Biodata:
Nama
: Kallula Harysnta Esterlita
Tempat & tanggal Lahir
: Jakarta, 26 Maret 1989
NIM
: 207000309
Program Studi
: Hubungan Internasional
ABSTRACT
Name Student ID Total Pages Title
: Kallula Harsynta Esterlita : 207000309 : (21 article pages) : Thailand-Cambodia Border Conflict and the Impact to the South East Asia.
This Article is about problems in the Thailand-Cambodian boarder that involves an ancient temple called Preah Vihear, this temple has been the source of this two disputed area since the beginning of the Cambodia independence. In the 1958 to be exact Thailand claim the temple, and since then in 2008 when UNESCO claim the temple as a world heritage both of the country declare war by putting their army around the temple. ASEAN is put up with a test with this conflictbecause in 2015 they are heading for the ASEAN community and they cant have that if their members are at war against each other. In 2011 Indonesia was the chairman of ASEAN and took the initiative to negotiate and facilitate Thailand-Cambodia conflict, despite with the chaotic internal government of Thailand at that time that could effect the ASEAN effort to put them to peace. The result of the bilateral cooperation Thailand-Cambodia and Indonesia as the ASEAN chairman was an agreement to send Indonesia Observer Team at the border at the border/temple to observe the location. The purpose of this article is to explain the depth of the problem that both of this country have from every aspect that could impact a bigger picture, which is ASEAN. This article is using a qualitative method to capture the essence of the problem and hopefully can help other to understand the importance of this conflict that could inflict bigger than its nations.
DAMPAK KONFLIK PERBATASAN THAILAND DAN KAMBOJA TERHADAP KAWASAN ASIA TENGGARA Oleh: Kallula Harsynta Esterlita 207000309 Hubungan Internasional
Pendahuluan Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara. Isu perbatasan memiliki peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, hukum nasional dan internasional. Batas-batas teritorial dari suatu negara merupakan refleksi dari batas-batas geografis suatu etnis tertentu. Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara dua negara yang berdaulat. Pada awalnya perbatasan sebuah negara dibentuk dengan lahirnya negara. Sebelumnya penduduk yang tinggal di wilayah tertentu tidak merasakan perbedaan itu, bahkan tidak jarang mereka berasal dari etnis yang sama. Namun dengan munculnya negara, mereka terpisahkan dan dengan adanya tuntutan negara itu mereka mempunyai kewarganegaraan yang berbeda. Lahirnya konsep negara-bangsa (nation-state) memunculkan adanya kesamaan cita-cita yang tidak jarang bersifat lintas etnis. Perbatasan negara dalam konteks semacam itu menunjukkan kompleksitas tersendiri yang memperlihatkan bahwa batas negara tidak hanya membelah etnis yang berbeda, akan tetapi juga membelah etnis yang sama disebabkan dialaminya sejarah kebangsaan yang berbeda oleh warga etnis yang sama. Permasalahanpermasalahan yang terkait dengan masalah perbatasan antara lain meliputi hak-hak tradisional, hak dan kewajiban internasional di perbatasan, hubungan hukum nasional dan internasional, masalah demografi, sifat-sifat alam, daerah perbatasan dan kedudukan batas artifisial. Tidak dapat dipungikiri fakta dewasa ini bahwa tidak sedikit muncul interstate conflict yang dipicu oleh masalah perbatasan. Ancaman terhadap stabilitas kawasan sebagai ekses dari konflik perbatasan tidak lepas dari kondisi dunia dan kawasan saat ini, di mana interdependensi
keamanan dan ekonomi semakin menguat. Meskipun suatu negara tidak terlibat langsung dalam sengketa perbatasan yang melibatkan negara lain, akan tetapi ketidakmampuan pihak-pihak yang terlibat sengketa dalam mengelola konflik akan berdampak terhadap stabilitas keamanan kawasan. Hal ini sudah menjadi suatu fenomena umum dalam tatanan internasional dan kawasan saat ini.
