang wanita Australia ramah yang menikahi seorang Fiji dan memiliki sebuah toko kelontong dan sebuah toko suvenir kecil. Ia dikelilingi oleh sekawanan anak-anak, dan ketika salah satu dari mereka pergi untuk mengambil bola dari bawah sebuah pohon kelapa, aku menunjuk ke atas pohon tersebut dan bertanya apakah ia tidak takut jika anak itu terkena buah kelapa yang jatuh ke kepalanya. Wanita itu hanya tertawa dan berkata bahwa ia tidak pernah memikirkan hal itu, ia lebih khawatir akan hiu. Walaupun begitu, ia tidak pernah dapat menghentikan anak-anak itu berenang di laut. Namun, jika mereka sedang terluka sedikit saja, mereka tidak boleh memasuki air. Hiu dapat mencium bau darah dari kejauhan, ujarnya, dan aku mengangguk. Ketika aku mengatakan bahwa aku telah berjalan jauh dari Maravu, ia bertanya mungkin masih ada hubungannya dengan hiu tadi apakah aku lapar. Aku menjawab bahwa aku sangat lapar, tetapi sambil bercanda, kutambahkan bahwa di sepanjang jalan tadi, aku tidak merasa melewati satu pun restoran cepat saji. Ia pun tersenyum hangat keibuan, dan bagaikan seorang ibu peri yang baik hati, ia membawaku ke sebuah bar kecil yang tersembunyi di balik kedua tokonya, tepat di pinggir laut. Aku menghabiskan makan siang sederhanaku sendirian sambil berusaha memotivasi diri sendiri untuk melakukan sisa perjalanan yang terakhir. Bar itu bernama “Kafe Kanibal”, dan sebuah tulisan besar berhuruf merah yang mencolok mengumumkan: “Kami senang sekali Anda datang untuk makan malam”. Sungguh santai sikap cucu buyut para kanibal ini terhadap seni memasak mereka pada masa lalu, pikirku. Benar-benar tak terbayangkan bahwa orang-orang yang begitu pengertian, gembira, dan selalu tersenyum ini hanya beberapa generasi yang lalu akan memasukkan diriku ke dalam panci. Ada sesuatu dalam sikap mereka yang ramah itu yang menimbulkan asosiasi pikiran semacam itu. Aku selalu merasa mereka menyukai orang asing, tetapi terkadang aku merinding memikirkan bahwa mereka mungkin menyukai turis-turis sedikit banyak sama seperti diriku menyukai bau daging kambing panggang. Ketika orang-orang Fiji itu menyambutku dengan
sapaan “Bula” mereka yang selalu muncul di segala tempat itu, terkadang aku berpikir apakah mereka akan mulai menjilati bibir mereka. Aku tidak tahu apakah rasa daging manusia adalah sesuatu yang pada akhirnya dapat merasuk ke dalam gen. Pertanyaan berikutnya, apakah mereka yang pada dasarnya memiliki kecenderungan ke arah itu adalah mereka yang lebih berpeluang bertahan hidup. Mereka yang tidak menyukai daging manusia mungkin lebih sering kekurangan gizi dan mati karena kekurangan protein, belum lagi mereka yang dimakan sebelum berhasil memproduksi keturunan. Orang-orang yang dimakan itu pun telah kehilangan kartu pemilu genetik mereka. Monumen yang didirikan di date-iine dipromosikan secara mencolok. Di belakang sebuah tugu batu merah didirikan sebuah plakat vertikal yang menunjukkan sebuah peta tiga dimensi Taveuni. Plakat itu menggambarkan “Pulau Taman” itu dari udara; pemandangan yang tidak berani kunikmati saat aku duduk di dalam pesawat kotak korek api. Di tengah model pulau tersebut yang dilukisi jalanan, danaudanau, dan aliran sungai tergambar sebuah garis dari utara ke selatan, yang dalam dunia nyata merupakan bagian dari sebuah lingkaran, sebuah potongan dari garis keliling Bumi. Garis ini terus memanjang melalui kedua kutub, dan garis itu kemudian menjadi meridian utama yang memotong Greenwich. Di sebelah kanan garis itu di belahan Bumi dari arah aku datang berjalan kaki adalah hari ini, di sebelah kirinya adalah esok hari. Di bawah monumen tersebut tertera tulisan: GARIS PENANGGALAN INTERNASIONAL; TEMPAT SETIAP HARI BARU DIMULAI. Aku tidak akan mencoba mengusulkan bahwa berdiri dengan satu kaki pada hari ini dan kaki yang satu lagi pada esok hari adalah sebuah perasaan yang mengguncang dunia. Tetapi di pantai inilah, pikirku, milenium ketiga akan terbit, dan kini hanya tinggal dua tahun lagi menuju saat itu. Antena-antena parabola akan bermunculan bagaikan jamur beracun di salah satu dari begitu sedikit tempat di dunia berpenghuni yang masih tidak memiliki sambungan televisi. Liputan-liputan akan ditayangkan dari surga terakhir ini ke dunia luar yang tengah menemui ajalnya. Dan liputan-liputan yang berasal dari batas luar ketakutan sebuah dunia yang terluka itu akan menjungkirbalikkan kepolosan pulau ini yang menyerupai utopia. Aku berpikir: tidak mungkin menyiarkan liputan dari sebuah mimpi tanpa mengakhiri mimpi itu. Aku teringat akan berita yang pernah kubaca tentang rencana-rencana Fiji untuk perayaan milenium. Aku selalu menganggap diriku pandai mengamati hal-hal yang penting, dan ada satu kalimat yang terus kuingat. Ketua Komite Milenium Nasional Fiji, Tuan Sitiveni Yaqona, pernah mengatakan: “Karena Fiji terletak tepat pada garis bujur 180°, kami akan merayakan saat pertama tahun 2000 di Bumi, dan kami telah mempelajari berbagai cara bagaimana milenium baru dapat dirayakan di Fiji.” Dan dalam konteks ini, Fiji berarti Taveuni “tepat pada garis bujur 180°”. Aku khawatir dunia akan melindas pulau tak berdaya ini dalam perayaan gila gilaannya tepat pada saat dan tempat masa depan akan dimulai. Semua itu akan terjadi di sini, tepat pada papan yang menandai perbatasan antara milenium kedua dan ketiga, “saat pertama tahun 2000 di Bumi”. Selain hasrat mencari “yang terakhir” (the last) dan “yang hilang” (the lost), kita semua memiliki keinginan tidak sehat untuk menjadi “yang pertama”. Walaupun setelah mempertimbangkan lebih jauh, kusadari bahwa kedua hal itu sama persis. Ketika Roald Amundsen menjadi orang pertama yang mencapai Kutub Selatan, ia juga adalah yang terakhir. Ia adalah orang terakhir di Bumi yang dapat menaklukkan alam liar yang masih murni itu, ini adalah fakta yang diketahui Scott dengan harga mahal hanya sebulan sesudah Amundsen. Vang pertama akan menjadi yang terakhir. Hal yang sama juga terjadi pada penaklukan Bulan yang tidak akan dapat diulang oleh siapa pun oleh Neil Armstrong. Jadi, bukankah ucapannya yang terkenal kepada Houston mengenai “satu langkah kecil bagi seseorang, satu lompatan besar bagi umat manusia”, merupakan suatu perbuatan yang murah hati terhadap spesiesnya sendiri? Di tempat aku berdiri saat ini, pada 1 Januari 2000, mungkin akan ada kerumunan
