DESAIN DAN UU HAKI_Yan Yan Sunarya --- 1
DESAIN DAN UU HAKI Artikel HU Pikiran Rakyat, 2000 Oleh: Yan Yan Sunarya
Dewasa ini pemerintah telah meningkatkan mutu desain produk unggulan, melalui pengembangan industri yang mengakselerasi tuntutan pasar. Namun akan merupakan kerugian, bila potensi desain tak disertai dengan perlindungan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) baik secara individual (desainer) maupun kolektif (pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga). Oleh karena itu, persoalan para pelaku HAKI -khususnya desainer (sebagai pencipta atas kekayaan intelektual desain)-- agar dicari strateginya, sehingga mereka dapat berperan aktif dalam era pemberlakuan UU HAKI.
Wajah Desain Kita Indonesia memiliki desain asli dalam bentuk peninggalan masa lalu yang tersebar di berbagai daerah, misalnya: batik, tenun ikat, keramik, rajahan, ragam hias arsitektur, dst. Hal itu menandakan, bahwa kita amat kaya dengan karya intelektual secara tradisi; apalagi jika dipatenkan, maka karya-karya ini terlindungi dari pihak yang bermaksud mematenkan khasanah budaya milik bangsa kita, menjadi milik budaya bangsa lain. Pasca krisis ekonomi, kita melihat berbagai pihak berupaya mengembangkan desain sebagai potensi industri. Walaupun awalnya, desain yang berkembang di masyarakat kita merupakan produk yang dihasilkan secara kolektif. Hal ini melahirkan sikap, bahwa di antara desainer tak ada yang merasa memiliki suatu desain. Bila keadaan itu dihadapkan pada fenomena desain modern, dimana desainer memiliki hak atas ciptaannya, maka bila desain itu diproduksi, tidak ada jaminan bahwa produk
DESAIN DAN UU HAKI_Yan Yan Sunarya --- 2
tersebut tidak ditiru. Di sinilah letak perlindungan HAKI berperan dalam melindungi desain. Isu persaingan bersifat regional-internasional harus diantisipasi oleh semua negara di dunia. Negara maju dengan kekuatan tekno-ekonominya senantiasa mendorong kebebasan arus barang/jasa dari suatu negara ke negara lain. Fenomena itu diikuti oleh ekspansi budaya dari negara maju ke kawasan sekitarnya melalui desain produk industri serta media informasi yang artifisial dan seragam. Untuk itu, tuntutan terhadap identitas lokal akan menjadi kebutuhan. Dengan demikian, Indonesia dengan potensi desain, harus menentukan orientasi produksi dan meningkatkan kesadaran untuk menguasai unsur-unsur lokal, peningkatan SDM, teknologi dan keterampilan dalam meningkatkan kualitas desain sebagai produk unggulan yang sulit disaingi di kawasan regional-internasional. Perlu digarisbawahi, bahwa perguruan tinggi seni rupa dan desain telah memberikan sumbangannya kepada pengembangan desain di Indonesia melalui gagasan desain yang ditularkan kepada pengrajin tradisional. Dengan begitu muncul desain baru, citraan baru dan pasar baru. Tetapi pada titik ini perlu dicermati, “Adakah temuan baru itu sudah didaftarkan hak ciptanya?” Dilengkapi dengan persoalan pensyaratan kebaruan bagi produk desain dalam UU HAKI, yang notabene desainer biasanya menyukai untuk memodifikasi, meniru dan mendiversifikasikannya ke dalam desain “praktis” dengan cara melihat majalah desain terbitan dalam negeri dan luar negeri. Berkenaan dengan perlindungan HAKI bagi desain, diberikan waktu 10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan paten, dan untuk pengurusannya dikenakan biaya. Berapapun jumlah biayanya, namun desainer belum tentu mendapatkan manfaat langsung berupa kembali modal sebesar jumlah uang
DESAIN DAN UU HAKI_Yan Yan Sunarya --- 3
pendaftarannya. Sebab beberapa persyaratan lain, juga proses pengajuannya memerlukan biaya tidak sedikit, misalnya: membuat foto, portofolio berikut spesifikasi, ongkos transportasi dan penyediaan waktu untuk mengurusinya.