Konflik Thailand-Kamboja Salah satu isu interstate conflict di kawasan ini adalah konflik Thailand-Kamboja atas Kuil Preah Vihear. Dalam penetapan batas Kamboja-Thailand di era kolonial, Kamboja diwakili oleh Prancis sebagai penjajah. Yaitu Franco-Thai Convention pada 1904 yang menyepakati batas kedua negara.1 Namun konvensi itu kembali menjadi gugatan setelah Kamboja merdeka pada 1953 akibat pendudukan Thailand terhadap kuil itu pada 1958.2 Pendudukan tersebut mendorong Kamboja pada tahun 1962 membawa kasus itu ke Mahkamah International yang keputusan akhirnya menetapkan bahwa Kuil Preah Vihear merupakan milik Kamboja. 3 Dalam konteks ini, Thailand secara resmi tidak mengklaim kuil tersebut namun menggugat klaim Kamboja atas wilayah di sekeliling kuil bersejarah itu. 4 Dalam putusan Mahkamah Internasional, tidak ditetapkan bagaimana status hukum wilayah di sekitar Kuil Preah Vihear dan hal ini menjadi pintu masuk bagi Thailand untuk menegaskan klaimnya. Masalah kuil tersebut kemudian tenggelam seiring dengan terbenamnya Kamboja ke dalam perang saudara dari 1970-1989. Dari aspek pariwisata, banyak turis asing yang berkunjung ke Kuil Preah Vihear melalui Thailand tanpa memerlukan visa Kamboja, meskipun secara fisik kuil berada di wilayah Kamboja. Sebab infrastruktur Thailand di sekitar kuil jauh lebih bagus daripada infrastruktur Kamboja sendiri. Kuil Preah Vihear kembali menjadi isu panas bagi Thailand dan Kamboja pada 2008 ketika UNESCO menetapkannya sebagai Situs Warisan Dunia. 5 Hal itu memicu reaksi keras dari kaum nasionalis Thailand dan akhirnya kedua negara menempatkan pasukan militernya di sekitar 1
. http://asc.iseas.edu.sg/about-us/home/item/2-seminar-on-thai-cambodian-conflict, diakses pada 26 April 2012 pukul 12.50 WIB 2 . http://asc.iseas.edu.sg/about-us/home/item/2-seminar-on-thai-cambodian-conflict, diakses pada 26 April 2012 pukul 12.50 WIB 3 . http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-12378001, diakses pada 26 April 2012 pukul 13.05 WIB 4 . http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-12378001, diakses pada 26 April 2012 pukul 13.05 WIB 5
. http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-12378001, diakses pada 26 April 2012 pukul 13.05 WIB
wilayah sengketa. Pada April 2009, terjadi tembak menembak antara militer Thailand dan Kamboja di sekitar Kuil Preah Vihear. 6 Kejadian serupa kembali terulang pada Februari 2011 yang menelan korban delapan orang dari beberapa hari kontak senjata. 7 Konflik perbatasan Thailand-Kamboja merupakan ujian bagi ASEAN yang sedang menuju pada Komunitas ASEAN (ASEAN Community) pada 2015, di mana salah satu pilarnya adalah Komunitas Politik-Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community). Sebab konflik tersebut telah menjadi ajang penggunaan kekuatan koersif antar dua negara ASEAN tersebut yang sesungguhnya tidak selaras dengan semangat Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dan ASEAN Charter. Dalam TAC ditekankan bahwa sengketa atau konflik antar negara ASEAN harus diselesaikan melalui cara-cara damai. Konflik perbatasan Thailand dan Kamboja pada dasarnya merupakan peninggalan dari era kolonial. Ketidaksepakatan antara Prancis sebagai penjajah Kamboja di masa lalu dan Thailand terhadap segmen perbatasan kedua negara di wilayah sekitar kuli Preah Vihear meninggalkan residu yang menjadi kerikil pengganjal dalam hubungan antara Thailand-Kamboja di abad ke-20 dan ke-21. Meskipun terdapat sejumlah upaya dari kedua negara untuk mencari solusi damai atas konflik tersebut, akan tetapi seringkali situasi internal di masing-masing negara menjadi penghalang bagi Thailand-Kamboja untuk mampu menyelesaikan sengketa itu. Situasi politik internal di Thailand maupun Kamboja berkembang di luar kehendak dan kendali pihak internasional seperti UNESCO dan ASEAN. Alih-alih menemukan solusi damai, militer kedua negara justru terlibat dalam pertempuran perbatasan yang berulang-ulang. Upaya ASEAN untuk mendamaikan kedua negara anggotanya tersebut belum mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Tingkah laku Thailand dan Kamboja dalam mencari solusi atas kuil bersejarah itu sangat dipengaruhi oleh persepsi publik di dalam negeri, di mana seringkali persepsi publik di dalam negeri tidak sejalan dengan keinginan ASEAN. Sebenarnya dinamika konflik itu pada 2008 menjanjikan secercah harapan bagi Thailand dan Kamboja untuk menemukan solusi damai terhadap kuil Preah Vihear dan kawasan di sekitarnya. Begitu pula dengan dorongan pihak ketiga seperti UNESCO, terkait dengan pendaftaran kuil Preah Vihear sebagai World Heritage List, mampu mempertemukan pemimpin Thailand-Kamboja untuk duduk bersama membicarakan konflik berlarut itu. Begitu pula dengan 6 7
. http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-12378001, diakses pada 26 April 2012 pukul 13.05 WIB . http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-12378001, diakses pada 26 April 2012 pukul 13.05 WIB