banyak orang. Persiapan untuk pesta tersebut telah dimulai; aku telah mendengar ada beberapa program dokumenter TV dan penayangan pendahuluan lainnya tentang dateline. Kemudian, para “turis tahun 2000” akan ramai berdatangan bagaikan tangisan putus asa terakhir dari industri perjalanan yang sebenarnya sudah terlalu sinis. Aku seolah-olah sudah bisa melihat posterposternya: “Rayakan datangnya milenium baru di tiga benua!” Segala jenis tiket telah lama habis terjual, dan tiket-tiket itu akan semakin mahal. Terlalu banyak orang di planet ini bersedia membayar beberapa ribu dolar untuk lari dari rasa malu sosial yang mungkin timbul karena hanya sekali merayakan kedatangan milenium baru, dan hanya di satu benua. Aku bersiap-siap memulai perjalanan panjangku kembali ke Maravu. Namun, ketika baru saja dengan hati-hati melakukan beberapa perhitungan waktu dan jarak, sebuah jip hitam meluncur mendekati monumen tersebut dan Ana dan Jose melompat keluar dari dalamnya. Aku merasakan nadiku berdenyut semakin cepat. Ana menyapaku hangat. Tangannya menenteng sebuah kamera. Ia berkata, “Libby berkata kami mungkin dapat menemukan Anda di sini.” Aku kebingungan. Lalu, aku pun teringat akan sang peri baik hati dari Waiyevo. Ana menjelaskan lebih terperinci. “Ada yang harus kami kerjakan di desa itu. Ketika mendengar Anda baru saja lewat, kami pikir mungkin Anda membutuhkan tumpangan.” Aku pasti terlihat agak kebingungan. Namun, aku berterima kasih kepadanya atas tawaran menumpang pulang karena aku telah salah memperkirakan baik waktu dan berapa kilometer yang dapat ditempuh kedua kakiku di jalanan yang berdebu itu. Waktu makan malam tinggal dua jam lagi. Sekali lagi Ana mulai menekan tombol kameranya berkali-kali ke arah monumen, jip, Jose, dan diriku. Jose menjelaskan bahwa mereka tengah berusaha memeriksa kondisi di pulau itu, melakukan perjanjian, dan menyelesaikan beberapa persiapan sebelum kembali lagi tahun ini untuk mengambil gambar bagi sebuah program dokumenter penting mengenai pergantian milenium. Dokumenter ini akan menjadi bagian dari sebuah program serial tentang berbagai tantangan yang dihadapi umat manusia saat lahirnya milenium baru. Ana menunjuk ke sebuah peta pulau itu. “Di sinilah kita berada sekarang,” ujarnya. “Dan di sinilah tempat milenium ketiga akan bermula, ‘Satu-satunya tempat Anda dapat berjalan dari hari ini ke esok hari tanpa memerlukan sepatu salju’.” Aku pernah mendengar slogan tersebut sebelumnya. Selain dari beberapa buah pulau lain di Fiji, garis bujur 180° hanya melintasi Antartika dan Siberia Utara. “Apakah banyak yang tertarik pada film dokumenter semacam itu?” tanyaku. Jose mengangguk dengan enggan. “Ya, terlalu banyak.” Aku memiringkan kepalaku sedikit, dan ia pun menambahkan, “Kami akan memberikan semacam peringatan.” Aku ingin tahu apa yang ia maksud. “Mengenai apa?”
“Dengan satu atau lain cara, pergantian milenium ini memengaruhi seluruh planet, dan semua orang berpikir mereka berhak hadir dalam kesempatan pertama itu. Namun, kesadaran bahwa perhatian seluruh dunia tertuju kepadanya dapat menjadi pengalaman yang sangat traumatis bagi sebuah pulau di Lautan Selatan yang rapuh. Dari sudut pandang itu, akan lebih baik jika date line terletak di London atau Paris saja. Walaupun pada masa kolonial memang lebih mudah jika garis tersebut terletak jauh di tengah semak-semak liar di suatu tempat. Anda mengerti, kan, maksud saya ….” Aku sangat mengerti. Sungguh mudah mengerti apa yang dimaksud seseorang jika orang itu begitu mirip denganmu. Namun, sekali lagi aku merasa seakan-akan pikiranku telah terbaca. Hal ini membuatku menjadi lebih blak-blakan, karena jika memang benar kami dapat saling membaca jalan pikiran masing-masing, lebih baik kami berhenti berbicara berputar-putar. “Dan sungguh tidak membantu,” ujarku, “jika setiap perusahaan TV, selain meliput peristiwa itu, juga memutuskan membuat program dokumenter spektakuler khusus mengenai mengapa dan bagaimana kebudayaan dan lingkungan di sini hancur. Hal itu sendiri bisa memiliki nilai hiburan, bukan?” Kupikir, jangan-jangan aku telah melewati batas ketika kutambahkan, “Apakah ada sesuatu yang tidak memiliki nilai hiburan?” Aku mengatakan hal itu dengan senyum pasrah, dan Ana tertawa. Jose juga tampak berseri-seri. Kurasa, kami semua berada dalam suatu gelombang berfrekuensi tinggi. Ana berlari menuju jipnya dan kembali dengan membawa sebuah kamera video kecil, kira-kira sebesar model rumah tangga. Diarahkannya kamera tersebut kepadaku dan ia pun mengumumkan: “Ahli biologi dari Norwegia, Frank Andersen, baru-baru ini tengah mempelajari ekologi di berbagai kepulauan di Oseania. Apakah yang dapat Anda ceritakan kepada para pemirsa di Spanyol?” Aku begitu terkejut dan bingung sehingga tidak tahu apa yang harus kukatakan. Bagaimana ia tahu bahwa aku berasal dari Norwegia? Dan bagaimana ia mengetahui nama belakangku? Mungkinkah ia telah melihat buku tamu di Maravu? Ataukah ia teringat di mana kami pernah bertemu sebelumnya? Wanita itu begitu spontan dan kekanak-kanakan sehingga tidak pernah terlintas dalam benakku keinginan melepaskan diri dari permainan yang ia lakukan ini. Kurasa aku berbicara selama enam atau tujuh menit, dengan kata lain benar-benar terlalu lama. Aku memberikan sebuah garis besar dan menyinggung tentang kerusakan lingkungan di Oseania, keanekaragaman hayati, dan hak-hak manusia versus tanggung jawab manusia. Ketika akhirnya aku selesai berbicara, Ana meletakkan kameranya di tanah dan bertepuk tangan. “Bravo!” teriaknya. “Sungguh hebat.” Di belakangnya, aku mendengar komentar Jose: “Dan itulah kurang lebih apa yang saya maksud dengan memberi peringatan.” Sekali lagi aku membiarkan diriku tergoda oleh kedua bola mata hitam itu. “Apakah tadi Anda merekamnya?” tanyaku. Wanita itu mengangguk penuh rahasia. Tidak pernah terpikirkan olehku bahwa kamera sederhana seperti itu memiliki sangkut paut dengan program dokumenter televisi yang begitu dibangga-banggakan. Secara umum, ada sesuatu yang menyebabkan aku berhenti menganggap serius industri TV. Aku tadi mengatakan bahwa aku berada di sini untuk melakukan penelitian, dan mereka pun berusaha menunjukkan bahwa apa yang mereka lakukan sama menariknya. Atau mungkin mereka
