BLESS-E FORMULATION; UPAYA OPTIMASI LINKAGE PROGRAM PERBANKAN DAN LKMS PADA PEMBERDAYAAN UMKM DALAM PERSAINGAN PASAR GLOBAL PASCA ACFTA Cahyo Halim Istiqlal SEI M. Agus Khoirul Wafa SEI Abstraksi Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) menjadi bahasan utama dalam pengembangan ekonomi Indonesia tahun ini. Dinamika persaingan ekonomi yang berkembang adalah perlunya langkah strategis untuk memanfaat peluang ACFTA ini untuk globalisasi produk Indonesia dan memberdayakan UMK. Salah satu program dari pemerintah adalah dengan dimunculkannya linkage program antar perbankan dan lembaga keuangan mikro untuk memenuhi kebutuhan dasar UMKM agar dapat beradaptasi dan berinovasi secara maksimal. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengevaluasi konsep linkage program tersebut dan memformulasikan terapan praktis untuk mencapai tujuan dari linkage program tersebut. Penilitian ini bersifat Library Research dengan data-data laporan perkembangan UMK dan literatur yang membahas UMK, LKMS, dan perkembangan linkage program. Dari hasil analisa pada penelitian ditemukan bahwa permasalahan mendasar yang terjadi dalam implementasi linkage program perbankan syariah dan LKMS adalah disebabkan karena tidak adanya jaminan bahwa sistem LKMS dapat memenuhi criteria perbankan dengan akuntabilitas dan sistem yang bankable sehingga perbankan dalam praktiknya banyak yang membuka sub atau divisi khusus yang menangani pembiayaan mikro. Untuk itu formulasi BLESS-E ini digunakan sebagai upaya pemberdayaan terpadu antara perbankan, LKMS dan UMKM dengan control pemerintah, sehingga upaya linkage program ini dapat dimaksimalkan mengingat kebutuhan pasar industri UMKM yang harus diselamatkan pasca ACFTA ini.
Kata Kunci: Linkage Program, Perbankan, LKMS, dan ACFTA
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usaha dalam penguatan dan pemberdayaan UMKM mulai awal tahun 2010 kembali diperbincangkan dalam diskusi pemerintah, pengamat ekonomi, dan para pelaku pasar. hal ini didasarkan pada berlakunya Free Trade Agreement (FTA) ASEAN-China yang dimulai tepat pada tanggal 1 Januari 2010 di Indonesia1.
Beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan dari perdagangan bebas ini cukup banyak, baik oleh masyarakat konsumen maupun masyarakat produsen. Menurut publikasi Direktorat Kerjasama Regional, Ditjen Kerjasama Perdagangan
Internasional,
Kementerian
Perdagangan
RI
(DKR-KPI
Kemendag) dalam ringkasannya ada beberapa peluang yang dapat digunakan dalam AC-FTA ini2. Beberapa peluang tersebut adalah meningkatkan akses pasar ekspor ke Cina dengan tingkat tarif yang lebih rendah bagi produkproduk nasional, meningkatkan kerjasama antara pelaku bisnis di kedua negara melalui pembentukan “aliansi strategis”, meningkatnya akses pasar jasa di Cina bagi penyedia jasa nasional, menigkatnya arus investasi asing asal Cina ke Indonesia, dan terbukanya transfer teknologi antara pelaku bisnis di kedua negara.
Adapun tantangan dalam AC-FTA yang harus dihadapi pelaku usaha dan RI adalah Indonesia harus dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas
1
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2010/01/02/22484174/menko.kesra.khawati r.afta.ganggu.perdagangan.domestik, diakses pada 02/01/2010 2 Majalah Sharing, Edisi Maret 2010, hlm.12
2
produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk Cina, mencipatakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing, menerapkan ketentuan dan peraturan investasi yang transparan, efisien dan ramah dunia usaha, dan meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi termasuk promosi pemasaran dan lobi.
Permasalahannya adalah terletak pada ketimpangan teknologi dan produk antara usahawan dalam negeri yang jauh lebih sedikit produknya dibanding produk luar negeri yang bervariasi dan relative murah, khususnya produk-produk dari China. Ketidak siapan inilah yang menjadi permasalahan utama dalam setiap pembahasan para ekonom maupun usahawan Indonesia.
Untuk mengantisipasi ketidak siapan ini, pemerintah telah mengadakan negosiasi ulang tentang pos tarif barang dalam FTA kepada ASEAN. Dari sebanyak 2.528 pos tarif yang masuk dalam katagori NT 1 yang mulai berlaku per 1 Januari 2010, hanya sebanyak 303 pos tarif yang dikabulkan di 8 sektor industri untuk dimajukan dalam proses renegosiasi. Selain itu ada 11 pos tarif sektor industri kecil dan menengah (IKM) sehingga total yang akan diajukan 314 pos tarif. Diantaranya yaitu untuk besi dan banyak sebanyak 189 pos tarif, disusul oleh tekstil dan produk tekstil sebanyak 87 pos tarif, elektronika 7 pos tarif, alas kaki 5 pos tarif, furnitur 5 pos tarif,kimia organik 7 pos tarif, petrokimia 2 pos tarif dan mamin hanya 1 pos tarif. Renegosiasi ulang sangat dimungkinkan dalam kerangka FTA yang sejalan dengan artikel 23 ASEAN mengenai upaya modifikasi dan suspensi perjanjian. Waktu yang diperlukan atau yang diatur yaitu selama 180 hari periode negosiasi melalui AFTA Council.3 Selain itu, Departemen Perindustrian juga telah mengajukan
3
http://hariansib.com/?p=103326 diakses pada 02/01/2010
3
modifikasi tarif untuk beberapa sektor industri sehingga yang seharusnya berlaku pada 2010 dapat diundur menjadi 2012 dan 2018.4
Terlepas dari usulan negosiasi pemerintah kepada ASEAN dan jangka waktu yang diusulkan, perlu ada langkah cepat untuk menanggapi ketidak siapan persaingan bisnis tersebut khususnya Usaha yang bergerak di bidang Industri Mikro dan Kecil yang memang sangat rentan terhadap persaingan ini. Ada beberapa alasan yang menyebabkan UMK lebih rentan dari pada Usaha Menengah dan Besar. Diantaranya adalah minimnya likuiditas dan permodalan; SDM yang kurang terampil dan professional; dan Informasi bisnis yang asimetris. Untuk itu dibutuhkan lembaga yang memberikan fokus lebih dalam pemberdayaan dan penguatan UMK dalam menghadapi tantangan dan memanfaat peluang AC-FTA. Pemerintah sebenarnya sudah lama memberikan gagasan tentang Program kemitraan atau biasa disebut dengan linkage program antar perbankan dan lembaga keuangan mikro agar UMKM dapat langsung menyerap dana segar dari perbankan dan permasalahan modal dapat teratasi. Namun dalam perjalanannya tidak sedikit dari perbankan yang masih mempertanyakan kredibilitas dan akuntabilitas dari lembaga keuangan mikro. Hal ini disebabkan karena prosedur dan sistem koperasi masih dianggap di bawah standar bank umu atau bank perkreditan rakyat yang sudah ada standar baku dari pemerintah. Sedangkan sistem lembaga keuangan mikro masih belum kokoh dan belum memiliki rating serta pengawasan yang jelas. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu indikator belum tercapainya program kemitraan ini dengan baik. Oleh karena itu dalam penelitian ini, penulis menganalisa permasalahan di atas dari segi konseptual dan praktis di lapangan serta kebutuhan pada masa penerapan ACFTA ini yang ditujukan
4 http://id.news.yahoo.com/antr/20091228/tpl-pemerintah-siapkan-bahan-negosiasi-fcc08abe.html diakses pada 02/01/2010
4
untuk menemukan formulasi yang jelas agar program kemitraan ini dapat dimaksimalkan dengan baik pada tataran praktisnya.