peran ASEAN, yang seiring dengan berkeinginan menjadi aktor utama di kawasan Asia Tenggara, untuk mendorong kedua negara anggotanya itu guna mencari solusi atas konflik tersebut. Namun menjelang pendaftaran kuil Preah Vihear oleh UNESCO pada Juli 2008, ketegangan meningkat di perbatasan Thailand-Kamboja. Kedua negara menyebarkan tentaranya ke garis depan dan menduduki wilayah-wilayah di sekitar kuil bersejarah tersebut. Tentara Thailand menduduki pagoda Keo Sikha Kiri Svara di dekat Preah Vihear dan termasuk dalam wilayah sengketa 4.6 km2.8 Selain itu, militer Thailand juga menduduki komplek Ta Moan pada Agustus 2008 yang berjarak 150 km di sebelah barat dari kuil sengketa. Sebagai balasannya, tentara Kamboja menduduki kuil Ta Krabei yang berada 13 km sebelah timur Ta Moa.9 Langkah Kamboja itu direspon oleh Thailand dengan menyebarkan 35 personel Ranger ke wilayah yang sama. Situasi ini memunculkan ketegangan di perbatasan kedua negara, bahkan sempat menimbulkan konfrontasi tingkat rendah antara pasukan kedua negara yang berpatroli. Penyebaran kekuatan militer kedua negara ke wilayah sengketa seperti telah dijelaskan sebelumnya antara lain dipicu oleh penahanan sementara tiga demonstran Thailand oleh tentara Kamboja di sekitar Preah Vihear pada Juli 15 Juli 2008. 10 Penahanan itu memicu kemarahan besar di Thailand yang berujung pada penyebaran tentara Thailand ke wilayah sengketa dan direspon oleh Kamboja dengan langkah serupa. Militer kedua negara terlibat dalam pertempuran skala kecil pada 3 Oktober 2008 yang ditandai dengan tembak menembak senapan serbu dan roket yang melukai seorang tentara Kamboja dan dua prajurit Thailand. 11 Pertempuran itu memicu pengungsian ribuan orang Kamboja di wilayah sengketa yang masih trauma dengan perang masa lalu di negerinya. 12 Kamboja selanjutnya menerbitkan nota protes diplomatik kepada Thailand dengan menyebut insiden itu dapat memicu “konsekuensi berat, termasuk permusuhan bersenjata skala besar”.13 Pertempuran kembali terulang pada 15 Oktober 2008 di mana kedua negara saling tembak menembak menggunakan roket peluncur granat, mortar, senapan mesin dan senjata kecil 8
. Ibid, hal.5 . Ibid 10 . Martin Wegener, “Lesson From Preah Vihear: Thailand, Cambodia, and The Nature of Low Intensity Border Conflict”, Journal of Current Southeast Asian Affairs, Volume 3, 2011, hal.32 11 . International Crisis Group, Op.cit, hal.6 12 . Ibid 13 Ibid 9
lainnya. 14 Pemicu pertempuran itu adalah adanya kesalahpahaman Kamboja atas rotasi tentara Thailand di wilayah sengketa. Hingga akhir Oktober 2008, militer Thailand yakni bahwa Kamboja memiliki sekitar 2.800 personel militer di sekitar Preah Vihear yang berhadapan dengan 600 tentara Thailand.15 Pasca pertempuran itu, ketegangan terus terjadi di sekitar Preah Vihear. Pada April 2009, Januari 2010, April 2010 dan Juni 2010, tentara Kamboja dan Thailand kembali terlibat pertempuran di wilayah sengketa. Akibat sejumlah pertempuran skala kecil tersebut, delapan tentara telah menjadi korban di kedua belah pihak.16 Pertempuran pada 3 April 2010 melibatkan senjata kaliber besar seperti meriam artileri dan mortar.17 Terjadi sejumlah pertempuran selama periode 2008-2011 melahirkan keprihatinan mendalam dari ASEAN. ASEAN mendesak kepada Thailand dan Kamboja untuk menyelesaikan sengketa itu secara damai. Berdasarkan desakan dari ASEAN, sejak Oktober 2008 kedua negara terlibat dalam perundingan bilateral yang bersifat “on off”.18 Pada awal November 2008, Joint Border Committee (JBC) yang dibentuk berdasarkan pada MoU 2002 bertemu kembali untuk pertama kalinya sejak 2004. Akan tetapi pertemuan tersebut kembali tidak mencapai kesepakatan mengenai isu wilayah sengketa. Sumber ketidaksepakatan kedua negara adalah aspirasi kedua negara yang berbeda. Thailand ingin kembali merundingkan wilayah perbatasan berdasarkan perjanjian Prancis-Siam pada 1904 dan 1907 yang menggunakan prinsip pemisahan garis sungai atau gunung (watershed).19 Sedangkan Kamboja ingin menggunakan peta 1908, di mana penetapan garis batas tidak senantiasa berpegang pada prinsip watershed. 20 Kebuntuan perundingan itu dicoba untuk ditembus oleh tim perundingan kedua negara, di mana keduanya sepakat dengan deklarasi bahwa tim survei gabungan akan menetapkan garis batas di sekitar kuil Preah Vihear pada Desember 2008. Kedua negara kembali bertemu pada Februari 2009 di saat PPP yang berkuasa di Thailand telah tumbang dan koalisi Partai Demokrat pimpinan Abhisit Vejajiva yang didukung oleh elit kerajaan dan militer memimpin pemerintahan Thailand. Dalam pertemuan tersebut, 14
Ibid . Ibid 16 . Martin Wegener, Op.cit, hal.32 17 . International Crisis Group, Op.cit, hal.6 18 . Ibid, hal.7 19 . Ibid 20 . Ibid 15
tidak ada kemajuan berarti yang dicapai kedua negara. Survei gabungan yang disepakati dalam pertemuan JBC November 2008 belum juga terlaksana, bahkan hingga pertemuan JBC pada April 2009. Pertemuan JBC April 2009 ditandai dengan kesepakatan kedua negara untuk menandatangi catatan sidang (minutes) yang disengketakan pada dua pertemuan sebelumnya. 21 Pada tingkat teknis, Thailand dan Kamboja sepakat untuk memproduksi peta bersama, survei pilar perbatasan dan penerjemahan ke dalam Bahasa Inggris atas laporan-laporan survei. Kedua negara tidak memutuskan tidak menyebut nama kuil sama sekali, kecuali hanya menyebutnya kawasan di sekitar Preah Vihear sebagai “sektor enam”, suatu istilah yang digunakan di kalangan kartografi. Setelah pertemuan JBC pada April 2009, JBC tidak pernah bertemu lagi hingga dua tahun kemudian karena Thailand tidak menyetujui catatan sidang (minutes) dari ketiga pertemuan sebelumnya.