belum memercayaiku; ya, betul, mungkin mereka menganggap aku hanya membesarbesarkan. Masuk akal jika seseorang yang bepergian sendirian ke Pasifik memerlukan sebuah aura tujuan yang lebih vital dari perjalanan panjangnya daripada sekadar berlibur di bawah sinar matahari. Juga ada sesuatu yang lain. Apakah memang hanya kebetulan bahwa pasangan dari Spanyol ini melewati pondokku dan mendeklamasikan beberapa buah pikiran mengenai keberadaan Tuhan dan Adam yang sama sekali tak keheranan? Dan apakah kemunculan mereka di dateline juga sama-sama tanpa sebab? Ataukah mereka mempermainkan diriku? Yang jelas, mereka memang senang bermain-main. Ana telah berpura-pura tengah menjalankan sebuah tugas jurnalistik di Pasifik, dan aku pun mengikuti permainan mereka karena aku masih belum menghapus dugaan bahwa mereka sedang berbulan madu. “Tetapi kita masih bersama Jika saja mereka tahu bahwa aku mengerti apa yang tadi mereka katakan, aku pasti akan merasa tidak nyaman, dan tentunya mereka akan merasa begitu pula. Jose berjalan menuju laut. Sambil berdiri membelakangi kami, ia mengatakan sesuatu dalam bahasa Spanyol. Dari intonasinya terdengar ia tengah menyimpulkan sesuatu, dan sekali lagi ia seolah-olah mengucapkan sesuatu yang telah ia ucapkan berkali-kali sebelumnya atau telah ia hafalkan: “Ada sebuah dunia. Dari segi probabilitas, hal ini nyaris mustahil. Akan jauh lebih mungkin jika, secara kebetulan, tidak ada apa pun. Dengan begitu, setidaknya tak ada satu orang pun yang akan menanyakan mengapa tidak ada apa pun.” Aku berusaha menangkap semua yang ia katakan, tetapi tidak mudah karena si wanita cantik terus-menerus membalas tatapanku, seolah-olah mengamati apa reaksiku terhadap Jose yang berpaling dan berganti memakai bahasa yang tak kumengerti. Tidak diragukan lagi, aku dapat mendengar ucapan lelaki itu, tetapi apakah aku mengerti? Dan jika tidak: apakah aku akan bertanya apa yang telah ia katakan? Sungguh sulit menatap ke dalam kedua mata hitam Ana tanpa menunjukkan bahwa aku mengerti perkataan Jose, kata-kata yang pada saat yang sama dengan susah payah berusaha kumengerti. Walaupun pikiranku tengah berkecamuk, aku tidak dapat melepaskan pandanganku dari tatapan menyelidik Ana. Kurasa, aku menang dalam konfrontasi itu karena sesaat kemudian, Ana memungut kamera videonya dan meletakkannya di kursi depan mobilnya. Sesaat, wanita itu berdiri sambil bersandar pada mobil, seakan merasa pusing. Apakah wajahnya juga menjadi pucat? Kejadian itu hanya berlangsung selama beberapa detik, kemudian ia menegakkan tubuh. Mengabaikan diriku, ia berlari beberapa langkah menuju Jose dan menggamit tangan kanan lelaki itu dengan tangan kirinya. Mereka berdiri selama beberapa saat di bawah sinar matahari sore tropis, bagaikan sebuah patung hidup Cupid dan Psyche. Kemudian, Psyche mengatakan sesuatu dalam bahasa Spanyol, sebuah tanggapan, yang seolah-olah telah dihafalkan, terhadap perkataan Cupid mengenai adanya sebuah dunia walaupun lebih mungkin apabila tidak ada apa pun. Si wanita pun berkata: “Kita melahirkan dan dilahirkan oleh sebuah jiwa yang tak kita kenal. Ketika teka-teki itu berdiri pada kedua kakinya tanpa dapat terpecahkan, itulah giliran kita. Ketika impian mencubit lengannya sendiri tanpa terbangun, itulah kita. Karena kita adalah teka-teki yang tak teterka siapa pun. Kita adalah dongeng yang terperangkap dalam khayalannya sendiri. Kita adalah apa yang terus berjalan tanpa pernah tiba pada pengertian Sementara mereka masih berdiri membelaka-ngiku, aku mengeluarkan buku catatan kecilku dan berusaha mencatat apa yang mereka ucapkan dengan begitu lancar dan sensitif itu, tetapi juga begitu tegas dan dogmatis. “Kita adalah apa yang terus berjalan tanpa pernah tiba pada pengertian ….”
Apakah mereka telah menghafalkan beberapa puisi Spanyol dan kini sibuk mendeklamasikannya satu sama lain sambil berjalan-jalan? Tetapi, ada sesuatu dalam sikap mereka yang nyaris formal saat mengutip kata-kata bijak nan aneh itu sehingga membuatku yakin bahwa ucapan-ucapan mereka tidak mungkin diciptakan orang selain mereka sendiri. Begitu pula, ucapan-ucapan itu tidak lain dialamatkan kepada diri mereka sendiri. Di mobil, dalam perjalanan kembali ke Maravu, kami bercakap-cakap mengenai berbagai hal, termasuk penelitianku dalam bidang sejarah alam. Matahari hampir terbenam, perlahan tertarik turun ke arah lautan di sebelah barat oleh gravitasi hari itu yang tak tergoyahkan. Aku tahu bahwa dalam waktu kurang dari satu jam, suasana akan menjadi benar-benar gelap. Di bawah sinar keemasan yang menusuk itu, kami menyaksikan para wanita mengambil pakaian mereka dari tali jemuran, anak-anak masih mendinginkan tubuh di sungai, anak-anak laki-laki berusaha memenangi pertandingan rugby mereka. “Karena kita adalah teka-teki yang tak teterka siapa pun ….” Aku baru tersadar betapa aku selalu terkesima oleh pandangan reduksionis terhadap dunia pada umumnya, dan terhadap hidupku yang begitu kecil di planet ini. Ana dan Jose telah membangunkan kembali sebuah perasaan terpendam mengenai betapa hidup adalah sebuah petualangan. Tidak hanya di sini di firdaus Laut Selatan ini, tetapi kehidupan di Bumi, juga kehidupan yang kita jalani di kotakota besar, walaupun di sana mungkin kita tidak dapat melihat betapa mengagumkannya dunia manusia ini karena kita selalu membenamkan diri dalam kegiatan, kesenangan, dan kenikmatan indriawi. Saat berkendara melintasi Desa Somosomo, Jose berpaling kepada Ana sambil menunjuk