B. Identifikasi Masalah
Mengacu pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada kajian ini adalah: 1. Bagaimana penerapan linkage program perbankan dan BMT (Baitul Maal wat Tamwil)? 2. Bagaimana Solusi Penerapan linkage program perbankan dan BMT?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisa
Urgensi
linkage
program
pasca
ACFTA
dan
permasalahannya dalam segi implementasi selama ini. 2. Memberikan formulasi penerapan linkage program pada perbankan syariah dan LKMS sehingga dapat memaksimalkan pemberdayaan UMKM dalam persaingan ekonomi pasar global pasca ACFTA.
5
BAB II LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Konsep ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) ACFTA merupakan kesepakatan antara Negara-negara ASEAN dengan Cina untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam rangka meningkaatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Cina 5. Dalam membentuk ACFTA para kepala Negara anggota ASEAN dan Cina telah menandatangani ASEAN-Cina Comprehensive Economic Coorperation pada 6 Nopember 2010 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam. Sebagai titik awal proses pembentukan ACFTA para kepala Negara kedua pihak menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and people’s Republic of Cina di Phnom Penh, Kamboja 4 November 2002. Protocol perubahan Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 8 Desember 2006. Indonesia telah meratifikasi Framework Agreement ASEAN Cina FTA melalui keputusan Presiden nomor 48 tahun 2004 15 Juni 2004. Setelah negosiasi tuntasi, secara formal ACFTA pertama kali diluncurkan sejak ditandatangani nya Trade in goods agreement dan Dispute Settlement Mechanism Agreement 29 November 2004 di Vientiane, Laos.
5
Direktorat Kerjasama Regional, Ditjen Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan RI (DKR KPI Kemendag), Apa Itu ACFTA?, Majalah Sharing, edisi Maret 2010
6
Persetujuan jasa ACFTA ditandatangani pada pertemuan ke 12 KTT ASEAN di Cebu, Filipina pada bulan Januari 2007. Sedangkan persetujuan investasi ASEAN dan Cina ditandatangani pada saat pertemuan ke-41 Tingkat Menteri Ekonomi ASEAN tanggal 15 Agustus 2009 di Bangkok, Thailand. Tujuan ACFTA adalah memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi antara Negara-negara anggota, meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi. Selain itu, menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antar Negara-negara anggota serta memfasilitasi intergrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi di antara Negaranegara enggota. Adapun peluang dari ACFTA itu sendiri adalah : a. Meningkatnya akses pasar ekspor ke Cina dengan tingkat tarif yang lebih rendah bagi produk-produk nasional. b. Meningkatnya kerjasama antara pelaku bisnis di kedua Negara melalui pembentukan “aliansi strategis”. c. Meningkatnya akses pasar jasa di Cina bagi penyedia jasa nasional d. Meningkatnya arus investasi asing asal Cina ke Indonesia e. Terbukanya transfer teknologi antara pelaku bisnis di kedua Negara. Manfaat dari ACFTA yaitu : a. Terbentuknya akses pasar produk pertanian (chapter
01 s/d 08)
Indonesia ke Cina pada tahun 2004 b. Terbukanya akses pasar ekspor Indonesia ke Cina pada tahun 2005 yang mendapatkan tambahan 40% dari Normal Track (kurang lebih 1880 pos tariff), yang diturunkan tingkat tarifnya menjadi 0-5%
7
c. Terbukanya akses pasar ekspor Indonesia ke Cina pada tahun 2007 yang mendapatkan tambahan 20% dari Normal Track (kurang lebih 940 pos tarif) yang diturunkan tingkat tarifnya menjadi 0-5% d. Pada tahun 2010, Indonesia akan mendapat tambahan akses pasar ekspor ke Cina sebagai akibat penghapusan seluruh pos tariff dalam Normal Track Cina. e. Sampai pada tahun 2010 Indonesia akan menghapuskan 93,39% pos tarif (6.683 pos tarif dari total 7.156 pos tariff yang berada di Normal Track) dan 100% pada tahun 2012. Tantangan bagi Indonesia adalah harus dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk Cina, menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing, menerapkan ketentuan dan peraturan investasi yang transparan, efisien dan ramah dunia usaha, serta meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi termasuk promosi pemasaran dan lobi.
2. Konsep Linkage Program dalam pemberdayaan UMKM Linkage program merupakan kerja sama bank umum dengan bank perkreditan rakyat (BPR) atau lembaga keuangan mikro, seperti koperasi dan baitul maat wa tamwil (BMT). Bank umum melakukan ini karena keterbatasan jaringan dan Infrastruktur dalam menjangkau UMKM yang menjalankan usahanya di daerah.6 Pada bank syariah, model linkage program yang diterapkan dalam BPR syariah sama seperti pada BPR konvensional, yaitu executing, channeling dan joint financing. Namun perbedaannya dalam perbankan
6
Anonymous, http://www.depkop.go.id/index.php/20090429341/Berita/MediaMassa/memeratakan-kredit-dengan-linkage-program.html, diakses pada 12 Nopember 2010, 16.00 WIB
8
syariah, akad yang dilakukan antara bank umum syariah dan BPR syariah menggunakan konsep mudharabah dan musyarakah. Konsep mudharabah merupakan konsep akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama, seperti lembaga keuangan syariah menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua, sebagainasabah, bertindak selaku pengelola dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatanyang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Pemerintah menjadikan linkage program sebagai salah satu program yang harus dilakukan sesuai Instruksi Presiden No 5 tahun 2008 tanggal 22 Mei 2008. Linkage program ditujukan agarbermanfaat bagi para pengusaha dan bank umum serta bagi pihak-pihak yang terkait dalam program ini. Bagi bank umum, linkage program dapat meningkatkan jumlah penerima kredit dan meningkatkan diversifikasi sektor usaha yang akhirnya berujung pada suksesnya program pengentasan kemiskinan.
