1
2
3
Agus Sachari & Yan Yan Sunarya
MODERNISME: TINJAUAN HISTORIS DESAIN MODERN 1998
4
DAFTAR ISI Prakata
BAGIAN SATU: Pendahuluan 1.1 1.2 1.3 1.4
Desain: Cermin Peradaban Makna Desain Modern Pentingnya Bahasan Rangkuman BAGIAN DUA: Kebangkitan Desain Modern di Eropa 2.1 Bermula dari Logika dan Estetika Yunani Kuna 2.2 Pengaruh Revolusi Industri dan Rasionalisme Empiris 2.3 William Morris dan Gerakan Anti Industri (1850-1900) 2.4 Produksi Massa dan Art Nouveau (1890-1905) 2.5 Babak Awal Modernisme (1900-1917) BAGIAN TIGA: Modernisme dan Profesi Desain 3.1 Produksi Massa dan Sistem Amerika (1851-1930) 3.2 Fungsionalisme dan Bauhaus (1905-1937) 3.3 Estetika Mesin dan Desain Produk Industri (1900-1930) 3.4 Modernisme sebagai Tuntutan Gaya Hidup Baru (1928-1932) BAGIAN EMPAT: Gandrung Gaya dan Munculnya Selera Massa 4.1 Futurisme dan Teori Purisme (1909-1917) 4.2 Art Deco, de Stijl, dan Konstruktivisme (1925-1939) 4.3 Material Baru dan Gaya Streamlining (1935-1955) BAGIAN LIMA: Modernisme Baru dan Abad Teknologi Canggih 5.1 Munculnya Modernisme Baru (1955-1975) 5.2 Budaya Massa dan Masyarakat Konsumtif 5.3 Pop Modernisme 5.4 Bangkitnya Jepang sebagai Raksasa Ekonomi BAGIAN ENAM: Modernisme Digugat 6.1 Modernisme Mengalami Krisis 6.2 Menuju Era Globalisasi 6.3 Era Postmodernisme 6.4 Kebangkitan Negara Industri Baru: "Modernisme Timur" BAGIAN TUJUH: Desain Memasuki Abad ke-21 7.1 Era Berpikir Digital 7.2 Cyber Design dan Hiperealitas 7.3 Psycho Design dan Mega Ekstasi BAGIAN DELAPAN: Penutup
5
Buku Rujukan
Prakata Langkanya buku ajar keilmuan desain di Indonesia, menggugah penulis untuk menyusun buku tentang: "Perkembangan Desain Barat Modern", yang diharapkan dapat membantu memperluas khasanah desain dan seni rupa di Indonesia. Tulisan ini, dicoba untuk disusun dengan mengacu kepada runtut pandangan sosio-historis, sedangkan kupasan lebih ditekankan kepada terjadinya aspek perubahan dunia gagas dan penggayaan. Meskipun bersifat tumpang tindih, penulis mencoba menelaah kembali runtut historis berdasarkan interpretasi dan kajian dari beberapa sumber pustaka. Tahun yang dicantumkan dalam tulisan ini memang agak berbias, tumpang tindih, dan tidak mengacu kepada akurasi peristiwa. Hal tersebut dikarenakan fenomena yang terjadi bersifat "transparan" dan selalu berubah. Selain itu, pendekatan apresiatif berdasarkan gejala dan tandatanda yang dapat diidentifikasikan, merupakan metode yang dipilih agar lebih populer, terutama yang berhubungan dengan beberapa peramalan dan indentifikasi perkembangan desain abad ke21. Secara keseluruhan, tulisan ini semata merupakan "pembuka", sehingga diperlukan rujukan lain yang dapat memperkuat bukti-bukti empirik. Sikap "kurang tanggap" atau penyederhanaan peran desain yang selama ini terjadi di kalangan masyarakat ilmiah dan pemegang kebijakan di Indonesia, diharapkan dapat berubah menjadi sikap yang lebih objektif dalam menilai dan mengapresiasi karya-karya desain. Terlepas dari itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada: Prof. Wiranto Arismunandar, MSME. dan Biranul Anas yang mendorong terbitnya buku ini, pihak Depdikbud RI selaku panitia penerbitan buku ini, segenap rekan di Lab. Desain Produk Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, juga kerabat yang