Ancaman Terhadap Stabilitas Kawasan Konflik Thailand-Kamboja atas kuil Preah Vihear telah memunculkan tantangan tersendiri bagi ASEAN. Sebab konflik itu menimbulkan ancaman terhadap stabilitas kawasan Asia Tenggara. Sedangkan stabilitas kawasan Asia Tenggara merupakan hal yang mutlak bagi ASEAN. Pasca perang saudara di Kamboja yang berakhir pada 1989, kawasan Asia Tenggara tidak lagi mengalami konflik terbuka yang mengancam stabilitas kawasan. Munculnya konflik intra-ASEAN yang melibatkan Thailand dan Kamboja adalah ancaman terhadap stabilitas kawasan sekaligus tantangan bagi ASEAN untuk menunjukkan kemampuannya menangani konflik di wilayahnya. Terdapat sejumlah alasan mengapa konflik Thailand dan Kamboja dipandang mengancam stabilitas kawasan. Pertama, penggunaan ancaman dan atau penggunaan kekerasan. Konflik kedua negara sudah mencapai pada penggunaan ancaman dan atau penggunaan kekerasan. Kedua hal itu bertentangan dengan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) yang mengikat semua negara ASEAN, di mana penggunaan ancaman dan atau penggunaan kekerasan tidak diperkenankan oleh TAC. ASEAN senantiasa mengedepankan cara-cara damai untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Kedua, ancaman terhadap soliditas ASEAN. Konflik Thailand dan Kamboja sudah sampai pada tingkat mengancam soliditas ASEAN. Kedua belah pihak tidak ragu untuk 21
. Ibid, hal.8
menggunakan ancaman dan atau menggunakan kekerasan dan tidak lagi menghiraukan komitmen politik mereka sebelumnya terhadap ASEAN. Adanya konflik antar dua negara ASEAN merupakan suatu hal yang dipandang mengancam keutuhan ASEAN sebagai organisasi kawasan. Ketiga, ancaman internasionalisasi konflik. Setelah Thailand gagal memenuhi tuntutan Kamboja agar menarik tentaranya dari wilayah konflik pada Juli 2008, Perdana Menteri Kamboja meminta Dewan Keamanan PBB untuk menggelar pertemuan mendesak membahas konflik kuil Preah Vihear. Upaya Kamboja itu digagalkan oleh ASEAN yang dengan cepat mengintervensi Dewan Keamanan PBB untuk menggelar diskusi terhadap konflik itu dan menekankan pentingnya kembali digelarnya pembicaraan bilateral. 22 Vietnam yang merupakan sekutu Kamboja mendukung upaya ASEAN itu. Pada akhirnya, Dewan Keamanan PBB tidak jadi melaksanakan sidang untuk membahas sengketa Thailand-Kamboja setelah Thailand menyatakan bahwa ASEAN telah memberikan dukungan bagi negosiasi bilateral melalui General Border Commission (GBC). Apabila terjadi internasionalisasi konflik dalam arti penanganan konflik dilakukan oleh organisasi non ASEAN, hal demikian akan menjadi preseden buruk bagi ASEAN karena menunjukkan bahwa organisasi itu tidak mampu menangani konflik antar negara anggotanya. Masuk kekuatan ekstra kawasan untuk menangani konflik Thailand-Kamboja dipandang berpotensi membuat ASEAN tidak berdaya di kawasannya sendiri.
