Relevansi dan Titik Temu Filsafat Ilmu Pengetahuan Bagi Bidang Desain Artikel Tidak Dipublikasikan Oleh : Yan Yan Sunarya Program Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, Program Pasca Sarjana ITB, 2009
Sebelum menguraikan jawaban dari topik di atas, terlebih dulu saya ambil posisi bahwa pertelaan yang akan saya jelaskan bertumpu pada sudut pandang historis bidang desain yang bertautan dengan bidang filsafat. Bukan menjelaskan antara pertautan suatu teori di antara keduanya, -‐-‐walaupun ada, namun membutuhkan telaah intensif; melainkan pertautan fenomena konseptual substansial sebagai wujud titik temu di antara kedua bidang tersebut. Diawali dengan pemahaman tentang dunia desain, adalah bukan menyimak karya desain sebagai artefak belaka, tetapi merupakan kupasan terpadu, meliputi nilai-‐ nilai budaya dan pemikiran, serta perubahan sosial-‐ekonomi yang menyertainya. Desain bukan suatu hasilan yang berdiri sendiri; melainkan sebagai suatu tatanan peradaban yang hidup. Bahkan para ahli sejarah berpendapat, bahwa “desain adalah suatu bentuk gabungan interaktif-‐sinergis antara manusia, alam, dan lingkungan sosialnya dalam arti yang luas dan substansial” (Walker, 1989). Desain, sebagai inti karya budaya fisik, lahir dari berbagai pertimbangan pikir, gagas, rasa, dan jiwa penciptanya, yang didukung oleh faktor temuan di bidang ilmu dan teknologi, lingkungan sosial, tatanilai, budaya, kaidah estetika, kondisi ekonomi dan politik, hingga proyeksi terhadap perkembangan yang terjadi di masa depan. Desain, menurut pandangan dunia modern, secara substantif tidak bisa dilepaskan dari dunia gagas manusia, yaitu: unsur akal (rasio, logika, pikiran, ide, dst.) dan unsur rasa (kreativitas, intuisi, ilham, selera, nilai-‐nilai, dst.). Oleh karena itu, dalam menyimak desain dan perkembangannya, tidak terlepas dari akar dunia berpikir (filsafat) dan sejarah keseniannya. Apabila saya tarik ke hulu, maka “keberkaitan dunia desain dengan filsafat adalah bermula dari logika dan estetika Yunani Kuno” (Sachari, 1999). Kebudayaan Yunani Kuno dinilai oleh para ahli sejarah sebagai peletak dasar peradaban Barat hingga kini, terutama sebagai cikal-‐bakal kelahiran pemikiran modern. Dalam kerangka historis yang menyangkut dunia desain, ada dua fenomena yang menjadi landasan yaitu: (1) proses berpikir ‘desainer’ yang kemudian melahirkan metodologi desain modern, tidak terlepas dari dinamika filsafat keilmuan dan pola pikir rasional; (2) proses penciptaan yang bermuatan nilai-‐nilai estetika modern, juga tidak bisa terlepas dari dinamika sejarah kesenian Barat sejak zaman Yunani Relevansi dan Titik Temu Filsafat Ilmu Pengetahuan Bagi Bidang Desain, Yan Yan Sunarya -‐-‐-‐ 1
Kuno. “Walaupun dalam perkembangannya terjadi proses simbiosis dan inkulturasi dengan dinamika besar kebudayaan kuat lainnya. Namun hakikatnya, proses terbentuknya kebudayaan modern, tidak bisa terlepas dari dasar-‐dasar logika yang telah berkembang sejak zaman Yunani Kuno” (Sachari, 1995). Yunani Kuno dikenal sebagai peletak sumber kelahiran pemikir-‐pemikir besar yang membentuk pikiran Barat modern. Alam pikiran Yunani kemudian dikenal sebagai ‘dunia filsafat’ (philosophia) atau dalam pandangan modern disebut sebagai dunia keberpikiran yang “memiliki kebijaksanaan dan keluhungan” (Bertens, 1981). Ada tiga faktor utama yang mendasari terbentuknya alam filsafat Yunani, yakni : a. Dunia mitologi; tumbuh dalam masyarakat Yunani, sebagai wahana pemberi jawaban atas pertanyaan yang hidup dalam sanubari manusia sepanjang masa. Misal: Siapa pencipta alam semesta? Darimana asal diri kita? dst. Bangsa Yunani kemudian mencoba menyusunnya