Ide Utama
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER (Suatu Tinjauan Pengembangan Ide Kurikulum)
Nur Said*) BSTRACT: Recently we have been showing the emergence of character crisis phenomena in this nation that casused the natinal crisis in multy-dimention. Various aspects of life also responsible for the fragility of personality of this nation. Including the school as an institution that essencially as the medium of character builder. Education to borrow a term of Shapiro (2006) already lost the hearts, because the moral and spiritual dimension has been marginalized. So if the momentum “Education Day” (May 2, 2010), the government declared a “national movement in the nation of character education,” then it needs to be well received, though still in a search model. This brief paper tries to review how the essence of character education and curriculum design as it should be prepared in the perspective of gender justice. This paper concludes that character education is different from the of moral education. If moral education tends to teach the ethical dimensions, good and bad in cognitive level, then character education requires a holistic approach. Character education as confirmed (Lickona, 1991) should include three aspects of knowing, feeling and acting of the good. Therefore, in designing the curriculum needs to consider the three-sphere which is supported by intervention efforts and habituation, starting at the class, school, and family environment. In order for the construction of curricula is not gender-biased, the need to put forward a gender perspective in developing a character education curriculum in all level. Keywords: character education, gender justice, curriculum development Dosen STAIN Kudus
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
A. Pendahuluan Dalam pespektif makro tren pendidikan akhir-akhir ini banyak bangsa di penjuru dunia termasuk Indonesia cenderung berkiblat pada Barat terutama Amerika Serikat (AS) dalam mengembangkan sistem pendidikan (Buchori, 2007; Rahmat, 2010). Yang mengejutkan ternyata pendidikan di AS yang banyak menjadi referensi pengembangan pendidikan di berbagai belahan dunia justru mengalami persoalan mendasar. Baru-baru ini Shapiro (2006) dalam buku Losing heart. The Moral and Spiritual Miseducation of America’s children menggambarkan pendidikan Amerika telah kehilangan hati, yaitu pendidikan yang terasing dari dimensi moral dan spiritual. Sekolah-sekolah cenderung mengejar tarjet skor tes dan kering makna. Sekolah kemudian mirip pabrik yang memproduksi tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (kapitalisme) belaka, dengan menyiapkan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan pasar yang begitu kompetitif. Siswa terkondisikan menghadapi orang lain sebagai kopetitor yang saling mengalahkan berebut ranking dan persaingan memperoleh lapangan kerja. Dampaknya sekolah-sekolah lalu hanya menjadi sekumpulan komunitas terpelajar namun tertutup oleh makna (closed community of meaning). Dalam hal ini sekolah-sekolah sudah menjadi komoditas yang bisa diperdagangkan (Shapiro, 2006; ). Orientasi pendidikan yang seperti ini menurut Tabb (2001) tak lepas dari ideologi pendidikan neo-liberal yang memiliki 3 (tiga) ciri yaitu; (1) penyediaan beaya pendidikan yang efisien melalui modifikasi produk untuk meraih keuntungan; (2) pengujian hasil belajar dengan standardisasi pengalaman melalui tes pilihan ganda; (3) memfokuskan pada keterampilan yang laku di pasar (marketable skills). Padahal menurut Ki Hadjar Dewantara (1962) pendidikan seharusnya memajukan bertumbuhnya watak (karakter), kekuatan batin, pikiran dan tubuh anak telah tereduksi menjadi sekedar memenuhi kebutuhan pasar kerja yang cenderung materialistik. Pengembangan karakter yang seharusnya menjadi hal essensial dalam praktek pendidikan
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
telah tergeser oleh kepentingan kapitalisme, sehingga pengetahuan, ketrampilan dan keberlangsungan pendidikan diorientasi untuk memperoleh sebanyak mungkin keuntungan secara ekonomi. Gejala seperti di atas di dukung dengan semakin menguatnya paradoks sosial yang menunjukkan seakan bangsa ini sudah kehilangan identitas diri sebagai bangsa yang berkarakter. Banyak koruptor justru muncul dari kalangan terdidik, plagiator marak mulai dari mahasiswa hingga guru besar (The Jakarta Post, 12/11/2009; Kompas, 10/2/2010; Mujahidah, 2010). Banyak pelajar tawuran justru pada jamjam yang semestinya mereka belajar (Assegaf, 2002). Sementara dalam konteks ranah relasi gender perilaku yang menunjukkan menjadikan perempuan sebagai korban dalam berbagai bentuknya juga semakin hari semakin meningkat. Mulai dari tak dipedulkannya hak-hak reproduksi perempuan dalam penguangsian baik karena korban bencan atau konflik sosial, isu Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang menjadi korban majikan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan sejenisnya (Ratnasari, 2009; Said, 2005; Sumbulah, 2008) menunjukkan bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis identitas dan krisis harga diri manusia Indonesia. Krisis identitas ditandai dengan hilangnya kepercayaan diri antara lain terlihat dalam merosotnya mutu warga bangsa sehingga tidak bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain (St. Sularto, 2009: 119-121). Lebih jauh menurut Buchori (2007; 2010) adanya berbagai krisis yang ada seperti itu, tak lepas dari sumber utama yang tak lain adalah krisis karakter bangsa. Karena itu semua pihak terutama para praktisi pendidikan mulai dari guru, kepala sekolah, pengembang kurikulum hingga tenaga kependidikan di semua jenjang perlu mengembalikan ruh pendidikan yang mulai sirna tersebut. Persoalannya kemudian meskipun pendidikan karakter bukan merupakan sesuatu yang baru, tetapi sebagaimana ditekankan oleh Martin Buber sebagaimana dikutib oleh Rahmat (2010) bahwa “education worthy of the name is essensially is education of character”. Dengan kata lain pendidikan digagas
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
tak lain untuk pengembangan karakter peserta didik. Karena itu apabila dalam kenyataannya pendidikan justru sekedar membekali kompetensi yang berbasis ktrampilan yang dibutuhkan industri belaka, tanpa membekali dengan nilainilai terinternalisasi dalam kepribadian peserta didik, maka pendikan telah mengalami disorientasi. Untuk merespon berbagai persoalan di atas, maka paper ini akan mencoba membahas tiga hal; (1) Ulasan tentang geneologi hakekat pendidikan karakter; (2) Dimensi ontologis pendidikan karakter; (3) Uraian tentang pengembangan kurikulum pendidikan karakter; (3) Gagasan pendidikan karakter sensitif gender. B. Geneologi Pendidikan Karakter Untuk melacak cikal bakal pendidikan karakter secara geneologis hingga menjadi masuk dalam ranah sistem pendidikan memang tidaklah mudah. Namun kajian akademik yang cukup kompreshensif tentang hal ini cukup menarik mencermati ulasan Doni Koesuma A (2007) dalam buku terbarunya Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Menutnya pendidikan karakter pertama kali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W.Foerster (18691966) yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi. Pendidikan karakter muncul sebagai reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis deweyan dan pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai pedagogi di Eropa dan Amerika Serikat di awal abad 19 yang mulai dirasakan semakin tidak mencukupi lagi bagi sebuah formasi intelektual dan kultural seorang pribadi (Koesoema, 2007: 9-44). Pada saat itu mulai muncul polemik anti-positivis dan anti-naturalis dalam konteks pendidikan yang berkembang di eropa sebagai bagian dari gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal yang lebih didominasi pendekatan psikologis-sosial menuju sebuah cita-cita humanisme yang
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
kental dengan dimensi kultural dan religius. Karena itu lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf perancis Auguste Comte (Koesoema, 2007: 9-44). Tujuan pendidikan, menurut Foerster sebagaimana dikutip Koesoema (2007) adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi, yang memberikan kesatuan dan kekuatan atas keputusan diambilnya. Karena itu, karakter menjadi semacam identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah kualitas seorang pribadi diukur. Namun kalau mencermati kehadiran Islam yang secara normatif menegaskan dalam risalah kenabian bahwa “innma buitstu liutammima makarima al akhlaq” (sesungguhnya saya [Nabi Muhammad saw] diutus oleh Allah swt tak lain untuk menyempurnakan akhlak, hal ini menunjukkan bahwa sejak kehadirannya, Islam yang dibawa melalui Nabi Muhammad saw mengemban misi utama untuk membangun karakter. Akhlak dalam bahawa arab semakna dengan dengan karakter (character) dalam bahasa Inggris. Yang membedakan hanyalah pada sumber nilainya saja. Kalau akhlak lebih berorientasi pada nilai-nilai Islam, sementara dalam “karakter” lebih bermakna universal termasuknya di dalamnya karakter yang didasari pada nilai-nilai spiritualitas Islam (Saebani & Hamid, 2010: Lickona, 1991). Dengan demikian pendidikan karakter dalam Islam hadir sejak keberadaan Islam itu sendiri atau sejak diutusnya Rasulullah saw pada abad ke-VII Masehi. Karena itu Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individuindividu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Penekanan kepada pentingnya peserta didik supaya hidup dengan nilainilai kebaikan, spiritual dan moralitas dalam pendikan Islam
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