telah membantu menyediakan bahan, maupun tukar pikiran dengan penulis. Dan terakhir kepada penerbit Balai Pustaka atas kesempatan penerbitannya. Bandung, 4 Juli 1998 Agus Sachari Yan Yan Sunarya
6
BAGIAN SATU
PENDAHULUAN 1.1 Desain: Cermin Peradaban
Pemahaman tentang dunia desain bukan semata menyimak karya desain sebagai barang mati atau artefak belaka, tetapi seharusnya merupakan kupasan terpadu, meliputi juga nilai-nilai budaya dan perubahan sosial-ekonomi yang menyertainya. Sudah menjadi kelaziman, bahwa desain bukanlah suatu hasilan yang berdiri sendiri; melainkan sebagai suatu tatanan peradaban yang hidup. Bahkan para ahli sejarah berpendapat, bahwa desain adalah suatu bentuk gabungan interaktif-sinergis antara manusia, alam, dan lingkungan sosialnya dalam arti yang luas, juga substansial. Desain, sebagai inti karya budaya fisik, lahir dari pelbagai pertimbangan pikir, gagas, rasa, dan jiwa penciptanya, yang didukung oleh faktor luar menyangkut penemuan di bidang ilmu dan teknologi, lingkungan sosial, tata nilai, dan budaya, kaidah estetika, kondisi ekonomi dan politik, hingga proyeksi terhadap perkembangan yang mungkin terjadi di masa depan.
Bagan: Begitu kompleks unsur-unsur yang membentuk nilai estetik desain. Hal ini menunjukkan, bahwa kegiatan desain mencakup segala aspek lingkungan hidup manusia yang senantiasa berkembang.
Sementara itu, di masyarakat kita, desain masih merupakan hal yang "tak disadari" (unconsious activity), atau bahkan sebagian kritikus menilainya sebagai karya seni "rendah". Kenyataan ini, mengakibatkan kurang dipahaminya kegiatan desain di negara kita, baik oleh para ilmuwan sendiri, pemegang kebijakan, kritikus seni maupun para pendidik. Desain dengan segala permasalahannya, terutama dari segi keilmuan, diyakini memiliki makna tersendiri, terutama dilihat dari unsur kesejarahannya. Di negara-negara maju, desain telah dianggap sebagai sesuatu "yang mewakili" peradaban bangsa, yang mewahani perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Hal itu terbukti dari banyaknya buku-buku dan karya tulis mengenai desain bahkan sangat populer, di samping menjamurnya perguruan tinggi desain, penghargaan profesi yang tinggi, kegiatan pameran, seminar, dan pusat-pusat riset desain. Singapura--1) misalnya, yang pada tahun 1980-an belum dikenal sebagai "negara desain", tetapi atas insiatif Kepala Negara dan Kementrian Luar Negerinya, melakukan terobosan untuk menyelenggarakan International Design Forum--2) dan usaha-usaha memajukan pendidikan tinggi desain di dalam negeri. Maka pada dekade 90-an, negara ini menjadi negara yang diperhitungkan dalam khasanah karya-karya desainnya. Demikian pula dengan Malaysia dan 7
Thailand, mengalami kemajuan pesat dalam program pengembangan desainnya. Dan jauh sebelumnya Philipina, atas insiatif Ibu Negara pada waktu itu, Ny. Imelda Marcos, mendirikan sentra-sentra desain kriya, negara ini kemudian menjadi kekuatan tersendiri dalam bidang desain di belahan timur.
Foto: Karya-karya desain negara tetangga kita, seperti: Malaysia, Thailand, dan Singapura, semakin menunjukkan kekuatan desain dalam menghargai sekaligus memajukan peradaban bangsa.
Foto: Raffles City Centre, sebuah kawasan yang didesain secara canggih dan modern, sangat efisien, dan estetik. Disitulah The First International Design Forum Singapore 1988 diselenggarakan. Kegiatan tersebut merupakan suatu upaya terobosan politis bagi peningkatan kesejahteraan negara.
