ALTERNATIF PENGEMBANGAN TAFSIR AL-QUR’AN BERDASARKAN PENDEKATAN HERMENEUTIK
Fuad Ramly Program Doktor Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Email:
[email protected] ABSTRACT The hermeneutic is contemporarily understood as a study on the methodological principles of interpretation and explanation. As a philosophical and scientific study, it can be a methodological base to develop tafsir Al-Qur’an. Based on the hermeneutical approach, tafsir Al-Qur’an can be developed through understanding its objects, methods, and significance. To this end, the development of tafsir Al-Qur’an which relevant with the perspective of moslem’s needs will be realized. Kata kunci: pendekatan hermeneutik; tafsir Al-Qur’an; metodologi
PENDAHULUAN Istilah “hermeneutika” – yang dewasa ini sangat populer dan signifikan dalam dunia kefilsafatan dan keilmuan pada umumnya, masih dipandang asing dan kontradiktif oleh sekelompok eksponen Ilmu-ilmu Keislaman, terutama para penggiat Ilmu Tafsir dan Studi Al-Qur’an. Pandangan tersebut, di satu sisi, memang sangat beralasan lantaran hermeneutika pada mulanya dipergunakan sebagai metode penafsiran Injil (Bible) oleh para filsuf dan pendeta Kristiani. Akan tetapi jika mencermati perjalanan hermeneutika dari masa ke masa, cara pandang semacam itu sesungguhnya keliru. Sepanjang sejarahnya hingga sekarang, hermeneutika telah dimaknai dan dipergunakan dalam konteks yang sangat luas dan beragam, dari penafsiran kitab suci (biblical interpretation), pemahaman kefilsafatan (philosophical understanding), hingga interpretasi keilmuan (scientific interpretation). Dalam Webster’s Third New International Dictionary disebutkan bahwa hermeneutika adalah “the study of the methodological principles of interpretation and explanation”.1 (kajian tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi). Pengertian tersebut telah mengalihkan pemahaman hermeneutika dari wilayah teologis keagamaan (biblical interpretation) kepada ranah metodologis kefilsafatan dan keilmuan. Hermeneutika sudah menjadi bagian penting dari penyelidikan tentang alam dan manusia, karena problematika tentang alam dan manusia termuat di dalam berbagai teks bahasa yang harus diinterpretasikan. _____________ 1
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 1969, 4. Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
23
Artikel ini difokuskan untuk menelaah alternatif pengembangan tafsir AlQur’an berdasarkan perspektif hermeneutika filosofis (kefilsafatan), sebagai suatu pendekatan hermeneutik. Pendekatan hermeneutik dipergunakan untuk merumuskan konstruksi metodologis penafsiran Al-Qur’an, bukan teori atau metode tafsir Al-Qur’an. Dengan kata lain, artikel ini tidak membahas persoalan pemahaman Al-Qur’an berdasarkan Ilmu Tafsir sebagaimana yang lazim berkembang dewasa ini. Artikel ini hanya menawarkan alternatif pemahaman baru landasan operasional penafsiran Al-Qur’an, sebagai salah satu kontribusi bagi pengayaan khazanah pemahaman tentang Al-Qur’an. PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN TAFSIR AL-QUR’AN Tafsir Al-Qur’an telah berkembang begitu pesat dalam kurun waktu yang sudah cukup lama, yaitu sejak Al-Qur’an itu diturunkan ke dunia ini dan ditafsirkan oleh Rasulullah SAW sebagai mufassir pertama. Di satu sisi, perkembangan tersebut telah menghasilkan, tidak hanya Ilmu Tafsir, tetapi juga sejumlah karya (kitab) tafsir monumental, berbagai metode, pendekatan, corak, aliran dan paradigma