HAKI bagi Pemberdaya Ekonomi-Perdagangan Mengantisipasi pemberlakuan UU HAKI, tentu saja kita perlu menargetkan pemilikan paten WNI di negara sendiri, minimal 10% pada awal tahun 2000. Bila tidak, jangan terkejut kelak banyak komoditas ekspor kita yang tiba-tiba diembargo oleh negara maju, karena tidak bersertifikat paten (kasus terakhir diberitakan media lokal edisi Nov 1999, tentang klaim miniatur perak Borobudur sebagai milik pengusaha Amerika). Melihat ironi itu, pengurusan HAKI oleh desainer menjadi keharusan, dimana mereka akan tenang mengonsentrasikan pikirannya dalam membuat desain baru tanpa memikirkan pembajakan atas ciptaannya. Iklim itu hanya akan diperoleh bila tersedia perangkat UU HAKI yang memadai beserta kemudahan pengurusannya, dukungan dari penegak hukum dan peranserta masyarakat untuk menghormati dan menghargai ciptaan orang lain. Selain pembatasan prinsip fungsi sosial, UU HAKI pun mencegah penyalahgunaan paten, yang menjurus pada praktek dagang yang merugikan pihak lain, masyarakat dan ekonomi negara. Di pihak lain, negara maju kerapkali mengandalkan kegiatan ekonomi dagangnya pada produk hasil kemampuan intelektual. Kini mereka banyak menikmati keuntungan berupa royalti, fee dan bentuk lisensi lain dari penjualan paten kepada mitranya di banyak negara, termasuk Indonesia. Alhasil, sebenarnya kita pun bisa meningkatkan pendapatan desainer melalui cara-cara nyata seperti itu. Membahas peningkatan pendapatan desainer melalui keuntungan royalti, penulis menganalogikan dengan teori Kapitalisme, bahwa ia bekerja dengan pertukaran
DESAIN DAN UU HAKI_Yan Yan Sunarya --- 4
komoditas (desain), dan semuanya dilibatkan berdasarkan status desainer sebagai pelaku pertukaran komoditas. Bahkan desainer yang tak bermodal sekalipun memiliki suatu komoditas berupa kemampuannya bekerja, yang ia tukarkan dengan pemilik modal sebagai mata pencahariannya. Menurut Karl Marx, kelas pekerja (=desainer) dalam masyarakat kapitalis, terdiri dari mereka yang tak memiliki sumber produktif sendiri, dan sebab itu memiliki sedikit atau tak memiliki pilihan lain kecuali bekerja bagi mereka yang memilikinya --kaum kapitalis. Sebagai gantinya, mereka menerima upah. Para kapitalis telah banyak “merampas” kerja itu dalam bentuk keuntungan dari penjualan komoditas yang dihasilkan. Contohnya, bila mereka yang memiliki kekuasaan yang lebih besar di pasar, dengan jalan memonopoli komoditas penting, melalui transaksi dapat mengeruk surplus dari mereka yang memiliki kekuasaan lebih kecil. Kondisi ini dianggap penulis paling merugikan desainer, jika tidak segera mendapatkan perlindungan HAKI atas nama dirinya; sebab royalti hanya dinikmati oleh para kapitalis pemegang hak paten desain.
