BIAS JENDER DALAM PENERJEMAHAN: KAJIAN HERMENEUTIK TERHADAP TERJEMAHAN TAFSIR AL-AZHAR Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh Mohamad Heri Azhari NIM: 104024000839
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
BIAS JENDER DALAM PENERJEMAHAN: KAJIAN HERMENEUTIK TERHADAP TERJEMAHAN TAFSIR AL-AZHAR Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh Mohamad Heri Azhari NIM: 104024000839
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 16 September 2010
Mohamad Heri Azhari
ii
BIAS JENDER DALAM PENERJEMAHAN: KAJIAN HERMENEUTIK TERHADAP TERJEMAHAN TAFSIR AL-AZHAR
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh Mohamad Heri Azhari NIM: 104024000839
Pembimbing,
Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. NIP: 150 282 400
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul BIAS JENDER DALAM PENERJEMAHAN: KAJIAN HERMENEUTIK TERHADAP TERJEMAHAN TAFSIR AL-AZHAR telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 16 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.
Jakarta, 16 September 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Ikhwan Azizi, M.A. NIP: 150 268 589
Dr. Ahmad Saehudin, M.Ag. NIP: 150 303 001
Anggota,
Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. NIP: 150 282 400
iv
ABSTRAK Mohamad Heri Azhari Bias Jender dalam Penerjemahan: Kajian Hermeneutik terhadap Terjemahan Tafsir Al-Azhar Di antara pemahaman yang bias jender salah satunya adalah pemahaman tentang kepemimpinan perempuan. Di kalangan masyarakat diajarkan bahwa perempuan itu tidak layak jadi pemimpian karena tubuhnya sangat lembut dan lemah serta akalnya pendek. Lalu diperkuat lagi dengan ayat yang menurut sebagian ulama, menjelaskan bahwa laki-laki adalah “pemimpin” bagi perempuan, yaitu QS. AlNisa [4]: 34. Inilah yang akan Penulis angkat dalam penulisan ini. Dan, yang menjadi objek kajian ini adalah terjemahan Tafsir Al-Azhar karya Dr. HAMKA. Dalam tafsirnya, HAMKA menerjemahkan QS. Al-Nisa [4]: 34: Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan-perempuan, lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas yang sebahagian, dan dari sebab apa yang mereka belanjakan dari harta benda mereka. HAMKA menerjemahkan kata qawwamûn dengan “pemimpin”. Dia menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini adalah jawaban dari pertanyaan apakah sebab yang terpenting dalam pembagian harta pusaka laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, mengapa laki-laki membayar mahar, mengapa kepada laki-laki jatuh perintah supaya menggauli istri dengan baik, dan mengapa laki-laki diizinkan beristri sampai empat orang asal sanggup adil sedang perempuan tidak? Sebab, lanjut HAMKA, laki-laki itulah yang memimpin perempuan, bukan perempuan yang memimpin laki-laki, dan bukan pula sama kedudukan. Dengan demikian, dalam kasus ayat di atas, HAMKA menolak dengan keras kepemimpinan perempuan. Menurutnya, hanya laki-lakilah yang harus menjadi pemimpin. Jika HAMKA membandingkan ketika menerjemahkan ayat di atas dengan ayat tentang hak laki-laki dan perempuan, QS. At-Taubah [9]: 71, mungkin terjemahannya tidak akan demikian. Karena, dalam penerjemahan tentang hak laki-laki dan perempuan, kemudian diperkuat dengan tafsirnya, HAMKA mengakui bahwa yang dapat menjadi pemimpin bukan hanya laki-laki atas perempuan, melainkan sebaliknya, perempuan bisa menjadi pemimpin atas laki-laki. Karena keduanya memiliki tanggung jawab yang sama; amar ma’ruf nahi mungkar. Sedangkan budaya yang mempengaruhi ideologi HAMKA tampaknya masih dikuasai oleh budaya patriarki. Di mana, pemahamannya telah dipengaruhi oleh ulama-ulama klasik yang masih kental dikuasai oleh budaya patriarki. Sehingga penerjemahan dan penarsirannya pun mengandung unsur patriarki. Dalam kasus ayat ini, HAMKA telah menyebarkan konsep mengenai superioritas laki-laki atas perempuan. Maka, penerjemahannya juga menunjukkan adanya superioritas laki-laki. Dengan demikian, secara hermeneutis, penerjemahan HAMKA benar-benar mengandung bias jender.
v
KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada Penulis, sehingga skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini dapat Penulis selesaikan. Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw., keluarganya, dan para sahabatnya. Semoga kita semua mendapat syafa’atnya di hari akhir. Amin! Dalam kata pengantar ini, Penulis akan mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag., selaku pembimbing skripsi, yang telah mengorbankan waktu di tengah kesibukannya serta kesabarannya dalam membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, juga yang selalu memberikan motifasi kepada Penulis; terima kasih untuk yang kedua kalinya kepada beliau selaku pembimbing akademik yang telah mengarahkan, mengajarkan, dan mendidik Penulis selama menjadi mahasiswa di Fakultas Adab dan Humaniora. Terima kasih banyak juga Penulis ucapkan kepada Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, M.A., Ketua Jurusan Tarjamah dan Dr. Ahmad Saehudin, M.Ag., Sekretaris Jurusan Tarjamah. Ucapan terima kasih kepada seluruh dosen Jurusan Tarjamah yang telah mendidik dan mengajarkan Penulis berbagai ilmu pengetahuan bahasa, budaya, dan terjemah yang telah mengajarkan seluk beluk dunia terjemah. Tak juga
vi
Penulis lewatkan terima kasih kepada Zubair M.Ag., Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum., Irfan Abu Bakar, M.A., Karlina Helmanita, M.A., Prof. Dr. Ahmad Satori, Prof. Dr. Thojib IM, Prof. Dr. Rofi‘i, Drs. H.D Sirojuddin AR, M.Ag., Mahyuddin Syah, M.Ag., Dr. Ismakun, M.A., Darsita M.Hum., Ahmad Syatibi, M.Ag., Dra. Faozah sebagai dosen Penulis. Semoga kerja keras mereka dalam membimbing mahasiswanya diganti oleh Allah Swt. Amin! Ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada kedua orangtua, H. Moh. Anwar Thalhah dan Hj. Nihayah (almarhum) yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan moral dan finansial Penulis ketika masih di sisi, sehingga penyusunan skripsi ini terasa lebih ringan saat Penulis mengingat pesan-pesannya. Abah secara tidak sengaja telah memberikan bimbingan yang paling berharga sehingga Penulis bisa mandiri dalam menyelesaikan segala urusan. Mimi (ibu) walau pun hanya tamatan SD, tetap mampu memberikan jawaban seperti orang yang berpendidikan sampai akhirnya dipanggil Allah. Terima kasih kepada kakakkakakku, Hj. Dewi Hamidah beserta suami, Ahmad Faiz Al-Hakam, M.A. beserta istri, Atu Tuffakhah, S.Ag. beserta suami, Lely Nurbaity, S.Ag. beserta suami, Faliq Al-Ishbah, yang selalu memberikan semangat kepada Penulis. Tak lupa juga terima kasih kepada adikku, Vivi Ariviyah. Juga kepada ponakan-ponakan tercinta yang telah menghibur, Lesca, Eldi, Elthaf, Hubbina, Shinfi, Nehru, Fuzna, Tsania, dan yang baru lahir Faza, sehingga saat penulisan skripsi ini Penulis selalu bersemangat untuk menyelesaikannya tanpa rasa lelah. Kepada teman-teman Jurusan Tarjamah angkatan 2004, Abdur Rahman, Amir, Anna, Erwan, Fina, Luki, Muna, Munay, Nurikhwan, Nunung, Silvi, dan Puput juga teman-teman terjemah yang lain, Penulis berterima kasih atas segala
vii
kejasamanya. Tatam juga teman yang selalu membantu Penulis dalam segala hal. Zaki juga teman yang ‘rame’ saat berdiskusi tentang sastra dan budaya. Hafiz juga teman yang sudah ‘meracuni’ Penulis agar selalu membaca dan berdiskusi. Usaha ‘meracuni’ Penulis tidak akan terlupakan. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada teman-teman terjemah seluruh angkatan yang tidak bisa disebut satu per satu, yang selalu semangat dalam mengarungi dunia penerjemahan. Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang kenal Penulis dalam perjumpaan di alam ini, termasuk teman-teman KKS dari Fakultas Syari’ah dan Hukum, namun tidak bisa Penulis sebutkan satu per satu. Semoga skripsi yang sangat sederhana ini bisa bermanfaat bagi peminat penerjemahan khususnya penerjemahan ayat-ayat jender. Semoga masukan dan saran-saran dari semua pihak dapat melengkapi skripsi ini. Amin!
Jakarta, 16 September 2010
viii
DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL …………………………………………………… LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………… LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………… LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………… ABSTRAK …………………………………………………………… KATA PENGANTAR …………………………………………… DAFTAR ISI …………………………………………………………… BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………… B. Batasan dan Rumusan Masalah …………………… C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………… D. Tinjauan Pustaka …………………………………… E. Metode Penelitian …………………………………… F. Sistematika Penulisan ……………………………
i ii iii iv v vi ix
1 7 7 8 9 10
BAB II
KERANGKA TEORI A. Definisi Penerjemahan …………………………… 12 B. Metode-Metode Penerjemahan …………………… 17 C. Sekilas tentang Hermeneutik …………………… 21
BAB III
SEKILAS TENTANG JENDER A. Makna Jender dan Bias Jender …………………… 26 B. Perspektif Teori Jender …………………………… 30 C. Isu tentang Bias Jender dan Relasinya dalam Islam …………………… 34
BAB IV
ANALISIS HERMENEUTIK TERHADAP PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JENDER DALAM TAFSIR AL-AZHAR A. Riwayat HAMKA …………………………………… B. Penerjemahan terhadap Ayat tentang Kepemimpinan …………………………………… a. Penerjemahan Kata ar-Rijâl …………………… b. Penerjemahan Kata Qawwamûn …………… c. Penerjemahan terhadap Dua Alasan Kepemimpinan Laki-laki …………………… C. Ayat Pembanding …………………………………… a. Ayat tentang Hak Laki-laki dan Perempuan …… b. Ayat tentang Ratu Balqis ……………………
BAB V
40 46 47 50 56 69 69 73
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan …………………………………… 77 B. Saran …………………………………………… 78
DAFTAR PUSTAKA
……………………………………………
ix
80
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak Konferensi Tingkat Dunia Hak Asasi Manusia di Wina tahun 1993, pernyataan bahwa “hak asasi perempuan adalah hak-hak asasi manusia” telah menjadi prinsip kaum perempuan di seluruh penjuru dunia. Kalimat tersebut merupakan kebenaran yang tak dapat dibantah. Tentu saja hak-hak perempuan adalah hak-hak asasi manusia. Perempuan adalah manusia, sehingga apa yang diterapkan untuk manusia juga dapat diterapkan untuk perempuan.1 Namun kebenaran prinsip tersebut, yaitu terkait hak-hak perempuan, rupanya membawa timbulnya perdebatan di negara-negara Muslim. Pada umumnya, perdebatan soal hak-hak perempuan di negara-negara Muslim dapat diringkas ke dalam dua pandangan atau kelompok sosial, yaitu kelompok tradisional-konservatif dan kelompok progresif. Kelompok tradisionalkonservatif membatasi hak perempuan hanya pada urusan domestik. Dalam bahasa Ausaf Ali, kelompok tradisional yang literal ini merupakan kelompok protagonis yang menginterpretasikan teks-teks keagamaan secara tekstual, sehingga menolak prinsip kesetaraan. Alasannya, karena menurut mereka, baik Alquran maupun Hadis tidak menyebutkan secara eksplisit prinsip kesetaraan di antara keduanya secara fundamental, dan perempuan diciptakan lebih kurang atau lebih rendah daripada laki-laki. Bagi kelompok ini, Islam tampaknya diyakini sebagai agama yang datang secara tiba-tiba dan tidak dipengaruhi oleh ruang dan
1
Vicki J. Semler, dkk., Hak Asasi Perempuan: Sebuah Panduan pada KonvensiKonvensi PBB tentang Hak Asasi Perempuan. Pnrj. Embun (Jakarta: YJP, 2001), h. 14.
1
2
waktu. Akibatnya sudut pandang mereka dalam persoalan perempuan bersifat linier, tunggal, bahkan hitam putih dan streotipe. Berbeda dengan kelompok tradisional, kelompok progresif mengakui hak perempuan di ruang publik. Menurut kelompok ini, hak perempuan dalam wilayah publik tidak berbeda secara substansial dengan kaum laki-laki. Kelompok ini mempercayai bahwa Islam menjunjung tinggi kesetaraan. Dalam bahasa Ausaf Ali, kelompok progresif ini disebut kelompok antagonis yang memiliki daya kritis terhadap interpretasi Alquran yang patriarkis serta memandang bahwa Alquran mengandung banyak sekali ayat-ayat yang mengakui nilai kesetaraan. Di antaranya adalah QS. Al-Baqarah: 228 dan QS. Al-Ahzab: 35.2 Kebalikan dari kelompok pertama, kelompok ini meyakini bahwa posisi laki-laki dan perempuan yang beriman setara di hadapan Allah, tanpa dibedakan oleh jenis kelamin.3 Dewasa ini, dengan demikian, agama mendapat ujian baru karena sering dituduh sebagai sumber masalah berbagai bentuk pelanggengan ketidakadilan di masyarakat, termasuk ketidakadilan dalam pola relasi laki-laki dan perempuan atau yang sering disebut ketidakadilan jender (gender inequality). Oleh karena agama berurusan dengan nilai-nilai yang paling hakiki dari hidup manusia, maka legitimasi religius yang keliru akan sangat berbahaya. Persoalannya, apakah pelanggengan ketidakadilan jender itu bersumber dari watak agama itu sendiri ataukah justru berasal dari pemahaman, penafsiran, dan pemikiran keagamaan,
2
“Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya yang makruf,” (QS. 2: 228). “Dan sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan beriman, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, lakilaki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusuk, laki-laki dan perempuan yang sedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan mereka ampunan dan pahala yang besar,” (QS. 33: 35). 3 Sukron Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC UIN Jakarta), h. 39-41.
3
yang tak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarki, ideologi kapitalisme, atau pengaruh kultur Timur Tengah Abad Pertengahan. Pemerintah Indonesia melalui kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan memprediksikan sejumlah kendala yang dihadapi dalam upaya pemberdayaan perempuan. Kendala tersebut terdapat dalam hampir semua bidang dan aspek pembangunan: pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, ekonomi dan ketenagakerjaan, politik, hukum dan hak asasi manusia, kesejahteraan sosial, pertahanan dan keamanan, lingkungan hidup, kelembagaan pemerintah dan masyarakat, bahkan juga dalam bidang agama. Khusus dalam bidang agama, masalah utama yang dihadapi: pertama, rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai nilai-nilai agama yang berkaitan dengan peran dan fungsi perempuan; dan kedua, masih banyaknya penafsiran ajaran agama yang merugikan
kedudukan
dan
peranan
perempuan4
sehingga
hal
tersebut
menimbulkan pemahaman yang bias jender. Terkait dengan penerjemahan, seperti yang dikatakan Cak Nur bahwa sesungguhnya terjemah adalah suatu tafsir, dan usaha menerjemahkan pada hakikatnya adalah juga usaha menafsirkan,5 maka tak pelak lagi bahwa pemahaman adalah dasar dari proses penerjemahan. Dengan demikian, terkait dengan kedua masalah keagamaan di atas, maka akan terjadi kemungkinan bahwa penerjemahan akan mengalami penerjemahan yang bias jender. Di antara pemahaman yang bias jender dan kemudian membawa implikasi kepada ketimpangan jender adalah: pertama, pemahaman tentang asal-usul penciptaan manusia. Pada umumnya, para juru dakwah, mubalig, dan mubaligah, 4
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformasi: Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung: Mizan, 2005), h. 36-37. 5 Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina, 2009), h. 172.