secara sistematis dan berusaha menghilangkan mitos-‐mitos lain yang bertentangan. Kenyataan itu, oleh para pemikir modern dianggap sebagai cerminan sifat rasional bangsa Yunani; b. Kesusastraan; sebagian besar berisi tentang ihwal yang berhubungan dengan legenda, amsal, dongeng, mitos, teka-‐teki, syair, dst., yang juga banyak digunakan sebagai alat pendidikan; c. Ilmu pengetahuan; bangsa ini mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dengan tingkat keilmiahan tinggi. Walaupun untuk itu, mereka menyadur dari bangsa Mesir untuk bidang ilmu hitung dan ukur (Geometria). Ilmu pengetahuan dan filsafat tumbuh di polis-‐polis, disebabkan rakyat bebas berpendapat dan menciptakan iklim yang membentuk sikap ilmiah. Hal lain yang menyebabkan dunia gagas Yunani tumbuh, disebabkan oleh: a. Berkembangnya logos (rasio, bahasa, pikiran, gagas); bukan sekadar bahasa keramat keagamaan, sebagaimana dijumpai pada dunia kepercayaan primitif, melainkan berperan sebagai alat komunikasi politik, diskusi, pengadilan, pidato, dst. Pada tahap berikut logos berkembang/berhasil membangun “ilmu retorika” (Wuwur, 1995), logika sistematis, dan “sofisme” (Hadiwijono, 1994). b. Keterbukaan; dalam semua aspek kehidupan sosial dan pengutamaan kepentingan negara daripada pribadi, menumbuhkan sikap yang positif di kalangan masyarakat; terbuka terhadap kritik; serta lintas informasi kala itu telah terbina baik. Hal itulah yang menciptakan suasana dan sikap ilmiah; c. Kesederajatan; setiap warga berhak mengambil bagian dalam urusan kenegaraan. Hal itu yang memicu pengembangan bakat dan profesionalisme. Suasana di atas, dianggap menumbuhkan kegairahan dunia pikir (filsafat) menuju kepada suatu yang rasional, ilmiah, demokratis, bebas, dan berkembang seluas-‐ luasnya menurut pandangan manusia modern.
Relevansi dan Titik Temu Filsafat Ilmu Pengetahuan Bagi Bidang Desain, Yan Yan Sunarya -‐-‐-‐ 2
Kembali pada hal logika, Aristoteles dianggap tokoh yang paling sistematis dalam menguraikannya, kemudian dikenal dengan istilah ‘analitika’ untuk argumentasi yang diyakini kebenarannya; dan ‘dialektika’ untuk argumentasi berupa hipotesis yang belum diyakini kebenarannya; keduanya ini, kemudian dikenal sebagai logika. Aristoteles membagi logika atas: (1) mempertimbangkan, (2) menarik kesimpulan, dan (3) membuktikan argumentasinya. Dari semua itu, substansilah yang menjadi intinya; sedangkan yang lain ialah unsur penyebut, pelengkap, atau penentu. Pernyataan kita dapat dianggap benar jika isinya sepadan dengan kenyataan; sedangkan suatu pernyataan dianggap salah, jika terjadi pemisahan antara isinya dengan keadaan objektif (Hatta, 1989). Menurut Aristoteles, pengetahuan baru dapat dihasilkan melalui dua jalan, yaitu : a. Induksi; pengetahuan yang bertolak dari kasus khusus yang mengarah kepada pengetahuan yang bersifat umum. Proses ini dilakukan dengan cara mengkaji beberapa contoh soal. Dan atas dasar itu dipakai dasar untuk menyimpulkan hukum yang bersifat umum, termasuk kasus yang belum diselidiki. Contoh dalam disertasi bidang ilmu desain, Imam Santosa (2006), “Kajian Estetika dan Unsur Pembentuknya pada Keraton Surakarta”, sbb : “. . . Mengingat perannya tersebut, maka timbul sejumlah pertanyaan pokok dan dugaan terhadap estetika desain Keraton Surakarta sebagai berikut : 1. Bagaimana proses ide-‐ide, gagasan-‐gagasan, nilai-‐nilai, norma-‐norma, konsep-‐konsep serta peraturan-‐peraturan dalam sistem budaya Jawa melandasi perwujudan visual desain Keraton Surakarta (reperesentasi)? 2. Sejauhmana fungsi-‐fungsi pragmatik dan utilitarian melandasi perwujudan visual desain Keraton Surakarta (forms follows function)? 