tidak bisa diabaikan. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan, baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi (Muhaimin, 2008: 36-37). Sementara manusia dewasa yang baik secara akal, mental maupun moral tentu akan menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi. Manusia yang bisa menjalankan antara apa yang dipahami sebagai baik dan meninggalkan apa yang dipahami sebagai buruk adalah bagian dari ciri-ciri manusia yang berakhlak (berkarakter). Demikian juga dalam konteks keindonesiaan Bapak pendidikan nasional kita Ki Hadjar Dewantara (1962) sejak awal menegaskan bahwa pendidikan perlu mengkondisikan tumbuhnya watak (karakter) disamping kekuatan batin, pikiran dan tubuh. Pendidikan menunutut adalanya olah pikir (head), olah rasa (heart) dan olah raga yang mendukung ketrampilan hidup (hand). Dalam upaya penguatan karakter peserta didik inilah maka Dewantara dengan cerdas merumuskan formulanya yang dikenal dalam rumusan; ”Ing ngarso sun tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani” (di depan menjadi teladan, di tengah mengembangkan karsa, membimbing dari belakang). Pandangan tersebut menunjukkan bahwa konsep menghantarkan peserta didik dalam mengembangkan diri dan kepribadiannya begitu menonjol terumuskan dalam tujuan pendidikan. Karena itu menurut Hasan (2005) orientasi pendidikan perlu diarahkan untuk memenuhi karakter dan kemampuan dalam kehidupan pada situasi zamannya. Konsep sebagaimana dilontarkan Ki Hajar Dewantara tersebut menurut Hasan (2008: 176) justru telah menerapkan dari pandangan filosofis ”rekonstruksi sosial” yang banyak dibahas dalam dunia pendidikan pada masa kini. Namun sayangnya seiring dalam perjalan sejarah pendidikan Indonesia memperlihatkan bahwa setelah UU nomor 4 tahun 1950 dan Undang-Undang nomor 12 tahun 1954, konsep seperti itu tidak lagi menjadi suatu landasan kuat pendidikan pada masa berikutnya karena kepentingan ilmu menduduki
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
posisi yang lebih penting daripada pengembangan karakter. Pendidikan lalu kemudian sekedar menyiapkan para peserta didik untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi, atau hanya untuk mereka yang memang mempunyai bakat pada potensi akademik (ukuran IQ tinggi). Hal in terlihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik peserta didik saja, yang sering diukur dengan kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa, menghafal, abstraksi – atau ukuran IQ). Padahal ada banyak potensi lainnya yang perlu dikembangkan, karena berdasarkan teori Howard Gardner (1983) tentang kecerdasan majemuk, potensi akademik hanyalah sebagian saja dari potensi-potensi lainnya. Kesadaran paradigmatik mengenai pendidikan yang mampu mengkonstruk karakter peserta didik dalam hal ini bisa dijadikan sebagai ide kurikulum. Pendidikan karakter hanya menjadi wacana belaka kalau tidak dibarengi dengan pengembangan kurikulum pada tataran sebagai dokumen, implementasi dan juga sebagai hasil. C. Dimensi ontologis Pendidikan Karakter Secara istilah, karakter sebagaimana dinyatakan oleh Lickona (1991, 51) bahwa, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior . . . habits of the mind, habits of the heart, and habits of action”. Dengan kata lain karakter akan terkait dengan mengerti tentang kebaikan, mencintai kebaikan dan melakukan kebaikan. Mengerti kebaikan tidak melulu dalam arti pengertian kognitif. Tetapi di dalamnya juga terkait dengan pengertian praktis, pengertian yang terkait dengan tindakan. Karenanya karakter akan muncul pada situasi kritis. Ada kemungkinan untuk memilih, atas berbagai pilihan yang mungkin ada, dan apa yang dilakukannya. Dan ini dapat terjadi di dalam situasi-situasi kritis. Salah satu tolok ukur menguji karakter menurut Budi Subanar (2010) dapat dilihat dari tindakan yang diambil seseorang dalam situasi kritis. Itulah sebabnya di dalam mengerti kebaikan juga terkait dengan pengertian praktis. Ini
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
berarti tidak melulu mengerti, tapi juga bertindak atas dasar pengertian tersebut. Hal kedua yang terkait dalam karakter (baik) adalah mencintai kebaikan. Terdorong untuk memilih untuk melakukan hal yang baik. Kondisi seperti itu bukanlah sesuatu yang taken for granted (cetak biru) karena dimensi kemanusiaan tak lepas dari gejala kejiwaan dengan berbagai potensi pikir, dzikir dan ikhtiar yang hidup dalam lingkungan tertentu. Faktor internal dan ekternal harus selaras dalam membangun karakter individu atau masyarakat. Untuk kepentingan inilah dibutuhkan upaya sadar dan terencana yang mengkondisikan setiap individu terbangun karakternya melalui proses pendidikan karakter. Kalau mengambil isnpirasi seorang filsuf Jerman era modern, Immanuel Kant sebagaimana dikutip Amin Abdullah (2010) ditegaskan bahwa Pendidikan Karakter adalah pendidikan kemanusiaan yang bertujuan menjadikan manusia “baik”. Menjadikan manusia “baik” tanpa prasyarat apapun. Karena itu dengan dengan Pendidikan Karakter yang berhasil akan membuat warga masyarakat dan warga negara menjadi “baik” tanpa prasyarat apapun. Menjadikan warga negara yang “baik” tanpa embel-embel syarat agama, sosial, ekonomi, budaya, ras, politik dan hukum. Pendidikan Karakter seperti ini sejalan dengan cita-cita kemandirian manusia (moral otonomy) dalam bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan Karakter yang sukses akan sama dengan tujuan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang baik dalam ranah multikultural, multietnis, multibahasa, multi religi di era globalisasi seperti saat sekarang ini. Pendidikan karakter akan menegaskan kehidupan yang baik dengan meletakkan dimensi kemanusiaan pada level satu. Sedangkan aspek lain di luar domensi kemanusiaan seperti pangkat, jabatan, ras, etnis, golongan, politik, ekonomi pada level dua. Karena kekuatan karakter seseorang dalam pandangan Foerster seperti dikutip oleh (Doni Koesoema, 2007) tampak dalam 4 ciri fondamental yang mesti dimiliki yakni; (1) keteraturan interior melalui mana setiap tindakan
