Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda Baskara Wardaya PADA tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat dalam rangka kunjungan resminya ke negeri Dok Kompas tersebut. Sebagaimana dilaporkan dalam halaman pertama New York Times pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih Soekarno menyerang kolonialisme. Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme," kata Bung Karno, "telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad." Tetapi, tambahnya, perjuangan itu masih belum selesai. "Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?" pekik Soekarno di depan para pendengarnya. Menarik untuk disimak bahwa meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Antikoloniali...Anti-elitisme%20dalam%20Pemikiran%20Soekarno%20.htm (1 of 11)4/3/2005 11:04:48 AM
Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda -- Jumat, 1 Juni 2001
negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Namun, lebih menarik lagi karena pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno. Sebagaimana kita tahu, kuatnya semangat antikolonialisme dalam pidato itu bukanlah merupakan hal baru bagi Bung Karno. Bahkan sejak masa mudanya, terutama pada periode tahun 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas tampak. Bisa dikatakan bahwa sikap antikolonialisme dan anti-imperialisme Soekarno pada tahun 1950-an dan selanjutnya hanyalah merupakan kelanjutan dari pemikiranpemikiran dia waktu muda. Tulisan berikut dimaksudkan untuk secara singkat melihat pemikiran Soekarno muda dalam menentang kolonialisme dan imperialisme-dan selanjutnya elitisme-serta bagaimana relevansinya untuk sekarang. Antikolonialisme dan anti-imperialisme Salah satu tulisan pokok yang biasanya diacu untuk menunjukkan sikap dan pemikiran Soekarno muda dalam menentang kolonialisme adalah tulisannya yang terkenal yang berjudul Nasionalisme, Islam dan Marxisme". Dalam tulisan yang aslinya dimuat secara berseri di jurnal Indonesia Muda tahun 1926 itu, sikap antikolonialisme tersebut tampak jelas sekali. Menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu disadari adalah bahwa alasan utama kenapa para kolonialis Eropa datang ke Asia bukanlah untuk menjalankan suatu kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama "untuk mengisi perutnya yang keroncong belaka." Artinya, motivasi pokok dari kolonialisme itu adalah ekonomi. Sebagai sistem yang motivasi utamanya adalah ekonomi, Soekarno percaya, kolonialisme erat terkait dengan kapitalisme, yakni suatu sistem ekonomi yang dikelola oleh sekelompok kecil pemilik modal yang tujuan pokoknya adalah memaksimalisasi keuntungan. Dalam upaya memaksimalisasi keuntungan itu, kaum kapitalis tak segan-segan untuk mengeksploitasi orang lain. Melalui kolonialisme para kapitalis Eropa memeras tenaga dan kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah demi keuntungan mereka. Melalui kolonialisme inilah di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, kapitalisme mendorong terjadinya apa yang ia sebut sebagai exploitation de l'homme par l'homme atau eksploitasi manusia oleh manusia lain. Soekarno muda menentang kolonialisme dan kapitalisme itu. Keduanya melahirkan struktur masyarakat yang eksploitatif. Tiada pilihan lain baginya selain berjuang untuk secara politis menentang keduanya, bahkan jika hal itu menggelisahkan profesornya. Pada suatu pagi di awal tahun 1923, sebagai seorang mahasiswa Soekarno dipanggil untuk menghadap Rektor Technische Hoge School waktu itu (THS), sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), yakni Profesor Klopper. Kepada file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Antikoloniali...Anti-elitisme%20dalam%20Pemikiran%20Soekarno%20.htm (2 of 11)4/3/2005 11:04:48 AM
Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda -- Jumat, 1 Juni 2001
mahasiswanya, sang profesor mengatakan, "Kamu harus berjanji bahwa sejak sekarang kamu tak akan lagi ikut-ikutan dengan gerakan politik." "Tuan," jawab Soekarno, "Saya berjanji untuk tidak akan mengabaikan kuliah-kuliah yang Tuan berikan di sekolah." "Bukan itu yang sama minta," sanggah si profesor. "Tetapi hanya itu yang bisa saya janjikan, Profesor," jawab Soekarno lagi. Sebagai suatu sistem yang eksploitatif, kapitalisme itu mendorong imperialisme, baik imperialisme politik maupun imperialisme ekonomi. Tetapi Soekarno muda tak ingin menyamakan begitu saja imperialisme dengan pemerintah kolonial. Imperialisme, menurut dia, "bukanlah pegawai pemerintah; ia bukanlah suatu pemerintahan; ia bukan kekuasaan; ia bukanlah pribadi atau organisasi apa pun." Sebaliknya, ia adalah sebuah hasrat berkuasa, yang antara lain terwujud dalam sebuah sistem yang memerintah atau mengatur ekonomi dan negara orang lain. Lebih dari sekadar suatu institusi, imperialisme merupakan "kumpulan dari kekuatan-kekuatan yang kelihatan maupun tak kelihatan." Soekarno mengibaratkan imperialisme sebagai "Nyai Blorong" alias ular naga. Kepala naga itu, menurut dia, berada di Asia dan sibuk menyerap kekayaan alam negara-negara terjajah. Sementara itu tubuh dan ekor naga itu ada di Eropa, menikmati hasil serapan tersebut. Bersama dengan kolonialisme dan kapitalisme, imperialisme merupakan tantangan besar bagi setiap orang Indonesia yang menghendaki kemerdekaan. Anti-elitisme Selain kolonialisme dan imperialisme, di mata Soekarno muda ada tantangan besar lain yang tak kalah pentingnya untuk dilawan, yakni elitisme. Elitisme mendorong sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih tinggi daripada orang-orang lain, terutama rakyat kebanyakan. Elitisme ini tak kalah bahayanya, menurut Soekarno, karena melalui sistem feodal yang ada ia bisa dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Kalau dibiarkan, sikap ini tidak hanya bisa memecah-belah masyarakat terjajah, tetapi juga memungkinkan lestarinya sistem kolonial maupun sikap-sikap imperialis yang sedang mau dilawan itu. Lebih dari itu, elitisme bisa menjadi penghambat sikapsikap demokratis dalam masyarakat modern yang dicita-citakan bagi Indonesia merdeka. Soekarno muda melihat bahwa kecenderungan elitisme itu tercermin kuat dalam struktur bahasa Jawa yang dengan pola "kromo" dan "ngoko"-nya mendukung adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat. Untuk menunjukkan ketidaksetujuannya atas stratifikasi demikian itu, dalam file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Antikoloniali...Anti-elitisme%20dalam%20Pemikiran%20Soekarno%20.htm (3 of 11)4/3/2005 11:04:48 AM
Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda -- Jumat, 1 Juni 2001
rapat tahunan Jong Java di Surabaya pada bulan Februari 1921, Soekarno berpidato dalam bahasa Jawa ngoko, dengan akibat bahwa ia menimbulkan keributan dan ditegur oleh ketua panitia. Upaya Soekarno yang jauh lebih besar dalam rangka menentang elitisme dan meninggikan harkat rakyat kecil di dalam proses perjuangan kemerdekaan tentu saja adalah pencetusan gagasan marhaenisme. Bertolak dari pertemuan pribadinya dengan petani Marhaen, Soekarno merasa terpanggil untuk memberi perhatian yang lebih besar kepada kaum miskin di Indonesia, serta kepada peranan mereka dalam perjuangan melawan kolonialisme yang kapitalistik itu. Kaum Marhaen ini, sebagaimana kaum proletar dalam gagasan Karl Marx, diharapkan akan menjadi komponen utama dalam revolusi melawan kolonialisme dan dalam menciptakan suatu tatanan masyarakat baru yang lebih adil. Dalam kaitan dengan usaha mengatasi elitisme itu ditegaskan bahwa Marhaneisme "menolak tiap tindak borjuisme" yang, bagi Soekarno, merupakan sumber dari kepincangan yang ada dalam masyarakat. Ia berpandangan bahwa orang tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh Ruth McVey, bagi Soekarno rakyat merupakan "padanan mesianik dari proletariat dalam pemikiran Marx," dalam arti bahwa mereka ini merupakan "kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika digerakkan dalam gelora revolusi, akan mampu mengubah dunia." Kompleks Lantas, langkah-langkah apa yang diusulkan oleh Soekarno untuk melawan kolonialisme, imperialisme serta elitisme itu? Pertama-tama ia mengusulkan ditempuhnya jalan nonkooperasi. Bahkan sejak tahun 1923 Soekarno sudah mulai mengambil langkah nonkooperasi itu, yakni ketika ia sama sekali menolak kerja sama dengan pemerintah kolonial. Dalam kaitan dengan ini ia kembali mengingatkan bahwa motivasi utama kolonialisme oleh orang Eropa adalah motivasi ekonomi. Oleh karena itu mereka tak akan dengan sukarela melepaskan koloninya. "Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul nasinya," kata Soekarno, "jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya." Oleh karena itu pula ia yakin bahwa kemerdekaan tidak boleh hanya ditunggu, melainkan harus diperjuangkan. Langkah lain yang menurut Soekarno perlu segera diambil dalam menentang kolonialisme dan imperialisme itu adalah menggalang persatuan di antara para aktivis pergerakan. Dalam serial tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme ia menyatakan bahwa sebagai bagian dari upaya melawan penjajahan itu tiga kelompok utama dalam perjuangan kemerdekaan di Indonesia-yakni para pejuang Nasionalis, Islam dan Marxis-hendaknya bersatu. Dalam persatuan itu nanti mereka akan mampu bekerja sama demi terciptanya kemerdekaan Indonesia.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Antikoloniali...Anti-elitisme%20dalam%20Pemikiran%20Soekarno%20.htm (4 of 11)4/3/2005 11:04:48 AM
Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda -- Jumat, 1 Juni 2001
"Bahtera yang akan membawa kita kepada Indonesia Merdeka," ingat Soekarno, "adalah Bahtera Persatuan." Pada saat yang sama Soekarno juga mengingatkan bahwa perjuangan melawan kolonialisme itu lebih kompleks daripada perjuangan antara kelompok pribumi melawan kelompok kulit putih. Pada satu sisi perlu dibedakan antara "pihak Sini" yakni mereka yang mendukung, dan "pihak Sana" yakni mereka yang menentang perjuangan kemerdekaan. Pada sisi lain perlu disadari pula bahwa kedua "pihak" itu ada baik di kalangan pribumi maupun di kalangan penguasa kolonial. Seruan-seruan Soekarno itu pada tanggal 4 Juli 1927 dilanjutkan dengan pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sebagai tujuan utamanya dicanangkan untuk "mencapai kemerdekaan Indonesia." Guna memberi semangat kepada para aktivis pergerakan, pada tahun 1928 ia menulis artikel berjudul Jerit Kegemparan di mana ia menunjukkan bahwa sekarang ini pemerintah kolonial mulai waswas dengan semakin kuatnya pergerakan nasional yang mengancam kekuasaannya. Ketika pada tanggal 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap dan pada tanggal 29 Agustus 1930 disidangkan oleh pemerintah kolonial, Soekarno justru memanfaatkan kesempatan di persidangan itu. Dalam pleidoinya yang terkenal berjudul Indonesia Menggugat dengan tegas ia menyatakan perlawanannya terhadap kolonialisme. Dan tak lama setelah dibebaskan dari penjara pada tanggal 31 Desember 1931 ia bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yakni partai berhaluan nonkooperasi yang dibentuk pada tahun 1931 untuk menggantikan PNI yang telah dibubarkan oleh pemerintah kolonial. Mendua Menarik untuk disimak bahwa meskipun Soekarno amat berapi-api dalam melawan kolonialisme, imperialisme dan elitisme, sebenarnya perlawanan itu tidak total, dalam arti tidak sepenuhnya dimaksudkan untuk menuntaskan ketiga tantangan itu. Hal ini tampak misalnya ketika ia mendirikan PNI. Di satu pihak memang dengan jelas digariskan bahwa tujuan utama PNI adalah mencapai Indonesia merdeka. Tetapi di lain pihak cita-cita kemerdekaan itu tidak disertai hasrat untuk mengubah sistem politik yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial dengan sistem politik yang sama sekali baru. Alih-alih perubahan total, Soekarnosebagaimana banyak aktivis pergerakan waktu itu-berkeinginan bahwa negeri yang merdeka itu nanti akan ditopang oleh sistem yang mirip dengan sistem yang menopangnya saat terjajah. Hanya elitenya akan diganti dengan elite baru, yakni elite pribumi. Pemakaian Soekarno atas gagasan-gagasan Marxis amat selektif. Ia tertarik dengan pengertian proletariat-nya Marx, tetapi ia memperluasnya menjadi Marhaenisme. Di satu pihak perluasan itu membuat revolusi file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Antikoloniali...Anti-elitisme%20dalam%20Pemikiran%20Soekarno%20.htm (5 of 11)4/3/2005 11:04:48 AM
Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda -- Jumat, 1 Juni 2001
menjadi lebih jauh daripada sekadar pertarungan antara buruh pabrik melawan para kapitalis, tetapi di lain pihak hal ini juga membuat fokus revolusi menjadi kabur. Kekaburan ini menjadi bertambah ketika disadari bahwa pemerintah kolonial, yakni pihak yang mau dilawan oleh kaum Marhaen, melibatkan juga banyak sekali pejabat dan pegawai pribumi. Dan dalam hal ini rupa-rupanya Soekarno memang tidak bermaksud mengadakan suatu perubahan total. "Kita berjuang bukan untuk melawan orang kaya," tulisnya di harian Fikiran Rakjat tahun 1932, "melainkan untuk melawan sistem." Betapapun "galak"-nya Soekarno muda dalam menentang kolonialisme dan imperialisme dengan menggunakan prinsip nonkooperasi, ternyata ia tidak selalu konsisten. Sekitar bulan-bulan Agustus-September 1933, sebagaimana dilaporkan oleh pemerintah kolonial, ia menyatakan mundur dari keanggotaan Partindo, memohon maaf, dan meninggalkan prinsip nonkooperasi. Ia bahkan dilaporkan bersedia untuk bekerja sama dengan pemerintah penjajah Belanda. Lepas dari benar atau tidaknya laporan pemerintah itu, berita ini mengagetkan dan mengecewakan para pendukung gerakan kemerdekaan waktu itu. Mereka kecewa karena tokoh perjuangan yang mereka agung-agungkan, telah menyerah. Dalam koran Daulat Ra'jat edisi 30 November 1933 Mohammad Hatta bahkan menyebut peristiwa ini sebagai "Tragedie-Soekarno." Hatta amat menyesalkan inkonsistensi serta lemahnya semangat perlawanan tokoh taktik nonkooperasi itu. Berhubungan dengan sikap anti-elitismenya perlu dilihat bahwa meskipun dalam pidato dan tulisan-tulisannya Soekarno tampak melawan elitisme, tetapi sebenarnya bisa diragukan apakah ia sepenuhnya demikian. Hal ini tampak misalnya dalam pidato yang ia sampaikan pada tanggal 26 November 1932 di Yogyakarta, kota pusat aristokrasi Jawa. Dalam pidato itu Soekarno mengajak setiap orang, apa pun status sosialnya, untuk bersatu demi kemerdekaan. Tetapi sekaligus ia menegaskan bahwa bersama Partindo dirinya tidak menginginkan perjuangan kelas. Dalam tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme, sebagaimana disinyalir oleh McVey, sebenarnya Soekarno sama sekali tidak sedang bicara dengan rakyat banyak. Dalam tulisan itu ia, menurut McVey, "tidak menyampaikan imbauannya kepada kelompok-kelompok radikal pedesaan dan proletar yang telah memelopori pemberontakan komunis setahun sebelumnya, atau kepada para santri-santri taat pejuang Islam, atau kepada rakyat kebanyakan di dalam maupun di sekitar wilayah perkotaan yang bergabung ke dalam PNI yang didirikan oleh Soekarno saat mereka sedang mencari pegangan di tengah lunturnya nilai-nilai tradisional." Soekarno, sebaliknya, lebih mengalamatkan imbauannya kepada sesama kaum elite pergerakan, atau kepada apa yang disebut oleh McVey sebagai "elite metropolitan," yang keanggotaannya biasanya ditentukan oleh tingkat pendidikan Barat yang diperoleh seseorang.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Antikoloniali...Anti-elitisme%20dalam%20Pemikiran%20Soekarno%20.htm (6 of 11)4/3/2005 11:04:48 AM
Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda -- Jumat, 1 Juni 2001
Kelompok elite metropolitan yang dituju oleh tulisan Soekarno itu sebenarnya jumlahnya amat kecil, dan kebanyakan dari mereka tinggal di kota-kota dengan pengaruh Eropa, seperti misalnya Bandung, Surabaya, Medan atau Jakarta. Di satu pihak, kelompok elite ini mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kemerdekaan Indonesia serta telah berpikir dalam rangka identitas nasional dan tidak lagi dalam rangka identitas regional seperti generasi pendahulunya. Di lain pihak, kelompok ini tidak melihat perlunya mengadakan suatu revolusi sosial yang akan secara total mengubah sistem yang ada, dengan segala corak kolonialkapitalisnya. Yang lebih mendesak menurut para aktivis generasi ini adalah melengserkan elite pemerintahan kolonial asing dan menggantinya dengan elite lokal yang dalam hal ini adalah diri mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka menghendaki adanya revolusi nasional, tetapi bukan revolusi sosial. Dalam kaitannya dengan rakyat banyak, anggota kelompok elite ini merasakan perlunya dukungan rakyat dalam perjuangan melawan pemerintah kolonial. Pada saat yang sama mereka berupaya mengikis sikap-sikap tradisional rakyat yang mereka pandang sebagai penghalang bagi langkah menuju dunia modern, yakni dunia sebagaimana tercermin dalam kaum kolonialis Barat. Perasaan yang serupa tampaknya juga dimiliki oleh Soekarno. Bagi Soekarno muda, massa rakyat-betapapun tampak penting sebagai simbol dan sebagai potensi politik-sebenarnya lebih dibutuhkan sebagai sumber dukungan baginya dalam mengambil langkah-langkah politis. Oleh karena itu tidak mengherankan, sebagaimana pernah dikeluhkan oleh Hatta, jika kontak Soekarno dengan rakyat kebanyakan itu sebenarnya amat sedikit, terbatas pada kontak melalui pidato-pidato yang penuh tepuk tangan dan sorak-sorai. Dikatakan oleh Bernhard Dahm, penulis biografi Bung Karno, di satu pihak Soekarno menentang sikap rakyat yang mudah pasrah pada nasib, tetapi di lain pihak ia "membutuhkan sorak-sorai tepuk tangan (mereka) guna mendukung rasa percaya dirinya." Dengan demikian tampak adanya sikap mendua (ambivalen) dalam sikap-sikap Soekarno terhadap kapitalisme, imperialisme maupun elitisme: Di satu pihak ia membenci ketiganya. Di lain pihak, sadar atau tidak, ia melihat bahwa beberapa aspek di dalam ketiganya layak untuk dipertahankan atau setidaknya untuk tidak dikutak-katik. Tidak sendirian Pertanyaannya, mengapa Soekarno mengambil sikap mendua itu? Pertama-tama perlu disadari bahwa bagaimanapun juga Soekarno adalah anak zamannya. Ia merupakan bagian dari generasi pergerakan file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Antikoloniali...Anti-elitisme%20dalam%20Pemikiran%20Soekarno%20.htm (7 of 11)4/3/2005 11:04:48 AM
Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda -- Jumat, 1 Juni 2001
pada tahun 1920-an. Berbeda dengan generasi 1908 yang berorientasi pada perubahan sistem tanpa disertai kuatnya gagasan mengenai Indonesia merdeka, generasi Soekarno lebih berorientasi pada pentingnya kemerdekaan, tetapi lemah dalam hal perjuangan demi perubahan sistem. Lebih dari itu, generasi tahun 1920-an - dengan lebih banyak lulusan pendidikan Barat - cenderung untuk justru mempertahankan sistem pemerintahan Barat yang ada, tetapi dengan menggeser elite kolonialnya untuk diganti dengan elite lokal. Sebagaimana ditunjukkan oleh Takashi Shiraishi, berbeda dengan generasi pendahulu yang menekankan ketokohan individu, generasi Soekarno menekankan kepartaian. Tetapi pada tahun 1920-an partaipartai itu mengalami banyak pertentangan internal yang di mata Soekarno akibatnya bisa fatal bagi gerakan menuju kemerdekaan. Pada tahun 1920, misalnya, terjadi pertentangan dalam tubuh Sarekat Islam, terutama antara apa yang disebut sebagai "SI Putih" dengan lawannya, "SI Merah." Pertentangan ini kemudian mendorong lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1923 gerakan nasionalisme mengalami kemandekan total, ditandai dengan dibubarkannya NationalIndische Partij (NIP) pada tahun itu, dan suburnya gerakan-gerakan yang lebih bercorak internasional, khususnya gerakan Islam dan Komunis. Pada tahun 1926-1927 PKI memutuskan untuk berontak terhadap pemerintah kolonial Belanda, tetapi karena kurangnya dukungan masyarakat, pemberontakan itu gagal. Soekarno sadar bahwa jika perpecahan itu tidak diatasi sekarang, hal itu bisa berakibat fatal bagi perjuangan kemerdekaan selanjutnya. Jika Soekarno muda tampak terpisah dari rakyat, sebenarnya ia tidak sendirian. Banyak tokoh elite perjuangan pada zamannya juga demikian. Ketika membubarkan PNI pada tanggal 25 April 1931, misalnya, para pemimpin partai itu tidak banyak berkonsultasi dengan rakyat kebanyakan yang menjadi anggotanya. Akibatnya rakyat menjadi kecewa, membentuk apa yang disebut "Golongan Merdeka," dan memperjuangkan pentingnya pendidikan rakyat. Tentang perubahan sikap atau permohonan maaf Soekarno kepada pemerintah kolonial, hal itu perlu dilihat dalam konteksnya. Waktu dipenjara untuk kedua kalinya, Soekarno muda adalah bagaikan ikan yang dipisahkan dari "air"-nya, yakni massa yang biasa mendukungnya, dan yang membuatnya bersemangat dalam perjuangan kemerdekaan. Dalam penjara itu ia disel sendirian selama delapan bulan tidak hanya tanpa harapan akan adanya keringanan hukum, melainkan juga dibayang-bayangi kemungkinan pembuangan ke "neraka" Boven Digul. Dalam keadaan demikian tidak mengherankan jika sebagai manusia Soekarno ada unsur menyerah. Berdampak luas
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Antikoloniali...Anti-elitisme%20dalam%20Pemikiran%20Soekarno%20.htm (8 of 11)4/3/2005 11:04:48 AM
Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda -- Jumat, 1 Juni 2001
Apa pun latar belakang sikap-sikap itu, pola hubungan elite rakyat yang diambil oleh Soekarno dan para aktivis pergerakan waktu itu ruparupanya memiliki dampak yang luas. Ketika pada tahun 1933-1934 Soekarno serta para pemimpin lain ditangkap dan diasingkan oleh Belanda, gerakan kemerdekaan mengalami kemacetan total. Tanpa adanya elite metropolitan itu seolah-olah rakyat tidak bisa lagi bergerak dalam perjuangan demi kemerdekaan. Pergerakan itu baru muncul kembali ketika para pemimpin yang diasingkan itu dibebaskan oleh Belanda saat mereka terancam oleh kedatangan balatentara Jepang. Bahkan pada masa revolusi sendiri bisa dipertanyakan apakah sebenarnya rakyat yang ikut gigih bertempur dan berkorban mempertahankan kemerdekaan itu mendapat kesempatan yang maksimal dalam menentukan arah revolusi. Dalam tulisannya mengenai pola hubungan antara elite dan rakyat pada zaman revolusi, Barbara Harvey menyatakan bahwa hubungan itu tidak hanya amat lemah, tetapi juga berakibat cukup fatal bagi revolusi kemerdekaan itu sendiri. Lemahnya hubungan antara para pemimpin nasional di tingkat pusat dengan rakyat di desa-desa, menurut dia, "merupakan faktor utama bagi gagalnya elite kepemimpinan untuk menggalang dan mengarahkan kekuatan rakyat demi terwujudnya tujuan-tujuan revolusi." Dengan kata lain, sebenarnya rakyat tidak sepenuhnya dilibatkan dalam proses bernegara. Jika ini benar, mungkin tak terlalu mengherankan jika PKI-meskipun pada tahun 1948 ditekan besar-besaran setelah peristiwa Madiun-dalam waktu singkat berkembang pesat pengikutnya. Ini antara lain karena di dalam PKI banyak rakyat merasakan bahwa justru dalam partai yang menekankan antikemapanan (baca: anti-elite metropolitan) itu kepentingan dan cita-cita mereka mendapat tempatnya. Dalam Pemilu 1955 PKI bahkan berhasil memperoleh suara terbanyak keempat. Sayang sekali bahwa keterpisahan antara elite dan masyarakat itu pada zaman pasca-Soekarno tidak mengecil, melainkan justru membesar. Meskipun sejak naiknya Orde Baru pada akhir 1960-an aksespara elite kepada rakyat kebanyakan telah terbuka semakin luas-antara lain dengan naiknya tingkat pendidikan, semakin tersedianya sarana-sarana komunikasi dan menguatnya ekonomi-akses itu tak sepenuhnya termanfaatkan. Di bawah orde yang katanya "baru" itu tetap saja rakyat menjadi komponen massal yang dalam proses bernegara, berada di bawah kontrol elite metropolitan sebagai penentu hampir semua kebijakan yang ada. Tak jarang bahwa upaya-upaya untuk mendorong partisipasi rakyat lebih luas justru harus berhadapan dengan tindakan militer yang keras. Meminjam istilahnya Benedict Anderson, bisa dikatakan bahwa societynya boleh baru, tetapi state (baca: elite)-nya tetap yang lama. Tak kalah sayangnya tentu saja adalah bahwa tumbangnya sistem pemerintahan file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Antikoloniali...Anti-elitisme%20dalam%20Pemikiran%20Soekarno%20.htm (9 of 11)4/3/2005 11:04:48 AM
Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda -- Jumat, 1 Juni 2001
