Nama
: Ahmad Saufani
Tempat & Tanggal Lahir
: Pematangsiantar, 15 Mei 1989
NIM
: 209000005
Program Studi
: Psikologi
Jenjang
: S1
ABSTRAK Universitas Paramadina Program Studi Psikologi 2009 Ahmad Saufani/209000005 Peran Religiusitas pada Ibu Sebagai Orangtua Tunggal dengan Anak Berkebutuhan Khusus 13, -, -, 1 Kematian suami atau istri memiliki nilai perubahan kehidupan yang paling tinggi dibandingkan peristiwa-peristiwa lain dalam kehidupan individu selaku pihak yang ditinggalkan. Kematian pasangan ini merupakan masalah yang paling menyebabkan stres dalam kehidupan orang dewasa. Selain kematian, ada hal lain yang mendorong munculnya beban sebagai cobaan dalam hidup seseorang yaitu anak. Memiliki buah hati merupakan keinginan dari setiap orang tua. Setiap orang tua dalam keinginannya mempunyai anak memiliki satu gambaran atau impian bahwa jika kelak anaknya terlahir maka akan mempunyai kondisi fisik dan mental yang normal dan mempunyai kelebihan daripada anak-anak lainnya. Meskipun setiap orang tua mengharapkan anaknya terlahir normal, namun tidak semua harapan tersebut terpenuhi dan masih banyak orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.Keadaan anak yang serba kekurangan dalam pertumbuhan dan perkembangan akan menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam dan merupakan kenyataan pahit yang harus dihadapi orang tua. Ketidaksempurnaan pada anak dapat berdampak negatif pada orang tua dan muncul rasa kecewa yang mendalam bercampur sedih, bingung, marah, putus asa, tidak bergairah, penolakan dan tidak berdaya. Tujuan : untuk memberi informasi mengenai pentingnya religiusitas pada perempuan pada ibu sebagai orangtua tunggal dengan anak berkebutuhan khusus. Metode yang digunakan: studi literatur. Kesimpulan: berdasarkan dari hasil penelitian-penelitian dan beberapa sumber, diketahui bahwa religiusitas merupakan Religiusitas berperan dalam memberikan ketenangan hati (emosi) dan keyakinan yang mengarahkan mereka pada kekuatan untuk menyelesaikan masalah serta untuk menciptakan makna positif dari sebuah situasi yang disertai dengan suasana religious. Religiusitas juga berperan dalam penerimaan diri bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Dimana peranan yang diberikan yaitu, semakin tinggi religiusitas mereka, maka semakin tinggi pula penerimaan diri terhadap kondisi anak mereka. Kata Kunci: Orangtua tunggal, Anak Berkebutuhan Khusus, Religiusitas. Daftar Pustaka: 33, 1987-2012.
ABSTRACT Paramadina University, Psychology Program in 2009 Ahmad Saufani/209000005 Role of Religiosity on Mom For Single Parents with Special Needs Children 13, -, -, 1 Death of the husband has the most life changing than other events in the life of the individual as the party left. Death of a spouse is a problem that most causes of stress in adult life. Besides death, there are other things that drive the emergence of the burden of a trial in a person's life, namely children. Having a children is the desire of every parent. Every parent in her desire to have children have a picture or a dream that if one day her son was born then will have the physical and mental condition is normal and has the advantage than other children. Although every parent expects his children was born normal, but not all of these expectations are met and there are still many parents who have children with disabilities. Underprivileged children in the growth and development will lead to a very deep disappointment and a bitter reality that must be faced by the elderly . Imperfections in a child can have a negative impact on the elderly and appears deep sense of disappointment mixed with sadness, confusion, anger, hopelessness, listlessness, refusal and helpless. Purpose: to provide information about the importance of religiosity on women in the mother as a single parent with a child with special needs. Method used: literature review. Conclusion: based on the results of research and some sources, it is known that religiosity is Religiosity role in providing peace of mind (emotions) and beliefs that lead them to power to solve problems and to create a positive sense of a situation that is accompanied with a religious atmosphere. Religiosity also play a role in self-acceptance for parents who have children with special needs. Where the role given that, the higher their religiosity, the higher the acceptance of the condition of their child. Keywords: Single Parents, Children with Special Needs, Religiosity. Bibliography: 33, 1987-2012.