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
diukur berdasarkan hierarki nilai. Ini tidak berarti bahwa karakter yang terbentuk dengan baik tidak mengenal konflik, melainkan selalu merupakan sebuah kesediaan dan keterbukaan untuk mengubah dari ketidakteraturan menuju keteraturan nilai.; (2) koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seseorang dapat mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang; (3) otonomi yakni kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat melalui penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan dari pihak lain; (4) keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik, sedangan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Penjelasan di atas persis sebagaimana juga ditegaskan oleh Ke Hadjar Dewantara dengan terminologi yang khas berakar pada budaya bangsa yang disebutnya sebagai pendidikan budi pekerti. Menurutnya (1962, 24): “budipekerti atau watak jaitu bulatnya djiwa manusia, jang dalam bahasa asing disebut “karakter”, …sebagai djiwa jang sudah “berasas hukum kebatinan”. Orang jang mempunjai ketjerdasan budipekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar jang pasti dan tetap. Itu sebabnja tiap-tiap orang itu dapat kita kenal wataknja dengan pasti…” Karena itu Dewatara (1962) menekankan bahwa praktek pendidikan harus dibangun dengan tidak mengabaikan konsep “Tringa” yaitu ngerti (mengetahui), ngroso (memahami) dan nglakoni (melakukan). Artinya, tujuan orang hidup pada dasarnya adalah meningkatkan pengetahuannya tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan sensifitas yang ada disekitarnya, serta melaksanakan ajaran yang ia telah ketahui sebelumnya. Kemudian konsep Tringa
10
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
ini berkembang menjadi konsep “Trisakti Jiwa” yang terdiri dari cipta, rasa dan karsa. Ini berarti untuk melaksanakan segala sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil olah pikir, hasil olah rasa, serta motivasi yang kuat didalam dirinya. Yang kemudian konsep Trisakti Jiwa ini berkembang lagi menjadi konsep “Trihayu” yaitu, memayu hayuning sariro, memayu hayuning bongso, dan memayu hayuning bawono. Maksudnya, apapun yang diperbuat oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya dan juga bermanfaat bagi orang lain bagi manusia secara keseluruhan (Saiful Mustofa, 2010). Karena itu sesungguhnya akar pendidikan yang dibangun oleh para founding fathers hakekaktnya adalah pendidikan karakter, bukan pendidikan yang yang berbasis pada kebutuhan pasar industri minus karakter. Karena itu dalam hal ini perlu merevitalisasi pendidikan karakter yang telah ada dengan merekonstruksi kurikilum di semua jenjang pendidikan (Siskandar, 2010). Proses konstruksi dan rekonstruksi kurikulum pendidikan karakter ini mensyaratkan keterlibatan banyak pihak mulai dari lingkungan kelas, sekolah, masyarakat dan keluarga. Karena pendidikan karakter adalah proses sosial budaya yang berkelanjutan yang membutuh kesadaran budaya dan kecerdasan budaya (cultural intellegence). D. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Karakter Dengan lahirnya Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang pada ranah kurikulum lalu melahirkan ide kurikulum yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka hal ini memberi ruang yang luas bagi setiap satuan pendidikan untuk secara kreatif mengkonstruksi dan mengembangkan kurikulum di setiap jenjang pendidikan. UU Sisdiknas mendefinisikan pendidikan sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yuang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” (Bab I Pasal 1). Dengan konsep pendidikan seperti jelas memperlihatkan sejumlah pokok yang berkaitan dengan pendidikan sangat berkaitan erat dengan pembentukan karakter dengan tetap memperhatikan potensi kecerdasan yang dimiliki oleh masingmasing peserta didik. Sedangkan mengenai pengembangan kurikulumnya secara penuh diserahkan kepada masing-masing satuan pendidikan sebagaimana sejalan dengan semangat KTSP. KTSP yang mulai diberlakukan secara nasional pada tahun 2006 jelas berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Perbedaan yang paling mendasar adalah bahwa KTSP merupakan produk dari penjabaran. Dua hal penting yang membedakan KTSP dengan kurikulum sebelumnya adalah (a) diberlakukannya kurikulum yang berdiversifikasi, dan (b) adanya standardisasi pendidikan sebagai akibat dari heterogenitas