Biodata:
Nama
: Yudhisianda Sufi Prananda
Tempat & tanggal Lahir
:Medan, 24 September 1987
NIM
: 206000148
Program Studi
: Hubungan Internasional
Pendekatan Amerika Serikat Di Asia Timur Terkait Pengembangan Nuklir Korea Utara (2003-2007) Oleh: Yudhisianda Sufi Prananda (206000148) Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina
Abstract In 2003 United States of America (US) tried to change its foreign policy and strategy toward North Korea in order to responded North Korean behaviour to developed its nuclear programs by walked out from Nonpoliferation Treaty. The agressiveness of North Korean behaviour that threatened stability of peace, in East Asia region specifically, and world at wide. The US foreign policy is the core value upon the US act toward North Korea. US foreign policy could be described as the US action and behaviour based on the US national interest. Since George W. Bush in office, US focused on defense issues. Though by that, North Korean nuclear issue become US concern, and however, it become US national interest and also US main threat. This research is tried to described how the US foreign policy toward North Korea in 20032007. The research is focused on how US foreign policy is an act that based on US national interest. US behaviour that reflected by its strategy and foreign policy goals could be described within two different approach is Soft Power and Hard Power. Both of US strategy approach within its foreign policy goals described as the US behaviour that specifically intended to the North Korea. The two approach within Soft or Hard Power contain its instrument that distinguish each other. From the two approaches, it lead this research to defined the US grand strategy as a concept of Stick and Carot. Stick and Carot, however, become the main specifict tools of analysis the US approach toward North Korea in 20032007. This research, overall, is tried to described of a condition of international relations on realism perspective that assumed every states in the world has it own national interest. By that, every states in the world would tempting to act and behave on foreign policy frame toward and issues or other actor beneath and under international system. As this research tried to, the conclusion of this research is on what the states in the world has it is own national interest and the differences among them always put conflict in between and surrounded in the entire system, though any foreign policy that specifically intended to, there are always a consequences and impact to individual state or entire system of international relations.
Pendahuluan Asia Timur adalah sebuah sub-kawasan dari benua Asia yang didalamnya terdapat 4 Negara berdaulat yaitu China, Jepang, Korea Selatan dan Korea Utara. Kawasan Asia Timur memiliki dinamika tersendiri dilihat dari hubungan internasional sebagai sebuah disiplin Ilmu. Konstelasi politik dan ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut tidak terlepas dari dinamika interaksi antar aktor di dalamnya. Krisis nuklir di semenanjung Korea yang terjadi di akhir tahun 2002, cukup menjadi masalah besar di dunia internasional. Krisis nuklir yang terjadi di semenanjung korea semakin lama semakin bertambah rumit ketika antara kedua belah pihak yaitu Amerika Serikat dan Korea Utara saling menunjukan sikap arogannya dan menciptakan Perang pernyataan. Dari konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dan Korea Utara tentu akan menimbulkan dampak dari krisis ini, yaitu adanya keterlibatan negara-negara lain di beberapa pertemuan yang mebicarakan tentang krisis ini, negara-negara tersebut adalah Korea Selatan, China, Jepang, Rusia. Dalam setiap pertemuannya negara-negara yang cukup memiliki power yang kuat di kawasan Asia selalu aktif mengikuti perkembangan krisis nuklir Korea ini. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang memiliki senjata nuklir. Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki senjata tersebut mengetahui dampak buruk dari keberadaan senjata nuklir tersebut apabila berada dalam pihak yang salah. Dalam hal ini Korea Utara yang mengembangkan teknologi persenjataan nuklirnya beberapa kali mendapat kecaman dari negara-negara lain yaitu, Korea Selatan, China, Jepang, Rusia dan tentunya Amerika Serikat. Kondisi tersebut menempatkan Korea Utara dalam posisi yang kurang baik untuk melanjutkan pengembangan nuklirnya, akan tetapi sekaligus dapat menjadi alasan strategis untuk terus melanjutkan pengembangan senjata nuklir tersebut. Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang menentang adanya pengembangan senjata nuklir di Korea Utara, terus menekan Korea Utara agar tidak melanjutkan pengembangan Nuklir tersebut dengan alasan karena pandangan Korea Utara terhadap kestabilan dan kedamaian dunia yang masih belum rasional, dalam arti negaranya akan menggunakan senjata nuklir tersebut sebagai optional, bukan rasional. Dalam posisi perang atau dalam keadaan negara yang tertekan maka Korea Utara akan cenderung menggunakan nuklirnya karena negara tersebut belum pernah berada dalam kondisi hampir kalah perang kemudian menuju hasil yang seimbang (sama-sama hancur).
Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki senjata tersebut mengetahui dampak buruk dari keberadaan senjata nuklir tersebut apabila berada dalam pihak yang salah. Dalam hal ini Korea Utara yang mengembangkan teknologi persenjataan nuklirnya beberapa kali mendapat kecaman dari negara-negara lain yaitu, Korea Selatan, China, Jepang, Rusia dan tentunya Amerika Serikat. Kondisi tersebut menempatkan Korea Utara dalam posisi yang kurang baik untuk melanjutkan pengembangan nuklirnya, akan tetapi sekaligus dapat menjadi alasan strategis untuk terus melanjutkan pengembangan senjata nuklir tersebut. Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang menentang adanya pengembangan senjata nuklir di Korea Utara, terus menekan Korea Utara agar tidak melanjutkan pengembangan Nuklir tersebut dengan alasan karena pandangan Korea Utara terhadap kestabilan dan kedamaian dunia yang masih belum rasional, dalam arti negaranya akan menggunakan senjata nuklir tersebut sebagai optional, bukan rasional. Dalam posisi perang atau dalam keadaan negara yang tertekan maka Korea Utara akan cenderung menggunakan nuklirnya karena negara tersebut belum pernah berada dalam kondisi hampir kalah perang kemudian menuju hasil yang seimbang (sama-sama hancur). Sebagai sebuah negara besar yang memiliki teknologi senjata nuklir lebih dulu dan lebih banyak, Amerika Serikat berupaya melakukan pembatasan terhadap Korea Utara yang juga sedang melakukan pengembangan senjata nuklir tersebut. Hal ini memperlihatkan bahwa terdapat ketakutan dalam diri Amerika Serikat terkait ancaman dari keberadaan senjata nuklir tersebut, sehingga Amerika Serikat menggunakan cara preventif agar kekuatan senjata yang menakutkan tersebut tidak terlanjur berkembang menjadi besar di Korea Utara. Apabila dilihat dari perspektif Korea Utara, sebagian negara yang mempunyai ideologi berbeda dengan Amerika Serikat dan juga Korea Selatan yang diketahui bahwa Korea Selatan merupakan sekutu dari Amerika Serikat. Bagi Korea Utara hal ini membuat ancaman terasa sangat dekat, terutama setelah adanya intervensi berupa pembatasan hubungan antara Korea Utara dengan beberapa negara lain. Korea Selatan yang merupakan ancaman terdekat bagi Korea Utara, kedua negara tersebut sangat sulit untuk disatukan, beberapa upaya unifikasi sempat dilakukan, akan tetapi hasil yang didapat tidak bertahan lama. Perbedaan ideologi antar keduanya merambah ke permasalahan lain, yaitu hingga persoalan politik dan juga ke persoalan militer.
