Tafsir Berkeadilan Jender (Memahami Gagasan Amina Wadud) Oleh: M. Mu’tashim Billah* Abstrak Al-Qur'an adalah teks terbuka, siapa saja dapat menafsirkan al-Qur'an dan sangat mungkin si penafsir memasukkan kepentingannya dalam menafsirkan alQur'an. Dalam sejarah tafsir al-Qur'an, mayoritas mufassir adalah berjenis kelamin laki-laki. Secara ideologis-sosiologis ada pertarungan kepentingan dalam wilayah penafsiran. Dengan kata lain, ada upaya memenangkan dan menundukkan jenis kelamin tertentu dan di sini laki-lakilah sebagai pemenangnya. Sebetulnya hal ini tidak menjadi persoalan kecuali pada tahap bahwa mayoritas Muslim menganggap bahwa tafsir tidak lain adalah al-Qur'an itu sendiri. Tafsir dianggap memiliki otoritas sejajar al-Qur'an yang juga harus diyakini kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pada titik ini, kehadiran Amina Wadud sebagai salah satu orang yang memelopori 'proyek' tafsir berkeadilan jender menjadi sangat penting untuk memberikan pencerahan kepada kaum Muslim yang sudah terlalu lama dikungkung dalam alam pikiran patrialkal. Kata kunci: tafsir, jender, Amina Wadud A. Pendahuluan Ungkapan bahwa agama yang terakhir telah turun, tapi pemahamannya yang terakhir belumlah turun menemukan kebenarannya ketika membaca banyak karya tafsir yang selalu muncul pada zaman dan tempat yang berbeda. Selaras dengan ungkapan tersebut adalah pernyataan yang diungkapkan Amina Wadud bahwa interpretasi tak pernah berujung. Makna tak pernah terpastikan.1 Sebagai wahyu Tuhan, al-Qur’an bukanlah sekadar kata-kata yang terdokumentasikan dalam mushaf tanpa pesan yang menyertainya. Bagi sebagian Muslim, al-Qur'an menjadi menarik ketika * Dosen tafsir dan hadits pada Prodi Tafsir Hadits di STAIN Kediri, Sedang menyelesaikan S3 di IAIN Sunan Ampel Surabaya mengambil konsentrasi tafsir 1 Martina Sabra, Al-Qur’an Tak Bisa Dijajah, wawancara dengan Amina Wadud dalam acara Konferensi Kekuatan Perempuan dalam Islam di Jerman. Martina Sabra sendiri adalah seorang penulis freelance yang tinggal di Jerman. Artikel yang telah diringkas dan hasil wawancara ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews). Teks lengkapnya dapat dibaca di www.qantara.de. Sumber: Qantara.de, 29 Agustus 2008, www.qantara.de Telah memperoleh hak cipta. Amina Wadud www.TripAdvisor.com SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
612
M. Mu’tashim Billah: Tafsir Berkeadilan Jender (Memahami…
ditelusuri keunikan narasinya untuk didendangkan atau ditulis pada masa tertentu untuk selanjutnya dijadikan aksesoris. Perlakuan seperti ini tentunya lahir dari pengakuan penganutnya atas sakralitas al-Qur'an. Sakralitas seperti inilah yang akhirnya menutup keras bagi keluarnya pesan-pesan al-Qur'an yang disebut sebagai hudan li al-nas. Al-Qur’an dalam bentuknya sebagai mushhaf adalah kumpulankumpulan huruf yang tidak dapat memberikan makna apa-apa sebelum diajak bicara atau sebelum diajak berkomunikasi. Pada prinsipnya, alQur’an akan dapat diungkap pesannya setelah terjadi interaksi langsung antara dirinya dan pembacanya. Prinsip ini akan meniscayakan lahirnya beragam pemahaman terhadap kitab tersebut. Perbedaan tempat dan waktu akan menjadikan munculnya perbedaan pemahaman terhadap kitab yang satu ini.2 Demikian pula terkait dengan perbedaan jenis kelamin para pembacanya. Ada laki-laki dan perempuan. Hal tersebut juga meniscayakan hal lainnya. Pemahaman laki-laki terhadap al-Qur'an akan berbeda hasilnya dengan pemahaman perempuan. Fakta membuktikan bahwa kewenangan dalam menafsirkan teks-teks suci pada tataran praksis secara eksklusif dikuasai oleh laki-laki. Secara logis dan naluriah, kenyataan ini ikut menginfiltrasi sejumlah teks yang sedianya diperuntukkan bagi feminitas perempuan dengan susupan-susupan subyektif dari pandangan maskulin si mufassir. Pengalaman laki-laki kemudian dipaksakan untuk memahami keperempuanan atau kewanitaan. Adalah