Kolom IBRAHIM ISA Sabtu, 18 Juli 2015 ----------------------
KRONIK “PULANG-KAMPUNG” -- (5) -Menyoroti Buku Romo Baskara T. Wardaya:
“BERTEMU MATAHARI”. . . (Sambungan terdahulu – “Kronik Pulang-Kampung”- 4 – ) *** Seorang Kawanku berkomentar . . Bung menulis kolom “Kronik Pulang-kampung”. . , kok isinya pembicaraan buku Romo Baskara T. Wardaya . . Kujawab: --- Betul aku menulis kolom “Kronik Pulang-kampung”, dan isinya a.l sekitar buku Romo Baskara T. Wardaya, “BERTEMU MATAHARI”. Karena buku Baskara itu, kuperoleh dari dia, ketika kami bertemu dan cakap-cakap di Yogyakarta April y.l. *** Menyinggung buku Wijaya Herlambang, tentang arti penting membaca buku tsb bagi kaum intelektual dan budaya kita, --- Baskara T Wardaya, menyatakan: “ . . . bagi saya, buku ini telah membuat saya menjadi lebih paham mengapa pada tahun 1965-1966 bukan hanya para anggota PKI yang dihancurkan dan dibantai, melainkan juga siapapun yang berorientasi kerakyatan, termasuk para pendukung Presiden Sukarno bahkan Presiden Sukarno sendiri. . . . . . “. . . buku karya Wijaya ini akan membuat kita menjadi sadar bahwa upaya negara-negara kapitalis untuk menjadikan Indonesia sebagai sasaran kepentingannya bukan hanya dilakukan melalui siasat ekonomi dan politik yang kasar, melainkan juga melalui jalur-jalur kultural dan seni yang terasa lembut, tetapi mematikan.” *** Baskara: “Sebagaimana diketahui, pada tahun 1950-an banyak seniman Indonesia yang berorientasi kerakyatan, bersikap melawan atas ide-ide hasil besutan CCF dan para agen lokalnya. (Herlambang hal. 87). Bagi mereka gagasan humanisme universil akan mengaburkan fokus para seniman untuk mendukung rakyat yang sedang berjuang membangun sebuah negara-bangsa yang baru, yang sekarang sedang berada dalam
1
ancaman neo-kolonialisme dan imperialisme Barat (Herlambang hal, 87). Ironisnya, justru karena memiliki pandangn demikian itu maka seniman-seniman itu, menurut CCF harus digembosi dan dihancurkan. “Menurut Wijaya, para aktivis politik Indonesia yang sejalan dengan gagasan CCF maupun yang sedang dimanfaatkan oleh CCF banyak yang berada di sekitar Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang merupakan salah satu partai politik terdepan waktu itu. Pada saat yang sama para pemikir dan seniman yang pro CCF banyak yang tergabung dalam sebuah kelompok budayawan yang biasa disebut sebagai kelompok “Manifesto Kebudayaan” yang oleh lawan-lawannya disingkat menjadi “Manikebu”(Herlambang hlm, 81-91). “Tidak tanggung-tanggung, buku Wijaya Herlambang ini dengan terus-terang menyebut nama-nama yang terlibat dalam polemik kebudayaan dan politik waktu itu. Pada satu sisi ia menyebut nama-nama seperti Sukarno, Djokopekik, Amarzan Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Hersri Setiawan, Heru Atmodjo, Wiji Thukul, Tejabayu, Saut Situmorang dan sebagainya. “Pada sisi lain ia juga menyebut nama-nama seperti Soeharto, Suwarto, Ivan Kats, Goenawan Mohammad, Mochtar Lubis, Wiratmo Sukito, Nugroho Notosusanto, Sarbini, Rosihan Anwar, Mohamad Sadli, Taufik Ismail, H.B Jasin, Arief Budiman, Soe Hok Gie, Umar Kayam, W.S. Rendra, Soedjatmoko, Sumitro Djojohadikusumo, Guy Pauker, dan sebagainya. Tak lupa juga menyinggung nama-nama lain seperti . Dwipoayana, Arswendo Atmowiloto, dan Arifin C. Noer. Selain CCF, ia bahas juga institusi dan gerakan-gerakan lain yang terkenal seperti CIA, RAND Corporation, Ford Foundation, “Manifesto of Industrial Liberty”, “Manifesto Keudayaan”/Manikebu, “Lembaga Kebudayaan Rakyat” /Lekra, Yayasan Obor Indonesia, majalah Horizon, Institut Studi Arus/ISAI, Jaringan Kerja Kesenian Rakyat /JAKER, dan lain-lain. “Sebenarnya tentang CCF dan segala taktiknya saya sudah pernah mendengarnya dari teman saya Dr. David T. Hill, dosen Southeast Asian Studies di Murdoch University, Perth, Australia, ketika bertemu di Jakarta beberapa waktu sebelumnya. Meskipun demikian bagi saya, buku karya Wijaya Herlambng ini membuat banyak hal menjadi tampak lebih jelas. Menjadi tampak lebih jelas bagi saya, misalnya, dimana lembaga, gerakan, atau nama-nama yang disebut di atas itu berdiri ketika pada tahun 1950-an dan tahun 1960-an mereka dihadapkan pada pilihan antara dominasi modal asing atau kepentingan rakyat Indonesia. Juga ketika mereka dihadapkan pada pilihan antara pemerintah otoriter militeristik atau sistem politik yang demokratis-kerakyatan.
