UNIVERSITAS INDONESIA HERMENEUTIKA FEMINISME MENUJU TAFSIR ALQURAN BERKEADILAN GENDER. Refleksi Filosofis Terhadap Pemikiran Amina Wadud DISERTASI

UNIVERSITAS INDONESIA

HERMENEUTIKA FEMINISME MENUJU TAFSIR ALQURAN BERKEADILAN GENDER Refleksi Filosofis Terhadap Pemikiran Amina Wadud

DISERTASI

MARDETY NPM: 1206310152

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM DOKTOR ILMU FILSAFAT DEPOK 13 OKTOBER 2015

Hermeneutika feminisme..., Mardety, FIB UI, 2015.

UNIVERSITAS INDONESIA

HERMENEUTIKA FEMINISME MENUJU TAFSIR ALQURAN BERKEADILAN GENDER Refleksi Filosofis Terhadap Pemikiran Amina Wadud

DISERTASI diajukan untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Doktor Studi Ilmu Filsafat dipertahankan di depan Sidang Akademik Universitas Indonesia

MARDETY NPM: 1206310152

PROMOTOR : DR.AKHYAR YUSUF LUBIS KOPROMOTOR : PROF. DR. MUSDAH MULIA

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM DOKTOR ILMU FILSAFAT DEPOK 13 OKTOBER 2015


dipersembahkan : pada suami terkasih Drs.H. Mardinsyah


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Disertasi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan benar.

l.{ama

NPM Tanda tangan Tanggal


S {J

ITA

T

I) [i IT I \" Y

A'I' A,.\ N I} Ii I} A S I' tr-A (} I A I{ T S M Ii

llertantlittt tattg:ttt tli bau,irlr ini rlengan s€benarnl,:1 menl,atala baltn'a tlisertirsi ini S:t1'11 susun tanlla tindalian plagiarisnr sesuai dengan llengatur-:ln ),ilng berlirlitr tl i t.l nivcrsitls I ndnrresiir. SaYa \/2lIlg

di kenrtrttialt hari lerttviltil saYil rnelal
Jil
olelr I jniversit:rs Inrlorresia liellilrla sava.

.la lia

rta,


I

lifober 201s

HALAMAN PENGESAHAN Disertasi yang diajukan oleh Nama

Mardety

NPM'

1206310152

Program Studi Judul

Ilmu Filsafat Hermeneutika Feminisme menuju Tafsir Alquran Berkeadilan Gender (Refleksi Filosofis terhadap pemikiran Amina

wadud)

ini telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Doktor pada program Studi IImu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI Promotor

: Dr. Akhyar Yusuf Lubis

Kopromotor

: Prof.

Tim

Penguji

..)

Dr. Musdah Mulia

: Prof. Riris

K. Toha Sarumpaet, ph.D. (Ketua)

Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi (Anggota)

Dr. Gadis Arivia (Anggota) Dr. Phil. Syafiq Hasyim (Anggota) Dr. Naupal (Anggota)

Ditetapkan di Tanggal

: Depok

: 13 Oktober 2015

Oleh

.ll

Ijrn, Pengetahuan Budaya onesla ,

'

r:,.

:'',.{:

'-' i;f i;:'

Dr. Adri tus Laurens Gerung Waworuntu NIP. I95 07 198703 I 003 iii


UCAPAN TERIMAKASIH

Bermula dari keinginan untuk menyelesaikan studi pada program Doktor ilmu Filsafat yang telah tertunda selama dua belas tahun (berhenti studi pada tahun 2000), saya disarankan oleh Vincensius Y. Jolasa, Ph.D. (almarhum) untuk mendaftar kembali pada program Doktor ilmu filsafat. Pada pada waktu itu Dr. Vincen menjabat sebagai Ketua Departemen Filsafat, Fakultas lmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI). Awalnya, saya ragu mengikuti saran Dr. Vincen, karena saya telah menjadi manusia lanjut usia (manula), tidak mungkin saya mampu studi di pasca sarjana, tapi hasrat besar untuk studi, menuntun saya untuk berkonsultasi dengan Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi. Prof. Toeti mendukung niat saya untuk kembali studi di program Doktor Ilmu Filsafat dan beliau memotivasi saya dan meyakinkan bahwa umur bukan halangan untuk studi di tingkat S3. Dengan berpegang pada prinsip never too old to study saya mendarat kembali di Departemen Filsafat, FIB UI, terdaftar sebagai peserta program S3 tahun perkuliahan 2012/2013. Untuk ini saya mengucapkan terimakasih pada Prof. Toeti dan Dr. Vincen atas motivasi yang diberikan. Keinginan untuk meneliti persoalan gender dalam tafsir Alquran muncul ketika terjadi perdebatan penolakan Rencana Undang-Undang tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) di tingkat DPR-RI periode 2009 - 2014. RUU ini diinisiasi oleh komisi VIII DPR- RI. Saya bekerja sebagai tenaga ahli Anggota DPR-RI, komisi VIII sehingga saya mengikuti proses perkembangan wacana pembuatan RUU ini. Perdebatan penolakan RUU ini diwarnai oleh argumentasi agama yang cukup mendominasi. Ada kecurigaan,bahwa undang-undang ini akan merusak sendi-sendi agama Islam dan dipandang akan bertentangan dengan ajaran Islam. Terinspirasi oleh hal di atas, saya mulai tertarik dengan persoalan gender dalam Islam. Saya mulai intensif membaca literatur mengenai persoalan ini. Hasil bacaan saya: dalam masyarakat Islam terdapat ketidakadilan gender yang berakar dari penafsiran ayat-ayat Alquran. Ada kesamaan pandangan dari para intelektual Islam bahwa bias gender dalam penafsiran Alquran merugikan dan melumpuhkan peran-peran sosial perempuan, menjauhkan perempuan dari tujuan Islam sebagai

iv


rahmah bagi seluruh umat. Berdasarkan hal di atas, saya berkesimpulan bahwa persoalan gender dalam tafsir Alquran penting untuk dikaji. Atas selesainya disertasi ini, saya bersyukur kepada Allah SWT dan berterimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu. Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terimakasih kepada : Dr. Akhyar Yusuf Lubis, Promotor. Saya berterimakasih atas bimbingan terbaik yang telah diberikan untuk saya dan pinjaman belasan buku yang diperlukan untuk studi ini. Di awal penelitian ini, saya mendiskusikan dengan Dr. Akhyar pemikiran tokoh yang dijadikan objek studi dan Dr. Akhyar mengusulkan pemikiran Amina Wadud yang mendapat sambutan secara global dan diperbincangkan di dunia akademis. Untuk memperkuat pemahaman saya terhadap teori-teori baru filsafat, terutama mengenai hermeneutika saya mengikuti kelas-kelas yang diampu Dr. Akhyar di berbagai fakultas di Universitas Indonesia. Prof. Dr. Musdah Mulia, Ko-promotor. Saya berterimakasih atas dukungan yang diberikan sejak awal studi ini dan terimakasih atas kesediaannya menjadi Ko-promotor. Sebelum saya memutuskan mengambil tema disertasi ini, saya berkonsultasi dengan Prof. Musdah. Saya menyampaikan bahwa saya tidak tahu Alquran dan tafsirnya, saya hanya bisa membaca Alquran yang saya pelajari sejak umur taman kanak-kanak. Prof. Musdah memotivasi saya bahwa Alquran dan tafsirnya dapat didekati secara filosofis, sehingga teori filsafatnya yang harus kuat. Saya berterimakasih atas dorongan ini dan bimbingan terbaik dari Prof. Musdah selaku Ko-Promotor serta hadiah buku karya-karya beliau tentang keadilan gender dalam Islam. Setiap peluncuran karya baru Prof. Musdah, saya selalu diundang dan mendapat hadiah buku. Untuk memperkuat pemahaman saya terhadap materi disertasi, Prof. Musdah selalu mengundang saya pada acara-acara dimana beliau memberi kuliah atau menjadi nara sumber untuk materi yang berkaitan dengan tema disertasi tersebut. Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi, Penguji. Prof. Toeti selain memotivasi saya untuk studi ini, juga menguji disertasi saya. Di ruang ujian, saya merasa Prof. Toeti, lebih dari seorang penguji. Saran-saran beliau untuk disertasi ini betul-betul menstimulasi perkembangan naskah dan gagasan saya. Untuk v


mengambil tema disertasi ini saya memang mengkonsultasikannya pada Prof. Toeti dan beliau mengapresiasi bahkan sangat mendukung, karena perjuangan feminis Islam untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan gender sedang marak di dunia Islam. Dr. Gadis Arivia, Penguji dan Pembimbing. Saya lebih merasa bahwa Dr. Gadis adalah pembimbing saya yang sangat berperan memberi arah disertasi ini. Ketika saya ragu menentukan fokus studi ini, antara membahas isu-isu gender dalam tafsir Alquran atau problem metodologis dalam penafsiran Alquran, Dr. Gadis memberi arah. Beliau mengatakan bahwa pembahasan tentang isu-isu gender dalam tafsir Alquran telah banyak dilakukan, tapi metodologi tafsir Alquran belum diperbincangkan secukupnya dalam studi Islam. Hal ini merupakan sesuatu yang mendesak saat ini, terutama metode penafsiran Alquran berbasis feminis. Arahan Dr. Gadis ini menuntun saya ke jantung permasalahan dan jadilah disertasi ini dengan fokus penelitian hermeneutika feminisme, yaitu sebuah metode penafsiran Alquran berbasis feminis. Saya mendapat bimbingan intensif dari Dr. Gadis, terutama untuk menghadapi ujian promosi yang semula telah dijadwalkan pada tanggal 10 Juli 2015 tapi ditunda ke semester berikutnya. Dr. Gadis telah mengoreksi draft disertasi saya bab per bab, meluruskan sistimatika dan logikanya, memperbaiki kalimat dan ungkapan yang tidak jelas/tidak ilmiah serta memberi tambahan materi untuk pembahasan masalah yang masih miskin data dan lainnya. Untuk bimbingan intensif ini, beliau bersedia saya hubungi melalui Email, WhattsApp atau Skype. Terimakasih yang mendalam saya tujukan pada Dr. Gadis atas kesedian Dr. Gadis mengoreksi disertasi ini secara intensif. Prof.Riris Kusumawati Sarumpaet SS, MSc. Ph.D. Ketua Penguji dan Pembimbing Akademik (PA) saya. Selaku Pembimbing Akademis, Prof. Riris selalu memberi saya dukungan semangat untuk menyelesaikan studi pasca sarjana ini. Selaku Penguji, koreksian yang banyak dari Prof. Riris, terutama mengenai tatabahasa dan konvensi penulisan disertasi sangat membantu saya dalam penulisan disertasi ini. Saya yang biasa menulis hal-hal politik dengan kabar yang kabur, mendapat pengetahuan penulisan ilmiah dari Prof. Riris: jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

vi


Dr. Naupal, Penguji. Beliau menguji disertasi saya sejak dari ujian Proposal. Pertanyaan-pertanyaan Dr. Naupal mengenai muatan disertasi saya, telah membantu memberi petunjuk dan memperkecil kekurangan yang terdapat dalam disertasi ini. Selaku Sekretaris Departemen Ilmu Filsafat, Dr. Naupal telah memberi saya kemudahan dalam hal-hal yang terkait administrasi. Syafiq Hasyim Ph.D, Penguji. Di ruang ujian Pak Syafiq melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat membantu untuk memperbaiki penulisan disertasi ini. Koreksinya terhadap konsep-konsep yang saya bahas telah mengurangi kesalahan-kesalahan yang saya buat dan menstimulasi gagasan dan perkembangan naskah. Yosef Prasetyo, Konsultan Senior dari Psikologi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM Consultant). Ketika saya mengikuti assessment kompetensi

Tenaga Ahli Anggota DPR-RI di PPSDM, saya menyampaikan

bahwa saya masih berminat menyelesaikan studi di filsafat UI yang telah di hentikan dua belas tahun yang lalu. Pak Yosef memotivasi saya dan memberi saran bagaimana kembali ke kampus, termasuk saran berkonsultasi dengan Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi. Untuk hal ini saya mengucapkan terimakasih pada Yosef Prasetyo atas motivasi dan saran-sarannya di awal studi ini. Dra. Soemientarsi Muntoro MSi, Anggota DPR-RI periode 2009-2014 yang telah memberi saya kesempatan menjadi tenaga ahli, sehingga saya bersentuhan secara intensif dengan ide kesetaraan dan keadilan gender, ketika RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender di DPR-RI diwacanakan. Saya berterimakasih

pada

Bu

Mien

(panggilan

Soemientarsi

Muntoro)

atas

dukungannya terhadap studi ini dan mengizinkan saya bekerja sebagai tenaga ahli secara tidak penuh waktu (part- time) sampai habis masa jabatannya. Dr. Muhammad Fuad, Sri Herminie, Dr. Embun Kenyowati dan Dr.Eko Wijayanto (dosen filsafat) dan Nurulfatni Amzy Mhum yang telah memberikan masukan-masukan yang berharga untuk penelitian disertasi ini. Pak Fuad memberi saya draft disertasinya Antropologi Teologis Hassan Hanafi dan Relevansinya terhadap Pendidikan,

yang telah menjadi

inspirasi bagi saya

dalam menyusun pola penulisan disertasi ini. Ibu Herminie, selalu mengingatkan saya untuk menyelesaikan tugas-tugas administrasi sebagai mahasiswa dan vii


meminjamkan buku-buku bahkan mengunduhkan materi yang saya butuhkan. Terimakasih saya yang tulus untuk ibu Herminie. Demikian pula Dr. Embun dan Dr. Eko yang telah meminjamkan saya buku-buku yang saya perlukan, Nurul telah membantu saya memperbaiki format penulisan disertasi. Bagi saya semua bantuan ini sungguh berarti. Keluarga inti saya : Suami terkasih Drs. H. Mardinsyah yang sangat mendukung studi ini, karena menghendaki saya mencapai prestasi dan pendidikan tertinggi. Di luar pengetahuan saya, suami telah berjanji pada keluarga saya di awal pernikahan kami (1969) untuk memberi saya kesempatan mendapat pendidikan tertinggi, dimana saat itu, saya baru menyelesaikan Sekolah Teknik Menengah (STM), jurusan mesin. Dalam menyelesaikan studi ini, suami membantu mencarikan buku-buku referensi, mengoreksi salah ketik pada draft disertasi, bahkan membuatkan saya minuman tatkala saya terbatuk-batuk di larut malam di depan komputer. Demikian juga halnya dengan anak-anak saya yang semua telah dewasa. Mereka sangat mendukung saya dalam studi ini. Sekalipun usia senja menghadang saya, mereka tetap melihat studi ini ada manfaatnya. Untuk itu, Ir. Ranoldi Mardinsyah MH, putra sulung saya, selalu siap mengantarkan saya ke kampus, ke perpustakaan dan menemui Promotor dan KoPromotor. Putra kedua Defriansyah MM, membantu di bidang komputerisasi. Yudiansyah MT, putra ketiga, dengan ikhlas menyiapkan dana untuk studi ini dan Ir. Ardiansyah, putra keempat, selalu memberi semangat dan dorongan agar saya menyelesaikan studi ini tepat pada waktunya. Saya juga berterimakasih pada menantu-menantu saya : Rahmazita Ranoldi, Elya Defriansyah SE, dr. Hanum Yudiansyah MKM dan Ir.Vivi Ardiansyah yang telah memberi dukungan semangat dan ketenangan jiwa dalam studi ini. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih kepada semua pihak baik terungkap maupun tidak dalam tulisan ini. Akhirnya, saya menyadari bahwa disertasi ini banyak kekurangan, untuk itu saya membuka diri untuk menerima kritik dan saran-saran. Depok, 13 Oktober 2015 Mardety

viii


I

IAI,AN,TAN I'EItNYA'I'AAN I'F,I{SI.]'I'IJ.ITJAN I'[]BI,I KASI

'l'tI(;AS Al{I I Ilt tJN'l'tiK K[.PI,.N'l'INC;AN AKADEMIS

Sebagai sivitas al<arlcrnili I jnir ersitas lrrrlonesi:ln

silvil vang bcrtantla tangan

rlibau,ah irri:

rrlc{r

Nanra

IVIa

N['M

r206310152

Progr:rnr St utli : Dellarterncn li akultas .Jenis liarva

llrnu Iiilsalat liilsa lat IIrrru l)cngetithunn llutlavn

Discl'llsi

rlerni l)engcnrbangalr ilnru lrengetahuiln, menvetu.iui untuk rnernberikan lielrada Iiniveriitas lnrlonesia I lali IJeb:rs ltovalti Nonel<slusif (lYort- e-rclusiva 11o.1,s111-1;raa II

Ii

Ri;4hl) alas lian,:t ilmiah sava \/ilng berirrdul

ltM [.N

l. t l'l'I

:

Ki\ Irl'.M I N I SM li

N'l t.N [-1.1 [J'l'AIrS IR ALQ t,i RAN IiITKI.,AI)I I,AN (; [,N D EI{ (lleflelisi Irilosolls terlratlap ['ernikiran Arnina Warlud)

I}

bc:sert:r pcrangliirt vurtg atlit (.iilia tlipcrlulian). l)cngan IIal< Ilebas ltoyalti Nunsclislusil' irri []nir crsitits lntlonesia berhitli rrre nviml)an! rnengalih rrrecli:r/lornralk:ur, rrrcrrgclola tlitliun llcntuli pangkalan rlata (rlatabaserl).,

meril\\ at rlan nlenr llu blikasilinn tugas alihir saya selama tetap nrcnc:lntunrlian nilnl:l savil scllagai l)enulis/pencipta dan sellitgai pernilil< I'l:tk (-'i1rta.

Derniliian [)crn\/ltitan ini sitya lluitt tlcngan scbettitrnya.

I)ibuat rli : l)epoli l)arla

l:rrrggll : lJ Olitober"2015

Yit,tg

",,,

ji

:,,,,

ti/i

i-tl. ,4-r'"

rr.

i

\j i / (N'l:r"r"{clr

)


ABSTRAK Nama Program Studi Judul

: Mardety : Filsafat : Hermeneutika Feminisme Menuju Tafsir Alquran Berkeadilan Gender (Refleksi Filosofis Terhadap Pemikiran Amina Wadud)

Disertasi ini merupakan studi hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran, khususnya hermeneutika feminisme dalam pemikiran Amina Wadud. Problem metodologis dalam penafsiran Alquran telah melahirkan penafsiran yang bias gender dan telah membuat perempuan menjadi subordinat dan tertindas. Isu-isu gender telah melahirkan pandangan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki dan kemanusiaan perempuan tidak utuh. Dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender, Wadud membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran untuk direinterpretasi dengan pendekatan hermeneutika feminisme. Tujuan disertasi ini adalah memformulasikan model hermeneutika feminisme dalam pemikiran Wadud, yaitu mengeksplisitkan cara kerja dan asumsi-asumsi metodologis yang terkandung dalam hermeneutika feminisme. Konstribusi penting hermeneutika feminisme adalah memunculkan tafsir feminis, sebuah tafsir yang mengumandang suara perempuan dalam Alquran. Kata kunci: hermeneutika feminisme, tafsir Alquran, kesetaraan dan keadilan gender.

ABSTRACT This dissertation is the study of feminist hermeneutics in the Alquran, particularly, implementing feminist hermeneutics in Wadud’s literature/texts. Methodological problems in the interpretation of the Alquran has caused gender bias interpretations and has made women subordinate and oppressed. Gender isues spawned the view that the position of women in society is considered lower than male and female humanity is deemed incomplete. Thus, in order to achieve equality and gender justice, Wadud dismantles gender bias in the interpretation of the Alquran for reinterpretation. The purpose of this dissertation is to formulate models of feminist hermeneutics used in Wadud’s literature/texts. It shows how feminist hermeneutics works and methodological assumptions in feminist hermeneutics. The important contribution of feminist hermeneutics is to include feminist interpretation, an interpretation which articulates the voice of women in the Alquran. Keywords : feminist hermeneutics, commentary on the Alquran, equality and gender justice.

x Hermeneutika feminisme..., Mardety, FIB UI, 2015.

DAFTAR ISI hal

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

i

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

ii

HALAMAN PENGESAHAN

iii

UCAPAN TERIMAKASIH

iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

ix

ABSTRAK

x

DAFTAR ISI

xi

BAB 1

: PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang permasalahan

1

1.2. Alasan pemilihan objek penelitian

5

1.3. Penelitian terdahulu

6

1.4. Permasalahan penelitian

8

1.5. Definisi konseptual

11

1.5.1. Tafsir Alquran 1.5.2. Gender

11 13

1.6. Kerangka teori dan metodologi penelitian

15

1.6.1. Kerangka teori penelitian 1.6.2. Metodologi penelitian

15 20

1.7. Pernyataan tesis

21

1.8. Tujuan dan kegunaan penelitian

21

1.9. Sistimatika penulisan

22

xi


BAB 2 : AMINA WADUD : LATAR BELAKANG INTELEKTUAL DAN PERJUANGAN SERTA PENGARUH FEMINISME 2.1. Pengantar

24

2.2. Latar belakang intelektual Amina Wadud

26

2.2.1. Tokoh dan aliran pemikiran yang mempengaruhi Amina Wadud 2.2.2. Riwayat pendidikan dan perjuangan 2.2.3. Latar belakang sosial dan budaya 2.2.4. Karya-karya Amina Wadud 2.3. Pengaruh Feminisme pada Amina Wadud 2.3.1. Pengaruh Feminisme liberal, radikal dan eksistensialis 2.3.2. Perjuangan menjadi Imam perempuan 2.4. Rangkuman

29 31 33 33 35 36 40 46

BAB 3 : HERMENEUTIKA FEMINISME AMINA WADUD 3.1. Pengantar

48

3.2. Hermeneutika dan perkembangannya

49

3.3. Hermeneutika dalam studi Islam

55

3.4. Hermeneutika Feminisme

61

3.4.1. Hermeneutika dalam pemikiran feminis Islam 3.4.2. Gagasan-gagasan hermeneutika dalam pemikiranWadud 3.4.2.1. Pandangan Wadud terhadap tafsir klasik 3.4.2.2. Kategori, aspek penafsiran dan domain analisis 3.5. Model Hermeneutika Feminisme Amina Wadud 3.5.1. 3.5.2. 3.5.3. 3.5.4. 3.5.5.

Pandangan / pengalaman perempuan Kerangka pemikiran Feminisme Metode kontekstualisasi historis Metode Intratekstual Paradigma tauhid

3.6. Rangkuman

64 71 72 77 82 83 85 87 90 94 95

BAB 4 : APLIKASI HERMENEUTIKA FEMINISME WADUD DALAM PENAFSIRAN AYAT-AYAT GENDER DALAM AL-QURAN 4.1. Pengantar

101

4.2. Kritik terhadap penafsiran ayat penciptaan

101

xii


4.3. Kritik terhadap penafsiran ayat kepemimpinan

111

4.4. Kritik terhadap penafsiran ayat talak

119

4.5. Kritik terhadap penafsiran ayat poligami

123

4.6. Kritik terhadap penfsiran ayat waris

129

4.7. Kritik terhadap penafsiran ayat saksi

133

4.8. Rangkuman

157

BAB 5. : P E N U T U P 5.1.Pengantar

143

5.2.Kesimpulan penelitian

143

5.3.Respon terhadap pemikiran Amina Wadud

147

5.3.1. Respon Positif 5.3.2. Respon Negatif 5.3.3. Respon Penulis

147 149 152

5.4.Rekomendasi

155

DAFTARA PUSTAKA GLOSARIUM LAMPIRAN

xiii


1

BAB 1 PENDAHULUAN

Latar Belakang Permasalahan

1.1.

Disertasi ini adalah kajian mengenai persoalan gender dalam tafsir Alquran menurut perspektif Amina Wadud. Tafsir Alquran dan gender adalah dua entitas yang masing-masing bisa berdiri sendiri tanpa saling menyapa. Masing-masing entitas tumbuh dan berkembang dalam dunianya sendiri, yang satu dipandang menghuni dunia sakral dan yang lainnya di dunia profan. Tapi, ketika dikaitkan dengan ide keadilan yang merupakan kebutuhan mutlak kehidupan manusia, maka tersingkap bahwa dalam tafsir Alquran terkandung hal-hal yang merugikan perempuan, melumpuhkan peran-peran sosial perempuan dan menjauhkan perempuan dari tujuan Islam sebagai rahmah bagi seluruh umat. Berdasarkan asumsi di atas, persoalan gender dalam tafsir Alquran penting untuk dikaji, agar keadilan dapat ditegakkan dalam kehidupan manusia. Keadilan adalah prinsip kehidupan yang harus dipenuhi, karenanya segala bentuk ketidakadilan harus dikritisi. Dalam masyarakat Islam masih kuat anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Kemanusiaan perempuan dipandang tidak utuh dan eksistensi perempuan hanya melengkapi dan melayani laki-laki. Anggapan ini mengakibatkan perempuan mengalami berbagai bentuk diskriminasi. Inilah yang disebut dengan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender dalam masyarakat Islam disebabkan oleh

bias

gender dalam penafsiran Alquran.1 Penafsiran ayat-ayat Alquran terkait dengan perempuan atau ayat-ayat gender2 yang telah dikodifikasi menjadi fiqih3 1

2

3

Musdah Mulia, Indahnya Islam menyuarakan kesetaraan dan keadilan gender (Yogyakarta: Naufan, 2014), hal. 87. Ayat-ayat gender adalah ayat-ayat Alquran yang bicara tentang perempuan, seperti Qs. Annisa dan lainnya. Fiqih merupakan ilmu pengetahuan agama Islam yang dianggap penting oleh umat Islam. Fiqih merupakan petunjuk dari sebuah perilaku dan penjelas apa yang boleh dan yang tidak boleh. Kedudukan fiqih merupakan unsur penting dalam membentuk sistem nilai dan pranata sosial sehingga pembaharuan fiqih merupakan posisi strategis untuk perubahan. Dalam perkembangan

UNIVERSITAS INDONESIA Hermeneutika feminisme..., Mardety, FIB UI, 2015.

2

melahirkan pandangan yang merendahkan perempuan. Tafsir Alquran yang merupakan salah satu sumber legitimasi ajaran agama memberi pandangan yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan perempuan. Perempuan tidak diakui sebagai manusia utuh, tidak berhak mempresentasikan diri, dilarang menjadi pemimpin, dipojokkan sebagai makhluk domestik, harus menjadi istri yang taat suami dan harus rela bila suami berpoligami sampai dengan empat istri. Atas nama agama, perempuan diposisikan sebagai objek hukum, khususnya hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga seperti hukum perkawinan dan pewarisan.4 Dalam kitab-kitab tafsir klasik termuat pandangan bahwa laki-laki adalah jenis kelamin utama, sedang perempuan sebagai jenis kelamin kedua. Bias gender dalam penafsiran Alquran seperti ini masih dijadikan referensi dalam melegalkan pola hidup patriarki.5 Bias gender dalam penafsiran Alquran dapat ditemukan dalam kandungan tafsir-tafsir klasik, seperti dalam tafsir Jami‟ul Bayan fi Tafsiri Qur‟an karya atThabari, tafsir Ibnu Katsir karya Syekh Ibnu Katsir dan kitab-kitab tafsir lainnya. Penafsiran soal perempuan dalam kitab-kitab ini diwarnai oleh cerita mitologi yang hidup dalam masyarakat, seperti mitos turunnya Adam dan Hawa, perempuan berasal dari tulang rusuk, perempuan tidak boleh memimpin dan mitos-mitos lainnya. Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir ditemukan pandangan yang menggambarkan perempuan sebagai manusia yang tidak utuh, diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Pandangan ini bersumber dari penafsiran ayat mengenai penciptaan manusia Qs.Annisa/4:1 yang ditafsirkan oleh Ibnu Katsir sebagai berikut: Allah berfirman memerintahkan makhluknya untuk bertaqwa kepada-Nya. Yaitu beribadah hanya kepada Allah yang tidak ada sekutu baginya serta menyadarkan mereka tentang kekuasaan-Nya yang telah menciptakan mereka dari satu jiwa, yaitu Adam. Dan daripadanya Allah menciptakan

kehidupan manusia saat ini fiqih merupakan disiplin ilmu yang paling tertantang karena objek fiqih adalah manusia dan fiqih harus membuka ruang untuk istima’ baru. 4

5

Musdah Mulia, Muslimah Sejati Menempuh Jalan Islami, Meraih Ridha Illahi, ( Bandung : Marja , 2011), hal. 98. Nasaruddin Umar, Arqumen Kesetaraan Gender: Perspektif Alquran (Jakarta : Paramadina, 1999).


3

isterinya yaitu Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam bagian kiri dari belakang (Ibnu Katsir )6 Di dalam hadis dinyatakan: Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian paling atas. Jika engkau memaksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Tetapi jika engkau bersenang-senang dengannya, maka bersenang-senanglah dengannya, sedangkan padanya terdapat kebengkokan.7 Mitos tulang rusuk merendahkan perempuan dan menimbulkan efek-efek negatif dalam relasi gender dalam berbagai bidang kehidupan. Kepada perempuan diberikan status inferior dan rendah, perempuan dipandang lemah, emosional, tidak cakap secara intelektual dan spiritual dan eksistensi perempuan hanya untuk alat reproduksi atau penerus generasi. Dalam kitab-kitab Islam, perempuan selalu digambarkan sebagai the second class (kelas dua) tidak sederajat dengan laki-laki dan selalu dipinggirkan. Dalam era kontemporer, ketika ide kesetaraan dan keadilan gender mulai ramai diperbincangkan mengiringi perkembangan pemikiran Islam dalam menyikapi situasi kekinian, bias gender dalam penafsiran Alquran mulai digugat. Gugatan terhadap bias gender dalam penafsiran Alquran dapat disimak dari pemikiran para tokoh-tokoh intelektual Islam seperti, Amina Wadud, Riffat Hassan, Asma Barlas, dan lainnya. Gugatan terhadap tafsir bias gender juga dapat dilihat dalam pemikiran tokoh-tokoh intelektual Islam Indonesia, seperti Siti Musdah Mulia, Nasaruddin Umar, Husein Muhammad dan lainnya. Tokoh-tokoh Islam ini sepakat mengatakan bias gender dalam penafsiran Alquran menjadi salah satu sebab ketimpangan dan ketidakadilan gender dalam masyarakat Islam. Sekalipun bias gender dalam penafsiran Alquran telah banyak digugat, tapi ide kesetaraan dan keadilan gender belum banyak berpengaruh terhadap perilaku yang telah terpola dalam masyarakat Islam. Hal ini sekurang-kurangnya dapat dilihat di Indonesia. Saat ini terdapat 354 Peraturan Daerah (Perda) bernuansa

6

Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2,terj. Abdul Ghofar E.M. (Jakarta: AsySyafi’i, 2008), hal. 290. 7 Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, hal. 290.


4

bias gender.8 Wacana penerbitan

Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan

Gender oleh DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) menimbulkan banyak polemik di kalangan masyarakat dan dicurigai dapat merusak sendi-sendi

agama Islam.9 Di sisi lain, tafsir bias gender yang

dikodifikasi menjadi hukum Islam melahirkan hukum yang diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan. Dalam hukum yang diskriminatif dan tidak adil itu, perempuan terbelenggu dalam dilema: taat pada hukum berarti pembiaran terhadap pelanggengan ketidakadilan, tetapi meninggalkan hukum dapat dituduh murtad dan dikafirkan. Karena itu, untuk membebaskan perempuan dari belenggu ini, bias gender dalam penafsiran Alquran perlu dibongkar untuk direinterpretasi. Disertasi ini akan mengantarkan kita pada tawaran dimaksud, khususnya berkaitan dengan pemikiran Amina Wadud, seorang intelektual feminis Islam dan tokoh pergerakan perempuan dari Afrika-Amerika. Amina Wadud menaruh perhatian yang besar pada persoalan gender dalam tafsir Alquran. Wadud mengkritik pemikiran Islam yang tidak memperhatikan soal gender sebagai salah satu kategori pemikiran, sehingga anggapan bahwa derajat perempuan rendah dari laki-laki sulit diubah. Menurut Wadud, bukan Alquran yang merendahkan derajat perempuan, tapi penafsiran Alquran yang dianggap lebih penting dari Alquran itu sendiri. Wadud percaya bahwa perempuan tertindas bukan karena Alquran, tetapi karena bias gender dalam penafsiran Alquran. 10 Wadud mengkaji tafsir Alquran lalu membongkar bias gender yang mewarnai tafsir selama ini dan membedah ayat-ayat tertentu atau kata-kata kunci dalam ayat-ayat tersebut yang selama ini digunakan untuk membatasi peran erempuan, bahkan membenarkan kekerasan terhadap perempuan.

Wadud

8

Laporan Komnas Perempuan Tahun 2013. Perda yang diskriminatif terhadap perempuan diantaranya, larangan keluar malam dan larangan memakai celana panjang bagi perempuan. Perda wajib pakai busana tertentu bagi PNS perempuan. 9 Draft Rencana Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan gender (RUU KKG) mulai diproses tahun 2010, ketika draft ini disosialisasikan terdapat perdebatan di internal DPR-RI, hingga saat ini belum ada keputusan untuk menjadikan draft RUU tersebut sebagai RUU inisiatif DPR-RI. (Sumber: Tim Penyusun RUU KKG P3DI Setjen DPRRI). 10 Amina Wadud, Qur’an and Woman, Rereading the Sacred Text From a Woman’s Perspektif (Oxford: University Press, 1999), hal. xxi


5

membuka tabir yang menutupi pandangan Alquran mengenai perempuan, mengagas penafsiran Alquran dari perspektif feminis atau hermeneutika feminisme agar dihasilkan tafsir Alquran berkeadilan gender. Menurut Wadud, ayat-ayat Alquran harus terus menerus ditafsirkan, karena prinsip Alquran abadi tapi harus diaplikasikan dalam konteks yang berubah. Penafsiran Alquran tidak pernah final.11 Dalam karir akademiknya, Wadud pernah menjadi Professor of Religion and Philosophy (Profesor Agama dan Filsafat di Virginia Commonwealth University). Dia memperoleh Ijazah Doktor Filsafat dari Universitas Michigan dan mempelajari Bahasa Arab di Universitas Amerika dan Universitas Al-Azhar, di Kairo Mesir. Karya pertamanya Qur‟an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman‟s Perspective merupakan penelitian disertasinya untuk meraih gelar doktor. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1992 oleh Penerbit Fajar Bakati Sdn. Bhd. Kuala Lumpur, Malaysia dan diterbitkan kembali pada tahun 1999 oleh Oxford University Press, New York dan buku cetakan kedua ini menjadi rujukan utama penelitian disertasi ini. Dalam karyanya yang pertama ini, Wadud menyingkap berbagai persoalan gender dalam tafsir Alquran dan dalam karya yang lain Inside The Gender Jihad, Woman’s Reform in Islam, Wadud banyak mengkritik pemahaman keagamaan yang diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan. Paham agama yang diskriminatif ini telah merampas identitas diri perempuan sebagai manusia. Menurut Wadud identitas diri perempuan penting untuk merefleksikan identitas Islam dalam konteks muslim yang beragam.12

1.2.

Alasan Pemilihan Objek Penelitian Pilihan terhadap pemikiran Amina Wadud sebagai objek penelitian

disertasi ini didasarkan pada alasan-alasan berikut. Pertama, Wadud menggagas 11 12

Wadud, Qur’an and Woman, hal. 10 Amina Wadud, Alternatif Qur’anic interpretation and Status of Muslim Woman dalam Windows of Faith Moslem Woman Scholar-Activist in North America. Ed. Gisela Webb,(Syracusse: Syracusse University Press 2000).


6

hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran, dimana hermenutika bagi penafsiran Alquran tergolong baru dan masih diperdebatkan. Para ulama dan ilmuan Islam tradisional menolak hermeneutika bagi penafsiran Alquran dan berpegang pada metode penafsiran klasik. Tapi ulama dan ilmuan Islam kontemporer, didorong oleh kesadaran akan hadirnya realitas kekinian dan untuk pemenuhan standar ilmiah telah menggunakan hermeneutika untuk penafsiran Alquran.13 Kedua, suara Wadud adalah suara feminisme dalam konteks Islam. Dalam pembahasan filsafat di era kontemporer ini, suara-suara feminis mulai didengungkan bahkan dalam perkembangan mutakhir dalam perjuangan feminisme

terlihat

usaha

untuk

mengonstruksi

filsafat

feminis

dengan

memasukkan ide kesetaraan dan ketidakadilan gender14. Sejalan dengan itu, Wadud berusaha mengonstruksi tafsir feminis melalui metode baru penafsiran Alquran yang mengacu kepada ide keadilan dan kesetaraan gender. Ketiga, Wadud bergerak dari ide ke aksi. Ide kesetaraan dan keadilan gender

yang

diusung

Wadud

tidak

berhenti

dalam

wacana,

tetapi

diimplementasikannya dalam praktek. Wadud pernah menjadi imam shalat dengan makmum laki-laki dan perempuan, yang selama ini dipandang haram. Tindakan Wadud menjadi imam shalat dengan makmum laki-laki dan perempuan dapat dilihat sebagai kekuatan simbolik bahwa perempuan setara dan sederajat dengan laki-laki. Selama ini kepemimpinan perempuan diranah politik bersandar pada haramnya kepemimpinan perempuan di ranah ibadah (menjadi imam shalat). Sandaran inilah yang didobrak oleh Amina Wadud.

1.3.

Penelitian yang terdahulu Pemikiran dan gagasan Wadud banyak dibicarakan dan mendapat respon

yang cukup signifikan. Hal ini terlihat dari beberapa penelitian yang telah 13

Irsyadunnas, Hermeneutika feminisme dalam pemikiran tokoh Islam Kontemporer (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara,2014), hal. 3. 14 Gadis Arivia, Filsafat berspektif Feminis ( Jakarta: Jurnal Perempuan, 2003) hal. 308.


7

dilakukan berkaitan dengan pemikiran Wadud mengenai hermeneutika bagi penafsiran Alquran, seperti disertasi yang ditulis oleh Irsyadunnas yang berjudul Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer (2014). Dalam disertasinya ini, Irsyadunnas mengemukakan landasan epistemologi, aplikasi dan implikasi hermeneutika feminisme dalam pemikiran Wadud dan Asghar Ali Engineer.15 Penulis ini membandingkan pemikiran hermeneutika feminisme Wadud dengan pemikiran hermeneutika feminisme Asghar Ali Engineer. Bagi Wadud, penafsiran Alquran terkait perempuan, harus memasukkan perspektif perempuan dalam proses penafsiran, sehingga keterlibatan langsung perempuan dalam proses penafsiran adalah mutlak agar diperoleh produk tafsir yang tidak diskriminatif terhadap perempuan. Sementara bagi Engineer, masuknya perspektif perempuan bukanlah suatu keharusan. Untuk menghasilkan produk tafsir yang tidak diskriminatif lebih ditentukan oleh kompetensi dan integritas seorang muffasir. Penulis disertasi ini cenderung berpihak kepada Engineer dengan mengeritik pemikiran Wadud yang dipandangnya bias feminis karena mengharuskan pengalaman perempuan terlibat langsung dalam proses penafsiran. Tulisan lain yang membahas hermeneutika feminisme Wadud adalah artikel Asma Barlas yang berjudul Amina‟s Wadud hermeneutics of the Qur‟an Woman Reading Sacred Text dalam Modern Muslim Intellectual and the Qur‟an, ed. Taji al-Faruki (2004). Dalam tulisan ini Barlas mengatakan bahwa usaha Wadud mengunakan hermeneutika feminisme bagi penafsiran ayat-ayat Alquran terkait perempuan merupakan bagian dari upaya emansipatoris perempuan. Barlas mengakui bahwa Wadud merupakan pionir dalam bidang penafsiran Alquran berbasis feminis, dia mengungkap tafsir ayat-ayat terkait perempuan dan memberi pemahaman mengenai kesetaraan gender dalam Alquran.16

15

16

Asghar Ali Engineer (1939-2013), intelektual Islam asal India, dikenal sebagi penulis dengan berbagai karya, pengajar di berbagai universitas dan aktif di berbagai organisasi sosial. Asma Barlas, Amina’s Wadud hermeneutics of the Qur’an Woman Reading Sacred Text, dalam Modern Muslim Intelectual and the Qur’an , ed. Suha TajiFaruki (Oxford: Oxford University press, 2004), hal. 123.


8

Sementara itu, tulisan Abdul Mustaqim yang berjudul Penafsiran Alquran yang Sensitive Gender (Telaah Kritis atas pemikiran Amina Wadud Muhsin) dalam Studi Kitab Tafsir Kontemporer ed. M. Alfatih Mangkudilaga (2006) menyebutkan bahwa Amina Wadud melakukan rekonstruksi metodologis penafsiran Alquran dalam rangka membongkar mitos-mitos lama dalam tafsir yang merugikan perempuan. Adanya mitos dan bias gender dalam penafsiran Alquran dapat menyebabkan ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat dan tidak sesuai dengan prinsip dan spirit Alquran. Keadilan adalah prinsip utama Alquran.17 Penelitian-penelitian di atas, telah memberi kontribusi yang besar terhadap hermeneutika feminisme dalam membaca Alquran yang berperspektif perempuan. Namun, khususnya dalam pembahasan hermeneutika feminisme Amina Wadud, saya merasa pembahasan para peneliti terdahulu belum tuntas terutama mengenai pembahasan model hermeneutika feminisme dan penerapannya dalam penafsiran ayat-ayat gender dalam Alquran. Selain itu, saya ingin membuktikan bahwa hermeneutika feminisme bagi Alquran harus didasari pemahaman teori feminisme yang kuat. Di sinilah sisi pentingnya penelitian disertasi ini. 1.4.

Permasalahan Penelitian Pembahasan disertasi ini terarah pada dua tema pokok dalam pemikiran

Amina Wadud, yaitu pemikiran mengenai feminisme dan pemikiran mengenai hermeneutika. Pemikiran Wadud mengenai feminisme tercermin dari kritiknya terhadap bias gender dalam penafsiran Alquran yang dikembangkan dalam isu-isu gender dalam tafsir klasik seperti isu mengenai penciptaan dan kepemimpinan perempuan dan persoalan gender dalam hukum keluarga: hukum talak, poligami, waris dan saksi. Pemikiran feminisme Wadud menolak sistem patriarki dalam penafsiran Alquran dan menggagas agar penafsiran Alquran mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender.

17

Abdul Mustaqim, Penafsiran Alquran yang Sensitive Gender (Telaah Kritis atas pemikiran Amina Wadud Muhsin) dalam Studi Kitab Tafsir Kontemporer, ed .M. Alfatih Mangkudilaga (Yogyakarta : TH Press, 2006), hal. 104-105.


9

Kesetaraan dan keadilan gender merupakan isu utama feminisme. Dalam wacana feminisme, perempuan digambarkan sebagai manusia yang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan, sehingga muncul perjuangan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Perjuangan tersebut diawali oleh pergerakan feminisme Barat yang muncul di awal tahun 1970-an dan di tahun 1980-an teoriteori feminisme menyerbu dunia universitas. Pergerakan dan pemikiran feminisme kemudian disambut secara global dan dikaji secara ilmiah, termasuk dalam konteks Islam. Menyimak berbagai literatur tentang kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam,18 dapat dikatakan bahwa pada akhir abad 20, tokoh-tokoh feminis yang mengkaji studi Islam kontemporer, mulai intensif mengusung isu-isu feminisme dalam kehidupan sosial, terutama isu kesetaraan dan keadilan gender. Bahkan tokoh-tokoh feminis yang mengkaji studi Islam menggugat tafsir Alquran yang tidak berkeadilan gender dan melakukan penafsiran ulang ayat-ayat Alquran dengan pendekatan kesetaraan dan keadilan gender. Saya yakin, pemikiran feminisme Wadud memakai kerangka pemikiran feminisme dari Barat. Pemikiran Wadud mengenai hermeneutika berangkat dari asumsi bahwa bias gender dalam penafsiran Alquran disebabkan oleh problem metodologis dalam penafsiran Alquran. Wadud mengeritik bahwa metode tekstual yang bercorak atomistik dalam penafsiran klasik telah menghasilkan produk tafsir yang membatasi

peran

perempuan

bahkan

membenarkan

kekerasan

terhadap

perempuan. Disamping itu, muffasir klasik hampir semua laki-laki, sehingga hanya kepentingan dan pengalaman laki-laki yang mempengaruhi produk 18

Karya-karya yang membahas kesetaraan gender dalam Islam, seperti Hermenutika Feminisme (Irsyadunnas, 2014) Feminist Edges of the Qur’an (Aysha A. Hidayatullah 2014), Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraandan Keadilan Gender (Musdah Mulia,2014), Tafsir Feminis, Studi Pemikiran Amina Wadud dan Nash Hamid Abu Zayd (Ahmad Baidawi 2009), Feminist in Islam, Islamis and Feminism (Margot Badron, 2005) The Qur’an and Hermeneutics: Reading the Qur’an’s Oppositin of Patriarchy (Asma Barlas, 2005) Gerakan Perempuan dalam Islam (Syafiq Hasyim,1999), Argumen Kesetaraan Gender (Nasaruddin Umar 1999),. al- Dawair aL- Khawf Qiraah fi Kittab al-Mar’ah (Nash Hamid Abu Zayd, 1999) issues and Contemporary Qur’an Interpretation (Barabara Freyer Stowasser,1998) dan lainnya. Juga karya lama yang membahas Kesetaraan gender dalam Alquran (karya yang lahir sebelum muncul pemikiran Amina Wadud) seperti Feminism and Feminist Movement in The Middle (Laela Ahmed 1982), East Woman in Islam: An Historical and Theological Enguary (Fatima Mernissi,1991), al- amarsyid al-Amin li al- Banat wa al- Banin (Petunjuk yang dipercaya untuk anak perempuan dan anak laki-laki) oleh Rifa’ah Tahtawi, 1872), Tahrirul Mar’ah (Pembebasan Perempuan) dan Mar’atun Jadidah ( Perempuan Pembaharu) oleh Qasim Amin .


10

tafsirnya, sedangkan kepentingan perempuan dan pengalamannya ditiadakan. Wadud juga mengeritik metode penafsiran Alquran dalam studi Islam modern. Sekalipun telah banyak ditawarkan berbagai hermeneutika yang berpihak kepada keadilan sosial tapi belum ada metode hermeneutika yang berpihak kepada keadilan gender. Sehubungan dengan itu, Wadud berkesimpulan bahwa dalam proses penafsiran Alquran terkait perempuan diperlukan metode baru yang melibatkan suara perempuan di dalamnya. Wadud menggagas penafsiran Alquran berbasis feminis, mengacu kepada kesetaraan dan keadilan gender dan menolak ide patriarki dalam tafsir. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Wadud menggagas hermeneutika yang berpihak pada keadilan gender atau hermeneutika yang berbasis feminis yang dalam disertasi ini disebut sebagai hermeneutika feminisme. Namun Wadud belum menjelaskan secara tuntas langkah-langkah operasional

hermeneutika

feminisme

yang

digagasnya.

Dia

hanya

mengemukakan gagasan-gagasan hermeneutika berperspektif feminis yang dapat disimak dari pandangannya terhadap tafsir klasik dan gagasannya mengenai aspek, kategori dan

domain-domain analisis penafsiran Alquran

serta

memperlihatkan kaitan teoritis dan metodologis antara penafsiran Alquran dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana) dan beberapa fokus yang menjadi konsentrasinya: apa yang dikatakan Alquran, bagaimana Alquran mengatakannya, apa yang dikatakan terhadap Alquran dan siapa yang mengatakan, dan ditambah dengan pengertian sekarang, yaitu apa yang belum dikatakan.19. Sehubungan dengan itu, penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan model hermeneutika feminisme dalam pemikiran Amina Wadud dan aplikasinya dalam penafsiran ayat-ayar gender dalam Alquran. Dengan demikian, pertanyaanpertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah: 1.

Apakah yang disebut dengan hermeneutika feminisme ? 19

Wadud, Qur’an and Woman, hal. xiii.


11

2.

Bagaimana model hermeneutika feminisme dalam pemikiran Amina Wadud, sehingga dapat membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran dan mengontruksi tafsir yang berkeadilan gender?

3.

Bagaimana aplikasi hermeneutika feminisme Wadud dalam penafsiran ayatayat gender dalam Alquran? Untuk menjawab permasalah penelitian ini, maka mau tidak mau harus

mengikuti alur pemikiran Amina Wadud dan menyimak dengan seksama pengalamannya yang terkait dengan persoalan gender dan feminisme, gagasangagasannya mengenai feminisme dan hermeneutika, cara kerja, metode kajiannya serta output dari pemikirannya. 1.5.

Definisi Konseptual Disertasi ini merupakan pembahasan persolan gender dalam tafsir Alquran,

maka konsep-konsep penting yang akan dielaborasi lebih jauh adalah tafsir Alquran dan gender. 1.5.1. Tafsir Alquran Tafsir berasal dari kata Arab fassara yufasiru tafsir yang berarti menerangkan dan menjelaskan. Dikatakan tafsir, karena maknanya

sebuah

tafsiran atau interpretasi, menyingkap dan menampakan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata tafsir itu sendiri merupakan isim masdar (kata abstrak) dari fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti pemahaman, penjelasan dan perincian. Tafsir bisa pula berarti al-Ibanah (menjelaskan) al-Kasyf (menyingkapkan) dan alidhhar (menampakan) makna atau pengertian yang tersembunyi. Secara terminologi, tafsir didefinisikan dengan cara yang berbeda-beda. M. Quraish Shihab mendefinisikan tafsir sebagai

penjelasan tentang maksud firman-firman

Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Tafsir lahir dari upaya sungguhsungguh dan berulang-ulang sang penafsir untuk ber- istinbath atau menemukan makna pada teks ayat-ayat Alquran serta menjelaskan apa yang musykil/samar


12

dari ayat-ayat tersebut sesuai kemampuan dan kecenderungan sang penafsir.20 Sebuah tafsir dipengaruhi oleh faktor budaya, kecendrungan politik dari sang penafsir. 21 Menurut Harun Nasution, bahasa dan isi Alquran tidak mudah dipahami dan dimengerti baik oleh orang Arab sendiri. Para sahabat Nabi sendiri yang ikut mengalami turunnya wahyu, tidak selamanya sama pengertian mereka terhadap ayat-ayat Alquran. Perbedaan pengertian itu timbul karena perbedaan dalam pengetahuan bahasa Arab dan perbedaan kecerdasan. Oleh karena itu, diperlukan penafsiran ayat-ayat Alquran.