B. Telaah Pustaka
Menurut data BPS (1999), 34,55% kendala yang dihadapi usaha mikro adalah kurangnya modal, sedangkan faktor yang lain adalah pengadaan modal (20,14%), pemasaran (31,70%) dan kesulitan lainnya (13,6%)7. Mulya Siregar menyebutkan bahwa BMT merupakan salah satu supporting institution dalam
7
Chuzaimah Batubara dan M. Yafiz, BMT Vs Rentenir dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat; Studi Kasus di Kec. Percut Sei Tuan, Deli Serdang Sumatera Utara. Makalah INTERNATIONAL SEMINAR AND SYMPOSIUM Unair, 1-2 Agustus 2008
9
pemberian dana sosial dan komersil yang paling dibutuhkan dan berperan dalam pemberdayaan UMK.8
Euis Amalia dalam Penelitiannya menyebutkan beberapa alasan para pelaku UMK lebih memilih BMT, diantaranya Hal-hal yang mendorong responden memilih bermitra dengan LKMS sebagian besar menyatakan karena kemudahan dan kecepatan dalam proses pencairannya (63,8%), kedua adalah faktor kenyamanan (53%), kemudian karena pelayanan ramah (50,1%), selanjutnya karena jarak yang mudah dijangkau (47,2%), biaya administrasi rendah (46,6%), dan memenuhi kebutuhan (35,1%). Sisanya beralasan karena bagi hasil tabungan yang tinggi (11,2 %), jaringan yang banyak (6,7%) dan lain-lain (2%).9 Penelitian ini tentu mendukung asumsi bahwa LKMS yang berbentuk BMT lebih dipilih para pelaku UMKM dalam memperkuat permodalan dan pemberdayaan mereka. Riana panggabean, dalam hasil temuan penelitiannya 10 untuk daerah DKI Jakarta, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Sebagian kecil responden pedagang dan produsen belum mengetahui dan peduli tentang pemberlakuan ACFTA dan sebagian lainnya sudah mengetahui dan peduli. Bagi pedagang dan produsen yang belum mengetahui, perlu diberikan sosialisasi tentang pemberlakuan ACFTA. 2. Sementera itu pada pedagang dan produsen yang mengetahui dan peduli terhadap pemberlakuan ACFTA, khawatir akan terjadi: (1) Lemahnya pasar bagi produk-produk yang mempunyai daya saing rendah di dalam negeri, (2) Lemahnya pasar produk dalam negeri ini akan berdampak
8
Mulya Siregar, Peran LKS dalam Pemberdayaan Sektor Riil, Talkshow Indonesia Syariah Expo 2007 dengan tema membangun sinergisitas LKS dengan Sektor Riil. 9 Euis Amalia, Potensi dan Persoalan LKMS/BMT Bagi Penguatan UKM Dalam Kerangka Keadilan Distributif Ekonomi Islam, Makalah International Seminar And Symposium Unair, 1-2 Agustus 2008 10 Riana panggabean, Kesiapan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM) Menghadapi Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) (Studi Kasus Dampak ACFTA Terhadap UMKM di DKI Jakarta dan Prov. Jawa Tengah), Buletin Infokop edisi Juli 2010.
10
terhadap bertambahnya jumlah pengangguran karyawan di pemasaran dan karyawan produsen, demikian juga para pengrajin yang berkaitan langsung dengan produk tersebut. 3. Pedagang
dan
produsen
memperkirakan
pemberlakuan
ACFTA
(membanjirnya produk Cina) akan terjadi sekitar bulan Mei, Juni dan Juli 2010. Pada masa ini pembeli (masyarakat) akan menilai dan mencoba produk mana yang lebih tepat untuk dikonsumsi dan mana yang tidak. Keadaan ini perlu diamati untuk mengetahui dinamika pasar yang terjadi. 4. Pada umumnya produk-produk Cina yang ada di pasar masih sangat sedikit jumlahnya belum ada over supplay. Produk yang kuantitasnya lebih banyak antara lain sandal berbahan plastik dan mainan anak-anak. Jika produk ini dibandingkan dengan produk dalam negeri, produk dalam negeri kualitasnya jauh lebih baik walau harganya lebih mahal. 5. Beberapa produk pedagang/produsen di dalam negeri sudah mendapat posisi yang baik dalam benak konsumen seperti pada kelompok garmen (sprei, bed cover, pakaian jadi bayi dan jeans). Kelompok furniture (mebel berbahan baku kayu jati, kayu non jati). Kelompok alas kaki (tas dan sepatu). Produk-produk seperti ini harganya terjangkau dan kualitasnya juga baik. Produk seperti ini perlu dijaga dan ditingkatkan kualitasnya agar tetap mampu bersaing. 6. Meningkatkan daya saing harus dilakukan secara terus-menerus. Daya saing dapat diartikan sebagai ukuran kemampuan suatu produk untuk menempati suatu posisi tertentu dalam persepsi konsumen sehingga dapat terjual di pasar walaupun ada produk lain yang sejenis. Oleh sebab itu jika produk Cina sudah mulai ada dan membanjiri pasar, daya saing masingmasing produk dalam negeri perlu diketahui untuk melindungi pedagang dan produsen. Sedangkan hasil studi kasus untuk daerah Jawa Tengah yang dilakukan oleh Riana panggabean adalah sebagai berikut:
11
1. Produk Cina yang masuk melalui pelabuhan Semarang periode 01 sampai 28 Februari 2010 ada sebanyak 63 jenis. Dikelompokkan menjadi: (1) Produk ikan, hewan dan makanan loan; (2) Batu karang/binatang lunak berkulit dikerjakan secara sederhana; (3) Buah kacang dan tanaman yang dapat dimakan; (4) Karet alam; (5) Kayu lapis, kayu digergaji; (6) Produk pertukangan; (7) Kertas dan kertas karton yang dilapis; (8) Kelompok tekstil meliputi: benang kapas selain benang jahit, benang filament; (9) Kelompok garmen meliputi t-shirt, singlet, kaus kutang dan rajutan atau kaitan, stelan ensemble, jas, blazer, pakaian terusan, celana panjang sampai lutut dan celana pendek untuk pria; (10) Barang dari semen, beton atau batu tiruan, kotak cetakan untuk pengecoran logam; (11) Mebel meliputi: tempat duduk dapat diubah menjadi tempat tidur dan perabotan lain dan bagiannya. Volume produk sebesar USD15.820,227.18 dan Nilai FOB sebesar USD15.743,557,58. 2. Dari 63 jenis produk yang masuk, dilihat dari jenis dan volume terbanyak adalah kelompok: (i). Kayu lapis veneer dan kayu dilaminasi, (ii). Kayu (termasuk strip dan frieze untuk lantai papan, (iii). Perabotan, dan (iv). Tempat duduk yang dapat diubah menjadi tempat tidur. 3. Selain jenis-jenis produk Cina tersebut di atas ada produk yang langsung disalurkan ke kabupaten seperti: (i) Mainan anak ke kabupaten Kudus dan Cilacap; (ii) Garmen (pakaian jadi ke Kab Magelang, Pemalang, Cilacap dan kota Semarang; (iii) Elektronik kabupaten Kudus, Pemalang, Magelang dan kota Semarang; (iv) Perabotan rumah tangga ke kabupaten Magelang; (v) Buah-buahan ke kabupaten Wonosobo. 4. Dari produk Cina yang masuk tersebut, produk sejenis yang dapat dibandingkan dengan produk Cina hanya produk: (i) Kelompok garmen meliputi sprei dan pakaian jadi; (ii) Makanan olahan; (iii) Elektronik; dan (iv) Furniture. 5. Pendapat responden tentang ACFTA di kota Semarang menyatakan bahwa sampai sekarang ACFTA belum terasa dampaknya terhadap usaha