wajar jika kemudian perempuanpun merasa bahwa ini tidak adil. Karenanya mereka kemudian ingin memahami sendiri kitab suci al-Qur'an dan sudah tentu wajar pula jika hasilnya berbeda. Mereka ingin menghadirkan Tafsir yang Berkeadilan Jender. Hal tersebut sah-sah saja dan justru semakin memperkuat pernyataan bahwa al-Qur'an yahtamil wajuh al-ma’na. B. Mengenal Amina Wadud Amina Wadud Muhsin adalah perempuan keturunan Afrika yang lahir di Amerika pada tahun 1952. Sampai umur 20 tahun, dia adalah seorang Nasrani. Ayahnya adalah seorang pendeta Methodist yang taat.3 Meski begitu, ayahnya tak banyak mempengaruhi pandangan hidupnya.4 Dia masuk Islam di tahun 1970-an, yaitu pada masa gelombang kedua 2 Abd Moqsith Ghazali, "Menuju Tafsir al-Qur'an yang Membebaskan", dalam Menafsir Kalam Tuhan (Tashwirul Afkar No. 18 Tahun 2004), p. 38. 3 Amina Wadud Muhsin, Inside the Gender Jihad, Women Reform’s in Islam, (England: Oneword Publication, 2006), p. 4. 4 Ibid., p. 9.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
M. Mu’tashim Billah: Tafsir Berkeadilan Jender (Memahami…
613
gerakan feminisme Amerika.5 Perempuan Afro-Amerika ini mempelajari agama di Universitas Al Azhar. Dia mengatakan selalu tertarik dengan gagasan-gagasan teologis dan sungguh jatuh hati dengan ide-ide tentang Tuhan, moralitas, sifat manusia dan spiritualitas. Sebelum masuk Islam, dia pernah masuk Budha dan tinggal di sebuah Ashram dan bermeditasi, yang menurut pengakuannya masih dilakukan hingga kini. Ketika umur 20, dia memasuki sebuah masjid, tak jauh dari tempat tinggalnya. Dia ingin tahu tentang Islam karena tertarik dengan hubungan antara yang profan dan yang suci. Baginya, Islam memberinya sebuah bahasa tauhid. Menurutnya, bahasa Arab merupakan bagian penting di dalamnya—sebagai bahasa tauhid, yaitu bahasa intim yang digunakan Tuhan dalam berhubungan dengan ciptaan-Nya, sekaligus kekuatan yang mengharmoniskan hal-hal yang berbeda. Itu adalah epitome dari penyerahan. Islam membantunya memahami pengalaman beragamanya dengan Kristianitas dan Buddhisme. Inilah yang menurutnya mungkin tak terjadi pada setiap orang karena sebagian orang memiliki pemahaman yang lebih sederhana mengenai Islam.6 Ketika diberi kesempatan untuk belajar lebih dalam mengenai Islam, dia merasa kagum, terutama dengan al-Qur’an. Al-Qur’an membuka hubungan antara logika, alasan, pemahamannya akan dunia, cinta dan hasrat akan alam, serta pemahaman akan dunia lain, dunia yang tak terlihat, sehingga dia pun menyusun karya dalam bidang al-Qur’an dan jender, bidang yang menurutnya khusus diberikan bagi dirinya, karena dia merasa dapat menikmati dan mencintainya.7 Amina Wadud menghadapi banyak kontradiksi. Perjuangan menjadi Muslim sangat mudah pada mulanya, ketika dia bertransformasi dari kondisi post-Nasrani dan Buddhis ke Muslim. Kemudian, pengetahuan menjadi pendorong utama. Kini terasa lebih sulit, semakin banyak yang dipahami, semakin besar tanggung jawabnya. Perspektifnya adalah bagian dari sebuah reformasi dan terkadang ia merasa sulit, karena ia bukan arus utama. Tak semua Muslimah tertarik dengan feminisme Islam. Sebagian dari mereka bahkan tak tertarik dengan keislaman mereka.8 Kini, dia adalah salah seorang tokoh feminis muslimah yang menjadi guru besar (professor) pada Commonwealth University, di Richmond
5 Gunawan Mohammad, Catatan Pinggir: Amina dalam http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/03/28/CTP/. Diakses pada tanggal 6 Okt 2008 13:08:07 GMT 6 Martina Sabra, Al-Qur’an Tak Bisa Dijajah, 7 Ibid. 8 Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
M. Mu’tashim Billah: Tafsir Berkeadilan Jender (Memahami…
614
