PERAN POLITISI PEREMPUAN PKS DALAM MEMPERJUANGKAN HUKUM BERKEADILAN GENDER
Oleh : PUTRI CORIYANA SANDI NIM: 104045201520
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
PERAN POLITISI PEREMPUAN PKS DALAM MEMPERJUANGKAN HUKUM BERKEADILAN GENDER Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Siyasah Syar’iyyah (S.Sy)
Oleh : PUTRI CORIYANA SANDI 104045201520
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
PERAN POLITISI PEREMPUAN PKS DALAM MEMPERJUANGKAN HUKUM BERKEADILAN GENDER Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memeperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : Putri Coriyana Sandi NIM : 104045201520
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
PENGESAHAN PANITIAN UJIAN
Skripsi ini yang berjudul Peran Politisi Perempuan PKS Dalam Memperjuangkan Hukum Berkeadilan Gender, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari rabu tanggal 24 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Siyasah Syar’iyyah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah. Jakarta, 13 September 2011 Mengesahkan Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP.195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua
: Dr. Asmawi, M.Ag NIP. 19721010997031008
Sekretaris
: Afwan Faizin, MA NIP. 197210262003121001
Pembimbing I
: Dr. Jaenal Aripin, M.Ag NIP. 197210161998031004
Pembimbing II
: Mu’min Rouf, MA NIP. 197004161997031004
Penguji I
: Dr. Asmawi, M.Ag NIP. 19721010997031008
Penguji II
: Afwan Faizin, MA NIP. 197210262003121001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skirpsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya mendapatkan sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Syawal 1432 H 13 September 2011 M
Putri Coriyana Sandi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Hidup adalah menentukan pilihan dan setiap pilihan mengandung konsekuensi Kesanggupan kita terhadap konsekuensi itulah yang seharusnya menjadi pertimbangan tatkala hendak menjatuhkan pilihan”
Dengan segala kerendahaan hati karya sederhana ini penulis persembahkan untuk : Ayah dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan do’a serta berkorban dalam mengasuh, membimbing dan mengenalkan arti hidup. Akhmad Sujai tercinta yang senantiasa menemani penulis dalam suka dan duka dengan penuh keikhlasan dan ketulusan iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat kepada Allah SWT. Dialah sumber tempat bersandar, Dialah sumber kenikmatan hidup yang tanpa batas, Rahman dan Rahim tetap menghiasi asma-Nya. Sehingga penulis diberikan kekuatan fisik untuk dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Peran Politisi Perempuan PKS Dalam Memperjuangkan Hukum Berkeadilan Jender”. Shalawat beserta salam tetap tercurahkan atas penghulu umat Islam Nabi Muhammad SAW. Beserta para keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang telah membuka pintu keimanan yang bertauhidan kebahagiaan, kearifan hidup manusia dan pencerahan atas kegelapan manusia serta uswatun hasanah yang dijadikan sebuah pembelajaran bagi muslim dan muslimah hingga akhir zaman. Skripsi ini, penulis susun guna memenuhi syarat akhir untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S1) pada Program Studi Jinayah Siyasah konsentrasi Siyasah Syar’iyyah (HTNI) Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Setulusnya dari lubuk hati yang paling dalam penulis menyadari bahwa suksesnya penulisan skripsi ini penulis mendapat bantuan dan motifasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Afwan Faizin, MA, selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. v
4. Bapak Dr. Jaenal Aripin, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dan tenaganya untuk membimbing serta memberikan saran dan kritik selama penulis mengerjakan skripsi ini. 5. Bapak Mu’min Rouf, MA, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dan tenaganya untuk membimbing serta memberikan saran dan kritik selama penulis mengerjakan skripsi ini. 6. Seluruh Staf Pengajar dan Karyawan Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 8. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 9. Seluruh Staf dan Karyawan Dewan pengurus Pusat Partai Keadilan Sejahtera Pimpinan Cabang Jakarta Pusat. 10. Keluarga tercinta, Ayahanda Subandi dan Ibunda Sinta Dewi serta kakanda Akhmad Sujai, S.T., yang telah banyak memberikan semangat dan dukungan baik material maupun sprituil kepada penulis. 11. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2004 Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu kelancaran penulis dalam merencanaan, membuatan dan menulis Skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa pada penulisan Skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik secara materi maupun teknis penulisan. Maka untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan Skripsi ini. Jakarta, 15 Syawal 1432 H 13 September 2011M
Putri Coriyana Sandi vi
DAFTAR ISI
JUDUL LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………… ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN………………………………………….
iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN …………………………………………..
iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….
v
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. vii DAFTAR TABEL ……………………………………………………………
ix
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………
x
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………………...
1
B. Identifikasi Masalah …………………………………………….. 7 C. Perumusan Masalah ……………………………………………..
8
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian …………………………………
8
E. Metodologi Penelitian…………………………………………… 8 F. Sistematika Penulisan …………………………………………... 10 BAB II
KIPRAH PEREMPUAN DALAM POLITIK HUKUM DI INDONESIA A. Sejarah Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia ……………… 12 1. Zaman Kolonial Belanda …………………………………….. 12 2. Zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang …………………… 19 3. Republik Indonesia ………………………………………….. 20 B. Bentuk Dan Karakteristik Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia ………………………………………………………... 23 1. Bentuk Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia …... 23 2. Bentuk Non Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia 24 C. Isu-Isu Sentral Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia ……… 27 vii
1. Isu-Isu Sentral Menurut Perkawinan ………………………… 27 2. Isu-Isu Gender Dalam Hukum Adat ………………………… 29 3. Kuota Perempuan ……………………………………………. 31 BAB III PEREMPUAN DAN HUKUM PERUNDANG - UNDANGAN DALAM HUKUM BERKEADILAN GENDER a.A. Definisi, Bentuk Dan Praktek Hukum Berkeadilan Gender ….... 35 BB. Perempuan Dalam Legal Drafting UU Di DPR ………………... 43 C. Produk Perundang-undangan Berkeadilan Gender ……………... 54 BAB IV PANDANGAN POLITISI PEREMPUAN PKS DALAM HUKUM BERKEADILAN GENDER A. Dinamika PKS Dalam Politik Indonesia ……………………….. 58 B. Isu-Isu Gender Dalam Perempuan PKS ………………………… 68 C. Pandangan Politisi PKS Dalam Hukum Berkeadilan Gender …... 71 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………………... 86 B. Saran ……………………………………………………………. 87 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Jumlah Anggota DPR RI hasil Pemilu Tahun 2004 ………………..
ix
6
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Undang -Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lampiran 2 : Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masalah gender sudah sering dibahas oleh pemerhati dalam berbagai pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi, seminar-seminar dan lain-lainnya baik pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional bahkan pada tingkat inetrnasional. Walaupun demikian masih banyak orang tidak mengetahui dan tidak mengerti apa sebenarnya gender tersebut. Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu aspek hukum adat, pidana, pajak, perdata, tata negara, aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya. Kata jender berasal dari bahasa Inggris, yaitu gender, yang berarti jenis kelamin.1 Dalam Webster New World Of Dictonary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.2 Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep budaya yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.3 Menurut Hilary. M. Lips dalam bukunya yang terkenal, Sexs And Gender An Introduction mengartikan jender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).4 Pendapat ini sejalan dengan pendapat umumnya tentang kaum feminis seperti menurut Linda. L. Lindsey, yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk dalam bidang kajian
1 John M. Echols Dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet.XII, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,1998), h.265. 2 Celia Modgil, The Apparent Disparity Between Man And Women In Values And Behavior (New York: Webster Of Dictionary, 1984), h.561. 3 Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encylopedia, Vol. 1, (New York: Green Press), h.153. 4 Hilary M. Lips, Sexs And Gender An Introduction, (London: Masyfield Publishing Company, 1993), h.4.
1
2
gender (What a given society defines as masculine or feminism is a component of gender).5 Menurut H.T. Wilson dalam Seks dan Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.6 Sedangkan menurut Elaine Showalter mengartikan jender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi konstruksi sosial budaya. Elaine menekankannya sebagai konsep analisa (an analytic concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.7 Meskipun kata jender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah banyak digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan gender. Gender juga dapat diartikannya sebagai interprestasi mental dan budaya terhadap perbedaan kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.8 Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan lakilaki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara itu, Seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah seks dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti jenis kelamin.9 Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologi dan aspek-aspek non biologis lainnya.10 Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat di lihat dari sejarah, dimana telah mencatat bahwa kaum perempuan telah mengalami kenyatan pahit dari zaman dahulu hingga sekarang ini. Mereka dianggap sebagai kaum yang tidak berdaya, lemah dan selalu menjadi yang kedua. Berbagai bentuk diskriminasi dan perlakuan yang 5 Aidit. D.N, Wanita Komunis Pejuang Untuk Masyarakat Baru, (Jakarta: Ilmu Bintang Merah, 1957), h.216. 6 H.T.Wilson, Analisis Seks Dan Gender, Cet.1, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), h.57. 7 Miriam Budiardjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, Cet.I, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.403-404. 8 Firmanzah, Mengelolah Partai Politik Diera Demokrasi, Cet.I, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 66. 9 Echols Dan Shadily, Op.Cit., h.517. 10. Lindsey, Op.Cit., h.2.
3
tidak adil diterima oleh kaum perempuan. Kaum perempuan kemudian mencoba berjuang untuk mendapatkan hak mereka sebagai manusia, Mulai dari hal yang sangat kecil yaitu diskrimnasi di lingkungan hingga berbagai permasalahan lainya seperti hak politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial.11 Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari dibentuk dan diubah oleh masyarakat sendiri. Oleh karena itu sifatnya dinamis, artinya dapat berubah dari waktu kewaktu dan dapat pula berbeda dari tempat yang satu dengan tempat lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing.12 Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Disamping itu pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu dari empat key cross cutting issues dalam Propenas. Pelaksanaan PUG diisntruksikan kepada seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di pemerintah nasional, propinsi maupun di kabupaten atau kota, untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program atau proyek dan kegiatan. Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan
11 Astiti, Jender Dalam Hukum Adat, (Jakarta: Word Press, 2000), h.1. 12 Mansour Faqih, Analisa Gender Dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.8.
4
belum dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak. Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9 % (102.847.415) dari jumlah total (206.264.595) penduduk Indonesia sensus penduduk tahun 2000 merupakan sumber daya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri. Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumber daya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan. Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan lakilaki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh. Faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender yaitu tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideologi patriarki). Peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender. Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik. Kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen. Rendahnya pemahaman para pengambil keputusan di
5
eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender. Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan selain pembangunan. Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia masa depan. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunjukan hubungan yang subordinatif yang artinya dimana bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan lakilaki. Hubungan yang subordinatif tersebut dialami oleh kaum perempuan di seluruh dunia karena hubungan yang subordinatif tidak saja dialami oleh masyarakat yang sedang berkembang seperti masyarakat Indonesia, namun juga dialami oleh masyarakat negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat dan lainnya. Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan lakilaki dan ini terdapat di seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada situasi dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum feminis berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari keadaan yang subordinatif tersebut. Di Indonesia sebenarnya perjuangan kaum feminis untuk menuntut kedudukan yang sama dengan laki-laki atau terhadap kekuasaan patriarki sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang mana dipelopori oleh R.A. Kartini. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan R.A. Kartini tersebut mendapat pengakuan
6
yang tersirat pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 1 yang berbunyi segala warga negara bersamaan kedudukannya didepan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali. Di samping itu, berbagai produk perundang-undangan yang telah dikeluarkan sebagai realisasi tuntutan persamaan hak dan kedudukan perempuan dengan laki-laki, antara lain Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UndangUndang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di antara produk perundang-undangan tersebut yang paling tegas mengatur tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Meskipun begitu kedudukan subordinasi terhadap perempuan dalam kenyataannya masih tetap ada dalam berbagai bidang kehidupan. Hak politik perempuan di dunia public sebenarnya telah ada dan tertuang dalam konvensi PBB tentang penghapusan Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW - The Unconvention On The Elimination Of All Forms Of Dicrimination Against Women) yang disahkan dan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Sebagai ratifikasi dari konvensi tersebut muncul Undang-Undang Pemilu No. 12 Tahun 2003 tentang kuata keterwakilan perempuan yang mencapai 30% di parlemen. Data berikut penjelaskan kompisisi anggota DPR RI berdasarkan jenis kelamin. Tabel 1.1 Jumlah Anggota DPR RI hasil Pemilu Tahun 2004.13 No
Partai
Perempuan
Persen
Laki-Laki
Persen
Jumlah
1
GOLKAR
18
14
110
86
128
2
PDIP
12
11
97
89
109
3
PPP
3
5,17
55
94,82
58
4
DEMOKRAT
6
10,52
49
89,47
55
5
PKB
7
13,46
45
86,53
52
13 Sulistyowati Irianto, Jumlah Anggota DPR RI hasil Pemilu Tahun 2004, (Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2004).
7
6
PAN
7
13,46
46
86,53
57
7
PKS
3
6,66
42
93,33
45
8
PBR
2
15,38
12
84,61
14
9
PBB
0
0
11
100
11
10
PDS
3
25
9
75
13
11
PDK
0
0
4
100
4
12
PKPB
0
0
2
100
2
13
PELOPOR
1
33
2
66
3
14
PKPI
0
0
1
100
1
15
PNI
0
0
1
100
101
16
PPDI
62
11,27
487
88,73
550
Jumlah
62
11,27
487
88,73
550
Dengan disahkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Pemilu yang menyertakan aspirasi kaum perempuan pada Pasal 65 Ayat 1 UndangUndang No. 12 Tahun 2003, maka setiap partai politik harus mengajukan calon anggota DPR baik DPRRI, DPR Propinsi dan DPR Kabupaten atau kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %.14 Untuk mengetahui salah persepsi dan berbagai pengertian, penulis ingin mengetahui lebih jauh dan mengkaji penelitian penulis berdasarkan literaturliteratur yang ada. Akhirnya penulis memberikan judul dalam penelitian adalah ”Peran
Politisi
Perempuan
PKS
Dalam
Memperjuangkan
Hukum
Berkeadilan Gender”. B. Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah diatas dapat di identifikasi beberapa masalah, yaitu peran politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan
14 Hajriyanto Y. Thohari, Partai Yang Berasakan Islam, (Jakarta: Media Seputar Indonesia, 2008), h.15.
8
gender, bentuk dan karakteristik gerakan politik perempuan di Indonesia dan isuisu sentral gerakan politik di Indonesia. C. Perumusan Masalah Dari identifikasi masalah diatas tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pandangan politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan gender ? 2. Bagaimana kiprah perjuangan politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan gender ? D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui bagaimana bentuk dan praktek hukum keadilan gender. b. Untuk mengetahui dengan jelas mengenai perempuan dalam legal drafting undang-undang di DPR. c. Untuk mengetahui produk perundang-undangan berkeadilan gender. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Sebagai sumbangan teoritas bagi masyarakat mengenai bentuk dan praktek hukum berkeadilan gender dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS). b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam pengembangan khazanah keilmuan dibidang politik. c. Memberikan pemahaman tersendiri khususnya bagi penulis dan umumnya bagi masyarakat luas mengenai peran politisi perempuan pks dalam hukum berkeadilan gender. E. Metodelogi Penelitian Adapun metodelogi penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut :
9
1. Jenis Penelitian Penelitian yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan penelititian lapangan (field research) yang berdasar pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Jenis penelitian ini diambil sesuai dengan obyek penelitian yang dikaji melalui pendekatan kualitatif, yaitu jenis penelitian yang dilakukan secara sistematis terhadap suatu objek berdasarkan fakta-fakta yang ada untuk menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tulisan dari perilaku objek yang diteliti. Kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif. 2. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini, yaitu teknik observasi sebagai teknik utama penelitian, sedangkan sebagai pelengkap penelitian menggunakan teknik wawancara dan teknik dokumentasi. a. Teknik observasi Dimana dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat situasi lingkungan, sikap dan prilaku dari pengurus dan kader PKS, baik dilingkup nasional maupun jawa tengah, melalui kunjungan ke sekretariat DPP Pusat, sekretariat fraksi PKS Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah, serta jika memungkinkan ke lokasi kegiatan yang diselenggarakan PKS. b. Teknik dokumentasi Dimana dalam penelitian ini peneliti memperoleh data dengan cara mencari dan mengumpulkan bahan-bahan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Data-data tersebut berupa catatan-catatan hasil pengamatan, dokumen-dokumen sekolah, buku-buku, jurnal, artikel, surat kabar, majalah, situs internet dan lain sebagainya. c. Teknik Wawancara Untuk melengkapi data penelitian berupa keterangan lisan masih dibutuhkan metode wawancara atau interview. Dalam penelitian ini data berupa keterangan yang diperoleh dari subyek penelitian yang berasal dari lingkungan internal organisasi PKS dan lingkungan eksternal. Untuk
10
lingkungan internal adalah pengurus PKS dengna mempertimbangkan kapasitas dan kedudukannya dalam organisasi PKS sehingga representative mewakili organisasinya. Sedangkan subyek penelitian dari lingkungan eksternal non PKS adalah pihak-pihak yang memiliki kapasitas dan kedudukan dalm sebuah lembaga yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang diteliti. 3. Metode Analisa Data Dari data-data hasil penelitian yang diperoleh dilapangan seperti data hasil observasi, hasil wawancara dan hasil dokumentasi sepenuhnya akan dianalisa dengan menggunakan teknik analisa deskritif kualitatif, yaitu hasil analisa tidak disajikan dalam bentuk angka-angka dan bilangan statistik akan tetapi berupa pemaparan atau gambaran mengenai situasi yang di teliti dalam bentuk uraian- uraian naratif . F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penyusunan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, dengan urain sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
KIPRAH
PEREMPUAN
DALAM
POLITIK
HUKUM
DI
INDONESIA Pada bab ini membahas tentang sejarah gerakan poltik perempuan di Indonesia, bentuk dan karakteristik gerakan politik perempuan di Indonesia dan isu-isu sental gerakan politik perempuan di Indonesia. BAB III
PEREMPUAN DAN HUKUM PERUNDANGAN UNDANGAN DALAM HUKUM BERKEADILAN GENDER
11
Pada bab ini membahas tentang definisi, bentuk dan praktek hukum berkeadilan gender, perempuan dalam legal drafting Undang-Undang di DPR dan produk perundang-undangan berkeadilan gender. BAB IV
PANDANGAN
POLITISI
PEREMPUAN
PKS
DALAM
BERKEADILAN GENDER Pada bab ini membahas tentang dinamika PKS dalam politik Indonesia, isu-isu gender dalam perempuan PKS dan pandangan politisi PKS dalam hukum berkeadilan gender. BAB V
PENUTUP Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran dari hasil peran politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan gender.
BAB II KIPRAH PEREMPUAN DALAM POLITIK HUKUM DI INDONESIA
A. Sejarah Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia Gerakan politik perempuan Indonesia baru dimulai pada permulaan abad 20, yaitu permulaan bentuk gerakan secara modern. Karena bentuk gerakan tersebut ditandai oleh tumbuhnya organisasi wanita yang diikuti oleh proses perkembangan organisasi gerakan kebangsaan Indonesia pada waktu itu. Dengan begitu banyak organisasi wanita menjadi bagian dari kelompok wanita sebagai organisasi kebangsaan. Bahwa organisasi itu mempunyai pengurus tetap dan mempunyai anggota, mempunyai tujuan yang jelas, disertai rencana pekerjaan berdasarkan peraturan-peraturan yang dimuat di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Sebelumnya kaum wanita berjuang orang perorangan dan belum terorganisasi dalam susunan suatu badan perkumpulan.15 Namun demikian, perjuangan kaum wanita melawan penjajah Belanda pada waktu itu telah memberikan inspirasi dan dorongan bagi wanita-wanita generasi kemudian, yang berjuang untuk emansipasi kaumnya sekaligus memiliki peranan partisipasi dalam mengisi hasil perjuangan kemerdekaan Indonesia. 1. Zaman Kolonial Belanda Pada zaman kolonial belanda pergerakan perempuan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi beberapa periode, yaitu : a. Periode Perintis (1880 - 1910) Kedatangan Vereenigde Oost Indische Compagnie (V.O.C) pada abad ke18 adalah untuk berdagang dengan menggunakan moncong meriam di kepulauan Indonesia sejak semula membawa malapetaka untuk rakyat Indonesia. Melalui penindasan, eksploitasi, pengurasan sumber ekonomi adalah untuk memperkaya 15 Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, (Jakarta: Kolektif Coup, 1978).
12
13
Belanda hingga saat ini. Pemindahan kekuasaan dari Vereenigde Oost Indische Compagnie (V.O.C) kepada Bataafse Republiek sama sekali tidak merubah situasi saat itu, akan tetapi hanyalah meneruskannya saja dengan cara yang berbeda. Hak monopoli perdagangan dan hak monopoli pelayaran antar pulau diseluruh Nusantara yang mematikan daya hidup dan daya materiil rakyat Indonesia dilanjutkan oleh Pemerintah Pusat Negara Monarkhi di Belanda dengan staatsmonopoli. Penunjukan posisi Gubernur Jendral Van den Bosch di negara jajahan (Nederlands Indie) langsung memberlakukan kebijakan Cultuurstelsel pada tahun 1830 sampai tahun 1870, yaitu suatu sistem pengetrapan tanam paksa berbagai jenis tanaman seperti kopi, gula, tembakau dan tanaman lainnya di atas 1/5 (seper lima) tanah pedesaan untuk kepentingan pasaran dunia barat.16 Misi VOC, sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda mempunyai dua fungsi. Pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah. Sebagai upaya pemantapan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, maka VOC menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan Belanda. Didaerahdaerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai colonial akhirnya membentuk badan-badan peradailan. Upaya ini tidak mulus berjalan dalam penerapannya mengalami hambatan. Atas dasar berbagai pertimbangan VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat untuk berjalan sebagaiman sebelumnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan dari masyarakat setempat. Konsekuensinya VOC terpaksa memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari.17 Sejak saat itulah pemberontakan timbul di mana-mana, hingga hampir setiap tahun Batavia mengirimkan ekspedisi-ekspedisi militer keberbagai tempat di Nusantara untuk menumpas perlawanan rakyat. Pada masa itu belum diketemukan cara perjuangan Nasional. Periode Perintis meliputi masa sebelum tahun 1908, yaitu tahun dimulainya fase kebangkitan kesadaran nasional, dengan
16 Baroroh Baried, Citra Wanita Dalam Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: Seminar Nasional Fakta Dan Citra), 23-25 agustus 1984. 17 Prof. Mohammad Daud Ali.S.H, Kedudukan Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Cet.1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1977), h.212.