militeristik masa Orde Baru tidak disusul dengan tumbuh suburnya demokrasi, melainkan dengan kaotiknya kehidupan politik, yang konon justru dimulai dari kalangan elitenya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sekarang ini di lapisan bawah rakyat merasa semakin kecewa terhadap perilaku, komentar-komentar, serta percekcokan yang lahir di antara kelompok elite politik yang ada. Ketika pada tahun 2001 bangsa ini memperingati seratus tahun lahirnya Soekarno dan lima puluh enam tahun Proklamasi Kemerdekaan, kita masih dilanda berbagai ketidakpastian, yang salah satu akarnya adalah keterpisahan antara elite dengan rakyatnya. Masih panjang Dengan sedikit meminjam seruan Bung Karno yang terkenal, sekarang ini kita perlu "membangun dunia baru." Tetapi upaya untuk membangun dunia yang baru itu kiranya harus dimulai dengan terlebih dahulu "membangun Indonesia baru." Dan upaya membangun Indonesia baru itu mungkin harus dimulai dengan membangun elite politik yang benar-benar lahir dari kalangan rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam Indonesia yang baru itu diharapkan tiada lagi-kalaupun ada kecil peranannya-kelompok elite yang hanya sibuk berebut kekuasaan dan pengaruh. Hal ini bisa terjadi jika para aktivis muda reformasi sekarang ini tidak enggan untuk belajar dari para aktivis pergerakan generasi tahun 1920an. Di satu pihak meneruskan sikap militan generasi itu dalam memperjuangkan cita-cita bersama dan rela berkurban demi cita-cita itu. Di lain pihak menolak kecenderungan untuk mewarisi sistem pemerintahan sebelumnya, yakni kecenderungan untuk mengganti elite lama dengan elite yang baru tetapi yang pola dan orientasi politiknya tetap sama. Dengan demikian akan bisa diharapkan lahirnya elite politik yang benar-benar berorientasi pada semakin terwujudnya demokrasi. "Kaki kami telah berada di jalan menuju demokrasi," lanjut Presiden Soekarno dalam pidatonya di depan Kongres AS itu. "Tetapi kami tidak ingin menipu diri sendiri dengan mengatakan bahwa kami telah menempuh seluruh jalan menuju demokrasi," sambungnya. Ia sadar bahwa meskipun selama bertahun-tahun bangsa Indonesia telah beperang melawan kolonialisme, imperialisme dan elitisme, jalan menuju demokrasi masih tetap panjang. Tetapi Bung Karno juga sadar bahwa betapapun panjangnya sebuah perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah pertama. * Baskara Wardaya SJ mahasiswa ilmu sejarah pada Universitas Marquette, Milwaukee, Wisconsin, AS.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Antikolonial...nti-elitisme%20dalam%20Pemikiran%20Soekarno%20.htm (10 of 11)4/3/2005 11:04:48 AM
Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Bambang Noorsena Setelah dahulu pada zaman-zaman sebelumnya Brahma-WishnuIshwara menjelma dalam berbagai raja-raja di dunia, kini pada zaman kaliyuga turunlah Sri Jinapati (Buddha) untuk meredakan amarah Kala. Sebagaimana Sidharta Gautama, sebagai titisan Sri Jinapati, Sutasoma putra Mahaketu raja Hastina, keturunan Pandawa, meninggalkan kehidupan istana dan memilih hidup sebagai seorang pertapa.Pada suatu hari, para pertapa mendapat gangguan dari Porusada, raja raksasa yang suka menyantap daging manusia. Mereka memohon kepada Sutasoma untuk membunuh raksasa itu, tetapi permintaan itu ditolaknya. Setelah dalam olah spiritualnya Sutasoma mencapai kemanunggalan dengan Buddha Wairocana, akhirnya ia kembali ke istana dan dinobatkan menjadi Raja Hastina. Sementara itu, Porusada yang ingin disembuhkan dari sakit parah pada kakinya, bernazar akan mempersembahkan seratus raja sebagai santapan Bathara Kala. Tetapi, Sutasoma menyediakan diri disantap oleh Kala, asalkan seratus raja itu dibebaskan. Kerelaan ini sangat menyentuh hati Kala, bahkan Porusada pun menjadi terharu. Dewa Siwa yang menitis pada Porusada akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena disadarinya bahwa Sutasoma adalah Buddha sendiri. Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa (Hakikat Buddha dan hakikat Siwa adalah satu, berbeda-beda dalam perwujudan eksoterisnya tetapi secara esoteris satu. Tidak ada dualisme dalam kebenaran agama). SUATU malam di tahun 1962, bertempat di Pura Ubud, tatkala langit Pulau Dewata cerah bermandikan cahaya purnama. "Saya sangat terkesan dengan ucapan Sutasoma tadi," kata Bung Karno usai pementasan wayang sambil menghampiri I Nyoman Granyam, seorang dalang dari Sukawati, yang khusus diundangnya untuk melakonkan Porusaddhasanta (Porusada yang ditenangkan) atau yang lebih dikenal dengan lakon Sutasoma itu. file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bhinneka%20T...anPassing%20Over%20Spiritualitas%20Bung%20Karn.htm (1 of 11)4/3/2005 11:04:49 AM
Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
Lalu Bung Karno mensitir ungkapan bahasa Jawa kuno yang dimaksud, "Nanging hana pamintaku uripana sahananing ratu kabeh" (Tetapi permohonanku, hidupkanlah raja-raja itu semua). Itulah ucapan Sutasoma kepada raksasa Porusada, sambil menyerahkan dirinya sebagai santapan Kala, asal seratus raja itu dibebaskan. Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari penggalan karya Mpu Tantular ini. Pertama, dari karya Tantular ini berasal dari istilah "mahardhika" (yang menjadi asal kata merdeka), "Pancasila" dan seloka "bhinneka tunggal Ika"-ungkapan yang menurut Dr Soewito dalam tulisannya Sutasoma, A Study in Javanese Wajrayana (1975)"is a magic one of great significance and it embraces the sincere hope the whole nation in its struggle to become great, unites in frame works of an Indonesian Pancasilaist community". Kedua, perhatian yang diberikan Bung Karno pada ucapan Sutasoma yang rela mengorbankan dirinya sendiri demi kesejahteraan umat manusia. Yang kedua ini juga tidak kurang penting, sebab ternyata jalan yang sama akhirnya ditempuh oleh Bung Karno demi menyelamatkan bangsanya dari pecahnya "perang saudara" pasca-Gestok (Gerakan 1 Oktober) 1965. Jadi, yang pertama terkait erat dengan pandangan religi Bung Karno, khususnya dalam melacak pandangan-pandangan dasar keagamaannya, sedangkan yang kedua menyangkut religiusitas atau penghayatan keagamaannya. Memang, kini ungkapan Bhinneka Tunggal Ika tercantum sebagai seloka dalam lambang negara kita dalam makna kebangsaan yang lebih kompleks. Akan tetapi, makna semula ungkapan ini penting kita kedepankan kembali, justru karena secara khusus kita kaitkan dengan wacana religi dan religiusitas Bung Karno di atas. Begitu juga, istilah Pancasila yang juga tercantum dalam karya Tantular ini, aslinya berasal dari kelima hukum moral Buddhis: "Pancasila ya gegen den teki away lupa" (Pancasila harus dipegang teguh jangan sampai dilupakan). Salah satu sila dari Pancasila Buddhis adalah larangan untuk membunuh sesama makhluk hidup (Panapati vermanai sikkapadam samadiyami) yang kiranya menjiwai kisah Sutasoma dan mengilhami pilihan moral Bung Karno untuk lebih baik dirinya sendiri tenggelam demi keutuhan bangsa dan negara yang sangat dicintainya. Bung Karno di mata kawan dan lawan politiknya Bung Karno adalah sosok yang total kontroversial. Di mata lawanlawan politiknya di Tanah Air-nya sendiri, ia dianggap mewakili sosok file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bhinneka%20T...anPassing%20Over%20Spiritualitas%20Bung%20Karn.htm (2 of 11)4/3/2005 11:04:49 AM
Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
politisi kaum abangan yang "kurang islami". Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok "nasionalis sekuler". Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida adzima min quwada harkat alharir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang di negerinya sendiri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, "lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa' allatiy ja'alha al-Qur'an sya'ana min syu'un al-mu'minin" (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman). Di mata lawan politiknya di Barat, seperti tampak dari ucapan Willard A Hanna, Bung Karno adalah "politisi tanpa identitas dan tanpa prinsip, yang berpadu dalam dirinya nabi dan playboy, tukang sulap dan tukang obat". Tetapi, orang-orang Arab menamakannya ra'is, dan orang-orang Mesir di Kota Cairo menjulukinya al-hakim. Tak seorang pun meragukan popularitasnya di negeri-negeri Islam itu. Nama besar Bung Karno diabadikan antara lain dalam Qamus alMunjid. Konon, hanya dua tokoh Indonesia yang dicatat dalam kamus karya Louise Ma'louf, seorang Arab-Kristen itu. Soekarno, dan satunya lagi Syeikh Nawawi al-Bantani. Tatkala memuncaknya ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status Palestina, pers sensasional Arab yang salah paham dengan pencabutan sebutan Deicidium (pembunuh Tuhan) kepada kaum Yahudi, menyambut Bung Karno, "Juara untuk kepentingankepentingan Arab telah tiba". Pada pihak lain, Tahta Suci Vatikan sendiri memberikan kepadanya tiga gelar penghargaan kepada presiden pertama dari Republik yang mayoritas Muslim itu. Gaya religius Bung Karno Relevansi mengemukakan faham keagamaan Bung Karno ini, minimal terkait erat dengan pertanyaan: Seberapa jauhkah peranannya dalam menentukan masa depan Indonesia, berangkat dari pluralisme agama yang merupakan problem tersendiri apabila tidak diberikan perhatian khusus dalam membangun sebuah bangsa? Kenyataan ini dikemukakan, dengan sepenuhnya menyadari bahwa mengemukakan spiritualitas Bung Karno adalah juga merupakan bagian dari kontroversi itu sendiri. "Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri," tulis Clifford Geertz dalam Islam Observed (1982). Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai "bergaya ekspansif seolah-olah file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bhinneka%20T...anPassing%20Over%20Spiritualitas%20Bung%20Karn.htm (3 of 11)4/3/2005 11:04:49 AM
Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
hendak merangkul seluruh dunia". Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)-"hanya merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa". Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru "merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bidah". Ungkapan Bung Karno ini, di mata para penghayat tasawuf bukanlah hal yang asing. Dengarlah, Ibn Al-'Arabi (1076-1148) mendendangkan kesadaran yang sama. "Laqad shara qalbiy qabilan kulla shuratin, famar'a lighazlanin wa diir liruhbanin wa baytun li autsanin wa ka'batu thaifi wal wahu tawrati wa mushafu qur'anin (Hatiku telah siap menerima segala simbol, apakah itu biara rahibrahib Kristen, rumah berhala, Kabah untuk thawaf, lembaran Taurat atau mushaf Al Quran). "Panteis-monoteisme" Bung Karno? Ketika menerima gelar doctor honoris causa (doktor kehormatan) di Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Bung Karno menyebut bahwa tauhid yang dianutnya sebagai Panteis-monoteis. Bung Karno yakin bahwa Tuhan itu satu, tetapi Ia hadir dan berada di mana-mana. Tentu saja di kalangan Islam dan Kristen, istilah panteisme ini bisa mengundang salah paham. Kontan saja, orang langsung menghubungkannya dengan sosok legendaris Syekh Siti Jenar, "AlHallaj"-nya orang Jawa. Di satu pihak, dalam berbagai kesempatan Bung Karno mengritik paham kalam asy'ariyah mengenai ketidakcukupan 20 sifat Allah, berbareng dengan kritiknya terhadap paham taqlid dan kejumudankejumudan kaum tradisionalis pada zamannya. Kritik Bung Karno ini bisa dilacak dari kegandrungannya pada paham rasionalisme Islam klasik Mu'tazilah dan pemikiran-pemikiran pembaru Islam khususnya Jamaluddin al-Afghani. Tetapi pada pihak lain, Bung Karno tidak bisa melepaskan diri dengan warisan keagamaan Jawa yang sangat kental berciri mistik. Karena itu, menarik sekali dalam deskripsinya mengenai tauhid, Bung Karno merujuk juga Baghawad Gita. "The Gospel of Hinduism" itu pun dikutipnya begitu bebas, sambil di sana-sini membuat penekanan dengan frasa-frasa buatannya sendiri. Tuhan ada di mana-mana. Bahkan juga, Bung Karno mengutip sabda Khrsna: "I am in the smile of the girl" (pada pidato di tempat lain, "Ik ben in de glimlach van het meisje"-Aku ada dalam senyum simpul gadis yang cantik). Tetapi, frasa ini ternyata ciptaan Bung Karno sendiri, dari kata aslinya dalam bahasa Sansekerta: "tejas tejaswinam aham". Di file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bhinneka%20T...anPassing%20Over%20Spiritualitas%20Bung%20Karn.htm (4 of 11)4/3/2005 11:04:49 AM
Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
antara semua keindahan, Akulah kecantikan" (Bhagawad Gita X,36). Menurut saya, Bung Karno belum sampai menjadi seorang panteis tulen, atau menganut monisme radikal-menurut istilah PJ Zoetmulder SJ-yang sama sekali menyangkal bahwa segenap realitas itu lebur menyatu tanpa dualitas. Sebab di mata Bung Karno, penekanan pada aspek tasybih (imanensi) Tuhan, sama sekali tidak menghapuskan aspek tanzih (transendensi)-Nya. Barangkali, istilah yang tepat untuk menggambarkan keyakinan Bung Karno adalah "panentheisme" (pan, "segala sesuatu"; en, "dalam" dan theos, "Tuhan"). Jadi, segala sesuatu ada dalam Tuhan. Maksudnya, totalitas segenap realitas yang diciptakan ada dalam Tuhan, tetapi Tuhan sendiri melebihi totalitas tersebut. Kita dapat membandingkannya dengan ucapan Imam al-Ghazali (wafat 1111), At Tauhid al-khalis an layaraha fii kulli syai'in ilallah (Tauhid sejati adalah penglihatan atas Allah dalam segala sesuatu). Juga, menurut Ibn al-'Arabi, segenap alam semesta adalah tajjali atau penampakan dari Allah. Indonesia sebagai sebuah mitos Akan tetapi, apa pun rincian dari perkembangan legitim dalam faham teologisnya, yang jelas dengan latar belakang pandangan teologisnya itu, Bung Karno sangat mengakrabi alam semesta. Dan kunci untuk mengerti hal itu adalah Tat Twam Asi (Aku adalah dia, dia adalah aku). Mencintai sesama berarti mencintai Tuhan, bahkan mencintai alam berarti mencintai Pencipta-Nya. Dan cinta Bung Karno terhadap kosmos itu diawali dari Bumi tempat kakinya berpihak, Bumi pertiwi Indonesia yang disapanya dengan takjub dan hormat sebagai "Ibu". Bagi Bung Karno, Indonesia telah menjadi sebuah mitos. Mungkin karena itu, Agus Salim dan A Hassan mengkhawatirkan nasionalisme Bung Karno akan jatuh kepada faham ashabiyah (spirit of clan), yang menjurus kepada tindakan syirk atau pemberhalaan. Lebih jelas lagi, kita bisa mengikuti deskripsi Bung Karno mengenai nasionalisme Indonesia yang diungkapkan begitu berapi-api: "Bukan saya berkata Tuhan adalah Indonesia", kata Bung Karno, "tetapi Tuhan bagiku tercermin pula dalam Indonesia". Sang Putra Fajar itu tidak dapat menahan hentakan-hentakan gelora jiwa dalam dadanya yang begitu mencintai negerinya, sampai harus bercakap akrab dan berdendang takjub dengan sungai-sungainya, pohon-pohonnya, langit biru dan awan gemawannya, ombak laut dan pantai-pantainya. Singkat kata, di mata Bung Karno, Indonesia adalah satu totaliteit daripada segala perasaan yang terkandung dalam kalbu yang membuatnya rela untuk berjuang.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bhinneka%20T...anPassing%20Over%20Spiritualitas%20Bung%20Karn.htm (5 of 11)4/3/2005 11:04:49 AM
Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
Gambaran ini, seperti pernah ditulis Bung Karno sendiri, mengingatkan kita pada sebuah seloka dari Ramayana karya pujangga Valmiki, mengenai cinta dan bakti kepada Janani Janmabhumi- yaitu agar setiap orang mencintai Tanah Airnya seperti ia mencintai ibu kandungnya sendiri. Meskipun sikap ini bisa ditafsirkan secara ekstrem, seperti pembelaan Kumbakarna terhadap negeri Alengka yang diteladankan dalam Serat Tripama (karya Mangkunegara IV). Ksatria berwujud raksasa ini ketika terjadi perang antara Rama dengan Rahwana, akhirnya tetap membela Tanah Airnya. Alasannya, bukan karena ia mendukung kejahatan Rahwana, tetapi karena ia tidak tega melihat Tanah Airnya: yang sumur dan ladangnya sehari-hari ia makan dan minum itu, diinjak-injak oleh pasukan musuh, sekalipun musuhnya itu berada di pihak yang benar. Sikap Kumbakarna ini, bisa saja diartikan sebagai sikap right or wrong my country. Namun, Bung Karno tidak akan sampai menafsirkan nasionalisme dalam makna seekstrem itu, karena penolakannya yang tegas terhadap chauvinisme, dan sebagai gantinya Bung Karno menawarkan sebuah "nasionalisme yang tumbuh subur dalam tamansari perikemanusiaan". My Nasionalism is humanity, begitu ucapan Gandhi yang acap dikutipnya. Spiritualitas Bung Karno juga berciri "sakramentalis". Sebagaimana nabi-nabi semitis dari zaman dahulu, Bung Karno "believed in the beauty of holiness" (percaya kepada kecantikan dari keagungan), berbeda dengan orang-orang Yunani yang "believed in the holiness of beauty" (percaya pada keagungan dari kecantikan) sehingga memberhalakan alam itu (Max I. Dimont, 1995). Sebagaimana "jiwa kosmis" Fransiskus dari Asisi, alam raya dinilainya bukan hanya bernilai profan, melainkan sekalian makhluk adalah sakramen Sabda Ilahi yang menunjuk kepada pribadi Ilahi. Dalam diri Bung Karno, gaya religiusnya yang unik ini: "religius intelektual artistik"-menurut istilah Clifford Geertz-tidak dapat dilepaskan dari warisan tradisionalisme Jawa dan darah seni Bali dari ibunya. "Ingat, aku adalah anak Ida Ayu Nyoman Rai, keponakan Raja Singaraja, wanita dari Bali", kata Bung Karno pada suatu saat. Tak ayal, Bung Karno, seperti para pujangga Jawa kuno (yang karyakaryanya masih dilestarikan di Bali)-"berbakti kepada keindahan" (ahyun ing kalangwan) karena keyakinan bahwa Tuhan sendirilah "tattwa ning lango" (inti segala keindahan). Bukankah para sufi mendendangkan tembang yang sama? Tidak seorang pun dari mereka yang berzikir mengagungkan asma-Nya, kecuali bersenandung dengan syair-syair mereka. Kullu jamilun min jamalullah (Semua keindahan adalah berasal dari keindahan Allah). Juga, Inallaha jamilun wa yahibuj jamal (Allah itu mahaindah dan file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bhinneka%20T...anPassing%20Over%20Spiritualitas%20Bung%20Karn.htm (6 of 11)4/3/2005 11:04:49 AM
Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
mencintai keindahan). "Passing over" spiritualitas Bung Karno Latar belakang warisan keluarga Soekarno seperti yang diuraikan di atas, sudah barang tentu membentuk dan menentukan sosialisasi pemikiran keagamaan selanjutnya. "Spiritualitas semesta" (holistic spirituality) Bung Karno itu-untuk tidak menyebutnya sinkretisme (percampuran) agama-agama, suatu istilah yang sama sekali tidak tepat dalam menggambarkan kecenderungan dasar pemikiran Jawa yang sebenarnya-khususnya tampak dari bahasa teologisnya yang "melintas batas" (passing over) berbagai agama dan tradisi spiritual. Hal itu tampak dari pidato-pidato tanpa teks, ketika ia mengemukakan perbandingan-perbandingan dari berbagai agama, tamsil-tamsil dari ajaran Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Ayatayat suci itu dikutipnya bahkan di luar komunitas agama yang menganutnya. Misalnya, tanpa ragu-ragu ia mengutip Injil atau Bhagawad Gita di forum Islam. Warisan keberagaman itu bukan diterimanya sebagai kontradiksi atau pertentangan, sebaliknya sebagai suatu kekayaan rohani berdasarkan kesadarannya akan kesatuan transendental agamaagama. Dalam menggembleng rakyatnya, Bung Karno, misalnya sering mengutip Al Quran. ar Ra'd 11: Innallaha laa yughayiru maa bi qaumin hatta yughayiru ma bi anfusihim (Allah tidak mengubah nasib sesuatu kaum sehingga kaum itu mengubah sendiri nasibnya). Tetapi kita juga mendengar dari Bung Karno kutipan dari Bhagawad Gita (II,47) ketika menekankan prinsip yang sama: Karmany ewadhikaras te maphalesu kadacana (Berjuanglah dengan tanpa menghitung-hitung untung rugi bagimu). Bahkan Bung Karno pernah membuat terperanjat Mr Siegenbeek van Heukelom yang mengadilinya di Landraad Bandung tahun 1930. "Ik ben een revolutionaire" (Saya seorang revolusioner), tegas Bung Karno. Tetapi kata dia selanjutnya: "Ik werk niet met bommen en granaten" (Saya bekerja tanpa bom dan granat). Hakim kolonial itu sangat kaget, karena Bung Karno menyebut bahwa Yesus adalah seorang yang revolusioner, meskipun Ia bekerja tanpa kekerasan. "Revolusi", kata Bung Karno, adalah "eine Umgestaltung von Grundaus" (perubahan sampai ke akar-akarnya), baik dalam hal politik maupun dalam ajaran keagamaan. Dalam suatu pidatonya, Bung Karno di luar kepala dapat menghapal Injil Yohanes Pasal 1 dalam bahasa Belanda. Sebagai seorang Muslim, Bung Karno meyakini petunjuk-petunjuk wahyu dalam Al Quran dan Hadits, tetapi ayat-ayat suci berbagai agama tersebut file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bhinneka%20T...anPassing%20Over%20Spiritualitas%20Bung%20Karn.htm (7 of 11)4/3/2005 11:04:49 AM
Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
juga turut memperkaya spiritualitasnya. Hal itu dapat dimengerti, sebagaimana ditulis Cindy Adams, karena kesadaran Bung Karno bahwa kebenaran itu tunggal dan satu-satunya suara kemanusiaan adalah Kata dari Tuhan (Sukarno An Autobioghraphy, 1965). Menariknya, seperti diungkapkannya sendiri, spiritualitasnya yang begitu luas dan "melintas batas" agama-agama itu, lahir dari "mi'rajnya dunia pemikiran", sebagaimana pendakian seorang salik juga disebut "uruj mir'raj". Hua al-khuruj 'an kulli syai'in siwallah (Keluar dari segala sesuatu yang bukan Allah). Bung Karno memakai ungkapan sejajar, "Saya naik ke langit, mi'raj dalam dunianya pemikiran. Bung Karno, in the world of the mind, bertemu dengan tokoh-tokoh dunia, seperti Thomas Jefferson, Garibaldi, Mustafa Kemal Atarturk, Mustafa Kamil, Karl Marx, Engel, Stalin, Trosky, Dayananda Saraswati, Krisna Ghokale dan Aurobindo Gosye. Kalau ada hadits Nabi berbunyi Utlubul ilma' wa lau bissin (Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina), Bung Karno juga in the world of the mind pergi ke Tiongkok "minum teh bersama Sun Yat Sen", atau mengalami saat-saat "duduk bersila dengan Gandhi". Meskipun Bung Karno menimba, menimba dan menimba dari tokohtokoh "negeri seberang" itu, namun akhirnya Bung Karno kembali ke realiteit-nya Indonesia, tatkala pada saatnya ia harus menentukan masa depan dan kelangsungan bangsa menghadapi kenyataan pluralisme yang menjadi warisan sejarah beratus-ratus tahun, termasuk di dalamnya pluralisme agama. Ketika Ernest Renan mengucapkan pidatonya yang terkenal di Sorbone tahun 1882, "Qu'est ce qu'une Nation" (Apakah suatu bangsa itu?), salah satu aspek yang ditekankannya adalah bahwa nasionalisme modern tidak dapat lagi didasarkan atas kesamaan agama. Pada zaman itu, agama masih menjadi unsur perekat negara Belgia yang berdiri tahun 1830. Dari pidato Renan ini, bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia, telah menggali konsepnya tentang hakikat suatu bangsa. Meskipun Bung Karno menimba konsep nasionalisme dari Renan, namun nasionalisme Indonesia mendapat pijakan historis yang lebih kokoh. Bukan hanya baru abad ke-19, tetapi sejak zaman Majapahit, Mpu Tantular, tidak hanya telah diletakkan landasan politis bagaimana mengatasi pluralisme agama, melainkan malah sudah dikembangkan landasan teologis yang lebih memadai. Bung Karno juga "berdialog spiritual" dengan Mpu Tantular, lalu dikembangkanlah kesadaran yang kini oleh teolog agama-agama acap disebut sebagai philosophia perennis yang meyakini bahwa kebenaran abadi berada di pusat semua tradisi spiritual, apakah itu sanatha dharma dalam Hinduisme, al-hikmah al-khalidah dalam
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bhinneka%20T...anPassing%20Over%20Spiritualitas%20Bung%20Karn.htm (8 of 11)4/3/2005 11:04:49 AM
Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
istilah sufi Islam, atau logos spermatikos (benih sabda Ilahi) dalam pemikiran patristik Kristen. Sesungguhnya kebenaran itu satu dan tidak terbagi, meskipun mewujud dalam simbol-simbol yang secara eksoteris berbeda-beda. Prinsip kasunyatan Tantular ini, oleh Bung Karno diterjemahkan secara politis dalam sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila, berbareng dengan dibabtisnya seloka Bhinneka Tunggal Ika dalam lambang negara. Dengan sila pertama itu, Bung Karno telah membebaskan bangsanya dari "keharusan menantikan pesawat penyelamat dari Moskwa atau seorang kalifah dari Istanbul". Maksudnya, Indonesia tidak menjadi negara Islam, karena bertentangan dengan realitas kemajemukan bangsa, tetapi juga bukan negara sekuler, karena melawan degup hati sanubari rakyat yang sangat religius. Relung-relung religiusitas Bung Karno Bukan rahasia lagi, Bung Karno dijatuhkan oleh sebuah creeping coup d'etat (kudeta merangkak) yang dirancang sangat sistematis. Pada hari-hari terakhirnya, Bung Karno harus menjalani via dolorosa (jalan sengsara) di sebuah "karantina politik". Sendiri dan sepi. Bung Karno tetap menjadi Bapak yang mencintai semua rakyatnya, meskipun orang-orang di sekelilingnya telah mengkhianatinya. Saat itu, di tengah-tengah badai fitnah dan ancaman pecahnya perang saudara, ibu pertiwi laksana harimau lapar hendak memangsa anaknya sendiri. Dan seperti Sutasoma, Bung Karno justru menyerahkan dirinya sendiri, rela tenggelam demi keutuhan bangsa dan negaranya. "Cak Ruslan, saya tahu saya akan tenggelam. Tetapi ikhlaskan Cak, biar saya tenggelam asalkan bangsa ini selamat, tidak terpecah belah", tegasnya kepada Ruslan Abdulgani. Bung Karno sadar, pilihan moral itu ibarat salib yang harus dipikulnya menuju "puncak Kalvari politik yang kejam". Masih menurut Cak Ruslan, Bung Karno terakhir kali menerima delegasi mahasiswa dari GMKI dan PMKRI pada tahun 1967. Pada waktu itu Bung Karno mengutip sabda Yesus: "Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba di tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati". Juga, "Mereka akan menyesah kamu, kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja" (Injil Matius 10:16-18). Maka Bung Karno menempuh jalan ahimsa (tanpa kekerasan), ketika drama pengalihan kekuasaan itu bahkan hanya berlangsung 2-3 babak saja. Semua berjalan begitu cepat dan rapi. Sang Penyambung Lidah Rakyat pun akhirnya tenggelam, meskipun Orde Baru yang "menjambret" kekuasaannya tidak pernah mampu menguburkan pengaruhnya yang besar. Demikian jiwa kenegarawanan Bung Karno. Sejarah juga mencatat, dengan spiritualitasnya yang lapang, terbuka, inklusif dan toleran itu, Bung Karno telah berhasil mempersatukan bangsa yang majemuk ini
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bhinneka%20T...anPassing%20Over%20Spiritualitas%20Bung%20Karn.htm (9 of 11)4/3/2005 11:04:49 AM
Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
menjadi satu. Kini di tengah-tengah fenomena politisasi agama pada tahun-tahun terakhir, kita diingatkan dengan semboyan kaum sufi yang kiranya dapat kita terapkan untuk Bung Karno: "ash Shufi laa madzaba lahu ila madzab al-haqq"-seorang sufi tidak mempunyai religi kecuali religi Kebenaran. * Bambang Noorsena Penulis buku Religi dan Religiusitas Bung Karno, pendiri Institute for Syriac Christian Studies (ISCS).