12
UMKM, dilihat dari jumlah tenaga kerja, dan besarnya omset UMKM. Artinya jumlah tenaga kerja sebelum dan sesudah ACFTA belum ada perubahan. 6. Dampak produk Cina yang disalurkan langsung ke-9 kabupaten menurut laporan Kepala Dinas Kabupaten yang dihimpun di provinsi juga menunjukkan bahwa untuk semua produk Cina (mainan anak, elektronik, fashion, peralatan rumah tangga dan keramik) dampaknya belum terasa karena kualitasnya lebih rendah dan harganya murah. 7. Daya saing produk dalam negeri dibanding produk Cina yang disalurkan di 9 kabupaten cukup baik dilihat dari harga dan kualitasnya 8. Kesiapan Pemda setempat terkait dengan implementasi ACFTA untuk melindungi UMKM dibidang perdagangan, perindustrian, pertanian sedang dalam proses perumusan melalui seminar dan kajian antar instansi. Arah kebijakan diarahkan kepada penguatan produk-produk unggulan yang ada di masing-masing kabupaten seperti penguatan klaster kayu/mebelair furniture, batik, industri kayu olahan, rotan, bambu, konveksi dan garmen, bordir, tenun ikat, kerajinan kulit, industri logam, kerajinan kaca, keramik, bahan galian, kerajinan bahan natural, serta hasil pertanian unggulan daerah. Menurut neraca perdagangan provinsi Jawa Tengah ke Cina mulai tahun 2007 sampai tahun 2009 mempunyai kecenderungan impor semakin meningkat sedangkan ekspor semakin menurun. Artinya terjadi penurunan daya saing produk Jawa Tengah dibanding dengan produk Cina walaupun di antara pedagang dan produsen belum
terasa.
Neraca
perdagangan
ini
mengindikasikan
bahwa
perdagangan antara provinsi dan Jawa Tengah dengan Cina perlu disikapi dengan cara mempersiapkan UMKM agar memiliki daya saing yang tinggi. 9. Langkah-langkah yang sedang dilakukan Dinas Koperasi Provinsi dan Kabupaten/kota untuk melindungi UMKM antara lain: (i) Melakukan identifikasi terhadap produk-produk Cina yang masuk ke provinsi Jawa
13
Tengah. Identifikasi ini dimaksudkan untuk mengamati keunggulan produk Cina dan membandingkannya dengan produk dalam negeri. (ii) Mengadakan identifikasi dan menentukan produk unggulan UMKM. Produk unggulan ini diidentifikasi masalah dan dicari solusi peningkatan daya saingnya agar UMKM dapat bertahan dan mampu melakukan ekspor. iii) Bagi UMKM yang selama ini melakukan ekspor diarahkan untuk memperluas pasar ke negara lain non Cina. Saudin Sijabat dalam hasil temuan penelitiannya11 menyatakan bahwa Inti dari pelaksanaan perjanjian ACFTA adalah perdagangan bebas di kawasan Asia tenggara dan Cina dengan konsekuensi terjadinya persaingan yang semakin terbuka. Dalam kondisi yang demikian semua produsen dituntut untuk
meningkatkan
produktifitas
dan
memperbaki
kualitas
barang
produknya. Persaingan bebas secara agregat dan atau parsial akan merubah pangsa pasar barang produk UMKM baik di pasar lokal maupun dipasar internasional. Perubahan pangsa pasar ini akan berdampak luas mulai dari perubahan nilai hasil penjaualan (omset) harga jual produk, laba produsen, sampai dengan perubahan penyerapan tenaga kerja. Pemerintah dan kalangan stakeholder lainnya wajib memberikan dukungan kepada UMKM berupa: (1) Kebijakan memberikan kepastian harga dan pasar bahan baku yang diperlukan oleh UMKM, dengan memperpendek jaringan pasar dan menggurangi dominansi pasar atas barang-barang tersebut oleh sekelompok pedagang. (2) Membangun sistem dan model penguatan permodalan yang sesuai dengan Karakteristik UMKM. Dalam kebijakan ini koperasi bisa diikutsertakan dalam pengadaan bahan dan pemberian pinjaman modal bagi UMKM. (3) Mengembangkan teknologi baik teknologi produksi maupun teknologi informasi. (4) Memperluas jaringan pasar UMKM dan. (5) Melengkapi
sistem
kelembagaan
11
pendukung
antara
lain
lembaga
Saudin Sijabat, Prediksi Dampak Dari Pelaksanaan ACFTA Terhadap Koperasi Dan UMKM. Buletin Infokop edisi juli 2010
14
pengembangan teknologi, lembaga informasi, lembaga keuangan dan lembaga pemasaran.
15
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dalam Kajian Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang data dan informasinya diperoleh dari sumber pustaka (bacaan) baik berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan bacaan yang lainnya. 12 B. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian yang dilaksanakan ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data literatur atau library research (studi pustaka) yaitu dengan mengumpulkan literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini, kemudian dianalisis dan diambil kesimpulan. C. Sumber Data Karena penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data literatur atau library research (studi pustaka), maka bahan yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder. Data sekunder tersebut berupa bahan yang diperoleh dari buku, artikel, jurnal dan literatur lainnya yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang obyek kajian penelitian. D. Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah deskriptif-kualitatif. Dengan metode ini, masalah dan fakta akan digambarkan secara deskriptif, kemudian dianalisis
guna
memperoleh
gambaran
utuh
tentang
permasalahan-
permasalahan yang teliti. Kegiatan analisis kualitatif, seperti dipaparkan Maatthew B. Miles dan A. Michael Huberman, melibatkan kegiatan reduksi data, pengujian data dan penarikan kesimpulan.13
12
Supardi. 2005. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta (anggota IKAPI). Hlm. 34. 13 Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman. Tanpa tahun. Analisis Data kualitatif. (terj. Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press. Hlm. 15-20
16
BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS
A. Implikasi ACFTA Pada Perekonomian Indonesia
Sebagaimana diketahui FTA ASEAN-China telah dimulai pada awal 2010 ini. Hal ini berarti sejak terlaksananya liberalisasi perdagangan berbagai barrier bidang ekonomi dan perdagangan akan dihapuskan dan terjadi pergerakan arus barang, uang dan modal secara cepat. Kondisi ini menuntut kesiapan semua pihak, baik pemerintah, pelaku bisnis maupun anggota masyarakat.