3. Apa peran dan makna estetik serta posisi desain bagi Keraton Surakarta khususnya serta budaya Jawa pada umumnya (estetika)? Dari pertanyaan (1), (2), (3) bisa dikategorikan menjadi 2 pertanyaan utama : 1. Bagaimanakah kedudukan dan peran estetika pada desain Keraton Surakarta dalam konteks representasi atas sejumlah nilai, norma dan aturan Jawa serta Keraton Surakarta sebagai artefak kebudayaan Jawa? 2. Bagaimanakah budaya Jawa mengalami proses pembelajaran budaya (enkulturasi) dari budaya-‐budaya asing, dan sejauhmana budaya-‐budaya asing tersebut turut membentuk ciri visual pada desain Keraton Surakarta? Atas dasar ke dua pertanyaan di atas, maka hipotesis yang diajukan sbb : 1. Budaya Keraton Surakarta, mempunyai metoda khusus untuk merefleksikan sejumlah nilai, norma dan aturan ke dalam wujud visual desainnya; 2. Berdasarkan faktor-‐faktor politik, sosial dan ekonomi, budaya Keraton mengalami proses enkulturasi dari budaya asing. Proses tersebut turut memberikan ciri visual khusus terhadap wujud desain Keraton Surakarta”. Relevansi dan Titik Temu Filsafat Ilmu Pengetahuan Bagi Bidang Desain, Yan Yan Sunarya -‐-‐-‐ 3
“Penalaran semacam itu, memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis, mengarah kepada pernyataan yang semakin fundamental” (Suriasumantri, 1996). b. Deduksi; pengetahuan bertolak dari dua kebenaran yang tak disangsikan, dan atas dasar itu kemudian menyimpulkan kebenaran ketiga. Jika induksi amat bergantung pada pengetahuan inderawi, maka nalar dalam proses deduksi sama sekali lepas dari pengetahuan inderawi (Bertens, 1981). Kumpulan hukum yang digunakan sebagai eksplanans sifatnya umum dari eksplanadum; sedangkan eksplanadum adalah akibat logis dari premis penjelasan itu (Andi Hakim, 1988). Deduksi merupakan pandangan umum yang diakui kebenarannya dalam menyimpulkan kebenaran khusus. Cara Aristoteles mempraktekkan berpikir deduksi, dikenal sebagai silogisme, merupakan argumentasi yang terdiri atas tiga putusan yang dibedakan atas dua unsur: (1) hal tentang apa, bahwa sesuatu diungkap (subjek) dan (2) apa yang akan diungkap (predikat). Contoh dalam disertasi bidang ilmu desain, Agus Sachari (2004), “Peran Nilai Estetis Modern Dalam Perkembangan Desain Abad ke-‐20 di Indonesia”, sbb : “. . . Dalam mengamati perkembangan desain selama abad ke-‐20 dijumpai sejumlah penggunaan istilah dengan pengertian yang tumpang tindih, pengertian tersebut dalam rentang historis mengalami pergeseran makna dikarenakan penggunaan istilah desain yang beragam, maka istilah desain yang dirujuk sebagai pedoman dasar adalah pengertian desain secara umum (Oxford Dictionary) sebagai berikut : Desain : reka bentuk, reka rupa, tatarupa, perupaan, anggitan, rancangan, bangunan, rekayasa, perencanaan, kerangka, sketsa ide, gambar, busana, keterampilan, kerajinan, kriya, teknik presentasi, penggayaan, komunikasi rupa, denah, layout, ruang, bangunan, benda yang bagus, seni rupa, ilustrasi, susunan rupa, bentuk, komposisi warna, ukiran, motif, ornamen, karya grafis, dekorasi (kata benda); menata, mengkomposisi, merancang, merencana, menghias, memadu, menyusun, mencipta, berkreasi, menenun, menggambar, meniru gambar, memecahkan masalah, menghias, membuat benda, menyusun pola, membuat model (kata kerja). Penggunaan istilah desain di awal abad ke-‐20 di Indonesia, belum populer, meski aktifitasnya ada. Dalam konteks waktu tersebut penggunaan praktis istilah desain berpadanan dengan kata kerajinan, bangunan, perkotaan, gambar, dekorasi, rekayasa, keterampilan, sebagai wujud rupa sebuah karya. Istilah desain secara keilmuan formal baru dipakai dan diterapkan pada pendidikan tinggi seni rupa di ITB 1971 untuk nama bidang keahlian desain interior, produk, grafis, dan tekstil. Penggunaan istilah desain lalu mengalami pemantapan saat diresmikannya Fakultas Seni Rupa dan Desain Relevansi dan Titik Temu Filsafat Ilmu Pengetahuan Bagi Bidang Desain, Yan Yan Sunarya -‐-‐-‐ 4