pemahaman yang telah ikut serta memperkaya khazanah Keislaman hingga masa sekarang. Karena itu tidak ada kajian Keislaman, apa pun bidang keilmuannya, yang terlepas dari tafsir Al-Qur’an karena seluruh ajaran Islam terkandung dalam Al-Qur’an sebagai sumber utamanya. Namun di sisi lain, perkembangan tafsir Al-Qur’an tersebut tentu saja tidak luput dari berbagai persoalan dan kekurangannya lantaran keterbatasan pemahaman manusia tentang kandungan Al-Qur’an itu sendiri. Terlebih lagi pada masa sekarang ketika umat Islam berhadapan dengan kompleksitas kemajuan jaman yang semakin dinamis, yang menuntut adanya bentuk-bentuk pemahaman baru tentang Al-Qur’an secara lebih progresif dan inovatif melampaui khazanah pemahaman yang telah ada. Munculnya berbagai tanggapan dan kritik ulama Islam kontemporer terhadap paradigma penafsiran Al-Qur’an, meskipun melahirkan polemik dan kontroversi bagi kalangan tertentu, pada dasarnya juga bersifat konstruktif dan kontributif dalam rangka mengelaborasi kandungan Al-Qur’an yang senantiasa relevan dengan setiap konteks “ruang dan waktu” (li kulli makan wa li kulli zaman). Karena itu tanggapan dan kritik kontemporer tersebut umumnya tertuju pada aspek kelemahan penafsiran Al-Qur’an, yang berdasarkan perspektif, konteks, dan berbagai tuntutan kebutuhan umat Islam masa sekarang. Mohammed Arkoun mensinyalir kelemahan tafsir Al-Qur’an periode klasik akibat kekacauan linguistik, dan kelemahan tafsir Al-Qur’an kontemporer karena ketidakteraturan semantik, yang pada gilirannya memunculkan distorsi pemahaman terhadap Al-Qur’an itu sendiri.2 Demikian halnya Maurice Bucaille yang membeberkan kekeliruan para intelektual Islam modern dalam memahami kandungan Al-Qur’an tentang sains akibat sikap pemahaman yang tidak kritis dan kurangnya wawasan ilmiah-empiris.3 Kritik-kritik tersebut, jika dicermati lebih seksama, memang sangat beralasan karena keluasan kandungan makna Al-Qur’an tidak mungkin dapat _____________ 2
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Terjemahan Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq, Yogyakarta: LPMI dan Pustaka Pelajar, 1996, 66 -67. 3 Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern, Cet.II, Terjemahan M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, 176. 24
Fuad Ramly: Alternatif Pengembangan Tafsir Al-Qur’an…
dipahami dengan baik, untuk tidak mengatakan sempurna, jika hanya mengandalkan keterbatasan “perangkat-perangkat” pemahaman yang tidak tahan uji dan belum sepenuhnya memadai. Al-Qur’an memang bukan teori filsafat atau metode ilmiah yang sifatnya profan, namun bukan berarti Al-Qur’an harus terhindar dari paradigma penyelidikan ilmiah dan filosofis yang telah berkembang maju pada masa sekarang. Al-Qur’an merupakan hudan linnas, sebagai world view (Pandangan Dunia) dan ideologi kehidupan yang bermuatan nilai-nilai dasar, abadi dan universal, yang harus diuraikan dan diimplementasikan ke dalam kehidupan umat Islam dalam berbagai aspeknya. Upaya tersebut tentu saja tidak akan terlaksana tanpa proses penafsiran yang didukung oleh berbagai pendekatan pemahaman yang relevan dengan misi dan tujuan diturunkannya Al-Qur’an. Asumsi dasar tersebut relevan dengan pandangan Yusuf al-Qaradhawi yang menegaskan pentingnya pelaksanaan ijtihad dalam masalah-masalah baru akibat perubahan zaman dan situasi, sebagai fardhu kifayah bagi umat Islam.4 Pentingnya ijtihad-ijtihad masa kini dalam mengembangkan penafsiran atas AlQur’an bukan