4
menjelaskan bahwa manusia pertama yang diciptakan Tuhan adalah Adam a.s. Selanjutnya, Hawa, sebagai istrinya, diciptakan dari tulang rusuk Adam a.s. Pemahaman seperti ini mengacu kepada QS. Al-Nisa [4]: 1. Pemahaman demikian membawa implikasi yang luas dalam kehidupan sosial karena Hawa, selaku perempuan pertama, tercipta dari bagian tubuh lakilaki, yaitu Adam a.s., lalu perempuan itu diposisikan subordinat dari laki-laki. Dia hanyalah the second human being, manusia kelas dua. Perempuan bukanlah makhluk yang penting; dia hanyalah makhluk pelengkap yang diciptakan dari dan untuk kepentingan laki-laki. Konsekuensinya, perempuan tidak pantas berada di depan, tidak pentas menjadi pemimpin, dan seterusnya. Kedua, pemahaman tentang kejatuhan Adam a.s. dan Hawa dari surga. Ada anggapan umum bahwa Adam a.s. jatuh dari surga akibat godaan Hawa yang terlibat dahulu terpengaruh oleh bisikan iblis. Sebagai implikasi dari pemahaman seperti ini, dikatakan bahwa perempuan itu pada hakikatnya adalah makhluk penggoda dan dekat dengan iblis. Karena itu, lanjut pemahaman ini, jangan terlalu dekat dengan perempuan, dan jangan dengar pendapatnya sebab akan menjerumuskan diri ke neraka. Perempuan mudah sekali dipengaruhi dan diperdayakan. Karenanya, dia tidak boleh keluar rumah tanpa muhrim, tidak boleh jalan sendirian, dan tidak boleh ke luar malam. Lebih baik baginya tinggal di rumah saja mengurus keperluan rumah tangga, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi dan tidak perlu aktif di tengah masyarakat. Ketiga, pemahaman tentang kepemimpinan perempuan. Di kalangan masyarakat diajarkan bahwa perempuan itu tidak layak jadi pemimpian karena tubuhnya sangat lembut dan lemah serta akalnya pendek. Lagi pula sangat halus
5
perasaannya sehingga dikhawatirkan tidak mampu mengambil keputusan yang tegas. Apalagi ada hadis yang sering dipakai untuk membenarkan penilaian ini: “Perempuan itu lemah akal dan agamnya”, dan hadis yang menyatakan, “Celakalah suatu bangsa yang memercayakan kepemimpinannya kepada perempuan”. Lalu diperkuat lagi dengan ayat yang menurut sebagian ulama, menjelaskan bahwa laki-laki adalah “pemimpin” bagi perempuan, yaitu QS. AlNisa [4]: 34.6 Dari ketiga contoh pemahaman di atas, Penulis akan mengangkat salah satunya saja, yakni pemahaman ketiga: pemahaman tentang kepemimpian perempuan. Dan, yang menjadi objek kajian ini adalah terjemahan Tafsir Al-Azhar karya Dr. HAMKA. Memang, menurut Sukron Kamil, dalam Islam, kepemimpinan perempuan secara teologis masih menjadi persoalan. Banyak ahli, kendati perlu dikaji ulang, menolak kepemimpinan perempuan. Al-Khatabi, as-Syaukani, dan Ibn Hazm misalnya berpendapat bahwa kepala negara disyaratkan tidak perempuan. Bahkan, Sayyid Sabiq menginformasikan kesepakatan para ulama fiqh (hukum Islam) mengenai keharusan laki-laki bagi seorang qadhi (hakim). Tentu masih banyak pemikir muslim lainnya, seperti Yusuf Qardhawi, yang berpendapat sama. Salah satu yang dijadikan dasar oleh mereka, juga sejumlah tokoh di Indonesia yang berpendapat serupa, adalah ayat di atas yang menegaskan bahwa laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan. 7 Dalam tafsirnya, HAMKA menerjemahkan QS. Al-Nisa [4]: 34:
6
Musdah, Muslimah Reformasi: Perempuan Pembaru Keagamaa, h. 36-37. Sukron Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita,” artikel diakses pada 27 Agustus 2010 dari http://www.csrc.or.id/artikel/index.php?detail=20100712091031 7
6
“Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan-perempuan, lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas yang sebahagian, dan dari sebab apa yang mereka belanjakan dari harta benda mereka. Maka perempuan yang baik adalah yang taat, yang memelihara hal-ihwal yang tersembunyi, dengan cara yang dipeliharakan Allah,” (Qs. An-Nisa [4]: 34).8 Seperti menurut sebagian ulama, HAMKA pun sama, menerjemahkan kata qawwamûn dengan “pemimpin”. Lebih jelas lagi ia menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini adalah jawaban dari pertanyaan apakah sebab yang terpenting dalam pembagian harta pusaka laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, mengapa laki-laki membayar mahar, mengapa kepada laki-laki jatuh perintah supaya menggauli istri dengan baik, dan mengapa laki-laki diizinkan beristri sampai empat orang asal sanggup adil sedang perempuan tidak? Sebab, lanjut HAMKA, laki-laki itulah yang memimpin perempuan, bukan perempuan yang memimpin laki-laki, dan bukan pula sama kedudukan.9 Alasan atau pemahaman HAMKA di atas akan membawa pandangan bahwa posisi dan kedudukan perempuan memang rendah, yakni lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan pun seakan-akan, oleh HAMKA, tidak dituntut untuk menambah kualitas dan prestasi kebaikan mereka. Pemahaman seperti ini jelas bertentangan dengan penjelasan teks suci bahwa setiap manusia, tanpa mempertimbangkan apa pun jenis kelaminnya, adalah sama dan setara di hadapan Allah Swt. Selanjutnya, dinyatakan bahwa yang membedakan di antara mereka hanyalah kualitas dan prestasi takwanya (QS. Al-Hujurat [49]: 13). Inilah alasan mengapa Penulis mengangkat sebuah judul 8 9
HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz V (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 45. HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz V, h. 46.
7
dalam penulisan ini tentang Bias Jender dalam Penerjemahan: Kajian Hemeneutik terhadap Terjemahan Tafsir Al-Azhar. Dan, karena kasus inilah, pemahaman sekaligus penerjemahan tentang kepemimpinan perempuan perlu dikaji lebih dalam lagi dengan menggunakan metode hermeneutik, mengingat metode ini lebih relevan dengan kajian ilmu penerjemahan yang menjadi objek kajian Penulis.
B. Batasan dan Rumusan Masalah Pembatasan masalah penelitian ini terfokus pada ayat-ayat bias jender dalam terjemahan Tafsir Al-Azhar. Karena banyaknya isu-isu tentang bias jender, maka Penulis membatasi pembahasan ini pada ayat jender yang terkait dengan isu kepemimpinan perempuan. Sedangkan rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Apakah penerjemahan ayat jender, terkait kepemimpinan, dalam terjemahan Tafsir Al-Azhar secara hermeneutik mengandung bias?
2.
Jika ‘Ya’, apa penyebab hermeneutik dari bias jender dalam penerjemahan tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui terjemahan ayat jender, terkait kepemimpinan, dalam Tafsir AlAzhar, secara hermeneutis mengandung bias atau tidak.
2.
Mengetahui sebab hermeneutik dari Tafsir Al-Azhar yang mengandung bias jender.
8
Adapun manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis manfaatnya adalah menjadi kontribusi tambahan untuk mehasiswa yang ingin menganalisis ayat-ayat yang bias jender. Sedangkan secara praktis adalah untuk digunakan oleh para pengkaji dan pemerhati hermeneutik, jender, dan penerjemahan. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu contoh bagaimana menganalisis terjemahan ayat-ayat
yang bias jender secara
hermeneutis, khususnya dalam terjemahan Tafsir Al-Azhar, yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan.
D. Tinjauan Pustaka Dalam penulisan apa pun seharusnya tidak lepas dari tinjauan pustaka agar tidak terjadinya repetisi pengetahuan dan sebagai penanda bahwa tulisan baru ini bukan merupakan hasil plagiasi dari tulisan-tulisan lama. Sebelum memulai penulisan skripsi ini, Penulis telah melakukan tinjauan pustaka. Untuk sejauh ini, Penulis merujuk pada skripsi-skripsi yang terkait dengan penerjemahan dan bahasa. Penulis membatasi diri pada skripsi-skripsi yang terdapat di perpustakaan Fakultas tempat Penulis kuliah. Selama ini Penulis belum menemukan skripsi yang terkait dengan masalah jender atau bias jender dalam penerjemahan. Hanya saja, Penulis mendapati satu skripsi menggunakan metodologi yang sama dengan metode Penulis, yaitu skripsi yang ditulis oleh M. Yustian Yusa. Namun, meskipun metodenya sama, yaitu dengan pendekatan hermeneutik, skripsi saudara Yusa membahas tentang terjemahan ayat-ayat eksklusivitas Islam yang objek kajiannya adalah Alquran terjemahan versi Departemen Agama dan The Holy Quran, sedang Penulis membahas tentang bias jender dalam
9
penerjemahan terkait dengan isu kepemimpinan yang objek kajiannya adalah terjemahan Tafsir Al-Azhar. Di sinilah letak perbedaannya, dan Penulis berkesimpulan bahwa analisis, terkait dengan bias jender dalam penerjemahan, dalam skripsi ini sama sekali belum pernah ada yang melakukannya apalagi menyamainya. Jadi, apa yang diangkat oleh Penulis ini sama sekali baru, sehingga ada dinamisasi pengetahuan dan tentunya dapat dilanjutkan oleh siapa saja yang datang selanjutnya dan bersedia untuk mempertajam pembahasan yang sudah Penulis angkat.
E. Metode Penelitian Dalam penulisan ini, Penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara mengumpulkan data yang terkait dengan masalah yang akan diteliti. Setelah itu, Penulis mendeskripsikan masalah tersebut dengan data yang ada dalam kerangka teori hermeneutik sehingga maksud dan tujuan penelitian tercapai. Kerangka teori hermeneutik yang membingkai penelitian Penulis ini didasarkan pada teori hermenutik Gadamer. Sedangkan dalam pencarian data, Penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian. Seperti terjemahan Tafsir Al-Azhar, terjemahan Al-Quran Departemen Agama, tafsir-tafsir, dan juga literatur yang terkait dengan masalah jender itu sendiri. Namun secara teknis, penulisan ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
10
F. Sistematika Penulisan Agar penelitian dapat terarah dan sistematis, langkah yang Penulis lakukan sebagai berikut: Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini Penulis membahas latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan metode penelitian, serta sistematika penulisan. Penulis dalam bab pendahuluan ini memaparkan latar belakang masalah yaitu tentang pemahaman yang bias jender. Latar belakang masalah ini tentunya dibahas secara singkat dan kemudian akan diuraikan lebih luas lagi pada III dan IV. Bab II merupakan pembahasan sekitar teori penerjemahan. Penulis menjelaskan tentang teori penerjemahan Alquran atau bahasa Arab. Dalam bab II ini, Penulis juga membahas sekilas tentang hermeneutik. Di sini dijelaskan tentang teori hermeneutik yang Penulis gunakan, yaitu teori hermeneutik Gadamer. Teori hermeneutik inilah yang Penulis gunakan sebagai pisau analisis penulisan. Bab III merupakan pembahasan mengenai makna jender dan bias jender. Terkait dengan bias jender, Penulis letakkan contoh dengan harapan pembahasan ini mudah untuk dipahami. Kemudian, Penulis membahas tentang perspektif teori jender. Dalam teori jender ini Penulis hanya menjelaskan teori feminis sebagai patokan penulisan. Lebih jauh lagi, dalam bab III ini, Penulis membahas tentang isu-isu bias jender dan relasinya dalam Islam. Namun, karena isu-isu jender tidak sedikit, maka Penulis hanya membahas sedikit isu tentang kepemimpinan perempuan, mencakup kepemimpinan dalam Islam, yang kemudian akan diperluas pada bahasan analisis dalam bab IV.
11
Bab IV berbicara tentang studi kasus penerjemahan yang bias jender dalam bahasa Indonesia. Penulis mengambil Terjemahan Tafsir Al-Azhar sebagai objek kajian. Di sini Penulis mencoba menganalisis terjemahan ayat tentang kepemimpinan dengan teori hermeneutik Gadamer sebagai pisau analisisnya. Bukan hanya itu, Penulis pun meletakkan ayat pembanding dengan ayat kepemimpinan agar pembahasan tidak terasa kaku. Ayat pembanding ini Penulis batasi dengan dua ayat, tentang hak laki-laki dan perempuan dan tentang Ratu Balqis. Namun sebelum masuk dalam bagian analisis yang mendalam, Penulis akan jelaskan tentang riwayat hidup Dr. HAMKA dan sedikit deskripsi Tafsir AlAzhar. Dengan harapan, Penulis mengetahui latar belakang penulis(an) tafsir ini, sehingga kerja analisis Penulis pun tercapai dengan baik dan memuaskan. Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan dan saran ini merupakan keterbukaan Penulis dalam sebuah penulisan. Sehingga kelebihan dan kekurang penulisan ini bisa terbuka dan ditutup dengan penelitian yang lebih tajam di kemudian hari.
12
BAB II KERANGKA TEORI A. Definisi Penerjemahan Dalam bahasa Indonesia, istilah terjemah dipungut dari bahasa Arab, tarjamah. Bahasa Arab sendiri memungut istilah tersebut dari bahasa Armenia, turjuman. Kata turjuman sebentuk dengan tarjaman dan tarjuman yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain. Az-Zarqaniy, seperti yang dikutip Syihabuddin, mengemukakan bahwa secara etimologis istilah terjemah memiliki empat makna: a. Menyampaikan tuturan kepada orang yang tidak menerima tuturan itu.1 Untuk mempermudah pemahaman dapat dihubungkan dengan pernyataan di bawah ini:
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang sudah berusia 80-an tahun, dan dalam hal ini saya sudah mencapai usia demikian benar-benar memerlukan penerjemah.” Ini berarti bahwa tindakan menyampaikan berita atau tuturan yang dilakukan oleh penerjemah terhadap orang yang sudah berusia 80-an tahun (mungkin karena orang tersebut sudah tuli), disebut terjemahan, dan orangnya dinamakan turjuman (penerjemah).2
1
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek) (Bandung: Humaniora, 2005), h. 7-8. 2 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 57-58.
12
13
b. Menjelaskan tuturan dengan bahasa yang sama, misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia dijelaskan dengan bahasa Indonesia pula.3 Sehubungan dengan pengertian ini pula, Zamakhsyari (w. 538 H.) mengatakan bahwa penerjemahan tentang sesuatu sama dengan penafsiran tentang sesuatu tersebut. Menurut pemahaman ini berarti mutarjim sama dengan mufassir. Suatu kenyataan seperti dinyatakan dalam kamus Lisan al-‘Arab bahwa turjuman (penerjemah, juru bahasa) disebut mufassir (pemberi keterangan tentang maksud sesuatu kalimat.4 c. Menafsirkan tuturan dengan bahasa yang berbeda, misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya.5 Ini berarti bahwa unsur penjelasan merupakan unsur yang dominan dalam kandungan makna terjemahan. Bahkan, menurut Ismail Lubis, kalau dilihat di dalam Tafsir Ibn Katsir tentang Abdullah bin Abbas yang mendapat julukan sebagai penerjemah, dapat dikatakan bahwa terjemahan menurut asal-usul kata bahasa Arab, mutlak mengandung arti menjelaskan tanpa mempersoalkan bahasa yang digunakan dalam memberikan penjelasan tersebut. Apabila ditinjau dari sudut pandang bahasa yang digunakan dalam memberikan penjelasan, pendapat Ibn Katsir (705 – 774 H.) lebih bersifat umum dibandingkan dengan pendapat ketiga ini, sebab dalam hal memberikan penjelasan dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa sumber atau bahasa lain.6
3
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 8. Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 58. 5 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 8. 6 Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 59. 4
14
d. Memindahkan tuturan dari suatu bahasa ke bahasa lain seperti mengalihkan bahasa Arab ke bahasa Indonesia.7 Yaitu pengalihan makna atau amanat dari bahasa tertentu ke bahasa lain. Pelaku pekerjaan mengalihkan makna atau amanat tersebut diberikan makna penerjemah. Ibn Munzir menamakannya dengan tarjuman atau turjuman, yakni orang yang mengalihbahasakan; juru terjemah.8 Makna etimologis di atas memperlihatkan adanya satu karakteristik yang menyatukan keempat makna tersebut, yaitu bahwa menerjemahkan berarti menjelaskan dan menerangkan tuturan, baik penjelasan itu sama dengan tuturan yang dijelaskannya maupun berbeda. Adapun secara terminologis, menerjemahkan didefinisikan sebagai mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan itu.9 Yang dimaksud dengan makna dalam definisi ini bukan sekedar arti permukaan dari kata atau kalimat itu sendiri. Untuk
itu seorang penerjemah perlu
memperhatikan teks yang akan
diterjemahkan, baik dari segi isi teks maupun ragam bahasanya.10 Dalam menjelaskan definisi penerjemahan, Rochayah Machali mengambil dua definisi penerjemahan sebagai landasan pijakan memasuki pembahasan dalam bukunya Pedoman Bagi Penerjemah, yaitu dari Catford dan Newmark. Dalam melihat kegiatan penerjemahan, keduanya menggunakan pendekatan yang sama, namun yang kedua lebih memperjelas lagi.
7
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 8. Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 59. 9 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 8. 10 Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 60. 8
15
Catford (1965) menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikannya sebagai “the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL)” (mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran). Newmark (1988) juga memberikan definisi serupa, namun lebih jelas lagi: “rendering the meaning of a text into another language in the way that the author in tended the text” (menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain dengan yang dimaksudkan pengarang).11 Namun, seperti yang ditulis Machali sendiri, kedua definisi tersebut sangat tidak mewakili keseluruhan definisi yang ada dalam dunia penerjemahan dewasa ini. Pada definisi yang pertama—menurut Cartford—di atas menunjukkan bahwa penerjemahan merupakan proses ‘mengganti’. Sedangkan definisi yang kedua memberikan kejelasan atas apa yang harus ‘diganti’ oleh seorang penerjemah. Maka dari itu, apabila kedua definisi ini dilihat lebih jauh, dapat kita sarikan bahwa: (1) penerjemahan adalah upaya ‘mengganti’ teks bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran; (2) yang diterjemahkan adalah makna yang dimaksudkan pengarang.12 Pendekar dari Chicago, yang biasa disebut oleh banyak orang sebagai pemikir Islam Indonesia, mendefinisikan penerjemahan yang berbeda dengan kedua definisi di atas (Catford dan Newmark). Seolah dia melangkah namun berada di dalam papan permaianan; dia melanggar tapi tetap menuruti peraturan. Pendekar dari Chicago—mengambil istilah Gus Dur—adalah Cak Nur. Di dalam
11 12
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 5. Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, h. 5.
16
bukunya, Kaki Langit Peradaban Islam yang berisi suntingan makalahmakalahnya, dia menjajarkan kata tafsir dan terjemah dalam sub bab tersendiri. Menurutnya, karena umat manusia bermacam-macam bahasa (bahkan perbedaan bahasa manusia itu justru disebutkan dalam Alquran sendiri sebagai salah satu ayat Allah juga),13 maka usaha menerangkan, menjelaskan, dan menafsirkan Alquran juga menyangkut kemungkinan menerjemahkannya ke dalam bahasa-bahasa lain, selain bahasa Arab. Kemudian dia mendefinisikan bahwa sesungguhnya terjemah adalah suatu tafsir, dan usaha menerjemahkan pada hakikatnya adalah juga usaha menafsirkan. Sebab setiap usaha pengalihan bahasa akan melibatkan pengetahuan orang yang melakukannya, dengan kualifikasi kurang dan lebih, jadi tidak sempurna.14 Dari keterangan tersebut, jika Pendekar dari Chicago itu diminta untuk mendefinisikan penerjemahan, maka jelas dia akan mendefinisikan bahwa penerjemahan pada praktiknya adalah proses penafsiran. Seperti yang kita tahu bahwa penerjemahan adalah proses mengalihkan bahasa dari bahasa sumber kepada bahasa sasaran, bahasa lain. Sedangkan penafsiran tidak seperti itu. Karena penafsiran adalah proses menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak15 dari bahasa sumber kepada bahasa sasaran, bisa dengan bahasa lain, bisa juga dengan bahasa yang sama dengan bahasa sumber. Walau pun dalam segi bahasa berbeda, tetap saja, pada praktiknya, tidak akan bisa diragukan lagi. Kenyataan itu
13
Lihat, Qs. Ar-Ruum [30]: 22. Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, h. 172-174. 15 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Alquran. Pnrj. Mudzakir AS (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), h. 455. 14
17
membuktikan bahwa seorang penerjemah ketika melakukan tugasnya, pasti akan melibatkan pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, dari definisi penerjemahan di atas dapat disimpulkan bahwa penerjemahan bukan hanya proses ‘mengganti’ melainkan sudah menjadi proses ‘menjelaskan’, ‘menyingkap’, dan ‘menampakkan’ atau ‘menerangkan’ makna yang abstrak pada suatu teks ke dalam bahasa satu atau lain sesuai dengan maksud pengarang.