Virginia.9 Menurut Charles Kurzman, penelitian Amina Wadud mengenai perempuan dalam al-Qur’an muncul dalam suatu konteks historis yang erat kaitannya dengan pengalaman dan pergumulan orang-orang perempuan Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan jender. Karena selama ini sistem relasi laki-laki dan perempuan di masyarakat memang seringkali mencerminkan adanya bias-bias patriarkhi, dan sebagai implikasinya maka perempuan kurang mendapat keadilan secara lebih proporsional.10 C. Selikas tentang Jender Jender berasal dari bahasa Inggris gender yang bermakna hampir sama dengan sex yaitu jenis kelamin.11 Namun, jender secara umum digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, sementara sex digunakan untuk digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis yang meliputi komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Istilah jender ini kemudian dapat dipahami sebagai pembagian atau pembedaan laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun kultural. Sex adalah klasifikasi kelamin yang ditentukan secara biologis atau sebagai ketentuan Tuhan.12 Dari pembedaan inilah lantas muncul pemahaman bahwa terjadi ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan yang merugikan pihak kedua, yaitu perempuan. Persoalan inilah yang melahirkan gerakan feminisme. Gerakan yang mengupayakan hilangnya praktik-praktik ketidakadilan yang menjadikan perempuan sebagai obyeknya. Persoalan kemudian muncul ketika malpraktik ini mendapatkan legitimasi dari tradisi sosial yang berlaku lama dan seringkali diperkuat oleh ajaran agama.13
9
Charles Kurzman, Liberal Islam, (Jakarta: Paramadina, 2001), p. 185. Ibid. 11 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983), p. 265. 12 Mansour Fakih, "Kekerasan Gender dalam Pembangunan", Makalah Halaqah Budaya Kekerasan dalam Pandangan Islam, (Jakarta: P3M, 1996), p. 2. 13 M. Aunul Abied Syah, et al. Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001), p. 151. 10
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
M. Mu’tashim Billah: Tafsir Berkeadilan Jender (Memahami…
615
D. Problematika (Kegelisahan Akademik) Seluruh karya dan tindakan14 Amina Wadud sesungguhnya merupakan kegelisahan intelektual yang dialaminya terkait ketidakadilan jender dalam masyarakatnya. Salah satu sebabnya adalah pengaruh idiologi-doktrin penafsiran al-Qur’an yang dianggap bias patriarkhi. Inilah yang disebut sebagai proyek penindasan perempuan yang tanpa canggung menjustifikasi dirinya dengan doktrin-doktrin Islam (al-Qur’an dan hadits). Akibatnya, wajah perempuan Islam seketika menjadi teridentifikasi sebagai panjang rambutnya, pendek akalnya yang tersekat di bilik-bilik domestik, tanpa sekali-kali memiliki hak akses untuk mengekspresikan kreatifitas dan potensi intelektualnya di wilayah publik15 padahal sebagai agama wahyu, Islam tidak saja membawa wahyu ketuhanan tetapi pada saat yang sama sebagai agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.16 Hal ini terjadi sejak tergantikannya peran sentral al-Qur’an oleh tafsir-tafsir yang nyaris semuanya ditulis oleh laki-laki, perempuan terus terkekang dalam pandangan dan kehendak masyarakat yang berpusat pada laki-laki. Akibatnya, tingkat partisipasi dalam masyarakat dan tingkat pengakuan akan pentingnya sumberdaya perempuan tak kunjung meningkat. Amina Wadud mencoba untuk melakukan dekontruksi dan rekonstruksi terhadap model penafsiran klasik yang sarat dengan bias patriarkhi ini. Berbagai kegelisan tersebut setidaknya dapat diringkas sebagai berikut: 1. Termarjinalisasinya perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. 2. Penafsiran atau interpretasi tentang perempuan dalam al-Qur’an yang dilakukan oleh pria (mufasir) beserta pengalaman dan latar belakang sosial mereka yang dinilai telah menyudutkan perempuan dalam perannya ditengah publik dan dirasa tidak ada keadilan paradigma. 