1984 dan dibukanya Jurusan Desain dengan beberapa prodi desain (desain interior, produk, tekstil, grafis), serta tidak tertutup kemungkinan istilah desain dalam dunia teknologi/rekayasa telah dipergunakan jauh sebelum istilah desain diformalkan menjadi nama keilmuan ataupun profesi. Jadi, terminologi yang diacu dalam penelitian ini, Desain : (1) wujud ekspresi manusia yang didasari kekuatan berpikir, implementasinya berbentuk karya estetik, sains, sebuah proses atau sebuah produk dan dipercaya sebagai sesuatu yang mengandung nilai kebenaran (Margolin, 1986 : 28); (2) salah satu manifestasi kebudayaan yang berujud dan merupakan produk nilai-‐ nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Sebagai produk kebudayaan, desain tidak terlepas dari fenomena kebudayaan yang lain, serta tidak terlepas dari nilai-‐nilai yang sifatnya abstrak dan spiritual, desain selalu terkait dengan sistem ekonomi dan sistem social” (Widagdo, 1993 : 1).
Keberlanjutan pemikiran Yunani Kuno, pernah mengalami stagnasi pada Masa Kegelapan Eropa. Lantas beberapa abad kemudian, Eropa dikejutkan oleh Zaman Pencerahan yang menandai proses transformasi baru dalam dunia berpikir. Perubahan itu dikenal sebagai Copernican Revolution, mengetengahkan konsep berpikir berdasar metode eksperimental dan amatan. Lalu kemunculan Galilei dan Newton; menguraikan teori gravitasi, konsep astronomi baru, dan berbagai rumus mekanika baru, untuk menyangkal pendapat sebelumnya, yang semuanya akan menjadi dasar dari Natural Science dan Technology. Pada abad ke-‐20, semua perkembangan berpikir di atas disangkal oleh Karl Popper. Bagi Popper, ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan lainnya tidak berkembang karena suatu induksi, melainkan terus-‐menerus terbuka akan azas falsifikasi. Ilmu pengetahuan hanya suatu hipotesis, dan selama hipotesis itu berpeluang dengan kesalahan, maka ilmu akan berkembang dan disempurnakan. Runtutan perkembangan pemikiran sejak zaman Yunani Kuno hingga kini, adalah dasar terbentuknya pola pikir masyarakat Barat modern yang rasional. Pola pikir tersebut, kemudian mewarnai peradaban Barat di dunia, termasuk iptek, desain, bahkan nilai estetiknya. Hal itu dapat kita amati pada beberapa pemikiran terhadap perkembangan desain Barat modern seperti yang akan diuraikan di bawah ini. Jones berpendapat, bahwa ada dua cara desainer dalam memecahkan masalahnya : a. Model black-‐box; bahwa proses desain yang utama sebenarnya terletak di dalam proses berpikir melalui tukar pikiran (brainstorming) secara bebas, kemudian ditransformasikan secara sistemik. Atau dapat pula dilakukan secara sinektik yang mengkaji permasalahan sebagai umpan, kemudian mengalami proses penganalogian sistematis dalam black-‐box, dan menghasilkan keluaran yang telah diolah berdasarkan pengalaman;
Relevansi dan Titik Temu Filsafat Ilmu Pengetahuan Bagi Bidang Desain, Yan Yan Sunarya -‐-‐-‐ 5