bangsa, baik dilihat dari aspek geografisnya maupun latar belakang sosial budayanya. Heterogenitas ini membawa dampak bahwa terdapat perbedaan yang cukup bermakna antara daerah dan pusat (Kamarga, 2009). KTSP dengan demikian menjadi tantangan tersendiri bagi para guru dan pengelola pendidikan (sekolah) untuk mendesian kurikulum sesuai potensi daerahnya masing-masing, mulai dari tujuan, isi/materi, matode, media hingga evaluasi. Karena itu inovasi selalu dibutuhkan, terutama dalam bidang kurikulum, untuk mengatasi masalah-masalah yang mempengaruhi kelancaran proses pembelajaran. Sebagaimana ditegaskan oleh Rosenblum & Louis (1981 : 1) terkait dengan inovasi dalam pembelajaran: “Declining enrollments, rapid changes in the existing technology and knowledge about teaching and learning processes, a continual expansion of the role of the school into new areas, and changes in the prevailing cultural preferences of both local communities and the larger society continually impel schools to inovate” Dengan demikian pesatnya perubahan sosial dan perkembangan pengetahuan tentang belajar dan mengajar
11
12
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
menuntut adanya pembaruan-pembaruan yang berbasis pada kepentingan peserta didik dan stakeholder. Dibarengi dengan semangat pengembangan KTSP, maka pembaruan (inovasi) dalam berbagai komponennya kurikulum mutlak diperlukan dalam bingkai menjadikan sekolah sebagai sarana pendidikan yang mampu membangun karakter bangsa. Dalam grand design pendidikan karakter yang dirumuskan oleh Kemendiknas digambarkan dalam bagan sebagai berikut (Kemendiknas, 2010):
Dengan memperhatikan bagan di atas dapat dipahami bahwa pendidikan karakter membutuhkan proses sosial yang dalam bingkai pendidikan dan melibatkan para pemangku kepentingan mulai di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Sedangkan pada tataran mikro di tingkat sekolah dapat digambarkan sebagai berikut (Kemendiknas, 2010):
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
Bagan mikro pendidikan karakter seperti di atas menunjukkan bahwa pendidikan karaktekter harus diselenggarakan secara holistik dan selaras antara teori (knowing) dan prakteks (acting) yang dilandasi dengan perasaan cinta (loving). Kondisi seperti itu harus terintegrasi mulai di ruang kelas, sekolah dan keluarga sehingga menjadi habitus dan etos yang tumbuh dalam pribadi anak dalam konteks interaksi sosial dalam berbagai dimensinya. Hal ini seperti juga ditegaskan oleh Amin Abdullah (2010) bahwa Pendidikan Karakter diawali dengan Pengetahuan (Teori), Pengetahuan (Teori) tersebut bisa bersumber dari pengetahuan agama, sosial, budaya. Kemudian dari pengetahuan itu diharapkan dapat membentuk Sikap atau akhlak yang mulia. Namun yang paling penting dari rangkaian panjang ini adalah mengamalkan apa yang diketahui itu. Dengan pola seperti itu dapar dipahami bahwa model paradigma pembelajaran Pendidikan Karakter (humanities) semestinya tidaklah seperti pembelajaran sains (natural sciences) yang memang memerlukan ketajaman analisis intelektual. Yang diperlukan dalam pembelajaran humanities, dalam hal ini Pendidikan Karakter menurut Abdullah (2010), adalah kemampuan guru, dosen, pendidik, pemimpin untuk “menyentuh dan menyapa keseluruhan dan keutuhan pribadi anak didik. Keutuhan pribadi manusia meliputi perasaan, rasio, imajinasi, kreativitas dan memori. Dengan begitu, paradigma Pendidikan Karakter seharusnya lebih tajam diarahkan pada kehendak dan motivasi, dan bukannya intelektualitas. Oleh karena itu, yang perlu dikenal terlebih dahulu oleh para pendidik adalah Struktur Kepribadian manusia. Sedangkan Motivasi atau Kehendak sangat terkait dengan Hatinurani(Abdullah, 2010). Maka Pendidikan Karakter adalah Pendidikan Hatinurani, yang menekankan pentingnya sentuhan rahsa dan kalbu (heart). Dimensi hati perlu mendapatkan sentuhan khusus dalam pendidikan karakter, sebagaimana sudah sering disadari dalam tradisi Islam bahwa sesungguhnya dalam jasad setiap manusia terdapat segumpal darah, yaitu hati (“ala inna fi al-
13
14
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
jasadi mudghah, wa hiya qalbu”). Namun yang menarik menurut pemahaman Abdullah (2010), hati atau qalbu disini bukanlah bentuk fisiknya berupa segumpal darah, melainkan adalah Mind Set atau seperangkat nilai-nilai yang telah membentuk perilaku. Mind Set inilah biasa disebut dengan filsafat hidup pribadi (Mabda’ al hayah), yang telah mendarah mendaging. Dalam Mind Set atau Falsafah hidup pribadi mempunyai berbagai potensi yang seluruhnya perlu disentuh dan digerakkan, antara lain emosi, rasio, imajinasi, memori, kehendak, nafsu, dan kecenderungan-kecenderungan. Seluruh potensi ruhani yang tertimbun dalam badan fisik manusia akan tampak keluar ke permukaaan dalam bentuk perilaku lahiriyyah, baik dalam bentuk ekspresi wajah atau raut muka (senyum, sangar, cemberut, peduli, ramah), gerak-gerik (bhs Jawa : solah bowo) mencurigakan, slintutan), tutur bicara ( bhs Jawa : muna muni) seperti