22

Dengan demikian, tafsir adalah konstruksi sosial

yang dipengaruhi oleh cara berpikir dan sistem hidup masyarakat saat tafsir dikeluarkan. Dalam disertasi ini tafsir dibedakan atas tafsir klasik dan tafsir modern yang mengacu kepada periodisasi sejarah Islam. Harun Nasution membagi sejarah Islam atas tiga periode yaitu: periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800) dan periode modern (1800-sekarang).23 Pada zaman klasik para ulama melaksanakan ajaran Alquran dengan memakai ijtihad dan penggunaaan akal dan mengembangkan ilmu pengetahuan (science) yang berkembang pada waktu itu. Pada zaman pertengahan, pelaksanaan ajaran Alquran tidak boleh menggunakan ijtihad dan akal. Ulama zaman pertengahan bertaklid pada ulama zaman klasik atau menerima saja apa yang dihasilkan ulama zaman klasik. Ketika ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat di Barat dan bersentuhan dengan dunia Islam pada abad ke 19 maka lahir pembaharuan pemikiran Islam yang dibawa diantaranya, oleh Al-Thahtawi, Muhammad Abduh dan Jamaluddin AlAfghani. Pembaharuan pemikiran Islam pada abad ke 19 ini dipandang sebagai permulaan zaman modern dalam dunia Islam.24

20

Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Jakarta : Lentera Hati, 2013), hal.9. Musdah Mulia, Indahnya Islam menyurakan kesetaraan dan keadilan gender,hal.88. 22 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran ( Bandung : Mizan, 1995), hal 306. 23 Harun Nasution, Islam Rasional, hal. 8. 24 Harun Nasution, Islam Rasional, hal. 392 21


13

Dengan penjelasan di atas, yang saya maksud dengan tafsir klasik dalam disertasi ini adalah produk tafsir yang dihasilkan oleh ulama zaman klasik, yaitu zaman antara abad 8 hingga abad 13. Ulama yang terkenal di bidang tafsir dalam zaman klasik ini antara lain, al-Thabari dengan karyanya Jami‟ul bayan,fi tafsirin Qur‟an, Jalaluddin as-Sayuti dengan karyanya ad- Durrul Mansur fit tafsiri bil ma‟sur dan Ibnu Katsir dengan karyanya tafsir Ibnu Katsir. 25 Tafsir klasik maupun pertengahan bagi Amina Wadud adalah tafsir yang menggunakan pendekatan atomistik dan tekstual dalam penafsian Alquran. Pendekatan ini tidak komprehensif, hubungan gagasan, struktur sintaksis, prinsip atau tema Alquran tidak ada metodologinya dan konteks sosial waktu ayat diturunkan tidak dijadikan pertimbangan.26 Ayat Alquran ditafsirkan berdasarkan perspektif laki-laki, sehingga persepsi laki-laki yang mempengaruhi posisi tafsir tentang perempuan. Alquran ditafsirkan sesuai dengan visi, perspektif, kehendak dan kebutuhan laki-laki, sedangkan pengalaman perempuan diabaikan.27

1.5.2. Gender Gender didefinisikan sebagai seperangkat sikap, peran, fungsi dan tanggung jawab yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat kontruksi budaya atau pengaruh lingkungan masyarakat dimana manusia itu tumbuh dan dibesarkan.28 Dari definisi di atas, gender dipahami sebagai konsep sosial, yaitu konsep yang digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya bukan dari perbedaan jenis kelamin. Gender dibedakan dengan pengertian seks. Gender bersifat sosial dan seks bersifat biologis, yaitu jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Jenis kelamin lakilaki ditandai dengan adanya penis dan perempuan dengan vagina. Seks adalah

25

Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Alqur’an, Terj. Mudzakir (Jakarta: Litera Antar Nusa,1996), hal. 498. 26 Wadud, Qur’an and Woman,hal.1. 27 Wadud, Qur’an and Woman, hal. 2 28 Helen Tierney ( Ed) , Women's Studies Encyclopedia , hal. 153 .


14

natural sedangkan gender adalah konstruksi sosial. Dalam disertasi ini gender dipahami sebagai peran dan tanggung jawab sosial laki-laki dan perempuan. Gender

merupakan

pembahasan

penting

dalam

teori

feminisme.

Munculnya gerakan feminisme karena adanya perbedaan gender yang melahirkan masalah, yaitu relasi gender yang tidak adil bahkan menimbulkan penindasan terhadap perempuan.

Maka itu, dalam teori-teori feminisme, pusat perhatian

tertuju pada masalah-masalah mendasar tentang perempuan dengan isu utama kesetaraan dan keadilan gender.29 Sedangkan dalam konteks Islam, menurut Yunahar Ilyas, pengertian feminisme adalah kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.30 Dalam disertasi ini feminisme dipahami sebagai kesadaran akan penindasan terhadap perempuan dalam masyarakat. Dalam disertasi ini juga digunakan istilah feminis disamping feminisme. Yang dimaksud dengan feminis adalah orang-orang yang menyadari bahwa perempuan telah diperlakukan tidak adil. Sedangkan feminisme adalah sebuah pemahaman, studi atau teori. Feminisme berkembang pesat dan telah dikaji dari berbagai perspektif termasuk perspektif Islam. Muncul tokoh-tokoh feminis yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender dalam konteks Islam. Adapun yang dimaksud dengan kesetaraan dan keadilan gender adalah seperti yang dipahami Amina Wadud, yaitu kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan baik eksistensi maupun hak-haknya. Dalam disertasi ini digunakan istilah ayat-ayat gender dalam Alquran. Istilah

ini

dimaksudkan

untuk

menyebutkan

ayat-ayat

Alquran

yang

membicarakan atau berkaitan dengan perempuan. Istilah ini telah digunakan oleh Irsyadunnas dalam bukunya Hermeneutika Feminisme (2014) dan istilah ini juga digunakan oleh Nasaruddin Umar dalam Kata Pengantar dari buku Irsyadunnas

29 30

Gadis Arivia, Filsafat berperspektif Feminis, hal. 83. Yunahar Ilyas, Feminisme dalam kajian tafsir Alquran, Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hal. 40


15

tersebut. Umar mengemukakan bahwa ada 27 ayat-ayat gender dalam Alquran, dan penulis mencoba mengidentifikasi ayat-ayat gender tersebut dan menyertakan redaksi dan terjmahannya, seperti yang diterakan dalam lampiran disertasi ini. 1.6 . Kerangka Teori dan Metodologi Penelitian Untuk mengkaji dan membahas pokok permasalahan yang diajukan di atas disamping menggunakan alur pemikiran Amina Wadud mengenai tafsir Alquran, penulis juga menggunakan kerangka teori dan metodologi yang mendukung dan sesuai dengan pemikiran kritis Amina Wadud. 1.6.1. Kerangka Teori Penelitian Pemikiran Amina Wadud bercorak feminisme. Pemikiran feminisme Wadud akan dijelaskan dengan teori feminisme dalam tradisi pemikiran Barat. Feminisme awalnya berkembang dalam pemikiran Barat, kemudian berkembang secara global, masuk ke dalam berbagai lini kehidupan, termasuk bidang teologi. Pemikiran feminisme Wadud pada dasarnya adalah kritik terhadap konstruksi patriarki yang melakukan dominasi dan penindasan terhadap perempuan dan mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender sebagai isu utama dalam kajian tafsir. Amina Wadud mengembangkan pemikiran feminisme dalam tradisi Islam melalui kritiknya terhadap isu-isu gender dalam tafsir klasik, seperti isu penciptaan, kepemimpinan dan isu-isu dalam hukum keluarga merupakan kritik terhadap ide patriarki dalam tafsir Alquran. Wadud mempersoalkan eksistensi perempuan dan menuntut peran dan hak yang adil antara laki-laki dan perempuan. Persoalan eksistensi perempuan dan tuntutan terhadap hak dan peran perempuan merupakan aliran-aliran pemikiran dalam feminisme Barat. Feminisme diawali dengan suatu pergerakan sosial yang muncul di dunia Barat pada tahun 1800-an dengan tuntutan kesamaan hak dan keadilan bagi perempuan. Pergerakan ini diilhami oleh pemikiran Mary Wollstenocraft dalam bukunya The vindication Rights of Woman tahun 1975 yang menuding bahwa


16

pembodohan terhadap perempuan disebabkan oleh tradisi dan kebiasaan masyarakat yang membuat perempuan menjadi subordinasi laki-laki. Pergerakan perempuan yang dimotori oleh sekelompok perempuan di dunia Barat ini kemudian disambut secara global. Pergerakan perempuan merupakan pergerakan sosial yang paling lama bertahan dan terus berkembang sampai kini, merambah ke berbagai lini kehidupan, bersifat transnasional dan bergulir menjadi wacana akademik di perguruan tinggi. Ketika wacana-wacana feminisme masuk ke ruang akademis dan menjadi kajian ilmiah, muncul berbagai teori feminisme. Perkembangan feminisme dapat dipetakan dalam tiga gelombang besar seperti yang dikemukakan oleh Gadis Arivia dan Marta Rampton. Menurut Gadis Arivia, gelombang pertama feminisme merupakan pergerakan perempuan yang menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas pergerakan perempuan, seperti menuntut hak dan keadilan. Ini diawali oleh pemikir-pemikir perempuan, yang dapat dibilang berada dibalik lahirnya Deklarasi Konvensi Hak-hak Perempuan di Seneca Falls, yang menginginkan adanya rumusan hak asasi perempuan. Gelombang kedua, pergerakan perempuan masuk ke ruang akademis. Pada gelombang ini, lahir berbagai kajian perempuan dengan teori-teori mengenai keadilan gender, penyebab ketidakadilan dan cara mengatasinya. Pada gelombang dua ini teori feminisme banyak dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme yang dikembangkan oleh Jean Paul Satre dan teori feminisme dari Simone de Beauvoir serta teori-teori psikoanalisa. Gelombang ketiga, muncul teori feminisme yang bersinggungan dengan pemikiran kontemporer dan berkutat pada masalah alienasi perempuan secara seksual, psikologis dan sastra dengan bertumpu pada bahasa sebagai sebuah sistem.31 Marta Rampton32 juga memetakan perkembangan feminisme dalam tiga gelombang. Menurut Rampton, gelombang pertama feminisme terjadi awal abad ke-20, muncul dari lingkungan industrialisme perkotaan. Gelombang pertama feminisme ini diawali dengan gerakan dalam konvensi Seneca Falls pada tahun 31 32

Gadis Arivia , Filsafat berperspektif Feminis, hal.84-133. Marta Rampton, professor sejarah dan direktur Center for Gender Equity pada Pacific University.


17

1848, ketika 300 pria dan perempuan bersatu mengemukakan kesetaraan gender. Elizabeth Cady Stanton yang menyusun deklarasi Seneca Falls menguraikan ideologi dan politik strategi gerakan baru yang fokusnya membuka kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan hak pilih. Gelombang kedua dimulai pada tahun 1960 dan berlanjut sampai tahun 1990-an. Gelombang ini berlangsung dalam konteks anti-Perang Vietnam dan gerakan hak-hak sipil yang telah menumbuhkan kesadaran diri berbagai kelompok minoritas di seluruh dunia. Ketika muncul The New Left (Kiri Baru), suara feminisme semakin radikal. Pada gelombang ini, gerakan feminisme menuntut kesamaan hak dan kesetaraan gender dan fokus pembicaraan adalah pada hak-hak seksualitas dan reproduksi. Gelombang ketiga, dimulai pada pertengahan 1990-an yang dipicu oleh pemikiran paskakolonial dan posmodern. Pada gelombang ini banyak konsep yang telah diterima secara universal, seperti perempuan universal, tubuh, gender dan seksualitas. Bila gerakan perempuan pada gelombang sebelumnya ditandai dengan pembebasan diri dari penindasan laki-laki, maka dalam gelombang ketiga ini memperlihatkan kebebasan perempuan dalam menampilkan diri terutama feminisme muda dengan penampilan yang mewah (lipstik, sepatu hak tinggi dan baju dengan leher berpotongan rendah). Rampton menggambarkan feminisme di gelombang ketiga sebagai berikut. An aspect of third wave feminism that mystifies the mothers of the earlier feminist movement is the readoption by young feminists of the very lipstick, high heels and cleavage proudly exposed by low cut necklines that the first two phases of the movement identified with male oppression. 33

Sesuai dengan pemetaan di atas dapat ditemukan berbagai paham aliran feminisme, yaitu

aliran feminisme liberal, radikal, Marxis, eksitensialis,

psikoanalisa, postmodern, multikultural dan eko Feminisme. Untuk kepentingan disertasi ini, saya akan menyoroti pemikiran feminisme liberal, radikal dan eksistensial, sebab ketiga pemikiran inilah yang mendominasi Amina Wadud.

33

(http://www.pacificu.edu/about-us/news-events/three-waves-feminism


18

Feminisme liberal adalah pandangan yang menempatkan perempuan sebagai subjek yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas yang merupakan sifat dasariah manusia. Perempuan adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk berpikir secara rasional. Teori feminisme liberal dapat disimak dalam pemikiran feminisme Mary Wollstenocraft yang berusaha menunjukkan hak-hak perempuan dengan menghadirkan gagasan ideal mengenai pendidikan bagi perempuan. Wollstenocraft mendorong perempuan untuk menjadi pembuat keputusan yang otonom dan menekankan bahwa jalan menuju otonomi harus ditempuh melalui pendidikan. Wollstenocraft menginginkan perempuan menjadi manusia utuh tidak diperlakukan sebagai objek yang dirawat suaminya dan bukan pula sebagai instrumen untuk kebahagiaan orang lain. Perempuan adalah suatu tujuan bagi dirinya, agen yang bernalar dan

memiliki

kemampuan untuk

mengembangkan diri. 34 Feminisme radikal merupakan pandangan yang menyorot bahwa sistem seks/gender sebagai penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan. Dalam pandangan feminisme radikal seksisme adalah bentuk opresi yang pertama, yang paling menyebar dan paling dalam. Feminisme radikal menolak fisiologi (kromoson, anatomi, hormon) laki-laki dan perempuan dijadikan dasar identitas dan perilaku maskulin dan feminin, karena hal ini dijadikan alasan untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan. Masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan perempuan tetap pasif dan laki-laki tetap aktif. Aliran ini berpandangan bahwa untuk mengubah kondisi ini, maka perempuan harus menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk pasif dan laki-laki aktif. Karena itu,harus dikembangkan kombinasi sifat-sifat maskulin dan feminin untuk merefleksikan kepribadian masing-masing.35 Teori feminisme radikal dalam pemikiran Kate Millett mengungkapkan bahwa akar opresi terhadap perempuan terkubur dalam sistem seks/gender di 34 35

Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, terj. Aquarini (Yogyakarta : Jalasutra,2010), hal 21-22 Rosemarie Tong, Feminist Thought, hal. 72


19

dalam patriarki. Millett dalam bukunya Sexuals Politics (1970) berpendapat bahwa relasi gender adalah relasi kekuasaan. Kendali laki-laki dalam ruang domestik dan publik melahirkan patriarki. Untuk membebaskan perempuan dari penguasaan laki-laki, maka patriarki harus dihapus. Millett menginginkan masa depan yang androgin, suatu integrasi dari sifat feminin dan maskulin, karena kedua sifat ini saling melengkapi untuk hidup dengan baik dalam komunitas. 36 Feminisme eksistensialis mempersoalkan eksistensi perempuan. Teori feminisme eksistensialis berakar dari filsafat eksistensialisme, Jean Paul Satre. Dalam pandangan Satre, ada tiga modus “Ada” pada manusia yaitu etre en soi (“Ada” pada dirinya) etre pour soi (“Ada” bagi dirinya) dan etre pour les outres (“Ada” bagi orang lain). Cara berada manusia adalah etre pour soi yaitu cara berada yang memiliki kesadaran, kebebasan dan kritis.37 Tokoh feminisme eksistensialis, Simone De Beauvoir mengadopsi pemikiran Satre di atas. Dia menanggapi cara berada yang didefinisikan oleh Satre berbeda dengan perempuan. Cara berada perempuan dalam pandangan Satre etre pour les outres (ada bagi orang lain) bukan sebagai etre pour soi, yaitu cara berada manusia yang berkesadaran dan memiliki kebebasan, melainkan perempuan tidak berkesadaran (bukan subjek) dan tidak memiliki kebebasan, sehingga relasi gender merupakan relasi subjek-objek, dimana laki-laki mengobjekan perempuan dan membuatnya sebagai the other. Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second sex (1984) mengatakan bahwa eksistensi perempuan sebagai the other (yang lain) memandang perempuan sebagai makhluk lemah38 Teori yang digunakan dalam penelitian disertasi ini adalah ketiga teori feminisme yang dipaparkan di atas untuk memahami pemikiran feminisme Amina Wadud sebagai landasan untuk menggali pemikiran hermeneutikanya. Pemikiran feminisme Amina Wadud mengungkapkan antara lain, eksistensi perempuan dalam Alquran dan memperjuangkan hak dan peran yang setara antara

laki-laki

36

Rosemarie Tong , Feminist Thought, hal. 74 Resemarie Tong , Feminist Thought, hal. 255 38 Rosemarie Tong, Feminist Thought, hal. 256 37


20

dan perempuan dalam masyarakat Islam. Hal ini memperlihatkan bahwa pemikiran feminisme Wadud berada dalam lingkup pemikiran feminisme liberal, radikal dan eksistensialis. 1.6.2. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metodologi hermeneutika feminisme. Untuk menggali model hermeneutika feminisme dalam pemikiran Wadud, penulis menggunakan metode penafsiran Alquran berbasis feminis. Aysha A. Hidayatullah mengemukakan tiga metode penafsiran Alquran berbasis feminis yaitu: metode kontekstualisasi sejarah, intratekstualitas dan

paradigma tauhid.39 Metode

kontekstualisasi sejarah yaitu menafsirkan Alquran dengan memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya ayat atau wahyu (asbab al-nuzul). Dengan metode ini dibedakan ayat-ayat partikular dan universal. Ayat-ayat partikular diterapkan untuk mendefinisikan situasi dan kondisi masyarakat Arab Abad ke 7 dan ayat universal untuk semua manusia. Metode kontekstual historis meletakkan peran sejarah dalam melahirkan bias gender dan esensialisme biologis dalam tafsir klasik. Metode pembacaan intratekstual memperlakukan Alquran secara holistik, yaitu melacak bagaimana bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh teks Alquran dan membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama. Cara membaca Alquran dengan metode intratekstual, yaitu tidak membaca ayat-ayat tersebut satu persatu, tapi membaca ayat dalam tema yang sama secara keseluruhan dengan mengacu kepada prinsip Alquran yaitu keadilan untuk semua manusia. Paradigma tauhid berkaitan dengan konsep utama Islam, yaitu tauhid. Paradigma tauhid berarti keesaan Allah dan Allah tidak dapat dibagi dan dibandingkan. Dalam paradigma tauhid paham yang membedakan gender (seksisme) dapat dianggap pemberhalaan, karena semua manusia adalah khalifah 39

Aysha A. Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an ( New York : Oxford University Press 2014),hal. 65-110


21

di bumi. Bila perempuan dikatakan kapasitasnya tidak sempurna, maka hal ini jelas merupakan suatu kekeliruan memahami maksud Tuhan tentang manusia sebagai khalifah di bumi. Bila perempuan dipandang tidak sempurna, maka perempuan tidak bisa memenuhi perannya sebagai wali Allah. Dengan demikian paradigma tauhid merupakan dasar dari kesetaraan dan keadilan gender.

1.7.

Pernyataan Tesis Amina Wadud menggunakan hermeneutika feminisme yang mampu

membongkar bias gender dalam penafsian Alquran dan mengonstruksi tafsir baru yang adil terhadap perempuan.

1.8.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Penelitian adalah: 1.

Memformulasikan model hermeneutika feminisme dalam pemikiran Amina Wadud.

2. Menerapkan hermeneutika feminisme dalam penafsiran ayat-ayat gender dalam Alquran untuk membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran dan mengonstruksi tafsir yang berkeadilan gender.

Kegunaan penelitian adalah: 1. Sebagai sumbangan pemikiran dalam bidang metodologi penafsiran Alquran terkait perempuan. 2. Memberi sumbangan pemikiran dalam mengembangkan hermeneutika feminisme. 3. Mendorong umat Islam untuk membaca tafsir Alquran secara kritis dan memperkuat pemahaman tentang perlunya kesetaraan gender dalam masyarakat Islam.


22

1.9.

Sistematika Penulisan Penulisan disertasi ini dibagi dalam 5 bab. Bab 1 merupakan bab

pendahuluan untuk memasuki bab-bab selanjutnya. Ada Sembilan hal yang diuraikan dalam bab ini, yaitu : Latar belakang permasalahan, alasan pemilihan objek penelitian, Penelitian yang terdahulu, Perumusan masalah penelitian, Definisi konseptual, Kerangka teori dan Metodologi penelitian, Pernyataan tesis, Tujuan dan kegunaaan penelitian serta Sistimatika penulisan disertasi. Bab kedua, akan menguraikan latar belakang intelektual dan perjuangan serta pengaruh feminisme pada pemikiran Wadud. Data-data yang dikemukan dalam bab ini akan menjadi bahan analisa dan landasan teoritis bagi bab-bab selanjutnya. Pertama, akan dijelaskan latar belakang intelektual dan perjuangan Amina Wadud yang meliputi tokoh dan aliran pemikiran yang mempengaruhi, riwayat pendidikan dan pekerjaan, latar belakang sosial budaya dan karya-karya Amina Wadud. Penjelasan mengenai latar belakang intelektual dan perjuangan penting untuk dipahami karena produk pemikiran seseorang tidak bisa lepas dari situasi dan kondisi yang melingkupinya. Kedua, akan dijelaskan pengaruh feminisme Barat pada pemikiran Wadud. Hal ini penting dikemukakan untuk memahami posisi pemikiran Wadud dalam aliran-aliran feminisme dan alasan Wadud membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran untuk direinterpretasi. Materi terakhir yang akan dijelaskan dalam bab ini adalah perjuangan Wadud untuk menjadi imam perempuan sebagai gebrakan untuk mewujudkan kesetaraan gender.

Pengalaman dan pemikiran Wadud mengenai gender dan feminisme

merupakan bingkai dari pemikirannya mengenai hermeneutika feminisme. Bab

ketiga,

akan

dijelaskan

mengenai

hermeneutika

feminisme.

Pembahasan dalam bab ini merupakan fokus utama dalam disertasi ini sesuai rumusan masalah yang telah dikemukakan, yaitu terkait model hermeneutika feminisme Wadud bagi penafsiran ayat-ayat gender dalam Alquran. Pembahasan dalam bab ini diawali dengan menguraikan pengertian hermeneutika dan hermeneutika feminisme secara umum. Berikutnya, akan dijelaskan hermeneutika


23

berbasis feminisme sebagai landasan teoritis bagi model hermeneutika feminisme Wadud. Sebagai bahan analisa untuk pembahasan model hermeneutika feminisme Wadud,

penulis

menjelaskan

pokok-pokok

pikiran

Wadud

mengenai

hermeneutika, yang meliputi: pandangan terhadap tafsir klasik, pengkategorian dan aspek penafsiran Alquran berbasis feminis serta domain-domain analisis sebagai cara kerja Wadud. Materi terakhir dari bab ini akan dijelaskan model hermeneutika feminisme Wadud. Ada lima aspek penting yang akan dibahas, yaitu: Pandangan/pengalaman perempuan, kerangka pemikiran feminisme, metode kontekstualisasi sejarah, intratekstualitas dan paradigma tauhid. Kelima aspek tersebut merupakan hal-hal yang terdapat dalam hermeneutika feminisme Wadud. Pembahasan kelima aspek tersebut akan dapat memberi gambaran pada pembaca tentang model hermeneutika feminisme Wadud. Bab keempat, akan dibahas aplikasi hermeneutika feminisme Wadud pada penafsiran ayat-ayat gender dalam Alquran. Pembahasan ini merupakan kritik Wadud terhadap penafsiran ayat-ayat gender yang meliputi kritik terhadap : penafsiran ayat penciptaan dan kepemimpinan, hukum talak, hukum poligami, hukum waris dan hukum saksi. Terakhir, bab kelima merupakan kesimpulan dari semua uraian yang sudah ada pada bab-bab sebelumnya.


24

BAB 2 AMINA WADUD : LATAR BELAKANG INTELEKTUAL DAN PERJUANGAN SERTA PENGARUH FEMINISME

3.1.

Pengantar Amina Wadud terkenal sebagai tokoh intelektual dan pergerakan feminis

Islam dari Afrika-Amerika. Sebagai intelektual, dia melakukan kajian ilmiah mengenai persolan gender dalam tafsir dan membawa masuk ide kesetaraan dan keadilan gender ke dalam tafsir Alquran yang sampai sekarang masih tetap hangat diperdebatkan. Amina Wadud mendobrak dominasi laki-laki dalam tafsir yang ditujukannya

pada

penafsiran

ayat-ayat

gender

terkait

penciptaan

dan

kepemimpinan perempuan dan hukum keluarga yang selama ini diyakini telah memberikan porsi begitu besar pada kaum laki-laki, sementara untuk suara kaum perempuan hampir tak terdengar gaungnya. Kuatnya kesan dominasi budaya patriarki yang melekat pada tafsir klasik telah menginspirasi Wadud untuk menggugat tafsir klasik, bahkan membongkar tafsir tersebut untuk direinterpretasi. Sebagai pejuang perempuan, pengalaman hidup Wadud banyak terlibat dengan persoalan gender dan feminisme. Sebagai kelompok minoritas, warga Afrika-Amerika (kulit hitam), dia mengalami diskriminasi rasial dan diskriminasi gender. Minatnya untuk berjuang bagi keadilan gender muncul dalam suatu konteks historis yang erat kaitannya dengan perjuangan perempuan AfrikaAmerika dalam menuntut keadilan gender. Relasi gender dalam masyarakat Afrika-Amerika sering mencerminkan bias-bias patriarki di mana perempuan masih mengalami diskriminasi baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.40 Amina Wadud berjuang untuk kesetaraan dan keadilan gender dengan menggabungkan secara simultan kegiatan akademisi yang solid dengan aktivis

40

Amina Wadud, Inside the Gender Jihad, Woman’s Reform in Islam (New York : one worl Oxford,2006) hal 102


25

gender yang kuat. Sebagai ilmuwan, Wadud melakukan kajian ilmiah mengenai gender dan tafsir Alquran. Sedangkan sebagai aktivis gender, dia berjuang melalui organisasi sosial perempuan dan membangun jaringan kerja dengan berbagai organisasi perempuan yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender.41 Pemikiran Amina Wadud merupakan suara feminisme dalam konteks Islam yang berakar dari keyakinan bahwa Islam mengafirmasi prinsip-prinsip kesetaraan seluruh umat. Pemikiran Wadud bercorak feminisme, terlihat dari penolakannya terhadap ide patriarki dalam penafsiran Alquran dan menuntut agar penafsiran Alquran mengacu kepada kesetaraan dan keadilan gender. Wadud menyingkap diskriminasi dan ketidakadilan gender yang dikembangkan dalam tafsir klasik dan mengungkapkan bahwa tafsir klasik menjadi doktrin agama yang membenturkan hak-hak asasi perempuan kepada tembok-tembok hukum Islam. Berbagai ketentuan dalam hukum Islam, terutama hukum keluarga telah memberi legitimasi bagi dominasi laki-laki atas perempuan. Amina Wadud dapat dilihat sebagai tokoh feminis Islam yang reformis dan konsisten memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Pemikirannya mengenai persoalan gender dalam tafsir, tercermin dari kritiknya terhadap isu-isu gender dalam tafsir klasik yang menggambarkan perempuan sebagai manusia yang tidak sempurna, lemah akal dan emosional, sehingga tidak boleh menjadi pemimpin dan perempuan distrukturkan dalam hukum keluarga sebagai pihak yang disubordinasikan. Dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender Wadud melakukan tindakan yang mengejutkan, yaitu mengubah kepemimpinan (imam) shalat Jumaat, yang selama ini hanya untuk laki-laki, diperbolehkan untuk perempuan. Sekalipun dia menyadari resiko logis yang akan dia terima, tapi dia tetap yakin akan pendapatnya itu bahwa Alquran tidak melarang perempuan menjadi imam. Tindakan ini sesungguhnya dapat dilihat sebagai langkah strategis transformasi gender dalam kepemimpinan perempuan dalam Islam.

41

Wadud, Inside the Gender Jihad, hal. 87


26

Pengalaman, pemikiran dan tindakan Wadud tentu tidak terlepas dari aliran pemikiran

yang mempengaruhinya, terutama

pengaruh aliran pemikiran

feminisme, seperti aliran feminisme liberal, eksistensial dan radikal.

Untuk

membahas lebih lanjut pemikiran dan tindakan Amina Wadud, maka bab 2 ini akan membahas hal-hal sebagai berikut: -

Latar belakang intelektual Amina Wadud

-

Pengaruh feminisme pada Amina Wadud

3.2.

Latar belakang intelektual Amina Wadud Amina Wadud lahir pada 25 September 1952, di Bethesda Maryland

Amerika Serikat yang terletak di bagian barat laut Washington DC. Bapaknya bernama Rev. Albert Teasley, seorang pendeta metodis42 dan ibunya bernama Thelma L.C, Teasley. Keluarga ini berasal dari etnis Afro-Amerika, sebuah kelompok etnis di Amerika Serikat yang nenek moyangnya banyak berasal dari Afrika di bagian Sub-Sahara dan Barat. Mayoritas dari rakyat etnis AfrikaAmerika berdarah Afrika, Eropa dan Amerika Asli. Amina Wadud berasal dari keluarga Katolik dengan nama kecil Mary Teasley dan merupakan anak kelima dari delapan bersaudara. Amina Wadud tinggal dengan keluarganya di Silver Spring Maryland hingga dia berumur 10 tahun 10 bulan. Pada tahun 1963, keluarganya hijrah ke kota Washington DC ibu kota Negara Amerika Serikat. Beberapa tahun kemudian, ketika dia berumur 14 tahun, dia meninggalkan keluarganya dengan tujuan untuk pendidikan yang lebih baik. Pada umur 17 tahun, dia masuk Universitas Pennsylvania dengan beasiswa penuh dan meneruskan pendidikannya hingga mendapat gelar master dan Ph.D. “Saya meninggalkan keluarga saya untuk tujuan pendidikan yang lebih baik, sehingga menempatkan saya dalam posisi yang lebih baik di perguruan tinggi dengan mendapat gelar master dan PhD, sementara saudara - saudara yang lain tidak pernah masuk perguruan tinggi,” pengakuan Amina Wadud.43

42 43

Wadud, Inside the Gender Jihad, hal. 4 Wawancara dengan Amina Wadud melalui surat elektronik tanggal 28 Maret 2014, (surel terlampir).


27

Ketertarikannya pada wacana ilmu-ilmu agama telah dimulai sejak muda. Hidup sendiri tanpa keluarga telah membawanya mengenal banyak agama lain yang berbeda dari agama yang dianutnya semula dan dia menghayati iman secara berbeda dari keluarganya. Pada umur 18 tahun, dia mulai berlatih Buddhisme dan tinggal di sebuah ashram kecil. Dia terus mempelajari agama-agama di dunia dan mulai mempelajari Islam. Pada hari Thanksgiving 1972 dengan memakai rok panjang dan gaun sederhana dia pergi ke masjid dan mengucapkan dua kalimat syahadat, Amina Wadud masuk Islam dan merubah namanya dari Mary Teasley menjadi

Amina Wadud. Sejak itu dia mulai berlatih ibadah Islam dengan

mempelajari Alquran secara intensif dan ingin memahami Alquran dengan bahasa aslinya. “Saya tidak pernah kehilangan minat saya untuk mempelajari Alquran, walau ketika itu dimulai dengan Alquran yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris,” kata Amina Wadud.44 Menurut pengakuan Amina Wadud, dia masuk Islam bukanlah suatu kebetulan tapi melalui proses pemikiran yang panjang. Ketika masuk perguruan tinggi dia mulai mengganti penampilannya. Dia menggunakan long dress dan rambutnya ditutup dengan tutup kepala ala Afrika. Ketika tampil dengan tutup kepala, dia dipahami oleh masyarakat muslim di lingkungannya sudah mengerti tentang Islam, lalu dia ditawarkan masuk Islam. Mereka mengatakan bahwa bila percaya bahwa Tuhan adalah Allah dan Muhammad Nabi-Nya (mengucapkan shahadah), maka sudah memeluk Islam. Dalam suatu wawancara dengan Azzura Meninggolo pada 21 Januari 2013, Amina Wadud mengatakan bahwa dia tertarik dengan agama Islam, karena Islam memiliki relasi dengan hal-hal

universal.

Disamping itu, dalam Islam hubungan antara Tuhan dan keadilan lebih diartikulasikan dan juga dalam Islam ada kesetaraan baik ras maupun gender. Dia mengakui, makin dipelajarinya Islam, makin dipahaminya bahwa umat Islam tidak hidup seperti ajaran Islam, terutama mengenai kesetaraan dan keadilan. Hal ini mendorongnya untuk melakukan penelitian mengenai kedudukan perempuan

44

Wawancara dengan Amina Wadud melalui surat elektronik tanggal 28 Maret 2014.


28

dalam Alquran.45 Setelah menyelesaikan studi doktoralnya pada tahun 1988 dengan penelitian disertasi tentang kedudukan perempuan dalam Alquran, Amina Wadud memulai karir akademiknya sebagai professor di International Islamic University of Malaysia (IIUM), pada jurusan Islamic Revealed Knowledge and Heritage. Di Malaysia dia mengedit disertasinya dan mempublikasikan dengan judul “Qur‟an and Woman, Rereading the Sacred Text from a Woman‟s Perspective, dan buku ini digunakan oleh SIS (Sister in Islam) sebagai teks dasar bagi akademisi dan aktivis gender. Di beberapa universitas di Barat, buku ini digunakan untuk mata kuliah yang berhubungan dengan gender dan Islam serta Islam dan modernis. Buku ini meraih peringkat nomor satu dalam daftar buku best-seller dalam produk buku Al-Qalam, yaitu buku-buku produk terjemahan Alquran. Sekarang karyanya ini telah diterjemahkan dalam 12 bahasa termasuk bahasa Indonesia. Amina Wadud meninggalkan Malaysia pada tahun 1992 dan kembali ke Amerika menjadi professor di Virginia Commonwealth University, dan di universitas ini dia mendapat promosi sebagai Associate Professor dan Full Professor. Amina Wadud pernah mengajar di Libia dan dia sering menjadi dosen tamu di berbagai universitas di berbagai negara termasuk di universitas Gajah Mada Yogyakarta dan sering diundang untuk menjadi pembicara pada konferensikonferensi regional dan internasional untuk materi kesetaraan gender dan memajukan pemberdayaan perempuan dalam Islam.

Pada tahun 2007, Amina

Wadud memenangkan “the Danish Democrazy Prize”. Sekarang dia menjadi peneliti ahli (a research scholar) di Starr King School

untuk negara bagian

California dan sebagai konsultan bidang Islam and gender pada the International Centre for Islam and Pluralism di Indonesia. Minat intelektual Amina Wadud sudah terlihat sejak kecil. Dari kecil Amina Wadud suka membaca. Dia tidak begitu tertarik dengan cerita mengenai gadis-gadis pingitan dan pahlawan tampan, tapi lebih tertarik oleh kata-kata yang

45

www.reset dog.org/story/000000/22177


29

bisa mengungkap gambaran pikiran dan makna. Dunia kata-kata, dunia makna melalui penamaan sangat digandrunginya.46 Ketertarikannya pada dunia kata membangun minatnya untuk mempelajari bahasa Arab yang kemudian hari sangat diperlukannya dalam melakukan kajian kritis terhadap penafsiran Alquran. Ketertarikannya pada ilmu-ilmu agama menyebabkannya mempelajari dan menghayati iman pada berbagai agama dan akhirnya berkutat dalam khasanah ilmu Islam. Tentu saja fondasi intelektual Amina Wadud tidak hanya bersandar pada pengalaman ini, karena kemudian digantikan oleh bangunan intelektual baru yang didasarkannya pada pemikiran filsafat setelah dia melakukan studi agama dan filsafat di perguruan tinggi. Amina Wadud telah menggunakan waktu yang panjang untuk melawan prasangka gender dengan melakukan kajian kritis terhadap berbagai lembaga patriarki dalam Islam. Dengan garapan intelektual yang teliti dia membongkar masalah ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam masyarakat muslim. Alasan utama untuk melakukan perjuangan gender adalah untuk mewujudkan keadilan gender karena keadilan adalah hak manusia yang digaransi oleh Allah. 2.2.1. Tokoh dan Aliran Pemikiran yang Berpengaruh pada Amina Wadud Perhatiannya pada agama dan keadilan berakar dari keyakinan yang diwarisi dari ayahnya Rev. Albert Teasley, seorang pendeta metodis yang termarginalisasi secara rasial dalam konteks Amerika.

Ayahnya

selalu

menekankan betapa pentingnya relevansi hubungan agama dan keadilan. Ayahnya pula yang pertama kali menginspirasinya untuk mempelajari agama selain agama yang dianutnya. Suatu hari, sebelum dia genap berumur 12 tahun, dia dibawa oleh ayahnya menghadiri suatu acara yang terkenal di Washington DC “Luther King March,s” di mana Pendeta Dr. ML. King menyampaikan pidatonya "I have a dream", pidato mengenai religi dan keadilan yang pada waktu itu religi dan keadilan belum bisa dibicarakan secara terbuka. Pidato religi dan keadilan ini mempengaruhi pemikiran Wadud, sehingga perjuangan untuk keadilan menjadi

46

Wadud, Inside the Gender Jihad, hal. 262


30

sejarah panjang dalam hidupnya. Keadilan hanya bisa memiliki makna ketika diimplementasikan dalam konteks manusia nyata. Menurut Wadud jauh lebih mudah untuk mengartikulasikan keadilan sebagai ide abstrak daripada membawanya ke dalam praktek.47 Pemahaman tentang tafsir Alquran diperoleh Amina Wadud dari bacaannya pada kitab-kitab yang ditulis oleh Al-Zamakhsary, Sayyid Qutb dan Maududi48. Pemikir Islam kontemporer yang ikut mempengaruhi pemikirannya adalah pemikir fiminis Islam pendahulunya, seperti Leila Ahmed, Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Azizah al-Hibri dan lainnya. Disamping itu, dia juga mengutip beberapa pandangan dari pemikir Islam outsider, antara lain Kenneth Burtke.49 Dalam membahas masalah penciptaan manusia menurut Alquran, pandangan tentang

alam gaib, disandarkan Amina Wadud

pada pendapat

Kenneth Burke, bahwa hal supranatural tidak bisa dibicarakan dalam bahasa manusia, karena hal supranatural itu

melebihi semua sistem simbol. Bicara

tentang Tuhan hanya bisa bersifat analogis, kita tidak bisa membahas hal yang supranatural dengan bahasa manusia seperti yang digunakan untuk membahas hal-hal empiris. Dalam mengembangkan pemikiran mengenai metodologi tafsir Alquran, Amina Wadud merujuk pemikir Islam kontemporer Fazlur Rahman. Bahkan metode hermeneutika Fazlur Rahman digunakan Amina Wadud untuk menafsir ulang Alquran. Hermeneutika Alquran Fazlur Rahman yang meliputi pendekatan sosio-historis, teori gerakan ganda (double movement) dan pendekatan sintetislogis telah menginspirasinya dalam membangun pemikirannya mengenai hermeneutika feminisme. Amina Wadud memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan secara konsisten. Ketika dia melihat dan mendengar bahwa kaum perempuan dalam masyarakat Islam mengalami diskriminasi dalam skala yang cukup besar 47

Wadud, Inside the Gender Jihad, hal. 87 Al-Zamakhsary (487H-538 H), Muffasir klasik dengan kitab tafsirnya al-Kasysyaf. Maududi (1908) dan Sayyid Qutb ( 1906) muffasir zaman modern 49 Wadud, Qur’an and Woman, hal 15 48


31

dan massif, maka Amina Wadud baik secara ilmiah maupun sebagai aktivis gender, mengusung ide kesetaraan gender untuk memajukan pemberdayaan perempuan dalam Islam. Di antara pemikir feminis Islam, Amina Wadud tampak berdiri paling depan dalam usaha memanfaatkan hasil perkembangan mutakhir metode ilmu sosial dan kemanusiaan untuk menganalisis persoalan gender dalam Alquran. Dia menggunakan metode hermeneutika feminisme yang terbilang metode baru penafsiran Alquran, sebagai upaya pembebasan perempuan dari diskriminasi dan ketidakadilan gender. Dengan pandangan bahwa tafsir Alquran merupakan produk pemikiran yang bisa diubah, Amina Wadud menafsir ulang ayat-ayat Alquran dengan menggunakan analisis gender dalam proses penafsiran. Pemikiran dan perjuangan Wadud memperlihatkan bahwa dia dipengaruhi oleh aliran pemikiran feminisme. Kesetaraan dan keadilan gender berakar dari ideologi feminisme, yaitu ideologi yang memiliki perjuangan yang terarah kepada perlawanan terhadap sistem patriarki. Penjelasan terkait pengaruh feminisme pada pemikiran Wadud akan dijelaskan dalam sub bab berikutnya. 2.2.2.Riwayat Pendidikan dan Perjuangan Sekolah dasar dan menengah ditempuh Wadud di Maryland dan Washington DC dan memperoleh gelar sarjana pada tahun 1975. Setelah publikasi bukunya yang pertama, Qur‟an and Woman, Rereading the Sacred Text from a Woman‟s Perspektive, Amina Wadud diundang untuk memberikan ceramah pada acara-acara internasional. Pada 2001 dia diundang untuk memberikan ceramah Ramadhan di Gedung Putih Amerika Serikat. Bukunya yang kedua diberi judul Inside the Gender Jihad (2006) yang menjelaskan mengapa dia melakukan perjuangan kesetaraan gender. Alasan utamanya adalah karena Tuhan telah menciptakan perempuan

sebagai makhluk sempurna,

sistem apapun yang memperlakukan

50

apapun, atau

perempuan sebagai manusia yang tidak

utuh akan merusak harmoni seluruh alam semesta.50 terlibat dengan

jadi

Amina Wadud banyak

persoalan-persoalan yang berkaitan dengan

keadilan sosial,

Wadud, Inside the Gender Jihad, hal. 254.


32

seperti menjadi anggota Dewan Penasehat organisasi Muslim women Layers Committee for Human Right, KARAMAH, sebuah organisasi yang berupaya untuk menegakkan keadilan sosial pada masyarakat Barat, terutama hak-hak kaum perempuan. Disamping itu, Amina Wadud

dikenal sebagai tokoh gerakan

Perempuan Muslimah Afrika-Amerika serta aktif dalam organisasi perempuan Muslim Sisters in Islam (SIS).

51

SIS adalah suatu organisasi perempuan Islam

yang berkomitmen untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dalam kerangka Islam yang didasari atas prinsip kesetaran, keadilan dan kebebasan berdasarkan Alquran. SIS dibentuk tahun 1988 dan terdaftar tahun 1993 sebagai NGO (Non Government Organization) di Malaysia. Adapun misi dari organisasi ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap konsep kesetaraan gender dan mendorong masyarakat untuk melaksanakan kesetaraan, keadilan dan kebebasan berdasarkan prinsip Islam.52 Menurut Amina Wadud, keadilan gender penting diperjuangkan. Setelah era kolonialisme banyak intelektual laki-laki dan perempuan memberi perhatian pada keadilan gender dan peningkatan martabat perempuan.53 Dalam perjuangan menegakan keadilan gender, Amina Wadud mendapat tantangan yang berat. Dia membongkar tafsir Alquran dimana tafsir merupakan disiplin penting dalam ilmu keislaman yang sebagian besar umat Islam melihatnya sebagai hal yang sakral, merupakan hal sensitif. Amina Wadud melakukan desakralisasi terhadap tafsir Alquran, karena dalam pandangannya tafsir adalah pemikiran manusia yang dapat diubah sesuai perkembangan masyarakatnya. Wadud membongkar bias gender yang mewarnai tafsir klasik dan menghadirkan penafsiran Alquran yang berkeadilan gender. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Wadud melakukan desakralisasi dan depatriarkisasi terhadap penafsiran Alquran. Karena itu, Wadud dituding sebagai pemikir Barat dan

fundamentalis

51

Wadud, Inside the Gender Jihad, hal. 10. http:www.sisterinislam.org.my. 53 Wadud, Inside the Gender Jihad, hal. 57. 52


33

gender. Namun Amina Wadud tetap konsisten memperjuangkan keadilan gender dengan menunjukkan bagaimana Alquran menjamin kesetaraan dan keadilan gender. Telah empat belas abad pemikiran Islam berkembang, tetapi gagasan baru tentang perempuan menurut Alquran nyaris tidak ada dalam aliran pemikiran Islam.54 Ketidakadilan terhadap perempuan diterima dan dipandang sebagai sesuatu yang wajar, sehingga suara suara yang mengecam ketimpangan gender dalam ajaran Islam hampir tidak terdengar. Menurut Wadud kekuasaan politik dan religi telah bersekongkol untuk memaksakan kebisuan pada perempuan. Bila sebelumnya, perempuan diam membisu di garis marginal, membiarkan laki-laki menafsirkan persoalan-persoalan perempuan, sekarang dan dimasa depan tidak akan terjadi lagi. “Pada sebagian kecil saya telah berkontribusi,” kata Amina Wadud dalam sebuah kuliah twitternya.55 2.2.3. Latar Belakang Sosial dan budaya Amina Wadud sebagai warga negara Amerika hidup dalam lingkungan masyarakat liberal. Amerika terkenal sebagai negara liberal yang mengakui hakhak individu secara penuh, termasuk kebebasan berpikir dan berpendapat. Paham liberal menghalalkan keanekaragaman pendapat. Sekalipun sebuah pendapat telah diyakini secara turun temurun, tapi selalu memiliki kemungkinan untuk berubah. Liberalisme memperlakukan ajaran agama sebagai sebuah pendapat. Maka dari itu, liberalisme dapat mentolerir keragaman pandangan agama, sehingga Islam dan liberalisme terlihat sebagai sebuah kontradiksi.56 Asumsi penulis, karena latar belakang sosial budaya yang melingkupi Wadud, maka Wadud mampu mengartikulasikan pemikirannya secara bebas dalam memperjuangkan hak-hak dan martabat perempuan secara konsisten. 2.2.4. Karya-karya Amina Wadud Secara umum pemikiran Amina Wadud dilatarbelakangi oleh ide kesetaraan dan keadilan gender dalam tafsir Alquran. Karya utamanya Qur‟an 54

Wadud, Quran and Woman, hal. ix Kuliah twitter Amina Wadud tanggal 1 April 2014#islamisourtoo. 56 Lionard Binder, Islamic Liberalism terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) hal. 3. 55


34

and Woman, Rereading The Sacred text From a Woman‟s Perspective (1992) membuat dia terkenal secara global, karena lewat buku ini Wadud mempersembahkan tafsir pertama oleh perempuan yang mengumandangkan suara perempuan dalam Alquran dan menyingkapkannya dari kegelapan. Melalui buku ini, Wadud melangsir cara baru membaca dan menafsirkan Alquran, yaitu menafsirkan Alquran berbasis feminis atau menafsirkan Alquran dengan pendekatan hermeneutika feminisme. Sesudah karya utamanya ini, Wadud menerbitkan Inside The Gender Jihad, Women‟s Reform in Islam (2006). Buku ini lebih banyak menceritakan pengalamannya dalam perjuangan gender dan feminisme. Sebagai generasi pertama intelektual feminis Islam yang menggunakan hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran, Wadud mendapat tekanan yang luar biasa dari dominasi laki-laki baik berbasis intelektual, ras dan gender. Disamping dua buku di atas, terdapat beberapa karya lainnya dalam bentuk artikel seperti: 1. Toward a Qur‟anic Hermeneutics of Sosial Justice (1995). 2. ”On Belonging as a Muslim Woman,” in My Soul is a Witness: African- American Women‟s Aprituality (1995). 3. “Teaching Afro-Centric Islam” in the White Christian South, in Black Women in the Academy: Promises and Perils (1997). 4. In Search of Woman‟s Voice in Qur‟anic Hermeneutics (1998). 5. “An Islamic Perspective on Civil Right Issues,” in Religion, Race, Injustice in a Changing America (1999). 6.

Alternative Qur‟anic Interpretation and the Status of Women (2000).

7. “Faith and Citezen,” in Women and Citizenships (2005) 8. Islam, Justice and Gender ( public lecturer) Amina Wadud melakukan kegiatan akademis dengan menjadi pembicara dan memberi kuliah umum (public lecture) mengenai ide kesetaraan dan keadilan gender di universitas-universitas berbagai Negara. Dia menyebarkan ide


35

kesetaraan dan keadilan serta pemberdayaan perempuan dalam Islam melalui tulisan dalam bentuk artikel dan disampaikannya dalam jurnal-jurnal dan media sosial

seperti

twitter

(twitter.com/aminawadud)

(www.facebook.com/Dr-Amina-Wadud).

dan

facebook

Bagi Amina Wadud, berjuang untuk

keadilan gender dalam Islam merupakan bagian dari keimanannya dan sebagai perempuan Islam, perjuangan ini merupakan panggilan tanggungjawab. Karya-karya Wadud tidak dapat dilepaskan dari paham feminisme yang mempengaruhinya. Untuk memposisikan pemikiran Wadud dalam aliran-aliran feminisme, maka dibawah ini akan dijelaskan pengaruh feminisme pada Amina Wadud. 2.3. Pengaruh Feminisme pada Amina Wadud Di dalam karya-karya yang ditulis Amina Wadud, terlihat jelas bahwa paham

feminisme

sangat

kuat

mempengaruhi

pemikirannya.

Dengan

memperhatikan pengalamannya yang banyak terlibat dengan persoalan gender dan feminisme, juga menelaah karya-karyanya yang bermuatan materi kesetaraan dan keadilan gender serta pemberdayaan perempuan, jelaslah bahwa pemikiran Wadud adalah pemikiran feminisme. Dalam Qur‟an and Woman, paling jelas terlihat bahwa

pemikiran

Wadud

mendapat

pengaruh

dari

feminisme.