b. Model glass-‐box, bahwa proses desain dilakukan secara rasional dan sistemik. Seperti halnya pada komputer, yang menerima umpan permasalahan, kemudian dikaji secara terencana, analitis, sintetis, dan evaluatif, sehingga kita akan mendapatkan optimasi pemecahan yang mungkin dilakukan. Bryan Lawson sejalan dengan Jones, bahwa proses analisis-‐sintesis-‐evaluasi penting dilakukan dalam proses desain. Namun begitu, Lawson menekankan aspek umpan balik dalam setiap langkah berpikir. Lain halnya dengan Bruce Archer, secara terinci mengungkapkan bahwa proses nalar induktif secara lebih luas, harus diterapkan pada tahap awal proses desain. Sedangkan nalar deduktif dianjurkan untuk ditekankan pada tahap analisis-‐sintesis-‐pengembangan (Lawson, 1980). Perkembangan metode desain modern sebagai proses berpikir logis, secara historis tidak terlepas dari tradisi berpikir sejak Aristoteles. Meskipun pada akhir abad ke-‐ 20, proses berpikir logis ini digantikan oleh otak buatan yang dijalankan komputer, tetapi prinsip dasarnya tetap mengacu kepada perkembangan logika tradisional yang dirintis sejak zaman Yunani Kuno. Otak buatan mampu mereduksi waktu berpikir manusia yang konvensional, terutama penguasaan kemahiran aritmatik, ingatan dalam skala besar, dan kecepatan menganalisis, tapi belum mampu menciptakan dunia kreativitas dan imajinasi manusia yang kaya. Walaupun demikian, pergeseran itu mampu menciptakan percepatan pekerjaan desain, terutama setelah meluasnya penggunaan komputer grafik berkemampuan tinggi. Berbicara tentang rasionalisme logis sebagai runtut dinamika dari alam pikiran Yunani Kuno hingga Revolusi Cartesian, membawa dampak lanjut terhadap pola pikir masyarakat Barat, yaitu: ditandai dengan munculnya tokoh pemikir yang mengutamakan akal dalam setiap kegiatan hidup. Tokoh peletak dasar berpikir rasional adalah Rene Descartes (1556-‐1650), ia kemudian dianggap sebagai bapak filsafat modern. Descartes beranggapan, bahwa dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan, kecuali ilmu pasti; agar filsafat ilmu pengetahuan dapat diperbarui dan berkembang, perlu metode yang baik. Descartes sendiri telah memikirkan metodenya, yaitu dengan menyangsikan ‘segala yang ada’. Kesangsian yang radikal itulah, yang harus menjadi dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan. Penyangsian Descartes yang terkenal adalah ungkapan Cogito ergo sum: “Saya yang menyangsikan (berpikir, menyadari), maka saya ada”. Diri kita yang berpikir jelas dan sistematis, adalah suatu cara untuk mencapai kebenaran mutlak. “Yang dimaksud Descartes, bahwa eksistensi personal saya yang penuh diberikan kepada saya di dalam kegiatan meragukan” (Hadiwijono, 1995). Filsuf pengkritik Descartes adalah Leibniz (1646-‐1716), bahwa cogito (substansi) yang ditawarkan Descartes, sebenarnya bersifat ‘tertutup’. Bagi Leibniz, hanya ‘jiwa’-‐lah yang dapat membuka realitas secara mutlak. Filsuf lainnya Thomas Hobbes (1588-‐1679), bahwa justru ‘pengalaman inderawi’-‐lah yang lebih penting daripada pendekatan ilmu pasti. Pernyataan ini mengawali kelahiran Empirisme di Relevansi dan Titik Temu Filsafat Ilmu Pengetahuan Bagi Bidang Desain, Yan Yan Sunarya -‐-‐-‐ 6
Inggris (Hadiwijono, 1995). Selain itu, bahwa manusia sebagai makhluk sosial, cenderung mempertahankan keberadaannya sebagai egoisme yang radikal. John Locke (1632-‐1704), menilai manusia harus dianggap sebagai ‘kertas putih’ yang bersih, sedangkan ‘isinya’ didapat dari pengalaman hidup; pengalaman manusia terbagi atas dua, yaitu: pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflexion), keduanya melahirkan gagas tunggal yang menyatu. Ia berusaha menggabungkan teori Empirisme dengan ajaran Rasionalisme. Menurutnya, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal (rasio) adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri (Ibid, 1995). Gagasan ini, kemudian dikenal sebagai Rasionalisme Empiris. Namun Rasionalisme Empiris kemudian dikritik oleh Berkeley (1685-‐1753), bahwa sebenarnya tidak ada substansi material dalam pengalaman inderawi, yang ada hanya ‘ciri’ yang diamati. Hal itu artinya, yang ‘kita