Kata Pembukaku “Yan, kok kamu naik sepeda ke sekolah?” “Yan, kok kamu tidak tinggal dengan orang tua kamu?kok punya wali?” Berangkat darin pertanyaan-pertanyaan teman seperti itulah biografi ini dibuat. Karena sangat-sangat rumit untuk menjelaskan, akhirnya aku berujar “ Ntar deh aku tulis semua jawabannya, soalnya agak rumit kejadiannya. Mungkin kalau kujawab dalam tulisan, akan lebih memuaskan. Akhirnya kutulis semuanya, membuka kenangankenagan zaman dulu. Ada manisnya, ada pahitnya. Tapi itulah namanya hidup. Hidupku mungkin sangat jauh berbeda dengan temanteman kebanyakan. Ada istilah from zero to hero, ini kata aku mah from subzero to (insya Allah) super hero. Biografi ini akan kutulis teratur saja, menjadi saksi-saksi perjuanganku. Semoga bisa menginspirasi!
Hijaunya rumput Terik benar hari ini, pikirku. Pengeras suara dari ruang starter berteriak-teriak memanggil grup pegolf yang akan tee off 1 . Membuat beberapa bapak-bapak berperut buncit bangkit dengan malas dari kursinya. Caddie sudah bergegas turun ke tee box, menunggu pemain yang akan melakukan pukulan pertama. Saat itulah waktuku untuk beraksi, menawarkan bola golf bekas kepada pemain-pemain yang mulai keluar dari restaurant. Berharap ada satu dua pemain yang terlupa membawa bola golf di bag mereka, aku dan beberapa penjual bola lain bergulat beradu ketangkasan dalam menjual bola. Kulit serasa melepuh terbakar sinar matahariku, tapi tak jadi soal bagi kami. Hanya sedikit pegolf yang memberi respon positif, lainnya hanya menggelengkan kepala tanda tak tertarik akan barang dagangan kami. Hari ini adalah hari minggu, hari libur bersekolah. Dari Subuh aku mulai menggelar dagangan bola bekasku, kini sudah hampir jam 11, baru dua dus bolaku yang laku. Ya alhamdulillah sajalah, masih beruntung dikasih laku. Kalau sudah begini, berharap-harap sajalah ada yang menyuruhku ke warung untuk beli rokok. Nanti diupahnya aku barang seribu dua ribu, lumayan buat menambah ongkosku satu minggu. Masih beruntung kalau cuma disuruh beli rokok, kadang malah seringnya disuruh beli kartu domino, buat caddie-caddie yang hendak cari peruntungan lewat main judi. Atau sering juga nitip belikan judi nomor buntut togel. Kalau sudah begitu, malunya bukan main ketika menemui yang punya warung. Moga sajalah dia mengerti kalau itu pasti bukan buatku, pasti aku hanya disuruh oleh orang lain. Di undak-undak tangga itulah berkumpul, para penjual bola dan caddie. Penuh kepulan asap rokok, sesekali aku menahan napas agar asapnya tak terhirup. Kata Pak Guru disekolah, rokok itu tak baik untuk badan. Meski kemudian aku sendiri tak yakin benar, karena Pak Gurunya sendiri juga perokok,haha! `“Jang, mau roko?”, sodor seorang caddie padaku “Ah, makasi Pa. Saya mah ga ngerokok” Aku entah kenapa beda sendiri; aku tak pernah mau tergoda untuk merokok. Ada kekuatan besar yang mengontrolku. Berbeda dengan temanku yang lain. Si Eeng, Ujang, Enceng, Ema, Encang, Andri, Entis, Jengkol...semua adalah perokok. Padahal mereka masih dalam usia anak-anak. Ketimbang merokok, aku lebih tertarik untuk baca-baca Koran di ruangan starter. Ada ketertarikan tersendiri bagiku ketika melihat bacaan. Bukan karena banyaknya berita seronok di Koran murahan itu, tetapi entah mengapa aku sangat senang membaca. Lembar Kerja Siswa yang diberikan oleh guru untuk satu catur wulan, sudah habis kukerjakan di minggu pertamaku belajar. Teman-temanku asyik mempermainkan asap dari racun tembakau itu. Sialan benar mereka, panas terik begini...heuh! Terkadang ada pemain yang marah-marah pada starter, karena merasa gilirannya untuk melakukan pukulan pertama diserobot orang. Aku hanya tersenyum simpul. Aku tahu persis apa yang terjadi, tentu saja pegolf itu marah karena rombongan pegolf sebelumnya sekarang sudah mulai bermain. Rombongan yang tak sabaran itu menyisipkan uang kepada petugas starter ketika mendaftar. Apalah daya petugas starter yang gajinya tak seberapa itu. Dipersilahkannya bapak yang
membayar itu untuk main duluan, dan kini ia menghadapi pegolf lain yang mencak-mencak dikuasai kemarahan. Kasihan juga... Sampai sore aku berjualan bola, beberapa penjual bola lain sudah beranjak dan mengemasi bola dagangan mereka. Beberapa caddie telah menyelesaikan tugas mereka. Terengah-engah mereka membawa bag menuju bagasi mobil tuannya. Sibuk membersihkan sepatu tuannya yang belepotan terkena potongan rumput. Sikat sepatu, lap bola, mark2, topi adalah peralatan yang wajib dibawa sang Caddie. Sebelum tuan-tuan pegolf itu memasuki restaurant yang megah itu, mereka memberi tip ala kadarnya kepada caddie-caddie yang sudah nampak kepayahan. Terdengar tawa menggelak-gelak dari restaurant. Tawa orang yamg sudah kekenyangan dengan makanan enak, tawa dari orang yang mengeluarkan uang jutaan semudah menggaruk kepalanya yang gatal. Sementara aku sendiri di luar restaurant itu, tengah pening karena lapar...ironi. Kalau sudah begini, tandanya aku harus membalikan barang dagangan ke rumah uwakku. Disana aku melepas lelah dan makan, dengan lauk yang seadanya. Uang jualan itu aku setorkan ke uwak dan aku mendapat persenan dari hasil jualan. Kumasukan semua uang itu ke saku, bergegas pulang dan mempersiapkan segala keperluanku untuk bersekolah. Kalau malam, tak pernah mau aku melintas ke sekitar lapangan golf dan warung-warung disekitarnya. Disana banyak orang yang tengah dalam pengaruh alkohol, kadang terjadi perkelahian. Uwakku selalu mengingatkan aku untuk hati-hati, karena aku sendiri hanyalah seorang anak kecil, baru menginjak kelas dua SD!
Sekolah!!!
Pembagian raport kelas 2, Bu Nunung wali kelasku memberi bingkisan hadiah bagiku. Aku rangking pertama, alhamdulillah! Temanku si Anung berkomentar, “ Si Iyan mah ulangan sepuluh terus. benar terus ngerjainnnya. Kayanya karena ada tanda ceklis di wajahnya, jadi benar terus yang dikerjakannya.” Haha, Si Anung rupanya tertarik dengan bekas luka di kepalaku yang bentuknya mirip tanda kalau jawaban kita benar di ulangan. Tanda mirip huruf V. Jangan tanya aku cara mengeja hurufnya, dijamin sebagai orang Sunda asli tak bisa heuheu. Yaa...luka itu adalah bekas pertarunganku dengan Lord Voldemort, hehe bercanda. Begini ceritanya... Dimulai ketika aku berbalap lari dengan temanku Ruslan dan Nandang. Entah mengapa aku bisa terjatuh, dan akhirnya kepalaku menghantam batu. Aku menangis sendirian sedang temanku tak sadar dan terus berlari. Darah muncrat dari pelipisku, membuat tangisku semakin menjadi. Saat itulah aku ditolong seseorang bernama Mang Kokon. Dia membopongku menuju ke nenekku. Akupun diobati dengan jampi yang tak kumengerti. Orang zaman baheula mah memang kuat jampi-jampinya. Dialah Mang Kokon, dewa penolongku. Padahal aku mungkin saja mati kehabisan darah kalau tak ditolong olehnya. Ada cerita menarik mengenai Mang Kokon... Mang Kokon adalah seorang anak dari makelar tanah yang kaya raya bernama Bah Inta. Kata orang-orang, Mang Kokon itu disekolahkan sampai menjadi sarjana. Namun akhir kisahnya harus menyedihkan. Bila kamu mengunjungi kampungku sekarang, kini Mang Kokon hanyalah seorang pria yang sering tertawa-tawa sendiri. Kewarasannya agak terganggu. Dia sekarang sering menulis di dinding memakai arang. Tapi kalau boleh aku menganalisis, tampak benar kalau Mang Kokon pernah melewati masa-masa sebagai mahasiswa. Coba simak tulisan ini... “Preman lakukan 5 kali tebang habis, pembunuh disembah!” Kalau menurutku berarti ini adalah masa-masa ketika gencar-gencarnya zaman Petrus (Penembak Misterius,red). Entah benar entah tidak, waktu zaman Suharto katanya masyarakat bisa damai tentram, karena Petrus tadi. Orang-orang macam preman banyak yang menghilang secara misterius. Pers juga waktu itu masih dibungkam. Hak azasi tiada artinya. Mungkin itulah masa-masanya Mang Kokon... Yang membuat geli adalah ketidakwarasan Mang Kokon katanya karena ditolak oleh seorang wanita. Ho...ho...benar juga kata Ti Patkay di serial TV, ”Begitulah cinta, deritanya tiada akhir” Nantilah aku akan bahas lebih lanjut di “Iyan dan Cinta”. Tapi Mang Kokon agak berlebihan juga sepertinya ya, masa bisa gila gara-gara ditolak wanita. Come on guys! We are gentleman,, wanita kan tak cuma satu,hehe. Hingga akhirnya timbul cemoohan di kampungku,” Jangan sekolah tinggi-tinggi...nanti gila kayak Mang Kokon.” Begitulah cerita lukaku dan Sang dewa penolong bernama Mang Kokon.Tapi aku punya pandangan sendiri mengenai sekolah. Di rumah aku tunjukan raport dan bingkisan itu ke Nenek yang sangat kucintai. Bukan main bangganya ia padaku, sambil matanya berkaca-kaca, mengatakan ”Iyang mah mirip si Bapak almarhum. Si Bapa ge dulunya rangking kesatu terus.”
Terngiang-ngiang lagi perkataan Nenek, jadi penasaran seperti apakah Bapakku itu. Akhirnya setelah bertanya kesana kemari, aku rumuskan siapa gerangan ‘Sang Ayah’ itu. Orang yang paling ingin aku temui lagi di masa kini, meski itu sangat mustahil...
Ayahku, Spirit Hidupku Ayahku adalah pria Sunda bernama lengkap Emi Halimi. Dia asli dari Limbangan, Garut. Dialah sosok idealis bagiku, yang memberi inspirasi. Ya… meskipun yang kutahu tentang ayahku kebanyakan hanya dari omongan orang-orang. Tapi dapat kusimpulkan kalau ayahku orang yang baik, sepanjang orang-orang yang kutanyai juga tak ada yang memberi komentar negatif. Kata orang aku ini sangat mirip ayahku, meski aku tidak tahu persis. Ayahku menjalani masa kecilnya di Limbangan seperti anak-anak kampung pada umumnya. Tapi ada satu bakat yang menonjol dari dirinya, dia selalu rangking satu di kelasnya. Saat dia kelas enam SD, sekolah menyatakan bahwa ayahku adalah murid terbaik. Oleh karena itu, banyak yang menyayangkan ketika ia memutuskan tidak melanjutkan sekolah. Seperti kebanyakan anak lelaki di daerahnya, ia lebih tertarik untuk bekerja membantu orang tua. Sekolah mahal…begitulah pikiran orang-orang di kampung. Sang Guru mencoba membujuk mati-matian ayahku supaya meneruskan sekolahnya. Saking ngototnya, guru ayahku sampai beberapa kali mendatangi ke rumah. Meski dijanjikan akan dibiayai ayahku tetap pada pendiriannya. Ia merasa lebih terhormat jika dapat membantu orang tua. Hari itu Limbangan menjadi saksi bagaimana potret masyarakat kita. Sebuah talenta emas akhirnya terbuang sia-sia, tergerus oleh ketakberdayaan melawan budaya. Ayahku lahir di waktu dan tempat yang tidak tepat untuk menampung talentanya. Ayahku bak sang Lintang dalam manifestasi hidupku. Tapi bagaimanapun, kecemerlangannya di sekolah tak lekang dimakan zaman. Cerita itu tak berhenti di situ saja tapi terus bergulir dari mulut ke mulut. melintas daerah dan waktu. Hingga sampai ke telinga orang yang tiga puluh tahun kemudian baru lahir, yaitu aku, saking lestarinya. Bagaimanapun, cerita tentang Ayah dan sekolah itulah yang kemudian menjadi semacam motivator bagi aku anaknya. Cerita itu bagai cambuk bagi kereta uang di zaman koboi, yang tak pernah berhenti kecuali tuannya memberikan kata sandi. Kereta itu aku, yang hingga kini masih melaju. Hanya Tuhankulah yang tahu kata sandi itu,sehingga hanya Dialah yang berhak memutuskan kapan aku berhenti. Terima kasih ayah!
Di Bandung Ayahku memutuskan mengembara ke Bandung. Di kota ini ia mulai mencari kehidupan yang lebih baik. Pertama datang ke Bandung, Ayah menumpang hidup di rumah Uwak Nana. Hidup memprihatinkan sebagai kernet angkot, sungguh tak sesuai dengan talentanya yang sebenarnya. Tapi bukan ayahku jika ia menyerah. Mula-mula sebagai kernet, lalu ia akhirnya belajar menyupir.Tak langsung menjadi supir angkot tapi hanya sebagai supir
Angkot yang konon jadi angkot pertam a ayah kendarai. Bandingkan dengan angkot ST Hall -Dago yang sekarang
tembak. Supir yang pekerjaannya hanya menggantikan supir yang berhalangan. Merasa sudah lihai ia minta ijin kepada uwakku untuk berdikari. Ia bekerja sebagai supir truk di salah satu perusahaan. Tak lama berselang kepercayaan mengalir kepadanya. Karena keuletannya dan kegigihannya ia akhirnya dapat menaklukan Kota Bandung. Tak percuma deras peluh ia keluarkan. Ia sukses sebagai seorang supir truk.Cita-cita untuk membahagiakan orang tuanya terwujud. Kata orang, ayahku sukses karena selalu bekerja dengan sepenuh hati. Berbeda dengan orang lain, setiap ada orang yang minta jasa padanya selalu ia penuhi tak peduli besar atau kecil upah yang diterimanya. Ia menjadi pegawai yang paling mendapat kepercayaan.
Dari redaksi : Semoga kalian yang baca tak merasa kalau aku hanya menyombongkan diri. Maaf kalau agak subjektif. Aku juga dapat semua ini dari hasil nanya kesana-sini. Pastinya Cuma Allah yang paling tahu yang sebenarnya. Ya ambil aja positifnya, aku dan kalian kalau melakukan sesuatu harus sepenuh hati, jangan pikirkan dulu hasilnya.Yang penting mah usahanya. Allah kan Maha Adil, kalau kita sudah berjuang, hasilnya tak akan kemana…beneran lah! Suatu hari ayahku istirahat dari pekerjaannya, ia mencari warung kopi.Dia parkirkan truknya dan akhirnya singgah di sebuah warung di Dago Utara. Kejadian itu mempertemukan ayahku dengan ibuku. Ibuku itu lagi menjaga warung nenekku. Yeaah…cinta pada pandangan pertama ceritanya. Singkat cerita ayahkupun mulai pendekatan dan mengajukan keinginannya ke nenekku. Merasa sudah mapan, ia mengutarakan niatnya. Gayung bersambut…Mereka memutuskan untuk menikah. Tebak berapa usia ayahku saat itu….??Jangan kaget…17 tahun!! Tebak umur ibuku…???Jangan pingsan….14 tahun,sumpah! Mungkin aku dan kalian pasti berpikir ini gila.! Tapi gila itu ternyata relatif, orang zaman dulu menganggap itu adalah hal biasa. Sungguh tak dapat dibayangkan. Lagi-lagi inilah potret kehidupan dulu. Kehidupan yang sulit dibayangkan di kehidupan sekarang.
Lihat kedua dan ketiga dari kiri atas. Mereka adalah orang tuaku waktu usia pernikahannya kurang lebih 5 tahun. Baru punya dua anak
Mungkin kurang lebih seperti itulah gambarannya. Ayahku seorang pejuang yang tak mengenal kata lelah.
Penantian Panjang
Aku yang pake baju biru,waktu pernikahan kakak pertamaku. Kelas dua SD mungkin.
Singkat akhirnya dikaruniai tiga orang anak yang kesemuanya perempuan. Tentu hal itu membuat keinginannya mempunyai anak laki-laki sangat besar. Anak laki-laki mungkin kebanggaan tersendiri baginya karena dialah yang akan menjadi pewaris dan penerus cita-citanya. Ibuku mengandung yang keempat kalinya. Ayahku sangat berharap bahwa ini adalah anak laki-laki. Namun apa daya harapan tinggal harapan. Ibuku keguguran, hampir membuat ayah sangat putus asa. Terpukulah Ayah dengan sangat telaknya, mungkin impiannya memang harus dikubur dalam-dalam. Di tempat lain, tak lama berselang ada berita duka, saudara bapakku meninggal ketika melahirkan anak kembarnya.Karena ibunya meninggal, ayahku yang merasa iba akhirnya berkenan mengurus si bungsu. Mungkin hitung-hitung sebagi pemancing supaya ia mendapat anak laki-laki dengan sumber rujukan kepercayaan orang dulu. Di foto diatas, anak itu yang berbaju putih. Namanya Jajang Fitriana. Entah ada hubungannya dengan ini, atau karena memang sudah takdirnya, ditambah doadoa yang sering dipanjatkan ayahku, timbul harapan lagi. Ibuku mengandung dan tentu disambut gembira oleh ayahku. Sejak kandungan itu, ayahku lebih sering bertirakat di mesjid, mohon supaya bayinya kali ini adalah laki-laki dan lahir dengan selamat. Doanya diijabah dan akhirnya lahir anak laki-laki yang didambakannya itu. Tepat tanggal 22 Februari 1989, seluruh penghuni rumah bersuka cita. Anak laki-laki itu 18 tahun kemudian menceritakan lagi kisah ini. Ya…anak laki-laki itu aku . Datanglah lakon kisah ini ke dunia, si Iyan tea. Hello World, I am coming!!!
Pemimpin bercahaya agama Sore-sore tiga orang anak perempuan berdiri antri di depan perapian. Mereka bertiga membasuh tangan dengan sabun sampai bersih benar, kemudian menghadapkan tangan mereka ke perapian. “Yang bersih ya cuci tangannya “, teriak seorang bapak. Setelah tangan mereka kering naiklah ketiga bocah itu ke ranjang kayu. Disana tampak bapak paruh baya mengawasi setiap gerak-gerik putri-putrinya dengan seksama. Suara bayipun terdengar, menyambut sentuhan-sentuhan sayang yang diberikan kakak-kakak perempuannya itu. Begitulah ayahku menerapkan aturan yang agak sedikit berlebihan kepada anakanaknya. Teteh-tetehku kalau hendak memegang Iyan bayi, mereka harus antri di depan perapian terlebih dahulu. Setelah cuci tangan, harus dikeringkan di atas kompor, agar aku terhindar dari bibit penyakit. Agak berlebihan memang Ayahku. Aku laksana pusaka yang sampai-sampai harus mendapat perlakuan khusus. Hingga tibanya pemberian nama... Ayahku berdiskusi dengan Kiai di kampungku, H. Encep untuk memberi nama untuku. Setelah sempat berpuasa beberapa hari, diputuskanlah nama NURDIN. Kurang lebih berarti cahaya agama. Ayahku berharap kelak anaknya dapat menjadi cahaya bagi agamanya atau mungkin memberi cahaya bagi orang lain lewat agamanya(It’s my wish in my life). Selayaknya orang Sunda, Nurdin diberi pengulangan Nurdiansyah sehingga menjadi Nurdin Nurdiansyah. Dan terakhir aku baru tahu kalau arti dari Syah itu adalah...pemimpin! Waaa...itulah amanat ayah buatku. Menjadi seseorang yang bisa memimpin dengan cahaya agamanya. Lho nama Iyan tuh dari mana, pasti itu pertanyaan kalian semua. Dapat dilihat dari kisah di atas betapa Ayah sangat terobsesi dengan anak laki-lakinya. Rasa sayangnya tak dapat dilukiskan saking begitu besarnya. Dari rasa sayang yang berlebihan itu muncul juga panggilan khusus...YANG. Mungkin berarti sayang begitulah.
Orang-orang kemudian memanggilku Iyang, ada juga yang memanggilku Biang. Kalau kalian kebetulan nanti ke kampungku...dijamin kalau bertanya Iyan pasti orang-orang bakalan bingung karena tak tahu. Itu karena mereka mengenalku sebagai Iyang. Dan berubah lagi jadi Iyan nanti aku ceritakan di bab ketika aku masuk sekolah. Inilah hidupku, aneh nian tapi nyata benar...
Ayah pemberi inspirasi Bukan tanpa alasan aku sangat mengagumi ayahku. Beliau adalah pekerja keras yang sangat berdedikasi untuk keluarganya. Pedih ayah tak bisa sekolah dulu, ia terus berusaha untuk terus sekolahkan teteh-tetehku. Teh Atikah, teteh pertamaku, beliau perjuangkan terus untuk bisa sekolah. Disekolahkan di sekolah terelit kala itu, SMA Darul Hikam, SMAnya anak-anak orang kaya. SPP tetehku menghabiskan seperempat gajinya, tapi itu tak membuat langkahnya surut. Ia antarkan tetehku dengan truk sampai ke gerbang sekolah. Meski tetehku sering merasa malu diantarkan dengan truk. Prestasi tetehku meski tak begitu istimewa, terus mendapat support Ayah. Sungguh langkah brilian Yah! Sangat jarang, apalagi di kampung, pada masa itu ayah tangguh yang berjuang mati-matian menyekolahkan anaknya. Dan aku bangga ayahku adalah salah satunya. Kau memang Ayah yang sebenar-benarnya ayah Dia adalah tempat bergantung keluarga-keluarga uwak dan pamanku yang lain. Karena dia paling maju, baik dalam cara berpikir maupun kemapanan ekonomi. Dia sering didaulat untuk menjadi sesepuh dalam keluarga besarku.
Ayah ketika didaulat memimpin acara keluarga, kedua dari kanan.
Ayahku...kau buat aku bangga menjadi anakmu. Ayah adalah seorang ustadz, dia sering didaulat untuk menjadi muadzin di kampung kami. Kami semua dibesarkan dengan cara-cara Islami. Teteh pertamaku adalah salah satu hasil didikannya, berhasil menjadi juara satu MTQ di desa. Ketika mendapat piala, saking gembiranya ayahku menggendong tetehku dari tempat perlombaan sampai ke rumah. Si Ayah mah aya-aya wae, hehe. Ayah adalah bapak yang berpikiran maju, hidupnya jauh dari rokok apalagi minuman keras. Selain bekerja, kesehariannya lebih banyak dihabiskan di mesjid. Ayah mendapat kepercayaan penuh dari tempat ia bekerja. Truk majikannya sering dibawa pulang ke rumah kami. Ayah adalah seorang yang gila bola. Seringkali truknya dipakai untuk membawa pemain kampung kami bertanding melawan kampung lain. Semuanya gratis tanpa dibayar. Aku masih ingat ketika kecil, sering dibawa ayah ke lapangan bola menyaksikan pertandingan tarkam. Ayah sendiri sering berperan sebagai pemandu jalannya pertandingan, komentator. Tak segan-segan juga untuk selalu membantu orang. Pa Eod seorang tua renta penjual bunga, sering diberi tumpangan naik truk jika bertemu ayahku di perjalanan pulang. Ayah menjadi orang pertama di kampung kami yang memiliki motor, haha. Bukti sahih kalau ayah memang pandai mengelola keuangannya. Begitulah ayah, sangat tenar di kampung kami.