B. Metode-metode Penerjemahan Pada sub bab ini Penulis akan meletakkan metode-metode yang sudah kita kenal dan praktikkan selama ini. Karena banyak sekali metode-metode penerjemahan yang ada, maka Penulis di sini akan menjelaskan tentang metode penerjemahan Alquran atau bahasa Arab karena penelitian ini menganalisis tentang penerjemahan Alquran. Metode penerjemahan berarti cara penerjemahan yang digunakan dalam mengungkapkan makna nas sumber secara keseluruhan di dalam bahasa penerima. Jika sebuah nas, misalnya Alquran, diterjemahkan dengan metode harfiyah, maka makna yang terkandung dalam surat pertama hingga surat terakhir diungkap secara harfiyah, kata demi kata hingga selesai. Buku terjemahan Alquran yang berjudul ‘Inâyah li al-Mubtadîn merupakan contoh pemakaian metode ini. Namun, dalam kenyataannya sebuah metode tidak dapat diterapkan pada sebuah nas secara konsisten dari awal hingga akhir. Keragaman masalah yang dihadapi menuntut penyelesaian dengan cara yang bervariasi pula. Karena itu,
18
metode ini biasanya digunakan sebagai pendekatan umum atau prinsip pokok dalam menerjemahkan sebuah nas. Karena masalah penerjemahan itu sangat variatif, cara atau metode penyelesaiannya pun berfariasi pula. Dalam khazanah penerjemahan di dunia Arab, metode penerjemahan terbagi dua jenis: metode harfiyah dan metode tafsiriyah (metode maknawiyah).16 Metode Harfiyah ialah cara menerjemahkan yang memperhatikan peniruan terhadap susunan dan urutan nas sumber. Cara menerjemahkan yang juga disebut dengan metode lafzhiyyah atau musâwiyah ini diikuti oleh Yohana bin al-Bathriq, Ibnu Na’imah, al-Hamshi, dan sebagainya. Yang menjadi sasaran penerjemahan harfiyah ialah kata. Metode ini dipraktikkan dengan pertama-tama seorang penerjemah memahami nas, lalu menggantinya dengan bahasa lain pada posisi dan tempat kata bahasa sumber itu atau melakukan transliterasi. Demikianlah cara ini dilakukan hingga seluruh nas selesai diterjemahkan. Metode di atas memiliki kelemahan karena dua alasan. Pertama, tidak seluruh kosa kata Arab berpadanan dengan bahasa lain sehingga banyak dijumpai kosa kata asing. Kedua, struktur dan hubungan antara unit linguistik dalam suatu bahasa berbeda dengan struktur bahasa lain.17 Menurut Ismail Lubis, tejemahan harfiyah di atas, dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat dalam teks terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, dicarilah padanan kata dalam bentuk bahasa penerima (Bsa), dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa sumber (Bsu) meskipun 16 17
Lihat juga dalam Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, h. 443. Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 68-69.
19
maksud kalimat menjadi tidak jelas. Sebenarnya terjemahan harfiyah dalam pengertian urut-urutan kata dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber tidak mungkin dilakukan, sebab masing-masing bahasa (bahasa sumber dan bahasa penerima/sasaran) selain mempunyai ciri khas sendiri dalam urut-urutan kata, adakalanya masing-masing ungkapan mempunyai makna yang mengandung nuansa tersendiri. 18 Adapun metode tafsîriyah ialah suatu cara penerjemahan yang tidak memperhatikan peniruan susunan dan urutan nas sumber. Yang dipentingkan oleh metode ini ialah penggambaran makna dan maksud bahasa sumber dengan baik dan utuh. Yang menjadi sasaran metode ini ialah makna yang ditujukan oleh struktur bahasa sumber. Penerjemahan tidak perlu memaksakan diri untuk memahami setiap kata.19 Oleh sebab itu, bentuk terjemahan seperti ini disebut juga terjemahan maknâwiyah. Baik az-Zarqaniy maupun Manna al-Qattan, menurut Ismail Lubis, samasama menamakan terjemahan tafsîriyah dengan nama maknâwiyah. Perbedaan pendapat mereka cuma terletak dalam hal keterangan. Az-Zarqaniy menamakan terjemah tafsîriyah dengan nama maknâwiyah disertai keterangan, yakni terjemahan tersebut mengutamakan kejelasan makna, sedangkan Manna al-Qattan tanpa alasan dan keterangan yang jelas. Pemberian nama terjemahan tafsîriyah oleh az-Zarqaniy, lanjut Lubis, bukan tanpa alasan dan keterangan yang logis. Ahli ilmu Alquran ini memberi nama jenis terjemahan kedua ini dengan terjemahan tafsîriyah karena teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh makna dan maksud yang tepat, 18 19
Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 61. Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 70.
20
mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata tafsir. Teknik terjemahan tafsîriyah ialah dengan cara memahami maksud teks bahasa sumber terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, maksud tersebut disusun dalam kalimat bahasa penerima tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau kalimat bahasa sumber.20 Sementara itu, Ahmad Hasan az-Zayyat, tokoh penerjemahan modern, menegaskan bahwa metode penerjemahan yang diikutinya ialah yang memadukan kebaikan metode harfiyah dan tafsiriyah. Langkah-langkah yang dilaluinya ialah sebagai berikut: Pertama, menerjemahkan nas sumber secara harfiyah dengan mengikuti struktur dan urutan nas sumber. Kedua, mengalihkan terjemahan harfiyah ke dalam struktur bahasa penerima yang pokok. Di sini terjadilah proses transposisi tanpa menambah atau mengurangi. Ketiga, mengulangi proses penerjemahan dengan menyelami perasaan dan spirit penulis melalui penggunaan metafora yang relevan. Kiranya metode yang diterapkan oleh az-Zayyat ini dapat diistilahkan dengan metode elektik, karena metode tersebut mengambil dan mengaplikasikan kebaikan yang terdapat dalam metode harfiyah dan metode tafsiriyah.21 Oleh karena penerjemahan bukanlah penggantian kata demi kata dari bahasa sumber ke bahasa penerima, melainkan pemindahan konsep, pengertian dan amanat, maka diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Baik untuk
20 21
Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 62. Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 68-70.
21
penerjemahan secara harfiyah maupun tafsîriyah/maknâwiyah diperlukan tiga persyaratan: 1. Penerjemahan harus sesuai dengan koteks bahasa sumber dan konteks bahasa penerima. 2. Penerjemahan harus sesuai dengan gaya bahasa sumber dan gaya bahasa penerima. 3. Penerjemahan harus sesuai dengan ciri khas bahasa sumber dan ciri khas bahasa penerima. Yang dimaksud penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber dan konteks bahasa penerima ialah penerjemah benar-benar sejalan dengan yang dibicarakan dalam bahasa sumber dan memberikan makna yang tepat ke dalam bahasa penerima. 22
C. Sekilas tentang Hermeneutik Hans-Georg Gadamer adalah penulis kontemporer dalam bidang hermeneutik yang sangat terkemuka. Karyanya yang berjudul Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode) banyak beredar di perpustakaan-perpustakaan dan sirkulasi filsafat. Walau pun bukunya berjudul ‘Kebenaran dan Metode’, namun sebenarnya Gadamer tidak bermaksud menjadikan hermeneutik sebagai metode dan berada jauh dari kebenaran. Yang ingin ia tekankan adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Sebab, menurur Gadamer, kebenaran menerangi metode-metode individual, sedangkan metode justru merintangi atau
22
Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 62-63.
22
menghambat kebenaran. Gadamer ingin mencapai kebenaran bukan melalui metode melainkan melalui dialektik. Sebab di dalam proses dialektik kesempatan untuk mengajukan pertanyaan secara bebas lebih banyak kemungkinannya dibanding dengan dalam proses metodis. Pada dasarnya, metode adalah struktur yang dapat membekukan dan memanipulasi unsur-unsur yang memudahkan prosedur tanya jawab, sedang proses dialek tidaklah demikian. Di samping itu, tidak semua ilmu pengetahuan kemanusiaan dapat diterapi suatu metode. Kesusastraan dan seni tidak dapat mempergunakan alat metodis satu pun. Hanya hermeneutik
sajalah yang dapat
membantu
kita
memahami
ilmu-ilmu
kemanusiaan tersebut.23 Dengan demikian, tujuan penelitiannya bukan pula suatu Methodenlehre yang sekedar masalah merumuskan logika yang dipakai dalam berbagai bidang kegiatan mengetahui. Tujuannya juga bukan menyusun suatu teori umum interpretasi. Hermeneutik
dipandang
sebagai
suatu
teori
pengalaman
yang
sesungguhnya, sebagai suatu usaha filsafati untuk mempertanggungjawabkan pemahaman, dan sebagai suatu proses ontologis di dalam manusia. Gadamer merencanakan untuk memahami pemahaman sekomprehensif mungkin. Ia berpendapat bahwa tugas paling fundamental dari hermeneutik tidaklah mengembangkan suatu prosedur pemahaman, tetapi meneliti “apa yang selalu terjadi” manakala kita memahami. Hermeneutik adalah penelitian tentang semua pengalaman pemahaman. Gadamer merumuskan pemahaman sebagai suatu masalah ontologis.24 23 24
Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 69. Poespoprodjo, Hermeneutika (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 93-94.
23
Karena Gadamer secara prinsipil memfokuskan diri pada problem pemahaman sebagai problema eksistensialis, 25 maka pemahaman, ujar Gadamer, selalu merupakan peristiwa historis, dialektik dan linguistik—dalam ilmu-ilmu, fenomena kemanusiaan. Hermeneutik adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman. Pemahaman tidak dipahami dalam cara tradisional sebagai perilaku subjektivitas manusia, namun sebagai cara mendasar keberadaan Dasein di dunia. Kunci untuk memahami bukanlah memanipulasi atau menguasai tetapi partisipasi dan keterbukaan, bukan pengetahuan tetapi pengalaman, bukan metodologi tetapi dialektika. Bagi Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah meletakkan aturan bagi pemahaman yang “benar objektif”, namun untuk mendapatkan pemahaman itu sendiri seluas mungkin.26 Hermeneutik adalah memasuki diskusi dengan teks dari masa lalu. Oleh karena itu, masalah sentral hermeneutik adalah masalah konfrontasi atau perjumpaan antara masa-kini dan masa-lalu, atau, yang disebut juga masalah penerapan (applicatio). Jarak waktu menciptakan “posisi antara” yang menjadi kancah hermeneutik. Posisi di antara yang asing dan yang dikenal berada di antara yang dimaksud di waktu tertentu dalam sejarah dan ketermasukannya pada suatu tradisi.27 Menurut Gadamer, kesenjangan jarak antara kritikus (pengkaji teks) dan pengarang tidak harus diatasi seolah-olah sebagai sesuatu yang negatif, tetapi harus dipahami sebagai perjumpaan dua cakrawala: cakrawala kritikus (pengkaji
25
Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. Pnrj. Muhammad Mansud, dkk. (Jakarta: ICIP, 2004), h. 43. 26 Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi. Pnj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 255. 27 Poespoprodjo, Hermeneutika, h. 94.
24
teks) dan pengarang. Kritikus memperkaya cakrawalanya dengan cara mempertemukannya dengan cakrawala pengarang. Sebab itu, interpretasi tidak hanya bersifat reproduktif, melainkan juga produktif atau konstruktif (melampaui maksud pengarang dan sekaligus bermakna bagi kritikus). Teori hermeneutiknya, karena itu, disebut dengan hermeneutik konstruktif atau produktif. Baginya, memahami pikiran penulis dengan menulusuri latar belakang sejarah, budaya, tujuan penulis atau pengirim secara utuh sangat sulit, bahkan bisa dikatakan tidak mungkin. Bahasa mempunyai makna yang otonom, berdiri sendiri, yang terbebas dari intensi penulis, konteks sosial dan budayanya, dan terbebas dari penerima pertamanya sebagai publik yang dituju penulis. 28 Sebagaimana disebutkan bahwa tugas hermeneutik adalah terutama memahami teks, maka pemahaman itu mempunyai hubungan fundamental dengan bahasa. Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita sendiri unsur-unsur penting dari pemahaman, sehingga para pembicara asli tidak akan gagal untuk menangkap nuansa-nuansa atau benang merah bahasanya sendiri.29 Pemahaman adalah suatu peristiwa, terbuka, tidak diduga, tidak ada ketentuan sebelumnya dan tidak direncanakan untuk pengakuan suatu kebenaran. Jadi, pemahaman bukan suatu penalaran diskursif. Ia lebih dahulu dari penalaran diskursif. Tidak ada pembakuan normatif harus begini atau begitu. Sesuatu yang dipahami membuka berbagai kemungkinan reformulasi. Yang dikatakan memang tertentu, tetapi tidak pernah merupakan hubungan diramalkan dengan yang tidak dikatakan.30
28
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern (Jakarta: Rajawali Pers 2009, h. 223. 29 Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, h. 80. 30 Poespoprodjo, Hermeneutika, h. 95.
25
“Memahami” selalu dapat berarti membuat interpretasi. Oleh karenanya, interpretasi secara eksplisit adalah bentuk dari pemahaman. Namun persoalan yang timbul bagi kita sekarang adalah: mana yang lebih dahulu, pemahaman atau interpretasi. Atas persoalan ini, Gadamer menggelarkan jawabannya dengan menunjukkan perbedaan antara subtilitas intelligendi atau pemahaman dengan subtilitas explicandi atau interpretasi. Kata subtilitas karena mengandung kualitas lembut, halus, sulit dimengerti, mudah menerima, jernih dan cerdik, menolak semua bentuk metode ilmiah. Subtilitas adalah suatu kualitas yang mencari kehalusan seperti ‘lembutnya’ roh, yang menghindarkan gangguan yang berasal dari penggunaan metode. Bagi Gadamer, pertanyaan yang berhubungan dengan pentingnya waktu dalam pemahaman dan interpretasi dapat menimbulkan lingkaran hermeneutik. Kita tidak dapat ‘lebih dahulu’ memahami, ‘baru kemudian’ membuat interpretasi. Akal pikiran kita bukan sekedar merupakan cermin yang secara mekanis memantulkan segala cahaya yang diterimanya. Proses pemahaman sebenarnya proses interpretasi itu sendiri. Akal pikiran kita membuat pembedaan, mengutamakan, menunda, bekerja, mendayagunakan apa saja yang dikumpulkan dari pancaindera kita dan dari proses intelektualnya sendiri. Bila akal pikiran kita ‘memahamai’, maka di dalamnya tercakup juga interpretasi. Sebaliknya, jika akal pikiran kita melakukan interpretasi, maka terangkum juga pemahamannya.31
31
Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, h. 81-82.
26
BAB III SEKILAS TENTANG JENDER A. Makna Jender dan Bias Jender Sekarang ini, kata ‘jender’ digunakan secara sosiologis atau sebagai sebuah kategori konseptual, dan ia telah diberikan sebuah makna yang sangat khusus. Di dalam perwujudan barunya, jender merujuk kepada definisi sosial budaya dari laki-laki dan perempuan serta memberikan peran-peran sosial kepada mereka. Kata itu digunakan sebagai alat analitik untuk memahami realitas sosial dalam hubungannya dengan perempuan dan laki-laki.1 Mengutip dari Nasaruddin Umar dalam bukunya yang berjudul, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, kata “jender” berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti “jenis kelamin”. Dalam Webster’s New World Dictionary, jender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”. Sedangkan di dalam Women’s Studies Encyclopedia, menurut Nasaruddin, dijelaskan bahwa jender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.2 Konsep jender memungkinkan kita untuk menyatakan bahwa jenis kelamin dan jender itu berbeda. Setiap orang lahir sebagai laki-laki dan
1
Kamla Bhasin, Memahami Gender. Pnrj. Moh. Zaki Hussein (Jakarta: TePlok Press, 2001), h. 1. 2 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 33.
26
27
perempuan, dan jenis kelamin kita dapat ditentukan hanya dengan melihat alat kelamin kita.3 Jender (gender)
secara
umum digunakan untuk
mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Sementara itu, jenis kelamin (sex) secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Semenara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non-biologis lainnya.4 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. Jender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis. Namun, definisi di atas tidak sebanding dengan penerapannya dalam kehidupan bersosialisasi dan berbudaya. Sejak lama, pola-pola sosialisasi dilakukan secara berbeda antara perempuan dan laki-laki, baik itu dalam keluarga, maupun di lingkungan sosialnya. Anak perempuan disosialisasi menjadi perempuan yang lemah lembut, pasif, dan dependen. Dengan kata lain, perempuan berprilaku feminin, patuh, tidak agresif dan apa yang pantas menurut jender. Model perempuan yang diinginkan harus sesuai dengan social expectation (harapan masyarakat), yakni
3 4
Bhasin, Memahami Gender, h. 1-2. Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 35.
28
nice girl, good women, dan kontrol sosial pun lebih ketat terhadap perempuan ketimbang laki-laki. 5 Jika kebudayaan adalah realitas kehidupan masyarakat manusia yang meliputi tradisi-tradisi, pola perilaku manusia keseharian, hukum-hukum, pikiranpikiran, dan keyakinan-keyakinan, maka kebudayaan yang tampak di sekitar kita secara umum masih memperlihatkan dengan jelas keberpihakannya pada kaum laki-laki. Orang boleh menyebutnya sebagai budaya patriarki. Dalam kebudayaan ini, memapankan peran laki-laki untuk melakukan dan menentukan apa saja, di sadari atau tidak, mendapatkan pembenaran. Sebaliknya, kaum perempuan berada dalam posisi subordinat. Ia menjadi bagian dari laki-laki dan menggantungkan nasib hidupnya kepada laki-laki. Otonomi perempuan berkurang. Pada gilirannya, keadaan ini sering kali terbukti melahirkan sebuah proses marjinalisasi, bahkan juga eksploitasi dan kekerasan atas kaum perempuan. Ini terjadi dalam segala ruang, baik domestik maupun publik.6 Adalah penting untuk memahami patriarki agar bisa memahami relasi lakilaki dengan perempuan sekarang ini. Relasi jender menjadi timpang karena adanya patriarki. Di dalam bahasa umum, patriarki memiliki arti dominasi lakilaki. Kata “patriarki” secara harfiah memiliki arti kekuasaan ayah atau “patriach” (kepala keluarga), dan sejak semula digunakan untuk menggambarkan satu jenis yang spesifik dari “keluarga yang didominasi oleh laki-laki”—keluarga besar dari si patriarch, yang termasuk di dalamnya perempuan, laki-laki yang lebih muda, anak-anak, budak dan pembantu rumah tangga, semuanya berada di bawah
5
Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 6. 6 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 3.