PERAN RELIGIUSITAS PADA IBU SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL YANG MEMILIKI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Ahmad Saufani
Pendahuluan Setiap manusia di dalam kehidupan sehari-harinya tentu pernah mengalami kegagalan atau ketidaksesuaian kenyataan yang dihadapi dengan harapan sebelumnya. Kondisi ini mengarahkan kita tersebut ke situasi yang tidak nyaman, yang membuat dirinya sedih, cemas, ragu-ragu atau bingung. Kondisi ini disebut juga sebagai cobaan (Yuwono, 2010). Datangnya cobaan kepada diri kita inilah yang akan dirasakan sebagai suatu tekanan dalam diri, atau disebut juga sebagai beban. Dalam ilmu psikologi, tekanan dalam diri disebut juga sebagai stres dan situasi atau peristiwa yang memunculkan stres disebut juga sebagai stressor atau sumber stres (Yuwono, 2010). Stressor sebagai pemicu stres jenisnya bervariasi antar individu. Stressor yang sama belum tentu memiliki pengaruh stres yang sama bagi orang yang berbeda, sehingga kemampuan mengatasi satu kondisi yang sama juga berbeda antara satu orang dengan orang lainnya (Wallace, 2007). Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik stressor dan persepsi serta toleransi individu terhadap stressor (Bucker, 1991). Karakteristik stressor meliputi makna stressor bagi individu, jumlah dan durasi stressor, kompleksitas pengaruh, dan waktu munculnya stressor. Ada beberapa macam jenis pemicu munculnya beban atau stressor dalam diri individu yang dikemukakan oleh Bucker (1991) dan Wallace (2007) yaitu kematian, perceraian, kesulitan ekonomi, frustasi, konflik dan tekanan. Tetapi bukan hanya kondisi tersebut saja yang menjadi pemicu munculnya beban dalam diri individu yang dianggap sebagai cobaan, tetapi kekayaan, anak, kepandaian dan jabatan juga menjadi cobaan bagi individu (Yuwono, 2010).
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa yang menjadi pemicu munculnya beban pada diri individu salah satunya adalah kematian. Meninggalnya seseorang yang dekat dan dicintai akan menimbulkan rasa kehilangan yang dalam seperti meninggalnya pasangan hidup, anak dan orang tua. Kehilangan ini menjadai awal dari perasaan terancam, yang terkait dengan kehidupannya kelak. Siapa yang mendampingi, siapa yang akan dijadikan teman berbicara dan berbagi keluh kesah serta kebahagiaan, siapa yang memberi nafkah, dan perasaan terancam lainnya. Tekanan yang muncul dapat mengarahkan individu pada kesedihan yang tinggi (Bucker, 1991 & Wallace, 2007). Kematian suami atau istri memiliki nilai perubahan kehidupan yang paling tinggi dibandingkan peristiwa-peristiwa lain dalam kehidupan individu selaku pihak yang ditinggalkan (Atkinson, Atkinson & Hilgrad, 1983). Kematian pasangan ini merupakan masalah yang paling menyebabkan stres dalam kehidupan orang dewasa (Brooks, 1987). Lopata (dalam Yuwono, 2010) menyebutkan bahwa peristiwa kematian pasangan hidup merupakan peristiwa yang dapat mengganggu kehidupan emosional, mengubah hubungan individu dengan lingkungan sosialnya dan dapat menimbulkan permasalahanpermasalahan dalam kehidupan setelah ditinggalkan pasangan. Ketika pasangan meninggal, pasangan yang ditinggalkan tidak hanya kehilangan dukungan emosional, persahabatan, dan teman, namun harus menemukan cara untuk memenuhi semua tugas-tugas dan tanggung jawab dalam keluarga. Menemukan pengganti untuk mengisi peran yang kosong, atau mencoba melakukannya sendiri dan tanpa dukungan (Sanders, 1992). Saat ini keluarga dengan orang tua tunggal memiliki serangkaian masalah khusus. Hal ini disebabkan karena hanya ada satu orang tua yang membesarkan anak. Bila diukur dari angka, mungkin lebih sedikit sifat positif