Titik Kritis Saat dunia menyaksikan kehebatan Ayahku, aku hanya bisa tergolek tak berdaya. Aku terbaring sakit-sakitan. Jalan tak semuT yang terlihat. Tuhan selalu punya rencana. Aku si bungsu yang begitu dinanti-nanti olehnya, tak dikaruniai kesehatan yang cukup baik. Waktu kecil itu aku sering sekali sakit-sakitan. Dari flu biasa sampai brokhitis. Selang infus dan tabung oksigen begitu akrab denganku. Bolak-balik rumah sakit...hampir setiap bulan. Kata orang setiap ayah gajian, aku selalu tiba-tiba sakit. Habislah sebagian penghasilan ayahku itu untuk biaya ke rumah sakit. Aku begitu merepotkannya waktu kecil. Saking seringnya aku jatuh sakit, banyak yang pesimis kalau aku akan bisa bertahan. Ayah sering mengambil cuti kerja hanya untuk menungguiku di rumah sakit selama berharihari. Pernah di ujung keputusasaannya ayahku merintih di depanku dan mulai meneteskan air matanya,” Aduh…anak laki-laki yang didamba-dambakan dari dulu ini malah mau pergi meninggalkan saya”. Dan...
Ayahku... Tapi kenyataan yang terjadi adalah yang sebaliknya. bukan aku yang meninggalkan ayahku, justru beliaulah yang akhirnya meninggal. Aku ketika itu baru berusia sekitar dua setengah tahun, tentunya belum mengerti apa-apa. Banyak versi yang menguraikan penyebab meninggalnya ayahku. Dari yang paling ilmiah sampai yang paling mistik sekalipun. Entahlah aku sendiri tidaktahu yang benar yang mana, mungkin hanya Allah yang tahu. Inilah kisah yang aku kupercayai. Ayahku meninggal karena penyakit kencing batu. Pekerjaanya sebagai sopir, membuatnya terlalu bekerja keras. Duduk berjam-jam kala mengantar barang ke luar kota ditambah porsi minum yang kurang dapat menjadi penyebabnya. Tiga bulan sebelum meninggal, ayahku merasakan sakit dan ketika diperiksa ke rumah sakit dokter mengatakan ada batu di saluran kencingnya. Dokter memvonis ayahku harus dioperasi. Ayahku yang orang awam dan terbatas pengetahuannya panik kala mendengar ini. Kata cerita orang, ia kabur dari rumah sakit. Ketika ditanya mengapa kabur ia menjawab,”Sama aja lah dioperasi gak dioperasi juga dua-duanya bakalan meninggal” Ini tak lain dari kepolosan bapakku sebagai orang kampung. Mungkin mendengar kata operasi sudah terbayang bahwa operasi akan mengantarnya ke kematian. Padahal zaman sekarang, operasi adalah hal yang sudah biasa. Ayahku meninggal... seluruh isi kampung tak percaya dengan itu. Bagaimana tidak, usianya belum menginjak kepala empat. Ya...hidup kadang tak sesuai dengan yang kita inginkan. Tak semua yang kita inginkan itu akan kita dapatkan. Begitu juga Ayahku, menghembuskan napas terakhir saat ia tengah dalam perjalanan menggapai mimpinya. Selamat jalan, Ayah. Engkaulah martir yang mengawali perjuanganku. Engkau adalah pahlawan, rela mati untuk anak-anakmu. Sakit mungkin juga tak pernah kau rasa demi senyuman anak-anakmu di rumah. Aku akan meneruskan semua harapanmu. Meski pertemuan kita tak lama. Tak mengapa, karena engkau selalu hidup. Disini Yah, di hatiku!! Akan kubuat kau tersenyum bangga,Yah! Percaya akan anak laki-lakimu ini…engkau tak akan kubuat kecewa. Doamu selalu mengalir deras di nadiku.Tak akan kusia-siakan itu.
Sepeninggal Ayahku Meninggalnya ayahku tentunya banyak yang tidak mempercayainya, terutama usianya yang masih muda—belum lewat kepala empat--. Termasuk si Iyan kecil, ada satu kisah mengharukan disini. Kata teteh-tetehku, setiap jam lima sore aku selalu minta diantarkan ke makam ayahku. Setiap hari hingga kira-kira satu bulan lamanya. Kenapa harus jam lima sore, ya..soalnya itu adalah waktu ketika ayahku pulang kerja. Iyan kecil masih menganggap ayahnya masih kerja, walaupun sudah meninggal. Yang membedakan mungkin hanya tempat tinggalnya. Ayah pindah dan kini memiliki rumah di dalam tanah. Kata tetehku waktu itu aku berbeda dengan anak-anak lain, aku betah-betah saja di kuburan tak ada keliatan takut atau apa. Sekitar hendak maghrib baru kami semua pulang. Meninggalnya Ayahku itu sangat memukul. Kekacauan pun datang bertubi-tubi… Padahal itu sebenarnya tak usah terjadi, karena ayahku meninggalkan harta yang tak sedikit. Tapi berbagai salah urus dan ditipu sana sini, entah bagaimana harta itu demikian cepat menguap sepeninggal ayahku. Maafkan aku Yah! Iyan kecil tak mampu berbuat banyak…
Tangisan itu... Menjeritlah keluargaku itu. Yang paling merasakan sulitnya masa itu adalah teteh-tetehku dan ibuku. Langkah brilian Ayah tak ada yang melanjutkan. Tak ada ibu uwak atau paman yang berada dalam satu pemikiran. Korbanpun berjatuhan. Tetehku yang nomor satu terpaksa menambah tangisan dengan harus DO dari sekolahnya dan memutuskan atau mungkin dipaksa kerja di pabrik padahal ia sudah kelas dua SMA. Sungguh teramat sayang, padahal kalau saja luT SMA dia tentu punya kekuatan lebih untuk membangkitkan lagi keluarga. Pemikiran tak berprospek dan bikin aku sekarang geram bukan main. “Haduuuh...tak kuat kerja sendiri!!!”, jerit ibuku seolah menandaskan bahwa tetehku harus putus sekolah dan ikut bekerja dengannya. Kejadianpun berulang; Kepala Sekolah SMA Darul Hikam menjamin akan menggratiskan semua biaya sekolah tetehku. Bahkan kalau tak sanggup, pulang perginya diantarkan dengan motor oleh Kepala Sekolah yang dermawan itu. Lagi-lagi pemikiran semua keluargaku tak mengijinkan semua itu terjadi. Tetehku harus putus sekolah! Tetehku yang nomor dua prestasinya turun dan membuat gurunya prihatin karena ia sering menangis di sekolah. Ibuku akhirnya nekad membawa tetehku bekerja di pabrik tekstil di Cicalengka.
Iyan Kecil Di sisi lain, Iyan kecil berbeda dengan dulu. Seolah mengerti dengan keadaan, ia tak pernah sakit-sakitan lagi. Ditinggal pergi sang Ibu dan saudara perempuan tertua. Hiduplah diriku dengan Nenek, orang yang begitu telaten mengurusku. Dia mengasihiku, menyayangi aku melebihi cucu-cucunya yang lain. Seingatku ketika ada pertandingan bola voli, aku diajari berdagang ulen. Ulen buatan nenekku tak membutuhkan waktu lama untuk habis karena seperti layaknya orang tempo dulu, racikannya demikian nikmat. Mungkin disitu aku mulai belajar menghitung pertama kali.. Itulah pelajaran berharga, pertama kalinya aku diajarkan bekerja. Selain itu nenekku hemat, untuk celenganpun dia tak pernah beli. Celengan memanfaatkan kaleng susu kental. Nenek lubangi kaleng itu dengan paku. Aku memperhatikan, mungkin itu yang namanya pelajaran hidup, bisa didapat dari mana saja. Kreatif dan hemat... Yang lain mungkin belajar memberi makan ayam mengajarkan aku untuk memberikan kasihku pada mahkluk lain. Ada lagi yaitu memunguti cengkeh yang jatuh dari pohon tetangga, mengumpulkannya menjadi satu, lalu menjualnya secara kiloan. Pelajaran moral lain, yaitu berjuang sedikit demi sedikit untuk mendapat hasil banyak... Nenekku mengurus aku, sehingga sampai sekarang aku lebih merasa dekat dengan Nenek daripada dengan Ibuku. Nenekku yang sudah renta mungkin tak cukup tenaga untuk terus mengawasiku setiap saat. Sering sekali aku main dengan teman sekampung...dari pagi sampai sore Ya... hidup tanpa orang tua bisa lah kalian bayangkan. Main sama-sama dengan anak lain…tapi kadang-kadang aku juga sering iri.. 1. kalau main terlalu jauh anak lain sering dimarahi tapi aku bebas sebebas-bebasnya…tak ada yang mengkhawatirkan keberadaanku…. Hingga sering terbersit , jiwaku berteriak... aku ingin ada orang yang marah padaku, mengkhawatirkan aku!!!, mungkin keinginan yang aneh…tapi aku sering merasa tak ada yang menganggap aku ada... 2. Jam satu siang teng!! Semua anak yang main denganku dipanggil oleh orang tuanya masing-masing, disuruh makan + tidur siang...aku??? Boro-boro,, termenung sendiri dan kadang berpikir kenapa aku berbeda dengan mereka. 3. kadang mungkin kami berkelahi, aku selalu dalam sudut yang salah. Karena tak ada orang tua yang membelaku,hanya kedua tetehku yang berada di sampingku, tak punya daya upaya... 4. Aaaah pokonya sedih lah,, aku tak tahan menceritakannya,, maaf pembaca!
I am Iyan...
Iyan kecil, paling kiri
Hingga waktunya aku sekolah, enam tahun setengah umurku waktu itu. Sungguh tak berniatlah sekolahnya juga. Pagi itu aku sedang ada di teras rumah. Ibunya Anjar, temanku sebaya yang kaya itu, bertanya kepadaku. “ Yang, sudah daftar sekolah belum?” Sekolah...aku hanya teringat dongeng tentang ayahku yang katanya hebat di sekolahnya. Yap!!! aku mesti ikut yang namanya sekolahan. Selama ini aku hanya tahu belajar sekolahsekolahan dengan anak-anak perempuan yang ada di sekitar kampung. Aku segera melaporkan temuan ajaibku bernama sekolah pada teteh-tetehku. Tetehku juga bingung apa yang mesti diperbuat. Pergi kami berjalan satu kilometer, ke tempat satu-satunya telpon koin di kampung kami kala itu. Kami meminta persetujuan pada ibuku. Di detik-detik terakhir itu aku mendaftar. Di SD Inpres yang didalamnya ada enam blok SD. Ada yang berstatus favorit, ada juga yang termarjinalkan karena sepi pendaftar. Aku sebenarnya
ingin masuk SD Pakar 1, SD paling favorit, disitu teman sepermainanku yaitu Ruslan dan Andi sudah mendaftar. Sudah dipastikan SD itu telah penuh. Aku akhirnya mendaftar di SD Pakar 2. Masuk aku ke ruang pendaftaran, ditanya nama. Aku jawab dengan lugas..IYANG NURDIANSYAH. Dan bla,bla,bla. Sampai kemudian Raport pertamaku, dan tertulislah disana IYAN NURDIANSYAH. Keluargaku memang tak terlalu fokus dengan hal kecil macam itu. Akhirnya berlarut-larut semua piagam lomba dan raport isi namanya IYAN NURDIANSYAH. Yah... apa boleh buat, aku juga terlanjur sering dipanggil IYAN di sekolah. Akhirnya kutasbihkan diri kalau aku adalah IYAN!! Ko Iyan ya...aduh..tak tahulah…terima saja, hahahha!!!
Kampungku pecah Kawasan tempat tinggalku di Kampung bernama Cirapuhan. Di dekatnya terletak Tempat Wisata Goa Pakar, lalu ada Lapangan Golf Dago ( Tempat ini bakal kueekspos habis-habisan di belakang).Terus ada pula pembabatan hutan sadis yang kemudian dijadikan perumahan mewah dengan judul Resort Dago Pakar. Dago Utara letaknya, sekarang mungkin identik dengan kafe-kafe. Semua obyek itu menjadi jantung masyarakatku, karena lebih dari tujuh puluh persen bermatapencaharian disana. Jalannya sekarang sudah dihotmix bagus sekali, meski mengorbankan pohon-pohonmembuat udaranya sekarang jadi lebih panas. Cirapuhan terbagi menjadi dua, ada yang masuk ke Kotamadya Bandung dan ada yang masuk ke Kabupaten Bandung. Untuk wilayah Kabupaten, daerah kami adalah daerah paling ujung dari pusat kota Soreang. Sialnya aku masuk ke zona Kabupaten Bandung. Sungguh zona yang tak nyaman, mengingat perhatian pemerintahnya tak sebagus di kota.Jika hendak mengurus apa-apa juga harus menyebrang berpuluh kilometer ke Soreang. Apalagi ditambah pungli-pungli PNS yang tak kompeten, sungguh sangat membuat kesal. Jadi wajar saja aku waktu itu belum memiliki akte kelahiran, sehingga namaku bisa diubah (atau tepatnya terubah). Kalau boleh aku berpendapat, lebih baik masukan sajalah wilayah kami ke kotamadya. Aktivitas kami sebagian besar terjadi di kotamdmadya. Ini bukan masalah pencaplokan wilayah atau apapun itu. Kami tak peduli siapa yang menjadi pemimpin kami, entah itu Pak Walikota atau Pak Bupati. Yang terpenting bagi kami adalah kemudahan dalam mendapat pelayanan Negara. Seperti saat itu kulihat, kalender pendidikan di SD tempat aku mendaftar kulihat sudah kadaluarsa tiga tahun. Sungguh menyedihkan keadaan sekolahku dulu, ada WC yang tak pernah disentuh air siraman, sehingga menghamburkan bau yang menusuk. Didekatnya ada yang mendirikan warung, dan parahnya kami menjadi langganan setianya. Itulah ternyata kehidupan kami di SD. Tapi setelah kafe-kafe itu berdiri, fasilitas sekitar kampungku mulai berkembang. SD kamipun mendapat kucuran dana rehabilitasi. Sialnya lagi, semua terjadi ketika aku sudah luT dari sana. Keberuntungan belum berpihak kepadaku…
Sekolah Daripada membicarakan kesemrawutan birokrat, lebih baik kita lihat pengalaman aku masuk sekolah, lebih renyah!!! Hari pertama masuk sekolah datang... Itulah pengalaman yang tak kulupakan...aku masuk sekolah!!!Aku kini tahu sesuatu...anakanak yang lebih tua dariku, yang selalu menghilang ketika pagi,ternyata menghilang ke tempat ini. Pantas saja aku baru bisa bermain dengan mereka saat siang. Sekolah ternyata begitu mengasyikan, ada jajanan-jajanan yang lebih aneh-aneh, ada teman-teman yang begitu banyak. Di hari pertama itu, aku dikejutkan banyak hal. Vrindayani yang sudah pandai menulis namanya sendiri, Gustian yang begitu pemarah-di hari pertama itu, entah karena begitu grogi, dia buang air besar di celana,hehe-. Ada dua bersaudara Apit dan Samsu yang usil bukan main, meledek Gustian habis-habisan. Aku berangkat nyaris tanpa persiapan. Baju warisan kakakku, satu buah buku, dan dua pensil diserut terburu-buru dengan pisau. Semua diwadahi dalam kantong kain berwarna putih. Yang jadi bekal paling besar adalah perkataan tetehku “Yan, kalau sudah di dalam tangan harus bersidekap, kepala harus menunduk, tak boleh bicara sampai Bu Guru bertanya. Kalau tidak Bu Guru akan marah.” Aku tergolong anak yang penurut, maka aku camkan itu dalam hati. Pertama kali masuk SD aku sudah merasa takjub, salah satunya oleh insiden Gustian tadi. Bu Guru mengeluarkan kata-kata pertama, ”Anak-anak, acungkan tangan yang dari TK!”. Beberapa anak mengangkat tangan, sedangkan aku masih tunduk dalam titah tetehku. Bayangkan saja, anak lain—yang masuk TK dulu— sudah bisa baca, nulis. Aku…, megang pensil saja belum belajar. Orang lain yang mungkin orang tuanya memperhatikan—atau justru terlalu memanjakan-, mengantar anaknya setiap hari. Mendandani anaknya setampan dan secantik mungkin. Tak layak aku dibandingkan dengan anak-anak yang lain kala itu. Tak ada acara masuk TK dulu, tak ada yang membantu belajar di rumah. Peralatan sekolahku juga waktu itu jauh dengan orang lain, sangat sederhana kalo tak bisa dibilang memprihatinkan. Ketika aku bisa melafalkan doa mau belajar, bukan main senangnya Nenekku. Wah aku baru tahu kalau lewat sekolah, aku bisa menyenangkan hati keluargaku. Tapi jangan salah...aku waktu itu menggegerkan dunia persilatan...maksudnya persekolahan,hehe. Aku kelas satu caturwulan 1 itu dapet rangking 1. Tak tahu aku juga mengapa bisa seperti itu. Padahal dengan semua keterbatasan seperti itu, mustahil sebenarnya. Hingga aku nyaman di sekolah...dan menyimpulkan sekolah itu penting untukku. Kalau kalian tanya kepadaku tentang pentingnya sekolah, inilah jawabanku…. Sekolah itu adalah satusatunya tempat aku dianggap ada & diperlakukan sama dengan anak-anak yang lain. Sekolah itu satu-satunya tempat dimana ada orang yang mengatakan aku hebat, memberi pujian padaku, dan
yang lebih penting lagi sekolah adalah tempat aku bisa mengalahkan orang lain... mungkin terlalu ambisius ya,, ya..semacam pelarian dari hidupku yang terasa begitu berat. Aku hanya merasa kalau aku dianggap dan dihargai eksistensinya itu ya di sekolah. Sekolah bukan hanya tempat menuntut ilmu, tapi yang lebih penting adalah disana banyak teman-teman yang menghibur kita kalau kita sedih, mau berbagi, dan mendengar semua keluhan kita. Sekolah bagiku membuatku bisa bertahan sampai sejauh ini. Tak bisa dibayangkanlah kalau aku tak sekolah. Sudah Game Over sepertinya...
Aku paling kanan, ketika membacakan puisi di kelas 1 SD.
UANG!!!! Hingga kini aku berdiri di tempat ini, di sebuah lapangan golf. Di depanku puluhan dus bola dijejerkan, di undak-undak tangga depan ruangan starter. Kakak Ibuku, ya.. aku sering sekali main ke rumah beliau. Hingga suatu saat—kalau tak salah pertengahan SD kelas dua—aku diperkenalkan dengan dunia yang kelak mengubah hidupku. Hampir semua keluarga besarku itu hidup dan mencari nafkah di LAPANGAN GOLF DAGO. Ada yang jadi caddie—petugas yang membawakan peralatan golf-- , karyawan pengurus lapangan dll. Nah…suami kakak Ibuku itu adalah Mandor dari karyawan pengurus lapangan.
Para Caddie (pembawa alat2 golf). Diantara mereka ada yang berperan sebagai motivator, teman yang baik dan pemberi pertolongan.
Sebenarnya penghasilan uwakku tergolong lumayan diantara penduduk yang lainnya. Namun anaknya yang berjumlah sembilan (Atep, Hamid, Uyu, Lala, Yayat, Nana, Ema, Eulis, Aan) membuat penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Uwak punya penghasilan sampingan yaitu jual beli bola golf bekas. Bola yang dipukul pemain dan kemudian hilang (masuk semak-semak, kebun penduduk, atau masuk kolam), ada anak-anak yang kerjanya mencari bolabola tak bertuan itu. Anak-anak pencari kemudian menjualnya kepada uwak. Di rumahnya, bolabola bekas itu dicuci dan dibersihkan oleh uwak. Setelah bersih dan dibungkus dalam dus, baru aku dan teman-temanlah yang bertugas menjualnya Dari bisnis uwakku ini, aku diajarkan mencari uang sendiri. Kelas dua SD, aku belajar menjajakan bola golf bekas. Aku sudah bisa punya uang sendiri. Jajan dengan hasil jerih payah
sendiri, dan bayar uang sekolah sendiri. Kadang-kadang kalau lagi ramai aku bisa memberi uang ke nenekku. Tapi jangan kira hidup jadi penjual bola itu enak. Jauh lah…sangat keras kehidupan disana. Ya tak beda jauh dengan kehidupan anak jalanan. Tak ada perlindungan orang tua. Kita harus survive sendirian. Bayangkan saja…selain kulit kalian terbakar matahari tiap hari —makanya Iyan teh punya kulit coklat terpanggang, tapi tak mengapa...aku justru merasa jadi lebih manis dan gentle, huehue— disana rokok, minuman keras, judi jadi santapan kalian tiap hari. Temen-temen aku saja sesama penjual bola, punya uang sedikit beli minuman keras, atau ikut judi kartu. Temanku yang masih SD rokok sudah dianggap barang biasa. Parah lah soalnya mereka sudah punya uang sendiri, terus kontrol dari orangtuanya juga tak ada. Prihatin aku mah! Jangan heran kalau teman-teman seperjuanganku sesama penjual bola jarang sekali yang bisa sampai menamatkan SMP. Yang luT SD saja bisalah sepertinya dihitung dengan jari. Ya, banyak dari mereka yang akhirnya keenakan punya uang sendiri dan melupakan yang namanya sekolah. Di kemudian hari, ada juga yang masuk bui akibat penyalahgunaan narkoba, terlibat pencurian dan tindakan kriminal lain
Undak-undak tangga tempat aku berjualan bola….dibelakangnya adalah ruangan starter
Kalau aku analisis ada beberapa faktor yang jadi sebab : 1. Mereka—kebanyakan di bawah umur—terbiasa punya uang sendiri. Mereka kebanyakan tak bisa mengatur uang dengan baik. Pikiran mereka kebanyakan jangka pendek. Ah yang penting sekarang senang-senang...besok ya bagaimana besok saja. Punya uang otomatis punya kekuatan. Otomatis juga mereka terbentuk jadi sangat egois. Tak peduli aturan, sopan santun dan normanorma lainnya. Tak aneh kalau terhadap yang 10-20 tahun lebih tua, mereka tanpa sopan santun seenaknya memanggil nama. 2. Golf itu permainan paling mahal. Peralatannya saja 20 juta ke atas, belum lagi sekali main minimal harus mengeluarkan uang lima ratus ribuan. Oleh karena itu yang bisa main golf kebanyakan hanya golongan super atas macam pejabat, eksekutif yang punya perusahaan sendiri, atau yang sudah bingung mencari cara untuk menghabiskan duit, hehe. Celaka buat penjual bola, caddie, dsb. Mereka akhirnya bergaul dengan orang-orang yang sudah sukses. Terbentuk watak mereka seperti orang kaya, tapi sebenarnya mereka tak pumya apaapa. Judi dan mabuk-mabukan jadi barang yang biasa. Habis uang tinggal stress menyerang.
Makanya wajah mereka kebanyakan tampak lebih tua dari umurnya. Perbuatan yang menjurus ke kriminal juga akhirnya sering terjadi. 3. Di Golf kalo kita tidak licik kita tak akan bisa bertahan hidup. Beneran...kita harus menyikut sana-menyikut sini supaya mendapat uang. Licik itu suatu keharusan. Akhirnya licik dianggap suatu kewajaran oleh anak-anak penjual bola golf. Tapi Maha Besar Allah, alhamdulillah aku tak terpengaruh dengan hal seperti itu. Yang membentengiku tak lain tak bukan adalah almarhum bapakku. Cerita tentang ayah yang kudengar dari orang-orang tak pernah ada yang miring. Ketika aku melakukan sedikit kenakalan, orangorang mengingatkan, “Bapakmu itu orang yang soleh, masa anaknya tidak”. Luruhlah semua niat jahatku, malu dengan bapakku...terima kasih Ayah!!! Begitulah aku di hari libur, berjualan bola bekas. Sabtu malam biasanya aku menyiapkan pakaian satu setel. Kumasukan kedalam tas. Lalu pergi menembus malam melintas kampung menuju rumah uwakku. Iyan kecil yang kadang terbirit-birit ketika mendengar suara di malam hari, ketika melewati pekuburan. Sambil melafalkan doa-doa yang diajarkan guru mengaji, berharap itu bukan suara hantu namun hanya suara binatang malam. Hingga sampainya aku di rumah uwakku, menuju ke sebuah ranjang butut. Berbagi selimut dengan anak uwakku yang tidur satu ranjang denganku,si Ema. Usianya lebih tua dua tahun dariku. Mencoba tidur lebih awal agar besok bisa bangun pagi-pagi untuk memulai berjualan. Berharap bahwa besok diberi rezeki yang berlimpah untuk melaksanakan amanat Ayah, terus sekolah!