14 Pernah melaksanakan shalat Jum’at diikuti oleh seratus jama’ah dengan Khatib dan Imam oleh dirinya sendiri di mana antara jama’ah laki-laki dan perempuan bercampur dan tanpa pembatas bahkan ada diantaranya jama’ah perempuan tanpa penutup kepala. Beberapa koran di Mesir dan Arab Saudi menempatkan berita itu di halaman utama, dan menganggap Amina sebagai “wanita sakit jiwa” yang berkolaborasi dengan Barat kafir untuk menghancurkan Islam. Keterangan ini diambil dari Luthfi Assyaukanie, Islam Salah Versus Islam Benar, (Jakarta: Kata Kita, 2006), p. 35. Dimuat dalam Jawa Pos tanggal 25 Maret 2005. 15 Qasim Amin, The New Woman: A Document in the Early Debate of Egyptian Feminism, Syariful Alam (terj.), Sejarah Penindasan Perempuan: Menggugat “Islam Laki-laki” Menggurat “Perempuan Baru”, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), p. 210. Bandingkan dengan Pengantar Penulis dalam Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender,(Bandung: Mizan, 1999), pp. 9-14. 16 Nurcholis Madjid dkk, Fiqh Lintas Agama, (Jakarta: Yayasan wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), p. 177.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
M. Mu’tashim Billah: Tafsir Berkeadilan Jender (Memahami…
616
3. Model penafsiran dari para mufasir, selanjutnya kepada produk fiqh, term-term dan perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan. Banyak ayat-ayat yang ditafsirkan tidak mengandung prinsip ke universalitas Islam dan konsep keadilan/ kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, perhatian Amina Wadud sangat tinggi dalam hal terminologi atau pendefinisian suatu objek. 4. Amina Wadud juga mempunyai kegelisahan tentang tantangan dalam belajar dan mengajar dalam kajian wanita muslim, kegelisahan tersebut tercermin dalam pengalamannya meneliti dan mengajar di akademi U.S (Amerika). Daerah Amerika utara tempat terbesar dalam kajian jender termasuk wanita dan agama. E. Penawaran Metodologis Salah satu asumsi dasar yang dijadikan kerangka pikir Amina Wadud adalah bahwa al-Qur’an merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil mendudukkan laki-laki dan perempuan setara (equal). Oleh karena itu, perintah atau petunjuk Islam yang termuat dalam al-Qur’an harus diinterpretasikan dalam konteks historis yang spesifik. Dengan kata lain, situasi sosio-historis-kultural ketika ayat al-Qur’an itu turun, harus perhatian mufassir ketika hendak menafsirkan al-Qur’an. Tidak hanya itu, bahkan cultural background yang melingkupi seorang mufassir juga perlu diperhatikan karena sangat mempengaruhi hasil penafsiran terhadap alQur’an.17 Setidaknya ada dua hal penting untuk memahami Amina Wadud dalam menganalisa metodologinya, yaitu (1) Pemaknaan terhadap konsep kesetaraan manusia dalam tauhid, khalifah, etika dan keadilan, takwa, keadilan dan derajat manusia, syari’ah dan fiqh, serta kekuasaan dan kekuatan.(2) Penafsirkan ayat-ayat jender dalam al-Qur'an. Pertama, pemaknaan terhadap konsep kesetaraan manusia yang terdiri dari tujuh istilah pokok. 1. Tauhid, pada tataran teologis, tauhid berhubungan dengan ketuhanan yang transenden dan imanen, yakni keesaan Tuhan. Pada tataran etis, tauhid berhubungan dengan berbagai relasi dengan menekankan pada kesatuan seluruh umat manusia di bawah Pencipta yang Tunggal. Di dalam tauhid, satu-satunya yang membedakan di antara mereka adalah takwa. Takwa adalah kesadaran moral yang tidak dapat dijangkau oleh penilaian orang lain meskipun implikasi eksternalnya dapat di lihat dengan jelas.18
17 18
Charles Kurzman, Liberal Islam, (Jakarta: Paramadina, 2001), p. 185. Amina Wadud, Inside The Gender Jihad, pp. 28-29.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
M. Mu’tashim Billah: Tafsir Berkeadilan Jender (Memahami…
617