ke arah beberapa orang yang berkumpul di tanah lapang di luar sebuah gereja Baptis. Sekali lagi ia mengucapkan sesuatu dalam bahasa Spanyol, dan sekali ini nyaris bertolak belakang dengan pemikiranku yang duduk di kursi belakang, dengan kepala terus-menerus terbentur ke atap setiap kali kami melewati lubang di jalan. “Para peri selalu lebih bersemangat hidup daripada waras, lebih fantastis daripada dapat dipercaya, lebih misterius daripada yang dapat disadari pemahaman minim mereka. Seperti lebah-lebah pusing yang berdengung dari satu bunga ke bunga lain di siang hari yang mengantuk di bulan Agustus, para peri musim itu tetap tinggal dalam habitat urban mereka di langit. Hanya Jokerlah yang mampu membebaskan diri.” “Para peri musim Istilah yang aneh ini membuatku tersentak. Mungkin aku bahkan mengatupkan tangan ke mulutku untuk mencegah diriku mengulanginya keras-keras di dalam mobil itu. Mungkin engkau bertanya-tanya mengapa aku tidak melakukannya saja. Mengapa aku tidak menanyai Ana dan Jose tentang kebiasaan ganjil mereka berpuisi itu? Jika aku bertanya apa yang mereka katakan, tentu mereka akan memberitahukan kepadaku terjemahannya dalam bahasa Inggris dan bahkan mungkin mereka akan menjelaskan kepadaku tafsiran yang lebih memuaskan. Ungkapan-ungkapan seperti “para peri musim” memerlukan sedikit penjelasan. Aku pun telah berkali-kali menanyakan hal yang sama kepada diriku sendiri, dan aku tidak yakin telah menemukan jawaban yang memuaskan, tetapi pada saat itu aku menganggap bahwa cara komunikasi Ana dan Jose yang aneh itu sebagai sesuatu yang, di atas segalanya, menyatukan pasangan itu. Mereka adalah pasangan sejati, Vera mungkin itulah yang berusaha kujelaskan mereka benar-benar sebuah pasangan, begitu terjerat dalam simbiosis mental mereka yang tak terpisahkan. Aku menganggap kontak verbal mereka yang aneh itu semata-mata sebagai sebuah ungkapan dari ikatan pribadi yang mendalam di antara dua kekasih, dan kita tidak boleh membaca surat cinta orang lain tanpa alasan yang jelas, setidaknya saat mereka bisa melihat kita. Jika aku melangkah terlalu jauh dengan mengakui bahwa aku mengerti apa yang mereka katakan, aku juga akan mengambil risiko
menyingkirkan kemungkinan untuk dapat mendengarkan lebih banyak lagi hal-hal serupa. Oke, pikirmu sekarang, aku memang tidak perlu mengakui bahwa aku mengerti bahasa Spanyol, tetapi sesekali bisa saja setidaknya aku bertanya apa yang mereka bicarakan; bukankah toh lebih aneh jika aku mendengarkan semua percakapan mereka tanpa bereaksi terhadap tindak-tanduk mereka yang ganjil itu? Tetapi, tidaklah terlalu aneh bahwa dua orang yang biasa berbicara bahasa Inggris, ketika bertemu seseorang yang tidak mengerti bahasa mereka, sedikit bertukar kalimat dalam bahasa mereka. Hal ini disebut kehidupan pribadi, lingkup lingkaran intim, dan toh memang tidak seharusnya aku mengerti apa yang mereka katakan. Sejauh yang kutahu, mungkin saja mereka tengah bercakap-cakap mengenai perut yang sakit atau merasa lapar dan ingin segera menikmati makan malam. Terlebih lagi, aku memang ingin terus mendengarkan, aku telah berketetapan hati untuk menyadap sebanyak mungkin yang bisa kudapatkan. Jika seseorang yang berbagi tempat tidur denganmu tiba-tiba mulai berbicara dalam tidur, engkau tidak akan terburu-buru membangunkannya walaupun mungkin itulah yang pantas dilakukan. Tidak, tidak, justru sebaliknya, engkau akan berusaha berbaring dengan tenang agar sepraimu tidak bergemeresik, untuk menangkap sebanyak mungkin racauan sang pengi-gau yang untuk sekali itu saja memberikan versi tanpa sensor dari pikirannya. Ana mencondongkan tubuhnya ke arah Jose, dan sekarang si lelaki melingkarkan lengan kirinya di bahu si wanita sementara tangan kanannya menggenggam kemudi erat-erat. Dengan mata berbinar-binar, si wanita menatapnya sambil berkata: “Kini, para peri itu berada daiam dongeng, tetapi mereka tidak menyadarinya. Apakah dongeng benar-benar akan menjadi dongeng jika ia tidak bisa meiihat dirinya sendiri? Apakah kehidupan sehari-hari akan menjadi keajaiban jika ia terus-menerus berkeliling untuk menjelaskan dirinya sendiri?” Aku duduk tenang di belakang dan berusaha memikirkan semua katak yang terlindas di jalan raya. Aku telah melihat lebih dari seratus saat berjalan menuju dateline, dan mereka benar-benar terlihat seperti kue dadar. Tetapi, bukan katak yang kupikirkan sekarang. Pertanyaan yang kutanyakan kepada diriku sendiri adalah apakah aku telah tersesat dalam ilmu pengetahuanku sendiri dan mengorbankan kemampuanku untuk melihat keajaiban dongeng dalam setiap saat di Bumi. Aku dapat melihat bahwa agenda ilmu alam sungguh amat besar karena ia ingin menjelaskan segala sesuatu. Dalam ambisinya ini, terkandung sebuah bahaya, yaitu menjadi buta terhadap segala sesuatu yang tidak dapat dijelaskan. Saat melintasi desa terakhir, kami harus memperlambat kecepatan hingga hampir berhenti karena kami bertemu dengan beberapa wanita dan anak yang berkeliaran di tengah jalan. Mereka melambai dan tersenyum, dan kami pun balas melambai dan tersenyum. “Bula!” seru mereka dari jendela, “bula!” Salah seorang dari wanitawanita itu tengah mengandung delapan atau sembilan bulan. Ana telah lepas dari rengkuhan lengan Jose dan lelaki itu kembali memegang kemudi dengan kedua tangannya. Sambil menoleh untuk melihat ke arah para wanita itu, Ana berkata: “Dalam kegelapan perut yang membesar, selalu ada beberapa juta kepompong kesadaran dunia baru yang berenang-renang. Para peri yang tak berdaya itu ditekan keluar satu demi satu setelah mereka matang dan siap untuk bernapas. Setelah itu, mereka tidak dapat menerima makanan apa pun selain susu peri manis yang mengalir dari sepasang kuncup lembut daging peri.” “Daging peri”, Vera. Aku berasumsi bahwa yang dimaksud dengan “para peri” dalam “semesta Joseana” itu adalah kita, umat manusia di Bumi. Ketika istilah itu dipakai untuk menyebut orang-orang Fiji, terasa semakin keji betapa nenek moyang mereka dahulu mampu menjejalkan daging peri dan darah peri ke dalam diri mereka dengan penuh ketenangan. Bukankah potongan daging makhluk yang begitu halus