Wadud

menggunakan analisis gender untuk mengeritik dominasi laki-laki dalam tafsir Alquran. Minat Wadud untuk berjuang bagi keadilan gender muncul dalam suatu konteks historis yang erat kaitannya dengan perjuangan perempuan AfrikaAmerika dalam menuntut keadilan gender. Pemikiran feminisme Wadud berfokus pada masalah eksistensi, hak-hak dan peran perempuan. Perspektif Wadud melihat masalah di atas menunjukkan bahwa Wadud menerima perspektif feminisme liberal dan eksistensialis. Wadud merasa perlu meninjau kembali eksistensi, hak dan peran perempuan dalam Alquran. Perjuangan Wadud berjuang untuk menghapus paham seksisme ( paham yang membenci perempuan) melalui perjuangan menjadi imam perempuan, terlihat bahwa pemikiran Wadud mendapat pengaruh dari pemikiran feminisme


36

radikal. Sehubungan dengan itu dibawah ini akan dijelaskan pengaruh pemikiran feminisme liberal, radikal dan eksistensialis pada Amina Wadud. 2.3.1. Pengaruh pemikiran feminisme liberal, radikal dan eksistensialis Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa feminisme adalah kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa perempuan. Ide kesetaraan dan keadilan gender mejadi pemersatu gerakan feminisme. Sesuai cara berpikir postmodern yang tidak mengakui universalitas, maka tidak ada definisi yang baku tentang feminisme. Kedudukan, streotipe dan perspektif perempuan berbeda-beda, tidak ada kesatuan makna. Peran gender juga berubah-ubah sesuai dengan perubahan sosial budaya. Peran gender juga beragam karena keragaman perpaduan sisi maskulin dan feminin, yang penting adalah meminimalisir ketidakadilan gender yang menimpa perempuan. Sehubungan dengan itu, kita menemukan pahampaham pemikiran feminisme seperti feminisme liberal, radikal dan eksistensial. Pemikiran feminisme Amina Wadud pada hakikatnya merupakan suatu afirmasi bahwa perempuan adalah manusia utuh. Maka itu, dia menolak wacana patriarkal yang tampil secara agresif terhadap perempuan. Menurut Wadud, ketimpangan gender dalam masyarakat Islam adalah karena penafsiran Alquran didominasi oleh budaya patriarki, yaitu budaya yang mentolerir adanya penindasan terhadap perempuan. Patriarki merupakan alat yang digunakan lakilaki untuk mendukung hegemoninya dalam dominasi dan superioritas. Oleh karena itu, Amina Wadud mengagas ide tentang Islam tanpa patriarki dan menurutnya, ide bisa tumbuh dari imajinasi, maka dia mengimajinasikan akhir dari patriarki.57. Amina Wadud berusaha mengangkat eksistensi dan martabat perempuan dengan menolak isu-isu gender dalam penafsiran klasik yang merendahkan perempuan, seperti isu mengenai penciptaan perempuan yang diisukan berasal dari tulang rusuk laki-laki. Isu tulang rusuk merendahkan perempuan, karena berarti eksistensi perempuan tidak sempurna, tidak memiliki kemanusiaan yang utuh dan perempuan tidak sederajat dengan laki-laki. Menurut Wadud, Alquran tidak 57

Wadud, Inside The Gender Jihad, hal.91-92.


37

membedakan derajat laki-laki dan perempuan. Alquran menyatakan bahwa manusia secara sengaja diciptakan dalam berpasangan, secara setara dan sederajat. Setiap individu memiliki nilai yang sama pada tahap eksisitensinya, baik pada tahap penciptaan, maupun pada tahap perkembangan didunia. Ada potensi yang sama

untuk berubah, tumbuh dan berkembang dan semua aktivitas manusia

diberi balasan berdasarkan apa yang diupayakannya.58 Pemikiran Amina Wadud mengenai eksistensi perempuan seperti diuraikan di atas, jelas dipengaruhi oleh teori feminisme Barat, yaitu teori feminisme eksistensialis seperti dalam pemikiran Simone De Beauvoir yang menolak pandangan bahwa eksistensi perempuan sebagai the other. Perempuan sebagai the other merupakan manusia tidak sempurna, disubordinasi oleh laki-laki. Relasi gender merupakan relasi kuasa, dimana laki-laki menguasai perempuan karena perempuan dipandang menjadi ancaman bagi laki-laki.59 Beauvoir mencari penjelasan tentang bagaimana perempuan menjadi the other. Penjelasan ahli biologi dan ahli psikoanalisis Freud tidak memuaskannya, karena penjelasan biologis dan psikoanalisis memperlihatkan betapa sulitnya perempuan menjadi subjek karena fakta reproduksi yang melekat pada dirinya. Demikian pula penjelasan ahli ekonomi Marxis juga mengecewakan Beauvoir, karena pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan melahirkan masyarakat kelas. Laki-laki menjadi subjek, menguasai alat-alat produksi karena laki-laki bekerja di ruang publik dan perempuan sebagai pekerja domestik merupakan peran yang tidak menunjukkan diri sebagai subjek. Dalam paham Marxis laki-laki kelompok borjuis dan perempuan adalah proletar. Menurut Beauvoir perempuan menjadi the other dalam masyarakat kapitalis tidak mungkin berubah bila kapitalis menjadi sosialis, karena akar yang lebih utama adalah faktor ontologis.

60

Simone De Beauvoir

dalam bukunya the second sex (1972) telah memicu tuntutan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan perempuan.Cerita Beauvoir tentang bagaimana

58

Wadud, Qur’an and Woman, hal. 50 Gadis Arivia, Filsafat berperspektif feminis hal.262. 60 Gadis Arivia, Filsafat berperspektif feminis, hal. 266 59


38

laki-laki membentuk dunia dan sekaligus merepresentasikanya dari sudut pandang laki-laki yang dikacaukan dengan kebenaran mutlak, melahirkan konsep gender dan kemudian konsep ini berkembang tidak lagi terbatas pada pembedaan laki-laki dan perempuan secara sosiologis, tetapi dimaknai sebagai konsep analisis. Amina Wadud melalui kajian terhadap tafsir Alquran mengungkapkan bagaimana perempuan menjadi the other. Dalam Alquran dinyatakan bahwa eksistensi laki-laki dan perempuan secara ontologis adalah sama, yaitu sama-sama dijadikan Tuhan dari unsur yang satu. Pembahasan Wadud mengenai hal ini, jelas merupakan pengaruh dari pemikiran Simone De Beauvoir yang telah menjadi pemikiran klasik para feminis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pemikiran feminisme Wadud mengenai eksistensi perempuan berada dalam lingkup pemikiran feminisme eksistensialis. Disamping

mengungkapkan

eksistensi

perempuan,

Amina

Wadud

memperjuangkan kesamaan hak dan kesetaraan gender dalam masyarakat Islam. Wadud mengeritik diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan dalam hukum keluarga (talak, poligami, waris dan saksi) dan menyingkap relasi gender yang tidak adil dalam hukum tersebut. Menurut Wadud, ketentuan dalam hukum keluarga ini menunjukkan ketidakadilan terhadap perempuan dan membenturkan hukum keluarga dengan hak-hak asasi perempuan. Ketentuan dalam hukum talak menunjukkan derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan dan relasi gender merupakan relasi kuasa, dimana laki-laki memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan talak dan berpoligami. Sehubungan dengan itu, Wadud menggagas untuk mereformasi

hukum keluarga tersebut agar terwujud kesamaan hak dan

kesetaraan gender dalam masyarakat Islam.61 Memahami kritik Amina Wadud mengenai ketidakadilan gender dalam aspek hukum Islam (keluarga) tampak sejalan dengan perjuangan feminisme liberal yang telah berusaha menghapus ketidakadilan gender melalui tuntutan untuk pemenuhan hak-hak perempuan. Mary Wollstonecraft, pemikir feminisme 61

Wadud, Qur’an and Woman, hal. 79-86


39

liberal mendorong agar perempuan berjuang untuk membebaskan diri dari peranan yang ditentukan berdasarkan gender dan mendorong perempuan agar mampu membuat keputusan yang bebas serta mampu mengembangkan diri. Pemikiran feminisme liberal berakar dari aliran pemikiran politik liberalisme. Prinsip dasar liberalisme adalah kebebasan individu, dimana setiap individu mendapat kesempatan yang sama dalam sistem pasar bebas, sehingga tidak diperlukan campur tangan pemerintah untuk mengatur kesejahteraan masyarakat. Dewasa ini, pemikiran politik liberal berada dalam rekonseptualisasi dan pemikiran ulang yaitu berorientasi pada kesejahteraan dengan meletakkan prinsip keadilan sebagai prinsip utama. Dalam bidang ekonomi diperlukan kembali campur tangan pemerintah, karena sistem pasar bebas tidak menjamin kesejahteraan masyarakat. Individu masuk ke pasar bebas dengan berbagai kondisi awal, ada kondisi yang menguntungkan dan ada yang tidak. Individu dengan posisi awal yang tidak menguntungkan masuk ke pasar bebas tidak memperolah bagiannya secara adil dari yang ditawarkan pasar. Dalam

proses

rekonseptualisasi

pemikiran

liberalisme

tersebut,

menyulitkan kita dewasa ini untuk menentukan status pemikiran feminisme liberal. Namun pemikiran liberal kontemporer lebih cenderung kepada liberalisme yang berorientasi kesejahteraan dan menuntut kesetaraan kesempatan. Tujuan umum dari feminisme liberal adalah menciptakan masyarakat yang adil dan peduli, tempat kebebasan berkembang. Dalam masyarakat yang adil dan bebas, laki-laki dan perempuan dapat mengembangkan diri. Feminisme liberal menempatkan perempuan memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas yang merupakan sifat dasar manusia. Dengan dasar bahwa manusia adalah makhluk rasional, maka perempuan adalah makhluk rasional, memiliki kemampuan secara rasional.62 Hal ini memperlihatkan sekalipun liberalisme sedang dalam proses rekonseptualisasi, tapi pemikiran feminisme liberal tidak berubah, tetap terarah

62 Rosemarie Tong, Feminist Thought, hal.17-18.


40

pada kebebasan dan keadilan bagi perempuan seperti yang dikemukakan Mary Wollstonecraft. Ketika ketidakadilan tetap berlangsung dalam kehidupan perempuan, muncul aliran baru feminisme yang disebut sebagai feminisme radikal. Feminisme radikal menuntut penghapusan paham seksis atau sistem seks/gender dalam masyarakat. Dalam sistem ini ditanamkan paham bahwa perempuan, karena perannya sebagai reproduksi, maka berkewajiban merawat anak dan tinggal di rumah (domestik), tidak perlu berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Dalam pemikiran Kate Millet, penindasan terhadap perempuan dan relasi gender berakar dari sistem seks/gender, yaitu ada dominasi terhadap seksualitas perempuan. Akibatnya, kehidupan di ruang publik dan domestik dikendalikan oleh laki-laki. 63 Untuk membebaskan perempuan dari penguasaan laki-laki, maka paham seksis harus dihapus. Feminisme radikal menuntut penghapusan paham seksis ini yang sampai pada masa feminisme postmodern, masalah ini masih terus dipersoalkan, karena paham ini telah membatasi peran perempuan. Amina Wadud berupaya menghapus paham seksis dalam Islam melalui perjuangannya menjadi imam perempuan dalam ibadah shalat. Hal ini dapat dilihat sebagai pengaruh dari feminisme radikal seperti yang akan dijelaskan dalam subbab berikut ini. 2.3.2. Perjuangan menjadi Imam Perempuan Imam adalah ikutan bagi kaum muslimin. Al- Imam adalah seseorang yang diikuti oleh orang lain baik perkataannya maupun perbuatannya. Istilah imam digunakan untuk menyebut seseorang yang memimpin shalat berjamaah di antara para makmum.64 Untuk menjadi imam shalat harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, diantaranya dapat membaca ayat dengan fasih dan

mengucapkan

huruf (lafaz) secara tepat.

63 64

Rosemarie Tong , Feminist Thought, hal. 77. Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta : Djambatan,1992) hal. 420


41

Gebrakan Amina Wadud yang sangat terkenal adalah ketika Wadud menjadi imam dan khotib shalat Jumaat pada tanggal 18 Maret 2005 di sebuah gereja Anglikan, di Synod House, Manhattan, Negara Bagian, New York, Amerika Serikat. Amina Wadud melaksanakan shalat Jumat di gereja tersebut setelah tiga mesjid menolak karena ada ancaman bom terhadap mereka. Shalat Jumat ini disponsori oleh “Muslim Women Freedom Tour” organisasi pemberdayaan perempuan pimpinan Asra Nomani. Shalat ini dikuti lebih kurang seratus jamaah laki-laki dan perempuan.65 Sebelumnya, pada tahun 1994 Wadud menjadi khotib pada shalat Jumat di Mesjid Claremont Main Road di Cape Town, Afrika Selatan. Dia diminta untuk menjadi khatib di mesjid itu dan Rashid Umar sebagai imam di mesjid itu memberi kesempatan kepada Wadud.66 Sejak memberi khotbah di Cape Town tersebut, Wadud terus memikirkan kenapa hanya laki-laki yang boleh menjadi pemimpin ritual publik. Setelah sebelas tahun kemudian, Wadud melahirkan pemikiran bahwa perempuan boleh menjadi imam dari jamaah laki-laki dan perempuan. Dia menerima untuk menjadi imam dan khotib shalat Jumaat di New York (Maret 2005) yang semula akan digelar di sebuah galeri, tapi karena ada ancaman bom lalu pindah ke sebuah gereja di New York. Shalat Jumat ini mendapat publikasi yang luas.67 Tindakan Wadud menjadi imam shalat melahirkan perdebatan dikalangan ulama Islam. Imam perempuan telah menjadi perdebatan kontemporer di bidang fiqih. Mayoritas ulama Islam menolak imam perempuan dan dipandang sebagai aksi menolak kemapanan dan mengganggu tertib kebenaran. Ulama Islam yang menolak imam perempuan, diantaranya Muhammad Sayyid Thantawi dan Grand Syaikh Al-Azhar, Mesir. Beliau mengajukan keberatan perempuan menjadi imam bagi makmum laki-laki. Yusuf al-Qardhawi, anggota dari

"Muslim Brothers",

65

http://www.fimadani.com/amina-wadud-seorang-janda-yang-nekat-jadi-imam-jumat Wadud, Inside the gender Jihad, hal. 162 67 Wawancara dengan Amina Wadud melalui surat elektronik, 28 Maret 2014 66


42

menuding Wadud telah menyimpang dari tradisi Islam yang telah berjalan 14 abad. Ia pun menyatakan bahwa keempat, bahkan kedelapan, madzhab mengharamkan perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Sheik Yusuf al-Qardhawi menegaskan tindakan Amina itu melanggar ajaran Islam dan sesat.68 Disamping itu, Majelis ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional VII tahun 2005 mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya perempuan menjadi imam bagi lakilaki. Disisi lain, perjuangan Wadud untuk kesetaraan gender melalui perjuangan menjadi imam shalat, di dukung oleh berbagai asosiasi Islam Amerika, terutama asosiasi “Muslim Wake-Up” dan “Muslim Women's Freedom”. Disamping itu, beberapa intelektual Islam mendukung perjuangan Wadud ini. Khaled Abou elFadl, professor of Islamic Law and Jurisprudency UCLA

School of Law,

mengatakan bahwa tindakan Wadud menjadi imam shalat merupakan dukungan bagi sumber Islam dan paham ortodoks. Tindakan ini menjadi nilai simbolik dan dapat bermakna positif atau negatif tergantung perspektif orang yang memahaminya.69 Menurut K.H. Husein Muhammad dan Enggar Yuwono, imam perempuan perlu diperkenalkan.70 Musdah Mulia mengatakan imam perempuan dihebohkan karena merupakan fenomena yang belum biasa. Menilik beberapa hadis (Ibnu Majjah dan al-Baihaki) terdapat pandangan yang mengharamkan perempuan menjadi imam shalat, tapi ada pula hadis yang membolehkan perempuan menjadi imam shalat seperti hadis HR Daud: Dari Ummu Waraqah binti Abdillah bin Harits berkata: Rasul saw pernah mendatangi rumahnya dan memberinya seorang muazin dan menyuruh Ummu Waraqah menjadi imam bagi penghuni rumahnya. Abdurrahman mengatakan: “aku benar-benar melihat muazinnya adalah seorang laki-laki tua”.71

68

http://www.fimadani.com/amina-wadud-seorang-janda-yang-nekat-jadi-imam-jumat/ Wadud, Inside The Gender Jihad, foreword 70 Majalah Gatra 9 April 2005, hal. 34 71 Musdah Mulia, Kemuliaan perempuan dalam Islam(Jakarta:Megawati institute,2014) hal. 23. 69


43

Dengan landasan hadis HR Daud, perempuan boleh menjadi imam shalat dengan makmum laki-laki yang telah dewasa. Untuk bisa menjadi imam, Ummi Warakah memiliki kapasitas sebagai imam, disamping bacaan ayat yang fasih, tidak menyalahi majrai dan dia hapal Alquran. Disamping HR. Daud, ada ulama yang berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki seperti Abu Tsaur al Muzanni dan ath-Thabarany.72 Penolakan terhadap imam perempuan menunjukkan adanya ketidakadilan berbasis gender mengenai hak hak dan peran perempuan. Perjuangan Wadud menjadi imam perempuan dapat dilihat sebagai upaya menegakkan hak-hak perempuan, menemukan aspek-aspek kesetaraan gender yang ditekankan oleh Alquran dan melawan pemahaman ajaran Islam yang secara eksklusif didefinisikan oleh laki-laki. Untuk menunjukkan bahwa Alquran tidak membedakan hak dan peran antara laki-laki dan perempuan, Amina Wadud menggambarkan figur ideal seorang muslimah, yaitu perempuan yang memiliki prestasi dan kemandirian dalam bidang kehidupan. Amina Wadud mengangkat tokoh-tokoh perempuan yang disebut dalam Alquran, seperti Maryam, Ibu Musa dan Bilqis Ratu Seba. Alquran mengangkat tokoh-tokoh perempuan tersebut untuk menunjukkan bahwa perempuan menurut Alquran dapat menerima wahyu (Maryam dan Ibu Musa) dan perempuan bisa menjadi pemimpin seperti Bilqis Ratu Seba.73 Musa diputuskan Allah untuk menjadi nabi, agar tidak dibunuh Firaun, maka Allah menurunkan wahyu kepada ibu Musa agar menjatuhkan bayinya, Musa, ke sungai dengan janji Allah bahwa bayi itu akan dikembalikan kepada ibunya. Dengan riwayat dari Alquran ini, maka perempuan dapat berperan sebagai nabi dan dapat menerima wahyu dari Tuhan. Demikian pula dengan Siti Maryam, satu-satunya perempuan yang tanpa proses biologis normal bisa mengandung dan melahirkan anak. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya seorang ibu (perempuan) bagi kehidupan manusia. 72 73

Musdah Mulia, Kemuliaan perempuan dalam Islam, hal. 34. Wadud, Quran and Woman, hal. 40.


44

Menurut Amina Wadud, inti dari perjuangan menjadi imam perempuan menunjukkan bahwa pemimpin tidak hanya laki-laki, tapi perempuan juga punya hak untuk memimpin. Larangan perempuan menjadi pemimpin berakar dari tradisi yang menuntut ketaatan perempuan yang sering ditafsirkan dalam bentuk serba membatasi gerak perempuan dalam masyarakat. Ketaatan perempuan pada Allah diukur dari ketaatannya pada laki-laki (suami) dan individualitas seorang perempuan diukur dari posisinya sebagai pelengkap bagi laki-laki.74 Seorang perempuan yang lebih independen dan berwawasan luas mungkin akan lebih baik dalam memimpin. Ide Wadud menjadi imam dalam ibadah shalat ini memposisikan Wadud dalam aliran feminisme radikal. Amina Wadud mendobrak seksisme yang dalam teori feminisme radikal persoalan seksisme disimbolkan dengan pemisahan seksualitas dan sistem gender. Pemisahan ini merupakan akar dari penindasan terhadap perempuan dan menyuburkan sistem patriarki. Wadud berpandangan bahwa pemimpin di bidang ibadah shalat (imam shalat) didasarkan pada kualitas individu tidak hanya formalitas ritual belaka, untuk menunjukkan hegemoni lakilaki. Wadud menyarankan rekonstruksi pemikiran di bidang kepemimpinan, dimana perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki hegemoni dalam kepemimpinan di ranah ibadah. Perempuan dan laki-laki boleh hadir dalam ibadah shalat Jumaat baik sebagai jamaah maupun sebagai imam.75 Penghapusan seksisme dalam kepemimpinan shalat oleh Wadud menjadi langkah strategis agar seksisme dapat dihapuskan dalam bidang-bidang lain. Larangan perempuan menjadi pemimpin di bidang ibadah telah menjadi sandaran bagi kepemimpinan di bidang politik. Pembenaran mengenai imam perempuan didasarkan Amina Wadud pada teologi Tauhid. Menurut Amina Wadud, sebelum keyakinan satu tuhan (agama monoteisme) semua manusia adalah sama dan melakukan hubungan antara satu dengan yang lainnya, tidak ada perbedaan fungsi

74 75

Wadud, Quran and Woman, hal.73. Wadud, Inside the gender Jihad,hal.186.


45

karena perbedaaan gender, kecuali fungsi biologis reproduksi. Semua fungsi bisa dijalankan oleh laki-laki dan perempuan, mulai dari penitipan anak hingga menjadi pemimpin. Menurut Amina Wadud, tidak ada hukum Islam yang melarang perempuan menjadi imam shalat dengan makmum laki-laki dan perempuan. Pandangan ini dikembangkan tanpa ada landasan yang jelas. Juga tidak ada satu ayatpun dalam Alquran yang menentukan hanya laki-laki saja yang boleh menjadi pemimpin. Hadis juga tidak ada yang melarang perempuan memimpin shalat atau menetapkan hanya laki-laki saja yang boleh memimpin shalat.76 Perjuangan menjadi imam perempuan seperti diuraikan di atas motivasinya jelas yaitu mewujudkan kesetaraan gender dalam bidang kepemimpinan. Hal ini menunjukkan bahwa paham feminisme radikal sangat kuat mempengaruhi Amina Wadud yang termotivasi untuk menghapuskan paham seksis dalam kepemimpinan Islam. Menjadi imam perempuan merupakan realisasi dari ide kesetaraan dan keadilan gender dan dapat dilihat sebagai jihad gender, yaitu perjuangan untuk mewujudkan keadilan gender dalam praktek. Sekalipun belum ada argumentasi yang kuat tentang imam perempuan ini, ketika saya meminta penjelasan Wadud mengenai hal ini, dia hanya mengatakan, argumentasi imam perempuan sedang ditulisnya,

77

namun ide imam perempuan dalam ibadah shalat ini patut

diapresiasi. Ide kesetaraan gender harus ditunjukkan dalam praktek untuk menyampaikan pesan bahwa perempuan harus bertindak untuk merepresentasikan ruang-ruang simbolik dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Imam

perempuan

merupakan

representasi

ketaatan

beribadah

sekaligus

kemampuan berpartisipasi bagi perempuan. Perempuan juga berkepentingan dalam praktek ritual dalam Islam. Kepemimpinan dalam ibadah shalat telah dijadikan sandaran bagi kepemimpinan di bidang politik, maka sandaran ini harus didobrak.

76 77

Wawancara dengan Amina Wadud melalui surat elektronik tanggal 28 Maret 2014. Wawancara dengan Amina Wadud melalui surat elektronik tanggal 28 Maret 2014.


46

2.4. Rangkuman Amina Wadud adalah intelektual dan tokoh pergerakan feminis Islam dari Afrika-Amerika. Pengalaman hidupnya banyak terlibat dengan persoalan gender dan feminisme. Sebagai kelompok minoritas, warga Afrika-Amerika dia mengalami diskriminasi rasial dan diskriminasi gender. Minatnya untuk berjuang bagi keadilan gender muncul dalam suatu konteks historis yang erat kaitannya dengan perjuangan perempuan Afrika-Amerika dalam menuntut keadilan gender. Wadud konsisten memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender, baik melalui kajian ilmiah maupun sebagai aktivis gender. Secara ilmiah, Wadud membawa persoalan gender masuk ke dalam tafsir Alquran. Perempuan dalam tafsir dianalisisnya sebagai manusia yang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan. Wadud mendobrak dominasi laki-laki dalam tafsir klasik. dan sebagai aktivis gender, Wadud berjuang melalui organisasi perempuan untuk kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan gender bagi Wadud adalah kesamaan derajat laki-laki dan perempuan, baik secara ontologi maupun dalam berbagi peran dan hak. Perjuangan Wadud untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan gender dapat disimak dari pemikirannya yang mengangkat eksistensi dan martabat perempuan dengan menolak isu tulang rusuk sebagai asal usul penciptaan perempuan. Wadud berusaha untuk mengubah ide kepemimpinan dalam ibadah shalat dengan bertindak sebagai imam shalat Jumaat yang selama ini tidak boleh dilakukan oleh perempuan dan Wadud menggagas reformasi terhadap hukum keluarga yang dipandangnya tidak adil terhadap perempuan. Memahami pemikiran Amina Wadud seperti diuraikan di atas, terlihat jelas bahwa paham feminisme sangat kuat mempengaruhi pemikirannya. Dengan memperhatikan fokus pemikiran Wadud mengenai feminisme, Wadud dapat diposisikan sebagai feminisme liberal dan eksistensialis dan radikal. Feminisme liberal menuntut penghapusan peran berdasarkan gender dan menuntut hak-hak


47

perempuan, feminisme eksistensial menuntut kesamaan status ontologi laki-laki dan perempuan dan feminisme radikal menuntut penghapusan paham seksisme. Mencermati pemikiran dan pengalaman Wadud mengenai gender dan feminisme terlihat bahwa Wadud ingin membangun sikap inklusif gender dan tidak membangun sikap ekslusif feminis. Dia mengajak laki-laki dan perempuan agar membentuk suatu sistim kerjasama yang egaliter dan efisien, mendorong partisipasi maksimal setiap anggota masyarakat. Karena pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan tidak ada ketentuan yang tegas dari Alquran, maka kulturlah yang memilih pembagian kerja tersebut. Karena kodrat kultur berubahubah, maka relasi gender harus menyesuaikan dengan perubahan kultur tersebut. Bimbingan Alquran secara logis dan wajar dapat diterapkan dalam kehidupan umat manusia di era manapun apabila menafsirkan Alquran dilakukan dengan mempertimbangkan perubahan kultur sosial.


48

BAB 3 HERMENEUTIKA FEMINISME AMINA WADUD

3.1.

Pengantar Secara umum hermeneutika dipahami sebagai teori penafsiran atau

interpretasi, khususnya prinsip-prinsip penafsiran tekstual. Dalam ilmu filsafat, hermeneutika dipahami sebagai metode filsafat yang berada dibawah payung epistemologi. Metode adalah cara atau jalan yang digunakan untuk memperoleh kebenaran dan pencerahan. Ada berbagai metode dalam filsafat, di antaranya metode kritis (Sokrates, Plato), metode intuitif (Plotinus, Hendri Bergson), metode transendental (I.Kant), metode dialektis (Hegel), metode fenomenologi (Husserl) dan metode analisis bahasa ( Wittgenstein). 78 Filsafat memerlukan metode hermeneutika, karena filsafat membutuhkan metode untuk menginterpretasikan pengalaman manusia. Selama tiga dasawarsa ini bidang metodologi telah menjadi pokok pembicaraan dan perdebatan dalam filsafat. Salah satu perdebatan metodologi adalah munculnya pendekatan pospositivisme karena pendekatan positivistik dianggap bermasalah dalam penerapan

studi

ilmu

pengetahuan

sosial

budaya.

Dengan

munculnya

permasalahan ini, maka berkembanglah hermeneutika. Tercatat beberapa tokoh yang berjasa dalam mengembangkan hermeneutika sebagai metode studi ilmu sosial budaya seperti Friederich Schleiermacher, Wilhem Dilthey, Martin Heidegger, Hans Georg Gadamer dan lainnya.

Dalam perkembangannya,

feminisme melihat pentingnya sumbangan hermeneutika dalam menafsirkan teksteks yang berkeadilan gender. Hal ini menjadi inspirasi para feminis Islam dalam penafsiran Alquran. Dalam bab ini saya akan menjelaskan model hermeneutika Amina Wadud sebagai metode penafsiran Alquran. Untuk itu, akan diuraikan terlebih dahulu 78

Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, Klasik hingga kontemporer (Jakarta : Pt.Raja Grafindo Persada,2014) hal. 26


49

hermeneutika secara umum dan perkembangannya, hermeneutika feminisme dan dilanjutkan dengan pembahasan mendalam tentang hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran. Selanjutnya, akan diformulasikan model hermeneutika Amina Wadud untuk menghasilkan tafsir feminis yang adil terhadap perempuan. 3.2.

Hermeneutika dan Perkembangannya Hermeneutika atau hermeneutics (bahasa Inggeris), berasal dari kata

Yunani kuno hermeneutikos, bentuk

kata kerjanya adalah hermeneuin

yang

artinya menafsirkan dan bentuk kata bendanya hermeneia artinya penafsiran. Istilah ini

dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam sejumlah literatur

peninggalan masa Yunani Kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang didalamnya terdapat risalah terkenal Peri hermeneias atau De interpretatione (Tentang penafsiran). Hermeneutika juga muncul dalam tulisan-tulisan Plato, dan pada karya-karya para penulis kuno, seperti Xenophon, Plutarch, Europides, Epicuros, Lucretius,dan Longinus.79 Secara mitologis kata

hermeneutika didekatkan dengan

nama dewa

Yunani yaitu Hermes. Dalam mitologi Yunani, Hermes bertugas menyampaikan pesan

dan menafsirkan pesan dewa kepada manusia. Dalam tradisi yang

berbahasa Latin, Hermes dikenal dengan sebutan Mercurius. Menurut Quraish Shihab dengan mengutip pendapat para ulama seperti, Sulaiman Ibn Hasaan Ibn Juljul dalam Thabaqat al-athahibba dan Seyyed Hossein Nasher dalam Knowlegde and the Sacre mengatakan bahwa Hermes adalah nabi Idris. Idris atau Hermes adalah orang yang terpilih untuk menjelaskan pesan-pesan Tuhan pada manusia.80 Nabi Idris

dalam Alquran dikenal sebagai orang pertama yang

mengetahui cara menulis dan memiliki kemampuan teknologi (sina'ah), kedokteran, astrologi, sihir dan lain-lain. Dikalangan Yahudi dalam mitologi Mesir kuno, Hermes dikenal sebagai dewa Toth yang tidak lain adalah Nabi Musa.

79

80

Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation in Schleimacher, Dilthey,Heidegger dan Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969) hal.12-13. Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 402


50

Untuk menyampaikan pesan, Hermes harus membiasakan diri dengan bahasa dewa dan bahasa manusia dimana pesan itu disebarkan. Dalam konteks komunikasi dapat dikatakan bahwa Hermes membawa pesan dari Tuhan sebagai sender, disampaikan kepada manusia (receiver) dan Hermes berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang bisa dimengerti. Dari nama Hermes ini lahir istilah hermeneutika. Dengan kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes, maka penjelasan yang dilakukan Hermes mencakup tiga hal, yaitu pertama, mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran melalui katakata dalam rangka menyampaikan pada sasaran yang dituju. Kedua, Penjelasan rasional menyangkut hal-hal yang masih samar agar maksudnya dapat dipahami dengan jelas. Ketiga, menterjemahkan ke dalam bahasa yang dipahami oleh sasaran. 81 Uraian mitologis yang mengasosiasikan

hermeneutika dengan Hermes

menggambarkan betapa pentingnya penafsiran dalam memahami maksud sebuah teks. Sejak awal terlihat bahwa hermeneutika berurusan dengan tugas menerangkan kata-kata dan teks yang tidak dipahami oleh masyarakat. Sebagai juru bicara Tuhan, Hermes berusaha merangkai kata-kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar pas dan mudah dipahami oleh manusia. Dalam hal ini, persoalan yang dihadapi Hermes adalah bagaimana menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada manusia, Tuhan memiliki bahasanya sendiri, begitupun manusia. Problem kesenjangan bahasa, kultur dan penafsiran sebuah teks merupakan inti persoalan dalam kajian hermeneutika. Hermeneutika pada awalnya merupakan sub-disiplin dari teologi dan merupakan upaya mengeluarkan maksud teks dan kitab suci (exegese). Dalam perkembangan selanjutnya hermeneutika digunakan tidak hanya sebagai metode menafsirkan kitab suci, tapi berkembang sebagai metode penafsiran teks dalam arti yang luas, seperti, tanda, simbol, karya seni dan lainnya. Akhyar Yusuf Lubis membedakan hermeneutika dalam enam bentuk, yaitu

81

(1) Teori eksegesis Bible

Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 403


51

(2) Metode filologi secara umum (3) Ilmu pemahaman linguistik (4) Fondasi metodologis Geisteswissenschaften (5) Fenomenologi eksistensial (6) sistem interpretasi yang digunakan untuk meraih makna dibalik simbol-simbol dan mitos.82 Masing-masing bentuk hermeneutika di atas mempresentasikan sudut pandang mana hermeneutika mau dilihat. Tiap bentuk hermeneutika melahirkan suatu pandangan yang berbeda tapi melegitimasikan kisi-kisi tindakan interpretasi, khususnya interpretasi teks. Richard E. Palmer membedakan antara exsegese

dan hermeneutika.

Exsegese adalah komentar-komentar aktual atas teks, sedangkan hermeneutika adalah metodologi yang digunakan untuk ber-exsegese. Jika exegese merupakan komentar aktual terhadap teks, maka hermeneutika lebih banyak berurusan dengan pelbagai aturan, metode dan teori penafsiran. Menurut Palmer, sejak awal hermeneutika mengarah kepada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip penafsiran tekstual. Ada tiga komponen dalam proses tersebut, mengungkapkan,

menjelaskan

dan

menterjemahkan.83

Dengan

yaitu

demikian,

hermeneutika dipahami sebagai teori penafsiran atau interpretasi teks. Pemikiran

awal mengenai hermeneutika sebagai metode penafsiran

berasal dari Wilhelm Dilthey (1833- 1911) filsuf Jerman yang menggagas pemisahan metode ilmu-ilmu alam dengan metode ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kemudian gagasan ini diperkuat oleh Windelband, tokoh hermenutika terkenal (1894) dengan membedakan ilmu-ilmu nomotetis dengan ilmu-ilmu idiografis. Ilmu nomotetis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan mencari hukum-hukum alam, sedangkan ilmu idiografis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menemukan keunikan (kekhasan) suatu peristiwa atau fenomena. Bila ilmu nomotetis terdapat pada naturwissenscaften, dalam

seperti yang terdapat

kecendrungan pada ilmu kuantitatif, ilmu idiografis terdapat pada

giesteswissenschaften, dimana suatu peristiwa tidak pernah terjadi dengan sebab dan akibat yang persis sama. Dasar pembedaan ini bersifat ontologis. Namun oleh 82 83

Akhyar Yusuf Lubis, Methodologi Posmodernis ( Bogor : Akademia, 2004) hal. 103 Richard E. Palmer, Hermeneutics, hal.34


52

kaum positivisme, ilmu idiografis dianggap tidak ilmiah, karena tidak bisa diverifikasi dan tidak bersifat universal sebagai ciri ilmiah yang telah ditentukan. Oleh karena itu, metode hermeneutika untuk giesteswissenschaften, ditolak. Dikemudian hari, barulah hermeneutika dengan sengaja direfleksikan secara filosofis menjadi metode penafsiran dalam giesteswissenschaften seperti yang dilakukan oleh Frederich Daniel Ernst Schleirmacher dan

Wilhelm Dilthey.

Kedua tokoh ini menjadikan hermeneutika sebagai metode yang terhormat dalam filsafat dan ilmu-ilmu humaniora. Daniel Ernst Schleimacher (1768-1834) tokoh pertama yang memberikan tonggak yang kukuh bagi hermeneutika

dengan membangun hermeneutika

sebagai suatu teori. Dia mengemukakan dua dimensi penafsiran grammatical interpretation

(interpretasi

gramatika)

dan

psychological

interpretation

(interpretasi psikologi). Menurut Schleimacher seperti yang dikutip Thompson, dengan menggunakan unsur kupasan bahasa dan psikologis, seseorang mampu membuat kejelasan asumsi-asumsi yang sesuai dengan originalitas ekspresi yang diproduksi yang kemudian bisa memahami sang penutur secara baik. Kerja Schleimacher merupakan langkah bagi Dilthey untuk menemukan metode bagi ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sebagai sebuah kajian filsafat dan menjadi sebuah metode dalam berfilsafat, hermeneutika didefinisikan dengan cara yang berbeda-beda walaupun pada dasarnya metode ini ingin menjelaskan bagaimana cara membaca, memahami dan menghadapi teks, khususnya teks yang tertulis pada saat yang berbeda

dan

dalam

konteks

kehidupan

yang

berbeda.

Schleirmacher,

mendefinisikan hermeneutika sebagai seni memahami dan menguasai84. Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutika sebagai teori interpretasi (pengoperasian atau aktivitas pemahaman) yang berhubungan dengan interpretasi teks

atau

mengubah suatu ketidaktahuan menjadi mengerti.85 Menurut Gadamer, bahasa

84

F. Schleirmacher, Hermeneutics and Criticis, terj. Andrie Bowie (Cambridge : Cambridge University, 1998 ) hal. 5 85 Paul Ricoeur, From Text to action terj. Kathleen Blamey ( New York: Continum, 2008) hal.51


53

satu-satunya entitas yang bisa dipahami, oleh karena itu untuk masuk kesuatu teks kita harus masuk kedalam bahasa. Josef Bleicher membagi hermeneutika Hermeneutika teoritis, Hermeneutika filosofis Hermeneutika teoritis

atas tiga aliran dan

yaitu :

Hermeneutika kritis.86

memfokuskan perhatian pada masalah teori umum

penafsiran sebagai sebuah metodologi untuk ilmu-ilmu tentang manusia dan ilmu sosial dan menempatkan hermeneutika dalam ruang epistemologi, yakni hermeneutika di tempatkannya sebagai metode penafsiran terhadap pemikiran orang lain. Aliran ini mengharapkan pemikiran orang lain (the mind of other) dapat dipahami seobjektif mungkin, maka hermeneutika diupayakan akan menemukan fondasi yang dibutuhkan bagi penelitian ilmiah. Tokoh pendukung hermeneutika teoritis ini antara lain Schleiermacher dan Dilthey. Hermeneutika teoritis mendapat kritik dari hermeneutika filosofis. Hermeneutika filosofis tidak bertujuan untuk mencari makna objektif seperti hermeneutika teoritis, tetapi menggunakan metode hermeneutika sebagai cara eksplikasi dan diskripsi fenomena Dasein dalam temporalitas dan historikalitas. Hermeneutika filosofis bertujuan tidak menemukan makna melalui dialog antara subjek-objek dan objek yang ditafsirkan tidak mencari makna objektif, tetapi bagaimana penafsir menghasilkan penafsiran baru yang secara praktis relevan dan memperluas wawasan.87 Tokoh terkemuka dari aliran hermenutika filosofis adalah Martin Heidegger (1889-1976) yang berpengaruh besar terhadap perkembangan hermeneutika pada era postmosdern. Heidegger memulai proyeknya dengan suatu penelitian ontologis hermeneutika dan

menolak pemahaman terhadap dunia

keilmuan dimana subjek-objek harus objektif, melahirkan pemahaman kaku dan

86

Josef Bleicher , Contemporary hermeneutics : Hermeneutics as Methode, Philosophy and Critique (London:Routledge & Kegan Paul,1980 ) hal. 3 87 Lubis, Methodologi Posmodernis hal. 112


54

bersifat hitam putih. Karena itu, Heidegger memfokuskan pembahasan pada fondasi ontologis hermeneutika. 88 Pemikiran Heidegger dilanjutkan oleh muridnya Hans Georg Gadamer

(1900-2002) yang menegaskan bahwa penafsiran adalah proses produksi makna, tidak merupakan reproduksi makna. Gadamer mengemukakan hubungan antara prior text (pra pemahaman) dengan otoritas tradisi. Menurut Gadamer upaya objektivistik akan sia-sia dalam penafsiran sebuah teks, karena antara teks dan penafsir terbentang jurang tradisi yang tidak mungkin disatukan. Penafsir dan teks menurut Gadamer senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Dalam memandang realitas, penafsir tidak bisa melepaskan diri dari tradisi, sehingga penafsiran bukanlah aktivitas subjek sebagai diri yang menyendiri, terpisah dari sejarah, melainkan berangkat dari tradisi dimana ia ada didalamnya, yang dipahami bukan struktur psikologis orang lain, tetapi adalah objek yang punya makna yang tertanam dalam suatu tradisi yang dimilikinya. Pendekatan terhadap teks harus dilakukan melalui prior text dan realitas historis kekinian dan selanjutnya penafsir memunculkan produksi makna dari teks itu dan kesemuanya bersifat subjektif dan dilakukan dengan proses dialogis antara cakrawala teks dengan penafsir yang dikenal dengan the fusion of horizons.89 Hermeneutika filosofis mendapat tantangan dari pemikir kritik ideologi seperti yang dikemukan oleh Jurgen Habermas dan Karl Otto Apel. Mereka mengembangkan suatu metode penafsiran hermeneutis yang berbingkai Teori Kritis yang disebut dengan hermeneutika kritis. Jika dalam hermeneutika filosofis yang menjadi problem hermeneutis pada akhirnya adalah bahasa dan permainan bahasa, maka hermeneutika kritis justru menempatkan faktor-faktor ekstralinguistik

sebagai

masalah

yang

harus

dipecahkan

oleh

hermeneutika.

Hermeneutika teoritis dan filosofis mengabaikan hal-hal diluar bahasa, seperti

88

Thompson, Filafat bahasa dan hermeneutik : Untuk Peneleitian ilmu Sosial (Surabaya: Visi Humanika, 2005 ) hal. 74. 89 Edy Mulyono, Belajar Hermeneutika, ( Yogyakarta : IRCiSoD, 2002 ) hal. 154.


55

kerja dan dominasi yang justru sangat menentukan terbentuknya konteks pemikiran dan perbuatan.90 Dengan

berkembangnya

diskursus

filsafat

ke

arah

postmodern

hermeneutika mulai berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat kritis terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Hermeneutika tidak lagi terbatas pada metode apa yang paling valid untuk mencapai kebenaran penafsiran, tapi juga mendekonstruksi acuan dari kebenaran-kebenaran yang selama ini dipercaya dengan mengkritisi dasar-dasar epistemologis dan ontologis yang menopangnya.91 Hadirnya pemikiran postmoderen membawa hermeneutika ke dalam diskursus yang bernuansa dekonstruksi yang dikemukakan oleh Jacques Derrida (19302004) seorang filsuf berkebangsaan Aljazair. Pekembangan pesat hermeneutika sebagai metodologi mencari kebenaran dan pencerahan mengimbas ke dalam studi Islam. Sekalipun hermeneutika merupakan metode yang masih asing dalam studi Islam, namun kesadaran perlunya standar ilmiah dalam penafsiran Alquran, maka hermeneutika masuk dalam studi Islam. 3.3.

Hermeneutika dalam studi Islam Dalam studi tentang Alquran dan tafsir, hermeneutika merupakan metode

baru bagi penafsiran Alquran. Digunakan pertamakali oleh Hassan Hanafi (1965) dalam disertasinya yang berjudul : Les metodes d‟exegese: essay sur la science des fondements de la comprehension „ilm usul al-fiqh, untuk mengambil gelar doktor pada universitas Sarbone Perancis. Kemudian, metode hermeneutika bagi penafsiran Alquran terus dikembangkan oleh para intelektual Islam kontemporer karena didorong oleh kesadaran bahwa realitas kekinian memerlukan alat bantu untuk menafsirkan Alquran dan perlunya suatu standar ilmiah dalam

90 91

penafsiran

Lubis, Methodologi Posmodernis hal. 114 Ilham Saenong, Hermenutika Pembebasan: Metodologi tafsir Alqur’an menurut Hassan Hanafi, (Jakarta :Teraju, 2002, hal xxii


56

Alquran.92 Ketika hermeneutika cukup memberikan kontribusi signifikan dan membuka wacana baru dalam pembacaan teks suci, maka metode ini dikembangkan dalam berbagai perspektif termasuk perspektif feminisme seperti yang dikembangkan Amina Wadud. Penggunaan

metode

hermeneutika

dalam

menafsirkan

Alquran

menimbulkan pandangan pro kontra, ada kelompok yang menolak dan ada yang mendukung, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Farid Essack dan Amina Wadud. Kelompok yang menolak, seperti Yusuf al-Qardawiy, Muhammad Naquib AlAttas, Wan Mohd Nor Wan Daud berpendapat bahwa penggunaan hermeneutika sebagai metode penafsiran Alquran dapat mengaburkan substansi Alquran, karena tafsir hermeneutika bermuatan pemikiran subjektif dan kondisional. Disamping itu, hemeneutika merupakan studi prinsip-prinsip umum tentang interpretasi Bible yang bertujuan untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible, sehingga tidak bisa digunakan untuk menafsirkan Alquran.93 Menurut Quraish Shihab, ada konsep-konsep dalam hermeneutika yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya penafsiran Alquran. Karena itu adalah tidak wajar menolak mentah-mentah kehadiran hermeneutika sebagai metode penafsiran Alquran. Tujuan utama dari hermeneutika adalah untuk menafsirkan dan memahami makna kata dan konteks yang terdalam dan tersembunyi dari teks, maka itu, hermeneutika diperlukan untuk pemahaman Alquran. Pada masa awal, Alquran diterima umat dalam bentuk lafazh (lisan) dan lafazh Alquran tidak ada bedanya dengan lafazh-lafazh yang lain. Dengan demikian, Alquran pun dapat didekati sebagaimana mendekati teks apapun.94 Penafsiran Alquran telah mulai sejak

turunnya wahyu, dimana Nabi

Muhammad sebagai penafsir utama telah menafsirkan beberapa ayat Alquran dan dalam perkembangan selanjutnya para ulama menyusun sebuah disiplin untuk

92

Nasaruddin Umar, Menimbang Hermeneutika sebagai Manhaj Tafsir ( Jurnal Studi Alquran vol.1 no.1 : Januari 2006) hal. 33-35. 93 Irsyadunnas,Hermeneutika Feminisme, hal. 4 94 Shihab, Kaidah Tasir , hal. 429 -438.


57

penafsiran Alquran yakni ulum al-tafsir. Menurut Quraish Shihab hermeneutika dan tafsir adalah sama-sama ilmu tentang penafsiran dan dapat dikatakan bahwa metode hermeneutika merupakan perkembangan dari metode tafsir klasik dimana metode hermeneutika lebih sistematis dan kritis. Hermeneutika dan tafsir tidak perlu dipertentangkan.95 Hermenutika dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan ilmu at- takwil dan ada juga yang langsung memahaminya sebagai ilmu tafsir karena berfungsi untuk menjelaskan maksud teks yang diteliti. Hermeneutika tidak perlu dipertentangkan dengan tafsir karena banyak hal yang mempertemukan hermeneutika dengan kaidah penafsiran Alquran. Atas dasar itu, maka hermeneutika penting dalam pembacaan Alquran. 96 Saya cenderung mendukung pandangan Shihab di atas, sebab Alquran disamping wahyu Tuhan, dapat dipandang sebagai teks, karena ia hadir kepada manusia dalam bentuk teks. Alquran sebagai teks saat ini berhadapan dengan realitas umat Islam kontemporer yang penuh dengan kompleksitas persoalan sosial dan kemanusiaan. Alquran mengandung ungkapan-ungkapan simbolik metaforis dan berbagai kiasan, memerlukan penafsiran dan penafsiran memerlukan metode. Tiap metode memiliki kriteria dan aturan-aturannya sendiri. Bila dianggap suatu metode tidak memuaskan, dapat dipilih metode lain yang dapat menjawab persoalan. Karena metode tafsir klasik dipandang sangat simple (ringkas), tidak memadai lagi menangkap pesan-pesan moral dari Alquran, maka hermeneutika sebagai metode yang lebih sistimatis dan kritis dapat dijadikan pilihan. Alquran sebagai teks, tentu saja menjadikan kedudukan teks demikian sentralnya, sehingga teks menjadi semacam paradigma yang mengkerangkakan seluruh kehidupan umat Islam dalam seluruh bentangan sejarah. Kehadiran teks dalam tradisi agama membawa implikasi

luar bisa

bagi perkembangan

peradaban. Sekalipun konteks merupakan syarat penting dalam memahami teks, tapi teks tetap merupakan supremasi tertinggi, karena berkaitan dengan wawasan

95

96

Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 3 Shihab, Kaidah Tafsir ,hal. 402


58

teologis yang menganggap bahwa Tuhan berbicara langsung pada manusia melalui Nabi Muhammad. Teks dipandang sebagai poros tempat putaran seluruh tindakan orang beriman.97 Begitu

kentalnya merasuk dalam kehidupan, tidak

heran kalau teks menentukan langgam serta gaya hidup umat beragama. Juga tidak heran bila muncul kegelisahan dari pemikir-pemikir Islam berjiwa pembaharuan melihat kevakuman yang panjang dalam pemahaman teks Alquran yang hanya berkutat pada pemahaman masa klasik yang konteks dan kondisinya telah berbeda dengan masa sekarang. Oleh karena itu, tidak heran bila muncul berbagai gagasan untuk menggunakan teori yang lebih sistimatis untuk penafsiran teks Alquran. Penafsiran Alquran dengan metode hermenutika dipandang lebih mampu menyajikan dimensi-dimensi humanistik Alquran yang selama ini dipandang tersembunyi di balik kekakuan penafsiran teks Alquran yang bernuansa teologis. Hermeneutika untuk penafsiran Alquran telah dikembangkan oleh para intelektual Islam kontemporer seperti Muhammad Shahrur98 yang menawarkan hermeneutika intertekstual, Nasr Hamid Abu Zayd,99 menawarkan hermeneutika signifikansi dan Fazlur Rahman100 mengemukakan hermeneutika double movement. Hermeneutika Muhammad Shahrur menempatkan pemahaman kitab suci dalam kerangka fenomena historis. Dia melakukan koreksi terhadap kesalahan umat yang kurang memperhatikan karakterisitik dan fleksibilitas penafsiran ayatayat Alquran, sehingga membebani umat, karena tidak sesuai lagi dengan

97

Abd. Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Alqur’an (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama : : 2009) hal. 110 98 Muhammad Shahrur lahir pada tanggal 11 April 1938 di Damaskus, Suriah. Melahirkan beberapa karyanya, antara lain al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah al-Mu’ashirah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, kemudian Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi al Daulah wa al Mujtama’, Al Iman wa al Islam : Manzumat al Qiyam, Nahw Ushul Jadidiah lil Fiqh al Islami : Fiqh al Mar’ah, Masyru’ Mitsaq al ‘amal al Islami diterjemahkan dengan judul Metodologi Fiqh Islam Kontemporer. 99 Nash Hamid Abu Zayd 10 Juli 1943 di desa Qahafah dekat kota Thantha Mesir. Mendapat gelar doktor pada tahub 1981 dalam studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas Kairo dengan judul disertasi Falsafah a-ta’wil ; Dirasah fi ta’wil al-Quran ‘inda muhy al-Din Arab ( Fisafat takwil : studi hermeneutika Alquran yang ditulis dalam bahasa Arab). 100 Fazlur Rahman, intelektual Islam kontemporer asal Pakistan. Lahir 1919 dan meninggal 1988, melakukan pembaharuan epistemologi pemikiran Islam melalui Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982),.