Jika dicermati lebih mendalam, liberalisasi perdagangan merupakan pedang bermata dua (double-edged swords). Di satu sisi, perdagangan bebas menyodorkan peluang (opportunities), melalui penurunan hambatan-hambatan tarif dan non tarif dan meningkatkan akses produk-produk domestik ke pasar internasional. Tapi di sisi lain, liberalisasi perdaganan juga sekaligus ancaman (threat), karena liberalisasi perdagangan menuntut penghapusan subsidi dan proteksi, sehingga proses liberalisasi sekaligus meningkatkan akses produkproduk asing di pasar dalam negeri.
Kunci utama dalam menghadapi persaingan usaha dalam pasar bebas adalah keberhasilan untuk menghadapi persaingan secara global. Kemampuan UMK untuk pengembangan daya saing akan menentukan keberhasilan dalam memanfaatkan peluang leberalisasi ekonomi dunia.
Dalam menghadapi persaingan pasar bebas, UMK dituntut untuk menghasilkan produk yang memiliki daya saing yang tinggi antara lain dengan
17
kriteria : (1) produk tersedia secara teratur, (2) produk harus memiliki kualitas yang baik dan seragam, (3) produk dapat disediakan secara masal. Bagi UMK yang berusaha dalam bidang agrabisnis untuk memenuhi persyaratan ini tidaklah mudah, karena masih besarnya faktor alam dan terbatasnya teknologi produksi dan processing dan sumberdaya manusia. Di samping itu UMK harus dapat memenuhi berbagai isu standar perdagangan internasional seperti : isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000), isu Hak Asasi Manusia dan isu ketenagakerjaan. Kadang-kadang isu-isu ini digunakan secara tidak fair oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for Trade).
Dalam menghadapi tuntutan tersebut, sebenarnya banyak cara yang bisa digunakan, diantaranya adalah dengan memperkuat permodalan UMK dan meng-upgrade pelaku usaha menjadi sadar IT dan mau berubah menjadi lebih baik dan lebih cepat untuk merespon kebutuhan pasar, persaingan, dan melihat peluang pasar yang ada.
Untuk menambah permodalan, pelaku usaha besar dan menengah biasanya mengakses jasa perbankan. Namun berbeda dengan kasus pada usaha yang berskala mikro kecil. Akses lembaga permodalan yang paling mudah dan tepat adalah lembaga keuangan mikro. Seperti yang kita ketahui dalam perkembangan Lembaga keuangan mikro yang ada, terdapat satu karakteristik mikro yang berlabel fungsi sosial dan ekonomi sekaligus atau lebih dikenal sebagai Baitul Maal Wat Tamwil. Lembaga ini sebagaimana dipaparkan di atas telah menjamur dimana-mana dan berpotensi sebagai lembaga permodalan yang efektif pada pelaku UMK karena karakternya yang luwes dan mudah dijangkau oleh masyarakat dengan persyaratan yang sederhana. Oleh karena itu untuk menghadapi ACFTA, BMT dapat digunakan sebagai batu loncatan tercepat dalam penyiapan UMK yang dapat bersaing dan kompetitif melalui permodalannya maupun bentuk edukasi dan fungsi sosialnya.
18
Jika BMT sebagai Baitul Mal berfungsi sebagai lembaga sosial, maka BMT sebagai Baitul Tamwil berfungsi sebagai lembaga bisnis yang profit oriented. Dalam menjalankan fungsi ini, BMT memberikan pembiayaan dengan konsep syariah, antara lain mudharabah dan musyarakah (bagi hasil), jual beli (murabah, salam, istisna’) dan ijarah (sewa), rahn (gadai), dsb. Konsep bagi hasil untuk sebagian besar rakyat Indonesia merupakan konsep ‘lama’ dan sudah menjadi bagian dari proses pertukaran aktivitas ekonomi masyarakat.
BMT dapat melakukan pemberdayaan kepada UMK khususnya pedagang kecil atau masyarakat menengah ke bawah, yaitu dengan melakukan tiga kegiatan sebagai berikut :
a. Pembiayaan b. Pembinaan c. Pemasaran Produk / Jasa
19
B. Lembaga Keuangan Mikro Syariah
Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) secara teknis mengikuti pola kerja yang sudah dibakukan dalam kolaborasi bentuk koperasi dan lembaga keuangan
serta sosial yang lebih dikenal dengan BMT. Secara
konseptual, BMT memiliki dua fungsi : Baitul Tamwil (Bait = Rumah, Tamwil = Pengembangan Harta) – melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Secara singkat, Bait al-mal merupakan lembaga pengumpulan dana masyarakat yang disalurkan tanpa tujuan profit. Sedangkan bait at-tamwil merupakan lembaga pengumpulan dana (uang) guna disalurkan dengan orientasi profit dan komersial. 14
BMT merupakan lembaga keuangan syariah non-perbankan yang berbadan hukum koperasi yang bergerak dalam skala mikro sebagaimana koperasi simpan pinjam (KSP). Target atau sasaran utama dari BMT adalah para nasabah yang bergerak pada sektor mikro, kecil, atau menengah.
Perbedaan mendasar antara BMT dengan Bank Umum Syari’ah (BUS) atau juga Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) adalah dalam bidang pendampingan dan dukungan. Berkaitan dengan dukungan, BUS dan BPRS terikat dengan peraturan pemerintah di bawah Departemen Keuangan atau juga peraturan Bank Indonesia (BI). Sedangkan BMT dengan badan hukum koperasi, secara otomatis di bawah pembinaan Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Oleh karena itu, peraturan terkait dengan BMT juga berasal dari departemen ini.
14
Muhammad Ridwan. Manajemen Baitul Mal wa Tamwil. UII Press, Yogyakarta 2004.
Hal. 126
20
Selain peraturan tentang koperasi dengan segala bentuk usahanya, Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah atau BMT diatur secara khusus dengan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 91/Kep/M.KUMK/IX/2004 dan juga Peraturan Pemerintah tentang Koperasi Jasa Keuangan Syariah/ Unit Jasa Keuangan Syariah tahun 2008. Dengan keputusan ini, segala sesuatu yang terkait dengan pendirian dan pengawasan BMT berada dalam pengawasan Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Mengengah.