29
kekuasaan laki-laki yang dominan ini. Sekarang istilah itu digunakan secara lebih umum untuk merujuk kepada dominasi laki-laki, kepada relasi kekuasaan, di mana laki-laki mendominasi perempuan, dan untuk mencirikan sebuah sistem di mana perempuan terus disubordinasikan dengan berbagai cara.7 Di sini bias jender pun tak bisa dielakkan lagi, yakni dengan menilai bahwa perempuan sebagai pihak yang setingkat lebih rendah dari laki-laki. Pada ruang publik, misalnya, pekerjaan dan keringat kaum perempuan di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik atau di sawah-sawah, dinilai dan dihargai lebih rendah dari yang diperoleh kaum laki-laki. Bahkan, pekerjaan-pekerjaan yang diberikan kepada perempuan justru pada sektor-sektor yang tidak membutuhkan kecerdasan dan keterampilan tinggi. Bagi perempuan yang bersuami, pekerjaan yang dilakukan hanya dianggap sebagai sambilan karena tugas utamanya adalah mengurus hal-hal yang domestik. Itu pun sebatas, apabila diizinkan oleh suaminya, karena diperlukan untuk mencari tambahan penghasilan. 8 Bagi sebagian kelompok tradisional, perempuan pun acapkali dipandang makhluk yang pesakitan, karena perempuan mendapat menstruasi setiap bulan sehingga tidak dapat melakukan ibadah seperti laki-laki. Karenanya, ibadah perempuan dinyatakan tidak sempurna dan dianggap kurang daripada laki-laki. Bahkan, dalam kelompok ini juga terdapat anggapan bahwa ketika masa menstruasi, perempuan berada dalam situasi emosional. Anggapan ini sesungguhnya dipengaruhi Perjanjian Lama yang berkembang di sejumlah agamawan termasuk para ahli Muslim. Dari sinilah muncul pandangan bahwa secara intelektual perempuan inferior dari laki-laki, hanya bertugas dalam wilayah 7 8
Bhasin, Memahami Gender, h. 26-27. Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 4-5.
30
domestik, dan tidak mempunyai hak untuk mengakses ruang publik,9 sehingga hal ini mengandung pandangan yang bias jender.
B. Perspektif Teori Jender Dalam studi jender dikenal beberapa teori yang cukup berpengaruh dalam menjelaskan latar belakang perbedaan dan persamaan peran jender laki-laki dan perempuan, seperti teori Psikoanalisa, teori Fungsionalis Struktural, teori Konflik, teori Feminis, dan teori Sosio-Biologis. Namun, dari beberapa teori jender tersebut, agar penelitian ini tidak melebar ke mana-mana, Penulis hanya memfokuskan diri pada teori feminis yang dikutip dari Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. Dalam dua dekade terakhir kelompok feminis memunculkan beberapa teori yang secara khusus menyoroti kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Feminis berupaya menggugat kemapanan patriarki dan beberapa bentuk stereotip jender lainnya yang berkembang luas di dalam masyarakat.10 Pandangan feminis terhadap perbedaan peran jender laki-laki dan perempuan secara umum dapat dikategorikan kepada tiga kelompok seperti berikut.
a. Feminisme Liberal Tokoh aliran ini antara lain Margaret Fuller (1810 – 1850), Harriet Martineau (1802 – 1876), Aglina Grimke (1792 – 1873), dan Susan Anthony (1820 – 1906).
9
Sukron Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC UIN Jakarta), h. 40. 10 Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 64.
31
Dasar pemikiran kelompok ini adalah manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan yang lainnya. Feminisme liberal diinspirasi oleh prinsip-prinsip pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususankekhususan. Secara ontologis keduanya sama, hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak perempuan. Meskipun dikatakan feminisme liberal, kelompok ini tetap menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal, terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi, aliran ini masih tetap memandang perlu adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana pun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis di dalam kehidupan bermasyarakat. Kelompok ini termasuk paling moderat di antara kelompok feminis. Kelompok ini membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki. Mereka menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total di dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti melakukan perubahan struktural secara menyeluruh, tetapi cukup melibatkan perempuan di dalam berbagai peran, seperti dalam peran sosial, ekonomi, dan politik. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran tersebut.11
11
Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 64-65.
32
b. Feminisme Marxis-Sosialis Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan Rusia dengan menampilkan beberapa tokohnya, seperti Clara Zetkin (1857 – 1933) dan Rosa Luxemburg (1871 – 1919). Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesunggunya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak anggapan tradisional dan para teolog bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki karena faktor biologis dan latar belakang sejarah. Kelompok ini menganggap posisi inferior perempuan berkaitan dengan struktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis. Feminis sosialis berpendapat bahwa ketimpangan jender di dalam masyarakat adalah akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan di dalam lingkungan rumah tangga. Istri mempunyai ketergantungan lebih tinggi pada suami daripada sebaliknya. Perempuan senantiasa mencemaskan keamanan ekonominya, karenanya, mereka memberikan dukungan kekuasaan kepada suaminya. Struktur ekonomi atau kelas di dalam masyarakat memberikan pengaruh efektif terhadap status perempuan, karena itu, untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, diperlukan peninjauan kembali struktural secara mendasar, terutama dengan menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor domestik dan sektor publik.
33
Teori ini tidak terlalu menekankan faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka dasar ideologi, tetapi teori ini lebih menyoroti faktor seksuslitas dan jender dalam kerangka ideologinya. 12
c. Feminisme Radikal Aliran ini muncul di permukaan abad ke-19 dengan mengangkat isu besar, menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan seperti lembaga patriarki yang dinilai merugikan perempuan, karena term ini jelas-jelas menguntungkan laki-laki. Lebih dari itu, di antara kaum feminis radikal ada yang lebih ekstrim, tidak hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki tetapi juga persamaan “seks”, dalam arti kepuasan seksual juga diperoleh dari sesama perempuan sehingga mentolelir praktik lesbian. Menurut kelompok ini, perempuan tidak harus tergantung kepada laki-laki, bukan saja dalam hal pemenuhan kepuasan kebendaan tetapi juga pemenuhan kebutuhan seksual. Perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraan, dan kepuasan seksual kepada sesama perempuan. Kepuasan seksual dari laki-laki adalah masalah psikologis. Melalui berbagai latihan dan pembiasaan kepuasan itu dapat terpenuhi dari sesama perempuan. Aliran ini juga mengupayakan pembenaran rasional gerakannya dengan mengungkapkan fakta bahwa laki-laki adalah masalah bagi perempuan. Laki-laki selalu mengeksploitasi fungsi reproduksi perempuan dengan berbagai dalih. Ketertindasan perempuan berlangsung cukup lama dan dinilainya sebagai bentuk penindasan yang teramat panjang di dunia. Penindasan karena ras, perbudakan,
12
Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 65-66.
34
dan warna kulit dapat segera dihentikan dengan resolusi atau peraturan, tetapi pemerasan secara seksual teramat susah dihentikan, dan untuk itu diperlukan gerakan yang lebih mendasar. Aliran ini mendapat tantangan luas, bukan saja dari kalangan sosiolog tetapi juga di kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal yang banyak berfikir realistis tidak setuju sepenuhnya dengan pendapat ini. Persamaan secara total pada akhirnya akan merepotkan dan merugikan perempuan itu sendiri. Laki-laki yang tanpa beban organ reproduksi secara umum akan sulit diimbangi oleh perempuan. Yang menjadi inti perjuangan semua aliran feminisme tersebut di atas, menurut Nasaruddin Umar, ialah berupaya memperjuangkan kemerdekaan dan persamaan status dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan jender di dalam masyarakat.13
C. Isu tentang Bias Jender dan Relasinya dalam Islam Berbicara isu-isu tentang bias jender, mungkin sedikit sudah diperkenalkan dalam awal bab tiga di atas. Terkait dengan isu-isu tentang bias jender banyak sekali, seperti asal kejadian perempuan, poligami, pakaian, warisan, dll., namun tidak mungkin akan dibahas semuanya di sini. Dari banyaknya isu-isu tersebut, Penulis akan menguraikan isu tentang bias jender yang berkaitan dengan konsep kepemimpinan—bisa juga disebut sebagai kewajiban dan hak jender—secara khusus dan singkat. Terlepas dari apa yang menjadi penyebabnya, realitas sosial dewasa ini memperlihatkan dengan jelas betapa kecenderungan manusia pada aktivitas kerja
13
Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 66-68.
35
ekonomis terasa menjadi semakin kuat dan keras. Pergulatan manusia untuk mendapatkan kebutuhan hidup dan untuk sebagian orang mencari kesenangan materialistik-konsumtif telah melanda hampir semua orang, laki-laki maupun perempuan. Fenomena ini semakin nyata dalam era industrial sekarang ini. Bahkan realitas sosial juga memperlihatkan bahwa perburuan manusia mencari kesenangan ekonomi dan “sesuap nasi” oleh kaum perempuan, baik yang masih lajang maupun yang sudah berkeluarga (mempunyai suami) semakin meningkat dari waktu ke waktu. Tak pelak lagi bahwa untuk kaum perempuan yang disebut terakhir ini (kaum istri) pada gilirannya harus melakukan kerja ganda. Di samping mengurus suami dan anak-anak, mereka juga mencari nafkah di luar.14 Namun sayangnya, perempuan di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara Muslim, secara umum mengalami keterasingan. Di banyak negara dewasa ini, tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum.15 Salah satu sebabnya adalah karena, telah ditetapkan oleh para ulama ortodoks dan konservatif muslim bahwa peranan perempuan dibatasi secara ketat di rumah. Dia tidak boleh pergi ke luar kecuali dengan izin suami atau ayah, dan dia harus dengannya16 karena dianggap laki-laki mempunyai satu tingkat superioritas di atas perempuan. Alasan tingkat superioritas ini dikatakan secara jelas dalam Q.S. an-Nisa [4]: 34 dengan terjemahannya sebagai berikut: 14
Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 159. Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, h. 38. 16 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Pnrj. Agus Nuryanto (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 265. 15
36
“Laki-laki adalah pemimpin perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (lakilaki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu, perempuan yang saleh adalah yang taat (kepada Allah), lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara mereka” (Q.S. an-Nisa [4]: 34). Hal ini akan Penulis perluas dalam bab IV. Karena, sesengguhnya problem peminggiran perempuan tidak hanya dikarenakan masalah struktural, tetapi juga karena persoalan kultural, seperti pengaruh sistem kepercayaan dan pemahaman keagamaan. Pemahaman parsial dan literal terhadap teks-teks Alquran dan Hadis, tampaknya ikut berpengaruh terhadap konfigurasi sosial yang meminggirkan perempuan di negara-negara Muslim.17 Maka, persoalan kultural ini perlu dianalisis lebih jauh lagi. Kemudian, salah satu isu kontemporer yang agak problematik dalam pandangan Islam, menurut Sukron Kamil, paling tidak kalangan Islam konservatif dan radikal adalah persoalan kesetaraan hak perempuan. Riset yang dilakukan CSRC (Center for the Study of Religion and Culture) UIN Jakarta belum lama ini (2009) menyebutkan bahwa komunitas Masjid al-Maghfirah (al-Kahfi) dan Masjid al-Islam Gumuk Solo Jawa Tengah menolak mentah-mentah kesetaraan jender dalam wilayah publik.
Komunitas Masjid al-Kahfi
secara tegas
menyerukan agar semua perempuan dikeluarkan dari sektor-sektor publik (seperti pabrik) untuk diganti dengan laki-laki. Kesetaraan laki-laki dan perempuan hanya dalam soal ibadah dan amal saleh saja, dua hal yang bukan merupakan wilayah publik. Menurut mereka, ketika perempuan bekerja di sektor publik, pekerjaan di 17
Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, h. 39.
37
sektor domestik akan ditinggalkan.
Perempuan seharusnya lebih banyak
mengurusi suami dan anak-anaknya, supaya mereka menjadi perempuan salehah dan anak-anaknya menjadi anak saleh. Selain itu, alasannya juga karena jika perempuan bekerja di wilayah publik, laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim menjadi tercampur. Pada tahun 1998, kesetraan perempuan dalam kepemimpinan publik dalam perspektif Islam juga pernah ramai dibicarakan, menyusul tampilnya Megawati sebagai salah satu kandidat yang dijagokan untuk presiden mendatang. Tragisnya, persoalan ini berakhir buntu dan tetap menjadi persoalan yang tak terselesaikan. Padahal, terbukanya kesempatan memimpin bagi wanita menjadi bagian dari parameter demokrasi yang saat ini tengah menjadi tuntutan reformasi dan tuntutan kemanusiaan sejagat. Paling tidak, kebuntuan itu terlihat dalam Kongres Umat Islam 5-8 Nopember 1998, yang mempending persoalan tersebut dan merekomendasikannya pada Komisi Fatwa MUI. Karenanya, isu ini mendesak untuk dijelaskan.18 Memang, kepemimpinan perempuan telah lama menjadi pembicaraan ulama, klasik maupun kontemporer. Hanya saja isu yang diangkatkan oleh imam mazhab berbeda dengan ulama sesudahnya, termasuk dengan ulama kontemporer. Kalau imam mazhab membahas tentang boleh atau tidaknya seorang perempuan menjabat sebagai hakim [wilayah al-qadha], maka ulama sesudahnya—seperti alMawardi (w. 450 H.) dan Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H.) sebagai peletak dasar teori politik Islam—membicarakan lebih luas lagi seperti persyaratan untuk menjadi kepala negara, “wizarah al-tafwidh” (perdana menteri), “wizarah al18
Sukron Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita,” artikel diakses pada 27 Agustus 2010 dari http://www.csrc.or.id/artikel/index.php?detail=20100712091031
38
tanfidz” (menteri) dan “ahl al-halli wa al-aqdi” atau “ahl al-ikhtiyar” (lembaga yang berkewajiban memilih kepala negara, menetapkan undang-undang dan kebijakan politik negara). Sedangkan ulama kontemporer lebih disibukkan dengan persoalan boleh atau tidaknya perempuan menjabat sebagai kepala negara.19 Banyak ahli, kendati perlu dikaji ulang, menolak kepemimpinan wanita. Al-Khatabi, as-Syaukani, dan Ibn Hazm misalnya berpendapat bahwa kepala negara disyaratkan tidak wanita. Bahkan, Sayyid Sabiq menginformasikan kesepakatan para ulama fiqh (hukum Islam) mengenai keharusan laki-laki bagi seorang qadhi (hakim). Tentu masih banyak pemikir muslim lainnya, seperti Yusuf Qardhawi, yang berpendapat sama. Salah satu yang dijadikan dasar oleh mereka, juga sejumlah tokoh di Indonesia yang berpendapat serupa, adalah QS 4:34 yang menegaskan bahwa laki-laki merupakan pemimpin bagi wanita, dan hadis riwayat Bukhari
yang menyatakan bahwa suatu masyarakat yang
menyerahkan urusannya kepada wanita tidak akan memperoleh kebahagiaan. 20 Alasan lain tidak bolehnya perempuan menjadi kepala negara juga adalah karena sentral dan beratnya tugas kepala negara (khalifah) dalam Islam yang sulit dipikul oleh seorang perempuan. Secara rinci, tugas-tugas khalifah ini meliputi: menjaga eksistensi agama, melakukan ijtihad terhadap persoalan-persoalan yang muncul, mengimami salat, melaksanakan hukum syariah, memutuskan perkara, memimpin tentara dalam peperangan, dan mengurus keuangan negara. 21 Sehingga, sampai hari ini belum diketahui ada pendapat para ulama mazhab yang membolehkan perempuan menjabat sebagai kepala negara. Pendapat 19
Ahmad Azharuddin Latif, dkk., Pengantar Fiqh (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2005), h.
438-439. 20
Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita.” Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, h. 65-67. 21
39
ini didukung oleh banyak ulama terkemuka, misalnya Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa kepemimpinan (imamah) tidak bisa dipercayakan kepada perempuan walaupun memiliki berbagai sifat kesempurnaan dan kemandirian. Menurut tokoh yang dijuluki hujjat al-Islam ini, bagaimana perempuan mencalonkan diri untuk jabatan pemimpin sementara ia tidak memiliki hak pengadilan dan kesaksian dalam kasus hukum.22 Padahal, dalam sejarah Islam abad ke-13-17, sebagaimana hasil penelitian Fetima Mernisi, terdapat sedikitnya lima belas kepala negara perempuan berkuasa penuh di beberapa wilayah kekuasaan Islam. Sajaratuddur dan Radiyah di antaranya. Meraka adalah dua wanita penguasa Mamluk yang berasal dari Turki. Yang belakangan tentu kita mengenalnya yaitu Benazir Bhuto, dan di Inggris Margaret Tercer. Sebab itu, secara faktual, wanita tertentu ternyata mampu memimpin23 atau menjadi kepala negara.
22 23
Latif, dkk., Pengantar Fiqh, h. 439. Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita.”
40
BAB IV ANALISIS HERMENEUTIK TERHADAP PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JENDER DALAM TAFSIR AL-AZHAR A. Riwayat HAMKA HAMKA adalah seorang ulama besar, penulis produktif, mubalig yang berpengaruh di Asia Tenggara, dan ketua pertama MUI. Ia adalah putra H. Abdul Karim Amrullah (tokoh gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau) dan lahir pada awal gerakan “Kaum Muda”. Namanya adalah Abdul Malik Karim Amrullah. Sesudah beribadah haji pada 1927, ia bernama Haji Abdul Malik Amrullah, disingkat HAMKA. 1 Ia dilahirkan di Sungai Maninjau (Sumatera Barat) pada 17 Februari (14 Muharram 1326 H.).2 Dalam usia enam tahun (1914) dia dibawa ayahnya ke Padangpanjang. Sewaktu berusia tujuh tahun, dia dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Alquran dengan ayahnya sendiri sehingga khatam. Dari tahun 1916 sampai tahun 1923, dia telah belajar agama pada sekolah-sekolah “Diniyah School” dan “Sumatera Thawalib” di Padangpanjang dan di Parabek. Gurugurunya waktu itu ialah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid, dan Zainuddin Labay. Padangpanjang waktu itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan ayahnya sendiri. 3 Namun dalam usianya yang masih muda, ia telah berbakat dalam bidang bahasa dan segera menguasai bahasa Arab, yang membuatnya mampu membaca secara luas literatur berbahasa
1
Badri Yatim, “HAMKA,” dalam Nina M. Armando… [et al.], ed., Ensiklopedi Islam, vol. II (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), h. 293. 2 HAMKA, Tasauf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003), h. 9. 3 HAMKA, Tasauf Modern, h. 9.