Hari-hari di kampungku Besok sekolah dan bukuku habis, pulang dari Lapangan Golf kubeli buku satu. Aha! Aku ingin beri kejutan untuk Nenekku. Kubelikan tahu sepuluh biji dan telur satu kilogram. Nenek terlihat senang ketika aku membawa pulang barang tadi. Nenek segera memasak dan kamipun makan bersama-sama. Uang yang kudapatkan pun kuberikan untuk Nenek. “Ni, ini buat uang jajan saya. Nanti saya ambil sedikit-sedikit setiap hari.” Di belakang rumah, nenek dirikan kandang-kandang ayam. Aku punya ayam sendiri, kuurus dari mulai umur tujuh hari. Semuanya ada 4. Nasi-nasi sisa, kami berikan setiap pagi dan sore. Kadang aku dibuat sesak, ketika ayam jago kesayanganku harus dipotong untuk dimakan. Sedih rasanya. Meski memang harus menyadari takdir si Jago memang seperti itu.
Aku paling kiri, ketika teteh keduaku menikah
Di dekat kandang-kandang ayam tadi, ada juga pohon cengkeh. Buahnya banyak yang berjatuhan, berserakan di halaman belakang rumah kami. Daripada membusuk, nenek mengajarkan aku untuk memungutinya satu per satu. Tak terasa beberapa bulan kemudian cengkeh yang dikumpulkan itu sudah mencapai satu kilogram. Saatnya menjual ke pengumpul yang sering datang ke kampung kami. Nenek jago juga dalam urusan pijat-memijat. Sering dipanggil oleh orang lain dan mendapat upah.
Begitu kami nenek dan cucu menghabiskan masa-masa kami. Sangat indah meski serba sederhana. Aku juga sering bermain dan berpetualang. Taman hutan Ir.H. Djuanda di Dago Pakar adalah tempat favorit kami. Bersama Buldan—anaknya Pa Kiai H.Encep--, Arif-yang kami daulat sebagi pemimpin diantara kami, , Anung dan Gustian—tuan rumah sebagai orang Pakar, khusus Gustian dia adalah anaknya orang kaya-. Kami adalah teman-teman sekelas. Berenang di sungai, mencari buah-buahan liar di hutan. Semuanya tanpa uang, tapi terasa sangat menyenangkan. Gustian punya kebun jambu; pastinya itu adalah tempat favorit kami. Seharian bergelantungan di pohon memetik jambu. Hidupku tak pernah terasa membosankan. Aku banyak berkawan, dan ketika mereka tahu aku adalah seorang yatim, simpati mengalir deras kepadaku. Tak tahu mengapa aku selalu dibela oleh orang lain. Pernah ada anak jahil yang menggangguku, anak yang lebih tua dariku bernama Mumu membelaku. “Jangan menggangu si Iyang. Kasihan dia anak yatim. Anaknya Mang Emi. Kalau kamu berani, lawan saya!”, teriaknya menggertak. Anak-anak yang mengganggu itu lantas lari pontang-panting ketakutan dengan wajah garang si Mumu dan badannya yang tinggi besar. Bersama si Mumu itu, sering main bola. Bertelanjang kaki dan kadang hujan-hujanan. Menjelang Magrib saatnya untuk mengaji di masjid. Di kampung kami ada orang yang menurutku sangat sangat baik. Pak Haji Nana namanya. Bagaimana tidak, beliaulah yang memberi pendidikan agama kepada kami. Beliau sediakan ruangan tersendiri dan mendirikan pengajian Al-Baihaqi. Yang mengajarnya adalah anak-anak beliau yang luTan pesantren. Tiap malam Jumat kami diberi makanan; betulbetul murni swadaya beliau. Tiap ada moment Islam seperti Isra Mi’raj atau Maulid Nabi, beliau dirikan panggung untuk anak-anak. Tidak sedikit anak yang diajar, mungkin mencapai ratusan orang. Bayangkan! Semua dilakukan tanpa menarik bayaran apapun dari kami. Beliau berjasa, setidaknya aku tahu bacaan shalat, surat-surat pendek, dan bisa baca Qur’an. Orang-orang seperti Pak Haji Nana inilah yang dibutuhkan dunia pendidikan di negeri ini. Mengabdi dengan hati. Tak melulu komersial. Tuhan, sayangilah mereka! Jam 8 malam kami pulang mengaji.
Senyuman kemenangan Agaknya sudah terjadi hal gila disini, di sekolah Inpres bobrok ini. Tepukan tangan yang hampir sama setiap caturwulan, untuk seorang anak berperawakan tinggi kurus dan berkulit gelap. Mengapa selalu dia? Kenyataan yang demikian membuat dahi para orang tua berkerut. Membuat wajah tua mereka makin tampak lebih tua. Bagaimana mungkin anak-anak mereka yang banjir kasih sayang dan perlengkapan sekolah yang mahal kalah oleh seorang Iyan. Bayangkan! Oleh seorang Iyan! Anak yang hampir sebagian besar harinya dihabiskan untuk berjualan bola di Lapangan Golf. Iyan yang sejak umur dua tahun ditinggal mati muda bapaknya dan kini ibunya bekerja, tak pernah ada di rumah. Bagaimana anak ini belajar, apakah dari hijaunya rerumputan? Atau barangkali terik matahari telah mematangkan isi kepalanya? Setiap tahun dia terus begitu dan kini lebih gila lagi. Anak kurus itu mendapat rangking kesatu lagi. Bah! Kenyataan macam apa lagi ini! Begitu pergumulan pikiran para orang tua itu, aku rangking kesatu dan semua pertanyaanpertanyaan macam itu hanya bisa kujawab dengan senyuman. Ya, sebuah senyuman kemenangan!
SDku yang sangat kucintai. Disinilah masa kecilku yang paling berkesan, wah…indah pokoknamah
Usai sudah tugasmu Nenek bagiku adalah segalanya. Dia mengajari banyak hal; terlalu banyak bahkan daripada yang seharusnya dilakukan oleh seorang Nenek kepada cucunya. Nenek sangat berarti bagiku, melebihi siapapun di dunia ini. Nenek adalah bentengku menghadapi semuanya, membantu menghadapi gilanya kenyataan. Namun begitulah nenek, usianya tak muda lagi. Saat aku kelas tiga, Nenek jatuh sakit parah. Nenek harus dirawat di rumah sakit. Aku menungguinya, berharap yang terbaik untuknya. Nenek harus menjalani operasi, ada masalah dengan organ pencernaannya. Alhamdulillah semua operasi berjalan lancar. Nenek kami bawa ke rumah. Seingatku, nenek menunjukan luka operasinya padaku. Aku bergidik ngeri melihat luka memanjang di perutnya. Tapi dasar Nenekku, masih bisa tertawa-tawa. Tak ada ringis kesakitan. Oleh dokter Nenek diberi nasihat agar banyak-banyak istirahat. Nenekku tua-tua keladi, nasihat seperti itu lewat saja. Memang sudah dasarnya pekerja keras, tak ada hari tanpa kerja. Kalau perhatian keluarga luput, Nenek tahu-tahu sudah menggendong cucu, mengangkut air dari pemandian umum, atau bahkan sudah beres menyapu semua teras rumah. Dasar Nenek,hehe! Kemudian Nenek kembali jatuh sakit, kali ini lebih parah dari sebelumnya. Hingga akhirnya sakit itu mengantarkannya menuju napas terakhir. Subuh itu jadi saat perpisahan kami. Nenek menyusul ayahku, hidup tenang di alam yang lain. Heuh...!Aku tak tahu harus bicara apa lagi. Hatiku sedemikian hancur, bersamaan dengan guguran tanah merah yang menimpa jasadmu dan mengotori kain kafanmu. Selamat tinggal Nek! Usai sudah tugas beratmu di dunia ini. Tenanglah dirimu disana. Nenek, kini aku harus tidur sendirian, harus memberi makan ayam-ayam sendirian, memunguti biji cengkeh sendirian. Mengapa Ayah dan Nenek berangkat kepagian, sedang jemariku masih cukup lemah untuk sekadar membela diri? Apa dayaku, umurku juga belum mencapai sepuluh. Aku bersedih...ya aku bersedih. Serasa langit jatuh menimpaku. Pada siapa lagi aku hendak bersandar di dunia ini? Terima kasih untuk semuanya, Nek! Inilah hidupku, inilah mungkin yang memang digariskan Tuhan untukku. Aku harus mengerti. Tak guna menangis, inilah jalanku. Aku kini sebatang kara....
Aku dan keluarga kala berlibur ke Tangkuban Parahu. Meski cobaan terus m elanda kam i, tapi kami terus bertahan. Tegar dan Tabah. Dari kiri teteh keduaku Teh Eni. Teteh ketigaku Teh Tuti, aku, adik tak sebapaku Oban, Ibuku, Santi anak uwakku, Teteh pertam aku Teh Atikah, dan sepupuku Nani.
Belajar!!!
Lorong SD Pakar 2. Tempatku belajar dan bermain dengan teman-teman
Kelas empat itu aku ternyata bisa masuk yang namanya SD unggulan. Di Kompleks SD Inpres itu ada enam SD yaitu: Pakar I,II,III dan Kordon I,II,III. Aku adalah murid SD Pakar II. Sebenarnya kualitas SD yang paling bagus—terutama guru dan fasilitasnya—ya antara Pakar I dan Kordon I. Aku sebenarnya ingin masuk ke Pakar I, hanya karena rencana bersekolahnya yang tak disengaja aku terlambat daftarnya. Di Pakar I sudah penuh , jadi aku ke Pakar II. Selama itu hegemoni kekuasaan luTannya juga dipegang oleh dua SD tadi. LuTan yang NEMnya terbaik juga selalu berasal dari dua SD tadi. Diam-diam memang ada kompetisi terselubung antar enam SD tadi. Tahun itu ada program enam SD tadi mengirimkan utusan sebanyak 6-8 orang terbaiknya di kelas empat untuk digabungkan dan berkompetisi dalam satu kelas. Nantinya anak-anak SD unggulan itu juga bakal diajar oleh guru-guru paling hebat yang berasal dari enam SD tadi. Masingmasing SD mengirimkan 1-2 orang guru terbaiknya. Aku terpilih ikut, dan alhamdulillah tak mengecewakan. Aku bisa finish di rangking 2. Semuanya mengalir begitu saja sampai akhirnya di penghujung keluTan, aku membuat kejutan. aku berhasil luT dengan NEM 45,05. Dan yang bikin takjub lagi NEM yang terbesar kedua di SDku adalah 37an. Lebih menggembirakan lagi karena NEMku yang tertinggi di kompleks itu.
Katanya juga NEM ku paling tinggi se-Kecamatan. Sampai-sampai Camat Cimenyan meninjau ke SDku, mungkin juga karena tak percaya, di sekolah dengan fasilitas bobrok ini masih menyisakan prestasi. Aku dibangga-banggakan oleh guru di SDku. Sampai sekarang aku jarang main lagi kesana. Soalnya malu, suka diperlakukan berlebihan…he…he.. Sekalinya aku kesana, langsung ditarik dan diarak masuk kelas yang penuh dengan anakanak oleh guruku. “Ini adalah kakak kalian. Pintar, rajin,nilai ujiannya selalu diatas 8...”dan bla-bla-bala yang membuat aku berseru dalam hati,”Ah, tak segitunya Pak!” Ya…tumbanglah hegemoni SD tadi. Akibat yang paling terasa adalah pendaftar ke SDku makin meningkat—SDku jadi favorit—dan tidak lagi dipandang sebelah mata. Ini bukan maksud menyombong ya..aku dapat info ini dari guru SDku. Ada satu kejadian lucu. Adikku—seibu tak sebapak—waktu mau masuk ke Pakar II kata gurunya sudah penuh. Eh tapi ketika dikatakan dia adik nya seorang Iyan, langsung diterima! Ha..ha..tapi ternyata adikku tak seperti aku, masuk 10 besar saja tak pernah.
Benih keraguan Ya tiba saatnya aku memilih hendak masuk SMP mana. Dengan pertimbangan kondisi ekonomi dan jarak dari rumah, aku memilih SMPN 35 saja yang dekat. Pikiranku, kalau suatu saat aku tak punya uang, aku mungkin bisa jalan kaki ke sana. Passing grade SMP 35 sekitar 35 koma sekian. Banyak yang merasa sayang aku masuk tiga lima, karena NEMku yang sebesar itu sebenarnya aku bisa diterima di semua SMP Negeri di Bandung. Di SMP 35 inilah puncak ketidakberdayaanku, ketika mendapati kenyataan bahwa biaya sekolah naik hampir tujuh kali lipat dibandingkan ketika masih di bangku sekolah dasar. Aku serasa memikul beban yang teramat besar, merontokkan bahu kecilku. Aku marah! Aku marah pada kehidupan yang tak memberiku toleransi. Aku marah pada sekolahku, mengapa terus menghimpitku dengan biaya. Sudah berulang-ulang kali kudeklarasikan, bahwa aku orang miskin! Apakah surat keterangan tidak mampu yang kudapat susah payah itu belum meyakinkan kalian? Apakah meraih peringkat satu belum cukup mengetuk hati kalian untuk berhenti menjeratku? Mungkin benar anggapan, penjual bola macam diriku mesti tahu diri. Paling-paling berakhir menjadi caddie, atau lebih bagusnya petugas starter. Menghabiskan seumur hidupku dengan lapangan golf itu. Satu lagi yang membuat tekadku luntur…mataku. Sebenarnya aku sudah mulai merasa ada gangguan di mata mulai dari kelas 4 SD. Tapi aku diamkan... Penglihatanku makin lama semakin kabur tanda rabun dekatku semakin parah. Tapi apalah dayaku, biaya membuat kacamata itu terlalu gila bagi diriku. Lagi-lagi soal uang, sumber ketidakberdayaanku. Malang bagiku,, aku akhirnya mulai menanam keraguan. “Apa bisa ya aku bertahan?”….”Kenapa aku tak bisa seperti anak yang lain?”….”Capek hidup seperti ini terus!”…”Kenapa tak ada yang peduli denganku??”…pertanyaan-pertanyaan seperti itu mulai menggerogoti tekadku. Hidup di dua sisi memang sangat sulit. Di satu sisi aku harus fokus sekolah, disisi lain godaan uang cepat di golf terus merongrongku. Dari SD aku memang hampir-hampiran DO beberapa kali. Pernah suatu hari ada yang datang ke rumah, menawariku ibuku untuk mengajakku bekerja sebagai penjaga orang berjualan. Ibuku angguk-angguk saja, dengan polosnya berpikir yang penting halal mungkin. Aku juga hampir tergiur karena kata orang-orang (yang picik tak berpendidikan), buat apa sekolah tinggi-tinggi. Mahal. Sarjana saja banyak yang menganggur.. Puji Tuhan pertolongan Allah selalu menyertaiku. Rencana bodoh itu gugur oleh tetehku, Teh Eni. Tetehku mengingatkan aku untuk sekolah terus. Berjuang tetap saja berjuang. Kalau merasa besok tak ada ongkos, aku meminjam gerobak pada tetanggaku, Ceu Enin. Aku mengangkut sampah rumah tangga beberapa tetanggaku. Hanya sekedar untuk mendapat upah. Pernah juga aku mengumpulkan barang rongsokan untuk kemudian dijual. Pokoknya saat itu yang ada di dalam benakku, apapun, asal halal, akan kulakukan. Hidup dengan tekanan begitu berat, terutama sikap ibuku, yang nanti akan kuceritakan di bagian akhir, membuat aku dilanda frustasi. Aku mulai menyesali hidupku. Hari-hariku penuh dengan ratapan bodoh.
Sekolahku akhirnya tidak jadi prioritas … Aku berada di puncak keputusasaan….Tak ada lagi harapan. Serasa aku adalah orang yang paling tak beruntung di dunia. Di sekolah aku tak mengerti apa-apa…di rumah aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan yang tak penting… pokoknya aku masuk zaman Jahilliyah lah. Di SMP inilah puncak segala ketidakberdayaanku. Terbentuklah aku menjadi orang yang mudah tersinggung kalau ada yang merecoki urusanku. Pernah juga aku bolos sekolah tanpa alasan yang tak jelas. Bertengkar dan berkelahi di sekolah karena urusan yang sepele. Berlaku kurang ajar pada Guru. Di rumah jadi jarang mengaji. Dari rumah pake pakaian mengaji, tiba di mesjid shalat Maghrib, tak mengaji malah terus nyasar ke warung tempat kumpul. Main kerambol atau Play Station sampai waktu tidur. Tak ada kata belajar dalam kamusku waktu itu. Aku juga tipe orang yang menyembunyikan masalah. Sanngat susah kalau diajak bicara dan tak bisa diajak bercanda.Pokoknya sangat menjengkelkan lah… Meski rangking masih berkisar dua besar, aku sadar jauh dengan masa kejayaanku di SD.
Hati Emas Disinilah peran Yang Maha Kuasa mulai aku rasakan. Tuhan sayang padaku, Dia beri aku jalan dan seolah menyuruhku tuk membangun kembali semangat.
Padang Golf yang indah, namun sesungguhnya teramat keras bagi Iyan kecil. Ya…tapi turut berjasa mengantarkanku melanjutkan pendidikan. Makasih
Harus kukenang adalah Mang Enoh, petugas starter. Aku termenung menyaksikan beberapa anak yang kukenal masuk ke restaurant Golf. Mereka sudah lama mendapatkan beasiswa. Aku? jelas tidak karena aku bukan siapa-siapa. Beasiswa itu diperuntukkan untuk anak-anak karyawan PGB(Perkumpulan Gof Bandung). Aku bukan anak siapa-siapa. Namun Mang Enoh adalah malaikat, dia daftarkan aku mengikuti beasiswa saat aku naik ke kelas 3 SMP. Dia atasanamakan diriku sebagai anaknya. Tak cukup sampai disitu, aku dikenalkannnya dengan seorang pegolf yang sangat peduli, Ibu Edet. Ibu Edet kemudian membantuku melunasi DSP. Berkurang sudah bebanku. Mang Enoh, aku banyak berhutang budi!!! Suatu saat ada peringatan HUT PGB. Acaranya terdiri dari pertandingan golf dan ada panggung hiburan di dalam restaurant. Aku kala itu sedang berjualan, disinari teriknya matahari. Terdengar akhirnya suara Bu Edet lewat pengeras suara. “Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, perlu juga diketahui bahwa perkumpulan ini juga berperan dalam sosial. Dana-dana hadirin kami salurkan lewat beasiswa berprestasi bagi anak-anak karyawan. Sungguh membanggakan, terutama seorang anak bernama Iyan, hampir semua nilai
raportnya rata-rata 9. Sungguh membuat kami bangga, kepada saudara Iyan dipersilahkan naik ke atas panggung untuk menerima bingkisan dari kami.” Hah? Aku dipanggil? Aku menghambur ke dalam menembus kerumunan. Aku kini berdiri di atas podium. Dengan pakaian sekenanya, berdiri di hadapan tuan-tuan pegolf. Kontras! Anak penjual bola yang seringkali dipandang sebelah mata. Kami biasanya dianggap sebagai sesuatu yang layak untuk diusir. Macam lalat saja! Dianggap mengganggu keindahan. Tapi kini aku berdiri disini, membuktikan bahwa generalisasi semacam itu adalah salah besar. Aku rupanya diundang secara resmi ke acara itu. Namun entah mengapa undangannya tak sampai ke tanganku. Kini aku berdiri celingukan di panggung, di depan para orang penting. Momen besar yang tak mungkin kulupakan. Aku juga kemudian kenal dengan seorang pegolf bernama Pak Leo. Beliau sering menyelipkan uang selembar merah ratus ribuan kepadaku kalau kebetulan bermain. “Buat sekolah!”, bisik beliau. Uang seratus ribu itu sering kutimang-timang sambil rebahan. Mimpikah aku uang ini punyaku sekarang? Uang terbesar yang pernah ada di tanganku. Agak norak..haha Bagaimanapun, aku kelas 3 SMP sekarang. Aku mesti ancang-ancang, langkah selanjutnya yang mesti kutempuh. Uang yang ada lantas kubelikan sepeda murahan. Ini kumaksudkan agar aku tak tergantung dengan ongkos angkot. Mau ada uang atau tidak, aku bisa tetap pergi ke sekolah. Aku mulai bersepeda ke sekolah, sepeda tanpa gigi sehingga kalau ada tanjakan aku harus menyeretnya. Inilah hasil jerih payahku di Golf.
Pak Manan
Bapak AbdulManan ketiga dari kiri
Hingga kemudian aku kenal dengan pegolf bernama Pak Manan. Pak Manan ini rumahnya di Cipaheut, dekat dengan lapangan Golf. Kemudian lewat perbincangan, akhirnya beliau menyatakan kesediaannya untuk menjadi donator bagiku. “Kalau ada keperluan sekolah bilang saja ke bapak.” Hingga kemudian setiap hari Selasa atau Kamis, aku berikan daftar yang harus dibeli dan lain-lain. Aku sendiri aneh, kok bapak ini baik sekali. Bpk. AbdulManan usianya sekitar enam puluhan, tapi masih seperti anak muda karena menjadikan olahraga sebagai kebutuhan. Wiraswasta di bidang agen minyak tanah, sempat punya pom bensin pula. Orangnya sangar, karena aslinya dari seberang, Pulau Belitung. Kalau bicara biasa saja sudah seperti lagi marah…apa lagi kalo marah wuihh...bayangkan saja. Tapi sebenarnya beliau sebenarnya orang yang super baik. Beda sekali dengan orang kaya yang biasa. Tak pernah beliau menilai orang dari materi atau tampang. Tegas karena berprinsip, sejahtera karena hemat, kaya materi karena sering memberi. Pengalamannya segudang…aku banyak mengambil pelajaran dari beliau. Hidup beliu juga tak langsung enak…dulunya beliau berjuang dari nol sampai seperti sekarang.
Anaknya hanya satu, perempuan. Sekarang sudah nikah dan ikut suaminya di Jakarta. Cucunya juga satu, umurnya baru empat tahun. Hidup Pak Manan tinggal bersenang saja karena sudah bisa menciptakan passive income. Uang tinggal datang dengan sendirinya. Sebelum memutuskan untuk total membantuku, beliau sempat juga menyekolahkan saudaraku. Anak uwakku yang mandor itu, bernama Hamid. Hanya sayang, saudaraku itu tak benar sekolahnya. Di sekolah dia kepergok merokok oleh gurunya. Dia diancam mau dilaporin ma Pak Manan. Yaudah daripada menghadapi marahnya Bapak, ia memutuskan kabur ke rumah…he..he..dasar. Ya kurang lebih seperti itulah profil My Guardian…My Sirius Black
Rediscovered My Strength Back to Iyan. Ya… dibukalah kembali jalan untukku. Aku jadi tambah semangat lagi di sekolah. Waktu itu aku kelas 3 SMP. Tiap Ulangan aku jadi serius,, malu lah oleh Waliku kalau hasilnya sampai jelek. Apa kata dunia?
Mesjid tem patQ melepas lelah, m emikirkan masa depan dan tentunya berdoa sama Allah S.W.T
Mataku tetap saja mataku yang dulu...tapi ternyata ada yang diam-diam memperhatikan aku. Mereka tak lain adalah...Bu Isun, Bu Heti, Bu Rini dll. Ya...meski aku tak bilang, dari perilaku aku sehari-hari akhirnya mereka tahu problemnya. Dipanggilnya aku oleh mereka ke ruang guru. Tanpa bermaksud menyinggung mereka mengajakku untuk dites mata. Dan ternyata sodara…sodara…minusku sudah parah, minus tiga. Waktu itu kelas 3 SMP semester 1, guru-guru tercintaku itu akhirnya membelikanku aku kacamata pertamaku.Sangat sangat berterima kasih. Kuputuskan untuk memakai kacamata saat itu. Tibalah saatnya ujian. Meski yakin tak akan maksimal…aku berusaha semampuku yang aku bisa. Sudah diberi begitu banyak kemudahan, keterlaluan kalau aku masih menyia-nyiakan. Aku pun luT meski tak terlalu bagus...masih kalah lah ma Sri, Elis, Venita, Esti mah. Jauhh…! Eh tapi alhamdulillahnya aku masih diterima di …ehmhm SMAN 1 Bandung.
Perbincangan masa depan Di restaurant Padang Golf Dago, sudah cukup sore. aku kala itu bertemu lagi dengan waliku. Setelah diberi uang sekolahku, aku tak menyangka akan terjadi hal yang mengubah hidupku. Pertama beliau bertanya apa saja kesulitan yang selama ini aku alami di rumah. Aku katakan sejujur-jujurnya pada beliau tentang semuanya.