59

kemajuan ilmu pengetahuan dan konteks sosial abad 21. Shahrur menggagas hermenutika intertekstualitas yakni menggabungkan ayat-ayat Alquran yang memiliki titik-titik persinggungan dan persamaan tema dalam ayat-ayat yang berbeda. Hal ini dimaksudkannya untuk menentukan mana makna yang paling tepat dari makna yang ada, karena setiap kata dipengaruhi oleh hubungan secara linear dengan kata sekelilingnya. 101 Nasr Hamid Abu Zayd juga menampilkan model baru hermeneutika Alquran yang disebut dengan hermeneutika signifikan. Bagi Zayd,

Alquran

mengandung dua unsur yaitu makna objektif yang terbentuk melalui historis dan metaforis dan makna signifikansi yakni level kata yang maknanya dapat diperluas ke dalam kultur yang berbeda dari kultur awal. Setelah ditemukan makna objektif lalu dilanjutkan dengan upaya mengkaitkan Alquran dengan realitas kekinian untuk menemukan jawaban bagi persoalan yang sedang dihadapi. Zayd memberi penegasan tentang adanya hubungan yang erat antara unsur pertama dan kedua atau makna objektif dan makna signifikansi.102 Fazlur Rahman dikenal dengan teori double movement (gerakan ganda) yaitu: pertama, bergerak dari situasi sekarang ke situasi Alquran diturunkan, untuk mencari nilai dari ayat yang diturunkan dalam merespon peristiwa yang terjadi di masa wahyu. Kedua, setelah menemukan prinsip umum, maka dikembalikan pada masa sekarang untuk diterapkan dan jika perlu diubah dimana nilai-nilai Alquran bisa diterapkan. Fazlur Rahman berpendapat bahwa proses penafsiran merupakan gerakan ganda dari situasi sekarang ke masa Alquran, kemudian kembali ke masa sekarang, sebab Alquran adalah jawaban

Tuhan

melalui pikiran Nabi terhadap situasi moral-sosial Jazirah Arab abad ke 7 (zaman nabi). Alquran muncul sebagai respon terhadap situasi itu karena itu, kandungan Alquran sebagian besar adalah pernyataan moral keagamaan dan sosial dan juga merespon berbagai persoalan khusus yang dihadapi pada masa itu. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hermeneutika Fazlur Rahman merupakan pemahaman 101 102

Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme, hal. 55. Irsyadunnas, Hermeneutika feminisme, hal.56


60

teks dalam konteks, dimana dan kapan suatu ayat diturunkan dan bagaimana respon masyarakat terhadap ayat tersebut, kemudian dbawa ke konteks kekinian.103 Dalam Islam and Modernity: Transformation of on Intellectual Tradition (1982), Rahman merekomendasikan perlunya pembedaan antara Islam normatif dan Islam historis. Islam normatif adalah sumber norma dan nilai yang mengatur seluruh tata kehidupan dan bersifat universal. Islam historis merupakan Islam yang ditafsirkan oleh umat Islam sepanjang sejarah. Gagasan penafsiran Alquran atau hermeneutika Alquran Fazlur Rahman meliputi pendekatan sosio-historis, teori gerakan ganda (double movement) dan pendekatan sintetis-logis. Pendekatan sosio-historis, yaitu melihat kembali sejarah yang melatari turunnya ayat. Dalam hal ini Ilmu asbabun al-nuzul sangat penting. Teori gerakan ganda penting untuk membedakan antara legal spesifik dan ideal moral. Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan Alquran, sedangkan legal spesifik adalah ketentuan hukum yang ditetapkan secara khusus. Pendekatan sintetis-logis diperlukan untuk membahas suatu tema dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas.104 Hermeneutika yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh intelektual Islam kontemporer di atas telah mengubah pemahaman terhadap teks-teks Alquran. Pemahaman ini dipandang lebih membumi tidak hanya berkutat pada pemahaman masa klasik yang konteksnya telah berbeda dan terkesan anti pembaharuan (tajdid). Dengan demikian, hermeneutika menjadi metode penafsiran alternatif dalam studi tafsir Alquran dan

kehadiran hermeneutika dipandang sebagai

rekonstruksi metodologis dalam penafsiran Alquran. Tiap muffasir

memiliki

kekhasannya sendiri dan tidak bisa dijadikan satu-satunya pemahaman, karena muffasir dalam memahami teks tergantung latar belakang lingkungan sosial dan budayanya. Disamping itu, Alquran adalah kitab Illahiah yang menjadi pedoman manusia sepanjang zaman, sehingga harus bersifat fleksibel untuk mengakomodir 103 104

Abdul Mustaqim, Epitemologi Tafsir Kontemporer, hal. 180-181 http://saintofreligion.blogspot.com/2011/04/hermeneutika-al-quran-fazlur-rahman.html


61

situasi budaya yang sangat beragam. Bila hanya ada satu penafsiran yang ditafsirkan pada suatu konteks zaman, maka akan membatasi jangkauan Alquran. Oleh karena itu, mengembangkan hermenutika sebagai metode penafsiran Alquran akan memberi manfaat bagi kehidupan manusia. 3.4.

Hermeneutika Feminisme Berkembangnya hermeneutika sebagai metode studi ilmu pengetahuan

sosial budaya, memberi dukungan metodologis terhadap studi feminis. Ketika studi feminis diterima sebagai studi baru di dunia akademis, hal utama yang dipersoalkan adalah metodologi dari kajian ini, terutama dalam menjelaskan konsep perbedaan gender. Konsep perbedaan gender ini penting sebagai dasar untuk menjelaskan perbedaan perilaku, pengalaman dan harapan antara laki-laki dan perempuan. Dengan pendekatan hermeneutika dalam studi feminis dapat dijelaskan konsep perbedaan gender yang didasarkan pada pandangan anti esensialisme. Konsep dan konstruksi terhadap perempuan dan laki-laki bukan sesuatu yang telah jadi dan selesai, tapi dikonstruksi secara sosial historis. Karena bentukan sosial selama ini bersifat patriarkis, sehingga melahirkan pandangan yang merugikan perempuan, maka kaum feminis mengajukan konstruksi konsepkonsep baru yang bersifat feminis. Konstruksi konsep-konsep baru ini dilakukan dengan pendekatan hermeneutika feminisme. Sejak tahun 1990, pemikir-pemikir feminis Barat seperti Nancy Fraser dan Linda Nicholson melakukan rekonstruksi teori feminisme, dari teori yang bersifat universalitas dan esensialis ke arah pemikiran postmodern yang menolak universalitas dan esensialisme dalam teori ilmu pengetahuan. Ketika berkembang pemikiran postmodern dan merembes ke berbagai bidang ilmu pengetahuan, pemikiran feminisme dipandang sebagai contoh pemikiran postmodern. Dengan perspektif postmodern, Fraser dan Nicholson memahami bahwa penyebab ketidakadilan terhadap

perempuan pada setiap kultur berbeda-beda, sehingga

tidak dapat dijelaskan secara universal, tapi harus dipahami berdasarkan kondisi sosial historisnya.


62

Feminisme menolak grand social theory dan fokus terhadap konsep perbedaan (pluralitas) serta menekankan dimensi perbedaan interpretasi dengan pendekatan hermeneutika. Dalam hal ini, menurut Fraser dan Nicholson, diperlukan percakapan hermeneutika yang tidak dibatasi oleh relasi kekuasaan atau ideologi, tapi bersifat inklusif di mana semua suara masuk dalam proses interpretasi, sehingga dapat saling memahami. Jika bentuk-bentuk pengetahuan dipengaruhi kekuasaan, maka pengetahuan sosial dari perspektif feminisme tidak bisa berkembang, maka untuk mendukung konsep perbedaan perempuan dan gender serta emansipasi sosial politik yang menjadi perjuangan feminisme, perlu memunculkan hermeneutika feminisme merupakan langkah yang strategis. 105 Menyadari bahwa ada bias gender dan ketidakadilan dalam teori dan kehidupan sehari-hari, maka kalangan intelektual feminis Barat menggunakan hermeneutika feminisme untuk menstransformasi teori politik dan mengadakan perubahan. Pemikiran hermeneutika mereka cenderung berbentuk politik dan disebut dengan hermeneutika teori politik. (Hermeneutic Political Theory). Yang dimaksud dengan hermeneutika teori politik atau disingkat dengan hermeneutika politik adalah pemikiran kritis terhadap karya-karya yang bertema sosial politik, seperti karya Micahel Walzer (sosial demokrasi), karya Alasdair MacIntyre (New Aristotelian) dan karya John Rawls (teori keadilan). Yang semuanya masih bermuatan metanarratif. Feminisme postmodern menolak filsafat metanarratif dan memposisikan

moral sosial dan tradisi politik sebagai teks yang perlu

diinterpretasikan. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa kita merupakan bagian dari perkembangan historis, budaya moral dan intelektual yang disebut oleh Bernard William sebagai thick vocabulary yang menjastifikasi praktek sosial dan normanorma kehidupan.106 Linda Nicholson melakukan pendekatan hermeneutika feminisme terhadap isu keadilan yang dikembangkan John Rawls. Dia menolak penjelasan abstrak

105 106

Georgia Warnke, Feminism and Hermeneitcs, Hypatia vol.8 no.1 (Winter 1993) hal. 81-83 Georgia Warnke, Feminism and Hermeneitcs, hal. 86


63

tentang keadilan dalam pemikiran Rawls. Demikian pula, Susan Miller Okin mengeritik Rawls yang tidak mengikutkan diskusi gender dalam pemikiran mengenai keadilan. Okin juga mengeritik pemikiran Mac Intyre yang tidak kritis terhadap tradisi pemikiran para filsuf terdahulu dan Okin mengkounter pemikiran yang berbasis tradisi filsafat aristotelian.107 Hermeneutika feminisme dalam pemikiran feminisme postmodern ini (Nicholson dan Okin) tidak hanya mengakui cara pandang postmodern tentang masalah perbedaan dan penghargaan terhadap keragaman, tapi juga memberikan argumentasi terhadap pentingnya berbagai kritik sosial dan pemikiran politik. Hal penting bagi hermeneutika feminisme adalah membuka diskusi terhadap interpretasi tradisi. Perlu keberanian untuk membuka diskusi mengenai hal ini, dengan tujuan untuk mengembangkan diri dan tradisi itu sendiri lewat perbedaan yang ada. Kita dapat belajar dari keberagaman, sehingga tidak perlu mendekonstruksi pandangan tradisi seperti mendekonstruksi pandangan mengenai kategori perempuan dan gender. Kita perlu mengenali dimensi sosial dan historis dari pandangan-pandangan tradisi tersebut, sehingga dapat mengartikulasikan beragam teori-teori feminisme. Hermeneutika feminisme tidak menyamakan semua bentuk pemahaman dan mengakui perbedaan perspektif serta berusaha mengurangi tekanan dan pandangan eksklusif dari perbedaan interpretasi.108 Pertanyaan lain yang mengemuka dalam hermeneutika feminisme adalah bagaimana suara lian (otherness) dapat eksis? Cara berada lian cenderung dipinggirkan dalam wacana mainstream sehingga mengakibatkan ketidakadilan. Otherness di dalam pembahasan feminisme artinya bukan cara memandang perempuan yang telah di konstruksi secara sosial oleh laki-laki (sebagai norma umum, humanitas). Perempuan bukan “yang lain” dan subordinasi dari laki-laki (lihat Simone de Beauvoir).109 Konsep otherness ini telah melahirkan ketidakadilan karena telah membedakan eksistensi perempuan dari laki-laki

107

Georgia Warnke, Feminism and Hermeneitcs, hal. 90 Georgia Warnke, Feminism and Hermeneitcs, hal. 97 109 Holland dan Ramazanoglu, Feminist Methodology, Challenges and Choices( 2002) hal.107-109. 108


64

dengan cara yang merendahkan. Siapakah yang memutuskan untuk membedakan status perempuan?

Apa kepentingannya? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang

penting di dalam hermeneutika feminis. Edward Said dalam tulisannya Orientalism (1978) membongkar kekuasaan dan kepentingan Barat dalam memproduksi pengetahuan Timur sebagai yang lian dari Barat. Said mempertanyakan kekuasaan dan kepentingan Barat dalam merepresentasikan Timur. Hal yang sama dilakukan oleh para feminis. Seperti para feminis, Said menghubungkan persoalan etika, politik dengan pengalaman hidup manusia.110 Sesuai dengan pemikiran Said, para feminis menaruh perhatian pada bagaimana teks diproduksi, bagaimana kekuasaan memainkan peranan yang penting dan proses produksi teks juga menjadi sorotan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa landasan hermeneutika feminisme adalah anti esensialisme dan menolak universalitas dalam teori ilmu pengetahuan. Hermeneutika feminisme cenderung berbentuk politik (Hermeneutic Political Theory dan percakapan hermeneutika (Hermeneutika Diskusi) yang tidak dibatasi oleh relasi kekuasaan atau ideologi, tapi bersifat inklusif di mana semua suara masuk dalam proses interpretasi, sehingga dapat saling memahami. Variabel penting dalam hermeneutika feminisme adalah konsep perbedaan gender dan konsep otherness dan tujuannya adalah mereformasi teori politik dan meredefenisi konsep keadilan. 3.4.1. Hermeneutika dalam pemikiran feminis Islam Di zaman kontemporer utamanya pada abad 21 ini, persoalan diversitas, kekerasan atas nama agama dan ketidaktoleranan menjadi masalah di dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam zaman ini, dunia ditertibkan oleh global idea sehingga hermeneutika feminisme mainstream mempengaruhi para intelektual feminis Islam. Mereka mengaplikasikan prinsip- prinsip hermeneutika feminisme

110

Holland dan Ramazanoglu, Feminist Methodology, Challenges and Choices hal. 109


65

untuk menolak penafsiran Alquran yang merugikan perempuan. Para intelektual feminis Islam mulai melakukan penelitian mengenai persoalan gender dalam tafsir Alquran dan membongkar ayat-ayat gender dalam Alquran untuk direinterpretasi. Mereka yang membongkar interpretasi ayat-ayat gender dalam Alquran disebut sebagai feminis Islam. Menyamakan feminisme dan Islam melahirkan perdebatan yang panjang. Ketika membicarakan hubungan feminisme dan Islam, ditemukan dua posisi dominan. Jerusha Tanner Lamptey, Asisten Profesor Theological Seminary, New York, dalam

Islam & Ministry, Union

Never Wholly Other: A Muslima

Theology of Religious Pluralism (2014) menjelaskan bahwa posisi pertama adalah posisi dimana ide-ide feminisme dimasukan di dalam proses interpretasi Alquran. Posisi kedua, menegaskan bahwa ide-ide feminisme ada di dalam tradisi Islam sehingga tidak perlu mengadopsi labelisasi Islam.111 Mereka yang mengambil posisi kedua seperti Lamptey menamakan diri Muslima, sebab pijakan dasarnya adalah berangkat dari seseorang yang percaya dengan agama Islam. Ia berangkat dari sumber utama yaitu Alquran dan juga sumber-sumber lain seperti sunna dan hadith termasuk ijma (konsensus para intelektual Islam). Namun, Lamptey tidak mempermasalahkan posisi mana yang lebih baik dan dia tidak mempedulikan labelisasi-labelisasi

yang

ada.

Beberapa

pemikir

hermeneutika

feminis

menggunakan istilah feminisme dalam karyanya seperti tokoh-tokoh di berikut ini. Aysha A. Hidayatullah Asisten Professor di Universitas San Fransisco Amerika Serikat mengatakan bahwa hermeneutika feminis muncul pada akhir abad 20 ketika timbul gerakan pembaharuan Islam di seluruh dunia muslim. Para intelektual feminis Islam melakukan studi Alquran terkait perempuan dan menafsirkan ayat-ayat Alquran dari perspektif feminis.112 Tafsir Alquran berbasis feminis tersebut dipublikasi atas nama organisasi perempuan seperti Women Living Under Muslim Laws (jaringan internasional), Sister in Islam (Malaysia) dan 111

Jerusha Tanner Lamptey, Never Wholly Other: A Muslima Theology of Religious Pluralism (New York : Oxford University Press, 2014) hal. 8-10.

112

Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an,hal.34.


66

Zanan Magazine (Iran). Disamping itu, ada pula yang merupakan karya individual seperti, Amina Wadud, Asma Barlas, Kecia Ali yang menulis karyanya dalam bentuk buku (text book).113

Menyadari bahwa otoritas religius klasik telah

memonopoli semua bidang pengetahuan Islam, termasuk tafsir Alquran, maka para intelektual feminis Islam melakukan studi tafsir Alquran berbasis feminis untuk mengevaluasi peran dan kedudukan perempuan dalam Alquran, dengan fokus perhatian pada kesetaraan gender dan keadilan sosial.114 Penafsiran Alquran berbasis feminis pada umumnya menggunakan tiga metode interpretasi Alquran yaitu metode kontekstualisasi historis, metode intratekstual dan paradigma tauhid, seperti yang dilakukan oleh Amina Wadud, Asma Barlas, Riffat Hassan dan lainnya. 115 Gerakan feminisme dalam dunia Islam diawali pada abad 19 dengan gagasan emansipasi yang dicanangkan dan dipelopori oleh tokoh-tokoh intelektual Islam Mesir, seperti

Rifa’ah Tahtawi, Qasim Amin dan Muhammad Abduh.

Mereka menyerukan perlunya pemberdayaan kaum perempuan dan memberi kesempatan kepada mereka untuk mengungkap partisipasi sebagai bagian dari perjuangan memajukan umat Islam. Ketiga tokoh ini mendorong dilakukannya hal yang bisa mengantarkan pada kebangkitan kaum perempuan di dunia Islam. Bila Abduh memperkenalkan kesetaraan epistemik dan ontologis soal asal usul manusia lewat tafsir Al-Manar tentang penciptaan manusia, Qasim Amin lewat taḥrīr al-mar‟a (kebebasan perempuan) dan mar‟a jadīda (perempuan pembaharu) melakukan reformasi kebudayaan, sosial dan keagamaan dan soal keterbelakangan perempuan. Tokoh-tokoh ini dipandang telah mengantarkan kebangkitan kaum perempuan di dunia Islam yang disemangati oleh kemajuan peradaban Eropa. Di sisi lain, Buddhy Munawar Rahman mengatakan bahwa istilah feminisme masuk dalam pemikiran Islam pada awal abad 20 yang berkembang

113

Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an hal.35 Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal.35 115 Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an,hal.65 114


67

melalui pemikiran tokoh-tokoh feminis, seperti Aisyah Tamuniah, Zainab Fawwaz Rokeya Sakhwat Hosein dan lainnya. Mereka merupakan perintis dalam menumbuhkan kesadaran terhadap persoalan gender dan perlunya membebaskan diri dari kultur dan ideologi masyarakat patriarki yang membelenggu kebebasan perempuan.116 Margot Badron berpendapat bahwa gerakan feminisme dalam Islam bukan merupakan adopsi dari feminisme yang berkembang di Eropa tetapi telah lama muncul dalam masyarakat Islam. Gerakan feminisme dalam Islam muncul abad 20 yang ditandai oleh gerakan meluruskan kembali makna substansi dari Alquran mengenai kesetaraan umat manusia.117 Menurut Badron gerakan feminisme memang telah muncul pada akhir abad 19 yang tidak bisa dipisahkan dari gerakan modernitas Islam yang digagas oleh M.Abduh dan kawan-kawan, tapi agenda utama gerakan modernitas ini dikategorikan Badron sebagai gerakan feminisme sekular yang berupaya untuk membangun masyarakat Islam menjadi sebuah masyarakat modern, terbuka dan responsif terhadap kebutuhan perempuan dan laki-laki sebagai warga masyarakat. Gerakan feminisme Islam baru muncul pada abad 20 yang merupakan gerakan feminisme yang berakar dari keyakinan bahwa Alquran mengafirmasi prinsip-prinsip kesetaraan seluruh umat manusia yang selama ini telah disingkirkan oleh budaya patriarki. Gerakan feminisme dalam Islam ini dipelopori oleh tokoh-tokoh perempuan Mesir seperti Nabawiyya Musa, Zainab al Ghazali yang bertujuan untuk meluruskan kembali makna substansial Alquran.118 Perkembangan selanjutnya, gerakan feminisme Islam masuk ke bidang tafsir Alquran dengan melakukan penafsiran Alquran berbasis feminis. Munculnya penafsiran Alquran berbasis feminis disebabkan dominannya sistem patriarki dalam penafsiran Alquran, sehingga produk tafsir terkait

116

Budhy Munawar Rahman, Islam dan Feminisme : dari Sentralitasme kepada Kesetaraan, dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam dalam Masur Faqih (ed) Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) hal. 201 117 Margot Badron, Understanding Islam ,Islamism and Feminism dalam Haidah Moghisi (ed) Feminism in Islam: Critical Concepts in Sosiology ( New York : Routlegde,2005) hal. 247. 118 Nasaruddin Umar dalam kata pengantarnya terhadap buku Irsyadunnas Hermeneutika Feminisme hal. Viii.


68

perempuan bersifat seksime, yaitu pemisahan peran perempuan dan laki-laki, dimana peran domestik untuk perempuan dan peran publik untuk laki-laki sehingga melahirkan dominasi laki-laki atas perempuan. Implikasi lebih jauh adalah

meminggirkan

perempuan dalam segala aspek kehidupan.119 Para

intelektual feminisme Islam yang lahir dari perkembangan sosial dan politik menawarkan cara baru penafsiran Alquran. Berangkat dari pandangan bahwa penafsiran Alquran bersifat universal, tidak hanya untuk masyarakat Arab abad ke 7 (waktu dan tempat Alquran turun) serta berpegang pada prinsip-prinsip dasar Alquran, keadilan, harmoni, kesetaraan manusia dan keesaan Allah,

maka

intelektual feminis Islam, mengkritisi tafsir Alqurn terkait perempuan dan melakukan penafsiran ulang.120 Hal ini menandai munculnya penafsiran Alquran berbasis feminis atau hermeneutika feminisme. Kemunculan hermeneutika feminisme juga tidak bisa lepas dari pengaruh hermeneutika Alquran yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh intelektual Islam

kontemporer,

terutama,

Fazlur

Rahman.

Hermeneutika

Rahman

banyak

mempengaruhi hermeneutika feminisme. Dia membawa pembaharuan di bidang tafsir dan menawarkan bentuk hermeneutika bagi Alquran yang melahirkan tafsir baru yang keluar dari mainstream studi tafsir untuk menyelaraskan tafsir dengan konteks kekinian. Rahman membedakan konteks historis dari ayat-ayat sebagai sentral makna dan membedakan ayat-ayat partikular dan universal. Penafsiran Alquran berbasis feminis baru gencar dibicarakan pada tahun 2010, ketika Al-Syafi’i seorang pakar Alquran di Universitas Kairo mengakui adanya gerakan feminisme dalam penafsiran Alquran. Gerakan ini didorong oleh keinginan untuk mengevaluasi peran perempuan, memasukkan ide kesetaraan dan keadilan gender dalam penafsiran Alquran dan meluruskan kembali makna substansial Alquran.121 Perkembangan historis dan politik melahirkan intelektual feminis Islam yang memberi perhatian terhadap keilmuan Islam terutama

119

. Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal. 3 Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal. 3 121 Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal. 1 120


69

mengenai tafsir Alquran. Para intelektual feminis Islam, seperti Riffat Hassan, Azizah al- Hibri, Amina Wadud, Asma Barlas, Sadiyya Shaikh dan Kecia Al melahirkan karya-karya mengenai tafsir Alquran berbasis feminis yang ditandai dengan masuknya isu gender sebagai kategori analisis dalam proses penafsiran dan pengalaman perempuan sebagai salah salah satu variabel penting dalam penafsiran Alquran. 122 Hermeneutika feminisme dapat dilihat dalam pemikiran Riffat Hassan melalui karyanya Made from Adam‟s Rib: The Woman‟s Creation Question (Jurnal, 1985), Azizah al Hibri melalui Hagar on My Mind, Amina Wadud melalui Qur‟an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman‟s Perspective (1992), Asma Barlas melalui Believing Woman in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur‟an (2002), Kecia Ali melalui Sexual Ethics &Islam : Feminist Reflections on Qur‟an,Hadith and Jurisprudency (2006). Sadiyya Shaikh melalui Sufi Narratives of Intimacy: Ibn 'Arabi, Gender, and Sexuality (2014). Berdasarkan karya-karya ini, Hidayatullah dalam Feminist Edges of the Qur‟an (2014), mengidentifikasi tokoh-tokoh intelektual feminis Islam yang menggunakan hermeneutika feminisme bagi Alquran dan mengkategorikannya dalam dua generasi. Generasi pertama adalah, Riffat Hassan, Azizah al-Hibri dan Amina Wadud dan generasi kedua adalah, Asma Barlas, Sadiyya Shaikh and Kecia Ali. Menurut Hidayatullah, generasi pertama telah berjasa memunculkan penafsiran Alquran berbasis feminis. Generasi pertama ini bekerja sebagai “Trailblazers”, karena dalam menghasikan karyanya mereka berada di bawah tekanan yang luar biasa. Generasi pertama mengalami dominasi kaum laki-laki, baik berbasis intelektual, gender maupun ras dan kompetensi intelektual mereka sering dipertanyakan. Hal ini menyebabkan karya mereka bernuansa melawan sistem patriarki dengan keras dan banyak memuat pengalaman personal yang

122

Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal 9


70

menunjukkan bahwa mereka tertindas. Hal ini terlihat dari pengakuan Riffat Hassan dalam karyanya Jihad fi sabillah, Azizah al Hibri dengan karyanya Hagar on My Mind dan Wadud dalam

karyanya Inside the Gender Jihad.

Sementara itu, generasi kedua membangun karyanya tanpa tekanan dan penindasan seperti generasi pertama. Jadi tulisan mereka tidak menyertakan pengalaman personal. Menurut Hidayatullah ada perbedaan karakteristik dari kedua generasi ini dalam membangun karyanya. Generasi pertama, terfokus pada karyanya masing-masing, tidak ada saling mengutip dan mendiskusikan tematema yang mereka bahas dan tidak ada tidak ada saling mendukung pandangan yang dikemukakan. Perjuangan generasi pertama ini dipicu oleh peningkatan pergerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak asasi perempuan secara internasional, seperti konferensi Perempuan sedunia di Beijing tahun 1995 yang melahirkan komitmen untuk membangun manusia melalui kesetaraan gender dan CEDAW (Convention on the elimination of all forms of discrimination against women) yang melahirkan komitmen penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.123 Generasi kedua ini muncul tahun 1990. Mereka meneruskan usaha yang telah dirintis generasi pertama. Cara kerja generasi kedua ini lebih maju, terdapat

kutip-mengutip pemikiran-pemikiran para pendahulunya dan mereka

mendiskusikan

karya-karya mereka dan karya-karya dari generasi pertama.

Pemikiran generasi kedua menunjukkan perkembangan dimana mereka saling mendukung dan saling terkait antara satu sama lain. 124 Dengan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

munculnya

hermeneutika feminisme bagi Alquran disebabkan dominannya sistem patriarki dalam penafsiran Alquran dan tidak masuknya isu gender

sebagai kategori

analisis dalam proses penafsiran. Amina Wadud, Riffat Hassan dan Azizah alHibri sebagai generasi pertama intelektual feminis Islam telah berjasa memunculkan hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran. Mereka meletakkan prinsip dasar hermeneutika feminisme yaitu mengacu kepada

123 124

Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal. 7. Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal. 8


71

kesetaraan dan keadilan gender dan anti patriarki serta menggunakan langkahlangkah metodologis yang meliputi tiga metode penafsiran yaitu

metode

kontekstualisasi sejarah, intratekstualitas dan paradigma tauhid.125 Selanjutnya, generasi kedua, seperti Asma Barlas berupaya untuk memunculkan epistemologi baru dengan menerapkan prinsip-prinsip hermeneutika dalam penafsiran ulang ayat-ayat Alquran.126 Adapun tujuan hermeneutika feminisne bagi penafsiran Alquran adalah untuk menunjukkan bahwa epistemologi Alquran secara inheren adalah anti patriarki dan mengabsahkan tindakan merumuskan suatu teori tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.127 Hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran digunakan sebagai alat untuk menjelaskan persoalan gender dalam tafsir Alquran dengan

tujuan untuk

membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran untuk direinterpretasi. 3.4.2. Gagasan-gagasan hermeneutika dalam pemikiran Wadud Signifikansi gender dalam metodologi tafsir Alquran merupakan hal penting dalam pemikiran Amina Wadud.128 Menurut Wadud gender dalam proses penafsiran Alquran kurang tersentuh karena basis paradigma pemikiran Islam tidak memperhatikan soal gender sebagai kategori dasar pemikiran dan sebagai aspek analisis dalam proses penafsiran. Untuk menghasilkan produk tafsir yang berkeadilan gender perlu menafsirkan Alquran menurut pengalaman perempuan tanpa streotipe yang telah menjadi kerangka penafsiran laki-laki. Disamping itu, penafsiran klasik yang bercorak atomistik menghasilkan penafsiran yang sempit dan terbatas,129 dia ingin keluar dari keterbatasan itu. Wadud tidak menjelaskan secara tuntas langkah-langkah operasional hermeneutika feminisme yang digagasnya. Dia hanya mengemukakan gagasangagasannya mengenai hermeneutika feminisme dan penjelasannya mengenai

125

Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal.65. Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme, hal 67 127 Asma Barlas,Believing Women in Islam, hal. 33 128 Wadud, Qur’an and Woman, hal. xii 129 Wadud, Qur’an and Woman hal. 2 126


72

kaitan teoritis dan metodologis antara penafsiran Alquran dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana) dan beberapa fokus yang menjadi konsentrasinya: apa yang dikatakan Alquran, bagaimana Alquran mengatakannya, apa yang dikatakan terhadap Alquran dan siapa yang mengatakan, dan ditambah dengan pengertian sekarang, yaitu apa yang belum dikatakan.130 Sehubungan dengan itu, untuk memformulasikan model hermeneutika feminisme Wadud, saya menyimpulkan gagasan-gagasannya mengenai hermeneutika dari pandangannya terhadap tafsir klasik, gagasannya mengenai aspek, kategori dan domain-domain analisis penafsiran Alquran. 3.4.2.1. Pandangan Wadud terhadap tafsir klasik Amina Wadud mengaplikasikan hermeneutika “ kecurigaan”, yaitu mencurigai semua produk tafsir yang menggunakan metode atomistik untuk penafsiran Alquran dan menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki.131 Dalam tradisi hermeneutika ada peringatan agar pembaca harus selalu curiga pada sebuah teks. Peringatan ini dimotori oleh Nietzsche, Marx dan Freud.

Bagi

mereka, tulisan seseorang tanpa disadari mesti dikendalikan oleh kekuatan bawah sadarnya (sub-concious). Dalam pandangan Nietzsche, dalam diri seseorang ada dorongan laten untuk menguasai orang lain, sementara Freud mengatakan bahwa kekuatan libido yang obsesif sangat kuat mengendalikan pikiran dan perilaku sesorang. Menurut Marx, status sosial ekonomi dan politik sangat kuat mengendalikan perilaku seseorang.132 Dengan demikian, tampak relevansinya Wadud mengeritik tafsir klasik,karena merugikan perempuan. Amina Wadud mengeritik tafsir klasik baik metode, perspektif maupun isinya. Menurut Amina Wadud isi tafsir klasik bersifat subjektif, karena tidak ada tafsir Alquran yang benar- benar objektif, karena masing-masing muffasir

130

Wadud, Qur’an and Woman hal. xiii Wadud, Qur’an and Woman, hal. 84 132 Komaruddin Hidayat, Memahami bahasa agama, Sebuah Kajian Hermeneutika ( Bandung : Mizan, 2011) hal. 220. 131


73

melakukan beberapa pilihan subjektif.133 Uraian tafsir klasik sebagian besar isinya mencerminkan pilihan subjektif dan tidak mencerminkan maksud dari ayatnya dan sering tidak dibedakan antara ayat Alquran dan tafsirnya,134 sehingga muncul pandangan bahwa tafsir Alquran bersifat sacral dan pemikiran tidak boleh masuk. Dalam hal ini saya berpandangan bahwa ayat-ayat Alquran memang sakral dan abadi, tapi penafsirannya bukanlah sesuatu yang final, perlu percakapan terus menerus sejalan dengan bergulirnya perubahan zaman. Pergeseran dalam proses penafsiran adalah sesuatu yang logis, karena penafsiran merupakan suatu pemikiran yang lahir dari suatu kondisi tertentu dan kondisi selalu berubah. Karena itu, munculnya hermeneutika feminisme untuk penafsiran Alquran merupakan suatu keniscayaan dan Wadud membuktikan hal tersebut. Amina Wadud mengeritik perspektif yang digunakan dalam tafsir klasik. Menurut Wadud, uraian tafsir tafsir klasik seringkali bias gender dan tidak relevan dengan kondisi perempuan masa kini yang memiliki problema yang kompleks dan berbeda dengan perempuan masa lalu. Hal ini disebabkan, karena pada umummya muffasir klasik memproyeksikan makna Alquran terkait perempuan berdasarkan perspektif laki-laki. Bagi Wadud, perspektif yang digunakan dalam penafsiran Alquran merupakan satu hal penting. Bila

Alquran ditafsirkan berdasarkan

perspektif laki-laki, maka persepsi laki-lakilah yang mempengaruhi posisi tafsir tentang perempuan dan melahirkan pandangan bahwa perempuan tidak sederajat dengan laki-laki. Karena itu Wadud menggagas tafsir dengan perspektif perempuan dan dia memberi tinjauan menurut perspektifnya sendiri tentang perempuan

dan

mengkaji

bagaimana

persepsi

mengenai

perempuan

mempengaruhi penafsiran Alquran. Menurut Wadud, ayat-ayat gender dalam Alquran bisa beradaptasi dengan kehidupan perempuan bila ditafsirkan oleh perempuan sendiri. Wadud menolak campur tangan laki-laki dalam penafsiran ayat-ayat gender.

133 134

Wadud, Qur’an and Woman, hal.57 Wadud, Qur’an and Woman, hal.2


74

Amina Wadud menulis dalam Quran and Woman : 135 . I will look at how the perception of woman influences the interpretations of the Qur‟an‟s position on women. I will give of own perspective of woman. (Saya ingin mengkaji bagaimana persepsi mengenai perempuan mempengaruhi penafsiran mengenai posisi perempuan dalam Alquran. Saya akan menggunakan perspektif sendiri tentang perempuan).

Amina Wadud juga mengatakan : “if the definitive basis for what Islam means is determined by what Muslims do, then women and men are not equal. However, I reasoned that only explicit Qura‟nic indication that women and men were other than co-equals could require acceptance of this inequality as a basis of faifhfulness Islam” 136 (Jika yang menjadi tolok ukur dalam Islam apa yang dilakukan oleh kaum muslim, niscaya perempuan dan laki-laki tidak sederajat. Menurut saya bila Alquran memang tegas menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan tidak sederajat, maka harus dipatuhi sebagai dasar keimanan Islam). Karena persepsi mengenai perempuan dalam tafsir klasik didasarkan pada kerangka pemikiran laki-laki dan muffasir klasik yang hampir semua laki-laki, maka pengalaman perempuan tidak terakomodir dalam penafsiran. Alquran ditafsirkan sesuai dengan visi, perspektif, kehendak dan kebutuhan laki-laki, sedangkan pengalaman perempuan diabaikan. Selama periode penafsiran klasik, persoalan tentang perempuan terbungkam, yang berarti juga membungkam Alquran itu sendiri. 137 Dalam Qur‟an and Woman, Amina Wadud mengemukakan betapa pentingnya pengalaman perempuan dijadikan bahan pertimbangan penafsiran Alquran.138 Pengalaman perempuan berbeda dengan pengalaman lakilaki, maka itu pengalaman kedua gender itu harus mendapat perhatian yang setara dalam penafsiran. Pengalaman perempuan harus menjadi variabel dalam

135

Wadud, Qur’an and Woman hal. 1. Wadud, Qur’an and Woman hal ix. 137 Wadud, Qur’an and Woman, hal. 2 138 Wadud, Qur’an and Woman, hal. 6 136


75

penafsiran. Tidak ada alasan untuk menonjolkan pengalaman laki-laki dalam penafsiran dan mengabaikan pengalaman perempuan. Pengabaian pengalaman perempuan dalam tafsir klasik bisa dilihat sebagai kesengajaan, karena tafsir tidak sepi dari kepentingan. Problem metodologis dalam penafsiran Alquran menjadi fokus Amina Wadud dalam studinya terhadap tafsir Alquran. Amina Wadud mengeritik metode atomistik dalam tafsir klasik. Metode atomistik dalam penafsiran Aquran dipandangnya tidak mampu menangkap pesan-pesan moral Alquran. Kandungan tafsir tekstual tidak berlaku sepanjang zaman, karena tafsir Alquran terkonstruksi secara kultural dan terstruktur secara historis. Sementara diskursus tafsir telah berkembang luar biasa, praktek tafsir tidak lagi berkutat di ranah epistemologis, seperti dalam pemikiran F. Schleimacher dan W.Dilthey, tapi telah merambah kedalam ranah ontologis

seperti yang dibawa oleh Heidegger dan Gadamer.

Heidegger dan Gadamer telah mengingatkan bahwa ada dimensi ontologis yang harus dipertimbangkan dalam sebuah penafsiran. 139 Metode atomistik dalam tafsir klasik melahirkan makna yang sempit dan terbatas. Metode atomistik adalah metode penafsiran Alquran yang menerapkan beberapa makna sekaligus pada satu ayat, tidak mengembangkan suatu kerangka berdasarkan pemikiran yang sistematis untuk mengkorelasikan dan menunjukkan dampak dari pertalian yang sesuai dengan Alquran. Hubungan gagasan, struktur sintaksis, prinsip atau tema Alquran tidak ada metodologinya. Metode atomistik tidak komprehensif dan tidak memperhatikan nilai-nilai keadilan karena tidak membahas hubungan Alquran dengan dirinya sendiri secara tematis. Maka itu, Wadud

menggagas

penafsiran

Alquran

yang

bercorak

holistik

yaitu

mempertimbangkan semua metode tafsir tentang berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama dan perempuan serta memecahkan masalah secara komprehensif. 140

139 140

Lubis, Methodologi Posmodernis, hal.112 Amina Wadud, Qur’an and Woman,hal.2


76

Kelemahan metode tafsir klasik disadari oleh tokoh- tokoh intelektual Islam kontemporer dan mereka menawarkan metode hermeneutika untuk penafsiran Alquran. Tokoh-tokoh intelektual Islam Indonesia juga mengemukakan berbagai kekurangan metode tafsir klasik. Menurut Quraish Shihab, metode tafsir klasik seperti metode tahily memiliki berbagai kelemahan, diantaranya kurangnya rambu-rambu metodologis ketika menarik makna dan pesan-pesan Alquran. Muffasir klasik hanya mencurahkan perhatian pada ayat-ayat yang dibahas terlepas dari ayat-ayat yang lain yang memiliki keterikatan makna dengan ayat tersebut.141 Sementara itu, Musdah Mulia mengatakan bahwa pemaknaan tekstual dan pengabaian aspek kontekstual dalam penafsiran Alquran dapat menimbulkan penafsiran distorsif.142 Seiring dengan pandangan kedua tokoh intelektual Islam di atas, tiga tokoh intelektual generasi baru (Abd. Moqsith Ghazali, Luthf Assyaukanie dan Ulil Abhsar Abdalla) dalam buku mereka metodologi Studi AlQur‟an, mengatakan bahwa fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan kelemahan metodologi tafsir klasik, bahwa metode tafsir klasik sangat mensakralkan teks, mengabaikan realitas sosial dan kemampuan nalar manusia.143 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bagi Wadud tafsir klasik memiliki kelemahan metodologis, sehingga menimbulkan pemahaman yang distorsif dalam penafsiran. Muffasir klasik keliru menfasirkan ayat-ayat gender dalam Alquran karena mereka tidak membacanya dalam konteks historis, sedangkan ayat-ayat turun dalam konteks historis. Mereka juga tidak melakukan pembacaan intratekstual tapi bercorak atomistik. Metode tafsir klasik merupakan sarana eksklusif laki-laki dalam memahami Alquran sehingga lapisan terdalam dari tafsir klasik adalah patriarki. Posisi perempuan menurut tafsir klasik sudah proporsional, tetapi menurut Wadud posisi perempuan tidak adil, perempuan menjadi subordinasi laki-laki. Bila ditilik secara mendalam, ada kepentingan yang tersembunyi dibalik penafsiran Alquran, yaitu melanggengkan ide patriarki dalam

141

Shihab, Kaidah Tafsir, hal.379 Musdah Mulia, Muslimah Sejati, hal. 90 143 Abd Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Alquran (Jakarta: Gramedia, 2009) hal. 140 142


77

penafsiran Alquran. Maka itu, Amina Wadud berupaya melakukan penafsiran Alquran berbasis feminis penafsiran yang mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender dan sikap anti patriarki sebagai prinsip dasar. 3.4.2.2. Kategori, aspek penafsiran dan domain analisis Secara metodologis penafsiran Alquran terkait perempuan dibedakan Amina Wadud dalam

tiga kategori: tafsir klasik, reaktif dan holistik. Dia

menempatkan tafsirnya dalam kategori holistik. Disamping itu, Wadud menggagas agar dalam penafsiran Alquran memperhatikan tiga aspek penafsiran yaitu, konteks, gramatika dan

welstanchauung (pandangan dunia) dari teks yang

ditafsirkan serta melakukan analisis linguistik,asbab al-nuzul dan weltanschauung Alquran. 1. Kategori Penafsiran Alquran Kategori pertama adalah tafsir klasik, yaitu menginterpretasikan seluruh isi Alquran baik dari periode modern maupun klasik dengan tujuan tertentu, seperti hukum, isoteris, gramatika, ritorika dan sejarah. Sekalipun tujuan ini menimbulkan perbedaan dalam berbagai tafsir, tetapi metodologi yang digunakan adalah sama yaitu atomistik. Kategori kedua, adalah tafsir reaktif yaitu tafsir Alquran yang merupakan reaksi para ulama modern terhadap berbagai kendala berat yang dihadapi perempuan baik secara individual maupun sosial. Tujuan yang dicari adalah sesuai dengan cita-cita kaum feminis dan metode yang digunakan berakar dari dasar pemikiran feminis. Di sini tidak ada analisis Alquran yang komprehensif sehingga tafsir ini tidak berhasil membedakan antara penafsiran dan muatan Alquran. Kategori ketiga adalah tafsir Alquran yang bersifat holistik, yaitu mempertimbangkan semua metode tafsir tentang berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama dan perempuan serta memecahkan masalah secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Kategori penafsiran ini tergolong baru dan belum ada pembahasan yang


78

substansial mengenai isu khusus perempuan dari sudut Alquran secara menyeluruh dan sesuai prinsip-prinsip utamanya.. Amina Wadud menempatkan dirinya dalam kategori penafsiran holistik, yaitu menafsirkan Alquran secara holistik. Untuk membangun model tafsir yang bersifat holistik, Wadud menggunakan berbagai metode hermeneutika baik metode penafsiran Alquran berbasis feminis maupun metode yang digunakan dalam metode hermeneutika Fazlur Rahman144 yang menganjurkan agar semua ayat Alquran yang diturunkan sebagaimana adanya dalam waktu tertentu haruslah di ungkapkan menurut suasana waktu itu. Tetapi pesan Alquran tidak terbatas untuk waktu dan suasana waktu itu, sehingga ayat itu

dapat

ditafsirkan dalam konteks kekinian. 2. Aspek penafsiran Alquran Penafsiran bagi Wadud adalah proses mengkaji kata-kata dan konteksnya untuk menarik pemahaman dari ayat-ayat Alquran yang ditafsirkan145 dengan memperhatikan tiga aspek penafsiran yaitu: konteks saat ayat diturunkan, susunan gramatika ayat dan bagaimana welstanschauung atau pandangan dunia keseluruhan ayat. Amina Wadud memperhatikan ketiga aspek penafsiran tersebut, karena menurutnya perbedaan hasil penafsiran dipengaruhi oleh ketiga aspek ini.146 Dalam hal ini menurut saya hermeneutika Wadud dipengaruhi oleh teori hermeneutika Hans Georg Gadamer. Menurut Gadamer dalam menafsirkan suatu teks, ada tiga hal penting yang harus dipertimbangkan,

147

yaitu : dalam

konteks apa teks ditulis, bagaimana komposisi tata bahasa teks dan bagaimana keseluruhan teks (pandangan dunia teks). Bagi Gadamer tujuan penafsiran tidak untuk menemukan makna objektif melalui dialog antara subjek-objek yang ditafsirkan, tetapi bagaimana penafsir menghasilkan penafsiran baru

144

Wadud, Qur’an and Woman, hal. 4 Wadud, Qur’an and Woman,,hal.3 146 Wadud, Qur’an and Woman, hal. 1 147 Hans Georg Gadamer,Truth and method (New York: Continum Press,1975). hal. 237. 145


79

karena penafsiran tidak terbebas dari subjektifitas penafsir. Sesuai Gadamer, Wadud berinteraksi dengan teksnya (ayat) dan ayat-ayat Alquran dapat diinterpretasikan dalam beragam makna. Penegasan hanya ada satu interpretasi Alquran akan membatasi jangkauan teks. Alquran cukup fleksibel untuk mengakomodir situasi budaya yang beragam, karena secara universal Alquran bermanfaat bagi mereka yang beriman.148 Wadud melakukan pendekatan terhadap teks melalui realitas historis kekinian dan selanjutnya memunculkan produksi makna dari teks. Wadud memposisikan penafsir sebagai pusat makna da berusaha mengambil makna dari teks. Untuk memperjelas hal di atas dapat dikemukakan apa yang dikatakan Syafiq Hasyim bahwa Alquran tidak bisa bicara sendiri tapi perlu manusia untuk menafsirkannya. Alquran tergeletak, tidak bisa mengubah apapun kalau tidak diintervensi oleh manusia. Arti tidak diintervensi oleh manusia, kalau dia tidak dibaca oleh manusia. Bila menginginkan agama sebagai sumber inspirasi dan sumber kehidupan, Alquran harus diintervensi oleh manusia, yang artinya ditafsirkan atau dibaca oleh manusia. Pembacaan ini menggunakan nalar dan nalar bernegosiasi dengan pengertian yang ada dalam teks. Jadi hal yang paling penting adalah terjadinya proses dialog antara penafsir dengan teks yang dibaca. 149 Dengan uraian di atas dapat dikatakan bahwa hermeneutika Wadud mempertimbangkan konteks historis ayat yang ditafsirkan dan konteks aspek kehidupan sosial, politik, budaya, moral berdasarkan pengalaman perempuan. Dalam penafsiran Alquran, Wadud juga mempertimbangkan komposisi tata bahasa ayat (gramatika) dan pandangan dunia atau welstanchauung ayat. Hal ini akan dijelaskan dalam domain-domain analisis yang dilakukan Wadud sebagai berikut.

148 149

Gadamer, Truth and method, hal.6 Sumber: http://www.perspektifbaru.com/wawancara/611


80

3. Domain-domain analisis Amina Wadud memposisikan aspek gramatika sebagai aspek penting bagi suatu penafsiran. Dalam analisis gramatika, selain melakukan kajian terhadap makna kata dan istilah,

Wadud juga memperhatikan istilah netral dan

bergender. Istilah netral tidak dapat dilihat sebagai istilah bergender dan halhal universal dan partikular

perlu didudukkan secara jelas. Sehubungan

dengan itu, Wadud melakukan analisis linguistik, analisis asbab al-nuzul dan analisis welstanschauung dalam proses penafsiran. a. Analisis linguistik Menurut Amina Wadud, bahasa Arab tidak bergender, yaitu tidak ada bentuk yang khusus untuk laki-laki yang ada bentuk maskulin dan feminin. Tapi bagi penafsir

klasik,

konsekwensinya

jamak

maskulin

dipahami

sebagai

laki-laki

dan

laki-laki dipandang sebagai norma dan implikasinya

perempuan abnormal. Bahasa yang digunakan

untuk menyatakan bentuk

jamak, pada suatu kesempatan menyebutkan laki-laki dan perempuan (jamak maskulin dan jamak feminine) dan pada kesempatan lainya menggunakan bentuk umum ( jamak maskulin). Ada kalanya jamak maskulin dimaksudkan untuk mencakup laki-laki dan perempuan.150 Amina Wadud mengeritik secara tajam sejumlah penafsiran klasik ketika menafsirkan kata tertentu dalam ayat Alquran. Ada kata-kata tertentu dalam bahasa Arab memiliki makna yang berlapis. Amina Wadud mempelajari katakata dan istilah dalam setiap ayat yang ditafsirkan melalui kajian linguistik. Kajian teks Amina Wadud menggunakan langkah-langkah linguistik: struktur sintaksis, konteks tektual dan analisa terhadap kata kerja dan kata benda verbal, susunan bahasa yang lazim dalam bahasa Arab dan susunan bahasa Arab yang bermakna ganda. Selanjutnya menganalisis aspek gender secara linguistik, terutama analisis secara gramatikal bahasa Alquran (Arab) dengan memperhatikan bentuk maskulin dan feminin dari bahasa Arab, baik 150

Wadud, Qur’an and Woman hal. 4


81

digunakan secara berbeda atau untuk membentuk indikasi umum. Amina Wadud menganalisis ayat- ayat yang memberi petunjuk khusus bagi perempuan, baik yang disebutkan terpisah ataupun bersamaan dengan lakilaki. Ayat-ayat dianalisis pada konteks dan konteks pembahasan topik yang sama dengan Alquran, tatanan bahasa yang sama dari struktur sintaksis yang digunakan di seluruh bagian ayat. Amina Wadud sebagai penafsir teks menjadi pusat makna berusaha mengambil makna dari ayat-ayat Alquran. Dalam bahasa Arab satu kata memiliki berlapis-lapis makna dan pilihan keliru terhadap makna kata yang berlapis-lapis itu akan melahirkan kesenjangan linguistik. Kesenjangan linguistik dalam tafsir klasik adakalanya bukan merupakan kebetulan, tetapi merupakan pesan simbolik dari masyarakat untuk menentukan peran gender secara kaku. b. Analisis Asbab al-nuzul Dalam proses penafsiran Alquran, Amina Wadud melakukan analisis asbab alnuzul. Dia memperhatikan latar belakang turunnya ayat, memperhatikan halhal universal dan partikular dan memperhatikan informasi

historis dari

peristiwa turunnya ayat. Dalam penafsiran Alquran perlu memperhatikan konsep asbab al-nuzul, yaitu konsep yang menjelaskan latar belakang sosial dan historis turunnya ayat. Ayat-ayat Alquran terdiri dari dua katagori, yaitu ayat yang turun tanpa latar belakang sosial tertentu dan ayat yang turun setelah ada peristiwa atau persoalan yang perlu dijawab. Latar belakang sosial itu banyak dan berubah-ubah, maka ayat dengan tema yang sama turun berkalikali. Bila tidak memperhatikan asbab al-nuzul dalam penafsiran Alquran, maka muncul produk tafsir yang sempit dan terbatas. c. Analisis Weltanschauung Dalam rangka menghadirkan makna konstekstual, aspek Wellstanschauung perlu mendapat

perhatian. Kata-kata dalam Alquran harus dikaji sesuai

dengan weltanschauung Alquran itu sendiri, karena kata-kata Alquran adalah bagian dari bahasa dan kultur yang berlaku di jazirah Arab abad 7. Namun


82

kadang-kadang Alquran

menggabungkan kata-kata dengan cara berbeda

untuk merefleksikan maksud dan tujuannya. Dapat dikatakan bahwa ada katakata dalam ayat Alquran memiliki Wellstanschauung yang berbeda dengan bahasa Arab. Makna dasar suatu kata sebelum wahyu turun akan memiliki makna berbeda dalam Alquran. Disamping itu, realitas gaib yang diterakan dalam Alquran sulit digambarkan dengan kata-kata, karena alam gaib tersembunyi dari persepsi manusia, tidak bisa ditafsirkan. Weltanschauung adalah nilai-nilai universal yang terkandung dalam ayat Alquran dan harus senantiasa ditonjolkan sebagai pedoman dasar dalam memahami ayat Alquran dan merupakan prinsip-prinsip dasar Alquran yang berlaku universal tidak pernah berubah.