Dilihat dari segi geografisnya, keberadaan Korea Utara di kawasan Asia Timur juga dikelilingi dengan beberapa kekuatan besar, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan. Keberadaannya yang juga dekat dengan Rusia merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi Korea Utara untuk semakin memajukan teknologi militer dan persenjataannya, karena Amerika Serikat yang lebih jauh dari Korea Utara saja sangat tidak nyaman dengan perkembangan senjata nuklir di Korea Utara, maka terlebih lagi kawasan terdekat juga akan merasa tidak nyaman dan kemudian turut menyudutkan Korea Utara. Senjata nuklir merupakan sebuah senjata yang dipandang sangat menakutkan, karena tidak lagi diangkut dengan menggunakan pesawat terbang, melainkan juga bisa diluncurkan dari negara yang mempunyai nuklir tersebut, jarak tempuh dari peluru kendali tersebut beraneka ragam tergantung jenisnya. Keberadaan dari senjata nuklir tersebut memiliki efek teror bagi setiap negara, karena dampak kerusakan yang ditimbulkan akan sangat besar durasi radiasi yang tidak sebentar. Hal tersebut memungkinkan bagi setiap negara untuk memiliki senjata tersebut, akan tetapi dengan konsekuensi yang sangat berbahaya, karena pengontrolan penggunannya sulit untuk dibatasi dan diawasi, sehingga apabila nantinya digunakan maka akan terjadi hal yang mengerikan. Di lain hal, jika melihat situasi ini dari perspektif Korea Utara, Korea Utara memiliki alasan tersendiri untuk melanjutkan pengembangan teknologi senjata nuklirnya, karena terkait dengan kapasitas nasional negaranya yang harus mampu melawan segala macam musuh yang tidak diketahui kapan mereka akan menyerang. Untuk menjadi sebuah negara yang kuat dan disegani oleh negara kuat lainnya adalah dengan mengembangkan kekuatan militer dalam negerinya, sehingga ancaman yang berasal dari luar tersebut dapat dikuasai. Keberadaan senjata nuklir pada perang dingin antara AS dan juga Uni Soviet mempunyai peran penting terhadap stabilisasi dan juga dampak dari senjata tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan tidak adanya peperangan secara langsung dan terbuka antara kedua negara, melainkan hanya berupa perlombaan pengembangan instrumen militer dan ideologinya saja. Maka dapat ditarik sedikit kesimpulan bahwa nuklir memiliki efek teror dan juga deterrence bagi pihak yang mempunyai senjata tersebut. AS sebagai negara dengan power dan kapasitas militer yang besar, serta memiliki senjata nuklir dalam jumlah yang banyak meragukan alasan Korea Utara untuk melakukan
pengembangan senjata nuklirnya, karena Korea Utara dirasa belum cukup dewasa untuk memiliki senjata yang mempunyai dampak kerusakan sangat besar tersebut. Upaya preventif yang dilakukan oleh AS untuk menjaga perkembangan senjata nuklir di Korea Utara tersebut memiliki kegagalan yang sulit untuk dikendalikan, karena membuka hubungan dengan Korea Utara sebagai negara yang berbeda ideologi dan mempunyai intensitas permasalahan hubungan yang cukup pelik sangatlah sulit. Hal ini semakin membuat harus lebih memikirkan cara beberapa kali lebih cepat dan cermat agar Korea Utara mau kembali berada dalam perjanjian dan kesepakatan untuk menghentikan perkembangan senjata nuklir di negaranya. Inti permasalahan dari kedua negara tersebut adalah untuk bertahan di tatanan sistem dunia internasional yang anarki. Maka dari itu, Korea Utara selaku negara yang mengembangkan teknologi senjata nuklirnya bermaksud untuk melakukan upaya self help dalam sistem internasional tersebut, dan juga sekaligus melakukan balance of terror terhadap AS yang juga memiliki nuklir dan instrumen militer yang kuat. Disatu sisi, AS ingin memaksimalkan fungsi nuklirnya yang seharusnya memiliki efek deterrence sehingga dapat menghentikan Korea Utara untuk melakukan pengembangan teknologi senjata nuklirnya. Sikap AS tersebut sulit untuk sejalan dengan Korea Utara karena pada dasarnya setiap negara memiliki hak untuk mengembangkan dan mempunyai senjata nuklir tersebut. Bagi Amerika Serikat, Korea Utara bukan hanya ancaman militer bagi tetangganya Korea Selatan dan ancaman tidak langsung bagi Jepang sebagai sesama negara kawasan, melainkan pengembangan nuklir dan misil nya menjadi ancaman bagi keamanan global. Amerika Serikat mempunyai persepsi yang tidak baik terhadap Korea Utara ketika di bawah rezim Bush, yaitu Amerika Serikat menganggap Korea Utara dan pemimpinnya tidak dapat dipercaya. Kemudian, Bush beranggapan bahwa Korea Utara merupakan rezim yang memiliki senjata pembunuh masal. Korea Utara menjadi isu utama dalam agenda kawasan Asia Timur pada awal 2003. Washington menyimpulkan bahwa pengembangan nuklir yang dilakukan Korea Utara tersebut sebagai alat penawaran yang ingin ditukar dengan bantuan ekonomi dari Amerika Serikat. Akan tetapi, pemerintahan Bush menolak melakukan diskusi lebih lanjut dengan Korea Utara dan menghentikan suplai minyak kepada Korea Utara. hal tersebut membuat
Korea Utara bereaksi dengan mengundurkan diri dari IAEA dan tetap menjalankan program nuklir di negara mereka. Kebijakan Amerika Serikat dibawah Bush tekait pengembangan nuklir Korea Utara mengalami kegagalan karena terpecahnya fokus Amerika Serikat dengan adanya perang Irak dan Afghanistan. Kemudian, pemerintahan Bush gagal melanjutkan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Agreed Framework yang telah dihasilkan pemerintahan di bawah rezim Clinton. Sanksi dan pendekatan Amerika Serikat yang bersifat hard power terhadap Korea Utara menjadi salah satu penyebab kegagalan kebijakan Amerika Serikat terhadap Korea Utara pada era pemerintahan Bush, karena Korea Utara memandang sanksi tersebut sebagai deklarasi perang. Pada era pemeritahan Bush Amerika Serikat mengalami pergeseran kebijakan luar negeri. Pemerintahan Bush meyakini bahwa krisis nuklir Korea Utara bukanlah semata-mata menjadi permasalahan internal Amerika Serikat saja, tetapi juga merupakan permasalahan internasional karena itu isu ini dapat diselesaikan dengan upaya-upaya kesepakatan dari komunitas internasional dengan meningkatkan kapasitas diplomasi terhadap negara-negara di kawasan tersebut. Pada periode tersebut Amerika Serikat lebih mengutamakan untuk mengupayakan diplomasi multilateral yang dinilai lebih tepat dan efektif dengan mengajak aktor-aktor regional seperti Jepang, China, Korea Selatan dan juga Rusia yang kemudian dikenal dengan Six Party Talks. Diawali dengan penarikan mundur Korea Utara dari NPT tentunya mengundang reaksi internasional yang cukup besar karena stabilitas kawasan Asia Timur tentunya akan menjadi sangat terancam. Korea Utara menjadi sebuah negara yang dianggap tidak memiliki komitmen untuk mengurangi tensinya atas isu pengayaan nuklir tersebut. Oleh karena itu juga, pada tahun 2003 muncul sebuah forum yang secara khusus membahas persoalan Asia Timur dalam kerangka meredakan tensi ancaman program pengayaan nuklir oleh Korea Utara yang dikenal dengan pertemuan segi enam (“Six Party Talks”) yang terdiri dari negaranegara poros kekuatan yaitu Amerika Serikat, China, Russia serta negara-negara kawasan yang memiliki dampak langsung dari isu tersebut yaitu Korea Utara, Korea Selatan, dan Jepang.