14
berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Periode Perintis masih juga meliputi masa permulaan politik etis Belanda di Indonesia. Para tokoh Perintis perjuangan wanita belum mempunyai perkumpulan atau organisasi wanita, dengan kata lain berjuang orang perorangan, akan tetapi dalam kenyataan bahwa mereka mengangkat senjata bahu membahu dengan kaum pria melawan penjajah Belanda, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka merupakan sumber inspirasi bagi generasi wanita berikutnya untuk berjuang melawan penindasan dan ketidakadilan. Para tokoh perintis dalam masa sesudah diterapkannya politik etis Belanda di Indonesia, memberikan teladan dan dorongan kepada generasi kaumnya untuk meneruskan jejak langkah mereka, juga berjuang untuk emansipasi dan partisipasi untuk membangun kemandirian kaumnya, kemajuan bangsanya dan kemerdekaan tanah airnya karena ciri utamanya ialah menekankan kepada pendidikan atau lebih khususnya pendidikan model Barat, sebagai bekal untuk memajukan kaumnya dan bangsanya. Gerakan pendidikan kebanyakan diprakarsai oleh kalangan elite bangsawan, karena mereka lebih dahulu diberi kesempatan oleh pemerintah untuk bisa memasuki sekolahsekolah khusus untuk warga Eropa. Pejuang-pejuang Perintis pada masa itu, diantaranya Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika dan Nyai Achmad Dahlan. b. Periode Kebangkitan Kesadaran Nasional (1911 - 1928) Masa kebangkitan kesadaran nasional ditandai dengan munculnya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta, organisasi pertama diantara bangsa Indonesia yang dibentuk secara modern. Dengan bentuk modern diartikan bahwa organisasi mempunyai pengurus tetap, anggota, tujuan, rencana pekerjaan dan seterusnya berdasarkan peraturan-peraturan yang dimuat di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Pengurus Budi Utomo terdiri dari para Priyayi dan dalam waktu singkat organisasi tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pada akhir tahun 1909 Budi Utomo telah mempunyai 40 cabang dengan lebih kurang 10.000 anggota. Kemudian berdiri partai-partai politik yang tidak terbatas pada daerah berkebudayaan Jawa saja seperti Budi
15
Utomo akan tetapi yang beraliran Indisch Nasionalisme radikal, beraliran nasionalisme demokratis dengan dasar agama dan beraliran marxisme. 1. Gerakan Perempuan Dan Kebangkitan Nasionalisme Pada periode Budi Utomo pejuang gerakan perempuan baru terbatas pada kedudukan sosial saja. Soal-soal politik perempuan belum dalam jangkauannya. Apalagi kemerdekaan tanah air masih terlalu jauh dari penglihatan dan pemikirannya. Kesibukan-kesibukan pada periode perintis dibidang pendidikan, pengajaran, kerumah tanggaan masih berlanjut. Pengaruh warisan cita-cita
Kartini untuk emansipasi perempuan
berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya dan perhatian kaumnya. Sehingga pada periode kebangkitan dan Kesadaran Nasional ini mulai untuk meningkatkan kaum perjuangan perempuan. Ini dibuktikan dengan munculnya organisasi perempuan yang pertama di Jakarta pada tahun 1922 bernama Putri Mardika atas bantuan Budi Utomo. Perkumpulan Kartini Fonds yang bertujuan mendirikan sekolah-sekolah Kartini berdiri diberbagai tempat di Jawa, Keutamaan Istri didirikan di banyak tempat di Jawa Barat bahkan dikota Padang Panjang, Kerajinan Amai Setia di kota Gedang, Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya berdiri pada tahun 1917 di Manado. Kesemuanya itu baik organisasi perempuan dari organisasi partai umum maupun organisasi lokal kesukuan atau kedaerahan bertujuan menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi perempuan dan perbaikan kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga serta meningkatkan kecakapan sebagai ibu dan pemegang rumah tangga. Ada beberapa hal yang menjadi fokus pejuang gerakan perempuan pada masa itu yaitu gerak kemajuan pada tahun-tahun sebelum 1920 dapat dikatakan lamban. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sekolah-sekolah untuk wanita pribumi, tidak adanya izin dari orang tua di kalangan atas atau diperlukan tenaganya untuk membantu orang tua di kalangan bawah. Di samping itu adat dan tradisi sangat menghambat kemajuan wanita.18
18 Umi Sardjono, Meningkatkan Peranan Wanita Dalam Perjuangan Untuk Hak-Hak Demokrasi, (Jakarta: Sidang DPP Pleno, 1955).
16
Dalam Sarekat Islam terikat divisi peperangan adalah bernama Wanudiyo Utomo dan kemudian Sarekat Perempuan Islam Indonesia. Dalam Kongres Sarekat Islam pada bulan April 1929 di Surabaya, Sarekat Perempuan Islam Indonesia bertentangan dengan Persatuan Puteri Indonesia mengenai poligami. Bagian Wanita Muhammadiyah adalah Aisiyah yang juga tidak ikut mencampuri masalah persoalan politik seperti ibu perkumpulannya yaitu Muhammadiyah. Mengenai masalah poligami menurut Aisiyah sependirian dengan bagian Wanita Sarekat Islam. Mereka juga menentang keras adat Barat seperti pakaian, tata rambut, cara hidup, kesenangan dan sebagainya karena dianggapnya bertentangan dengan adat Islam. Wanita Perti sebagai bagian dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah di dirikan pada tahun 1928. Bagian Wanita Sarekat Ambon adalah Ina Tuni membantu aksi Sarekat Ambon dikalangan militer Ambon. Bagian Wanta ini berhaluan politik seperti Sarekat Ambon juga. Perhimpunan perempuan lainnya ialah organisasi pemudi terpelajar, seperti Puteri Indonesia dan Jong Islamieten Bond Dames Afdeling, Jong Java Meisjeskring, Organisasi Taman Siswa. Kemajuan gerakan Wanita sesudah tahun 1920, terlihat juga dengan makin banyaknya perkumpulan-perkumpulan Wanita kecil yang berdiri sendiri. Hampir di semua tempat yang agak penting ada pekumpulan wanita. Seperti pada masa sebelum 1920, perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk belajar masalah kepandaian putri yang khusus. Menjelang tahun 1928, organisasi wanita berkembang lebih pesat. Sikap yang dinyatakan oleh organisasi-organisasi wanita pada waktu itu, umumnya lebih tegas, berani dan terbuka. Perkembangan kearah politik makin tampak terutama yang menjadi bagian dari Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia dan Persatuan Muslimin Indonesia. Gerakan Perempuan Indonesia pada fase ini sudah lebih matang untuk menyetujui anjuran dan panggilan kebangsaan, faham Indonesia bersatu yang di hidup-hidupkan antara lain oleh Perhimpunan Indonesia dan Partai Nasional Indonesia. Maka berlangsunglah Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di Jogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres ini merupakan lembaran sejarah baru bagi gerakan wanita Indonesia, di mana organisasi wanita
17
menggalang kerjasama untuk kemajuan wanita khususnya dan masyarakat pada umumnya. Ciri utama kesatuan pergerakan perempuan Indonesia pada masa ini ialah berasaskan kebangsaan dan menjadi bagian pergerakan kebangsaan Indonesia. Pokok-pokok permasalahan yang dibicarakan di antaranya ialah kedudukan perempuan dalam perkawinan, poligami dan koedukasi. Masalah politik nasional melawan penjajahan tidak menjadi pokok bahasan dan Kongres berpendirian berhaluan kooperasi terhadap pemerintah Belanda (Nederlands Indie).19 Kongres menghasilkan keputusan dibentuknya badan permufakatan organisasi-organisasi wanita dengan nama Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia dan bertujuan untuk memberi penerangan dan menjadi forum komunikasi antar organisasi perempuan. Kongres tersebut menghasilkan tiga buah mosi yang ditujukan kepada pemerintah Belanda (Nederlands Indie) yaitu menambah sekolah-sekolah untuk anak perempuan, memberikan keterangan nikah mengenai taklik janji dan syarat perceraian serta membuat peraturan untuk memberi sokongan kepada janda-janda dan anak-anak piatu pegawai pemerintah. 2. Gerakan Perempuan Dan Media Massa Gerakan Perempuan Indonesia sejak semula menyadari pentingnya media massa bagi perjuangannya. Alat media massa seperti surat kabar dan majalah berfungsi untuk menyebarkan gagasan kemajuan wanita dan juga sebagai sarana praktis pendidikan dan pengajaran. Tulisan dan karangan ditulis dalam bahasa Melayu, Belanda dan Jawa. Sebagian besar pengarang dan yang membantu penerbitan majalah Gerakan Wanita pada periode itu adalah guru-guru wanita yang berpendidikan Barat. Guru wanita ketika itu merupakan kaum elite di bidang kebudayaan. Majalah pertama Putri Hindia terbit pada tahun 1909 di Bandung, dalam dua kali sebulan oleh golongan atas seperti R.A. Tjokroadikusumo. Hingga tahun
19 Aidit D. N, Wanita Komunis Pejuang Untuk Masyarakat Baru, (Jakarta: Bintang Merah, 1957), h.266.
18
1925 sudah di terbitkan sebelas macam media massa seperti koran dan majalah yang tersebar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Surat kabar Sunting Melayu terbit pada 10 Juli 1912 di Padang. Surat kabar Sunting Melayu ini terbit tiga kali seminggu. Surat kabar ini merupakan pusat kegiatan pemudi, putri maupun wanita yang telah bersuami yang berisi masalah politik, anjuran kebangkitan wanita Indonesia dan cara menyatakan pikiran para penulisnya dalam bentuk prosa dan puisi. Sampai tahun 1920 pemimpin redaksinya ialah Hohana Kudus. Kemudian surat kabar Wanito Sworo terbit pada tahun 1913 di Pacitan sebuah kota kecil di pantai samudera indonesia di Madiun yang dipimpin oleh Siti Sundari dengan huruf dan bahasa Jawa, tetapi kemudian sebagian berbahasa Melayu. Media lain yang tersebut adalah majalah Putri Mardika terbit pada tahun 1914 di Jakarta Majalah bulanan ini berisikan artikel-artikel yang ditulis dalam bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan berhaluan maju seperti masalah permaduan, pendidikan campuran laki-laki dan wanita, kelonggaran bergerak bagi kaum wanita, kesempatan pendidikan dan pengajaran. Penuntun Isteri edisi Sunda terbit tahun 1918 di Bandung. Isteri Utomo terbit di Semarang. Suara Perempuan dengan redaksi seorang guru wanita bernama Saada terbit di Padang. Perempuan Bergerak terbit pada tahun 1920 di Medan dengan pimpinan redaksi Satiaman Parada Harahap diperkuat oleh Rahana. c. Periode Kesadaran Nasional (1928 - 1941) Pada periode sebelumnya lingkup kegiatan hampir semua organisasi wanita masih terbatas pada masalah emansipasi dan usaha menjadikan wanita lebih sempurna dalam menjalankan peran tradisionilnya sebagai wanita. Namun pada periode ini mulai muncul organisasi-organisasi yang membuka wawasan melebihi lingkup rumah tangga dan keluarga. Organisasi-organisasi baru ini menjadikan masalah-masalah politik dan agama sebagai pokok perhatiannya. Padahal sebelumnya semua organisasi yang bergabung dalam Perikatan
19
Perkumpulan Perempuan Indonesia menolak mencampuri urusan politik dan agama. Perkembangan terakhir ini sebenarnya telah dirintis jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 1919 ketika Siti Soendari mendirikan organisasi Putri Budi Sejati di Surabaya Organisasi ini merupakan organisasi wanita yang cukup besar serta berdikari, dan mendasarkan perjuangannya pada cita-cita kebangsaan. Arah baru ini diikuti oleh Isteri Sedar yang didirikan di Bandung pada tahun 1930. Isteri Sedar berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dimana penghargaan dan kedudukan wanita dan laki-laki sama dan sejajar. Organisasi ini juga bersikap kritis terhadap norma-norma adat, tradisi dan agama yang pada prakteknya merugikan kaum wanita. Isteri sedar bersikap anti dan selalu dengan pedas menyerang imperialisme dan kolonialisme.20 Pada kongresnya yang kedua tahun 1935, ketiga tahun 1938 dan keempat tahun 1941, Perikatan perkumpulan Perempuan Indonesia membicarakan sekitar kewajiban kebangsaan walaupun tetap dengan tekanan pada kewajiban menjadi Ibu Bangsa, masalah hak memilih dalam badan-badan perwakilan dan dewan kota, serta beberapa masalah politik lainnya. 2. Zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942 - 1945) Dengan menyerahnya Jendral Ter Poorten tanpa syarat di Kalijati pada tanggal 9 Maret 1942 kepada Jendral lmamura, berakhirlah penjajahan Belanda atas lndonesia. Dengan demikian berpindah tangan nasib bangsa lndonesia kepada penjajah yang baru Jepang. Belanda tidak pernah percaya kepada ajakan tokohtokoh politik bangsa lndonesia untuk bersama-sama berjuang anti fasis, sebaliknya Belanda lebih percaya kepada Jepang. Padahal sudah tahu lebih dulu, bahwa Jepang sudah mengincar lndonesia untuk memperoleh kekayaannya, terutama minyak yang sangat dibutuhkannya untuk keperluan industrinya. Kekejaman fasis Jepang selama pendudukannya di lndonesia bahkan makin membulatkan tekad seluruh bangsa untuk membebaskan diri dari setiap 20 Jaya Wardena, Feminism And Nationalism In Third Word In 19th And 20th Centuries, (Denmark: The Haque: 1982).
20
penjajahan asing dan memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Salah satu tindakannya yang pertama ialah Jepang melarang semua organisasi yang ada dan membubarkannya. Dengan bantuan orang-orang bekas pegawai dinas rahasia Belanda yang bernama Politiek Inlichtingen Dienst menangkapi elemen-elemen anti fasis di kalangan bangsa Indonesia tidak dikecualikan organisasi-organisasi wanita juga dibubarkan. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru dengan dalih sebagai propaganda untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa Asia Timur Raya. Dengan sendirinya organisasi-organisasi yang tidak mau masuk perangkap kerjasama dengan penguasa fasis, terpaksa bergerak dibawah tanah. Taktik Jepang merangkul Bangsa Indonesia dengan cara Bahasa Belanda dilarang dan bahasa Indonesia secara resmi digunakan sebagai bahasa komunikasi umum, sistem sekolah Belanda seperti ELS, HIS, HCS dan lainnya dibubarkan dan diganti dengan sekolah Rakyat 6 tahun. Ketika pusat tenaga rakyat akhirnya dilebur dalam organisasi baru Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa, maka Fujinkai dijadikan bagian wanitanya dengan cabang didaerah-daerah. Kegiatan Fujinkai dibatasi hanya pada urusanurusan kewanitaan dan peningkatan ketrampilan domestik selain kegiatan menghibur tentara yang sakit dan kursus buta huruf. Bagi para wanita yang mempunnyai wawasan luas, pembatasan ini merisaukan dan mereka tidak ikut masuk Fujinkai. Kenyataan ini menjadikan adanya dua jenis orientasi dikalangan aktivis wanita yaitu mereka yang bekerjasama dengan pemerintah Balatentara Dai Nippon dan yang tidak bekerjasama serta memilih bergerak diam-diam dibawah tanah. 3. Replublik Indonesia (1945-1990) Pada zaman Republik Indonesia ini pergerakan perempuan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi beberapa periode, yaitu : a. Periode 1945-1965 Revolusi Agustus 1945 mendobrak ikatan-ikatan adat dan tradisi yang sebelumnya menghambat gerak maju wanita. Penderitaan dan penghinaan selama penjajahan sudah cukup berat dan kini sewaktu revolusi, urusan-urusan yang tidak
21
pokok tidak dihiraukan lagi. Seluruh rakyat merasa terpanggil untuk ikut berjuang membela dan mempertahankan kemerdekaan. Organisasi-organisasi wanita pada umumnya diwaktu itu mengutamakan usaha-usaha perjuangan, baik di garis belakang dengan mengadakan dapur umum dan pos-pos Palang Merah maupun di garis depan dengan nama suatu badan perjuangan maupun tergabung dengan organisasi-organisasi lain. Timbul laskar-laskar perempuan di mana tugas-tugas mereka sangat luas, digaris depan, dimedan pertempuran, melakukan kegiatan intel, jadi kurir, menyediakan dan mengirimkan makanan kegaris depan, membawa kaum pengungsi dan memberi penerangan. Dalam kesibukan revolusi fisik maupun dalam bidang sosial politik, pergerakan wanita berbenah diri untuk menggalang persatuan yang kuat. Kongres pertama diadakan di Klaten pada bulan Desember 1945, dengan maksud menggalang persatuan dan membentuk badan persatuan. Persatuan Wanita Indonesia dan Wanita Negara Indonesia dilebur menjadi badan fusi dengan nama Persatuan Wanita Republik Indonesia. Pada bulan Februari 1946 di Solo, lahirlah Badan Kongres Wanita Indonesia. Pada bulan juni 1946 diselenggarakan Kongres Wanita Indonesia di Madiun, yang merupakan Kongres Wanita Indonesia ke 5. Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah untuk menembus blokade ekonomi dan politik, Kongres memutuskan antara lain mulai mengadakan hubungan dengan luar negeri. Maka dari itu Kongres Wanita Indonesia menjadi anggota Women's International Democratic Federation. Di jiwai oleh tekad untuk ikut serta dalam pembangunan jaringan kerjasama Internasional, mendukung pergerakan wanita selanjutnya menyusun program kerja, yang tidak hanya meliputi bidang pembelaan negara, tetapi juga bidang sosial, politik, pendidikan dan lainnya sesuai dengan derap perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik pada waktu itu. Sesudah tahun 1950 masalah-masalah politik semakin banyak minta perhatian. Bermacam persoalan yang berkaitan dengan masalah penyusunan kekuatan partai-partai politik. Perhatian masyarakat mulai di sita oleh persiapan penyelenggaraan pemilihan umum pertama yang akan diadakan pada tahun
22
1955. Makin banyak kegiatan kaum perempuan yang ditujukan kepada masalahmasalah politik, mengingat usaha masing-masing aliran politik untuk tampil sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Tapi tidak dilupakan juga, masalah rutin sebelumnya seperti memperjuangkan peraturan perkawinan yang tidak merugikan kaum perempuan. Organisasi-organisasi yang berafiliasi pada partai politik sibuk membantu partai induknya mempersiapkan diri menghadapi pemilu sampai tahun 1965 dapat dikatakan bahwa lingkup perhatian dan wawasan kaum perempuan cukup luas dan mendunia, di samping merupakan cerminan dari aliran politik ditingkat nasional. b. Periode Diktator Militer 1965-1990 Sejak golongan militer mendominasi panggung kekuasaan pemerintahan Orde Baru, partisipasi politik masyarakat melalui organisasi politik dan organisasi sosial semakin terbatas dan dikendalikan. Karena itu, nampaknya tidaklah terlalu meleset jika dinyatakan bahwa arti sebenarnya dari istilah demokrasi Pancasila tersebut adalah semakin dominannya peran pemerintah dalam hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Atas nama tuntutan pembangunan ekonomi yang dinyatakan sebagai sarat utama membutuhkan stabilitas politik, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan bagi organisasi-organisasi massa termasuk organisasi perempuan. Dalam hal ini, kebijakan utama yang dikenakan pada organisasi perempuan adalah dilakukannya penyempitan jumlah, pemusatan organisasi, penyatuan koordinasi, dan uniti jenis program. Ekspansi gerakan organisasi bentukan pemerintah diatas dan lembaga resmi yang mengkoordinasikannya, ditunjang oleh peraturan pemerintah sebagai kekuatan dominan. Keberadaan kekuatan dominan tersebut telah menyulitkan daya hidup dan ruang gerak organisasi-organisasi perempuan yang telah sejak lama hidup dimasyarakat. Dengan demikian, akhirnya pada masa Orde Baru ini muncul dua jenis organisasi perempuan, yaitu organisasi pemerintah dan non pemerintah. Perkembangan terakhir ini menandai terjadinya polarisasi secara tegas dalam gerakan perempuan serta berlangsungnya proses penyempitan ruang gerak berorganisasi bagi kaum perempuan.
23
c. Periode Reformasi Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini semestinya pemberdayaan perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila ukuran telah berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di sektor strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Bila pada jaman lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa dalam struktur negara dan budaya termasuk dalam rumah tangga, maka kini diperlengkap dengan adanya basis industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi semacam komoditas.21 B. Bentuk Dan Karakteristik Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia 1. Bentuk Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan citacita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik yang biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses keputusan khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakekat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional dan non konstitusional.22 Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik yang modern dan demokratis. Sebagai suatu partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilasi rakyat mewakili kepentingan
21 Hikmah Bafagih, Sejarah Gerakan Perempuan, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), h.6. 22 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet.1, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2008), h.403-404.
24
tertentu memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan secara legimasi dan damai. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 sebagai penyempurnaan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik sebagai organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan. 2. Bentuk Non Formal Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia Komunis adalah salah satu ideologi yang tumbuh dan berkembang hingga saat ini, dimana faham ini berasal dari Manifest Der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Frederich Engels pada 21 Febuari 1848 sebagai koreksi dari faham kapitalisme yang dianut dan berkembang di negara-negara Eropa yang pada prinsipnya semua adalah direpresentasikan sebagai semua milik rakyat dan oleh karena itu seluruh alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara guna kemakmuran rakyat secara merata oleh kita untuk kita. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya muncul beberapa fraksi internal dalam komunisme antara penganut komunis teori dengan komunisme revolusioner yang dimana pada masing-masing fraksi mempunyai teori dan cara perjuangan yang saling berbeda dalam pencapaian sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutkan sebagai masyarakat utopia. Kelahiran komunisme di Indonesia tak jauh dengan hadirnya orang-orang buangan dari Belanda ke Indonesia dan mahasiswa-mahasiswa jebolan yang beraliran kiri. Mereka diantaranya Sneevliet, Bregsma, dan Tan Malaka yang terakhir masuk setelah Sarekat Islam di Semarang sudah terbentuk. Alasan kaum pribumi yang mengikuti aliran tersebut di karenakan tindakan-tindakannya yang melawan kaum kapitalis dan pemerintahan. Gerakan komunis di Indonesia diawali di Surabaya, yakni didalam diskusi intern para pekerja buruh kereta api Surabaya yang dikenal dengan nama Vereeniging Van Spoor En Tramweg Personal (VSTP). Pada awalnya Vereeniging Van Spoor En Tramweg Personal (VSTP) hanya berisikan anggota orang Eropa dan Indo Eropa.