Semenjak pertama kali dikenal pada tahun 1992, jumlah BMT di seluruh Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 3.307 unit yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia. diseluruh indonesia,
dengan asset yang
diperkirakan lebih dari Rp 1,5 triliun, melayani lebih dari 2 juta penabung dan memberikan pinjaman terhadap 1,5 juta pengusaha mikro dan kecil. BMT sebanyak itu telah mempekerjakan tenaga pengelola lebih dari 21.000 orang. Berdasarkan kajian Kantor Mennegkop dan UKM, LKM hanya mampu melayani 2,5 juta dari 39 juta pelaku UMKM. Dana yang mampu disediakan pun hanya sekitar 6 persen dari kebutuhan pembiayaan UMKM. Karenanya, Indonesia masih memerlukan lebih dari 8.000 unit LKM baru.15
Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa LKMS secara umum mengikuti sistem dasar BMT. Secara garis besar BMT memiliki dua fungsi utama sebagaimana yang tertulis dalam definisinya, yaitu fungsi sosial (bait maal) dan fungsi ekonomi atau bisnis (bait tamwil). Oleh karena itu pembahasan pola kerja BMT diklasifikan ke dalam dua fungsi di atas.
1. Fungsi Sosial BMT 15
Rifki Muhammad, disamoaikan pada acara workshop Akuntansi bagi Pengelola BMT Se Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (FE UII) Yogyakarta, pada bulan Mei 2009.
21
Salah satu upaya strategis untuk mengentaskan kemiskinan tersebut adalah dengan berusaha untuk menumbuhkembangkan usahausaha yang bergerak pada sector mikro dan kecil melalui Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah yang disebut Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Lembaga keuangan ini telah terbukti dapat memberdayakan masyarakat kelas paling bawah (grass root) secara signifikan. Hal ini terbukti dengan berkembangnya BMT dengan cukup pesat.
Selain itu, BMT yang saat ini telah berjumlah ribuan di seluruh Indonesia, merupakan lembaga kecil yang tumbuh dan berkembang berdasarkan dukungan masyarakat. Karena sifatnya yang mikro, maka lembaga ini sanyat bersentuhan langsung dengan masyarakat kecil dan pelaku usaha mikro dan kecil. Peran lembaga ini untuk mengurangi angka kemiskinan sangat strategis, mengingat lembaga perbankan belum mampu menyentuh masyarakat akar rumput (fakir, miskin dan kaum dhu’afa lainnya). Akses mereka terhadap perbankan sangat kecil, bahkan hampir tak ada sama sekali. Mereka juga tidak punya agunan dan tidak pandai membuat proposal.
Sisi kegiatan sosial BMT lainnya yakni untuk membantu meringankan beban ekonomis anggota dengan tidak mengambil keuntungan finansial. Kegiatan ini untuk menunjang kegiatan bisnis. Kegiatan sosial ditempuh dengan16:
a) Memberikan bantuan berupa pinjaman untuk kegiatan nonproduktif seperti: berobat, biaya sekolah, dan lain-lain. Bantuan tidak komersial
16 Saifuddin A. Rasyid, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Di Pedesaan Melalui BMT Dan Koperasi Syariah, www.republika.co.id diakses pada tanggal 12/02/2010
22
dibutuhkan oleh sebagian anggota BMT terutama pada tahap awal mereka menjadi anggota. b) Pembiayaan untuk belajar usaha diberikan kepada anggota yang sangat miskin dan mempunyai keinginan memulasi usaha. Sebagai pengusaha pemula, anggota ini belum mempunyai keterampilan dan pengalaman, sehingga belum layak menerima pembiayaan dari dana untuk bisnis. c) Pendidikan dan bimbingan usaha secara informal dan nonformal kepada
anggota
yang
menerima
pembiayaan
agar
mampu
mengembangkan usaha dan bisa mempertangungjawabkan pembiayaan yang diterimanya.
d) Pendidikan dan bimbingan pemanfaatan hasil usaha yang diperoleh anggota agar benar-benar bermanfaat untukmeningkatkan taraf hidup mereka. Dalam hal ini BMT harus mampu menanamkan keteguhan hati agar anggota membelanjakan hasil usaha itu sesuai dengan kebutuhan.
e) Pendidikan dan penyuluhan moral serta peningkatan kesejahteraan yang dilaksanakan secara sistematis dan terencana, seperti pendidikan tentang budi pekerti, penyuuluhan kesehatan, kebersihan, pendidikan anak, keutuhan keluarga dan lain-lain. Bentuk pembinaan moral biasanya dilakukan dengan model pengajian baik sorogan maupun klasikal.
2. Fungsi Ekonomi
Jika BMT sebagai Baitul Mal berfungsi sebagai lembaga sosial, maka BMT sebagai Baitul Tamwil berfungsi sebagai lembaga bisnis yang profit oriented. Dalam menjalankan fungsi ini, BMT memberikan
23
pembiayaan dengan konsep syariah, antara lain mudharabah dan musyarakah (bagi hasil), jual beli (murabah, salam, istisna’) dan ijarah (sewa), rahn (gadai), dsb. Konsep bagi hasil untuk sebagian besar rakyat Indonesia merupakan konsep ‘lama’ dan sudah menjadi bagian dari proses pertukaran aktivitas ekonomi masyarakat.
BMT dapat melakukan pemberdayaan kepada UMK khususnya pedagang kecil atau masyarakat menengah ke bawah, yaitu dengan melakukan tiga kegiatan sebagai berikut:
1) Pembiayaan
Pedagang kecil ataupun masyarakat menengah ke bawah dalam memperoleh dana pembiayaan untuk memperluas usahanya ataupun membangun usaha baru bagi masyarakat menengah ke bawah relatif sangat sulit, maka BMT mampu menjangkaunya untuk memperoleh pembiayaan yang diberikan oleh BMT tanpa menghilangkan unsur kehati-hatian dalam penyaluaran pembiayaannya.
2) Pembinaan
Pedagang Kecil dan masyarakat menengah ke bawah dalam melakukan usahanya dan agar mampu mempertanggungjawabkan pembiayaannya, maka BMT sering kali memberikan pembinaan kewirausahaan maupun pengelolaan keuangan. Bentuk pembinaan dapat dilakukan dengan cara mengadakan seminar ataupun pelatihan. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan keterampilan yang dimiliki oleh penerima pembiayaan. Dalam program pembinaan ini, BMT dapat
melakukan
pembinaan
24
pelatihan
kewirausahaan
untuk
masyarakat umum, hal ini akan dapat meningkatkan nilai positif bagi masyarakat umum sekaligus membangkitkan semangat berwirausaha kepada masyarakat umum. Dengan demikian program pembinaan dapat memberikan peningkatan jumlah penyaluran dana BMT dengan meningkatnya jumlah penerima pembiayaan yang telah mendapatkan pembinaan terlebih dahulu.