40
41
Arab, termasuk terjemahan dari tulisan Barat. Sebagai seorang anak tokoh pergerakan, sejak kanak-kanak HAMKA sudah menyaksikan dan mendengar langsung pembicaraan tentang pembaruan dan gerakan melalui ayah dan rekan ayahnya. Sejak berusia sangat muda, HAMKA sudah dikenal sebagai seorang kelana. Ayahnya bahkan menamakannya “Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa; di sana menimba pelajaran tentang gerakan Islam modern melalui H. Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944 – 1952), RM. Soerjopranoto (1871 – 1959), dan KH. Fakhruddin (ayah KH. Abdur Rozzaq Fakhruddin) yang mengadakan kursus pergerakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak iparnya, A.R. Sutan Mansur, yang waktu itu ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh Muhammadiyah setempat. Pada Juli 1925 ia kembali ke Padangpanjang dan turut mendirikan Tablig Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah.4 Pada waktu itu pulalah mulai tumbuh bakatnya sebagai pengarang. Buku yang mula-mula dikarangnya bernama “Khathibul Ummah”.5 Pada Februari 1927 ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana lebih kurang 6 bulan. Selama di Mekah, ia bekerja pada sebuah percetakan,6 sambil menjadi Koresponden dari harian “Pelita Andalas” di Medan. Pulang dari sana dia menulis di majalah “Seruan Islam” di Tanjung Pura 4
Yatim, “HAMKA,” h. 293-294. HAMKA, Tasauf Modern, h. 9. 6 Yatim, “HAMKA,” h. 294. 5
42
(Langkat), dan pembantu dari “Bintang Islam” dan “Suara Muhammadiyah” Yogyakarta. Pada 1928 ia menjadi peserta Muktamar Muhammadiyah di Solo, dan sejak itu hampir tidak pernah absen dalam Muktamar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Sepulang dari Solo, ia mulai memangku jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, kemudian ketua Tablig, sampai menjadi ketua Muhammadiyah cabang Padangpanjang.7 Pada tahun ini pula keluarlah buku romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau bernama “Si Sabariyah”. Waktu itu pula dia memimpin majalah “Kemauan Zaman” yang terbit hanya beberapa nomor. Dalam tahun 1929 keluarlah buku-bukunya “Agama dan Perempuan”, “Pembela Islam”, “Adat Minangkabau dan Agama Islam” (buku ini dibeslah, dirampas polisi), “Kepentingan Tabligh”, “Ayat-ayat Mi’raj” dan lainlain.8 Pada 1930 ia diutus oleh Pengurus Cabang Padangpanjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. 9 Dalam tahun ini pula, mulailah dia mengarang dalam sk. “Pembela Islam” Bandung, dan mulai berkenalan dengan M. Natsir, A. Hassan dan lain-lain. Ketika dia pindah mengajar ke Makassar diterbitkannya majalah “Al-Mahdi”.10 Pada 1931 ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah ke Makassar untuk menjadi mubalig Muhammadiyah dalam rangka menggerakkan semangat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 (Mei 1932) di Makassar. Pada 1934 ia kembali ke Padangpanjang dan diangkat menjadi Majelis Konsul
7
Yatim, “HAMKA,” h. 294. HAMKA, Tasauf Modern, h. 9. 9 Yatim, “HAMKA,” h. 294. 10 HAMKA, Tasauf Modern, h. 10. 8
43
Muhammadiyah Sumatera Tengah.11 Setelah dia kembali ke Sumatera Barat tahun 1935, dan tahun 1936 pergilah dia ke Medan mengeluarkan mingguan Islam yang mencapai puncak kemasyhuran sebelum perang, yaitu “Pedoman Masyarakat”. Majalah ini dipimpinnya sendiri setelah setahun dikeluarkan, mulai tahun 1936 sampai 1943, yaitu seketika bala tentara Jepang masuk. Di zaman itulah banyak terbit karangan-karangannya dalam lapangan agama, filsafat, tasauf, dan roman. Ada yang ditulis di “Pedoman Masyarakat” dan ada pula yang ditulis terlepas. Dan, waktu itulah keluar romannya “Tenggelamnnya Kapal Van Der Wijck”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, “Merantau ke Deli”, “Terusir”, “Keadilan Ilahi”, dan lain-lain. Dalam hal agama dan filsafat ialah “Filsafat Modern”, “Falsafah Hidup”, “Lembaga Hidup”, “Lembaga Budi”, “Pedoman Mubaligh Islam”, dan lain-lain. Di zaman Jepang dicobanya menerbitkan “Semangat Islam” dan “Sejarah Islam di Sumatera”. Setelah pecah Revolusi, beliau pindah ke Sumatera Barat. Dikeluarkannya buku-buku yang mengguncangkan, “Revolusi Fikiran”, “Revolusi Agama”, “Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi”, “Negara Islam”, “Sesudah Naskah Renville”, “Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman”, “Dari Lembah Cita-Cita”, “Merdeka”, “Islam dan Demokrasi”, “Dilamun Ombak Masyarakat”, dan “Menunggu Peduk Berbunyi”. 12 Sejak 1949, yaitu tercapainya Persetujuan Roem-Royen, ia pindah ke Jakarta. Pada 1950 ia mulai kariernya sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang waktu itu dipimpin KH. Abdul Wahid Hasyim. Dalam kepegawaian itu, ia diberi tugas memberi kuliah di beberapa perguruan tinggi 11 12
Yatim, “HAMKA,” h. 294. HAMKA, Tasauf Modern, h. 10.
44
Islam: Perguruan Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padangpanjang, Universitas Muslim Indonesia (MUI) di Makassar, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan. Pada 1950 itu juga ia mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab sesudah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Dalam kesempatan ini, ia bertemu dengan pengarang Mesir yang telah lama dikenalnya melalui karya mereka, seperti Thaha Husein dan Fikri Abadah.13 Sepulang dari lawatan ini, keluarlah buku-bukunya: “Ayahku”, “Kenang-Kenangan Hidup”, “Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad”, “Urat Tunggang Pancasila”. Riwayat perjalanan ke negeri-negeri Islam: “Di Tepi Sungai Nil”, “Di Tepi Sungai Dajlah”, “Mandi Cahaya di Tanah Suci”, “Empat Bulan di Amerika”, dan lain-lain. 14 Pada 1952 ia mendapat kesempatan untuk mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat atas undangan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Sejak itu, ia sering berkunjung ke beberapa negara, baik atas undangan negara bersangkutan maupun sebagai delegasi Indonesia.15 Pada tahun 1955 keluar bukubukunya “Pelajaran Agama Islam”, “Pandangan Hidup Muslim”, “Sejarah Hidup Jamaluddin Al-Afghany”, dan “Sejarah Ummat Islam”.16 Pada 1958 ia menjadi anggota delegasi Indonesia untuk simposium Islam di Lahore. Dari Lahore ia meneruskan perjalanannya ke Mesir. Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan pidato promosi untuk mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas al-Azhar, Cairo. Pidatonya yang berjudul “Pengaruh
13
Yatim, “HAMKA,” h. 294. HAMKA, Tasauf Modern, h. 10. 15 Yatim, “HAMKA,” h. 294. 16 HAMKA, Tasauf Modern, h. 11. 14
45
Muhammad Abduh di Indonesia” menguraikan kebangkitan gerakan Islam di Indonesia: Sumatra Thawalib, Muhammadiyah, al-Irsyad, dan Persatuan Islam. Gelar Doctor Honoris Causa juga didapatkannya dari University Kebangsaan Malaysia pada 1974. Dalam kesempatan itu, Tun Abdul Razak, perdana Menteri Malaysia, berkata “HAMKA bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.”17 Pada 1960, ia memusatkan kegiatannya dalam dakwah islamiah dan menjadi imam Masjid Agung al-Azhar Kebayoran, Jakarta. Bersama KH. Faqih Usman (menteri agama dalam Kabinet Wilopo 1952, wafat 1969 ketika menjabat ketua Muhammadiyah), pada Juli 1959, ia menerbitkan majalah tengah bulanan Panji Masyarakat yang menitikberatkan soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam. Majalah ini kemudian dibreidel pada 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat karangan Dr. Mohammad Hatta berjudul “Demokrasi Kita”, yang melancarkan kritik tajam terhadap konsepsi Demokrasi Terpimpin. Majalah ini baru terbit kembali setelah Orde Lama tumbang, tepatnya pada 1967, dan HAMKA menjadi pimpinan umumnya hingga akhir hayatnya. Sebelumnya, pada Senin 27 Januari 1964, bertepatan pada tanggal 12 Ramadhan 1385, ia ditangkap oleh alat negara. Dalam tahanan Orde Lama ini ia menyelesaikan Tafsir al-Azhar (30 juz). Ia keluar dari tahanan setelah Orde Lama tumbang. Pada 1975, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri, HAMKA terpilih menjadi ketua umum pertama dan terpilih kembali untuk periode kedua pada 1980. Ia meninggalkan banyak karya, antara lain 118 buku, belum termasuk karangan panjang dan pendek yang dimuat di berbagai media massa dan
17
Yatim, “HAMKA,” h. 294.
46
disampaikan dalam beberapa kesempatan kuliah atau ceramah ilmiah. Tulisan itu meliputi banyak bidang kajian: politik, sejarah, budaya, akhlak, dan ilmu keislaman.18 Kian lama kian jelaslah coraknya sebagai pengarang, pujangga, dan filusuf Islam, diakui oleh lawan dan kawannya. Di samping keasyikannya mempelajari “Kesusasteraan Melayu Klasik”, HAMKA pun bersungguh-sungguh menyelidiki Kesusasteraan Arab, sebab bahasa asing yang dikuasainya hanyalah semata-mata bahasa Arab. Drs. Slamet Mulyono, ahli tentang kesusasteraan Indonesia menyebut HAMKA sebagai “Hamzah Fansuri Zaman Baru”.19
B. Penerjemahan terhadap Ayat tentang Kepemimpinan Seperti yang sudah Penulis jelaskan pada bab I, penulisan ini hanya mengangkat salah satu dari sekian banyak isu-isu bias jender, yaitu tentang kepemimpian atau kepemimpinan perempuan. Karena ayat ini, menurut salah seorang feminis Muslim asal India, Asghar Ali Engineer, adalah yang paling banyak mengandung perdebatan sejauh memperhatikan konsep dominasi kaum laki-laki.20 Kemudian yang menjadi objek kajian ini adalah tentang penerjemahan HAMKA dalam Tafsir Al-Azhar terhadap ayat kepemimpinan tersebut, yaitu Qs. An-Nisa [4]: 34.
ô`ÏB (#qà)xÿRr& !$yJÎ/ur <Ù÷èt/ 4’n?tã óOßgŸÒ÷èt/ ª!$# Ÿ@žÒsù $yJÎ/ Ïä!$|¡ÏiY9$# ’n?tã šcqãBº§qs% ãA%y`Ìh•9$# tbqèù$sƒrB ÓÉL»©9$#ur 4 ª!$# xáÏÿym $yJÎ/ É=ø‹tóù=Ïj9 ×M»sàÏÿ»ym ìM»tGÏZ»s% àM»ysÎ=»¢Á9$$sù 4 öNÎgÏ9ºuqøBr&
18
Yatim, “HAMKA,” 295. HAMKA, Tasauf Modern, h. 11. 20 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Pnrj. Agus Nuryanto (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 69. 19
47
Ÿxsù öNà6uZ÷èsÛr& ÷bÎ*sù ( £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# ’Îû £`èdrã•àf÷d$#ur ÆèdqÝàÏèsù Æèdy—qà±èS ÇÌÍÈ #ZŽ•Î6Ÿ2 $wŠÎ=tã šc%x. ©!$# ¨bÎ) 3 ¸x‹Î6y™ £`ÍköŽn=tã (#qäóö7s? Menurut Siti Musdah Mulia, mengutip dari Asghar Ali Engineer, menjelaskan bahwa dilihat dari asbab nuzul, ayat tersebut bukan berbicara tentang masalah kepemimpinan, melainkan mengenai “domestic violence” atau kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi dalam masyarakat Arab sebelum Islam. Dilihat dari sebab turunnya, konteks ayat itu membincangkan masalah nusuz atau konflik atau percekcokan dalam rumah tangga.21
a. Penerjemahan Kata ar-Rijâl Sebelum kita masuk kepada pembahasan yang lebih dalam, terlebih dahulu Penulis akan menganalisis penerjemahan kata ar-rijâl dalam Tafsir Al-Azhar. Dalam Tafsir Al-Azhar, HAMKA menerjemahkan kata ar-rijâl dengan laki-laki. Ia menekankan dan mengaitkan dengan penjelasan tentang pembagian harta pusaka bahwa laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan.22 Hal ini merujuk kepada QS. An-Nisa [4]: 11. Namun, jika diperhatikan secara cermat, pada masalah pembagian harta pusaka atau waris ini, tidak ditemukan kata arrijâl. Tapi yang ditemukan hanya kata adz-dzakar, yang diterjemahkan oleh HAMKA dengan “seorang anak laki-laki”.23 Ayat itu berbunyi: … 4 Èû÷üu‹sVRW{$# Åeáym ã@÷VÏB Ì•x.©%#Ï9 ( öNà2ω»s9÷rr& þ’Îû ª!$# ÞOä3ŠÏ¹qム21
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformasi: Perempuan Pembaru Keagamaan (Bandung: Mizan, 2005), h. 41-42. 22 HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz V (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 46. 23 HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz III – IV (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), h. 276.
48
Dengan demikian, HAMKA jelas menyamakan makna ar-rijâl dengan adz-dzakar. Pertanyaan yang muncul adalah apakah kedua kata itu benar memiliki makna yang sama, seperti yang dimaksud HAMKA? Atau justru sebaliknya, kedua kata itu memiliki makna yang berbeda? Kata ar-rijâl adalah bentuk jamak dari kata ar-rajul. Kata ar-rajul umumnya digunakan untuk laki-laki yang sudah dewasa, sesudah anak-anak. Jadi, logikanya adalah semua orang masuk dalam kategori ar-rajul termasuk juga kategori adz-dzakar. Tetapi tidak semua adz-dzakar masuk ke dalam kategori arrajul. Kategori ar-rajul menuntut sejumlah kriteria tertentu yang bukan hanya mengacu kepada jenis kelamin, tetapi juga kualifikasi budaya tertentu, terutama sifat-sifat kejantanan.24 Pemilihan kata dalam QS. An-Nisa [4]: 11, yang diterjemahkan HAMKA dengan seorang anak laki-laki, adalah adz-dzakar, dan bukan ar-rajul yang kebanyakan menerjemahkan laki-laki. Hal ini untuk menegaskan bahwa usia tidak menjadi faktor penghalang bagi penerimaan warisan, karena kata adz-dzakar dari segi bahasa berarti jantan, lelaki baik kecil maupun besar, binatang maupun manusia. Sedangkan kata ar-rajul adalah pria dewasa.25 Namun, dari penjelasan di atas, jelas bahwa kata ar-rijâl (jamak dari arrajul) berbeda dengan kata adz-dzkar. Menurut Nasaruddin, yang pertama lebih berkonotasi jender (gender term) dengan menekankan aspek maskulinitas dan kejantanan seseorang, misalnya QS. Al-An’am [6]: 9:
24
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 144-145. 25 Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Volume 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 361.
49
ÇÒÈ šcqÝ¡Î6ù=tƒ $¨B OÎgøŠn=tæ $uZó¡t6n=s9ur Wxã_u‘ çm»oYù=yèyf©9 $Z6n=tB çm»uZù=yèy_ öqs9ur “Dan kalau Kami jadikan Rasul itu seorang malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki, dan (kalau Kami jadikan laki-laki) tentulah Kami meraguragukan atas mereka apa yang mereka ragu-ragukan atas diri mereka sendiri,” (QS. Al-An’am [6]: 9). Kata rajulan dalam ayat ini tidak menunjuk kepada jenis kelamin tetapi lebih menekankan aspek maskulinitas, karena keberadaan malaikat tidak pernah diisyaratkan jenis kelaminnya di dalam Alquran. Adapun yang kedua (adz-dzakar) lebih berkonotasi biologis (sex term) dengan menekankan aspek jenis kelamin, misalnya QS. Ali Imran [3]: 36:
… ( 4Ós\RW{$%x. ã•x.©%!$# }§øŠs9ur ôMyè|Êur $yJÎ/ ÞOn=÷ær& ª!$#ur 4Ós\Ré& !$pkçJ÷è|Êur ’ÎoTÎ) Éb>u‘ ôMs9$s% $pk÷Jyè|Êur $£Jn=sù “Maka tatkala ia (istri Imran) melahirkan (anak)nya, dia(pun) berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan, dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan…,” (QS. Ali Imran [3]: 36). Dengan demikian, lanjut Nasaruddin, kata ar-rijâl (jamak dari ar-rajul) dan an-nisa (jamak dari al-mar’ah) digunakan untuk menggambarkan kualitas moral dan budaya seseorang. Berbeda dengan adz-dzakar dan al-untsa yang penekanannya kepada jenis kelamin.26 Lebih jelasnya, jika dikembalikan kepada ayat tentang kepemimpinan di atas, menurut Sukron Kamil dalam artikelnya, kata yang dipakai bukan kata adz-
26
Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 145-146.
50
dzukur, yang menunjuk pada kelamin, melainkan kata ar-rijâl, yang menunjuk pada ketokohan.27
b. Penerjemahan Kata Qawwamûn HAMKA, dalam bukunya yang berjudul Kedudukan Perempuan dalam Islam, membagi konsep kepemimpinan ini menjadi dua judul yang terpisah: Pimpinlah Mereka I dan Pimpinlah Mereka II. Pada judul yang pertama, secara khusus, HAMKA menjelaskan tentang makna qawwamûn. Tapi di sini HAMKA tidak meletakkan sebab turunnya ayat. Namun, ia menjelaskan sebab turunya ayat pada judul yang kedua, yang memfokuskan diri pada pembahasan tentang nusûz.28 Begitu juga dalam tafsirnya, dia menjelaskan sebab turunnya ayat ini pada pembahasan tentang nusûz. Dalam tafsirnya ia menulis bahwa asal mula ayat mengizinkan memukul itu ialah bahwa ada seorang sahabat Rasul, yang termasuk salah seorang guru (Naqib) mengajarkan agama kepada kaum Anshar, namanya Sa‘ad bin Rabi’ bin Amr, berselisih dengan istrinya Habibah binti Zaid bin Abu Zuhair. Suatu ketika Habibah menyanggah (Nusuz) kepada suaminya Sa‘ad itu. Lalu Sa‘ad menempeleng muka istrinya itu. Maka datanglah Habibah ke hadapan Rasulullah saw. ditemani oleh ayahnya sendiri, mengadukan halnya. Kata ayahnya: “Ditidurinya anakku, lalu ditempelengnya.” Serta-merta Rasulullah menjawab: “Biar dia ambil balas (Qisas?).” Artinya Rasulullah mengizinkan perempuan itu membalas memukul sebagai hukuman. Tetapi ketika bapak dan anak
27
Sukron Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita,” artikel diakses pada 27 Agustus 2010 dari http://www.csrc.or.id/artikel/index.php?detail=20100712091031 28 HAMKA, Kedudukan Perempuan dalam Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), h. 82-83.