Amerika Serikat menjadikan kawasan Asia Timur sebagai fokus negara mereka, karena kawasan Asia Timur merupakan pusat dari kegiatan ekonomi yang paling dinamis, sehingga mempunyai julukan “keajaiban ekonomi Asia Timur”.1 Fokus kebijakan Amerika Serikat bertumpu kepada kerjasama keamanan bilateral, seperti traktat aliansi keamanannya dengan Jepang dan Korea Selatan. Republik Rakyat China (RRC) menjadi prioritas perhatian Amerika Serikat di Asia Timur sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia yang menganut sistem pemerintahan komunis. Masalah semenanjung Korea terutama dalam kaitan dengan proliferasi senjata nuklir Korea Utara juga menjadi fokus Amerika Serikat dalam hal keamanan dan pertahanan. Kebijakan Amerika Serikat di Asia Timur cukup sensitif karena interaksi bilateral antara Amerika Serikat dan Jepang akan mempengaruhi pola kerjasama dengan China, dan begitu juga pola interaksi Amerika Serikat dengan Jepang akan mempengaruhi hubungan Amerika Serikat dengan China. Salah satu pendekatan dalam kebijakan Amerika adalah Triangle Interaction atau interaksi segitiga di Asia Timur antara Amerika Serikat, Jepang, dan China dalah kerjasama yang saling mempengaruhi dan mempunyai dampak positif dan negatif tergantung dari politik masing-masing negara terhadap salah satu negara itu.2 Pada tahun 1990-strategi keamanan Amerika Serikat di Asia Timur meliputi: aliansi bilateral dan partnership, forward defense, dan menjadi stabilitator di Asia Timur. Namun terjadi perubahan kebijakan keamanan di bawah kepemimpinan presiden Bush yaitu, ketika Bush meyakini major power disatukan dengan perang melawan terorisme. Dalam US National Security Council, 2002, disebutkan bahwa Amerika Serikat mendukung kerja sama dengan major power lainnya. Memproklamirkan melawan kekerasan yang disebabkan oleh terorisme dan juga membangun nilai bersama diantara global power dan tantangan bersama. Dalam laporan ke Kongres Amerika Serikat pada September 2006 merefleksikan kebijakan Amerika Serikat di Asia Timur mempunyai tujuan untuk melaporkan strategi terkini dan dimasa yang akan datang di wilayah. Terlihat dengan adanya laporan ini bahwa
1
Mark Skousen, How Real Is the East Asia Economic Miracle? Free-Market Reforms Spur Economic Growth, diakses melalui, http://www.fee.org/the_freeman/detail/how-real-is-the-asian-economicmiracle#axzz2WgzdGnt2 pada tanggal 20 Juni 2013 pukul 02.45 WIB 2
Charles Horner, “The Third Side of the Triangle: The China-Japan Dimension, dalam The National Interest, No.46, Winter 1996; Jhon F Cooper, “U.S. – Taiwan –China Relations: a dificult triangle”, Vital speeches, Vol. 65 No. 116, June 1, 1999.
Amerika Serikat memfokuskan kerjasama pertahanan di wilayah Asia Timur. Mantan Chairman Jim Leach dari seksi Asia dan Pasifik mengatakan bahwa kehadiran militer di luar negeri merupakan elemen pokok kebijakan keamanan nasional Amerika Serikat di Asia Timur. Amerika Serikat juga menjalin jaringan kerjasama dengan para sekutu di kawasan Asia Timur sehingga tercipta lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi. Multilateralisme Ad Hoc merupakan sebuah bentuk hubungan kerjasama antar beberapa negara dengan negara lain yang mempunyai tujuan untuk menyelesaikan masalah atau resolusi konflik. Komisi ad hoc pertama kali mengadakan konferensi pada tahun 1996 dimana konferensi tersebut dilaksanakan dalam sidang PBB, pada sidang tersebut komisi Ad Hoc membicarakan solusi untuk penyelesaian konflik yang berhubungan dengan terorisme, perang antar etnis, dan konflik yang berhubungan dengan proliferasi nuklir. Dimulai pada tahun 1995, kebijakan Amerika Serikat mengenai multilateralisme di Asia Timur semakin berkembang dalam bidang ekonomi dan keamanan, hal tersebut dibuktikan dengan adanya APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) untuk kerjasama dalam bidang ekonomi. Sedangkan untuk bidang keamanan Amerika Serikat berperan di dalam ARF (ASEAN Regional Forum). Terkait pengembangan nuklir Korea Utara, kerja sama multilateral yang dilakukan Amerika Serikat adalah dengan mengadakan perundingan enam negara atau yang dikenal dengan six party talks. Untuk di semenanjung Korea, Kebijakan politik dan keamanan sangat terfokus terhadap pengembangan nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara. Pandangan bahwa Korea utara menjadi ancaman regional begitu kuat di dalam kegiatan politik Amerika Serikat. Sehingga Amerika Serikat tetap mempertahankan pasukannya di Asia dan melanjutkan anggaran pertahanan dengan membuat program yang dikenal dengan program TMD (Theatre Missile Defense) di kawasan.3 Nuklir Korea Utara mengancam perdamaian di dunia internasional, sehingga dalam situasi ini keamanan dapat dilihat dalam tiga tingkatan, yaitu individu, negara, dan internasional. Tingkat terendah ada pada keamanan individual, maksudnya adalah masalah keamanan muncul disebabkan oleh relasi antara negara dengan individu yang menjadi
3
John Feffer, “U.S.-North Korea Relations”, Jurnal Foreign Policy in Focus, Internet Gateway to Foreign Policy, Volume 4, No 15, 1999.
masyarakatnya melihat adanya benturan kepentingan antar individu yang dapat menjadi ancaman bagi negara.4 Di tingkat nasional, kemanan adalah sebagai respon atas ancaman yang datang dari luar dalam bentuk serangan militer. Diplomasi sangat dibutuhkan dalam konteks ini, sebagai bentuk upaya memperkuat kekuatan negara untuk melawan ancaman yang datang dengan cara membangun
koalisi, dan menggalang dukungan internasional untuk menggunakan
kekuatan militer dalam upaya menghadapi ancaman dari luar. Ancaman bagi setiap negara tidak selalu dalam bentuk militer melainkan berupa penyebaran senjata, kriminal lintas negara, dan pengungsi korban akibat konflik.5 Masalah keamanan di level internasional dilihat ketika keamanan merupakan jaminan stabilitas sistem internasional dengan menurunnya ketegangan dan kekerasan antar hubungan negara internasional. Kondisi internasional dikatakan aman apabila tidak adanya muncul kekerasan, ketegangan, dan konflik. Jika muncul konflik maka dapat diadakan sebuah proses yang bernama mediasi sebagai bentuk penyelasaian masalah.6 Amerika Serikat melakukan diplomasi preventive sebagai bentuk upaya meredam pengembangan nuklir yang dilakukan oleh pihak Korea Utara agar dapat menjaga stabilitas keamanan di semenanjung Korea, kawasan Asia Timur, bahkan dunia internasional.
Kebijakan Politik luar Negeri Amerika Serikat Di Asia Timur Jika dilihat dari sejarahnya, politik luar negeri Amerika Serikat memfokuskan terhadap keamanan dan pertahanan nasional. Hal ini dapat dilihat ketika pasca perang dunia kedua Amerika Serikat menerbitkan kebijakan keamanan yang dikenal dengan istilah Containment Policy, kebijakan ini digagas oleh Joseph Kennan yang notabene adalah Diplomat Amerika Serikat. Joseph kennan beranggapan bahwa Uni Soviet pasca perang dunia memperlihatkan sikap yang agresif, Containment Policy merupakan suatu kebijakan
4
R.P. Barston, Modern Diplomacy, Longman House, Harlow, UK, 1988, hlm 185.
5
Ibid., hlm 184.