Di samping itu, Pemerintah Singapura secara berkala memberikan anugerah desain: "The Design Council School Award (DCSA)" khusus untuk sekolah-sekolah menengah umum, yang dinilai memberi perhatian besar terhadap pendidikan desain sebagai upaya promosi desain. Karena itu secondary school, junior college, pre-university centre, menjadi sasaran DCSA. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan minat dan kesadaran desain para pelajar dan kaum muda dalam mengembangkan potensi desain yang dimiliki, serta menjawab kebutuhan industri Singapura, sehingga menambah kekuatan saing produk-produk buatan negara ini di masa depan. Semuanya itu, untuk meningkatkan kedudukan Singapura sebagai "negara sadar desain" (a design conscious country) di tengah masyarakat internasional. Dalam hal penyiapan sumber daya manusia, sebagai antisipasi terhadap pertumbuhan pesat usaha sektor industri manufaktur, yang sangat membutuhkan para tenaga ahli serta instruktur profesional di bidang desain, untuk itu Pemerintah Singapura sudah banyak menyiapkan institusi pendidikan desain. Pada tahun 1991 saja, Singapura sudah memiliki 5 pusat pendidikan yang menghasilkan lulusan desain yang sangat diperlukan di sektor industri-industri hilir, seperti: Temasek Polytechnic, La Salle School of Design, Nanyang Academy of Fine Arts, Tanglin Technical School, dan Institute of Design (kerjasama STDB dengan Nanyang Technological University). Jumlah ini sangatlah besar, jika dibandingkan dengan penduduk Singapura yang hanya berjumlah + 3 juta jiwa. Kebijakan ekonomi yang mengarah pada outward-looking strategy, dengan melakukan ekspansi ekspor produk-produk industri hilir, memanfaatkan potensi pasar internasional yang sangat besar, adalah kebijaksanaan ekonomi yang tepat bagi Singapura di dalam mengembangkan industri dalam negerinya. Oleh karena itulah, Singapura memandang sisi desain sebagai aspek yang menentukan bagi kekuatan saing produk industrinya. Karena bagi Singapura: "Desain saat ini, bukan lagi sekadar merupakan nilai tambah tetapi sudah merupakan nilai itu sendiri". Pokok pembicaraan industri Singapura sudah berlanjut pada pendayagunaan competitive edge, bahwa "desain" sebagai salah satu titik perhatian utamanya. Tidak mengherankan kalau saat ini, Singapura menempuh pelbagai cara mengatasi masalah keterbatasan lahan industri dan tenaga 8
kerja dengan menawarkan konsep segitiga pertumbuhan Singapura-Malaysia-Indonesia (SIJORI: Singapura-Johor-Riau), yang dalam kerjasama ini Singapura menjadi motornya. Hasilnya sudah dapat dilihat di Indonesia, saat negara Singapura ini sudah melakukan ekstensifikasi industri ke propinsi Riau di pulau Bintan (untuk industri ringan), di pulau Batam (untuk industri menengah), dan di pulau Karimun (untuk industri berat). (Sabar P. Situmorang, 1991) Indonesia sendiri, pernah menyelenggarakan kegiatan desain bertaraf internasional, di antaranya: seminar Desain Indonesia pada tahun 1975 yang dihadiri oleh tokoh-tokoh desain dunia, di antaranya: Carl Aubock, Kenji Ekuan, Misha Black, Victor Papanek, dll. Namun kegiatan itu, tidak berkesinambungan dengan kegiatan lanjutannya, sehingga kurun dua dekade setelah itu menjadi negara yang tertinggal dalam bidang desain. Baru pada akhir tahun 1994, atas insiatif Kepala Negara, dibentuklah Pusat Desain Nasional di bawah naungan Kementrian Koperasi yang meliputi pelbagai bidang profesi. Di pihak lain, peran desain dinilai semakin penting dalam peradaban manusia, terutama guna menunjang pertumbuhan industri dan peningkatan kualitas hidup manusia. Namun demikian, sejarah menunjukkan bahwa dampak sosial yang ditimbulkannya juga tidak kecil. Kenyataan mencatat, bahwa karya desain dan desainer tak dapat mengelak dari tanggungjawab sosial dan moral masyarakat, di samping juga sebagai "tanda-tanda" positif kemajuan bangsa yang beradab. 