semata-mata dilandasi keimanan kepada Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan. Lebih dari itu, upaya ijtihad untuk memahami Al-Qur’an juga sekaligus sebagai kebutuhan pragmatis umat Islam dalam mengentaskan berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks dan dinamis. Karena itu Ahmad Hasan menekankan keharusan penambahan dan penafsiran ulang terhadap hukum-hukum yang disediakan oleh sumber Al-Qur'an-Shunnah di masa Rasulullah dalam rangka perluasan pemahaman mencakup persoalan-persoalan baru yang harus ditemukan jawabannya.5 Demikian halnya Fazlur Rahman yang menolak keharusan untuk menerima suatu penafsiran tertentu untuk selamanya, karena akan selalu terdapat ruang dan keharusan untuk penafsiran-penafsiran baru sebagai proses yang terus berlanjut.6 Rahman bahkan mencontohkan generasi-generasi muslim yang paling awal yang tidak pernah memandang Al-Qur’an dan Shunnah secara statis. Mereka memahami Al-Qur’an dan Shunnah secara kreatif sesuai dengan bentuk-bentuk sosial yang beraneka ragam karena Islam mengandung idealitas dan norma-norma tertentu yang harus direalisasikan secara progresif.7 Kreativitas dan progresivitas pemahaman Al-Qur’an yang pernah berlangsung dalam sejarah tradisi umat islam masa lalu telah mengantarkan umat Islam kepada kemajuan peradaban. Melalui upaya kreatif dan progresif itu umat Islam mampu meraih kemajuan-kemajuan sebagaimana yang berlangsung pada masa Keemasan Intelektual Islam (The Golden Age of Science). Demikian juga sebaliknya, tanpa kreativitas dan progresivitas pemahaman Al-Qur’an umat Islam terbelenggu dalam keterpurukan, kemandegan, dan ketertinggalannya, sebagaimana yang terjadi pasca era keemasan tersebut. _____________ 4
Yusuf al-Qardlowi, Membumikan Syari'at Islam, Terjemahan M. Zakki dan Yasir Tajid, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997, 290. 5 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan Agah Garnadi, Bandung: Pustaka, 1984, 103. 6 Adnin Armas, "Westernisasi dan Islamisasi Ilmu", dalam Islamia, Thn. I, No. 6, Juli – September 2005, 15. 7 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Terjemahan Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, Cet.III, 1995, 285. Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
25
Karena itu alternatif pengembangan tafsir atau pemahaman Al-Qur’an untuk masa depan harus dimulai dengan menggali berbagai potensi intelektualitas yang konstruktif dan kontributif. Langkah strategis ini tentu saja dapat dilakukan dengan mempertimbangkan nilai-nilai positif dan efektif dari aspek metodologis yang dapat diakomodir dan ditransformasikan bagi pengembangan pemahaman Al-Qur’an. Dalam tradisi perkembangan dan kemajuan intelektual modern dan kontemporer saat ini terdapat sejumlah pendekatan metodologis yang sangat potensial untuk dikontribusikan bagi pemahaman Al-Qur’an. Salah satu pendekatan tersebut adalah “hermeneutik”, yaitu pendekatan pemahaman yang berdasarkan hermeneutika filosofis, bukan hermeneutika yang secara spesifik dipahami sebagai teori atau metode interpretasi. URGENSI PENDEKATAN HERMENEUTIK Dalam perspektif Filsafat Ilmu, urgensi pengembangan ilmu-ilmu tidak hanya dipahami berdasarkan metodologi yang dibatasi oleh context of justification, tetapi juga atas dasar heuristik yang bergerak dalam context of discovery.8 Ilmu tidak akan berkembang ke arah yang lebih progresif tanpa menghasilkan temuan-temuan baru (novelty) secara terus-menerus dan