6
Ibid.
untuk membendung konfrontasi yang terjadi antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Containment Policy termasuk dalam NSC-68 yang diterbitkan oleh Presiden Harry Truman.7 Politik Luar Negeri Amerika Serikat di era presiden George W Bush memberikan penekanan dan fokus untuk keamanan Nasional Amerika Serikat. Dengan adanya kunjungan para utusan Presiden Bush ke berbagai negara seperti Jepang, Korea Selatan, India, Rusia, China merefleksikan bahwa Amerika Serikat ingin mendapat dukungan dari negara-negara kawasan atas rencana besar yang Amerika Serikat tentang Missile defense system. Presiden Bush melakukan perubahan yang cukup signifikan dalam strategi global Amerika Serikat sejak era Presiden Reagan. Amerika Serikat melakukan sebuah langkah baru dalam pergeseran kebijakan luar negeri yang pada awalnya fokus keamanan hanya di negara kawasan Eropa dan Rusia, akan tetapi Amerika Serikat mengalihkan fokus keamanannya ke Asia dan China. Seperti yang dilaporkan CIA (Central Intelligence Agency), bahwa bahaya perang antar negara besar berada di kawasan Asia Pasifik. Faktor pendukung pemikiran diatas adalah, Korea Utara dan Korea Selatan mempercepat program modernisasi militer mereka. Amerika Serikat harus berindak dengan cepat, karena adanya kekuatan baru yaitu di kawasan Asia Timur. China sebagai kekuatan dominan di Asia patut diwaspadai oleh Amerika Serikat. Sebagaimana dikatakan oleh Deputy Secretary of State Richard L. Armitage, Bahwa Amerika Serikat harus meberikan perhatian yang lebih banyak daripada sebelumnya ke Asia. Washington melihat China mengalami sebuah kemajuan yang sangat pesat dalam bidang militer. China memperoleh kemajuan dalam pengembangan nuklir yang lebih canggih dan juga adanya perubahan kekuatan laut dan udara dengan menggunakan teknologi yang tinggi. Politik luar negeri Amerika Serikat dipengaruhi oleh pandangan tokoh-tokoh kunci administrasi Presiden Bush atas kepentingan nasionalnya. Kritik tajam yang disampaikan oleh Partai Republik pada ara Presiden Bush kepada administrasi Partai demokrat pada era Presiden Clinton berisi tentang bahwa Amerika Serikat selalu mementingkan norma-norma
7
Peter G Tinsley, “Grand Strategy for The United States in the 21st Century” (A Look at the National Security Document of 2002 and Beyond) USAWC Strategy Research Project, U.S. Army War College, March 2005, hal. 11.
internasional daripada pemenuhan National Interest. Partai Republik di era Bush menekankan pada Freedom, Posperity, dan Peace yang bermakna bahwa perdamaian merupakan kondisi utama bagi kesejahteraan dan kebebasan dengan sebuah pengharapan terhadap dunia yang lebih demokratis.8 Berbeda dengan Bush, Presiden Bill Clinton lebih banyak berfokus pada permasalahan ekonomi daripada militer. Kebijakan Amerika Serikat di era Clinton cenderung mengarah pada upaya-upaya untuk menciptakan perdamaian dengan jalur diplomasi. Dalam permasalahan nuklir yang terjadi di semenanjung Korea, upaya yang dilakukan Presiden Clinton adalah melakukan Diplomasi Track One. Tercatat ada dua kunjungan yang dilakukan diplomat Amerika Serikat ke Korea Utara perihal permasalahan nuklir dan melakukan negosiasi. Kunjungan pertama adalah kunjungan yang dilakukan oleh Willian Perry pada tanggal 25-28 Mei 1999 . sedangkan kunjungan berikutnya dalah kunjungan Madeleine Albright pada tanggal 23-24 Oktober 2000.9
Kepentingan Amerika Serikat di Kawasan Asia Timur Dengan masih tidak menentunya keadaan di kawasan asia timur walaupun dewasa ini perang dingin telah berakhir, dan pasca dari dari perang dingin tersebut dihasilkan tiga isu dinamika keamanan regional di asia timur yaitu diantaranya adalah masalah hubungan Jepang dengan negara tetangga, ketegangan hubungan antara China dan Taiwan, dan perang yang tak terselesaikan antara dua negara Korea yaitu Korea Selatan dan Korea Utara.10 Secara geografis kawasan asia timur adalah kawasan yang memiliki nilai penting dalam pusat –pusat kegiatan dunia. Kawasan asia timur merupakan suatu kawasan yang paling cocok untuk memahami pentingnya regionalisme dalam membangun jaringan interaksi 8
Widjojo, A, (2001). Jurnal Studi Amerika, Vol. VII, hlm. 41-45.
9
R.Aditia Harisasongko, “Diplomasi Amerika Serikat terhadap Korea Utara dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Nuklir di Semenanjung Korea (1994-2007), “Jurnal Global & Strategis, Th. 2, No. 2, Juli-Desember 2008, hlm. 202. 10
Barry Buzan and Ole Waefer, Regions and Power The Structure of International Security, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hal. 152.
yang bersifat multilateral.11 Kawasan Asia Timur merupakan kawasan potensial bagi Amerika Serikat yang telah menjadi kekuatan baru abad ini, karena negara-negara di kawasan ini merupakan salah satu jaminan kelangsungan hidup bagi negara ini. Pasca penyerangan pada tanggal 7 Desember 1941 yang dilakukan oleh pihak Jepang di Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii, membuat Amerika Serikat menyadari betapa pentingnya kawasan Asia Timur bagi keamanan wilayahnya. 12 Hal ini disebabkan oleh posisi letak Asia Timur yang berbatasan langsung dengan kawasan Amerika Serikat di bagian pantai timur. Dengan adanya ancaman ini Amerika Serikat perlu membuat strategi yang bertujuan untuk menjaga pertahanan dan keamanannya agar tidak mengancam kebijakan Amerika Serikat tersebut. Setelah perang dingin berakhir, Amerika Serikat tetap berperan bagi regional dan sebagai kekuatan penyeimbang. Pada pertengahan 1990, Amerika Serikat sangat mengejar hegemoninya di Asia Timur. Ada hal yang membuat Amerika Serikat menjadi suatu kekuatan hegemoni yaitu Amerika Serikat telah melakukan hubungan bilateral dengan negara penting di Asia Timur seperti Korea Selatan, yang merefleksikan kedua belah pihak selama perang dingin berlangsung.13 Setelah kejadian 11 september yaitu adanya serangan terorisme yang dilakukan oleh al-qaeda terhadap Amerika Serikat dengan sasarannya yaitu gedung WTC atau World Trade Centre telah mengubah kebijakan politik Amerika Serikat, serangan teroris terhadap Amerika Serikat tersebut telah merubah persepsi tentang ancaman bagi Amerika Serikat, yakni bahwa adanya ancaman kepada kepentingan Amerika Serikat, bisa mengenai pertahanan di dalam negeri Amerika Serikat. Oleh karena itu Amerika Serikat merasa keamanan di Asia Timur harus ditingkatkan.
11
Bantarto Bandoro. 1996. Agenda dan Penataan Keamanan di Asia Pasifik. Jakarta: CSIS. Hal. 4
12
Amir F. Hidayat & H.G. Abdurrasyid. 2006. Ensiklopedi Negara-negara di Dunia. Bandung: Pustaka Setia. Hal. 406. 13
RA Cossa, Everything is going tomove everywhere, but not just yet, Comparative Connections: An EJournal on East Asian Bilateral Relations, 2003, hal 5.
Kepentingan Amerika Serikat terhadap Korea Selatan Amerika Serikat merasa Korea Selatan merupakan partner negara mereka di kawasan Asia Timur, hal ini disebabkan Korea Selatan sangat mendukung penghentian pengembangan nuklir oleh Korea Utara. Kerja sama antara Amerika Serikat terlihat dengan berdirinya sebuah organisasi yang ditujukan sebagai pendampingan terhadap proses konstruksi LWR di Korea utara, sesuai dengan kesepakatan bilateral yang telah disepakati oleh Amerika Serikat dan Korea Utara. Organisasi tersebut dikenal dengan Korea Peninsula Energy Development Organization (KEDO), pertama kali diprakarsai oleh tiga negara yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Korea selatan berperan aktif dalam forum dialog six party talks yang sangat merefleksikan kedekatan hubungan antara Amerika Serikat dan Korea Selatan. Adanya kerjasama dalam bidang pertahanan dan keamanan dengan Korea Selatan memperlihatkan kepentingan Amerika Serikat terhadap Korea Selatan. Dengan adanya kunjungan Presiden Kim Dae Jung ke Washington pada Maret 2001 terkait krisis nuklir di Korea Utara juga merefleksikan adanya hubungan kerjasama antara Amerika Serikat dan Korea Selatan.