1.2 Makna Desain Modern Karya dan kegiatan desain dapat diinterpretasikan sebagai satu atau sekelompok "tanda" bermakna budaya, atau diinterpretasikan sebagai "kode" dalam konteks kebudayaan. Pemahamannya dapat disimak dari muatan "konotatif", yaitu sebagai karya fungsional, atau muatan "denotatif" sebagai jejak peradaban. Dengan demikian, mengupas perkembangan desain dapat digali ke dalam: a. Latar belakang terjadinya perubahan-perubahan masyarakat modern di negara Barat, khususnya yang berhubungan dengan nilai-nilai masyarakatnya; b. Menelusuri "jejak" sejarah desain ditinjau dari aspek sosial, pola pikir, dan peristiwa penting yang berhubungan; c. Mengkaji kemajuan gagas desain dan teknologi di pelbagai negara beserta dampak sosialnya; d. Memahami sejumlah perubahan dan pergeseran gagas desain, serta pengaruhnya kepada kelahiran sejumlah faham estetika, gaya hidup, dan dinamika pembangunan; e. Menilai dan menyimpulkan pola perkembangan desain di negara maju, sebagai bahan kajian lanjut bagi pengembangan ilmu Sejarah Sosial Desain, Metodologi Desain, Sosiologi Desain, Estetika Desain, Tinjauan Desain, Politik Pembangunan, dan Sejarah Kebudayaan; f. Sebagai studi perbandingan, tentang bagaimana interelasi antara perkembangan desain dan pertumbuhan masyarakat Barat. Harapan yang ingin dicapai, adalah untuk memberikan gambaran secukupnya bagi kerangka tinjauan sejarah sosial desain secara luas, dan masukan bagi kajian desain dari sudut lain. Di samping itu, aspek yang utama dari tulisan ini adalah munculnya apresiasi dan kesadaran, bahwa
9
negara-negara maju memiliki identitas kuat dari karya-karya desainnya, hal ini menandakan tingkat peradaban modern yang tinggi. 1.3 Pentingnya Bahasan Bahasan tentang perkembangan desain, hakikatnya merupakan kajian yang tidak bisa berdiri sendiri, tetapi cenderung sebagai kajian multidisiplin dan bersifat lintas-amatan. Seperti halnya sejarah sosial, yang perlu dikaji secara "berlapis" dan "transparan" antara fakta dan fenomena. Herodotus yang dikenal sebagai perintis penulisan sejarah sosial, menulis tentang: "Sejarah Perang Parsi" yang mencakup hampir segala aspek kehidupan masyarakat Athena, mulai dari aspek ekonomi, sosial, politik, hingga budaya. Melalui penggambaran secara runtut seluruh kehidupan masyarakat pada waktu itu, merupakan model yang dapat diadopsi sebagai kerangka acuan. Max Weber dan Emile Durkheim adalah perintis penulisan sejarah sosial abad ke-20, dengan menitikberatkan pada masalah kemasyarakatan. Kemudian Robinson, Karl Marx, dan Engels merupakan penerusnya. Dalam mengadopsi sejarah sosial, tinjauan historis bidang kesenirupaan umumnya disusun berdasarkan latar belakang sosial, proses kreatif sang seniman, kondisi ekonomi yang ada, dan etos masyarakat yang membuka kesempatan untuk berkarya dan berprestasi. Demikian pula dengan penyusunan sejarah desain, tidak terlepas dari permasalahan kemasyarakatan dan kondisi peradaban pada setiap "babak" yang dijalani. Sehingga diperlukan kajian berikatan dan runtut antara masing-masing faktor pembentuk sejarah. Faktor-faktor tersebut adalah unsur perubah kemasyarakatan dan budaya secara luas. Dalam kacamata masyarakat modern, unsur perubah tersebut adalah terjadinya: a. Proses akulturasi, merupakan proses bagaimana suatu masyarakat menghadapi pengaruh kebudayaan, baik dari luar maupun dari dalam dengan usaha mencari bentuk penyesuaian terhadap nilai dan sikap baru; b. Proses seleksi dengan pembiasan jenjang sosial yang ada, mulai dari usaha penolakan sampai penerimaan, bahkan hingga terbentuknya konflik sosial; c. Proses perubahan masyarakat dari heterogenitas yang inkoheren menuju heterogenitas yang koheren. Kemudian perubahan struktural dari Gemeinschaft ke Gesselschaft (Tonies), atau perubahan dari masyarakat bersolidaritas mekanis ke masyarakat