berkesinambungan, sesuai dengan tuntutan perkembangan dan perubahan jaman. Asumsi dasar tersebut berlaku bagi seluruh ranah dan bidang ilmu, tidak terkecuali ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) dan bidang ilmu tentang tafsir (interpretasi Al-Qur’an). Dalam bidang tafsir Al-Qur’an, tuntutan pengembangan keilmuannya bahkan lebih berorientasi pada pengejawantahan nilai-nilai Al-Qur’an yang kekal dan universal dalam konteks kehidupan. Tanpa proses pengembangan tafsir Al-Qur’an secara terus-menerus dan berkesinambungan, pengejawantahan nilai-nilai Al-Qur’an tersebut tentu saja tidak akan terlaksana. Asumsi dasar tersebut sekaligus juga terkait dengan pemahaman yang berkembang dewasa ini bahwa Filsafat Ilmu tidak dapat terlepas dari persoalanpersoalan hermeneutika yang mendasari seluruh bentuk pengetahuan manusia9 karena hermeneutika mencakup seluruh pertanyaan filosofis yang menghubungkan bahasa dengan pemahaman, eksistensi, realitas, dan Ada.10 Model pemahaman tersebut mengindikasikan bahwa pengembangan ilmuilmu tidak dapat terlepas dari keterlibatan pendekatan hermeneutik, dalam mengkaji berbagai objek secara luas. Urgensi pendekatan hermeneutik dalam kajian masa kini bahkan tercermin dari kemunculan suatu bentuk hermeneutika filosofis kontemporer yang dikenal dengan Hermeneutika Ilmu (Hermeneutics of Science). Menurut Madison, Hermeneutika Ilmu tidak berurusan dengan nilai kebenaran ilmu, tetapi hanya meneropong terjadinya dan bekerjanya pola-pola pemahaman ilmiah, misalnya bagaimana interpretasi dan idealisasi pengalaman yang mewujud dalam teori-teori ilmiah itu diajukan, disanggah atau diterima dan dipercaya sebagai kebenaran.11 _____________ 8
Koento Wibisono, Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: LP3 UGM & Intan Pariwara (Klaten), 1997, 8. 9 Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique, London: Routledge and Kegan Paul, 1980, 109. 10 Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 1969, 42-43. 11 G.B. Madison, The Hermeneutics of Postmodernity: Figures and Themes, Indianapolis: Indiana University Press, 1988, 45-46. 26
Fuad Ramly: Alternatif Pengembangan Tafsir Al-Qur’an…
Dengan kata lain, Hermeneutika Ilmu bukan bertujuan melahirkan klaim kebenaran (truth claim) atas ilmu-ilmu dan berbagai perangkat metodologis ilmiahnya. Hermeneutika Ilmu hanya berupaya memaknai kebenaran-kebenaran metodologis ilmiah berdasarkan proses penyelidikan dan prinsip-prinsip fundamental yang melandasinya. Hermeneutika Ilmu menekankan keterbukaan cakrawala metodologis ilmiah, dalam rangka melahirkan kemajuan ilmu-ilmu melalui proses pengembangan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Karena demikian, pendekatan hermeneutik tersebut sangat urgen dilakukan dalam mengembangkan tafsir Al-Qur’an pada masa sekarang. Urgensi tersebut bukan sekedar mengakomodir tuntutan metodologis keilmuan (context of discovery), tetapi sekaligus juga dalam rangka merealisir tuntutan universalitas dan immortalitas kandungan Al-Qur’an itu sendiri (li kulli makan wa li kulli zaman). Sinyalemen ini relevan dengan kesimpulan Az-Zamakhsyari bahwa meskipun manusia telah memiliki dan menguasai berbagai ilmu yang sedemikian tinggi hingga mampu menembus berbagai tabir dan misteri, namun ilmu-ilmu tersebut belumlah sepenuhnya memadai untuk memahami kandungan AlQur’an.12 ALTERNATIF PENGEMBANGAN TAFSIR AL-QUR’AN Pengembangan tafsir Al-Qur’an berdasarkan pendekatan hermeneutik dapat diupayakan