25
Salah satu anggota yang menjadi besar adalah Semaun kemudian menjadi ketua Sarekat Islam Semarang. Komunisme Indonesia mulai aktif di Semarang atau sering disebut dengan Kota Merah setelah basis Partai Komunis Indonesia diera tersebut. Hadirnya Indische Sociaal Democratische Vereeniging (I.S.D.V) dan masuknya para pribumi berhaluan kiri kedalam Sarekat Islam menjadikan komunis sebagian cabangnya karena tak otonomi yang menciptakan Pemerintah Kolonial atas organisasi lepas menjadi salah satu ancaman bagi pemerintah. Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) menjadi salah satu organisasi yang bertanggung jawab atas banyaknya pemogokan buruh di jawa. Pada tanggal 23 Mei 1920, Indische Social Democratische Vereeniging (I.S.D.V) yang didirikan di Semarang sepuluh tahun sebelumnya berganti nama menjadi Perserikatan Komunis di India. Kata perserikatan dalam bahasa Melayu merupakan terjemahan dari kata Belanda, yaitu Partij. Sedangkan nama Partai Komunis Indonesia itu sendiri menurut dokumen awal dari organisasi tersebut merupakan pendekatan dari bahasa Melayu Dalam kongres bulan Juni 1924 di Weltervreden sekarang Jakarta pusat. Perserikatan Komunis di India diubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Sejak tahun 1922 sudah terdapat sebuah organisasi politik yang bernama Indonesiche Vereeniging yang kemudian diterjemahkan menjadi Perhimpunan Indonesia. Tapi organisasi tersebut berada di Nederland bukan di negeri jajahan. Partai Komunis Indonesia juga merupakan salah satu organisasi politik Indonesia pertama yang menggunakan konsepsi Partai dalam nama resminya bahasa Melayu. Pergantian kata Perserikatan menjadi Partai merupakan bagian dari konflik terbuka sejak tahun 1922 di dalam tubuh Sarekat Islam. Sejak awal tahun 1910 dan di sepanjang tahun 1920, merupakan suatu gerakan sosial politik yang berpengaruh suatu gerakan yang pertama kali mengambil corak sosial politik di Indonesia, di mana organisasinya tidak lagi membatasi dalam lingkaran tertentu, baik secara sosiologis maupun geografis dan berkembang tidak hanya di Pulau Jawa melainkan juga di Sumatera dan kawasan lainnya. Untuk menegaskan perbedaan tersebut, para pemimpin Sarekat Islam kemudian mengusulkan agar gerakan Sarekat Islam dianggap sebagai sebuah partai dalam pengertian Belanda
26
Partij dan melarang anggotanya menjadi anggota partai yang lain pada saat yang bersamaan. Pada dasarnya, pandangan muslim mengenai perempuan yang berpolitik ini tidaklah tunggal. Maksudnya, perempuan berpoltik tidak biasa dilihat dari satu sisis saja. Karena suara perempuan juga diperlukan dalam dalam urusan pemerintahan politik. Karena masalah yang dihadapi perempuan, perempuan itu sendirilah yang mengetahuinya. Setidaknya menurut penuturan Syafiq Hasyim ada tiga pendapat yang berkembang yang membicarakan perempuan didunia politik yaitu : a. Pendapat konservatif yang menyatakan bahwa Islam adalah fiqih, yaitu tidak memperkenankan perempuan untuk terjun ke ruang politik. Hal ini dikarenakan mereka menganggap bahwa tempat yang terbaik perempuan adalah rumahnya. b. Pendapat liberal progresif yang menyatakan bahwa Islam sejak awal telah mempekenankan konsep keterlibatan perempuan dalam bidang politik. Hal ini dikarenakan mereka berpendapat bahwa istri Rasullah SAW juga aktif dalam urusan pemerintah pada zaman itu. c. Pendapat apologetis yang menyatakan bahwa ada bagian wilayah politik tertentu yang bisa dimasuki perempuan dan ada bagian wilayah tertentu yang sama sekali tidak boleh dijamah oleh perempuan.Wilayah yang sama sekali tidak boleh dimasuki oleh perempuan yaitu menjadi kepala negara (Presiden). Sedangkan yang boleh yaitu, hanya sebatas aktif di politik. Partisipasi peran perempuan dalam politik di Indonesia merupakan salah satu cerminan dari adanya keadilan di dalam demokrasi yang sekarang sedang berusaha diwujudkan di dalam masa transisi. Aspek partisipsi perempuan di dalam demokrasi bukanlah sesuatu yang dating tiba-tiba melainkan memerlukan kesadaran dan kepedulian dari seluruh masyarakat kita. Namun sayangnya kondisi partisipasi perempuan di panggung politik masih sangat rendah, dimana sistem politik di Indonesia masih didominasi oleh kaum laki-laki sehingga dengan sendirinya bila diberlakukan kondisi alamiah, maka panggung politik tetap akan didominasi secara mayoritas oleh kaum lakilaki. Rendahnya partisipasi perempuan juga terjadi ditingkat lokal. Seiring dengan
27
beragam persoalan yang dialami perempuan yang hak–haknya sering dirampas dan belum di letakan sebagaimana mestinya oleh kebanyakan masyarakat di mana masih tingginya tingkat kekerasan yang dialami oleh perempuan yang dilakukan oleh oknum maupun institusi jelas merupakan pekerjaan besar yang membutuhkan perhatian serius secara politik.23 C. Isu-isu Sentral Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia 1. Isu Sentral Menurut Perkawinan Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berkenaan dengan mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan.24 Secara umum perkawinan dapat dikelompokkan kepada dua bentuk yang utama yaitu Poligami dan Monogami. a. Poligami Kata Poligami terdiri dari poli dan gami. Secara etimologi kata poli berarti banyak dan kata gami berarti isteri. Sedangkan secara terminologi poligami adalah seorang laki-laki yang telah bersetatus sebagai seorang suami memiliki isteri lebih dari satu atau beristeri lebih dari seorang tetapi di batasi sampai empat.25 Untuk memastikan amalan poligami secara lebih adil dan dapat menjamin kesejahteraan hidup umat, maka sebelum melakukan poligami seseorang haruslah memikirkan secara baik perkara yang berkaitan dengan syarat-syarat berpoligami yang harus wajib dipenuhi. Adapun syarat-syarat poligami adalah sebagai berikut :
23 Nelly Armayanti, Partisipasi Perempuan Dalam Gerakan Politik, (Medan: Universitas Sumatera Utara Press, 2007), h.58-59. 24 Prof.R.Subekti,S.H. Dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bab Perkawinan), h.449. 25 Abddurachman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h.130.
28
1 Berkemampuan untuk menanggung nafkah isteri-isteri Suami berkewajiban menanggung nafkah isteri zahir dan batin tidak kira sama ada dia mempunyai seorang isteri atau lebih. Nafkah zahir yang dimaksudkan seperti makan, minum, pakaian, kediaman dan perbutan. Sedangkan nafkah batin ialah suami berkeupayaan memberikan kemampuan dalam melakukan hubungan seks kepada isteri. 2 Mampu untuk berlaku adil kepada isteri-isteri Menurut Abu al-Aynayn keadilan bermaksud penyamaratan terhadap semua isteri tanpa wujud pilih kasih di antara mereka. Keadilan ini di dalam perkaraperkara ikhtiari dan lahiriah yang melibatkan beberapa aspek yaitu seperti nafkah, pakaian, penempatan, giliran bermalam dan musafir.26 Dalam sub-judul “Poligami dan Keadilan” tertulis meskipun dalam Islam membolehkan poligami, namun syarat yang harus dipenuhi tidaklah main-main. Keadilan yang tidak semua orang sanggup melaksanakannya. Bahkan dengan tegas Allah SWT memastikan bahwa manusia tidak akan dapat berlaku adil dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Dengan argumentasi di atas tersebut, maka tampaknya terdapat penegasan akan ketidakmungkinan pelaksanaan poligami meski Islam membolehkannya. b. Monogami Kata monogami berasal dari bahasa yunani yaitu monos yang berarti satu atau sendiri dan gamos yang berarti pernikahan. Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Sebenarnya Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, akan tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak untuk poliandri. Implikasi atau konsekuensi monogami disini lebih dipusatkan pada hukum dan moral dengan berpangkal pada kesamaan hak pria dan wanita yang setara sehingga poligami dan poliandri disamakan : 26 Ahamad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press, 2004), h.11.
29
1. Mengesampingkan poligami simultan dituntut ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang sama. 2. Mengesampingkan poligami suksesif artinya berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya perkawinan pertama yang dianggap sah sehingga perkawinan berikutnya tidak sah. Kesimpulan ini hanya dapat ditarik berdasarkan posisi dua sifat perkawinan seperti yang dicanangkan 1056 monogami eksklusif dan tak terputuskannya ikatan perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain tetapi hal ini termasuk moral ialah larangan hubungan intim dengan orang ketiga.27 2. Isu-Isu Gender Dalam Hukum Adat Hukum adat sebagai hukum rakyat Indonesia dengan corak dan sifat beraneka ragam yang sebagian besar tidak tertulis dan dibuat serta ditaati oleh masyarakat terdiri dari hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata, perkawinan dan waris. Di Indonesia pada dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan yakni : a. Sistem kekerabatan patrilinial, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki, sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung dan Bali. b. Sistem kekerabatan matrilinial, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis perempuan, sistem ini dianut di Sumatra Barat daerah terpencil. c. Sistem kekerabatan parental, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki dan perempuan, sistem ini dianut Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya.28 Walaupun terdapat tiga sistem kekerabatan atau kekeluargaan yaitu sistem kekerabatan matrilinial, patrilinial dan parental namun kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki hal ini sebagai akibat dari pengaruh idiologi patriarki. Sistem kekerabatan dalam matrilinial yang dianut pada masyarakat Minangkabau di 27 Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, (Jakarta: Hidayakarya Agung, 1981), h.8. 28 Sri Widoyatiwiratmo Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum LP3ES, (Jakarta: Studi Press,1989), h.58-59.
30
Sumatra Barat, merupakan sistem kekerabatan yang tertua, dimana pada sistem kekerabatan ini menempatkan status kaum perempuan yang tinggi dan disertai dengan sistem perkawinan semendonya dan sebagai penerus keturunan serta dalam hukum waris juga sebagai ahli waris. Dalam membahas masalah diskriminasi terhadap perempuan maka yang dipakai sebagai dasar acuan adalah Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1984, yang berbunyi sebagai berikut untuk tujuan konvensi yang sekarang ini, istilah diskriminasi terhadap wanita berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita. Mencermati ketentuan Pasal 1 tersebut diatas, maka istilah diskriminasi terhadap perempuan atau wanita adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar jenis kelamin maka terdapat peraturan perundangundangan yang bias jender seperti Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Perkawinan dan lain-lainnya. Salah satu produk peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan adalah Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang Perkawinan ini sudah berlaku kurang lebih 30 tahun dan
banyak mengandung kelemahan karena bersifat
diskriminatif dan bias gender terhadap perempuan. Undang-Undang ini terdiri dari 67 pasal, dari 67 pasal ada beberapa pasal yang secara nyata bias gender dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Adapun pasal-pasal dimaksud antara lain : a. Pasal 3 (2), Pasal 4, Pasal 5, tentang ketentuan poligami. b. Pasal 7 (1) mengenai ketentuan umur 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. c. Pasal 11 mengenai ketentuan waktu tunggu bagi wanita yaitu janda mati 120 hari dan janda cerai 90 hari.
31
d. Pasal 31 (3) mengenai ketenuan suami kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga. e. Pasal 34 (1,2) mengenai ketentuan yang memposisikan isteri sangat lemah dan subordinasi. f. Pasal 41 (b.c) mengenai ketentuan istri atau wanita diposisikan lemah dan subordinasi. g. Pasal 44 (1) mengenai ketentuan penyangkalan anak.29 3. Kuota Perempuan Di makassar Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Sulsel sedang mengkaji masih perlu atau tidaknya kuota perempuan tercantum dalam undangundang. Fakta pada Pemilu 2009 lalu menunjukkan bahwa perempuan sudah mampu bersaing dengan laki-laki. Ketua KPPI Sulsel, Andi Mariattang Jumat 30 April mengatakan pihaknya akan serius mendiskusikan soal kuota perempuan itu. Sejak sebelum pemilu mengemuka wacana agar kuota 30 persen bukan hanya pada pencalegan. Tetapi juga pada keterwakilan di parlemen. Ini yang akan kami kaji. Apakah kuota 30 persen perempuan dalam Undang-Undang Pemilu dihapus saja atau malah diperkuat dengan menambahkan pasal-pasal tertentu yang menguatkan posisi perempuan jelas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulsel dari Partai Persatuan Khusus di Sulsel jumlah politikus perempuan yang berhasil menembus parlemen tergolong banyak. Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulsel jumlah legislator perempuan naik menjadi 12 orang. Pada beberapa kabupaten juga mengalami kenaikan seperti di Gowa dan Selayar. Namun tidak dinafikan bahwa banyak pendatang baru yang tiba-tiba muncul. Mereka belum banyak diketahui track recordnya oleh publik selama ini tambahnya. Tantangan dan peluang politikus perempuan pada Pemilu 2014 ini juga akan dibahas dalam seminar akhir Mei ini. Seminar itu adalah rangkaian dari musyawarah wilayah KPPI Sulsel. Agenda utama musyawarah wilayah adalah memilih pengurus baru KPPI Sulsel periode tahun 2010 sampai tahun 2015. Di 29 Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984)
32
pemerintahan India kembali mengajukan undang-undang keterwakilan perempuan di parlemen nasional dan legislatif negara-negara bagian mereka. Berdasarkan undang-undang yang sebelumnya sempat gagal diterapkan pada tahun 1996 itu, keterwakilan perempuan di negeri Gangga tersebut semakin besar. Saat ini keterwakilan perempuan India di parlemen hanya 10 persen saja. Berdasarkan undang-undang ini, keterwakilan perempuan di parlemen India akan melonjak hingga 33 persen. Jika undang-undang ini lolos dan disetujui keterwakilan perempuan akan masuk dalam pembahasan di majelis rendah terang pemimpin Partai Kongres P.S Ghatwar kepada AFP. Dimajelis rendah undang-undang dipastikan lolos karena banyaknya dukungan. Saat ini, jumlah wakil rakyat perempuan di India hanya 59 orang dari total 545 anggota perwakilan. Jika undang-undang ini lolos, jumlah wakil rakyat perempuan bisa melonjak menjadi 181 orang. Pemerintah kami berkomitmen dalam pemberdayaan perempuan. Kami tengah bergerak untuk mencapai 1/3 keterwakilan di parlemen dan legislatif berasal dari perempuan tegas Perdana Menteri India Manmohan Singh dalam pertemuan para aktivis perempuan India pekan lalu. Saat ini undang-undang tersebut mendapat dukungan kuat dari Partai Kongres dan kalangan oposisi.30 Pada pemilihan umum tahun 1999 yang lalu, dari 48 partai politik yang ikut dalam pemilihan terdapat beberapa partai politik yang mengusung isu-isu kesetaraan gender dalam kampanyenya. Proses pemilihan pada saat itu mengalami perubahan yang cukup berarti, dimana rekrutmen kandidat partai untuk lembaga legislatif termasuk perempuan harus disetujui oleh daerah dan para pengambil keputusan partai di daerah tersebut kecuali tidak berlaku bagi wakil dari angkatan bersenjata dan polisi. Sebagian besar wakil perempuan yang terpilih berpartisipasi dalam proses pemilu antara lain dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat, diskusi, ceramah dan kegiatan partai lainnya yang berhubungan dengan kampanye pemilu. Sejak pemerintahan B.J. Habibie pada tahun 1998 sampai dengan tahun 1999 inilah telah terjadi peningkatan semangat keterbukaan dalam sistem politik 30 Sulistyo Iriyanto, Op. Cit, h.8.
33
jumlah organisasi non pemerintah telah meningkat dan pembatasan-pembatasan terhadap aktifitas partai-partai politik juga telah dihapuskan. Kondisi ini telah membawa pengaruh positif terhadap perempuan. Berbagai organisasi non pemerintah yang aktif di bidang hak-hak perempuan telah meningkatkan kegiatan mereka. Sementara itu pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, muncul sebuah kaukus politik perempuan yang terdiri dari sebuah organisasi anggotaanggota parlemen dan Pusat Pemberdayaan Politik Perempuan yaitu sebuah jaringan organisasi-organisasi khusus perempuan. Organisasi-organisasi ini tampil untuk membangun sebuah jaringan antara perempuan di parlemen, di antara pimpinan partai politik di antara pimpinan organisasi-organisasi massa dan pihakpihak terkait lainnya untuk meningkatkan dan memperkuat upaya keras mereka dalam bidang politik. Melihat beberapa fakta dan tuntutan yang muncul tersebut, maka isu kuota untuk kaum perempuan dapat diwujudkan, dimana implementasi tindakan affirmative dalam hal perwakilan perempuan di parlemen dan partai politik telah berhasil diundangkan secara formal dalam Undang-undang Pemilu No. 12 tahun 2003 Pasal 65 ayat (1), yang dikenal dengan sebutan kuota untuk perempuan, lengkapnya pasal tersebut berbunyi “setiap partai politik beserta pemilu dapat mengajukan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota untuk setiap daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Sehingga dari sinilah kuota 30% bagi perempuan itu mulai berlaku dalam pemilihan umum”. Dengan dikeluarkan dan disahkannya Undang-undang No.12 pasal 65 ayat (1) tentang Pemilu mengenai kuota perempuan tersebut merupakan langkah awal perjuangan politik perempuan yang mendapat dukungan formal untuk berkiprah di politik. Kuota perempuan ini nantinya dapat menempatkan perempuan dalam posisi yang cukup kuat, karena jumlah kuota anggota perempuan di parlemen yang nantinya akan dapat mempengaruhi keputusan yang akan dihasilkan. Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 ada beberapa hal baru terkait mengenai implementasi kuota minimal 30% perempuan dalam pengajuan
34
bakal calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu : a. Adanya perintah bagi Komisi Pemilihan Umum untuk mengembalikan berkas pencalonan pada partai politik yang tidak mampu memenuhi kuota 30% perempuan di setiap daerah pemilihan. b. Berlakunya mekanisme zipper dalam penomoran calon perempuan, yakni setiap tiga nama calon yang diajukan minimal terdapat satu calon perempuan. Dengan mekanisme ini diharapkan para calon perempuan lebih punya akses untuk terpilih menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kuota perempuan disatu sisi memang bisa menempatkan perempuan dalam posisi yang kuat, karena jumlah anggota perempuan di parlemen akan mempengaruhi keputusan yang dihasilkan. Kuota perempuan diterapkan dengan alasan sebagai berikut : a. Kuota perempuan bukan diskriminasi, tetapi memberikan kompensasi atas hambatan-hambatan aktual yang mencegah perempuan dan keterlibatannya secara adil dalam posisi politik. b. Perempuan mempunyai hak representasi yang setara. c. Pengalaman perempuan dalam bidang poltik. d. Perempuan memilik kualitas seperti laki-laki tetapi kualikasi perempuan dinilai rendah dan diminimalkan dalam sistem politik yang di dominasi oleh laki-laki. e. Fakta bahwa partai poltik yang mengkontrol masalah pencalonan dan bukan para pemilih yang menentukan siapa yang dipilih.31
31 Ani Widyani Soetjipto, Affirmative Action Untuk Perempuan Di Parlemen Indonesia, (Jakarta: Yayasan API, 2009), h.230.
BAB III PEREMPUAN DAN HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN DALAM HUKUM BERKEADILAN GENDER
A. Definisi, Bentuk Dan Praktek Hukum Berkeadilan Gender Masalah gender sudah sering dibahas oleh pemerhati gender dalam berbagai pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi, seminar-seminar dan lain-lainnya baik pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional bahkan pada tingkat inetrnasional. Walaupun demikian masih banyak orang tidak mengetahui dan tidak mengerti apa sebenarnya gender tersebut. Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat dilihat dari sejarah, di mana telah mencatat bahwa kaum perempuan telah mengalami kenyataan pahit dari zaman dahulu hingga sekarang ini. Mereka dianggap sebagai kaum yang tidak berdaya, lemah dan selalu menjadi yang kedua. Berbagai bentuk diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil diterima oleh kaum perempuan. Kaum perempuan kemudian mencoba berjuang untuk mendapatkan hak mereka sebagai manusia, mulai dari hal yang sangat kecil yaitu diskriminasi di lingkungan hingga berbagai permasalahan isinya seperti hak politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum. Kata jender berasal dari bahasa Inggris, yaitu gender, yang berarti jenis kelamin.32 Dalam Webster New World Of Dictonary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.33 Didalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep budaya yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitasdan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.34
32 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet.XII, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1998), h.265. 33 Celia Modgil, The Apparent Disparity Between Man And Women In Values And Behavior (New York: Webster Of Dictionary, 1984), h.561. 34 Helen Tierney (ed), Women’s Studies Encylopedia, Vol. 1, (New York: Green Press, 1999), h.153.
35
36
Menurut Hilary. M. Lips dalam bukunya yang terkenal, Sexs And Gender An Introduction mengartikan jender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).35 Pendapat ini sejalan dengan pendapat umumnya tentang kaum feminis seperti menurut Linda. L. Lindsey, yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk dalam bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminism is a component of gender).36 Menurut H. T. Wilson dalam Seks dan Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.37 Sedangkan menurut Elaine Showalter mengartikan jender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi konstruksi sosial budaya. Elaine menekankannya sebagai konsep analisa (an analytic concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.38 Meskipun kata jender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah banyak digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan gender. Gender juga dapat diartikannya sebagai interprestasi mental dan budaya terhadap perbedaan kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.39 Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan lakilaki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara itu, Seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah seks dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti jenis 35 Hilary M. Lips, Sexs And Gender An Introduction, (London: Masyfield Publishing Company, 1993), h.4. 36 Aidit. D.N, Wanita Komunis Pejuang Untuk Masyarakat Baru, (Jakarta: Ilmu Bintang Merah, 1957), h.216. 37 Jaya Wardena, Fenimisme And Nationalisme In Third World In 19th And 20th Centuries, (Denmark: The Haqiues, 1982). 38 Miriam Budiardjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, Cet.I, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2008), h.403-404. 39 Firmanzah, Mengelolah Partai Politik Diera Demokrasi, Cet.I, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 66.
37
kelamin.40 Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologi dan aspek-aspek non biologis lainnya.41 Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat di lihat dari sejarah, dimana telah mencatat bahwa kaum perempuan telah mengalami kenyatan pahit dari zaman dahulu hingga sekarang ini. Mereka dianggap sebagai kaum yang tidak berdaya, lemah dan selalu menjadi yang kedua. Berbagai bentuk diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil diterima oleh kaum perempuan. Kaum perempuan kemudian mencoba berjuang untuk mendapatkan hak mereka sebagai manusia, Mulai dari hal yang sangat kecil yaitu diskrimnasi di lingkungan hingga berbagai permasalahan lainya seperti hak politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial.42 Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari dibentuk dan diubah oleh masyarakat sendiri. Oleh karena itu sifatnya dinamis, artinya dapat berubah dari waktu kewaktu dan dapat pula berbeda dari tempat yang satu dengan tempat lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing.43 Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunjukan hubungan yang subordinatif yang artinya dimana bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan lakilaki. Hubungan yang subordinatif tersebut dialami oleh kaum perempuan diseluruh dunia karena hubungan yang subordinatif tidak saja dialami oleh masyarakat yang sedang berkembang seperti masyarakat Indonesia, namun juga dialami oleh masyarakat negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat
40 Echols Dan Shadily, Op.Cit., h.517. 41 Lindsey, Op.Cit., h..2. 42 Astiti, Jender Dalam Hukum Adat, (Jakarta: Word Press, 2000), h.1. 43 Mansour Faqih, Analisa Gender Dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.8.
38
dan lainnya. Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan lakilaki dan ini terdapat di seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada situasi dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum feminis berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari keadaan yang subordinatif tersebut. Di Indonesia sebenarnya perjuangan kaum feminis untuk menuntut kedudukan yang sama dengan laki-laki atau terhadap kekuasaan patriarki sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang mana dipelopori oleh R.A.Kartini. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan R.A.Kartini tersebut mendapat pengakuan yang tersirat pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 1 yang berbunyi segala warga negara bersamaan kedudukannya didepan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali. Disamping itu berbagai produk perundang-undangan yang telah dibentuk sebagai realisasi tuntutan persamaan hak dan kedudukan perempuan dengan lakilaki, antara lain adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Diantara produk perundangundangan tersebut yang paling tegas mengatur tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Meskipun begitu kedudukan subordinasi terhadap perempuan dalam kenyataannya masih tetap ada dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam Islam pembicaraan tentang kedudukan wanita dan peran politiknya merupakan polenik dalam jangka waktu yang relatif lama banyak didominasi oleh perhitungan-perhitungan historis dari prinsip-prinsip Islam Berkaitan dengan peran politik perempuan khususnya dalam Islam, ada dua pendapat yaitu pro dan kontrak muslim. Kelompok kedua mendukung peran politik perempuan. Perempuan adalah makhluk Tuhan seperti juga laki-laki.