Kepentingan Amerika Serikat terhadap China Dimulai pada tahun 1990-an, terutama ketika era kepemerintahan Presiden Clinton, kebijakan Amerika Serikat terhadap China dikenal dengan istilah strategy of comprehensive engagement yang menjelaskan bahwa Amerika Serikat melakukan kerja sama dengan Cina sebagai kekuatan yang sedang tumbuh. Amerika Serikat mendorong Cina menjadi negara yang stabil, terbuka, tidak agresif, dan juga menghargai pluralisme politik dan aturan-aturan internasional.14 Hubungan Amerika Serikat dengan Cina lebih bersifat antagonistik, hal ini direfleksikan dengan adanya pertentangan yang serius di awal tahun 1999 terkait isu pencurian teknologi nuklir Amerika Serikat untuk pengembangan nuklir Cina. Permasalahan Taiwan pun menjadi pertentangan yang cukup serius antara Amerika Serikat dan Cina. Namun, pada akhir tahun 1999 Amerika Serikat dan Cina melakukan Kerja sama dalam 14
Speech of Stanly O. Roth, pada Subcommite on East Asian and Pacific Affairs, Senate Foreign Relations Commite, Washington DC., 7 Mei 1998.
bidang ekonomi dunia dalam sebuah forum yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO).15 Sejak tahun 2002 ketika krisis nuklir semenanjung Korea terjadi kembali, Cina sangat memperhatikan program nuklir Korea Utara. Karena Cina menginginkan semenanjung Korea tanpa nuklir, hal ini dikarenakan Cina mempunyai keinginan agar lingkungan di kawasan Asia Timur stabil sehingga Cina dapat fokus dalam melakukan pembangunan ekonomi-nya. Cina berperan besar dalam Six Party Talks dan berusaha keras membujuk Korea Utara untuk menghentikan program pengembangan nuklir-nya.16 Hubungan Cina dan Korea Utara tidak sedekat pada masa Perang Dingin, hubungan Cina dan Korea Utara diliputi ketegangan yang membuat hubungan kedua negara ini tidak harmonis. Amerika Serikat mengharapkan Cina dapat membujuk Korea Utara agar menghentikan pengembangan nuklir-nya. Menurut perspektif Cina, Konflik di semenanjung Korea dapat mengakibatkan kekacauan perdagangan dan iklim investasi di Asia Timur dan berdampak pada perekomomian Cina yang sangat bergantung pada sektor perdagangan. Masih menurut perspektif Cina, bahwa perdagangan memerlukan stabilitas terutama ketiga partner perdagangan Cina yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan terlibat dalam konflik semenanjung Korea dimana konflik tersebut akan berdampak terhadap perdagangan dan regional dan perekonomian Cina. Hubungan
kerja sama antara Amerika Serikat dan Cina yang erat dalam
menyelesaikan krisis di semenanjung Korea mementahkan prediksi para pengamat, yang dimana banyak pengamat memprediksi akan ada gesekan antara Amerika Serikat dan Cina dalam penyelesaian krisis di semenanjung Korea. Hal di luar dugaan terjadi, karena Cina tidak mendukung pengembangan nuklir Korea utara dan melakukan kerja sama dengan Amerika Serikat.
15
Florence Chong, “Welcome to my World”, Australian, November 17, 1999.
16
Gu Guoliang, Op. Cit, hlm.39.
Kepentingan Amerika Serikat terhadap Jepang Nuklir menjadi sebuah kekuatan yang sangat berguna bagi Korea Utara dalam mencapai kepentingan nasional-nya, dengan memiliki nuklir maka Korea Utara dapat memberikan ancaman kepada negara-negara di kawasan maupun internasional. Amerika Serikat sebagai negara yang super power melakukan langkah-langkah kerja sama terkait isu nuklir di semenanjung Korea yang mengancam perdamaian dunia. Salah satu usaha yang dilakukan oleh Amerika Serikat melakukan kerja sama dalam bidang pertahanan dengan Jepang yang merupakan sekutu dari Amerika Serikat bersama dengan negara yang berasal dari kawasan Asia Timur lainnya yaitu Korea Selatan. Pada tahun 1998 terdapat kerjasama yang dilakukan Amerika Serikat-Jepang yang merefleksikan kepentingan Amerika Serikat terhadap Jepang. Kerjasama tersebut bertujuan untuk memperkuat pertahanan dan keamanan antara Jepang dan Amerika Serikat berupa undang-undang yang terdiri dari tiga elemen, yaitu:17 1. Undang-undang untuk mengamankan keamanan di area sekitar Jepang. Undangundang ini menjelaskan jenis-jenis dukungan yang diberikan oleh Amerika Serikat. 2. Undang-undang yang merevisi hukum Self Defense Force (SDF) agara dalam penyelamatan warga negara Jepang yang di luar negeri SDF menggunakan kapal transportasi dan kapal penghancur yang berfungsi sebagai transportasi tambahan dari transportasi udara. 3. Undang-undang untuk merevisi ACSA yang memungkinkan Jepang untuk mengadakan dukungan logistik untuk sesyatu kemungkinan yang tidak terduga di area sekitar Jepang yang memiliki pengaruh penting terhadap proses perdamaian dan kemanan Jepang. Terkait dengan ancaman dari Korea Utara, Jepang menerapkan kebijakan dua sisi (double sided) atau yang dikenal juga dengan dual diplomacy. Kebijakan tersebut
17
David Fouse, Japan’s Post-Cold War North Korea Policy: Hedging towards Economy?, Asia-Pacific Center for Security Studies, 2004, hlm. 5.
menjelaskan bahwa Jepang melakukan kerja sama dengan Amerika Serikat dan Korea Selatan dalam mengatasi ancaman yang diberikan oleh Korea Utara.18 Kerja sama yang dilakukan oleh Amerika Serikat-Jepang terkait isu nuklir yaitu dalam six party talks dan kerja sama dalam keamanan dan pertahanan. Dalam forum six party talks yang bertujuan untuk membahas nuklir Korea Utara, Amerika Serikat beranggapan bahwa keikutsertaan Jepang dalam forum tersebut sangat penting bagi perkembangan pembahasan isu pengembangan nuklir Korea Utara.19 Faktor-faktor tersebut yaitu posisi letak Jepang di kawasan Asia Timur, yang memudahkan Jepang untuk melakukan koordinasi dengan Korea utara dan status Jepang sebagai salah satu aliansi Amerika Serikat, terkait dalam isu nuklir Korea Utara. Persamaan Visi dan tujuan yang sama terkait nuklir Korea Utara menjadikan salah satu faktor Amerika Serikat melakukan kerja sama dengan Jepang di dalam forum six party talks. Alasan lain yang membuat Amerika Serikat berkerja sama dengan Jepang adalah karena Jepang memiliki power dan pengaruh di kawasan Asia Timur dan dunia internasional.20 Kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia timur terlihat dari adanya kerja sama dengan negara-negara di kawasan dalam bidang ekonomi, pertahanan dan keamanan, dan politik. Sehingga Amerika Serikat memandang kawsan Asia Timur khususnya semenanjung Korea merupakan daerah yang cukup strategis. Menurut Amerika Serikat, kawasan Asia Timur menjadi kekuatan baru di dunia internasional, dimana salah satu contoh adalah adanya kerja sama dengan Cina dalam bidang ekonomi dan perdagangan merefleksikan kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia Timur. Adanya kerja sama dalam bidang pertahanan dan keamanan dengan negara sekutu di Asia Timur yaitu Jepang dan Korea Selatan, memperlihatkan tujuan Amerika Serikat untuk menciptakan stabilitas dan perdamaian di Asia Timur.