yang ada dalam diri suatu keluarga dengan satu orang tua dibandingkan keluarga dengan orang tua lengkap. Orang tua tunggal ini menjadi lebih penting bagi anak dan perkembangannya, karena orang tua tunggal ini tidak memiliki pasangan untuk saling menopang (Ratri, 2006). Ada semacam kekhawatiran dalam keluarga dengan orang tua tunggal dimana orang tua tersebut harus bekerja sekaligus membesarkan anaknya. Seseorang yang menjadi orang tua tunggal harus memenuhi kebutuhan akan kasih sayang dan juga keuangan, berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus, serta mengendalikan kemarahan atau depresi yang dialami
oleh anaknya maupun dirinya sendiri. Semuanya ini memperberat tugas sebagai orang tua tunggal (Ratri, 2006). Keluarga dengan orang tua tunggal dapat dipimpin oleh wanita maupun pria. Mayoritas dari keluarga dengan orang tua tunggal adalah perempuan dan jumlahnya mencapai 50% dari jumlah keluarga miskin di Amerika Serikat. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan data dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA) tahun 2011 menyebutkan bahwa jumlah perempuan Indonesia yang menjadi kepala rumah tangga mencapai tujuh juta orang atau hampir sepuluh kali lipat selama rentang sepuluh tahun (Tujuh Juta, 2012). Menjadi single parent dan menjalankan peran ganda bukan merupakan hal yang mudah bagi seorang wanita. Hal ini dikarenakan di satu sisi ia harus memenuhi kebutuhan psikologis anak-anaknya (pemberian kasih sayang, perhatian, rasa aman) dan di sisi lain ia pun harus memenuhi semua kebutuhan fisik anak-anaknya (kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lain yang berkaitan dengan materi) (Alvita, 2008). Wanita yang berperan sebagai orang tua tunggal dihadapkan pada masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan yang sangat beragam. Hurlock (1991) menyebutkan beberapa permasalahan umum yang dihadapi wanita yang berperan sebagai orang tua tunggal karena kematian suaminya yaitu masalah ekonomi, keluarga, tempat tinggal, sosial, praktis, dan seksual. Selain kematian, ada hal lain yang mendorong munculnya beban sebagai cobaan dalam hidup seseorang yaitu anak (Yuwono, 2007). Memiliki buah hati merupakan keinginan dari setiap orang tua. Setiap orang tua dalam keinginannya mempunyai anak memiliki satu gambaran atau impian bahwa jika kelak anaknya terlahir maka akan mempunyai kondisi fisik dan mental yang normal dan mempunyai kelebihan daripada anak-anak lainnya (Mangunsong, 2009). Meskipun setiap orang tua mengharapkan anaknya terlahir normal, namun tidak semua harapan tersebut terpenuhi dan masih banyak orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Geniofarm (2010) mengemukakan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu
menunjukkan ketidakmampuan fisik, mental atau emosi dan yang termasuk anak berkebutuhan khusus adalah tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan, autis dan ADHD (attention deficit hyperactivity disorder). Orang tua dengan anak berkebutuhan khusus memiliki pengalaman stres yang besar, mengalami masalah kesehatan, perasaan membatasi yang besar dan tingkatan depresi yang besar jika dibandingkan dengan orang tua yang memiliki anak normal (Quine, Paul, Roach, dkk. dalam Heiman 2002) dan cenderung mengalami stres seperti tuntutan kepedulian sehari-hari terhadap anaknya, tekanan emosional, kesulitan interpersonal, masalah keuangan dan konsekuensi sosial yang merugikan (isolasi sosial) serta adanya penolakan, perasaan menyalahkan diri sendiri, kesedihan (Cmic, Lichtenstein, Tunali, dkk. dalam Gupta & Singhal, 2004). Orang tua dengan anak berkebutuhan khusus juga menunjukkan sikap