39
Menambah tentang peran politik perempuan maka secara khusus hak politik perempuan tertuang dalam konvensi PBB tentang penghapusan Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW - The Unconvention On The Elimination Of All Forms Of Dicrimination Against Women) disahkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 yang diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Bila dicermati dalam kancah perpolitikan perempuan dari segi keterwakilan perempuan baik ditataran eksekutif, yudikatif dan legislatif sebagai badan yang memegang peran kunci menetapkan kebijakan publik, pengambilan keputusan dan menyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih tertinggal jauh dibandingkan dengan laki-laki. Dengan disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Pemilu yang menyertakan aspirasi kaum perempuan pada Pasal 65 Ayat 1 UndangUndang No. 12 Tahun 2003, tercantum setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR baik DPR RI, DPR Propinsi dan DPR Kabupaten atau kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %. Partai Keadilan Sejahtera salah satu partai politik yang memainkan peranan yang khas selaku partai yang berasakan Islam. Partai ini menarik untuk diangkat karena banyak pemberitaan media, seperti pada harian Seputar Indonesia pada tanggal 3 juni 2008. Menurut Hajriyanto. Y. Thohari seorang pengamat kenegaraan menulis bahwa PKS adalah partai primus inter minus malum, yakni partai yang secara organisasional dan kedisiplinan yang paling baik diantara semua partai-partai lain yang rata-rata buruk.44 Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan citacita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik yang biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses keputusan 44 Hajriyanto Y. Thohari, Partai Yang Berasakan Islam, (Jakarta: Media Seputar Indonesia, 2008), h.15.
40
khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakekat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional dan non konstitusional. Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik yang modern dan demokratis. Sebagai suatu partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilasi rakyat mewakili kepentingan tertentu memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana sukses kepemimpinan secara legitimasi dan damai Untuk mengetahui apa dan bagaimana partia politik beroperasi, ada baiknya kita melihat kembali literatur yang terkait dengan partai poltik. Menurut Max Weber dapat dikategorikan sebagai pendiri pemikiran politik modern di Brechon tahun 1999. Dalam bukunya yang berjudul Economie Et Societe tahun 1959 Menurut Max Weber menekankan aspek profesionalisme dalam dunia politik modern. Partai politik kemudian didefinisikan sebagai organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinannya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya politisi untuk mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. Partai poltik menurut Max Weber sangat berkembang pesat di abad ke-19 karena didukung oleh legitimasi legal rasional.45 Banyak sekali definisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para sarjana. Para ahli ilmu politik diantaranya Carl.J.Friedrich menuliskannya sebagai berikut partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan pada anggota yang partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materil. Menurut Sigmun Neumann, dalam buku Modern Political Parties. Mengemukakan definisi partai politik hampir sama dengan Carl.J.Fredrich yang menekankan adanya kompetisi kekuasaan, ia menyatakan partai politik adalah bahwa organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai 45 Firmanzah, Mengelolah Partai Politik Diera Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h.66.
41
kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.46 Menurut Roger Soltau bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara yang terorganisir yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan melakukan kebijakan mereka. Ensiklopedia populer politik pembangunan pancasila bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara yang berkehendak untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu dalam rangka yang ditetapkan oleh konstitusi. Setiap partai politik adalah suatu organisasi perjuangan politik yang berusaha supaya kemauan politik nya dilaksanakan. Karena tujuan ini hanya mungkin dilakukan dengan kekuasaan maka partai mencari, membentuk dan menggunakan kekuasaan bukan tujuan melainkan saran untuk mewujudkan kesejahteraan bersama menurut pandangan partai tersebut dalam rangka konstitusinal. Dengan melihat beberapa pengertian partai politik diatas maka dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu wadah yang mampu menghubungkan antara pemerintah dan masyarakat dalam hal ini mereka yang tidak sepaham dengan orang-orang yang telah duduk didewan maka dengan partai politiklah mereka dapat menggantikan orang tersebut. Dengan kata lain bahwa partai politik merupakan alat politik untuk memperoleh kekuasaan politik, dan merebut kekuasaan politik. Didalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai proses dimana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Biasanya proses berjalan secara berangsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Disamping itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui dimana seseorang atau masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari suatu genersi ke generasi berikutnya. Menurut Neuman, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi. Ahli lain yang juga turut merintis studi tentang 46 Ibid., h.104.
42
kepartaian dan membuat definisi adalah Giovanni Sasori yang karyanya juga menjadi klasik serta acuan penting. Menurut Sartori A party is any political group that present at elections, and is capable of placing through elections candidates for public office (partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan caloncalonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik).47 Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 sebagai penyempurnaan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang partai poltik yang disebut sebagai partai politik adalah organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota masyarakat bangsa dan negara melalui pemilihan. Menurut Apppadorai mengatakan partai politik adalah sedikitnya satu atau lebih kelompok yang mengorganisasi warga negara bertindak bersama-sama sebagai satu kesatuan politik, memiliki tujuan sendiri-sendiri dan pertentangan pendapat dalam negara melalui tindakan secara bersama sebagai kesatuan politik untuk memperoleh kekuasaan pemerintahan. Berdasar pada dua dasar alamiah manusia. Manusia berbeda dalam pendapat mereka mencoba untuk mencapai tujuan bersama dengan bergabung apa-apa yang mereka tidak bisa wujudkan secara individu.48 Dalam usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilu, partai memperoleh dukungan seluas mungkin. Untuk itu partai berusaha menciptakan image bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Disamping menanamkan solidaritas dengan partai politik juga mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan sendiri dibawah kepentingan nasiaonal. Negara-negara baru partai politik juga berperan untuk memupuk identitas nasional. Proses sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramah-ceramah penerangan, kursus kader, kursus penataran, media massa dan sebagainya. 47 Ibid., h.404-405. 48 Jimly Asshiddigie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007), h.709.
43
Berdasarkan fungsi ini akhirnya kita dapat menarik definisi bahwa partai politik merupakan suatu asosiasi yang terorganisir yang memiliki sistem nilai dan tujuan yang sama yang mana asosisasi ini berperan sebagai media untuk mengekspresikan kepentingan anggotanya mengelola konflik dalam kaitannya dengan upaya untuk memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan termasuk mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum. Dari segi penyampaian pesan oleh Ramlan Surbakti menyebutkan bahwa sosialisasi politik dibagi atas dua bagian yakni pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pada kenyataanya yang kita lihat di Indonesia konsep pendidikan politik itu masih kurang jelas atau kurang efektif. Bahkan mustahil ada institusi-institusi yang menggambarkan sistem politik dalam materi pendidikan politiknya. Bahkan mungkin ada yang lebih parah sampai kesistem tersebut. Tidak adanya trasparansi politik karena hubungan antar lembaga politik dan lembaga pemerintahan adalah salah satu media pendidikan politik yang sangat nyata. Seorang atau sekelompok orang kaya telah tersentuh program pendidikan politik sangat membutuhkan trasparansi sebagai media evaluasi yang akan merubah sikap partisipasi politiknya apabila kurang sesuai permintaan dari sistem. Akibat yang fatal akibat tidak adanya trasparansi adalah munculnya penyakit-penyakit sosial pada masyarakat yang sudah memahami politik secara umum penyakit tersebut. Misalnya frustasi atau apatis akibatnya adalah kecendrungan masyarakat untuk bertindak deskriptif bahkan anarkis. B. Perempuan Dalam Legal Drafting UU Di DPR Perempuan di DPRD RI hasil Pemilu 2009 berjumlah 100 orang atau 18,4 % dari 560 anggota DPRD RI periode tahun 2009-2014. Walaupun Perempuan hanya berjumlah 100 orang saja di DPRD RI, tetapi kiprahnya didalam ruang sidang diSenayan menunjukkan kemajuan berpikir dan gerakan yang progresif. Dalam bidang politik perempuan parlemen telah bertenaga untuk bicara mengenai detail masalah. Perempuan parlemen telah berani bicara dengan suara lantang, baik dalam rapat-rapat Komisi maupun Rapat Paripurna DPR RI.
44
Dengan menunjukkan bahwa kemampuan laki-laki dan perempuan adalah sama maka perempuan diparlemen telah berusaha menggapai kekuasaan diparlemen dengan mengisi jabatan-jabatan pimpinan dalam badan-badan alat kelengkapan seperti dikomisi-komisi dan badan-badan parlemen lainnya. Kualitas kepemimpinan perempuan mulai diperhitungkan. Saat ini, tercatat 7 (tujuh) orang anggota DPRRI perempuan yang memegang pimpinan pada komisi-komisi dan badan alat kelengkapan yaitu: 1. Hj. Ana Mu’awanah, SE, MA (Pimpinan Komisi IV) 2. Dra.Yasti Soepredjo Mokoagow (Pimpinan Komisi V) 3. Dra. Hj. Chairunnisa, MA (Pimpinan Komisi VIII) 4. DR. Ribka Tjiptaning (Pimpinan Komisi IX) 5. Dra. Hj.Ida Fauziah (Pimpinan Badan Legilasi) 6. DR. Indrawati Sukadis (Pimpinan BURT) 7. DR. Nurhayati Ali Asseggaf (Pimpinan BKSAP) Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan Dewan Perwakilan Rakyat selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undangundang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dajukan oleh Presiden. Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mengamati wajah legislatif dalam persoalan politik kita dewasa ini, terlihat suram dan tidak menarik rakyat. Bersama dengan dua pilar demokrasi lainnya, eksekutif pemerintah dan yudikatif dipandang berada dalam posisi yang tidak stabil. Bila diamati pemberitaan demi pemberitaan media massa, setiap hari terlihat kecendrungan untuk menghantam pemerintah, menghajar parlemen dan dunia peradilan. Pemerintah dihujani protes parlemen diberi julukan yang sangat memperihatinkan murid TK, autis, egois dan lain-lain. Sementara dunia peradilan terpuruk karena dipandang timbangan hukumnya yang timpang pedang
45
hukumnya yang hanya tajam untuk rakyat kecil tetapi tumpul pada orang yang memiliki uang dan kekuasaan. Sekarang ini muncul kelompok masyarakat yang memiliki kekuatan ekstra parlementer. Mereka mengorginisir diri mengambil bagian dalam mesinmesin sosial. Mereka hadir dan mengkritisasi berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat. Mereka mengkritik kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak kompeten dalam menjalankan fungsinya terutama dalam bidang legal drafting, pembuatan undang-undang dan bidang budgeting anggaran. Mereka berpendapat karena tidak kompeten dibidang legal drafting dan tidak memahami hukum ketatanegaraan produk legislasi di DPR tidak berkualitas sehingga banyak undang-undang yang harus diuji materi ke Mahkamah Konstitusi. Kondisi ini hendaknya dalam memicu semangat perempuan parlemen untuk mengasah kemampuannya agar bisa memberi kontribusi positif bagi lembaga legislatif agar lebih representative dan partisipatoris. Sekalipun jumlah perempuan dalam parlemen belum signifikan tapi dengan kualitas yang memadai akan mampu memberi warna pada keputusan-keputusan yang dibuat. Kita yakin bahwa perempuan parlemen mendapat merubah keadaan. Hal penting lainnya bagi perempuan diparlemen adalah meningkatkan partisipasi politik perempuan. Perempuan parlemen adalah bagian dari perempuan politik. Yang dimaksud dengan perempuan politik tentu saja bukan hanya perempuan yang aktif dilembaga politik yang ikut mengambil kebijakan publik tetapi juga menyangkut perempuan yang berada diluar lingkup politik formal yaitu perempuan yang berada diormas sipil organisasi perempuan dan organisasi non pemerintahan lainnya. Arti politik dalam konsep perempuan meliputi politik formal dan politik non formal. Sehubungan dengan itu perempuan parlemen perlu mengembangkan berbagai prakarsa untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan kedalam berbagai aktivitas gender untuk merangsang dialog antar berbagai elemen masyarakat baik ditingkat nasional maupun internasional. Perlu menjalin kerjasama dengan perempuan lintas partai politik dan aktivis gerakan masyarakat madani menciptakan jaringan kontak antara masyarakat sipil dengan lembagalembaga politik.
46
Persoalan politik dewasa ini sangat kompleks sehingga dituntut seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu menjadi master in complexity dengan cara berpikir yang komprehensif integral. Yang dimaksud dengan cara berpikir komprehensif integral adalah menangkap dengan suatu masalah sebagai sesuatu yang menyeluruh untuk mendapatkan esensi yang tunggal. Sehubungan dengan itu perempuan parlemen diharapkan memiliki kemampuan analisa politik dengan daya pikir yang kuat dan keteguhan hati pada keadilan. Bila memiliki keteguhan hati pada keadilan maka politik tidak lagi dilihat sebagai perburuan, pembesaran dan pelanggengan kekuasaan tetapi adalah untuk pendidikan demokrasi.49 Persoalan perempuan selalu saja terancamkan setiap hari R. A. Kartini. R. A. Kartini bukan hanya tokoh emansipasi perempuan yang mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia, melainkan tokoh nasional. Dengan ide dan gagasan pembaruannya ia berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional. Ada kesan secara umum perempuan di parlemen seolah-olah belum mampu memperjuangkan hak-hak perempuan. Ditengah masyarakat lainnya masih banyak perempuan yang hak-haknya dikenalkan belum dipersamakan sama dengan hak laki-laki misalnya pekerjaan. R.A.Kartini telah memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan jauh hari sebelum pemerintah mengeluarkan sebuah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang No.22 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang tentang Anti perdagangan Orang namun kekerasan masih saja terjadi. Sejak pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada bab II Pasal 8 ayat (d) tersurat partai politik harus menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat kenyataannya keberadaan perempuan masih jauh dibandingkan dengan pria. Jumlah dari keterwakilan perempuan di DPRD Kota Bandung saja baru mencapai 18 persen yaitu 9 dari 50 49 Mardety Mardinsyah, Perermpuan Parlemen Mengubah Wajah Legislatif, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1998), h.265.
47
anggota DPRD Kota Bandung. Dengan keterbatasan itu ke 9 (sembilan) anggota DPRD perempuan ini benar-benar berjuang untuk mewarnai peraturan-peraturan program dan peraturan-peraturan kebijakan yang disusun agar mengarah pada pengarusutamaan gender yaitu kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia. Pejuangan untuk pengarusutamaan dan kesetaraan gender berujung pada mensejahterakan kaum perempuan sebagaimana cita-cita Kartini tidak bisa dilakukan semudah membalikkan telapak tangan perlu proses dan perjalanan panjang. Masa kerja lima tahun anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak akan cukup untuk mewujudkan hal tersebut jika tidak ada dukungan dan peran serta masyarakat keseluruhan. Hal yang paling penting adalah penguatan peran perempuan
dalam
menghasilkan
perda
yang
responsif
gender
dengan
peningkatan.50 Kemampuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam legal drafting, ditambah keterlibatan perempuan dalam pembahasan rancangan perda yang bermuatan gender perlu ditingkatkan Secara harfiah legal dafting dapat diterjemahkan secara bebas, adalah penyusunan atau perancangan Peraturan Perundang-undangan dari pendekatan hukum. Legal drafting adalah kegiatan praktek hukum yang menghasilkan peraturan sebagai contoh pemerintah membuat Peraturan Perundang-undangan hakim membuat keputusan Pengadilan yang mengikat publik swasta membuat ketentuan atau peraturan privat seperti perjanjian atau kontrak, kerjasama dan lainnya yang mengikat pihak-pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak. Dalam meteri kuliah ini legal drafting dipahami bukan sebagai perancangan hukum dalam arti luas, melainkan hukum dalam arti sempit, yakni undang-undang atau perundang-undangan. Jadi bukan perancangan hukum seperti perjanjian atau kontrak. Legal Drafting merupakan konsep dasar tentang penyusunan peraturan perundang-undangan yang berisi tentang naskah akademik hasil kajian ilmiah beserta naskah awal peraturan perundang-undangan yang diusulkan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan 66 Khamami Zada, Fenomena Perempuan Di Parlemen, Republika, 11 Mei 2011, h.24.
48
perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Dapat disimpulkan kegiatan legal drafting disini adalah dalam rangka pembentukan peraturan-perundangan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 10 tahun 2004, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundangundangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan persiapan teknik penyusunan perumusan pembahasan pengesahan perundangan-undangan dan penyebarluasan. Sesuai dengan bunyi pasal 1 Undang-Undang No. 10 tahun 2004 diatas bahwa proses sebuah peraturan menjadi legal dan mempunyai daya ikat atau kekuatan hukum tetap harus melewati beberapa tahap. Adanya legal drafting ada hubungannya dengan konsep negara hukum. Negara hukum menurut Wirjono Prodjodikoro adalah suatu negara yang didalam wilayahnya semua alat perlengkapan negara khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam setiap tindakannya terhadap warganegara dan dalam berhubungan tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan hukum, dan semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan hukum yang berlaku. Sedangkan menurut Hartono Mardjono dikatakan negara hukum adalah bilamana dinegara tersebut seluruh warga negara maupun alat-alat perlengkapan dan aparat negaranya tanpa kecuali dalam segala aktifitasnya tunduk kepada hukum equity dan non discrimination. Tujuan Negara Hukum menurut S. Tasrif adalah sebagai: 1. Kepastian hukum (tertib atau order) 2. Kegunaan (kemanfaatan atau utility) 3. Keadilan (justice). Sedangkan menurut Ahmad Dimyati Tujuan Negara Hukum adalah: 1. Pencapaian keadilan 2. Kepastian hukum 3. Kegunaan (kemanfaatan).
49
Kesimpulan : 1. Pencapaian keadilan sesuai dengan asas Ius quia iustum hukum adalah keadilan dan Quid ius sine justitia apalah arti hukum tanpa keadilan 2. Hukum adalah untuk mengatur hubungan, baik warga masyarakat maupun negara, The law is a tool to social control and social engineering 3. Hukum dilaksanakan untuk mencapai kepastian. Unsur-unsur negara hukum : 1. Sistem pemerintahan negara yang berdasarkan atas kedaulatan rakyat. 2. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau peraturan perundang-undangan. 3. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (warga negara). 4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara. 5. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada dibawah pengaruh eksekutif. 6. Adanya peran nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk ikut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah. 7. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara. Sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 maka segala aspek kehidupan dan bidang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum asas legalitas. Konsekuensinya adalah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tidak terlepas dari peraturan Perundang-undangan sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia. Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 10 tahun 2004. Untuk itu perlu adanya suatu pemahaman terhadap tatacara penyusunan peraturan Perundang-
50
undangan mulai dari proses, prosedur, dan teknik dalam penyusunan dan pembuatan rancangan peraturan Perundang-undangan. Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat pada : 1. Undang-Undang Dasar 1945 Bab I Pasal 1 ayat 3 tentang Negara Indonesia adalah negara hukum. 2. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dicantumkan dengan kata-kata pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia 3. Undang-Undang Dasar 1945 Bab X Pasal 27 ayat 1 tentang Warga Negara yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan itu dengan dengan tidak ada kecualinya 4. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dihapus menyatakan bahwa dalam sistem pemerintahan negara, yang maknanya tetap bisa dipakai yaitu Indonesia ialah negara yang berdasarkan azas negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan semata (machtstaat) 5. Sumpah atau janji Presiden dan Wakil Presiden yang memegang teguh Undang-Undang Dasar 1945 dan segala bentuk Undang-Undang dan Peraturannya dengan selurus-lurusnya 6. Undang-Undang Dasar 1945 Bab X Pasal 28 i ayat 5 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa untuk penegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia tersebut dijamin, diatur dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-Undangan 7. Sistem hukum yang bersifat Nasional 8. Dasar hukum yang tertulis sebagai Konstitusi dan Dasar hukum tak tertulis sebagai Konvensi 9. Tap MPR No. 3 Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan
51
10. Adanya peradilan bebas.51 Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie meminta agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) segera direvisi. Ini kabar bagus karena revisi KUHP sudah tertunda dan terlunta-lunta antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Hampir di setiap periode Dewan Perwakilan Rakyat diajukan, tetapi tak kunjung dibahas sampai masa bakti anggota Dewan Perwakilan Rakyat berakhir. Sayangnya, alasan Marzuki Alie meminta revisi KUHP bukan karena seluruh rakyat membutuhkan perbaikan KUHP yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial Hindia dan Belanda. Ketertinggalan KUHP itu antara lain karena pasal-pasal yang dianggap menindas rakyat, terutama ketika menyangkut kritik terhadap penguasa. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru ingin agar pasal-pasal pencemaran nama baik itu dilipat gandakan pidananya karena gemas melihat bagaimana menurut George Aditjondro merugikan nama baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan menerbitkan buku Membongkar Gurita Cikeas. Lepas dari apa pun motivasinya dorongan seorang Ketua Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera merevisi undang-undang yang sudah terbengkalai begitu lama tentu menarik. Kalau Dewan Perwakilan Rakyat di bawah pimpinan Marzuki Alie bisa menyelesaikan revisi KUHP, tentu akan menjadi mahakarya bukan saja bagi parlemen, melainkan juga pemerintah. Gagasan untuk merevisi KUHP sudah muncul sejak tahun 1960-an. Jadi sejak Orde lama, Orde Baru, sampai Orde Reformasi nasib revisi KUHP tetap terkatung-katung. Pada awal persidangan DPR periode tahun 2004-2009, sebagai anggota Komisi III, penulis pernah mengingatkan kepada Menteri Hukum dan HAM pada waktu itu Hamid Awaluddin, agar mengambil momentum untuk mengajukan Undang-Undang berskala besar ini. Bukan saja dari kebesaran skala peran dan pengaruhnya dalam penegakan hukum di Tanah Air melainkan juga dari ruang lingkup materinya secara fisik. Mungkin inilah undang-undang yang paling tebal di Indonesia. Kalau KUHP sekarang terdiri dari 569 pasal, rancangan KUHP baru yang telah diajukan ke DPR terdiri dari 727 pasal. 51 Saepudin, Teknik Penyusunan Perundang-undangan, Republika, 12 Juli 2010, h.19.