Restoan tempat aku didaulat naik panggung dan melakukan pembicaraan yang penting dengan waliku. Tak akan kulupakan sampai kapanpun
Tak tahu karena sedemikian menyedihkannya kisahku, di akhir pembicaraan beliau berkata,” Yan, kalau kamu mau mah sudah saja tinggal di rumah Bapak. Disana ada kamar kosong. Ya paling disana kamu sapu-sapu, bersih-bersih, bantu-bantu sebisa kamu. Biar kamu bisa lebih konsentrasi lagi. Sekarang mah kamu bilang aja baik-baik ke orang di rumah, minta izin. Kalo misalnya diijinkan, datang saja kamu ke rumah Bapak.” Entah apa yang aku rasakan waktu itu. Ahhh…indah lah!! Seolah surga keliatan dari restaurant itu. Yaa..aku bilang pada keluargaku di rumah. Awalnya banyak kekhawatiran dari keluargaku, tapi aku tetap pada pendirian. Meski berat, tinggal dengan orang lain menjadi satu-satunya jawaban masalahku waktu itu. Salam perpisahaan….
Semangat Baru!! Aku menginjakan kaki di rumah waliku. Dengan penuh optimisme aku menjalani harihariku disana. Yep… seenak-enaknya di rumah orang lebih enakan di rumah sendiri. Ya..bayangkan saja, aku yang dulunya hidup tak pernah teratur sebagai penjual bola golf tiba-tiba masuk ke sebuah lingkungan dimana banyak sekali aturannya. Sekitar beberapa bulan awal itu merupakan masamasa terberat. Hampir tiap sejam sekali aku kena marah, ada..saja yang kurang atau yang salah. Benar lah kalau tak dikuat-kuatkan & tak menyadari aku seorang laki-laki, aku ingin menangis sejadi-jadinya...Tap bagaimana lagi, ini cuma satu-satunya jalan!Tak ada guna mengeluh, aku harus buktikan kalau aku bisa. Pasti keadaan tak akan seperti ini terus, bakal ada terang setelah gelap. Tak apa-apa lah menderita sedikit mah, toh ini juga bagian pembelajaran hidup. Sekolah di SMANSA tinggal beberapa minggu lagi. Tak sabarnya aku waktu itu. Ya…kalo Harry Potter dibelikan Firebolt oleh Sirius Black, aku juga tak kalah. Surprise… ternyata waliku membelikan ‘firebolt’ juga, ya para Muggle mah bilang itu benda namanya sepeda. Sepeda baru, peralatan sekolah baru, & tentunya semangat baru. Apalagi coba yang kurang. Di awal tahun ajaran itu aku janji, tak akan melakukan kesalahan waktu di SMP. Tak akan berputus asa betapapun beratnya masalah yang ada. Tuhan memberi aku kesempatan emas buat masa depan,tak sepantasnya aku sia-siakan. Sikat lah pokonamah.
SMANSA
Waliku adalah orang yang sanggup menghapuskan rasa rinduku akan seorang ayah. Hampir tiap sore kami berbincang, mulai dari koreksi akan permasalahan bangsa atau sekedar menanyakan bagaimana perkembangan prestasiku. Aku merasakan semua keTan, yang terpancar lewat matanya. Meski perbedaan tingkat sosial kami sangat jauh, tak pernah beliau memandang rendah aku. Justru dengan beliau aku menjadi merasa perlu untuk membuktikan…kalau aku yang orang miskin, yang tidak tampan, yang dulu hidup terlunta-lunta,,BISA gapai semuanya. Kadang rasa sensitifku kambuh. Merasa diri tak sempurna, merasa malang. Tapi beliau seperti punya mata ketiga, hibur aku dengan candanya. Aku tak tahu cara membalas budinya. Kalau bukan karena keTannya, buat apa beliau memungut sampah macam aku ini. Aku tak lebih cuma membebani pikirannya, yang sebenarnya sudah tak punya pikiran apa-apa lagi di dunia. Itulah yang tak dimiliki orang lain, meskipun kekayaannya sudah melangit. Kepercayaan waliku sangat kuhargai, dan tak akan pernah kusia-siakan. Yang menurutku hebat, waliku bisa memberikan kepercayaan seperti itu pada aku. Saudaranya juga aku bukan. Kalau aku jadi Waliku, mungkin malah terlintas di pikiran “ Wah, anak kaya gini janganjangan malah mau maling”. Itulah yang tak akan aku sia-siakan, keTan waliku… Masuk ke SMANSA aku bertekad taklukan semuanya, meski track recordku parah di SMP, aku tak gentar. Kala pertama masuk aku begitu takjub, kelas 1 D. “Hei Yan, lihat sekitarmu. Lihat Ajeng, hebat sekali dia.Lihat Siti Sarah, jauh diatasmu.Lihat Arkan, begfitu pandai dalam Fisika”, begitulah batinku bergumam. “Waliku, aku akan buktikan keputusanmu menyekolahkanku tidak salah”. Dan teman-teman, aku kala itu bagai orang yang kesetanan, merasa aku memang belum bisa apa-apa dan nol besar di SMP. Bayangkan, menyelesaikan soal persamaan kuadrat yang simple dari Pak Rahmat guru Matematikaku saja aku tak bisa. Hasil tengah semester pertama dibagikan.Aku tak tahu mesti bicara apa pada waliku karena beberapa nilai jelek. Akhirnya kutunjukan. Bukan main malunya aku ketika dimarahi oleh waliku. Maluuuu!!!! Sadar aku telah tertinggal jauh di belakang, aku coba kejar semuanya. Tiap malam aku belajar dari jam tujuh sampai jam sebelas, bahkan kadang lebih. Sambil membaca buku Quantum Learning, kupraktekan semuanya. Hingga akhirnya pembagian raport…dan tanpa diduga nilai-nilaiku jauh lebih baik dari Mid Semester. Aku bisa dapat rangking ketiga dibawah Siti Sarah dan Ajeng.Yipppi! When I’m down and oh my soul so weary When trouble comes and my heart burdened be Then I am still and wait here in the silence Until you come and sit awhile with me You raise me up, so I can stand on mountain You raise me up, to walk on stormy seas I am strong when I am on your shoulders You raise me up to more than I can be (Jose Groban, You raise me up. Menggambarkan dengan jelas peran waliku untuk seorang Iyan)
Kelas 1 semester 2 Ada beberapa moment yang bikin aku semangat 45. Salah satunya, kenyataan adanya kelas unggulan bernama 1 F di SMANSA. Merupakan kumpulan dari anak-anak yang dapat nilai UAN bagus di SMP (jelas bukan saya). Anak-anaknya mendapat perhatian lebih dari guru-guru. Dapat tambahan belajar eksak pakai bahasa Inggris pula.Anak 35 ada dua disana,Sri dan Elis. Inilah yang bikin aku membara... Pulang sekolah, data PR TIK ku ketinggalan di Lab komputer. Aku berjalan ke sana. Baru kubuka pintu, sudah ada guru yang menegurku.”Mau ngapain kamu…”belakangan kuketahui itu adalah Pak Bashor. Aku jelaskan tujuanku. Eh malah dijawab ”Cepetan, mengganggu, ini ada yang belajar…”. Oow, ternyata The ExTie Class is learning Biology with English. Bisa dibayangkan panas hatiku waktu itu. Ok, I’am the loser now. Tapi lihat saja nanti!! Akan aku tembus persyaratan agar bisa masuk kelas unggulan. Sombong benar, akan aku bungkam mulut kalian semua. Semangatpun Membara…. Redaksi: Woi, pembaca. Pa Bashor bukan sosok antagonis disini. Justru aku berterima kasih pada beliau, kejadian itu sangat bermanfaat buat aku. Dan di kemudian hari, Pa Bashor justru jadi salah satu guru favorit bagiku. Paling dekat dengan aku. Hidup Pa Bashor! Kedua, Aku ditunjuk ikut Olimpiade. Meski tak jadi seorang juara, itu bukan point penting bagiku. It raises me up. Aku merasa berharga sejak saat itu. Dipercaya oleh sekolah, itu bikin aku bangga, melebihi segalanya. Ketiga, aku baru tahu ternyata ada sebuah impian massal di antara anak-anak SMA, that is….masuk ITB. ITB itu letaknya di dekat SMANSA, atau terbalik kali ya, SMANSA itu yang dekat ITB,hehe. Soalnya jauh lebih tersohor ITB lah. Diam-diam aku pun mengikuti demam itu. AKU INGIN MASUK ITB. Dan hari terakhir di kelas satu pun tiba…. Dan…. AKU BISA DAPAT RANGKING 1 !!!! Gilaaaa...ternyata semuanya tak sia-sia. Alhamdulillah karena Allah kabulkan apa yang aku inginkan. Sudah lama sepertinya aku tak merasakan jadi rangking 1. Berakhir sudah masa-masaku jadi pecundang. Naik aku ke kelas 2. Tapi yang selalu kuingat dari masa kelas 1 itu adalah aku bertemu dengan guru yang begitu berbeda dengan guru lain. Beliau adalah Bu Susan. Yang kutahu dia sangat professional orangnya. Meski rumahnya jauh di Soreang, tapi tak pernah telat. Bahkan kalau kita telat, pasti kita masuknya jam ke-2.
Terus tak ada kesempatan untuk mencontek,,Ibu Susan seperti sudah hafal dengan teknik mencontek anak SMA. Sering sekali tertangkap orang-orang yang nyontek. Padahal mereka tergolong licin untuk guru-guru lain. Kalo kalian tanya aku tentang mencontek…lebih baik jangan lah. Ya..bukan aku munafik, aku juga pernah nyontek, tapi benar nyesal mencontek itu.. Membuat ketagihan, membuat kita jadi tak tahu apa-apa. Dan lagi, tak ada kebanggaan, malah malu aku. Aku juga prihatin dengan smansa, terlalu longgar dalam sanksi untuk pencontek. Padahal di sekolah lain ada yang sampai dikeluarkan loh.
Wajah Iyan kelas 1 SMA
Aku bukan ingin puas melihat yang mencontek dihukum. Tapi bagaimana kita tahu kalau mencontek itu tak baik,,kalau sanksinya begitu ringan. Lebih baik dihukum di sekolah kan, jera duluan, daripada pas terjun ke masyarakat, berbuat tak jujur, dihakimi massa. Yang malu SMANSA juga kalau alumninya seperti itu. Kalau seperti sekarang pantas saja korupsi merajalela di Negara ini. Dan secara langsung itu jadi pukulan untuk yang keukeuh jujur. Nilai mereka kalah dengan yang nyontek. Salahnya lagi orang tua di rumah kan yang penting itu nilai atau rangking. Tak pernah peduli bagaimana mencapainya, jujur atau tidak. Itu jadi beban psikologis untuk yang jujur. Sekolah yang mestinya jadi ajang pembelajaran untuk hidup, justru mendorong kita untuk berperilaku tak jujur...sungguh ironi.
Itulah kritikku untuk SMANSA,sekolah yang kucintai. Untuk Bu Susan, salut lah Ibu! Terus pertahankan sikap itu Bu, karena kuyakin itu tak mudah. Pasti banyak tentangan dari sana sini. Tapi aku dukung Bu! Ibu yang membuat pendidikan masih ada harganya. Aku tahu banyak guru lain yang pola pikirnya seperti Bu Susan, meski tak terlalu ekstrem. Tapi aku juga lihat, guru yang memang ngomong tak boleh nyontek, tapi seolah pura-pura tak tau ketika ada yang nyontek, padahal menyontek itu kan menurutku masalah super serius. Lebih serius dari tawuran menurutku. Bahkan kenyataan pahit yang aku lihat di smansa. Adanya mafia nilai dari guru-guru tertentu. Sang Guru menjelaskan dengan sangat tidak jelasnya…dan ternyata membuka les privat di luar jam. Yang ikut les dapat garansi nilainya lebih dari tujuh,, hmhm…hanya orang berduit yg bisa les. Sangat memukul diriku yang berasal dari kalangan bawah. Itulah yang dapat kupotret dari perjalananku di smansa.Tak semuanya bagus.Dan yang perlu digaris bawahi,,tak semua yang buka les seperti itu. Hanya mungkin beberapa guru yang seperti itu. Dan biasanya yang tak seperti itu pasti yang lesnya sedikit...pertanda moral kita anak SMA kurang baik, justru memilih yang tidak jujur. Maaf kalau ada yang tersinggung yeah,,peace ah!! Aku tiba di My Dream School, SMANSA. Aku mulai mengejar semua ketertinggalanku. Aku pemuda...harus punya semangat baja...begitulah di benakku. Di sekolah ini aku bertemu orang-orang hebat…macam kalian yang baca ni kisah. Gurugurunya juga keren. Aku terbantu dengan semua kemudahan yg diberi sekolah.
Kelas 2 Unggulan Akhirnya aku masuk kelas 2 unggulan. Sebagai the new comer. Setiap yang rangking di kelas satu dikumpulkan dalam satu kelas ini. Wah, atmosfernya sangat berbeda dengan di kelas satu. Disini motivasi belajar setiap orang sangat tinggi. Aku merasa culun disini. Di kelas satu, ketika Guru menawarkan siapa yang bisa menjawab ke depan, yang mengacungkan tangan paling tak lebih dari empat orang. Di kelas unggulan ini, yang mengacungkan tangan hampir semuanya. Aku bengong! Hah, gila! Persaingan sungguh menggila, beberapa yang tak kuat akhirnya menunjukan gejala kemunduran prestasi. Kelas kami selalu menuai pujian, kelas paling jarang remedial. Waduh bangga juga aku masuk komunitas ini. Kami diajar guru-guru terbaik. Fisika oleh Pak Kandi ( sudah tersohor se-Bandung), tokoh utama yang menghasutku,hehe, hingga menyukai Fisika dan memutuskan bahwa Teknik Sipil adalah bidangku. Kimia oleh Pak Riki, mengajarkan kimia kelas universitas pada kami, cara-cara yang sesungguhnya belum diajarkan di buku. Biologi oleh Pak Bashor, guru paling high tech, mengajar selalu dengan laptop dan infokus, rujukannya selalu up to date karena dari internet. Matematika oleh Bu Reti yang sangat baik, tempat curhat yang mengasyikan. Pokoknya kelas dua itu…sempurna!
Iyan belah pinggir,hehe
Eh, iya aku mau narsis disini,hehe. Ada momen yang membuatku sangat bangga. Ceritanya begini, di gerbang sekolah. Ketika pulang aku dijegat orang. Badannya gemuk besar, pendek, rambut acak-acakan. Timbulah percakapan diantara kami. “De, anda yang pakai sepeda merah ini”. “Iya Pak, memangnya kenapa?”, jawabku setengah panik. “Boleh wawancara sebentar?”, seringainya Wah, apaan ini...penipuankah? Aku sudah waspada. “Ya, boleh saja. Dalam rangka apa ya Mas?” Aku pasang kuda-kuda. “Oh iya, kenalkan dulu. Saya wartawan dari majalah Cycling. Saya beberapa kali melihat seorang anak SMA naik sepeda disini, membuat saya penasaran. Saya coba buntuti dan ternyata ada di sekolah ini. Ternyata adik orangnya. Memang ada organisasi sepeda di sekolah ini?” “Oh, enggak Mas. Saya inisiatif sendiri saja naik sepeda. Di sekolah ini yang naik sepeda cuma saya. Yang lainnya naik angkot, motor dan mobil pribadi.” Dan kemudian kami bercakap-cakap. Sementara aku bicara, si Mas-nya menulis di catatan kecil. Hah…mewawancara aku? Macam tidak ada kerjaan saja. Selebritis juga bukan. Wah gila mungkin orang ini, hipotesisku. Hipotesis lain adalah orang ini tukang tipu. Akhirnya si Mas mengatakan cukup. Dia meminta foseku dengan sepedaku di depan sepeda. Yah, aku kabulkan saja keinginannya. Selama tidak ada acara minta uang. “Nanti saya hubungi lebih lanjut kalau ada yang ditanyakan lagi. Boleh minta nomor telefon?” Kusebutkan nomor telefon rumah waliku. Kemudian aku menyesalinya, waduh bahaya, jangan-jangan nomor telefon itu akan digunakan untuk tindakan kejahatan. Aku putuskan untuk diam, jangan sampai waliku tahu. Kalau tahu, aku bisa kena marah habis-habisan. Sebulanpun berlalu. Di sekolah ada guru yang menyapaku. Dia hobi naik sepeda. Pa Agus namanya, guru PPKN. “Yan, kamu masuk majalah ya?” “Oh, iya gitu Pa?” “Iya, coba saja lihat kalau tidak percaya. Bapak berlangganan, tapi sekarang bapak tidak bawa majalahnya.” “Ya nanti saya beli saja Pak.” Pulang sekolah aku membelinya. Busyeeet ternyata mahal...18.000. Menghabiskan semua uang di sakuku. Si penjualnya, orang cina, berteriak setengah tak percaya. “Kamu yang ada di majalah ya?” “Iya katanya, tak tahu. Saya juga belum lihat. Makanya saya beli.” Pas dilihat...weh beneran. Orang kampung macam saya bisa masuk majalah nasional. Hehehe Waliku geger. Teman sekolahku gonjang-ganjing. Aku tak percaya.... Inilah halamannya, kalau kalian menyangka ini bohong. Majalah Cycling edisi Desember 2005.
Kiprah di kelas unggulan yang hebat itu mencapai kata akhir Ternyata tanpa diduga aku bisa rangking ke 3 dari para the best itu! Alhamdulillah! Naiklah aku ke kelas 3!
Kejadian penting selama kelas 3 Di kelas 3 ini banyak hal yang membuat aku lebih mengerti hidup... Diantaranya, hari Jum’at lupa tanggalnya. Hari itu hampir menjadi hari naas buatku. Subuhsubuh turun hujan gerimis, aku seperti biasa pergi ke sekolah dengan sepeda. Tiba di turunan, banyak tanah-tanah yang berceceran dari truk, bercampur dengan gerimis membentuk lumpur yang licin. Tiba-tiba truk yang ada di sebelah kananku memberi lampu sign pertanda akan belok ke SPBU di depan. Tentu aku kaget dan mengerem. Apa yang terjadi, ban sepedaku sudah berhenti berputar namun sepeda masih tetap melaju. Ban tergelincir dan aku bergulingan di aspal. Hingga ban besar truk itu melindas sesuatu dan KRAK! sesuatu terlindas. Garpu sepeda dan ban depan hancur tak berbentuk. Yang membuat saya ngeri bukan itu, melainkan cuma beberapa senti saja ban besar itu hampir melindas kaki saya. Semua mata tertuju ke sana. Orang-orang segera berkerumun Akhirnya bernegosiasi bagaimana baiknya dengan si supir tadi. Saya tak mau menyalahkan siapa-siapa. Waduh tapi bagaimanapun saya harus tetap sekolah, sedang sepeda saya sudah sekarat. Untungnya ada yang berbaik hati mengantarkan saya ke sekolah naik motor. Anak SMA juga. Kamipun berkenalan. “Waduh saya tadi kaget sekali waktu ngedengar bunyinya, kirain kaki kamu yang kena!”, “Hehe, apalagi saya!” Begitulah, mungkin Allah masih sayang padaku. Saya jadi malu sendiri, padahal aku sendiri merasa tak soleh-soleh amat. Waktunya memperbaiki diri, takutnya besok nyawa saya dicabut... Tapi selain kejadian mengerikan itu, ada juga momen istimewa. Saya dapatkan piala pertama saya, saya ikut LOMBA MENULIS TENTANG KOTA BANDUNG... Di tengah-tengah waktu luang, coba-coba ikut sayembara nulis. Iseng-iseng saja. Tapi memang iseng itu membawa berkah yeah, makanya harus jadi orang iseng, hehe Pertama kalinya saya ikut lomba dan waktu itu juga jadi juara. Juara 2, bangga nama saya bisa masuk koran PR, heuheu. Terima kasih buat T, Dwi, dan W yang membantu dalam penulisan. Terutama si T, waduh berhutang banyak sekali sama dia mah! Bayangin teman-teman, waktu itu uang jajan saya paling hanya 10.000 seminggu. “T, urang ikut lomba nulis yeuh,iseng-iseng. Anter ya ke sekretariatnya. Urang bonceng dah pake sepeda. Oke bro?” “Hayu-hayu, wah kenapa ga sendiri? berat-berat wae bonceng gua” “Masalahnya gini T, urang belum tahu itu lomba ada biaya pendaftaran ato enggak. Uang urang udah abis kepake buat ngeprint ma beli amplop. Kalo ada biaya, biasalah..bayarin dululah ma lu,hehe” “Bangke lu,, pantes ada maunya. Ya uda, cepet cabut!” Dan berboncengan naik sepeda, menyebrangi Bandung sambil sesekali nanya-nanya takut nyasar. “T jangan meluk perut urang lah! Jijik lu mah, ntar kita dikira homo lagi!” “Abis lu megol-megol sih bawa Harleynya ”,huahaha seperti biasa, bercanda. Tibalah kami disana, di hari pengumpulan terakhir. Dan ternyata tak ada biaya pendaftaran. Akhirnya uang dipake minum cendol bersama.
Begitulah si T, baiknya minta ampun. Bahkan kadang-kadang utang saya tak usah dibayar katanya, aneh itu orang! Persahabatan kami yang begitu berharga bagiku, melintas asal-usul kami. Ya, kami sebenarnya berbeda agama, Aku Islam dia Katolik. Tapi perbedaan itu tak pernah jadi penghalang, justru dari situ kami jadi belajar untuk respek dan tak egois dengan kebenaran yang kami anut. Dan telepon di rumah wali berdering! Aku dihubungi untuk penyerahan piala dan hadiah atas nama Iyan Nurdiansyah dengan tulisan berjudul Akankah Bandung Mati?... Menang!!!!! Dan dapet cash money tentunya, uang pertama yang bisa saya hasilkan. Tentu tak lupa mentraktir mereka-mereka yang telah berjasa. Dari situlah semangat saya untuk nulis timbul, hingga terpikir menulis Autobiography ini. “Ternyata saya punya bakat juga untuk menulis,heuheu”, begitulah pikir saya. Terima kasih yang setinggi-tingginya untuk seorang T.
Berharap dan tak dapat Demi salah satu mimpi dalam hidup: masuk ITB!!!!, mulailah usahaku untuk itu. Orang sahsah saja untuk bermimpi selama semua itu selalu dibarengi dengan usaha. Jadi terinspirasi ucapan Aray dalam Sang Pemimpi,” Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati”. Yap, aku memang bukan siapa-siapa. Tak ada yang benar-benar mendukungku, tak ada orang tua yang setiap saat meneriakiku untuk belajar. Bahkan akupun tak tahu seperti apa mimpiku akan tercapai. Aku hanya memulai dari sesuatu yang kubisa lakukan. Googling di internet dengan keyword ITB; beberapa kali hasilnya nihil dan out of date. Tak menyerah!!! Saat naik ke kelas 3, terasa benar siapa aku ini. Orang-orang sibuk berburu bimbel terbaik untuk memburu ITB, sedang aku hanya ketar-ketir dengan biaya jutaan yang menghadang. Aku memang punya wali, tapi cukup sudah aku merepotkannya. Tidak! Lebih baik belajar sendiri sajalah daripada harus merepotkan orang lain. Hasil Googling mulai menunjukan hasil, ada yang namanya USM ITB. Namun gilanya uang 45 juta harus tersedia. Ck…ck…ck…!!! Tapi di situs ITB tersebut kulihat ada peluang beasiswa, syarat : selalu rangking 2 besar di kelas 1 sampai kelas 3 semester ganjil/ rangking 2 besar se-SMA di semester 5/ juara olimpiade. Juara olimpiade jelas peluang yang paling tak mungkin, aku lolos olimpiade paling banter juga lolos tingkat kota, opsi 3 lewat! Opsi nomor 1, sayangnya waktu kelas 1 awal saya dapet rangking 3 dan di kelas 2 karena masuk kelas unggulan, rangking 3 juga berturut... yah sudahlah tak perlu disesali. Tinggal peluang nomor 2,, tak tahu bagaimana caranya, pokoknya harus bisa!!! Masih liburan ini ceritanya... Eh iya ceritanya peringkat tuh seperti ini keadaannya... Di kelas 2A yang unggulan itu,, rangking 1 masih tetap Arsy, rangking 2 Wendi, baru duduklah diriku di posisi 3. Untuk posisi overall satu smansa agak berubah, muncul sosok Diah Rodiah menyalip di urutan ke-2. Aku sendiri jadinya overall di ke-4 Hingga tiba akhirnya masuk sekolah, dan melihat pembagian kelas Matilah awak!!! Mungkin itulah teriakku, aku sekelas dengan Diah Rodiah, si cemerlang itu. Wah gila, di tengah harus mengejar peringkat 2 overall, di kelas sendiri aku harus bersaing dengan sang master. Cahaya peluang meredup kembali. Ibu Suryamah guru BK kami, masuk kelas dengan membawa berita yang agak mengecewakan buatku. Ternyata ada sebuah bimbel yang menawarkan gratis bimbingan setahun, mimpi yang demikian kuidamkan. Sayangnya, pembagian 9 tiket gratis didasarkan pada setiap rangking 1 tiap kelas... Dengan suara lembutnya si Ibu berteriak di akhir jam pelajaran,”Bagi yang merasa mendapat rangking 1 di kelas 2, harap hubungi Ibu di ruang BK” Agak menohok juga, kutekuk mukaku, “Huh, beginilah akibat masuk kelas unggulan. Mengapa juga pihak sekolah tak melihat dari overall? Kan bukan salahku aku masuk kelas unggulan. Tidak fair!”, gerutuku dalam hati. Hingga emosiku kuluapkan seperti biasa dengan teman-temanku, bermain basket di waktu bubaran sekolah. Kami tak ahli-ahli amat, tapi justru dari ketak-ahlian itu banyak menimbulkan
tawa. Main basket yang tak tahu aturan,hehe. Masa ada tangan sambil mendarat di muka orang! Kacamataku jadi bengkok beberapa kali, korban tangan-tangan iblis kalian,hehehehe. (disebut dah biar puas, thanks buat Frans, T, Ijul, Wilman, Bram, Rizki, Arkan, Jack, Tiphan, Faisal, Sandy, Okta, Janu dan teman lain yang udah menemani maen basket!)