bersolidaritas organis (Durkheim) yang kemudian dikenal sebagai Social Darwinism (perubahan struktural); d. Proses transformasi struktural yang dapat mengubah sistem sosial berdasarkan suatu revolusi berkonflik; e. Proses integrasi dan disintegrasi yang silih berganti sehingga mempengaruhi suatu sistem kemasyarakatan secara fundamental; f. Proses strukturasi hubungan sosial dalam masyarakat yang semakin kompleks sehingga membentuk suatu sistem; g. Proses perkembangan dan pertumbuhan, baik peningkatan kapasitas untuk mempertahankan keberadaannya, penyesuaian terhadap lingkungan, dan cara efektif untuk mencapai tujuannya. Adapun wilayah bahasannya, sebagai berikut: 10
a. Pokok bahasan dititikberatkan kepada kehidupan desain, baik desain produk industri (industrial design), desain grafis (graphic design), desain interior, arsitektur dan mode pakaian (fashion, textile) yang berlangsung sekitar tahun 1850 hingga tahun 1990-an. Meskipun tidak menutup kemungkinan untuk membahas fenomena lain yang mendukung dan memperjelas fokus dari tema tulisan, dengan memproyeksikan fenomena yang berlangsung ke arah abad XXI. b. Kupasan kesejarahan dan data rupa yang digunakan sebagai acuan utama adalah buku-buku dari negara Barat. Sehingga aspek pemikiran Barat, propaganda, dan Westernisme akan tampak sebagai kebenaran tunggal yang harus kita terima. Untuk itu, kita perlu melihatnya secara kritis dengan cara memperbandingkannya dengan perkembangan lain yang lebih makro; c. Beberapa teori dasar sejarah desain yang diacu, adalah pendapat John A.Walker (Design History & The History of Design) yang menekankan pentingnya melihat sejarah desain dari wacana dinamika sosial yang mempengaruhi proses desain berlangsung, serta pengaruhnya kepada masyarakat luas; d. Sumber pertimbangan lain yang penting dalam kupasan ini, adalah pendekatan ilmu sosial dan metodologi sejarah yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo, yang menekankan pentingnya melihat sejarah sosial dari perubahan yang terjadi serta paradigmanya. 1.4 Rangkuman Tata cara bahasan tinjauan historis desain dapat didekati melalui model penulisan, di antaranya: a. Model Evolusi; model kesejarahan yang menggambarkan perkembangan sosial secara unilinear, mengikuti jenjang dan pentahapan ke arah kemajuan; b. Model Organis; penggambaran pertumbuhan sosial mengikuti gerak siklus; c. Model Telos, penggambaran sejarah yang diarahkan oleh kekuatan untuk menuju suatu tujuan; d. Model Dialektis, penggambaran sejarah berdasarkan adanya kekuatan-kekuatan sosial yang bertentangan dan mengikuti pola dialektika (tesis-antitesis-sintesis); e. Model Adaptasi, penggambaran sejarah yang didasarkan kepada usaha penyesuaian diri dari suatu masyarakat, dengan menciptakan struktur sosial baru. Model yang dipergunakan oleh penulis, cenderung merupakan kombinasi dari beberapa model di atas. Meskipun model adaptasi merupakan paradigma yang banyak dianut oleh para ahli sejarah sosial. Penulis berkeyakinan, bahwa penerapan aneka model di atas dengan interpretasi baru, merupakan hal yang menarik dalam memaparkan perkembangan desain. Ini mengingat, bahwa paparan desain walaupun ditekankan pada segi sosiologisnya, unsur kreatif, dan tanda-tanda rupa "baru" yang muncul dalam setiap babak perkembangan, merupakan fenomena khas dari masyarakat tertentu. Itulah unsur utama yang perlu diungkapkan dalam mengkaji desain. Namun demikian, kita juga tidak bisa melihat semata dari segi perubahan visual saja, tetapi perlu menyimak dari segi konsep, ideologi, gagas kreatif, dan konteksnya. Ini menimbang, bahwa bentuk atau bahasa rupa bisa sama atau mirip, tetapi konsep dan gagas kreatifnya merupakan unsur kebaruan yang dapat mengubah pola historisnya. Bahkan dalam beberapa karya desain "Postmodernisme" misalnya, terjadi tumpang tindih dengan "tanda-tanda rupa" masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Unsur baru yang kerapkali disimak sebagai bagian dari "makna historis", seringkali rancu dan memiuhkan struktur kesejarahan secara keseluruhan. Malahan 11