miliki’ dan ‘kita lihat’ hanya merupakan pengalaman rohani (sebagai idea), bukan kenyataan hakiki. Aliran ini memuncak pada masa David Hume (1711-‐1776), dengan terapan radikal berupa penolakan terhadap ‘substansi dan kausalitas’, karena bagi Hume di setiap substansi sebenarnya mengandung ‘substansi tetap’ yang lain. Di Inggris, Abad Pencerahan dalam dunia berpikir dikenal sebagai Enlightenment – manusia mencari cahaya baru melalui rasionya. Immanuel Kant (1724-‐1804), bahwa manusia harus keluar dari kegelapan melalui Aufklarung, yaitu menembus kegelapan melalui rasio. Hal yang terpenting dari pencerahan itu adalah manusia harus berani berpikir sendiri untuk kemajuan dirinya, dan ini dianggap sebagai tahap baru setelah era Renaissance dan Reformasi di Inggris (Ibid, 1995). Hegel berpendapat, bahwa ‘semua yang nyata’ selalu bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat ‘nyata’. Pernyataan ini hakikatnya bermaksud menyamakan luasnya ‘rasio’ sama dengan luas realitas’. Rasionalisme memuncak setelah terjadinya Revolusi Industri di Eropa melalui Positivisme August Comte (1798-‐1857). Pada saat inilah, ilmu pengetahuan diangkat menjadi sesuatu yang harus empiris. Oleh karena itu, pengetahuan tidak boleh melampaui fakta-‐faktanya, meskipun perkembangan Empirisme di Inggris hakikatnya terbuka menerima pengalaman subjektif. Peluang masuknya pengalaman subjektif ini, dikarenakan industrialisasi yang terjadi di Inggris kemudian menimbulkan aneka permasalahan kemanusiaan baru. Tetapi sejalan dengan itu, filsafat Positivisme yang berpengaruh pada masa industrialisasi awal, juga dianggap tak memberi tempat bagi metafisika (pengalaman subjektif). “Kegersangan” itu, kemudian memunculkan Materialisme yang membuka peluang tempat bagi metafisika (Bertens, 1981). Mengenai perkembangan beberapa falsafah di atas, maka dasar kesemuanya merupakan konsep pengagungan akal (rasio), meskipun ada kesadaran untuk menerima jiwa. Namun begitu, pengaruh Rasionalisme beberapa dekade sesudahnya, merupakan cikal-‐bakal lahirnya faham untuk menggali dan Relevansi dan Titik Temu Filsafat Ilmu Pengetahuan Bagi Bidang Desain, Yan Yan Sunarya -‐-‐-‐ 7
memanfaatkan alam secara besar-‐besaran dengan kemampuan rasio. Munculnya industri di Eropa, sebagai tahap lanjut Revolusi Industri Awal, merupakan implementasi praktis masyarakat Barat menerima teknologi sebagai bagian dari Rasionalisme Empiris. Kerja tangan yang melelahkan, kemudian digantikan oleh mesin bertenaga air dan uap. Demikian pula pekerjaan berat lain, mulai digantikan oleh teknologi yang praktis dan murah. Walaupun berakibat pada tenaga manusia yang besar jumlahnya itu menjadi pengangguran. Pengrajin dan buruh kasar, secara bertahap kehilangan mata pencaharian. Kemiskinan dan pengangguran ini, kemudian meledak menjadi gerakan anti-‐industri, sebagai ungkapan kemarahan para seniman dan pengrajin yang tergeser perannya oleh mesin. Perkembangan desain modern sejak paro abad ke-‐19 hingga akhir abad ke-‐20, terlihat bahwa karya desain dan aktivitasnya, secara hakikat tidak terlepas dari pola pikir dan konteks sosialnya. Hal itu terlihat dari runtut pemikiran sejak para filsuf Yunani Kuno yang mengenalkan: logika dan estetika yang menjadi inspirasi peradaban dunia. Walaupun peradaban intelektual ini mengalami masa kegelapan akibat berkembangnya peradaban di wilayah lain, namun semangatnya mampu menghidupkan dan menciptakan pencerahan di Abad Pertengahan hingga menjadi titik tolak kehidupan modern dengan percepatan teknologi seperti kini. Sejak Descartes menyadarkan masyarakat Barat, bahwa berpikir dan akal sebagai inti untuk mendunia merupakan kunci dalam