empati yang kurang, kehangatan yang kurang dan keterlibatan yang kurang terhadap anaknya (East, Pettit, Bates, dkk. dalam Warren 2003) dan memiliki sikap negatif terhadap anaknya, menunjukkan perasaan pesimis dan rasa malu (Rangaswami dalam Gupta & Singhal, 2004). Penelitian yang dilakukan Heiman (2004) menunjukkan bahwa 84.4 % orang tua dengan anak berkebutuhan khusus memiliki beberapa respon emosional seperti depresi, ketakutan, merasa bersalah, marah, shock, penolakan, dukacita, kesedihan, putus asa, permusuhan, atau gangguan emosional. Sedangkan 31.3 % menunjukkan respon psikologis yang negatif seperti menangis, tidak mau makan, keringat dingin, menggigil, kesakitan fisik, jantung yang berdenyut cepat. Keadaan anak yang serba kekurangan dalam pertumbuhan dan perkembangannya akan menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam dan merupakan kenyataan pahit yang harus dihadapi orang tua. Jika anak yang dinanti-nanti gagal memenuhi harapan orang tua, maka orang tua akan merasa kecewa dan mulai bersikap menolak (Hurlock, 1991). Ketidaksempurnaan pada anak dapat berdampak negatif pada orang tua dan muncul rasa kecewa yang mendalam bercampur sedih, bingung, marah, putus asa, tidak bergairah, penolakan dan tidak berdaya (Nawawi, 2010).
Orang tua tunggal wanita banyak masalah yang dihadapinya, apalagi jika orang tua tunggal wanita memiliki lebih dari satu cobaan dalam hidupnya. Seperti yang telah disebutkan oleh Bucker (1991) bahwa jumlah dan durasi cobaan dapat meningkatkan beban yang dialami individu. Cobaan atau beban yang dihadapi setiap individu bervariasi. Cobaan yang sama belum tentu memiliki pengaruh yang sama bagi orang yang berbeda, sehingga kemampuan mengatasi suatu kondisi yang sama juga berbeda antara satu orang dengan orang lainnya (Wallace, 2007). Suranti (2008) mengungkapkan bahwa individu yang semasa hidupnya sebelum mendapatkan musibah atau cobaan yang memiliki makna baginya dan merasa dirinya kurang memiliki pengalaman dan kesadaran agama, umumnya menafsirkan musibah atau cobaan sebagai peringatan Tuhan kepadanya. Tafsiran itu tidak jarang memberikan wawasan baru bagi individu untuk kembali ke jalan agama, sehingga semakin berat musibah atau cobaan yang dialami akan semakin tinggi tingkat ketaatan kepada agama, bahkan mungkin pula kemudian menjadi individu penganut yang fanatik. Religiusitas menurut Glock & Stark (dalam Sari, Fajri & Syuriansyah, 2012) adalah tingkat konsepsi seseorang terhadap agama dan tingkat komitmen seseorang terhadap agamanya. Religiusitas individu
menunjukkan kematangan sikap dalam menghadapi
berbagai masalah, norma, dan nilai-nilai yang ada di masyarakat, terbuka terhadap semua realitas atau fakta empiris, realitas filosofis, dan realitas rohaniah, serta mempunyai arah tujuan yang jelas dalam cakrawala hidup. Religiusitas juga merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari luar (Jalaludin, 2007). Religiusitas dianggap sebagai faktor penting dalam menghadapi semua cobaan dalam hidup individu khususnya ibu sebagai orangtua tunggal yang memiliki anak berkebutuhan khusus karena memberikan kekuatan jiwa bagi seseorang untuk menghadapi tantangan hidup dan memberikan bantuan moril dalam menghadapi krisis yang dihadapi sehingga individu menjadi optimis, independen, dan tangguh untuk menjalani hidup dan mengubah dirinya (Jalaluddin, 2007). Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk mengetahui peran religiusitas pada ibu sebagai orang tua tunggal yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