Dilema ASEAN Meskipun mengancam soliditas ASEAN, akan tetapi ASEAN dalam kenyataannya menghadapi dilema atas konflik kedua negara anggotanya. Dilema itu muncul karena adanya doktrin untuk tidak mengintervensi urusan dalam negeri negara-negara anggotanya. Selain itu, ASEAN sebagai organisasi juga mengalami kekurangan kekuatan karena kurangnya transfer kedaulatan dari negara anggota ke ASEAN sebagai suprastruktur kawasan. 23 Faktor berikutnya adalah negara yang mengetuai ASEAN pada 2008 juga enggan atau tidak bisa (unable) untuk memimpin upaya penyelesaian krisis. Pada 2008, Singapura yang menjadi Ketua ASEAN gagal
22 23
. Ibid . Martin Wegener, Op.cit, hal.33
menginisasi terbentuknya grup kontak yang bertugas melakukan mediasi konflik ThailandKamboja dalam pertemuan Menteri Luar Negeri Juli 2008 di Singapura. 24 Di samping itu, faktor lainnya yang menyulitkan ASEAN menangani konflik terhadap kuil Preah Vihear adalah resistensi Thailand terhadap upaya internasionalisasi konflik itu. 25 Dalam sidang ARF di Singapura pada 15 Juli 2008, dikeluarkan The Chairman Statement of the 15th ASEAN Regional Forum yang isinya mengkritisi Thailand dan Kamboja. Pernyataan itu berbunyi, “The Ministers were briefed by both Cambodia and Thailand on the situation in the area around the Temple of Preah Vihear and noted this with concern. They urged both sides to exercise utmost restraint and resolve this issue amicably”.26 Desakan agar ASEAN memainkan peran dalam konflik Thailand-Kamboja terus menguat pasca Juli 2008. Setelah ASEAN Charter diluncurkan pada akhir 2008, High Level Legal Experts’ Group on Follow-Up to the ASEAN Charter (HLEG) ditugaskan untuk mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa.27 Pada KTT ASEAN Februari-Maret 2009 di Cha-am Hua Hin, Thailand, Sekretaris Jenderal ASEAN menyatakan bahwa dirinya akan mengirimkan misi pencari fakta ke kawasan yang diperebutkan seandainya organisasi membutuhkan bantuan.28 Namun misi pencari fakta itu tidak pernah terbentuk karena ASEAN sebagai organisasi tidak pernah berinisiatif membentuknya. Selanjutnya menjelang KTT ASEAN Oktober 2009 di Cha-am Hua Hin, Thailand, Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya mengumumkan bahwa dalam KTT dirinya akan dibentuknya mekanisme untuk membantu menyelesaikan konflik teritorial. 29 Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Nam Hong sepakat dengan langkah tersebut. Akan tetapi, inisiatif Kasit tidak terwujud karena buruknya koordinasi di dalam pemerintahan Thailand. 30 Kementerian Luar Negeri Kamboja menyatakan bahwa pernyataan Menteri Luar Negeri telah salah dikutip oleh pers. Pihak Thailand bersikeras bahwa konflik harus diselesaikan dalam kerangka JBC. 31 Praktis selama 2009 selama keketuaan Thailand, ASEAN belum dapat memainkan peran secara signifikan untuk mengelola konflik Thailand-Kamboja. 24
. Ibid . International Crisis Group, Op.cit, hal.14 26 . Martin Wegener, Op.cit, hal.34 27 . International Crisis Group, Op.cit, hal.14 28 . Martin Wegener, Op.cit, hal.33 29 . Ibid, hal.34 30 . Ibid 31 . Ibid 25
Vietnam yang menjadi Ketua ASEAN pada 2010 juga tidak dapat berbuat banyak untuk mendorong peran ASEAN yang signifikan dalam konflik Thailand-Kamboja. Upaya-upaya Vietnam terhalang oleh sikap Thailand. Pernyataan Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejajiva di depan para pemrotes PAD di depan Kantor UNESCO di Bangkok pada Agustus 2010 bahwa dirinya siap menggunakan kekuatan apabila diperlukan terhadap sengketa, memicu perang katakata antara Thailand dan Kamboja.32 Perdana Menteri Kamboja Hun Sen menulis surat kepada Presiden Dewan Keamanan PBB pada 8 Agustus 2010 yang menyatakan bahwa mekanisme bilateral tidak bisa berjalan lagi. 33 Keesokan harinya, Hun Sen menyatakan bahwa, “Kami membutuhkan mekanisme multilateral. Kami meminta negara-negara ASEAN, PBB dan negaranegara lain, termasuk negara-negara anggota Paris Peace Accord”.34 Pada 14 Agustus 2010, Menteri Luar Negeri Kamboja meminta Menteri Luar Negeri Vietnam Pham Gia Khiem, selaku Ketua ASEAN, untuk menggunakan ASEAN Charter dan melakukan mediasi sengketa.35 Namun Menteri Luar Negeri Thailand pada 19 Agustus 2010 menyatakan bahwa, “meskipun persepsi ketegangan, komunikasi bilateral antara Thailand dan Kamboja berlanjut tanpa terganggu melalui berbagai saluran dan mekanisme”. 36 Dengan kata lain, Thailand menolak pendekatan multilateral lewat ASEAN yang diinginkan oleh Kamboja. Sebelumnya pada 17 Agustus 2010 Jurubicara Kementerian Luar Negeri Vietnam menyatakan bahwa, “Sebagai Ketua ASEAN, Vietnam aktif berkonsultasi dengan negara-negara ASEAN lainnya menyangkut proposal asosiasi untuk melakukan mediasi terhadap sengketa Preah Vihear”. 37 Namun upaya Vietnam itu gagal seiring dengan pernyataan Menteri Luar Negeri Thailand dua hari kemudian.
Peran Indonesia sebagai ketua ASEAN Indonesia selama 2011 menjabat sebagai Ketua ASEAN. Dalam era keketuaan Indonesia, terdapat sejumlah visi Indonesia sebagaimana disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang 32
. International Crisis Group, Op.cit, hal.14 . Ibid, hal.15 34 . Ibid 35 . Ibid 36 . Ibid 37 . Martin Wegener, Op.cit, hal.34 33
Yudhoyono.38 Visi Indonesia selama memimpin ASEAN adalah "Komunitas ASEAN dalam Komunitas Bangsa-bangsa Global." Sebagai realisasi dari visi tersebut, terdapat beberapa prioritas Indonesia sebagai Ketua ASEAN. Pertama, Indonesia menempatkan ASEAN sebagai organisasi yang sangat penting. Menurut Presiden Yudhoyono, ASEAN adalah salah satu patokan untuk menentukan kebijakan. Kedua,
mempercepat
gerak
menuju
pencapaian
yang
signifikan.