3) Pemasaran Produk / Jasa
Untuk membantu kelancaran usaha dari penerima pembiayaan dan menjawab kerisauan para anggota penerima pembiayaan, maka BMT dapat melakukan bantuan kepada penerima pembiayaan usaha tersebut dengan cara menghubungkan antara penjual dan pembeli bahan baku yang tergabung dalam penerima pembiayaan. Dan bahkan BMT dengan bekerja sama dengan lembaga bisnis dalam lingkup usaha besar mampu melakukan pemasaran kepada masyarakat luas terhadap hasil usaha penerima pembiayaan.
Sebagai contoh aplikasi pemberdayaan LKMS adalah bentuk pemberdayaan agrobisnis yang dilakukan oleh pihak BMT Bina Ihsanul Fikri bekerjasama dengan pihak pemerintah dalam pengucuran dana pinjaman. Model penyalurannya adalah langsung diberikan kepada pelaku usaha agro yang telah menjadi anggota BMT, kemudian setelah masa panen pihak BMT menyalurkan hasil agro tersebut kepada pemerintah maupun distributor hasil agro tersebut sehingga kendala pemasaran dapat teratasi.17
17
Profil BMT Bina Ihsanul Fikri 2008
25
Implementasi Konsep Trading House pada LKMS ini dibutuhkan karena jaringan LKMS yang sudah menyebar di seluruh penjuru Indonesia sebagaimana data yang dipaparkan dalam perkembangan LKMS di Indonesia yang mencapai hampir 4.000 unit yang setiap unitnya hampir memiliki 5.000 anggota. pengimplementasian ini diharapkan dapat memberikan dorongan dan akselerasi pada penguatan UMK yang selama ini menjadi soko ekonomi rakyat Indonesia.
Sebagaimana deskripsi kriteria kedua bentuk konsep dari Trading House dan LKMS memiliki kesamaan di beberapa sektor, diantaranya adalah:
1) Sebagai lembaga pendukung bahan baku 2) Sebagai lembaga pendukung permodalan 3) Sebagai lembaga penyalur produk 4) Sebagai lembaga pendukung manajemen dan teknologi 5) Sebagai sentral UMK
Kesamaan di atas didukung dengan pola kerja yang hampir sama dalam teknisnya antara Trading House dan LKMS baik dalam pembinaan dan pemberdayaan SDM pada UMK. Apabila acuan tersebut digunakan sebagai dasar implementasi dan penerapan Trading House dalam LKMS konsep Trading House dapat dikatakan sangat sesuai dengan peranan LKMS selama ini dengan beberapa up-grade sistem dan komponen pada LKMS. Adapun bentuk penerapan konsep Trading House pada UMK dapat dilakukan dengan langkah penyesuaian sebagai berikut:
1) Identifikasi manajemen dasar dari LKMS. Hal ini dilakukan karena biasanya LKMS yang ada tidak selamanya sama dalam hal
26
manajemen, apalagi jika dilihat dari perbedaan daerah yang kebutuhannya pasti berbeda-beda. Oleh karena itu identifikasi ini penting dilakukan untuk menyempurnakan merge sistem dalam LKMS.
2) Pengadaan kontrak kerjasama antara pemerintah dengan LKMS dalam
penggunaan
sistem
Trading
House
serta
laporan
perkembangannya selama masa kontrak kerjasama berlangsung. Hal ini dibutuhkan pada awal-awal penerapan sistem ini pada LKMS agar dapat dievaluasi kemudian disempurnakan apabila masih terdapat kekurangan.
3) Pengadaan divisi khusus dari pemerintah untuk memantau kinerja LKMS yang bekerjasama dalam program sinergisitas Trading House. Hal ini diperlukan agar pergerakan program ini lebih masif dan terkontrol dengan baik.
27
C. Evaluasi Konsep Linkage Program Perbankan dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah Sebagaimana diketahui bersama bahwa
tujuan pengadaan linkage
program pada perbankan dan lembaga keuangan mikro adalah untuk mempercepat serapan dana segar bagi UMKM dan mengatasi permasalahan perbankan yang selama ini masih minim dalam optimalisasi jaringan pada tingkat industri menengah ke bawah dan mikro. Namun demikian, program ini dirasa belum bisa mencapai target yang diharapkan di awal sebagaimana yang dicanangkan oleh kementerian koperasi dan UMKM dengan Bank Indonesia yang termaktub dalam PERMENKOP dan UMKM No. 03/Per/M.KUKM/III/2009 Tentang Pedoman Umum Linkage Program Antara Bank Umum Dengan Koperasi. Indikasi lain juga bisa dilihat dari banyaknya trend perbankan syariah yang sekarang membuka unit keuangan pembiayaan mikro seperti Danamon Simpan Pinjam (DSP) dari Bank Danamon, Mega Mitra (dari Bank Mega) dan model-model lain yang saat ini telah beredar di perbankan syariah. Keputusan ini juga bisa dilihat dari rekrutmen perbankan syariah atas SDM pembiayaan mikro. Keputusan ini memang cukup solutif bagi bank syariah agar memperluas jaringan kepada kalangan bawah UMK. Namun demikian terlalu beresiko secara jangka panjang karena secara sistem dan kesiapan SDM lapangan masih sangat minim. Program ini belum menyentuh persoalan utama dalam rangka linkage program untuk meningkatkan akses pembiayaan UMKM. Permasalahannya adalah tidak sedikit koperasi yang tidak akuntabel sehingga perbankan masih belum bisa mempercayai sistem yang ada di Koperasi atau lembaga keuangan mikro semisal BMT. Hal ini diperparah dengan tidak adanya rating yang jelas mengenai BMT dan koperasi atau lembaga semisal sehingga tidak ada indikator penilaian yang mendukung perbankan dalam memutuskan untuk eksekusi program ini.
28
Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi yang jelas akan kinerja masingmasing lembaga dan jaminan dari pemerintah terkait program ini serta tindak lanjut konkret dalam standar operasional prosedur pemberdayaan UMKM mulai dari peran perbankan sampai BMT dan aplikasinya pada pemberdayaan UMKM. Hal ini agar saling memberikan keuntungan tanpa harus merugikan salah satu pihak.
D. Formulasi Pembiayaan dan Edukasi yang Efektif Pada UMK dalam Menghadapi Tantangan Pasar Global
Menganalisa beberapa kelemahan UMK dan potensi BMT yang dapat digunakan untuk menutupi kelemahan UMK tersebut, maka dapat dirumuskan langkah strategis dari pola kerja BMT pada awalnya dengan beberapa inovasi khusus untuk menjadikan BMT sebagai sentral pergerakan UMK untuk memperkuat daya saingnya.