halus, kasar, galak, manis, tingkah laku (tegas, sopan, kasih sayang) dan juga kelalaian (lupa, tidak serius, tidak teliti). Untuk mengkondisikan peerta didik mampu menemukan falsafat hidupnya (mind set) yang menancap dalam hati tersebut tidak mungkin ditemukan melalui proses pembelajaran yang menekankan pada orientasi isi (content) belaka tetapi membutuhkan srangkaian pembelajaran yang bermakna (meaningfull learning). Pembelajaran yang bermakna menurut Shapiro (2006, 40-41) justru seharusnya menekankan juga dimensi isi dari kurikulum yang tersembunyi (the conten of the hidden curriculum). Dalam prakteknya peserta didik tak sekedar belajar isi dalam materi pelajaran saja tetapi dalam proses pembelajaran guru harus mampu menghadirkan makna dalam hubungannya dengan kehidupan nyata yang kongrit, misalnya makna relasi sosial dalam sekolah, pentingnya pengetahuan teknis, ekpresi estetik dan juga pentingnya empati dalam kehidupan sosial. Karena itu peserta didik yang menemukan makna (meaning) dalam belajar, mereka akan terbangun rasa cinta (feeling and loving) dalam belajar, sehingga nilai-nilai yang mereka dapatkan akan direproduksi menjadi spirit dalam bertindak dalam kehidupan nyata tanpa paksaan dan tanpa
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
beban sehingga menjadi karakter dalam diri mereka. Namun persoalnnya kemudian bahwa pendidikan karakter adalah cakupan yang luas, seluas kehidpuan itu senditi. Karena dalam mendesain pendikan karakter dalam setaiap satuan pendidikan perlu menentukan nilai-nilai utama yang akan menjadi unggulan dalam karakter peserta didik yang dicita-citakan. Hal ini tentu tak lepas dari cita-cita kualitas masa depan manusia seperti apa yang ingin diraih (Hasan, 2009). Hal ini juga tidak bisa diabaikan dengan konstruksi budaya serta masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat pembelajar. Karena itu ketika pendidikan karakter dalam hal ini ingin diorientasikan pada kosntruksi masyarakat yang berkedailan gender, maka dalam pengembangan kurikulum juga perlu menggunakan perspektif gender. Untuk kepentingan inilah para pengembang kurikulum juga perlu menggunakan paradigma pengembangan kutikulum pendidikan karakter inklusi gender yang dalam prosesnya identifikasi masalah tak lepas dari analisis gender. E. Kurikulum Pendidikan Karakter Inklusi Gender Istilah inklusi dalam dunia pendidikan biasanya lebih menunjukkan upaya penyatuan pendidikan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus (BK) ke dalam program sekolah reguler dengan cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidiakan yang menyeluruh (Smith, 2009). Meskipun istilah inklusi memiliki makna yang berbedabeda, namun semangat yang ditonjolkan adalah sebagai cara baru untuk berbicara mainstraiming sebagai banner untuk menyerukan full inclusion atau penghapusan pendidikan khusus atau sering disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Dalam kajian gender hal ini bisa kaitannya dengan pendidikan karakter inklusi gender, menunjukkan suatu upaya pendidikan karakter yang menumbuhkan kesadaran karakter yang mengembangkan relasi sosial yang berkeadilan gender. Dengan kata laia keadilan gender tak sekedar menjadi wacana tetapi mampu terinternalisasi dalam kesadaran indvidu
15
16
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
sehingga menjadi karakter dalam sosialitanya. Di tengah maraknya gerakan pendidikan karakter tanpa dibarengi dengan perspektif gender, maka bukan tidak mungkin karakter bangsan yang terbangun menjadi bias gender. Karena itu perlu upaya khusus orientasi kurikulum pendidikan karakter yang adil gender. Gagasan memasukkan isu-isu gender bukanlah sesuatu yang baru, namun masih dalam proses menemukan bentuknya. Karena itu dalam satuan pendidikan bisa dengan mengembangkan kurikulum yang dibuat berbasis gender. Bukti masuknya ide ini dalam kurikulum dapat dilihat dari adanya Kurikulum Kesetaraan Gender (KKG) dengan nilainilai Integritasi pada Kurikulum yang wajib dilaksanakan guru-guru dalam kegiatan belajar mengajar yaitu: Persamaan hak laki-laki dan perempuan, perbedaan fisik laki-laki dan perempuan, partisipasi laki-laki dan perempuan, keadilan bagi laki-laki dan perempuan, kerja sama laki-laki dan perempuan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, menghargai kemajemukan, demokrasi. Secara historis pengembangan model integrasi kurikulum kesetaraan gender ini, dilandasi oleh Deklarasi pada Komperensi Dunia Tingkat Tinggi untuk Anak, yang tertera pada point 7 (5) yang berbunyi “ ... ketidakseimbangan gender dalam pendidikan dasar dan menengah harus ditiadakan”. Demikian juga dalam Konperensi Dunia Tingkat Tinggi untuk Anak pada point 39 (c) yang berbunyi: “ ... Menghapuskan ketimpangan gender dalam pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005; dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015 (UNICEF). Sementara dalam Lampiran Inpres No 9/ 2000, juga ditegaskan bahwa kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut merupakan problem mendasar dalam pendidikan.