Termasuk
mempersiapkan perwujudan Komunitas ASEAN pada 2015. Dalam hal ini, Indonesia menginginkan agar selama masa keketuaannya dapat mempersiapkan berbagai hal yang terkait perwujudan Komunitas ASEAN, misalnya penyiapan berbagai aturan main di berbagai bidang yang relevan. Sebagai contoh, bagaimana menyiapkan mekanisme Komunitas Keamanan ASEAN dalam menghadapi konflik intra-ASEAN dan lain sebagainya. Selain itu, Indonesia juga akan menyatukan negara-negara anggota untuk memperkuat kerjasama ekonomi ASEAN. Ketiga, penekanan pada ASEAN connectivity. Melalui konsep itu, negara-negara ASEAN akan terhubungkan secara fisik melalui sarana transportasi, baik udara, maritim maupun darat. Diharapakan Konektivitas ASEAN akan mendorong kemajuan ekonomi dan kemakmuran masyarakat ASEAN. Peran aktif Indonesia dalam mengelola sengketa Thailand-Kamboja pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kalau dirunut lebih jauh, Indonesia sejak lama bahkan hingga sekarang masih juga memainkan peran aktif dalam mengelola sengketa di kawasan Asia Tenggara, khususnya sengketa Laut Cina Selatan. Dengan demikian, peran aktif Indonesia saat ini dalam sengketa Thailand dan Kamboja sesungguhnya salah satu implementasi Kebijakan Luar Negeri Bebas dan Aktif adalah melaksanakan diplomasi preventif terhadap sengketa yang terjadi. Terkait dengan konflik Thailand dan Kamboja, sebagai Ketua ASEAN, Indonesia terus menjembatani penyelesaian perbedaan antara kedua negara dengan mengajukan pikiran dan solusi damai. Indonesia yang menjadi Ketua ASEAN pada 2011 dan tidak seperti Singapura, Thailand dan Vietnam saat menjadi Ketua ASEAN, Indonesia langsung melancarkan inisiatif untuk melakukan mediasi sengketa Thailand-Kamboja. Mengacu pada pernyataan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, pendekatan militer bukan merupakan jalan keluar bagi sengketa
38
. Lihat, http://www.antaranews.com/berita/1288446856/indonesia-resmi-ketua-asean, diakses pada 23 Februari 2013 pukul 13.14 WIB
perbatasan kedua negara. 39 Meskipun diakui kompleksitas permasalahan perbatasan yang dihadapi kedua negara, namun Indonesia menggarisbawahi masalah ini harus diselesaikan dengan cara-cara damai, yaitu melalui dialog dan negosiasi. 40 Terdapat dua alasan penting mengapa Indonesia terlibat aktif dalam mencari solusi damai atas konflik Thailand dan Kamboja. Pertama, pengutamaan ASEAN, di mana Indonesia senantiasa menghadapi agar segala sengketa dan konflik di kawasan diselesaikan melalui mekanisme ASEAN. Kedua, stabilitas kawasan Asia Tenggara yang merupakan salah satu isu sentral dalam kebijakan luar negeri Indonesia, sebab stabilitas kawasan selain menciptakan wilayah Asia Tenggara sebagai kawasan yang aman dan damai, juga merupakan prasyarat bagi pembangunan Indonesia itu sendiri. Setelah pecahnya pertempuran Thailand-Kamboja pada awal Februari 2011, Dewan Keamanan PBB pada 14 Februari membahas isu tersebut dan meminta kedua negara untuk menegakkan “gencatan senjata permanen”. 41 Permintaan itu dituangkan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB. Dalam sidang Dewan Keamanan PBB itu, untuk pertama kalinya pula Ketua ASEAN diundang oleh Dewan Keamanan PBB untuk membahas sengketa Thailand-Kamboja.42 Menteri Luar Negeri Indonesia mengajukan tiga butir usulan kepada Dewan Keamanan dalam sidang tersebut.43 Pertama, kedua belah pihak ingin menyelesaikan sengketa secara damai dan hal ini konsisten dengan kewajiban ASEAN mereka. Kedua, situasi harus distabilkan di lapangan, karena pertempuran yang terjadi mencerminkan komunikasi yang buruk dan perbedaan pendapat atas apa yang terjadi. Ketiga, Marty Natalegawa datang dengan kesan bahwa “kita semuanya pernah di sini sebelumnya”, khususnya debat mengenai pilihan terhadap solusi bilateral atau internasional. Menurut Menteri Luar Negeri Indonesia, perbatasan akan didemarkasi secara bilateral, namun fasilitasi ASEAN dengan dukungan Dewan Keamanan PBB, akan sangat berharga untuk menciptakan kondisi untuk pembicaraan kedua belah pihak dan menjamin para pihak menghormati hasil kesepakatan.