151

Kata taqwa dan tauhid memiliki

Wellstanschauung sendiri, yang disebut Amina Wadud sebagai

konsep

multidimensional, sehingga tidak dapat dibatasi oleh apapun dan siapapun.152 Berdasarkan pokok-pokok pikiran Amina Wadud mengenai hermeneutika bagi Alquran seperti di uraikan diatas dan memperhatikan pengalaman dan pemikirannya mengenai gender dan feminisme seperti dipaparkan dalam bab 2, maka dibawah ini akan dijelaskan model hermeneutika feminisme Wadud. 3.5. Model Hermeneutika Feminisme Wadud Seperti telah disebutkan bahwa Amina Wadud menempatkan karyanya dalam

kategori tafsir yang bercorak holistik. Tafsir holistik mempertimbangkan semua metode tafsir terkait perempuan dan menyelesaikan masalah secara komprehensif. Kategori ini relatif baru, belum ada pembahasan yang substansial mengenai kedudukan perempuan dari sudut pandang Alquran secara menyeluruh. Amina Wadud memanfaatkan perkembangan ilmu-pengetahuan sosial budaya untuk studi Islam, terutama di bidang metodologi. Dengan pendekatan holistik Wadud memperlakukan tafsir dan ayat Alquran berbeda dengan banyak karya yang ada yang membahas topik yang sama. Wadud berangkat dari asumsi yang diperoleh

151 152

Wadud, Qur’an and Woman hal. 130 Wadud, Qur’an and Woman hal. 37


83

melalui pengalaman/pandangan perempuan dan berpijak pada teori-teori mengenai feminisme. Model hermeneutika feminisme Wadud dapat dijelaskan dalam 5 hal yaitu,

Pengalaman

perempuan,

kerangka

pemikiran

feminisme,

metode

kontekstualisasi sejarah, intratekstualis dan paradigma tauhid. Kelima hal ini merupakan unsu-unsur yang terkandung dalam hermeneutika feminisme Wadud. 3.5.1. Pandangan /Pengalaman perempuan Bagi Amina Wadud, pengalaman perempuan dalam penafsiran Alquran merupakan satu hal penting. Bila Alquran ditafsirkan berdasarkan pengalaman laki-laki, maka persepsi laki-lakilah yang mempengaruhi posisi tafsir tentang perempuan. Dalam zaman klasik, Alquran ditafsirkan menurut pengalaman kaum laki-laki sedangkan pandangan dan pengalaman perempuan terabaikan. Maka selama periode ini, persoalan gender dalam Alquran terbungkam. Oleh karena itu, Alquran harus dibebaskan dari pandangan patriarki dengan memasukkan pengalaman perempuan dalam proses penafsiran.153 Secara teoritis Wadud mengatakan bahwa suatu penafsiran harus berangkat dari

prior text (pra

pemahaman atau masalah sebelum penafsiran) yang menambah perspektif dan kesimpulan dari penafsiran. Prior text bagi Wadud merupakan satu unsur khas untuk dapat menafsirkan setiap ayat. Pengalaman perempuan bagi Wadud merupakan salah satu prior text, sehingga harus menjadi variabel dalam proses penafsiran. 154 Pengalaman perempuan berbeda dengan pengalaman laki-laki. Perbedaan pengalaman perempuan dengan laki-laki melahirkan perbedaan dalam memahami pesan-pesan Alquran. Bila suatu penafsiran berangkat dari pengalaman laki-laki maka hasil penafsirannya akan terarah pada visi dan perspektif laki-laki seperti dalam tradisi tafsir klasik yang memandang derajat perempuan lebih rendah dengan laki-laki. Persepsi ini melahirkan pandangan bahwa ada perbedaan essensial antara perempuan dan laki-laki. Konsekwensi lanjut dari pandangan ini

153 154

Wadud, Qur’an and Woman hal. 2 Wadud, Qur’an and Woman hal. 5


84

disandangkan nilai-nilai negatif terhadap perempuan seperti, perempuan lemah, inferior, secara intelektual tidak cakap dan secara spiritual tidak memadai. Karena itu, perempuan dipandang tidak cocok untuk menyandang tugas-tugas tertentu dalam masyarakat. Sebaliknya laki-laki dipandang superior dan memiliki kemampuan besar menjalankan tugas-tugas kemasyarakatan. Dalam konteks ini, Amina Wadud secara tegas mengatakan: I propose to make a “ reading” of the Qur‟an from within the female experience and without the stereotypes which have been the framework for many of the male interpretations”155 (Saya bermaksud menafsirkan Alquran menurut pengalaman perempuan tanpa stereotipe sudah menjadi kerangka penafsiran laki-laki).

Sehubungan dengan hal di atas, maka bagi Amina Wadud penafsiran harus bertolak dari pengalaman perempuan dengan persepsi bahwa derajat perempuan tidak lebih rendah dari laki-laki. Dalam pandangan Wadud, perempuan dan lakilaki sama-sama penting dan sama derajatnya sebagai manusia dan tidak ada perbedaan status dan peran sosial. Relasi gender adalah relasi yang setara dan adil tidak memberikan porsi yang lebih kepada salah satu gender. Berdasarkan persepsi ini, maka Wadud menolak dengan lugas wacana patriarkal yang tampil secara agresif terhadap perempuan dan pandangan ini mendasari pemikirannya mengenai hermeneutika. Dalam proses penafsiran Alquran, Wadud mempersoalkan persepsi tentang perempuan yang ditentukan oleh kondisi sosial budaya masyarakat Arab abad ke 7 dan ideologi patriarki yang sangat dominan. Menurut Wadud, Alquran adalah pedoman moral, maka persepsinya berkenaan dengan persepsi moralitas. Karena Alquran turun di Jazirah Arab pada Abad ke-7, ketika bangsa Arab memiliki persepsi yang melecehkan perempuan sehingga menghasilkan keputusan yang spesifik untuk budaya Arab tersebut. Menurut Wadud kebiasan dalam masyarakat Arab abad ke-7 tersebut terbatas untuk masyarakat itu. Karena itu, harus dipahami 155

Wadud, Qur’an and Woman hal. 3


85

prinsip yang ada dalam Alquran sehingga bisa diterapkan dalam berbagai konteks sosial. Itulah dasarnya menurut Wadud penafsiran Alquran tidak pernah final. 156 Kalau menerapkan apa yang dilakukan oleh masyarakat Arab abad ke 7 untuk masyarakat kontemporer berarti melakukan kezaliman terhadap ayat Alquran. Dalam sejumlah karyanya Amina Wadud mengemukakan pengalamannya sebagai minoritas yang tertindas. Sebagai kelompok minoritas, warga kulit hitam Amerika dia mengalami

mengalami diskriminasi rasial dan sebagai perempuan dia

diskriminasi

gender.

Pengalaman

hidupnya

ini

membuatnya

berkepentingan dengan nasib dan perjuangan kaum perempuan. Pengalaman dalam berbagai persoalan gender dan feminisme telah menjadi dasar pemikirannya di bidang hermeneutika. Hermeneutika feminisme bagi Wadud bertujuan untuk membebaskan perempuan dari diskriminasi berbasis gender. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asumsi awal dari hermeneutika feminisme Wadud adalah pengalaman/pandangan perempuan. Dalam teori hermeneutika filosofis, suatu penafsiran harus berangkat dari prior text (pra pemahaman atau masalah sebelum penafsiran) yang menambah perspektif dan kesimpulan dari penafsiran. Pengalaman perempuan bagi Wadud merupakan salah satu prior text. Dengan demikian, pengalaman perempuan bagi Wadud merupakan satu unsur khas untuk dapat menafsirkan setiap ayat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hermeneutika feminisme Wadud berangkat pengalaman/pandangan perempuan yaitu kehidupan perempuan yang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan berbasis gender. Pengalaman perempuan bersifat historis, maka penafsiran Alquran tidak bisa lepas dari kondisi objektif historis. 3.5.2. Kerangka pemikiran feminisme Hermeneutika feminisme berangkat dari pengalaman perempuan yang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan dan harus didasari pemahaman teori feminisme yang kuat. Teori-teori feminisme yang berintikan ide kesetaraan dan keadilan gender merupakan bingkai untuk membangun hermeneutika feminisme 156

Wadud, Qur’an and Woman hal. 9.


86

bagi Alquran. Hal ini terlihat dari pemikiran feminisme Wadud yang mempersoalkan eksistensi perempuan, menolak seksisme dan menegakkan hakhak dan martabat perempuan yang berangkat dari teori-teori feminisme liberal, eksistensialis dan radikal ( lihat paparan bab 2). Wadud mengeritik dominasi lakilaki dalam tafsir Alquran dan berjuang untuk mewujudkan

kesetaraan dan

keadilan gender. Wadud mempersoalkan eksistensi perempuan, menolak seksisme untuk menegakkan hak-hak dan martabat perempuan. Bagi Wadud, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dan membuktikan bahwa Alquran tidak membedakan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan, yang membedakan antara kedua gender ini adalah taqwa. Wadud mengakui bahwa manusia hidup dalam berbagai sistem sosial yang memiliki beberapa perbedaan fungsional. Perbedaan fungsional yang dinyatakan dalam Alquran, bukan ditujukan untuk laki-laki dan perempuan, tetapi ditujukan untuk individu-individu atau kelompok di dunia. Menurut Amina Wadud Alquran tidak menetapkan

peran untuk masing-masing gender, hanya menggariskan

perempuan dan laki-laki berperan sebagai individu dalam masyarakat. Alquran tidak menentukan spesifikasi peran masing-masing gender. Bila Alquran melakukan spesifikasi peran gender, maka akan mengubah Alquran dari naskah universal menjadi naskah budaya.157 Bangunan hermeneutika feminisme Wadud berbingkai teori-teori feminisme yang berintikan ide kesetaraan dan keadilan gender, bahwa tidak ada nilai inheren yang ditetapkan pada

laki-laki atau

perempuan dan tidak ada gambaran yang tegas mengenai peran gender. Kesimpulan dari uraian ini adalah hermeneutika feminisme bagi Alquran berangkat dari teori feminisme yang kuat yang dijadikan dasar untuk melakukan langkah-langkah metodologis selanjunya. Atau dengan kata lain, teori feminisme merupakan bingkai bagi hermeneutika feminisme bagi Alquran.

157

Wadud, Qur’an and Woman hal..8


87

3.5.3. Metode kontekstualisasi historis Hermeneutika feminisme Wadud menerapkan metode kontekstualisasi historis. Dalam konteks ini saya akan mengacu kepada teori Aysha yang telah djelaskan dalam Pendahuluan bahwa metode kontekstualisasi historis adalah metode penafsiran Alquran yang memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya

ayat atau wahyu

(asbab al-nuzul). Metode ini bertujuan untuk

membedakan ayat-ayat partikular, yaitu ayat-ayat untuk mendefinisikan situasi dan kondisi masyarakat Arab Abad ke 7 dan ayat universal yaitu ayat-ayat untuk semua manusia. Ayat-ayat Alquran

dikategorikan atas sebagai ayat „amm

(general) dan khass (spesifik). Bila mengabaikan konteks historis ayat-ayat Alquran, maka penafsir gagal membedakan mana ayat-ayat yang general dan mana yang spesifik.158 Alquran adalah wahyu Tuhan, turun di jazirah Arab pada abad ke 7 dan Alquran berbahasa Arab agar wahyu dapat dipahami oleh manusia, terutama masyarakat jazirah Arab. Tafsir Alquran dilandasi oleh pemahaman mufassir terhadap konteks sosial dan historis pada masa ketika ayat Alquran diturunkan. Maka itu, dalam ilmu tafsir ada pengertian asbab al-nuzul, yaitu sebab-sebab atau latar belakang turunnya suatu surat atau ayat. Memahami konteks sosial dan historis masyarakat Arab abad ke-7, ketika wahyu diturunkan, maka tidak heran dalam tafsir klasik terdapat pandangan bahwa

ada

perbedaan substansial

antara laki-laki dan perempuan dan ada nilai-nilai inheren yang ditetapkan untuk laki-laki dan

untuk perempuan. Laki-laki ditempatkan sebagai

norma dan

manusia sempurna, sedangkan perempuan kurang manusia dari laki-laki. Tetapi sangat memprihatinkan, pandangan ini tidak pernah diubah sekalipun konteks sosial dan historis telah berubah. Bila tidak mengabaikan konteks turunnya ayat, maka hal-hal yang universal diterapkan secara universal tidak dikhususkan pada kondisi Jazirah Arab abad ke-7. Disini sisi pentingnya menyertakan

informasi

historis dari peristiwa turunnya wahyu.

158

Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal. 65


88

Pada dasarnya metode kontekstualisasi sejarah ini seiring dengan hermeneutika Fazlur Rahman yang disebut dengan hermeneutika Double movement, yaitu proses penafsiran yang melibatkan “gerakan ganda” dari situasi sekarang menuju situasi dimana Alquran diturunkan untuk kemudian kembali ke masa sekarang. Menurut Rahman setiap ayat yang turun tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan konteks sosial-budaya dan historis yang dihadapi saat ayat itu diturunkan. Alquran dan asal-usul komunitas Islam muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosial budaya dan historis. Dalam menerapkan hermeneutika konstekstualisasi sejarah, Amina Wadud memahami konteks turunnya ayat-ayat yang bicara tentang perempuan dan berusaha menangkap makna orisinil dari ayat-ayat tersebut dan menemukan ajaran universal Alquran yang melandasi berbagai perintah normatif Alquran. Selanjutnya, memahami makna substansial dan ajaran universal yang ditemukan sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial yang telah disaring dari ayat-ayat tersebut dengan menyesuaikannya dengan konteks sosial budaya kontemporer. Semua ayat Alquran yang diturunkan sebagaimana adanya dalam waktu tertentu haruslah di ungkapkan menurut suasana waktu itu. Wadud menganalisis situasi moral-sosial Jazirah Arab abad ke 7 (zaman ayat diturunkan) dan menemukan tafsir Alquran untuk masyarakat Arab abad ke -7 tidak bisa lagi diterapkan untuk masyarakat kontemporer. Menjawab isu-isu kontemporer, seperti kepemimpinan perempuan, tidak dapat kita mengambil hanya satu ayat lalu ditafsirkan dengan melepaskannya dari konteks dan mengklaimnya sebagai penafsiran yang final. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Amina Wadud memahami teks dalam konteks atau memahami teks dengan metode kontekstual.

Dalam

pendekatan konstekstual, ayat-ayat Alquran dipahami menurut konteksnya, dibedakan mana yang bersifat partikular dan mana yang bersifat universal. Hal-hal yang selama ini dipandang sebagai hal universal dikhususkan Wadud menjadi hal partikular, seperti berbagai peristiwa di Jazirah Arab abad ke 7 harus dibatasi


89

konteksnya kalau dasar pemahaman dan aplikasi yang lebih luas tidak dapat dikembangkan dari konteks tersebut. Seperti disebutkan bahwa Amina Wadud memahami teks dalam konteks. Teks adalah pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan. Wacana adalah merupakan medium bagi proses dialog antar individu untuk memperkaya wawasan dan pemikiran dalam rangka mencari kebenaran. Teks merupakan salah satu agenda kajian hermeneutika, yaitu mengkaji wacana yang telah diekspresikan dan terlembaga dalam tulisan.159

Konteks dapat diartikan

sebagai isu-isu sosial budaya yang melingkupi ketika ayat-ayat tersebut turun dan isu-isu sosial budaya ketika ayat-ayat tersebut ditafsirkan. Ayat-ayat Alquran ada yang bersifat umum dan spesifik dan bila mengabaikan konteks historis ayat-ayat yang ditafsirkan, maka penafsir gagal membedakan mana ayat yang umum dan mana yang spesifik. Sesuai pengertian ini, kajian Wadud adalah kajian teks dalam konteks. Alquran adalah wahyu Tuhan yang telah membumi dan sekarang menjelma ke dalam teks, maka Alquran tidak bisa mengelak untuk diperlakukan sebagai objek kajian hermeneutika yang ditafsirkan dan dikritisi sepanjang zaman. Menurut Wadud, teks bersifat historis dan merupakan refleksi dari realitas sosial tertentu. Menafsirkan teks tidak dapat dibatasi pada makna harfiah, sebab hal ini akan membunuh makna, karena makna harfiah tidak dapat menangkap.pesan-pesan Alquran. Sebagai

kesimpulan

dapat

dikatakan

bahwa

penerapan

metode

kontekstualisasi historis berarti memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya ayat atau wahyu (asbab al-nuzul), berusaha menangkap makna orisinil dari ayat-ayat tersebut dan menemukan ajaran universal Alquran yang melandasi berbagai perintah normatif Alquran serta membedakan mana ayat umum dan mana yang spesifik atau mana ayat-ayat partikular dan mana yang universal.

159

Komaruddin Hidayat, Memahami bahasa Agama,hal. 215


90

3.5.4. Metode Intratekstual Hermeneutika feminisme Amina Wadud juga menerapkan metode intratekstualitas. Amina Wadud berpandangan bahwa lebih baik mengembangkan sebuah kerangka berdasarkan pemikiran sistematis untuk mengkorelasikan beberapa ayat yang membicarakan tema yang sama agar tampak pertalian yang sesuai dengan Alquran, daripada menerapkan makna sekaligus terhadap satu ayat.160 Pendekatan intratekstual dalam penafsiran Alquran dapat dilihat sebagai penolakan Wadud terhadap penafsiran klasik yang bercorak atomistik, yaitu penafsiran Alquran yang menerapkan beberapa makna sekaligus pada satu ayat, sehingga menghasilkan makna yang terbatas. Intratekstual merupakan pembacaan Alquran secara teoritis. Menurut Hidayatullah pendekatan intratekstual berarti cara membaca ayat-ayat Alquran secara holistik dan tematik. Membaca secara holistik yaitu membaca ayat-ayat Alquran secara keseluruhan dan dipahami sebagai satu kesatuan dari keseluruhan teks (as a whole unified text). Dikatakan tematik yaitu ayat-ayat dalam tema yang sama dihimpun dan dipandang sebagai satu kesatuan dan makna ditarik dari keseluruhan teks. Pendekatan intratektual adalah pembacaan ayat-ayat Alquran secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang saling terkait, ,semua bagian yang terikat bersama mungkin saja tidak dapat dibahas tuntas tapi keterhubungannya dengan setiap tema memungkinkan kita untuk menatrik kesimpulan. Pembacaan intratekstual, tidak membaca Alquran ayat per ayat tapi membaca keseluruhan ayat dan melacak bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh ayat Alquran serta membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama dengan mengacu kepada prinsip Alquran yaitu keadilan untuk manusia sedangkan makna ditarik dari keseluruhan teks.

semua

161

Jerusha Tanner Lamptey dalam A Muslima Theology of Religious Pluralism membedakan

metode penafsiran Alquran secara intratekstual dan

intertekstual. Intratekstualitas adalah isu-isu dalam ayat-ayat Alquran disusun 160

161

Amina Wadud, Qur’an and Woman, hal xii

Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal. 87-109


91

dalam satu tema dan isu-isu itu saling menjelaskan untuk mendapatkan suatu makna. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa metode intratekstual adalah pembacaan ayat demi ayat dalam Alquran untuk menjelaskan suatu isu. Jadi suatu isu tidak hanya dijelaskan oleh satu ayat, tapi dijelaskan oleh beberapa ayat dalam Alquran sendiri. Sedangkan metode

intertekstual adalah isu dalam Alquran

diperkuat oleh sumber-sumber Islam yang lain. Jadi suatu isu dalam Alquran dijelaskan oleh teks-teks lain diluar Alquran.162 Sementara itu, M. Shahrur dalam kajiannya terhadap tafsir Alquran sering menggunakan ayat demi ayat untuk menguatkan pendapatnya. Dia menyusun ayat-ayat yang memiliki kesamaan tema dalam sebuah rangkaian dan memahami maknanya. Hal ini dapat dilihat sebagai metode intratekstual, tapi dia tidak menamakan metodenya intratekstual tapi metode intensional. 163 Wadud menggunakan pendekatan intratekstual terhadap ayat penciptaan manusia dan ayat-ayat tentang keharmonisan dalam perkawinan (akan dijelaskan dalam bab 4). Metode intratekstual merupakan metode yang bersifat holistik yang didasarkan Wadud pada prinsip tauhid, kesatuan dalam Alquran. Wadud menawarkan hermeneutika tauhid untuk menekankan kesatuan Alquran dalam meresapi keseluruhan bagiannya. Untuk memperjelas metode intratektualitas, saya akan mengemukakan model tafsir maudhu‟i, yang menurut saya mirip dengan metode intratekstualitas yaitu menghimpun seluruh ayat Alquran yang bicara tema yang sama untuk mengarah pada satu tujuan. Sekalipun ayat-ayat tersebut turun dalam waktu dan tempat yang berbeda dan tersebar dalam berbagai surat, tapi ayat-ayat tersebut akan saling menjelaskan, sehingga kandungan Alquran dapat dipahami secara utuh dan komprehensif. Memahami langkah-langkah model tafsir maudhu‟i, maka model ini dapat dilihat sebagai pendekatan intratekstual yaitu menggabungkan ayat-ayat Alquran yang memiliki titik-titik persinggungan dan persamaan tema 162 163

Lamptey, A Muslima Theology of Religious Pluralism, hal.84.

Faisal M. Hamdani, Metode Hermeneutika M. Shahrur dalam memahami Al-Qur’an dan impilkasinya terhadap hukum (Jakarta : GP. Press, 2012 ) hal. 110


92

dalam ayat-ayat yang berbeda. Pembacaan intratekstual dalam penafsiran Alquran diperlukan, karena tanpa pendekatan intratekstual maka banyak pesan Alquran yang tidak terungkap. Dengan pembacaan intratekstual, maka berbagai statemen dalam ayat Alquran yang sulit dipahami dan dapat dikonsultasikan dengan ayatayat lainnya. Model tafsir maudhu‟i adalah salah satu metode dalam tradisi tafsir Alquran yang menurut saya mirip dengan metode intratekstual. Ada empat metode penafsiran Alquran yaitu :

a. Metode tahlily, yaitu penafsiran yang menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat sesuai

sistimatika mushhaf Utsmani, dengan

penjelasan yang detail. b. Metode ijmaly, yaitu model penafsiran yang menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat sesuai sistimatika mushhaf Utsmani, dengan penjelasan secara global atau secara garis besar. c. Metode muqaran, penafsiran yang mengambil sejumlah ayat atau surat untuk selanjutnay disjelaskan dengan berbagai kutipan dari sejumlah kitab tafsir atau membandingkannya. d. Metode maudhu‟i penafsiran yang menghimpun seluruh ayat Alquran yang membicarakan tema yang sama serta mengarah pada pengertian satu tujuan, sekalipun ayat-ayat itu diturunkan pada tempat, kurun waktu dan cara yang berbeda dan tersebar di berbagai kitab. Tafsir maudhu‟i ini mengambil dua bentuk yaitu, pertama, penafsiran yang menyangkut satu surat dalam Alquran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus, serta hubungan persoalan-persoalan yang beragam dalam surat tersebut sehingga saling berkaitan bagaikan satu persoalan. Kedua, menghimpun ayat-ayat Alquran yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat Alquran dan sedapat mungkin diurutkan sesuatu dengan masa turunnya, sambil memperhatikan sebab turunnya, kemudian menjelaskan pengertian


93

menyeluruh

dari ayat-ayat tersebut sebagai jawaban terhadap masalah yang

menjadi pokok bahasannya. 164 Langkah-langkah menerapkan metode maudhu‟i adalah sebagai berikut: a.

Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik)

b.

Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut

c.

Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya disertai pengetahuan tentang asbab-al nuzul nya .

d.

Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masingmasing

e.

Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline)

f.

Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan

g.

Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang „am (umum) dan yang khash (khusus) mutlak dan muqayyad (terikat) atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan.165

Dalam hermenutika feminisme Wadud, metode intertekstual digunakan untuk mengumpulkan ayat-ayat yang bicara tentang perempuan dan memahami satu persatu ayat tersebut dan mengambil substansi dari ayat-ayat Alquran tersebut. Untuk menemukan makna

substansial dilakukan penyusunan

berdasarkan runtutan turunnya ayat, berdasarkan pengertian yang sama dan dikompromikan antara yang umum dan khusus dan yang mutlak dan terikat.

164

165

Quraish Shihab, Membumikam Alquran (Jakarta:Mizan,1992) hal 115 Shihab, Membumikam Alquran hal 176


94

Pembacaan intertekstual merupakan upaya untuk menangkap spirit dan ide-ide Alquran secara utuh dan holistik dan melepaskan diri dari teks-teks yang parsial. Menerapkan metode penafsiran ini tidak begitu mudah karena dituntut harus memahami kosa kata ayat, sebab-sebab turunnya ayat dan korelasi antar ayat (munasabhah) yang biasa dihidangkan dalam metode tahlily, sehingga mufasir harus

menguasai

metode

tahlily.166

Dengan

demikian

ada

hubungan

intratekstualitas yang panjang antara metode tahlily hingga maudhu‟i . Dengan urainan di atas, maka jelas bahwa secara prinsip metode intratekstualitas sama dengan tafsir maudhu‟i yaitu menghimpun seluruh ayat Alquran yang bicara tema yang sama untuk mengarah pada satu tujuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode intratekstual adalam membaca Alquran secara keseluruhan, tidak ayat per ayat dengan melacak bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh ayat, membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama. Makna ditarik dari keseluruhan teks dengan mengacu kepada prinsip Alquran yaitu keadilan untuk semua manusia. 3.5.5. Paradigma Tauhid Amina Wadud menggunakan paradigma tauhid dalam hermeneutika feminismenya. Menurut Wadud, untuk memperoleh penafsiran yang adil terhadap perempuan, kita harus kembali kepada inti ajaran Alquran yaitu tauhid sebagai kerangka paradigma penafsiran Alquran. Konsep tauhid mengakui keesaan Allah, keunikan-Nya dan tidak terbagi (indivisibility) Tauhid merupakan metode kunci dalam hermeneutika feminisme dan merupakan doktrin mengenai keesaan Tuhan yang tidak terbandingkan. Dengan paradigma tauhid akan terlihat secara jelas, perbedaan Alquran dengan penafsirannya. 167 Bagi Wadud, konsep tauhid menegaskan kesatuan ayat-ayat Alquran secara keseluruhan dan untuk menjelaskan dinamika antara hal-hal yang universal dan partikular menurut Alquran. Esensi tauhid dapat digunakan untuk

166 167

M. Yudhie Haryono, Melawan dengan Teks ( Yogyakarta: Resist Book, 2005), hal. 69. Hidayatullah, Feminst edges of the Qur’an, hal. 110- 122


95

mengadvokasi hak asasi manusia perempuan dan untuk mereformasi semua kebijakan yang mencegah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini merupakan kewajiban moral manusia di depan Allah sebagai khalifah (inni jaa'ilun fil - ard khalifah) dan merupakan tanggung jawab moral kita semua untuk menjadi wakil Allah di bumi.168. Memahami lebih dalam makna tauhid yang dikaitkan dengan kesetaraan dan keadilan gender dapat dibaca dari pandangan Musdah Mulia. Menurut Musdah Mulia, tauhid sumber dari inspirasi kesetaraan dan keadilan gender. Tauhid adalah inti ajaran Islam yang merupakan pegangan dalam membimbing dan mengarahkan manusia. Tauhid yang maknanya mengakui keesaan Allah membebaskan manusia dari sistem yang tidak adil dan menjamin keadilan terutama bagi kelompok mustadh‟afin (tertindas) dan menjadikan manusia bersaudara. 169 Dengan menguraikan model hermeneutika feminisme Wadud yang mengandung lima unsur sebagai cara kerja yaitu

pandangan/pengalaman

perempuan, kerangka pemikiran feminisme, metode kontekstualisasi sejarah, pembacaan intratekstualitas dan paradigma tauhid, maka model hermeneutika Wadud berperspektif feminis Islam, menggunakan teori-teori feminisme mainstream dan metode-metode penafsiran Alquran berbasis feminis. Dengan demikian, hermeneutika feminisme Wadud dapat mendekati persoalan-persoalan perempuan kontemporer dan tafsir yang dihasilkannya bermuatan keadilan gender. 3.6. Rangkuman Secara umum, hermeneutika dipahami sebagai teori penafsiran atau interpretasi, khususnya prinsip-prinsip penafsiran tekstual. Hermeneutika sebagai metode dalam filsafat terus berkembang dan terdapat tiga aliran hermeneutika: teoritis, filosofis dan kritis. Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah postmodern hermeneutika mulai berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat 168 169

Wawancara dengan Amina Wadud melalui email tanggal 28 Maret 2014. Musdah Mulia, Muslimah Sejati, hal 21-61


96

kritis terhadap metodologi memahami teks dan realitas dan muncul hermeneutika bernuansa dekonstruksi. Hermeneutika bagi Amina Wadud adalah membaca, menafsirkan dan membangun makna. (hermeneutika filosofis). Berkembangnya hermeneutika sebagai metode studi ilmu pengetahuan sosial budaya, memberi dukungan metodologis terhadap studi feminis yang selama ini sering dipertanyakan. Hermeneutika feminisme bertujuan untuk menjelaskan konsep perbedaan gender yang didasarkan pada pandangan anti esensialisme. Hermeneutika feminisme berbentuk politik (hermeneutika politik) dan digunakan untuk menstransformasi teori politik dan mengadakan perubahan. Karakter lain dari hermeneutika feminisme adalah membuka diskusi terhadap interpretasi tradisi (hermeneutika diskusi) dengan tujuan untuk mengembangkan diri dan tradisi itu sendiri lewat perbedaan yang ada. Disamping konsep perbedaan, hal penting dalam hermeneutika feminisme adalah konsep otherness. Konsep otherness telah melahirkan ketidakadilan gender karena telah membedakan eksistensi perempuan dari laki-laki dengan cara yang merendahkan. Dalam studi Alquran dan tafsir, hermeneutika merupakan metode baru bagi penafsiran Alquran. Hermeneutika untuk penafsiran Alquran dikembangkan oleh antara lain Muhammad Shahrur yang menawarkan hermeneutika intertekstual, Nasr Hamid Abu Zayd, menawarkan hermeneutika signifikansi dan Fazlur Rahman dengan hermeneutika double movement. Disamping hermeneutika yang disebutkan di atas, muncul hermeneutika feminisme untuk penafsiran Alquran. yang bertujuan untuk menjelaskan berbagai persoalan gender dalam tafsir dan selanjutnya membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran untuk direinterpretasi. Variabel penting dalam hermeneutika ini adalah masuknya konsep gender sebagai kategori analisis dalam proses penafsiran Alquran dan memposisikan pengalaman perempuan sebagai prior text atau pra pemahaman dalam hermeneutika. Hermeneutika feminisme bagi Alquran dikembangkan oleh Riffat Hassan, Azizah al Hibri dan Amina Wadud. Mereka meletakkan prinsip


97

hermeneutika feminisme bagi Alquran yaitu keadilan gender dan anti sistem patriarki dengan piijakan dasarnya adalah prinsip-prinsip Alquran. Gagasan-gagasan Wadud mengenai hermeneutika feminisme dapat disimak dari pandangannya terhadap tafsir klasik yang menurutnya membawa dehumanisasi

terhadap

perempuan

sehingga

Wadud

melakukan

koreksi

metodologis terhadap tafsir klasik. Wadud mengonstruksi metodologi baru bagi penafsiran Alquran yang berperspektif feminis. Disamping itu, Wadud mengemukakan aspek, kategori penafsiran Alquran terkait perempuan serta domain-domain analisis sebagai cara kerjanya.

Berdasarkan gagasan-gagasan

hermeneutika dalam pemikiran Wadud dan pengalamannya sebagai pejuang gender dan pemikiran feminisme Wadud diformulasikan model hermeneutika feminisme dalam pemikiran Wadud yang merupakan fokus dari penelitian ini. Model

hermeneutika

feminisme

Wadud

bersifat

holistik

dan

komprehensif dengan memperhatikan berbagai metode tafsir dari berbagai persoalan tentang kehidupan terkait perempuan. Langkah-langkah metodologis hermeneutika

feminisme

Wadud

yaitu,

Pertama

berangkat

dari

pengalaman/pandangan perempuan sebagai langkah awal menghampiri sebuah teks. Pengalaman /pandangan perempuan bagi Wadud merupakan prior text (pra pemahaman) dalam pendekatan terhadap teks. Kedua, menempatkan teori-teori feminisme sebagai kerangka pemikiran dalam proses penafsiran. Teori feminisme dapat dikatakan sebagai bingkai dari hermeneutika feminisme.

Ketiga

menerapkan metode kontekstualisasi historis, yaitu memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya ayat atau wahyu (asbab al-nuzul) untuk menangkap makna orisinil ayat-ayat alquran dan menemukan ajaran universal yang melandasi berbagai perintah normatif Alquran. Dengan metode ini dapat dibedakan ayat-ayat umum dan spesifik atau ayat-ayat partikular dan universal. Keempat, penerapan metode intratekstual, yaitu pembacaan Alquran secara keseluruhan, tidak ayat per ayat dengan melacak bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh ayat, membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama. Makna ayat-ayat tersebut, ditarik dari keseluruhan teks dengan mengacu kepada prinsip


98

Alquran yaitu keadilan untuk semua manusia. Kelima, menerapkan prinsip tauhid, yaitu mengakui Keesaan Allah dan penghambaan diri hanya pada Allah dengan menaati segala perintahnya. Tafsit tauhid menegaskan ayat-ayat Alquran secara keseluruhan dan menjelaskan dinamika hal-hal universal dan partikular menurut Alquran. Tauhid membebaskan manusia dari sistem yang tidak adil dan menjadikan manusia setara. Esensi tauhid mengadvokasi hak asasi manusia perempuan dan mereformasi semua kebijakan yang mencegah kesetaraan gender. Dengan langkah-langkah metodologis di atas, Wadud membongkar ayat-ayat gender dalam Alquran untuk direinterpretasi. Hermeneutika

feminisme Amina Wadud

bercorak moral

dengan

meletakkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai sandaran utama moralitas Islam. Hermeneutika feminisme Wadud bersifat kritis, yaitu kritis terhadap metodologi penafsiran Alquran, kritis terhadap produk tafsir klasik terkait perempuan serta kritis terhadap persepsi tentang perempuan yang meminggirkan pengalaman perempuan dalam proses penafsiran. Analisis kritis Wadud melahirkan isu-isu subjektif dan bersifat emansipatoris.

Amina Wadud

mengisyaratkan perlunya hermeneutika feminisme untuk penafsiran Alquran agar ajaran Alquran terkait perempuan bisa beradaptasi dengan kehidupan perempuan di era kontemporer ini karena model hermeneutika feminisme Wadud mampu mendialogkan ayat-ayat gender dalam Alquran dengan kondisi kekinian, merasionalisasikan

pesan-pesan

Alquran

terkait

perempuan

dan

dapat

diaplikasikan untuk memproduk tafsir yang berkeadilan gender.


99

MODEL HERMENEUTIKA FEMINISME AMINA WADUD

PENJELASAN

TEMA 1 Aspek Hermeneutika Feminisme a. Konteks

Pemahaman teks turunnya ayat

konteks.

Konteks

b. Gramatika bahasa

Penelusuran komposisi gramatika bagaimana menyatakannya dan apa dinyatakannya.

c. Wellstanchauung

Kata-kata dalam Alquran memiliki wellstanchauung nya yang berbeda dengan bahasa Arab.

2. Prinsip-prinsip Hermeneutika Feminisme a. Mengacu pada kesetaraan dan keadilan gender b.

dalam

Menolak ide patriarki

3 Kategori Feminisme holistik

ayat, yang

Laki-laki dan perempuan, memiliki derajat yang sama. Taqwa sebagai dasar kemanusiaan

Merugikan perempuan dan bertentangan dengan kesetaraan dan keadilan gender

Hermeneuika Mempertimbangkan semua metode tafsir tentang berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama dan perempuan. Memecahkan masalah secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek.

4 Model hermeneutika Feminisme a. Pengalaman/pandangan perempuan

Asumsi awal hermeneutika berdasarkan pada


100

pengalaman/pandangan perempuan.

b. Kerangka pemikiran feminisme

Teori feminisme menjadi bingkai bangunan hermeneutika feminisme. Hermeneutika feminisme bagi Alquran harus didasarkan pada teori feminisme yang kuat.

c. Kontekstualisasi historis

Memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya ayat atau wahyu (asbab alnuzul). Berusaha menangkap makna orisinil dari ayat-ayat tersebut dan menemukan ajaran universal Alquran yang melandasi berbagai perintah normatif. Membedakan mana ayat umum dan mana yang spesifik atau partikular dan universal.

d.

Intratekstual

Membaca Alquran secara keseluruhan, tidak ayat per ayat dengan melacak bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh ayat, membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama. Makna ditarik dari keseluruhan teks dengan mengacu kepada prinsip Alquran yaitu keadilan untuk semua manusia.

e.

Paradigma tauhid

Menegaskan kesatuan ayat-ayat Alquran secara keseluruhan.Menjelaskan dinamika antara halhal yang universal dan partikular .Esensi tauhid mengadvokasi hak asasi manusia perempuan dan mereformasi semua kebijakan yang mencegah kesetaraan gender.


101

BAB 4 APLIKASI HERMENEUTIKA FEMINISME DALAM PENAFSIRAN AYAT-AYAT GENDER DALAM ALQURAN 4.1.

Pengantar Hermeneutika feminisme Wadud dengan langkah-langkah metodologis

seperti yang telah diuraikan dalam bab 3, diaplikasi pada ayat-ayat gender yang ada dalam Alquran. Wadud mengeritik

penafsiran ayat-ayat Alquran yang

dipandangnya bias gender dan Wadud membongkar penafsiran ayat-ayat tersebut untuk direinterpretasi. Bab ini menguraikan aplikasi hermeneutika feminisme Wadud terhadap enam ayat gender yang ada dalam Alquran yaitu : 1.

Qs.Annisa/4 :1 tentang Penciptaan

2.

Qs. Annisa/4 : 34 tentang Kepemimpinan

3.

Qs. Al-Baqarah/ 2 : 228 tentang talak

4.

Qs. Annisa/4 :3 tentang poligami

5.

Qs. Annisa/4 :11 tentang pembagian warisan

6. 4.2.

Qs. Al-Baqarah/ 2 : 228 tentang kesaksian Kritik terhadap penafsiran ayat penciptaan manusia Dalam diskursus feminisme, terutama pemikiran yang

diusung

oleh

Amina Wadud, isu penciptaan perempuan merupakan isu paling penting dan mendasar untuk dibicarakan baik ditinjau secara filosofis maupun teologis, sebab konsep kesetaraan atau ketidakasetaraan dapat dilacak dari konsep penciptaan perempuan. Pandangan ketidaksederajatan laki-laki dan perempuan dalam penciptaan berimplikasi kepada relasi gender dalam

kehidupan manusia dan

sumber bias gender dalam penafsiran Alquran. Secara umum dipahami bahwa manusia pertama diciptakan Tuhan adalah Adam (laki-laki) kemudian diciptakan Hawa (perempuan) sebagai istri Adam yang diciptakan dari sumber atau bagian tubuh Adam. Menurut Amina Wadud, penciptaan manusia tidak diungkapkan dengan istilah gender, laki-laki atau


102

perempuan. Penciptaan manusia netral gender, hanya disebutkan bahwa manusia berasal dari nafs atau ruh dan diciptakan berpasangan. Dualisme merupakan karakteristik penciptaan (semua diciptakan berpasangan). Versi Alquran tentang penciptaan manusia memperlihatkan hubungan yang khusus antara Tuhan dan manusia. Hubungan ini merupakan dasar eksistensi Alquran.170 Persoalan penciptaan manusia berasal dari penafsiran Qs. Annisa/ 4 :1 yang redaksi dan terjemahannya berbunyi sebagai berikut.

(Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak dan bertakwalah kepada Allah yang dengan ( mempergunakan ) nama Nya, kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu ).171 Ayat ditafsirkan oleh Ibnu Katsir bahwa manusia pertama yang diciptakan Tuhan adalah laki-laki (Adam), sementara manusia kedua adalah perempuan (Hawa) yang diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (lihat uraian dalam bab 1). Dengan demikian berarti bahwa perempuan merupakan derivasi dari ciptaan pertama (laki-laki), sehingga tidak sesempurna ciptaan pertama. Secara umum muffasir klasik termasuk Ibnu Katsir cenderung menafsirkan ayat ini dengan mengacu kepada sebuah hadis Nabi yang menyatakan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Kata kunci dalam menafsirkan ayat penciptaan ini adalah ungkapan nafs wahidah yang dipahami oleh muffasir klasik sebagai satu manusia, yaitu laki-laki. Seperti Ar-Razi dalam karya tafsirnya mafatih al-Ghaib, nafs wahidah 170 171

Wadud, Qur’an and Woman, hal. 21 terjemahan dep. Agama RI, 1971


103

dimaknainya sebagai Adam (laki-laki). Demikian juga Muffasir klasik al-Tabhari dan Muhammad al-Mughniyyah berpendapat bahwa ungkapan nafs wahidah adalah Adam sebagai nenek moyang manusia.172 Penafsiran ayat penciptaan seperti di atas melahirkan pandangan bahwa perempuan diciptakan dari varitas yang lebih rendah kualitasnya dari varitas lakilaki karena perempuan diciptakan dari bagian kecil dari tubuh laki-laki (tulang rusuk). Pandangan ini merendahkan perempuan dan menimbulkan negatif dalam relasi gender. Penafsiran ayat ini

efek-efek

memberi implikasi bahwa

perempuan adalah mahluk yang secara ontologis adalah sekunder lalu pada perempuan disandangkan nilai-nilai seperti perempuan makhluk lemah, secara intelektual tidak cakap

dan secara spiritual tidak memadai. Nilai-nilai yang

disandangkan pada perempuan itu telah digunakan untuk mengklaim bahwa perempuan tidak cocok untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu

atau untuk

menjalankan beberapa hal dalam masyarakat. Penciptaan perempuan dari tulang rusuk telah menjadi mitos yang dipercaya begitu saja Isu tulang rusuk ditolak Wadud. Isu ini merendahkan perempuan dan menjadikan perempuan tidak setara dengan laki-laki. Menurut Wadud, Alquran tidak membedakan penciptaan laki-laki dan perempuan, manusia secara sengaja diciptakan dalam berpasangan, secara setara dan sederajat. Penafsiran yang berbeda terhadap ayat penciptaan manusia disebabkan perbedaan dalam menafsirkan ungkapan nafs wahidah ( nafs yang satu) yang merupakan kata kunci dari ayat penciptaan manusia. Prbedaan dalam menafsirkan ungkapan ini akan mempengaruhi penafsiran terhadap ayat tersebut. Penafsir klasik menafsirkan nafs wahidah sebagai ruh yang satu yaitu Adam (laki-laki), sehingga berimplikasi terhadap perempuan dimana perempuan terkesan lebih rendah dari laki-laki, karena tidak diciptakan secara bersamaan dengan laki-laki. Ditambah dengan cerita bahwa perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki memposisikan perempuan secara natural adalah manusia inferior. Pandangan bahwa perempuan

172

Irsyadunnas, hermeneutika feminsme, hal. 171


104

tercipta dari tulang rusuk berasal dari tradisi biblistik dan ayat isra‟iliat

yang

didasarkan pada Bible. Amina Wadud menegaskan bahwa Alquran telah menggariskan bahwa manusia secara sengaja diciptakan dalam pasangan laki-laki dan perempuan. Alquran tidak secara khusus memberikan sifat-sifat yang tegas kepada salah satu pasangan. Amina Wadud mengemukakan penciptaan manusia tidak diungkapkan dengan istilah gender, laki-laki atau perempuan, yang disebutkan Alquran adalah manusia diciptakan dari nafs yang bermakna ruh.173 Penciptaan manusia dalam Alquran disampaikan dalam bahasa yang implisit dan

merupakan informasi

tentang alam gaib yang tidak dicapai oleh kemampuan manusia. Tapi satu hal yang jelas bahwa Alquran dalam ayat penciptaan tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Karena minimnya penjelasan mengenai penciptaan ini, maka muffasir klasik mengandalkan tradisi biblistik, bahwa penciptaan Hawa dikatakan berasal dari tulang rusuk. 174 Pandangan Wadud di atas merupakan hasil penerapan hermeneutika feminisme pada penafsiran ayat tersebut. Dengan pembacaan intertektualitas sebagai komponen sentral dalam pembahasan ayat penciptaan, Wadud membaca secara holistik ayat-ayat Alquran mengenai penciptaan dan menganalisis struktur kebahasaan ayat-ayat tersebut. Pertama, Amina Wadud menghimpun ayat-ayat Alquran yang membahas masalah penciptaan manusia dari berbagai surat Alquran dan menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa penciptaan manusia terdiri dari tiga tahap: tahap penciptaan, tahap pembentukan dan tahap pemberian kehidupan.175 Kedua, Amina Wadud melakukan pemahaman konseptual terhadap kata-kata kunci dalam ayat tentang penciptaan manusia. Kata kunci yang sering digunakan Alquran permulaan penciptaan adalah khalaqa baik untuk tahap penciptaan maupun pada tahap pembentukan. Kata kunci berikutnya yang menunjuk ke manusia adalah kata

173

Wadud, Qur’an and Woman, hal. 19 Wadud, Qur’an and Woman, hal. 20 175 IWadud, Qur’an and Woman, hal. 16 174


105

sawwara yang artinya membentuk, memberi rupa, merancang, menyempurnakan. Ini memberi spesifikasi manusia, dimana manusia diciptakan dalam dua kelamin berbeda yang cocok satu dengan lainnya. Pada tahap 3, merupakan penghembusan roh pada laki-laki dan perempuan. Ketiga, Amina Wadud melakukan analisis bahasa Arab, terutama analisis secara gramatikal dengan memperhatikan bentuk maskulin dan feminin terhadap empat kata kunci : ayat, min, nafs dan zawj

176

dalam ayat pencitaan seperti berikut. Kata Ayat, ( bentuk jamak ayah) artinya 'tanda 'yang menunjukkan sesuatu diluar dirinya atau simbol-simbol verbal. Secara eksplisit dan linguistik kata ayat berhubungan dengan penciptaan. Kata ayat menginformasikan tentang alam gaib tidak dapat dicapai atau dimengerti sepenuhnya oleh kemampuan manusia biasa, hanya diketahui melalui wahyu. Menurut Alquran, baik ayat linguistik maupun non linguistik dipandang sebagai ayat Tuhan dan dua-duanya dimaksudkan untuk membantu menyempurnakan tujuan dari Alquran untuk memberi petunjuk. Kata min pada dasarnya mempunyai tiga fungsi dalam bahasa Arab . Kata ini bisa berfungsi sebagai kata depan (ibtida‟i) atau from dalam bahasa Inggris (dalam bahasa Indonesia, “dari “) yang menunjukkan penarikan suatu hal dari halhal yang lain. Kata ini juga dapat berfungsi tab‟id atau bagian

yang dapat

digunakan untuk menyatakan “dari sifat yang sama dengan “. Fungsi ketiga dari kata min adalah bayan atau penjelasan. Kata nafs digunakan secara umum dan teknis. Walaupun kata nafs secara umum diterjemahkan sebagai “diri”, dan jamaknya anfus, sebagai “diri-diri “, namun Alquran tidak pernah menggunakannya untuk menunjuk pada sesuatu diri yang diciptakan selain manusia. Kata nafs dalam filsafat dan sufisme Islam diartikan “ jiwa “ sebagai suatu Alquran kata nafs

sering

substansi yang terpisah dari badan. Dalam

diartikan sebagai 'dirinya ' (laki -laki maupun

perempuan) dan jamaknya “diri mereka” dan dalam konteks diartikan sebagai

176

Wadud, Qur’an and Woman, hal 18-20


106

“batin manusia”, yakni realitas hidup manusia yang tidak terpisah dari badan. Dalam kisah penciptaan manusia menurut Alquran, Allah tidak pernah berencana untuk memulai penciptaan manusia dengan seorang laki- laki, juga tidak pernah menunjuk Adam sebagai asal-mula manusia. Alquran bahkan tidak menyebutkan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dengan nafs Adam, laki-laki . Hal ini menunjukkan bahwa penciptaan manusia dalam Alquran tidak diungkap dalam istilah-istilah gender. Zawj merupakan kata penting lain dalam ayat Qs. annisa/4 : 1. Dalam istilah umum, zawj diartikan sebagai teman, pasangan atau kelompok. Bentuk jamak adalah azawj yang digunakan untuk menunjukkan “pasangan “ yang ditujukan pada penciptaan Hawa, ibu pertama. Menurut tata bahasa kata zawj adalah maskulin, tapi menurut konsepsi, kata ini tidak maskulin maupun feminin, dan zawj digunakan untuk menunjuk perempuan dan laki-laki. Dengan pembacaan intratekstual terhadap ayat penciptaan manusia yaitu melakukan pembacaan secara holistik, melacak bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh ayat Alquran serta membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama, seperti diuraikan di atas, Wadud membuktikan bahwa Alquran tidak membedakan penciptaan antara laki-laki dan perempuan. Alquran

menyatakan bahwa manusia diciptakan berpasangan (dualisme

penciptaan), dimana Tuhan telah menciptakan orang tua pertama Adam dan Siti Hawa. Amina Wadud

membuktikan bahwa perlakuan terhadap laki-laki dan

perempuan dalam Alquran tidak dibedakan, yang membedakan antara kedua gender ini adalah

taqwa. Kata

kata kunci dalam ayat Alquran telah

merekonstruksi semua dimensi eksistensi manusia mulai dari penciptaan, kemudian menyatakan keberpasangan yaitu laki-laki dan perempuan dan ayat ini juga memberi pemahaman bahwa setiap manusia adalah keturunan seorang lakilaki dan seorang perempuan Selanjutnya, dengan penerapan metode intratekstual yaitu suatu ayat dapat dijelaskan oleh ayat yang lain, Wadud mengemukakan ungkapan khalifah fil


107

Ardh dalam Qs. al-Baqarah/2:30 untuk mendukung pandangannya di atas. Dalam surat ini dinyatakan bahwa semua manusia dipandang sebagai khalifah fil ardh. Menurut Amina Wadud, ungkapan ini netral gender sehingga perempuan sebagai manusia merupakan khalifah fil ardh atau potensi Tuhan di bumi.177 Posisi manusia sangat spesifik dan terhormat yaitu menjadi khalifah fil Ardh. Ayat ini dapat ditafsirkan bahwa tujuan utama penciptaan manusia adalah menjadi khalifah, yaitu pengelola atau pemimpin di bumi. Dalam tata bahasa Arab, kata khalifah itu netral gender, jadi semua manusia adalah khalifah yang akan mempertanggungjawabkan tugas kekhalifahannya itu kelak dihadapan Tuhan.