Pembahasan Meichati (dalam Basilia, 2011) mengungkapkan bahwa kehidupan beragama dapat memberikan kekuatan jiwa bagi seseorang untuk menghadapi tantangan hidup dan kehidupan beragama dapat pula memberikan bantuan moril dalam menghadapi krisis yang dihadapi. Penderitaan bagi individu yang religius tidak akan membuat individu itu menyerah pada nilai-nilai eksternal, tetapi diisi melalui nilai-nilai perjuangan yang siap menghadapi segala resiko yang harus dihadapi dengan keyakinan yang mendalam terhadap Tuhan dan pada akhirnya keyakinan tersebut mengantarkan individu tersebut menjadi manusia yang optimis, independen, dan tangguh untuk menjalani hidup dan mengubah dirinya (Tasmara, 2001). May (dalam Tasmara, 2001) juga menambahkan bahwa kemampuan menempatkan diri dalam dimensi waktu dan dunia religius akan memberikan cinta dan kepekaan untuk menangkap sinyal-sinyal moral, melihat kebenaran, keindahan, dan memotivasi diri kearah yang ideal. Hidup yang dilandasi nilai-nilai agama akan tumbuh kepribadian sehat yang di dalamnya terkandung unsur-unsur keagamaan dan keimanan yang cukup teguh, tetapi sebaliknya orang yang jiwanya goncang dan jauh dari agama maka individu tersebut akan mudah goyah, marah, putus asa, dan kecewa (Suranti, 2008). Spranger (dalam Basilia, 2011) menyatakan bahwa individu yang religiusitas menempatkan kesatuan nilai tertinggi dalam hidupnya. Mereka memahami dan menghadapi dunia sebagai satu kesatuan yang terpadu dan utuh. Nilai-nilai religius mampu memberikan suatu kerangka yang menjadi acuan bagi individu dalam berpikir, memandang diri dan kehidupannya. Menurut Nashori & Mucharam (dalam Amrullah, 2008) bahwa religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah serta seberapa dalam penghayatan manusia atas agama yang dianutnya. Religiusitas pada dasarnya ialah sebuah keadaan untuk menjelaskan kondisi religius dan nuansa spiritual seseorang. Konsep tersebut mencoba melihat keberagamaan seseorang dari bagaiaman seseorang dapat merasakan dan mengalami secara batin mengenai Tuhan dan komponen agama lainnnya. Dengan religiusitas seseorang diharapkan akan
mendapatkan sebuah fakta tersendiri bagaiman pemaknaan seseorang mengenai agama (Purnama, 2011). Saefuddin (1995) mengatakan bahwa dorongan agama merupakan kebutuhan manusia paling esensial yang bersifat universal. Karena itu, dorongan agama dapat menjadikan seseorang akan selalu mengharapkan belas kasih-Nya, bimbingan-Nya, serta belaian-Nya. Menurut Rakhmat (2003) terdapat dua potensi utama yang menjadikan manusia mampu mengungguli makhluk-makhluk lainnya yaitu akal dan agama. Fenomena orangtua tunggal merupakan fenomena sudah banyak terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lainnya. Karena kematian pasangan atau perceraian, individu menjadi satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Keadaan seperti menyebabkan orangtua tunggal dkenai banyak tuntutan (stressor) dalam kehidupan sehari-hari. Beban ini menjadi lebih berat pada orangtua tunggal wanita di Indonesia, karena umumnya orang Indonesia menganggap negatif status wanita sebagai orangtua tunggal. Untuk itu diperlukan strategi untuk mengatasi situasi sulit tersebut (Pranandari, 2008). Hal tersebut yang mendorong Pranandari (2008) untuk melakukan penelitian mengenai coping strategy pada orangtua tunggal wanita. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang melibatkan 67 orangtua tunggal wanita sebagai subjek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari kesuluruhan subjek ditemukan sebanyak 52 persen menggunakan agama sebagai strategi coping mereka. Adapun hal-hal yang dilakukan dari 52 persen subjek yang menggunakan agama sebagai strategi coping mereka yaitu seperti niat untuk ikhlas, sabar, shalat, bersyukur, berserah diri, doa dan dzikir. Hal tersebut dilakukan oleh mereka untuk mendapatkan ketenangan hati (emosi) dan mereka meyakini akan mengarahkan mereka pada kekuatan untuk menyelesaikan masalah. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Cyntami (2008) mengenai gambaran sumbersumber stres dan perilaku coping pada orangtua tunggal wanita yang memiliki anak penyandang autisme. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai sumber-sumber stres yang menjadi stressor pada orangtua tunggal wanita yang memiliki anak penyandang autisme. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stressor yang dialami orangtua tunggal dengan anak penyandang
autisme berkaitan dengan masalah ekonomi, pengasuhan anak, psikologis, emosional, sosial, kesepian, dan konsep diri, dimana masalah ekonomi dan pengasuhan anak menjadi stressor utama. Kemudian strategi coping yang dirasakan cukup membantu orangtua tunggal wanita dengan anak penyandang autisme adalah seeking social support dan positive reappraisal. Hasil penelitian Cyntami menunjukkan bahwa strategi coping yang cukup membantu salah satunya adalah positive reappraisal. Positive reappraisal yaitu mencoba untuk menciptakan makna positif dari sebuah situasi yang disertai dengan suasana religius dalam konteks perkembangan pribadi seperti dengan adanya masalah, individu akan selalu mengambil hikmah dan individu percaya akan menjadi lebih baik, berdoa, shalat, berserah diri, dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan oleh Subhan (2011) mengenai pengaruh dimensi-dimensi religiusitas terhadap penerimaan orangtua anak Autis di Bekasi Barat. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuntitatif dengan 170 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi-dimensi religiusitas memberikan sumbangsih 33,31 % kepada penerimaan orangtua terhadap anak mereka dan 66,9 % sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Ningrum (2011) mengenai hubungan antara tingkat religiusitas dengan penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental berat. Hasil dari penelitian ini adalah religiusitas memiliki hubungan positif terhadap penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental. Artinya semakin tinggi tingkat religiusitas orangtua, maka semakin tinggi pula penerimaan diri dari orangtua yang memiliki anak retardasi mental.
Kesimpulan Menjadi single parent dan menjalankan peran ganda bukan merupakan hal yang mudah bagi seorang wanita. Hal ini dikarenakan di satu sisi ia harus memenuhi kebutuhan psikologis anak-anaknya (pemberian kasih sayang, perhatian, rasa aman) dan di sisi lain ia pun harus memenuhi semua kebutuhan fisik anak-anaknya (kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lain yang berkaitan dengan materi) . Begitupun menjadi orang tua dengan anak berkebutuhan khusus. Keadaan anak yang serba kekurangan dalam pertumbuhan dan perkembangannya akan menimbulkan
kekecewaan yang sangat mendalam dan merupakan kenyataan pahit yang harus dihadapi orang tua. Jika anak yang dinanti-nanti gagal memenuhi harapan orang tua, maka orang tua akan merasa kecewa dan mulai bersikap menolak. Ketidaksempurnaan pada anak dapat berdampak negatif pada orang tua dan muncul rasa kecewa yang mendalam bercampur sedih, bingung, marah, putus asa, tidak bergairah, penolakan dan tidak berdaya. Dalam mengatasi serangkaian permasalahan sebagai orang tua tunggal dan memiliki anak berkebutuhan khusus, agama memiliki peran penting. Kehidupan beragama dapat memberikan kekuatan jiwa bagi seseorang untuk menghadapi tantangan hidup dan kehidupan beragama dapat pula memberikan bantuan moril dalam menghadapi krisis yang dihadapi dan