membangun peradaban, maka saat itu pula metode berpikir rasional menjadi ideologi berpikir di semua aktivitas kehidupan, termasuk dalam bidang desain. Iklim pencerahan itu, memicu seniman Renaissance mengintegrasikan antara berpikir rasional, berolah rasa, dan berkarya dengan keterampilan tinggi yang menjadi kekuatan mengubah tatanan dunia. Sejalan dengan itu, kesadaran ruang mulai terkuak dengan ditemukannya ilmu perspektif dalam gambar (disegno). Perkembangan Rasionalisme pun mempengaruhi metode desain, yang sebelumnya bersifat craftmanship. Berkembangnya gerakan Machine Art dan temuan penting dalam bidang sains, lalu membangun faham yang mengutamakan konsep berpikir dalam berekspresi, mencoba menjembatani keterpisahan antara seni dan teknik yang diusung gerakan Anti-‐Industri. Implementasinya, adalah dengan kemunculan Modernisme yang mengutamakan bentuk rasional serba geometris. Fanatisme terhadap Rasionalisme, tercermin pada pengagungan fungsi di setiap gagas desain. Fase penting gerakan ini, adalah dengan lahirnya Bauhaus (1919) lembaga yang menerapkan Rasionalisme Empiris secara pragmatis pada pendidikan seni rupa dan desain, serta mempraktekkan keilmuan dan keterampilan, berjalan bersamaan. Berbagai gaya baru sebagai bagian Modernisme, sebenarnya merupakan sempalan rasa ketidakpuasan gaya utama yang terlalu mekanistik dan rasional. Sebagaimana ditunjukkan oleh Art Deco berunsur rupa dekoratif-‐rasional, merupakan paduan antara bahasa rupa Art Nouveau dan Modernisme. Namun gerakan itu segera Relevansi dan Titik Temu Filsafat Ilmu Pengetahuan Bagi Bidang Desain, Yan Yan Sunarya -‐-‐-‐ 8
menyurut setelah muncul Streamlining, sebagai gaya yang merupakan wahana yang dapat menampung aspirasi dan ekspresi para desainer dan insinyur kala itu. Rekonstruksi usai perang di berbagai negara, mengakibatkan kemajuan luar biasa dalam dunia arsitektur dan desain produk industri. Modernisme Lanjut, dengan beragam wajah (Pop Modernisme, International Style, Hi-‐Tech, dst.), kemudian menjadi primadona keberhasilan negara-‐negara Barat dalam dunia desain. Keunggulan ini sejalan dengan imperialisme budaya yang diekspor ke seluruh dunia, memunculkan gaya tunggal dunia. Namun sejalan dengan waktu, kehidupan yang serba monoton, instan, rasional, dan kering itulah, kemudian menjadi pemicu krisis Modernisme. Krisis ini berkembang menjadi krisis sosial yang meluas di tengah derasnya arus konsumerisme dan kemanusiaan. Hal itu ditandai oleh pemunculan gerakan Pop yang mengkritik habis-‐habisan Modernisme, serta dihujat sebagai biang keladi kesenjangan nilai-‐nilai, ekonomi, budaya, dan pengangguran yang menciptakan kekeringan jiwa berkepanjangan. Kehidupan seni dunia dirasakan semakin jauh, didikte oleh kemajuan teknologi yang serba instan dan rasional. Dari segi intelektual, para pengamat sosial menilai, bahwa pemicunya adalah pemikir mazhab Frankfurt yang radikal, sedangkan dari segi praktis dilakukan oleh kaum muda melalui budaya Pop. Charles Jencks, kemudian mengumandangkan kematian Modernisme, sekaligus membuka pintu bagi Posmodernisme; khususnya dalam dunia perancangan secara umum. Namun hal itu sebenarnya belum mengubah nilai-‐nilai hakiki dari Modernisme yang berlangsung terus dalam semua lini kehidupan masyarakat dunia. Sejalan dengan itu, koreksi terhadap Strukturalisme dalam dunia filsafat skeptik, dilakukan oleh kaum Pos-‐strukturalisme dan Dekonstruksi(isme), serta berkembangnya pemikiran Rasionalisme Kritis sebagai kritik terhadap Rasionalisme Empiris yang dianggap sebagai kebenaran sempurna. Proyeksi desain ke depan, merupakan fenomena yang berkecenderungan terjadinya perubahan berpikir ke