dengan berlandaskan tiga kerangka pemahaman, yaitu pemahaman tentang objek, metode, dan signifikansi dari tafsir Al-Qur’an. Ketiga pemahaman tersebut, meskipun dapat dijelaskan secara terpisah, namun memiliki keterkaitan secara sinergis dan korelatif satu sama lain. Pemahaman tentang objek tafsir Al-Qur’an Pemahaman tentang objek tafsir Al-Qur’an dapat dirumuskan dengan menjawab pertanyaan ontologis: “Apa yang dikaji” oleh tafsir Al-Qur’an? Pertanyaan ini menghendaki jawaban tentang bentuk-bentuk kenyataan yang terkandung (terdapat) dalam ayat-ayat Al-Qur’an sebagai objek kajian tafsir. Bentuk-bentuk kenyataan tersebut dapat dipahami dari segi kualitasnya (kenyataan yang tetap dan yang berubah), kuantitasnya (kenyataan yang singular dan universal), maupun kapasitasnya (kenyataan yang mutlak dan relatif). Bentuk-bentuk kenyataan tersebut selanjutnya dapat diklasifikasikan kepada tiga wilayah problematika kajian, yaitu: Ilahiyah (teologis); Insaniyah (antropologis); dan ‘Alamiah (kosmologis). Wilayah Ilahiyah merupakan problematika ketuhanan, atau terkait dengan pembicaraan masalah-masalah tentang Tuhan. Wilayah Insaniyah merupakan merupakan problematika kemanusiaan, yaitu menyangkut berbagai persoalan tentang manusia. Wilayah ‘Alamiah merupakan problematika yang terkait dengan alam semesta. Ayat-ayat Al-Qur’an, sebagai objek kajian tafsir, secara umum mengandung ketiga wilayah problematika tersebut. Terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang Tuhan, tentang manusia, dan tentang alam. Ayat-ayat tersebut tidak dapat dimengerti maknanya tanpa ditafsirkan (dinterpretasikan) oleh manusia. Untuk dapat memahami makna ayat-ayat tersebut maka diperlukan metode-metode tertentu dalam kajian tafsir Al-Qur’an. Dan sebelum _____________ 12
Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Terjemahan Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985, 24. Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
27
mempergunakan metode-metode tersebut manusia perlu terlebih dahulu memahaminya dengan baik agar penafsiran dapat terlaksana secara efektif dan produktif sebagaimana yang diharapkan. Pemahaman tentang metode tafsir Al-Qur’an Pemahaman tentang metode tafsir Al-Qur’an dapat dirumuskan dengan menjawab pertanyaan epistemologis: “Bagaimana” tafsir Al-Qur’an “mengkaji” objek-objeknya? Pertanyaan ini menghendaki jawaban tentang bentuk-bentuk metode yang dipergunakan oleh tafsir Al-Qur’an, sesuai dengan objek-objek yang dikaji. Dalam kaitan ini, objek menentukan metode dan bukan sebaliknya. Penggunaan metode-metode tafsir sangat tergantung pada objek-objek yang dikaji. Dalam kajian epistemologis terdapat tiga metode besar: metode rasional, metode empiris, dan metode intuitif. Metode rasional pada dasarnya dipergunakan untuk memahami objek-objek yang abstrak, yang tidak dapat diketahui secara langsung oleh panca indera manusia. Metode empiris hanya dipergunakan untuk memahami objek-objek konkrit (fakta/gejala). Sedangkan metode intuitif biasanya dipergunakan untuk memahami objek-objek yang mengatasi penalaran empiris dan rasional, atau melampui logika induktif dan deduktif. Ketiga metode ini juga berkembang menjadi metode-metode yang lebih spesifik dalam dunia kefilsfatan dan keilmuan (ilmiah). Perpaduan metode rasional dan metode empiris telah melahirkan metodologi ilmiah. Karena itu kebenaran ilmiah tidak sekedar dapat diyakini secara rasional tetapi juga harus dapat dibuktikan secara