mengantarkan individu tersebut menjadi manusia yang optimis, independen, dan tangguh untuk menjalani hidup dan mengubah dirinya. Hidup yang dilandasi nilai-nilai agama akan tumbuh kepribadian sehat yang di dalamnya terkandung unsur-unsur keagamaan dan keimanan yang cukup teguh, tetapi sebaliknya orang yang jiwanya goncang dan jauh dari agama maka individu tersebut akan mudah goyah, marah, putus asa, dan kecewa. Nilai-nilai religius mampu memberikan suatu kerangka yang menjadi acuan bagi individu dalam berpikir, memandang diri dan kehidupannya. Kehidupan beragama tersebut akan menjadikan individu memiliki tingkat konsepsi terhadap agama dan tingkat komitmen terhadap agama yang disebut sebagai religiusitas. Berdasarkan hasil penelitian dan beberapa sumber di atas juga terlihat bahwa religiusitas memiliki peran penting pada ibu sebagai orang tua tunggal yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Religiusitas berperan dalam memberikan ketenangan hati (emosi) dan keyakinan yang mengarahkan mereka pada kekuatan untuk menyelesaikan masalah serta untuk menciptakan makna positif dari sebuah situasi yang disertai dengan suasana religius. Ketenangan yang diperoleh yaitu berasalah dari niat untuk ikhlas, sabar, shalat, bersyukur, berserah diri, doa dan dzikir. Selain itu, religiusitas juga berperan dalam penerimaan diri bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Dimana peranan yang diberikan yaitu, semakin tinggi religiusitas mereka, maka semakin tinggi pula penerimaan diri terhadap kondisi anak mereka.
Daftar Pustaka Alvita, N.O. (2008). Wanita Sebagai Single Parent dalam Membentuk Anak Yang Berkualitas. http://okvina.wordpress.com/html Amrullah, N. (2008). Religiusitas dan Kecerdasan Emosional dalam Kaitannya dengan Kinerja Guru di MAN 2 Banjarmasin. Tesis. Malang: Universitas Islam Negeri Malang dalam http://lib.uin-malang.ac.id, dikases 4 Desember 2012. Atkinson, R.L., Atkinson, A.C. & Hilgard, E.R. (1983). Introduction to Psychology. 8th Ed. California: Harcourt Brace Jovanovich Basilia, S.W. (2011). Hubungan antara Tingkat Religiusitas dan Kebermaknaan Hidup Seseorang. Diakses dari http://basiliasubiyanti.blogspot.com/2011/02/hubunganantara-tingkat-religiusitas.html pada tanggal 2 Desember 2012 pukul 13.40 WIBBelsky, J. (1997). The Adult Experience. USA: West Publishing Company Bucker, C. (1991). Abnormal Psychology. Boston: McGraw Hill Brooks, J.B. (1987). The Process of Parenting. 2nd Ed. California: Mayfield Publishing company Cyntami, Y.H. (2008). Gambaran sumber-sumber stres dan Perilaku Coping Stress pada Orangtua tunggal Wanita yang Memiliki anak Penyandang Autisma. Skripsi. Fakultas Psikologi: Universitas Atmajaya, dalam http://lib.atmajaya.ac.id Gelfand, D.M & Drew, C.J. (2003). A Handbook of Understanding Child Behavior Disorders,4th ed.. USA: Thomson Wadsworth. Geniofarm. (2010). Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Jogjakarta: Garailmu. Gupta, A. & Singhal,N. (2004). Positive Perceptions in Parents of Children with Dissabilities. Asia Pacific Disability Journal. (Online),
Vol. 15 No. 1
(http://www.autism-india.org/NS_positive_perceptions), diakses 4 Desember 2012.
Hurlock, E.B. (1991). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga Heiman, T. (2002). Parents of Children with Disabilities: resilience, coping, and future Expectation.Journal of Developmental and Physical Disabilities. (Online), Vol. 14 No.
2
(http://bippsp.bipp.pt/documentos/intPrecoce/Documentos/Parents%20of%20Childre n%20With%20Disabilities), diakses 2 Desember 2012. Jalaluddin. (2007). Psikologi Agama. Edisi Revisi 10, Jakarta: Rajawali Press. Judarwanto,
W.