51
perempuannya telah melangkah pergi, Rasulullah berkata: “Kembali! Kembali! Ini Jibril datang!” Maka turunlah ayat ini (membolehkan memukul). Maka berkatalah Rasulullah saw., “Kemauan kita lain, kemauan Tuhan lain, maka kemauan Tuhanlah yang lebih baik.”29 Di sini sudah jelas bahwa sebab turunnya ayat ini, seperti yang dikutip Musdah dari Asghar di atas, bukan berbicara tentang masalah kepemimpinan, melainkan mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, apakah tepat (selaras dengan konteksnya) jika kata qawwamûn pada ayat di atas diterjemahkan dengan “pemimpin”? Untuk kata “qawwamûn”, sejumlah ahli tafsir terkenal, seperti imam Jalal Ad-Din Al-Suyuti (w. 1505 M.), penulis Tafsir Al-Jalalain, memahami kata itu dengan arti “memimpin” atau “menguasai”. Jadi pengertiannya, laki-laki adalah pemimpin dan penguasa atas perempuan, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan publik. Selanjutnya ayat ini dijadikan landasan bagi penolakan kepemimpinan kaum perempuan di segala aspek kehidupan. Bahkan, para mufasir mengemukakan berbagai penjelasan yang sangat “bias laki-laki”. Imam AlNawawi (w. 1277 M.), misalnya, mengungkapkan, ada beberapa alasan mengapa qawwamûn diartikan superioritas laki-laki atas perempuan. Di antaranya karena laki-laki
memiliki
kesempurnaan
akal
(kamal
al-‘aql),
matang
dalam
perencanaan, dan cakap dalam mengurus sesuatu (husn al-tadbir), memiliki penilaian yang tepat, serta memiliki kelebihan dalam amal dan kesalehan. Oleh sebab itu, laki-laki diberi tugas istimewa untuk menjadi Nabi, juga sebagai imam atau wali, menjadi saksi dalam berbagai masalah, ikut berjihad, salat Jumat, dan
29
HAMKA, Kedudukan Perempuan dalam Islam, h. 50.
52
seterusnya. Dengan pola penafsiran seperti itu, terlihat kecenderungan mufasir untuk mendukung superioritas laki-laki terhadap perempuan. 30 HAMKA dalam Tafsir Al-Azhar menerjemahkan ayat di atas sebagai berikut: “Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan-perempuan, lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas yang sebahagian, dan dari sebab apa yang mereka belanjakan dari harta benda mereka. Maka perempuan yang baik adalah yang taat, yang memelihara hal-ihwal yang tersembunyi, dengan cara yang dipeliharakan Allah,” (Qs. An-Nisa [4]: 34).31 Di sini, kata qawwamûn yang menjadi kata kunci dalam ayat di atas, telah diterjemahkan secara sangat berbeda oleh para penafsir yang lain. Dalam terjemahan HAMKA di atas, kata qawwamûn diterjemahkan “pemimpin”. Di sini tekanannya jelas pada superioritas laki-laki atas perempuan. Karena HAMKA menjelaskan dalam tafsirnya bahwa di dalam ayat ini tidak langsung datang perintah mengatakan wahai laki-laki, wajiblah kamu jadi pemimpin. Atau wahai perempuan, kamu mesti menerima pimpinan. Yang diterangkan lebih dahulu ialah kenyataan. Tidak pun ada perintah, namun kenyataannya memang laki-lakilah yang memimpin perempuan. Sehingga kalau datanglah misalnya perintah, perempuan memimpin laki-laki, tidaklah bisa perintah itu berjalan, sebab tidak sesuai dengan kenyataan hidup manusia.32 Sedangkan M. Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Mishbah, ketika menerjemahkan kata qawwamûn, lebih condong membiarkan seperti kata aslinya
30
Musdah, Muslimah Reformasi:Perempuan Pembaru Keagamaan, h. 164. HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz V, h. 45. 32 HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz V, h. 46. 31
53
atau tidak menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “pemimpin”, seperti terjemahan HAMKA di atas. Menurutnya, (memang) seringkali kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Tapi agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan aspek yang dikandungnya. Atau dengan kata lain dalam pengertian “kepemimpinan” tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan. Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan suatu yang mutlak, lebihlebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama dan merasa memiliki pasangan dan keluarganya. Persoalan yang dihadapi suami-istri, seringkali muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam keceriaan wajah atau cemberutnya, sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tapi boleh jadi juga sirna seketika. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin, melebihi kebutuhan atau perusahaan yang bergelut dengan angka-angka, bukan dengan perasaan, serta diikat oleh perjanjian rinci yang dapat diselesaikan melalui pengadilan. Nah, siapakah yang harus memimpin? Allah swt. menetapkan lelaki sebagai pemimpin. 33 Walau pun Quraish Shihab tidak menerjemahkan kata qawwamûn, tetap saja dia menjelaskan dalam tafsirnya bahwa kata itu bermakna “pemimpin”. Ini sama dengan terjemahan HAMKA. Tapi Quraish Shihab memberikan penjelasan tambahan bahwa “kepemimpinan” ini yang mencakup segalanya, pemenuhan
33
424-425.
Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Volume 2, h.
54
kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan. Seperti dijelaskan di atas. Dalam hal ini, Amina Wadud Muhsin sebagai seorang penulis masalahmasalah perempuan dalam Islam menjelaskan bahwa pernyataan “laki-laki qawwamûn atas perempuan” tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu melekat secara otomatis pada setiap laki-laki, melainkan hanya bersifat fungsional. Yakni selama yang bersangkutan memenuhi kriteria Alquran dalam hal memiliki kelebihan dan memberi nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut semua laki-laki secara otomatis superior atas perempuan. Di sana hanya dikatakan bahwa “lakilaki tertentu saja yang menjadi qawwamûn terhadap perempuan tertentu”. Alquran sama sekali tidak menyatakan bahwa semua laki-laki secara otomatis menjadi pemimpin atas semua perempuan. Lagi pula, ayat ini menunjukkan dengan yang amat jelas bahwa yang dimaksud dalam soal ini adalah relasi suami dan istri dalam rumah tangga atau dalam ruang domestik, dan tidak berlaku bagi relasi laki-laki dan perempuan di ruang publik.34 Namun demikian, Nasaruddin Umar menerjemahkan kata qawwamûn berbeda dari kedua penafsir di atas. Dia mengikut pada terjemahan Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an, yaitu “pelindung”. Pelindung di sini, lanjut Nasaruddin Umar, ialah laki-laki yang mempunyai keutamaan. Sesuai dengan sabab nuzul ayat ini, keutamaan laki-laki dihubungkan dengan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Namun, menurut Nasaruddin, ayat ini tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin di dalam masyarakat35 atau pada sektor publik. 34 35
Musdah, Muslimah Reformasi:Perempuan Pembaru Keagamaan, h. 166. Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 33.
55
Sementara Asghar Ali Engineer, mengutip terjemahan dari Muhammad Asad, menerjemahkan kata qawwamûn dengan “menjaga”. Karena menurutnya, dalam terjemahan ini tekanannya bukanlah pada superioritas laki-laki atas perempuan, tetapi kewajiban laki-laki untuk menjaga perempuan. Kata qawwamûn telah diterjemahkan dengan seseorang yang harus “menjaga perempuan secara penuh.” Bahkan Muhammad Asad, menurutnya, merasa bahwa qawwamûn adalah bentuk yang dikuatkan dari qâ’im, dan bentuk gramatikal ini lebih komprehensif karena menggabungkan konsep nafkah fisik dan perlindungan dengan tanggung jawab moral. Oleh karena itu, menurut Muhammad Asad, menjadi qawwamûn berarti memberikan tambahan tanggung jawab laki-laki kepada perempuan.36 Namun, tidak sedikit juga mufasir yang menolak model interpretasi yang mendukung superioritas laki-laki atas perempuan. Di antara mufasir yang menolak adalah Syaikh Muhammad ‘Abduh, Sayyid Quthub, dan Wahbah Al-Zuhaili. Menurut mereka, “qawwamûn” lebih cenderung dan lebih tepat diartikan “melindungi” dan “mengarahkan”. Dalam kerangka seperti ini, laki-laki dituntut untuk memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap perempuan karena adanya kelebihan yang bersifat materiil, seperti kemampuan memberi nafkah. Akan tetapi, meskipun Allah menjadikan laki-laki sebagai pelindung dan pengayom terhadap perempuan, hal itu sama sekali tidak mengandung arti bahwa laki-laki dapat mendominasi perempuan. Sebagai penafsir, seperti Asghar Ali Engineer dan Rifat Hasan, menyatakan bahwa ayat itu turun sebagai pengakuan bahwa realitas sejarah kaum perempuan
36
Engineer, Pembebasan Perempuan, h. 69-70.
56
pada masa itu memang menempatkan perempuan sangat rendah, dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban perempuan; sementara laki-laki dianggap lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah. Lebih jauh, Fazlur Rahman menjelaskan bahwa ayat itu bukanlah berkaitan dengan perbedaan hakiki, melainkan fungsional. Artinya, kalau seorang istri bisa mandiri secara ekonomis, baik karena warisan maupun karena usahanya sendiri dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka posisi qawwamûn tersebut dapat di tawar, dan bukanlah harga mati. 37
c. Penerjemahan terhadap Dua Alasan Kepemimpinan Laki-laki Namun perlu dicatat bahwa alasan atas diberikannya kepemimpinan kepada lakilaki telah dijelaskan dalam lanjutan ayat di atas dengan dua pertimbangan pokok. Pertama,
“bimâ
fadhdhala
allahu
ba’dhahum
‘alâ
ba’dh”.
HAMKA
menerjemahkan ayat ini dengan “lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas yang sebahagian.” HAMKA memberikan contoh misalnya berdiri rumah tangga, ada bapak, ada istri dan ada anak, dengan sendirinya—meskipun tidak disuruh—laki-lakilah, yaitu si bapak yang menjadi pemimpin. Seibarat batang tubuh manusia, ada kepala, ada tangan dan kaki, ada perut. Semuanya penting, tetapi yang kepala tetap kepala.38 Meskipun HAMKA, dalam tafsirnya, tidak menjelaskan apa kelebihan yang Allah berikan kepada laki-laki atas perempuan, namun dari contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa bagaimanapun kondisi laki-laki itu, baik atau buruk, 37 38
Musdah, Muslimah Reformasi:Perempuan Pembaru Keagamaan, h. 166. HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz V, h. 46-47.
57
lemah atau kuat, dengan sendirinya laki-lakilah yang menjadi pemimpin. Di sini, HAMKA benar-benar tidak memberi ruang kepada perempuan untuk bersuara menentukan hak-haknya. Perempuan hanya bisa ‘bungkam’ dalam bayang-bayang laki-laki. Kedua, “wa bimâ angfaqu min amwâlihim” diterjemahkan HAMKA, “Dan dari sebab apa yang mereka belanjakan dari harta benda mereka.” Artinya, jelas HAMKA, perwilahan atas harta benda pun adalah tanggung jawab laki-laki. Dalam bersuami-istri, dimisalkan harta benda mereka berdua yang punya, yang dinamai adat orang Minangkabau “harato suarang” namun hak terakhir di dalam menentukan tetap pada laki-laki. 39 Jika kita bandingkan pemahaman HAMKA, yang berkaitan dengan kedua pokok kelebihan laki-laki atas perempuan, dengan pandang Quraish Shihab, maka terlihat penafsir pertama sama sekali tidak mencantumkan bukti-bukti konkrit kelebihan laki-laki, sedangkan penafsir yang disebut terakhir menyebutkan kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan dengan mengutip dari seorang ulama terkemuka asal Iran, Murthadha Muthahhari. Pertama, sebagai berikut: “Lelaki secara umum lebih besar dan lebih tinggi dari perempuan; suara lelaki dan telapak tangannya kasar, berbeda dengan suara dan telapak tangan perempuan, pertumbuhan perempuan lebih cepat dari lelaki, tetapi perempuan lebih mampu membentengi diri penyakit dibanding lelaki, dan lebih cepat berbicara, bahkan dewasa dari lelaki. Rata-rata bentuk kepala lelaki lebih besar dari perempuan, tetapi jika dibandingkan dari segi bentuk tubuhnya, maka sebenarnya perempuan lebih besar. Kemampuan paru-paru lelaki menghirup udara
39
HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz V, h. 47.
58
lebih besar/banyak dari perempuan, dan denyut jantung perempuan lebih cepat dari denyut lelaki.”40 Lebih jauh lagi Quraish Shihab menjelaskan tentang perbedaan antara lakilaki dan perempuan. Penjelasan Quraish Shihab terkait dengan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi psikisnya. Secara umum, ungkap Quraish Shihab, lelaki lebih cenderung kepada olahraga, berburu, pekerjaan yang melibatkan gerakan dibanding wanita. Lelaki secara umum cenderung kepada tantangan dan perkelahian, sedangkan perempuan cenderung kepada kedamaian dan keramahan; lelaki lebih agresif dan suka ribut, sementara wanita lebih tenang dan tenteram.41 Kemudian kedua, tentang bukti disebabkan karena mereka telah menafkahi sebagian harta mereka, Quraish Shihab menjelaskan bahwa bentuk kata kerja past tense/masa lampau yang digunakan ayat ini “telah menafkahkan”, dalam terjemahan HAMKA “belanjakan”, menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini. Sedemikian lumrah hal tersebut, sehingga langsung digambarkan dengan bentuk kata kerja masa lalu yang menunjukkan terjadinya sejak dahulu. Penyebutan konsideran itu oleh ayat ini menunjukkan bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku hingga kini. 42 Namun demikian, Nasaruddin memiliki pandangan yang berbeda. Karena, menurutnya, ayat yang kita bicarakan ini tidak tepat dijadikan alasan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin di dalam masyarakat. Muhamad Abduh,
40
Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Volume 2, h.
41
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 426. Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 428.
426. 42
59
menurut Nasaruddin, dalam Al-Manar-nya tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan, karena ayat di atas tidak menggunakan kata (oleh karena Allah telah memberikan kelebihan kepada laki-laki) tetapi mengunakan kata
(oleh karena Allah telah
memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang lain).43 Oleh karena itu, penting juga untuk dicatat, dalam konteks apa Allah telah memberikan laki-laki fadhl (yakni, preferensi atau kelebihan) atas perempuan. Asghar, yang mengutip pandangan Muhammad Asad, menganggap bahwa hal ini sebagai pemberian tanggung jawab yang lebih kepada laki-laki daripada perempuan. Bukan menganggap itu sebagai seperioritas laki-laki atas perempuan seperti pandangan penafsir kenservatif di atas. Karena, di masa itu laki-lakilah yang mencari nafkah dan memberikannya kepada istri mereka, meskipun secara teoritis perempuan juga dapat mencari nafkah. Tetapi, secara sosiologis dikatakan bahwa pada masyarakat awal Islam, sebetulnya perempuan tidak mencari nafkah. Sebagaimana perempuan lain di seluruh dunia, mereka bergantung kepada lakilaki untuk memenuhi biaya hidup. Kelebihan ini, dengan kata lain, lebih bersifat sosiologis daripada bersifat ketuhanan.44 Terlepas dari alasan-alasan di atas, hal paling penting untuk dikemukakan adalah bahwa kekurangan yang dimiliki perempuan tidak dengan sendirinya menjadikan perempuan harus dianggap lebih rendah dari laki-laki. Adalah ketidakadilan, jika faktor biologis ini kemudian dijadikan alasan untuk menetapkan batasan-batasan atas peran-peran dan aktualisasi diri perempuan dalam ruang dan waktu sosial mereka, seperti pandangan umum dalam 43 44
Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 150-151. Engineer, Pembebasan Perempuan, h. 70.
60
kebudayaan kita selama ini. Lebih tidak adil lagi jika mereka harus dikerangkeng dan dipojokkan ke dalam sudut-sudut tembok rumahnya atas nama apa pun,45 seperti pandangan HAMKA di atas. Dalam pandangan Sukron Kamil dalam artikelnya menjelaskan bahwa tersubordinasinya wanita oleh pria sehingga mengurusi soal domestik semata, bukan persoalan nature tetapi culture. Salah satunya, berawal dari pembagian tugas. Pada kebudayan tertentu, bahkan, perempuan pun menjadi kepala rumah tangga.
Lebih dari itu, dalam soal daya tahan (endurance), kata para ahli
psikologi, wanita lebih kuat daripada laki-laki. Sedangkan perbedaanya dengan laki-laki dalam bidang kekuatan fisik pun, dengan adanya teknologi, sekarang tidak lagi menjadi problem. Jadi, saat ini, hanya kemampuan intlektual dan kemampuan memimpin sajalah yang membedakan wanita dengan laki-laki. 46 Oleh karena itu, penafsiran atau penerjemahan HAMKA di atas bagaimanapun telah memberi arah bagi pembagian peran tetap laki-laki dan perempuan. Laki-laki berperan pada sektor publik (kemasyarakatan) dan perempuan berperan pada wilayah domestik (rumah tangga). Proses domestifikasi perempuan terus berlangsung dengan justifikasi pikiran keagamaan ini. Ketika kita mengatakan bahwa perbedaan jender tersebut bersifat kodrat, dalam istilah HAMKA sebuah “kenyataan”, maka ia akan berarti penempatan peran-peran dan fungsi-fungsi tersebut sebagai suatu yang normatif, yang berlaku tetap sepanjang zaman dan di mana-mana. Karena, seperti yang dijelaskan Husein Muhammad dalam Islam Agama Ramah Lingkungan: Pembelaan Kiai Pesantren, kekuasaan dan kekuatan laki-laki 45
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Lingkungan: Pembelaan Kiai Pesantren. (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 197. 46 Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita.”