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
Karena itu Kemendiknad melalui upaya Pengarusutamaan Gender (PUG) melakukan pengurangan kesenjangan tersebut. Salah satu caranya dengan pengadaan kurikulum berbasis gender (Konsep Pengembangan Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender). Karena itu dalam konteks pendidikan karakter yang juga telah menjadi gerakan nasional tahun ini perlu membangun orientasi yang jelas dalam pengembangan kurikulum agar karakter bangsa yang terbangun juga adil gender. Menurut Sunaryo (2010) pendidikan karakter harus menyatu dalam proses pembelajaran yang mendidik, disadari guru sebagai tujuan pendidikan dan dikembangkan dalam suasana pembelajaran transaksional, bukan instruksional dan dilandasi semangat yang mendalam terhadap perkembangan peserta didik. Lebih jauh orientasi kurikulum transaksional sebagaimana dijelaskan lebih rinci oleh Seller dan Miller (1985, 62-67) memposisikan pendidikan memiliki fungsi utama sebagai upaya dialog antara siswa dan kurikulum dimana siswa merekonstruksi ilmu melalui proses dialog. Karena itu individu dipandang sebagai makluk rasional dan memiliki intellegensi untuk memecahkan masalah termasuk ketika dihadapkan pada isu-isu ketidakadilan gender. Kalau digambarkan dalam bagan sederhana relasi kurikulum dengan dengan peserta didik berorientasi transaksional yang sensitif gender adalah sebagai berikut:
Dengan mencermati bagan di atas dapat dipahami bahwa konstruk kurikulum harus secara partisipatoris didialogkan dengan pengalaman peserta didik, lingkungan dan isu-isu aktual. Proses dialog tidak hanya untuk mencapai tujuan individual dalam konteks tujuan pendidikan nasional yang ingin
17
18
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak, mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab; juga untuk mencapai tujuan kolektif dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; dan juga tujuan eksistensial untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bertabat. Proses transaksional yang dibarengi dengan analisis gender tersebut dapat dijadikan sebagai ide kurikulum yang kemudian dikembangkan menjadi dokumen kurikulum yang menyangkut komponen-komponen tujuan, isi, metode dan evaluasi yang untuk selanjutnya sebagai pengayaan dalam menyusun silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Perlu diingat juga kurikulum pendidikan karakter inklusi gender dalam implementasinya harus diimplementasikan secara holistik tidak hanya menekankan pada satu mata pelejaran tetapi setiap mata pelajaran juga berupaya saling mendukung sehingga menjadi sebuah pembelajaran yang mendidik secara sinergis, mulai di kelas, sekolah, dan juga lingkungan keluarga. Dengan perspektif seperti ini maka gerakan pendidikan karakter yang sedang dikembangkan akhir-akhir ini akan menemukan relefansinya dengan upaya pengarustamaan gender dalam dunia pendidikan di semua jenjangnya. F. Penutup Sebagai penutup dapat penulis sarikan beberapa catatan penting terkait ulasan paper ini; 1. Pendidikan digagas pada dasarnya memiliki dimensi ontologis sebagai upaya pembentukan karakter demi terwujudnya sistem sosial yang bermartabat besendikan moral dan spiritual. 2. Pendidikan karakter membutuhkan proses panjang dan mensyaratkan keterlibatan semua elemen yang terlibat dalam proses pendidikan. Karena itu dibutuhkan kesadaran budaya dan kecerdasan budaya sehingga nilai-nilai yang
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
ditanamkan menjadi habitus dan etos. 3. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan karakter yang berkeadilan gender menuntut adanya proses transaksional (dialog) antara kurikulum sebagai ide, konstruk dan implementasi dengan peserta didik dalam lingkungannya secara berkesinambungan dibarengi dengan perspektif dan analisis gender untuk diaktualisasikan melalui komponenkomponen kurikulum mulai dari tujuan, isi, metode dan evaluasinya.
19
20
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
Sumber Referensi Abdullah, A. (2010). “Pendidikan Karakter : Mengasah Kepekaan Hati Nurani”. Makalah disampaikan pada acara Sarasehan Nasional Pendidikan Karakter, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Hotel Santika, Yogyakarta, 15 April 2010. Assegaf, A.R. (2002). Politik Pendidikan Nasional, Pergeseran Kebijakan Penadidikan Agama Islam dari Praproklamasi ke Reformasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Assegaf, A.R. et. all. (2002). Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://www.ditpertais. net/istiqro/ist02-03.asp (19 Mei 2010). Basuki. (2006). “Mengonkruksi Pendididikan Kritis-Humanis dan Populis, Tinjuan tentang Politik Pendidikan Indonesia Era Globalisasi”, dalam Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan, EDUKASI. 4, (2), 38-53. Brameld, T. (1995). Philosophies in Education in Cultural Perspectives. Toronto: London, Holt Rinehat. Buchori, M. (2010). “Guru Profesional dan Plagiarisme”. KOMPAS (22 Februari 2010). Buchori, M. (2010). “Krisis Morak dan Masalah Karakter”. KOMPAS (9 Februari 2010). Buchori, M.. (1994). Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan dalam Renungan. Jakarta. IKIP Muhammadiyah Jakarta Press. Buchori, M.. (2007). Evolusi Pendidikan di Indonesia; Dari Kweekschool Sampai ke IKIP; 1852-1998. Yogyakarta. INSISTpress. Damanik, J. (2010). “Epidemi Plagiarisme”. KOMPAS (19 Februari 2010). Dewantara, K.H. (1962). Karja Ki Hadjar Dewantara. Jogjakarta. Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Gardner, H (1983). Frames of Mind: The theory of multiple intelligences, New York: Basic Books.