Strategi Menghadapi UU HAKI Indonesia sebagai negara berkembang memang dapat mengganggap, bahwa “mencuri” atau membeli lisensi paten negara lain lebih menguntungkan, karena tak perlu membayar royalti tinggi. Namun cara ini tidak bisa diterapkan terus-menerus, sebab cap bangsa yang suka “mencuri” atau membeli lisensi juga akan mengurangi arus modal asing masuk ke Indonesia. Di samping itu guna menjawab tantangan pemberlakuan UU HAKI, dapat dibagi ke dalam beberapa cara: (a) meningkatkan kualitas dan kuantitas desain; (b) menyiasati UU HAKI bagi desainer yang belum siap; (c) mengharapkan
DESAIN DAN UU HAKI_Yan Yan Sunarya --- 5
pemda --dalam rencana pemberlakuan Otonomi Daerah-- guna memayungi desain produk kolektif. Metode peningkatan kualitas dan kuantitas desain, diawali: (a) mengatasi perkembangan desain di Indonesia yang relatif lambat, dengan mengambil jalan pintas melalui penelitian terapan dan pengembangan produk secara berjenjang; (b) bahwa sedikit pengusaha yang berani mengambil resiko dalam memunculkan desain baru, sehingga variasi desain yang ditempuh sebagai jalan pragmatis; (c) melepaskan ketergantungan kepada barang yang dibuat tidak melalui proses yang benar: meniru, membajak, memalsukan; (d) menghasilkan desain untuk konsumen dalam negeri. Dengan memperhatikan peran desainer dalam peningkatan dan pengembangan desain produk industri, diperlukan upaya untuk mewujudkan iklim yang baik bagi kegiatan penemuan dan perangkat untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hasil kegiatan itu. Hal ini jika dihubungkan dengan persoalan pensyaratan kebaruan bagi produk desain dalam UU HAKI, maka kebaruan itu diatasi dengan orientasi terapan metode semiotika-aplikatif dari segi bentuk, warna, garis, komposisi, meskipun tidak asli namun menampilkan produk yang bersifat eklektik dalam kerangka Posmodern. Menanggapi ketertinggalan kita dalam jumlah paten, maka desainer dapat menempuh dengan cara mempublikasikan desainnya minimal dalam media massa lokal agar dapat diklaim menjadi miliknya, lalu didaftarkan kepada kantor HAKI. Dapat pula desain itu telah dipertunjukan dalam pameran lokal-regional-nasional yang diakui resmi di Indonesia seperti pada Pameran Dekranas, Pekan Raya Jakarta, Pasar Seni, Festival Istiqlal, menyertakan katalog berisi seluruh desain peserta pameran yang dianggarkan untuk menerima perlindungan HAKI dari Pemerintah Pusat atau Pemda setempat.
DESAIN DAN UU HAKI_Yan Yan Sunarya --- 6
Kemudian, dengan upaya dari perguruan tinggi yang memiliki kantor urusan HAKI, dengan menyatakan bahwa desain itu telah digunakan dalam rangka percobaan dengan tujuan pendidikan, penelitian atau pengembangan. Bahkan keengganan desainer untuk mematenkan karyanya, diatasi melalui peran kerjasama dengan pengusaha untuk memberikan seluruh pengadaan biaya pendaftaran beserta prosesnya. Adapun pembagian royalti dapat diatur dengan pola sama-sama untung. Seharusnya pemerintah memperhatikan dan memberdayakan desainer yang kurang mampu dalam penanganan perlindungan HAKI. Pemerintah dapat menjadi lembaga yang memayungi hampir seluruh desain unggulan yang bernilai ekspor. Pemerintah seyogyanya sesegera mungkin mendaftarkan seluruh kemampuan desain kita baik dilihat dari segi teknik, produk dan merek. Bahkan pemerintah harus berlomba mengajukan permohonan paten tersebut agar menjadi pemegang hak paten atau hak cipta pertama. Sehingga tidak mudah diserobot orang lain atau pihak luar. Dengan demikian, terdapat hubungan mutualistis antara desainer yang dilindungi hasil karya ciptanya --menghasilkan pemasukan berupa royalti, fee, hasil penjualan-- dan pemerintah yang memperoleh keuntungan dalam bentuk perolehan hasil pajak penjualan serta perbendaharaan artefak kebudayaan sebagai ciri bangsa yang menghargai kekayaan intelektual bangsanya sendiri. *) Yan Yan Sunarya, Dosen dan Peneliti Desain-Kriya ITB