61
yang memperoleh dasar legitimasi pikiran keagamaan secara tidak disadari ternyata menimbulkan perlakuan yang tidak adil terhadap kaum perempuan, semata-mata dia memiliki tubuh dan jenis kelamin perempuan. Pada gilirannya hal ini memberi dampak lebih luas bagi langkah-langkah perempuan di tengahtengah kehidupan sosial mereka.47 Padahal, pada peran-peran sosial yang dimiliki laki-laki dan perempuan sepenuhnya adalah konstruksi budaya. Perempuan memasak, lebih banyak mengurus rumah tangga dan anak, sedangkan laki-laki lebih banyak berada di luar rumah, sepenuhnya adalah proses hasil budaya, interaksi sosial, yang turun temurun dan bukan pembagian tugas dari Tuhan. Peran sosial tersebut pun mungkin saja berubah oleh waktu, tempat, dan keadaan sesuai dengan kondisi di wilayah tertentu.48 Berangkat dari dasar pemahaman sebagaimana dikemukakan oleh penafsir di atas maka ayat ini harus dipahami sebagai teks yang bersifat sosiologis dan kontekstual karena merujuk pada persoalan partikular. Menurut Husein Muhammad, posisi perempuan yang ditempatkan sebagai bagian dari laki-laki, dan laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga, sebenarnya muncul dalam suatu peradaban patriarki atau peradaban laki-laki. Di mana, ketergantungan perempuan terhadap laki-laki dalam aspek ekonomi dan kesamaan sangat kuat. Pada masyarakat seperti ini, penempatan posisi perempuan demikian boleh jadi memang tepat sepanjang dalam praktiknya tetap memerhatikan prinsip kemaslahatan (kebaikan). Oleh karena itu, redaksi ayat tersebut datang dalam bentuk narasi (ikhbar) yang dalam disiplin ilmu ushul fiqh hanya sebatas 47
Muhammad, Islam Agama Ramah Lingkungan: Pembelaan Kiai Pesantren, h. 83. Irfan Abu Bakar, dkk., Modul Pelatihan Agama dan Hak Asasi Manusia. (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2009), h. 109. 48
62
pemberitaan yang tidak mengindikasikan suatu ajaran (perintah agama). Asbab an-uzul ayat di atas juga memperkuat pandangan ini, di mana ia turun untuk memperkecil kekerasan penolakan masyarakat patriarki saat itu terhadap keputusan Nabi saw. yang memberi kesempatan kepada Habibah binti Zaid yang telah dipukul oleh suaminya untuk membalas (qishash) memukul kembali suaminya. Dengan demikian, lanjut Husein Muhammad, penafsiran-penafsiran yang mengatakan bahwa kepemimpinan hanya hak kaum laki-laki dan bukan hak kaum perempuan (seperti pandangan HAMKA di atas) adalah interpretasi yang sarat dengan muatan sosio-politik saat itu.49 Apabila penafsiran atau pemahaman ini bersifat sosiologis dan kontekstual maka terbuka kemungkinan bagi terjadinya proses perubahan. Dengan kata lain, posisi perempuan sebagai subordinat laki-laki juga memungkinkan untuk diubah pada waktu sekarang, mengingat format kebudayaannya yang sudah berubah. Karena, seperti konsep Gadamer, pemahaman bersifat historikal. Dan, karena agaknya tidak diragukan lagi bahwa cakrawala besar masa-lalu tempat kebudayaan dan masa-kini kita hidup, memengaruhi kita dalam setiap hal yang kita maui, kita harapkan atau kita takutkan dan khawatirkan di masa-depan. Gerak hitorikal merupakan inti pemahaman. Umumnya tanpa disadari, pemahaman adalah hasil interaksi masa-lalu dan masa-kini. Oleh karenanya, mengadakan revisi merupakan keharusan. Selalu mengadakan revisi adalah ciri hakiki pemahaman. Berkat derap perjalanan waktu—misalnya dari periode awal Islam sampai periode HAMKA atau dari periode HAMKA sampai periode kita—senantiasa akan terdapat aspek-aspek baru 49
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. (Yogyakarta: LKis, 2001), h. 26-27.
63
yang lagi terbebaskan dan tampil ke permukaan sehingga setiap interpretasi baru dapat dipandang sebagai potensialitas-potensialitas data tradisi.50 Dengan cara pandang demikian, menurut Husein Muhammad, setidaknya kita dapat memahami bahwa perempuan bukanlah makhluk Tuhan yang harus selalu dan selamanya dipandang rendah hanya karena dia perempuan, sebagaimana yang berlaku dalam tradisi dan kebudayaan patriarki. Pada saat yang sama, kita juga tidak selalu dan terus menerus menganggap salah ketika perempuan menjadi pemimpin, penanggung jawab, pelindung, dan pengayom bagi komunitas laki-laki, sepanjang hal itu tetap dalam kerangka kerahmatan, keadilan, dan kemaslahatan, atau kepentingan masyarakat luas. Penafsiran atau pemahaman dengan paradigma seperti ini, menurut Husein Muhammad, tidak terbatas pada hubungan laki-laki-perempuan dalam ruang domestik (suami-istri), tetapi juga berlaku untuk semua masalah hubungan kemanusiaan yang lebih luas atau persoalan-persoalan partikular lainnya yang terkait dengan dinamika sosial dan budaya.51 Bertolak dari tujuan untuk mengetahui apakah terjemahan HAMKA dalam tafsirnya, Tafsir Al-Azhar, secara hermeneutis mengandung bias atau tidak, maka di sini perlu dijelaskan sedikit tentang hermeneutik, yang dalam penulisan ini melihat dari teori hermeneutiknya Gadamer. Gadamer berpendapat bahwa hermeneutik adalah seni, bukan proses mekanis. Jika pemahaman adalah jiwa dari hermeneutik, maka pemahaman tidak
50 51
Poespoprodjo, Hermeneutika (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 94-95. Muhammad, Fiqih Perempuan, h. 27-28.
64
dapat dijadikan pelengkap proses mekanis. Pemahaman dan hermeneutik hanya dapat diberlakukan sebagai suatu karya seni. 52 Menurut Gadamer, pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan kita saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektik dan bahasa. Oleh karenanya, pemahaman selalu mempunyai posisi, misalnya posisi pribadi kita sendiri saat ini. Pemahaman tidak pernah bersifat objektif dan ilmiah. Sebab, pemahaman bukanlah “mengetahui” secara statis dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu, pada satu tempat khusus dalam kerangka ruang dan waktu, misalnya dalam sejarah. Semua ‘pengalaman yang hidup’ itu menyejarah, bahasa dan pemahaman juga menyejarah.53 Oleh karena itu, ayat di atas, dilihat dari sebab turunnya, konteks ayat itu membincangkan masalah nusuz atau konflik atau percekcokan dalam rumah tangga, maka sangat tidak masuk akal melakukan generalisasi terhadap maksud ayat
tersebut,
yang
kemudian
dipakai
untuk
menjustifikasi
kapasitas
kepemimpinan perempuan. Laki-laki sebagai qawwamûn (yang dalam Tafsir AlAzhar diterjemahkan menjadi “pemimpin”) telah dirasionalisasi sebagai “situasi ketergantungan perempuan dalam bidang ekonomi dan keamanan” (seperti penafsiran HAMKA di atas, yang menurut hemat Penulis penafsirannya melihat hanya dari adat masyarakat Minangkabau, tempat penafsir ini lahir dan menempa ilmu agama). Kalau ketergantungan itu tidak ada lagi, maka posisi qawwamûn pun bisa ditawar. Sekarang ini laki-laki dan perempuan memiliki kebebasan dan tanggung jawab yang sama di depan hukum, yang menjamin kesempatan ekonomi 52 53
Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 77. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, h. 81.
65
dan keamanan bagi segenap anggota masyarakat.54 Dengan demikian jelas bahwa penerjemahan HAMKA di atas, yang diperkuat dengan penafsirannya, benar mengandung bias jender. Lalu pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa penyebab dari penerjemahan dan penafsiran HAMKA yang bias jender itu? Sebelum pertanyaan ini dijawab, penting untuk diketahui faktor penyebab munculnya pemahaman yang bias jender dari seorang muslimah reformasi Indonesia, Siti Musdah Mulia. Musdah Mulia, ketika menuliskan kata pengantar di dalam bukunya Syafiq Hasyim, Bebas Dari Patriarkhisme Islam, mengatakan bahwa dalam konteks ajaran tentang posisi perempuan, disimpulkan paling tidak ada tiga faktor penyebab munculnya pemahaman keagamaan yang bias jender (yang kemudian pembagian ini juga berlaku untuk penerjemahan). Pertama, pada umumnya umat Islam lebih banyak memahami agama secara dogmatis, bukan berdasarkan penalaran kritis dan rasional, khususnya pengetahuan agama yang menjelaskan peranan dan kedudukan perempuan. Tidak heran jika pemahaman yang muncul adalah sangat ahistoris. Relasi jender dipandang sebagai sesuatu yang given, bukan socially constructed. Kedua, pada umumnya masyarakat Islam memperoleh pengetahuan keagamaan melalui ceramah dari para ulama – yang umumnya sangat bias jender dan bias nilai-nilai patriarkal – bukan berdasarkan kajian kritis dan mendalam terhadap sumber-sumber aslinya (Alquran dan Hadis). Ketiga, pemahaman tentang relasi laki-laki dan perempuan di masyarakat lebih banyak mengacu kepada pemahaman tekstual terhadap teks-teks suci,
54
Musdah, Muslimah Reformasi: Perempuan Pembaru Keagamaan, h. 42.
66
mengabaikan aspek kontekstualnya yang lebih mengedepankan prinsip egaliter dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Padahal, agama Islam bukan hanya sekedar tumpukan teks, melainkan seperangkat pedoman ilahiah yang diturunkan demi kebahagiaan dan kemaslahatan seluruh manusia: perempuan dan laki-laki.55 Dari pembagian menurut Musdah Mulia di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya bias jender dalam penerjemahan HAMKA di atas juga mempunyai tiga faktor penting. Pertama, secara umum HAMKA lebih banyak memahami agama secara dogmatis, bukan berdasarkan penalaran kritis dan rasional, khususnya pengetahuan agama yang menjelaskan tentang ayat kepemimpinan di
atas.
Kedua,
pada umumnya HAMKA memperoleh
pengetahuan keagamaan dari para ulama klasik, yang masih kental dan dipengaruhi oleh budaya patriarki, seperti guru-gurunya Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid, dan Zainuddin Labay, bukan berdasarkan kajian kritis dan mendalam terhadap sumber-sumber aslinya (Alquran dan Hadis). Ketiga, pemahaman tentang relasi laki-laki dan perempuan HAMKA lebih banyak mengacu kepada pemahaman tekstual terhadap teks-teks suci, mengabaikan aspek kontekstualnya yang lebih mengedepankan prinsip egaliter dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu tercermin dari penafsirannya bahwa menurut HAMKA ayat ini adalah jawaban dari pertanyaan apakah sebab yang terpenting dalam pembagian harta pusaka laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, mengapa laki-laki membayar mahar, mengapa kepada laki-laki jatuh perintah supaya menggauli istri
55
Syafiq Hasyim, Bebas dari Patriarkhisme Islam (Depok: KataKita, 2010), h. 17-18.
67
dengan baik, dan mengapa laki-laki diizinkan beristri sampai empat orang asal sanggup adil sedang perempuan tidak? Sebab, lanjut HAMKA, laki-laki itulah yang memimpin perempuan, bukan perempuan yang memimpin laki-laki, dan bukan pula sama kedudukan.56 Padahal turunnya ayat ini sudah jelas bukan berkaitan dengan konsep kepemimpinan, seperti yang terlihat dalam sebab turunya. Maka, siapa pun—laki-laki atau perempuan—bisa menjadi pelindung bagi sebagian yang lain selagi itu untuk kemaslahatan dan kebaikan bersama, baik dalam keluarga (domestik) atau pun dalam masyarakat (publik). Namun, secara khusus, sebab hermeneutik dalam terjemahan HAMKA yang bias jender di atas bisa dilihat dari latar belakang sejarah penulisan Tafsir Al-Azhar dan budaya yang mempengaruhi ideologi penafsir ini. Latar belakang penulisan tafsir ini, seperti yang sudah dijelaskan dalam riwayat penafsir, ditulis ketika penafsir dalam tahanan. Keadaan ini membuat penulisan tafsir ini tidak maksimal. Hal ini terlihat dari penafsirannya, yaitu sebagai pangkal dari penerjemahannya, hanya terfokus secara tekstualitas dan akhirnya mengabaikan sisi kontekstual ayat. Sehingga yang melekat hanyalah unsur-unsur subyektifitas penafsir. Dengan demikian, HAMKA, dalam kasus ayat di atas, menolak dengan keras kepemimpinan perempuan. Menurutnya, hanya laki-lakilah yang harus menjadi pemimpin. Jika HAMKA membandingkan dalam menerjemahkan ayat di atas dengan ayat tentang hak laki-laki dan perempuan, yang akan dibahas selanjutnya, mungkin terjemahannya tidak akan demikian. Karena, dalam penerjemahan tentang hak laki-laki dan perempuan, kemudian diperkuat dengan tafsirnya, HAMKA mengakui bahwa yang dapat menjadi
56
HAMKA, Tafsir al-Azhar Juz V, h. 46.
68
pemimpin bukan hanya laki-laki atas perempuan, melainkan sebaliknya, perempuan juga dapat menjadi pemimpin bagi laki-laki. Karena keduanya memiliki tanggung jawab yang sama; amar ma’ruf nahi mungkar. Sedangkan budaya yang mempengaruhi ideologi HAMKA tampaknya masih dikuasai oleh budaya patriarki. Sehingga penerjemahan dan penarsirannya pun mengandung unsur patriarki. Dalam kasus ayat ini, HAMKA telah menyebarkan konsep mengenai superioritas laki-laki atas perempuan. Maka, penerjemahannya juga menunjukkan adanya superioritas laki-laki. Dengan demikian, secara hermeneutis, penerjemahan HAMKA benar-benar mengandung bias jender. Untuk itulah penerjemahan ayat ini harus berubah, seperti terjemahan Muhammad Asad yang di kutip oleh Asghar Ali Engineer, sebagai berikut: “Laki-laki (suami) hendaknya menjaga perempuan (istri) sepenuhnya dengan bertanggung jawab karena Allah telah melimpahkan lebih banyak beban kepada laki-laki (suami) daripada perempuan (istri), dan dengan apa yang mereka nafkahkan dari apa yang mereka miliki. Dan, perempuan yang bertakwa adalah yang paling beriman, yang memelihara kerukunan yang telah (ditakdirkan) Allah untuk dipelihara. Dan, bagi (mereka) perempuan yang sakit hati, kamu mempunyai alasan untuk takut maka pertama nasehatilah mereka, kemudian tinggalkanlah sendiri di tempat tidur, kemudian pukullah mereka, dan apabila mereka memberikan perhatian kepadamu, janganlah mencari kesalahan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah jelas Mahatinggi lagi Mahabesar,” (QS. An-Nisa [4]: 34).57
57
Engineer, Pembebasan Perempuan, h. 69.
69
Dari penerjemahan Muhammad Asad di atas, maka, hemat Penulis, penerjemahan ayat tentang kepemimpinan, seperti pandangan umum, ini setidaknya menjadi selamat dari penerjemahan yang bias jender yang kemudian menghasilkan pemahaman yang anti bias jender. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini Penulis akan jelaskan tentang ayat-ayat pembanding dengan ayat kepemimpinan di atas.
C. Ayat Pembanding Untuk membandingkan ayat tentang kepemimpinan di atas, Penulis hanya membandingkan dengan dua ayat; ayat tentang hak laki-laki dan perempuan (QS. At-Taubah [9]: 71) dan ayat tentang Ratu Balqis (QS. An-Naml [27]: 23). Karena ini hanyalah ayat pembanding, maka di sini Penulis akan jelaskan secara singkat. Dengan harapan bahwa pemahaman atau penerjemahan HAMKA tentang ayat kepemimpinan di atas bisa diubah, sehingga tidak menunjukkan ketimpangan. Karena melihat dari kenyataannya, bahwa bagi laki-laki dan perempuan, masingmasing akan memperoleh bagian (pahala) sesuai dengan usahanya.58
a. Ayat tentang Hak Laki-laki dan Perempuan Keyakinan bahwa hanya Allah yang patut dipertuhankan dan tidak ada siapa pun dan apa pun yang setara dengan Allah, meniscayakan kesamaan dan kesetaraan semua manusia dihadapan Allah, baik sebagai hamba maupun sebagai khalifah. Sebagai khalifah di bumi, tugas manusia adalah membawa kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan kemuliaan di alam semesta. Satu hal yang paling
58
QS. 4:32 atau QS. 33:35.
70
penting untuk menuju ke sana adalah adanya kesadaran untuk menegakkan kebenaran, mendorong terwujudnya hal-hal yang baik dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak benar. Tugas ini tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis manusia, sementara satu jenis yang lain melakukan hal yang sebaliknya. Sebagai manusia yang sama-sama mengemban tugas kekhalifahan, laki-laki dan perempuan diperintahkan oleh Tuhan untuk saling bekerja sama, bahu-membahu dan saling mendukung dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar demi menciptakan tatanan dunia yang benar, baik, dan indah dalam ridha Allah. 59 Allah berfirman:
Ç`tã tböqyg÷Ztƒur Å$rã•÷èyJø9$$Î/ šcrâ•ßDù'tƒ 4 <Ù÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& öNßgàÒ÷èt/ àM»oYÏB÷sßJø9$#ur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur y7Í´¯»s9'ré& 4 ÿ¼ã&s!qß™u‘ur ©!$# šcqãèŠÏÜãƒur no4qx.¨“9$# šcqè?÷sãƒur no4qn=¢Á9$# šcqßJŠÉ)ãƒur Ì•s3ZßJø9$# ÇÐÊÈ ÒOŠÅ3ym ͕tã ©!$# ¨bÎ) 3 ª!$# ãNßgçHxq÷Žz•y™ HAMKA menerjemahkan ayat di atas dengan, “Dan laki-laki yang beriman dan perempuan-perempuan yang beriman, yang setengah mereka adalah pemimpin bagi yang setengah. Mereka itu menyuruh berbuat ma’ruf dan melarang yang munkar, dan mereka mendirikan sembahyang dan mengeluarkan zakat, dan mereka pun ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu adalah orang-orang yang akan diberi Rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Gagah, lagi Maha Bijaksana,” (QS. At-Taubah [9]: 71).60
59 60
Musdah, Muslimah Reformasi: Perempuan Pembaru Keagamaan, h. 32. HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz X (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980), h. 291.