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
Hasan, S. H. (2005). Perkembangan Kurikulum: Perkembangan Ideologis dan Teoritik Pedagogis (1950–2005). dalam www. geocities.com/konferensinasionalsejarah/s_hamid_ hasan.pdf [akses 1 Juli 2009] Hasan, S.H. (2009). “Kurikulum, Standar Kompetensi Lulusan dan Ujian Nasional”, dalam Sejarah Sebuah Penilaian, Refleksi 70 tahun Prof. Dr. H. Asmawi Zaenul, M.Ed. Bandung. Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI. Hasan, S.H. (2009). “Evaluasi Pengembangan KTSP: Suatu Kajian Konseptual”, dalam Jurnal Inovasi Kurikulum, Pebruari 2009, Thn. 5. Vol 1 Nomor: 6 Hursh, D. Neo-liberalism, Markets and Accountability: transforming education and undermining democracy in the United States and England. [Online]. Tersedia: http:// www.wwwords.co.uk/pdf/validate.asp?j=pfie&vol=3 &issue=1&year=2005&article=2_Hursh_PFIE_3_1_web (5 Mei 2010) Kamarga, H. (2009), Inovasi Pendidikan dan Upaya Percepatan Pembangunan Bangsa. [Online]. Bisa diakses http:// hanckey.pbworks.com/Inovasi-Pendidikan (2 Nopember 2009). Kamarga, H. “Inovasi Pendidikan dan Upaya Percepatan Pembangunan Bangsa” dapat diakses di http://hanckey. pbworks.com/Inovasi-Pendidikan [on line 1 September 2009]. Kartadinata, S.(2010). Mencari Bentuk Pendidikan Karakter Bangsa. [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu/ Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PSIKOLOGI%20PE ND%20DAN%20BIMBINGAN/195003211974121%20%20SUNARYO%20KARTADINATA/MENCARI%20BE NTUK%20PENDIDIKAN%20KARAKTER%20BANGSA. pdf Koesoema A, D. (2007). Pendidikan Karakter, Strategi Mendidikan Anak di Zaman Global. Jakarta. Grasiondo. Koesoema A, D. (2007). “Pendidikan Karakter”. [Online]. Tersedia http://albertdoni.blogspot.com/2007/09/
21
22
PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
pendidikan-karakter-doni-koesoema.html (2 Mei 2010). Lickona, T. (1991). Educating for Character, How Oer School can Teach Respect and Responsibility. New York. Bantam Books. Miller, J.P. & Seller, W. (1985). Curruculum Perspectives and Practice. New York & London. Longman. Mujahidah. (2009). “Praktek Menyontek; Tradisi Klasik dalam Dunia Pendidikan”. Jurnal Kependidikan Ar-Riwayah. 2, (2), 45-58. Mustofa, S. (2010). Pemimpin Mati Rasa: Sebuah Kado di Hari Kebangkitan Nasional. [Online]. Tersedia http:// saifulmustofauin.blogspot.com/c (8 Juni 2010) Newman, Isadore and Carolyn R. Benz. (1998). Qual-Quan Research Methodology; Exploring the Interactive Continum. SIU Press. Patton, A. Self-Evaluation Dalam Konteks Perencanaan Strategis. [Online]. Tersedia: http://www.akademik.unsri.ac.id/ download/journal/files/brapub/7Self-evaluation%20 dalam%20Konteks%20Perencanaan%20Strategis-ADRI. pdf [Januari 2010] Rahmat, J. (2010). Membangun Karakter: Mengembalikan Jiwa Pedidikan. Makalah Pembekalan Guru SMU Plus Muthohhari Bandung. Rosenblum, S. & Louis, K. S. (1981). Stability and Change, Innovation in an Educational Context. New York & London : Plenum Press. Said, N. (2005). Perempuan Dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia. Yogyakarta.Pilar Media Shapiro, H.S. (2006) Losing Heart. The Moral and Spiritual Miseducation of America’s children. London: Lewrence Erlbaum Associates, Publishers. Smith, J.D. (1998). Inclusion, School for All Student. Wadsworth Publishing Company. Subanar, B. (2010). ”Mendidik: Membentuk Pribadi Yang Berkarakter. Tantangan Pendidikan di Era Informasi
PENDIDIKAN KARAKTER BERKEADILAN GENDER Nur Said
dan Komunikasi”. Makalah disampaikan pada acara Sarasehan Nasional Pendidikan Karakter, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Hotel Santika, Yogyakarta, 15 April 2010. Subkhan, E. (2009). “The Polarization of the Post-New Order Indonesian Education Ideologies”. Makalah dipresentasikan pada Internastional Seminar on: (Re)Considering Contemporary Indonesia:Striving for Democracy, Sustainability, and Prosperity, A Multidisciplinary Perspective. Diselenggarakan oleh Academy Professorship Indonesia in Social Sciences & Humanities, The Graduate School , Gadjah Mada University, in Yogyakarta, 2-3rd December 2009. Sularto, St. (2009). “Krisis Identitas dan Harga Diri”. Dalam Negara Minus Nurani; Esai-esai Kritis Kebijakan Publik. Indratno, A.F.T. (ed.). Jakarta. Penerbut Buku Kompas. Sumbulah, U., Dkk. (2008). Spektrum Gender; Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi. Malang. UIN Malang Press. Tabb, W. (2001). Essay: Globalization And Education As A Commodity [Online]. Tersedia: http://www.psc-cuny. org/jcglobalization.htm (5 Mei 2010) “Plagiarism”. (2010). [Online]. Tersedia di http://www. thejakartapost.com/news/2010/02/04/plagiarism.html (2 Mei 2010). “Pendidikan Karakter Mendesak; Penjiplakan, Dampak dari Politisasi Pendidikan” [Online]. Tersedia di http:// cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/20/04191432/. Pendidikan.Karakter.Mendesak 20 Februari 2010 “Survei, 62,7 Persen Remaja Indonesia Pernah ML”. Laporan wartawan KOMPAS, 9 Mei 2010. “The World Conference on Early Childhood Care and Education (ECCE): Building the Wealth of Nations” [Online]. Tersedia di http://unesdoc.unesco.org/images/0018/ 001873/187376e.pdf (8 Juni 2010)
23