dalam beberapa segi, banyak tokoh desainer dalam satu dekade berubah prinsip atau gaya, sehingga perlu ditelusuri pula latar belakang yang mendorongnya demikian. Dalam tulisan ini, penulis mencoba menjabarkan uraian perkembangan desain di Barat atas beberapa bagian: Bagian Satu, berisi pengantar sekaligus kerangka dari keseluruhan tema bahasan. Di dalamnya terurai tentang latar belakang, tujuan, rumusan, batasan, dan metode bahasan yang dipergunakan dalam menyimak perkembangan sejarah desain, terutama di Amerika, Eropa, dan beberapa negara lainnya mulai dari pertengahan abad ke-19 hingga akhir abad ke-20. Bagian Dua, merupakan uraian tentang metodologi berpikir modern dan pengaruhnya terhadap desain, serta pengaruh Rasionalisme dan Revolusi Industri di Eropa terhadap munculnya desain modern. Kemudian lahirnya Art Nouveau sebagai implikasi dari keadaan sosial pada waktu itu, pengaruh gerakan Arts & Crafts yang dipelopori William Morris, dan munculnya bibit-bibit Modernisme dalam kehidupan masyarakat Eropa, acapkali diistilahkan sebagai cikal bakal munculnya Modernisme Awal (Proto-Modernism). Bagian Tiga, menguraikan awal terjadinya Modernisme dan munculnya mazhab Fungsionalisme. Kemudian hadirnya Bauhaus sebagai lembaga desain yang penting pada waktu itu, dan perannya sebagai perubah mazhab desain yang ada. Selanjutnya, dengan meluasnya industrialisasi di Eropa dan Amerika yang melahirkan produk massa, standarisasi, dan peran desain yang semakin besar, akibatnya, lahirlah apa yang dikenal sebagai "estetika mesin" (machine art) sebagai awal dari Modernisme dalam profesi desain. Bagian Empat, perkembangan teknologi, situasi politik, dan munculnya pelbagai mazhab kesenian, membangun hasrat merias aneka produk dengan pelbagai citra dan ornamen. Muncullah gaya Art Deco sebagai runtut dari Art Nouveau yang melanda hampir semua barang di Eropa beberapa dekade sebelumnya. Paralel dengan keranjingan untuk merias, muncul selera massa baru berikut diketemukannya aneka material sintetis baru, hukum aerodinamika, sehingga melahirkan mazhab baru yang dikenal sebagai gaya Streamlining (pelancipan) melanda aneka produk pada masa itu. Bagian Lima, terjadinya semangat rekonstruksi akibat Perang Dunia II, menyebabkan terjadinya penyesuaian terhadap perubahan lingkungan baru. Diketemukannya radio tabung, transistor, dan IC (Integrated Circuit) mengakibatkan perkembangan desain mengarah kepada miniaturisasi, di samping juga pertumbuhan penduduk yang pesat dan menyempitnya lahan. Krisis minyak dan depresi ekonomi pada fase ini, menyebabkan banyak terjadi usaha penghematan bentuk dalam desain. Di pihak lain, keberhasilan manusia mendarat di bulan, juga merupakan tonggak tersendiri dalam menyatakan eksistensinya di alam semesta, dan mempengaruhi mazhab berungkap rupa, misalnya terlihat pada pemunculan gaya Hi-Tech. Bagian Enam, akibat pertumbuhan ekonomi negara-negara Barat yang mulai membaik dan kejenuhan akan modernisasi di semua sektor, muncul kritik-kritik yang ditujukan kepada kegagalan Modernisme. Timbul alternatif-alternatif baru yang menawarkan aneka gagasan di belakangnya. Sejalan dengan itu, globalisasi merupakan isu internasional yang dikumandangkan oleh penggagas masa depan: McLuhan, Toffler, Naisbitt, Ohmae, dan banyak lagi. Selain itu, 12