52
Inilah sebabnya pembahasannya harus dimulai sejak awal masa tugas Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga sedikitnya tersedia waktu tiga sampai empat tahun untuk menyelesaikannya. Sebab jika sudah mulai digara tetapi tidak selesai harus diulang dari awal oleh DPR periode berikutnya. Mungkin inilah yang menjadi alasan mengapa DPR tahun 2004-2009 akhirnya tidak mengagendakan pembahasan walau pun rancangan KUHP sudah dikirim oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin ke DPR. Implikasi besar dari revisi KUHP ini, antara lain, pada saat penataan secara sistemik terhadap sanksi pidana yang saat ini tersebar di berbagai undangundang. Untuk memberi efek jera kepada pelanggar undang-undang, hampir pembuat undang-undang menumpukan pada sanksi pidana. Bahkan, pendapat umum yang berkembang di DPR hampir sama dengan pendapat Ketua DPR Marzuki Alie bahwa makin berat sanksi pidana akan makin efektif untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Akibatnya undang-undang bagai belantara sanksi, yang satu sama lainnya tidak konsisten sehingga para penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim bisa terperosok pada pilihan-pilihan yuridis, bahkan kadang-kadang politis. Kasus tentang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik disatu sisi merupakan realitas hukum yang sah jika diterapkan disisi lain menimbulkan pro dan kontrak dari sisi rasa keadilan yang hidup dimasyarakat. Tidak adanya standar mengenai jenis dan berat ringannya pidana membuat masing-masing pembuat undang-undang merasa bisa mengatur sesuai dengan kewenangan yang dipunyai berdasarkan konstitusi. Padahal latar belakang pembuat undang-undang dan situasi kondisi saat undang-undang dibuat akan sangat berpengaruh pada kualitas undang-undang yang diloloskan. Ada panitia khusus pansus atau komisi yang anggotanya mempunyai latar belakang legal drafting cukup baik. Dengan demikian setiap menetapkan jenis dan berat ringannya pidana mengacu pada undang-undang lain yang sudah ada dan teori-teori hukum pidana yang mutakhir. Tetapi, ada juga yang pengalamannya sebagai legal drafting cukup paspasan. Kondisi emosional suatu saat juga bisa melahirkan pasal-pasal geregetan,
53
yang bisa menjadi pintu masuk lahirnya politisasi hukum dalam pembuatan undang-undang. Misalnya kegeraman Ketua DPR yang merasa partai atau presidennya menjadi sasaran sebuah perbuatan yang bisa dikenai pidana, apalagi didukung dengan kekuatan mayoritas diparlemen tentu bisa melahirkan ketentuan pidana yang tidak logis, tidak konsisten, dan tidak sistemik. Di pihak lain juga bermunculan pro dan kontrak mengenai kriminalitas berbagai perbuatan termasuk di kalangan media selain juga mengenai beratnya ancaman pidana. Karena itu KUHP disamping akan menjadi kodifikasi atau penyatuan untuk semua ketentuan pidana juga harus bisa melakukan klasifikasi dan standardisasi untuk penentuan jenis dan berat ringannya pidana. Sangat layak kalau Dewan Perwakilan Rakyat periode tahun 2009-2014 tidak hanya menempatkan rancangan undang-undang atu Rancangan UndangUndang KUHP dalam prioritas program legislasi nasional tetapi sekaligus meletakkan pada posisi papan atas yang akan segera dimulai pembahasannya pada tahun 2010 ini. Kalau ini terlaksana akan benar-benar menjadi mahkota dalam tugas legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, sekaligus akan menjadi undang-undang landmark yang akan menjadi penanda legislasi satu dekade mendatang. Memang diperlukan komitmen legal drafter yang profesional baik dalam kemampuan rancang bangun undang-undang kesediaan untuk mendengar sebanyak mungkin pihak pemangku kepentingan sehingga undang-undang ini benar-benar menjadi kebanggaan bersama. Jago-jago perancang hukum yang berpengalaman di DPR bersama para ahli dari pemerintah maupun perguruan tinggi hukum di Indonesia diharapkan bisa bersinergi secara maksimal untuk melahirkan mahakarya nasional ini. Masyarakat, dan terutama kalangan media, harus mencurahkan perhatiannya pada proses pembahasan Rancangan UndangUndang ini. Sebab, KUHP benar-benar merupakan undang-undang sentral yang akan memengaruhi kehidupan warga negara sejak masih dalam kandungan sampai setelah nanti kembali ke alam kubur. Mari kita dukung semangat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera merevisi undang-undang KUHP. Hasil akhirnya tergantung pada komitmen
54
idealistis dari pemerintah dan parlemen serta kesungguhan masyarakat, pers, dan akademisi untuk memantau dan mengkritisi proses pembahasannya. C. Produk Perundang-Undangan Berkeadilan Gender Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa politik perundangundangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah pengaturan substansi hukum yang dituangkan dalam peraturan perundangundangan hukum tertulis untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa hanya menggambarkan keinginan atau kebijakan pemerintah atau negara. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa kewenangan atau organ pembentuk peraturan perundangundangan adalah hanya negara atau Pemerintah.52 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat dialihkan pada badan yang bukan badan negara atau bukan badan pemerintah. Sehingga pada prinsipnya tidak akan ada deregulasi yang memungkinkan penswastaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun demikian dalam proses pembentukannya sangat mungkin mengikutsertakan pihak bukan negara atau Pemerintah.53 Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan, baik langsung maupun tidak langsung akan selalu berkenaan dengan kepentingan umum, oleh karena itu sangat wajar apabila masyarakat diikutsertakan dalam penyusunannya. Keikutsertaan tersebut terdapat dalam bentuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai prakarsa dalam mengusulkan atau memberikan masukan untuk mengatur sesuatu atau memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menilai, memberikan pendapat atas berbagai kebijaksanaan negara atau Pemerintah dibidang perundangundangan. Dalam praktek, pengikut sertaan dilakukan melalui kegiatan seperti pengkajian ilmiah, penelitian, berpartisipasi dalam forum-forum diskusi atau duduk dalam kepanitiaan untuk mempersiapkan suatu rancangan peraturan 52 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: Redaksi Sinar Grafika, 2006), h.2. 53 Ibid., h.7.
55
perundang-undangan. Pada forum Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan pemberian sarana partisipasi yang dilakukan melalui pranata dengar pendapat atau publik hearing. Berbagai sarana untuk berpartisipasi tersebut akan lebih efektif bila dilakukan dalam lingkup yang lebih luas bukan saja dari kalangan ilmiah atau kelompok profesi, tetapi dari berbagai golongan kepentingan (interest groups) atau masyarakat pada umumnya. Untuk mewujudkan hal tersebut biasanya diperlukan suatu sistem desiminasi rancangan peraturan perundang-undangan agar masyarakat dapat mengetahui arah kebijakan atau politik hukum dan perundangundangan yang dilaksanakan. Sehingga pembangunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan dapat mengarah pada terbentuknya suatu sistem hukum nasional Indonesia yang dapat mengakomodir harapan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang berorientasi pada terciptanya hukum yang responsive. Berkaitan dengan hal tersebut Mahfud M.D juga menyatakan hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi pembangunan hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi secara penuh kelompok-kelompok masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat pada umumnya.54 Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundang-undangan dapat diformulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung berbagai pemikiran dan partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini sangat penting karena dapat menghindari benturan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah atau negara yang akan terjebak kedalam tindakan yang dijalankan diluar jalur atau landasan hukum. Bila hukum yang dihasilkan adalah hukum yang responsif, maka tidak akan ada lagi hukum siapa yang kuat punya kekuasaan akan menguasai yang lemah atau anggapan rakyat selalu menjadi korban, karena lahirnya hukum tersebut sudah melalui proses pendekatan dan formulasi materi muatannya telah menampung berbagai aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan 54 M. Mahfud M.D, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang Responsif, (Semarang, 1996), h.1.
56
pula oleh nilai, keyakinan, atau sistem sosial politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.55 Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia pernah terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reformasi tahun 1998, konfigurasi politik yang berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum yang konservatif dan terpuruk karena selalu dijadikan subordinat dari politik. Sedangkan ciri atau karakteristik yang melekat pada hukum konservatif antara lain: 1. Proses pembuatannya sentralistik tidak partisipatif karena didominasi oleh lembaga-lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh negara. Di sini peran lembaga peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat sangat sumir. 2. Isinya bersifat positivist-instrumentalistik tidak aspiratif dalam arti lebih mencerminkan kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah dijadikan alat instrumen pembenar yang akan maupun terlanjur dilakukan oleh pemegang kekuasaan yang dominan. 3. Lingkup isinya bersifat open responsive tidak responsif sehingga mudah ditafsir secara sepihak dan dipaksakan penerimanya oleh pemegang kekuasaan negara. 4. Pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan sektoral jangka pendek dari pada menegakkan aturan-aturan hukum yang resmi berlaku. 5. Penegakannya lebih mengutamakan perlindungan korp sehingga tidak jarang pembelokan kasus hukum oleh aparat dengan mengaburkan kasus pelanggaran menjadi kasus prosedur atau pelaku yang harus dihukum. Sejalan dengan pendapat M. Mahfud, mengenai ciri yang disebutkan diatas tersebut, maka Satya Arinanto memberikan pendapatnya bahwa produk hukum yang konservatif mempunyai makna sebagai berikut : 1. Produk hukum konservatif, ortodoks atau elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan 55 Iskandar Kamil, Pedoman Diversi Untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta, 1 Juni 2005.
57
bersifat positivis instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Ia lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompokkelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. 2. Sedangkan produk hukum responsif atau populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompokkelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok sosial atau individuindividu dalam masyarakat.56 3. Dari pengalaman sejarah hukum tersebut seharusnya perlu dirancang suatu skenario politik perundang-undangan nasional yang berorientasi pada pemahaman konsep sistem hukum nasional yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan peraturan perundang-undangan secara komprehensif dan aspiratif. Penyusunan atau pembentukan peraturan perundang-undangan yang aspiratif tersebut merupakan rangkaian dari langkah-langkah strategis yang dituangkan dalam program pembangunan hukum nasional yang dilaksanakan untuk mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis serta berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.57
56 Satya Arinanto, Transparasi Politik Hukum Dan Politik Perundang-undangan, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.8. 57 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Aditya Citra Bakti, 2000), h.107.
BAB IV PANDANGAN POLITISI PEREMPUAN PKS DALAM HUKUM BERKEADILAN GENDER
A. Dinamika PKS Dalam Politik Indonesia Pada 20 Juli 1998 PKS berdiri dengan nama awal Partai Keadilan dalam sebuah konferensi pers di Aula Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Presiden (ketua) partai ini adalah Nurmahmudi Isma'il. Pada 20 Oktober 1999 PK menerima tawaran kursi kementerian Kehutanan dan Perkebunan (Hutbun) dalam kabinet pemerintahan KH Abdurrahman Wahid, dan menunjuk Nurmahmudi Isma'il saat itu presiden partai sebagai calon menteri. Nurmahmudi kemudian mengundurkan diri sebagai presiden partai dan digantikan oleh Hidayat Nur Wahid yang terpilih pada 21 Mei 2000. Pada 3 Agustus 2000 Delapan partai Islam (PPP, PBB, PK, Masyumi, PKU, PNU, PUI dan PSII 1905) menggelar acara sarasehan dan silaturahmi partai-partai Islam di Masjid Al-Azhar dan meminta Piagam Jakarta masuk dalam Amandemen Undang-Undang Dasar tahun 1945. Akibat undang-undang Pemilu No. 3 Tahun 1999 tentang syarat berlakunya batas minimum keikut sertaan parpol pada pemilu selanjutnya (electoral threshold) dua persen, maka PK harus mengubah namanya untuk dapat ikut kembali di Pemilu berikutnya. Pada 2 Juli 2003, Partai Keadilan Sejahtera menyelesaikan seluruh proses verifikasi Departemen Kehakiman dan HAM (Depkehham) di tingkat Dewan Pimpinan Wilayah setingkat Propinsi dan Dewan Pimpinan Daerah setingkat Kabupaten atau Kota. Sehari kemudian PK bergabung dengan PKS dan dengan penggabungan ini, seluruh hak milik PK menjadi milik PKS, termasuk anggota dewan dan para kadernya. Dengan penggabungan ini maka PK (Partai Keadilan) resmi berubah nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Setelah Pemilu 2004 Hidayat Nur Wahid adalah Presiden PKS yang sedang menjabat kemudian terpilih sebagai ketua MPR masa bakti 2004 - 2009 dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Partai Keadilan 58
59
Sejahtera. Pada Sidang Majelis Syuro I PKS pada tanggal 26 - 29 Mei 2005 di Jakarta, Tifatul Sembiring terpilih menjadi Presiden PK Sejahtera periode tahun 2005-2010. Seperti Nurmahmudi Isma'il dan Hidayat Nur Wahid disaat Tifatul Sembiring dipercaya oleh Susilo Bambang Yudhoyono adalah Presiden Indonesia ke-6 sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika. Maka estafet kepemimpinan pun berpindah ke Luthfi Hasan Ishaq sebagai pjs Presiden PK Sejahtera. Pada Sidang Majelis Syuro PKS II pada 16 - 20 Juni 2010 di Jakarta, Luthfi Hasan Ishaaq terpilih menjadi Presiden PKS periode 2010 - 2015. Pada Pemilu 2004 PKS memperoleh suara sebanyak 7,34 % (8.325.020) dari jumlah total dan mendapatkan 45 kursi di DPR dari total 550 kursi di DPR. Pada tanggal 9 Juli 2008 PKS memperoleh nomor urut 8 dalam PEMILU 2009 melalui Pengundian Nomor Urut Partai yang diadakan secara resmi oleh KPU. Partai Keadilan Sejahtera mendapat 57 kursi (10 %) di DPR hasil Pemilihan Umum Anggota DPR 2009, setelah mendapat sebanyak 8.206.955 suara (7,9 %) dan menjadi satusatunya partai selain Demokrat yang mengalami kenaikan jumlah persentase perolehan suara. Kisruh mantan politikus PKS Yusuf Supendi hampir dua pekan terakhir memunculkan ide pembuatan partai politik baru. Ide ini sama saja membenarkan asumsi selama ini dengan faksi kesejahteraan dan keadilan. Bagaimana prospek partai PKS itu tidaklah mengejutkan jika partai politik terpecah belah lebih dari satu. Sejarah partai politik di Indonesia pasca reformasi ini banyak memunculkan partai sempalan. Mulai dari Partai Golkar dengan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia yang didirikan oleh almarhum Jenderal Edi Sudrajad setelah kalah dalam Munas Partai Golkar 1998. Partai Kebangkitan Bangsa juga terpecah dengan PKB Gus Dur dan PKNU. Di Partai Amanat Nasional muncul Partai Matahari Bangsa yang didirkan oleh anak muda Muhammadiyah yang kecewa dengan PAN. Kini giliran PKS yang didera persoalan internalnya akibat aksi Yusuf Supendi. Persoalan itu memancing mantan politisi Partai Keadilan berkeinginan mendirikan partai politik baru. Seperti mantan anggota Majelis Syura Partai Keadilan Tizar Zein yang berseloroh untuk membentuk Hizbullah yang berarti Partai Allah. Meski belakangan, Hizbullah diwujudkan bukan untuk
60
mengikuti pemilihan umum. Secara teoritis, bisa-bisa saja, para mantan fungsionaris Partai Keadilan maupun PKS membentuk partai politik baru sebagai deferensiasi atau antitesa dari PKS. Apalagi undang-undang No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik memungkinkan pembentukan partai politik baru. Mantan anggota Dewan Syariah DPP Partai Keadilan yaitu Habibullah menyebutkan penyataan Tizar Zein terkait pembentukan partai Hizbullah hanyalah seloroh semata alias tidak serius. Tidak ada obrolan di internal kami untuk membentuk partai baru. Itu selorohan Ustadz Tizar kepada INILAH.COM melalui saluran telepon di Jakarta pada hari jumat (1/4/2011). Ketika ditanya apakah ada kemungkinan membentuk partai politik oleh Habibullah menyebutkan jika momentum pembentukan partai politik tidak tepat maka akan sia-sia. Kalau momentumnya tidak tepat tidak ada gunanya. Semua kerja ada urutan dan momentumnya. Jika melihat perjalanan PKS sejak era reformasi 1998 lalu, sebenanya cenderung mengalami perkembangan yang positif. Seperti saat Pemilu 1999, PKS yang mulanya bernama Partai Keadilan mendapat 1,4 % suara. Setelah tidak lolos electoral threshold (ET), PK akhirnya menjadi PKS yang dalam Pemilu 2004 memperoleh 7,34 %. Perolehan suara ini juga mengalami kenaikan yang dalam Pemilu 2009 mencapai 7,88 %. PKS terus melakukan inovasi politiknya untuk memperluas cakupan dukungan suaranya. Seperti menjelang Pemilu 2009 lalu, PKS mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka. Bahkan PKS melalui sejumlah iklan politiknya menjadikan mantan Presiden Soeharto sebagai bintang iklan dengan menyebut sebagai pahlawan. Manuver PKS ini juga diikuti dengan menggelar Rapimnas di Denpasar, Bali yang jelas bukan basis pendukung PKS. Jika melihat persentasi hasil suara dari pemilu ke pemilu, PKS mengalami perkembangan signifikan. Dalam konsolidasi internal PKS terbukti dengan bertambahnya kader militan yang kini berjumlah sekitar 1,5 juta. Wakil Sekjen DPP PKS Mahfudz Siddiq mempersilahkan bekas politisi PKS untuk membentuk partai politik baru yang sesuai dengan idealis dan islamis. Akan bagus jika mereka bisa wujudkan partai Islamis dan Idealis seperti yang mereka selalu dengungkan. Semakin cepat semakin bagus agar cukup waktu mereka mempersiapkan diri untuk ikut pemilu 2014, saran Mahfudz. Ide pembentukan partai politik baru yang
61
merupakan sempalan PKS diprediksikan sulit terwujud. Karena faktanya, mereka yang telah keluar dari PK maupun PKS sejatinya tidak memiliki hubungan satu dengan lainnya. Apalagi jika melihat sejarah keluarnya mereka dari partai politik sulit rasanya mereka membentuk partai politik. Karena mereka keluar disebabkan frustrasi akibat realitas politik di lapangan. Banyak pengamat mencermati kebangkitan Partai Keadilan Sejahtera sebagai bukti kemampuan partai politik Islam untuk mengemas isu-isu publik, semisal anti korupsi dan pelayanan sosial. Padahal selama ini partai politik Islam dan partai berbasis agama pada umumnya, terpenjara isu-isu religius dan ideologi. Kemenangan Partai Keadilan Sejahtera bersama mitra koalisinya dalam pemilihan kepala daerah terkini di Jawa Barat adalah Partai Amanat Nasional dan di Sumatera Utara adalah Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Bulan Bintang menunjukkan partai Islam bias menandingi partai nasioanalis dan menyangkal pragmatisme dalam derajat tertentu. Analisis pengamat lebih terfokus pada efektivitas mesin politik atau popularitas kandidatnya. Belum ada yang secara serius menelaah faktor sosial budaya. Kebangkitan Partai Keadilan Sejahtera didukung lahirnya generasi baru diera transisi tahun 1998-2008. Generasi ini tewlah mematahkan ambisi para elite Partai Keadilan Sejahtera merupakan pelanjut perjuangan Partai Keadilan yang dalam pemilu 1999 lalu meraih 1,4 juta suara (7 kursi DPR, 26 kursi DPRD Propinsi dan 163 kursi DPRD Kota dan Kabupaten). Partai Keadilan Sejahtera percaya bahwa jawaban untuk melahirkan Indonesia yang lebih baik di masa depan adalah dengan mempersiapkan kaderkader yang berkualitas baik secara moral, intelektual dan profesional. Karena itu PKS sangat peduli dengan perbaikan-perbaikan ke arah terwujudnya Indonesia yang adil dan sejahtera. Kepedulian inilah yang menapaki setiap jejak langkah dan aktivitas partai. Dari sebuah entitas yang belum dikenal sama sekali dalam jagat perpolitikan Indonesia hingga dikenal dan eksis sampai saat ini. Sebagai partai yang menduduki peringkat 7 dalam pemilu 1999 lalu, Partai Keadilan Sejahtera bertekad untuk meningkatkan daya pengaruhnya dalam pemilu 2004 mendatang.
62
Sejalan dengan semangat peran dan tanggung jawab untuk berpatisipasi memikul amanah reformasi yang bergulir sejak 1998, Partai Keadilan Sejahtera yang disingkat dengan PKS didirikan di Jakarta, 20 April 2002 (7 Shafar 1423 H). PKS adalah hasil kreasi sekelompok anak bangsa yang memiliki cita-cita luhur yaitu menegakkan keadilan dan mensejahterakan masyarakat Indonesia. Partai ini merupakan penerus perjuangan Partai Keadilan karena memiliki kesamaan tujuan dan cita-cita. Roda organisasi dikelola oleh Dewan Pimpinan Pusat di Jakarta (website resmi: http://pk-sejahtera.org). Saat ini PKS memiliki pengurus di 30 DPW setingkat provinsi, 312 DPD setingkat kotamadya dan kabupaten dan 2.155 DPC setingkat kecamatan di seluruh Indonesia. Selain itu, PK-Sejahtera juga memiliki 13 perwakilan di luar negeri yang disebut dengan Pusat Informasi dan Pelayanan Partai Keadilan Sejahtera (PIP-PKS), salah satunya di Belanda. Sesuai dengan mandat DPP PKS di Jakarta Pusat Informasi dan Pelayanan Partai Keadilan Sejahtera (PIP-PKS) di Belanda mewakili fungsi PKS di Jakarta serta melaksanakan amanah kepartaian antara lain pembinaan kader, tarbiyah, dakwah, diplomasi sesuai dengan visi dan misi kebijakan politik luar negeri Indonesia dan partai, penyebaran informasi serta pelayanan kepada masyarakat. Dalam aspek di atas PIP-PKS di Belanda ingin meningkatkan perannya membantu dan menjembatani agar masyarakat Indonesia yang bermukim di Belanda mampu berintegrasi dengan baik serta menjadi bagian dari masyarakat sesuai dengan rechts en orde yang berlaku di Belanda. Sedangkan dalam bidang pelayanan masyarakat, PIP-PKS di Belanda membantu koordinasi kalau ada ormas dari komunitas Indonesia di Belanda yang berminat mendatangkan ulama dan ustadz moderat dari Indonesia. Khusus dalam bidang bidang diplomasi PIP-PKS di Belanda sedang menjajaki peluang kerjasama dan saling-memahami dengan parpol-parpol, ormas, lembaga riset dan LSM Belanda untuk kepentingan bangsa dan negara yang beraspirasi membangun posisi Indonesia yang semakin aktif, bebas dan bermartabat dalam parcaturan internasional. Kekuatan politik dan dukungan publik yang semakin menguat terhadap PKS di Indonesia dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis maka peran dan tanggung jawab
63
diplomasi PKS semakin besar pula. Dalam bidang ini, sebagai bagian dari anak bangsa, PIP-PKS Belanda akan selalu berkoordinasi dan bekerjasama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia serta ormas dan organisasi kepemudaan dan pelajar Indonesia di Belanda. Meskipun berbasis massa Islam PKS adalah milik bangsa yang senantiasa terbuka menerima dan bekerjasama dengan seluruh elemen masyarakat Indonesia dan dunia yang memiliki semangat yang sama yaitu membela keadilan dan kesetaraan, kesejehteraan dan hidup manusia yang bermartabat. Semangat ini pula yang mewarnai fungsi, peran dan kontribusi kepartaian, keummatan serta kemasyarakatan PIP-PKS di Belanda. Apa hubungannya dengan Partai Keadilan Sejahtera pendiri Partai Keadilan Sejahtera adalah kaum muda yang menikmati berkah pendidikan diera Orde Baru, Sebagian diantara mereka alumni mancanegara. Berbeda dengan tesis Sadanand Dhume Yale Global Online, 1 Desember 2005 yang menyebut Partai Keadilan Sejahtera sebagai ancaman nasional, lebih berbahaya lewat suara (ballot) ketimbang senjata (bullet). Sadanad Dhume yang mantan wartawan Far Eastern Economic Review itu berkesimpulan Partai Keadilan Sejahtera dalah partai radikal karena kadernya kebanyakan alumni Timur Tengah. Itu konklusi menggelikan karena karena sebagian besar pimpinan Partai Keadilan Sejahtera bukan alumni Timur Tengah. Ada yang lulusan perguruan tinggi di Jepang, Inggris dan Amerika Serikat. Presiden pertama adalah PK, Nur Mammudi Ismail adalah alumni Universitas Texas. Presiden kedua adalah Hidayat Nur Wahid memalumni Universitas Madinah. Presiden Partai Keadilan Sejahtera yang jarang disebut orang Muzammil Yusuf, produk asli Universitas Indonesia, walau sempat kursus bahasa Inggris di Australia dan kursus bahasa Arab di Mesir. Presiden ketiga Partai Keadilan Sejahtera adalah Ahmad Tifatul Sembiring yang mengantikan Hidayat tercatat sebagai alumni Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Trisakti. Dengan formasi seperti itu, terbantahkan pandangan yang menyebut Partai Keadilan Sejahtera partai fundamentalis lantaran seperti simpulan pimpinannya lulusan Timur Tengah, Walter Lohman The Heritage Foudation, 28 April 2008 yang mengikuti logika dangkal Dhume.