2
Baskara T Werdaya, meneruskan uraiannya:
“LEMBUT TETAPI MEMATIKAN” “Terlepas sejauh mana keterangan-keterangan yang disampaikan oleh Wijaya Helambang itu bisa diterima atau tidak, bagi saya, buku ini telah membuat saya menjadi lebih paham mengapa pada tahun 1965-1966 bukan hanya para anggota PKI yang dihancurkan dan dibantai, melainkan juga siapapun yang berorientasi kerakyatan, termasuk para pendukung Presiden Sukarno bahkan Presiden Sukarno sendiri. Tampaknya Presiden Sukarno dan para pendukungnya harus disingkirkan bukan karena mereka ini komunis – karena mereka memang bukan komunis – melainkan karena pihak AS khawatir bahwa jika mereka ini dibiarkan hidup atau bebas, mereka akan terus menyebarkanb ide-ide kerakyatan. “Tersebarnya ide-ide kerakyatan berarti meluasnya gagasan bahwa sumber alam Indonesia harus dikuasai oleh bangsa Indonesia sendiri dan digunakan sebesar-besarnya untuk memakmurkan bangsa Indonesia sendiri. Bangsa-bangsa lain yang sedang mengincar kekayaan alam Indonesia (termasuk Jepang) tentu merasa khawatir akan hal itu. Oleh karena itu, pihak Barat bekerjasama dengan orang-orang Indonesia yang bisa dipengaruhi (dan mau diberi imbalan) giat menyingkirkan para pejuang gagasan kerakyatan itu. Sekaligus mereka menyiapkan “lahan” sosial, kultural, politis, dan ekonomi supaya bisa ditanam dan dikembangkannya sistem kapitalisme liberal. “Menarik bahwa ternyata pada tingkat lapangan pelaku dari pembantaian dan peminggiran masal pada tahun 1965 dan seterusnya itu adalah orang-orang Indonesia sendiri. Menarik juga bahwa ternyata korbannya adalah orang-orang Indonesia sendiri juga. Dalam peristiwa itu banyak aktivis, seniman, dan pemikir Indonesia, sengaja atau tidak, telah menyediakan diri untuk menjadi ”pelaku lapangan” dari sebuah konsep besar yang sumbernya berasal dari (kepentingan) bangsa-bangsa lain. “Jika pada tahun 1950-an bangsa-bangsa lain itu telah menyuruh sejumlah pemikir, aktivis, dan seniman Indnesia untuk menyebarkan gagasan anti-komunis guna membantu menyiapkan masyarakt untuk menghancurkan orang-orang kiri pada tahun 1965-1966, setelah peristiwa itu terjadi mereka juga menyuruh orang-orang Indonesia yang tampil sebagai penguasa untuk membuka pintu selebar mungkin bagi masuknya perusahaan-perusahaan asing. Perlu dicatat bahwa selama rezim militer itu berkuasa, setiap pemikiran kiri terus dideskeditkan. Sementara itu Partai Komunis Indonesia yang
3
katnya sudah dihancurkan masih terus dihidup-hidupkan kembali dan diberi julukan “bahaya laten”. Selanjutnya dikatakan Wijaya: “Sesudah dihancurkannya PKI dan organisasi-orgnisasi afiliasinya, termasuk Lekra, oleh Angkatan Darat, ideologi humanisme universil menjdi satu-satunya haluan dalam membangun kebudayaan kontemporer Indonesia di bawah rezim Orba” (Herlambang hlm 9). “Dalam perjalanan selanjutnya, banyak tokoh intelektual dan budaya Indonesia menjadi “kecanduan” dengan teori abstrak ala Bart, yang sebenanya tidak banyak berkaitan langsung dengn kondisi konkret rakyat Indonesia, khususnya mayoritas rakyat yang hidup di lapisan