39
. Lihat, “Menlu RI:Indonesia Mengupayakan Penyelesaian Konflik Kamboja dan Thailand Secara Damai”, Tabloid Diplomasi, No.41 Tahun IV, Tgl 15 Maret-14 April 2011, hal.4-5 40 . Ibid 41 . Martin Wegener, “Lesson From Preah Vihear: Thailand, Cambodia, and The Nature of Low Intensity Border Conflict”, Journal of Current Southeast Asian Affairs, Volume 3, 2011, hal.34 42 . Ibid 43 . Ibid
Dalam rangka mensukseskan upaya Indonesia menangani sengketa Thailand-Kamboja, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa melaksanakan diplomasi ulang alik ke kedua negara pada 7-8 Februari 2011. Menteri Luar Negeri Indonesia mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Kamboja pada 7 Februari 2011 di Phnom Penh, dan keesokan harinya menemui Menteri Luar Negeri Thailand di Bangkok. Merupakan hal menarik bahwa Dewan Keamanan PBB yang telah memberikan perhatian khusus terhadap sengketa itu sangat tergantung pada diplomasi ulang alik Menteri Luar Negeri Indonesia. Hal itu tidak lepas dari upaya PBB untuk menyerahkan penanganan sengketa itu kepada ASEAN selaku organisasi kawasan sebagaimana diatur dalam Bab VIII Piagam PBB. Sidang Dewan Keamanan PBB pada 14 Februari 2012 selain dihadiri oleh anggota tetap dan tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan Menteri Luar Negeri Indonesia, pula dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Thailand dan Kamboja. Sebagai hasil dari sidang Dewan Keamanan PBB itu, Dewan Keamanan PBB menyambut baik rencana pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN di Jakarta untuk membahas isu sengketa. Selain itu, Dewan Keamanan sepakat bahwa penanganan sengketa dikembalikan kepada organisasi kawasan yaitu ASEAN. Dukungan Dewan Keamanan PBB terhadap ajakan bagi seluruh pihak untuk dapat menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara damai, sesuai dengan TAC dan Piagama ASEAN, menurut hemat Indonesia akan konstruktif. 44 Pasca pertemuan Dewan Keamanan PBB dan menjelang pertemuan di Jakarta, Menteri Luar Negeri Kamboja mengusulkan agar ada peninjau asal Indonesia yang ditempatkan di wilayah sengketa.45 Thailand menolak gagasan itu dan menyatakan akan “menembak jatuh” di Jakarta. Pertemuan Jakarta yang melibatkan Menteri Luar Negeri kedua negara dan Indonesia pada 22 Februari 2011 melahirkan sejumlah kesepakatan. 46 Pertama, Kamboja dan Thailand akan menghentikan pertempuran. Kedua, Indonesia akan mengirimkan pengamat. Ketiga, kedua negara akan melanjutkan perundingan bilateral. Keempat, Indonesia akan melanjutkan peran fasilitasi. Setelah pertemuan itu, Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya menyatakan kepada para wartawan Thailand bahwa pengamat Indonesia akan diundang dan Thailand akan menyusun term of reference berdasarkan pengalaman Thailand sebagai pengamat dalam kesepakatan 44
. Tabloid Diplomasi, Op.cit, hal.4 . Tabloid Diplomasi, Op.cit hal.20 46 . Ibid 45
perdamaian Aceh dan operasi perdamaian di Timor Timur. Setelah pertemuan itu, Indonesia, Thailand dan Kamboja mengadakan serangkaian pertemuan utuk mengatur teknis pengirim Tim Pengamat Indonesia ke wilayah sengketa Preah Vihear. Peran Indonesia dalam menangani konflik Thailand-Kamboja bukan saja cerita tentang keberhasilan, tetapi juga kegagalan. Menjelang KTT ASEAN di Jakarta pada Mei 2011, tepatnya 3 Mei 2011, Kamboja menandatangani Letter of Acceptance untuk penyebaran tim pengamat dari Indonesia. 47 Menteri Pertahanan Indonesia Purnomo Yusgiantoro menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengirimkan tim pengamat, akan tetapi kabinet Thailand belum memberikan persetujuan. Menurut Menteri Pertahanan, masalahnya adalah sikap oposisi dari tentara Thailand dan politik domestik Thailand. 48 Terkait politik domestik Thailand, pada 6 Mei 2011 Perdana Menteri Thailand meminta dekrit kerajaan untuk membubarkan parlemen. Penolakan Thailand untuk menandatangani Letter of Acceptance terkait dengan tuntutan negeri itu yang hanya mau menandatangani dokumen tersebut apabila pasukan Kamboja mundur dari wilayah yang dianggap oleh Kamboja sebagai wilayah mereka sendiri. Hal ini memunculkan keluhan dari Perdana Menteri Kamboja dalam KTT ASEAN, di mana hal itu dinyatakan “irasional dan tidak dapat diterima”. 49 Isu itu menjadi salah satu isu utama dalam KTT ASEAN, di mana Malaysia menyatakan bahwa Thailand tidak mematuhi persetujuan Februari 2011 dan hal ini menyebabkan terjadinya pertempuran pada April 2011. Perdana Menteri Thailand menerima pandangan bahwa isu itu dapat mempengaruhi kredibilitas ASEAN dan merapuhkan solidaritas ASEAN. Menghadapi kebuntuan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta kepada Menteri Luar Negeri Thailand dan Kamboja untuk tinggal satu hari lagi di Jakarta guna menciptakan kemajuan dalam penanganan sengketa. Kepada Menteri Luar Negeri kedua negara, Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa memaparkan agenda ambisius ASEAN yang bertujuan untuk “membawa perdamaian”, karena “resiko tidak melakukan sesuatu lebih besar daripada resiko mencoba sesuatu yang gagal”. 50 Hasil dari pertemuan 9 Mei 2011 di Jakarta antara Menteri Luar Negeri Indonesia, Thailand dan Kamboja adalah “solusi paket” yaitu berupa langkah-langkah yang akan diambil 47