64
Namun publik mengetahui kader simpatisan Partai Keadilan Sejahtera sangat aktif membentuk lembaga sosial dan asosiasi professional diberbagai bidang. Perluasan pengaruh lembaga itu pada gilirannya menentukan pembesaran politik Partai Keadilan Sejahtera. Perlu dicermati secara khusus kreativitas budaya yang diperolpori Partai Keadilan Sejahtera seperti terwakili dalam acara milad yang diikuti 150.000 simpatisannya.57 Menuju pemilu 2009 tantangan partai-partai Islam ada dua. Tantangan pertama adalah seberapa jauh partai Islam mampu bersaing dengan partai nasionalis. Tantangan kedua adalah sejauh mana partai Islam biasa mengejar mitos Masyumi sebagai ekspor partai Islam dengan pencapaian suara tertinggi. Untuk tantangan pertama, untuk sementara situasi belum berubah banyak dari pemilu demokratis sebelum tahun 1955, 1999 sampai 2004. Gabungan perolehan suara partai Islam masih kalah dengan perolehan partai nasionalis. Apalagi kalau dibandingkan antara perolehan suara partai yang khusus berasas Islam dengan partai nasionalis. Untuk tantangan kedua, prestasi Masyumi tahun 1955 belum tersaingi oleh parpol Islam dalam semua pemilu demokratis, baik dari segi persentase suara maupun dari segi ranking. Perolehan Masyumi tahun 1955 adalah 20,59 %. Perolehan suara partai Islam tertinggi tahun 1999 adalah Partai Kebangkitan Bangsa dengan 12 %. Tahun 2004 Kebangkitan Bangsa dengan 10 % dan Juni 2008 Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera masing-masing 7,4 %. Akan menjadi menarik untuk melihat apakah ada partai Islam yang akan mampu meruntuhkan mitos Masyumi partai manakah itu. Dari segi ranking posisi Masyumi tahun 1955 adalah No. 2 Partai Kebangkitan Bangsa tahun 1999 dan tahun 2004 No. 3 dibawah Partai Demokasi Indonesia Perjuangan dan Golongan Karya tahun 1999. Dibawah Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuanagan ditahun 2004. Juni 2008, partai Islam justru melorot keposis 4 diduduki bersama Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera masing-masing dengan 7,4 % suara. Meski demikian suara Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan terus merolot, 57 P. Nasyid, Dinamika Sosial Budaya PKS, artikel diakses pada 24 Juli 2009 dari http://www.PKS.Org
65
serta konflik Partai Kebangkitan Bangsa tak kunjung selesai dan kenaikan suara Partai Kebangkitan Bangsa, berlanjut ada peluang bagi Partai Kebangkitan Bangsa untuk meloncat keposisi 3 atau 2 besar. Salah satu cara agar partai Islam bisa langsung meloncat ke no.1 atau no. 2 adalah dengan bergabung menjadi partai Islam tunggal. Ini mungkin karena gabungan suara partai Islam Juni 2008 adalah 21,1 % atau lebih besar dari pada suara Golongan Karya yang sementara 12 % dan hanya berselisih tipis dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang 23,8 %. Masalahnya elit politik partai Islam sulit bersatu seperti dinyatakan sendiri berbagai tokoh partai Islam yang terkumpul dalam sebuah seminar tentang partai Islam bergabung meski mereka tidak yakin ini biasa dilakukan pendirian partai Islam, selain didasarkan pada ideologi politik tertentu juga didasari asumsi bahwa ada segmen masyarakat yang melihat partai Islam sebagai entitas yang berbeda dibandingkan partai nasionalis. Makin berbeda dan lebih baik dibanding partai nasionalis semakin besar peluang partai Islam untuk dipilih. Masalahnya ternyata partai Islam dipersepsi tidak terlalu berbeda dengan partai nasionalis baik dalam hal partai maupun perilaku elit atau pengurusnya.58 Pada tahun 2004 Partai Keadilan Sejahtera besar bukan karena identitas keislamannya melainkan identitas moral yang universal tidak heran jika pengamat politik dan dosen dari The Australian Nasional University Canberra Dokter Greg Fealy menyebutkan bahwa apa yang diperoleh dari Partai Keadilan Sejahtera bukan hanya karena perkembangan partai yang sangat besar dalam hal keanggotaan dan perolehan suara dalam pemilu melainkan juga karena partai itu menawarkan pendekatan baru dan berbeda dalam politik Islam. Pemilu legislatif telah usai dari hasil pusat tabulasi KPU secara rasional hingga hari ini sabtu (11/4) pukul : 12.00 WIB perolehan suara sementara masih didominasi Partai Demokrat sebesar 20,928 % disusul Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebesar 14,857 % kemudian Partai Golongan Karya sebesar 14,587 %, Partai Keadilan Sejahtera sebesar 5,841 % dan Partai Persatuan Pembangunan sebesar 5,272 % sedangkan 58 Ahmad Herawan, Data Komisi Pemilihan Umum PKS, artikel diakses pada 11 April 2008 http://www.pks.org.
66
yang laiunnya memperoleh dukungan suara kurang dari 5 %. Posisi Partai Demokrat berada diatas angin jauh meninggalkan dua pesaing ketatnya. Golongan Karya dan Demokrasi Indonesia Perjuangan. Koalisi partai pengusung Susilo Bambang Yudhoyono itu diprediksi hampir dipastikan tidak akan merapat kedua lawan politiknya itu. Sejumlah partai menengah seperti Partai Perserikatan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera diperkirakan akan mendapatkan barisan dalam koalisi golden bridge bersama Demokrat. Namun apakah partai yang diajak berkoalisi seperti Partai Keadilan Sejahtera akan legowo tak mendapatkan jatah R12. Mengingat partai pimpinan Ahmad Tifatul Sembiring itu mempunyai figure kuat yanag pantas diajukan sebagai pendamping Susilo Bambang Yudhoyono. Arie Sudjono menuturkan fraksi pramatis di Partai Keadilan Sejahtera memang akan mendorong untuk mendapat kursi R12. Tapi di Partai Keadilan Sejahtera itu fraksinya tidak tunggal. Kalau berpikir jangka pendek pasti yang penting dapat jatah. Hal ini tidak kalah menarik adalah ketika perwakilan dari Partai Keadilan Sejahtera merespon pertanyaan tentang adanya upaya pembangkangan sipil wujud kekecewaan masyarakat terhadap kinerja partai politik selama rentang waktu 10 terakhir pasca reformasi. Menurut bulan sealku perwakilan dari Partai Keadilan Sejahtera pembangkangan sipil itu sah-sah saja asalkan dikemas dalam wujud yang bagus. Dalam arti bahwa pembangkangan sipil harus bersifat produktif dalm upaya melakukan pencerahan terhadap masyarakat bisa seperti pemberdayaan masyarakat dan lain sebagainya sehingga hasil dari pembangkangan sipil bukan sesuatu yang destruktif melainkan mempunyai nilai positif bagi kemajuan msyarakat. Hasil pembahasan dalam diskusi ini tentunya menjadi agenda penting bagi selueuh partai poltik sebagai instrumen yang bisa mengawal transisi demokrasi di Indonesia.59 Platform Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan dokumen yang mempelopori reformasi sistem politik, pemerintahan dan birokrasi, peradilan dan militer agar tetap berkomitmen terhadap penguatan demokrasi, mendorong pelanggaran system ketatanegaraan sesuai dengan fungsi dan wewenangnya, 59 Fatkhuri, Muslim Liberal, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.145.
67
menumbuhkan kepemimpinan yang kuat, membangun sistem politik yang sehat, mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengganguran dan mrningkatakan kesejateraan rakyat, menuju pendidikan berkeadilan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi bagi seluruh rakyat Indonesia, refleksikan visi, misi, program dan sikap partai terhadap berbagai persoalan Bangsa Indonesia. Platform ini akan menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan partai, dan akan menjadikan semua aset Partai Keadilan Sejahtera di semua sektor kehidupan, dapat diberdayakan dan didaya gunakan (istighlallil amtsal aset dakwah), bekerja secara terintegrasi, kontinyu, fokus dan terarah sehingga sumber daya partai yang terbatas bisa dikelola secara baik menjadi efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan dan secara langsung bisa dirasakan oleh para simpatisan, konstituen partai, dan masyarakat Indonesia. Berikut ini platform Partai Keadilan Sejahtera, yaitu : 1. Bidang Politik a. Politik Nasional b. Kepemimpinan Nasional c. Ketatanegaraan d. Reformasi Birokrasi, Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi e. Penegakan Hukum dan Perlindungan HAM f. Pertahanan g. Keamanan h. Kewilayahan i. Politik Luar Negeri j. Komunikasi dan Informasi 2. Bidang Perekonomian a. Penegakan Reformasi Ekonomi b. Kerangka Ekonomi Makro c. Pengentasan Kemiskinan d. Investasi dan Infrastruktur e. Perbankan dan Finansial f. Ekonomi Syariah
68
g. Industri, Iptek, BUMN dan Perdagangan h. Pertanian Kehutanan dan Kelautan i. Energi, Pertambangan dan Pengelolaan SDA j. Usaha Kecil, Mikro dan Koperasi k. Ketenagakerjaan, SDM dan Penciptaan Lapangan Kerja l. Desentralisasi Fiskal, Otonomi Daerah dan Pembangunan Regional m. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat n. Perjuangan Petani o. Perjuangan Buruh p. Perjuangan Nelayan q. Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan Hidup 3. Bidang Sosial Budaya a. Pendidikan Nasional b. Pembangunan Kesehatan Nasional c. Seni, Budaya dan Pariwisata d. Pemberdayaan Masyarakat e. Kepeloporan Pemuda f. Olah Raga g. Perempuan Indonesia h. Pembinaan Keluarga i. Dakwah dan Pembinaan Umat Beragama B. Isu-Isu Gender Perempuan PKS Pada perda syariah dibeberapa daerah dan Rancangan Undang-Undang APP mendapatkan sorotan tajam dari beberapa peserta karena hanya sibuk mengatur cara berpakain perempuan dan membatasi ekspresi seni dan budaya. Rancangan Undang-Undang APP mendapatkan kritik tajam karena tidak mengatur secara ketat Internet Service Provider. Dikebanyakan negara di Eropa, Internet Service Provider mendapatkan kewajiban untuk mensupervisi pelanggan untuk memblok aliran pornografi dan kecabulan apabila memiliki anak dibawah usia 18 tahun. Dalam seminar ini Partai Keadilan Sejahtera mendapatkan banyak
69
kritik menyangkut interprestasi yang berbeda dalam regulasi pornografi di Indonesia dan menyepakati bahwa Internet Service Provider perlu mendapatkan pengawasan secara ketat untuk melindungi anak-anak dibawah usia 18 tahun dari pornografi. Beberapa peserta tetapi mengkritik Partai Keadilan Sejahtera karena kurang kritis dalam melakukan revisi ini Rancangan Undang-Undang APP yang dinilai beberapa kelompok perempuan dan seniman justru mendiskriminasi tubuh perempuan. Secara kritis beberapa peserta nmenyampaikan urgensi pengaturan tindaktindak korupsi dibeberapa perda syariah yang selam ini terkesan lebih mengatur perempuan. Beberapa praktik perda syariah mendapatkan kritik tajam karena tidak mampu secara kritis menjerat ekspresi identitas daerah dan lokal dari beberapa kantong komunis Islam di Indonesia, tetapi ekspresinya dicurigai rawan pemboncengan agenda politik sesaat oleh beberapa elit penguasa dan agamawan yang tidak sensitif terhadap hak-hak minoritas dan perempuan. Bahkan pernyatan terakhir Yusuf Kalla yang memromosikan nikah sirih kepada Turis Arab mendapatkan kecaman keras dari masyarakat Indonesia di Jerman. Yusuf Kalla telah dengan sangat tidak hati-hati melintir praktek nikah Islam tersebut untuk menindasdan meniadakan hak-hak perempun. Pernyataan Yusuf Kalla bahwa dengan praktek ini beberapa anak hasil hubungnan dengan turis Arab akan menghjasilkan keturunan yang bagus untuk bintang sinetron dianggap berbau rasisme karena merendahkan ras Indonesisa. Pernyataan Yusuf Kalla tersebut dinilai bersifat misoginis menjual janda kepada turis Arab rasis hasil pernikahan dengan turis Arab menghasilkan keturunan yang bagus, dan mempolitisasi Islam mendorong praktek nikah sirih yang sangat dikritik oleh umat Islam di Indonesia. Dalam seminar sehari tersebut disampaikan beberapa rekomendasi bahwa proses Islaminasi dalam beberapa kebijakan di Indonesia perlu dikawal secara ketat oleh kelompok-kelompok perempuan dan masyarakat Islam sendiri. Kelompok-kelompok Islam progresif telah dinilai secara positif mendukung proses demokratisasi dan isu gender di Indonesia. Komunikasi antara berbagai kelompok Islam di Indonesia baik yang konservatif dan progresif perlu ditingkatkan untuk melindungi hak-hak perempuan dalam proses aplikasi
70
beberapa kebijakan yang berbau Islam. Seminar sehari ini telah memberikan wadah kepada beberapa presenter dari kelompok Islam konservatif dan progresif serta masyarakat dan mahasiswa Jerman untuk saling berdialog berdiskusi dan bertukar pikiran dalam rangka memikirkan hak-hak perempuan di Indonesia yang seringkali menjadi sasaran empuk alat politik dari elit-elit politik dan agama di Indonesia. Sejak Rancangan Undang-Undang APP dan Perda Syariah dibeberapa daerah Indonesia diluncurkan dan menjadi bahan perdebatan nasional, wacana Islam Indonesia mendapat sorotan tajam dari beberapa media barat. Digambarkan seolah-olah Islam menjadi ancaman bagi hak-hak perempuan di Indoneia. Beberapa media barat memberitakan kontroversi tersebut secara sepihak dengan menggambarkan bahwa Islam di Indonesia telah menganggu jalannya demokrasi. Hal ini terungkap dalam seminar bertajuk “Neue Willkuer Gegen Frauen In
Indonesia:
Frauenrechte
Zwischen
Islamisierung
And
Demokrasi”.
(Menimbang Nasib Perempuan Indonesia: Hak-Hak Perempuan antara Islamisasi dan Demokrasi) di Muenster, North Rhein Westfalia, Jerman Sabtu, 15 Juli 2006 di KSHG, yang diselenggarakan Lembaga Swadata Masyarakat Asienhaus, bekerja sama dengan Partai Keadilan SejahteraJerman, Watch Indonesia IMBAS, Eine Welt Forum Aachen. E.Vserta organisasi-organisasi pelajar Indonesia di Muenster seperti KMKI (Persatuan Pelajar Katolik Indonesia) dan Persatuan Pelajar Indonesia. Ada empat pembicara yang tampil dalam seminar tersebut yang mewakili berbagai kelompok sosial sekaligus perspektif yang beragama. Pembicara pertama, Sahiron Syamsuddin dosen Universitas Islam Negeri Yogyakarta yang sedang merampungkan disertai progresif, pembicara kedua, Dr. Syamsuddin Arief wakil Partai Keadilan Sejahtera mewakili perspektif
Muslim Konservatif di
Jerman, pembicara ketiga, Dr. Soe Tjen Marching dosen School Of Oriental And African Studies University Of London di Inggris mewakili suara perempuan dan minoritas Indonesia, sedangkan pembicara keempat Jidith Melzer, Kandidat Doktor Universitas Frankfurt mewakili pengamat Jerman tentang Indonesia.
71
C. Pandangan Politisi PKS Dalam Hukum Berkeadilan Gender Menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia Kamarudin berpendapat situasi politik memanas lantaran pandangan akhir frksi di Pansus Century menjadi bola liar yang terus dipolitisir. Yang kini publik saksikan ada ancama mengancam masing-masing mencari kelemahan terkait hasil pansus itu, kata kamaruddin saat perbincangan semalam Febuari 2010. Kemudian tak ada lagi suara disent menentang yang terdengar. Tentu saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono tersenyum simpul melihat perilaku mereka. Sekarang menjelang pilpres tiba-tiba muncul Hak Angket di Dewan Perwakilan Rakyat menyelidiki berbagai kecurngan dan penyimpangan pemilu lalu. Hak Angket penyelidikan diputuskan oleh Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat yang akan melakukan penyelidikan khususnya terhadap Daftar Pemilih Tetap (DPT). Hak Angket didukung oleh Golongan Karya (34 suara), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (58 suara), Partai Keadilan Bangsa (16 suara), Partai Persatuan Pembangunan (11 suara), Partai Amanat Nasional (3 suara), Badan Perwakilan Daerah (5 suara) dan Partai Demokrat (1suara), jumlah total suara yang menolak sebanyak 129 suara. Sedangkan yang menolak Hak Angket adalah Pemerintah Daerah (43 suara), Partai Keadilan Sejahtera (22 suara), Partai Demokrat (2 suara), jumlah total suara yang menolak sebanyak 73 suara. Tentu yang mepersoalan Pemerintah Daerah karena diantara yang menginginkan Hak Angket itu terdapat partai-partai yang menjadi mitra koalisi pemerintah yang oleh Pemerintah Daerah disebut sebagai tindak elok. Tapi apakah masih berguna yang namanya koalisi itu kenyataannya seperti Golongan Karya dengan Demokrat sudah tidak ada ikatan apa-apa dan sudah pisah rajang sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih Boediono dan menceraikan Yusuf Kalla yang ketua umum Golongan Karya. Disini posisi Partai Keadilan Sejahtera yang sangat setia dengan Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono tidak mau mendukung Hak Angket yang dilakukan
anggota fraksi
lainnya
padahal
tujuannya
untuk melakukan
penyelidikan terhadap kecurangan yang mungkin terjadi di Pemilu 2009 lalu.
72
Jangan sampai terulang Pemilihan Presiden nanati. Partai Keadilan Sejahtera seharusnya Taawanu Alal Birri Wat Taqwa, bukan Taawanu Alal Isyini Wal Udwan. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menyetujui usulan agar Presiden menyodorkan lebih dari satu nama calon Kapolri kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian Dewan Perwakilan Rakyat bisa memilih dan yidak sekedar menjadi tukang stempel kebijakan Presiden. Politisi Partai Keadilan Sejahtera Nasir Jamil yang juga anggotanya Komisi III bidang hukum Dewan Perwakilan Rakyat mengatakan beberapa fraksi juga memiliki pandangan yang sama dengan fraksinya mengenai hal tersebut. Politisi Partai Keadilan Sejahtera Kota Parepare yang dikenal vokal dan kritis kembali memerahkan telinga sesama anggota dewan saat sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan agenda pandangan umum fraksi terhadap tiga ranperda yang diusulkan eksekutif barubaru ini. Saat tampil sebagai juru bicara dan membacakan pandangan umum fraksi Partai Keadilan Sejahtera Rahman mengeluarkan statesment penyataan bahwa jangan ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kelakuannya mirip preman. Kelakuan mirip preman ini katanya muncul saat masa-masa pembhasan anggaran di Dewan yakni Kecamatan Ujung yang anggarannya dipangkas habishabisan oleh anggota dewan hanya karena berbeda pandangan dan pilihan dalam urusan politik dan kondisi lokal saat ini di Parepare. Politisi yang gemar olah raga sepak bola ini juga menyoroti Kinerja Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Parepare yang ia nilai tidak berbuat apa-apa terhadap banyaknya kebobrokan di tubuh lembaga wakil rakyat itu. Bukan legislatif saja disoroti Rahman ia juga menyayangkan kepala-kepala SKPD yang bisa dengan mudahnya ditervensi oleh anggota dewan dalanm urusan penyusunan anggaran. Dia mengingatkan posisi dewan itu bukan atasannya eksekutif tetapi mitra sejajar. Karena itu eksekutif tidak perlu takut dan tunduk-tunduk pada anggota dewan. Tolong ini juga kepala-kepala SKPD jangan selalu mau diinjak-injak harga diri kalian. Kalau memang anda sudah benar tolong pertahankan itu apa yang anda
73
soroton kepada dewan katanya menanbahkan.60 Partai Keadilan Sejahtera sejak berdiri pada 20 April 1998 saat ini bernama Partai Keadilan terkenal sebagai organisasi politik yang mampu mengerahkan masa dalam jumlah besar kegiatannya seperti dalam berbagai unjuk rasa atau mobilitas publik lainnya. Tak terkecuali dalam acara tasyakuran milad atau HUT ke-10 Partai Keadilan Sejahtera di Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan Jakarta pada hari Minggu (4/5). Stadion yang berkapasitas 88 ribu tempat duduk tak mampu menampung kader dan simpatisan yang sebagian datang bersama anak-anak mereka. Mereka seakan sedang merayakan sebuah kemenangan pada acara yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu misalnya Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera KH. Hilmy Aminuddin antara lain mengatakan kemenangan calon-calon yang didukung Partai Keadilan Sejahtera dalam 90 hari sekitar 150 pemilihan kepala daerah yang telah berlangsung patut disyukuri. Berbeda dengan Partai Kebangkitan Bangsa yang dirundung malang akibat dualisme kepimpinan antara Muhaimin Iskandar dan Ali Masjkur Musa. Partai Keadilan Sejahtera ingin membuktikan sebagai kendaraan politik yang solid untuk memenangi Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009. Milad Partai Keadilan Sejahtera ke-10 di Gelora Bung Karno itu sekaligus mencanagan tekad untuk memangi Pemilu mendatang. Presiden Partai Keadilan Sejahtera Ahmad Tifatul Sembiring pada milad itu menyerukan seluruh kader dan simpatisan Partai Keadilan Sejahtera untuk mendapatkan barisan dan mengkonsolidasikan organisasi meraih kemenagan pada Pemilu mendatang. Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan masa kampanyenya pada bulan Juni 2008 sehingga Partai Keadilan Sejahtera harus bekerja keras mengkonsolidasikan organisasi untuk mencapai kemenangan katanya. Dua kemenangan dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara baru-baru ini merupakan dorongan yang kuat bagi akselerasi semangat Partai Keadilan Sejahtera menjalankan mesin poltiknya. Apalagi Partai 60 Nasir Jamil, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Jangan Seperti Preman, (Makasar: Ujung Pandang Ekspres, 2010).