(2008).
Deteksi
Dini
ADHD,
dalam
http://www.putrakembara.org/rm/adhd2.sthml., diakses 14 Desember 2012 Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan khusus. Depok: LPSP3 Nass, R. D. & Leventhal, F. (2011). A Handbook of 100 Questions & Answers about Your Child’s ADHD: From Preschool to College. USA: Jones & Bartlett Learning Publications. Nawawi, A. (2010). Konseling keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Ningrum, D.P. (2007). Hubungan antara Tingkat Religiusitas dengan Penerimaan Diri orang tua yang Memiliki anak Retardasi Mental. Skripsi. (tidak diterbitkan). Semarang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang dalam http://www.uns.ac.id, 4 desember 2012 Pranandari, K. (2008).Coping strategy pada Orangtua Tunggal Wanita. Jurnal Penelitian Psikologi No.1 Vol. 13. Fakultas Psikologi: Universitas Gunadarma Purnama, T. S. (2011). Hubungan Aspek Religiusitas dan Aspek Dukungan Sosial terhadap Konsep Diri Selebriti di Kelompok Pengajian Orbit Jakarta. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.
Ratri, S.M. (2006). Orangtua Tunggal. Diakses dari http://
[email protected]/html pada tanggal 3 Februari 2013 pukul 19.20 WIB Rakhmat, J.( 2003). Psikologi Agama Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan. Rahmawati, A. (2012). Attention Deficit/Hiperactivity Disorder (ADHD). Medan: Universitas Sumatera Utara.Sanders, C. M. (1992). Surviving Grief and Learning to Live Again. Canada: John Willey & Sons, Inc. Saefuddin, A.M. (1995). Desekularisasi Pemikiran Landasan Islami. Bandung: Mizan Sanders, C. M. (1992). Surviving Grief and Learning to Live Again. Canada: John Willey & Sons, Inc. Sari, Y., Fajri, A. & Syuriansyah, T. (2012). Religiusitas pada Hijabers Community Bandung. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosil, Ekonomi dan Humaniora Vol. 3 No. 1. Bandung: Universitas Islam Bandung dalam http://prosiding.lppm.unisba.ac.id/index.php/sosial/article/viewFile/349,
diakses
4
Desember 2012. Subhan, Tsara Sabira. (2011). Pengaruh dimensi-dimensi religiusitas terhadap penerimaan diri pada orangtua dengan anak Autis di Bekasi Barat. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah dari respository.uinjkt.ac.id Suranti. (2008). Konsep Diri dan Religiusitas Pada Tuna Daksa Sebab Kecelakaan. Skripsi.
Fakultas
Psikologi:
Universitas
Muhammadiyah
Surakarta,
dari
http://etd.eprints.ums.ac.id Tasmara, T. (2001). Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence) Membentuk Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak. Jakarta: Gema Insani Press. Tujuah Juta Perempuan Indonesia Menjadi Orang tua tunggal. (2012). Dikases dari http://www.poskotanews.com/2012/05/16/7-juta-perempuan-indonesia-jadi-orangtuatunggal/ pada tanggal 3 Maret 2013 pukul 20.00 WIB
Wallace, EV. (2007). Managing Stress: What Consumers Want to Know From Health Educators. American Journal of Health Studies. Vol. 22 No. 1. Academic Research Library Weyand, C. (2010). Parenting a Child with Behavior Problems: Dimensions of Religiousness
that
Influence
Parental
Stress
and
Sense
of
Competence.
Disertasi.Indiana: Indiana State University. Warren, M. A. (2003). Parent-Child Interactions with ADHD Children: Parental Empathy as a Predictor of Child Adjustment. Disertasi. University of North Texas. Yuwono, Susatyo. (2010). Mengelola Stress Dalam Perspektif Islam dan Psikologi. Jurnal Psycho Idea Tahun 8 No. 2. Fakultas Psikologi: Universitas Muhammadiyah Surakarta.