71
Jika kita perhatikan terjemahan HAMKA di atas, maka kita akan mendapat kata yang sedang kita bicarakan, “pemimpin”. Kata ini diterjemahkan dari kata auliyâ. Maka kepemimpinan ini, seperti yang tergambar pada ayat di atas, bukanlah milik salah satu jenis kelamin tertentu secara pasti, melainkan bagi siapa saja yang beriman, laki-laki ataupun perempuan. Dalam tafsirnya HAMKA menceritakan suatu peperangan. Di sana, banyak perempuan yang ikut serta. Menurutnya, dalam Perang Khaibar, banyak perempuan pergi dan turut mengerjakan pekerjaan yang layak bagi perempuan. Kadang-kadang, lanjutnya, pun turut mengangkat senjata, sehingga seketika membagi ghanimah, mereka pun diberi bagian oleh Rasulullah saw. Sampai pun setelah beliau wafat, Binti Malhan turut pergi berperang ke Cyprus, menurutkan suaminya Ubbadah bin Shamit, dan syahid dalam peperangan itu. Sebab di waktu masih di Mekah sebelum pindah ke Madinah, Rasulullah pernah tertidur siang hari seketika berteduh di rumahnya, lalu beliau bermimpi bahwa kelak akan ada umatnya berjuang, jihad fi sabilillah menempuh lautan. Maka Binti Malhan memohon kepada Rasulullah supaya mendoakan agar dia turut hendaknya dalam Angkatan Laut itu. Lalu Rasulullah bersabda, “Engkau akan turut dalam peperangan itu!” Lebih dua puluh tahun setelah Rasulullah wafat, barulah bertemu apa yang diharapkannya, dan terkabul doa Rasulullah, Binti Malhan turut dalam Armada Islam ke pulau Cyprus. Dengan contoh kejadian di zaman Rasulullah di atas, jelas HAMKA, kita melihat apa artinya bahwa laki-laki beriman dengan perempuan-perempuan beriman adalah yang sebagian jadi pemimpin bagi yang lain. Artinya perempuan
72
pun ambil bagian yang penting di dalam menegakkan agama. Bukan laki-laki saja.61 Namun Quraish Shihab menjelaskan bahwa pengertian kata auliyâ di sini, mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan. Sedangkan pengertian menyuruh yang makruf mecakup segala segi kebaikan/perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat/kritik kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakatnya agar masing-masing mampu melihat dan memberi saran/nasihat dan kritik dalam berbagai bidang kehidupan.62 Apabila kita pandang ayat ini dari segala seginya, menurut HAMKA, niscaya akan kelihatanlah bahwa kedudukan perempuan mendapat jaminan yang tinggi dan mulia. Terang dan nyata kesamaan tugasnya dengan laki-laki. Samasama memikul kewajiban dan sama-sama mendapat hak. Pahit dan manis beragama sama-sama ditanggungkan. Lebih jelas lagi bahwa dalam beberapa hal, bukan saja laki-laki yang mejadi pemimpin perempuan, bahkan perempuan memimpin laki-laki (ba’dhum auliyâu ba’din).63 Dengan demikian, perempuan dan laki-laki memiliki peran dan tanggung jawab sosial yang sama. Hal ini sangat masuk akal karena tugas kekhalifahan tidak hanya dibebankan Alquran ke pundak laki-laki, tetapi juga ke perempuan. Seperti dijelaskan di atas, laki-laki maupun perempuan, sama mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar.
61
HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz X, h. 292-293. Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 381. 63 HAMKA, Kedudukan Perempuan dalam Islam, h. 8. 62
73
b. Ayat tentang Ratu Balqis Kaum perempuan pada masa Rasulullah digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan, dan bebas, tetapi tetap terpelihara akhlaknya. Bahkan, dalam Alquran, figur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang mempunyai kompetensi di bidang politik, seperti figur Ratu Balqis yang mengepalai sebuah kerajaan adikuasa.64 Dalam hal ini Allah berfirman:
ÇËÌÈ ÒOŠÏàtã î¸ö•tã $olm;ru &äóÓx« Èe@à2 `ÏB ôMuŠÏ?ré&ur öNßgà6Î=ôJs? Zor&t•øB$# ‘N‰y`ur ’ÎoTÎ) HAMKA menerjemahkan ayat ini dengan, “Aku dapati seorang perempuan menjadi raja mereka dan dia dikurniai dari tiaptiap sesuatu dan dia mempunyai suatu singgasana yang besar,” (QS. An-Naml [27]: 23).65 Ayat di atas merupakan berita tentang seorang perempuan yang menjadi raja di negeri Saba’. Berita inilah, seperti yang dikisahkan HAMKA dalam tafsirnya, yang diceritakan burung Hudhud kepada Raja Sulaiman. Ada dua tema yang diceritakan oleh Hudhud. Pertama tentang jawaban yang berisi keyakinan burung Hudhud bahwa hal rahasia yang diketahuinya ini belum diketahui oleh Baginda Nabi-Raja Sulaiman. Sebab itu dia berani mengatakan bahwa dia lebih tahu dari beliau dalam hal itu. Kedua dia katakan bahwa dia kembali dari perjalanan jauh, yaitu ke negeri Saba’ yang terletak di Selatan Jazirah Arab. Sedang Kerajaan Nabi Sulaiman terletak di sebelah Utara. Berita yang dibawanya ini bukan berita dari orang ke orang, melainkan hasil penyelidikannya sendiri. Sebab itu dikatakannya berita “yakin”.
64 65
Musdah, Muslimah Reformasi: Perempuan Pembaru Keagamaan, h. 43. HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz XIX - XX (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 199.
74
“Aku dapati seorang perempuan menjadi raja mereka,” menurut HAMKA, sebagai lanjutan dari berita yakin itu, yang Raja tidak tahu. Seorang perempuan jadi raja dari negeri Saba’ tersebut, padahal di negeri-negeri lain hanya laki-laki yang menjadi raja. Lalu diteruskannya pula menerangkan keistimewaan dan kebesaran atau kekayaan negeri itu: “Dan dia dikaruniai dari tiap-tiap sesuatu.” Artinya, HAMKA menjelaskan, bahwa negeri Saba’ yang diperintah oleh raja perempuan itu adalah sebuah negeri yang kaya raya. Apa saja yang diingini oleh raja perempuan itu dapat saja disediakan.66 Jika kita hendak mengetahui Ratu Balqis, tentu saja kita harus tahu kisahnya. Karena hanya kisahnya yang membuat kita percaya dan mengetahui bahwa kisah ini benar-benar ada dan telah dicatat abadi dalam kitab suci, Alquran. Diceritakan, pada suatu ketika Hudhud (seekor burung milik Nabi Sulaiman) terbang jauh, terpisah dari Sulaiman dan rombongannya. Mungkin keasyikan menikmati cakrawala yang luas tak terbatas, ia lalu tersesat. Dengan kehendak Allah burung itu mengarah ke Selatan sampai ke negeri Yaman. Dari langit kota Ma’rab (sebuah kota kuno, ibukota kerajaan Saba’), Hudhud melihat parade besar manusia dipimpin seorang wanita. Dari mahkota yang dikenakan di atas kepalanya, Hudhud tahu wanita itu adalah ratu mereka. Ia dikelilingi lautan manusia yang terdiri dari para pembesar kerajaan dan kaum pendeta. Semua menatap ke arah matahari, bukan Allah; tuhan yang dikenal Hudhud sebagai pencipta segala sesuatu dan pengatur semua urusan, termasuk matahari.
66
HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz XIX - XX, h. 201.
75
Tentu saja Hudhud heran. Ia terus meluncur di udara, mendekat ke bangunan megah di jantung ibu kota. Ia dengar orang-orang menyebut bangunan itu istana. Hudhud berusaha masuk. Dan, alangkah takjub ia menyaksikan singgasana yang begitu elit dan megah bertatakan permata kelas wahid.67 Singkat cerita, ketika itu Hudhud melaporkan hal tersebut kepada Sulaiman. Kemudian Sulaiman memerintah Hudhud untuk memberikan surat kepada Ratu Saba’, Balqis. Di dalam surat itu, Sulaiman meminta Ratu Balqis dan orang-orangnya datang menghadap dalam keadaan berserah diri dan menerima agama Allah Yang Esa.68 Dari ajakan Sulaiman itu, Ratu Balqis pun mengikuti ajaran yang dibawa Sulaiman. Kemudian Ratu Balqis mengungkapkan isi hatinya bahwa ia telah yakin akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan yang disembah Sulaiman. Lebih lengkap ia berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah zalim kepada diriku sendiri, (kini) aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.69 Dengan keputusan yang diambil oleh Ratu Balqis untuk tunduk dan berserah kepada Allah, akhirnya diikuti oleh orang-orangnya. Mereka semua mengikuti Ratu mereka, yakni bukan lagi menyembah matahari, melainkan hanya menyembah Allah Swt. Dari kedua ayat pembanding di atas sudah jelas bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan, seperti yang dipahami banyak orang, bukanlah kepemimpinan yang mutlak. Hal itu bisa saja berubah sesuai dengan berubahnya kondisi dan sosial sekitar. Demi menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, maka siapa pun dia, laki-laki maupun perempuan, sama-sama memiliki tanggung jawab 67
Fathi Fawzi ‘Abd al-Mu’thi, Wanita-Wanita Al-Quran: Kisah Nyata PerempuanPerempuan Hebat yang Dicatat Abadi dalam Kitab Suci. Pnj. Asy’ari Khatib (Jakarta: Zaman, 2010), h. 216-217. 68 al-Mu’thi, Wanita-Wanita Al-Quran, h. 220. 69 al-Mu’thi, Wanita-Wanita Al-Quran, h. 228.
76
yang seimbang. Karena Alquran sudah jelas-jelas menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan, sebagian mereka adalah auliya bagi sebagian yang lain. Oleh karena itu, bukan hanya laki-laki yang bisa memimpin perempuan, melainkan perempuan pun bisa menjadi pemimpin bagi kelompok laki-laki, seperti Ratu Balqis yang menjadi pemimpin negeri Saba’, yang tentu saja di dalamnya bukan hanya kaum perempuan tetapi juga laki-laki. Dari sini, kita menemukan pemahaman HAMKA pada ayat tentang kepemimpinan dengan hak laki-laki dan Ratu Balqis sangat bertolak belakang. Di satu sisi, ketika menjelaskan tentang kepemimpinan, HAMKA benar-benar tidak memberi peluang kepada perempuan untuk menentukan hak-haknya. Perempuan hanya bisa menerima kenyataan bahwa laki-lakilah yang mempunyai wewenang untuk memimpin mereka dan menolak kepemimpinan perempuan. Namun di sisi yang lain, ketika mejelaskan ayat tentang hak laki-laki dan perempuan atau tentang Ratu Balqis, HAMKA menjelaskan bahwa bukan hanya laki-laki yang bisa memimpin perempuan, tetapi perempuan juga bisa memimpin laki-laki. Dengan kata lain, HAMKA sebetulnya menerima kepemimpinan yang dipegang oleh seorang perempuan, bahkan ia pun menyarankan hal itu. Karena laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman, yang setengah mereka (laki-laki atau perempuan) adalah pemimpin bagi yang setengah (laki-laki atau perempuan). Namun, karena pada masanya budaya patriarki masih merajalela, maka terjemahan HAMKA tentang kepemimpinan menjadi tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk menegakkan hak-haknya sebagai manusia yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar.
77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan “Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan-perempuan, lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas yang sebahagian, dan dari sebab apa yang mereka belanjakan dari harta benda mereka,” (Qs. An-Nisa [4]: 34). Dari terjemahan HAMKA di atas dan setelah Penulis analisis, maka dapat disimpulkan bahwa ternyata jelas-jelas secara hermeneutis penerjemahan tersebut mengandung bias jender. Karena dari terjemahan yang kemudian diperkuat oleh tafsirnya, HAMKA menetapkan bahwa laki-laki (bagaimana pun laki-laki itu) kenyataannya akan dan harus menjadi pemimpin atas perempuan. Dalam kasus ayat ini, ia tidak memeberi cela sedikit pun kepada perempuan. Di sini perempuan hanya dituntut tutup mulut dan tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa penyebab hermeneutis dari penerjemahan HAMKA yang bias jender itu? Sebab hermeneutik dalam terjemahan HAMKA yang bias jender di atas bisa dilihat dari penafsirannya. Mungkin, sebabnya antara lain pemahaman HAMKA dipengaruhi oleh ulama-ulama klasik yang mayoritas—seperti yang banyak diketahui—laki-laki. Pemahamannya juga, yaitu sebagai pangkal dari penerjemahannya,
hanya
terfokus
pada
tekstualitas
ayat
dan akhirnya
mengabaikan sisi kontekstualitas ayat. Sehingga yang melekat hanyalah unsurunsur subyektifitas penafsir. Dengan demikian, HAMKA, dalam kasus ayat di atas, menolak dengan keras kepemimpinan perempuan. Menurutnya, hanya lakilakilah yang harus menjadi pemimpin.
77
78
Jika saja HAMKA membandingkan dalam menerjemahkan ayat di atas dengan ayat tentang hak laki-laki dan perempuan, yang sudah dibahas dalam bab IV, mungkin terjemahannya tidak akan demikian. Karena, dalam penerjemahan tentang hak laki-laki dan perempuan, kemudian diperkuat dengan tafsirnya, HAMKA mengakui bahwa yang dapat menjadi pemimpin bukan hanya laki-laki atas perempuan, melainkan sebaliknya, perempuan juga dapat menjadi pemimpin bagi laki-laki. Karena keduanya memiliki tanggung jawab yang sama; amar ma’ruf nahi mungkar. Maka, budaya yang mempengaruhi ideologi HAMKA pun tampaknya masih dikuasai oleh budaya patriarki. Sehingga penerjemahan dan penafsirannya pun mengandung unsur patriarki. Dalam kasus ayat ini, HAMKA telah menyebarkan konsep mengenai superioritas laki-laki atas perempuan. Maka, penerjemahannya juga menunjukkan adanya superioritas laki-laki. Dengan demikian, di sini perlu sekali adanya penawaran dan perubahan masyarakat yang patriarki agar masalah pembiasan jender, khususnya dalam penerjemahan, dapat dihilangkan atau paling tidak dapat berkurang. Karena jika selama masyarakat patriarki merupakan model relasi sosial di kalangan masyarakat atau model di dunia penerjemahan, maka selama itu pula pembiasan jender akan terus dipakai.
B. Saran Mencermati pembiasan jender tersebut, Penulis ingin memberikan beberapa catatan sebagai saran untuk mengarahkan kita pada suatu cita-cita agar bias jender dalam penerjemahan bisa terhindarkan.
79
1. Memahami agama bukan secara dogmatis, dan berdasarkan penalaran yang kritis, khususnya tentang pemahaman agama yang menjelaskan peranan dan kedudukan perempuan. 2. Memperoleh pengetahuan agama melalui ceramah yang bukan hanya disampaikan oleh para ulama laki-laki, tapi coba dengarkan ceramah ulama perempuan yang pada saat ini sudah mulai bermunculan dan juga memiliki keilmuan yang mapan. Dan, memahami berdasarkan kajian yang mendalam terhadap sumber aslinya (Alquran dan Hadis). 3. Mampu membedakan mana ajaran agama yang bersifat mutlak dan absolut yang tidak dapat diubah sebagaimana tercantum dalam teks-teks suci, dan mana ajaran yang relatif dan dapat diubah dalam bentuk penafsiran dan interpretasi ulama. Dalam koteks Islam, perlu dibedakan mana ajaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya dan mana ajaran yang merupakan hasil ijtihad atau pemikiran ulama.
Akhir kata, Penulis membuka ruang perbincangan dan mohon maaf atas kesalahan agar diperbaiki di masa-masa yang akan datang.
80 DAFTAR PUSTAKA Bakar, Irfan Abu, dkk. Modul Pelatihan Agama dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2009. Bhasin, Kamla. Memahami Gender. Pnrj. Moh. Zaki Hussein. Jakarta: TePlok Press, 2001. E. Palmer, Richard. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi. Pnrj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Engineer, Asghar Ali. Pembebasan Perempuan, Pnrj. Agus Nuryanto. Yogyakarta: LKiS, 2007. Graddol, David dan Joan Swann. Gender Voices: Telaah Kritis Relasi BahasaJender. Jakarta: Pedati, 2003. Grondin, Jean. Sejarah Hermeneutik: Dari Plato Sampai Gadamer. Pnrj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008. Hamid Abu Zaid, Nashr. Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. Pnrj. Muhammad Mansud, dkk. Jakarta: ICIP, 2004. Hamka. Tafsir Al-Azhar Juz V. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983. ___________. Tafsir Al-Azhar Juz III – IV. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996. ___________. Tafsir Al-Azhar Juz XIX – XX. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. ___________. Tafsir Al-Azhar Juz X. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980. ___________. Tasauf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003. ___________. Kedudukan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996. Hasyim, Syafiq. Bebas dari Patriarkhisme Islam. Depok: KataKita, 2010. Hidayat, Komarudin. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Teraju, 2004. Ismail, Nurjannah. Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran. Yogyakarta: LKiS, 2003. J. Semler, Vicki, dkk. Hak Asasi Perempuan: Sebuah Panduan pada KonvensiKonvensi PBB tentang Hak Asasi Perempuan. Pnj. Embun. Jakarta: YJP, 2001.
80
81 Kamil, Sukron. Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern. Jakarta: Rajawali Pers, 2009. ___________. “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita.” Artikel diakses pada 27 Agustus 2010 dari http://www.csrc.or.id/artikel/index.php?detail =20100712091031. ___________, dkk. Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Latif, Ahmad Azharuddin, dkk. Pengantar Fiqh. Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2005. Lubis, Ismail. Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001. Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo, 2000. Madjid, Nurcholish. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 2009. Muhammad, Husein. Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS, 2001. ___________. Islam Agama Ramah Lingkungan: Pembelaan Kiai Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2009. Mulia, Siti Musdah. Islam and Violence Against Women. Jakarta: LKAJ, 2005. ___________. Muslimah Reformasi:Perempuan Pembaru Keagamaa. Bandung: Mizan, 2005. Al-Mu’thi, Fathi Fawzi ‘Abd. Wanita-Wanita Al-Quran: Kisah Nyata Perempuan-Perempuan Hebat yang Dicatat Abadi dalam Kitab Suci, Pnrj. Asy’ari Khatib. Jakarta: Zaman, 2010. Poespoprodjo. Hermeneutika. Bandung: Pustaka Setia, 2004. Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Alquran. Pnrj. Mudzakir AS. Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Volume 2. Jakarta: Lentera Hati, 2007. ___________. Perempuan. Jakarta: Lentera Hati, 2005. Siddique, Kaukab. Menggugat “Tuhan Yang Maskulin”, Pnrj. Arif Maftuhin. Jakarta: Paramadina, 2002.
82 Sihite, Romany. Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. Jakarta: Rajawali Pers, 2007. Sumaryono. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1999. Syihabuddin. Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek). Bandung: Humaniora, 2005. Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi. Jakarta: UIN Jakarta, 2007. Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Pnrj. Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra, 2008. Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender. Jakarta: Paramadina, 2001. Yatim, Badri. “HAMKA.” Dalam Nina M. Armando… [et al.], ed., Ensiklopedi Islam, vol. II. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.