74
Keadilan Sejahtera berhasil menggusur banyak partai lain termasuk dua partai besar yakni Partai Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam pemilihan di dua provinsi utama di Indonesia yaitu Jawa Barat dan Sumatera dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur periode tahun 20082013. Kemenangan pada Partai Keadilan Sejahtera di Jawa Barat yang merupakan provinsi berpenduduk terpadat di Pulau Jawa dan di Sumatera Utara yang menjadi provinsi barometer politik di Pulau Sumatera sekaligus menjadi modal untuk menghadapi pemilihan serupa di Riau (5/8), Sumatera Selatan (4/9), Lampung (3/9), Jawa Tengah (22/6), Jawa Timur (23/7), Bali (9/7), Nusa Tenggara Barat (7/7), Nusa Tenggara Tengah (2/6), Kalimantan Timur (25/6), dan Maluku (9/7) pada tahun 2008 ini. Bila dalam pemilihan kepala daerah ditingkat provinsi itu termasuk berbagai pemilihan kepala daerah ditingkat kabupaten atau kota lain calon-calon yang didukung Partai Keadilan Sejahtera menang maka gerbang kemenangan Partai Keadilan Sejahtera dalam Pemilu 2009 pun semakin terbuka lebar. Pada Pemilu 2009 secara nasional Partai Keadilan Sejahtera mencapai urutan ke 7 dan pada Pemilu 2004 nak menjadi peringkat ke 5. Pada Pemilu 2009 Partai Keadilan Sejahtera menargetkan menang dalam pemilu atau setidaknya memperoleh 20 % suara. Data potensial pemilih pemilu (DP4) yang disampaikan Komisi Pemilihan Umum baru-baru ini berjumlah 154.741.787 jiwa. Bila data itu dijadikan asumsi jumlah pemilih yang memberikan suara pada Pemilu Legislatif 2009 Partai Keadilan Sejahtera perlu mendapatkan dukungan sekitar 30.9 juta pemilih untuk memenuhi target 20 % suara. Keyakinan bahwa Partai Keadilan Sejahtera dapat dimenangkan Pemilu 2009 hanya berdasarkan kemenagan dalam pemilihan kepala daerah di Jawa Barat dan Sumatera Utara dinilai seorang pengamat terlalu dini dan kurang tawadhu rendah hati kalau Partai Keadilan Sejahtera yakin menang dalam Pemilihan Presiden karena memenangkan Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara kata Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari. Muhammad Qodari mengatakan keyakinan seperti ini mesti menunggu Kinerja Partai Keadilan
75
Sejahtera dibebagai pemilihan kepala daerah lain yang akan digelar pada tahun 2008. Muhammad Qodari menilai kemenangan pasangan calon yang didukung Partai Keadilan Sejahtera pada pemilihan Kepala Daerah di Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan kebetulan atau terend kecenderungan pemilih di dua provinsi itu yang menginginkan alternatif calon lain. Untuk memenangkan Pemilu Presiden dan Wakil Presidenmenurut Muhammada Qodari selain mesin Partai sebagai faktor penting dalam mengupayakan perolehan suara pemilih sebanyakbanyaknya variabel utama pemenang dalam pemilihan itu adalah figur. Muhammad Qodari yang dikenal sebagai pengamat polotik yang dikenal sebagai pengamat poltik yang kerap meneliti dan menganalisis dinamika partai-partai politik Islam itu mengatakan figur Hidayat Nurwahid dan Akhmad Tifatul Sembiring masih terbatas. Kalau mau harus bergandengan dengan tokoh yang sudah sangat populer kata pria yang pernah menulis artikel berjudul Mencari Wajah Baru Partai Keadilan Sejahtera yang dipublikasikan sebuah koran nasional terkemuka saat Partai Keadilan Sejahtera menggelar musyawarah kerja nasional di Bali 1-3 Febuari 2008 itu. Sementara pengamat lain berpendapat partai politik sekuler atayu yang tidak berbasis agama diperkirakan akan menjadi pilihan favorit publik pada Pemilu 2009. Sementara dukungan pada Partai Islammenurun signifikan dibanding pada Pemilu 2004 kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional Umar S Bakry saat mengumumkan hasil survei baru-baru ini. Survei dilaksanakan bulan Januari sampai Febuari 2008 di 33 Provinsi di Indonesia. Total responden dalam survei tersebut adalah 2.178 orang dengan margin of eror +2,1 % pada tingkat kepercayaan 95 %. Survei dilakukan dengan metode penarikan sampel multistage random sampling, Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawacara tatap muka menggunakan quesioner. Lembaga Survei Nasional memprediksi Partai Golongan Karya akan tetap keluar sebagai pemenang dalam Pemilu 2009. Hasil survei menunjukkan 15,9 % meresponden menyatakan akan memilih Partai Golongan Karya. Responden yang menyatakan akan memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebesar 13,9 % disusul akan memilih Partai Demokrat sebesar 8,9 %.
76
Sedangkan partai-partai yang berbasis agama seperti Partai Keadilan Sejahtera hanya dipilih oleh 3,9 % responden disusul Partai Kebangkitan Bangsa 3,2 %, Partai Persatuan Pembangunan 2,8 % dan Partai Amanat Nasional 2,3 %. Mengacu pada hasil survei itu menurut Umar partai-partai sekuler yang diwakili Partai Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Demokrat diduga akan mendominasi hasil Pemilu 2009. Dengan demikian kata Sekjen Asosiasi Riset Opini Publik itu kecenderungan preferensi publik terhadap partai politik tidak berubah. Kendati demikian lanjut Umar peta tersebut bisa saja berubah sebab terdapat 47,5 % responden yang belum menentukan pilihan berbagai kemungkinanmasih bisa terjadi. Artinya peluang bagi partai-partai berbasis agama untuk memperbaiki diri sehingga dapat mendongkrak perolehan suara dalam pemilu 2009 nanati masih terbuka lebar katanya. Pandangan sejumlah pengamat itu berbeda dengan pandangan politisi. Mantan Gubernur DKI Jakarta Sitiyoso misalnya mempirakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bisa mencapai nomor 3 dalam perolehan suara Pemilu Legislatif 2009. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono wajar mendukung program Partai Keadilan Sejahtera karena pada Pemilu tahun 2004 ia didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera pula untuk menjadi orang nomor 1 di Republik ini. Akankah Partai Keadilan Sejahtera tetap mencalonkan Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu tahun 2009. Ahmad Tifatul Sembiring saat Safari dakwah di Padang pada 13 Febuari lalu mengatakan Partai Keadilan Sejahtera akan mencalonkan nama Presiden dan Wakil Presiden dari Kader sendiri bila mampu memenuhi target minimal 20 % suara karena Partai Keadilan Sejahtera memiliki sekitar 250 orang ahli bergelar Ph.D yang bisa dicalonkan.61 Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera Nasir Jamil menilai terpilihnya Timur Pradopo sebagai calon tunggal kapolri saat nuansa politis. Nasir Jamil meneranggi Timur sengaja dipilih untuk mengamankan kepentingan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut saya sangat mengejutkan walaupun memang ada beberapa nama yang mendapat 61 Budi Setiawan, PKS Setelah Saru Dasawarsa Kehadrannya, (Jakarta: Prima Heza Lestari, 2010), h.15.
77
penilaian untuk menjadi calon kapolri termasuk Timur Pradopo sangat politis. Baru beberapa jam dilantik jadi Kabarhakam Mabes Polri langsung dipasang sebagai calon kapolri ujar Nasir Jmil (4 Oktober 2010). Menurut Susilo Bambang Yudhoyono tidak terbuka ke publik soal pemilihan Timur. Publik sambung Nasir akan mempertanyakan alasan Susilo Bambang Yudhoyono memilih mantan Kapolda Metro Jaya tersebut. Tertutupnya pemilihan calon kapolri ini akan membuat kesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tengah mengamankan kepentingannya. Susilo Bambang Yudhoyono dalam pandangan saya tidak terbuka dalam proses ini. Penjelasan kepada publik ini penting untuk meningkatkan kredibilatas calon kapolri yang dicalonkan Presiden. Jangan sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dikesankan ingin mengamankan kepentingannya sendiri. Komisi III sendiri menerima pilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Akan tetapi komisi bidang hukum itu akan cermat dalam melakukan uji kepatutan dan kelayakan. Nanti akan dikonfirmasi ke calon kapolri apakah yang bersangkutan memang memiliki keunggulan seperti yang disampaikan presiden. 62 Partai Keadilan Sejahtera merupakan salah satu fenomena partai yang menarik dalam hal pencitraan. Partai Keadilan Sejahtera adalah salah satu parti baru yang sukses mendongkrak suara dari menjual citra marketing poltik. Ketika masih bernama Partai Keadilan dalam pemilu tahun 1999 mendapat suara 1,5 %. Dalam Pemilu terakhir perolehannya naik signifikan. Pernyatan mengapa Partai Keadilan Sejahtera bisa sesukses itu walaupun tidak lolos elektoral treshold dalm Pemilu tahun 1999. Kader partai ini sangat gigih dalam melakukan konsolidasi dan sosialisasi partai kepada masyarakat terutama dengan berbagai kegiatan sosialnya. Partai Keadilan Sejahtera juga berhasil membangun citra sebagai partai yang punya komitmen terhadap pembentukan pemerintah yang bersih. Pada tahun 1999 aampai 2004 Partai Keadilan Sejahtera besar bukan karena identitas keIslamannya melainkan identitas moral yang universal.
62 Muhammad Ismail Yusanto, Mengembangkan Citra Dalam Dunia Politik, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2011), h.11.
78
Tidak heran jika pengamat politik dan dosen dari The Australian National University di
Canberra Doktor Greg Fealy menyebutkan bahwa apa yang
diperoleh Partai Keadilan Sejahtera bukan hanya karena perkembangan partai yang sangat pesan dalam hal keanggotaanya dan perolehan suara dalam pemilu melaikan juga karena partai itu menawarkan pendekatan baru dan berbeda dalam politik Islam. Pendekatan baru tersebut antara lain pertama tidak seperi partaipartai Islam yang lain Partai Keadilan Sejahtera mengambil sumber inspirasi ideologi dan organisasi utamanya dari luar dan menjadikan pemikiran Ikhwanul Muslimin di Mesir sebagai model acuan. Kedua Partai Keadilan Sejahtera adalah satu-satunya partai kader yang murni dalam politik Indonesia saat ini. Partai Keadilan Sejahtera memiliki proses rekrutmen yang hkusus dan ketat, pelatihan dan seleksi anngota yang dapat menghasilkan kader dengan komitmen dan disiplin tinggi. Ketiga Partai Keadilan Sejahtera adalah satu-satunya partai yang memiliki jaringan sosial yang luas dan efektuif. Program-program sosial itu antar lain bantuan emergensi bagi korban bencana alam. Apabila partai lain melakunkan aktivitas sosial terbatas menjelang pemilu. Partai Keadilan Sejahtera menjadikan program sosialnya sebagian bagian dari pengabdian kepada masyarakat. Keempat Partai Keadilan Sejahtera menjadikan moralitas dalam kehidupan publik sebagai program utama politik. Pencitraan model Partai Keadilan Sejahtera ini memang lebih terasa karena ada faktor ideologi dan kepentingan pasar yang terakomodasi. Bukan semata-mata menjual produk berupa profil aktor politik disertai sloganslogan melainkan berhasil menjelaskan manfaat apa yang dapat diberikan oleh parpol atau faktor politik tersebut bagi calon pemilih.63 Fokus dari lembaga ini adalah melakukan pemberdayaan terhadap parlemen dan program pengembangan partai politik melalui pelatihan, penelitian dan lain sebagainya. Perlu dicatat juga semua peserta Political Party Development Course dari Indonesia dari Indonesia ini berjumlah 9 orang diantaranya adalah Kodri Febria Dwifajar (Partai Amanat Nasional), Wibowo Hadiwardoyo (Partai Bulan Bintang), Reiza Arief Juremi (Partai Golongan Karya), Maryana Lena (Partai Persatuan Pembangunan), Benyamin Malonda (Partai Damai Sejahtera), 63 Andi Rahmat, Fungsionaris PKS, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1977), h.19.
79
Ledia Hanifa Moechon (Partai Keadilan Sejahtera), Luhur Pambudi Mulyono (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Wahidah Rumondang Bulan (Partai Keadilan Sejahtera), Brahmana Suwarto (Partai Demokrat). Dari 9 perwakilan partai politik yang diundang hanya 4 yang hadir yakni Wahidah Rumondang Bulan (Partai Keadilan Sejahtera), Kodri Febria Dwifajar (Partai Amanat Nasional), Luhur Pambudi Mulyono (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dan Wibowo Hadiwardoyo (Partai Bulan Bintang). Hal ini yang tidak kalah menarik adalah ketika perwakilan Partai Keadilan Sejahtera merespon pernyataan tentang adanya pembangkangan sipil sebagai wujud kekecewaan masyarakat terhadap kinerja partai politik selama rentang waktu 10 terakhir pasca reformasi. Menurut Wahidah Rumondang Bulan (Partai Keadilan Sejahtera) pembangkangan sipil itu sah-sah saja asalkan dikemas dalam wujud yang bagus. Dalam arti bahwa pembangkangan sipil harus bersifat produktif dalam upaya melakukan pencerahan terhadap masyarakat dan lain sebagainya sehingga hasil dari pembangkangan sipil bukan sesuatu yang destruktif melainkan mempunyai nilai positif bagi kemajuan masyarakat. Hasil pembahasan dalam diskusi ini tentunya menjadi agenda penting bagi seluruh partai politik yang bisa mengawal tradisi demokrasi di Indonesia.64 Partai Keadilan Sejahtera adalah fenomena yang paling menarik dalam poltik kontempore Indonesia ini tidak hanya karena perkembangan partai poltik yang sangat pesat dalam hal keanggotaan dan perolehan suara pemilu tetapi juga karena Partai Keadilan Sejahtera menawarkan pendekatan baru dan berbeda dalam poltik Islam yang hampir tidak pernah ada dalam sejarah Indonesia.65 Pernyataan ini bukan tanpa bukti Partai Keadilan Sejahtera pada Pemilu 2004 meraih suara yang cukup signifikan untuk partai yang tergolong baru. Hasil pemilu 1999 memang Partai Keadilan Sejahtera tidak mencapai angka electoral tresh hold 2 %. Namun dalam konteks perimbangan poltik nasioanal capaian ini cukup mengembirakan. Sebab dari 160 partai poltik yang mendaftar di KPU hanya 48 partai poltik yang lolos ikut pemilu. Dari 48 partai politik peserta pemilu itu 64 Fatkhuri, Op.cit., h.517. 65 Dr.Greg Fealy, Partai Keadilan Wajah Baru Islam Politik Indonesia, (Canberra: The Australia Nasional University, 2005), h.561.
80
hanya 21 partai yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Partai Keadilan Sejahtera menduduki peringkat ke-7 dengan 7 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 26 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, 153 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota. Jika diukur dengan modal sumber daya manusia dan struktur plus dukungan dana sebesar 4 milyar sejak pendirian partai pada bulan Juli 1998 hingga Pemilu Juni 1999 perolehan suara dan kursi tersebut merupakan suatu Kapitalisasi Politik yang luar biasa. Aset politik Partai Keadilan Sejahtera terlalu kecil jika dibandingkan dengan margin poltik tahun 1999.66 Selain itu 6 (enam) partai diatas Partai Keadilan adalah partai masa lalu atau memiliki warisan sosio historis yang besar. Partai-partai peringkat 1 hingga 3 yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Golongan Karya dan Partai Persatuan Pembangunan adalah partai tradisional Orde Baru. Sementara partaipartai 4 sampai 6 masing-masing memiliki basis sosio historis yang besar adalah Partai Kebangkitan Bangsa berbasis Nahdatul Ulama, Partai Amanat Nasional pada muhammadiyah dan Partai Bulan Bintang pada Masyumi. Karena itu diantara partai-partai baru Partai Keadilan Sejahtera merupakan fenomena poltik yang sangat menonjol. Partai Keadilan Sejahtera memang berada diperingkat ke-7 dan mempunyai 7 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 26 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan 153 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau kota. Akan tetapi perolehan suara sebesar 1,4 juta atau 1,4 % jelas tidak memungkinkan Partai Keadilan Sejahtera mengikuti pemilu lagi pada tahun 2004 dengan nama yang sama karena kendala electoral treshold sebesar 2 %. Ketetapan yang termuat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilhan Umum itu memang tidak menutup habis semua pintu. Masih ada pintu lainmengubah nama partai atau bergabung dengan partai lain. Namun hal itu jelas memerlukan kerja keras yang tidak ringan. Partai Keadilan menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Perubahab yang dilakukan secara mulus tanpa konflik seperti halnya terjadi dipartai lain. 66 Djunaidi Maskat H, Laporan Pertanggungjawaban PKS, (Jakarta: Republika, 27 Maret 2006), h.130.
81
Pencapaian pemilu 2004 lebih menyakinkan bukan saja telah melampaui electoral treshold momok yang menghantui Partai Keadilan Sejahtera sepanjang tahun-tahun yang sulit itu tetapi bahkan telah melakukan lompatan politik besar dengan merebut 8.325.020 suara atau 7,34 %. Perolehan suara sebesar itu telah menghantar 45 kader Partai Keadilan Sejahtera ke Dewan Perwakilan Rakyat 157 kader ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pronvinsi dan 900 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota atau total 1.102 kader. Sekarang Partai Keadilan Sejahtera berada diperingkat ke-6 dalam perolehan suara nasional dan di peringkat ke-7 dalam perolehan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.67 Fenomena di atas menunjukkan bahwa Partai Keadilan Sejahtera merupakan fenomena yang paling menarik dalam kancah perpolitikan nasional. Latar belakang Partai Keadilan Sejahtera sebenarnya berasal dari gerakan tarbiyah yang pertama kali muncul pada awal tahun 1980-an. Pergerakan tarbiyah ini bukan hanya memberikan warna baru bagi pergerakan Islam Indonesia tetapi dengan kekhasannya mentransformasikan diri sebagai salah satu kekuatan pendorong reformasi poltik, sosial, maupun budaya di Indonesia.68 Kesulitan mendeskripsikan fenomena Partai Keadilan Sejahtera tidak hanya dialami oleh pengamat asing tetapi juga oleh pengamat-pengamat lokal di Indonesia. Partai Keadilan Sejahtera menjadi partai yang unik karena merupakan partai kader yang memiliki kader yang mampu bergerak secara mandiri dan sudah ada diseluruh provinsi di Indonesia ketingkat kecamatan. Meminjam istilah Anis Matta Sekjen Partai Keadilan Sejahtera dari gerakan kenegara Partai Keadilan Sejahtera merupakan bentuk jadi hijrahnya sebuah gerakan kenegara atau pemerintahan. Hijrah dalam sejarah dakwah Rasullah SAW adalah sebuah metamorfisis dari gerakan menjadi negara. Tiga belas tahun sebelumnya Rasullah SAW melakukan penetrasi sosial yang sistematis dimana Islam menjadi jalan hidup individu dan dimana Islam 67 Agus Raharjo, Laporan Pertanggungjawaban PKS, (Jakarta: Republika, 2 Maret 2008), h.24. 68 Yon Machmudi, Partai Keadilan Sejahtera Wajah Baru Islam Politik Indonesia, (Jakarta: Studi Press, 2005), h.15.
82
memanusia dan kemudian memasyarakat. Sekarang mulai hijrah masyarakat itu bergerak linier menuju negara. Melalui hijrah gerakan dakwah itu menjadi negara dan madinah adalah wilayahnya.69 Lima tahun pertama setelah hijrah dipenuhi oleh kerja keras Rasullah SAW beserta para sahabat beliau untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidup negara Madinah. Dalam kurun waktu itu Rasullah SAW telah melakukan lebih dari 40 kali peperangan dalam berbagai skala. Yang terbesar dari semua peperangan itu adalah Perang Khandak dimana kaum muslimin keluar sebagai pemenang. Setelah itu tidak ada lagi yang terjadi sekitar Madinah karena semua peperangan sudah bersifat ekspansif. Negara Madinah membuktikan kekuatan dan kemandiriannya, eksistensinya dan kelangsungannya. Disini kaum Muslimin telah membuktikan kekuatannya setelah sebelumnya kaum Muslimin membuktikan kebenarannya. Jadi inilah yang dilakukan Rasullah SAW pada tahapan ini menegakkan negara. Sebagai sebuah bangunan negara membutuhkan dua bahan dasar manusia dan sistem. Manusialah yang akan mengisi supra struktur dan sedangkan sistem adalah perangkat lunak sesuatu dengan apa yang negara bekerja dan Islam adalah sistem itu maka ia given. Tapi manusia adalah suatu yang dikelola dan dibelajarkan sedemikian rupa sampai sistem terbangun dalam dirinya sebaelum kemudian mengoperasikan negara dengan sistem tersebut. Dan untuk itulah Rasullah SAW memilih manusia-manusia terbaik yang akan mengoperasikan negara itu.70 Partai Keadilan Sejahtera adalah alat metaformosa dari gerakan dakwah kenegara sehingga Partai Keadilan Sejahtera menyebut dirinya sebagai partai dakwah berperan dan berpartisipasi aktif dalam pemerintahan mussyawarah. Tujuan dakwah adalah mengejawatahkan kehendak-kehendak yang Partai Keadilan Sejahtera sebut Agama atau Syariah dalam kehidupan manusia, Islam atau Syariah adalah jalan hidup yang integral dan menyeluruh yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Begitulah Rasullah SAW memperkenalkan konsep sistem hidup yang ideal di Partai Keadilan Sejahtera dikenal sebagai 69 H.M. Anis Matta, Rekonstruksi Negara Madinah Yang Dibangun Dari Bahan Dasar Sebuah Gerakan, (Jakarta: Studi Press,1989), h.93. 70 Ibid., h.3
83
Dienul Islam. Dalam konsep politik Islam Syarit atau kemudian Partai Keadilan Sejahtera disebut sistem atau hukum adalah suatu yang sudah ada. Negara adalah institusi yang diperlukan untuk menerapkan sistem tersebut. Inilah perbedaan mendaar dengan sekuler dimana sistem atau hukum mereka adalah hasil dari produk kesepakatan bersama karena hal tersebut sebelumnya dianggap tidak ada.71 Partai Keadilan Sejahtera mencoba mendekatkan nilai-nilai Syariah kepda negara dalam perspektif historis baik sejarah dakwah Partai Keadilan Sejahtera maupun sejarah politik nasional hasil pemilu 1999 tidak dapat dianggap sebagai berita buruk. Dalam perspektif sejarah dakwah Partai Keadilan Sejahtera capaian poltik Partai Keadilan Sejahtera terlepas dari fakta ia kecil secara kuantitatif tetap saja merupakan sebuah lompatan besar. Apa yang Partai Keadilan Sejahtera capai secara poltik pada tahun 1999 lebih cepat dari yang diperkirakan pada tahun 1998 Rezim Orde Baru jatuh. Ada demokratisasi, ada kebebasan dan ada sistem multi partai dan berdirilah Partai Keadilan Sejahtera sebagia Partai Dakwah. Begitu juga dalam perspektif sejarah politik nasional. Kebiasaan para pengamat poltik untuk membandingkan perolehan suara partai-partai Islam pada tahun 1999 dengan persoalan suara partai-partai Islam pada tahun 1955 cenderung sangat kuantitatif. Benar bahwa perolehan suara partai-partai Islam tahun 1955 sebesar 45 % lebih besar dibandingakan dengan perolehan suara mereka tahun 1999 yang hanya sebesar 35 %. Akan tetapi kemampuan manjemen operasi politik partai-partai Islam tahun 1999 jauh lebih baik dibanding tahun 1995. Hal ini dibuktikan bahwa partai-partai Islam melalui koalisi Poros Tengah dimana Partai Keadilan merupakan salah satu unsur utamanya yang berhasil mempecundangi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam pemilihan presiden melalui SU Majelis Permusyawaratan Rakyat pada bulan November 1999 meskipun pertaipartai Islam bukan mayoritas diparlemen. Memenangkan pemilu legislatif secara telak pada bulan Juni 1999 ternyata tidak memadai untuk menghantar Megawati menuju kursi Republik Indonesia ke1 pada SU Majelis Permusyawaratan Rakyat pada bulan November 1999. Yang 71 Ibid., h.5
84
terjadi sesungguhnya adalah kenyataan bahwa proses demokratisasi di Indonesia bergulir lebih cepat dari perkiraan semua pihak. Semua kejadian politik itu berlangsung begitu cepat. Krisis moneter terjadi pada tahun 1997. Soeharto jatuh pada tanggal 21 Mei 1998 demokratisasi bergulir sangat deras. Presiden Habibi lansung mengumumkan 2 rencana besar untuk menunaikan amanat reformasi dengan melakukan demokratisasi menyelenggarakan pemilihan umum dan memberikan otonomi daerah. Bahkan ia memberikan kesempatan referendom kepada Timor Timur yang berujung pada lepasnya provinsi ke 27 Indonesia itu dan kemudian berdiri sebagai negara dengan nama Timor Leste. Hanya dalam waktu 18 bulan Presiden Habibi telah mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melahirkan sekitar 512 undnag-undang. Time constrain itu tidak saja tercipta karena schedule politik nasional yang sangat ketat tetapi juga karena Undang-Undang lain yang digulirkan pada waktu bersamaan sebagai bagian dari proses demokratisasi. Misalnya Undang-Undang No. 22 Tentang Pemerintah Daerah yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Otonomi Daerah yang disahkan pada tanggal 4 Mei 1999. Desentralisasi yang terlalu cepat ini juga melahirkan banyak masalah akibat peralihan otoritas dari pusat kedaerah. Penanganan berbagai konflik didaerah seperti gerakan separatisme di Aceh dan Papua serta konflik sara di Maluku dan Poso menjadi lebih rumit dan kompeks. Rentang masalah menjadi sangat luas sementara ruang kendali menjadi semakin sempit. Tentu saja itu semua menyita perhatian, pikiran, tenaga dan dana karena dakwah telah menjadi bagian dalam semua pergulatan partai nasional. Mungkin harus dikatakan bahwa keputusan mendirikan partai politik tahun 1998 adalah sebuah taruhan besar dengan modal 2.966 kader inti 39.936 kader pendukung. Ke-5 wilayah dakwah yang umumnya berpusat dikota-kota besar Partai Keadilan Sejahtera memutuskan mendirikan Partai Keadilan. Tidak ada cukup uang untuk menandai kampanye. Akan tetapi Partai Keadilan Sejahtera tiba-tiba harus mendirikan kepengusuran DPW sekurang-kurangnya di2/3 atau 18 dari 27 provinsi dan kepengusuran DPD sekurang-kurangnya di 50 % dari kabupaten atau kota pada masing-maing provinsi. Semua itu harus selesai antara
85
Agustus 1998 hingga januari 1999 untuk kemudian memasuki verifikasi KPU pada febuari 1999.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Peran politisi perempuan PKS dalam memperjuangkan hukum berkeadilan gender dapat digambarkan sebagai makhluk yang sama kedudukannya dengan laki-laki secara teologis dihadapan Allah dan secara sosial dalam interaksi sesama manusia. Kesetaraan wanita dan pria ini kemudian diwujudkan dalam bentuk memberikan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam dalam mengapresiasi hak dan kewajiban mereka. Begitu juga dengan partisipasi politik perempuan di kehadiran politisi perempuan dalam kondisi masyarakat sekarang sangat dibutuhkan karena masalah perempuan yang rawan kekerasan baik oleh oknum individu maupun institusi, dapat diminimalisir oleh keterlibatan perempuan sendiri bila power politik bisa di genggam sendiri oleh perempuan. Kultur taat yang memasung perempuan melalui adat istiadat dan tradisi dapat dihilangkan melalui advokasi dan sosialisasi politik sebernarnya cukup relatif tinggi. Karena keterlibatan kaum perempuan bukan hanya pada saat hari pencoblosan saja, tetapi jauh-jauh hari sudah menunjukkan partisipasi mereka. Ini biasa dilihat pada pemilu legislatif kemarin. Calon-calon yang diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah melebihi dari kuota yang ditetapkan Pemerintah sebesar 30 %. Di dalam memenuhi upaya kuota 30 % perempuan untuk calon legislatif secara empiric dan factual terdapat kendala yang menyebabkan Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat sangat rendah. Yakni masih ada anggapan bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki. Dimana sistem dan struktur sosial patriarki telah menempatkan perempuan pada tempat yang tidak sejajar dengan laki-laki. Masih sedikitnya perempuan yang terjun didunia politik dan rendahnya pengetahuan perempuan tentang politik, serta dukungan dukungan partai politik yang belum sungguh-sungguh terhadap kepentingan perempuan.