Sinetron wanna be? Ini lanjutannya mirip banget sinetron. Meski sebenarnya memang benar-benar terjadi. Ceritanya begini, di pulang sekolah aku melihat seorang cewek cantik banget hampir tertabrak mobil. Kulempar sepedaku dan menyelamatkan si cewek dengan lompatan maut. Akhirnya adegannya jadi slow motion, si cewek menatapku dengan malu-malu. Kuantar dia ke rumahnya, betapa kagetnya ternyata ia seorang putri raja, akhirnya sang raja memintaku menikah dengan sang putri. Tapi ada seseorang yang melarangnya. Aku ternyata anaknya yang telah lama hilang. Tidaak!!! Itu cuma becanda kali,hehehehe. Itu kritik dariku buat sinetron yang ceritanya kok tak logis, gampang ditebak, klise, mengangkangi nilai-nilai rasional. Tapi sekali lagi ini mirip sinetron. Di tengah rasa yang tak nyaman itu, besok pastinya tetap ke sekolah. Naik sepeda, setelah melewati satu bukit yang menguji napas, tinggal turunan yang membawaku ke sekolah. Memanfaatkan energi potensial (hehe, maaf untuk yang fisikaphobic), tibalah aku di sekolah. Waktu istirahat pun tiba,, ada panggilan buatku dari ruang BK. Hmmm... ada apa ya? Bu Suryamah menyodori aku tiket bimbel gratis.” Lho kenapa Bu?”, tanyaku. Bu Suryamah menjelaskan, “ Jadi begini, ternyata 2 orang rangking 1 sudah keburu mendaftar di bimbel. Tentunya dengan membayar. Hingga akhirnya sekolah memutuskan memberikan tiket ini buatmu, karena dari overall kamu memang berhak mendapatkannya.” Bener kan kayak sinetron, Tentu saja kulahap tiket itu, dapat bimbel gratis seharga jutaan. Siapa yang tak mau??? Dan ini lebih seperti sinetron lagi. Singkat cerita, tibalah di ujung semester 1. Mari ingat-ingat lagi syarat-syarat beasiswa yang ada di atas: HARUS MINIMAL RANGKING 2 BESAR PARALEL SATU SEKOLAH DI SEMESTER 5. Dengan kenyataan, itulah jalan alternatif untuk orang miskin sepertiku, sebelum bergelut dengan monster bernama SPMB yang jatahnya semakin hari semakin dikurangi. Aku sendiri sebelumnya tak pernah bisa menyentuh rangking 2 besar parallel itu. Bagi yang tak percaya keajaiban itu ada, kalian salah besar! Mukjizat memang selalu ada. AKU DAPAT RANGKING 2 BESAR PARALEL!!! Melampaui perkiraan aku sendiri, Kesatu Arsyi, Kedua AKU!!!, ketiga Diah, dst. Heho, mimpikah aku??Ternyata enggak saudara-saudara. Beneran!!!!!!!!!!!!!! Untuk sekian kalinya, Ilahi mengambil alih hal-hal yang di luar kuasaku. Saat itu aku berteriak, agar suaraku sampai ke alam sana, “ Ayah, kubuktikan aku bisa! Tersenyumlah Yah!!!” Apa maksud dari semua ini? Mengapa keinginanku selalu mendapat sambutan hangat dari Yang Di Atas? Pertanyaan yang tak dapat kujawab dengan pasti selain dari mengira-ngira saja.
ITB Hunt Hmmm... celah harapan itu semakin menunjukan sinarnya. Semakin hari semakin membesar. Bukan karena efek difraksi-interferensi, bukan pula hanya fatamorgana. Celah itu semakin jelas, menyingkirkan semua keraguan yang dulu hinggap bersamaku.
Aku dan BARBEL, kelom pok anak-anak paling kocak di SMANSA. Mengajariku cara tertawa dan berhumor ria
Ternyata jalan untuk meraih kesempatan tak mudah bagi diriku. Untuk dapat beasiswa itu ternyata harus melewati pengurusan surat-surat berjenjang. Dan aku menghadapi birokrasi kabupaten yang amatiran, dibuktikan dengan banyaknya pungli dan ketakjelasan kemana saya harus mengurus surat. Selain itu seperti yang sudah kuceritakan di awal, aku sebagai orang kabupaten harus berkelana dengan Tetehku naik motor, dari ujung Bandung yang satu ke ujung yang lain. Dago-Soreang bayangkan oleh anda. Itu menyebabkan beberapa kali aku harus dispen dari sekolah, untuk mengurus surat-surat yang demikian banyaknya. Lebih menggetirkan lagi, aku kala itu masih belum mempunyai akta kelahiran. Kalau dihitung-hitung secara hukum mungkin aku belum sah jadi warga Negara. Mengurusnya ternyata sangat susah, terlebih aku sudah besar. Surat kematian ayah entah ada dimana, membuat sulit dalam pengurusan kalau aku anak dari Emi Halimi (almarhum). Untungnya pihak sekolah terutama Pak Riki Rhamdani, sangat memfasilitasi. Beliau sangat perhatian terhadap urusanku, dan senantiasa berkat” Sok lah Yan,didoakeun ku Bapak! Berjuang terus Yan, urusan surat-surat yang di sekolah biar Bapa yang urus. Terus berusaha, jangan menyerah Yan! Bapak percaya kamu bisa.” Sangat menyejukan kepala yang sudah stress dikejar deadline ITB.
Akhirnya surat-surat itu siap. Setelah melewati wawancara akademik dengan seorang Profesor yang aku lupa namanya, aku diberi restu untuk mengikuti seleksi. Loloslah aku dari kemungkinan membayar puluhan juta. SDPA bernilai nol dengan membayar uang formulir sebesar 500.000. Alhamdulillah!!! Show Time! Dengan judul USM terpusat, aku adalah salah satu pesertanya. Ditemani sepeda bututku, kuhela sampai di kampus impian semua orang. Aku sendirian kesana. Sangat kontras dengan sebagian besar peserta yang diantar naik mobil pribadi orang tuanya, hingga memacetkan jalan Ganesha yang sempit itu. Diawali basmalah, kumulai test. Prinsipku Nothing to Lose! Mungkin kalau benar komersialisasi pendidikan terjadi, apalah dayaku si SDPA nol melawan yang 45 juta. Sudahlah, yang penting aku sudah berusaha. Soal hasil urusan Allah. Tanpa beban kujalani test. Hari pengumumanpun tiba, siapa yang tidak grogi dengan saat-saat seperti ini. Apalagi mendengar teman-teman se-SMA yang menyumbang SDPA jauh lebih besar, banyak yang dinyatakan tak luT. Katanya pengumuman dilakukan lewat internet. Itu memaksaku berlari sejauh dua kilometer karena warnet tidak ada di daerahku. Terengah-engah kuhampiri warnet. Membuka salah satu komputer. Bedebah sekali computer ini macet. Segera kuberganti warnet. Kumasukan nomor peserta ujian. Ada tulisan SELAMAT…” meski halaman belum terbuka seluruhnya. Napasku terhenti dan akhirnya menyaksikan sejarah. Tulisan itu teramat jelas “Selamat anda dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima di Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan.” Hatiku bersorak. Meski belum percaya benar. Kemudian mengecek di warnet yang lain, takut-takut salah. Ternyata hasilnya tak berubah. Malam itu aku tak bisa tidur. Pikiran masih dalam euphoria. Meski begitu aku belum berani memberi tahu orang lain. Menjaga kemungkinan terburuk masih mungkin terjadi. Esoknya aku ke Gedung Annex untuk konfirmasi. Ternyata benar!!! Nomor ujianku memang terpampang disana. Tak salah lagi. Katanya surat resmi akan dikirim ke alamatku di Cirapuhan. Aku ingin menangis terharu. Ingin segera kusampaikan keluTanku untuk keluargaku di kampung. Ini sejarah mengingat tujuh turunan mungkin belum pernah ada di keluargaku yang diterima di Institut Terbaik Bangsa. Terbayang akan mengharu biru disana oleh tangisan haru. Kukayuh sepeda melewati bukit Dago. Empat kilometer tanjakan tak lagi terasa capeknya. Tibalah aku di rumah. Kebetulan sekali disana keluargaku sedang berkumpul. Ada uwakuwakku, bibi-bibiku, paman-pamanku, Ibuku dan teteh-tetehku. Yeah inilah saatnya, akupun berteriak,”Aku luT ke ITB!!!”. Dan tebaklah apa adegan yang akan muncul selanjutnya Siap? satu... dua... tiga...
Uwakku yang pertama kali bersuara, ”ITB itu yang dimana sih?Yang deket kebun binatang bukan?” Gubrak!!! “Hooh”, sahutku yang sudah kehilangan selera. Yah, menggelikan memang. Keluargaku tak tahu apa itu ITB dan tempat untuk apa. Mereka tak tahu keringat dan darah yang aku keluarkan untuk menembus jalan terjal kesana. Tapi itu juga bukan salah mereka. Itu justru cermin bagi kita semua bahwa di republik ini akses pendidikan tinggi memang hanya jadi milik segelintir orang saja. Pendidikan milik semua rakyat Indonesia!!!!!!! Itu hak Asasi!
Aku dan drama di rumah wali... Ya…di rumah waliku aku juga dididik dengan sedemikian rupa. Meski agak sedikit keras,, aku terus bertahan. Tahu tak kenapa aku masih terus bertahan... ya karena aku kenal dengan orang-orang seperti kalian di Smansa. Kalian teh obat penawar buat kehidupanku yang berat seperti ini. Masalah di rumah waliku seketika hilang jika sudah bercanda dengan kalian. Hmhm… libur adalah sesuatu yang aku benci. Bukan aku workaholic atau studyholic tapi karena libur menghalangi aku bertemu dengan kalian. Sepertinya satu sekolah hanya aku saja yang mengidap penyakit aneh ini, tak suka dengan libur…hehe Prestasiku di sekolah juga alhamdulillah membaik…dengan sedikit kerja keras & banyak sekali keberuntungan. Semakin hari perlakuan di rumah waliku semakin membaik ko… Mungkin karena aku sudah mulai bisa menyesuaikan diri. Ada suka-dukanay juga tinggal di rumah WaliQ. Suka :aku terfasilitasi sehingga lebih fokus untuk belajar, beda banget dengan dulu. Lingkungan sudah sangat mendukung. :di rumah Waliku, aku mengerjakan semua urusanku sendiri. Awalnya sih aku tak biasa, wong tiap hari hidup di Golf. Tapi lama kelamaan aku mulai merasakan manfaatnya. Aku bisa hidup dengan tanganku sendiri. Mulai dari bikin sarapan, mencuuci baju, menyetrika, betulkan sepeda, menduci mobil semua serba sendiri. Semua belum tentu aku dapat kalau aku tak di rumah waliku. :di rumah waliku waktu mainku jadi berkurang...memang tak enak,,tapi itu yang membuat di benakku yang terbayang hanya sekolah. :Nasihat-nasihat & prinsip waliku sungguh sangat-sangat berguna buatku...meski kadang penyampaiannya memanaskan kuping, membuat sakit hti dsb.Tak apalah sakit sedikit, yang penting maknanya itu Duka :Yang paling terasa...Lebaran serasa bukan lebaran bagiku. Pertama, sekolah libur aku tak bertemu dengan teman-temanku…berat sekali.Kedua, yang bekerja di rumah Waliku pada pulang semua...semua pekerjaan aku yang mengerjakan...uh cape! Kadang aku bangun jam 05.00 dan selesai-selesai jam 10.00 malem. Ketiga,waktu lebaran aku hanya bisa bertemu dengan keluargaku paling hanya beberapa jam, setelah itu harus balik lagi ke rumah waliku karena disana tak ada siapa-siapa. Pokonya sedih lah Lebaran mah :Kadang kalau lagi apes aku kena marah oleh waliku.Saat itu merupakan saat paling malas kulalui dalam hidupku. Kalau ada tombol Forward, aku pencet sampai Forward 10000X. kalau aku tak ingat aku laki-laki, sudah menangis meraung-raung aku. Jujur saja, dari kapanpun hingga sekarang...aku selalu merasa sebatang kara di dunia ini. Waliku itu seperti jet coaster, kadang naik kadang turun,, kalau lagi baik ya baik banget seperti ke anak sendiri. Tapi kalau emosinya kambuh, wuaaa... kadang aku merasa tak bisa bertahan lagi Aku akan bercerita tentang keseharianku selama SMA nih,, jam 5 bangun, setelah shalat harus segera bergegas bikin sarapan sendiri. Jam 6 kira-kira semua beres, tinggal mandi dan berangkat ke skul. Jam 3 sore harus uda ada di rumah.
Kalau telat dijamin...”Darimana kamu? Kamu kira disini hotel apa,kamu harus merhatiin rumah juga,jangan Cuma mikirin kamu sendiri...”wekwekwek.trus berkicau hingga puas! Akupun mengemukakan alasan, aku harus kerja kelompok sejarah,atau karena latihan olimpiade. Tapi tetap saja tak diterima... Kalau istri waliku, dijamin omelannya lebih pedas lagi, orangnya jutek. Kalau pekerja ada yang lupa matikan keran, pasti marahnya sama saya! Tak tahu mengapa, seperti tak suka padaku. Terus, setelah beres omelannya, boleh masuk kamar atau nonton TV bareng-bareng dengan yang kerja. Kalau masih ada yang kerja, harus ikut kerja. Magrib pun tiba,, tuan-tuan di dalam sudah selesai makan dan pekerja membereskannya. Dibawa ke dapur dan disana aku makan bareng dengan yang kerja. Tiap jam harus peka benar, siapa tahu ada klakson berbunyi. Harus siap-siap bukakan gerbang. Kalau sampai kelewat,, ya pastinya dimarahin. Isya kesana, baru bisa belajar... Dan kalo lagi apes, seminggu sekali, si Istri waliku bilang,”Ibu mau nari salsa dulu, tungguin buat bukain pintu”. Jam 12 malam, baru selesai. Tak ada libur buatku, Minggu merupakan hari kerja. ”Kamu sapu semua yang di depan dan bersihin kamar mandi yang belakang!”,teriak istri waliku. “Minggu yang kerja giliran istirahat, kamu yang di rumah!”. Dan yang kerjapun beriringan ke pergi keluar... Dan saya terus menerus menyabar-nyabarkan diri. Dan itu berlangsung selama 3 tahun!!! Kalo lagi seperti ini saya selalu merasa, J.K. Rowling ko terasa membajak pengalamanpengalaman sehari-sehariku lewat Harry Potternya. Ko saya mirip Harry Potter yang lagi tinggal di rumah Dudley. hehehe ngayal! Hingga akhirnya Hogward,,hmm maksudnya ITB mengubah segalanya... Waliku bangga bukan main ketika aku diterima, seolah menepuk dada dan bersorak,”Ni, didikan gua!”. Semua koleganya dikasi tau, bahkan itu juga berlaku buat istri waliku. Aku disalamin oleh semuanya, dan kadang-kadang juga curi-curi dengar, membanggabanggakan saya di depan tamu,hehe
Hari-hari di Ganesha!!! Hariku di masa TPB dimulai! Diawali dengan proses PMB yang buat saya yang lebai, hehe...berkesan sekali. Di Sabuga seremoni pembukaan, saatnya mahasiswa-mahasiswa berprestasi tampil. Dalam hati.. ”Whoaaa...hebat! Aku ingin seperti mereka!!!” Ditambah lagi dengan tampilnya tokoh-tokoh nasional yang biasanya hanya saya liat di TV, mengentalkan darah nasionalisme saya dan membuat semangat berkobar...Yepz, saya harus lakukan sesuatu buat negeri ini. Hari-hari kuliahpun dimulai, menjumpai beragam dosen yang punya keunikan tersendiri. Paling berkesan yaa...untuk saya mah Bu Rieske. Orangnya sangat-sangat tegas dan baik hati. Menginginkan yang terbaik untuk anak didiknya. Kalau dia katakan merah ya merah, biru ya biru. Semua aturan nilai jelas. Saya hanya ingin bilang pada Bu Rieske, ”Gue suka gaya loe!” Satu Quotes yang paling saya ingat... “Kalian itu kalau berjuang, kalau kerja harus kayak kesebelasan Jerman, kuat sampai detikdetik terakhir, sampai akhir babak kedua, sampai peluit akhir pertandingan!” Hehehe, Ibu. Saya akan selalu ingat kata-katamu! Teman-teman? Waduh pastinya atuh jangan ditanya. Teman-teman selalu menjadi bagian terbaik hidupku. Alasan terkuat kenapa saya sanggup bertahan sampai sekarang.
Dari kiri Alvin, aku, Mouldie, Putaw, Wilman, Feder.
Sobat-sobatku yang kemana selalu bareng ada lima orang... Alvin, Wilman, Mouldie(susah bgt nulis namamu,hehe), Putaw(aslinya panjang bgt, Gde Wira Wibawa Eka Putra,hwehehehe), Feder(yang kadang-kadang suka ngaku-ngaku bernama Adit. Tak cocok. kebagusan untuk lu mah,haha) Entah bagaimana kami bisa bersatu; tapi kuat dugaan sih pertama kali lewat kebiasaan masal kami...duduk di deret bangku paling depan. Manfaatnya banyak, lebih fokus ngedenger dosen, dan tentunya lebih eksis, hehe. Akhirnya terbukti, kalau ngobrol kita pada nyambung. Kalau ada yang tak hadir bakalan terasa kurang. Satu lagi yang berjasa mempersatukan kami, itu adalah MAEN KARTU!!(hahaha). Awalnya main Cap Sa, sampai akhirnya hijrah ke permainan Heart. Selalu ada waktu buat main kartu, entah itu di pergantian jam kuliah, pulang kuliah, bahkan sebelum dan sesudah UTS!!! Di penghujung kuliah ada lagi yang lebih mempererat kami, yaitu iklan RonCar!!! Iklan absurd yang menuai banyak cacian dari sana sini,hwekekekek! Ceritain satu-satu ah biar seru! Alvin : Paling kalem, tak pernah mau ambil resiko, tak pernah mau terlibat konfrotasi dengan orang lain. Kosannya merupakan sasaran empuk anak-anak untuk diporakporandakan, karena paling dekat dengan kampus! Alvin dijuluki juga box music berjalan, karena lagu apapun yang kalian nyanyikan pasti diamah apal (kecuali dangdut kali ya,hehe). Seniman sejati, jago gitar, kalo mengggambar gambar-gambarnya hidup...bahkan muncul hipotesis kuat kalau Alvin salah buletin formulir pendaftaran, sepertinya dia nyasar ke FTSL...mestinya sih FSRD, hehe. Selain itu Alvin juga bisa dikatakan Roy Suryo-nya kami, paling melek IT. Wilman: Orang yang paling minim ekspresi, se-SMA ma saya, paling jaim kalau difoto. Terus agak lemot juga, hal itu kerap dieksploitasi untuk sumber candaan kami. Sering banget keluar kata-kata,”Obama siapa sih?”, “Kalian ngomongin apaan?”, Suatu ketika kami lewat di depan ITB, ada poster GALELOBOT, Wilman bergumam,”Galelobot?”sambil mengerutkan kening,”Ooo...Galelobot.”(Hwakakak pernyataan absurd tanpa kesimpulan). Tapi procecor otaknya langsung terupgrade ketika menghadapi Fisika,, pernah dapet 99. Geblek! Mouldie: Diamah entertainer sejati. Jago ngomong depan umum dan juga pandai menjilat depan dosen (hehehe). Jangan beradu omong dengan Mouldie, kamu pasti kalah. Paling tua diantara kami. Paling ekspresif. punya penyakit aneh, dan bahaya; selalu menyangka dirinya ganteng,butuh getokan palu untuk menyadarkannya,sebelum dia nekad mau nembak Sandra Dewi,ehehe Putaw: Anak Kapolda Balikpapan. Di kosannya Pontek dan di gedung tempat kami kuliah selalu dalam pengintaian sniper untuk memastikan keamanan dirinya (hehehe,becanda). Putaw adalah seorang raja di kalangan gamers. Ratunya adalah seorang mahasiswa berinisial Y yang selalu setia menunggui Putaw selesai berlatih Marching Band, mesra nian, hanya untuk kemudian main game bersama. Hiks, so sweet! ahaha. Kosannya paling nyaman, tempat yang paling komplit barang-barang entertaningnya, membuat kita punya alasan kuat untuk mabal. Bersama Mouldie selalu bersaing di posisi puncak untuk mahasiswa yang paling banyak nitip absent, hahaha Feder: Rambut kribo, kayaknya dia lahir salah era. Harusnya lahir tahun 80an. Baju kemeja dimasukan celana kalderoy (busuk style). Jika anda berada di tukang cukur, dia akan terlihat mirip dengan potret wajah dengan embel-embel TOP COLLECTION. Bintang lawak kita, punya jargon-
jargon dan gerakan tubuh yang menjijikan untuk mengocok perut kita. Calon kuat pengganti Tukul di masa depan. Paling terobsesi dengan Roncar. Overall, paling ngocol lah dia mah. Di semester 2, muncul kemudian seorang additional player. Dipanggil ketika kami kekurangan personel,hehehe. Dialah Rezha, yang sering dihajar persediaan makanannya di kosan. Mukanya yang terlihat sebagai anak mamih yang tajir, kadang menjadi batu sandungan dalam tawar-menawar dengan pedagang ketika kami mengadakan perjalanan ke objek wisata. “Muka lu nyusahin Za! Kita jadi dikira orang kaya, dimahalin dah harganya!”, begitulah celetukan terdengar dari kami. Hahaha! Dan tentunya saya akan menyebut kalian, teman-teman belajar bareng di perpustakaan. The Jilbabers...Rana, Riri,Rere, Tisa, Sari, Nanu, Mitha maupun yang enggak Dita, Anggi, Ratri. Heuheu beruntung mengenal kalian. Sangat membantuku untuk belajar. Pembaca setia Autobiography ini yang membantu penyebarannya hingga mancanegara(haha,lebai) Terus para Cisitu crew yang buanyak bgt!! Trims teman-teman. Aku tak kan bisa hidup tanpa kalian. Asking you to do What you’ve been doing all over again It’s beautiful think don’t think I can keep it lonely I just gonna let you what it is then won’t let me go It your love, just does something to me send a shock right trough me, I can’t get enough So If you wonder about the spell I’m under It’s your love Better than I was, more than I am All it take happen, by taking your hand Who I’m now is who I want to be Now there we together, stronger than ever I’m happy and free It’s beautiful think don’t think I can keep it lonely If you ask me what I’ve changed, I will say your sweet names (Gils, It’s your love. Laguku untuk kalian semua kelas kalkuT 17)
Semester Pertama di ITB Inilah tahap penyesuaian, tapi buat aku semuanya mengalir apa adanya. Dosen baik-baik semua...tak ada masalah. Entah kenapa orang-orang menjuluki si manusia super, si kapten, militer, napas kuda, paruparu empat; atau apalah. Katanya kalau saya lari seperti celeng, kencang sulit dikejar. Iya sih saya dapat tes lari, paling cepat di ITB. Entah kenapa jadi tenar, bahkan banyak yang mulai-mulai kenalan. “Kamu yang tadi larinya paling cepat ya? Kenalan dulu dong!”, begitulah hingga akhirnya banyak kenalan. Wah ternyata untung juga ya,, heuheu... Keberuntunganku tak sampai di sini, Waliku sering maen golf dan mempunyai kenalan bernama Drajat Hoedajanto. Ternyata beliau adalah Kepala Lab Struktur Beton di ITB. Waliku pun menceritakan “Who am I”, dan disambut oleh Pa Drajat,, “Wah, bagus-bagus Pa! Suruh dia menghadap saya di kampus segera!” Akupun bertemu dengan beliau,”Pa, saya anak asuhnya Pak Manan. Dulu saya sering jualan bola golf. Mungkin Bapa masih ingat saya.” “Ooo..iya silahkan”, Kamipun ngobrol “Kalau kamu mengalami kesulitan atau butuh bantuan, jangan segan-segan menghubungi Bapa. Ini kartu nama Bapa. Pesan Bapa jangan lupa perdalam Bahasa Inggrisnya ya Nak!Bagusbagus, hebat kamu Nak.” Hohohoho,bagaimana ya mekanismenya, ko saya merasa beruntung terus. Mau apa-apa selalu dikasih jalan.