18
Social Science Research Council, “Japan’s Dual-Approach Policy Toward North Korea: Past, Present, and Future, “dalam http://northkorea.ssrc.org/yun/, diakses tanggal 4 Mei 2013. 19
Maaike Okano-Heijmans, “Japan as Spoiler in the Six-Party Talks: Single-Issue Politics and Economic Diplomacy towards North Korea, “dalam http://japanfocus.org/-Maaike Okano_Heijmans/2929, diakses tanggal 5 Maret 2013. 20
Ibid.
Dengan semakin kompleks-nya permasalahan krisis nuklir di semenanjung Korea membuat Amerika Serikat harus melakukan hubungan kerja sama multilateral dengan melakukan sebuah forum dialog dengan negara-negara terkait isu nuklir Korea Utara. Dialog tersebut terkenal dengan sebutan six party talks atau dialog enam negara, yang berfungsi sebagai negosiasi secara komprehensif terhadap isu pengembangan nuklir Korea Utara. Enam negara yang terlibat dalam six party talks, yaitu Amerika Serikat, China, Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, dan Rusia. Ide awal diadakan negosiasi multilateral tersebut berasal dari Perdana Menteri Jepang yaitu Obuchi Keizo yang mengajukan proposal negosiasi enam negara pada tahun 1998. Akan tetapi proposal tersebut tidak mendapat respon dari pihak lain. Jepang beranggapan, dengan adanya uji coba Tae podong-1 oleh Korea Utara pada tahun 1998 dapat menganggu stabilitas keamanan di Jepang.21 Akhirnya pada tahun 2002 Amerika Serikat mengajukan proposal yang sama, setelah diketahui bahwa Korea Utara mengembangkan program nuklir berbasis uranium. Pertemuan segi 6 (“Six Party Talks”) tersebut terjadi pada tahun 2003 yaitu yang dinamakan “Six Party Talks” yang khusus membahas masalah nuklir korea utara yang anggotanya berisikan AS, korea utara, korea selatan, china, Russia, jepang. Pertemuan segi 6 adalah kerangka negosiasi multilateral yang bertujuan untuk menuntaskan krisis nuklir Korea Utara putaran kedua, Kerangka multilateral itu sangat kontras dengan keadaan pertemuan bilateral Korea Utara dan AS yang mencapai konklusi krisis nuklir Korea Utara putaran pertama.22 Pada tanggal 1 Agustus 2003, Korea Utara menyatakan kesediannya berpartisipasi di dalam dialog multilateral dalam kerangka six party talks. Putaran pertama six party talks diadakan di Beijing pada tanggal 27-29 Agustus 2003. Terjadi perbedaan pendapat dan perbedaan jarak antara Amerika Serikat dan Korea Utara pada dialog pertama tersebut sehingga tidak mencapai suatu hasil yang signifikan. Di dalam ronde pertama six-party talks
21
Maaike Okano-Heijmans, “Japan as Spoiler in the Six Party Talks: Single-Issue Politics and Economic Diplomacy towards North Korea, “dalam http://japanfocus.org/- Maaike Okano_Heijmans/2929, diakses tanggal 5 Maret 2013. 22
Korea Utara A-Z, dalam, http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/faq_01.htm Diakses pada tanggal 18 April 2013 pukul 01.38 WIB.
ini, Korea Utara mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara dengan persenjataan nuklir dan dapat melakukan uji coba nuklir.23 Putaran kedua six-party talks kembali diadakan di Beijing pada tanggal 25-28 Februari 2004.24 Di dalam ronde kedua tersebut menghasilkan beberapa kemajuan yang dicapai, dimana terdapat dua isu spesifik yang membuat Korea Utara terpisahkan dari pihak lainnya dalam dialog tersebut. Pertama, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang menginginkan Korea Utara menghentikan proyek pengembangan nuklir-nya, sedangkan di satu sisi Korea Utara menginginkan agar tetap melakukan pengembangan nuklir, dan ingin memiliki fasilitas untuk perdamaian (peaceful purposes). Kedua, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang menginginkan Korea Utara mengakui bahwa Korea Utara mengembangkan dan memiliki program pengembangan pengayaan uranium di dalam fasilitas-nya.25 Setiap pihak yang terlibat dalam six-party talks telah melakukan kesepakatan untuk memulai putaran ketiga sebelum akhir Juni 2004, dan adanya sebuah pertemuan yang disebut working group yang dilakukan sebanyak dua kali, yaitu yang pertama diadakan pada tanggal 12-14 Mei dan yang kedua pada tanggal 21-23 Juni 2004.26 Permasalahan yang terjadi di putaran pertama dan kedua, yaitu terdapat perbedaan posisi dan pendapat, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang berada dalam posisi untuk memaksa Korea Utara untuk segera menghentikan program nuklir-nya, tidak dapat dikembalikan, dan dapat diverifikasi. Korea Utara mempunyai pendapat yang berbeda, yaitu Korea Utara ingin tetap melaksanakan program nuklir untuk perdamaian harus diperbolehkan. Korea Utara hanya setuju dengan penonaktifan program persenjataan nuklir. Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang menginginkan Korea Utara mengakui program pengayaan nuklir-nya akan tetapi Korea Utara tidak mengakui program pengayaan uranium tersebut.27
23
Australian Government: Department of Foreign of Affairs and Trade, Op.Cit,.
24
Arms Control Association, Op. Cit,.
25
Ibid.
26
Australian Government: Department of Foreign Affairs and Trade, Op, Cit,.
27
Ministry of Foreign Affairs of Japan, “The Second Round of the Six-Party Talks (Overview and Evaluation)” dalam http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/n_korea/6party0402.html, diakses tanggal 6 Maret 2013.
Putaran ketiga six-party talks tetap dilaksanakan kembali di Beijing pada tanggal 2326 Juni 2004. Di dalam pertemuan multilateral tersebut Amerika Serikat mengajukan proposal yang bertujuan sebagai usaha preventif terkait nuklir Korea Utara. Dalam proposal tersebut berisi tentang pemberian bantuan bahan bakar minyak untuk Korea uatar yang diberikan oleh China, Rusia, dan Amerika Serikat setelah adanya persetujuan bahwa Korea Utara akan menghentikan program nuklir-nya. Amerika Serikat dan pihak lain yang terlibat dalam six-party talks akan merencanakan draft mengenai perjanjian keamanan multilateral dan mulai melakukan penyelidikan atas kebutuhan yang dibutuhkan Korea Utara. Amerika Serikat juga bersedia melakukan diskusi bilateral dengan Korea Utara untuk membahas pengangkatan sanksi yang diberikan oleh Amerika Serikat terhadap Korea Utara. 28 Akan tetapi Kementrian Korea Utara menyatakan bahwa program nuklir yang dilakukan negara mereka adalah sebagai usaha preventif dari Korea utara untuk keamanan negara mereka. Korea Utara menunda pembicaraan lebih lanjut terkait six-party talks hingga Korea Utara menemukan alasan yang tepat bagi Korea Utara untuk kembali melanjutkan dialog dan hingga menemukan atmosfer yang tepat untuk melanjutkan dialog six-party talks.29 Pada tanggal 2 Maret 2005, Korea Utara mengeluaran sebuah pernyataan bahwa Korea Utara sudah tidak terikat moratorium lima tahun atas uji coba nuklir missil balistik (missil jarak jauh), kemudian pada tanggal 31 Maret 2005 Korea Utara mendeklarasikan diri sebagai negara yang menguasai senjata nuklir dan menginginkan dialog dalam kerangka sixparty talks dilanjutkan apabila adanya persamaan status dari setiap negara anggota dialog dalam kerangka six-party talks bahwa dialog tersebut akan bertujuan sebagai pelucutan senjata (disarmament talks).30kemudian pada tanggal 9 Juli 2005, Korea Utara memberikan pernyataan tentang kesedian Korea Utara melanjutkan dialog six-party talks pada tanggal 25 Juli 2005. Kemudian, putaran keempat six-party talks dimulai pada tanggal 26 Juli hingga & Agustus 2005, pada dialog tersebut berakhir dengan reses dan masing-masing negara melanjutkan kembali ronde keempat pada tanggal 13-19 September 2005, yang akhirnya masing-masing negara dalam dialog tersebut menghasilkan konsensus.