86
87
Namun Partai Keadilan Sejahtera menyadari bahwa amnah menjadi anggota legislatif tidaklah ringan bagi laki-laki atau perempuan memperjuangkan aspirasi kaum perempuan dan berkontribusi nyata dalam mengawal Reformasi di Indonesia. Pada prinsipnya perempuan Indonesia secara hukum mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki berkiprah dibidang politik. Namun karena alasan-alasan kultural yang berkembang dimasyarakat dan kendala struktural hanya sedikit sekali jumlah perempuan yang tampil dipanggung politik. Mengingat kualitas perempuan secara intelegensia dan potensi lainnya pada dasarnya sama dengan laki-laki, diharapkan di masa mendatang jumlah perempuan yang masuk di panggung politik dan menduduki posisi strategis dibidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif semakin meningkat demi menata Indonesia yang adil dan demokratis. Demikianlah partisipasi politik perempuan yang sangat relatif tinggi di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak diikuti representasi keterwakilan politik yang sepada. B. Saran Perlu adanya upaya membangun kesadaran peran dan partisipasi politik perempuan PKS secara sadar dan sehingga tujuan-tujuan yang ingin hendak dicapai dapat dimaksimalkan. Perlu adanya upaya kesadaran kritis secara maksimal sehingga mendukung secara penuh peran dan mengontrol serta mempengaruhi jalannya pemerintahan dan pembentukan hukum. Perlu adanya jaringan komunikasi antar perempuan yang terkait dengan peran-peran politik mereka sehingga dapat berfungsi sebagai wadah mempersatukan apresiasi dan meningkatkan peran mereka. Berdasarkan kajian yang dilakukan diatas peran politisi perempuan Partai Keadilan Sejahtera dalam memperjuangkan gender ada beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan cara-cara memperkuat partisipasi politik perempuan, maka penulis memberi saran sebagai berikut: 1. Meningkatkan jumlah pejabat terpilih perempuan ditingkat nasional, provinsi dan lokal.
88
2. Memastikan bahwa partai-partai politik merangkul dalam posisi-posisi kepemimpinan yang berarti pula. 3. Menggunakan teknologi di dalam partai atau pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan perempuan dan menginformasikan bagi mereka program-program dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Selain itu ditambahkan oleh para informan baik itu laki-laki maupun perempuan untuk kedepannya harus ada usaha penokohan dari partai. Karena memang secara kelembagaan yang mendukung calon legislatif perempuan PKS tidak ada hanya personalnya saja.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Bina Aksara, 2000. Archer, Daniel, Critical Issues Around The Millenium Development Goals And Education. English : Convergence, 2005. Arinanto, Satya, Transparasi Politik Hukum Dan Politik Perundang-Undangan, Jakarta : CV. Logos Wacana Ilmu, 1999. Asshiddiqie, Jimly, Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007. Astiti, Jender Dalam Hukum Adat, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2000. Bafagih, Hikmah, Sejarah Gerakan Perempuan, Jakarta : ABM Permai, 2008. Butler, James, Gender Trouble “Feminism And The Subversion Of Identity”, New York : Routledge, 1990. Budiardjo, Miriam, Dasar Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka, 2008. Djokosudjono, Komunis Ekstrimis Yang Berbahaya, Surabaya : Red Front, 1994. Fakih, Mansour, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996. Fakih, Muhamad, Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001. Firmanzah, Mengelolah Partai Politik Di Era Demokrasi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004. Ghazali, Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta : CV. Kencana, 2003. Helen Tierney, Women’s Studies Encylopedia, New York : Green Press, 2005. Kadir, Abdul, Hukum Dan Penelitian Hukum, Bandung : Aditya Bakti, 2004. Kamil, Iskandar, Pedoman Diversi Untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta : Studi Press, 2005. Karimah, Tragedi Kartini Sebuah Pertarungan Ideologi, Bandung : Asy Syaamil Press & Grafika, 2001.
Mardinsyah, Mardety, Perempuan Di Parlemen Mengubah Wajah Legislatif, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka, 1998. M. Lips., Hilary, Sexs And Gender An Introduction, London : Masyfield Publishing Company, 1993. M. Echols, John Dan Shadily, Hassan, Kamus Lengkap Bahasa Inggris Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka,1998. Mulia, Musdah, Pandangan Islam Tentang Poligami, Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender Indonesia, 1999. Rahmat, Andi, Fungsional PKS, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1977. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Politik Hukum, Bandung : PT. Aditya Citra Bakti, 2000. Simanjuntak, Nasution, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Tarsito, 1992. Sri Widoyatiwiratmo Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum LP3ES, Jakarta: Studi Press,1989. Saepudin, Teknik Penyusunan Perundang-undangan, Jakarta : Republika, 2010. Smith, Brenner, Images Women In The Popular Indonesian Indonesia, Jakarta : Print Media, 1999. Soetrisno, Loekman, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan, Yogyakarta : Kanisius, 1997. Soetjipto, Ani, Undang-Undang Pemilu Dan Implikasinya Untuk Perempuan, Jakarta : Kompas, 2003. Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta :PT Gramedia Pustaka, 1992. Wahyuni, Budi, Terpuruk di Ketimpangan Gender, Yogyakarta : Pustaka, 1997.
Website : http://en.wikibooks.org http://www.islam.gov.my
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) dan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945. 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. M E M U T U S K A N: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN. BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 (1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3 (1). Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. (2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 4 (1). Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2). Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 (1). Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteriisteri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. (2). Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN Pasal 6 (1). Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3). Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4). dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. (5). Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini. (6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 7 (1). Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. (2). Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. (3). Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6). Pasal 8 Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan; e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin. Pasal 9 Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 10 Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 11 (1). Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2). Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Pasal 12 Tata cara perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal 13 Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 14 (1). Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. (2). Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyatanyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini. Pasal 15 Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 16 (1). Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi. Pasal 17 (1). Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. (2). Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan. Pasal 18 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal 19 Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut. Pasal 20 Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9< Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan. Pasal 21 (1). Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. (2). Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencaatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakkan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. (3). Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di atas. (4). Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akanmemberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan. (5). Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka. BAB IV BATALNYA PERKAWINAN Pasal 22 Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 23 Yang dapat mengajukan Pembatalan perkawinan yaitu: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri. b. Suami atau isteri. c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pasal 24 Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan
pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 25 Permihonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Pasal 26 (1). Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. (2). Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasrkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. Pasal 27 (1). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan melanggar hukum. (2). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya sangka mengenai diri suami atau isteri.
permohonan pembatalan dibawah ancaman yang permohonan pembatalan perkawinan terjadi salah
(3). Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Pasal 28 (1). Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan. (2). Keputusan tidak berlaku surut terhadap : a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hakhak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN (1).
(2). (3). (4).
Pasal 29 Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertilis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut. Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI
Pasal 30 Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. Pasal 31 (1). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3). Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Pasal 32 (1). Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2). Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama. Pasal 33 Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 (1). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN Pasal 35 (1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 (1). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. (2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masingmasing. BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA Pasal 38 Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan. Pasal 39 (1). Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. (3). Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut. Pasal 40 (1). Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. (2). Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Pasal 41 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a. Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b.
c.
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. BAB IX KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42 Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 (1). Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2). Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 44 (1). Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut. (2). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. BAB X HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK Pasal 45 (1). Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya (2). Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Pasal 46 (1). Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. (2). Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47 (1). Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2). Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Pasal 48 Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barangbarang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49 (1). Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal : a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. Ia berkelakuan buruk sekali. (2). Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut. BAB XI PERWAKILAN Pasal 50 (1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. (2). Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Pasal 51 (1). Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. (2). Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujurdan berkelakuan baik. (3). Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaikbaiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan itu.
(4). Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu. (5). Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. Pasal 52 Terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-undang ini. Pasal 53 (1). Wali dapat di cabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini. (2). Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimna dimaksud pada ayat (1) pasal ini oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali. Pasal 54 Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga tersebut dengan keputisan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian tersebut. BAB XII KETENTUAN-KETENTUAN LAIN Bagian Pertama Pembuktian Asal-usul Anak Pasal 55 (1). Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. (2). Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. (3). atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Bagian Kedua Perkawinan di Luar Indonesia Pasal 56 (1). Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana
perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini. (2). Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka. Bagian Ketiga Perkawinan Campuran Pasal 57 Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 58 Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undangundang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Pasal 59 (1). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata. (2). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undangundang perkawinan ini. (1). (2).
(3).
(4).
Pasal 60 Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut ayat (3).
(5). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan. Pasal 61 (1). Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. (2). Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tampa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1(satu) bulan. (3). Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetaui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pasal 62 Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini. Bagian Keempat Pengadilan Pasal 63 (1) Yang dimaksudkan dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah: a. Pengadilan agama mereka yang beragama Islam. b. Pengadilan Umum bagi yang lainnya. (2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang tejadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturanperaturan lama, adalah sah. Pasal 65 (1). dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuanketentuan berikut: a. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya; b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi; c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
(2). Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuanketentuan ayat (1) pasal ini. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 66 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuanketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia 1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 67 (1). Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaanya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2). Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebuh lanjut oleh Peraturan Pemerintah. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1974 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (SOEHARTO) JENDERAL TNI. Diundangkan di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA R.I ( SUDHARMONO, SH ) MAYOR JENDERAL TNI.
LAMPIRAN 2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat adalah bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diakui dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa usaha untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis, dan berdasarkan hukum; c. bahwa kaidah-kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, transparansi, keadilan, aspirasi, tanggung jawab, dan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu diberi landasan hukum; d. bahwa partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran; e. bahwa merupakan kenyataan sejarah bangsa Indonesia, Partai Komunis Indonesia yang menganut paham atau ajaran Komunisme/MarxismeLeninisme telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme harus tetap diberlakukan dan dilaksanakan secara konsekuen; f. bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perubahan ketatanegaraan, serta atas dasar amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, DPA,
g.
DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002, karena itu perlu diperbaharui; bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f perlu dibentuk undang-undang tentang partai politik;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 6A, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E ayat (3), Pasal 24C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan persetujuan bersama antara DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. BAB II PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK Pasal 2 (1) Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris. (2) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga disertai kepengurusan tingkat nasional. (3) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan syarat: a. memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya; b. mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota
pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan; c. memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain; dan d. mempunyai kantor tetap. Pasal 3 (1) Departemen Kehakiman menerima pendaftaran pendirian partai politik yang telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Pengesahan partai politik sebagai badan hukum dilakukan oleh Menteri Kehakiman selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah penerimaan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pengesahan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 4 Dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, nama, lambang, dan tanda gambar partai politik didaftarkan ke Departemen Kehakiman. BAB III ASAS DAN CIRI Pasal 5 (1) Asas partai politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Setiap partai politik dapat mencantumkan ciri tertentu sesuai dengan kehendak dan cita-citanya yang tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan undangundang. BAB IV TUJUAN Pasal 6 (1) Tujuan umum partai politik adalah: a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan c. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (2) Tujuan khusus partai politik adalah memperjuangkan cita-citanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (3) Tujuan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional.
BAB V FUNGSI, HAK, DAN KEWAJIBAN Pasal 7 Partai politik berfungsi sebagai sarana: a. pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat; c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. partisipasi politik warga negara; dan e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Pasal 8 Partai politik berhak: a. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara; b. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri; b. memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar partainya dari Departemen Kehakiman sesuai dengan peraturan perundang-undangan; c. ikut serta dalam pemilihan umum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum; d. mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat; e. mengusulkan penggantian antarwaktu anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; f. mengusulkan pemberhentian anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan g. mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 9 Partai politik berkewajiban: a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya; b. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. berpartisipasi dalam pembangunan nasional; d. . menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia; e. melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik; f. menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum; g. melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota; h. membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah;
i. j.
membuat laporan keuangan secara berkala satu tahun sekali kepada Komisi Pemilihan Umum setelah diaudit oleh akuntan publik; dan memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum dan menyerahkan laporan neraca keuangan hasil audit akuntan publik kepada Komisi Pemilihan Umum paling lambat 6 (enam) bulan setelah hari pemungutan suara. BAB VI KEANGGOTAAN DAN KEDAULATAN ANGGOTA
Pasal 10 (1) Warga negara Republik Indonesia dapat menjadi anggota partai politik apabila telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin. (2) Keanggotaan partai politik bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskriminatif bagi setiap warga negara Indonesia yang menyetujui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai yang bersangkutan. Pasal 11 (1) Kedaulatan partai politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. (2) Anggota partai politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan, hak memilih dan dipilih. (3) Anggota partai politik wajib mematuhi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta berkewajiban untuk berpartisipasi dalam kegiatan partai politik. Pasal 12 Anggota partai politik yang menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat dapat diberhentikan keanggotaannya dari lembaga perwakilan rakyat apabila: a. menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan atau menyatakan menjadi anggota partai politik lain; b. diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan karena melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; atau c. melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang menyebabkan yang bersangkutan diberhentikan. BAB VII KEPENGURUSAN Pasal 13 (1) Partai politik mempunyai kepengurusan tingkat nasional dan dapat mempunyai kepengurusan sampai tingkat desa/kelurahan atau dengan sebutan lainnya. (2) Kepengurusan partai politik tingkat nasional berkedudukan di ibu kota negara. (3) Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. (4) Dalam hal terjadi pergantian atau penggantian kepengurusan partai politik tingkat nasional sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, susunan pengurus baru didaftarkan kepada Departemen Kehakiman paling cepat 7 (tujuh) hari dan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terjadinya pergantian atau penggantian kepengurusan tersebut. (5) Departemen Kehakiman memberikan keputusan terdaftar kepada pengurus baru sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pendaftaran diterima. Pasal 14 (1) Apabila terjadi keberatan dari sekurang-kurangnya setengah peserta forum musyawarah atau terdapat kepengurusan ganda partai politik yang didukung oleh sekurang-kurangnya setengah peserta forum musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), keberatan itu diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. (2) Apabila penyelesaian melalui musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dicapai, para pihak dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan. (3) Selama dalam proses penyelesaian, kepengurusan partai politik yang bersangkutan dilaksanakan untuk sementara oleh pengurus partai politik hasil forum musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3). Pasal 15 Pengurus dan atau anggota partai politik yang berhenti atau diberhentikan dari kepengurusan dan/atau keanggotaan partainya tidak dapat membentuk kepengurusan atas partai politik yang sama dan/atau membentuk partai politik yang sama. BAB VIII PERADILAN PERKARA PARTAI POLITIK Pasal 16 (1) Perkara partai politik berkenaan dengan ketentuan undang-undang ini diajukan melalui pengadilan negeri. (2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. (3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari.
BAB IX KEUANGAN (1)
(2) (3) (4)
Pasal 17 Keuangan partai politik bersumber dari: a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan dari anggaran negara. Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa uang, barang, fasilitas, peralatan, dan/atau jasa. Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di lembaga perwakilan rakyat. Tata cara penyaluran bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 18 (1) Sumbangan dari anggota dan bukan anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b paling banyak senilai Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun. (2) Sumbangan dari perusahaan dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b paling banyak senilai Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun. (3) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diberikan oleh perusahaan dan/atau badan usaha harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB X LARANGAN Pasal 19 (1) Partai politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan: a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah; b. nama, bendera, atau lambang negara lain dan nama, bendera, atau lambang lembaga/badan internasional; c. nama dan gambar seseorang; atau d. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan partai politik lain. (2) Partai politik dilarang: a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundangundangan lainnya; b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau
c. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah negara dalam memelihara persahabatan dengan negara lain dalam rangka ikut memelihara ketertiban dan perdamaian dunia. (3) Partai politik dilarang: a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun, yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan; b. menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas; c. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan; atau d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan. (4) Partai politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. (5) Partai politik dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme. BAB XI PEMBUBARAN DAN PENGGABUNGAN Pasal 20 Partai politik bubar apabila: a. membubarkan diri atas keputusan sendiri; b. menggabungkan diri dengan partai politik lain; atau c. dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 21 (1) Partai politik dapat bergabung dengan partai politik lain dengan cara: a. bergabung membentuk partai politik baru dengan nama, lambang, dan tanda gambar baru; atau b. bergabung dengan menggunakan nama, lambang, dan tanda gambar salah satu partai politik. (2) Partai politik baru hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. (3) Partai politik yang menerima penggabungan dari partai politik lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diwajibkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 22 Pembubaran partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a dan huruf b dan penggabungan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 diumumkan dalam Berita Negara oleh Departemen Kehakiman.
BAB XII PENGAWASAN Pasal 23 Pengawasan atas pelaksanaan ketentuan undang-undang ini meliputi tugas sebagai berikut: a. melakukan penelitian secara administratif dan substantif terhadap akta pendirian dan syarat pendirian partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5; b. melakukan pengecekan terhadap kepengurusan partai politik yang tercantum dalam akta pendirian partai politik dan kepengurusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b; c. melakukan pengecekan terhadap nama, lambang, dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1); d. menerima laporan perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, nama, lambang, dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan pergantian atau penggantian kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4); e. meminta hasil audit laporan keuangan tahunan partai politik dan hasil audit laporan keuangan dana kampanye pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf h, huruf i, dan huruf j; dan f. melakukan penelitian terhadap kemungkinan dilakukannya pelanggaran terhadap larangan-larangan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), (3), (4), dan (5). Pasal 24 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilakukan oleh: a. Departemen Kehakiman di dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d; b. Komisi Pemilihan Umum di dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf e; dan c. Departemen Dalam Negeri melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf f. (2) Tindak lanjut pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 25 Pemerintah tidak melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi dan hak partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8.
BAB XIII SANKSI Pasal 26 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf h dikenai sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh Komisi Pemilihan Umum. (3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf i dan huruf j dikenai sanksi administratif berupa dihentikannya bantuan dari anggaran negara. Pasal 27 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran partai politik oleh Departemen Kehakiman. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara partai politik paling lama 1 (satu) tahun oleh pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). (3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh Komisi Pemilihan Umum. (4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa larangan mengikuti pemilihan umum berikutnya oleh pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). (5) Sebelum dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) pengurus pusat partai politik yang bersangkutan terlebih dahulu didengar keterangannya. Pasal 28 (1) Setiap orang yang memberikan sumbangan kepada partai politik melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 diancam dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Pengurus partai politik yang menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang mempengaruhi atau memaksa sehingga seseorang dan/atau perusahaan/badan usaha memberikan sumbangan kepada partai politik melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18, diancam dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (4) Sumbangan yang diterima partai politik dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi batas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, disita untuk negara. (5) Pengurus partai politik yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat (3) diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (6) Pengurus partai politik yang menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (5) dituntut berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, dan huruf e, dan partainya dapat dibubarkan. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 (1) Partai politik yang menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik telah disahkan sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia diakui keberadaannya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan undang-undang ini selambat-lambatnya 9 (sembilan) bulan sejak berlakunya undang-undang ini. (2) Partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum dan tidak diakui keberadaannya menurut undang-undang ini. (3) Dengan berlakunya undang-undang ini, penyelesaian perkara partai politik yang sedang dalam proses peradilan menyesuaikan dengan ketentuan undangundang ini. Pasal 30 Sebelum Mahkamah Konstitusi dibentuk, kewenangan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan pembubaran partai politik dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 31 Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3809) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 32 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ( MEGAWATI SOEKARNOPUTRI ) Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2002 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ( BAMBANG KESOWO )