178

Mengenai ungkapan khalifah fil Ardh ini Wadud menyampaikan pandangannya melalui surat elektronik kepada penulis “ The essence of tawhid is the same I use to advocate for full human rights for women and for working to reform all policies that prevent their full equality as part of their moral obligation before Allah as khalifah ( inni jaa‟ilun fi l--ard). Our moral resposibilty to be agent of Allah. (Surel terlampir). Sehubungan dengan posisi manusia sebagai khalifah, Mahmud Syaltut mantan pemimpin tertinggi lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir pernah mengatakan (1959), seperti yang dikutip Quraish Shihab, bahwa kemanusian lakilaki dan perempuan pada dasarnya sama, Allah memberi anugerah pada perempuan seperti anugerah yang diberikan pada laki-laki. Laki-laki dan perempuan telah diberi Allah potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggungjawab dan menjadikan kedua gender dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus.179 Pembacaan Wadud terhadap ayat penciptaan di atas, mengungkapkan bahwa telah terjadi kekeliruan dalam penafsiran terhadap ayat ini, karena penafsiran berfokus pada ungkapan nafs wahidah. Kekeliruan dalam menafsirkan ungkapan tersebut telah merugikan perempuan karena berimplikasi pada seluruh

177

Wadud, Qur’an and woman, hal. xi Prolog Musdah Mulia dalam Mencegah kematian ibu melahirkan,ed. Ira D. Aini, 2014 hal. xii 179 Shihab, Membumikan Alquran, hal. 420. 178


108

aspek kehidupan perempuan. Perempuan dipandang inferior, tidak boleh menjadi pemimpin dan kehadirannya untuk melayani laki-laki. Dengan pendekatan tauhid, bahwa semua umat manusia merupakan satu kesatuan yang sama dan setara dibawah Sang Pencipta. Tauhid mengakui Keesaan Allah dan mengakui bahwa Tuhan adalah Yang Maha Tinggi dan ciptaannya tidak bersifat hirarhkis. Maka itu, konstruksi hirarkhis di antara umat manusia, yaitu memposisikan derajat diri atau kelompok lebih tinggi dari yang lain, itu adalah syirik, karena hanya Tuhan Yang Maha Tinggi, sedangkan manusia sebagai ciptaan Nya adalah setara. Bila ada individu atau kelompok yang mengatakan diri nya lebih tinggi dari yang lain, berarti menduakan Tuhan dan itu adalah perbuatan syirik.

180

Mengenai hal ini Wadud mengatakan, bila seseorang meletakkan

dirinya lebih tinggi dari orang lain, berarti dia mengabaikan kehadiran Illahi dan orang ini menderita egoisme syirik.181 Syirik adalah dosa besar yang tidak terampuni.182

Dengan prinsip tauhid, perempuan dapat dibebaskan dari

kezoliman yang dialaminya. Masih berkaitan dengan persoalan penciptaan manusia, Azizah al-Hibri seperti yang dikutip oleh Aysha Hidayatullah mengemukakan kembali cerita penciptaan Adam. Ketika Adam telah diciptakan, Tuhan memerintahkan Iblis untuk memberi hormat pada Adam. Iblis menolak perintah Tuhan , karena merasa dirinya lebih tinggi dan superior dari Adam. Arogansi membuat Iblis melanggar perintah Tuhan dan Iblis jatuh pada tindakan syirik. Berdasarkan cerita ini, Hibri mengembangkan istilah logika Iblis, yaitu perilaku arogan yang menekankan dan menterjemahkan perbedaan sebagai justifikasi dari ketidaksetaraan. Menurut Hibri, logika Iblis membentuk perbedaan berbasis otoriterian, rasial, dan masyarakat patriarkal.183 Wadud berpandangan bahwa arogansi Iblis merupakan bentuk dari istikbar, yaitu perilaku yang menganggap diri sendiri lebih tinggi dari

180

Hidayatullah, Feminist Edges of The Qur’an, hal. 112 Wadud, Inside the Gender Jihad, hal. 32. 182 Qs. Annisa/4 : 48 dan 116 183 Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal. 113 181


109

yang lain. Istikbar bertentangan dengan kehendak Tuhan dan dari bentuk-bentuk penindasan sosial.

184

menjadi sumber

Prinsip tauhid, tidak boleh ada yang

ditnggikan selan dari Allah. Isu tulang rusuk ramai diperdebatkan dan melahirkan berbagai asumsi. Bila Adam diciptakan dari nafs wahidah (ruh) dan Hawa berasal dari tulang rusuk Adam, maka berarti

embrio penciptaan laki-laki adalah ruh dan embrio

penciptaan perempuan adalah fisik. Fisik adalah perangkat ruh (Plato) sehinga dapat berarti bahwa laki-laki diciptakan sempurna, perempuan diciptakan tidak sempurna (tanpa ruh), sehingga untuk menjadi sempurna, perempuan harus kawin dengan laki-laki. Implikasi lain, bila laki-laki adalah ruh yang berarti pemikiran maka perempuan bukan pemikiran. Bila perempuan bukan pemikiran, maka perempuan tidak ada, karena “Aku berpikir Aku ada “ (Rene Decartes). Demikian pula, bila perempuan tanpa pemikiran, maka perempuan manusia tanpa kepala, karena pemikiran sumbernya di kepala. Asumsi ini yang mengharuskan perempuan menutup kepalanya (hijab) karena perempuan adalah manusia tanpa kepala (Nawal El Saadawi). Sebagai ilustrasi, saya mengungkapkan berbagai respon para ahli mengenai kejadian Adam dan Hawa. Nawal El Saadawi, seorang sastrawan feminis terkemuka (Mesir) mengatakan bahwa penafsiran patriarkis yang menafsirkan laki-laki sebagai ciptaan sempurna berarti laki-laki dipandang sebagai bayangan Tuhan (Tuhan Sempurna). Dengan demikian, Tuhan adalah laki-laki, sehingga seluruh nabi dan Rasul berkelamin laki-laki.185 Intelektual lainnya mengatakan bahwa Tuhan tidak berkelamin, Tuhan adalah Ruh dan memiliki sifat maskulin (father of God) seperti Tuhan Maha Besar, Tuhan Maha Kuasa dan Tuhan Maha Perkasa dan juga memiliki sifat-sifat feminine (mother of God) seperti Maha Pengasih, Penyayang dan Pemaaf. Memang, yang ditonjolkan dalam masyarakat adalah sifat-sifat maskulin Tuhan dan perempuan ditakut-takuti dengan sifat

184 185

Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an , hal 114 Nawal El Saadawi, Perempuan Dalam Budaya Patriarkhi, (Terj. Zulhilmiyasri (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) hal. 207


110

maskulin Tuhan,yaitu bila tidak taat pada pelbagai aturan yang telah ditentukan, maka Tuhan akan datang dengan kaki yang menginjak.186 Penolakan terhadap isu tulang rusuk dalam cerita penciptaan perempuan dapat pula disimak dari beberapa intelektual Islam, seperti Murtadha Muthahhari, ulama besar dari Iran yang mengatakan bahwa Alquran dalam beberapa ayat dengan jelas sekali mengatakan bahwa kami ciptakan perempuan dari esensi yang sama dengan esensi laki-laki. Juga Alquran mengatakan dalam beberapa ayat bahwa Allah menciptakan pasanganmu dari jenismu sendiri.187 Tokoh feminis Islam seperti Musdah Mulia, Riffat Hassan dan lainnya juga menolak isu tulang rusuk ini. Mereka berpendapat bahwa isu tulang rusuk merupakan penafsiran keliru yang harus diluruskan. Semua ajaran yang menerangkan tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam tidak mempunyai landasan pembenaran pada Alquran. Menurut Musdah, sepanjang pembacaannya terhadap Alquran tidak ditemukan soal penciptaan perempuan.188 Pandangan perempuan berasal dari tulang rusuk, memiliki implikasi yang luas, yaitu posisi perempuan tidak sederajat dengan laki-laki dan perempuan merupakan subordinasi dari laki-laki. Status ontologi perbedaan seksual yang tidak sederajat ini telah menjadikan perempuan menjadi manusia kelas dua (the second human being), perempuan hanya diciptakan sebagai makhluk pelengkap dari dan untuk kepentingan laki-laki.189 Dalam konteks ini saya berpendapat bahwa penciptaan manusia merupakan rahasia Tuhan. Hal-hal metafisis tidak bisa diperdebatkan karena tidak seorangpun yang dapat mengetahui bagaimana Allah menciptakan manusia. Penjelasan tentang penciptaan manusia berada di luar kemampuan pemahaman manusia, karena berada dalam alam gaib. Yang jelas dalam konteks agama Islam,

186

Nasaruddin Umar dalam Koran Rakyat Merdeka, 13 Februari 2013. Muthahhari Muthahari, Perempuan dan Hak-Haknya Menurut Pandangan Islam (Terj) Ilyas Hasan (Jakarta: Lentera , 2009) hal. 213. Muthahhari Murthada ulama besar dan penulis Islam kenamaan yang dihormati publik di Iran . 188 Musdah Mulia, Muslimah Sejati, hal. 111 189 Musdah Mulia, Muslimah Sejati hal.132. 187


111

kesetaraan manusia, penghormatan pada martabatnya diungkapkan dalam banyak teks-teks Alquran, seperti Q.s. Al-Hujurat/49:13 yang terjemahannya berbunyi:

Hai manusia, Sesungguhnya Kami meciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa.190

Dari keseluruhan uraian di atas, jelas menunjukkan bahwa Alquran tidak membedakan nilai atau karakteristik antara kedua gender dan pesan-pesan moral dan spiritual dari Tuhan adalah untuk laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan sama-sama makhluk Tuhan, saling melengkapi dan sempurna secara ontologis dan

dituntut untuk berkerjasama melakukan peran-peran sosial dan

kebudayaan. Kesimpulan Wadud : Alquran tidak membedakan penciptaan lakilaki dan perempuan. Alquran menyatakan bahwa manusia diciptakan berpasangan ( dualisme penciptaan). 4.3.

Kritik terhadap penafsiran ayat kepemimpinan Secara umum dipahami bahwa laki-laki adalah pemimpin alami. Laki-laki

menjadi pemimpin atas perempuan, karena laki-laki diberikan keutamaan dalam hal akal dan kekuatan, dan lainnya. Menurut Amina Wadud, Alquran mengisysratkan bahwa laki-laki dan perempuan bersifat komplementer satu sama lain dan sama-sama memiliki hak dan kewajiban dalam tataran etika, agama dan tataran fungsi sosial. Perempuan dan laki-laki sama sama memiliki hegemoni dalam kepemimpinan, misalnya di ranah ibadah dimana perempuan seperti lakisahlatlaki dalam ritual shalat Jumaat boleh hadir sebagai jamaah dan sebagai imam. Aspek kepemimpinan perempuan di ranah ibadah ini, akan memberikan dukungan bagi kepemimpinan perempuan dalam aspek-aspek lainnya.191 Dalam

190

Musdah Mulia, Indahnya Islam menyuarakan kesetaraan & Keadilan Gender, hal. 111

191

Wadud, Inside the gender jihad, hal. 186


112

bidang ibadah tidak ada fiqh (hukum Islam) yang menentukan hanya laki-laki yang boleh memimpin shalat. Pandangan hanya laki-laki yang boleh memimpin shalat dikembangkan tanpa ada landasan yang jelas, tidak ada satu ayatpun dalam Alquran yang melarang perempuan untuk memimpin shalat. Sehubungan dengan itu, Wadud berjuang menjadi imam perempuan. Perjuangan Wadud untuk menjadi imam perempuan diawali oleh pengalamannya di tahun 1994 sebagai khotib shalat Jumat di Mesjid Claremont Main Road di Cape Town, Afrika Selatan. Sejak memberi khotbah tersebut

Wadud terus

memikirkan kenapa hanya laki-laki yang boleh menjadi pemimpin ritual publik. Sebelas tahun kemudian, Wadud melahirkan pemikiran bahwa perempuan boleh menjadi imam shalat Jumat dan menerima untuk menjadi imam dan khotib shalat Jumaat di New York (Maret 2005) yang telah mendapat publikasi yang luas. Larangan perempuan menjadi pemimpin berakar dari tradisi yang menuntut ketaatan perempuan yang sering ditafsirkan dalam bentuk serba membatasi gerak perempuan dalam masyarakat. Ketaatan perempuan pada Allah diukur dari ketaatannya pada laki-laki (suami) dan individualitas seorang perempuan diukur dari posisinya sebagai pelengkap bagi laki-laki. Ayat yang selalu dijadikan dalil tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan adalah ayat Qs.Annisa/ 4:34 yang redaksi dan terjemahannya berbunyi sebagai berikut:


113

(Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar) .192 Ayat ini ditafsirkan oleh Ibnu Katsir sebagai berikut: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Yaitu lakilaki adalah pemimpin kaum perempuan dalam arti pemimpin, kepala, hakim dan pendidik perempuan. Hal ini karena Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian yang lain (perempuan). Laki-laki lebih utama dari perempuan dan laki-laki lebih baik dari perempuan. Karena itu, kenabian dikhususkan untuk laki-laki, begitu juga raja (Presiden). 193 Penafsiran ayat diatas diperkuat oleh Ibnu Katsir dengan penafsiran Qs. alBaqarah/2:228, yaitu para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari isterinya. Ibnu Katsir memberikan penjelasan bahwa Allah melebihkan laki-laki atas perempuan, karena laki-laki telah menafkahkan sebagaian dari harta mereka, yang berupa mahar, nafkah dan berbagai tanggungjawab yang diwajibkan kepada mereka. 194 Penafsiran terhadap ayat ini berakar dari penasiran secara harfiah atas kata Qawwamuna yang ada dalam ayat 4 : 34 di atas yang diartikan pemimpin dan kalimat arrijalu Qawwamuna a‟la annisa dalam ayat ini ditafsirkan bahwa lakilaki pemimpin atas perempuan. Penafsiran di atas memberi pemahaman keberpihakan Alquran pada laki-laki. Karena derajat laki-laki dipandang lebih tinggi dari perempuan, maka kepada laki-laki telah diberikan berbagai kelebihankelebihan dan sekaligus memberi pemahaman bahwa perempuan inferior dan

192 193 194

Terjemahan, Dep. Agama RI, 1971 ‘Alu Syaikh , Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, hal. 379 ‘Alu Syaikh , Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, hal.380


114

laki-laki superior, sehingga memberi legitimasi adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dengan pendekatan, kontekstualisasi historis Amina Wadud mendekati penafsiran ayat ini. Dia berusaha mencari makna orisinil dari kata Qawwamuna. Mengikuti berbagai pandangan, Wadud menemukan bahwa kata ini memiliki beragam makna. Al Zamkhsyari mengatakan ungkapan itu bentuk tanggungjawab laki-laki terhadap perempuan. Maududi mengatakan laki-laki adalah maneger perempuan karena laki-laki derajatnya lebih tinggi dari perempuan. Sayid Qutb menyatakan bahwa ungkapan ini dibatasi untuk hubungan antara suami dan isteri. Laki-laki dan perempuan adalah anggota dari institusi masyarakat yaitu keluarga. Masing-masing memiliki tangungjawab, isteri mempunyai tanggungjawab melahirkan anak dan merupakan penjaga eksistensi manusia.

195

Wadud

menyimpulkan bahwa ayat ini menguraikan situasi sosial ekonomi tertentu dimana seorang suami adalah pemberi nafkah bagi isteri dan ana-anaknya. Amina Wadud membahas konsep-konsep yang berkaitan dengan konsep Qawwamuna, yaitu konsep nusyuz dan Qanitat. Amina Wadud menolak penafsiran konsep Qiwwamah (pemimpin) nusyuz dan Qanitat karena didasarkan pada nilai-nilai superioritas laki-laki atas perempuan. Konsep

Qiwwamah,

dimaknai laki-laki menjadi pemimpin atas perempuan karena memiliki tanggungjawab untuk memberi materi dan perlindungan terhadap perempuan. Jadi berarti, laki-laki pemimpin atas perempuan dengan syarat bisa memberi nafkah dan perlindungan pada perempuan. Wadud berpandangan bila syarat di atas tidak dipenuhi atau laki-laki tidak memenuhi kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan perempuan, maka laki-laki tidak dapat disebut sebagai pemimpin (Qiwwamah) terhadap perempuan.196 Wadud menemukan makna yang beragam dari konsep ini dan konsep ini juga tidak memiliki parameter aplikasinya.

195

196

Wadud, Quran and Woman , hal. 71 Wadud, Quran and Woman, hal. 72


115

Konsep Qiwwamah telah menjadi konsep yang kontroversial dan dibahas oleh banyak pihak. Musdah Mulia juga mempertanyakan bahwa bila perempuan tidak lagi tergantung secara ekonomi dan keamanan pada laki-laki, apakah laki-laki masih bisa disebut sebagai Qiwwamah bagi perempuan. Menurut Musdah Mulia sangat tidak masuk akal melakukan generalisasi terhadap maksud ayat tersebut dan dipakai untuk

menjustifikasi kapasitas kepemimpinan perempuan. Bila tidak ada lagi ketergantungan perempuan pada laki-laki, karena sama-sama memiliki kebebasan dan kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, maka posisi Qiwwamah tentu bisa ditawar.197 Qiwwamah berkaitan dengan konsep nusyuz . Konsep nusyuz menunjukkan bahwa laki-laki (suami) memiliki hak untuk menyiksa isterinya (perempuan) bila melakukan pemberontakan atau tidak patuh pada apa yang telah ditentukan suami. Konsep nusyuz dimaknai secara umum bahwa perempuan harus taat pada suami, jika tidak taat suami boleh memukulnya. Ibnu Katsir menafsirkan kata nusyuz sebagai berikut:

An-nusyuz berarti merasa lebih tinggi. Perempuan yang nusyuz adalah perempuan yang merasa tinggi atas suaminya dan meninggalkan perintahnya, berpaling dan membencinya. Kapan saja tanda-tanda nusyuz itu timbul, nasehatilah dia dan berpisahlah dari tempat tidurnya. Bila nasehat dan pemisahan tempat tidur tidak menggetarkannya, maka suami boleh memukul isterinya. 198 Pemaknaan konsep nusyuz seperti di atas memperlihatkan bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki, maka itu, perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, baik di ranah ibadah maupun di ranah politik. Fatwa ulama Indonesia beberapa tahun yang lalu yang mengharamkan perempuan menjadi Presiden Indonesia jelas merupakan penindasan terhadap perempuan dalam bidang kepemimpinan.

197 198

Musdah Mulia, Muslimah Sejati, hal.115 Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, hal. 382


116

Menurut Amina Wadud, ada pemahaman yang keliru mengenai konsep nusyuz. Wadud mengkaitkan konsep nusyuz dan konsep Qanitat yang artinya perempuan yang baik. Tapi pengertian ini berkembang menjadi perempuan yang taat dan selanjutnya diartikan taat pada suami. Menurut Amina Wadud, kata taat yang demikian adalah penafsiran yang tidak universal dan tidak seperti tata cara yang dicontohkan oleh Rasullah. Amina Wadud menulis : “Such an interpretation has no universal potential, and contradicts the essence of the Qur‟an and the establish of the prophet “. Amina Wadud juga mengatakan bahwa pada prinsipnya Alquran tidak memerintahkan isteri taat pada suami secara mutlak tanpa persyaratan. Tidak ada penjelasan dalam Alquran bahwa isteri yang patuh pada suami merupakan karakteristik perempuan yang baik. Berkenaan dengan ini, Wadud menulis: The Qur‟an never order a woman to obey her husband. It never state that obedience to her husband is a characteristic of better woman “. 199 Menurut Musdah Mulia, selama mendalami Alquran, tidak pernah menemukan ayat yang memerintahkan perempuan untuk taat kepada suami, hanya menemukan perintah bagi lelaki dan perempuan untuk menaati Allah. Mentaati Allah berarti sudah sepantasnya seorang istri menghormati suaminya dan begitu pula sebaliknya. Kata “taat” yang dilanggengkan oleh masyarakat dalam prosesi pernikahan pada akhirnya dimaksudkan untuk menanamkan pada pihak istri bahwa istri harus patuh sepenuhnya pada suami mereka.200 Menurut Fatima Mernissi, ada berlapis-lapis makna mengenai kata nusyuz, paling tidak ada 48 makna dari kata ini, tetapi pilihan makna yang diambil muffasir klasik yang nota bene semua laki-laki adalah “memukul isteri”. Mernissi mensinyalir bahwa ada kesenjangan linguistik dalam bahasa Arab, yaitu ada berlapis-lapis makna untuk kata nusyuz dan berlapis-lapis makna untuk kata cinta (50 kata) tapi tidak ada perbendaharaan kata untuk “pasangan” atau couple (Inggeris). Kesenjangan linguistik ini bukan merupakan kebetulan, tetapi merupakan pesan simbolik dari masyarakat untuk menentukan peran gender secara 199 200

Wadud, Quran and Woman hal. 77 http://www.jurnalperempuan.org/berita/siti-musdah-mulia


117

kaku, terutama relasi gender dalam keluarga. Mernissi tidak menerima, bila perempuan nusyuz, diartikan bahwa perempuan memberontak terhadap nalar, tatanan dan Tuhan. Perempuan harus mematuhi suaminya karena seorang suami dipandang sebagai wakil dan perwujudan dari kekuasaan suci dan hirarkhi dalam Islam. Karena,itu, Mernissi melakukan inovasi dalam penafsiran nusyuz yang disebut Mernissi sebagai nusyuz-inovasi. Inovasi ini dipandang sebagai ancaman, untuk mengubah hukum tatanan suci, menggugat hak istimewa dan hirarkhi yang semuanya dipandang abadi. Fatima Mernissi juga berpendapat bahwa, nusyuz adalah konsep netral dalam sistem gender dalam Islam. Bila nusyuz dalam Alquran diartikan sebagai pemberontakan isteri terhadap otoritas suami, menurut Mernissi pemberontakan perempuan itu berkaitan dengan seksual bukan berkaitan dengan kehidupan sosial. Pada masa sekarang ini, dengan bangkitnya kesadaran kaum perempuan di dunia Islam ancaman nusyuz dihidupkan kembali dalam sistem Islam. Ketidak patuhan perempuan dianggap begitu menakutkan, karena implikasinya sangat besar terutama implikasi individualisme. Tuntutan untuk memiliki keinginan, pandangan dan pendapat secara individu adalah konsep asing dalam Islam. 201 Dalam pandangan Kecia Ali, nusyuz tidak jelas kepada siapa dialamatkan, apakah pada laki-laki atau pada perempuan. Kecia Ali juga mempertanyakan, bagaimana kriteria perempuan yang taat dan apakah konsekwensi nusyuz dan kalau perintah memukul perempuan, apakah penafsiran itu

dilakukan secara

literal. Kecia Ali mengumpulkan beberapa pandangan mengenai nusyuz. Menurutnya, ada beberapa pendapat mengenai kepada siapa nusyuz dialamatkan. Ada yang berpendapat bahwa nusyuz dikenakan untuk laki-laki dan perempuan dan ada yang mengatakan nusyuz hanya dikenakan untuk perempuan saja. Pandangan yang progresif menolak penafsiran konsep nusyuz, sebagai ketaatan pada suami, ketaatan tidak pada suami tapi hanya pada Allah. 202

201 202

Fatima Mernissi, Rebellion & Islamic memory, terj Rahmani Astuti (Bandung : Mizan,1999) hal. 205 Kecia Ali, Sexual Ethics & Islam: Feminist Reflections on Qur'an, Hadith, and Jurisprudence ( England : Oneworld Publications,2012) hal.189


118

Disamping konsep Qiwwammah

di atas, kata

dharaba dalam ayat

Annisa/4:34 ini tidak bisa diabaikan, karena juga berkontribusi dalam mendukung superioritas laki-laki atas perempuan dalam soal kepemimpinan. Kata ini dalam Alquran, memiliki beragam makna, tapi makna yang digunakan adalah memukul isteri. Menurut Wadud, ayat ini menunjuk kekerasan terhadap perempuan di zaman ayat ini turun (seperti pembunuhan bayi-bayi perempuan), maka seharusnya ayat ini harus diartikan sebagai larangan tindak kekerasan terhadap perempuan. Jadi ayat ini seharusnya bukan dimaknai sebagai izin untuk memukul isteri, tapi larangan keras terhadap kebiasaan yang ada.203 Karena penafsiran yang keliru terhadap kata dharaba telah melahirkan berbagai tindak kekerasan dalam Rumah Tangga (kekerasan domestik). Memahami uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat kepemimpinan di atas telah ditafsirkan berdasarkan nilai-nilai suprioritas laki-laki atas perempuan. Dalam Alquran tidak ada larangan perempuan menjadi pemimpin. Pemahaman terhadap konsep-konsep dalam ayat di atas telah melahirkan pandangan bahwa derajat perempuan rendah dari laki-laki, isteri harus taat pada suami dan suami boleh memukul isteri. Tragisnya, lingkup ayat kepemimpinan ini tidak hanya terbatas untuk relasi suami-isteri dalam rumah tangga, tapi telah diluaskan dalam relasi gender dalam masyarakat. Hal ini berarti masalah khusus (kepemimpinan rumah tangga) dinyatakan sebagai prinsip universal, perempuan dilarang menjadi pemimpin di ruang publik. Kesimpulan Wadud adalah tidak ada satu ayatpun yang melarang perempuan menjadi pemimpin. Kepemimpinan itu bersifat fungsional tidak fisikal-material. Salah satu masalah aktual dalam soal kepemimpinanan ini adalah imam perempuan. Wadud telah mendobrak larangan terhadap perempuan untuk menjadi imam bagi makmum laki-laki dan perempuan. Namun, hingga kini terlihat bahwa perjuangan untuk menjadi imam perempuan merupakan perjuangan yang berat dalam menghadapi tantangan dari penjaga status quo muslim yang menolak 203

Wadud, Qur’an and Woman, hal 76


119

kesetaraan gender dalam kepemimpinan. Penolakan terhadap terhadap imam perempuan menunjukkan adanya ketidakadilan berbasis gender mengenai hak hak dan peran perempuan. Perjuangan menjadi imam perempuan dapat dilihat sebagai upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam praktek. Imam perempuan merupakan representasi ketaatan beribadah sekaligus kemampuan berpartisipasi bagi perempuan. Perempuan juga berkepentingan dalam praktek ritual dalam Islam. Hal penting lainnya adalah kepemimpinan dalam ibadah shalat telah dijadikan sandaran dalam kepemimpinan lainnya, sehingga terdapat larangan perempuan menjadi pemimpin. Saya berpandangan bahwa pembongkaran penafsiran ayat kepemimpinan dapat dilihat sebagai usaha untuk mencegah agar inferioritas perempuan tidak disosialisasikan terus menerus melalui tafsir Alquran. Dengan interpretasi baru dari ayat kepemimpinan ini seperti yang dikemukakan Wadud, membuat perempuan terbebas dari berbagai hambatan untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat yang pada gilirannya kesetaraan dan keadilan gender dapat diwujudkan serta penindasan terhadap perempuan dapat diminimalisir. Kehidupan dengan penindasan (ketidakadilan) bukanlah sebuah kehidupan, maka kebebasan bagi

perempuan perlu terus diperjuangkan.

Larangan perempuan menjadi

pemimpin berakar dari tradisi yang menuntut ketaatan perempuan yang sering ditafsirkan dalam bentuk serba membatasi gerak perempuan dalam masyarakat. Ketaatan perempuan pada Allah diukur dari ketaatannya pada laki-laki (suami) dan individualitas seorang perempuan diukur dari posisinya sebagai pelengkap bagi laki-laki. 4.4.

Kritik terhadap penafsiran ayat talak “Talak” berasal dari kata ithlak yang berarti melepaskan atau

meninggalkan. Dalam istilah agama talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Para ulama telah sepakat bahwa talak benarbenar telah disyariatkan dan dipandang sah bila dilakukan oleh suami yang


120

berakal, baliq dan atas kehendak sendiri.204 Talak merupakan suatu jalan penyelesaian yang terakhir sekiranya suami dan isteri tidak dapat hidup bersama dan mencari kata sepakat untuk mencari kebahagian berumah tangga. Dalam hukum talak, perempuan adalah objek karena hak talak dimiliki sepihak oleh laki-laki, perempuan hanya bisa menerimanya. Amina Wadud gelisah terhadap ketentuan hukum talak. Ketentuan dalam hukum talak menunjukkan derajat lakilaki lebih tinggi dari perempuan, dimana laki-laki memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan talak. Hal ini dipandang Amina Wadud sebagai suatu ketidakadilan. Hak sepihak untuk menjatuhkan talak itu tidak adil. Menurut Amina Wadud, Alquran tidak membuat aturan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan tak terkendali untuk menjatuhkan talak. Walau Alquran tidak menyebutkan bahwa perempuan tidak memiliki kekuasaan untuk menceraikan suaminya, ini tidak berarti bahwa perempuan tidak punya wewenang menjatuhkan talak. Tidak ada petunjuk Alquran bahwa wewenang menjatuhkan talak tidak ada pada perempuan.205 Ada beberapa ayat yang menjadi dasar dalam persoalan talak diantaranya Qs. 2/ Al-Baqarah : 228, yang redaksi dan terjemahannya sebagai berikut.

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali Quru’ (haidh). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang ada dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan suamisuami berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika para suami itu menghendaki islah. Dan para wanita memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan

204 205

https://www.facebook.com/BelajarHukumIslam/posts/505902112784775 Wadud, Quran and Woman , hal. 79


121

tetapi para suami mempunyai satu tingkatan lebih daripada isterinya.206 Secara umum ayat ini ditanggapi oleh ulama klasik bahwa seorang lakilaki bisa saja sewaktu-waktu menjatuhkan talak pada istrinya. Setelah menjatuhkan talak pada istrinya, kemudian bisa rujuk kembali pada saat iddah istrinya hampir habis, kemudian menjatuhkan talaknya kembali. Sebagian besar ulama klasik menyatakan bahwa talak dapat dilakukan tanpa pemberitahuan dan menjatuhkan talak merupakan hak laki-laki. Wadud memahami ayat ini secara kontekstual historis. Menurut Amina Wadud dalam periode Makkah tidak ada penjelasan dalam Alquran mengenai hakdan kewajiban serta perlakuan khusus pada perempuan. Alquran merespon keadaan tertentu di

jazirah Arab ketika turunnya wahyu dan masalah talak

eksplisit disebutkan dalam Alquran. Ayat ini jazirah Arab abad ke 7 dan

diperuntukkan bagi masyarakat

tentu tidak relevan lagi bagi kaum muslim

kontemporer abad 21 ini. Sehubungan dengan itu, Wadud menggagas reformasi terhadap hukum talak. Ketika Reformasi dilaksanakan pada periode Madinah (reformasi sosial Alquran), reformasi dikenakan pada hukum talak, tapi tidak sepenuhnya diimplementasikan bahkan enggan dilaksanakan. 207 Bukan Amina Wadud saja yang gelisah terhadap ketidakadilan dalam hukum talak, kegelisahan itu juga tampak dalam pemikiran Kecia Ali. Dalam bukunya Sexual Ethics & Islam,Feminist Reflections on Qur‟an, Hadith and Jurisprudence yang terbit tahun 2006, Kecia Ali mengeritik hukum talak. Dalam pandangan Kecia Ali perkawinan itu seharusnya membawa pesan perlindungan terhadap hak- hak perempuan. Hukum keluarga tentang perkawinan dan perceraian sarat akan pengaruh kondisi sosial dan budaya ketika hukum tersebut dibentuk. Pada zaman sebelum Islam datang ke tanah Arab, masyarakat jahiliyah melakukan talak secara sewenang-wenang dengan cara yang merugikan pihak perempuan. Seorang laki-laki bisa saja sewaktu-waktu menjatuhkan talak pada

206 207

Terjemahan Alquran Dep. Agama RI 1971 Wadud Qur’an and Woman hal. 78


122

istrinya. Setelah menjatuhkan talak pada istrinya, kemudian rujuk kembali pada saat iddah istrinya hampir habis, kemudian menjatuhkan talaknya kembali. Hal ini terjadi secara berulang-ulang, sehingga istrinya menjadi terkatung-katung statusnya.208 Menurut Kecia Ali, ketidakadilan dalam hukum talak telah tertanam dalam pernikahan muslim sebagai keseluruhan sistem. Oleh karena itu, hukum talak itu perlu direformasi. Reformasi dilakukan untuk meningkatkan akses perempuan terhadap talak. Beberapa negara mayoritas Islam telah berhasil mereformasi hukum talak dengan memasukkan intervensi hakim dalam masalah perceraianan. Di Iran, diberlakukan sanksi finansial pada suami yang menceraikan istrinya tanpa alasan. Lebih lanjut Kecia Ali mengatakan bahwa hukum talak begitu bermasalah karena merupakan hak yang mengakar dalam perkawinan. Menurut Kecia Ali, ahli hukum klasik menganalogikan

talak dengan

pembebasan. Hak talak yang dimiliki laki-laki berasal dari kontrol yang ekslusif atas ikatan pernikahan, seperti kekuasaan tuan yang memberi kebebasan pada budaknya. Sepertinya, ada pemahaman bersama bahwa suami berlaku seperti tuan dan isteri adalah budak. Norma norma perbudakan terlihat pada batasan batasan ekstrim yang dilekatkan pada seorang istri, misalnya, seorang suami punya hak untuk melarang istri keluar rumah meskipun untuk menghadiri pemakaman orang tuanya, jika seorang istri keluar dari rumah tanpa seijin suami maka itu dapat dianggap nusyuz (memberontak). Oleh karena itu, hukum talak

perlu

direformasi. Kecia Ali menggagas, reformasi hukum talak dilakukan secara mendasar, yaitu reformasi dalam struktur dasar perkawinan itu sendiri karena hukum talak

tertanam dalam hukum perkawinan.209

Sekalipun talak secara

eksplisit disebut dalam Alquran, tetapi ayat-ayat tentang talak ini masih perlu dipertanyakan, apakah penerapannya pada suatu situasi tertentu atau ayat ini dimaksudkan untuk masyarakat abad 7 di jazirah Arab. Kalau ayat tentang talak

208 209

Kecia Ali, Sexual Ethics & Islam , hal 38 Kecia Ali, Sexual Ethics & Islam, hal 36


123

ini diperuntukkan bagi masyarakat jazirah Arab abad ke 7, tentu tidak relevan lagi bagi kaum muslim kontemporer abad 21 ini. Maka itu perlu dilakukan penafsiran ulang terhadap ayat ini, namun masih terdapat pandangan kontroversial di antara pemimpin dan intelektual muslim .210. Dalam hal hukum talak, Musdah Mulia mengemukakan hadis Bukhari yang menyatakan bahwa perempuan memiliki hak untuk menentukan talak. Terjemahan hadis tersebut berbunyi sebagai berikut : Dari Ibnu Abbas berkata: Isteri Tsabit bin Qais datang menghadap Rasulullah dan berkata : Ya Rasulullah, aku tidak menaruh dendam pada Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya kecuali aku takut menjadi kufur. Rasulullah bersabda : apakah sudah engkau kembalikan kebunnya?. Ia menjawab: Ya, kemudian diserahkanlah kebun itu padanya (Tsabit) berserta hak pemeliharaannya. Dan Rasulullah menceraikan keduanya. 211

Terkait soal talak, saya berpandangan bahwa talak merupakan hal yang menyedihkan dalam perkawinan karena memiliki implikasi sosial yang tidak kecil terutama bagi pasangan yang sudah memiliki keturunan. Dalam soal iddah yang merupakan tradisi dalam masyarakat jazirah Arab abad ke 7, tentu tidak relevan lagi bagi kaum muslim kontemporer abad 21 ini. Untuk menunggu pembuktian kehamilan bagi isteri yang ditalak, dapat di lakukan di laboratorium, sehingga perempuan tidak dirugikan karena harus menunggu masa iddah. Gagasan Amina Wadud untuk mereformasi hukum talak perlu diapresiasi agar ketentuan hukum talak tidak merugikan perempuan. 4.5.

Kritik terhadap penafsiran ayat poligami Konsep pernikahan poligami menunjukkan ketergantungan perempuan

kepada laki-laki. Hal ini merupakan tradisi dalam kehidupan masyarakat Arab abad ke 7 yang tidak relevan lagi dengan masa sekarang. Bagi Amina Wadud, 210

211

Kecia Ali, Sexual Ethics & Islam, hal. 37

Musdah Mulia, Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan & Keadilan Gender, hal.148


124

kebolehan poligami hanya bersifat kontekstual tidak universal. Konsep pernikahan ideal dalam Islam adalah monogami. Ayat yang menjadi dasar dari poligami ini adalah Qs. 4/Annisa : 3 yang penafsirannya penuh kontroversial, ada yang menafsirkan sebagai penolakan terhadap poligami dan ada yang menafsirkan mendukung poligami. Redaksi ayat dan terjemahannya berbunyi sebagai berikut.

Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (perempuan) yatim, kawinilah perempuan yang kamu sukai : dua, tiga atau empat. Akan tetapi, jika kamu takut tidak dapat berlaku adil (terhadap mereka), maka seorang saja, untuk mencegahmu dari perbuatan yang tidak adil. 212 Ayat ini diterjemahkan Azizah al-Hibri sebagai berikut: If you fear that you shall not be able to deal justly with the orphans, mary women of your choise, two,three or four; But if you fear that you not be able to deal justly (with them), then only one that which your right hand possesses. That will be make suitable to prevent you from doing injustice.213 Ayat ini diterjemahkan oleh Musdah Mulia sebagai berikut : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua,tiga atau empat. Kemudian, jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, yang demikian itu lebih dekat dengan keadilan.214

212

213

Wadud, Qur’an and Woman, hal. 83.

Hidayatullah, Feminist Edges of The Qur’an, hal. 100 214 Musdah Mulia, Indahnya Islam menyarakan Kesetaraan & Keadilan Gender, hal. 95


125

Poligami tidak bisa dilepas dari konteks situasi yang berkembang di masyarakat Arab abad ke 7 yang merupakan salah satu kebiasaan yang lazim berlaku dalam masyarakat Arab tersebut. Pada waktu itu, posisi laki-laki tinggi setingkat dari perempuan dan ketergantungan perempuan sangat tinggi pada lakilaki. Ketika belum menikah anak perempuan tergantung pada ayahnya dan setelah menikah tergantung pada suaminya. Poligami merupakan warisan budaya zaman jahiliyah dimana, seorang laki-laki dapat menikahi perempuan sebanyak mungkin, bahkan sudah menjadi hal yang biasa seorang anak menikahi bekas isteri ayahnya dan dengan mahar semau laki-laki. Sekalipun Alquran telah melakukan reformasi, tapi poligami tidak dihapuskan hanya dibatasi. Bila dulu seorang suami boleh beristeri sebanyak-banyaknya, Alquran membatasi boleh berpoligami

sampai

dengan empat isteri. Dalam hadis HR Bukhari terdapat penjelasan mengenai poligami yang terjemahannya sebagai berikut : Dari Urwah berkata kepada bibinya Aisyah ra tentang sebab turunnya ayat ini ( al-nisa ayat 3). Lalu Aisyah berkata: Wahai anak saudaraku, ayat ini turun berkenaan dengan anak perempuan yatim yang berada dalam pemeliharan walinya, dan kemudian wali itu berlaku culas dengan mencampurkan harta anak yatim itu dengan hartanya sendiri dengan mengaburkan harta anak yatim tersebut. Kemudian walinya tertarik dengan kecantikan dan harta anak yatim, dan ia ingin mengawininya, tetapi tanpa mau berlaku adil dalam memberikan mahar seperti mahar yang akan diberikan kepada perempuan lainnya. Maka dia dilarang oleh Rasul menikahi anak perempuan yatim kecuali mampu berlaku adil kepadanya dan juga memberikan setinggi-tinginya ketetapan mahar. Jika tidak mampu, maka Allah memerintahkannya untuk menikahi perempuanperempuan yang baik selainnya (agar tidak menzalimi perempuan yatim). 215

Dengan menerapkan metode kontekstualisasi historis, Wadud melihat tiga aspek dalam ayat tersebut. Pertama, persoalan yang dibahas dalam ayat tersebut 215

Musdah Mulia, Indahnya Islam Menyuarkan Kesetaraan & Keadilan Gender, hal. 147


126

adalah anak perempuan yatim Ada kekhawatiran terhadap harta anak perempuan yatim yang diwariskan orang tuanya salah kelola oleh wali anak yatim tersebut. Untuk menjaga harta anak perempuan yatim tersebut, maka solusinya Alquran memperbolehkan mengawini anak yatim tersebut dengan syarat mampu memenuhi tanggungjawabnya terhadap kebutuhan anak yatim tersebut. Dalam konteks ini menurut Wadud kebolehan poligami dalam ayat ini sesungguhnya semata-mata sebagai solusi untuk mencegah penyalahgunaan harta anak yatim oleh walinya yang laki-laki. 216 Kedua yang menjadi perhatian Amina Wadud adalah persoalan keadilan, yaitu adil terhadap anak yatim, adil dalam mengelola hartanya dan adil terhadap isteri. Adil terhadap isteri ada yang mengartikan adil secara materi. Jika seorang suami mampu membagi materi secara adil kepada isteri-isterinya mereka anggap rasa adil telah terpenuhi. Tapi ada yang mengartikan adil secara non materi, seperti kasih sayang, perhatian dan penghargaan. Karena sikap adil dalam pengertian non materi ini sulit dilakukan, maka pernikahan yang ideal menurut Alquran adalah monogami.217 Ketiga, Amina Wadud yakin bahwa tidak ada dukungan langsung dari Alquran terhadap poligami. Pandangan yang membolehkan poligami karena masalah finansial. Karena perempuan tidak bisa memenuhi kebutuhan finansialnya, maka laki-laki boleh beristeri lebih dari satu. Hal ini menurut Wadud, secara eksplisit menunjukkan bahwa kehadiran perempuan merupakan beban finasial, karena perempuan hanya bisa berreproduksi tapi tidak produktif. Dalam kontek ini, Wadud mendialogkan pandangan ini dengan pandangan kontemporer bahwa produktivitas tidak lagi hanya soal finansial, ada faktor-faktor lain yang dapat dilihat sebagai produktivitas. Dalam pandangan Wadud ayat tentang poligami adalah ayat kontekstual, pemahamannya harus dikaitkan dengan situasi dan kondisi ketika ayat diturunkan.

216 217

Wadud , Qur’an and woman, hal 83 Wadud , Qur’an and woman, hal.83


127

Kebolehan poligami adalah salah satu solusi kemasyarakatan pada masyarakat Arab abad ke 7 (masalah anak yatim). Suatu teks yang dikonstruksi untuk suatu kasus tertentu tidak dapat digunakan secara umum dalam segala situasi dan kondisi. Selanjutnya syarat adil dalam poligami sulit dipenuhi, karena adil dalam perkawinan bukan hanya masalah finansial tapi kasih sayang, perhatian dan penghormatan yang sulit dibagi secara adil terhadap pribadi-pribadi (isteri-isteri). Maka itu, Wadud berpendapat bahwa perkawinan ideal dalam Islam adalah monogami. Penolakan terhadap pernikahan poligami dapat pula dibaca dari pemikiran Musdah Mulia yang dengan tegas mengatakan bahwa poligami telah menafikan kemanusiaan perempuan. Perempuan tidak dianggap sebagai manusia utuh dengan segenap potensi kemanusiaannya, tapi dianggap seperti barang yang bisa diperlakukan seenaknya.218 Sejauh informasi yang penulis ketahui, dalam lingkungan hidup yang penuh tuntutan keadilan gender seperti sekarang ini, tuntutan penghapusan poligami merupakan tuntutan yang serius. Di Negara-negara Islam seperti Tunisia, Siria,

Turki, Mesir dan lainnya telah melakukan reformasi terhadap hukum

poligami. Tunisia menjadi negara Arab pertama yang melarang poligami dan memandang poligami sebagai tindakan kriminal.219

Berkaitan dengan

kriminalisasi poligami di Tunisia, UU Tunisia menyatakan: 1. Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya . 2. Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak

218 219

Musdah Mulia, Muslimah Sejati , hal.208 http://my-dock.blogspot.com/#ixzz3WGGQ1AFO


128

pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama. 3. Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang sama. Di Indonesia pemikiran mengenai reformasi hukum keluarga, terutama mengenai konsep nikah dan poligami pernah dicanangkan tim gender streaming Departemen Agama Republik Indonesia pada tahun 2004 yang diketuai oleh Dr. Musdah Mulia, tapi hal ini menuai kontroversi, sehingga dibatalkan. Hal ini mengingatkan kita pada wacana Rencana Undang-Undang tentang Kesetaran dan Keadilan gender di DPR-RI (2012) seperti yang telah disampaikan di awal disertasi ini, juga menuai kontroversi dan hingga sekarang masih belum resmi dinyatakan sebagai sebuah Rencana Undang-Undang inisiatif DPR-RI. Dengan uraian di atas, apa yang dikemukakan Amina Wadud mengenai soal poligami adalah realistis dan rasional. Menolak poligami dan memposisikan monogami sebagai perkawinan ideal dalam Islam sesuai nalar zaman ini. .Alasan mengelola harta anak yatim tidak perlu dengan mengawininya, banyak cara untuk mengatasi persoalan sosial ini. Kesimpulan Wadud adalah menolak poligami. dan perkawinan ideal dalam Islam adalah monogami. Menurut Wadud, poligami hanya untuk pemenuhan kebutuhan seksual laki-laki. Bila satu isteri tidak dapat memenuhi kebutuhan seksualnya, maka dapat mengambil isteri hingga empat orang. Hal ini adalah perbuatan yang tidak qur’ani tapi mendukung nafsu tidak terkendali. Alasan seperti itu sangat tidak pantas dikemukakan oleh seorang lakilaki (suami) karena menunjukkan rendahnya kualitas iman mereka, padahal Alquran senantiasa menganjurkan agar setiap orang mampu mengendalikan hawa nafsunya.1 Saya berpandangan bahwa penolakan terhadap sistem perkawinan poligami perlu disosialiasikan dan diperjuangkan melalui jalan hukum, agar dapat


129

membebaskan perempuan dari poligami. Dalam kaca mata perempuan kontemporer, poligami dilihat sebagai sikap zolim terhadap perempuan. 4.6.

Kritik terhadap penafsiran ayat waris Persoalan pembagian waris mendapat kritikan yang tajam dari Amina

Wadud. Alasannya, rumusan dalam hukum waris mengandung unsur ketidakadilan terhadap perempuan, dimana warisan untuk anak perempuan setengah dari anak laki-laki. Model pembagian waris 2:1 untuk anak laki-laki dan perempuan adalah pembagian waris yang tidak adil. Pembagian waris harus adil, ukuran adil adalah memberi manfaat bagi orang-oranng yang ditinggalkan. Ketetapan menyeluruh dari Alquran, perlu memperhatikan rincian-rinciannya agar dapat membawa kepada pembagian harta warisan sesuai keadaan ahli warisnya dan dapat memberi manfaat.220 Ayat Alquran yang dijadikan dasar terhadap pembagian waris ini adalah Qs. 4/Annisa :11. Redaksi ayat dan terjemahannya berbunyi sebagai berikut.