seperti itu terlalu langka untuk dimakan? Kami berbelok menuju Maravu, dan begitu tiba di pondokku, aku berdiri di berandaku selama beberapa menit untuk menyaksikan matahari terbenam. Aku merasa hari itu layak mendapat penghormatan dariku karena perjalanan udaraku yang berbahaya telah berlangsung begitu lancar. Penerbanganku itu berlangsung di pagi hari tepat setelah matahari terbit. Kini, dengan mataku, aku mengikuti lingkaran merah pucatnya hingga ia berbalik dan berguling ke balik bibir lautan. Matahari hanyalah satu dari beratus miliar bintang di galaksi ini, dan ia bahkan bukan salah satu dari yang terbesar. Tetapi ia adalah bintangku. Berapa kali lagikah aku akan menjadi penumpang dalam perjalanan Bumi mengelilingi bintangnya di Bimasakti? Di belakangku sudah ada hampir empat puluh putaran, empat puluh perjalanan mengelilingi Matahari. Jadi, setidaknya separuh dari perjalananku telah berakhir. Aku membongkar koperku, mandi, dan berganti pakaian dengan sepotong kemeja putih yang kubeli di Auckland. Sebelum pergi untuk makan malam, aku menyeruput sedikit gin yang kubawa dan meninggalkan botolnya di atas meja di samping tempat tidur. Ini adalah sebuah ritual yang selalu kulakukan jika sedang bepergian. Aku tahu bahwa aku akan meminum satu tegukan yang lebih besar saat nanti bersiap tidur. Aku tidak pernah memakai obat tidur lain. Aku teringat betapa aku merindukan botol itu saat terduduk tak berdaya di dalam pesawat kecil dari Nadi itu. Selama beberapa menit yang dramatis, kami telah terpisahkan, dan pagi itu, perusahaan penerbanganku menjaga botolku dengan lebih baik dibandingkan menjaga si empunya. Saat berjalan keluar menuju pepohonan palem dan menutup pintu di belakangku, kudengar sesuatu berlari melintas di atas salah satu palang atap. Perasaanku mengatakan bahwa aku tahu makhluk apa itu, tetapi aku tidak berbalik kembali untuk mencoba melihat lebih jelas. [] Amfibi Garda Depan DI LUAR SUASANA GELAP GULITA. TITIK-TITIK CAHAYA YANG TERDAPAT DI antara pepohonan palem yang luas itu hanyalah beberapa lampu gas tak mencolok yang kini telah dinyalakan. Tetapi, di atas puncak pohon-pohon palem itu, berkilauan beribu-ribu cahaya kecil yang bersinar dari kumpulan padat cahaya bintang. Jika engkau meninggalkan perkotaan, pikirku, engkau akan menemukan diri jauh di angkasa segera setelah kegelapan turun. Tetapi, semakin banyak manusia yang membiarkan diri diselimuti efek rumah kaca optik yang membuatnya lupa siapa dirinya dan dari mana asal mulanya. Sebagaimana bagi banyak orang alam telah bersinonim dengan gambar di layar televisi, tanaman di dalam pot, dan burung di dalam sangkar, maka langit pun adalah sesuatu yang sebaiknya diamati di planetarium. Tidak mudah menemukan arah menuju restoran, tetapi aku berjalan tersaruk-saruk ke arah sebuah kilauan cahaya redup di kejauhan, datang dari gedung utama. Aku memaksakan diri melalui semak-semak di antara pohon-pohon palem itu dan akhirnya mencapai kolam renang, yang seluruh lampunya dinyalakan menyorot ke atas. Di dalam kolam itu, tiga atau empat ekor kodok tebu tengah berenang naik dan turun, naik dan turun. Mungkinkah mereka tengah mengambil sertifikat renang, pikirku, karena satu ekor kodok duduk di tepi kolam memerhatikan pertunjukan itu. Semua punya tempat masing-masing, pikirku. Sepanjang siang, para primata menggunakan kolam renang itu. Kodok-kodok tidak diperbolehkan muncul di siang hari. Malam hari adalah giliran para amfibi untuk menggunakan fasilitas itu. Aku naik menuju restoran terbuka, di sana lilin-lilin menyala di atas kesepuluh meja. Ada sepuluh pondok atau bure di Maravu, dan jumlah meja di restoran ini
pun sama. Ana dan Jose sudah duduk di sana. Si wanita masih mengenakan gaun merahnya, dan kulihat ia telah memakai sepasang sepatu hitam berhak tinggi. Jose masih mengenakan setelan linen hitam yang sama, satu-satunya perbedaan hanya kini ada sebuah saputangan merah melingkari lehernya. Warna saputangan itu persis sama dengan warna gaun Ana, mungkin terbuat dari bahan yang sama. Aku memilih duduk di meja berikutnya, dan kami pun bertukar beberapa anggukan singkat. Sebagai seseorang yang biasa berkelana sendirian, aku telah mempelajari seni menghindari undangan bergabung dengan orang-orang di meja mereka. Hari telah malam, perjalanan sore itu telah usai, aku tidak lagi berhak memiliki Ana dan Jose. Sekarang, mereka benar-benar hanya milik satu sama lain. Aku juga mengangguk ke arah Laura yang duduk sendirian di ujung lain restoran itu. Di sebuah meja lain, duduk seorang pria berambut gelap dengan jenggot dihiasi rambutrambut putih; ia mungkin sepuluh tahun lebih tua dariku. Belakangan, malam itu, aku mengetahui bahwa ia adalah seorang Italia bernama Mario. Dua orang pasangan muda berusia awal dua puluhan duduk di meja di sampingnya. Mereka benar-benar menikmati bulan madu mereka. Tidak saja mereka mencondongkan tubuh di atas meja dengan kedua tangan tergenggam erat, tetapi dari waktu ke waktu, kedua kepala mereka juga bertemu dan lumer dalam ciuman yang bergairah. Pada malam berikutnya, aku juga mengobrol dengan muda-mudi tersebut. Mereka datang dari Seattle dan bernama Mark dan Evelyn. Sedikit agak jauh, duduklah John, orang Inggris yang telah menjemput kami di bandara. Ia jelas tengah mencatat sesuatu. Aku mengingat hal itu dengan sangat jelas karena aku pun sering melakukan hal yang sama: duduk menulis sembari menunggu makan siang atau makan malam. Aku tidak pernah memiliki ketenangan pikiran yang diperlukan untuk membenamkan diri dalam sebuah novel. Kemudian aku mengetahui bahwa ia adalah pengarang dari Inggris. Namanya John Spooke, dari Croydon, daerah dekat London. Ketika pertama kali tahu bahwa ia adalah seorang penulis, otomatis aku menganggapnya sebagai anggota kelompok terbatas para pengarang bestseller yang selama beberapa bulan musim dingin mampu menikmati kehidupan di sebuah pulau Laut