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
●
● ●
● ● ● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda Tjipto-Soetatmo-Soekarno Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan Ziarah Kubur Bung Karno Soekarno di Masa Krisis PDRI Dunia MenurutSang Putra Fajar Bung Karno di Bawah Bendera Jepang
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bhinneka%20...nPassing%20Over%20Spiritualitas%20Bung%20Karn.htm (10 of 11)4/3/2005 11:04:49 AM
Bung Besar, Ideolog yang Kesepian -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bagus Takwin "AKU ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat." Pengakuan ini meluncur dari Soekarno, Presiden RI pertama, dalam karyanya Menggali Api Pancasila. Sadar atau tidak sadar ia mengucapkannya, terkesan ada kejujuran di sana. Soekarno, sang orator ulung dan penulis piawai, memang selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup. Dari pidato dan tulisannya yang memperlihatkan betapa mahirnya ia menggunakan bahasa, tersirat sebuah kebutuhan untuk selalu mendapat dukungan dari orang lain. Gejala berbahasa Soekarno, Bung Karno, merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Wajar kalau muncul pertanyaan "Apakah kemahiran Soekarno menggunakan bahasa dengan segala ma-cam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya?" Analisis terhadap kepribadian Soekarno melalui autobiografi, karangan-karangannya, dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya dapat membantu memberikan jawaban. Dengan menggunakan pendekatan teori psi-kologi individual dari Alfred Adler (Hall dan Lindzey, 1985) dapat dipahami bagaimana Proklamator Kemerdekaan RI ini bisa menjadi pribadi yang berapiapi, pembakar semangat banyak orang, gagah dan teguh sekaligus sensitif, takut pada kesendirian, dan sangat membutuhkan dukungan sosial. Pribadi yang kesepian Di akhir masa kekuasaannya, Soekarno sering merasa kesepian. Dalam autobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, ia menceritakannya. "Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Bes...g%20Kesepian%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 11)4/3/2005 11:04:51 AM
Bung Besar, Ideolog yang Kesepian -- Jumat, 1 Juni 2001
sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, 'Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.'... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah." (Adams, 2000:3) "Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil... Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu... Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu." (Adams, 2000:14) Apa yang ditampilkan Soekarno dapat dilihat sebagai sindrom orang terkenal. Ia diklaim milik rakyat Indonesia. Walhasil, ia tak bisa lagi bebas bepergian sendiri menikmati kesenangannya (Adams, 2000:12). Namun, melihat ke masa mudanya, kita juga menemukan tanda-tanda kesepian di sana. Semasa sekolah di Hogere Burger School (HBS), ia menekan kesendiriannya dengan berkubang dalam buku-buku, sebuah kompensasi dari kemiskinan yang dialaminya. Kebiasaan ini berlanjut hingga masa ia kuliah di Bandung. Soekarno terkenal sebagai pemuda yang pendiam dan suka menarik diri (Adams, 2000:89-91). Indikasi kesepian juga kita dapatkan dalam ceritanya tentang penjara. Malam-malam di penjara menyiksanya dengan ruang yang sempit dan tertutup. Dinding-dinding kamar tahanannya terlalu menjepit dirinya. Lalu muncullah perasaan badannya yang membesar hingga makin terjepit dalam ruang tahanan itu. "Yang paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu adalah pengurungan. Seringkali jauh tengah malam aku merasa seperti dilak rapat dalam kotak kecil berdinding batu yang begitu sempit, sehingga kalau aku merentangkan tangan, aku dapat menyentuh kedua belah dindingnya. Rasanya aku tak bisa bernafas. Kupikir lebih baik aku mati. Suatu perasaan mencekam diriku, jauh sama sekali dari keadaan normal." (Adams, 2000:135) Lebih jauh lagi ke masa kecilnya, Soekarno sering merasa sedih karena hidup dalam kemelaratan sehingga tak dapat menikmati benda-benda yang diidamkannya. Di saat anak-anak lain dapat menikmati makanan jajanan dan mainan, Karno hanya dapat menyaksikan mereka dengan perasaan sedih. Lalu ia menangis file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Bes...g%20Kesepian%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 11)4/3/2005 11:04:51 AM
Bung Besar, Ideolog yang Kesepian -- Jumat, 1 Juni 2001
mengungkapkan ketidakpuasan sekaligus ketakberdayaannya. Selain itu, di lingkungan sekolah ia harus berhadapan dengan anakanak Belanda yang sudah terbiasa memandang remeh pribumi. Pengalaman yang cukup traumatis terjadi di masa lima tahun pertama. Soekarno pernah berturut-turut menderita penyakit seperti tifus, disentri, dan malaria yang berujung pada penggantian namanya dari Kusno menjadi Karno, nama seorang tokoh pewayangan putra Kunti yang berpihak pada Kurawa demi balas budi dan kewajiban membela negara yang menghidupinya. Sakit yang melemah-kan secara fisik dapat berpengaruh terhadap kondisi psikis. Sangat mungkin muncul perasaan lemah, tak berdaya, dan terasing pada diri Soekarno kecil. Untungnya dilakukan penggantian nama disertai penjelasan dari ayahnya tentang makna pergantian nama yang memberinya kebanggaan karena menyandang nama pejuang besar. Pengalaman sakit-sakitan dan hidup dalam kemiskinan tampak membekas kuat dalam ingatan Soekarno. Di masa tuanya, ia menafsirkan kegemarannya bersenang-senang sebagai kompensasi dari masa lalunya yang dirampas kemiskinan (Adams, 2000). Ada semacam dendam terhadap kemiskinan dan ketidakberdayaan yang telah berkilat dalam dirinya. Dendam yang kemudian menggerakkannya pada semangat perjuangan kemerdekaan dan keinginan belajar yang tinggi. Mitos-mitos dari masa kecil Sejak kecil, Soekarno sudah menyimpan mitos tentang diri-nya sebagai pejuang besar dan pembaru bagi bangsanya. Ibunya, Ida Nyoman Rai, menceritakan makna kelahiran di waktu fajar. "Kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing. Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar." (Adams, 2000:24) Tanggal kelahiran Soekarno pun dipandangnya sebagai pertanda nasib baik. "Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan." (Adams, 2000:25) file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Bes...g%20Kesepian%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 11)4/3/2005 11:04:51 AM
Bung Besar, Ideolog yang Kesepian -- Jumat, 1 Juni 2001
Soekarno melihat dirinya yang terdiri dari dua sifat yang berlawanan sebagai satu kemungkinan pertanda nasibnya di dunia politik. "Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikanku seseorang yang merangkul semua-nya." Kejadian lain yang dianggap pertanda nasib oleh Soekarno adalah meletusnya Gunung Ke-lud saat ia lahir. Tentang ini ia menyatakan, "Orang yang percaya kepada takhayul meramalkan, 'Ini adalah penyambutan terhadap bayi Soekarno," Selain itu, penjelasan tentang penggantian nama Kusno menjadi Karno pun memberi satu mitos lagi dalam diri Soekarno kecil tentang dirinya sebagai calon pejuang dan pahlawan bangsanya. Kepercayaan akan pertanda-pertanda yang muncul di hari kelahiran Soekarno memberi semacam gambaran masa depan dalam benak Soekarno sejak masa kecilnya. Dalam kerangka pemikiran Adler, gambaran masa depan itu disebut fictional final goals (tujuan akhir fiktif). Meskipun fiktif (tak didasari kenyataan), tetapi gambaran masa depan ini berperan menggerakkan kepribadian manusia untuk mencapai kondisi yang tertuang di dalamnya (Adler, 1930:400). Riwayat hidup Soekarno memperlihatkan bagaimana gambaran dirinya di masa depan dan persepsinya tentang Indonesia menggerakkannya mencapai kemerdekaan Indonesia. Bombasme bahasa dan keinginan merengkuh massa Setelah menjadi presiden, Soekarno berpidato tiap tanggal 17 Agustus. Di sana dapat kita temukan kalimat-kalimat muluk, penggunaan perumpamaan elemen-elemen alam yang megah dan hiperbolisme bahasa. Dari tahun ke tahun pidatonya makin gegapgempita, mencoba membakar semangat massa pendengarnya dengan retorika kata-kata muluk. Dari kalimat-kalimat itu dapat dibayangkan seperti apakah kondisi psikis orang yang menggunakannya. Dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1949, contohnya, ia berseru, "Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali." Di sini ada indikasi ia menempatkan diri sebagai orang yang bersemangat elang rajawali sehingga memiliki hak dan kewajiban untuk menyerukan pada rakyatnya agar memiliki semangat yang sama dengannya.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Bes...g%20Kesepian%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 11)4/3/2005 11:04:51 AM
Bung Besar, Ideolog yang Kesepian -- Jumat, 1 Juni 2001
Seruan-seruan yang sering dilontarkan dalam pidatonya adalah tentang perjuangan yang harus dilakukan tak henti-henti. "Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu." (Pidato 17 Agustus 1948) "Tidak seorang yang menghitung-hitung: Berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya." (Pidato 17 Agustus 1956) "Karena itu segenap jiwa ragaku berseru kepada bangsaku Indonesia: "Terlepas dari perbedaan apa pun, jagalah Persatuan, jagalah Kesatuan, jagalah Keutuhan! Kita sekalian adalah machluk Allah! Dalam menginjak waktu yang akan datang, kita ini se-olaholah adalah buta." (Pidato 17 Agustus 1966) Selain ajakan untuk berjuang, tersirat juga dari petikan-petikan tersebut bahwa Soekarno memandang dirinya sebagai orang yang terus-menerus berjuang mengisi kemerdekaan. Pengaruh fictional final goals-nya terlihat jelas, Soekarno yang sejak kecil membayangkan diri menjadi pemimpin bangsanya dengan kepercayaan tinggi menempatkan dirinya sebagai guru bagi rakyat. "Adakanlah ko-ordinasi, ada-kanlah simponi yang seharmonisharmonisnya antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum, dan janganlah kepentingan sendiri itu dimenangkan diatas kepentingan umum." (Pidato 17 Agustus 1951) "Kembali kepada jiwa Proklamasi .... kembali kepada sari-intinya yang sejati, yaitu pertama jiwa Merdeka Nasional... kedua jiwa ichlas... ketiga jiwa persatuan... keempat jiwa pembangunan." (Pidato 17 Agustus 1952) "Dalam pidatoku "Berilah isi kepada kehidupanmu" kutegaskan: "Sekali kita berani bertindak revolusioner, tetap kita harus berani file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Bes...g%20Kesepian%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (5 of 11)4/3/2005 11:04:51 AM
Bung Besar, Ideolog yang Kesepian -- Jumat, 1 Juni 2001
bertindak revolusioner.... jangan ragu-ragu, jangan mandek setengah jalan..." kita adalah "fighting nation" yang tidak mengenal "journey'send" (Pidato 17 Agustus 1956) Keinginannya untuk merengkuh massa sebanyak-banyaknya tampak dari kesenangannya tampil di depan massa. Bombasmekecenderungan yang kuat untuk menggunakan kalimat-kalimat muluk dan ide-ide besar yang tidak disertai oleh tindakan konkretpraktis untuk mencapainya yang ditampilkannya dapat diartikan sebagai usaha memikat hati rakyat. Pidato-pidatonya banyak mengandung gaya hiperbola dan metafora yang berlebihan seperti "Laksana Malaikat yang menyerbu dari langit", "adakanlah simfoni yang seharmonis-harmonisnya antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum", "Bangsa yang gila kemuktian, satu bangsa yang berkarat", dan "memindahkan Gunung Semeru atau Gunung Kinibalu sekalipun." Simak kutipan-kutipan berikut bagaimana gaya bahasa yang digunakan untuk memikat massa. "Janganlah melihat ke masa depan dengan Mata Buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca mata benggalanya dari pada masa yang akan datang." (Pidato 17 Agustus 1966) "Atau hendakkah kamu menjadi bangsa yang ngglenggem"? Bangsa yang 'zelfgenoegzaam'? Bangsa yang angler memeteti burung perkutut dan minum teh nastelgi? Bangsa yang demikian itu pasti hancur lebur terhimpit dalam desak mendesaknya bangsa-bangsa lain yang berebut rebutan hidup!" (Pidato 17 Agustus 1960) Kita mau menjadi satu Bangsa yang bebas Merdeka, berdaulat penuh, bermasyarakat adil makmur, satu Bangsa Besar yang Hanyakrawati, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas tapak palune pande, ora tedas gurindo. (Pidato 17 Agustus 1963) Gaya menggurui dari tahun ke tahun makin jelas terlihat dalam pidato Soekarno. Ia makin sering membuka pidatonya dengan kalimat "Saya akan memberi kursus tentang". Pengaruh gambaran masa kecilnya tentang Soekarno sebagai pembuka fajar baru bagi bangsanya makin tegas. Ia tak menyadari bahwa gambaran itu file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Bes...g%20Kesepian%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (6 of 11)4/3/2005 11:04:51 AM
Bung Besar, Ideolog yang Kesepian -- Jumat, 1 Juni 2001
bersifat fiktif, tak didasari kenyataan. Soekarno melambung tinggi dengan ide-idenya dan cenderung mengabaikan kondisi konkret bangsanya terutama kondisi ekonomi. Strategi penyebaran ideologi dalam tulisan Soekarno Lalu jadilah Soekarno sebagai ideolog yang piawai menyebarkan kepercayaan-kepercayaannya. Strategi penyebaran ideologi yang oleh Terry Eagleton (1991) terdiri dari rasionalisasi, universalisasi, dan naturalisasi, dengan baik dimanfaatkan Soekarno dalam tulisantulisannya. Rasionalisasi tampil dalam argumentasi-argumentasi yang diusahakan tersusun selogis mungkin dan menggunakan rujukanrujukan teori-teori ilmuwan terkemuka seperti Herbert Spencer, Havelock Ellis, dan Ernst Renan. Rasionalisasi dapat ditemukan dalam setiap karangannya, termasuk penggunaan data statistik demi memperkuat pendapatnya. Strategi universalisasi dalam tulisan dan karangan Soekarno melibatkan ajaran-ajaran agama kutipan dari tokoh ternama dalam sejarah dan peristiwa penting dalam peradaban manusia. Gagasangagasannya seolah berlaku universal dan diperlukan di manamana."Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi pula gitamu: "Innallaha la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim" (Pidato 17 Agustus 1964) "Asal kita setia kepada hukum sejarah dan asal kita bersatu dan memiliki tekad baja, kita bisa memindahkan Gunung Semeru atau Gunung Kinibalu sekalipun." (Pidato 17 Agustus 1965) "Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: "Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan." (Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945) Strategi naturalisasi merupakan usaha menampilkan sebuah ideologi atau kepercayaan sebagai sesuatu yang tampak alamiah. Ini banyak ditemukan dalam pidato-pidato Soekarno. Penjelasan-penjelasannya tentang Pancasila sangat jelas menggunakan naturalisasi. file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Bes...g%20Kesepian%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (7 of 11)4/3/2005 11:04:51 AM
Bung Besar, Ideolog yang Kesepian -- Jumat, 1 Juni 2001
"Ke Tuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ini, yang nyata selalu menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia." (Pancasila sebagai Dasar Negara, hal:38) Bukan hal yang aneh jika Soekarno berkembang menjadi seorang ideolog. Kepercayaan sejak kecil tentang kemuliaan, kepeloporan dan kepemimpinannya, mendorong kuat Bung Besar ini menyebarkan kebenarannya. Gambaran diri yang fiktif dan mistis ini pula yang memberinya kepercayaan diri tampil berapi-api di depan lautan massa. Dari mitos ke ideologi, dari kesepian ke kekuasaan Merujuk Adler, benang merah perkembangan kepribadian Soekarno jadi begitu jelas. Masa dewasanya merupakan proyeksi dari keinginan masa kecil. Soekarno membayangkan dirinya sebagai pembaru bangsa sejak kecil. Ia tumbuh sebagai manusia yang penuh dengan gagasan-gagasan yang terbilang baru di masa hidupnya. Kegemaran akan buku dan belajar berbagai hal tak lepas dari cita-cita yang digenggamnya erat-erat: menjadi penyelamat bangsa. Disiplin belajar yang dibiasakan ayahnya berpengaruh besar terhadap hal ini. Hingga di usia melampaui 60 tahun, ia masih gemar membaca. Kamar tidurnya penuh dengan buku sekaligus kutunya (Adams, 2000). Daya serapnya pun luar biasa. Perpaduan berbagai aspek kepribadian dengan kualitas luar biasa inilah yang memungkinkannya tampil sebagai orator dengan wawasan begitu luas. Kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia juga berperan penting bagi perkembangan Soekarno. Mitos akan datangnya Ratu Adil, kepercayaan terhadap titisan dewa dan kepemimpinan politik yang tak lepas dari aspek spiritualitas memompa Soekarno berkembang menjadi tokoh yang dikultuskan. Namun, sehebat-hebatnya ia mempengaruhi massa, seluas-luasnya wawasan di benaknya dan sebesar-besarnya kekuasaan yang dimilikinya, Bung Karno tak bisa lepas dari kebutuhannya untuk selalu memperoleh dukungan sosial. Kesepian menjadi derita yang menyakitkan hingga akhir hayatnya. Apa yang dilakukannya untuk memperoleh dukungan massa di sisi lain menjadikannya sebagai orang yang terasing, terpencil dari rakyat. Dari kacamata Alfred Adler (1930), penyakit yang diderita Soekarno kecil bisa jadi membekas pada kepribadiannya di masa-masa file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Bes...g%20Kesepian%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (8 of 11)4/3/2005 11:04:51 AM
Bung Besar, Ideolog yang Kesepian -- Jumat, 1 Juni 2001
berikutnya. Kesakitan yang diderita Soekarno itu bisa menimbulkan perasaan lemah, tak berdaya, dan tersiksa yang disebut Adler sebagai pe-rasaan inferioriti. Jika perasaan ini tidak ditangani secara tuntas maka akan timbul kecemasan yang mendukung munculnya perasaan inferioriti baru di ta-hap berikutnya hingga terakumulasi menjadi kompleks inferioriti-sebuah kondisi kejiwaan yang ditandai dengan perasaan rendah diri berlebihan dan kecemasan yang tinggi terhadap lingkungan sosial. Untungnya lingkungan keluarganya memberi perhatian dan semangat yang memadai, terutama ibu, sehingga ia dapat menemukan perasaan aman dan nyaman di sana. Ia lalu sering tampil sebagai pemimpin yang dominan. Namun, ini pun memunculkan suatu ketergantungan akan afeksi. Hingga dewasa kebutuhan afeksi itu tak jua tercukupi. Ia mengaku selalu membutuhkan wanita sebagai pegangan. Penggantian nama Kusno menjadi Karno dan penjelasan maknanya juga menjadi cara yang baik untuk menangani perasaan inferioriti yang dialami Soekarno kecil. Ia dapat menyusun sebuah pemahaman di benaknya bahwa apa yang dialami merupakan sesuatu yang wajar sebagai seorang calon pahlawan besar sekelas Karna putra Kunti. Demikian pula dengan mitos-mitos tentang dirinya. Namun, ini pun mengakibatkan dirinya cenderung terpaku pada hal-hal besar dan mengabaikan hal-hal kecil. Dalam kondisi-kondisi penuh dukungan lingkungan sosial, Soekarno bisa memperoleh perasaan superioritas, perasaan aman dan nyaman menghadapi dunia. Untuk itu, ia selalu berusaha menarik perhatian banyak orang agar selalu berada di sekelilingnya, berpihak padanya. Pidatonya yang penuh kalimat bombastis merupakan cara memikat hati orang lain seperti seorang perayu yang tak ingin kehilangan kekasihnya. Namun, di saat-saat kesepian ia bisa mengalami perasaan frustrasi dan depresi. Ia sangat tidak menyukai kesendirian. Tragisnya, hukuman ini yang ia terima di akhir hidup, menjadi seorang tahanan rumah dan meninggal dalam kesepian. Penutup Liku-liku kepribadian Soekarno menunjukkan ada beberapa kelemahan pada dirinya. Lepas dari kekurangan-kekurangannya, ia adalah orang besar. Kekurangan yang dimiliki adalah kekurangan yang sangat wajar dimiliki oleh manusia. Namun, kelebihannya dan cara mengatasi kekurangannya merupakan hal yang luar biasa. Ia mampu melampaui banyak orang dengan kelebihannya. Analisis ini sekadar menunjukkan bahwa sebagai manusia biasa, file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Bes...g%20Kesepian%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (9 of 11)4/3/2005 11:04:51 AM
Bung Besar, Ideolog yang Kesepian -- Jumat, 1 Juni 2001
Soekarno memiliki kelemahan, tetapi bukan untuk mengecilkan arti sebagai manusia dengan segudang prestasi. Soekarno tetap layak menjadi orang yang dipuji, dihormati, dan dikenang selalu baik sebagai orang yang berjasa mendirikan Republik Indonesia maupun sebagai pribadi yang selalu terus berusaha mencapai kebaikan bagi dirinya dan orang lain. * Bagus Takwin Pengajar psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
●
● ●
● ● ● ● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda Tjipto-Soetatmo-Soekarno Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan Ziarah Kubur Bung Karno Soekarno di Masa Krisis PDRI Dunia MenurutSang Putra Fajar Bung Karno di Bawah Bendera Jepang Bung Karno, Seni, dan Saya
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Bes...g%20Kesepian%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (10 of 11)4/3/2005 11:04:51 AM
Bung Karno di Bawah Bendera Jepang -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Bung Karno di Bawah Bendera Jepang Aiko Kurasawa MENGAPA Soekarno, Bung Karno, memutuskan bekerja sama dengan Jepang pada waktu Indonesia diduduki oleh tentara Jepang? Riwayatnya bagaimana? Pada waktu tentara Jepang masuk Indonesia, pada awal tahun 1942, Bung Karno ada di Sumatera. Dia dibuang oleh Belanda, pertama ke Ende, Flores, lalu ke Bengkulu. Dia sudah 13 tahun dibuang ke luar Jawa dengan istrinya, Ny Inggit Garnasih. Riwayat Bung Karno bertemu dengan utusan tentara Jepang dan dibawa kembali ke Jawa yang ditulis dalam otobiografinya, mengisahkan, waktu ada kabar tentara Jepang akan segera mendarat di Sumatera, petugas Belanda datang ke rumah Bung Karno di Bengkulu. Mereka memutuskan membawa Bung Karno ke Padang, dan dari sana membawanya ke Australia bersama dengan petinggi Belanda. Belanda mungkin takut Bung Karno akan dimanfaatkan oleh Jepang. Agar tidak diketahui Jepang yang sudah mendekati pantai barat Sumatera, Bung Karno dan istrinya, disuruh jalan kaki di dalam hutan menuju ke Padang. Beberapa hari kemudian mereka keluar dari hutan, naik bus ke Padang. Waktu itu situasi Kota Padang sangat kacau, dan kebanyakan orang Belanda sudah lari. Ternyata sudah tidak ada kapal lagi yang bisa membawa Bung Karno ke Australia, artinya Bung Karno ditinggalkan Belanda. Dan, menurut Bung Karno, itulah kesalahan besar Belanda. Dia memutuskan tinggal di Padang, menumpang di rumah teman. Seminggu kemudian, tentara Jepang memasuki kota ini. Suatu hari, seorang perwira tentara Jepang, Kapten Sakaguchi dari Barisan Propaganda, mendatangi tempat tinggal Bung Karno. Menanyakan kondisinya. Mereka berkomunikasi dalam bahasa
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...era%20Jepang%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 11)4/3/2005 11:04:52 AM
Bung Karno di Bawah Bendera Jepang -- Jumat, 1 Juni 2001
Perancis. Dan Sakaguchi mengundang Bung Karno ke Bukittinggi, Markas Besar Angkatan Darat Jepang Ke-25. Bung Karno dibawa ke sana dan dipertemukan dengan Kolonel Fujiyama. Beberapa minggu lewat, tanpa kemajuan apa-apa. Lantas ada perintah dari Jawa agar Bung Karno dipulangkan ke Jakarta. Tentu saja Bung Karno senang sekali, dan pada bulan Juli 1942-empat bulan sesudah penjajahan militer Jepang dimulai-Bung Karno dan istrinya kembali ke Jakarta dengan naik kapal dari Palembang. Dalam memoar Jenderal Imamura, Panglima Besar Pertama Angkatan Darat Jepang Ke-16 yang menduduki Pulau Jawa, ada cerita tentang pemulangan Bung Karno itu. Pada suatu hari, pemerintahan militer Jepang menerima permintaan dari pemudapemuda Indonesia agar Jepang membebaskan Bung Karno yang sedang dibuang di Bengkulu. Barisan Propaganda (Sendenbu) Jepang di Jawa yang waktu itu dipimpin Letkol Keiji Machida, mempertimbangkan dampaknya. Ia menyimpulkan, Bung Karno sangat berguna. Ia pun memerintahkan agar mencari Bung Karno di Sumatera. Mungkin di situlah Kapten Sakaguchi, atas perintah dari Jakarta, mencari Bung Karno. Pembesar-pembesar Nanpo Sogun (Markas Besar Tertinggi di Daerah Selatan) yang ada di Singapura waktu itu, ragu-ragu. Mereka khawatir munculnya dampak negatif pembebasan Bung Karno. Bung Karno dianggap sebagai seorang nasionalis yang sangat fanatik. Sebaliknya, Jenderal Imamura tidak peduli, dan menyetujui keputusannya Sendenbu. Menurut catatan Jenderal Imamura, tidak lama sesudah Bung Karno kembali ke Jawa, Bung Karno minta bertemu Imamura. Tentu saja Jenderal Imamura setuju, dan Bung Karno diterima. Kepala Barisan Propaganda Letkol Keiji Machida memberi keterangan sedikit lain. Menurut dia, pertemuan itu diselenggarakan atas prakarsa Barisan Propaganda. Agar pertemuan itu bisa diterima oleh Jenderal Imamura, Machida memakai pelukis Basuki Abdullah sebagai alasan. Basuki Abdullah dikirim untuk melukis Jenderal Imamura, sedangkan Bung Karno dan Bung Hatta mendampingi. Letkol Machida pun mengatakan, Bung Karno adalah saudara Basuki Abdullah. Dalam memoar Jenderal Imamura, diceritakan juga tentang seorang pelukis yang bernama Basuki Abdullah yang pernah melukis Imamura. Menurut ingatannya, pelukis itu adalah saudara Soekarno. Saya tidak mengerti kenapa Machida harus memakai alasan demikian. Mungkin saja alasannya sederhana, Machida khawatir file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...era%20Jepang%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 11)4/3/2005 11:04:52 AM
Bung Karno di Bawah Bendera Jepang -- Jumat, 1 Juni 2001
pertemuan panglima Jepang dan pemimpin Indonesia itu dan saya kurang yakin apakah pertemuan itu adalah pertemuan pertama antara Bung Karno dan Imamura. Bukti terjadinya pertemuan adalah sebuah foto Jenderal Imamura dengan Basuki Abdullah, Bung Karno, Bung Hatta, dan Machida yang memegang lukisan Imamura hasil karya Basuki Abdullah. Kejadian ini sangat menarik, sebab pelukis yang terkenal itu pernah melukis Panglima Besar Tentara Jepang. Tentang Bung Karno, Jenderal Imamura punya kesan sebagai sosok yang tenang, santun, bicaranya sopan. Juru bahasa yang dipakai pada waktu itu adalah seorang pemuda Jepang yang lahir di Kalimantan dan dididik di sekolah Belanda. Meskipun umurnya baru 18 tahun, kemampuan bahasanya sangat baik. Pada pertemuan pertama itu, Jenderal Imamura menanyakan apakah Bung Karno siap bekerja sama dengan Jepang. Menurut Imamura, ia tidak mekso. Dia memberi pilihan antara "bekerja sama" atau "bersikap netral". Dia hanya mengatakan kalau Bung Karno menentang Jepang, terpaksa akan dipakai cara-cara kekerasan. Jenderal Imamura juga tidak menjanjikan kemerdekaan, karena Pemerintah Jepang masih punya rencana untuk menguasai terus Indonesia. Imamura hanya berjanji, akan meningkatkan situasi keamanan dan memperbaiki kedudukan bangsa Indonesia. Catatan Bung Karno tentang pertemuan dengan Jenderal Imamura tidak bertentangan dengan tulisan Imamura. Katanya, Imamura tidak memaksa Bung Karno bekerja sama dengan Jepang. Imamura juga tidak pernah menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Imamura mengatakan, semua keputusan tergantung pada kaisar, bahkan dia pun tidak tahu bagaimana status Indonesia di kemudian hari. Sesudah pertemuan dengan Imamura, Bung Karno berunding dengan teman-temannya selama beberapa hari. Akhirnya diputuskan untuk bekerja sama dengan Jepang. Sesuai dengan otobiografinya, maksud pertama Bung Karno bukan untuk "membantu" Jepang, tetapi "memanfaatkan" kesempatan itu untuk memperbaiki nasib bangsa Indonesia. Memang besar risikonya, tetapi Bung Karno mungkin merasa yakin bisa mengatasinya. Bung Karno memperkirakan tentara Jepang tidak akan tinggal lama di Indonesia. Mereka nanti akan segera kalah. Oleh karena, itu dia pikir sebaiknya tidak menentang Jepang secara terbuka. Kerja sama pemimpin Filipina dengan Jepang pun mungkin jadi pertimbangan Bung Karno. Meskipun situasi Filipina berbeda dengan Indonesia, tetapi Filipina sudah diberi otonomi oleh Ame-rika sejak file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...era%20Jepang%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 11)4/3/2005 11:04:52 AM