falsafah umum Post-Strukturalis dan Dekonstruksi(isme) mewarnai kehidupan kaum PostModern. Tampaknya, dunia sudah diarahkan ke suatu tujuan tertentu oleh para filsuf dan penggagas masa depan. Hal ini dipertegas oleh terjadinya krisis lingkungan dan sosial, mulai dari krisis lubang ozon hingga mempertanyakan kembali makna kemanusiaan. Dari perkembangan ini terlihat, bahwa pola perkembangan desain terarah kepada satu tujuan tertentu sebagai bagian dari wacana budaya dunia. Bagian Tujuh, merupakan paparan yang berisi kupasan pelbagai gejala adanya perubahan pola pikir sedunia, akibat teknologi informasi yang memicu terjadinya reorientasi kebudayaan manusia yang mengarah kepada "logika digital". Mengingat pengaruhnya yang besar kepada dunia desain, akibat penggunaan "otak buatan" yang merupakan perpanjangan kecerdasan manusia (artificial inteligence) dan imajinasi manusia (virtual worlds), maka pada abad ke-21 diprediksikan, bahwa kemungkinan besar akan terjadi perubahan-perubahan yang spektakuler dalam dunia desain. Tidak hanya muncul dari gaya, tetapi juga metodologi berpikirnya. Bagian Delapan, merupakan simpulan yang berisi rangkuman dari seluruh bahasan yang dilakukan, serta sejumlah saran bagi perkembangan desain di Indonesia. Catatan Kaki 1) Singapura sebagai negara transit, merupakan negara kecil yang lebih tepat disebut "negara kota". Berpenduduk multi rasial dengan beragam corak budaya yang sangat kontras. Membuat negara ini penuh dengan perbauran kebudayaan yang sangat berbeda, apalagi ditunjang dengan status Singapura sebagai negara transit yang sangat strategis. Situasi demikian, telah "menenggelamkan" kebudayaan tradisional negaranya sendiri, sebagai negara Melayu yang serumpun dengan Malaysia dan Indonesia. Penduduknya terdiri atas: 76 % masyarakat Cina, dari seluruhnya yang berjumlah + 3 juta jiwa. Masyarakat Melayu Singapura hanya 15,1 % dari populasi dan 6,5 % penduduknya berdarah India, serta 2,4 % adalah masyarakat Eurasia keturunan Portugis, Armenia, dan Yahudi. Pada tahun 1990, atas inisiatif Perdana Menteri Lee Kuan Yeuw dan Kementrian Luar Negerinya, Singapura memutar haluan menjadi negara "proaktif" dalam desain. Negara ini menyadari, desain berpotensi sebagai ujung tombak ekonomi dan bisnis Singapura di masa yang akan datang. Tindak lanjut Pemerintah Singapura setelah itu adalah membuka Singapore Design Center yang lengkap, peningkatan pendidikan tinggi desain, dan membuka diri terhadap para desainer asing kelas dunia. Secara rutin, Singapura menyelenggarakan International Design Forum, pameran desain, dan lomba desain yang bergengsi. (Sabar P. Situmorang, 1991) 2) Pertemuan akbar dengan judul: "First International Design Forum Singapore 1988", itu akan mengambil tempat di Raffles City Convention Centre. Negara yang mempergelarkan hasil desain mereka antara lain: Jepang, Inggris, Italia, Amerika Serikat, Jerman Barat, dan Singapura sendiri. Pameran tersebut diberi bobot dengan diselenggarakannya konferensi yang diisi dengan seminar, ceramah, workshop, konsultasi desain, dst. First International Design Forum Singapore 1988 ini, diorganisasikan oleh Singapore Trade Development Board, sebuah badan penyelenggara promosi perdagangan negara Singapura, dalam pembinaan perdagangan internasionalnya. Sedangkan pengelola pameran dan konferensi itu sendiri dilakukan oleh Times Conferences Pte. Ltd. First International Design Forum ini merupakan tempat berkumpulnya desainer-desainer dari seluruh dunia, pengusaha, industri, dosen-dosen desain, mahasiswa desain, dan para ahli di bidang ekonomi perdagangan. Pertemuan akbar desain di Asia Tenggara ini, mendapatkan dukungan dari: - International Council of Societies of Industrial Design (ICSID); 13
-
The Chartered Society of Designers (CSD), Inggris; Industrial Designers Society of America (IDSA), Amerika Serikat; Japan Industrial Designers Association (JIDA), Jepang; Associazione per il Disegno Industriale (ADI), Italia; Verband Deutscher Industrie-Designer eV (VDID), Jerman Barat; Design Institute of Australia (DIA), Australia; Designers Association of Singapore (DAS), Singapura. (Majalah Asri, 1988)
14