Anak-anak FTSL KalkuT 17 dengan aku yang pakai topi
Dan saya pun berangan,suatu saat bisa dapat beasiswa ke luar negeri,mungkin ke Jerman atau Belanda. Amin! Karena saya percaya akan kekuatan sebuah mimpi. Karena sekarang mimpi-mimpi saya yang dulu perlahan-lahan mulai mendekati kenyataan. Sayapun menutup semester ini dengan IP memuaskan...3,61. Dapat A di KalkuT, Fisika, Konsep Pembangunan Infrastruktur, dan Olahraga. Sementara itu, Kimia,Bahasa Inggris ma Pengetahuan Lingkungan dapet B. Ayah!!!Aku dedikasikan semua ini untukmu! Tersenyumlah Yah!
Pindahan euy! Program konversi minyak tanah ke gas sedikit banyak mengguncang usaha waliku. Tapi alhamdulillah untuk sekarang-sekarang aku sudah mandiri, bisa membiayai diri sendiri. Aku dapat beasiswa dari PHK A3 Teknik Sipil ITB. Lolos dari segala tes dan mendapat cash money setiap bulannya 500.000,00. Itu benar-benar sudah bersih dari segala macam biaya pendidikan. Proses mendapat beasiswa itu juga lagi-lagi dipenuhi keberuntungan. Waktu di SMA ada tawaran beasiswa dari Teknik Sipil ITB dengan syarat harus masuk Teknik Sipil. Ya jelaslah saya ambil, wong Sipil memang cita-cita saya dari dulu...Soekarno menjadi daya tarik tersendiri buat saya. Dengan masuk lebih dulu lewat USM kategori prestasi, membuat saya punya waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi tes beasiswa dibanding teman-teman saya yang masuk lewat SPMB. Jadi alhamdulillah saya untuk kuliah bukannya membayar, tapi malah dibayar setiap bulannya. Syarat IP harus diatas 3 membuat saya tertantang. Sekarang jadi harus bisa mengatur keuangan sendiri. Sebisa-bisanya harus nabung buat masa depan saya. Wah wah...tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dan program konversi itu membawa dampak lain. Perlahan-lahan waliku harus mengusahakan gas. Karena gas makan tempat luas maka truk tangki minyak tanah harus dipindahkan. Opsi terbaik adalah memindahkannya ke Lapangan Tenis yang dimiliki oleh Adik Waliku. Otomatis mesti dijaga itu mobil tangki, takut ada yang macam-macam waktu malam. Akhirnya saya menawarkan diri untuk menjaganya. Waliku agak berat juga,”Yan, kalau kamu disana kamu tak terkontrol. Kamu sudah siap mengontrol diri kamu sendiri?” “Insya Allah sanggup Pa!” “Tapi awas ya, kalo IP kamu sampai turun dibawah 3,5 kamu harus balik lagi ke kamarmu yang dulu.” “Deal lah Pa!” Dan akhirnya ditemani anjing Rotweiller bernama Sena, mulai pindah ke lapang tennis. Tantangan IP di atas 3,5...sangat menantang. Hidupku akhirnya lepas dari kekangan. Merdeka! Nikmatnya jadi orang bebas. Sekarang lebih ekstrem lagi, pulang jam tiga malam juga tak akan ada yang marah. Tapi tetap ada tanggung jawab. Setiap Subuh harus bangun, karena mobil-mobil tangki hendak mengirim minyak. Kini semua terserah padaku, bagaimana aku mengolah kebebasan ini. Mau hancur ya hancur, mau tambah keren ya tambah keren. Yang terpenting, aku merasa jadi manusia seutuhnya. Aku merdeka!
Hukum Alam Entah, dalam hidup aku belum pernah merasakan sebahagia sekarang. Hidupku meroket dan makin hari semakin dahsyat. Keberuntunganku, yang aku rasakan, jauh berkali-kali lipat dari orang lain. Tapi hidup tak selamanya beruntung. Tentu kalian masih ingat dengan Mang Enoh, petugas starter yang begitu baik hati padaku. Aku jadi jarang bertemu dengan beliau. Hingga hari lebaran pun tiba, aku shalat Id di kampungku Cirapuhan. Harapanku adalah bertemu dengan Mang Enoh. Biasanya beliau kalau waktu shalat Id, selalu di jejeran paling depan. Pada acara silaturahmi aku sibuk mencari-cari Mang Enoh, sekedar untuk melaporkan perkembanganku dan menanyakan kabarnya. Tapi yang dicari tak kunjung juga ketemu. Kemana beliau? Terakhir kali aku bertemu dengannya di sebuah warung. Beliau berkomentar,”Beda euy yang sudah mau jadi professor mah. Lupa we ke saya teh!”. Kusambut dengan senyuman, tentu aku tak akan melupakannya. Akhirnya saya tahu, kemana pahlawan saya. Kata orang-orang, beliau meringkuk di rumah sakit. Waduh tapi saya harus segera pulang ke rumah wali, disana tak ada siapa-siapa. Paling satu minggu lagi aku bisa menjenguk. Kukerjakan semua tugas di rumah waliku seperti biasa. Minggu depan, setelah para pekerja sudah pulang, kucoba tuk sempatkan diri menengok. Tapi rencana, tinggal rencana. Allah berkehendak lain. Mang Enoh telah berpulang, 3 hari setelah hari Raya. Sama sekali tak ada yang memberi tahuku. Aku juga tak tahu karena aku tinggal beda kampung. Sesak benar, lagi-lagi seorang pahlawanku pergi. Sungguh menyesal, karena sejak aku tinggal di rumah waliku dan hijrah dari Lapangan Golf, aku hanya bertemu dengannnya sekali, di warung itu. Aku belum sempat membalas jasa-jasanya. Kini mungkin hanya doa yang bisa kuberikan untuknya Maafkan aku Mang Enoh!
Semester 2 di ITB Sudah cukup ah bersedih-sedihnya, saatnya membahas bagaimana aku mengikuti perkuliahan di ITB. UTS 1 dapat jelek-jelek euy Kimia 59(butuh 80-sangat besar dalam standar ITB-untuk A, 060 untuk mencapai B) KalkuT 80 dengan 77(butuh 85 untuk A, catatan tambahan: 85 adalah nilai KalkuT yang belum pernah saya dapatkan selama kuliah di ITB; B aman) Fisika dapat 40(se-ITB jelek semua; butuh 105 untuk A—hehe,gimana caranya--, 60 untuk B) Kontek dapat 67 (standar nilai tak jelas, Saya kurang beruntung euy dapat dosen yang agak kurang enak, sangat kontras dengan kelas lain) TTKI 74 (tak jelas juga, tapi sepertinya butuh 76 untuk A). Hanya Daspro dengan olahraga yang sepertinya sudah aman A. Hah! IP sepertinya turun nih, ya sudah tak apalah asal jangan terlalu drastis. Karena Fisika yang 4 sks tak bisa diandalkan,harga mati yang 2 sks mesti maksimal. Mulailah bangkit!!! Dan gebrakanpun dimulai... KalkuT dapet 92,, wahaha...it’s cool. A euy alhamdulillah bisa mempertahankan index semester kemarin. Kimia agak nyetrum juga, ternyata bisa dapet 78. Lebih menggembirakan lagi karena bisa dapet A tanpa UAS. Melebihi target euy!!! Mata kuliah yang hopeless, Fisika, dapat 95...phew, keren! meski demikian index kayanya semester ini turun jadi B. Tapi hoki saya ternyata sangat kuat, dimulai dengan diterima banding saya di UTS 1, nilai jadi 46. Nilai lain-lainnya belum diumumkan. Hingga tiba-tiba dapat sms dari Riana Ayu; Iyan dapet fisika A! Sontak berteriak, bohong ah!!! Lihat kalender, jangan-jangan ini bagian dari April Mop. Tapi sudah Mei!! Tak percaya akhirnya memutuskan ke kampus,, Beneran!!!hoki euy!!! Nilai lain-lainnya 87,5 dan mengantarkan DNA saya jadi 75,05. Hanya 0,5 diatas batas index A!!! Gilaaaa!!!Drama ini semua!!!!!!! Olahraga dapet A juga,, eh TTKI juga iya A!!! Njrittt!!! Mimpi apa ini, diperkirakan IP bakal terpuruk tapi malah terancam 4! Tinggal Daspro dan kontek,, Datanglah sms dari Alvin, ”Yah, yan nyaris 4 kamu y! Kontek dapet B!Daspronya sih A! Dosennya emang busuk banget, sekelas yang A cuma 4, di kelas sebelah nyampe 31 orang. Sial!!!”
Saya bales smsnya,”Ya udahlah gapapa, segini juga sudah specta bwt saya mah. bener2 ga nyangka!” Lagi-lagi hoki bekerja... Penjurusanpun tiba, Alvin terlihat hopeless dengan IPnya. Tapi Alhamdulillah Kita bertiga(saya Alvin Wilman) masuk Sipil. Cihuyyyy!!! Feder ke Geodesi, Putaw ke KL, Mouldie TL. Selangkah lebih dekat dengan panutan saya, Soekarno!!! Sayapun menutup semester ini dengan IP sangat memuaskan, 3,89. Jadi IPK sementara 3,75!!! Mimpi selanjutnya, dapet gelar Cum Laude!!!Bisa tak yah??? Hmmm...Do the best and God take the Rest!!! Derapkan langkah tatap ke depan... Curahkan daya kejarlah cita bakti pada Negara Siapkan diri teguhkan hati tegarkan tekad pribadi Langkah dan karya nyatakan pasti dambaan Ibu Pertiwi Hai putra bangsa insan persada, tugas mulia menantimu Semangat dan tekad kembangkan selalu, sinar terang pasti datang Kukuhkan sikap pada tekad mandiri, capai masa gemilang Rentangkan sayap , pancarkan cita Hantarkan Bangsa Indonesia adil makmur sejahtera (Mars ITB. Resapi dalam-dalam maknanya. Ayo bangkit cendekiawan Negeri!)
Tunas baru Keluargaku tak selalu identik dengan kekacaubalauan. Disana juga timbul harapan. Kalau yang sudah tua-tuanya masa bodoh lah, aku tak akan terlalu konsen, sudah terlambat untuk diperbaiki pola pikirnya. Paling sebentar lagi mereka akan habis dimakan cacing. Zaman akan berputar dan peralihan pemegang keputusan akan beralih kepada yang muda-muda. Ya, disana timbul harapan. Anak teteh-tetehku kembali menjadi jawara di SD Inpres itu. SD yang sama denganku dulu. Dari teteh sulung, Nani Lestari nama keponakanku selalu rangking 2 besar. Terus adiknya Resa Efansyah, selalu nomor 1 di kelas, kini kelas 3 SD. Adiknya Resa, Agusman,meski baru hendak masuk SD, tapi nilai di TKnya 10 terus, sudah pandai membaca dan menghitung. Waktu kuajarkan materi menghitung kelas 2 SD, Agusman baru sebentar sudah fasih. Wahaha, ini baru keponakanku! Terus dari Teteh yang kedua, ada si kembar Naufan Naufal yang sudah jago ngutak-ngatik komputer. Di sekolah juga menggembirakan, terakhir mereka finish di urutan 2 dan 3. Aku lupa siapa yang ke-2 siapa yang ke-3, soalnya kembar,hehe. Walhasil, rangking 1,2,3 ditempati oleh satu keluarga kami...menakjubkan! Ini mengingatkanku pada masa kecilku dulu. Aku merasa kini adalah tugasku, untuk mengawal mereka, dari rasa keputusasaan dan ketidakpercayadirian. “Jangan mengasihani diri!”, teriakku pada tetehku ketika si Eneng (panggilan Nani Lestari) luT SD, yang kebingungan dan hampir memasukan anaknya yang cemerlang ke sebuah sekolah kampung, yang lebih banyak melahirkan tukang ojek. “Kita boleh kalah dalam urusan harta, tapi kita tak boleh minder dalam mencari ilmu. Kalau si Eneng bisa masuk sekolah yang lebih baik, ya masukan saja ke sekolah paling bagus yang bisa didapatkannya.” Tetehku beralasan takut tak bisa membiayai. Aku meyakinkan, sekolah itu adalah ibadah, Allah pasti akan melapangkan rizki bagi hambanya yang sedang berjuang di jalannya. Karena aku sudah mengalaminya, masuk sekolah yang pas-pasan membuat kita sulit untuk mendapat beasiswa. Justru di sekolah elitlah yang begitu peduli dengan kekurangan siswanya. Disana banyak orang tua berkecukupan yang peduli dan membentuk kesatuan dana yang begitu kuat. Akhirnya kudaftarkan keponakanku itu naik sepeda ke SMP 44. Ya, Aku sisihkan tabungan beasiswa saya untuk membayar sebisanya. Aku bertekad untuk membela keponakanku, melawan ketidaktahuan dan ketakberdayaan orangtuanya. Aku selalu tanamkan keyakinan untuk keponakan-keponakanku bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Bukti dari itu semua adalah aku sendiri, pamannya. Aku juga dulu sama seperti mereka. Mereka nasibnya sebenarnya lebih baik dari saya. Kendati suami tetehku sekedar penjahit serabutan dan uwakku tukang bubur ayam, setidaknya orang tuanya masih lengkap. Jadi mestinya harus bisa lebih baik dibandingkan aku dulu Kalau aku ke Palasari, kucarikan buku-buku cerita bekas harga seribuan, kuberikan pada mereka. Lebih baik mereka menghabiskan waktu dengan membaca daripada melahap sinetro dan tayangan TV yang abal-abal. Ada juga yang tengah masuk SMK, anak uwakku. Si Jamil dan Si Ceceng. Masih ingatkan dengan Pak Ajat, dosen Sipil yang siap membantuku, beliau ternyata mensponsori tekadku. Beliau memberiku uang untuk membelikan dua sepeda bagi anak uwakku. Jadi kini setiap pagi, Ceceng dan Jamil pergi naik sepeda. Khusus Jamil, dia kutugaskan membonceng si Eneng karena lokasi sekolahnya berdekatan, di kompleks mesjid Istiqamah.
Mengajarkan mereka akan pentingnya mempunyai semangat pejuang. Mengajarkan bahwa tak boleh tersentuh budaya instant. Setiap anda punya keinginan maka berjuanglah untuk mendapatkannya, bukan mengharapkan bantuan orang lain. Tak ada yang instant, semua lewat proses perjuangan. Dengan begitu anda akan sangat menghargai apa yang anda punya hari ini. Aku akan mulai menyebarkan semangat yang kuanut. Untuk sementara mungkin di kalangan keluargaku. Mungkin kalau hierarki pengaruhku sudah besar, aku akan coba membuat orang lain juga menyadarinya. Sebuah cita-cita. Bangun pemuda-pemudi Indonesia Lengan bajumu singsingkan untuk Negara Masa yang akan datang kewajibanmu lah Menjadi tanggunganmu terhadap Nusa (Lagu Nasional, Bangun Pemuda-Pemudi)
Searah jarum jam…Saya, Nani Lestari…juara umum di SMPN 44 Bandung. Reza Epansah…rangking 1 di SDN Kordon 1 tak pernah lepas dari genggamannya, Rini…ponakan yang paling kecil, Yuliana…adik tak sebapak, Si kembar Naufan Naufal…yang rangkingnya selalu menguntit di belakang Reza, Agis….anak bibi saya, Oban….adik tak sebapa, Agusman…si kecil jago gambar tapi tukang berkelahi,haha.
Cinta “Biography-lu bagus, Yan! Tapi ko perasaan ga ada bumbu-bumbu cinta di dalemnya. Soalnya gua suka love story kayak gitu. Tambahin ya entar-entar.”, begitulah komentar salah seorang temanku di SMA setelah membaca biography ini. Benar juga ya, seolah aku ini bukan manusia. Tak pernah menyinggung soal cinta. Asal tahu saja, aku juga pria normal, hehe. Oke, disini akan aku ikutin mau temanku ini. Aku akan membicarakan cinta. Bohong kalau aku bilang aku tak pernah merasa tertarik dengan wanita. Diam-diam selalu ada saja getaran-getaran itu. Getaran-getaran yang aku sendiri tak tahu sumbernya darimana. Yang kadang membawa semangat dalam hidupku yang aneh ini, hehe, atau kadang juga makin membenamkanku dalam perasaan serba salah. Aku pernah dibawa terbang tinggi dan juga sekaligus tersungkur dalam jurang terdalam, bersama dengan perasaan itu. Pernah aku bertanya-tanya ketika di SMA, teman-temanku hampir semua telah berpacaran. Aku sendiri masih bingung bagaimana menentukan sikap, karena bagiku perasaan wanita itu mahkluk indah yang aneh. Tak dapat ditebak apa maksudnya. Apakah pacaran itu adalah suatu keharusan dan tuntutan zaman? Hingga akhirnya aku selalu kembali pada prinsip yang diajarkan waliku, “Use your brain, not your temporary emotion. Emosi adalah titik terlemah manusia yang seringkali dimanfaatkan musuhmu ( setan termasuk di dalamnya). Segala keputusan harus berdasarkan azas manfaat. Yang kau harus penuhi adalah yang kau butuhkan, bukan yang kau inginkan.” Ya, kadang ketika emosi memenuhi rongga jiwa kita, tanpa alasan jelas kemudian kita merasa sendirian, merasa tidak dicintai dan merasa tidak diharapkan orang. Beberapa orang mungkin mengalihkan rasa itu dengan memutuskan berpacaran. Apa itu opsi terbaik? Aku tak yakin. Pacaran itu membuat pikiran kita bercabang, tak lagi fokus pada satu tujuan. “Ah, tak masalah kok.”, mungkin begitu pembelaan orang yang berpacaran. Tapi aku yakin, pasti tetap ada masalah. Pikiran-pikiran mudamu yang penuh energi, habis untuk memikirkan hal yang belum saatnya dipikirkan. Harus kita evaluasi, jangan sampai prinsip dasar mengapa kita pacaran adalah emosi (merasa kesepian dll.), atau juga pengaruh media...sinetron memegang peranan penting...yang membuat orang tidak pacaran kelihatan aneh ( padahal yang aneh sinetron sendiri. Masa di sekolah isinya hanya seputar pacaran, rebut-rebutan laki-laki—memang sudah begitu tidak lakukah wanita kita--, atau orang miskin yang kemudian menjadi kaya karena berpacaran dengan orang kaya....huah bikin gila). Jangan hanya ikut-ikutan, kita lalu melupakan apa esensi sesungguhnya dari keputusan yang kita ambil. Terlepas dari ada atau tidaknya unsur zinah dari proses pacaran yang kita jalani, lebih baik timbang-timbanglah. Begitu menurutku waktu itu. Aku lihat teman yang berpacaran, tak tampak ada perkembangan yang lebih baik. Dalam akademik atau non akademik tidak kemudian ada sesuatu yang membanggakan. Bahkan ada yang sudah hancur-hancuran untuk pasangannya, kemana-mana selalu bersama naik motor, mesra kendati di depan orang banyak—apalagi kalau sedang berduaan–tapi kemudian tetap saja putus. Ada dari yang putus itu yang kemudian mengalami depresi dan mogok sekolah. Aku bukan mendongeng, ini berdasarkan pengamatanku terhadap teman-teman di SMA.
Apakah itu bentuk dari cinta? Ah, setahuku cinta itu maklumat suci. Kalau sekarang sudah bilang cinta, ya besok dan seterusnya akan tetap cinta. Cinta adalah kontrak seumur hidup. Jangan heran kalau di Barat yang menjunjung tinggi profesionalisme, orang meski sudah berpacaran—free sex tentunya—dan kemudian punya anak tanpa ikatan nikah, tak akan mengucapkan ‘I Love you’ sebelum benar-benar yakin akan sanggup selamanya dengan yang dia bilangin cinta.