2. Khalifah, pada dasarnya manusia diciptakan oleh Tuhan di bumi ini untuk menjadi khalifah. Fungsi kekhalifahan ini dijalankan oleh semua manusia lintas ras, suku dan jender. Laki-laki dan perempuan punya tugas pokok dan fungsi yang sama tanpa pembedaan.19 3. Etika, etika adalah pernyataan-pernyataan etis yang bersumber dari apa yang ada di alam serta pengakuan terhadap tindakan benar yang dilakukan oleh seseorang karena tindakan tersebut memang pantas untuk dihargai.20 Etika bersifat relatif, karenanya menjadi berbeda oleh adanya banyak faktor. 4. Takwa, istilah ini menjadi istilah terpenting dalam al-Qur'an. Takwa dimaknai serupa dengan shaleh yaitu kesadaran moral manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi (tanpa pengecualian terhadap laki-laki dan perempuan). 5. Keadilan dan derajat manusia, keadilan merupakan sesuatu yang prinsipil dalam kehidupan. Sekalipun begitu, keadilan masih bersifat relatif. Perbedaan bisa muncul karena ruang dan waktu yang tidak sama. Karenanya masih perlu didiskusikan terus-menerus.21 Setiap individu atau kelompok telah dijamin oleh Allah untuk mendapatkan derajat atau kedudukannya antara yang satu melebihi yang lainnya. Hal tersebut bisa terjadi karena amal shalehnya.22 1. Syari’ah dan fiqh, syari’ah merupakan rumusan-rumusan hukum yang syah atau diakui kebenarannya bersumber dari al-Qur'an dan Hadits. Fiqh adalah bentuk pemahaman yang syah (terhadap syari’ah) dari orang Islam yang bisa berbeda-beda karena teori dan metodologi yang tidak sama.23 2. Kekuatan dan Kekuasaan, istilah ini dijelaskan dari kata power yang kemudian menjadi power over dan power to. Power over adalah istilah yang muncul saat terjadi keruntuhan moral dan ketamakan seseorang baik laki-laki maupun perempuan serta gaya konsumtifnya. Sementara power to adalah istilah yang muncul tatkala seorang perempuan menginginkan beraktifitas dengan nyaman, pelayanan publik yang baik, jiwa kepemimpinan yang baik sebagai khalifah. Sudah tentu power to saja tidaklah cukup, harus ada hubungan timbal balik antara kekuatan pengetahuan permpuan dengan peningkatan peluang mereka pada
19
Ibid, pp. 32-33. Ibid, Charles, 21 Amina wadud, Inside The Gender Jihad, p. 43. 22 Ibid. 23 Ibid, p. 49. 20
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
M. Mu’tashim Billah: Tafsir Berkeadilan Jender (Memahami…
618
peran sosialnya. Hal ini harus diatur agar memperoleh keuntungan yang sama.24 Kedua, penafsiran ayat-ayat jender dalam al-Qur'an sejatinya, laki-laki dan perempuan hanyalah kategori spesies manusia. Keduanya dikaruniai potensi yang sama atau sederajat, dari ihwal penciptaan, keberpasangan, hingga balasan yang kelak mereka terima di akhirat. Satu hal yang bisa jadi ukuran pembeda di antara keduanya adalah takwa, yang paling tepat dipahami dalam kerangka sikap dan perbuatan. Itulah yang ditegaskan alQur’an, rujukan dari segala rujukan keislaman. Menurutnya, ada perbedaan yang sangat signifikan antara Islam sebagai agama dan apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang Islam.25 Al-Qur’an sebagai pedoman universal, tidak pernah terikat ruang dan waktu, latar belakang daerah ataupun jenis kelamin yang selanjutnya bernilai abadi dan tidak membedakan jenis kelamin, untuk itu Wadud berusaha menghadirkan pandangan ayat-ayat yang netral tentang jender. Amina Wadud ingin membangkitkan peran perempuan yang setara dalam relasi jender, dengan berprinsip pada keadilan sosial dan kesetaraan jender. Realitas dalam Islam menunjukan kenapa peran perempuan terbelakang daripada laki-laki (patriarki). Menurut Amina Wadud banyak hal yang menyebabkan penafsiran miring tentang perempuan; kultur masyarakat, kesalahan paradigma, latar belakang para penafsir yang kebanyakan dari laki-laki, oleh karena itu ayat tentang perempuan hendaklah ditafsirkan oleh perempuan sendiri berdasarkan persepsi, pengalaman dan pemikiran mereka.26 Amina Wadud mencoba melakukan rekonstruksi metodologis bagaimana menafsirkan al-Qur’an agar dapat menghasilkan sebuah penafsiran yang sensitif gender dan berkeadilan. Adapun metodologi tafsirnya yang ia kemukakan adalah model hermeneutik yang prinsipprinsip dasarnya adalah bahwa seorang mufassir harus selalu menghubungkan tiga aspek, yaitu: 1) Dalam konteks apa teks itu ditulis. Jika kaitannya dengan al-Qur’an, maka dalam konteks apakah ayat itu diturunkan, 2) Bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya. 3) Bagaimana keseluruhan teks (ayat), Weltanchauungnya atau pandangan hidupnya. Menurutnya, persoalan yang sering terjadi pada masalah perbedaan penafsiran hampir dapat dipastikan bisa dilacak dari variasi dalam penekanan ketiga aspek ini.27 24