Selatan sembari mencari inspirasi untuk novel baru. Tetapi, ternyata ia baru tiba di sana beberapa hari yang lalu, dan ia datang untuk ambil bagian dalam sebuah program televisi. Ya, kau benar program televisi itu juga mengenai pergantian milenium, dateline, tantangan bagi dunia, hal-hal seperti itu. Hal-hal seperti itu, Vera, hal-hal seperti itu! Aku tidak melihat Bill. Mungkin ia masih di kamarnya sambil melakukan latihan yoga yang menawarkan prospek untuk hidup enam puluh tahun lagi. Makan malam disajikan oleh dua orang lelaki pribumi tinggi yang mengenakan kain tradisional Fiji dan bunga merah tersemat di belakang telinga mereka. Salah satu dari mereka menyematkan bunganya di belakang telinga kiri-itu berarti ia belum terikat dengan seorang wanita. Yang satu lagi menyematkan bunganya di belakang telinga kanannya; berarti ia telah menikah. Jika aku adalah penduduk Taveuni, aku pasti telah mendapatkan pengalaman sosial yang memalukan dengan memindahkan bungaku dari telinga kanan ke telinga kiri beberapa bulan yang lalu. Aku memesan setengah botol anggur putih Bordeaux dan sebotol air mineral. Selalu ada dua pilihan sajian di Maravu, dan kami sudah memilih makan malam pertama kami ketika check in. Saat itu, kepalaku begitu dipenuhi bayangan-bayangan menakutkan tentang kebiasaan makan masyarakat Fiji sehingga aku mengambil pilihan yang lebih aman, yaitu ikan. Ana dan Jose bercakap-cakap dengan suara rendah sehingga pada awalnya aku hanya dapat
menangkap potongan-potongan pendek pembicaraan mereka. Namun, bahkan ini telah cukup untuk membangkitkan rasa ingin tahuku. Mereka terdengar seperti tengah berdiskusi, atau menyelesaikan sentuhan-sentuhan terakhir dari sebuah pernyataan bersama tentang sesuatu benar, tentang sesuatu. Jose berkata, “Kita adalah karya seni tak bercacat yang penciptaannya membutuhkan waktu bermiliar-miliar tahun. Tetapi, kita terbentuk dari bahanbahan yang sangat-sangat murah.” Setelah kalimat ini, sejumlah bagian percakapan itu luput dari pendengaranku, tetapi kemudian aku menangkap kalimat Jose yang lain: “Pintu keluar dari dongeng terbuka lebar.” Ana mengangguk dengan murung: “Kita adalah berlian-berlian kegeniusan di dalam jam pasir.” Begitulah kira-kira jalan percakapan itu, atau lebih tepatnya, potongan-potongan yang berhasil mencapai telingaku dengan cukup jelas untuk dapat kumengerti. Sementara mereka duduk di sana dan bercakap-cakap, Bill akhirnya muncul dengan santai dari pepohonan palem dengan mengenakan celana Bermuda kuning dan sepotong kemeja Hawaii bercorak bunga-bunga biru. Laura tentunya telah melihatnya sebelum aku, karena begitu lelaki itu muncul, wanita itu langsung mengambil buku Lonely Planet nya lagi dan mulai membaca dengan amat serius; begitu seriusnya sehingga aku yakin sebenarnya ia tidak dapat memahami satu kata pun. Percuma saja. Bill berdiri beberapa saat, dengan rakus menikmati panorama penempatan makan malam itu, dan kemudian, tanpa malu sedikit pun, menghenyakkan diri di meja Laura. Si wanita mengerutkan diri dalamdalam di balik bukunya sehingga aku tidak lagi dapat melihat lehernya. Yang jelas, ia tidak mengangkat kepala untuk melihat ke arah lelaki itu. Ia mengingatkanku akan seekor kura-kura perajuk yang mencari pelipur lara dalam tempurungnya. Aku ingat bahwa saat itu aku merasa sedikit kasihan kepadanya, tetapi aku juga merasa bahwa keadaan dapat menjadi lebih baik bagi dirinya andai saja saat di bandara tadi ia tidak bersikap begitu antipati terhadap seorang ahli zoologi lapangan. Mungkin perasaan terakhirku itu dibumbui sedikit rasa senang yang kejam. Percakapan di meja sebelah berubah menjadi lebih keras terdengar. Ana berkata, “Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia. Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati.” Diam-diam kukeluarkan buku catatan dari dalam saku kemejaku. Aku lupa membawa penaku! Ke-kesalanku bertambah ketika Jose meninggikan suaranya sedikit dan dengan jelas mengucapkan kata-kata bijak berikut: “Bagi seorang pengamat yang netral, dunia ini tidak hanya bagaikan sebuah fenomena nyaris mustahil yang hanya bisa terjadi sekali. Dunia ini juga senantiasa merupakan sebuah beban bagi akal sehat. Jika memang akal sehat itu ada, maksudku akal sehat yang netra/. Itulah suara dari dalam batin. Itulah yang disuarakan Joker.” Ana mengangguk penuh arti. Kemudian menambahkan ceritanya sendiri: “Joker merasakan dirinya tumbuh, ia merasakannya pada lengan dan kakinya, ia merasa dirinya bukanlah sesuatu yang hanya ia bayangkan. Ia merasakan mulut manusianya menumbuhkan email dan gading. Ia merasakan ringannya tulang-tulang iga primata di bawah gaun tidurnya, merasakan denyutan teratur yang berdetak dan berdetak, memompa cairan hangat ke dalam tubuhnya sekarang, “ Dengan pikiran agak kabur, aku bangkit dan bergegas orang Inggris yang terus menulis dengan bersemangat Kini ia telah menghabiskan makanan pembukanya, tapi kertasnya. Aku membungkuk dan berkata, “Maaf … saya tadi. Bolehkah saya meminjam pena Anda sebentar?”
melintasi ruangan menuju si sembari menunggu dilayani. telah meletakkan pena dan lihat Anda menulis sesuatu
Ia mengangkat kepala memandangku dengan tatapan bertanya-tanya dan rasa ingin