empiris (melalui pengalaman-pengalaman inderawi manusia). Ketiga wilayah kajian tafsir Al-Qur’an (Ilahiyah; Insaniyah; dan ‘Alamiah), sebagaimana yang termaktub di dalam ayat-ayat Al-Qur’an, tidak mungkin dapat dipahami dengan mengandalkan otoritas metode tafsir tunggal tertentu (singularitas metodis), tetapi menghendaki keragaman (pluralitas) metode yang relevan dengan objeknya masing-masing. Perbedaan karakteristik atau bentuk objek yang akan dikaji menyebabkan perbedaan metode kajiannya, dan begitu juga sebaliknya. Justru itu metode tafsir yang dipergunakan untuk memahami ayat-ayat Ilahiyah dapat berbeda dengan metode tafsir ayat-ayat Insaniyah dan Alamiah, dan begitu juga seterusnya. Di dalam kajian Ilmu Tafsir terdapat beberapa metode yang lazim dipergunakan, misalnya: metode tahlili, metode maudhu’i, dan metode muqarran. Ketiga metode tersebut harus dapat dipahami kapasitas epistemologisnya, sejauhmana muatan/unsur rasional atau empiris yang dikandungnya, sehingga relevan dipergunakan untuk mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an tertentu (ayat-ayat Ilahiyah; Insaniyah; atau ‘Alamiah). Selain itu, metode-metode tafsir tersebut juga perlu dikembangkan dan didukung oleh metodologi ilmiah (metode-metode Ilmu Sosial/Humaniora dan Ilmu-ilmu Alam), melalui pendekatan interdisipliner. Akan tetapi metodologi ilmiah tersebut tidak dapat dipergunakan untuk memahami problematika ketuhanan, karena karakteristiknya yang empiris (metodologi ilmiah hanya mampu memahami gejala dan fakta). Dengan demikian, pengembangan metode-metode kajian tafsir Al-Qur’an dapat bergerak secara dinamis dan dialektis (secara terus-menerus sesuai kebutuhan pemahaman umat Islam). Kendati Ilmu Tafsir telah memiliki metodemetode tertentu dalam tradisi keilmuannya (seperti tahlili, maudhu’i, dan 28
Fuad Ramly: Alternatif Pengembangan Tafsir Al-Qur’an…
muqarran), namun metode-metode tersebut belumlah final dan definitif, alias dapat dikembangkan lagi secara lebih efektif dan produktif. Proses pengembangan ini bisa memunculkan metode-metode tahlili, maudhu’i, dan muqarran versi baru, atau bahkan dapat melahirkan metode-metode tafsir yang sama sekali baru sesuai dengan kebutuhan Ilmu Tafsir itu sendiri. Asumsi ini didasarkan pada fakta dan problematika kehidupan manusia yang terus berkembang dari waktu ke waktu, yang menuntut perkembangan pemahaman atas Al-Qur’an. Al-Qur’an bukanlah kitab sejarah, melainkan pedoman (hudan) bagi umat manusia (linnas) di manapun mereka berada (li kulli makan), dan senantiasa menyejarah dari masa ke masa (wa li kulli zaman). Pemahaman tentang Signifikansi Tafsir Al-Qur’an Pemahaman tentang signifikansi tafsir Al-Qur’an dapat dirumuskan dengan menjawab pertanyaan aksiologis: “Untuk apa” tafsir tersebut dilakukan? Pertanyaan ini menghendaki jawaban tentang tujuan dan motivasi (nilai-nilai) tafsir Al-Qur’an. Dalam kaitan ini, tujuan dan motivasi merupakan landasan utama bagi upaya-upaya penafsiran Al-Qur’an. Karena itu pemahaman tentang objek dan metode-metode tafsir Al-Qur’an pada dasarnya berorientasi pada signifikansinya, menyangkut nilai-nilai sebagai tujuan dan motivasinya. Penafsiran Al-Qur’an, dalam rangka mengungkap makna ayat-ayat AlQur’an, sudah barang tentu didasarkan atas kepentingan-kepentingan tertentu sesuai dengan tuntunan nilai-nilai Al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an mengandung nilai-nilai yang harus dipedomani di dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai AlQur’an tersebut adakalanya bersifat instrumental, atau yang secara langsung menuntun kegiatan-kegiatan praktis kehidupan manusia. Namun nilai-nilai instrumental tersebut pada umumnya bersandarkan pada suatu nilai ideal (nilai dasar) dari Al-Qur’an, yaitu “penghambaan atau kepatuhan” kepada Tuhan (wa ma khalaqtul jins wal insan illa li ya’budun). Setiap kegiatan yang dilakukan manusia, termasuk kegiatan penafsiran atas Al-Qur’an itu sendiri pada prinsipnya berlandaskan nilai ideal tersebut. KESIMPULAN Hermeneutika masih dipandang asing dan kontradiktif oleh kelompok cendekiawan Islam tertentu, terutama para penggiat Ilmu Tafsir dan ahli studi AlQur’an. Pandangan ini dikarenakan hermeneutika pada mulanya dipergunakan sebagai metode penafsiran Injil (Bible) oleh para filsuf dan pendeta Kristiani. Namun dewasa ini hermeneutika sudah menjadi kajian tentang prinsipprinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi dalam bidang kefilsafatan dan keilmuan, dan bukan lagi sebagai metode penafsiran kitab suci (biblical interpretation) atau penafsiran Injil. Karena itu hermeneutika dapat menjadi landasan metodologis yang dapat dikontribusikan bagi pengembangan tafsir Al-Qur’an. Melalui pendekatan hermeneutik tersebut, pengembangan tafsir Al-Qur’an dapat dilakukan berdasarkan tiga rumusan pemahaman, yaitu: pemahaman tentang objek kajian tafsir Al-Qur’an; pemahaman tentang metode-metode tafsir AlQur’an; dan pemahaman tentang signifikansi dari tafsir Al-Qur’an. Pemahaman tentang objek dan metode-metode tersebut dilandasi oleh signifikansinya, bahwa Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
29
penafsiran Al-Qur’an harus berorientasi pada tujuan dan motivasi (nilai-nilai) yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, tafsir Al-Qur’an akan dapat dikembangkan secara terusmenerus dan berkesinambungan sesuai dengan tuntutan kebutuhan-kebutuhan umat Islam dan tuntunan nilai-nilai Al-Qur’an itu sendiri. Tanpa upaya pengembangan tersebut, apresiasi terhadap keagungan dan keabadian Al-Qur’an tidak akan terwujud.
30
Fuad Ramly: Alternatif Pengembangan Tafsir Al-Qur’an…
DAFTAR PUSTAKA Al-Qardlowi, Yusuf, Membumikan Syari'at Islam, Terjemahan M. Zakki dan Yasir Tajid, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997. Arkoun, Mohammed, Rethinking Islam, Terjemahan Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq, Yogyakarta: LPMI dan Pustaka Pelajar, 1996. Armas, Adnin, "Westernisasi dan Islamisasi Ilmu", dalam Islamia, Thn. I, No. 6, Juli – September 2005. Asy-Syirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Terjemahan Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985. Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique, London: Routledge and Kegan Paul, 1980. Bucaille, Maurice, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern, Cet.II, Terjemahan M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan Agah Garnadi, Bandung: Pustaka, 1984. Madison, G.B., The Hermeneutics of Postmodernity: Figures and Themes, Indianapolis: Indiana University Press, 1988. Palmer, Richard E., Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 1969. Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, Terjemahan Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka. Cet.III, 1995. Wibisono, Koento, Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: LP3 UGM & Intan Pariwara (Klaten), 1997.
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
31