Bung Karno di Bawah Bendera Jepang -- Jumat, 1 Juni 2001
tahun 1936, dan sudah dijanjikan diberi kemerdekaan penuh pada tahun 1946. Harapan itu dihancurkan oleh masuknya tentara Jepang. Presiden Quezon melarikan diri bersama pasukan Amerika, sambil memerintahkan kepada anak buahnya agar berpura-pura kerja sama dengan Jepang demi keselamatan bangsa. Mereka yang bekerja sama dengan Jepang antara lain adalah Jose P Laurel-ayah mantan Wakil Presiden Laurel-dan Benigno S Aquino-ayah almarhum Benigno Aquino Junior-sekaligus mertua mantan Presiden Cora-zon Aquino. Waktu Amerika kembali dan menguasai Filipina, para pemimpin Filipina yang bekerja sama dengan Jepang dituntut sebagai pengkhianat dan diadili. Tetapi, sesudah Filipina mendapat kemerdekaan penuh pada tahun 1946, proses pengadilan mereka dihentikan. Dengan kata lain, pemimpin pemerintahan baru mengerti kenapa mereka terpaksa bekerja sama dengan Jepang. (2) Bung Karno dalam film Jepang Bung Karno diberi tugas memimpin organisasi rakyat, seperti Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan Jawa Hokokai. Ia juga diberi tugas memberikan ceramah dan pidato untuk membangkitkan rasa benci terhadap Belanda dan rasa nasionalisme yang sudah lama ditindas Belanda. Dia sering menjadi "bintang film" dalam propaganda Jepang. Pada zaman pendudukan Jepang, film adalah media yang sangat menonjol sebagai sarana komunikasi. Tentara Jepang mempelajari strategi itu dari Nazi dan membuat banyak film propaganda dan film berita. Pada waktu itu, angka buta huruf di kalangan rakyat Indonesia masih tinggi. Oleh karena itu, film yang sifatnya audio-visual, lebih mudah dimengerti dan punya dampak lebih besar daripada media cetak. Kantor cabang sebuah perusahaan film Jepang, Nippon Eigasha, dibuka di Jakarta. Dan mereka setiap bulan meluncurkan dua film berita dan dua film "budaya" (istilah terjemahan dari bahasa Jerman, artinya hampir sama dengan film dokumenter yang dibuat untuk maksud pendidikan dan propaganda). Bung Karno sendiri dimasukkan hampir setiap bulan, baik dalam film berita maupun film budaya. Dalam film-film itu ia menyampaikan pidato yang cukup panjang. Suara dan wajah Bung Karno ditayangkan dan tersebar ke seluruh Pulau Jawa dalam film 35 mm. Filmnya diputar tidak hanya di gedung bioskop di kota, tetapi juga dibawa ke seluruh pelosok oleh Barisan Propaganda dan diputar di lapangan. Penduduk diajak nonton secara gratis. Meskipun Bung Karno sudah sangat terkenal di antara kaum intelektual, tetapi belum dikenal di kalangan rakyat biasa. Dengan film-film itu mereka mulai mengenal wajah dan suara Bung Karno.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...era%20Jepang%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 11)4/3/2005 11:04:52 AM
Bung Karno di Bawah Bendera Jepang -- Jumat, 1 Juni 2001
Rakyat mulai tertarik pada pidato Bung Karno yang isinya membangkitkan rasa nasionalisme Indonesia. Padahal, sebenarnya Jepang meminta Bung Karno menyampaikan pidato yang menggerakkan rakyat untuk bekerja sama dengan Jepang demi kepentingan usaha peperangan Asia Timur Raya. Bung Karno ternyata berhasil agak mengesampingkan "pesan sponsor" itu. Dalam usaha menggerakkan hati rakyat, dia hati-hati memilih kosakata yang tidak berbau fasisme, dan menghindari kosakata yang mementingkan kepentingan Jepang. Di lain pihak, dia juga pintar. Dia tidak memakai kosakata yang menyinggung perasaan tentara Jepang. Misalnya, dia selalu memakai istilah kesejahteraan, kebahagiaan dan kemuliaan bangsa, sebaliknya tak pernah memakai istilah "kemerdekaan" bangsa sebelum September 1944. Menarik sekali menganalisis isi pidato Bung Karno. Berikut ini beberapa contoh pidato Bung Karno yang pernah ditayangkan melalui film. Contoh 1: "Marilah kita bekerja bersama-sama agar supaya lekas tercapai citacita kita bersama, yaitu Asia Raya." (Yaeshio, 1942). Dia sering memakai istilah "Asia Raya". Konotasi kata ini ambigu. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tidak selalu berarti fasisme Jepang, tetapi Asia yang raya atau "Asia untuk bangsa Asia". Contoh 2: "Masyarakat baru yang kita sedang susun itu, tak mungkin kekal kalau kita tidak mencapai kemenangan akhir, karena itu marilah kita taruhkan perjuangan ini sampai ke ujung-ujungnya, tahanlah menderita, tahanlah kesukaran. Kebesaran kita tidak dapat kita capai di atas kasur bantalnya kesenangan, kebesaran kita itu hanyalah kita bisa capai di dalam api unggunnya perjuangan." (Menoedjoe ke Arah Mengambil Bagian Pemerintahan Dalam Negeri, Oktober, 1943). Pidato ini, berjudul Upacara Pembukaan Chuo Sangiin, hanya menyinggung saja perjuangan bangsa Indonesia dan tidak berbau fasisme dan militerisme Jepang. Contoh 3: "Kita harus... mengulangi di dalam hati kita, bulatkan di dalam hati kita, bahwa peperangan sekarang ini bukanlah hanya peperangan Dai Nippon saja, tetapi adalah peperangan kita pula, peperangan
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...era%20Jepang%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (5 of 11)4/3/2005 11:04:52 AM
Bung Karno di Bawah Bendera Jepang -- Jumat, 1 Juni 2001
seluruh Benua Asia, baik dari rakyat Indonesia maupun Filipina, maupun Burma, maupun Thai, maupun Tiongkok, maupun Manchukuo. Seluruh rakyat di Benua Asia ini adalah ikut berperang. Pada tanggal 8 Maret yang lalu, di lapangan Ikada ini pula, saya telah gemblengkan di dalam kamu punya hati semuanya, bahwa kamu semuanya, kita semuanya adalah ikut berperang. Bung Karno ikut berperang! Bung Hatta ikut berperang! Kusumo Utoyo ikut berperang!" (Jawa News, No 15 Oktober 1943). Apa yang dimaksud dalam pidato ini adalah solidaritas bangsa Asia menghadapi kekuatan Barat. Bung Karno menginterpretasi perang Jepang sebagai perang bangsa Asia sendiri, dan menganggap Amerika dan Inggris sebagai musuhnya sendiri. Agitasi anti-Barat bisa dilihat dalam pidato berikut yang disampaikan pada bulan April 1943. Contoh 4: "Saudara-saudara, musuh kita yang terbesar yang selalu merusakkan keselamatan dan kesejahteraan Asia dan juga merusakkan keselamatan dan kesejahteraan Indonesia ialah Amerika dan Inggris. Oleh karena itu di dalam peperangan Asia Timur Raya ini, maka segenap kita punya tenaga, segenap kita punya kemauan, segenap kita punya tekad harus kita tujukan kepada hancur-leburnya Amerika dan Inggris itu. Selama kekuasaan dan kekuatan Amerika dan Inggris belum hancur-lebur, maka Asia dan Indonesia tidak bisa selamat." Karena itu, semboyan kita sekarang ini ialah, "Hancurkan kekuasaan Amerika. Hancurkan kekuasaan Inggris. Amerika kita setrika, Inggris kita linggis!" (ulang tiga kali) (Jawa News, No 2 April 1943). (3) Pernikahan dengan Fatmawati Di satu pihak, zaman Jepang adalah zaman berjuang dalam berbagai kesulitan sebagai seorang nasionalis, tetapi zaman ini juga merupakan zaman sangat bahagia untuk kehidupan pribadi Bung Karno. Dia akhirnya memutuskan hubungan perkawinan dengan Inggit Garnasih dan menikah lagi dengan Fatmawati. Bung Karno jatuh cinta pada Fatmawati, salah seorang murid Bung Karno sewaktu mengajar di sekolah Muhammadiyah di Bengkulu. Inggit adalah istri yang membantu dan memberi dukungan pada Bung Karno selama 20 tahun dalam masa susah dan penuh penderitaan. Ny Inggit adalah pembuka jalan bagi Bung Karno
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...era%20Jepang%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (6 of 11)4/3/2005 11:04:52 AM
Bung Karno di Bawah Bendera Jepang -- Jumat, 1 Juni 2001
menjadi pahlawan dan pemimpin bangsa. Tanpa bantuannya, Bung Karno tidak bisa mendapatkan kedudukan itu. Sedangkan perpisahan itu diawali dengan perselisihan dengan Ny Inggit yang sudah dinikahi selama 20 tahun, tidak juga melahirkan anak. Padahal, Bung Karno ingin punya anak. Akan tetapi, karena Ibu Inggit tidak setuju Bung Karno punya istri kedua, padahal Bung Karno ingin punya anak, akhirnya ia menceraikan Ny Inggit dan menikahi Ny Fatmawati pada Juni 1943, kurang lebih setahun setelah Bung Karno kembali ke Jawa. Pada waktu itu, secara kebetulan Bung Karno sedang menghadapi berbagai persoalan di bidang politik. Gerakan Putera tidak berjalan baik dan diancam dibubarkan, kemerdekaan untuk Burma (kini Myanmar) dan Filipina diumumkan, tetapi Indonesia tidak diberi kesempatan. Bung Karno sangat kecewa atas keputusan Jepang itu. Bung Karno berhasil mengatasi kesulitan dan kekecewaan itu berkat kegembiraan dalam kehidupan pribadinya. Tidak lama kemudian foto Fatmawati dimuat di halaman depan majalah Jawa Baru edisi tanggal 1 Januari 1944, yang tentu saja mengejutkan bangsa Indonesia. Dalam foto itu Ibu Fatmawati mengenakan kimono-pakaian tradisional Jepang-hadiah istri Perdana Menteri Tojo yang diberikan ketika Bung Karno mengunjungi Jepang pada bulan November 1943. Selama satu tahun masih sebagai istri Bung Karno di bawah bendera Jepang, setahu saya, foto Inggit tidak pernah dimuat dalam majalah atau koran Jepang. Ny Inggit tidak pernah muncul di muka umum. Pada tahun 1944, anak pertama Bung Karno, Guntur, lahir. Betapa besar kebahagiaan Bung Karno dan Ny Fatmawati. Panglima Besar Jepang memberi nama Jepang kepadanya, yaitu "Osamu". Osamu adalah kode Angkatan Darat Ke-16 yang menduduki Jawa, yang artinya "memerintah". Kebetulan pada waktu itu ada seorang bidan wanita Jepang, yang dikirim ke Indonesia untuk membantu Jawa Hokokai dan Fujinkai. Bidan ini-namanya Sanko Sakigawa-sangat akrab dengan Bung Karno. Oleh karena itu, Bung Karno segera memperlihatkan bayinya kepada Sakigawa, sekaligus meminta nasihat tata cara mengasuhnya. (4) Pergaulan dengan orang Jepang Pemerintahan militer Jepang tidak terlalu mencampuri ke-giatan dan upaya Bung Karno menggerakkan massa. Hal itu mungkin disebabkan Bung Karno berhasil meyakinkan petinggi Jepang tentang kesetiaannya terhadap Jepang. Dalam pergaulan sehari-hari dengan orang Jepang, dia terlihat cukup sabar, sopan, dan ramah. file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...era%20Jepang%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (7 of 11)4/3/2005 11:04:52 AM
Bung Karno di Bawah Bendera Jepang -- Jumat, 1 Juni 2001
Akhirnya terbangun kepercayaan orang Jepang terhadap Bung Karno. Bung Karno sendiri menulis dalam otobiografinya, "Tentara Jepang tidak pernah percaya saya penuh", tetapi setahu saya, Bung Karno belum pernah dicurigai oleh pihak Jepang, sedangkan Moh Hatta sering dilihat dengan mata kecurigaan sehingga akhirnya pernah ada rencana tentara Jepang membunuhnya di Puncak Pass atau menahan dia di Jepang pada waktu dia mengunjungi ke Jepang bersama Soekarno pada bulan November 1943. Ada episode yang membuktikan betapa pihak Jepang memberi arti penting bagi sosok Bung Karno. Sewaktu Bung Karno mengunjungi Jepang dan bertemu dengan Kaisar Hirohito pada bulan November 1943, Kaisar menjabat tangan Bung Karno. Padahal, menurut kebiasaan Kerajaan Jepang, kaisar hanya berjabat tangan dengan seorang kepala negara. Artinya perlakuan kepada Bung Karno itu sangat istimewa. (5) Sikap keras Bung Karno Meskipun demikian, Bung Karno kadang-kadang mengambil sikap keras terhadap Jepang. Sesudah janji "kemerdekaan di kemudian hari"diumumkan pada September 1944, Bung Karno menangis dengan gembira bersama kawan-kawan Jepang. Tetapi, lamakelamaan dia tahu pemerintahan militer Jepang tidak serius dan tidak segera mengambil langkah-langkah realisasi-enam bulan bulan lewat tanpa kebijakan apa-apa-Bung Karno tidak bisa sabar lagi. Dengan keras ia meminta petinggi Jepang segera bertindak. Sikap Bung Karno begitu keras sehingga Miyoshi-seorang pejabat Gunseikanbu-khawatir akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan kalau tidak diambil tindakan sebelum 9 Maret 1945-hari ulang tahun keempat Jepang menduduki Indonesia. Dengan demikian, pada hari itu diumumkan akan dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), meskipun di pihak Jepang belum ada konsensus dengan para panglima yang menduduki pulau-pulau lain di Indonesia. Ada satu episode yang menceritakan kekerasan sikap Bung Karno. Suatu hari sesudah De-klarasi Koiso, dia mengirim sebuah surat kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Jepang. Surat itu sampai ke asrama mahasiswa Kokusai Gakuyukai di Tokyo pada tanggal 24 September 1944. Menurut Kusnaeni, yang waktu itu belajar di Jepang, Bung Karno menulis, Perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia lebih penting daripada janji Jepang. Bung Karno tak lagi menaruh harapan pada Deklarasi Koiso, karena dia merasa kemerdekaan bukan suatu barang yang akan diberi, tetapi harus direbut dengan perjuangan.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...era%20Jepang%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (8 of 11)4/3/2005 11:04:52 AM
Bung Karno di Bawah Bendera Jepang -- Jumat, 1 Juni 2001
Menyambut hadirnya BPUPKI, Bung Karno mengambil prakarsa aktif. Dalam waktu singkat menyediakan bahan Piagam Jakarta, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar. Dia sering mendesak kawankawan lain dengan mengatakan "Indonesia merdeka selekaslekasnya" dan "Indonesia merdeka sekarang juga". Dia mengatakan, "Kemerdekaan itu tampaknya seperti perkawinan. Siapakah yang menunggu sampai gajinya naik, sampai, katakanlah, 500 gulden, dan menunggu sampai rumah yang dibangunnya selesai?" Dalam perhitungan Bung Karno, Jepang mulai memihak bangsa Indonesia sejak setuju pembentukan BPUPKI. Menu-rut Bung Karno, Dai Nippon Teikoku (Kerajaan Jepang Raya) dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia tidak lebih daripada peranan seorang bidan, dan yang mengambil kemerdekaan haruslah bangsa Indonesia sendiri. Dia merasa menang dalam "judi". Dan di sanalah mulai terjadi kemenangan untuk Indonesia. (6) Bung Karno dalam kenangan teman Jepang Saito Shizuo, pegawai tinggi Gunseikanbu dan Duta Besar Jepang di Indonesia tahun 1961-1966 menilai Bung Karno adalah cooperator, tetapi bukan pengagum Jepang. Dia menilai Bung Karno selalu memilih solusi yang praktis dan menghindari bertabrakan dengan Jepang. Sesudah Indonesia merdeka, Bung Karno masih mempertahankan persahabatan dengan orang-orang Jepang yang pernah memperlihatkan simpati terhadap bangsa Indonesia. Menurut Jenderal Imamura, sewaktu dia ditahan Belanda di Cipinang sebagai penjahat perang dengan ancaman hukuman mati, Soekarno diamdiam menyampaikan pesan melalui pegawai Cipinang tentang rencana menculik dan merebutnya ke tangan Republik Indonesia. Saya tidak tahu apakah rencana ini betul-betul berasal dari Soekarno yang memimpin Pemerintah RI di Yogyakarta waktu itu, atau berasal dari orang lain. Menurut catatan Nishijima, anak buah Laksamana Maeda dan yang juga hadir dalam rapat persiapan Naskah Proklamasi di rumah Maeda pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Bung Karno memberi perhatian kepada nasib Maeda yang kurang baik di masa pascaperang. Dan pernah pada tahun 1950, ia menawarkan sumbangan mobil atau uang yang memadai kepada Maeda. Akhirnya sumbangan itu berbentuk uang yang diberikan kepada Maeda. Lalu, pada tahun 1958, ketika Bung Karno mengunjungi Jepang pertama kali sesudah perang, ia pun menengok Maeda yang sedang sakit.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...era%20Jepang%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (9 of 11)4/3/2005 11:04:52 AM
Bung Karno di Bawah Bendera Jepang -- Jumat, 1 Juni 2001
Bung Karno adalah orang yang tidak melupakan bantuan dan simpati yang pernah diberikan dalam situasi sulit. Bung Karno menghargai bantuan beberapa orang Jepang yang memberi kesempatan membuka jalan ke arah Indonesia merdeka. Saya, sama sekali tidak percaya pada teori bahwa pendudukan Jepang memberi jalan ke Indonesia merdeka, atau Jepang menduduki Indonesia untuk memerdekakan Asia. Tetapi, saya juga tidak membantah kenyataan bahwa beberapa orang Jepang dalam kapasitas pribadi menunjukkan simpati pada rakyat Indonesia. Dan, mungkin Bung Karno menangkap maksud baik mereka, dan selalu berusaha membalas budi. * Aiko Kurasawa Pengajar di pascasarjana Keio University, doktor ilmu sejarah politik dari Universitas Cornell (1987) dengan disertasi "Mobilisasi dan Kontrol" di Indonesia.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
●
● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda Tjipto-Soetatmo-Soekarno Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...era%20Jepang%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (10 of 11)4/3/2005 11:04:52 AM
Bung Karno, Arsitek-seniman -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Bung Karno, Arsitek-seniman Eko Budihardjo PENDIDIKAN kesarjanaan Bung Karno sebetulnya adalah Teknik Sipil, yang diraihnya di Institut Teknologi Bandung. Namun, perhatiannya terhadap dunia perancangan arsitektur sungguh luar biasa. Pandangannya sangat jauh ke depan, lebih jauh ketimbang tokoh-tokoh lain pada zamannya. Banyak sekali karya arsitektur di Jakarta yang sekarang menjadi kebanggaan bangsa, sebagai tetenger atau landmark, yang bersumber dari gagasan-gagasannya yang brilyan. Memang, bukan Bung Karno sendiri secara pribadi yang merancang, tetapi cetusan idenya yang orisinal dan otentik itulah yang menjadi jiwa atau semangat dari karya-karya arsitektur yang bermunculan. Siapa yang tidak kenal dan tidak kagum dengan Monas atau Monumen Nasional, yang sudah menjadi trademark dan landmark-nya Jakarta, bahkan bisa disebut sebagai tetenger-nya Indonesia. Mirip seperti Eiffel-nya Kota Paris (Perancis), Patung Liberty-nya New York (Amerika Serikat), atau Open House-nya Sydney (Australia). Sampai saat ini, Monas dan lingkungan atau ruang terbuka di sekitarnya masih juga terlihat sebagai kawasan yang amat bermartabat, menumbuhkan rasa bangga sebagai warga (civic pride). Sebagai suatu ruang publik yang dapat dinikmati oleh segenap warga kota maupun pendatang, menyiratkan suasana demokrasi dan keterbukaan. Monas dengan Lapangan Merdekanya yang luas dapat disebut sebagai oase, bahkan mungkin malah surganya kota, mengacu pada pendapat seorang pakar bahwa park is urban paradise. Arsitek-seniman Sepanjang pengetahuan saya, Bung Karno adalah seorang insinyur sipil yang memiliki jiwa arsitek dan seni budaya dengan kadar yang tinggi. Bahkan bisa dikatakan lebih arsitek ketimbang arsitek yang sesungguhnya. Sangat jarang pimpinan negara yang memiliki file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Karno...rsitek-seniman%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 5)4/3/2005 11:04:53 AM
Bung Karno, Arsitek-seniman -- Jumat, 1 Juni 2001
perhatian besar pada dunia arsitektur. Boleh saja George Pompidou dari Perancis bangga dengan Pompidou Center-nya di Kota Paris, yang dikenal sebagai salah satu karya arsitektur berciri Post-Modern. Namun, ditilik dari keberagaman karya yang digagas oleh Bung Karno, tampak jelas bahwa Bung Karno jauh lebih unggul sebagai negarawan yang juga arsitek dan seniman sekaligus. Bukan hanya karya arsitektur yang berupa gedung-gedung atau monumenmonumen saja yang menjadi bidang gulat dan perhatiannya. Patungpatung, taman-taman, kawasan, bahkan sampai-sampai skala kota pun digagas dan direalisasikan. Patung Pembebasan Irian Ja-ya, Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Patung Pancoran, Patung Pak Tani di Menteng dan lain-lain, semua itu dibangun pada zaman Presiden Soekarno. Dari kacamata perkotaan, kehadiran patung-patung yang beraneka ragam itu betul-betul menyiratkan keindahan kota sebagai suatu karya seni sosial (a social work of art). Bisa menjadi titik referensi agar kita tahu sedang ada di mana, supaya tidak kehilangan arah. Taman Merdeka di seputar Monas dan kawasan pusat olahraga dengan ruang terbuka yang begitu luas di Senayan, merupakan warisan Bung Karno yang layak kita syukuri bersama. Dalam skala yang lebih makro, sebagai seorang presiden yang berwawasan nasional, tidak berpikir sempit, memikirkan kemungkinan memindahkan ibu kota negara kita dari Jakarta ke luar Jawa. Kalau tidak salah lokasi Palangkaraya di Kalimantan Tengah yang dipilih sebagai salah satu alternatif, dan kemudian mulai dirancang serta terus dibangun. Sayang sekali, karena berbagai kendala gagasan terobosan yang inovatif itu tidak terlaksana. Kendati begitu, toh, Kota Palangkaraya ternyata berkembang dengan baik sampai sekarang. Senang sayembara Yang tidak kalah menarik dari Bung Karno dalam kiprahnya sebagai seorang arsitek adalah bahwa beliau sangat senang dengan karyakarya unggulan yang dihasilkan melalui sayembara. Monas yang terbangun sekarang pun semula adalah hasil sayembara. Menurut tokoh arsitek senior Prof Ir Sidharta, pemenang pertamanya dulu tidak ada, pemenang kedua adalah arsitek Friedrich Silaban (sudah almarhum) dan pemenang ketiga adalah tim mahasiswa dari ITB. Rancangan yang memenangkan sayembara tersebut kemudian dikolaborasi oleh tim arsitek Istana (kalau tidak salah di bawah pimpinan Soedarsono) dengan beberapa perubahan sehingga terbangun seperti yang tampak sekarang ini. file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Karno...rsitek-seniman%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 5)4/3/2005 11:04:53 AM
Bung Karno, Arsitek-seniman -- Jumat, 1 Juni 2001
Prinsip bahwa karya terbaiklah yang dipilih dan disetujui untuk dibangun, antara lain melalui proses sayembara, merupakan suatu prinsip yang dewasa ini banyak ditinggalkan oleh para pejabat. Tidak heran bila yang banyak bermunculan di kota-kota besar di Indonesia adalah bangunan-bangunan yang termasuk kategori junk architecture atau arsitektur sampah. Orang-orang itu lupa bahwa kaidah paling dasar dari suatu karya arsitektur masih tetap saja seperti yang dicanangkan Vitruvius ratusan tahun yang silam, yaitu utilitas (fungsi atau kegunaan), firmitas (konstruksi atau kekokohan), dan venustas (estetika atau keindahan). Nah, aspek terakhir yang menyangkut estetika atau keindahan itulah yang tak pernah dilupakan oleh Bung Karno. Begitu pula ketika muncul gagasan Bung Karno untuk menyelenggarakan Conference of the New Emerging Forces (Conefo) lantas dirancang gedung pertemuan yang sekarang menjadi Gedung MPR/DPR, dengan perancang dan pembangun antara lain Ir Sutami, Ir Soejoedi, dan Ir Nurpontjo. Dari kisah itu terlihat bahwa gagasan dan pemikiran Bung Karno sejak dulu sudah mengglobal. Globalisasi baginya bukan sekadar slogan kosong, melainkan sudah diaktualisasikan dalam kiprahnya sehari-hari. Tak berpikir sempit Mengenai perencanaan atau arsitek yang dipilihnya, asal memang kompeten, tak peduli dari mana asalnya atau apa agamanya, selalu ada peluang dia pilih untuk mengaktualisasikan gagasangagasannya dalam wujud nyata. Manakala Friedrich Silaban terpilih untuk merancang Gedung Pola, barangkali bukanlah berita. Tetapi, kalau Silaban yang sama, notabene seorang Kristen, terpilih untuk merancang Masjid Istiqlal kebanggaan kita semua, bukankah itu merupakan berita yang mestinya mengejutkan? Gedung Hotel Indonesia sebagai gedung jangkung pertama di Kota Jakarta, saya dengar dirancang oleh Sorensen, seorang arsitek Swedia. Patung Tani di Menteng juga bukan karya seorang pribumi melainkan karya pematung mancanegara. Artinya, Bung Karno bukanlah tokoh yang primordial, chauvinistic berpikir sempit, melainkan sebaliknya. Dan, yang tidak kalah membanggakan adalah bahwa pemikiran dan gagasannya pun dipakai juga di mancanegara. Ketika saya menunaikan ibadah haji pada tahun 1996, saya memperoleh informasi bahwa bangunan dua lantai tempat para jemaah haji melakukan sai (berjalan dan berlari dari bukit Safa ke file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Karno...rsitek-seniman%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 5)4/3/2005 11:04:53 AM
Bung Karno, Arsitek-seniman -- Jumat, 1 Juni 2001
Bukit Marwah pulang-pergi) dibangun atas saran Bung Karno. Semula bangunannya tidak bertingkat. Begitu jemaahnya setiap tahun bertambah, semakin berjubel padat, akibatnya sangat menyulitkan dan menyengsarakan bagi para jemaah. Usulan Bung Karno sebagai seorang insinyur sipil sungguh sangat tepat untuk mengatasi kesumpekan itu. Dalam suasana hiruk-pikuk perpolitikan yang penuh dengan manuver-manuver pertarungan kekuasaan yang amat keji dan mencekam seperti yang kita lihat dan kita rasakan akhir-akhir ini, sungguh amat kita rindukan tokoh negarawan seperti Bung Karno. Pemimpin negara yang tidak hanya tinggi kadar nasionalismenya, tetapi juga memiliki jiwa sebagai arsitek dan seniman yang berbudaya, menciptakan karya-karya nyata yang bermanfaat bagi bangsa. * Eko Budihardjo Ketua Dewan Pembina Persatuan Sarjana Arsitektur Indonesia dan Ketua Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia Cabang Jawa Tengah.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Karno...rsitek-seniman%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 5)4/3/2005 11:04:53 AM
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Maruli Tobing JANUARI 1965 mendung menyelimuti Jakarta. Rakyat letih dan cemas. Isu kudeta merebak di tengah inflasi meroket. Bahan-bahan kebutuhan pokok lenyap di pasaran. Setiap hari rakyat harus sabar berdiri dalam antrean panjang untuk menukarkan kupon pemerintah dengan minyak goreng, gula, beras, tekstil, dan kebutuhan lainnya. Rupiah nyaris tidak ada nilainya.Di hampir segala pelosok kota di Jawa, barisan pengemis menadahkan tangan, berharap orang lain mengasihani. Di pesisir selatan Jawa Tengah dan Timur, kelaparan mirip hama, merembet dari desa ke desa lainnya. Di Kabupaten Gunung Kidul, DIY, misalnya, ribuan penduduk berbondong-bondong meninggalkan desa menuju kota dengan berjalan kaki. Dalam eksodus dengan perut kosong itu, mereka memakan daun-daunan dan apa saja yang dilihat sepanjang jalan. Sedang rekannya yang tidak kuat menahan derita dan kemudian tewas, mayatnya ditinggal begitu saja. Inilah kondisi Republik Indonesia yang tercabik-cabik oleh pertikaian dan perang saudara. Sejak pengakuan kedaulatan, nyaris tidak ada hari dilalui tanpa konflik terbuka. Mirip kapal bocor di tengah terjangan badai dahsyat, republik yang baru belajar merangkak itu nyaris tenggelam. Bahkan, ketika babak-belur menghadapi agresi bersenjata Belanda, pecah Peristiwa Madiun (1948). Setelah itu gelombang badai perang saudara susul-menyusul menghantam republik. Di Jawa Barat, SM Kartosuwirjo memproklamirkan DI/ TII, diikuti oleh Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Di Maluku, mereka yang kecewa pada pemerintah pusat, bergabung dengan elemen-elemen eks tentara kolonial, membentuk RMS (Republik Maluku Selatan). Belanda ikut pula membantu persenjataan melalui Papua Barat. Belum lagi usai pemberontakan DI/TII dihadapi, muncul PRRI dan file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Ka...20Menuju%20G30S%20--%20Jumat,%201%20Juni%20.htm (1 of 13)4/3/2005 11:04:54 AM
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S -- Jumat, 1 Juni 2001