Bentuk formulasi yang dimaksud diberi nama BLESS-E. BLESS-E (BMT Learning and Supporting System for Enterprises) merupakan sebuah bentuk edukasi dan pembelajaran manajemen usaha dan penunjang sistem usaha oleh BMT kepada UMK. Adapun pola kerjanya adalah sebagai berikut: 1. mengoptimalkan fungsi dasar BMT sebagaimana digambarkan pada pola kerja yang meliputi : a. Fungsi sosial, yang terdiri dari : 1). Bantuan dan pinjaman lunak untuk penunjang hidup masyarakat baik menggunakan dana yang diperoleh dari Bait Maal (ZIS) maupun beban pendapatan dari hasil denda yang ditujukan untuk fungsi sosial oleh BMT. 2). Edukasi norma-norma bisnis dalam islam yang mengangkat nilai kejujuran, kepercayaan dan saling tolong menolong b. Fungsi ekonomi, yang terdiri dari : 1) fungsi pembiayaan, 2) fungsi edukasi dan bimbingan dan 3) pemasaran produk.
29
2. Memberikan sistem manajemen sederhana dalam usaha serta menjadikan BMT basis informasi bisnis UMK. 3. Memadukan sistem pembinaan BMT pada anggota UMK dengan pola edukasi bisnis terpadu melalui pembentukan kelompok usaha sesuai dengan kluster usaha masing-masing atau produk tertentu. Formula BLESS-E ini dapat berjalan dengan baik manakala ada dukungan dari beberapa elemen masyarakat dan stakeholder langsung maupun tidak langsung dari program ini. Adapun elemen yang sangat berpengaruh dalam akselerasi formula BLESS-E ini adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah, yaitu dengan membentuk sub-jaringan khusus yang memantau dan mensupport kegiatan BMT secara terpusat sehingga dapat dipantau perkembangan dan kendala yang dihadapi, baik dalam pembimbingan UMK maupun dalam permasalahan pemasaran produk dan lain-lain. 2. Lembaga keuangan Syariah Bank dan BPRS. Kedua lembaga ini secara terpadu memberkan Support IT dan permodalan kepada BMT atau biasanya disebut linkage program. Adapun bentuk lingkage program BMT-BPRS dan Bank Umum Syariah adalah sebagai berikut :
30
3. Komite dewan pengawas manajemen (DPM) dan Dewan pengawas Syariah (DPS). Diperlukan dukungan secara penuh dari DPM dan DPS dalam pengembangan BMT/LKMS secara terpadu sehinga manajemen dan factor syariah dari BMT/LKMS dapat berjalan dengan seimbang dan mampu
menjawab
keraguan
masyarakat
BMT/LKMS selama ini.
31
umum
terhadap
sistem
BAB.V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil analisa pada pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan ACFTA terhadap UMK Indonesia adalah persaingan pasar secara global dalam kuantitas dan harga. Dampak ini harus ditanggulangi dengan penguatan UMK melalui permodalan dan manajemen usaha. Lembaga yang efektif dalam pelaksanan hal ini adalah LKMS. 2) Permasalahan mendasar yang dihadapi dalam implementasi linkage program adalah: a. Belum adanya standar khusus yang menilai BMT/ LKMS serta prosedur yang jelas b. Keputusan perbankan yang membuka unit syariah skala mikro 3) Pola kerja BMT meliputi dua aspek dasar: c. Aspek sosial, aspek ini terdiri dari bantuan sosial sesuai dengan kriteria syariah pinjaman lunak usaha, dan edukasi. d. Aspek ekonomi, aspek ini berbasis pada penguatan permodalan dengan optimalisasi kelompok usaha anggota dan edukasi bisnis. 4) Formulasi BMT Learning and Supporting System for Entreprise mengarah pada: e. Optimasi fungsi BMT/ LKMS dengan pola kerja sebagaimana dalam pembahasan f. Integrasi UMKM dan BMT/ LKMS dalam sirkulasi bisni g. Menjadikan BMT/ LKMS sebagai sentral kegiatan bisnis dari UMKM anggotanya.
32
B. Saran Untuk menunjang realisasi dari implementasi sistem ini perlu dukungan dari pemerintah yang diwakili dari Kemenkop dan UMKM, Kemendag, serta Keminfo untuk membentuk sebuah sub atau divisi khusus yang mengakomodir dan mengontrol jalannya program sampai dengan pengupayaan dalam optimalisasi linkage program antar perbankan syariah dan BMT/ LKMS yang diformulasikan dalam program ini.
33
DAFTAR PUSTAKA Amalia, Euis. Potensi dan Persoalan LKMS/BMT Bagi Penguatan UKM Dalam Kerangka Keadilan Distributif Ekonomi Islam. Makalah International Seminar And Symposium Unair, 1-2 Agustus 2008. Batubara, Chuzaimah dan M. Yafiz. BMT Vs Rentenir dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat; Studi Kasus di Kec. Percut Sei Tuan, Deli Serdang Sumatera Utara. Makalah INTERNATIONAL SEMINAR AND SYMPOSIUM Unair. 1-2 Agustus 2008 Http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2010/01/02/22484174/menko.ke sra.khawatir.afta.ganggu.perdagangan.domestik Http://hariansib.com/?p=103326 Http://id.news.yahoo.com/antr/20091228/tpl-pemerintah-siapkan-bahannegosiasi-f-cc08abe.html http://www.depkop.go.id/index.php/20090429341/Berita/MediaMassa/memeratakan-kredit-dengan-linkage-program.html, pada 12 Nopember 2010
diakses
Majalah Sharing, Edisi Maret 2010. Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. Tanpa tahun. Analisis Data kualitatif. (terj. Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press Muhammad, Rifki. disampaikan pada acara workshop Akuntansi bagi Pengelola BMT Se Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (FE UII) Yogyakarta, pada bulan Mei 2009.
Panggabean, Riana. Kesiapan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM) Menghadapi Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) (Studi Kasus Dampak ACFTA Terhadap UMKM di DKI Jakarta dan Prov. Jawa Tengah), Buletin Infokop edisi Juli 2010 Profil BMT Bina Ihsanul Fikri 2008 Rasyid, Saifuddin A. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Di Pedesaan Melalui BMT Dan Koperasi Syariah, www.republika.co.id Ridwan, Muhammad. Manajemen Baitul Mal wa Tamwil. UII Press. Yogyakarta 2004 Sijabat, Saudin. Prediksi Dampak Dari Pelaksanaan ACFTA Terhadap Koperasi Dan UMKM. Buletin Infokop edisi juli 2010
34
Siregar, Mulya. Peran LKS dalam Pemberdayaan Sektor Riil, Talkshow Indonesia Syariah Expo 2007 dengan tema membangun sinergisitas LKS dengan Sektor Riil. Supardi. 2005. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta (anggota IKAPI). Website Dep.Kop dan UMKM RI, www.smecda.com
35