28
Arms Control Associatin. Op. Cit,.
29
GlobalSecurity.org, “Weapons of Mass Destruction (WMD): Nuclear Weapons -2005 Development,” dalam http://www.globalsecurity.org//wmd/world/dprk/nuke2005.htm, diakses tanggal 6 Maret 2013. 30
Wade L Huntley, “The Six-Party Talks Agreement, “ dalam Institute for Policy Studies dalam http://www.fpif.org/reports/ the_ six_party_ talks_agreement, diakses tanggal 6 Maret 2013.
Kemudian pada tahun 2005, forum tersebut mengeluarkan hasil setelah empat kali putaran dialog yang tidak menghasilkan apapun, terdapat titik temu bahwa semua pihak menandatangani sebuah perjanjian yang menitik beratkan pada pemberhentian program pengayaan nuklir Korea Selatan di Yongbyon dan Korea Selatan harus segera bergabung kembali kedalam NPT serta berada dalam pengawasan IAEA kembali. Pada tanggal 19 September 2005, negara-negara yang terlibat dalam forum six-party talks telah berhasil mengartikulasikan konsensus terkait rangkaian prinsip yang menjelaskan tujuan dari dilangsungkan-nya six-party talks.31 Di dalam ronde keempat six-party talks ini, Amerika Serikat
bersama keenam negara lain sepakat memberikan bantuan kepada Korea Utara
berupa reaktor LWR (Light-Water Nuclear Reactor) yang berfungsi sebagai pembangkit listrik.32 Putaran kelima six party talks dimulai pada tahun 9-11 September 2005, di Beijing. Di dalam dialog tersebut Jepang dan Korea Selatan mengajukan perencanaan yang cukup mendetail sebagai pengimplementasian pernyataan konsensus bersama pada bulan September. Kedua negara mengajukan usulan berupa proposal tiga butir atas isu pembahasan, yaitu pebghentian pembangunan tenaga nuklir di Korea Utara, meberikan bantuan ekonomi dan energi untuk Korea Utara, dan butir terakhir adalah isu bilateral untuk Korea Utara, baik dengan Amerika Serikat maupun Jepang. Dialog tersebut tidak menghasilkan keputusan apapun, terkait dengan tidak adanya kesepakatan antara Amerika Serikat dan Korea Utara.33Amerika Serikat tidak menemukan kata sepakat pada dialog tersebut dengan Korea Utara, Karena pembicaraan yang diadakan pada dialog kelima tersebut tidak merefleksikan apa yang dinginkan Amerika Serikat terkait pengembangan nuklir Korea Utara. Terlihat jelas peran Amerika Serikat dalam six-party talks yaitu, Amerika Serikat sebagai negara pencetus diadakan-nya dialog enam negara untuk mengatasi program pengembangan nuklir Korea Utara. Amerika Serikat sebagai negara yang sangat menentang keras pengembangan nuklir Korea utara, mendorong dialog enam negara yang dikenal
32
Ibid.
33
Arms Control Association, Op. Cit,.
dengan six-party talks ini agar Korea Utara menghentikan program nuklir-nya sehingga menjamin stabilitas keamanan internasional. Di dalam six-party talks Amerika Serikat berperan aktif dan menjadi negara yang memimpin proses dialog enam negara tersebut, hal ini disebabkan oleh Amerika Serikat sebagai negara yang mempunyai kekuatan yang cukup dominan diantara negara-negara lain yang terlibat dalam dialog tersebut. Pada tahun 2006 terjadi kembali sebuah lonjakan konflik dikarenakan ditemukannya bukti bahwa terdapat praktik pencucian uang yang dilakukan oleh sebuah Bank bernama Banco Delta Asia yang memiliki 50 akun lebih.34 Aliran uang tersebut dibuktikan mengalir kepada pendanaan Korea Utara. Dari pembuktian tersebut Korea Utara justru mengambil tindakan provokatif yang menyatakan bahwa Korea Utara akan melakukan sebuah uji coba nuklir pada bulan Oktober 2006. Setahun berikutnya, China, pada akhirnya turut menekan pemerintahan Kim Jong-Il untuk melakukan perencanaan denuklirisasi yang cukup efektif dan terbukti pada bulan Oktober 2007 Korea Utara menyetujui usulan tersebut demi mendapatkan bantuan internasional. Perencanaan denuklirisasi ini juga diiringi dengan normalisasi hubungan Korea Utara dengan Korea Selatan.
Kesimpulan Pada kesimpulannya, kebijakan Amerika Serikat terhadap Korea Utara. Krisis nuklir di semenanjung Korea yang terjadi di akhir tahun 2002, cukup menjadi masalah besar di dunia internasional. Krisis nuklir yang terjadi di semenanjung korea semakin lama semakin bertambah rumit ketika antara kedua belah pihak yaitu Amerika Serikat dan Korea Utara saling menunjukan sikap arogannya dan menciptakan Perang pernyataan. Dari konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dan Korea Utara tentu akan menimbulkan dampak dari krisis ini, yaitu adanya keterlibatan negara-negara lain di beberapa pertemuan yang mebicarakan tentang krisis ini, negara-negara tersebut adalah Korea Selatan, China, Jepang, Rusia. Dalam setiap pertemuannya negara-negara yang cukup memiliki power yang kuat di kawasan Asia selalu aktif mengikuti perkembangan krisis nuklir Korea ini. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang memiliki senjata nuklir. Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki senjata tersebut mengetahui dampak buruk dari
34
Ibid.
keberadaan senjata nuklir tersebut apabila berada dalam pihak yang salah. Dalam hal ini Korea Utara yang mengembangkan teknologi persenjataan nuklirnya beberapa kali mendapat kecaman dari negara-negara lain yaitu, Korea Selatan, China, Jepang, Rusia dan tentunya Amerika Serikat. Kondisi tersebut menempatkan Korea Utara dalam posisi yang kurang baik untuk melanjutkan pengembangan nuklirnya, akan tetapi sekaligus dapat menjadi alasan strategis untuk terus melanjutkan pengembangan senjata nuklir tersebut. Berawal dari pembicaraan Six Party Talks tersebut, salah satu bentuk intrumen soft power yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap Korea utara adalah dengan memberikan bantuan makanan. Bantuan tersebut diberikan terlepas dari isu pengembangan senjata nuklir yang dimiliki oleh Korea Utara melainkan terdapat isu yang cukup krusial yaitu mengenai kelaparan yang melanda masyarakat Korea Utara. Meskipun demikian, hal tersebut tentunya memiliki pengaruh kepada negosiasi yang terjadi dalam Six Party Talks, karena setelah memberikan bantuan makan tersebut, Amerika Serikat selanjutnya memulai sebuah pertemuan dengan China untuk membahas keberlangsungan Six Party Talks dalam kaitannya denuklirisasi di semenanjung Korea. Hal ini dilakukan oleh Amerika Serkat sebagai bagian dari upaya diplomasi yang lebih efektif dalam mendesak Korea Utara secara halus. Oleh karena itu bantuan makanan dapat dikategorikan juga sebagai bagian dari instrumen Soft Power karena bantuan makanan diharapkan dapat meredakan ketegangan yang ada. Dalam metode Stick and Carot konsep Stick merupakan pemaknaan dari konsep intrumen Hard Power yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Hal ini dapat dijelaskan mengenai bagaimana Amerika Serikat menggunakan instrumen Hard Power sebagai perimbangan dari pendekatan Soft Power. Hard Power dapat didefinisikan sebagai sebuah konsep power (kekuatan) untuk memengaruhi dengan jalan yang represif, dalam konteks ini maka Hard Power dapat dimaknai dengan perilaku suatu negara dalam menggunakan kekuatan yang bersiifat represif atau military action.35 Inti dari penggunaan hard power adalah untuk sama-sama memengaruhi negara lain hanya saja perbedaan secara teknis antara soft power dan hard power terletak pada bentuk instrumen dari politik luar negerinya.