Permesta di Sumatera dan Sulawesi. Ketika gerakan pemberontak ini mulai dapat dipatahkan, Indonesia terseret dalam konfrontasi merebut Papua Barat, yang kemudian diberi nama Irian Jaya. Usai perhelatan besar ini, lahir pula konfrontasi menentang pembentukan federasi Malaysia tahun 1963. Semua ini menguras energi nasional. Pembangunan ekonomi terbengkalai. Kehidupan di berbagai sektor morat-marit. Namun bagi angkatan darat, keadaan ini membuka peluang untuk tampil sebagai garda republik. Mereka mentransformasikan organisasinya menjadi kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Bung Karno tidak mampu mengimbangi permainan Angkatan Darat, yang bergerak secara sistematis dengan roda organisasinya. Bung Karno sendiri bukannya tidak menyadari keadaan yang membahayakan itu. Namun, semangat revolusionernya yang tidak pernah pudar, yang dirumuskannya sebagai "maju terus pantang mundur," mengharuskan bekerja sama dengan Angkatan Darat. Tanpa dukungan angkatan bersenjata, khususnya Angkatan Darat, semangat itu tidak akan terdengar gaungnya, karena revolusi tidak dapat lepas dari konfrontasi dan sejenisnya. Sedang konfrontasi membutuhkan angkatan perang. Bagi Angkatan Darat di bawah Kolonel Nasution, inilah jembatan emas menuju puncak kekuasaan. Transformasi itu mencapai puncaknya pada periode Orde Baru. Atau seperti tulis Adam Schawarz dalam bukunya A Nation in Waiting, Indonesia in 1990's, mereka yang tadinya berada di bawah pemerintahan sipil, berbalik mendominasi sipil. ANGKATAN Darat sendiri sesungguhnya penuh dengan bisul konflik. Namun, dialihkan kepada sipil, hingga membuat citra sistem demokrasi parlementer mengalami degradasi. Jatuh-bangunnya kabinet menjadi bulan-bulanan. Bahkan dianggap sebagai membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Elite politik diidentikkan dengan pengacau. Sedang jajaran pejabat sipil dituding korup dan tidak becus mengurus pemerintah. Padahal nyaris tidak satu pun konflik yang membahayakan bangsa absen dari keterlibatan para perwira Angkatan Darat. Singkatnya, konflik bersenjata yang terjadi selama ini sebagai solusi terhadap masalah-masalah politik, baik itu Peristiwa Madiun, DI/TII, RMS, PRRI-Permesta, hingga G30S, tidak lepas dari konflik dalam tubuh angkatan perang Indonesia, khususnya Angkatan Darat. Bahkan gelombang perang saudara yang melanda Aceh dan Maluku, juga tidak luput dari intervensi sejumlah anggota militer.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Ka...20Menuju%20G30S%20--%20Jumat,%201%20Juni%20.htm (2 of 13)4/3/2005 11:04:54 AM
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S -- Jumat, 1 Juni 2001
Sebagai institusi, tindakan paling berani dilakukan pada 17 Oktober 1952. KSAD Kolonel AH Nasution marah setelah konsep reorganisasi dan rasionalisasi Angkatan Darat tidak didukung pemerintah. Selain mengerahkan 30.000 orang menuntut dibubarkannya kabinet, di depan Istana, perwira yang loyal kepada Nasution juga mengarahkan meriam ke Istana. Percobaan kudeta ini gagal, karena Bung Karno tidak mempan digertak. Sebaliknya, Nasution malah dipecat. Waktu itu pemerintah terpaksa menolak gagasan Nasution akibat munculnya protes dari para perwira eks Pembela Tanah Air (Peta). Dalam hal ini Nasution bukannya melakukan konsolidasi menyelesaikan masalah internal, sebaliknya justru mencari sasaran ke Istana. Sejak peristiwa itu, Angkatan Darat makin percaya diri. Apalagi setelah berhasil mendesak mundur Kabinet PM Ali Sastroamidjojo tahun 1955. Tanggal 15 November 1956, Kolonel Zukifli Lubis malah mencoba melakukan kudeta dengan menduduki Jakarta. Perwira yang loyal kepada Nasution itu berhasil menghempang masuknya beberapa batalyon pasukan Siliwangi ke Jakarta. Setahun kemudian, 30 November 1957, Saleh Ibrahim, ajudan Kolonel Lubis, mencoba membunuh Bung Karno dalam apa yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Cikini. Semua peristiwa itu bersumber pada konflik intern Angkatan Darat. Bung Karno mendukung penunjukan kembali Nasution sebagai KSAD pada tahun 1955. Ia menaruh harapan besar atas rencana reorganisasi dan rasionalisasi Nasution yang pernah ditolaknya. Tapi kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Konflik internal Angkatan Darat makin memanas. Para panglima militer di daerah malah mengambil alih pemerintahan dari tangan sipil, dan memberlakukan darurat perang. Puncaknya adalah PRRI-Permesta, 1958. Disadari atau tidak, harapan Bung Karno untuk "mengandangkan" Angkatan Darat dan menjauhinya dari kudeta militer, mirip suatu kemustahilan. Angkatan darat telanjur ikut dalam proses politik. Lantas jika muncul ambisinya untuk memperoleh kekuasaan politik lebih besar, jelas sulit untuk dihempang. Persoalannya, seperti kata Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia, Angkatan Darat lahir dari situasi perjuangan politik kemerdekaan. Embrionya adalah laskar-laskar yang dibentuk oleh masing-masing partai maupun organisasi politik. Faksi-faksi menjadi lumrah. Seperti halnya dalam politik, Angkatan Darat juga tidak bisa dilepaskan dari kegiatan bisnis.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Ka...20Menuju%20G30S%20--%20Jumat,%201%20Juni%20.htm (3 of 13)4/3/2005 11:04:54 AM
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S -- Jumat, 1 Juni 2001
Jika pendapat ini diformulasikan dalam suatu proposisi, maka sebaliknya adalah benar bahwa penolakan Angkatan Darat terhadap demokrasi parlemen tidak dapat dilepaskan dari substansi sistem parlementer, yang mustahil memberi tempat bagi hegemoni militer. Dengan konsep one men one vote saja, Angkatan Darat tidak akan pernah di atas sipil. Pendapat yang hampir sama dikemukakan Adam Schwarz. BUNG Karno yang sejak awal tidak menyukai sistem demokrasi parlementer, gusar setelah kabinet baru hasil Pemilu 1955, mengabaikan perintahnya agar PKI disertakan. PKI secara mengejutkan berhasil menempati urutan ke-4 dalam jumlah perolehan suara pada Pemilu 1955. Namun, Mohammad Hatta yang anti-PKI dan memandang sistem parlementer masih yang terbaik, merespons Bung Karno dengan mengundurkan diri sebagai wapres pada tanggal 1 Desember 1956. Mundurnya Hatta, meningkatnya perlawanan di daerah, dan pertarungan antar-elite politik di Jakarta, tidak membuat Bung Karno mundur. Tanggal 21 Februari 1957, secara resmi diumumkan Demokrasi Terpimpin berikut kabinet Nasakom (koalisi PNI, Masyumi, NU, dan PKI), didampingi Dewan Nasional sebagai penasihat. Dewan ini beranggotakan wakil-wakil golongan fungsional yang ada dalam masyarakat. Ada beberapa argumentasi Bung Karno menyertakan PKI. Antara lain agar partai ini ikut bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah. Selama ini kabinet hanya jadi bulan-bulanan PKI. Tapi di balik itu sesungguhnya Bung Karno ingin menciptakan kekuatan tandingan bagi Angkatan Darat untuk mencegah kudeta maupun konsentrasi kekuasaan yang berlebilihan. Bagi Bung Karno, PKI yang merupakan partai komunis ketiga terbesar di dunia dalam jumlah anggota, dapat pula dipakai mencegah subversi imperialis AS dan sekutu-sekutunya melalui solidaritas negara-negara sosialis. Sebaliknya PKI merasa aman di bawah payung Bung Karno. Sebagai balas budi, PKI merapatkan barisan mendukung kepemimpinan Bung Karno secara konsekuen, dan mengganyang mereka yang menentang Pemimpin Besar Revolusi. Kedekatan Bung Karno dengan PKI menimbulkan kejengkelan di kalangan Angkatan Darat dan juga parpol, khususnya Masyumi dan PKI. Tahun 1960 Nasution memerintahkan penangkapan Aidit dan anggota politbiro PKI lainnya. Namun, segera dibebaskan setelah intervensi Bung Karno. file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Ka...20Menuju%20G30S%20--%20Jumat,%201%20Juni%20.htm (4 of 13)4/3/2005 11:04:54 AM
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S -- Jumat, 1 Juni 2001
Dalam konteks Perang Dingin yang sedang mencapai titik didih ketika itu, sikap politik Bung Karno dipandang Presiden Eisenhower sebagai membahayakan kepentingan AS di Asia Tenggara. Terlebih lagi setelah PKI mendapat suara yang begitu besar dalam pemilu. Sedang sukses Konferensi Asia Afrika di Bandung adalah bukti Soekarno condong ke kiri. Maka jika awal 1950 Gedung Putih masih hati-hati menyikapi Bung Karno, setelah pertengahan 1950-an pendapatnya bulat, Bung Karno berbahaya. CIA, Dinas Intelijen AS, mulai menyusun rencana rahasia. CIA sendiri sebenarnya sudah sejak tahun-tahun sebelumnya bergerak di Indonesia. Tapi operasinya terbatas pada memberi dukungan dan bantuan keuangan bagi kelompok anti-PKI. Salah satu parpol yang anti-PKI dan anti-Bung Karno, pernah mendapat bantuan satu juta dollar AS. Dana yang ditransfer melalui Hongkong itu untuk membiayai kampanye Pemilu 1955. Peristiwa Cikini yang hampir menewaskan Bung Karno adalah indikasi perubahan sikap AS. Bung Karno sendiri menuding CIA dalangnya, walaupun sulit membuktikannya. Tapi tahun 1975 komisi yang diprakarsai Senator Frank Chuch mengusut kegiatan CIA, menemukan indikasinya. Di depan komisi ini, Richard M. Bissel Jr, mantan wakil direktur CIA pada masa pemerintahan Eisenhower, mengaku dinas intelijen pernah mempertimbangkan membunuh Bung Karno. Namun perencanaannya terbatas pada mengumpulkan aset yang memungkinkan untuk melaksanakannya. Bagi Eisenhower, tidak ada jalan lain kecuali menetralisasi (baca: meniadakan) Bung Karno, entah dengan cara apa pun. Sebab, jika Indonesia jatuh ke tangan komunis, Malaysia hanya tinggal menunggu waktu saja, kemudian Thailand dan negara-negara tetangganya. Kebijakan garis keras ini diteruskan oleh Presiden Kennedy dan Lyndon B Johnson. Tapi apa sesungguhnya yang membuat AS habis-habisan intervensi di wilayah RI tidak lebih dari upaya untuk mempertahankan kepentingan ekonomi dan geopolitiknya, karena kekayaan sumber alam Indonesia disebut menempati urutan kelima di dunia. Jepang, misalnya, sangat bergantung pada pasokan bahan bakar minyak dari Indoensia. Selain kepentingan ekonomi, posisi Indonesia yang strategis di jalur pelayaran internasional menjadi penting bagi geopolitik AS. "Vietnam dan negara tetangganya boleh jatuh ke tangan komunis, tapi kita tidak akan melepaskan Indonesia dengan taruhan apa pun," ujar Eisenhower dalam pidato awal 1950.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Ka...20Menuju%20G30S%20--%20Jumat,%201%20Juni%20.htm (5 of 13)4/3/2005 11:04:54 AM
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S -- Jumat, 1 Juni 2001
Tahun 1962, satu memorandum Presiden Kennedy dengan PM Inggris Macmillan, berisi kesepakatan untuk "melikuidasi" (baca: membunuh) Presiden Soekarno, jika ada peluang untuk itu. Tahun 1966, setahun setelah meninggalkan posnya sebagai duta besar AS di Jakarta, Howard Jones mengatakan, sedikitnya ada tiga kali percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno setelah Peristiwa Cikini. Semuanya hampir berhasil. Dalam bukunya Killing Hope, William Blumn malah menyebut, CIA dengan bantuan agen FBI di Los Angeles, membuat film cabul dengan pemeran pria mirip Bung Karno. Di situ dikisahkan, wanita kulit putih teman kencannya, ternyata agen Soviet yang sedang melakukan pemerasan. Mantan anggota CIA menambahkan, dinas intelijen AS pernah pula menyebarkan berita bohong mengenai tindakan tidak senonoh Bung Karno terhadap pramugari Soviet dalam suatu penerbangan. Semua ini, ujar Blumn, dimaksud untuk mendiskreditkan Bung Karno. Namun tidak berhasil, karena rakyat Indonesia masih mencintai pemimpinnya itu. Mantan penerbang CIA, Poultry Fletcher yang menulis buku The Secret War, menyebut begitu ambisiusnya Gedung Putih menggusur Bung Karno, hingga operasi rahasia membantu PRRI-Permesta merupakan terbesar dalam sejarah CIA. Mantan kolonel penerbang AU-AS ini mengatakan, CIA telah menyiapkan peralatan militer bagi 40.000 personel PRRI-Permesta. CIA juga mengoperasikan 15 pesawat pembom B-26 yang dikemudikan penerbang Taiwan, Korsel, Filipina, dan AS. Akan tetapi sejarawan terkemuka George McT Kahin (Subversion as Foreign Policy) mengatakan, AS memasok sebagian besar persenjataan bagi 8.000 personel pemberontak di Sumatera. AS juga melibatkan elemen-elemen Armada VII dan kapal-kapal selam untuk memasok senjata. Setelah PRRI-Permesta mulai surut, Gedung Putih menerapkan politik bermuka dua. Selain membantu militer dan perguruan tinggi Indonesia, CIA masih mensuplai senjata bagi sisa-sisa Permesta dan DI/TII. Bantuan program pelatihan militer AS kepada TNI meningkat drastis antara tahun 1960-1965. David Ransom dalam tulisannya Ford Country: Building an Elite for Indonesia mengatakan, pada periode itu AS mengirim Guy Pauker untuk menginfiltrasi Angkatan Darat melalui pembenahan Sekolah Komando Angkatan Darat (Seskoad). Pauker juga membangun file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Ka...20Menuju%20G30S%20--%20Jumat,%201%20Juni%20.htm (6 of 13)4/3/2005 11:04:54 AM
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S -- Jumat, 1 Juni 2001
jaringan dengan intelektual PSI dan Masyumi, yang sejak lama dikenal CIA dan disebut sebagai patriot. Pauker mengenalkan konsep bakti sosial, yang tidak lain adalah bagian dari teror dan perang urat syaraf, dalam kurikulum Seskoad. Istilah "sapu bersih" pertama kali digunakan oleh Pauker. Menurut Dr Peter Dale Scott (How the US and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967), Pauker dan sahabatnya, Mayjen Suwarto, merancang struktur kurikulum yang menyiapkan Angkatan Darat mengambil alih bisnis dan pemerintahan. Selain pembenahan Seskoad, CIA membantu program pendidikan di AS bagi perwira Angkatan Darat. Menjelang tahun 1965, sedikitnya dua pertiga perwira menengah dan tinggi Angkatan Darat pernah dididik di AS. DENGAN diberlakukannya Demokrasi Terpimpin, porsi kekuasaan Angkatan Darat makin besar. Sebagai golongan fungsional, kini mereka berhak mempunyai wakil di pemerintahan. Kekuasaannya makin tidak tertandingi lagi, karena sebelum mengembalikan mandatnya PM Ali Sastroamidjojo memenuhi permintaan Nasution bagi keadaan darurat perang (SOB) secara nasional. Nasution dengan cerdik segera memerintahkan para perwiranya mengambil alih perusahaan-perusahaan eks Belanda dari tangan buruh. Melalui perusahaan yang disita Pemerintah RI ini, Angkatan Darat berkembang menjadi kekuatan ekonomi. Kampanye merebut Irian Jaya, yang berubah menjadi konfrontasi meletihkan, juga atas prakarsa Nasution dengan membentuk Front Nasional. Nasution secara ajaib berhasil mengangkat Angkatan Darat menjadi kekuatan sosial, politik, dan ekonomi, hanya dalam tempo dua tahun. Sedang Bung Karno yang gembira diakhirinya sistem parlementer, tidak keberatan atas SOB. Ia mengira SOB akan menunjang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin secara konsekuen. Padahal kedua hal ini merupakan jembatan emas bagi Angkatan Darat menuju puncak kekuasaan. Demikian pula ketika November 1958 ia menawarkan konsep Jalan Tengah (dwifungsi) dan kembali ke UUD 1945, yang disebutnya untuk mencegah kudeta militer. Bung Karno menyambutnya gembira melalui Dekrit 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945, serta pembubaran Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955. Sejak itu hampir sepertiga anggota kabinet diisi kalangan militer. Demikian pula pemerintahan di daerah. Tahun 1964 misalnya, dari 24 jabatan gubernur 12 dipegang oleh perwira Angkatan Darat.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Ka...20Menuju%20G30S%20--%20Jumat,%201%20Juni%20.htm (7 of 13)4/3/2005 11:04:54 AM
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S -- Jumat, 1 Juni 2001
Angkatan Darat de facto sudah memegang kendali kekuasaan RI. Itu sebabnya ketika Bung Karno menyerukan konfrontasi terhadap Malaysia, 1963, reaksi Angkatan Darat agak dingin. Mereka tidak lagi melihat ada manfaatnya. Bung Karno amat terpukul setelah kemudian mendapat laporan dari TNI AU dan AL pada tahun 1964. Kedua angkatan ini mengalami kerugian yang besar dalam konfrontasi, akibat Angkatan Darat belum juga melakukan ofensif, sementara formasi dari udara dan laut sudah dibuka. Akhirnya AU dan AL mengandalkan tenaga sukarelawan. Wakil Panglima Siaga Mayjen Soeharto, yang juga Pangkostrad, ternyata bukan saja enggan bergerak, tapi malah melakukan kontakkontak rahasia dengan Malaysia dan Singapura untuk menghindari konfrontasi. Melalui kurirnya, Kolonel Ali Moertopo, berulang kali diadakan pertemuan dengan Norman Breddway, pakar perang urat syaraf MI-6, dinas intelijen Inggris, dan juga penasihat politik panglima militer Inggris di Singapura. TANGGAL 21 Januari 1965 pukul 21.48, satu telegram dari Kedubes AS di Jakarta masuk ke Deplu di Washington. Isinya informasi pertemuan pejabat teras Angkatan Darat pada hari itu. Mengutip seorang perwira tinggi yang hadir disebutkan, ada rencana untuk mengambil alih kekuasaan jika Bung Karno berhalangan. Kapan rencana ini akan dijalankan, tergantung pada keadaan konflik yang sedang dibangun beberapa pekan ke depan. Dalam 30 atau 60 hari kemudian Angkatan Darat akan menyapu PKI. Arsip telegram yang tersimpan di Lyndon B Johnson Lybrary dengan nomor kontrol 16687 itu menyebut, berberapa perwira yang hadir malah menghendaki agar rencana itu dijalankan tanpa menunggu Soekarno berhalangan. Maret tahun itu juga Dubes Howard Jones, sebagai mana dikemukakan George Kahin, mengatakan kepada pejabat senior Pemerintah AS, "dari sudut pandang kami tentu saja percobaan kudeta yang ternyata gagal, merupakan perkembangan yang paling efektif untuk membelokkan arah politik Indonesia". (Dan Angkatan Darat mendapat kebebasan untuk menghancurkan PKI). Tahun sebelumnya, Dubes Jones pernah membujuk Jenderal Nasution agar Angkatan Darat mengambil tindakan tegas terhadap PKI. Dalam analisa intelijen AS, merontokkan PKI akan membuat Bung Karno lumpuh. Atau meminjam pendapat Dr John W. Tate (From the Sukarno to the Soeharto Regimes), PKI merupakan pendukung utama Bung Karno. Tanpa PKI, Presiden Soekarno akan file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Ka...20Menuju%20G30S%20--%20Jumat,%201%20Juni%20.htm (8 of 13)4/3/2005 11:04:54 AM
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S -- Jumat, 1 Juni 2001
berhadapan dengan Angkatan Darat dan kelompok Islam yang menudingnya sekuler. Bulan Agustus 1965 tiba-tiba muncul isu merosotnya kondisi kesehatan Presiden Tidak jelas dari mana sumber isu ini, walaupun disebut-sebut nama tim dokter RRC. Namun dalam kabel perwakilan CIA di Jakarta dengan nomor TDCS-314/ 11665-65, salah satu bagian mengutip informasi dari salah satu pembantu dekat Soekarno mengenai penyakit ginjal presiden yang sangat kronis. "Diperkirakan Soekarno bisa saja meninggal mendadak dalam waktu dekat". Dua pekan kemudian muncul pamflet gelap yang mengungkap detail rapat-rapat CC-PKI, membahas kemungkinan mengambil alih kekuasaan jika Bung Karno meninggal secara mendadak. Isi pamflet itu menimbulkan kecemasan di kalangan perwira tinggi Angkatan Darat, karena memuat daftar nama-nama jenderal yang akan dihabisi. Sebaliknya, PKI juga mendapat pamflet gelap yang berisi rencana detail Dewan Jenderal merebut kekuasaan dan kemudian akan mengeksekusi pimpinan dan kader-kader PKI. Dua minggu sebelum meletusnya G30S, Dubes AS yang baru Marshall Green, meminta CIA meningkatkan propaganda menyerang Bung Karno. Demikian pula MI-6, yang terus-menerus menyiarkan berita menyesatkan. Pada waktu hampir bersamaan, muncul berita di salah satu surat kabar di Jakarta mengenai kapal bermuatan senjata kiriman RRC untuk PKI, sedang berlayar dari Hongkong menuju Jakarta. Menurut Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), surat kabar Malaysia itu sendiri mengutip sebuah surat kabar di Bangkok. Sedang Bangkok mengutip sebuah kantor berita yang memperoleh informasi dari sumber di Hongkong. Mantan veteran CIA itu menyebut, inilah rekayasa disinformasi. Bahkan kemudian dibuat dokumen-dokumen palsu hingga sulit dibedakan dengan aslinya, seperti halnya juga dokumen (palsu) PKI berikut daftar nama jenderal yang akan dibunuh. Dengan cara ini CIA berhasil menimbulkan ketegangan dan saling curiga yang gawat. Sebuah pemantik kecil akan menyulutnya menjadi banjir darah. Puncak dari semua ini adalah ketika sekelompok perwira dipimpin Letkol Untung, mantan bawahan Soeharto di Kodam Diponegoro, mencoba anggota Dewan Jenderal kepada Bung Karno. Namun entah bagaimana kemudian, atas perintah Syam (Kamaruzaman), para jenderal itu dieksekusi. Syam-yang disebut-sebut tokoh misterius-menurut berbagai peneliti asing, pernah menjadi kader PSI dan dekat dengan Soeharto ketika file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Ka...20Menuju%20G30S%20--%20Jumat,%201%20Juni%20.htm (9 of 13)4/3/2005 11:04:54 AM
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S -- Jumat, 1 Juni 2001
di Semarang. Syam juga disebut-sebut sebagai intel Kodam Jaya, yang berhasil disusupkan dalam tubuh PKI. Dalam pengakuannya kepada aparat yang memeriksa, ia dipercaya DN Aidit membentuk Biro Khusus untuk menginfiltrasi TNI. Anehnya, kecuali Aidit, tidak satu pun jajaran anggota Politbiro maupun CC PKI yang mengetahui ihwal Biro Khusus. Suatu hal yang sesungguhnya mustahil dalam organisasi partai yang berideologi marxisme. Aidit sendiri dieksekusi Angkatan Darat, sehari setelah ditangkap di tempat persembunyiannya di Solo. Eksekusi ini membuat tertutupnya kemungkinan membuktikan ada tidaknya Biro Khusus itu.DOKTOR Peter Dale Scott melihat banyak keanehan dalam peristiwa ini. Contohnya saja, dua pertiga dari kekuatan satu brigade pasukan para komando, ditambah satu kompi dan satu peleton pasukan lainnya, yang merupakan kekuatan keseluruhan G30S, sehari sebelumnya diinspeksi Mayjen Soeharto. Sedangkan pasukan elite dari Batalyon 454 dan 530 Banteng Raiders datang ke Jakarta atas radiogram Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk parade HUT ABRI 5 Oktober. Kedua batalyon pendukung utama G30S ini sejak tahun 1962 rutin memperoleh bantuan pelatihan AS. Dalam siaran RRI tanggal 1 Oktober, tambah Peter Scott, Letkol Untung mengatakan, Presiden Soekarno berada dalam keadaan aman di bawah perlindungan Dewan Revolusi. Padahal kenyataannya tidak demikian. Bung Karno berada di tempat lain. Dalam susunan Dewan Revolusi yang berkuasa, Untung sama sekali tidak menyebut nama Bung Karno. Melalui corong RRI tersebut Untung mengatakan adanya rencana jahat Dewan Jenderal untuk menggulingkan Bung Karno. Pasukan didatangkan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Padahal pasukan ini disiapkan untuk parade HUT ABRI 5 Oktober. Untung sendiri ikut dalam perencanaan parade tersebut. Anehnya lagi, di seberang stasiun RRI yang dikuasai gerakan ini terletak markas utama Kostrad, yang sama sekali tidak disentuh. Sama seperti Biro Khusus, peran Untung yang sesungguhnya sulit diketahui. Ia mengalami nasib yang sama seperti Aidit. Dieksekusi ketika tertangkap dalam pelarian ke Jawa Tengah. Situasi Jakarta sendiri tidak menentu setelah meletusnya G30S. Namun, Norman Reedway, pakar perang urat syaraf MI-6 yang berpangkalan di Singapura, mengaku bekerja sama dengan CIA menyebarkan disinformasi keterlibatan PKI. Saluran radio Indonesia sempat ditutup mereka dan dimunculkan berita dari BBC yang seolah-olah mendapat laporan dari Hongkong, mengenai keterlibatan RRC membantu PKI dalam gerakan tersebut.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Ka...20Menuju%20G30S%20--%20Jumat,%201%20Juni%20.htm (10 of 13)4/3/2005 11:04:54 AM
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S -- Jumat, 1 Juni 2001
Presiden Johnson melalui radiogram tanggal 9 Oktober 1965 memberi petunjuk ke Kedubes AS di Jakarta. Isinya antara lain berbunyi, inilah saat kemenangan yang paling tepat bagi pimpinan Angkatan Darat untuk bertindak, karena posisi mereka sangat menentukan atas kekuasaan Soekarno. Jika momentum ini tidak dimanfaatkan, bukan mustahil akan mendapat pembalasan yang lebih keras dari oposisi. Tapi jika Angkatan Darat memenangkannya, Soekarno tidak akan pernah kembali berkuasa. Itu pula sebabnya ketika utusan Mayjen Soeharto meminta bantuan melalui Kedubes AS di Jakarta untuk mempersenjatai milisi Muslim menghancurkan PKI di Jateng dan Jatim, Gedung Putih segera memenuhinya dengan bersembunyi di balik kiriman bantuan obatobatan. Bahkan, seperti ungkap wartawati Kathy Cadane, Pemerintah AS melalui Kedubesnya di Jakarta memberi daftar nama 5.000 kader PKI kepada Mayjen Soeharto melalui Adam Malik. Kolonel Latief-yang dalam pledoinya menyebut amat sangat dekat dengan mantan komandannya, Mayjen Soeharto-mengaku telah dua kali menyampaikan informasi mengenai rencana kudeta Dewan Jenderal itu. Namun, Soeharto tidak memberi reaksi apa pun. Latief yang disebut-sebut pada masa itu sebagai orang kedua setelah Letkol Untung, berkesimpulan dalam pledoinya, Dewan Jenderal itu terbukti memang ada dan berhasil menggulingkan Bung Karno. Tapi apa pun bukti-bukti sejarah yang kelak diperoleh dalam peristiwa ini, semua tidak akan menolong 500.000-1 juta jiwa korban tewas dibunuh dalam tragedi berdarah itu hanya karena diduga kader, anggota atau simpatisan PKI. Pengungkapan kasus ini kembali tidak akan bisa pula memulihkan penderitaan 700.000 orang rakyat Indonesia, berikut keluarganya, yang ditangkap dan disiksa selama bertahun-tahun atas tuduhan yang sama. Laporan CIA tahun 1967 menyebut, pembantaian setelah peristiwa G30S sebagai salah satu peristiwa yang sangat mengerikan dalam abad kedua puluh. Tidak kalah dengan pembantaian yang dilakukan Nazi Jerman. Inilah yang disebut sebagai tumbal tujuh Pahlawan Revolusi. Banyak elite politik kita yang hingga saat ini bangga atas pembantaian rakyat Indonesia itu. Kekejaman mereka atas kematian tujuh Pahlawan Revolusi dianggap pantas dibayar dengan nyawa sedemikian banyak. Padahal, menurut Peter Dale Scott, empat dari enam perwira tinggi pro Jenderal Yani yang mengikuti pertemuan pejabat teras Angkatan Darat pada Januari 1965, tewas dalam peristiwa G30S bersama file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Ka...20Menuju%20G30S%20--%20Jumat,%201%20Juni%20.htm (11 of 13)4/3/2005 11:04:54 AM
Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S -- Jumat, 1 Juni 2001
pimpinan Angkatan Darat tersebut. Ahmad Yani sendiri dikenal sebagai sangat loyal kepada Bung Karno. Sedangkan tiga dari lima jenderal anti-Yani, termasuk Mayjen Soeharto, adalah figur utama dalam menumpas G30S. "Tidak seorang pun di antara jenderal antiBung Karno menjadi target Gestapu," tulis Peter Scott. Sedang yang dialami Jenderal Nasution disebutnya sebagai salah sasaran. Pangkostrad, orang kedua setelah KSAD, yang memegang komando pasukan, malah tidak masuk dalam target G30S. Bahkan posisi pasukan pendukung utama G30S, berada di lapangan Monas, persis berhadapan dengan Markas Mayjen Soeharto. Peter Scott melihat peristiwa ini lebih merupakan konflik intern Angkatan Darat, yang kemudian digiring menghancurkan PKI untuk mengisolir Bung Karno. Tapi peneliti lainnya ada yang melihat peristiwa ini memang melibatkan unsur PKI. Ada beragam versi. Tapi di Indonesia sendiri Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto berhasil membentuk opini publik ke arah penghakiman Bung Karno, sebagai terlibat dalam G30S. Bung Karno dipaksa mendelegasikan kekuasaan melalui Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto. Seperti halnya misteri G30S, Supersemar juga tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Apakah benar ada, apakah benar sudah ditandatangani Soekarno. Naskah aslinya sendiri "lenyap". Berbekal Supersemar, Soeharto membubarkan PKI untuk mengisolir Bung Karno. Proklamator ini, seperti dikemukakan Adam Schwarz dan John Tate, kembali dipaksa menyerahkan kedudukannya, setelah diancam akan diseret ke pengadilan. Bung Karno akhirnya lengser dan dikenai status tahanan rumah. Ia diinterogasi secara maraton oleh perwira militer. Proklamator dan Bapak Bangsa ini menjadi pesakitan oleh bangsanya sendiri. Lantas apakah masuk akal Proklamator ini terlibat dalam pembunuhan para jenderal yang loyal kepadanya, dan tidak disukai oleh Soeharto yang anti-Bung Karno? * Maruli Tobing Wartawan Kompas.