Ibid, p. 53. Ibid, p. 21. 26 Ibid., p. 188. 27 Ibid. 25
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
M. Mu’tashim Billah: Tafsir Berkeadilan Jender (Memahami…
619
Begitulah seharusnya jika perempuan dalam Islam menurut perempuan sendiri. Perempuan yang shalihah ritual, sosial dan intelektualnya. F. Penutup Amina Wadud Muhsin nampaknya termasuk tokoh feminis perempuan Islam yang memberikan tawaran metodologis dengan semangat qur’ani yang cukup mengemuka. Demikian pula, metodologi hermeneutik yang ditawarkan Amina Wadud nampaknya relatif baik untuk diterapkan dalam rangka mengembangkan dan memekarkan wacana tafsir yang sensistif jender. Poin penting yang dapat diambil dari pemikiran Amina Wadud ini adalah bahwa dia ingin membongkar pemikiran lama atau bahkan mitosmitos yang disebabkan oleh penafsiran bias patriarkhi melalui rekonstruksi metodologi tafsirnya. Hal itu dinilainya tidak sejalan dengan prinsip dasar dan spirit al-Qur’an. Al-Qur’an menurutnya sangat adil dalam mendudukkan laki-laki dan perempuan. Hanya saja hal ini menjadi terdistorsi oleh adanya penafsiran yang bias patriarkhi, lebih-lebih diperkuat oleh sistem politik dan masyarakat yang sangat patriarkhi. Ada banyak tanggapan atas ide kreatif Amina Wadud. Reaksi berlebihan terhadap gerakan jender khususnya Amina Wadud dari kaum Muslim menunjukkan bahwa mereka tak pernah berkaca pada sejarah. Bagi yang mengikuti perkembangan pemikiran Islam pasti tahu bagaimana para ulama awal abad ke-20 hampir serempak mengharamkan bunga bank, mengecam wanita karir, menghujat keluarga berencana, dan melarang beberapa produk teknologi. Mereka melakukan semua itu atas nama agama. Tapi, perkembangan sejarah membuktikan bahwa pandangan kolot itu tak cukup kuat melawan arus perubahan dalam tubuh umat Islam.28
28
Luthfi Assyaukanie, Islam Salah Versus Islam Benar, (Jakarta: Kata Kita, 2006), p. 35. Dimuat dalam Jawa Pos tanggal 25 Maret 2005. SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
620
M. Mu’tashim Billah: Tafsir Berkeadilan Jender (Memahami…
Daftar Pustaka Amin, Qasim, The New Woman: A Document in the Early Debate of Egyptian Feminism, Syariful Alam (terj.), Sejarah Penindasan Perempuan: Menggugat “Islam Laki-laki” Menggurat “Perempuan Baru”, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003. Assyaukanie, Luthfi, Islam Salah Versus Islam Benar, Jakarta: Kata Kita, 2006. Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983 Fakih, Mansour, Kekerasan Gender dalam Pembangunan, Makalah Halaqah Budaya Kekerasan dalam Pandangan Islam, Jakarta: P3M, 1996. Ghazali, Abd Moqsith, Menuju Tafsir al-Qur'an yang Membebaskan, dalam Menafsir Kalam Tuhan Tashwirul Afkar No. 18 Tahun 2004 Kurzman, Charles, Liberal Islam, Jakarta: Paramadina, 2001. Madjid, Nurcholis dkk, Fiqh Lintas Agama, Jakarta: Yayasan wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, 2004. Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, Bandung: Mizan, 1999. Mohammad, Gunawan, Catatan Pinggir: Amina dalam http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/03/28/CTP/. Diakses pada tanggal 6 Sep 2008 13:08:07 GMT Muhsin, Amina Wadud, Inside the Gender Jihad, Women Reform’s in Islam, England: Oneword Publication, 2006. Sabra, Martina, Al-Qur’an Tak Bisa Dijajah, wawancara dengan Amina Wadud dalam acara Konferensi Kekuatan Perempuan dalam Islam di Jerman. Amina Wadud www.TripAdvisor.com Syah, M. Aunul Abied, et al. Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, 2001.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009