Allah mensyari’atkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu ,yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta.221

220 221

Wadud, Qur’an and Woman, hal. 88 Tejemahan Alquran Dep. Agama RI 1971


130

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai berikut. Allah memerintahkan kalian untuk berbuat adil. Karena dahulu orang-orang jahiliyah memberikan seluruh harta warisan hanya pada anak laki-laki tidak untuk perempuan. Maka Allah memerintahkan kesamaan diantara mereka mengenai hukum waris dan membedakan bagian keduanya, dimana bagian laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan. Alasannya adalah laki-laki membutuhkan pemenuhan tanggungjawab nafkah, kebutuhan, serta beban perdagangan, usaha dan resiko tanggungjawab, maka sesuai sekali jika ia diberikan dua kali lipat daripada yang diberikan pada perempuan.222 Amina Wadud menolak model pembagian warisan 2 :1 untuk anak lakilaki dan perempuan, yang berarti warisan untuk anak perempuan setengah dari anak laki-laki. Dalam pandangan Amina Wadud, tidak ada alasan mendasar mengenai pembagian seperti ini, baik secara sosiologis dan historis. Pandangan ini berasal dari produk

tafsir yang menampilkan wacana patriarkal dengan

menunjukkan superioritas laki-laki terhadap perempuan. Pertanyaan hukum mengenai waris adalah, kenapa warisan untuk anak perempuan setengah dari warisan untuk anak laki-laki. Dengan melihat konteks historis, Wadud

membahas penafsiran ayat

tentang waris ini. Ayat ini turun dalam rangka menata hukum warisan yang lebih adil. Pada zaman Arab Abad ke 7, perempuan sama sekali tidak mendapat hak waris. Sistem kekerabatan Arab abad ke 7, anak dihitung dari garis keturunan bapak dan

perempuan dipandang hanya sebagai alat reproduksi. Bila anak

perempuan diberi warisan, maka harta akan berpindah kepada keluarga laki-laki lain, yaitu suami dari anak perempuan. Oleh karena itu, dalam sistem kekerabatan Arab kuno ini, anak perempuan tidak mendapat hak waris. Perempuan tidak memiliki hak waris dalam masyarakat Arab kuno berakar dari pandangan bahwa perempuan lemah dalam aksi bela diri dan harus dilindungi. Perempuan. dipandang sebagai anak yang belum dewasa, sehingga tidak mendapat status sebagai orang yang memiliki hak. Dalam Arab kuno basis pilihan masyarakatnya 222

Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, hal. 311


131

adalah heroisme dan kegagahan dalam pertempuran. Perempuan dipandang lemah dan tidak punya partisipasi dalam masyarakat, sehingga padanya tidak diberikan hak waris.223 Ketika Islam datang anak perempuan mendapat hak waris tapi setengah dari anak laki-laki atau anak laki-laki mendapat warisan dua warisan saudara perempuannya. Al-Razi (muffasir klasik) telah menganalisis kenapa pembagian waris 2:1 untuk laki-laki dan perempuan. Al-Razi menjelaskan bahwa perempuan tidak mendapat pembagian yang sama dengan laki-laki, karena kebutuhan perempuan dipenuhi oleh suaminya, laki-laki lebih sempurna secara intelektual dari perempuan dan laki-laki dengan kesempurnaan akalnya akan dapat mengelola harta warisan untuk hal-hal yang bermanfaat.224 Wadud menolak pembagian warisan menurut dengan model 2: 1 untuk anak laki-laki dan perempuan. Dewasa ini dalam masyarakat kontemporer dimana tugas dan peran yang dimainkan oleh laki-laki dan perempuan boleh dikatakan sudah sama, maka pembagian waris dengan model 2:1 telah dipandang sebagai pembagian yang tidak adil. Penafsiran ayat waris ini harus dilakukan secara kontekstual dan perlu didialogkan dengan kondisi masyarakat kontemporer. Jika waktu turunnya ayat ini dalam masyarakat Arab abad ke 7, laki-laki pencari nafkah sedangkan perempuan menjadi tanggungan laki-laki baik ayah atau suaminya, maka pembagian 2 :1 untuk laki-laki dan perempuan dapat diterima sebagai hal yang wajar. Tetapi dalam masyarakat kontemporer dimana perempuan ikut mencari nafkah, maka pembagian warisan 2:1 terlihat tidak adil. Karena dalam hal tanggungjawab terhadap orang tua, baik bapak atau ibu membutuhkan perhatian baik dari anak laki-laki dan anak perempuannya. Bila anak perempuan harus menanggung beban biaya hidup orang tuanya, maka pembagian warisan tidak bisa 2:1. Maka itu, perlu dilakukan modifikasi terhadap model pembagian

223 224

Muthahhari Murthada, Perempuan dan hak-haknya dalam Islam, hal 213. Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme, hal. 250


132

warisan. Pembagian warisan harus berdasarkan pada asas adil dan ukuran adil adalah memberi manfaat bagi orang-orang yang ditinggalkan.225 Uraian di atas menekankan bahwa ayat mengenai pembagian warisan harus dipahami secara kontekstual. Wadud tidak setuju jika ayat waris dipahami secara kaku bahwa pembagian antara anak laki-laki dan perempuan berbanding 2 :1 dalam setiap kondisi karena konteks masa nabi dan masa sekarang berbeda. Turunnya wahyu mengenai waris dapat dilihat sebagai inspirasi bahwa perempuan itu harus memiliki hak waris, bukan menjadi barang yang bisa diwariskan. Karena itu, akan lebih sempurna, jika hak waris perempuan itu sama dengan lelaki sesuai dengan perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat dan keluarga dalam era kontemporer ini. Kesimpulan Wadud adalah model pembagian warisan 2 :1 untuk anak laki-laki dan perempuan adalah model yang tidak adil. Pembagaian warisan harus menganut asas keadilan

dan bermanfaat bagi keluarga yang

ditinggalkan. Memahami uraian di atas, saya berpandangan bahwa pembagian warisan menurut Islam harus disesuaikan kondisi masyarakat kontemporer. Bila masyarakatnya telah maju, tapi tafsir Alquran sebagai pedoman tidak maju-maju, maka terjadi ketimpangan antara ajaran dan praktek sosial. Dewasa ini sudah terlihat tidak adil, bila anak laki-laki mendapat hak waris dua kali warisan anak perempuan. Hal ini tidak saja menonjolkan superioritas laki-laki atas perempuan, tapi juga menempatkan perempuan pada posisi lemah finansial. Peran perempuan dan laki-laki dewasa ini hampir sama, maka persepsi tentang perempuan harus diubah. Di Indonesia dapat terbaca nama-nama Mukti Ali, Harun Nasution, Nurcholis Madjid, dan Munawir Syadzali sebagai tokoh reformis nasional. Sosok Munawir Syadzali dikenal sangat kuat mendorong komunitas Islam untuk melakukan ijtihad secara jujur dan berani, terutama soal hukum waris. Syadzali

225

Wadud, Qur’an and woman hal. 87


133

terkenal dengan gagasannya tentang perlunya mengubah hukum waris, terutama mengenai pembagian yang lebih adil dan proporsional bagi (anak-anak) perempuan. 4.7.

Kritik terhadap penafsiran ayat saksi Nilai kesaksian perempuan dipandang kurang bobotnya dari kesaksian

laki-laki, karena dalam persaksian diperlukan dua saksi perempuan, sementara saksi laki-laki hanya satu orang. Amina Wadud mengeritik pemahaman terhadap hukum saksi ini. Pertanyaan hukum dalam konsep saksi adalah kenapa diperlukan dua orang saksi perempuan, sementara saksi laki-laki cukup satu. Jawaban dari pertanyaan ini sangat mengusik harga diri perempuan, yaitu perempuan dangkal kecerdasannya dan mudah lupa sehingga perlu dua orang saksi. Hal ini berarti bahwa kualitas satu orang saksi laki-laki sama dengan dua rang saksi perempuan. Amina Wadud menolak kualitas satu orang saksi laki-laki sama dengan dua perempuan. Secara bahasa tidak ada penegasan bahwa dua orang perempuan itu diangkat menjadi saksi. Sekalipun ada dua saksi perempuan, yang bersaksi hanyalah satu orang dan yang lainnya berfungsi untuk mengingatkan.226 Konsep kesaksian ini tidak bisa dilepaskan dari ayat Qs 2 : 282 yang redaksi ayat dan terjemahannya berbunyi sebagai berikut.

226

Wadud, Qur’an and woman, hal 85.


134

Hai orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakan (apa yang ditulis itu) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah dia mengurangi sedikitpun dari hutang. Jika berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau ia sediri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh ) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.227 Ada penafsiran yang bervariasi mengenai ayat tentang kesaksian yang disebutkan di atas. Ada yang memaknai kata min rijalikum dalam ayat ini sebagai kata yang netral gender, tapi ada yang memaknai kata ini sebagai status sosial yaitu, orang yang merdeka bukan budak. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa jika tidak ada dua orang laki-laki untuk menjadi saksi, boleh seorang laki227

Terjemahan Alquran Dep. Agama RI 1971


135

laki dan dua orang perempuan. Hal ini hanya berlaku pada perkara yang menyangkut

harta

dan

segala

yang

diperhitungkan

sebagai

kekayaan.

Ditempatkannya dua orang perempuan menduduki kedudukan seorang laki-laki didasarkan pada kurangnya akal perempuan, jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkan. 228 Menurut Wadud pembicaraan saksi dalam ayat ini adalah spesifik untuk perjanjian finansial. Ayat ini tidak dimasudkan untuk diberlakukan secara umum. Ketika Alquran tetidak menetapkan gender dalam hal saksi ,penafsiran patriarki menyimpulkannya sebagai saksi laki-laki semata. Dengan demikian formula kesaksian 2 : 1 untuk perempuan dan laki-laki adalah formula yang tidak umum tidak bisa digeneralisasi. Ayat ini sangat kontekstual, yaitu untuk pejanjian finansial tidak berlaku sebagai peraturan umum. Amina Wadud mengeritik penafsiran ayat kesaksian ini. Dia secara tegas mengatakan bahwa ketentuan untuk saksi finansial tidak diterapkan pada kesaksian-kesaksian lainnya. Pembicaraan saksi dalam ayat ini tidak dimaksudkan untuk berlaku umum. Tidak pantas ayat yang bersifat khusus dan kondisional diberlakukan sebagai ayat universal, berlaku umum. Permintaan untuk menjadi saksi tidak untuk gender tertentu. Kebutuhan akan saksi sangat berkaitan dengan kemampuan dan kejujuran seorang, tidak ada batasan gender untuk menjadi saksi. 229 Wadud mensetir Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa kesaksian perempuan dipandang lebih rendah bobotnya dari kesaksian laki-laki karena daya ingat perempuan yang lemah mengenai persoalan finansial. Perempuan. Ketika pengetahuan perempuan mengenai finansial sudah meningkat, maka bobot kesaksian perempuan setara dengan kesaksian laki-laki. Lagi pula, satu saksi lakilaki ditambah dua saksi perempuan sebagai satu kesatuan, tidak sama dengan formula dua untuk satu, atau menjadi empat saksi perempuan. Alquran tidak memberikan alternative seperti ini. Meskipun ada keterbatasan sosial, pada masa

228 229

Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3 hal. 566 Wadud, Quran and Woman, hal. 85


136

turunnya wahyu, perempuan dianggap dapat menjadi saksi sekalipun tidak berpengalaman dan adanya pemaksaan terhadap perempuan.230 Memahami penafsiran mengenai ayat kesaksian di atas, terlihat bahwa penafsiran ini bersifat diskriminatif berbasis gender. Pemahaman seperti ini memang tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya yang berkembang ketika ayat ini turun. Ayat tentang hukum saksi ini dimaksudkan untuk diterapkan dalam masyarakat Arab abad ke 7, dimana perempuan memiliki hambatan sosial terutama dalam bidang finansial dan pengalaman, sehingga persaksian yang bersifat finansial tidak dikuasainya. Salah satu kelemahan perempuan yang disebutkan dalam hukum kesaksian ini adalah perempuan lalai dan lupa. Dengan demikian dapat diduga bahwa ayat tentang kesaksian ini merupakan respon terhadap kondisi kaum perempuan dalam masyarakat Arab abad ke 7. Nalar masyarakat Arab abad ke 7 dengan masyarakat kontemporer sangat berbeda, maka itu hukum ini harus direformasi. Dewasa ini, potensi kaum perempuan telah meningkat dan seyogyanya mendapat tempat yang lebih baik dari masa sebelumnya. Perempuan memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk berperan dalam sistem sosial dan kemasyarakatan, maka seiring dengan itu seharusnya diskriminasi terhadap perempuan dalam soal persaksian harus dihilangkan. Mengenai tidak ada batasan gender dalam soal persaksian, dapat dibaca dari hadis HR Muslim yang terjemahannya sebagai berikut. Dari Zaid bin Khalid al-Juhainy seseungguhnya Rasulullah bersabda: Maukah kalian aku beritahukan tentang sebaik-baiknya saksi? Yaitu orang-orang yang datang menjadi saksi sebelum diminta memberikan kesaksian. 231 Dari uraian mengenai persaksian perempuan, maka dapat disimpulkan bahwa soal kesaksian tidak ada batasan gender. Ayat ini telah boleh digeneralisasi karena ayat ini hanya untuk satu persoalan tertentu. Ayat ini turun semata-mata

230

231


Musdah Mulai, Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan & Keadilan Gender, hal. 168.


137

berkaitan dengan soal kesaksian tidak ada alasan untuk memahaminya secara general. Tapi dalam penafsiran klasik yang kental dengan tradisi patriarki, ayat tersebut ditafsirkan secara eksklusif dimana nilai kesaksian laki-laki lebih tinggi dari perempuan dan kandungan ayat ini digeneralisasi secara luas. Dalam persoalan saksi ini, Wadud berkesimpulan bahwa tidak ada satu dalilpun yang mengatakan bahwa kesaksian laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Keterangan ayat ini bersifat kontekstual tidak dapat dipandang sebagi universal. Dalam konteks ini, saya berpandangan bahwa dalam era kontemporer ini perempuan merupakan saksi potensial dan persaksian perempuan yang tidak setara dengan laki-laki harus ditolak karena nilai kesaksian perempuan adalah sama dengan laki-laki. Hal ini tentu didasarkan pada prinsip Alquran bahwa tidak ada perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan dan tidak ada kelebihankelebihan khusus yang diberikan pada salah satu gender. Karena ayat-ayat gender dalam Alquran ditafsirkan secara bias yang memberi pemahaman bahwa perempuan inferior dan laki-laki superior, maka dominasi laki-laki terhadap perempuan terus dilegitimasi secara legal, termasuk dalam hukum saksi. Sesungguhnya dalam pemikiran Islam kontemporer telah banyak muncul gagasan untuk mereformasi hukum keluarga (hukum talak,poligami, waris dan saksi) tapi kebanyakan masyarakat muslim masih terikat oleh ajaran agama masa lalu, sehingga reformasi terhadap hukum keluarga sering terhambat. Meskipun diakui ada fleksibilitas dari hukum Islam, tapi ada keengganan untuk menyingung hukum keluarga karena masih banyak pandangan yang kontroversial mengenai hal ini. Dengan pembicaraan yang terus menerus mengenai hal ini, maka diharapkan ahli fqih dapat merubah formulasi hukum keluarga. 4.8.

Rangkuman Uraian di atas membuktikan bahwa hermeneutika feminisme dapat

membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran dan mereinterpretasi ayatayat gender, khususnya terhadap enam ayat gender yang meliputi ayat penciptaan dan kepemimpinan perempuan, ayat talak, poligami, saksi dan waris.


138

Berkaitan dengan ayat penciptaan (Qs. Annisa/4:1)

Amina Wadud

menolak pandangan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki karena hal ini merendahkan martabat perempuan dan memberi implikasi bahwa, perempuan adalah mahluk yang secara ontologis sekunder. Dengan pembacaan intertekstual Wadud membuktikan bahwa Alquran tidak membedakan penciptaan antara laki-laki dan perempuan. Kejadian perempuan dan laki-laki adalah sama, yaitu sama-sama berasal dari nafs wahidah yaitu roh yang sama dan merupakan bagian dari suatu sistem kesatuan yang berpasangan untuk menjadi khalifah filardh dan sama-sama bertangungjawab terhadap tugas kekhalifahan itu. Kesimpulan Wadud: Alquran tidak membedakan penciptaan antara laki-laki dan perempuan. Alquran menyatakan bahwa manusia diciptakan berpasangan (dualisme penciptaan). Berkaitan dengan ayat kepemimpinan, Amina Wadud menolak penafsiran ayat kepemimpinan (Qs. 4/Annisa:34), bahwa laki-laki pemimpin atas perempuan. Wadud menganalisis konsep Qawwamuuna, nusyuz dan Qanitat serta melihat korelasi antar konsep-konsep tersebut. Dalam konsep Qawwamuuna, laki-laki pemimpin atas perempuan ada syaratnya dan ditujukan untuk kepemimpinan rumaha tangga. Bila suami tidak mampu menafkahi dan melindingi isterinya, maka laki-laki tidak menjadi pemimpin atas. Perempuan. Hal ini didukung oleh konsep nusyuz yang memiliki lapisan makna dan makna yang telah digunakan oleh muffasir klasik adalah makna yang merugikan perempuan. Kesimpulan Wadud: siapa saja bisa menjadi pemimpin asal memiliki kemampuan, larangan terhadap perempuan untuk menjadi tidak ada landasan yang jelas dan tidak ada satu ayatpun dalam Alquran yang melarang perempuan untuk menjadi pemimpin. Bagi Wadud kepemimpinan itu bersifat fungsional bukan fisikal-material. Berkaitan dengan ayat tentang talak, poligami, waris dan saksi, Wadud mempertanyakan landasan dari penafsiran ayat-ayat ini dan keberadaan hukumhukum tersebut tidak bisa lepas dari konteks situasi yang berkembang di masyarakat Arab abad ke 7 yang tidak mungkin lagi diterapkan dalam situasi


139

sekarang. Kesimpulan wadud: Ketentuan talak menyengsarakan perempuan, poligami dapat dilihat sebagai kezoliman terhadap perempuan, konsep pernikahan ideal dalam Islam adalah monogami. Pembagian warisan 2:1 untuk laki-laki dan perempuan merupakan pembagian yang tidak adil. Pembagian waris harus menganut asas keadilan dan manfaat bagi keluarga yang ditinggalkan. Ketentuan mengenai nilai kesaksian perempuan tidak memiliki landasan yang jelas, tidak ada satu dalil Alquran yang mengatakan bahwa nilai kesaksian perempuan dibawah laki-laki. Akhirnya dapat dikatakan bahwa hermeneutika feminisme Wadud dapat digunakan untuk membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran dan mengontruksi tafsir baru yang berkeadilan gender. Menerapkan hermeneutika feminisme pada penafsiran ayat mengenai penciptaan manusia, pesan moral dan kepedulian Alquran ditemukan bukti-bukti bahwa Alquran menjamin kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan Tuhan, perempuan dan laki-laki adalah setara dengan relasi gender yang saling melindungi dan memelihara antar satu dengan lainnya. Alquran tidak memposisikan derajat perempuan dibawah laki-laki, mereka diciptakan sebagai makhluk yang setara, maka itu,harus saling menghormati, tidak boleh gender yang satu menindas yang lainnya. Kehadiran hrmeneutika feminisme telah mengisi kekosongan hermeneutika yang berpihak pada keadilan gender. Penggunaan hermeneutika bagi penafsiran Alquran telah memberi inspirasi bagi intelektual feminis Islam untuk membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran dan melakukan penafsiran ulang ayat-ayat gender yang selama ini telah ditafsirkan secara diskriminatif. Tidak ada finalitas dalam penafsiran Alquran, maka itu Alquran harus ditafsirkan terus menerus.


140

APLIKASI HERMENEUTIKA FEMINISME PADA PENAFSIRAN AYAT-AYAT GENDER DALAM ALQURAN

no

1

2

Tema

Tafsir Klasik

Qs. Annisa/4 :1 Manusia pertama tentang yang diciptakan penciptaan Tuhan adalah manusia Adam, selanjut nya diciptakan Hawa isteri Adam dari tulang rusuk Adam.

Qs. Annisa/4:34 tentang Kepemimpinan laki-laki atas Perempuan

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Allah telah memberikan berbagai kelebihan pada laki-laki. Laki-laki lebih utama dan lebih baik dari perempuan bila menjadi pemimpin

Tafsir Amina Wadud Alquran tidak membedakan penciptaan antara laki-laki dan perempuan dan Alquran menyatakan bahwa manusia diciptakan berpasangan dan diberkati dengan potensi yang sama atau sederajat. Isu tulang rusuk merupakan penafsiran yang keliru

Aplikasi Hermeneutika Feminisme Penerapan metode intratekstual: melakukan analisis linguistik terhadap kata-kata kunci : ayat,nafs, min dan zawj. Hasil analisis membuktikan bahwa tidak ada perbedaan penciptaan laki-laki dan perempuan. Pernerapan paradigma Tauhid: Dengan pengakuan terhadap Keesaan Allah dan Allah Yang Maha Tinggi, maka manusia ciptaan-Nya adalah setara. Konstruksi hirarkhis dalam Kehidupan masyarakat adalah logika Iblis. Arogansi yang menganggap diri atau kelompok lebih tinggi derajatnya dari yang lain adalah perbuatan syirik

Tidak ada larangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin.

Penerapan kontekstualisasi historis : Ayat ini menguraikan situasi sosial ekonomi tertentu dimana seorang suami adalah pemberi nafkah bagi isteri dan anaKepemimpinan anaknya. bila perempuan tidak bersifat fungsional, bukan lagi tergantung secara ekonomi dan keamanan pada laki-laki, fisikal material. maka laki-laki bukan pemimpin Tuntutan atas perempuan. ketaatan pada pada perempuan Ayat yang digunakan dalam sering ditafsirkan konteks keluarga, kemudian dalam bentuk diperluas dan dinyatakan sebagai pembatasan prinsip universal, bahkan gerak perempuan perempuan dilarang menjadi dalam pemimpin di ruang publik. masyarakat


141

3

1 4

5

Qs.Al-Baqarah/ 2 Talak merupakan hak pregrogatif : 228 tentang laki-laki. laki-laki talak bisa menjatuhkan talak secara sepihak tanpa memberitahu isterinya. Setelah menjatuhkan talak bisa rujuk kembali pada saat iddah isterinya hampir habis, kemudian dapat menjatuhkan talak kembali.

Menjatuhkan talak sewenangwenang adalah tidak adil. Tidak ada petunjuk Alquran bahwa wewenang menjatuhkan talak tidak ada pada perempuan.

Penerapan kontekstualisasi historis : Ayat ini dimaksudkan untuk masyarakat abad 7 di jazirah Arab dimana perempuan dipandang rendah dan diperlakukan secara sewenangwenang. Kalau ayat tentang talak ini diperuntukkan bagi masyarakat jazirah Arab abad ke 7, tentu tidak relevan lagi bagi kaum muslim kontemporer abad 21 ini.

Qs. Annisa/4 : 3 Seorang suami boleh tentang poligami berlpoligami sampai empat isteri.

Kebolehan poligami hanya bersifat kontekstual tidak universal. Perkawinan ideal dalam Islam adalah monogamy

Penerapan kontekstualisasi historis Tradisi dalam masyarakat Arab abad ke 7 , seorang laki-laki boleh beristeri sebanyak-banyaknya. Islam datang, laki-laki boleh berpoligami tapi dibatasi hingga empat isteri. Perkembangan selanjutnya tentu perkawinan monogami.

Pembagian warisan dengan pola 2 :1 untuk anak laki-laki dan perempuan adalah model p Pembagian yang tidak adil. Pembagian warisan harus menganut asas kemanfaatan bagi keluarga yang ditinggalkan

Penerapan konstekstualisasi historis: zaman Arab Abad ke 7, perempuan sama sekali tidak mendapat hak waris. Sistem kekerabatan Arab abad ke 7, anak dihitung dari garis keturunan bapak dan anak perempuan tidak mendapat hakwaris. Islam datang, perempuan diberi hak waris setengah dari laki-laki. Dengan perubahan secara bertahap, maka idealnya pembagian warisan sama banyak anak lakilaki dan perempuan.

Qs. Annisa/4 tentang pembagian warisan

Qs. Waris untuk anak laki-laki duakali :11 warisan untuk Anak perempuan. Alasannya, lakilaki harus bertanggungjawa b terhadap nafkah keluarganya,.


142

6

Qs.

Qs.

Al-

Baqarah/ 2 : 228 tentang kesaksian

Saksi perempuan harus dua orang, sementara untuk laki- laki cukup satu orang.Nilai kesakasian lakilaki lebih tinggi dari perempuan

Tidak ada satu dalilpun yang menyatakan bahwa nilai kesakasian perempuan dibawah lakilaki.Keterangan ayat ini bersifat kontekstual tidak dapat dilihat secara universal

Penerapan konstekstualisasi historis Ayat ini turun sematamata berkaitan dengan soal kesaksian tidak ada alasan untuk memahaminya secara general. Tapi dalam penafsiran klasik yang kental dengan tradisi patriarki ayat tersebut ditafsirkan secara eksklusif dimana nilai kesaksian laki-laki dipandang lebih tinggi dari perempuan dan kandungan ayat ini digeneralisasi secara luas.


143

BAB 5 PENUTUP

5.1.

Pengantar Berdasarkan judul disertasi: “Hermeneutika Feminisme menuju Tafsir

Alquran Berkeadilan Gender (Refleksi filosofis terhadap Pemikiran Amina Wadud), penelitian ini merupakan kajian hermeneutika feminisme dalam pemikiran Amina Wadud dengan tujuan untuk memformulsikan model hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran. Untuk memformulasikan model hermeneutika feminisme Wadud, mau tidak mau harus mengikuti alur pemikiran tokoh ini, mulai dari pengalamannya yang banyak terlibat dengan persoalan gender dan feminisme, gagasan-gagasannya mengenai hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran dan cara kerjanya dalam usaha meluruskan makna substansial dari penafsiran ayat-ayat gender dalam Alquran. Dalam penelitian ini permasalahan yang telah diuraikan: Pertama, menjelaskan latarbelakang intelektual dan perjuangan Wadud serta pengaruh feminisme terhadap Wadud. Kedua, hermenetika feminisme dalam pemikiran Amina Wadud. Ketiga, aplikasi hermeneutika feminisme Wadud dalam ayat-ayat gender dalam Alquran. Bab Penutup ini berisikan kesimpulan penelitian, respons terhadap pemikiran Amina Wadud dan rekomendasi. 5.2.

Kesimpulan Penelitian Hermeneutika feminisme Wadud berangkat dari pemikirannya mengenai

feminisme dan gagasannya mengenai hermeneutika feminisme bagi Alquran. Feminisme sangat kuat mempengaruhi pemikiran Amina Wadud. Hal ini terlihat dari pengalamannya yang banyak terlibat dengan persoalan gender dan feminisme serta karya-karyanya yang bermuatan materi kesetaraan dan keadilan gender. Pemikiran feminisme Wadud berfokus pada masalah eksistensi, hak-hak dan peran perempuan. Perspektif Wadud melihat masalah di atas menunjukkan bahwa


144

Wadud menerima perspektif feminisme liberal dan eksistensialis. Wadud berjuang untuk menghapus paham seksisme (paham yang membenci perempuan) melalui perjuangan menjadi imam perempuan, maka pemikiran Wadud dapat dilihat sebagai pemikiran feminisme radikal. Feminisme liberal menuntut penghapusan peran berdasarkan gender dan menuntut hak-hak perempuan, feminisme eksistensial

menuntut kesamaan status ontologi laki-laki dan

perempuan dan feminisme radikal menuntut penghapusan seksisme. Teori-teori feminisme ini menjadi bingkai hermeneutika feminisme Wadud. Gagasan Wadud mengenai hermeneutika feminisme bagi Alquran, dapat disimak dari pandangannya terhadap tafsir klasik dan gagasannya mengenai aspek, kategori penafsiran Alquran serta domain analisis sebagai cara kerjanya. Wadud berpandangan bahwa metode tafsir klasik bercorak atomistik sehingga melahirkan penafsiran yang terbatas. Wadud menggagas penafsiran Alquran yang bercorak holistik yaitu mempertimbangkan berbagai metode tafsir tentang berbagai persoalan sosial, ekonomi, politik berdasarkan pengalaman perempuan serta memperhatikan tiga aspek dalam penafsiran yaitu: aspek konteks, gramatika bahasa dan wellstanschauung Alquran. Prinsip hermeneutika feminisme Wadud mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender dan menolak sistem patriarki dalam penafsiran. Hermeneutika feminisme Wadud mengandung lima unsur penting yaitu: Pertama, pengalaman/pandangan perempuan sebagai prior text. Langkah awal pendekatan terhadap sebuah teks dimulai dengan prior text. yang salah satu prior text bagi Wadud adalah pengalaman perempuan. Dengan demikian, pengalaman perempuan merupakan variabel penting yang tidak dapat diabaikan dalam penafsiran. Bila variabel ini diabaikan akan terjadi kekurangan dalam interpretasi. Kedua, kerangka pemikiran feminisme. yaitu menempatkan teori-teori feminisme sebagai

bingkai

bangunan

hermeneutika

feminisme.

Ketiga,

penerapan

kontekstualisasi historis yaitu memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya ayat atau wahyu (asbab al-nuzul) dan berusaha menangkap makna orisinil dari ayat-ayat tersebut dan menemukan ajaran universal Alquran yang melandasi berbagai perintah normatif Alquran. Keempat penerapan metode intratekstual, yaitu membaca Alquran secara keseluruhan, tidak ayat per ayat dengan


145

melacak bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh ayat, membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama. Makna ditarik dari keseluruhan teks dengan mengacu kepada prinsip Alquran yaitu keadilan untuk semua manusia. Kelima, paradigma tauhid, yaitu pengakuan akan keesaan Tuhan, menegaskan kesatuan ayat-

ayat Alquran secara keseluruhan, menjelaskan dinamika antara hal-hal yang universal dan partikular. Esensi tauhid mengadvokasi hak asasi manusia perempuan dan mereformasi semua kebijakan yang mencegah kesetaraan gender. Wadud mengaplikasikan hermeneutika feminisme dalam penafsiran enam ayat gender dalam Alquran yang meliputi: 1.

Qs.Annisa/4 :1 tentang Penciptaan

2.

Qs. Annisa/4 : 34 tentang Kepemimpinan

3.

Qs. Al-Baqarah/ 2 : 228 tentang talak

4.

Qs. Annisa/4 :3 tentang poligami

5.

Qs. Annisa/4 :11 tentang pembagian warisan

6.

Qs. Al-Baqarah/ 2 : 282 tentang kesaksian Berkaitan dengan penafsiran Qs.Annisa/4 :1 tentang Penciptaan manusia,

Wadud menolak penafsiran klasik yang mengatakan perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Wadud membuktikan bahwa Alquran tidak membedakan penciptaan antara laki-laki dan perempuan, manusia diciptakan berpasangan (dualisme penciptaan). Berkaitan dengan penafsiran Qs. Annisa/4 : 34 tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan, Wadud mengatakan bahwa tidak ada satu ayatpun dalam Alquran yang melarang perempuan menjadi pemimpin. Siapa saja boleh menjadi pemimpin asal memiliki kemampuan. Untuk menunjukkan kesetaraan dalam kepemimpinan, Wadud berjuang menjadi imam perempuan. Berkaitan dengan penafsiran Qs. Al-Baqarah/ 2 : 228

tentang talak,

Wadud berpandangan bahwa penafsiran ayat ini yang telah dikodifikasi menjadi hukum talak bersifat diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan Laki-laki memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan talak secara sepihak. Hal ini menunjukkan


146

derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Wadud mengggas agar hukum talak direformasi. Berkaitan dengan penafsiran Qs. Annisa/4 :3

tentang poligami, Wadud

berpandangan bahwa kebolehan poligami bersifat kontekstual dan perkawinan ideal dalam Islam adalah monogami. Berkaitan dengan penafsiran Qs. Annisa/4 :11 tentang pembagian waris, Wadud berpandangan bahwa pembagian warisan harus menganut asas keadilan dan manfaat bagi keluarga yang ditinggalkan baik laki-laki maupun perempuan. Pembagian warisan dengan model

2 :1 untuk anak laki-laki dan perempuan

dipandang tidak adil. Pembagian waris harus sama antara anak laki-laki dan perempuan. Berkaitan dengan penafsiran Qs. Al-Baqarah/ 2 : 282 tentang kesaksian perempuan, Wadud berpendapat bahwa nilai kesaksian perempuan dan laki-laki adalah sama, tidak satupun dalil Alquran menyatakan bahwa nilai kesaksian perempuan dibawah laki-laki. Keterangan dalam ayat mengenai saksi hanyalah bersifat kontekstual tidak bisa diberlakukan secara universal. Nilai kesaksian bersifat kultural, kultur berubah, maka nilai kesaksian juga berubah. Hermeneutika feminisme berpihak kepada keadilan gender dapat dimanfaatkan untuk membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran dan mengontruksi tafsir baru yang berkeadilan gender. Formulasi model hermeneutika feminisme dalam pemikiran Wadud dan aplikasinya pada 6 ayat gender dalam Alquran dapat dilihat sebagai sebuah konstribusi pemikiran dalam penelitian ini. Berangkat dari asumsi bahwa bias gender dalam penafsiran Alquran bersumber dari problem metodologis dalam penafsiran Alquran, maka Wadud melakukan rekonstruksi metodologis bagi penafsiran Alquran yaitu membangun hermeneutika feminisme bagi Alquran. Dalam dunia yang penuh dengan tuntutan kesetaraan dan keadilan gender, terlihat urgensinya

penafsiran Alquran yang berpihak

kepada keadilan gender. Hermeneutika feminisme diperlukan sekurang-kurangnya untuk meminimalisir kebijakan-kebijakan politik, ekonomi dan sosial budaya yang merugikan perempuan.


147

5.3.

Respons terhadap pemikiran Amina Wadud Pemikiran Amina Wadud seperti yang disimpulkan di atas memperlihatkan

bahwa hermeneutika feminisme dapat membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran. Melalui hermeneutika feminisme Wadud telah mengumandangkan suara perempuan dalam tafsir Alquran. Wadud membawa masuk ide kesetaraan dan keadilan gender dalam penafsiran Alquran untuk membebaskan perempuan dari diskriminasi dan ketidakadilan. Permikiran Wadud mendapat respons yang signifikan secara global. 5.3.1. Respons positif Pemikiran Wadud mendapat respons positif dari beberapa pemikir Islam, diantara dari Ammanullah De Sondy, pembantu professor Kajian Islam di Departemen Kajian Religi Universitas Miami Amerika Serikat. De Sondy memberi respon terhadap pemikiran Amina Wadud dengan mengatakan bahwa Amina Wadud telah memberi konstribusi pada studi Islam. Setelah membaca karya-karya Wadud dia mulai tertarik mempelajari perempuan dan gender, dan dia menyadari bahwa sangat sedikit karya ilmiah bicara tentang masalah gender dalam Islam. Ammanullah De Sondy mengapresiasi pemikiran Wadud, terutama semangat juang untuk keadilan yang dikobarkannya. De Sondy mengakui bahwa perjuangan untuk mencapai keadilan gender itu amat berat, maka itu, dia menghibur Wadud agar teguh dalam perjuangan, dengan mengatakan bahwa Roma tidak dibangun dalam sehari, tetapi bata demi bata sepotong demi sepotong, kita dapat bergerak maju dengan harapan.232 Selain De Sondy, Khaled Abou El Fadl, Profesor hukum Islam dan yurisprudensi UCLA School of Law juga mengapresiasi pemikiran Wadud. Dia mengatakan bahwa Wadud melakukan jihad terhadap ketidakadilan gender dan ketidakadilan lainnya, termasuk membela martabat manusia. Kejujurannya dalam membuka fakta jarang ditemukan, kritiknya tidak hanya pada Islam klasik, tetapi juga pada feminisme, progresif muslim dan kalau perlu kritik terhadap dirinya sendiri. Khaled kagum pada kejujuran, keberanian dan integritas Wadud. Tindakan

232

Kecia Ali, A Jihad for justice, honoring the work and life of Amina Wadud, hal. 73


148

Wadud menjadi imam shalat Jumat sekalipun mendapat hujan

protes karena

pandangan ini berbeda dengan keyakinan yang dianut oleh para pemikir Islam selama ini, tapi Khaled mendukungnya. Menurut Khaled, usaha Wadud untuk menjadi imam shalat Jumat sangat menggemparkan dunia Islam, tapi out put intelektual Amina Wadud dan sejarah panjang sebagai pejuang keadilan gender, melawan prasangka gender tidak dapat direduksi menjadi hanya menjadi sebuah even imam shalat Jumat tersebut.233 Khaled kagum pada keberanian Wadud yang berani memproklamirkan dirinya sebagai orang yang menolak ide atau pemikiran yang bersifat esensialis, streotipe, prasangka, apologi dan fantasi yang banyak dimuat dalam karya-karya Islam secara umum. 234 Respon positif terhadap pemikiran Wadud juga datang dari tokoh-tokoh pergerakan perempuan, seperti Zainah Anwar dan Rose Ismail, pendiri dan direktur SIS (Sister in Islam) Malaysia. Menurut Zainah Anwar dan Rose Ismail bahwa Wadud telah membantu SIS untuk memahami Alquran dengan metode hermeneutika feminisme, yaitu bagaimana pengetahuan dan makna dikembangkan dan bagaimana kata-kata dalam ayat Alquran diinterpretasikan secara kontekstual. Studi teks dengan Amina Wadud telah membuka a world of light dan memberi pemahaman bahwa Islam dilandasi oleh keadilan, kasih sayang, kesetaraan dan hati nurani berdasarkan cinta manusia. Amina Wadud memberi pengetahuan dan keyakinan bahwa reformasi relasi gender dalam Islam adalah sebuah keniscayaan, karena Islam didirikan dengan landasan keadilan dan bagaimana mungkin Allah tidak memberi sanksi terhadap kekerasan dan penindasan pada sebagian umatnya.235 5.3.2. Respons negatif Pemikiran Wadud pada dasarnya adalah pemikiran feminisme. Semua gerakan feminisme adalah gerakan politik, karena ingin mengubah kekuasaan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Politik gender tidak bisa lepas dari hegemoni politik dunia, yaitu liberalisme yang telah menjadi jiwa dan cara 233

Wadud, Inside the Gender Jihad preface. Khaled Abou El Fadl dalam kata Pengantar Inside the Gender Jihad Women’s reform in Islam 2006,hal. x 235 Amanullah De Sondy , A Jihad fo rjustice, honoring the work and life of Amina Wadud, ed.Kecia Ali hal.65 234


149

kerja dunia. Tidak dapat disangkal bahwa masih banyak pihak-pihak yang menolak

ide kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam. Mereka yang

menentang ide kesetaraan dan keadilan gender gusar dengan hadirnya pemikiran Wadud yang membawa masuk ide ini secara ilmiah ke dalam Islam. Mereka bukan takut berbagi kekuasaan dengan perempuan, tapi individualisme yang menjadi jantung liberalisme dikhawatirkan dapat merusak tatanan masyarakat Islam. Dalam liberalisme hak-hak individu terutama kebebasan berpikir dan berpendapat merupakan syarat mutlak. Ideologi gender berintikan kebebasan berpikir dan berpendapat serta hak-hak individu lainnya dan kebebasan berpikir dan berpendapat merupakan menjadi syarat mutlak untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Perempuan harus bebas tidak perlu tergantung sama laki-laki dan tidak perlu taat pada suami (laki-laki). Kebebasan seperti inilah yang ditakutkan sehingga menolak pemikiran Amina Wadud, karena kebebasan ini dapat mengaburkan batas antara yang hak dan yang batil. Juga ketidaktaatan perempuan sangat menakutkan, karena implikasinya sangat besar dan luas. Menurut mereka ketidak

tergantungan

perempuan

pada

laki-laki

dapat

mengarah

pada

menghalalkan hubungan seksual sejenis (lesbian). Disamping itu,kebebasan perempuan dapat merusak tatanan alam, yaitu peran kodrati perempuan seperti mengandung anak, melahirkan dapat diserahkan pada tabung-tabung di laboratorium. Dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, fungsi kodrati perempuan tersebut dapat diambil alih oleh teknologi. Atas dasar hal di atas, pihak yang menolak ide kesetaraan gender melemparkan berbagai kritik terhadap Amina Wadud. Ada yang mengatakan bahwa Wadud tidak tahu Islam, tidak paham Alquran dan bahasa Arab dan tidak memiliki kompetensi untuk bicara tentang Islam, bahkan dia dituduh ingin menghancurkan Islam.236 Protes terhadap Wadud makin ramai ketika

pemikirannya tentang

kesetaraan dan keadilan gender tidak hanya dalam wacana, tapi ditunjukkannya 236

Hidayatullah dalam A Jihad for justice, honoring the work and life of Amina Wadud, ed. Kecia Ali hal.217


150

dalam realitas empiris yaitu mengubah ide kepemimpinan dalam ibadah Islam dengan menjadi imam shalat Jumat dimana laki-laki dan perempuan boleh berdiri sebaris dalam shalat. Muncul respon dari pihak-pihak yang merasa gerah dan marah dengan ide dan tindakan ini. Seperti ulama sekaligus Grand Syekh al-Azhaz di Mesir, Muhammad Sayyid al-Thanthawi mengajukan keberatan atas aksi Amina Wadud ini

dan diikuti pula oleh ulama-ulama lain.

MUI (Majelis Ulama

Indonesia) pada tahun 2005 mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya perempuan menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki. Para ulama ini tidak setuju dengan ide imam perempuan dengan dalih bahwa tubuh perempuan adalah aurat, sehingga kehadiran perempuan sebagai imam shalat dan berdiri satu baris dengan laki-laki akan menganggu kekhusukan beribadah. Respons akademisi terhadap

hermeneutika feminisme Wadud

dapat

disimak dari pandangan Kaukab Siddique yang memprotes pandangan Wadud bahwa penafsiran ayat-ayat Alquran ada yang bisa diterima peradaban dan ada yang tidak bisa diterima peradaban. Hal ini menurut Siddque , Wadud tidak bicara tentang penafsiran Alquran tetapi bicara tentang penolakan dan penerimaan terhadap penafsiran ayat-ayat Alquran. Siddique berpandangan, sekalipun Alquran terbuka untuk penafsiran, tetapi nabi Muhammad dan para Sahabat telah mengimpimentasikan Alquran sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Siddique juga mencela pandangan Wadud yang mengatakan bahwa boleh melakukan perkawinan sejenis. Hal ini menurut Siddique, Wadud telah berani mengganti yang haram menjadi halal. 237 Tokoh lainnya yang cenderung memberi respons negatif terhadap pemikiran Wadud adalah Zaynab Ansari. Dia mencela pendekatan

Wadud

terhadap penafsiran Alquran. Zaynab Ansari mengatakan bahwa Wadud hanya bertumpu pada ayat-ayat yang dia pahami. Hermeneutika feminisme bagi penafsiran ulang Alquran masih dalam diperdebatkan. Menurut Ansari, Wadud telah mengacaukan metodologi penafsiran yang telah mapan. Arus ulama suni dan syiah telah sepakat menerima prinsip-prinsip universalitas, immutabilitas dan aplikasi maklumat Alquran. Penerimaan terhadap metodologi lama ini merupakan 237

Irsyadunnas, Hermeneutika feminisme, hal, 293.


151

bagian dari keimanan umat Islam.238 Pemikiran hermeneutika Amina Wadud juga mendapat sorotan, karena dipandang elitis, sulit dipahami apalagi untuk diterapkan. Respon terhadap pemikiran hermeneutika Wadud juga datang dari Irsyadunnas tenaga pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga Yogyakarta. Irsyadunnas mengatakan bahwa Wadud mengeritik arogansi lakilaki, tetapi dia menunjukkan arogansi feminis. Pemikiran Wadud juga mengalami bias feminis karena tidak bisa menerima penafsiran ayat-ayat gender dalam Alquran bila hanya ditafsirkan oleh kaum laki-laki tanpa melibatkan kaum perempuan. Menurut Irsyadunnas, tidak ada persyaratan atau keharusan mufasir harus laki-laki atau perempuan.239 5.3.3. Respons Penulis Menurut saya, pemikiran Wadud mengenai hermeneutika feminisme merupakan refleksi filsafat terhadap kondisi dan konteks zaman dimana dia hidup. Dengan seperangkat ilmu pengetahuan yang dikuasainya dan berbagai kaidah dan metode ilmiah yang berkembang di zaman ini, Wadud melakukan kritik terhadap penafsiran ayat-ayat gender dalam Alquran yang merupakan hasil pemikiran ulama-ulama sebelumnya. Wadud menghadirkan pemikiran baru yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Hal ini dapat dilihat sebagai Pemikiran Kontra Pemikiran (PKP) yang patut diterima sebagai kemajuan berpikir manusia. Setelah melakukan penelitian disertasi ini, saya patut mengakui bahwa saya mendapat pencerahan dari pemikiran Wadud. Bagi saya pemikiran Wadud menyentuh intelektual dan spiritual yang menyelimuti saya selama ini. Seperti kebanyakan muslimah, selama ini saya menerima ajaran agama terkait perempuan secara take for granted tanpa sikap kritis dan berdiri dipinggir, “menonton” ketika intelektual dan aktivis gender berjuang untuk mengusung ide kesetaraan dan keadilan gender dalam hidup keberagamaan. Bila muncul keinginan untuk bicara

238 239

Irsyadunnas, Hermeneutika feminisme, hal. 294. Irsyadunnas, Hermeneutika feminisme hal 302


152

gender yang dikaitkan dengan Islam apalagi dengan tafsir Alquran, disitu muncul ketakutan karena dalam pandangan saya tafsir Alquran adalah sakral, tak layak dibicarakan apalagi mengkaitkannya dengan konsep gender. Setelah melakukan penelitian disertasi ini, saya baru memahami bahwa tafsir Alquran perlu dikritisi dan pendekatan terhadap tafsir tidak hanya pendekatan teologis, tapi dapat dilakukan dengan pendekatan filosofis yang di back up oleh rasionalitas melalui hermenetika feminisme. Wadud telah membuktikan hal ini melalui kajian tafsir yang dilakukannya. Kajian tafsir Wadud telah mengungkapkan bahwa penafsiran klasik merupakan artikulasi laki-laki dan menjadikan dunia agama menjadi dunia patriarki dan bahasa agama adalah bahasa laki-laki yang telah menjadi pengetahuan non feminis. Artikulasi laki-laki dalam tafsir telah membawa dehumanisasi buat perempuan, seperti perempuan terusir dari ruang publik dan terusir dari pusat kekuasaan. Apa yang diungkapkan Wadud ini dapat dilihat sebagai ketukan pada kesadaran perempuan, agar perempuan melakukan transendensi menjadi manusia bebas (subjek), manusia yang rasional dan otonom dan menjadi dirinya sendiri bukan alat untuk mencapai kebahagian orang lain. Wadud mengajak agar perempuan bersuara dan membawa suara itu ke ruang publik untuk didengar. Nasib perempuan tidak akan berubah bila tidak diperjuangkan oleh perempuan sendiri. Menyadari bahwa artikulasi laki-laki dalam tafsir telah meminggirkan perempuan dan melahirkan berbagai dehumanisasi terhadap perempuan, maka ajakan Wadud agar perempuan berani bersuara mengenai persoalan gender dalam tafsir Alquran perlu diapresiasi. Dewasa ini, masih banyak terjadi dehumanisasi terhadap perempuan, seperti peristiwa penembakan terhadap Malala Yousafzai, gadis usia 14 tahun pada 9 Oktober 2012 di Pakistan. Karena kegigihan Malala untuk memperjuangkan pendidikan untuk anak perempuan di Lembah Swat Pakistan, dia ditembak oleh Taliban, kelompok garis keras Islam di Pakistan yang melarang anak perempuan mendapat pendidikan. Peristiwa Malala adalah salah satu dari ribuan peristiwa yang dialami anak perempuan di dunia dan masih


153

banyak bentuk-bentuk penindasan terhadap perempuan, seperti penindasan dalam keluarga, interaksi sosial, keharusan ajaran agama dan ketergantungan ekonomi. Dalam pandangan saya kajian tafsir Wadud telah memberi jawaban terhadap pertanyaan yang menggelayut selama ini dalam masyarakat, yaitu kenapa dalam Islam kuat sekali dominasi laki-laki atas perempuan dan kenapa kondisi perempuan dalam Islam sulit dikomunikasikan dengan konsep hak-hak asasi manusia dan kenapa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Pertanyaan-pertanyaan ini telah dijawab Wadud dengan membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran dan membongkar kepentingan yang bersembunyi dibalik penafsiran klasik yaitu melanggengkan tradisi dan kultur patriarki masyarakat Arab abad ke 7 yang memperlakukan perempuan dengan sistem ketidakadilan. Hal ini tercermin dari tulisan Wadud sebagai berikut. “I demonstrate how the Qur‟an treats woman as an individual in the same manner as it treats man as an individual. Their only distinction is on the basis of taqwa (God-conscious piety). Taqwa is not determine by gender”. 240

(Saya telah membuktikan bagaimana Alquran memperlakukan perempuan secara individu sebagaimana terhadap laki-laki. Pembeda kedua gender ini adalah taqwa. Taqwa tidak ditentukan oleh gender). Langkah lanjut diperlukan sebuah penelitian untuk mengetahui apakah jawaban Wadud dapat memuaskan masyarakat, sehingga dapat menyentuh intelektual dan spiritual yang menyelimuti selama ini. Dari berbagai respons negatif yang disampaikan di atas terlihat kesangsian bahwa pranata sosial dapat goyah dan identitas manusia tidak jelas bila penafsiran Alquran bersifat relatif (dapat direinterpretasi). Tapi saya percaya bahwa pemikiran yang ditawarkan Wadud akan menyentuh nalar dan perasaan hati umat Islam, khususnya generasi muda sebagai agen perubahan, karena hermeneutika feminisme lebih cenderung diterapkan pada ayat-ayat sosiologis dan masuk dalam wacana ajaran non dasar yang bersifat fleksibel. Kehadiran

hermeneutika

feminisme

Wadud

ikut

memperkaya

hermeneutika bagi Alquran dan dapat dilihat sebagai instrumen metodologis yang 240



154

memadai untuk merasionalkan ajaran-ajaran agama terkait perempuan, menguak berbagai ilmu pengetahuan yang terkandung dalam Alquran, dan dapat dijadikan alat bagi perjuangan kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini dimungkinkan karena hermeneutika feminisme Wadud mengandung kaidah ilmiah dan prinsip-prinsip hermeneutika. Dengan dunia yang penuh dengan tuntutan keadilan dan dunia di depan kita sudah terarah pada permainan yang adil, maka hermeneutika feminisme mendesak untuk diaplikasikan pada penafsiran ayat-ayat gender dalam Alquran. Penafsiran Alquran dengan pendekatan hermeneutika feminisme terlihat urgensinya agar produk tafsir mengandung nilai-nilai yang bermuatan keadilan gender. Disisi lain, tafsir Alquran yang berkeadilan gender dapat berinvestasi pada generasi yang lebih muda, sehingga generasi tersebut tidak lagi mengembangkan sikap yang meminggirkan perempuan, tetapi membangun sikap yang adil gender. Mencermati pemikiran Wadud secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa Wadud

memiliki keberanian filosofis untuk mengusung ide kesetaraan dan

keadilan gender dalam tafsir Alquran yang sebagian besar umat Islam masih menolaknya. Wadud menggambarkan bahwa perjuangan gender (jihad gender) adalah perjuangan kehidupan, yaitu kehendak untuk hidup, sehingga memusuhi ide kesetaraan dan keadilan gender berarti memusuhi kehidupan. Disamping itu, Wadud menumbuhkan kesadaran bahwa perempuan adalah mahkluk penting dan spesifik. Perempuan membawa kantong kehidupan (rahim), memiliki sumber kehidupan (payudara) dan semua anak manusia adalah anak dari seorang perempuan dan pernah meringkuk dalam rahim perempuan. Namun demikian, masih perlu dicari strategi agar tafsir feminis dapat menyentuh kelompok-kelompok Islam yang masih berpegang pada penafsiran ulama-ulama klasik. Hermeneutika bagi Alquran masih dipandang asing (datang dari luar Islam) dan masih banyak umat Islam yang menolaknya dikarenakan kekeliruan dalam memahami hakikat hermeneutika. Sentimentil sebagian besar umat Islam terhadap hal-hal yang datang dari luar Islam sering dijadikan alasan penolakan suatu perubahan.