membantu. “Dengan senang hati,” ujarnya. “Silakan pakai ini!” Bersamaan dengan itu, ia mengeluarkan sebuah drawing pen Pilot berwarna hitam dari saku dalamnya. Ia memain-mainkan pena tersebut di hadapanku selama beberapa saat sebelum memberikannya padaku. “Pasti akan saya kembalikan,” aku berjanji padanya. Tetapi, ia hanya menggelengkan kepalanya yang telah mengecap banyak pengalaman itu. Lalu, ia menyatakan bahwa jika ada sesuatu yang ia jaga persediaannya, terutama di daerah terpencil seperti ini, itu adalah drawing pen bertinta hitam. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dengan ramah, dan kami pun berkenalan lebih jauh daripada ketika kami bertemu di bandara tadi. Aku berusaha memberinya garis besar bidang penelitianku, dan ia mendengarkan dengan penuh perhatian; benar-benar penuh perhatian. Kini aku telah mencapai usia yang membuatku memberikan nilai tambah pada perhatian. Ia mengulurkan tangannya kepadaku dan memperkenalkan diri: “John Spooke,” ujarnya. “Penulis, dari Inggris.” “Apakah Anda tengah menulis sesuatu di sini?” tanyaku. Ia menggelengkan kepala dan menjelaskan bahwa ia dikirim ke pulau ini atas biaya BBC untuk ambil bagian dalam sebuah acara televisi mengenai pergantian milenium. Mereka berpikir bahwa di sinilah masa depan akan dimulai, ujarnya dengan nada sarkasme, yaitu dua belas jam penuh sebelum milenium muncul di London. Ia juga menyebutkan beberapa judul novelnya, yang rupanya salah satu di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Norwegia. Ketika aku berterima kasih sekali lagi kepadanya atas pena itu dan akan kembali ke mejaku, ia menyahut dengan riang, “Tulislah sesuatu yang indah ….11 Aku segera berbalik, dan ia pun menambahkan, “… dan sampaikan salamku!” Aku tidak tahu, Vera, mungkin seharusnya aku memenuhi harapannya dengan menyampaikan salam dari seorang Inggris yang ramah bahkan walaupun pada saat itu aku tidak sedang menulis kepadamu. Tetapi, aku menulis kepadamu sekarang, dan aku menulis tentang pengalamanku pada malam pertama di Maravu Plantation Resort sehingga engkau akan mendapatkan bayangan yang lebih jelas mengenai apa yang terjadi di Salamanca beberapa bulan kemudian. Bill berusaha untuk memisahkan Laura dari Lonely Pianet-nya. Reaksi yang minimum dari wanita itu sepertinya berhasil menahan usaha invasi percakapan teman makannya itu. Pasangan muda yang baru menikah itu duduk sambil berciuman penuh gairah di atas mangkuk-mangkuk salad mereka dan sekali lagi membuatku berpikir mengenai kanibalisme. Aku datang dari sebuah kebudayaan yang menganggap bahwa menjilat dan mengisap seseorang di depan publik, bahkan di meja makan, adalah sesuatu yang dapat diterima oleh masyarakat. Batasan dari tabu berawal dari kegiatan makan-memakan yang lebih susah diubah. Aku dapat membayangkan, dalam kebudayaan tradisional Fiji tentunya yang terjadi adalah sebaliknya. Di sana, berciuman di bawah tatapan orang banyak tidak akan dapat diterima, terlebih saat makan. Di lain pihak, tingkah laku yang lazim di Fiji membolehkan orang mengonsumsi organorgan tubuh jenazah. Si orang Italia menatap dengan sedih ke dalam gelas anggur merahnya. Dari semua
yang hadir di situ, dapat dilihat bahwa ialah yang paling murung. Tatapan memelas yang ditujukannya kepada pasangan muda dari Amerika itu membuatku teringat akan seekor anjing tak bertuan. Aku kembali duduk dan mendengar Jose mengucapkan sebuah komentarnya mengenai “kejadian-kejadian yang eksotis membosankan” yang diikuti dengan gumaman panjang yang tidak dapat kudengar. Tetapi kemudian, Jose mengatakan sesuatu yang tampaknya menarik si wanita berbaju merah karena detik berikutnya, wanita itu tersenyum lebar, menegakkan tubuh, dan mengucapkan kalimat berikut dengan penuh keyakinan: “Sebuah kerinduan menyebar di dunia. Semakin besar dan perkasa sesuatu, semakin tajamlah terasa kebutuhan akan penebusan. Siapakah yang mendengarkan penderitaan sebutir pasir? Siapakah yang memasang telinga untuk menyimak keinginan seekor kutu? Jika tiada satu pun keberadaan, tak seorang pun akan mendambakan apa pun.” Beberapa kali memang wanita itu menatap sekilas ke sekeliling ruangan, tetapi dengan cepat ia menoleh kembali dan tentunya tidak menyadari bahwa aku tengah mencatat setiap kata yang ia ucapkan. Ia tidak tahu bahwa aku menguasai bahasa Spanyol dan ia pun tidak bisa yakin bahwa aku dapat mendengarnya dengan jelas, dan sejauh yang ia tahu, aku mungkin saja tengah berkutat membuat catatan mengenai berbagai macam spesies kadal yang kuteliti di Oseania. Selama beberapa saat, aku harus puas dengan potongan-potongan yang berhasil kutangkap dari gumaman bernada rendah antara si Merah dan si Hitam. “Semakin dekat para peri itu kepada kebinasaan abadi, semakin tak bermaknalah ucapan mereka,” Ana menyatakan sambil memandang suaminya dengan tatapan bertanya-tanya. Suaminya berkata, “Tanpa adanya anomali berupa si badut yang tidak dapat dihibur itu, dunia peri akan sama butanya dengan sebuah taman rahasia.” Samar-samar aku mencurigai bahwa potongan-potongan lepas yang dapat kudengar itu pastilah merupakan bagian dari sebuah puzzle yang lebih besar, dan tentunya akan lebih sulit untuk menyatukan potongan-potongan kecil yang kumiliki. Tetapi, makanan kini telah diletakkan di atas meja dan aku pun menyingkirkan buku catatanku. Sedikit bagian yang berhasil kutangkap itu toh terlalu terpisahpisah. Saat makanan hampir habis, barulah Jose berbicara lagi, suaranya sedikit lebih keras: “Joker menyelinap dengan gelisah di antara para peri bagaikan seorang mata-mata dalam dongeng itu. Ia telah mengambil kesimpulan, tetapi tidak dapat melaporkannya kepada siapa pun. Hanya Jokerlah yang ia lihat. Hanya Joker yang melihat siapa dirinya.” Ana berpikir selama beberapa saat sebelum menjawab: “Para peri mencoba memikirkan beberapa gagas an yang sulit sekali dibayangkan bahwa mereka tidak bisa memikirkannya. Namun, mereka memang tidak bisa. Gambar-gambar di layar tidak melompat keluar ke dalam bioskop dan menyerang proyektornya. Hanya Joker yang menemukan jalan menuju barisan kursi-kursi.” Aku tidak bisa bersumpah bahwa begitulah persisnya kata-katanya. Tetapi sungguh, memang semacam itulah percakapan mereka. Meja-meja mulai dibersihkan, dan kini si orang Italia datang mendekat. Ia mengangguk penuh tantangan ke arah Ana dan Jose sambil berjalan menuju mejaku, kemudian mengulurkan tangannya dan memperkenalkan diri. Betul, ia adalah Mario, dan sudah lima belas tahun ia menjalankan bisnis sewa penyeberangan dari Suva menggunakan sebuah kapal yacht yang ia bangun sendiri. Perusahaan ini bukanlah bagian dari rencana awalnya ketika sekitar dua puluh tahun yang lalu, ia berlayar melalui Terusan Suez menuju India, Indonesia, dan Oseania. Tetapi, ia tidak pernah berhasil mengumpulkan cukup banyak uang untuk dapat pulang ke Napoli.