Trio Sipil sekaligus trio jomblo,hahaha
Beda di Indonesia, cinta sudah diobral murah. Contohnya di reality-reality show tentang asmara, yang bikin aku ngeri. “Aku akan berjuang ngedapetin kamu karena aku cinta kamu”, koar seorang yang kuyakin masih SMA. Berjuang? Itu yang kamu namakan berjuang? Setiap detik hidupmu tak pernah lepas dari subsidi negeri ini. Begitu banyak uang rakyat yang tersedot padamu. Parfum Parismu dan baju-baju buatan luar negerimu yang membebani devisa negeri ini. Sekarang juga kau masih menetek minta uang pada ibu bapakmu. Dan setelah semua itu, kau belum juga bergiat untuk negerimu. Perjuanganmu hanya sampai sebegitu. Mungkin menggelepar-gelepar para pendiri negeri ini, menyaksikan kaum mudanya sementah itu. Mereka mengorbankan semuanya untuk negeri ini, dan sekarang negeri ini ada di tangan kaum muda model begitu. Menangis darah mereka! Cinta sekali lagi memang perlu, tapi tak untuk waktu ini. Lebih baik masa mudamu yang singkat ini digunakan untuk berusaha sebaik-baiknya. Lihat KTP kita, disitu jelas sudah, pekerjaan kita adalah Pelajar/ Mahasiswa...bukan seorang pemain cinta. Kontribusi kita untuk negeri ini dilihat dari seberapa jauhnya kita memahami ilmu pengetahuan dan memanfaatkannya untuk
kesejahteraan rakyat...bukan dari seberapa jagonya kita bercinta dan mengucapkan kata-kata gombal. Ada saatnya kita mengejar cinta; memilih pasangan untuk kemudian tumbuh tua bersama, menghasilkan keturunan yang bermanfaat untuk umat. Tapi sekali lagi, saatnya nanti, ketika kita sudah berusaha maksimal. Aku berpegang pada ayat Qur’an,”...Laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik, lakilaki yang buruk hanya untuk wanita yang buruk”. Jadi teman-teman, untuk saat ini alangkah lebih baiknya masa muda kita dipergunakan untuk berusaha menjadi laki-laki/wanita yang terbaik agar kita juga mendapat pasangan yang benar-benar terbaik. Bukankah dengan demikian kebahagiaan kita akan kekal sampai kita menutup mata. “Mending jangan dulu pacaran, Yan! Gua terakhir pacaran itu dua tahun. Ngabisin duit, ngeluarin uang seratus ribumah kayak ngeluarin kentut. Terus waktu untuk ketemu keluarga juga berkurang. Temen-temen apalagi, jangan heran kalau satu orang demi satu orang bakal ninggalin lu. Lu ga akan bebas, kemana-mana ada yang ngatur. Cewe enaknya tuh pas ngejar-ngejarnya doang, pas udah dapet mah biasa weh. Bosen malahan. Kalau lu pengen nembak cewek, mending tahan dulu. Mending lu cari dulu semua hal tentang dia dulu. Jangan cuma kelebihan-kelebihannya doang tapi harus puas-puasin lihat kekurangannya juga, biar lu nanti ga kaget. Jangan takut keburu disamber orang. Kalau cewe itu benar-benar cinta ma lu, pasti dia balik lagi. Kalau dia ga balik lagi, berarti emang bukan dia orang yang tepat buat lu. Nyantei aja lah. Mungkin bagi kita mahasiswa, tingkat 3 atau 4 adalah waktu yang tepat”, begitulah pidato Bang Wilman, hehe, ketika kuminta pendapatnya soal bagaimana aku harus bersikap. Wilman memang sudah malang melintang di dunia perpacaran, aku tak meragukan kapabilitasnya. Sekarang dia sedang menikmati masa-masa jomblonya setelah merasa terkekang selama dua tahun. Tapi jujur saja, yang aku alami adalah WANITA ADALAH ALASAN TERKUAT BAGI LAKILAKI UNTUK MENGELUARKAN KEMAMPUAN TERBAIKNYA. Terutama saat curi-curi pandang, atau ketika kebetulan kontak mata. Apalagi memandang senyumannya. Wah itu sensasi yang demikian gila! Angin dari surga seolah bertiup ke wajahku. Itulah yang kemudian aku eksploitasi. Ini adalah tips dariku... Jika ada seorang wanita atau pria yang membuatmu merasa bersemangat ketika ada di dekatnya, jangan bunuh perasaan ini. Misalnya dalam satu kelas ni, ambil energi positifnya. Buatlah pikiran, “Wah, aku jangan sampai tidak hadir kuliah...nanti terlewat kesempatan menatap wajahnya.” atau ”Hmmm...aku harus tampak hebat depan dia, KalkuT mesti dapat A nih. Malu dong sama dia kalau dapat jelek”...ya pokoknya pikiran-pikiran semacam itulah. Asal tahu saja, aku sukses menerapkan hal tadi. Dari SMA, di setiap kelas yang aku jalani, pasti ada seorang wanita yang kemudian aku jadikan obsesi. Dengan begitu semangatku belajar selalu bertenaga. Jika di kemudian hari, kamu tahu obsesimu itu tak punya perasaan apa-apa kepadamu, atau bahkan sudah punya pacar sekalipun, bodoo amat!!! Namanya juga obsesi. Oh iya, maaf kalau ada yang membaca kisah ini dan pernah aku jadikan obsesi. Heuheu. Maaf kalau merasa dieksploitasi. Satu lagi yang memberiku pencerahan, novel Ayat-Ayat Cinta ( trims buat Riri yang meminjamkannya untukku). Kalau kalian merasa terkesima dengan filmnya, jangan berhenti sampai disitu! Baca novelnya, dijamin jauh lebih kaya pelajaran. Ya, sosok Fahri membiusku. Mungkin begitu juga aku harus bersikap. Berjuang dulu dan fokus dalam mencapai tujuan. Tamat S2 baru mencari wanita yang tepat untuk dijadikan istri. Idealnya begitu. Habiburahman memang keren, sayang menurutku filmnya tidak sebagus novelnya. Berbicara masalah jodoh bagiku, mungkin agak kepagian. Tapi aku yakin, wanita pilihan itu bisa orang yang sudah sangat aku kenal, atau bahkan yang belum kenal sama sekali. Bisa jadi
posisinya sangat dekat denganmu, bisa jadi mungkin sekarang sedang berada jauh di seberang lautan. Bisa lebih tua dariku, tapi tidak mustahil masih bersembunyi sekarang di balik seragam SMPnya. Semua masih terasa samar. Fokusku bukan ada tidaknya wanita itu saat ini, tapi lebih ke persiapan diri dan terus memperbaiki diri. Hingga nanti jika saat itu tiba, aku sudah siap dan pantas bersanding dengan wanita pilihan itu. Hehe, jijik banget ya bahasanya. Jauh di lubuk hati terdalam, aku ingin pacaran sekali saja seumur hidupku. Langsung mengantarkanku ke pernikahan, jadi harus benar-benar matang perencanaannya. Cintaku hanya untuk satu wanita, amin! Agaknya pandangan umum selama ini harus berubah, dari asalnya ”Aku harus menikah dengan wanita yang kucintai sepenuh hati”, menjadi “Aku harus mencintai sepenuh hati wanita yang kunikahi”.
Mode Entah mengapa akhir-akhir ini hampir semua laki-laki dijamah oleh demam sama. Rambut sangat panjang di bagian depan, kemudian dikepinggirkan, menutupi wajah. Beberapa mendapat sentuhan cat. Kalau yang memang cocok ya tak apa-apa. Ini banyak yang tekstur wajahnya tak cocok, memaksakan, akhirnya bukan tampak keren tapi malah bikin najis lihatnya. Terus yang unik lagi adalah gaya bercelana. Pertama celana dalam harus terlihat. Kedua, celana jins model pinsil, bagian bawah sangat sempit... memakainya sulit, harus pakai bantuan kantong kresek. Menyiksa diri saja. Di kalangan wanita muncul kegelisahan. Muncul stereotif bahwa wanita cantik itu adalah yang tinggi, rambut lurus, kulit putih, dan langsing. Meski harusnya, sebagai insan pendidikan, kita wajib melancarkan pertanyaan kritis. Itu cantik menurut siapa? Untuk wanita; anda dibodohi oleh kaum kapitalis! Ini semua murni kepentingan bisnis. Jangan mau anda diperalat, uang anda dikuras oleh para kapitalis. Coba kita analisis, penduduk Indonesia yang memiliki kulit putih, berbadan tinggi langsing mungkin tak lebih dari 10% dari seluruh penduduk. Kita orang Asia sudah dianugerahkan kulit coklat yang sempurna. Kulit coklat kita mengandung melanin yang bagus untuk menangkal pengaruh ultra violet matahari, sangat cocok untuk iklim tropis dengan penyinaran matahari yang terik. Semua ini bisnis, para kapitalis itu tentu mengangkat fenomena minoritas untuk dijadikan bahan rujukan image cantik. Dengan begitu pangsa pasar mereka menjadi demikian luas, karena yang mayoritas ini ingin meniru minoritas. Pangsa pasar mereka adalah masyarakat mayoritas! Lalu digiringlah opini publik di negeri ini lewat iklan dan sinetron, yang sangat berjasa dalam memperbodoh bangsa ini. Model dan artis harus berketentuan seperti diatas...kulit putih, rambut lurus, tinggi dan langsing. Yang muncul di televisi kita kemudian adalah yang seperti itu. Kitapun tergiring untuk membeli pemutih, operasi sedot lemak, susu peninggi, dan rupa-rupa lainnya. Semua itu produk kapitalis, mereka panen rupiah. Devisa kita menipis karena barang yang kita beli adalah barang luar negeri. Para kapitalis mungkin sekarang sedang terbahak-bahak, menertawakan kebodohan kita. Ingin bukti? Coba lihat di sinetron, sampai tokoh pembantu sekalipun pencitraannya sama, kulit putih, rambut lurus, tinggi dan langsing. Sang majikan sama cantik dan mudanya dengan sang pembantu. Sang Ibu dan sang anak gadis sama cantik dan usianya paling berbeda 10 tahun. Sungguh sangat tidak realistis, wanita sepuluh tahun bisa melahirkan anak. Menikah usia berapa, 8 tahun? Pembodohan! Semua ini bisnis, aku berani taruhan. Kalau saja komposisi masyarakat Indonesia terbalik, jadinya 90% kulit putih, rambut lurus, tinggi dan langsing dan 10% kebalikannya, niscaya bunyi iklan di televisi mungkin akan begini... “ Merasa tidak percaya diri dengan kulit putih anda? Mari gelapkan warna kulit anda dengan produk termutakhir kami. Kulit anda akan tampak lebih gelap dalam waktu enam minggu”
atau... “ Rambut anda lurus? Salon kami siap mengeritingkan rambut anda!” atau.... “Anda tidak berhasil menaikan berat badan? Ikutilah program kami. Inilah salah seorang klien kami, Ibu A berhasil menaikan berat badan dari 50 kg menjadi 78 kg, benar-benar hasil yang luar biasa. Tampak lebih gemuk dalam satu bulan. Anda akan semakin percaya diri! atau yang lebih ekstrem... “Tinggi badan anda terlalu tinggi? kami siap memotong beberapa senti dari kaki anda!” Hahahahaha Percayalah, penampakan luar tak usah terlalu dirisaukan, yang penting bagaimana anda memaknai diri anda. Genotip jauh lebih penting dari fenotip. Wanita, percayalah anda memang diciptakan Tuhan sebagai mahkluk yang cantik. Cantik yang sebenar-benarnya, bukan cantik yang dipukul rata oleh industri. Tiap wanita punya sisi cantiknya masing-masing, yang menurutku susah untuk diperbandingkan dengan wanita lainnya. Yang kemudian aura cantik itu tidak keluar, adalah sugesti penyesalan dari dalam diri anda yang seolah berteriak...Mengapa aku tidak cantik seperti orang lain? Aura negatif semacam itu sangat jelas terpancar, membuat orang lain tidak nyaman berada di dekat anda. Percayalah, anda sudah cantik! Orang menganggarkan kebutuhan kosmetik dan salon setiap bulannya, hanya untuk mengejar predikat cantik yang dibuat oleh industri. Bahkan saya membaca di koran, seorang selebritis menghabiskan satu miliar tiap bulan hanya untuk biaya tadi. Heuh...prihatin, begitu banyak uang yang keluar tidak perlu dan masuk ke kantong kapitalis, sedang di belahan bumi lain...di Afrika sana, atau juga daerah-daerah di Indonesia, busung lapar, putus sekolah, begitu merajalela. Dimana rasa perikemanusiaan kita, atau itu sama sekali sudah habis terkikis seiring dengan keegoisan kita untuk mengejar predikat yang sangat sepele, cantik. Bisa dibayangkan kalau anggaran kosmetik bisa dialihkan ke hal yang lebih penting seperti pendidikan dan kesehatan, sejahteralah umat manusia. What a perfect world! Mungkin ada yang bersuara, “Tapi Yan, kami wanita juga ingin tampil menarik di hadapan pria yang kami sukai. Kalau kami berpenampilan seadanya, nanti susah mencari jodoh. ” Hmm... patut dikaji ulang, apakah benar yang kalian dapatkan dari penampilan cantik kalian adalah jodoh kalian atau bukan? Bukankah yang ingin kalian dapat dari hidup berpasangan adalah kebahagiaan? Jangan-jangan kalian malah menjauhi kebahagiaan yang sebenarnya, dan terjebak dalam kepalsuan-kepalsuan. Begini, bersolek mungkin akan membuat laki-laki terkesima kepada kalian. Tapi kemudian yang ditakutkan olehku adalah yang menyatakan cintanya pada kalian hanyalah seorang pemuja rupa. Mereka tertarik padamu hanya karena cantikmu. Patut diingat bahwa cantik itu tidak selamanya. Seiring dengan waktu, kalian juga akan mengalami kerutan-kerutan penuaan, pengenduran kulit, badan yang kemudian melar, pemutihan rambut, atau mengalami menopause. Usia kepala empat mungkin, itu sudah menjadi ketentuan alamiah manusia. Lalu apakah yang akan membuat suami dan istri selalu bahagia jika dasar cinta kalian hanya sebatas ketertarikan fisik saja? Cinta semacam itu akan pupus seiring waktu. Jika kalian ingin bahagia sampai kakek-kakek dan nenek-nenek, ya jauhkanlah cinta kalian dari pendangkalan seperti tadi. Kalian menikah karena cinta, dan cinta itu juga berdasar pada penerimaan yang absolut, baik itu kelebihan atau kekurangan pasanganmu.
Jangan tutupi kekuranganmu dengan make up dan manipulasi lainnya! Biarkan orang mencintaimu apa adanya. “Lebih baik disakiti oleh kenyataan daripada dinyamankan oleh kebohongan”, itu kata yang paling berkesan ketika aku membaca novel The Kite Runner. Bukankah lebih baik kita menikah dengan seorang yang awalnya kita kira tidak cantik, tapi kemudian kita mendapat surprise bahwa ternyata banyak sisi cantik dari istri kita, daripada sebaliknya. Kita merasa bahwa dia sosok yang sempurna buat kita, tapi setelah menikah kita terkaget-kaget sendiri, ternyata semuanya hanya kedok iTi. Biarkan cinta sejati yang datang, bukan cinta karena rupa. Cinta yang berdasar pada ibadah, bukan hanya tuntutan nafsu. Cantik luar itu tidak kekal dan akan memudar seiring waktu. Biarkan cantik sisi lainnya yang menghiasimu. Cantik karena kepeduliannmu, perilakumu, atau prestasimu.
Mengapa tak masuk KM? Banyak yang bertanya, bagaimana si Iyan teh? Ngomongnya melulu tentang nasionalisme dan idealisme, tapi kok tak masuk organisasi seperti KM? Bukankah disana adalah organisasi yang tepat untuk orang-orang sepertiku? Inilah jawabanku... Kalian tentu kenal dengan Soe Hok Gie; demonstran yang kemudian terkenal dengan kritikkritiknya yang tajam terhadap pemerintah. Kritik-kritiknya banyak menuai pujian karena tergolong berani. Kakaknya menulis tentang ucapan terakhir sebelum Soe Hok Gie mati muda di puncak Semeru. Kalian perlu mendengar petikannya... Saya ingat, sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian". Saya tahu, mengapa dia berkata begitu. Dia menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat-surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai "Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja". Ibu saya sering gelisah dan berkata: " Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang". Terhadap ibu dia Cuma tersenyum dan berkata "Ah, mama tidak mengerti".
Aku menarik pelajaran dari petikan tadi, wah iklim perjuangan sekarang sangat jauh berbeda dengan iklim Bung Karno dulu. Soe Hoek Gie pun mengalaminya. Kalau dulu musuh kita jelas, orang bule, berambut pirang, bermata biru, wajib kita perangi. Tapi kalau sekarang, yang ada malah dilanda kebingungan mana musuh mana kawan. Berdandan dan bertutur baik, eh belakangan diketahui koruptor. Ketika kita mahasiswa mengkritik, berdemo, turun ke jalan, tak ada yang mau lagi mendengarkan. Kritik kita seolah terpental. Ketika merasa suara kita tidak diterima, kita kecewa. Darah muda kita membuat emosi gampang tersulut, anarkismelah yang kemudian terjadi. Alih-alih membela rakyat, kita justru membuat rugi rakyat. Jalanan jadi macet, distribusi barang dan jasa menjadi terhambat. Distribusi yang lebih lama membuat ongkos produksi menjadi naik. Kemajuan ekonomi rakyat terhambat. Lagi-lagi rakyatlah yang menanggung semuanya. Ketika kita bicara, orang-orang birokrat hanya berkomentar,” Ah, anak ingusan tahu apa. Ilmu juga belum seberapa, lebih baik belajar yang benar”. Ya, aku menarik pelajaran dari itu semua, buat apa sekarang kita berbusa-busa berbicara kepentingan rakyat. Betapapun bagusnya pembicaraan kita, tak lebih kemudian hanya menjadi omong kosong belaka. Nasib rakyat kecil tetap saja melarat, tak ada perubahan. Perjuanganku harus beda! Tak cuma sekedar bisa ngomong, namun harus mengejar prestasi sebaik-baiknya di kuliah. Dengan prestasi, aku bisa memasuki jabatan-jabatan penting di negeri ini. Dengan jalan itu, omonganku akan didengar. Aku bisa mengaplikasikan ideku untuk sepenuhnya kesejahteraan rakyat.
Bukan hanya mengkritik kebijakan penguasa, tapi aku harus bisa menjadi penguasa itu sendiri. Itulah sebenar-benarnya perjuangan, aku akan memiliki kesempatan untuk memperbaiki keadaan bangsa ini. Cita-cita tertinggiku adalah jadi Presiden; alternatif lainnya adalah Menteri Pendidikan. hehe. Itulah mungkin yang akan memaksimalkan perjuanganku. Cita-cita harus digantungkan setinggi langit. Jadi untuk sekarang aku lebih baik belajar saja yang benar, daripada masuk KM, melancarkan kritik keras, namun akhirnya tak berbuah apa-apa. Aku harus berprestasi dulu sehingga orang tidak akan ragu mendengar kritikku. Agar semua ini tak sekedar –maaf- onani konyol.
Dulu vs sekarang Entah mengapa aku merasa bahwa, aku yang kemarin selalu berbeda dengan aku yang sekarang. Yang terpenting adalah aku merasa sebagai orang yang beruntung karena aku diberi kesempatan oleh Tuhan, untuk mencoba alur hidup yang sedemikian rumit, penuh tantangan dan tentu juga proses pembelajaran. Aku yakin tak semua orang mendapat kesempatan emas seperti itu, bahkan mungkin dalam seumur hidupnya. Aku tak pernah menganggap semua yang terjadi padaku adalah sebuah kemalangan, justru sebaliknya aku merasa...ya mungkin inilah yang dinamakan sebenarbenarnya anugerah. Itulah aku!
Semester III Setelah masuk Sipil, aku kira aku tetap seperti dulu ketika aku begitu bersemangat mengenai sekolah. Entah mengapa semangat begitu mengendur dengan tajamnya, menyisakan aku yang terlalu santai. Kehidupan telah terlampau memanjakanku rupanya. Semua hal berjalan terlalu baik; yang membuat aku terlena dan kadang lupa kalau waktu terus berjalan. Dengan malas-malasan aku lalui semester pertamaku di Teknik Sipil. Kuliah seperti biasa selalu menyenangkan bagiku. Hanya saja semangatku agak surut mungkin semester ini masa peralihan lah, semoga saja. Ada fenomena lucu yang menggelitik hati saya. Ketika saya masuk pelajaran statika dan melihat dosennya…perasaan bapak ini saya sering lihat mukanya. O…ya… Bapak Awal Surono ini adalah pegolf di lapangan golf Dago. Waduh masa depan memang tak pernah diduga…dahulu bertemu sebagai pegolf dan seorang anak penjual bola, eh tahu-tahu sekarang bertemu sebagai dosen dan mahasiswa. Alam bawah sadar saya telah terpatri…bahwa pegolf adaah orang yang sangat terhormat, super kaya, yang sekadar menatap mukanya pun saya tak berhak. Pegolf adalah orang yang mulia, setiap saya menawarkan bola, saya mesti memanggilnya dengan sebutan Tuan, seolah saya ini budaknya. Mungkin pembaca bisa merasakan bagaimana emosi saya bereaksi ketika akhirnya saya dan seorang pegolf bisa duduk satu ruangan. Dan kalau boleh saya jujur, ketika berteman dengan kalian teman-teman…saya merasa aneh saja. Kalian dalam benak saya sudah telanjur terklasifikasaikan sebagai “anak nu beunghar”, anaknya orang kaya sedangkan saya ini anak kampung. Perbandingannya seperti ini…Ketika kalian menikmati rumah bagus lengkap dengan mobil, kamar mandi di dalam, dilayani pembantu, makan enak, sering sekali beli baju. Sedangkan saya hanya bisa berdiri di luar gerbang rumah kalian dan hanya bisa celingukan melihat ke dalam rumah kalian untuk sekedar ingin tahu sambil berharap tak disangka sebagai pencuri. Sewaktu kecil hanya dua kali saya bisa masuk ke rumah orang kaya. Pertama kali saat saya ikut tahlilan seorang tuan tanah di kampung saya. Mulut saya nyaris tak bisa menutup ketika melihat kolam renang di halaman rumah. Sungguh takjub melihat keindahan rumah itu, terlalu tinggi kelasnya dibandingkan rumah saya dan ketika balik ke rumah saya…rumah saya tampak layaknya kandang ayam dibandingkan rumah yang tadi saya kunjungi. Pengalaman kedua adalah ketika menghadiri acara ulang tahun seorang anak orang kaya. Saya datang dalam rombongan anak yatim, yang di akhir acara diberi santunan. Anak orang kaya fasilitas semua ada, sedangkan anak kampung cuma bisa bilang didalam hati…aku ingin seperti mereka. Sampai sekarang saya masih agak canggung kalau depan kalian, ada perasaan tak pantas dan sebagainya. Mungkin butuh waktu untuk memupus semua itu. Karena kekuatan persahabatan adalah segalanya, saya ingin merapat berlabuh bersama lingkungan yang sekarang. Oia pengalaman yang pertama dialami semester ini adalah pergi ke Bogor untuk mengambil data hujan Probstat. Pertama kalinya saya menginjak Bogor…whoaaaaa….akhirnya bertambah jam terbang saya.hehe Saat-saat pengumuman nilai selalu menjadi saat-saat paling dramatis dalam hidup saya. Ditambah nilai-nilai UTS saya kurang memuaskan. Matrek 1 = 20 (paling kecil sekelas lho) Mekflu = 30 (agak lumayan, kedua paling kecil sekelas…hehe) Surveying = 35 (kritis…dosen terkenal buas. nilai seperti inimah calon-calon ga luT) Probstat = 70 (Wah ini nilai yang menghidupkan harapan…terbesar sekelas itu 75 lho..) Rekban = 80 (menengah ke atas lah…optimis minimal AB) Statika = 80 (banyak yang cepe..ga bangga dapet nilai segini…minimal AB lah) PRT = 86 (bangga bgt…paling gede sekelas….yeah!)
Distribusi nilainya sungguh tak imbang ya. 3 pelajaran masuk kategori gawat darurat. UAS saya gila-gilaan lah, terutama untuk pelajaran 3 paling atas. Saya bersemedi di kosan si Jenius Joko untuk 3 pelajaran kritis diatas. Akhirnya cerita akhirnya seperti ini… Pertama pengumuman nilai…agak tertohok gitu. Probstat yang dikira bakal muT ternyata dapat B. Wah parah ni…kok bisa ya. Yang nilai UTS nya 20 pada A sedang yang nilai UTSnya dapet 70an nasibnya mengkhawatirkan. Temen saya Ridwan, UTS dapet 70…indexnya C. Hendra yang paling gede sekelas eh dapet B juga. Si Jenius Joko dapat B juga. Tapi teman-teman yang dari papan bawah tiba-tiba meroket dapat A. Ah pokonya hari itu saya stress, ga habis pikir. Kalau pelajaran yang yakin saja (cuma) dapat B, gimana nasib dengan pelajaran yang kritis. Statika…dapat AB. agak kecewa juga karena yang dapat A banyak sekali. Aaaaarrrgggh!. Tapi lumayan lah. Setidaknya ilmunya adalah yang paling saya dapat. Itu semua karena dosennya super keren… Pa Awal. Lebih mengesalkan ternyata PRT dapat AB. Waduh…hancur beneran ini, dapat IP 3 pun ragu saya. Rekban dapat A, syukur Alhamdulillah…cukup menjadi penawar. Btw, 3 pelajaran kritis itu belum keluar nilainya. Kalian rindu kisah-kisah dramatis? Inilah saatnya… Dimulai dengan Si Jenius Joko yang merasa kurang lah nilai probstatnya dapat B. Joko ini mulai menghubungi dosen kita tercinta Pak Hernawan Mahfudz. Merekapun berSMS Joko : Pak, saya SriJoko. Saya boleh bertemu dengan Bapa tidak? Saya ada masalah dengan nilai Probstat saya. Barangkali masih bisa ditambah dengan tugas-tugas. Maaf jika menggangu. Terima Kasih banyak Pa! Pak HMZ : Untuk mingu-minggu ini saya sibuk sekali. Berapa Nim anda? Joko : 15007072 Pak HMZ : O…anda seharusnya dapat A, bukan B. Joko : Terima kasih banyak Pa Eh terus apa hubungannya dengan seorang saya ya? Ini kan kisahnya Joko, bukan kisah saya. Wah Iyan ini ga s(eri)us…mungkin gitu pendapat pembaca sekalian. Sabar… kisahnya belum berakhir Singkat cerita akhirnya Joko ini senang bukan main, dan sangat bersyukur. Di subuh yang cerah itu…Joko senyum-senyum sendiri, hehe…ngapain Jok? Ga gitu juga, intinya Joko senang. 2 jam kemudian…HP Joko berbunyi, tanda ada SMS yang masuk. Pak HMZ :Joko, sekalian tolong sampaikan…NIM 15007079 Iyan Nurdiansyah juga seharunya dapat A juga, bukan B Joko pun SMS saya, menyampaikan berita aneh dan edan itu Di kamar, saya sedang stress. Udah lah pasrah, biarkan hukuman menghujam-hujam saya. Ada SMS masuk… Joko : Yan, kata Pak Hernawan kamu dapat A Probstat. Ah, apaan Joko ini…tak lucu bgt bercandanya. Saya : Hah???Maksudmu apa Jok??? Joko : Pokonya ceritanya panjang, biar lebih jelas kamu ke kosan saya siang Saat itu saya seperti orang gila, berjingkrak-jingkrakan tak jelas. Berteriak-teriak…untung saja tak ada orang yang dengar Begitulah Drama Probstat saya…lagi-lagi berakhir happy ending Btw, kalau yang Probstat tadi happy ending berati yang ini adalah super happy ending. Mekflu dapat AB!!!What the h***??? Seorang Wilman, UTSnya dapat 75. Saya setengahnya pun tak nyampai, Wilman dapat B, saya dapat AB. Sumpah…ini yang namaya dunia sudah gila. Sori Wil, kalau saya berseang-senang di atas penderitaanmu. Saya senang bukan karena nilai kamu jelek, tapi beneran ni, saya senang banget dengan nilai saya.