155

5.4.

Rekomendasi Ketika ide kesetaraan dan keadilan gender berjumpa dengan ajaran agama

Islam, ternyata banyak sekali kontrol, sekat dan aturan terhadap perempuan. Kontrol itu datang secara sakral sehingga sedikit mengabaikannya, datang kutukan dan kemarahan. Kontrol terhadap perempuan disosialisasikan melalui tafsir Alquran. Oleh karena itu, patut kita rekomendasikan bahwa ide kesetaraan dan keadilan gender akan lebih efektif diusung melalui jalur agama. Untuk ini diharapkan muncul ulama-ulama perempuan yang mau menyentuh realitas ketidakadilan gender dalam masyarakat dalam dakwah yang dilakukannya. Isu-isu perempuan bila dikaitkan dengan agama dapat memberi orientasi baru bagi kehidupan masyarakat dan menyadarkan perempuan agar tidak terus terbenam dalam kebisuan. Ide kesetaraan dan keadilan gender dapat diusung dengan menempuh jalan kultural. Menawarkan suatu ide baru dalam masyarakat membutuhkan negosiasi dan kompromi dan juga membutuhkan keberanian untuk membongkar esensialisme budaya, apalagi yang berkaitan dengan agama. Ke depan diharapkan ide kesetaraan dan keadilan gender dapat disosialisasikan dengan intensif, yaitu dengan integrated media issues management, melalui berita radio, televisi, portal on line, information event dan lain-lainnya.

Ide kesetaraan dan keadilan gender

dapat pula terealisasi dengan menempuh jalan hukum, yaitu membuat kebijakan melalui pembuatan undang-undang. Sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, memerlukan tata hukum yang kuat untuk mengatur kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perlu undang-undang tentang kesetaraan dan keadilan gender sebagai payung hukum yang mengatur relasi gender baik dalam keluarga maupun masyarakat. Dari penelitian disertasi ini terbukti bahwa hermeneutika feminisme sebagai metode penafsiran Alquran dapat menghasilkan tafsir yang adil gender, yaitu tafsir yang memberi pandangan bahwa kemanusiaan perempuan adalah kemanusiaan yang utuh, bukan sebagai pelengkap dan pelayan laki-laki. Dengan hadirnya hermeneutika feminisme yang mengikuti prinsip-prinsip hermeneutika


156

dan mengikuti pelbagai aturan dalam teori penafsiran, maka hermeneutika feminisme sebagai instrumen metodologis bagi penafsiran Alquran dapat digunakan untuk studi tafsir Alquran, sehingga studi tafsir berbasis feminis sebagai

kajian

ilmiah

dapat

dipertanggungjawabkan.

Dengan

demikian,

diharapkan, para intelektual perempuan Islam di Indonesia yang memiliki basis studi Islam dan menguasai bahasa Arab dan Alquran, berminat untuk melakukan kajian tafsir dengan pendekatan hermeneutika feminisme agar dapat memainkan peran yang lebih besar dalam upaya meyakinkan masyarakat Islam akan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan kita dewasa ini. Hal ini akan sangat membantu proses reformasi gender dalam Islam.


157

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin dkk, 2007, Islmic studies, (Yogyakarta: Suka) Alu Syikh, Abdullah, 2014, Tafsir Ibnu Katsir jilid , (Pustakan: Imam Asy-Syafi’i) Abu Zayd, Nasr Abu Hamid, 2003,Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana terhadap Perempuan dalam Islam (Yogyakarta: SAMHA)

Al-Qattan Manna’ Khalil, 1996, Studi Ilmu-ilmu Alqur‟an, (Jakarta: Litera Antar Nusa) Arivia, Gadis, 2003, Filsafat Berspektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan) ---------------

2006, Feminisme: Sebuah Kata Hati, (Jakarta : Kompas Media Nusantara)

Ahmed, Leila 1992, Women and Gender in Islam:Historical roots of a modern Debate, (New Haven : Yale University) ---------------

2000, Wanita dan Gender dalam Islam, (Jakarta : Lentera)

Ashghar, Ali Engineer, 1994, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: Bentang Pustaka) Alcoff, Linda, 1993, Feminist Epistemologies, (Routledge : New York-London) Ali, Kecia,

2012, Sexual Ethics & Islam: Feminist Reflections on Qur'an, Hadith, and Jurisprudence, (England : Oneworld Publications 185 Banbury Road Oxford OX27AR)

Ali, Kecia, Hammer, Juliane, and Silvers, Laury, 2012, A Jihad For Justice: Honoring The Work and Life Of Amina Wadud, (USA : 48 Hr Books) Al-Alusi, Ibn'Arabi, Ibn Rusyd dan Al-Ghazali, Ibn Qutaibah, Amin al-Khuli, 2011, Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Islam: Reader, (Yogyakarta : LPUINSK) A.M, Muchsin Al quran dan perempuan .In C. Kurzman (ed), 2001, Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer Tentang isu-isu global, (Jakarta: Paramadina) An-Na'im, Abdullah, 1995, Dekonstruksi Syari'ah , (Yogyakarta: LKiS) Arkoun, Mohammad, 1995, Rethingking Islam, (Beirut) Badran, Margot, 1995, Feminis, Islam and Nation : Gender and the Making Of Modern on Egypt,(Princento : Princenton University Press)


158

Barlas,Asma, 2002, believing Women in Islam:Unreading Patrarchal Interpretationsof the Qur‟an, (Austin : University of Texas) ------------------, 2004, Amina Wadud’s Hermeneutics of the Qur’an :Women Reading Sacred text, dalam Taji al-Faruki,ed. Modern MuslimIntellectuals and the Qur‟an, (London : Oxford University Press) Baullata, Issa J, 2005, Dekonstruksi Tradisi : Gelegar Pemikiran Arab Islam, (Jakarta : LKIS) Bakir, Muhammad Hakim, 2012, Ulumul Quran, (Jakarta : Al-Huda ) Binder, Leonard, 2001, Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Caputo, John D, 1987, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and the Hermeneutic Project, (Bloomingtondan Indianapolis: Indiana University Press) Chittick, William C, 2010, Kosmologi Islam dan Dunia Modern: Relevansi Ilmu-Ilmu Intelektualisme Islam, (Jakarta : Mizan) El Saadawi, Nawal, 2011, Perempuan Dalam Budaya Patriarkhi, . Pustaka Pelajar) Fadhlullah, Sayid Muhammad Husain, 1997, Lentera Basritama )

(Yogyakarta :

Dunia Wanita Dalam Islam, (Jakarta,

Farhan Al-Maliki, Hasan, 2012, Pilih Islam atau Mazhab? Autokritik atas Paham Penuduh Kafir dan Bid'ah, (Bandung : Mizan ) Fakih, Mansour, 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar) Filali, Abdou-Ansary, 2009, Pembaruan Islam: Dari mana Hendak kemana?, (Bandung : Mizan) Ghazali, Abd Moqsith, 2002, Metodologi Studi Al-Qur'an, (Jakarta : Gamedia Pustaka Utama) Gottlieb, S Roger, 1993 , Radical Philosophy, Tradition, Counter-Tradition, Politics, (Philadelphia : Temple University Press) Grondin, Jean, 2010 , Sejarah Hermeneutika,( ed) Abdul Qodir Sholeh, (Yogyakarta : Ruzz Media) Hamdani, Faisal Muhammad, 2012 , Metode Hermeneutika M. Shahrur dalam memhami Al-Qur‟an dan Implikasinya terhadap penetapan Hukum, (Jakarta : GP Press)


159

Harb, Ali, 2003, Hermeneutika Kebenaran, (Yogyakarta : LKiS) Haryono, Yudhie, 2005, Melawan dengan Teks, (Yogyakarta : Resist Book) Hassan Hanafi, 2003, Oposisi Pasca Tradisi, (Yogyakarta : Syarikat Indonesia) Hidayat, Komaruddin, 2012, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jagakarsa-Jakarta Selatan : Noura Books) -------------------, 2011, Memahami Bahasa Agama, Sebuah kajian Hermeneutika, (Bandung: Mizan)

Hidayatullah, 2014, Aysha A. Feminist Edges of the Qur‟an. (Kindle Edition) Ilyas, Yunahar, 1997, Feminisme dalam kajian tafsir Alquran, Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar) Irigaray, Luce, 1985, This Sex Which is not One,Translated by Catherine Porter with Carolyn Burke, (New York : University Press) Irsyadunnas, 2014, Hermeneutika Feminisme, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara) Jabali, Fuad, 2010, Sahabat Nabi: Siapa, ke Mana, dan Bagaimana?,(Bandung: Mizan) Ja'fariyan, Rasul, 2013, Isu-isu Dusta seputar Tahrif Al-Qur'an: Pandangan Ahlusunnah dan Imamiyah, (Jakarta: Nur Al-Huda) Jones, Emma Reed, 2011, Speaking At The Limit: The Ontology of Luce Irigaray's Ethics, In Dialogue With Lacan and Heidegger, (Oregon : University of Oregon Graduate School Degree awarded) Kristeva, Julia, 1982, Powers of Horror,Terjemahan Leon s. Roudies, (New York : Columbia University Press) ---------------

1987, In the Beginning Was Love: Psychologysis and Faith,Terjemahan Arthur Goldhammer, (New York : Columbia University Press)

Lubis, Achyar Yusuf, 2014, Filsafat Ilmu , Klasik Hingga Kontemporer, (Depok : Penerbit Raja Grafindo Persada) ……………….

--------------…………….

2012, Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial-Budaya Kontemporer, (Depok : Dep.Filsafat, FIB Universitas Indonesia) 2009, Epistemologi Fundasional, isu-isu Pengetahuan, Filsafat Ilmu Pengetahuan, dan Metodologi, (Bogor : Akademia) 2004, Methodologi Posmodernis, (Bogor : Akademia)

Lamptey, Jerusha Tanner, 2014, Never Wholly Other, A Muslima Theology of Religious Pluralism, (New York : Oxford University Press)


160

MacKinnon, Catherine A, 1991, Harvard)

Toward a Feminist Theori of The State, (London:

Mernissi, Fatima , 1975, Beyond the Veil: Male and female dynamics in Modern Muslim Society (Indiana: Indiana university Press) ---------------

-----------------------------

1991, Women and Islam: An Historical and Theological Enguary, (Oxford : Blackwell) 1993, Women‟s Rebellion & Islamic Memory, (Literary Agency Inc) 1999, Pemberontakan Wanita!:Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim, Terjemahan Rahmani Astuti, (Bandung : Mizan)

Meuleman, Johan Hendrik ( ed), 1996, Tradisi,Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: LKiS) Meuleman, Johan Hendrik (penyunting), 2012, Membaca Al-Qur'an Bersama Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: LKiS) Misrawi, Zuhairi, 2007, Al-Qur'an Kitab Toreransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, (Jakarta Selatan: Fitrah) Muhammad Al-Ghazali, Syaikh, 1991, Al-Qur'an Kitab Zaman kita : Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci dalam Konteks Masa kini, (,Jakarta :Mizan) Muhammad,K.H. Husein, 2011, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan, (Bandung: Mizan) Mulia ,Musdah , 2011, Muslimah Sejati : Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Illahi, , (Bandung: Penerbit Maja) ---------------

2014, Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Jender ,(Yogyakarta : Naufan Pustaka)

…………… 2014 , Kemuliaan Perempuan dalam Islam, (Jakarta : Megawati Institute) …………… 2005, Muslimah Reformis : Perempuan Pembaru keagamaan, (Bandung : Mizan) ---------------

2001, Kesetaraan dan Keadilan gender dalam Perspektif Islam, ( Jakarta :LKAJ)

---------------

2000, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: Gramedia)

---------------

1995, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir

Mulyono Edy, 2002 , Belajar Hermeneutika, (Yogyakarta : IRCiSoD) Murata, Sachiko, 1996, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, ( Bandung :Mizan)


161

Mustaqim, Abdul, 2010, Epistemologi Tafsir Kontemporer, , (Yogyakarta: Bantul LKiS) Moustakas,Clark, 1994, Phenomenological Research Methods, (London : Sage Publication Inc) Muthahari, Murtadha, 1980, Perempuan dan Hak-Haknya Menurut Pandangan Islam (Jakarta: Lentera) Umar, Nasaruddin, 1999 , Argumen kesetaraan Gender Perspektif AlQuran, (Jakarta: Paramadina) Nasution, Harun, 1995, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan) Noerhadi, Toeti Heraty, 2013, Aku Dalam Budaya, Telaah Teori dan Metodologi Filsafat, (Jakarta : Gramedia, Pustaka Utama) Papadelos, Pam, 2006, Derridean Deconstruction And Feminism: Exploring Aporias in Feminist Theory and Practice, (Adelaide : Adelaide University) Piliang, Yasraf Amir, 2011, Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi, (Jakarta: Mizan) Ricoeur, Paul, 2012, Hermeneutika Ilmu Sosial, (Bantul: Kreasi Wacana) Ricoeur, Paul, 2008, From text to Action Translated by Kathleen Blamy,( New York: Continum)

Palmer,Richard E. 1969, Hermeneutics: Interpretation in Schleimacher, Dilthey,Heidegger dan Gadamer ( Evanston : Evanston Northwestern University Press) Saenong, Ilham B., 2002, Hermeneutika Pembebasan:Metodologi Tafsir Al-Qur'an Menurut Hassan Hanafi, (Jakarta: Teraju) Schleirmacher, Frieclrich, 1998, Hermeneutic and Crticsm, truns and edited by Andrew Bonie, (Cambridge : Cambridge University) Sahiron Syamsudin (ed), 2011, Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Islam Reader, (Yogyakarta : Univ. Sunan Kalijaga) Shihab M. Quraish , 2001, Tafsir Al-Mishbah, Pesan,Kesan Dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta : Lentera Hati) , ---------------

1992, Membumikan Al-Quran, (Jakarta : Mizan)

---------------

2013, Kaidah tafsir, (Jakarta : Lentera Hati)

Subhan, Zitunah , 2006, Perempuan dan politik dalam Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren)


162

Subono, Nur Imam (penyunting ), 2001, Feminis Laki-Laki: Solusi atau Persoalan ?,(Jakarta: YJP) Sudarmojo, Agus Haryo, 2013, Benarkah Adam Manusia Pertama? Interpretasi Baru Ras Adam Menurut Al-Qur'an dan Sains, (Yogyakarta: Bentang Pustaka) Sulthan, Shalahuddin, 2008, Ternyata Wanita Lebih Istimewa dalam Warisan : Perspektif Al-Qur'an dan Berdasarkan Studi Kasus, (Depok : Pustaka II MAN) Supiana, Karman, 2002, M. Ulumul Qur'-an, (Bandung: Pustaka Islam) Stowasser Barabara, 1994 , Women in Quran: Traditions and interpretations. (New York: Oxford University Press) Tarabishi, Georges, 2001, Wanita versus Wanita , Kritik atas Nawal el -Sadawi, (Bandung: Mizan) Thompson, John B, 2005, Filsafat Bahasa Dan Hermeneutik: Untuk Penelitian Ilmu Sosial, (Surabaya: Visi Humanika)

Tong, Putnam Rosemarie, 2010, Feminist Thought: a more comprehensive introduction, terj. Aquarini, (Yogyakarta : Jalasutra) Velayati, Ali Akbar, 2010, Ensiklopedia Islam dan Iran:Dinamika Kebudayaan dan Peradaban yang Hidup, (Jakarta : Kedubes Iran) Wadud ,Amina ,1999, Quran and Women : Rereading The Sacred Tect From A Woman‟ Perspective, (New York : Oxford University Press) ---------------

2007, Inside The Gender Jihad: Women’s Reform In Islam , (USA : Thomson –Shore)

Wahyudi, K. Yudian, 2010, Ushul Fikih versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, (Yogya-Wonosari: Pesantren Nawesea Press)


163

G L O S A R I UM

Asbab al Nuzul

Segala sesuatu yang menyebabkan turunnya satu atau lebih ayat Alquran

Ayat ayat gender

Ayat Alquran yang bicara tentang perempuan, seperti Qs. Annisa dan lainnya

Ayat - ayat Mutasyabihat Ayat Alquran diperdebatkan

Ayat – ayat Muhkamat

Ayat-ayat israiliyat

yang

makna

masih

Alquran yang maknanya tidak diperdebatkan lagi

Ayat-ayat yang terdapat dalam kitab suci Bani Israil

Dekonstruksi

Membongkar, menjungkirbalikan makna teks tapi bukan dengan tujuan membongkar saja, melainkan membangun teks atau wacana baru dengan makna yang berbeda dengan teks yang didekonstruksi

Depatriarkisasi

Suatu upaya untuk mengimbangi pemikiranpemikiran atau penafsiran-penafsiran yang cenderung menolak konsep, ide, gagasan yang merendahkan perempuan

Double movement

Metode gerakan ganda yaitu, pertama, bergerak dari situasi sekarang ke situasi


164

Alquran diturunkan, untuk mencari nilai dari ayat yang diturunkan dalam merespon peristiwa yang terjadi di masa wahyu.

Exegese

Kegiatan untuk memberi pemahaman terhadap suatu teks atau kegiatan untuk mengungkapkan makna terhadap suatu teks, agar dapat dipahami oleh orang lain

Feminisme

Kesadaran adanya ketidak adilan gender yang menimpa perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut

Fiqih

Merupakan pengetahuan ilmu pengetahuan agama islam yang memberi petunjuk dari sebuah perilaku dan penjelas apa yang boleh dan yang tidak boleh .

Gender

Seperangkat sikap, peran, fungsi dan tanggung jawab yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat kontruksi budaya atau pengaruh lingkungan masyarakat dimana manusia itu tumbuh dan dibesarkan.

Hermeneutika

Ilmu yang merefleksikan tentang suatu kata atau even yang muncul pada masa lalu agar dapat dipahami dan bermekna dalam konteks kekinian secara eksistensial

Hermeneutika Feminisme

Sebuah upaya untuk mengkaji teks atau ayat Alquran yang berkaitan dengan persoalan perempuan dengan mengacu kepada ide


165

kesetaran dan keadilan gender

Horizon

Cakrawala, perspektif

pandangan,pengalaman

atau

Ideologi

Himpunan pemikiran,prinsip-prinsip, nilainilai yang diusahakan untuk direalisasikan

Ideologi feminisme,

Ideologi yang memiliki perjuangan yang terarah kepada perlawanan terhadap sistem patriarki untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender

Intratekstual

Isu-isu dalam ayat-ayat Alquran disusun dalam satu tema dan isu-isu itu saling menjelaskan untuk mendapatkan suatu makna

Intertekstual

Suatu isu dalam Alquran diperkuat oleh sumber-sumber Islam yang lain. Atau suatu isu dalam Alquran dijelaskan oleh teks-teks lain diluar Alquran

Ijma’

Konsensus para pakar

Jihad Gender Perjuangan untuk mewujudkan keadilan gender dalam pemikiran dan praktek Islam.

Islam Salam, damai, relasi cinta tanpa patriarki Memahami ayat Alquran dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitanya


166

Kontekstual

dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat tersebut. Jadi sangat terkait dengan asbab al – nuzul ( konteks sosio-historis ketika ayat diturunkan ) makna ini kemudian diperluas tidak hanya terkait dengan konteks ketika ayat diturunkan namun bisa juga terkait dengan konteks ayat yang ditafsirkan.

KARAMAH

Muslim women Layers Committee for Human Right (KARAMAH) sebuah organisasi yang berupaya untuk menegakkan keadilan sosial pada masyarakat Barat, terutama hak-hak kaum perempuan

Maudhu’i

Metode penafsiran Alquran yang menghimpun seluruh ayat yang terkait, sekalipun ayat-ayat itu diturunkan pada tempat, kurun waktu dan cara yang berbeda dan tersebar di berbagai kitab

Metodologi

Ilmu yang membicarakan metode-metode atau ilmu yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan

Munasabhah

Korelasi antara ayat-ayat sama

Patriarki

Budaya yang mentolerir adanya penindasan dan perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan

Poligami

Keadaan laki-laki yang memiliki isteri lebih dari satu orang

dalam tema yang


167

Prior text

Latar belakang, persepsi dan keadaan individu seorang mufasir (penafsir) yang terkait dengan bahasa dan konteks kultural diman teks itu ditafsirkan.

Posmodern

Cara-cara baru dalam pemikiran, memahami masalah,keyakinan pengetahuan untuk hidup pengorganisasian sosial budaya

SIS

Sisters In Islam (SIS). merupakan organisasi sosial yang berkerja untuk memperjuangkan hak-hak perempun Islam

dalam dan serta

Sahabat Nabi Sahabat Nabi menurut hadis orang yang mengenal dan dikenal Nabi. Jumlahnya ribuan. Menurut aliran muktazillah sahabat Nabi adalah orang yang tinggal bersama Nabi

Tafsir bias gender

Tafsir klasik

Tafsir yang merendahkan perempuan seperti yang ditemukan dalam tafsir klasik, diantaranya tafsir al Thabari Sayuthi, Bukhari, Muslim, al Zamakhsyari dan lainnya

Tafsir yang diproduk oleh ulama klasik yaitu zaman antara abad 8 hingga abad 13.


168

Tafsir

Penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia

Tafsir bi-al ma’tsur

Tafsir yang berdasarkan riwayat dimana ayat Alquran ditasfsirkan sesuai dengan riwayat yang ada

Tafsir bi-ar- ra’yi

Tafsir yang didasarkan pada penalaran

Tafsit isyariy

Makna-makna yang ditarik dari ayat-ayat Alquran tidak diperoleh dari bunyi lafazh ayat

The fusion of horizons,

Pertemuan pra pemahaman penafsir dengan cakrawala makna yang dikandung teks. Seseorang tidak dapat memulai penyelidikan dari pikiran kosong sama sekali.

Tajdid

Pembaharuan dalam pemikiran Islam

Talak

Pemutusan hubungan suami-istri dari hubungan pernikahan atau perkawinan yang sah.

Taqwa

Suatu kesalehan dalam menjalankan perilaku karena takzim kepada Allah dan menghindarkan perilaku yang tidak sesuai dengan sistem moral-sosial. Taqwa dipahami dalam dimensi tindakan dan sikap


169

Tauhid

Inti ajaran Islam yang maknanya mengakui keesaan Allah

Teks

Karya yang tersusun dan yang tertulis

Weltanchauung

Nilai-nilai universal yang terkandung dalam. ayat Alquran dan harus senantisa ditonjolkan sebagai pedoman dasar dalam memahami ayat selanjutnya


1

Lampiran 1

TERJEMAHAN AYAT-AYAT GENDER DALAM ALQURAN

No 1

Surat

Terjemahan feminis2

Woman who are divorce shall AlBaqarah / wait, keeping themselves apart, three (monthly). And it is not 2:228 lawful for them that they conceal that which Allah has created in Tentang their wombs if they believe in Talak Allah and the Last Day. And their husbands would do better to take them back in the case if they desire a reconciliation . And {(the rights) due to the women simiar to (the rights) against them,(or responsibilities the owe) with regard to ] the ma’ruf, and men have a degree (darajah) above them (feminine plural) Allah is Mighty, Wise. 3

1

Terjemahan Dep. Agama RI Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suamisuaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

(Perempuan-perempuan hendaknya menanti, menahan diri tiga (bulan) lamanya. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami mereka berhak merujuk mereka kembali dalam masa menanti itu jika mereka menghendaki rujuk. Dan (hak) para perempuan setara dengan (kewajiban) mereka (atau tanggungjawab yang mereka miliki) dengan cara yang ma’ruf dan laki-laki mempunyai satu 1

ayat-ayat gender adalah ayat-ayat terkait perempuan. Terjemahan oleh dep. Agama RI dan terjemahan feminis 2 Yang dimaksudkan dengan feminis adalah tokoh-tokoh intelektual yang menyadari bahwa perempuan mengalami ketidakadilan berbasis gender. . 3 Wadud, Qur’an and Woman, hal. 68


2

derajat (darajah) yang lebih tinggi dari pada mereka (jamak feminin). Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana. 2

3

An- Nisaa Mankind! Be careful of your duty / 4 :1 to your Lord Who created you form a single nafs, and from it Tentang Penciptaa created its zawj, and from that pair spread abroad (over the n earth ) a multitude of men and women.4 (Wahai manusia, bertaqwalah pada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari nafs yang satu dan dari padanya diciptakannya zawjnya, dan dari pasangan itu Dia memperkembang-biakkan sebanyak-banyaknya laki-laki dan perempuan) An-Nisaa / 4 :3 Tentang Poligami

4 5

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

If you fear that you shall not be able to deal justly with the orphans, marry women of your choice, two, three or four; But if you fear that you shall not tob able to justly (with them), the only one, or that which your right hand possesses . That will be more suitable to preven you from doing injustice.5

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih (Dan jika kamu takut tidak akan dekat kepada tidak berbuat aniaya dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua,tiga atau empat. Kemudian, jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, yang demikian itu lebih dekat dengan keadilan.)

Wadud, Qur’an and Woman, hal. 22 Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an, hal. 100


3

4

An – Nisaa/ 4:19

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mengambil warisan dari perempuan dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila merekan melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.6

Hai orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila merekan melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

An-Nisaa/ Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena 4: 34 Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian Tentang Kepemim yang lain(wanita), karena mereka pinan laki- telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu, wanita laki atas perempua yang saleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara n diri ketika suaminya tidak ada. oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanitawanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha 7 Tinggi lagi Maha besar.

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (lakilaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Tentang warisan

5

6 7

Musdah Mulia , Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender, hal. 114 Musdah Mulia , Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender, hal.76-77


4

6

Orang-orang mukmin (lelaki beriman) dan mukminat (perempuan beriman) lindung melindungi satu sama lain. Mereka menganjurkan yang Tentang kesetaraan makruf dan melarang yang munkar. Mereka mendirikan Laki-laki shalat, dan menunaikan zakat, dan perempua serta mentaati Allah dan rasulNya. Merekalah yang dirahmati n Allah ; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.8

7

People , We created you all from a single man anda a single woman, and made you into races anda tribes so that you shall Tentang know one another. In God’s eyes, penciptaan the most honored of you are the ones most mindful of the God ( Those who manifest the most taqwa. God is all Knowing and all aware.9

8

AtTaubah / 9: 71

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

AlHujaraat /49:13

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu bebangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui dan lagi maha (Hai manusia, Kami ciptakan mengenali kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu bebangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal Di mata Allah yang paling mulia diantara kamu ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan lagi Maha Mengenali

AtTahrim/ 66:11

And Allah sets forth an example for those who believe: the wife of Pharaoh when she said “My Lord ! Build for me a home with You in the garden, and deliver me from Pharaoh and his work ,

Tentang perempua

8 9

Dan Allah membuat isteri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari

Musdah Mulia, Indahnya Islam menyuarakan Kesetaraan & Keadilan Gender, hal. 59 Jerusa Tanner Lampty, Never wholly other : A Musllma Theology of Religion Pluralism, hal. 93


5

9

n sebagai model perempua n yang beriman

and deliver me from evil doing Fir'aun dan perbuatannya, dan folk. 10 selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.

AlAhzab/24 : 31

Katakanlah pada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali pada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, putra-putra mereka,atau putra-putra suami mereka, atau saudara laki-laki mereka,atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka atau wanita-wanita Islam, budak-budak yang mereka miliki atau pelayan laki-laki yang tidak punya keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Tentang Hijab

(Dan Allah menyampaikan perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, isteri Firaun berkata, Bangunkanlah untuk ku sebuah rumah disisi Mu dalam surga, dan jauhkan aku dari Firaun dan perbuatannya, dan selamatkan aku dari kaum yang lalim).. And say to believing woman to lower their gaze and guard their private parts, and that they should not display their adornments except what would ordinarily appear. And that they should draw their veils over bosoms and the should not display their beauty except to their husband.11 (Dan katakan pada perempuan yang beriman untuk menurunkan tatapannya dan menjaga kemaluannya dan jangan menonjolkan perhiasannya dan mereka harus menutupkan veil (kain) ke dadanya dan tidak menonjolkan kecantikannya, kecuali pada suaminya.

10 11

Wadud, Qur’an and Woman, hal. 33 Ibrahim B. Syed, Islamic Research Foundation International, Inc.

www.irfi.org/general/president.


6

Lampiran 2

SURAT ELEKTRONIK AMINA WADUD

On Sun, Mar 23, 2014 at 7:10 AM, Dra. Mardety, M.Si Mardinsyah wrote:

Bu Amina Wadud, I'm still working on my dissertation’s research for the methodology of the Qur'an according Amina Wadud . Thank God, I am almost finished and I can expect a late 2014 doctoral exam. I beg of information about the life history and struggles Amina Wadud to complete chapter 2, which tells the story of Amina Wadud intellectual background. Please inform me : - name of your father and mother - reasoning into Friday prayer leader - family background - reasoning of the struggle for gender justice

Thank you for your attention. salaam Mardety (University of Indonesia).

Pada Selasa, 25 Maret 2014 22:53, Amina Wadud menulis: Salaam. you MUST ask specific questions. my mother was Thelma L.C, Teasley and my father was Rev. Albert


7

Teasley there is no one reason for leading prayer. there is no "history of struggle for gender justice" that I can answer in less than a few hundred pages. If you cannot be specific, I cannot help by giving any answer. Dr. amina wadud Pada Selasa, 28 Maret 2014 22:53, Amina Wadud menulis: some answers. Salaam.

I was born in Bethesda, Maryland, the fifth of 8 children to my parents. We lived in Silver Spring Maryland until I was 10 years and 10 months. Due to poverty we were evicted from our home and after some difficulty moved into the city Washington DC. It was August, 1963 and a few weeks later my father walked with me and one of my siblings to the famous March on Washington with the Rev. Dr. ML King giving his "I have a dream" speech. So justice and faith have a LONG history in my life.

only a few years later I would leave my family for better educational purposes thus putting me in a better position to get college, master degree and Ph.D while the other members of my family never even went to college. I was 14

It also exposed me to many different religions as I lived with families who were Jewish Catholic Unitarian Universalist and observed faith in


8

a way different from my family.

I entered University of Pennsylvania on a full scholarship when I was 17 years old.

The next year, I began practicing Buddhism and lived in a small ashram. I continued to study the world's religion and began to study Islam on my own.

On Thanksgiving day 1972 I went to a mosque already wearing long skirts and modest dress and the brothers recommended I take my shahadah. I did and began practicing Islam.

5 months later some one gave me a copy of the Qur'an and I was transformed! I decided I would study intensely to be able to read this book in its original language. I have never lost my love of the Qur'an even when it started as only an English translation.

The same love and motivation led to the writing of Qur'an and Woman, with the simple question: does it MAKE a difference who is reading the text? Is there such a thing as a woman's reading of the Qur'an and how does it impact on our IDEAS about Allah?

When I completed my Ph.D in 1988 having researched that very question for my dissertation, I accepted a job at the International Islamic University of Malaysia where I stayed for 3 years.


9

Within one month of arriving in Kuala Lumpur I met with the women whom I would join to found SIsters in Islam.

I also edited my dissertation and published it as Qur'an and Woman, now translated in about a dozen languages including Bahasa Indonesia.

I left Malaysia in 1992 and began teaching at Virginia Commonwealth University, where I remained through promotion to Associate Professor, and Full Professor, taking retirement in 2006.

In between or after, I have also done a one year visiting scholar at Harvard University in the Divinity School, a visiting scholar at University of Melbourne, at Gadjah Madha University Yogjakarta.

I am currently a visiting scholar at the Starr King School for the Ministry part of the Graduate Theological Union, Berkeley, CA. USA.

In 1994 I was asked to give the khutbah for a Friday mixed jumu'ah service in Capetown South Africa and began to ask why there has been a mainstreaming of the idea that only male can lead Islamic public ritual. It was not until 11 years later that I accepted to lead the prayer and give a khutbah in a highly publicized event held in New York, USA. March 18, 2005

My justification is based on the theology of Tawhid: Before ONE God all human beings are equal and reciprocal in relationship to each other.


10

Thus NO task is distinct by gender UNLESS it is the biological function of reproduction. all else from child care to prayer is possible for both males and females.

Any fiqh that determines it must only be men who lead mixed gender prayers has developed this opinion without a single verse in the Qur'an to prevent women from leading prayer or a single verse commanding only men to lead prayer. Like wise no hadith says it HAS to be a male and no hadith forbids a woman.

The essence of tawhid is the same I use to advocate for full human rights for women and for working to reform all policies that prevent their full equality as PART of their moral obligation before Allah as khalifah (innni jaa'ilun fi-l-ard khalifah.. our moral responsibility to be AGENTS of Allah.)

Hope this helps.

amina wadud


11

Bu Amina Wadud, I contact you again and hope you give me attention. I tell you that my research has finished and it will get examination at 25 Sept 2014, (your brithday ). give me some argumentation about praying Jumat in church in new York. Please, give some information. thank you very much. Mardety Balas, Amina Wadud Ke Saya Sep18 pada 12:23 PM No argument. Just because we wanted to pray in a building rather than outside. After choosing a religiously neutral place: a museum in New York, that place was issued a bomb threat, so pulled out.

We met instead in an large empty chamber in the church NOT IN ITS RELIGIOUS SANCTUARY.

I don't know how you could write about it without reading my detailed account in my second book Inside the Gender Jihad? Had you read that you would already have your answer to that question

-peace.. in the struggle to FIND peace... SM


12

TENTANG PENULIS MARDETY

Lahir 21 April 1949 di Pematang Siantar, Sumatera Utara.

Menikah

dengan Drs. Mardinsyah (1969) dan dikaruniai empat putra dan sebelas cucu. Berasal dari Padang Sumatera Barat, sejak tahun 1982 pindah ke ibukota Jakarta mengikuti suami yang terpilih sebagai anggota DPR-RI, periode 1982-1987 dan 1987-1992. Sejak itu menetap di Jakarta dan sekarang berdomisili di kompleks perumahan DPR-RI Joglo Jakarta Barat. Sekolah Dasar, Menengah dan Menengah Atas yang sekarang disebut dengan belajar 12 tahun, semuanya saya tempuh di Padang. Setamat Sekolah Teknik Menengah (STM) jurusan mesin yang pada waktu itu langka dimasuki oleh anak perempuan, saya melanjutkan studi ke Fakultas Teknik Jurusan mesin, IKIP Padang, tapi stop study karena menikah. Setelah menikah saya menunaikan tugas natural sebagai ibu: melahirkan, mengasuh, memelihara dan membesarkan anak-anak. Disamping itu, saya melakoni tugas-tugas sosial: mendukung karir suami yang waktu itu bertugas sebagai pimpinan legislatif provinsi Sumatera Barat dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial di lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja suami. Sepuluh tahun setelah menikah, saya kembali ke kampus. Keinginan studi selalu mengusik dan saya masuk Akademi Bahasa Asing, Jurusan Bahasa Inggris pada Akademi Prayoga Padang. Tamat tahun 1982 di Akademi ini, tahun 1984 saya masuk Fakultas Sastra, sekarang bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Jurusan Filsafat (Strata-1) Universitas Indonesia (UI). Saya tamat tahun 1988 dengan Skripsi : Fisafat Komunikasi Karl Jasper dan saya melanjutkan studi ke pasca sarjana UI jurusan Pengkajian Ketahanan Nasional dan tamat tahun 1995 dengan Thesis: Peran Perusahaan Swasta Besar Indonesia

terhadap

Ketahanan Nasional. Tahun 1996 saya terdaftar sebagai peserta program Doktor di Departemen Filsafat FIB UI dengan rencana penelitian disertasi : Dimensi Moral Kapitalisme. Karena satu dan lain hal, tahun 2000 saya harus stop study di pasca sarjana ini. Dua belas tahun kemudian (2012) saya mendaftar kembali


13

sebagai perserta program Doktor Ilmu Filsafat, FIB UI dengan disertasi Hermeneutika Feminisme Menuju Tafsir Alquran Berkeadilan gender (Refleksi Filosofis terhadap pemikiran Amina Wadud). Disamping sekolah formal di atas, saya mengambil berbagai kursus untuk menambah ketrampilan. Demikian jenjang pendidikan yang saya tempuh. Dunia kerja yang saya tempuh cukup memberi pengalaman yang bervariasi. Saya pernah menjadi guru di Sekolah Teknik di desa saya, setelah tamat STM. Menjadi guru muda, umur 19 tahun di sekolah yang semua muridnya laki-laki (pada waktu itu, sekolah teknik tidak dimasuki anak perempuan) memberi saya pengalaman berhadapan dengan karakter maskulin. Saya pernah dihadapkan pada perkelahian berkelompok di kelas, ketika saya mengajar dan saya terpaksa naik ke atas meja sambil berteriak menghentikan perkelahian itu. Setelah saya menamatkan studi di Akademi Bahasa Asing, saya menjadi guru Bahasa Inggeris di SMA no. 33 Cengkareng, Provinsi Banten. Setelah mendapat ijazah magister Ketahanan Nasional di pasca sarjana UI, saya menjadi dosen untuk matakuliah PKN dan Pancasila di Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti, Jakarta. Saya pernah mengampu mata kuliah Filsafat hukum di STIH (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum) IBLAM, Jakarta. Saya juga pernah memberi kuliah filsafat bidang aksiologi di Seskoal (Sekolah Komando Angkatan Laut, Cipulir, Jakarta). Cukup lama saya memberi kuliah filsafat di Seskoal dan untuk itu saya mendapat penghargaan Satya Lancana Dwidya Sistha sebagai Dosen Seskoal. Pengalaman yang saya garisbawahi selama saya menjadi dosen di Seskoal adalah, peserta Seskoal ini adalah perwira Indonesia dan mancanegara yang hampir setiap kelas pesertanya semua laki-laki. Saya berkesimpulan, yang dipersiapkan negaranegara untuk menjadi pemimpin, dalam hal ini komandan Angkatan Laut adalah laki-laki. Akses untuk perempuan masa itu masih terbatas. Disamping menjadi dosen saya pernah bekerja pada Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, sekarang bernama Dewan Ketahanan Nasional, sebagai Staf Pembantu Deputi (1996-2000). Waktu pemerintahan Orde Baru Dewan ini ditugaskan untuk menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang akan disahkan pada Sidang Umum MPR-RI dan diselanjutnya diserahkan pada Presiden terpilih sebagai mandataris MPR-RI. Yang mengesankan bagi saya bekerja di


14

lembaga ini adalah dalam bidang olah pikir, perempuan masih dipinggirkan, tidak banyak perempuan dilibatkan dalam bidang pemikiran untuk penyusunan GBHN. Dalam era reformasi, saya bekerja sebagai tenaga ahli Anggota DPR-RI sampai sekarang yang tugas pokoknya adalah memberi masukan materi dan analisis masalah kepada anggota DPR-RI. Demikian riwayat pekerjaaan saya.

Saya

dapat

dihubungi

di

08121853543

atau

081212560690

dan

[email protected]/ atau dra [email protected]. Alamat kantor, Gedung Nusantara I, DPR-RI, Lantai 5/28 Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat.


Lampiran 2 Surat Elektronik Amina Wadud

On Sun, Mar 23, 2014 at 7:10 AM, Dra. Mardety, M.Si Mardinsyah wrote: Bu Amina Wadud, I'm still working on my dissertation’s research for the methodology of the Qur'an according Amina Wadud . Thank God, I am almost finished and I can expect a late 2014 doctoral exam. I beg of information about the life history and struggles Amina Wadud to complete chapter 2, which tells the story of Amina Wadud intellectual background. Please inform me : - name of your father and mother - reasoning into Friday prayer leader - family background - reasoning of the struggle for gender justice Thank you for your attention. salaam mardety (University of Indonesia).

Pada Selasa, 25 Maret 2014 22:53, Amina Wadud menulis: Salaam. you MUST ask specific questions. my mother was Thelma L.C, Teasley and my father was Rev. Albert Teasley there is no one reason for leading prayer. there is no "history of struggle for gender justice" that I can answer in less than a few hundred pages. If you cannot be specific, I cannot help by giving any answer. Dr. amina wadud

1


Pada Selasa, 28 Maret 2014 22:53, Amina Wadud menulis: some answers. Salaam. I was born in Bethesda, Maryland, the fifth of 8 children to my parents. We lived in Silver Spring Maryland until I was 10 years and 10 months. Due to poverty we were evicted from our home and after some difficulty moved into the city Washington DC. It was August, 1963 and a few weeks later my father walked with me and one of my siblings to the famous March on Washington with the Rev. Dr. ML King giving his "I have a dream" speech. So justice and faith have a LONG history in my life. only a few years later I would leave my family for better educational purposes thus putting me in a better position to get college, master degree and Ph.D while the other members of my family never even went to college. I was 14 It also exposed me to many different religions as I lived with families who were Jewish Catholic Unitarian Universalist and observed faith in a way different from my family. I entered University of Pennsylvania on a full scholarship when I was 17 years old. The next year, I began practicing Buddhism and lived in a small ashram. I continued to study the world's religion and began to study Islam on my own. On Thanksgiving day 1972 I went to a mosque already wearing long skirts and modest dress and the brothers recommended I take my shahadah. I did and began practicing Islam. 5 months later some one gave me a copy of the Qur'an and I was transformed! I decided I would study intensely to be able to read this book in its original language. I have never lost my love of the Qur'an even when it started as only an English translation. The same love and motivation led to the writing of Qur'an and Woman, with the simple question: does it MAKE a difference who is reading the text? Is there such a thing as a woman's reading of the Qur'an and how does it impact on our IDEAS about Allah? 2


When I completed my Ph.D in 1988 having researched that very question for my dissertation, I accepted a job at the International Islamic University of Malaysia where I stayed for 3 years. Within one month of arriving in Kuala Lumpur I met with the women whom I would join to found SIsters in Islam. I also edited my dissertation and published it as Qur'an and Woman, now translated in about a dozen languages including Bahasa Indonesia. I left Malaysia in 1992 and began teaching at Virginia Commonwealth University, where I remained through promotion to Associate Professor, and Full Professor, taking retirement in 2006. In between or after, I have also done a one year visiting scholar at Harvard University in the Divinity School, a visiting scholar at University of Melbourne, at Gadjah Madha University Yogjakarta. I am currently a visiting scholar at the Starr King School for the Ministry part of the Graduate Theological Union, Berkeley, CA. USA. In 1994 I was asked to give the khutbah for a Friday mixed jumu'ah service in Capetown South Africa and began to ask why there has been a mainstreaming of the idea that only male can lead Islamic public ritual. It was not until 11 years later that I accepted to lead the prayer and give a khutbah in a highly publicized event held in New York, USA. March 18, 2005 My justification is based on the theology of Tawhid: Before ONE God all human beings are equal and reciprocal in relationship to each other. Thus NO task is distinct by gender UNLESS it is the biological function of reproduction. all else from child care to prayer is possible for both males and females. Any fiqh that determines it must only be men who lead mixed gender prayers has developed this opinion without a single verse in the Qur'an to prevent women from leading prayer or a single verse commanding only men to lead prayer. Like wise no hadith says it HAS to be a male and no hadith forbids a woman. The essence of tawhid is the same I use to advocate for full human rights for 3


women and for working to reform all policies that prevent their full equality as PART of their moral obligation before Allah as khalifah (innni jaa'ilun fi-l-ard khalifah.. our moral responsibility to be AGENTS of Allah.) Hope this helps. amina wadud

Bu Amina Wadud, I contact you again and hope you give me attention. I tell you that my research has finished and it will get examination at 25 Sept 2014, (your brithday ). give me some argumentation about praying Jumat in church in new York. Please, give some information. thank you very much. Mardety

4


Balas, Amina Wadud Ke Saya Sep18 pada 12:23 PM No argument. Just because we wanted to pray in a building rather than outside. After choosing a religiously neutral place: a museum in New York, that place was issued a bomb threat, so pulled out.

We met instead in an large empty chamber in the church NOT IN ITS RELIGIOUS SANCTUARY.

I don't know how you could write about it without reading my detailed account in my second book Inside the Gender Jihad? Had you read that you would already have your answer to that question

-peace.. in the struggle to FIND peace... SM

5


TENTANG PENULIS MARDETY

Lahir 21 April 1949 di Pematang Siantar, Sumatera Utara.

Menikah

dengan Drs. Mardinsyah (1969) dan dikaruniai empat putra dan sebelas cucu. Berasal dari Padang Sumatera Barat, sejak tahun 1982 pindah ke ibukota Jakarta mengikuti suami yang terpilih sebagai anggota DPR-RI, periode 1982-1987 dan 1987-1992. Sejak itu menetap di Jakarta dan sekarang berdomisili di kompleks perumahan DPR-RI Joglo Jakarta Barat. Sekolah Dasar, Menengah dan Menengah Atas yang sekarang disebut dengan belajar 12 tahun, semuanya saya tempuh di Padang. Setamat Sekolah Teknik Menengah (STM) jurusan mesin yang pada waktu itu langka dimasuki oleh anak perempuan, saya melanjutkan studi ke Fakultas Teknik Jurusan mesin, IKIP Padang, tapi stop study karena menikah. Setelah menikah saya menunaikan tugas natural sebagai ibu: melahirkan, mengasuh, memelihara dan membesarkan anak-anak. Disamping itu, saya melakoni tugas-tugas sosial: mendukung karir suami yang waktu itu bertugas sebagai pimpinan legislatif provinsi Sumatera Barat dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial di lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja suami. Sepuluh tahun setelah menikah, saya kembali ke kampus. Keinginan studi selalu mengusik dan saya masuk Akademi Bahasa Asing, Jurusan Bahasa Inggris pada Akademi Prayoga Padang. Tamat tahun 1982 di Akademi ini, tahun 1984 saya masuk Fakultas Sastra, sekarang bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Jurusan Filsafat (Strata-1) Universitas Indonesia (UI). Saya tamat tahun 1988 dengan Skripsi : Fisafat Komunikasi Karl Jasper dan saya melanjutkan studi ke pasca sarjana UI jurusan Pengkajian Ketahanan Nasional dan tamat tahun 1995 dengan Thesis: Peran Perusahaan Swasta Besar Indonesia

terhadap

Ketahanan Nasional. Tahun 1996 saya terdaftar sebagai peserta program Doktor di Departemen Filsafat FIB UI dengan rencana penelitian disertasi : Dimensi Moral Kapitalisme. Karena satu dan lain hal, tahun 2000 saya harus stop study di pasca sarjana ini. Dua belas tahun kemudian (2012) saya mendaftar kembali


sebagai perserta program Doktor Ilmu Filsafat, FIB UI dengan disertasi Hermeneutika Feminisme Menuju Tafsir Alquran Berkeadilan gender (Refleksi Filosofis terhadap pemikiran Amina Wadud). Disamping sekolah formal di atas, saya mengambil berbagai kursus untuk menambah ketrampilan. Demikian jenjang pendidikan yang saya tempuh. Dunia kerja yang saya tempuh cukup memberi pengalaman yang bervariasi. Saya pernah menjadi guru di Sekolah Teknik di desa saya, setelah tamat STM. Menjadi guru muda, umur 19 tahun di sekolah yang semua muridnya laki-laki (pada waktu itu, sekolah teknik tidak dimasuki anak perempuan) memberi saya pengalaman berhadapan dengan karakter maskulin. Saya pernah dihadapkan pada perkelahian berkelompok di kelas, ketika saya mengajar dan saya terpaksa naik ke atas meja sambil berteriak menghentikan perkelahian itu. Setelah saya menamatkan studi di Akademi Bahasa Asing, saya menjadi guru Bahasa Inggeris di SMA no. 33 Cengkareng, Provinsi Banten. Setelah mendapat ijazah magister Ketahanan Nasional di pasca sarjana UI, saya menjadi dosen untuk matakuliah PKN dan Pancasila di Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti, Jakarta. Saya pernah mengampu mata kuliah Filsafat hukum di STIH (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum) IBLAM, Jakarta. Saya juga pernah memberi kuliah filsafat bidang aksiologi di Seskoal (Sekolah Komando Angkatan Laut, Cipulir, Jakarta). Cukup lama saya memberi kuliah filsafat di Seskoal dan untuk itu saya mendapat penghargaan Satya Lancana Dwidya Sistha sebagai Dosen Seskoal. Pengalaman yang saya garisbawahi selama saya menjadi dosen di Seskoal adalah, peserta Seskoal ini adalah perwira Indonesia dan mancanegara yang hampir setiap kelas pesertanya semua laki-laki. Saya berkesimpulan, yang dipersiapkan negaranegara untuk menjadi pemimpin, dalam hal ini komandan Angkatan Laut adalah laki-laki. Akses untuk perempuan masa itu masih terbatas. Disamping menjadi dosen saya pernah bekerja pada Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, sekarang bernama Dewan Ketahanan Nasional, sebagai Staf Pembantu Deputi (1996-2000). Waktu pemerintahan Orde Baru Dewan ini ditugaskan untuk menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang akan disahkan pada Sidang Umum MPR-RI dan diselanjutnya diserahkan pada Presiden terpilih sebagai mandataris MPR-RI. Yang mengesankan bagi saya bekerja di


lembaga ini adalah dalam bidang olah pikir, perempuan masih dipinggirkan, tidak banyak perempuan dilibatkan dalam bidang pemikiran untuk penyusunan GBHN. Dalam era reformasi, saya bekerja sebagai tenaga ahli Anggota DPR-RI sampai sekarang yang tugas pokoknya adalah memberi masukan materi dan analisis masalah kepada anggota DPR-RI. Demikian riwayat pekerjaaan saya. Saya dapat dihubungi di 08121853543 atau 081212560690 dan [email protected]/ atau dra [email protected]. Alamat kantor : Kompleks Gedung DPR-RI, Gedung Nusantara I, lantai 5, Jalan Gatot Subroto Jakarta.


UNIVERSITAS INDONESIA HERMENEUTIKA FEMINISME MENUJU TAFSIR ALQURAN BERKEADILAN GENDER. Refleksi Filosofis Terhadap Pemikiran Amina Wadud DISERTASI

Recommend Documents