35
Hard Power, dalam, http://publicdiplomacy.wikia.com/wiki/Hard_Power diakses pada tanggal 21 Maret 2013 pukul 22.42 WIB.
Instrumen militer memiliki keunikannya tersendiri. Seperti yang telah diungkit sebelumnya bahwa instrumen militer memiliki sebuah efek ancaman (deterrence) yang dapat menimbulkan keresahan bagi suatu negara. Dengan kata lain penggunaan instrumen militer yang memiliki beragam bentuknya, baik kerjasama militer atau sistem aliansi dan atau kontak militer menuju peperangan secara langsung, dapat dikategorikan sebagai sebuah persepsi ancaman. Secara kontekstual, Amerika Serikat melakukan sebuah pendekatan yang terdapat sebuah unsur Hard Power didalamnya terhadap Korea Utara ketika Korea Utara mendeklarasikan untuk tetap mengembangkan program pengayaan senjata nuklirnya. Oleh karena itu Amerika Serikat memusatkan beberapa kebijakan terkait dengan penggunaan instrumen militer seperti melakukan ancaman terhad Korea Utara dengan melakukan pendekatan senjata nuklir Amerika Serikat, sanksi ekonomi dan kerjasama militer Amerika Serikat dengan negara-negara disekitar Korea Utara dan kawasan. Semua itu dilakukan oleh Amerika Serikat sehubungan dengan konsep Hard Power dalam rangka unjuk kekuatan yang dimiliki oleh Amerika Serikat terhadap Korea Utara. Sebagai contohnya, Amerika Serikat sempat memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara. Amerika Serikat juga beberapa kali melakukan ancaman secara tidak langsung terhadap Korea Utara terkait dengan instrumen militer seperti pembentukan aliansi keamanan dengan Korea Selatan dan Jepang, penaruhan pasukan Amerika Serikat di Korea Selatan dan lainnya. Hal ini tentunya untuk menekankan satu hal dimana Amerika Serikat dapat memberikan efek ancaman dan tekanan terhadap Korea Utara yang akan berpengaruh dalam memberikan kebijakannya. Kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu negara tentunya memiliki sebuah dampak bagi negara lain secara individual, secara kawasan ataupun secara global. Dampak tersebut merupakan suatu hal yang pasti karena kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh suatu negara tentunya memiliki keterkaitan terhadap sebuah issu yang berlaku saat ini atau kedepannya. Kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat terhadap Korea Utara tentunya memiliki dampak secara khusus bagi Korea Utara sehingga Korea Utara merespon setiap kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat. Tidak hanya Korea Utara, kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat juga berdampak secara
meluas pada tingkatan kawasan. Oleh karenanya juga, negara-negara disekitar kawasan seperti China, Jepang dan Korea Selatan tentunya memiliki respon terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat sebagai bentuk reaksi atas keterkaitan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan dinamika yang terjadi disekitar kawasan terkait isu yang berlaku. Secara garis besar, yang dapat disimpulkan dari penelitian ini, baik instrumen soft power dan hard power yang dilakukan Amerika Serikat, secara keseluruhan berdampak pada keberhasilan pemerintahan Bush untuk dapat menekan Korea Utara hingga pada batasnya. Hal tersebut terbukti efektif mengingat pada tahun 2007, Korea Utara pun pada akhirnya dapat mencapai kesepakatan untuk memberlakukan denuklirisasi. Begitu juga dengan China yang pada awalnya membela Korea Utara, metode Stick and Carot yang diterapkan oleh Amerika Serikat telah berhasil membuat sebuah pergeseran paradigma bagi China sebagai poros kekuatan di kawasan untuk sama-sama memiliki kepentingan bersama dalam menjaga stabilitas keamanan kawasan tanpa adanya ketegangan akibat program senjata nuklir Korea Utara.
DAFTAR PUSTAKA
Buku: R.P. Barston, Modern Diplomacy, Longman House, Harlow, UK, 1988, hlm 185. Barry Buzan and Ole Waefer, Regions and Power The Structure of International Security, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hal. 152. Bantarto Bandoro. 1996. Agenda dan Penataan Keamanan di Asia Pasifik. Jakarta: CSIS. Hal. 4 Amir F. Hidayat & H.G. Abdurrasyid. 2006. Ensiklopedi Negara-negara di Dunia. Bandung: Pustaka Setia. Hal. 406. David Fouse, Japan’s Post-Cold War North Korea Policy: Hedging towards Economy?, Asia-Pacific Center for Security Studies, 2004, hlm. 5.
Jurnal: Widjojo , A. 2001. Jurnal Studi Amerika, Vol. VII, hlm. 41-45. R.Aditia Harisasongko, “Diplomasi Amerika Serikat terhadap Korea Utara dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Nuklir di Semenanjung Korea (1994-2007), “Global & Strategis, Th. 2, No. 2, Juli-Desember 2008, hlm. 202. Charles Horner, “The Third Side of the Triangle: The China-Japan Dimension, dalam The National Interest, No.46, Winter 1996; Jhon F Cooper, “U.S. – Taiwan –China Relations: a dificult triangle”, Vital speeches, Vol. 65 No. 116, June 1, 1999. John Feffer, “U.S.-North Korea Relations”, in Foreign Policy in Focus, Internet Gateway to Foreign Policy, Volume 4, No 15, 1999.
Peter G Tinsley, “Grand Strategy for The United States in the 21st Century” (A Look at the National Security Document of 2002 and Beyond) USAWC Strategy Research Project, U.S. Army War College, March 2005, hal. 11. RA Cossa, Everything is going tomove everywhere, but not just yet, Comparative Connections: An E-Journal on East Asian Bilateral Relations, 2003, hal 5. Florence Chong, “Welcome to my World”, Australian, November 17, 1999.
Website: Social Science Research Council, “Japan’s Dual-Approach Policy Toward North Korea: Past, Present, and Future, “dalam http://northkorea.ssrc.org/yun/, diakses tanggal 4 Mei 2013. Maaike Okano-Heijmans, “Japan as Spoiler in the Six-Party Talks: Single-Issue Politics and Economic Diplomacy towards North Korea, “dalam http://japanfocus.org/-Maaike Okano_Heijmans/2929, diakses tanggal 5 Maret 2013. Maaike Okano-Heijmans, “Japan as Spoiler in the Six Party Talks: Single-Issue Politics and Economic Diplomacy towards North Korea, “dalam http://japanfocus.org/- Maaike Okano_Heijmans/2929, diakses tanggal 5 Maret 2013. Korea Utara A-Z, dalam, http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/faq_01.htm Diakses pada tanggal 18 April 2013 pukul 01.38 WIB. Ministry of Foreign Affairs of Japan, “The Second Round of the Six-Party Talks (Overview and Evaluation)” dalam http://www.mofa.go.jp/region/asiapaci/n_korea/6party0402.html, diakses tanggal 6 Maret 2013. GlobalSecurity.org, “Weapons of Mass Destruction (WMD): Nuclear Weapons -2005 Development,” dalam http://www.globalsecurity.org//wmd/world/dprk/nuke2005.htm, diakses tanggal 6 Maret 2013.
Wade L Huntley, “The Six-Party Talks Agreement, “ dalam Institute for Policy Studies dalam http://www.fpif.org/reports/ the_ six_party_ talks_agreement, diakses tanggal 6 Maret 2013. Hard Power, dalam, http://publicdiplomacy.wikia.com/wiki/Hard_Power diakses pada tanggal 21 Maret 2013 pukul 22.42 WIB.
Lain-Lain: Speec of Stanly O. Roth, pada Subcommite on East Asian and Pacific Affairs, Senate Foreign Relations Commite, Washington DC., 7 Mei 1998.