Berita nasional lainnya : ●
●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Ka...20Menuju%20G30S%20--%20Jumat,%201%20Juni%20.htm (12 of 13)4/3/2005 11:04:54 AM
Bung Karno, Seni, dan Saya -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Bung Karno, Seni, dan Saya Daoed Joesoef SEWAKTU berSMA di Yogyakarta selama periode revolusi fisik, saya menggabungkan diri pada organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM) dan dipilih menjadi Dok Kompas ketuanya di saat organisasi itu mula-mula didirikan pada tahun 1946. Organisasi ini berpusat di Solo, dengan S Soedjojono sebagai Ketua Umum SIM, dan mempunyai dua cabang, di Yogya dan Madiun. Anggota SIM cabang Yogya tidak banyak jumlahnya, namun terdiri dari para pelukis senior yang sudah "jadi", yaitu Affandy, Hendra, Roesli, Soedarso, Dullah, Hariadi, dan beberapa pelukis muda "harapan", seperti Troeboes, Zaini, Nasyah Djamin, Nazhar, Soeharto, dan Tino Sidin.Sanggar SIM di Alun-alun Lor sering dikunjungi oleh tamu-tamu negara dari negara asing, atas anjuran Bung Karno, dan ada kalanya SIM diminta membawa koleksi lukisan anggota-anggotanya ke Istana Negara untuk dipamerkan oleh Presiden kepada para tamu. Pada suatu pagi, tiba-tiba datang utusan dari Bung Karno yang meminta SIM segera membawa karya-karya yang bermutu ke Istana. Saya memang tinggal sendirian di sanggar dan kebetulan belum berangkat ke sekolah. Mengingat waktu yang disediakan hanya dua jam, tidak ada kesempatan bagi saya untuk mengabarkan hal ini kepada para anggota senior yang tinggal bertebaran jauh dari sanggar. Maka saya sendirilah-seorang diri-
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...20dan%20Saya%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 8)4/3/2005 11:04:56 AM
Bung Karno, Seni, dan Saya -- Jumat, 1 Juni 2001
yang akhirnya membawa lukisan-lukisan dengan andong ke Istana Negara di Jalan Malioboro. Tidak lama setelah lukisan siap dipajang di serambi depan Istana, dari ruang dalam keluar ketiga Bung Besar, yakni Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Rupanya mereka ingin melihat lebih dahulu lukisan-lukisan yang ada sebelum membanggakannya nanti di muka para tamu. Bung Karno menanyakan kepada saya-dengan nada kebapakan-apakah tidak keberatan kalau mereka berbahasa Belanda. Saya katakan sama sekali tidak, karena saya mengerti bahasa tersebut. Sebelum Jepang datang, saya sudah sempat duduk di kelas satu MULO. "Wel, in dat geval mag ik u dan verzoeken, meneer de voorzitter, om mee te praten met ons?!", kata Bung Karno dengan nada kepresidenan, namun dengan sikap bercanda. "Met genoegen, meneer de president," jawab saya, "en dank u zeer." Lalu sambil berkeliling menatap lukisan satu per satu, yang untuk sebagian besar bercorak ekspresionistis dan impresionistis, Bung Karno dan Bung Sjahrir bertukar pikiran mengenai apresiasi masing-masing. Dalam berdiskusi mereka saling "bertutoyer" saja-kelihatan intim sekali-namun saya tetap membahasakan mereka dengan sebutan "u". Walaupun umur saya jauh lebih muda dan bicara Belanda saya tentu tidak selancar mereka, saya tidak merasa mereka remehkan. Mereka mendengarkan dengan saksama uraian dan ulasan saya, termasuk tentang pendapat mereka, dan tidak memotong pembicaraan sebelum saya selesai berbicara. Dari perdebatan seni itu saya berkesimpulan bahwa Bung Karno lebih merupakan seorang "pencinta seni" (kunst liefhebber). Bagi dia seni lukis, atau seni rupa pada umumnya, adalah identik dengan keindahan visual. Maka itu tidak mengherankan kalau dia menggandrungi lukisan-lukisan wanita cantik dari Basoeki Abdoellah. Wanita dengan kecantikan wajah dan kemolekan tubuhnya adalah by nature simbol dari keindahan par excellence. Inilah idee fixe yang kiranya menentukan pula sikap dan perlakuannya terhadap wanita. Baginya, tarikan atau jalannya kuas yang ekspresif tidak begitu penting untuk diperhatikan apalagi diperhitungkan. Kalaupun dia "tertarik" pada lukisan Affandy yang serba impresionistis dan karya Soedjojono yang begitu ekspresif, saya pikir-menurut kesan sayakarena dia telah mengenal baik kepribadian dan kemanusiaan kedua seniman tersebut dan naluri humanitasnya-bukan penalaran seninyamengakui ketinggian mutu seni karya-karya mereka. Bung Sjahrir, sebaliknya, mengesankan benar-benar seorang "pengenal seni" (kunstkenner) dan sangat mengetahui sejarah perkembangan seni rupa modern. Saya sendiri sebelumnya tidak menduga bahwa pengetahuan umumnya tentang seni sedalam dan seluas itu. Mungkin
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...20dan%20Saya%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 8)4/3/2005 11:04:56 AM
Bung Karno, Seni, dan Saya -- Jumat, 1 Juni 2001
sekali selama studi di negeri Belanda dahulu dia telah melihat sendiri lukisan-lukisan modern yang asli di berbagai museum Eropa. Dia ternyata seorang intelektual hasil tempaan nalar akademis Eropa Barat yang berpembawaan luas. Dia dan Bung Karno lama memperdebatkan "konsep" seni mengingat "keindahan visual" tidak selalu disepakati sebagai "de standaard" mutu seni. Akhirnya kedua Bung Besar menantang jawaban saya yang, menurut Bung Karno, memegang leiderschap SIM cabang Yogyakarta, Ibu Kota Republik Indonesia, "membawahi" beberapa pelukis senior yang dia kenal baik. Saya katakan bahwa "keindahan" bukan berupa "harga mati" yang terpatri di mata atau kertas uang, bisa dipindahkan dari satu tangan ke tangan lain dengan nilai yang sama tetap. Tidak ada seorang pun yang berani mengatakan bahwa apa yang diperlukan bagi kreasi suatu seni yang baik adalah sebuah konsep yang baik mengenai seni. Namun, saya bisa mengatakan bahwa suatu konsep seni yang tidak memadai dapat menghambat-bahkan merusak-jalannya kreativitas. Di kalangan para seniman sendiri mungkin ada yang tidak tertarik secara khusus pada teori estetika dan di antara mereka yang mungkin relatif lemah dalam teori tersebut, atau bahkan tidak mempedulikannya sama sekali, tentu ada yang mungkin mampu mengombinasikan bakat kreasi artistik dengan flair untuk estetika. Kelihatannya bila pikiran tidak bisa menjelaskan, naluri punya alasan-alasannya sendiri. Maka bila otak manusia belum mampu mengatur, biarkanlah kodrat alam membimbing sewajarnya. Dalam berkarya perlu bagi seniman tetap memupuk individualitas, eigen persoonlijkheid, dalam artian tidak ikut-ikutan dan bisa menjelaskan sendiri mengapa karyanya dianggap baik dan waardig genceg untuk dipamerkan. Selama perdebatan seni ini Bung Hatta diam saja. Sikapnya bagai "guru" yang sedang mengawasi "murid-muridnya" sedang bertengkar. Dia ikut mendengarkan dengan serius, menatap muka setiap pembicara dan sesekali tersenyum lembut. Saya berkeringat dingin bukan karena berdebat dengan Bung Karno dan Bung Sjahrir, tetapi karena tahu sedang diawasi terus-menerus oleh Bung Hatta. Saya tidak yakin kalau tokoh yang saya kagumi ini tidak tertarik pada seni. Betapa tidak. Saya ingin benar ketika masih remaja di zaman Belanda dahulu saya pernah menghadiri malam deklamasi di gedung organisasi Jong Islamieten Bond (JIB) di Medan. Ketika itu para anggota senior dari JIB membacakan berbagai soneta, sajak, dan syair dari beberapa pujangga "Pulau Masa Depan", yaitu Muhammad Jamin, Sanusi dan Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Tengku Amir Hamzah, dan ... Mohammad Hatta. Cobalah perhatikan tanda tangan negarawan kita yang satu ini. Ia benarbenar merupakan ekspresi dari suatu jiwa seni. Sebagai tanda tangan ia bukan sembarang ungkapan jati diri, tetapi merupakan pula suatu gubahan kaligrafis yang bermutu, suatu persenyawaan yang sungguh artistik dari dua jenis huruf, yaitu Latin dan Arab.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...20dan%20Saya%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 8)4/3/2005 11:04:56 AM
Bung Karno, Seni, dan Saya -- Jumat, 1 Juni 2001
*** SATU kejadian lain lagi, masih di Yogyakarta, menambah kenangan pribadi saya dengan Bung Karno, humanis dan pencinta seni. Saya diajak oleh pelukis Affandy menemui Bung Karno di Istana Negara. Dia ingin menjual lukisannya kepada Bung Presiden karena istrinya sakit berat dan perlu uang untuk obat serta dokter. Walaupun kunjungan ini mendadak dan tanpa membuat janji lebih dahulu, Bung Karno, toh, bersedia menerima Sang Pelukis dengan ramah. Mereka berbicara dengan akrab dalam bahasa Belanda. Setelah mendengar maksud kedatangan Affandy, Bung Karno lama termenung dan diam saja. Akhirnya dengan suara bernada rendah dia berkata: "Mas, terus terang sekarang ini saya tidak punya uang. Tapi, terimalah pulpen saya ini. Nama saya ada diukir di situ. Barangkali saja bisa dijual dan pakai uangnya untuk biaya pengobatan yang diperlukan." Pak Affandy menolak pemberian pulpen itu sambil berkata dengan lirih, "Bung, terima kasih. Saya butuh uang, bukan pulpen. Saya juga tidak tahu di mana bisa menjualnya. Lagi pula jangan-jangan saya nanti dituduh mencuri." Mendengar ucapan Affandy yang terakhir itu Bung Karno tertawa terbahak-bahak. Tanpa disadari, Pak Affandy dan saya ikut pula tertawa sejadinya. Lalu Bung Karno bangkit dari duduknya, berdiri dan menepuk bahu Pak Affandy. "Tunggu sebentar Mas Affandy", katanya, "saya akan menemui Bu Fat di dalam." Tidak lama kemudian, Bung Karno keluar, lalu memilih sebuah lukisan yang ditawarkan, dan memberikan sebuah amplop kepada Sang Pelukis. "Terimalah ini, saya pinjam dulu dari Bu Fat, diambil dari uang belanja sehari-hari", katanya. "Jumlahnya memang tidak seberapa. Kekurangannya akan saya angsur bulan depan. Sudah saya perintahkan kepada dokter kepresidenan supaya memeriksa Bu Affandy di rumah. Tolong tinggalkan alamat rumah kepada ajudan sebelum pulang." Setelah mengucapkan terima kasih kami berdua segera meninggalkan Bung Karno dengan membawa sisa lukisan yang tidak dibeli. Di tengah jalan saya katakan kepada Pak Affandy betapa mahal harga pulpen Bung Karno itu di kemudian hari, lebih-lebih kelak bila revolusi Indonesia telah selesai dan berhasil. "Ah, dik", jawab Sang Maestro, "bila harus menunggu selama itu tanpa uang buat beli obat, istri saya sudah keburu mati." Saya pikir-pikir, betul juga ungkapan polos Pak Affandy ini. Mengingat betapa pentingnya karya seni sebagai wahana untuk menaikkan citra bangsa, berdasarkan pengalaman berpameran di Istana selama ini, saya pikir ia bisa juga dipakai sebagai wahana diplomasi untuk menembus blokade Belanda. Kira-kira sama dengan diplomasi beras dengan India dari Sutan Sjahrir. Saya lalu menulis surat kepada Presiden Soekarno. Di situ saya usulkan supaya pemerintah mengirim Pak Affandy berpameran di luar negeri agar Indonesia dikenal luas di kalangan internasional dan dengan demikian menguak tabir kebohongan Belanda
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...20dan%20Saya%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 8)4/3/2005 11:04:56 AM
Bung Karno, Seni, dan Saya -- Jumat, 1 Juni 2001
yang selalu mengecilkan martabat bangsa kita. Saya pilih Pak Affandy, karena pelukis kita yang satu ini sudah memiliki koleksi yang cukup untuk berpameran tunggal. Dia betul-betul kreatif, siang dan malam terus berkarya. Kalau sedang melukis seperti orang kesurupan dan mutu lukisannya pantas dibanggakan. Pada Pak Affandy bisa saja dititipkan karya pelukis-pelukis lainnya, dan kalau keuangan negara memungkinkan diikutsertakan pula satu atau dua pelukis senior. Perbuatan saya ini disalahkan oleh Ketua Umum SIM karena dianggap melampaui wewenang Ketua Cabang SIM tanpa berkonsultasi lebih dahulu dengan pengurus pusat. Saya dipanggil ke Solo dan diadili di dalam rapat yang dihadiri oleh pelukis-pelukis senior dan yunior yang ada di pusat. Setelah Ketua Umum SIM menjatuhkan vonisnya yang menyatakan saya bersalah, saya bangkit dan mendatangi mejanya. Saya gebrak meja itu dan berkata keras, "Persetan!". Saya segera keluar dari ruang rapat dan langsung pulang ke Yogyakarta.
*** DI tahun 1960-an Bung Karno membiarkan-kalaupun bukan membenarkanpenghancuran Gedung Proklamasi, rumah kediamannya dahulu, yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur. Bersamaan dengan itu diruntuhkan pula sebuah tugu kecil sederhana di halaman gedung yang biasa disebut Tugu Proklamasi. Ketika itu ada yang mengkritik penghancuran tersebut, dan saya kira per-buatan destruktif ini memang merupakan satu blunder yang sangat tercela. Apa pun alasan penghancuran ini, Bung Karno telah melenyapkan satu saksi penting dari sejarah bangsa, padahal di Yogya dahulu dia sering mengatakan kepada pemuda-pelajar betapa pentingnya orang mempelajari sejarah. Maka, sebagai tanda protes, ketika proses penghancuran gedung bersejarah itu sedang dilaksanakan, saya kirim sebuah lukisan cat air kepada Bung Karno. Lukisan ini berukuran 15 x 20 cm dan di situ saya gambarkan Bung Karno berhadap-hadapan dengan saya. Lukisan saya beri judul "Soekarno sainganku". Saya kirim per pos dan sebagai pengirim saya sebut: Daoed Joesoef, ex-voor-zitter van SIM Yogyakarta. Pernah terpikir oleh saya apakah perbuatan Bung Karno ini bukan suatu gerak refleks spontan dari seorang seniman. Bukankah seorang seniman biasa menghancurkan karyanya-lukisan, patung, partitur musik-bila dia kesal atau tidak puas dan orang lain tidak berhak melarangnya karena yang dihancurkannya itu adalah miliknya sendiri. Hal seperti ini memang sering terjadi dalam sejarah.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...20dan%20Saya%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (5 of 8)4/3/2005 11:04:56 AM
Bung Karno, Seni, dan Saya -- Jumat, 1 Juni 2001
Namun, yang dihancurkan oleh Bung Karno itu bukan sekadar bangunan rumah miliknya sendiri. Yang dilenyapkannya bersama-sama dengan kehancuran rumah dan tugu di Pegangsaan Timur itu adalah sebuah bukti otentik dari suatu sejarah kolektif, sejarah perjuangan nasional, walaupun memang diakui betapa besar peranannya dalam kejadian bersejarah yang pantas dibanggakan itu. Di awal tahun 1950-an, halaman Gedung Proklamasi sering menjadi tempat berkumpul para pemuda yang dahulu turut aktif dalam perjuangan revolusi fisik di daerah-daerah. Halaman ini cukup luas, teduh, dan di senja hari cukup nyaman sebagai ajang pertemuan. Pertemuan itu sendiri terjadi secara spontan, tanpa rencana apa dan oleh siapa pun sebelumnya. Masing-masing datang atas keinginannya sendiri, termasuk saya, dan lalu terjalinlah perkenalan yang akrab. Dengan membentuk lingkaran di atas rumput, setiap orang duduk menceritakan pengalaman masing-masing, anekdot suka duka berjuang dalam kesatuan Tentara Pelajar (TP), Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), atau pasukan perjuangan kedaerahan lainnya. Pernah satu kali saya gelar di muka mereka semua sketsa perjuangan yang saya buat di tempat kejadian selama di Sumatera dan di berbagai front Jawa Tengah sewaktu aksi polisional Belanda yang pertama. Namun, lama-kelamaan, dari hari ke hari, cerita-cerita nostalgia ini berubah menjadi ungkapan kejengkelan dan ketidakpuasan tentang suasana politik dan tingkah laku para elite partai. Mereka asyik saling memaki dan menuduh, tetapi diam-diam sibuk memperebutkan aset yang berangsur-angsur ditinggal Belanda, berupa pabrik, perkebunan, rumah, dan harta benda lainnya. Yang paling menjengkelkan para peserta pertemuan di halaman rumah Pegangsaan Timur ini bukanlah keserakahan para Bapak itu saja, tetapi kenyataan bahwa para pemuda eks-pejuang sudah ikut memperebutkan harta karun. Idealisme mulai sirna dan masing-masing mulai menyalahgunakan surat-surat perjuangan masa lalu sebagai kunci masuk ke khazanah harta peninggalan Belanda, padahal dahulu baik TP maupun TRIP telah berikrar akan berjuang demi kemerdekaan tanpa pamrih pribadi. Oleh karena jengkel dan muak melihat keadaan itu, beberapa orang pemuda mengumpulkan dokumen-dokumen perjuangan pribadi untuk dibakar sebagai bukti dari tekad tidak akan menggunakan partisipasi perjuangan masa lalu guna mendapatkan berbagai keistimewaan dan fasilitas. Dan pembakaran ini dilakukan dengan khidmat, pada suatu senja, di kaki tugu sederhana yang ada di halaman depan Gedung Proklamasi. Saya pernah mendapat kesempatan melihat-lihat keadaan rumah bersejarah ini dari dalam. Tanpa saya minta, kesempatan ini ditawarkan oleh Bapak dan Ibu Moenar S Hamidjojo yang saya kenal sejak remaja di Medan. Suami-istri terpelajar ini adalah tokoh-tokoh pergerakan yang berkiprah di bidang pendidikan, kepanduan, dan pembinaan semangat file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...20dan%20Saya%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (6 of 8)4/3/2005 11:04:56 AM
Bung Karno, Seni, dan Saya -- Jumat, 1 Juni 2001
kebangsaan di kalangan remaja. Di awal tahun 50-an ini, Pak Moenar rupanya ditarik oleh Pemerintah Pusat ke Jawa dan sementara menunggu penempatannya di jajaran pemerintahan daerah Jawa Tengah, dia dan istrinya diizinkan tinggal di Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur sekaligus menjaga keamanannya. Saya kadang-kadang mampir menjenguk mereka di siang hari kalau ada kuliah malam hari di Salemba. Mungkin karena melihat saya lelah sekali, pada suatu hari yang cukup terik, mereka menawarkan saya istirahat sejenak di ruang tengah. Tikar yang mereka berikan saya gelar di lantai. Sebelum tertidur saya bayangkan kesibukan, ketegangan, kecemasan, dan harapan yang dialami oleh orang-orang di rumah ini menjelang pembacaan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kira-kira sebulan setelah saya dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1978, saya diundang untuk memberikan pidato dalam rangka peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei, bertempat di Gedung Pola yang dahulu dibangun Bung Karno di atas puing reruntuhan Gedung Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur. Keengganan berpidato di tempat itu saya katakan terus terang kepada panitia perayaan. Mereka jelaskan bahwa yang diundang cukup banyak: tokoh-tokoh dari generasi pergerakan di zaman Belanda, zaman Jepang, zaman revolusi fisik dan pemuda, mahasiswa, pelajar, pramuka serta pimpinan dari berbagai organisasi sosial, termasuk tiga orang mantan Menteri P dan K, dua di antaranya asal Aceh. Maka satu-satunya tempat yang mampu menampung orang sebanyak itu dengan ongkos sewa yang relatif murah adalah Gedung Pola yang berdiri di atas lahan Gedung Proklamasi dahulu. Sesudah berpidato, saya tidak segera pulang. Saya jalani perlahan-lahan halaman gedung, di mana terdapat patung Bung Karno dan Bung Hatta, sambil mencoba membayangkan semua yang telah terjadi di sini, termasuk apa-apa yang pernah saya lakukan sendiri. Beberapa orang dari panitia penyelenggara peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanpa diminta mengiringi saya berkeliling. Salah seorang di antaranya memberanikan diri untuk menanyakan mengapa saya dahulu sangat menyesali penghancuran Gedung Proklamasi. "Karena saya pernah makan dan tidur di situ", jawab saya singkat. *Daoed Joesoef Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan mantan Ketua Dewan Direktur Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Berita nasional lainnya : ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Kar...20dan%20Saya%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (7 of 8)4/3/2005 11:04:56 AM
Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Bung Karno dan Tiga Pelukis Istana Agus Dermawan T BUNG Karno telah sampai di ketinggian sebuah bukit di Kintamani, Pulau Bali. Ia terpaku lama di situ. Angin dingin yang lewat dan menyapu hemnya yang putih, dengan mata terpejam dihayati. Sementara awan-awan tipis yang berarak pada jarak "selemparan batu" dibiarkan menyusun komposisinya sendiri. Dan nun di bawah sana rumpun-rumpun perdu dan hamparan lembah tak henti menerima bayang-bayang awan, yang sebentar ada, sebentar tiada. "Dullah, Soekarno harus membuat sesuatu di sini. Soekarno dan rakyatnya harus bisa menikmati surga ini. Soekarno dan dunia musti punya tempat untuk menyaksikan lukisan Tuhan ini!" kata Bung Karno kepada Dullah yang berdiri patuh di dekatnya. Dullah tentu saja tersentak, dan kemudian berpikir. Dalam perjalanan pulang menuju Istana Tampaksiring, Dullah mengusulkan sesuatu kepada Bung Karno. "Bagaimana kalau di tempat Bapak tadi dibangun gazebo? Agar nanti Bapak dan semua orang mempunyai sudut pandang yang khas untuk menatap keindahan Kintamani?" Bung Karno menoleh kepada Dullah, dan kemudian berkata. "Buatlah sketsanya, nanti kau serahkan kepadaku." Beberapa bulan kemudian masyarakat Bali tahu, bahwa di tempat Bung Karno berdiri tadi telah berdiri sebuah pesanggrahan, halte istirah, atau gazebo. Beberapa tahun kemudian masyarakat Indonesia diam-diam datang ke gazebo itu, untuk menyapukan pandangannya ke hamparan alam yang alangkah indahnya. Beberapa puluh tahun kemudian orang-orang dari seluruh dunia datang ke Kintamani, dan berduyun-duyun untuk menghormati alam, file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Karn...ukis%20Istana%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 8)4/3/2005 11:04:57 AM
Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana -- Jumat, 1 Juni 2001
dengan mata takjub dan terharu. Jutaan orang itu berdiri di tempat dahulu Bung Karno memandangi lembah dan awan-awan. ITULAH salah satu tugas pelukis Istana Presiden. Ya, mempresentasikan gagasan Soekarno", kisah Dullah tahun 1980-an. Selama ini orang memang menganggap tugas pelukis Istana hanyalah melukis, atau mengurus lukisan-lukisan yang ada di Istana belaka. Padahal lebih dari itu. Di sini pelukis Istana serius bekerja memelihara kecintaan Bung Karno kepada seni rupa. Merespons kemauan Bung Karno atas sejumlah manifestasi seni. Dan, mewujudkan aspirasi seni Presiden, dalam apa pun bentuknya. "Banyak tugas ekstra di luar Istana. Namun, semua tetap bermuara pada keindahan, yang merupakan esensi dari lukisan," kata Dullah. Dullah adalah pelukis Istana Presiden yang bertugas tahun 19501960. Setelah itu Bung Karno mengangkat Lee Man-fong, yang bekerja pada 1961-1965, dan Lim Wawim yang bablas bertugas 1961 sampai 1968. Dullah memang figur yang beruntung. Ia berkenalan dengan Bung Karno lewat pelukis Sudjojono pada tahun 1944. Kala itu pria kelahiran Solo 1919 ini sedang dalam proses bergabung dengan Putera (Pusat Tenaga Rakjat) yang dipimpin oleh Bung Karno, Mohamad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mansyur. Satu organisasi yang didirikan untuk mendampingi benteng kebudayaan Jepang, Keimin Bunka Sidhoso. Bung Karno sangat banyak mengenal seniman, oleh karena itu sesungguhnya Dullah bisa dengan mudah terlupakan. Namun, Dullah secara tak sengaja sempat menanamkan kenangan di benak Bung Karno. Kejadian di tahun 1945, di sebuah "ruang rahasia" Balai Pustaka, Jakarta Pusat, adalah amsalnya. Suatu kali Bung Karno meminta kepada Sudjojono, agar senimanseniman memproduksi poster perjuangan. Sudjojono mendelegasikan tugas ini kepada pimpinan Balai Pustaka, sebagai pihak yang bisa menangani grafis. Pimpinan Balai Pustaka lalu meminta Affandi untuk menggambar posternya. Affandi pun meminta Dullah untuk jadi modelnya: pejuang perkasa yang sedang berteriak membahana dengan tangan menjotos angkasa. Poster yang diberi teks "Boeng Ajo Boeng!" oleh penyair Chairil Anwar itu kemudian digandakan oleh Baharrudin MS, Abdul Salam dan lain-lain, untuk kemudian disebarkan ke antero wilayah perjuangan. Bung Karno terpana melihat poster yang provokatif itu. Dan ia lantas bertanya kepada Sudjojono, siapa yang jadi model. Sudjojono tentu file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Karn...ukis%20Istana%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 8)4/3/2005 11:04:57 AM
Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana -- Jumat, 1 Juni 2001
menjawab: Dullah. Begitu mendengar nama Dullah, Bung Karno tergelak-gelak. "Dullah? Belanda pasti tidak menyangka bahwa model dalam poster itu orangnya kecil. Kecil!" Indonesia Merdeka. Bung Karno menjadi Presiden RI pertama. Urusan politik memang menjadi prioritas. Namun, rasa cintanya kepada seni, terutama seni lukis, sungguh tak bisa ditinggalkan. Dan karena dirinya merasa tak mungkin lagi pelukis-meski sesungguhnya ini cita-cita Bung Karno sejak muda-ia mulai berkonsentrasi jadi pengumpul lukisan. Ia ingin jadi kolektor sejati. Bukankah mengumpulkan lukisan adalah manifestasi dari apresiasi mendalam atas seni? Dan bukankah apresiasi yang mendalam merupakan katarsis? Bung Karno memang menganggap seni sebagai "api penyucian". Berkenaan dengan dunia mengoleksi itu ia melihat Istana Kepresidenan bisa menjadi wahana. Bung Karno memperlihatkan keinginannya agar Istana Kepresidenan tak sekadar jadi rumah politik, tapi juga rumah seni yang merefleksikan hati sebuah bangsa. Dari sini lantas timbullah hasrat mengangkat pelukis Istana. Pada saat itulah ia teringat nama Dullah, si kecil model poster, yang juga dikenal sebagai pelukis gagah berani dalam Agresi Militer II di Yogyakarta 1948. Dullah pun dipanggil. Bagi Dullah, ini adalah jabatan yang sangat mengagetkan, dan membuat dirinya shock berhari-hari. "Alea jacta east! Dadu pertaruhan sudah kulemparkan. Dan kau harus menerima, Dullah", kata Bung Karno seolah meniru Julius Caesar. Namun, bekerja di Istana Presiden Soekarno ternyata tidak senyaman yang dibayangkan. Tuntutan Bung Karno atas keindahan Istana sangat kompleks. Dullah harus membenahi ratusan lukisan koleksi Bung Karno yang sudah ada. Untuk kemudian menyeleksi, memajang di dinding-dinding Istana Negara, Istana Merdeka, Gedung Agung Yogyakarta, Istana Bogor, sampai Istana Tampaksiring. Merestorasi lukisan-lukisan yang luka. Lalu mendisplai lagi dan seterusnya. Di luar itu, Dullah sering diajak Bung Karno mencari lukisan, mendekati pelukis, berdiskusi seni. Bahkan berjalan jauh di luar Istana sambil membahas upaya penghormatan atas keindahan alam, seperti pembangunan gazebo di bukit Kintamani... Sepuluh tahun berjalan, pada 1960 Dullah minta diri keluar dari Istana. Ia ingin jadi pelukis bebas. Bung Karno terperangah, sambil file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Karn...ukis%20Istana%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 8)4/3/2005 11:04:57 AM
Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana -- Jumat, 1 Juni 2001
bertanya. "Kurang opo tho kowe?" (Kurang apa kamu?) Dullah tak menjawab. Pokoknya ia minta keluar. Sampai akhirnya Bung Karno berkata lanjut. "Saiki aku ngerti. Kowe ora kurang opo-opo. Mung kurang ajar!" (Sekarang aku mengerti. Kamu tidak kurang apa-apa. Hanya kurang ajar!"), kata Bung Karno sambil menepuk-nepuk pundak Dullah. Dullah melihat, mata Bung Karno berkaca-kaca. "Bila dihadapkan pada soal-soal yang politis, Bapak dengan sigap akan menangkis. Namun, jika dibelitkan problem seni lukis, Bapak serta merta menangis", kenang Dullah. TENTU Dullah tidak meninggalkan Bung Karno begitu saja. Ia mengusulkan agar pelukis Lee Man-fong diangkat untuk menggantikannya. Bung Karno setuju. Lee Man-fong adalah pelukis kelahiran Guangzhou, Cina, tahun 1913. Ayahnya, seorang pedagang dengan 10 anak, membawanya ke Singapura. Ketika ayahnya meninggal tahun 1930, Man-fong harus bekerja keras menghidupi Ibu dan adik-adiknya. Kepandaiannya dalam menggambar advertensi dan melukis digunakan sebaik-baiknya. Namun bekerja di Singapura dirasanya tak cukup. Tahun 1932 ia berlabuh di Jakarta, dan mencoba peruntungannya sekuat tenaga. Jakarta ternyata tempat yang bisa memenuhkan hasratnya sebagai seniman. Iklim kesenirupaannya bagus. Ketegangan antara kelompok nasionalis semacam Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) dan komunitas kunstkring Hindia Belanda menurut dia merangsang kreasi dan elan vital. "Saya suka Indonesia," itulah kata-kata yang sering diucapkan. Karena itu, ketika Jepang ekspansi dan menjajah Indonesia, Manfong ikut berteriak menolak. Sampai akhirnya ia masuk penjara, 1942, dan siap disiksa. Untung ia ditolong oleh Takahashi Masao, seorang opsir yang bertugas membuat ikebana untuk para sipir. Masao tertarik kepada potensi artistik Man-fong selama dalam tahanan. Namun begitu, tak kurang dari enam bulan pelukis serba bisa ini meringkuk dalam bui. Tahun 1946, Bung Karno mulai mendengar nama Lee Man-fong, ketika si pelukis berpameran tunggal di Jakarta. Bahkan, Bung Karno selintas tahu bahwa Man-fong akhirnya memperoleh beasiswa Malino dari petinggi Belanda, Van Mook. Di Eropa, Man-fong
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Karn...ukis%20Istana%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 8)4/3/2005 11:04:57 AM
Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana -- Jumat, 1 Juni 2001
memperoleh sukses lewat berbagai pameran. Kembali ke Indonesia sebentar, dan lantas berangkat lagi untuk bikin pergelaran, dari Den Haag sampai Paris. Tahun 1952, Man-fong balik hidup di Jakarta. Bung Karno semakin terpikat kepadanya. Lalu, bersama Dullah ia mengunjungi pelukis ini di rumahnya di Jalan Gedong, Jakarta. Spirit Man-fong semakin terpicu. Seni lukis bagi Man-fong tak lagi cuma alat ekspresi individual, namun juga sebagai perabot yang membantu sebuah pengabdian. Lantaran itulah pada tahun 1955 ia lalu mendirikan perkumpulan Yin Hua. Organisasi ini mengumpulkan para pelukis Tionghoa. Yin Hua, yang bermarkas di Lokasari, Jakarta Kota, sering mengadakan pameran. Dan Bung Karno tidak lupa mengunjungi. Bahkan, ketika seni lukis Yin Hua bertandang ke Tiongkok tahun 1956, dan Man-fong bertindak sebagai ketua delegasi, Bung Karno dengan salut merestui. Hubungan Bung Karno dan Man-fong terjalin baik. Lukisan Man-fong yang perfek, manis, teknis, estetik dan justru terbebas dari paradigma gelora perjuangan, sangat selaras dengan jiwa seni Bung Karno. Karya-karya Man-fong dipandangnya sebagai ventilasi dari kesibukan revolusi. Memang, sang presiden memiliki pandangan tidak terbelenggu kepada tema tertentu. Hal ini terdata di kemudian hari, bahwa tema perjuangan ternyata hanya mencakup tak lebih dari 10 persen belaka dari seluruh koleksinya yang beribu-ribu. "A thing of beauty is a joy forever", adalah ucapan yang sering keluar dari bibir Bung Karno. Itu sebabnya lukisan wanita cantik, alam benda yang elok, pemandangan yang tenteram, sudut kampung yang adem, sangat membahagiakannya. Singkat kata, riwayat, pribadi dan karya-karya Man-fong cocok dengan Bung Karno. Hingga usulan Dullah agar Man-fong menggantikannya jadi pelukis Istana, diterimanya dengan sukacita. TAHUN 1961, Lee Man-fong diangkat resmi. Dan sejak itu pula ia yang tadinya masih warga negara Tiongkok, menjadi warga negara Indonesia. Namun, Man-fong sesungguhnya bukanlah orang kantoran. Lingkungan Istana yang protokoler, punya jam kerja, serta harus 'menurut' Sang Bapak, sungguh bukan pekerjaan mudah baginya. Man-fong lantas membawa sahabatnya, Lim Wasim, dan diusulkan jadi asistennya. Bung Karno tidak menolak. Lim Wasim adalah pelukis kelahiran Bandung 1929. Ia pernah belajar kepada Mochtar Apin, Abedy dan Sudjana Kerton. Dan kemudian melanjutkan belajarnya di Chang Yang I Shu Xue Yuan atau Institut Seni Sentral Beijing tahun 1950. Dan, pada tahun 1956, file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Karn...ukis%20Istana%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (5 of 8)4/3/2005 11:04:57 AM
Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana -- Jumat, 1 Juni 2001
ia mengajar di Xian I Shu Xue Yuan, atau Institut Seni Provinsi Xian. Tahun 1959, kembali ke Indonesia. Bung Karno sendiri telah mengenal Wasim beberapa bulan sebelumnya. Waktu itu, 1960, Wasim sedang membantu Man-fong mengerjakan mural (lukisan dinding) Puspita dan Margasatwa di Hotel Indonesia. Hotel ini, atas instruksi Bung Karno sedang dikemas rapi untuk menyambut Asian Games IV, Jakarta. Di Istana Presiden, Man-fong mendapat gaji Rp 5.000 sebulan. Sedangkan Wasim Rp 4.000. Gaji ini sama dengan empat hari Wasim bekerja di sanggar Tjio Tek Djien, yang terletak di kawasan Cideng, Jakarta. Sebuah studio seni yang menstimulasi para pelukis untuk berkreasi, yang pendiriannya atas dorongan Bung Karno pula. "Bekerja untuk Bapak sama dengan sekolah mencintai seni. Lantaran itu saya tak pernah memikirkan gaji," kata Wasim. Di Istana Wasim ternyata jauh lebih aktif dari Man-fong. Dan itu sudah diramalkan. Tugas Wasim seperti juga kerja utama Dullah dulu. Di antaranya yang paling membanggakan adalah tugas melukis sosok Bung Karno untuk dibawa Presiden ke luar negeri. Karena banyak kepala negara yang meminta gambar "Bung Karno Sang Kolektor" sebagai kenang-kenangan. Ketika Bung Karno turun dari kekuasaan awal tahun 1966, koleksi yang ada sekitar 2.300 bingkai. Jumlah yang bukan main! Bahkan ada yang menyebut, inilah koleksi lukisan terbesar seorang Presiden di seputar Bumi, kala itu. Dan ketika kekisruhan politik dimulai, apa boleh buat, Lee Man-fong yang tak berpolitik terpaksa "lari" ke Singapura. Dullah selama beberapa tahun berdiam diri di rumah, lantaran diincar sebagai Soekarnois. Dan Lim Wasim? "Syukur saya tetap dipertahankan di Istana sampai tahun 1968. Tapi dengan pekerjaan yang tak jelas. Dan tiap pagi harus apel, tiap kali harus lapor," kisahnya. Hasil pengabdian para pelukis Istana itu dinampakkan lewat buku monumental Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno. Yang pertama disusun Dullah, terbit dalam 2 jilid tahun 1956. Dan disusul dua jilid berikutnya 1961. Buku ini disempurnakan oleh Lee Man-fong, dan terbit 1964 dalam lima jilid. Lalu jilid VI sampai X disusun oleh Lim Wasim, yang rencananya diluncurkan pada ulang tahun Bung Karno 6 Juni 1966. Sayang kekacauan politik meledak, dan proyek prestisius yang sudah sampai tahap blue print itu batal.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Karn...ukis%20Istana%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (6 of 8)4/3/2005 11:04:57 AM
Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana -- Jumat, 1 Juni 2001
Pada 20 Juni 1970 Bung Karno wafat. Banyak orang mengatakan bahwa Bung Karno pergi karena sakit fisik lantaran politik. Namun tiga pelukis Istananya memperkirakan, Bung Karno wafat karena dirundung "kesedihan lukisan". Bayangkan, selama lebih dari 40 bulan Bung Karno dipisahkan dengan koleksi seninya. Dan itu adalah ribuan anak-anak emasnya, buah-buah spiritualnya, yang diburu dan dipeluk selama duapertiga hidupnya! * Agus Dermawan T Penyusun buku Dullah, Lee Man-fong, Lim Wasim, dan Koleksi Istana Presiden RI.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
●
● ●
● ● ● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda Tjipto-Soetatmo-Soekarno Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan Ziarah Kubur Bung Karno Soekarno di Masa Krisis PDRI Dunia MenurutSang Putra Fajar Bung Karno di Bawah Bendera Jepang
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Bung%20Karn...ukis%20Istana%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (7 of 8)4/3/2005 11:04:57 AM
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Julius Pour "BANYAK suami menilai istrinya bagaikan mutiara. Tetapi sebenarnya, mereka justru merusak dan tidak menghargai kebahagiaan istrinya? Mereka memuliakan istrinya, mereka cintai sebagai barang berharga, mereka anggap 'mutiara', tetapi sebagaimana orang selalu menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pula mereka menyimpan istrinya dalam kurungan atau 'pingitan'. Bukan untuk memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk Inggit Garnasih merendahkannya, begitu katanya. Melainkan untuk menjaga, untuk menghormati, untuk memuliakan. Perempuan mereka anggap sebagai Dewi, tetapi selalu mereka jaga, awasi dan selalu 'dibantu' sehingga menjadi insan yang sampai mati justru tidak akan pernah bisa menjadi dewasa"Hal ini dikemukakan Soekarno dalam Sarinah, buku yang secara rinci mengemukakan pandangan Bung Karno terhadap perempuan. Bahwa mereka, adalah bagian mutlak perjuangan kemerdekaan, oleh karena itu peran sertanya sejajar Fatmawati dan sangat dibutuhkan. Sarinah diterbitkan di Yogyakarta tahun 1947, di tengah perang kemerdekaan. Tetapi yang menarik, buku tersebut file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dari%20Siti...rike%20Sanger%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 13)4/3/2005 11:04:58 AM
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger -- Jumat, 1 Juni 2001
sengaja ditulis Bung Karno. Sementara kita tahu, hampir semua karyanya pada umumnya berasal dari transkrip pidato dan jarang yang sengaja dipersiapkan sebagai buku. "Atas permintaan banyak orang, apa yang pernah saya kursuskan, kemudian saya tulis dan saya lengkapi, Sarinah inilah hasilnya," katanya dalam pengantar buku. Awal tahun 1946, akibat tekanan politis dari Pemerintah Belanda yang tidak menghendaki bekas jajahannya merdeka, Dewi Pemerintah Republik terpaksa mengungsi dari Jakarta. Dan di Yogya, setiap dua minggu sekali, Bung Karno menyelenggarakan kursus wanita di ruang belakang Istana Kepresidenan. Bahan-bahan kursus, dengan bantuan Mualliff Nasution, sekretaris pribadinya, dikumpulkan, dilengkapi, dan ditulis ulang oleh Bung Karno, dipersiapkan menjadi buku. Bahwa judul bukunya demikian, alasannya sederhana. "Saya namakan Sarinah, sebagai tanda terima kasih. Yurike Sanger Ketika masih kanak-kanak, pengasuh saya bernama Sarinah. Ia mbok saya. Ia membantu Ibu saya, dan dari dia saya telah menerima rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya menerima pelajaran untuk mencintai orang kecil. Dia sendiri orang kecil, tetapi budinya besar. Semoga Tuhan membalas kebaikannya." Sarinah hadir dalam kehidupan Bung Karno sejak tinggal di Mojokerto, Jawa Timur, pertengahan tahun 1917. Sebagaimana dikisahkan melalui Haryati Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams, dia dilahirkan di Surabaya (1901) dengan nama Kusno. Oleh karena sejak kecil sering sakit, sesuai kebiasaan setempat, ayahnya mencari nama baru, Soekarno. "Karena itu, Soekarno menjadi namaku sebenarnya dan satusatunya. Pernah ada wartawan goblok menulis nama awalku Ahmad. Sungguh menggelikan. Namaku hanya Soekarno. Dan memang,
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dari%20Siti...rike%20Sanger%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 13)4/3/2005 11:04:58 AM
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger -- Jumat, 1 Juni 2001
dalam masyarakat kami, tidak luar biasa memakai satu nama. Di Mojokerto, Bung Karno kecil tinggal bersama ayahnya, seorang guru, Raden Soekemi Sosrodihardjo. Ibunya, Ida Ajoe Njoman Rai, keturunan bangsawan Bali, dan Sukarmini kakak kandungnya yang dua tahun lebih tua. Sesudah beberapa waktu, datang orang kelima, sosok yang disebutnya, "Bagian rumah tangga kami. Dia tidak pernah kawin, tidur dengan kami, makan apa yang kami makan, tetapi tidak mendapat gaji sepeser pun. Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta kasih, tetapi bukan dalam pengertian jasmaniah. Dan mulai mengajarku mencintai rakyat." Dengan nada plastis yang digemarinya, Bung Karno melukiskan, "Selagi Sarinah memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku selalu duduk di sampingnya. Dia kemudian mengatakan, Karno, yang terutama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia pada umumnya." Bung Karno menambahkan, "Sarinah adalah nama biasa. Akan tetapi, Sarinah yang ini bukan wanita biasa. Ia adalah satu kekuasaan yang paling besar dalam hidupku."