Ia mengutarakan tujuannya. “Apakah Anda bisa bermain bridge?” tanyanya. Aku mengangkat bahu, karena walaupun aku seorang pemain bridge yang kompeten, aku tidak yakin bermain kartu ada di puncak agendaku malam itu; suasana malam tropis itu rasanya terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Tetapi, ketika ia menambahkan bahwa kami akan bermain melawan pasangan Spanyol itu, aku pun menyetujuinya tanpa ragu-ragu lagi. Selama beberapa malam sebelumnya, mereka mendapatkan jumlah orang yang cukup dengan adanya seorang Belanda, jelasnya. Tetapi lelaki itu telah melanjutkan perjalanannya dengan sebuah kapal menuju Vanua Levu hari itu. Maka, kami pun bergabung dengan orang-orang Spanyol itu dan memainkan beberapa putaran. Selalu Ana dan Joselah yang melakukan bidding dalam permainan itu atau melancarkan tipuan terakhir yang menyebabkan kekalahan si orang Italia dan diriku. Tidak hanya mereka bermain dengan ketepatan yang begitu mengagumkan, tetapi juga dengan begitu lihai dan santai sehingga selama permainan mereka dapat menikmati hiburan gila mereka, yaitu bertukar ungkapan-ungkapan unik dalam bahasa Spanyol. Aku memerhatikan ada kata-kata dan potongan-potongan kalimat seperti “genderang dari zaman purba itu”, “kepompong tanpa rasa malu yang tumbuh dan tumbuh ke segala arah”, “primata yang gaya”, “saudara tiri sang Neanderthal yang ternama”, “kehidupan sehari-hari yang tak ubahnya seperti tidur karena diguna-gunai”, “sebuah arus panas halusinasi yang setengah tecer-na”, “plasma jiwa”, “kantung udara dari festival protein”, “hard disk organik”, dan “agaragar pengetahuan”. Dua kali aku menjadi dummy dan mendapatkan kesempatan untuk menyelinap dari meja itu dan mencatat kata-kata yang berhasil kutangkap. Hanya inilah potonganpotongan kalimat yang muncul ungkapan-ungkapan lama yang sering dipergunakan seperti “plasma jiwa”, “kantung udara dari festival protein”, “agar-agar pengetahuan”, dan “saudara tiri sang Neanderthal yang ternama”. Aku mendiagnosis Ana dan Jose sebagai sepasang penyair yang menderita sindrom Tourette, dan aku tidak akan menyangkal bahwa seharusnya aku dapat bermain jauh lebih baik jika saja tidak harus memerhatikan apa yang berkali-kali dilontarkan oleh Utara kepada Selatan dan sebaliknya. Sempat terpikir olehku bahwa mungkin tujuan utama mereka adalah mengalihkan perhatian Timur dan Barat.z Akhirnya, Mariolah yang memutuskan bahwa ia sudah tidak tahan lagi. Mungkin berlebihan untuk mengatakan bahwa ia melemparkan kartu-kartunya ke atas meja, tetapi ia menyingkirkan kartu-kartunya dengan begitu dramatis sehingga membuatku terlompat. Ia menggelengkan kepala tanpa tampak terhibur sedikit pun. “Mereka seperti peramal saja!” Ana mengangkat kepala dengan tatapan puas yang hampir tampak kejam, dan Mario berusaha mendapatkan dukunganku. “Lima keriting!” ia hampir berteriak. “Tetapi setelah bidding, Frank bisa saja memiliki kartu as dengan sama mudahnya. Sepertinya mereka selalu tahu kartu kita.” 2 Dalam permainan bridge, ada empat pemain yang dibagi menjadi dua pasangan, masing-masing berjumlah dua pemain. Biasanya disebut Utara Selatan dan Timur Barat. Utara berhadapan dengan Selatan, Timur berhadapan dengan Baratpeny. Mungkin ia lebih mendekati sasaran daripada yang ia duga, pikirku, karena pasangan yang begitu erat ini, yang jelas tidak sedang dalam bulan madu pertama mereka, mungkin memang memiliki kemampuan untuk saling membaca pikiran. Dan mengapa tidak, pikirku lancang. Kami duduk di sini, pada sebuah malam tropis yang sangat indah, empat orang primata pemerhati yang teliti, di bawah selimut bintang-bintang gemerlap dari spiral Bimasakti kita. Dari Bumi ini, tempat kita
telah bersusah payah berevolusi dari vertebrata primitif, dari laguna yang tidak penting dalam kepulauan galaksi ini, rekan-rekan kita sesama manusia mengirimkan robot-robot penyelidik angkasa luar dan gelombang radio. Ini semua adalah upaya keras untuk menjalin kontak dengan makhluk-makhluk biologis lain yang juga berpikiran maju, di pantai lain, di tata surya lain, bertahun-tahun cahaya jauhnya dari tempat permainan kita ini. Dan semua ini mereka lakukan tanpa tahu seperti apakah wujud makhluk yang telah berevolusi sangat maju itu yang bisa saja ternyata berbentuk lebih mirip bintang laut daripada mamalia. Oleh karenanya, mengapa tidak mungkin pasangan jiwa ini, yang tidak hanya berbagi satu biosfer, tetapi juga berasal dari spesies dan negara yang sama, dan ditambah lagi tidak memiliki banyak pekerjaan berharga selain saling becermin pada pasangan mereka mengapa mereka tidak mungkin dapat bertukar semacam sinyal elektromagnetik dasar yang berhubungan dengan warna dan angka dari lima puluh dua kartu di atas meja bridge? Ah ya, aku telah terinfeksi oleh euforia malam tropis itu, dan ini bukanlah yang pertama kali aku terbuai oleh kesalahan persis seperti itu. Kondisiku juga tidak cepat membaik karena berikutnya menyerbu sejumlah pertanyaan yang berkaitan. Jika semua orang yang bermain sama pandainya dalam bermain bridge, seberapa besarkah kemungkinan sebuah tim dapat memenangi delapan putaran berturut-turut? Mario ingin mengetahui hal itu. Menurutku, itu bergantung kepada siapakah yang memperoleh kartu-kartu bagus. Tapi, kemungkinan bagi satu tim untuk mendapatkan kartu-kartu terbaik selama delapan kali berturut-turut tentunya sangatlah kecil sehingga lebih mudah, setelah mempertimbangkan segalanya, untuk menerima bahwa Ana dan Jose memang pemain yang lebih andal. Ana menikmati hal ini. Ia bahkan tidak berusaha menutupi kepuasannya, dan jelas terlihat bahwa itu bukanlah pertama kalinya ia menang dalam permainan kartu. Ia bahkan meletakkan tangannya di bahu Mario untuk menenangkannya sebuah gerakan yang ditepis lelaki itu dengan marah. Jose mengganti pertanyaan mengenai peluang dan probabilitas dengan sesuatu yang berkenaan dengan area keahlianku. Seingatku, pertanyaan pertama yang ia ajukan adalah apakah aku menganggap bahwa evolusi kehidupan di planet ini semata-mata dipicu oleh sesuatu yang begitu tak terduga seperti serangkaian mutasi yang kebetulan terjadi, ataukah ada suatu mekanisme yang telah terlewatkan oleh ilmu alam? Contohnya, apakah menurutku pertanyaan tentang tujuan atau maksud dari evolusi adalah tidak masuk akal? Rasanya saat itu aku menghela napas, bukan karena aku merasa ia menanyakan sebuah pertanyaan yang naif, melainkan karena, sekali lagi, ia mengarahkan percakapan kepada masalah-masalah yang kurasakan benar-benar sensitif pada hari itu. Tetapi, aku memberinya jawaban klasik dari textbook atas pertanyaanpertanyaan yang ia utarakan dan menganggap bahwa jawabanku itu akan mengakhiri pembahasan itu. Ia berkata, “Kita memiliki dua lengan dan dua kaki. Hal itu terasa cukup masuk akal ketika kita duduk di sekeliling meja untuk bermain bridge. Dan kondisi itu juga tidaklah buruk untuk mengemudikan sebuah pesawat ruang angkasa ke Bulan. Tetapi, apakah kondisi itu terjadi secara kebetulan?” “Itu tergantung dari apa yang Anda maksud dengan ‘kebetulan’,” jawabku. “Mutasimutasi terjadi secara kebetulan. Setelah itu, lingkunganlah yang selalu menentukan mutasi mana yang berhak hidup.” Ia melanjutkan, “Jadi, Anda percaya bahwa segala kebetulan itu kini telah memberikan kepada alam semesta suatu tingkat pemahaman tentang sejarah dan cakupan dirinya dalam ruang dan waktu?” Jose melambaikan lengannya seolah-olah menunjuk ke arah luar angkasa yang hitam,
dan memang ke sanalah sesungguhnya pertanyaannya itu ditujukan. Aku hendak mengatakan sesuatu mengenai mutasi dan seleksi alam, tetapi sebelum aku dapat mengucapkannya, ia berkata, “Jika tujuan alam semesta adalah mencapai sebuah nalar yang kurang lebih objektif, saya tidak yakin penampilan kita jauh berbeda dari makhluk-makhluk luar angkasa.” Ana tersenyum penuh misteri. Dilingkarkannya lengannya di sekeliling leher lelaki itu dan diciumnya pipinya sekilas seolah-olah ing