Maaf Wil kalau lu jadi bahan perbandingan, UTS Matrek Wilman 50, saya lagi-lagi setengahnya pun tidak. Ajaib kita finish sama-sama dengan nilai B. Benar-benar ajaib!!! Mata kuliah surveying adalah mata kuliah traumatis bagi anak-anak Sipil pada umumnya. Dosennya bernama Pak Sudarman, sangat-sangat menguras kesabaran dalam mengikuti kuliahnya. Bicaranya selalu sinis, dipenuhi dengan ancaman-ancaman yang gahar. “ Jangan salahkan saya kalau banyak yang tidak luT. Sikap kalian sendiri yang tidak layak untuk luT. Saya pernah mengajar para tentara selama 20 tahun, mereka lebih punya hormat dibanding kalian. Katanya anak-anak SIPIl itu yang terbaik, tapi kenyataannya nol…” “ Saya tak pernah takut kena sangsi. Waktu kuliah saya banyak yang tidak luT, saya ditegur ITB. Maaf, saya tidak takut. Kalau saya salah saya minta maaf, kalau saya benar sampai lubang semut pun saya akan cari…” Pokonya nada bicaranya bikin ngeri lah. Jadi pas UAS saya ngerasa tak bisa, ya sudahlah saya pasrah. Tampaknya saya menjadi korban Pak Sudarman berikutnya. Pengumuman nilai Pak Sudarman, sangat-sangat di luar perkiraan. Sampai-sampai petugas TU yang menempel pengumumannya tak percaya. “Tumben lho De, biasanya yang tidak luT sama Pak Sudarman ini lebih dari 20 orang”, kata petugas TU. Wiiihhhh…. ternyata luT semua. Saya dapat BC , jelek sih. Tapi untuk Surveying itu sudah sedemikian di luar dugaan lah. Di belakang saya yang dapat C ada 6 0rang, setidaknya saya bukan yang terburuk lah. Setelah dihitung-hitung ternyata IP dapat 3.48… IPK anjlok 0.1 poin (sangat besar). IPK saya 3.65. Syukurlah dengan semangat pas-pasan saya melalui semester ini dengan tidak terlalu parah
Duka Cita untuk Teman Masa Kecilku Suatu malam saya bersama teman-teman satu geng(hehe) Alvin, Feder, dan Rheza makan sate favorit kami di simpang. Biasalah anak muda. Ada satu kejadian yang memancing pemikiran saya. ABG kira-kira umur 17 tahun, ditindik, rambut dicat datang menghampiri meja. Ini orang saya kenal, teman saya main bola sepak dulu. Dia sekarang ngamen di depan saya. Perasaan saya waduh seperti apa ya, campur aduk sekali. Saya itu dulu bagian dari mereka lho. Ketika sekarang kita berada dalam posisi berlainan…ya agak aneh juga. Saya beri uang 500an. Saya sapa dia, “Gimana kabar lu?”. Dia jawab agak malu-malu, “Si Iyang, beda euy orang kaya sekarang mah” Hehe, saya cuma tersenyum. Ngobrol-ngobrol sebentar, Lantas cuma terpana ketika dia berpamitan dan melengos pergi. Entahlah, sebenarnya yang berubah ini saya atau dia. Sayang sekali hidup mereka, terlepas itu kesalahan mereka atau bukan. Tampaknya mereka lebih pantas berseragam putih abu daripada bercelana jins kumal, rambut dicat, bibir ditindik. Dunia sungguh kejam, memisahkan aku dan mereka dengan sedemikian jauhnya. Tak satu itu saja, teman-temanku yang lain bernasib sama. Terjebak dalam pengangguran, pergaulan bebas hingga akhirnya mau tak mau menikah dini. Miris melihat temanku menjadi pelayan toko yang kudatangi, menjadi supir angkot dari angkot yang kutumpangi, menjadi pedagang jajanan, menjadi Pak Ogah. Ketika kuajak ngobrol isi mereka hanya keluhan, dan memandang apa yang kudapatkan sekarang adalah buah dari keberuntungan, sedangkan mereka adalah mahkluk-mahkluk hina tak beruntung. Apalah yang lebih menyedihkan daripada memandang wajah anak muda yang tak merasa yakin dengan hidupnya Semoga saja mereka selalu punya harapan untuk hari esok. Padahal mereka bisa seperti saya, dan apa yang saya dapatkan ini tak pernah ada hubungannya garis keturunan. Saya selalu coba yakinkan mereka, kalau saya dan mereka tak ada bedanya. Saya juga bagian dari mereka. Tak ada yang jatuh dari langit dengan cuma-cuma, semua usaha dan doa. Kalau mereka menjalankan pekerjaan apapun dengan sebaik-baiknya, saya yakin mereka juga bisa. Asalkan mereka yakin bisa, mereka pasti bisa. Jika mereka punya anak, semoga saja mereka tak membesarkan dengan metode yang sama dengan orang tua mereka. Semoga akhirnya mereka sadar, bahwa sekolah penting untuk mereka. Bukan hanya sadar, tapi mereka berani memperjuangkan hak mereka untuk bersekolah. Semoga bangsa ini akan semakin membaik ke depannya.
A Catasthropic year Tahun pertama di teknik sipil ini kurasa adalah tahun yang kulalui dengan sangat buruk. Aku melangkah tanpa visi yang jelas, hanya ikut arus, tanpa memperhatikan konsekuensi-konsekuensi yang akan aku tanggung. Pikiranku susah sekali untuk fokus. Beginilah akhirnya. Aku menjalani semua dengan setengah-setengah. Aku ikut himpunan, tapi tak menjalaninya dengan sepenuh hati. Aku punya program beasiswa, tapi tak menjalankan intruksi dengan baik. Aku bertekad Cum Laude, tapi mudah menyerah ketika menghadapi dosen parah. Hendak jadi apa aku ini?? Hubungan dengan waliku agak merenggang. Sesungguhnya bukan dia yang mengabaikanku, tapi aku yang membuat semua jadi semakin buruk. Waliku sangat tidak setuju dengan keikutsertaanku di himpunan. Menurutnya, waktu yang dihabiskan untuk hal tak jelas proporsinya jauh di atas waktu efektif. “Ingat, waktu adalah waktu. Tak bisa diputar ulang. Terlalu berharga waktumu.” Saat kaderisasi, aku curi-curi. Aku berdalih pada waliku bahwa ini demi diriku sendiri. Kalau aku tidak ikut kaderisasi, aku akan menyusahkan teman-temanku. Teman-temanku tentu akan memberi stigma negatif padaku. Tentu ini berlawanan dengan yang diajarkan waliku bahwa kita harus senantiasa dalam posisi member, bukan untuk meminta. Akhirnya aku bisa ikut kaderisasi. Setelah masuk himpunan, ternyata kegiatan semakin menumpuk. Aku sering pulang malam larut. Bahkan seringkali aku tidak pulang karena tanggung besok mesti kuliah pagi. Aku sangat tidak enak dengan keadaan seperti ini dengan waliku Di himpunan mungkin aku jadi tergolong plin-plan, tak punya pendirian. Ya, semua jadi serba sulit untukku. Hubungan dengan pihak beasiswa juga jadi memburuk. Beberapa kali tugas yang diberikan tak kuselesaikan dengan baik, akhirnya aku kena marah. Hingga puncaknya pengumuman nilai… Matrek II AB Mektan AB Mekban AB Garkon A PSB AB Hidrologi A Rekjal D Rekjal mengulang!!! Sudah, ini nampaknya seorang Iyan harus kembali menjadi seorang Iyan. Aku tidak bisa terus bertindak setengah-setengah. Semester depan nampaknya aku akan menarik diri dari dunia himpunan. Maaf, sekali bos-bis sekalian. Aku tak bisa lagi menambahkan raut kekecewaan di wajah tua waliku. Aku tak akan sampai hati mengotori hari tuanya dengan perasaan kegagalan mendidik. Sudah cukup aku membuatnya khawatir dengan sering pulang malam. Sudah cukup aku kabur-kabur tak pulang. Setelah prestasiku yang dari hari ke hari terus menurun, apalagi yang dapat aku berikan selain kepatuhan terhadap nasihatnya. Duniaku dan dunia kalian memang lain benar. Begitu juga prioritas antara kita pasti sangat berbeda. Kalian pasti paham bagaimana besarnya pengaruh waliku terhadapku. Hanya waliku, malaikat penolong dari Tuhan yang tersisa untukku. Maka ketika dihadapkan pilihan antara HMS dan waliku…dengan berat hati kusampaikan…Aku memilih waliku.
Untuk HMS, Aku ingin melapor, aku adalah kadermu yang gagal. Jangan salahkan pengkaderku, karena semua kegagalan berasal dari diriku. Semua janji yang kuucapkan saat kaderisasi hanya sampah belaka, tak memiliki realisasi. Aku cinta kau dengan amat sangat sesungguhnya, tapi apa daya ini adalah garis hidup yang kujalani. Sambil terisak tangis aku buat surat ini. Berat sekali aku meninggalkanmu, tapi kalau tidak sekarang, maka aku justru akan memberatkan seluruh pihak. Tak apalah. Mungkin aku telur busuk yang gagal dierami induk. Tapi masih banyak telur kuya yang menetas, dan siap membesarkanmu kelak. Aku siap bergelar non him busuk, aku siap bergelar non him berjahim, aku siap bergelar kerikil angkatan. Upacara penonhiman pun aku siap menjalani. Terima kasih untuk semua yang kau berikan padaku. Sangat tak pantas, aku merasa tidak memberikan apapun untukmu. Kuharap kau mengerti karena jika kita memang (pernah menjadi) keluarga, ku yakin kau akan mengerti.
Roman Semester 1 di tahun ketiga ini berjalan cukup lancar meskipun jauh dari kata spektakuler. IPku cukup baik…finish di sektar 3,4. Tapi kalau aku perhatikan prestasiku terus menerun terutama sejak tahun ketiga. Something’s wrong, Aku menemukan masalah utamanya. Aku menjalani semua ini tanpa landasan motivasi yang kuat. Sudah pernah kuucap bahwa buatku WANITA ADALAH ALASAN TERKUAT BAGI LAKILAKI UNTUK MENGELUARKAN KEMAMPUAN TERBAIKNYA. Disini aku ingin bercerita tentang perjalanan cinta-hehe-,yang aku alami. Aku pertama kali merasakan apa itu cinta ketika kelas 2 SMA. Aku tertarik dengan seorang gadis yang pintar, periang, agak childish, lumayan cantik, agak imut. Aku mulai semua itu dengan berteman. Lama kelamaan aku makin yakin kalau dia adalah sosok wanita yang paling sempurna yang pernah aku kenal. Inisialnya adalah W. Yang aku rasakan adalah energiku selalu menjadi tak terbatas untuk menggapai semuanya.hehe. Ini adalah cinta pertamaku, rasanya ternyata sangat gila…pikiranku seolah tersedot ke dia semua, Teman sekelas di kelas unggulan, membuat aku bisa berusaha lebih dari yang aku bisa dan akhirnya mencapai prestasi menggembirakan. Cuma ternyata cinta tak pernah sesimpel itu buatku. Kalian ingat sobatku, T. Kami suatu waktu kebetulan sedang mengobrol-ngobrol mengenai wanita. “Yan, lu punya kecengan ga di sekolah?”, tanyanya “Wah ga tau lah T. Emang napa lu nanya ginian?” “Aku lagi suka sama seseorang nih Yan.” “Siapa T?” “Si W” Nampak terasa seperti ada geledek menyambar. Wah sial, ternyata sobatku juga suka sama orang yang sama, Benar-benar gila. Ya, aku harus agak-agak santai disini. Jangan sampai persahabatan kita pecah. Meskipun rasa ini tak bisa terus dipendam, hingga akhirnya kedekatan aku dengan W juga tak bisa dihindari. Indah sekali.
Terutama ketika kami menginjak kelas 3…it’s so so beautiful. Bagaimana dia menjadi sumber motivasiku. Cerita-cerita sedikit lah apa yang aku katakana indah ini. Kita janjian lah pokoknya kita berdua harus masuk ITB. Kita saling memotivasi satu sama lain. Pernah suatu ketika aku pinjamkan dia sebuah buku. Ketika dia balikan buku lagi kepadaku, ternyata ada yang terselip disitu. Sebuah pembatas buku yang aku yakin itu buatan tangan. Aku telpon dia lagi. “W, ini ada yang ketinggalan di buku yang kamu pinjam, Ada pembatas buku. Tulisannya sih rapih banget., kayanya cewe. Punya kamu bukan?” “Hmmm….ga tau ya Yan” “Lah, terus punya siapa?” “Punya orang lain kali Yan” :Masa sih, perasaan buku ini cuma aku pinjemin ke kamu…” “Hmmm…” “Kenapa W?” “Iya deh…itu emang buatan aku. Buat kamu Yan.hehe” “Oh gitu. makasi banyak y W” Pembicaraan di telpon itu berakhir dengan perasaan sangat menggembirakan buatku. Wow…ini dia bikin sendiri buatku. Mungkin bisa kudeskripsikan sedikit bendanya. Sepotong kertas pembatas buku biasa dari karton, dengan bertuliaskan lirik dari band kesukaan dia, Nidji. Tulisannya HERE WE ARE TRY TO REACH THE STAR. Ditulis warna warni dengan pewarna. Terus dilaminasi dan diberi lubang. Lubang itu menjadi tempat pita-pita hiasan bergantungan. It’s so sweet. Dia beri aku segalanya yang aku butuhkan untuk melewati masa SMA ini. Memberiku spirit buat berjuang mengejar impian ke ITB. Mungkin agaknya kedekatanku dengan W agak membuat hubunganku dengan sobatku si T merenggang. Maafkan aku. Aku tahu bagaimana hancurnya seorang T. Dia ternyata memutuskan untuk menembak W. Dan mendapat penolakan. Itu aku dengar dari selentingan-selentingan kabar yang beredar di masa kelas 3. Aku turut merasa sedih, Terlebih ketika si T mulai menjauh dariku dan menyalahkanku atas semua ini. Menyebutku sebagai pengkhianat. Menyakitkan…sungguh. Aku sudah beberapa kali ingin sekali mengajaknya bicara baik-baik. Selalu mendapat penolakan. What the hell we do now???? SPMB sudah sebentar lagi, dan aku tak mau gagal. Aku tak mau menghabiskan energiku untuk masalah ini. Aku memutuskan untuk menjaga jarak dengan W maupun T. Akupun mengikuti USM. Tahukah apa yang membuat semangatku mungkin jauh berkali lipat dari orang lain? Pembatas buku itu aku gantungkan di papan ujian, dan menemaniku melewati masa USM dengan spektakuler.
Terlambat... Hari pengumuman tes tiba. Alhamdulillah semua jadi kenyataan. Si W ternyata diterima di farmasi ITB. Yeahhh! T diterima di MIPA. Terima kasih Tuhan, telah memberiku semua yang terbaik. Rasa yang kupendam ini semakin menggebu-gebu. Ingin meledak saja untuk membuat setidaknya dia tahu bahwa betapa berartinya dia buatku. Dari dulu, hanya terhalang oleh sahabat yang ternyata punya rasa yang sama terhadap orang yang sama. Tapi ternyata Tuhan tak izinkan itu semua. Ternyata W sudah memutuskan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Memukulku dengan telak. Semuanya jadi mendadak terasa tak penting. Sakit sekali. Mungkin tingkah lakuku agak berubah, dan W sadari itu. Aku tak acuhkan beberapa smsnya, dan lebih parahnhya ketika bertemu aku acuhkan juga dia. Merasa sangat bersalah, tapi tak tahulah…aku tak dapat mengontrol diriku. Sebulan berlalu, diriku berantakan. Sadar bahwa tak mungkin seperti ini terus, aku minta bertemu dengan W. Aku ingin bicara baik-baik Ketika bertemu itu, aku nyatakan bahwa aku cinta dia. Tertegun sebentar, dia lalu berkata “Kenapa ga dari dulu sih Yan?Aku ga tahu kalau kamu suka aku. Mungkin kalau kamu bilang dulu, aku bakal lebih milih kamu” Argh, perkataan itu jauh lebih sakit dari sekedar penolakan. Aku juga baru tahu kalau dia menolak T karena alasana perbedaan agama. “Ya sudah, tak apa. Kalau kita berjodoh, pasti bakal ada jalannya. Kalau kamu bahagia, aku coba ikut bahagia” , dengan hancur-hancuran aku berkata seperti itu. Perkataan yang sok bijaksana, tapi pada perkembangan selanjutnya ternyata tak seringan itu. Aku galau segalaun-galaunya. Sahabatku sekarang sebut aku pengkhianat, sedang sekarang dia sudah memutuskan memilih jalannya yang lain. Sempurna! Aku bergerak dengan penuh amarah. Setiap hari yang kulakukan hanya melihat status sosialnya di FS dan FB. Berharap bahwa dia tidak menjalin hubungan lagi. Tapi itu ternyata tak pernah terjadi, tahun berganti tahun. Tidak sehat, sungguh hidup seperti ini sangat tidak sehat. Tahun pertama semua energi marah ini masih bisa aku salurkan ke arah yang baik. Menjadi pelecutku untuk bisa buktikan bahwa aku lebih baik dari lelaki itu. IP-ku sangat-sangat berjaya, tapi tetap saja lukaku ini tak pernah terobati. Ketika masuk sipil, aku dalam kondisi payah seperti ini. 3 semester agak sampah di prodi. Akhirnya aku memutuskan untuk segera berubah di semester 6. Tak bisa terus begini.
Semester 6...Full of Miracles Strategi membabi buta aku terapkan di semester ini. Bagaimana tidak, aku memutuskan untuk mencoba mengambil 24 sks. Rekjal aku ulang di semester ini.. Aku juga memustuskan untuk mengikuti penelitian di Program Kreativitas Mahasiswa bersama David, Ariel, Ardian, Willy. Pokoknya semester ini harus menjadi semester kebangkitan. Aku harus kembali ke jalur kemenangan! Tiada kebangkitan tanpa wanita,hehe. I think I found her! Seseorang yang membuat mata ini terserang buta warna aneh. Semuanya berwarna hitam putih, hanya dia yang berwarna setiap aku melihatnya. Dan aku lelaki bodoh…tak tahu harus memulai dari mana 24 sks yang kulewati jadi lebih berwarna dan menyenangkan. Tiap hari memikirkan bagaimana cara mendekatinya. Chating-chating konyol tak jelas. Aku bahagia pokoknya. Motivasiku yang telah lama hilang telah kembali. Kuliah kembali menjadi sesuatu yang menyenangkan. Semangat tingkat tinggi! Semua beban, semua masalah, jadi terasa amat kecil dibanding dengan kemampuan aku untuk mengendalikannya. Puncak dari semua itu adalah prestasiku kembali terangkat. Keajaiban-keajaiban mengantarkanku kedalam IP mencapai 3,83. Semua nilai mencapai A kecuali Rekjal mendapat B dan AB Terima kasih atas semua keajaiban yang telah kau berikan.
Getting Closer... Bersyukur…itulah yang selalu aku akan lakukan. Tidak terasa perjalanan hidupku telah sejauh ini. Semakin terasa bahwa mimpi-mimpi semakin nyata. Aku telah menginjak tahun terakhir di ITB. Alhamdulillah. Meski tak selamanya muT, tapi semua yang terjalani, memberi pelajaran yang amat berasti. Tak ada penyesalan, tak ada rasa takut, tak ada yang tak bisa. Sekarang waktunya membidik apa yang aku lakukan setelah luT dari ITB. Aku ingin bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi lingkungan. Aku ingin menyelamatkan Iyan-Iyan yang lainnya, yang mungkin tak seberuntung aku. Sebentar lagi akan tiba waktuku untuk membentuk keluarga. Mudah-mudahan aku bisa menghasilkan keluarga yang memiliki semangat berjuang untuk membuat tatanan masyarakat yang lebih baik Berharap Tuhan selalu di pihakku dan memudahkan semua jalanku. Aku menangis terharu ketika mengetik ini, ketikan di masa terakhirku di ITB. Ayah….inilah aku anakmu. Semoga semua ini membuatmu bangga!
Ketika teman-teman berkata... Teman-teman adalah salah satu senjata terkuatku untuk menghadapi setiap situasi genting. Dan kini mereka hendak bertutur disini... ”Yan, boleh kan aku kasih komentar juga buat kamu. Boleh yah? Yan, kamu hebaaaaaaaaaaatttt banget. Baru kali ini aku kenal dengan orang kayak kamu, salut banget sama kamu. Kayanya aku harus banyak belajar dari kamu. Aku banyak belajar dari kamu Yan. Ternyata hidup ini harus ditempuh dengan begitu banyak perjuangan. Makasih Yan, dari biografi kamu itu, aku jadi makin semangat & tak mudah putus asa menjalani idup. Smangaaaaat Yan. Aq yakin kmu orang pilihan Allah yang bisa bertahan hidup seberat itu. Da kata2 penting jg dari Phytagoras neeh. Gini Yan: Tetaplah puas berbuat baik, dan biarkanlah rang lain membicarakan dirimu sesuka hati mereka”.
(Riana Ayu Kusumadewi TL ITB 07)
Re suka bahasa Iyan yang kemarin...nyeleneh, dalem, bikin nangis, kagum...biografi iyan c ksatria yg ceria
(Karinta Utami TL ITB 07)
Iyannnnn..........aku bingung mau mulai dari mana nih, pertama, ceritamu membuat aku menyesal. Alhamdulillah mungkin aku bisa dibilang nasibnya lebih beruntung darimu, tak pernah mencari uang sendiri, ada orang tua dan keluarga yang selalu support, tapi aku tak manfaatkan dengan baik. Membaca ceritamu aku jadi sangat bersyukur, kalau saya yang ada di posisimu, aku yang jadi artisnya nih, mungkin ceritanya tak akan begitu. Awal awal ngekost saja nangis melulu, membayangkan juga tak bisa deh... Itulah adilnya Allah ya, Allah yakin kamu bisa survive dengan keadaan yang begitu, kalau saya sih kayanya tak bisa, jadi artisnya kamu saja deh...heuheu... Umur kita sama, tapi pengalaman hidupmu udah kemana mana. Apa yang kemarin cuma ada di bayangan saja, bisa jadi kenyataan besok asal kita punya keinginan kuat. Kamu bisa jadi semuanya, Yan. Bisa jadi apa aja. Oke, aku Insya Allah bakal lebih mensyukuri hidupku sekarang, thanks ya... kayanya ‘kisahmu’ bisa diterbitkan, gud luck ya, iyan.... selamat menikmati perjuangan Kamu bakal survive dan tak menyangka kalau kamu bakal lebih strong dan lebih bisa survive di kehidupan nanti daripada orang kebanyakan. Selamat ya, iyan....
(Andita Rachmania D.P, TL ITB 07)
Aku suka banget dengan cerita perjuangan ayahandamu. Serasa nampar baru terasa gede banget artinya seorang ayah. Juga cerita Iyan kecil juga dirangkai dengan kata-kata yang bikin menyentuh. Keren. Moga biografimu bisa bikin pembacanya mengambil pelajaran dari situ, sudah sepertinovel pembangun jiwa,, dramatis. Coba kalau ada produser yang baca, kayanya bakal diminta untuk dijadikan sinetron tuh!. Iyan, maju terus ya! Ganbatte!
(Sari Ramadhani Putri, TL ITB 07)
You are not the next Soekarno You will be greater than him
(Alvin Ivan Handoko, Sipil ITB 2007)
Thanks to :
ArtDesign+Editor : diezta ©2oo7
Seni tambahan dan masukan: Alvin
dan semua orang yang telah membaca biografi ini!