. Ibid, hal.24 . Ibid 49 . Ibid 50 . Ibid 48
dalam bentuk kluster. Misalnya, mengenai pertukaran surat tentang pengamat dan pengumuman pertemuan GBC/JBC pada hari pertama. Lima hari kemudian pengamat asal Indonesia akan disebarkan dan pertemuan GBC/JBC dilaksanakan. Dalam 10 hari, pengamat akan disebarkan sepenuhnya dan akan ada pertemuan lanjutan. Pada 10 Mei 2011, Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong menulis surat kepada Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan menerima persetujuan tersebut. Namun lagi-lagi pada tanggal yang sama, Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya lewat komunikasi telepon dengan Menteri Luar Negeri Indonesia menyatakan bahwa Thailand tidak dapat menyetujui “solusi paket” hingga Kamboja menarik pasukannya dari wilayah kuil Preah Vihear. 51 Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa secara sopan menolak pernyataan Kasit, dengan mengutip bahwa perubahan sekecil apapun pada tahapan ini dapat merugikan Kamboja. 52 Sebagai dampak dari penolakan Thailand itu, penyebaran Tim Pengamat Indonesia ke wilayah sengketa belum dapat dilaksanakan. Thailand melaksanakan pemilu pada 3 Juli 2011 yang dimenangkan oleh Partai Pheu Thai yang dipimpin oleh Yingluck Shinawatra, saudara perempuan mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Meskipun Thaksin Shinawatra bersahabat baik dengan Perdana Menteri Hun Sen, akan tetapi hal itu tidak berdampak positif bagi upaya penyelesaian sengketa kuil Preah Vihear. Militer Thailand yang menolak upaya pengiriman Tim Pengamat Indonesia masih sulit untuk dikendalikan pemerintahan sipil Thailand di bawah Perdana Menteri Yingluck Shinawatra. Indonesia terlihat cukup sabar memainkan perannya dalam sengketa itu. Setelah kunjungan Perdana Menteri Thailand ke Jakarta pada 12 September 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara terbuka menekankan pentingnya proses daripada hasil. “Indonesia sebagai Ketua ASEAN terus menyatakan kepada PBB, khususnya Dewan Keamanan, bahwa masalah ini dapat diselesaikan pada tingkat ASEAN, utamanya oleh Thailand dan Kamboja”. 53 Selanjutnya secara bilateral kedua negara terus membahas tentang penarikan diri masing-masing tentara dari wilayah sengketa. Pada Juli 2012, militer Thailand dan Kamboja telah menarik diri dari kawasan kuil Preah Vihear. Akan tetapi penarikan diri itu belum diikuti dengan penyebaran Tim Pengamat Indonesia (Indonesia Observer Team) ke wilayah sengketa, karena Thailand masih menolak 51
. Ibid . Ibid 53 . Ibid, hal.28 52
menandatangani Letter of Acceptance. Penolakan Thailand, menurut Jenderal Thanasak Patimapakorn didasarkan pada alasan bahwa penyebaran tersebut harus membutuhkan persetujuan kabinet dan parlemen. 54 Sedangkan para pihak yang terlibat dalam perundingan menyatakan bahwa ketakutan para anggota parlemen terhadap kasus pernah yang menimpa PAD sebagai partai yang berkuasa di bahwa Perdana Menteri Samak beberapa waktu sebelumnya dan kemungkinan dituntut berdasarkan Pasal 157 Undang-undang Pidana Thailand. 55 Pasal 157 dapat digunakan apabila pemerintahan melakukan sesuatu hal strategis tanpa persetujuan dari parlemen,
54 55
. Ibid . Ibid
KESIMPULAN
Konflik perbatasan Thailand-Kamboja merupakan tantangan dan ujian terhadap ASEAN di tengah upaya ASEAN untuk mewujudkan Komunitas ASEAN 2015. Dalam memperkuat ASEAN, salah satu inisiatif Indonesia adalah mewujudkan pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN atau yang disebut ASEAN Security Community (ASC). Selain itu pandangan dunia Internasional terhadap ASEAN seperti PBB akan menjadi buruk, karena dianggap tidak bisa menangani permasalahan internal anggotanya sendiri. sulit untuk ASEAN bergerak dengan leluasa terhadap anggotanya selama masih menggunakan prinsip non-Inteverence yang masih diterapkan sesuai dengan perjanjian ASEAN Concord dan Treaty of Amity and Co-operation in Southeast Asia (TAC). Stabilitas kawasan adalah kepentingan utama yang harus dijaga oleh ASEAN karena awal mula tujuan berdirinya ASEAN adalah untuk itu, apabila konflik Thailand-Kamboja yang sudah berlangsung hampir satu abad ini terus berlangsung di khawatirkan akan berdampak ke hal yang lain. Dari mulai Pariwisata, Ekonomi, Politik dan sebagainya. Oleh karena itu pentingan penanganan konflik ini sangat dibutuhkan dan juga kerjasama antar anggota ASEAN untuk mendukung agar konflik ini tidak menjadi lebih panjang karena apabila ini terus terjadi dampak yang akan dirasakan ASEAN bisa mencapai krisis kawasan. Dan Komunitas ASEAN 2015 hanya akan menjadi angan-angan semata.