bawah. Banyak lembaga filantrop Barat rajin membiayai lembaga dan forum-forum intelektual. Pembiayaan itu biasanya disertai “pesan tersembunyi” supaya lembaga atau forum-forum itu tidak bicara soal penguasaan sumber-sumber daya alam dan tidak mempertanyakan berkiprahnya sistem kapitalisme liberal di Indonesia. Pada saat yang sama, setiap kali ada lembaga atau forum yang mulai berorientasi kerakyatan, apalagi membahas masalah keadilan dan rekonsiliasi bagi paa korban pelanggaran HAM masa lalu, maka lembaga atau forum itu harus digembosi dan pelan-peln dihancurkan. Saya menjadi lebih paham. “Saya juga menjadi lebih paham mengapa setelah tahun 1965, bahkan hingga sekarng, banyak intelektual Indonesia lebih suka bicara tentang hal yang sifatnya “universal” atau tentang polemik tertentu yang memang sangat dekat dengan sejumlah pemikir Bart, tetapi nyaris sama sekali tidak terkait dengan masalah dominasi ekonomi asing di negerinya sendiri. Mereka lebih suka bicara demikian karena memang kegiatan dan pemikiran seperti itu yang dikehendaki oleh para sponsor mereka di Barat. Para sponsor tersebut akan dengan senang hati memberikan uang dalam jumlah besar kepada para intelektual macam itu sejauh mereka tidak bicara mengenai “kepemilikan alat-alat prouksi” di Indonesia. Mereka tak ingin bahwa para intelektual Indonesia bicara tentang hutan-hutan di Nusantara yang terus dibabat, tentang sumber-sumber daya alam yang dikeruk habis-habisan, atau tentang masalah pembantaian massal tahun 1965-1966 yang tak kunjung diselesaikan. “Mereka ingin supaya para intelektual tersebut mempelopori dan mempopulerkan pemikiran-pemikiran universal yang mengasyikkan, tetapi tak terkait langsung dengan kondisi eksploitatif masyarakat. Harapan para kapitalis, biarlah orang-orang Indonesia sekarang ini cas-cis-cus fasih bicara tentang pemikiran-pemikiran asing (entah itu dari Barat, dari Timur Tengah, atau dari tempat lain) karena selain membuat orang-orang
4
yang menulis atau menyebutnya menjadi tampak “intelektual” atau “religius”, juga bisa membantu menjauhkan kaum intelektual Indonesia dari suka-duka perjuangan dan sejarah bangsanya sendiri. “Buku Wijaya Herlambang mencoba membongkar praktek-praktek yang sudah mentradisi semacam itu. Namun demikian, apa boleh buat, sepertinya para antek kapitalisme liberalisme itu sudah terlanjur berurat-berakar dan memegang posisi penting di negeri yang semula kemerdekaannya justru diperjuangkan oleh orang-orang kiri seperti Bung Karno dan kawan-kawannya itu. Jika dibandingkan dengan bukunya Bradley Sampson yang berjudul ECONOMICS WITH GUN (2008), buku karya Wijaya ini akan membuat kita menjadi sadar bahwa upaya negara-negara kapitalis untuk menjadikan Indonesia sebagai sasaran kepentingannya bukan hanya dilakukan melalui siasat ekonomi dan politik yang kasar, melainkan juga melalui jalur-jalur kultural dan seni yang terasa lembut, tetapi mematikan. Demikian Baskara T. Wardaya, ketika a.l menyinggung sekitar buku Wijaya Herlambang berjudul “Kekerasan Budaya Pasca 1965 (Marjin Kiri, 2013)”. ***
5