arah Rasionalisme Digital, menggejala hampir di semua lini kehidupan. Hal ini, tampaknya akan menjadi tonggak penting dalam perkembangan metodologi desain. Gejala itu mulai tampak jelas, tatkala sejumlah industri dan biro konsultan mengurangi meja gambar dan beralih ke layar monitor. Demikian pula dalam penyelenggaraan pendidikan desain, mahasiswa mulai meninggalkan mesin tik dan rapido untuk beralih ke PC dan mesin printer; pun informasi keilmuan melalui buku mulai beralih ke internet. Para mahasiswa desain, tidak perlu lagi membuat model dengan tanah liat atau membuat rendering dengan spidol sebagai bukti kebenaran eksperimennya, tetapi cukup disajikan secara virtual dalam layar monitor. Kenyataan itulah yang menjadi ciri, bahwa dunia keberpikiran empiris bergeser ke arah dunia keberpikiran virtual yang mampu menyajikan simulasi real-‐ time, gambar tembus dinamik, rendering photo-‐realistik, animasi digital dan multi media yang dalam waktu singkat menjadi pemandangan lumrah. Relevansi dan Titik Temu Filsafat Ilmu Pengetahuan Bagi Bidang Desain, Yan Yan Sunarya -‐-‐-‐ 9
Dari akhir uraian uraian panjang-‐lebar di atas yang dijelaskan bertumpu pada sudut pandang historis antara bidang filsafat dengan bidang desain, pada akhirnya memiliki pertautan fenomena konseptual substansial sebagai wujud titik temu di antara keduanya. Paradigma perubahan pola pikir, hakikatnya amat berpengaruh, baik pada hasilan desain, falsafah perancangan, maupun bahasa rupa yang dipergunakan; yang kemudian pendekatannya tidak cukup berupa pendekatan kronologis, melainkan didasarkan kepada paradigma perubahan sosial yang terjadi pada bidang desain. Hal ini terjadi, mengingat desain bukan semata merupakan otobiografi yang berisi peristiwa dan waktunya akurat (bahkan ada yang masih berlangsung terus), melainkan merupakan transparansi dari beragam fenomena pemikiran yang saling tumpang tindih dan kompleks. Daftar Pustaka Conway, Hazel, 1987, Design History, London: Allen & Unwin; Dormer, Peter, 1990, The Meaning of Modern Design, London: Thames and Hudson; Hadiwijono, Harun, Dr., 1994, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Kanisius; __________, 1995, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, __________; Hatta, Mohammad, 1989, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: PT Jambatan, Jakarta; Heskett, John, 1986, Desain Industri, Terjemahan, Bandung: INDDES ITB & PT Rajawali; K., Bertens, 1981, Filsafat Barat dalam Abad XX, Jilid I , Jakarta: PT. Gramedia; Lawson, Bryan, 1980, How Designers Think, London: The Architectural Press Ltd.; Sachari, Agus, 1995, "Sejarah Desain Modern", Diktat, Bandung: Jurusan Desain FSRD ITB; __________, Sunarya, Yan Yan, 1999, Modernisme: Tinjauan Historis Desain Modern, Jakarta: PT. Balai Pustaka; __________, NIM: 33396002, 2004, “Peran Nilai Estetis Modern Dalam Perkembangan Desain Abad ke-‐20 di Indonesia”, Disertasi, karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari ITB, Bandung: Program Pascasarjana ITB; Santosa, Imam, NIM: 37001001, 2006, “Kajian Estetika dan Unsur Pembentuknya pada Keraton Surakarta”, Disertasi, karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari ITB, Bandung: Program Pascasarjana ITB; Stangos, Nikos, 1994, Concepts of Modern Art, from Fauvism to Postmodernism, London: Thames & Hudson; Suriasumantri, Jujun S., 1996, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; Walker, John A., 1989, Design History and the History of Design, London: Pluto Press; Wuwur, Hendrikus Dori, 1995, Retorika, Yogyakarta: Kanisius.
Relevansi dan Titik Temu Filsafat Ilmu Pengetahuan Bagi Bidang Desain, Yan Yan Sunarya -‐-‐-‐ 10