Kurang kasih sayang ibu Sangat menarik mencermati kedekatan Bung Karno dengan ibunya, sebagaimana pernah dipesankan Sarinah. Ternyata, tidak ada buku atau tulisan yang khusus dipersembahkan Bung Karno kepada ibunya. Dalam otobiografinya, namanya hanya sepintas disebutkan, memberikan pangestu sewaktu Bung Karno masih kecil. Selain itu, sebelum tidur, sering menceriterakan kisah kepahlawanan. Dan semasa perang kemerdekaan, menghardik para gerilyawan yang mencoba menghindari pertempuran. Bagaimana sesungguhnya keakraban Bung Karno dengan ibunya, dan dengan begitu penghargaannya kepada kaum wanita, sempat menumbuhkan beragam analisis. Kita bisa saja berspekulasi, oleh karena terlampau diagungkan, sosok Sarinah mungkin hanya imajiner. Sulit mencari bukti, apakah Sarinah benar-benar ada. Dan jika demikian, apakah memang begitu besar perannya dalam membentuk kepribadian Bung Karno? Prof SI Poeradisastra, dalam kata pengantar buku Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (terbit tahun 1981) pernah mempersoalkan masalah ini. Ada foto Bung Karno sedang menjumpai ibunya. Dia berlutut di hadapan wanita tua file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dari%20Siti...rike%20Sanger%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 13)4/3/2005 11:04:58 AM
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger -- Jumat, 1 Juni 2001
tersebut dengan sangat khidmat. Tetapi, demikian Poeradisastra, dua hal tetap menjadi pertanyaan. Pertama, mengapa Ida Ajoe tidak pernah menengok putranya, baik ke Jakarta maupun ketika masih berada di Yogyakarta? Hal tersebut tidak dia lakukan, bahkan juga sesudah tahun 1950, sewaktu kedaulatan Republik Indonesia sudah diakui dunia internasional; ketika suasana mulai tenang dan Bung Karno telah dikukuhkan (lagi) sebagai presiden. Perjalanan ke Jakarta dilakukan hanya saat suaminya wafat di zaman Jepang. Sedangkan sampai sekitar tahun 1950, sewajarnya ibu ini belum terlalu sepuh untuk tidak sanggup mengunjungi putra dan cucunya yang sudah menetap di Istana Negara, Jakarta. Apa yang sebenarnya terjadi? Kedua, mengapa sampai ada dua monumen kasih sayang dari Bung Karno kepada Sarinah? Buku tentang perjuangan kaum wanita, dan nama toko serba ada pertama di Indonesia. Tetapi, justru tidak ada kenangan khusus untuk Ida Ajoe Njoman Rai? Atas dasar dua pertanyaan tersebut, Poeradisastra menarik kesimpulan, "Bung Karno adalah penderita kekurangan kasih sayang ibu, sehingga dia akhirnya malah mengidealkan dan mengidolakan Sarinah, sebagai wanita tua yang sepenuhnya memberikan kasih sayangnya." Dalam impian, "kehilangan" sebuah kasih sayang mungkin saja bisa dipenuhi dengan cara menampilkan sosok Sarinah. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, perasaan "kehilangan" tersebut tampaknya baru bisa diperoleh sesudah hadir Inggit Garnasih, induk semang Bung Karno ketika berkuliah di THS Bandung. Benih cinta pertama "Aku sangat tertarik kepada gadis-gadis Belanda. Aku ingin sekali mengadakan hubungan cinta dengan mereka," begitu pernyataan Bung Karno. Alasannya sangat luas dan mendasar. Sebagai lelaki tampan yang sejak remaja sangat percaya diri, Bung Karno mengaku, "Hanya inilah satu-satunya jalan yang kuketahui untuk bisa memperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih dan membikin mereka tunduk kepada kemauanku." Mungkin saja semua pernyataan tersebut benar. Tetapi juga mungkin, daya khayal Bung Karno sangat melambung. Oleh karena dia kemudian mengungkapkan, cinta pertamanya tertuju kepada
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dari%20Siti...rike%20Sanger%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 13)4/3/2005 11:04:58 AM
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger -- Jumat, 1 Juni 2001
Pauline Gobee, anak gurunya. Kemudian muncul deretan nama, semuanya gadis keturunan Belanda, yakni Laura, Raat, Mien Hessels. Bagaimanapun, sesuatu yang semula mungkin belum sempat dia bayangkan, hidup perkawinan justru sudah dimulai Bung Karno ketika usianya belum genap 20 tahun. Tahun 1921, di Surabaya, dia menikah dengan Siti Oetari, gadis usia 16 tahun, putri sulung tokoh Serikat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemilik rumah tempatnya menumpang ketika dia di sekolah lanjutan atas. Beberapa saat sesudah menikah, Bung Karno meninggalkan Surabaya, pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Tjokroaminoto, ayah mertuanya, membantu mencarikan tempat indekos dengan menghubungi teman lamanya, Sanusi, seorang guru. Bencana sering datang bagai pencuri, mendadak dan tidak terduga. Begitu Bung Karno tiba di Bandung, dijemput Sanusi di stasiun dan langsung diajak ke rumahnya, api gairah sudah mulai menyala. "Sekalipun aku belum memeriksa kamar, tetapi jelas ada keuntungan tertentu di rumah ini. Keuntungan utama justru berdiri di pintu masuk dalam sinar setengah gelap. Raut tubuhnya tampak jelas, dikelilingi oleh cahaya lampu dari arah belakang. Perawakannya kecil, sekuntum bunga cantik warna merah melekat di sanggul dengan senyum menyilaukan mata. Namanya Inggit Garnasih, istri Haji Sanusi." Menurut Bung Karno, "Segala percikan api yang memancar dari anak lelaki berumur dua puluh tahun, masih hijau dan belum punya pengalaman, telah menyambar seorang perempuan dalam umur tiga puluhan tahun yang matang dan berpengalaman." Percikan gairah tersebut tidak hanya berhenti membakar Bung Karno. Secara bersamaan menghanguskan simpul tali perkawinan yang baru satu tahun dia jalani. Meskipun alasannya, kata Bung Karno, "Oetari dan aku tidak dapat lebih lama menempati satu tempat tidur, bahkan satu kamar pun tidak. Jurang antara kami berdua semakin lebar. Sebagai seseorang yang baru saja kawin, kasih sayangku kepadanya hanya sebagai kakak." Siti Oetari dicerai dan dikembalikan kepada Tjokroaminoto. Sementara itu, menurut Bung Karno, Sanusi adalah seorang tukang judi yang setiap malam terus-menerus menghabiskan waktunya di tempat bilyar. Maka mudah diduga apa yang bakal terjadi, "Aku seorang yang sangat kuat dalam arti jasmaniah dan pada hari-hari itu belum ada televisi. Hanya Inggit dan aku berada di rumah yang selalu kosong. Dia kesepian. Aku kesepian. Perkawinannya tidak betul. Perkawinanku tidak betul. Adalah wajar, hal-hal yang demikian
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dari%20Siti...rike%20Sanger%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (5 of 13)4/3/2005 11:04:58 AM
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger -- Jumat, 1 Juni 2001
itu kemudian tumbuh". Apa pun alasannya sehingga mereka berdua menjadi dekat, Poeradisastra tetap menilai Inggit Garnasih seorang wanita luar biasa. "Kekasih satu-satunya yang mencintai Soekarno tidak karena alasan harta dan takhta, yang selalu memberi dan tidak pernah meminta kembali. Satu-satunya wanita yang bersedia menemani Soekarno dalam kemiskinan dan kekurangan." Ditambahkannya, "Saya harus meminta maaf sebesar-besarnya kepada semua janda Soekarno, dengan segala jasa dan segi positifnya masing-masing. Tetapi saya harus mengatakan bahwa hanya Inggit merupakan tiga bentuk dalam satu kepribadian, yakni ibu, kekasih, dan kawan yang selalu memberi tanpa pernah meminta. Kekurangannya, Inggit tidak melahirkan anak." Inggit Garnasih lebih tua 15 tahun dari Bung Karno sehingga lebih dewasa dalam bersikap ketika menghadapi saat-saat gawat. Wanita Sunda ini bagaikan induk ayam yang sayapnya selalu siap memberi perlindungan. Janda cerai selama empat bulan tersebut kemudian menikah dengan Bung Karno pada pertengahan tahun 1923. Selama 20 tahun hidup perkawinannya bersama Bung Karno, dengan setia dia menjenguk suaminya ketika disekap di Penjara Sukamiskin. Dengan kesetiaan luar biasa mengikuti suaminya menjalani pengasingan di Flores, sambil mengajak ibu dan dua anak angkatnya. Asmi, ibu mertua Bung Karno, tutup usia ketika mendampingi menantunya di tempat pembuangan. Memulai hidup baru lagi Ada sebuah kalimat bersayap, hidup dimulai pada usia 40 tahun. Pada usia tersebut Bung Karno mungkin ingin merintis hidup baru, dengan memakai alasan sangat mendasar, soal anak. Dengan kebesaran jiwa yang sulit dicari bandingannya, Inggit akhirnya menyerahkan Bung Karno kepada Fatmawati, bekas putri angkatnya dalam masa pembuangan di Bengkulu. Gadis yang ternyata berani dan bahkan sudah menjalin kasih sayang dengan ayah angkatnya, dan yang kemudian menjadi istri dari bekas suami ibu angkatnya. Bencana dimulai dengan kedatangan Hassan Din bersama istri dan putrinya, Fatmawati, untuk mencari tempat indekos di Bengkulu. Secara kebetulan usia anak gadis tersebut sepadan dengan Ratna Djuami, anak angkat Bung Karno. Maka hari itu juga, Fatmawati
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dari%20Siti...rike%20Sanger%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (6 of 13)4/3/2005 11:04:58 AM
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger -- Jumat, 1 Juni 2001
langsung ditinggal pulang dan diserahkan pengawasannya kepada pasangan Bung Karno-Inggit. Pesona Fatmawati dilukiskan oleh Bung Karno, "Rambutnya seperti sutera di belah tengah dan menjurai ke belakang berjalin dua. Dengan senang hati aku menyambutnya sebagai anggota baru keluarga kami." Sesudah beberapa waktu tinggal bersama, Bung Karno berkomentar, "Aku senang terhadap Fatmawati. Kuajari dia bermain bulu tangkis. Ia berjalan-jalan denganku sepanjang tepi pantai yang berpasir, sementara alunan ombak berbuih putih memukul-mukul mata kaki." Dalam perjalanan waktu, hubungan mereka semakin bertambah erat. Meskipun, menurut Bung Karno, "Apa yang ditunjukkan Fatmawati kepadaku adalah sekadar pemujaan kepahlawanan. Umurku lebih 20 tahun dari padanya dan dia memanggilku Bapak. Bagiku dia hanya seorang gadis yang menyenangkan, salah seorang dari anak-anak yang selalu mengelilingiku untuk menghilangkan kesepian yang mulai melarut dalam kehidupanku. Yang kuberikan kepadanya kasih sayang seorang bapak." Walau disembunyikan, akhirnya Inggit menyadari terjadinya percikan bunga-bunga cinta. "Aku merasa ada sebuah percintaan sedang menyala di rumah ini. Sukarno, jangan coba-coba menyembunyikan diri. Seseorang tidak bisa berbohong dengan sorot matanya." Bung Karno masih mencoba berkilah, "Jangan begitu. Dia itu tidak ubahnya seperti anakku sendiri." Inggit mengingatkan, "Menurut adat kita, perempuan tidak rapat kepada laki-laki. Kebiasaan anak gadis lebih rapat kepada si ibu, bukan kepada si bapak. Hati-hatilah, Engkau harus mendudukkan hal ini menurut cara yang pantas." Bung Karno kemudian semakin sadar, "Fatmawati sudah menjadi perempuan cantik. Umurnya sudah 17 tahun dan ada kabar akan segera dikawinkan. Usia istriku mendekati usia 53 tahun. Aku masih muda, kuat dan sedang berada pada usia utama dalam kehidupan. Aku ingin anak, istriku tidak dapat memberikan. Aku menginginkan kegembiraan hidup, Inggit tidak lagi memikirkan soal-soal demikian" Menurut versi Bung Karno, dengan cara sopan dia sudah pernah mengajukan izin untuk bisa menikahi Fatmawati. Dalam buku Kuantar ke Gerbang, karya Ramadhan KH berdasar wawancara dengan Inggit Gar-nasih, Bung Karno sambil menahan tangis bertanya, "Bukankah aku bisa mengawininya, sementara kita tidak usah bercerai?" "Oh, dicandung? Ari kudu dicandung mah, cadu. (Oh dimadu? Kalau file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dari%20Siti...rike%20Sanger%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (7 of 13)4/3/2005 11:04:58 AM
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger -- Jumat, 1 Juni 2001
harus dimadu, pantang aku)," jawab Inggit sengit. "Boleh saja kau kawin, tetapi ceraikan diriku lebih dulu." Akhirnya Bung Karno menceraikan Inggit setelah Jepang menduduki Indonesia dan mereka berdua pulang ke Jawa. Pada bulan Juni 1943, Bung Karno kawin dengan Fatmawati memakai cara nikah wakil, sebab mempelai putri masih tertinggal di Sumatera. Bulan November 1944, lahir putra pertama, Mohammad Guntur. Bung Karno langsung mengucapkan syukur, "Aku tidak sanggup melukiskan kegembiraan yang diberikan kepadaku. Umurku sudah 43 tahun dan akhirnya, Tuhan Maha Pengasih mengkaruniai kami seorang anak." Menyembunyikan nama istri Dalam autobiografinya yang terbit bulan November 1965 tetapi dikerjakan Cindy Adams sejak tahun 1963, Bung Karno mengungkapkan semua kisah perkawinannya, mulai dari Oetari, Inggit, Fatmawati sampai ke Hartini. Tetapi, melarang dicantumkannya kisah pernikahan dengan Naoko Nemoto (Maret 1962), Haryati (Mei 1963), dan Yurike Sanger (Agustus 1964). Nama Dewi dan Haryati baru muncul dalam buku kedua Cindy Adams, terbit tahun 1967 dengan judul, My Friend the Dictator. Oleh karena itu buku tersebut juga masih melupakan Yurike Sanger, pelajar SMA berusia 16 tahun, bekas anggota "pagar ayu" Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Kepada Majalah Swara Kartini, Yurike sempat mengungkapkan bahwa Bung Karno pernah berjanji kepadanya, "Adiklah, istri Mas yang terakhir". Di antara semua pernikahannya, yang kemudian memicu persoalan justru ketika menikahi Hartini. Wanita asal Ponorogo kelahiran tahun 1924 ini mengungkapkan, bertemu pertama dengan Bung Karno tahun 1952 di kota tempat tinggalnya, Salatiga, Jawa Tengah. "Bapak langsung menyatakan sangat tertarik kepada diri saya." Malahan ketika diberi tahu bahwa sudah punya lima orang anak, muncul komentar spontan, "Benar, sudah lima orang anak dan masih tetap secantik ini?" Cinta pandangan pertama tersebut muncul seketika, dan Bung Karno menyebutkan, "Aku jatuh cinta kepadanya. Dan kisah percintaan kami begitu romantis sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal tersebut." Jatuh cinta bisa terjadi kapan dan di mana saja. Tetapi, yang kemudian menyulut reaksi pro-kontra, khususnya di kalangan wanita pada masa itu, oleh karena Bung Karno masih terikat perkawinan dengan Fatmawati, sementara status Hartini, ibu rumah tangga dengan lima orang anak. file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dari%20Siti...rike%20Sanger%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (8 of 13)4/3/2005 11:04:58 AM
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger -- Jumat, 1 Juni 2001
Suasananya lebih diperburuk oleh karena secara kebetulan Dewan Perwakilan Rakyat sedang membicarakan Keputusan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1952 untuk mengatur tunjangan pensiun bagi janda pegawai negeri. Isu paling utama, bagaimana pembayaran gaji dilakukan jika istri pegawai negeri lebih dari satu? Isu ini kemudian mengangkat persoalan, apakah seorang pegawai negeri boleh mengambil istri baru? Dan kalau diizinkan, bagaimana persyaratannya? Dengan munculnya isu itu, sejumlah ormas wanita penentang keputusan pemerintah melakukan unjuk rasa dan mengirim delegasi ke berbagai pihak. Termasuk menghadap Presiden Soekarno, yang saat itu sedang menjalin percintaan backstreet dengan Hartini. Mereka meminta Presiden memberi teladan dan ikut memperjuangkan lahirnya sebuah undang-undang perkawinan yang adil, sebagaimana dulu semangatnya pernah disebutkan Bung Karno dalam buku Sarinah. Para pimpinan ormas wanita tersebut mengemukakan, seandainya Presiden menghendaki poligami, minimal dia wajib untuk mengikuti ketentuan hukum Islam dan harus meminta persetujuan istri pertama lebih dahulu. Ketegangan antara Bung Karno dengan ormas-ormas wanita penentang poligami mencapai puncaknya ketika Fatmawati, berkat dukungan kuat dari sebagian besar ormas wanita memutuskan "meninggalkan Istana Negara dan memulai kehidupan baru, terpisah dari suaminya." Dilengkapi tekad Bung Karno yang tampaknya sudah tidak bisa disurutkan, setelah menjalin cinta gelap antara Jakarta-Salatiga, bulan Juli 1953, Bung Karno menikah dengan Hartini di Istana Cipanas. Bertindak sebagai wali nikah, oleh karena Bung Karno tidak bisa hadir, komandan pasukan pengawal pribadi Presiden, Mangil Martowidjojo. Bung Karno mengungkapkan, "Fatmawati sangat marah atas perkawinan ini. Sebetulnya dia tidak perlu marah. Istriku pertama dan juga yang kedua adalah pemeluk Islam yang saleh serta menyadari hukum-hukum agama." Ditambahkannya, "Aku tidak menceraikan Fatma karena anak kami sudah lima orang. Bagi orang Barat, mengawini istri kedua selalu dianggap tidak beradab, tidak sopan dan tindakan kejam." Sayang, Bung Karno ternyata tidak hanya berhenti sampai kepada istri kedua. Cindy Adams tanpa sengaja bertemu Haryati di Istana Tampaksiring, Bali, semasa mengikuti kunjungan Presiden Filipina Diosdado Macapagal. Tampaknya, Haryati waktu itu sudah lebih file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dari%20Siti...rike%20Sanger%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (9 of 13)4/3/2005 11:04:58 AM
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger -- Jumat, 1 Juni 2001
dulu dikirim ke Bali untuk mendahului rombongan resmi. Haryati menjelaskan, "Kami menikah di Jakarta bulan Mei 1963 dan Bapak berpendapat, sangat bijaksana kalau pernikahan ini tidak usah diumumkan kepada masyarakat luas. Kami berdua saling mencintai, tetapi menghadapi berbagai kesulitan. Selain itu, Bapak sudah mempunyai tiga istri dan usianya sekarang 63 tahun, sedangkan saya baru 23 tahun." Kesulitan semacam ini tidak hanya menimpa Haryati. Oleh karena situasi serupa juga pernah dijalani Ratnasari Dewi. Dalam My Friend the Dictator, Dewi mengungkapkan, "Saya dikenalkan kepada Bapak di Hotel Imperial Tokyo oleh para rekan bisnis dari Jepang". Pertemuan pertama tersebut membawa kesan sangat dalam. Tidak lama kemudian, Bung Karno mengundangnya ke Jakarta, untuk bertamasya selama dua minggu. Kunjungan tersebut diakhiri dengan perkawinan pada awal Maret 1962, setelah Naoko Nemoto pindah agama dan Bung Karno memilihkan nama sangat indah, Ratnasari Dewi. Tetapi perkawinan tersebut membawa korban. Ibu Naoko, seorang janda, kaget dan langsung meninggal mendengar putrinya menikah dengan orang asing. Disusul hanya 26 jam sesudahnya, Yaso, saudara lelaki Naoko, melakukan bunuh diri. "And I was so alone. I had lost my whole family." Dewi menjelaskan, "Mengingat situasi serba tidak menguntungkan, mengambil orang asing sebagai istri baru, maka selama beberapa waktu pernikahan kami disembunyikan. Saya merasa sangat tersiksa, harus selalu sendirian dan bersembunyi di rumah. Satusatunya kegembiraan, Bapak sangat memperhatikan segala macam keperluan saya. Bapak menyulutkan rokok saya, Bapak dengan setia membawakan buah-buahan." Kelemahan dan kekuatan Tulisan ini bukan untuk menunjukkan kelemahan kepribadian Bung Karno sebagai seorang lelaki. Tetapi ingin mengungkapkan betapa kemudian Bung Karno melupakan pesan Sarinah, semakin berani menyerempet bahaya, dan bahkan, melalaikan persyaratan aturan perkawinan menurut hukum Islam. Ketika otobiografi Bung Karno terbit, para istri Bung Karno kecewa. Hartini sangat marah, sebab namanya hanya muncul selintas, sedangkan Inggit dan Fatmawati diceriterakan panjang lebar. Ratnasari Dewi bahkan sempat mengamuk, hanya karena namanya sama sekali tidak disebut. Yang justru paling senang dengan buku tersebut adalah Bung Karno, oleh karena dia langsung file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dari%20Siti...rike%20Sanger%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (10 of 13)4/3/2005 11:04:58 AM
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger -- Jumat, 1 Juni 2001
memerintahkan penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Tidak ada malaikat di antara manusia, setiap orang memiliki kelemahan dan kekurangan. Wanita pada satu sisi merupakan titik lemah Bung Karno, tetapi di sisi lain sesuatu yang mampu memberikan gairah dan semangat hidup. "I'm a very physical man. I must have sex every day," katanya dengan kebanggaan meluap kepada Cindy Adams. Maka, sebuah kelemahan bisa berubah menjadi kekuatan, tergantung kepada situasi dan kondisi yang dihadapi. Tetapi ketika usianya sudah semakin lanjut, dilengkapi keruwetan pribadi akibat semakin kompleksnya pengaturan jadwal oleh karena yang harus dikelolanya semakin banyak, ketajaman analisis yang selama ini dimiliki Bung Karno mulai tumpul. Akan tetapi, seberapa besar minus nilai Bung Karno sebagai lelaki, sama sekali tidak menghilangkan perannya sebagai pejuang kemerdekaan. Dan juga tidak akan melenyapkan sumbangannya dalam memimpin perjuangan untuk kemerdekaan bangsa dan Tanah Airnya, Indonesia, yang sangat dicintainya. Mengamati perjalanan Bung Karno-sebagai akibat masa kecil yang mungkin kurang bahagia-dia berusaha mengimbangi dengan mengembangkan daya khayal sangat dahsyat. Khayalan tersebut tercipta dengan hadirnya sosok Sarinah; seorang wanita yang jauh lebih tua, lebih matang sekaligus punya kemampuan melindungi dan memberikan selimut kehangatan kepada batin Bung Karno. Oleh karena itu menjadi jelas, mengapa perkawinannya dengan Siti Oetari hanya bertahan kurang dari dua tahun. Kekosongan tersebut kemudian dipenuhi Inggit Garnasih, wanita sederhana yang rela mengabdi dengan sepenuh jiwa raganya. Sering orang mempersoalkan, derita Bung Karno jauh lebih ringan dibanding para pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya. Mereka diasingkan ke Digul atau Banda, sementara Bung Karno "hanya" ke Flores dan Bengkulu. Tetapi, di Digul atau Banda, mereka tidak terpencil, karena ada ratusan atau paling tidak sejumlah rekan lain dengan semangat dan daya nalar setara. Di sisi lain, Bung Karno harus tinggal sendirian, tanpa ada teman dengan tingkat intelektual sepadan di sekitarnya. Sungguh beruntung, dalam kesendirian tersebut di sampingnya tetap hadir Inggit Garnasih. Sesudah Inggit terpaksa dan dipaksa surut ke belakang, frekuensi "ketergelinciran" Bung Karno semakin sering terjadi. Bung Karno yang merasa tetap perkasa, semakin tua justru semakin tambah percaya diri. Malahan mungkin merasa tidak memerlukan sayap file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dari%20Siti...rike%20Sanger%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (11 of 13)4/3/2005 11:04:58 AM
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger -- Jumat, 1 Juni 2001
pelindung, yang selama ini tanpa dia sadari menghangatkan batinnya. Ia mengkhayalkan dirinya burung rajawali yang sanggup terbang sendirian menjelajah angkasa luas. Ia mungkin lupa, dalam kekosongan jiwa, rajawali tersebut telah merapuh, tidak ubahnya burung pipit yang selalu harus berusaha mencari perlindungan. * Julius Pour Wartawan Kompas.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
●
● ●
● ● ● ● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda Tjipto-Soetatmo-Soekarno Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan Ziarah Kubur Bung Karno Soekarno di Masa Krisis PDRI Dunia MenurutSang Putra Fajar Bung Karno di Bawah Bendera Jepang Bung Karno, Seni, dan Saya
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dari%20Siti...rike%20Sanger%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (12 of 13)4/3/2005 11:04:58 AM
Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional Taufik Abdullah KALAU sejarah hanyalah one damned thing after another, sudah pasti hasil usaha rekonstruksi peristiwa masa lalu itu tidak bisa merangsang terjadinya perdebatan akademis dan politis, bahkan filosofis. Kalau memang demikian, kita dengan enteng bisa menghapal tanggal 5 Juli 1959 sebagai saat ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa UUD Sementara 1950 tak berlaku lagi dan Indonesia kembali memakai UUD 1945. Tanggal itu diingat tanpa rangsangan emosional dan intelektual apa pun. Dalam suasana seperti ini pula kita bisa menghapal bahwa pada tanggal 10 November 1945 Kota Surabaya dibom tentara Sekutu secara besar-besaran, dan pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dan menawan presiden, wakil presiden, dan beberapa orang anggota kabinet. Semua hanya rentetan peristiwa belaka tanpa makna apa pun. Semua hanyalah rentetan peristiwa yang datang dan lewat begitu saja. Akan tetapi, sayangnya, sejarah tidaklah semata-mata rentetan peristiwa. Ada patokan atau kriteria tertentu yang menyebabkan sebuah kejadian tercatat sebagai peristiwa sejarah, dan dari yang tercatat itu ada pula yang diperlakukan sebagai sesuatu yang penting. Lebih penting lagi, peristiwa yang dianggap penting itu kerap kali pula menjadi sasaran berbagai corak penilaian dan tafsiran. Tingkat significance dari kejadian yang terpilih untuk "masuk sejarah" itu biasanya dilihat dalam kaitannya dengan kejadiankejadian yang terjadi sebelumnya, dan dengan berbagai kejadian yang kemudian datang menyusul. Jika dianggap penting maka peristiwa itu pun sering pula dijadikan sebagai batas dari yang "sebelum" dan yang "sesudah". Kerap kali juga terjadi bahwa peristiwa yang dianggap "penting" itu dikenakan penilaian dan tafsiran yang bertolak dari luar sejarah-entah dari praduga teoretis dan filosofis, atau ideologis-dan malah juga dari kepentingan politik. file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dekrit%20Pre...i,%20dan%20Kepribadian%20Nasional%20--%20Jumat.htm (1 of 11)4/3/2005 11:05:00 AM
Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional -- Jumat, 1 Juni 2001
*** PERDEBATAN tentang makna atau significance peristiwa sejarah adalah hal biasa, karena orang ingin juga mengambil hikmah dan kearifan dari peristiwa itu. Setidaknya demikianlah halnya dari sudut anggapan yang mengatakan sejarah sebagai lukisan dari perilaku masyarakat dan manusia. Tetapi bukan tak mungkin, dengan pengajuan sebuah peristiwa sejarah orang ingin mendapatkan landasan legitimasi bagi klaim politik atau, bisa juga, ideologis. Atau, kebalikannya, peristiwa itu mungkin pula dipakai sebagai pembuktian dari sesuatu yang ingin diingkari. Oleh karena itu, tidak perlu diherankan benar kalau banyak juga orang yang melihat peristiwa 5 Juli 1959 sebagai awal dari zaman otoritarianisme dan sentralisme di Tanah Air. Bukankah sejak Dekrit Presiden itu dikeluarkan lembaga legislatif praktis tidak lagi berdaya menghadapi kekuasaan eksekutif? Bukankah pula sejak itu dorongan sentralisasi semakin kuat dan kencang juga? Semakin kuat pemerintahan, maka semakin kentallah otoritarianisme itu, dan semakin kuat pula sentralisasi kekuasaan. Hal ini berlanjut sampai dengan terjadinya lengser keprabon pada bulan Mei 1998 yang lalu. Sebaliknya, tentu tidak pula perlu dianggap sebagai suatu keanehan kalau ada juga yang bertahan dengan pendapat bahwa tanggal itu secara simbolis menandai awal keberhasilan Indonesia untuk menemukan kembali "kepribadian nasional"-nya. Pandangan itu bukan saja dikatakan oleh sang pencetus ide "demokrasi terpimpin", Bung Karno, tetapi juga oleh ilmuwan asing. Dalam komentar panjangnya tentang buku Herbert Feith (The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia), Harry Benda praktis beranggapan demikian. Sebab ia mengatakan bahwa lahirnya Demokrasi Terpimpin bisa dilihat sebagai saat ketika Indonesia kembali ke jalur sejarahnya yang otentik. Hanya saja dengan mengatakan ini Benda kelihatannya ingin juga menekankan bahwa demokrasi bukanlah salah satu ciri dari kebudayaan Indonesia. Maka jangan heran kalau ada juga peneliti asing yang menyebut sistem Demokrasi Terpimpin itu sebagai "Mataram Baru". Namun begitu, kalau ada orang yang lebih suka melihat peristiwa itu sesuai dengan judul pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 yang mengatakan bahwa "kembali ke UUD '45" adalah pertanda dari "the rediscovery of our Revolution", tentu bisa dimaklumi juga. Kita tidak perlu memperdebatkan tepat atau tidaknya tafsiran yang beraneka ragam ini. Hanya saja salah satu kecenderungan umum dalam perdebatan sejarah ialah semakin sering makna sebuah "peristiwa" diperdebatkan, maka semakin pentinglah tempatnya file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dekrit%20Pre...i,%20dan%20Kepribadian%20Nasional%20--%20Jumat.htm (2 of 11)4/3/2005 11:05:00 AM
Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional -- Jumat, 1 Juni 2001
dalam rekonstruksi sejarah. Kalau telah begini, berbagai pertanyaan hipotetis dan teoretis biasanya diajukan pula terhadap peristiwa yang dianggap penting itu. Apakah, umpamanya, peristiwa 5 Juli 1959 sebuah "keharusan sejarah" yang tidak terelakkan? Atau, barangkali, peristiwa ini sebuah "kecelakaan sejarah", yang tak semestinya terjadi? Atau, boleh jadi juga peristiwa itu tak lebih daripada contoh dari pengingkaran konstitusional dari sebuah sistem kekuasaan? Apa pun mungkin jawab yang diberikan, yang pasti ialah segera setelah peristiwa itu terjadi proses pembentukan realitas baru pun bermula pula. Tragis atau bukan, realitas yang terbentuk itu sampai kini masih mewarnai kehidupan kenegaraan kita.
*** KALAU peristiwa 5 Juli 1959 itu dikaji kembali, maka sebuah kesimpulan yang tidak terhindarkan ialah bahwa peristiwa itu adalah klimaks dari rentetan krisis sosial-politik yang semakin mengental sejak hasil dari dua Pemilu 1955-satu untuk Parlemen dan satu lagi untuk Konstituante-diumumkan. Apa pun mungkin sifat dari Dekrit Presiden itu, yang pasti ialah bahwa setelah diumumkan Indonesia tidak lagi sama dengan keadaan sebelumnya. Peristiwa itu berdiri sebagai batas simbolis antara tatanan politik yang sebelum dan yang sesudahnya. Sejak saat itu Soekarno mempunyai kebebasan relatif untuk mewujudkan kebijaksanaan politiknya, sebagai Kepala Negara dan Pemerintah. Ironis mungkin, tetapi sejak itu pula ia lebih bebas mengadakan intensifikasi dari peranannya sebagai pemimpin bangsa. Secara konstitusional ia adalah Kepala Negara dari sebuah sistem politik yang Presidensial dan-sebagaimana ia juga suka mengatakannyaPanglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, tetapi ia lebih suka menyebut dirinya sebagai Penyambung Lidah Rakyat dan Pemimpin Besar Revolusi. Maka, apa pun mungkin corak penilaian sejarah atau politik terhadap Demokrasi Terpimpin, namun secara empiris harus dikatakan juga bahwa dalam episode ini Soekarno dengan sadar menjadikan dirinya sebagai perpaduan dari legitimasi konstitusional dengan keharusan dan kesahihan ideologis. Karena itu, barangkali tidaklah terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa dari sudut kajian sejarah episode Demokrasi Terpimpin bisa pula diperlakukan sebagai "laboratorium" penyelidikan tentang kepemimpinan Soekarno, sebagai Kepala Negara/Pemerintahan dan sebagai pemimpin bangsa. Bisakah keduanya saling mendukung? Atau, mungkin saling menjegal? Kalau seandainya demikian, yang manakah yang lebih keras bersuara? Saat-saat menjelang Dekrit Presiden 5 Juli adalah salah satu file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dekrit%20Pre...i,%20dan%20Kepribadian%20Nasional%20--%20Jumat.htm (3 of 11)4/3/2005 11:05:00 AM
Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional -- Jumat, 1 Juni 2001
episode yang terpadat dalam sejarah kontemporer kita. Dalam waktu sekitar dua tahun itu sedemikian banyak peristiwa yang muncul bertubi-tubi bahkan berhimpitan satu dengan yang lainnya. Barangkali hanya "masa transisi Habibie" (Mei 1998-Oktober 1999) yang bisa menyaingi kepadatan episode ini. Semua bermula dari hasil Pemilu 1955 yang ternyata gagal meletakkan dasar kestabilan politik. Pemilu ini hanya menghasilkan keseimbangan kekuatan partai-partai yang bersaingan politik di Parlemen dan yang bertentangan ideologis di Konstituante. Pemilu ini juga seakan-akan menunjukkan bahwa secara politik dan ideologis Indonesia terdiri atas Jawa, yang didominasi oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan luar Jawa, yang sebagian besar berada di belakang Masyumi. Partai "modernis Islam" ini bukan saja merupakan satu-satunya partai yang mendapatkan kursi di semua daerah pemilihan, tetapi juga menjadi pemenang di sepuluh dari 15 daerah pemilihan.
*** DALAM konteks sistem kenegaraan yang mengharuskan perdebatan masalah sosial-politik diselesaikan di parlemen dan masalah dasar negara dan konstitusi di Konstituante, "kekikukan" dalam dinamika politik tidak terhindarkan. Sebuah partai bisa menemukan kesesuaian dengan partai lain di parlemen, tetapi berada dalam kubu yang berbeda di Konstituante atau sebaliknya. Dalam suasana intensifikasi politik ini Hatta menyadari bahwa ia tak lagi bisa bekerja sama dengan Soekarno. Ia meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden (Desember 1956) dan secara simbolis meniadakan "perwakilan" luar Jawa dalam kepemimpinan puncak nasional. Kabinet Ali Sastroamidjojo II, yang merupakan koalisi PNIMasyumi-NU dan beberapa partai kecil, akhirnya tak bisa menahan badai politik yang terjadi dalam tubuhnya. Dalam suasana krisis kabinet ini Presiden Soekarno merasa perlu untuk menunjuk seorang "warga negara" biasa, yang kebetulan bernama Soekarno dan kebetulan pula seorang presiden, sebagai formatur kabinet. Di tengah tudingan tentang terjadinya tindakan inkonstitusional, kabinet ahli yang dipimpin Djuanda pun terbentuk. Tetapi perdebatan konstitusional dan politik semakin menaik. Usaha Kabinet Djuanda untuk mengadakan rekonsiliasi nasional, dengan mengusahakan kemungkinan kembalinya Hatta ke dalam pemerintahan gagal berantakan. Usaha pembunuhan Soekarno di sekolah Cikini bukan saja menimbulkan tragedi kemanusiaan, tetapi juga peristiwa politik yang menggagalkan usaha penyatuan "dwitunggal". Konflik Irian Barat file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dekrit%20Pre...i,%20dan%20Kepribadian%20Nasional%20--%20Jumat.htm (4 of 11)4/3/2005 11:05:00 AM
Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional -- Jumat, 1 Juni 2001
semakin meningkat dengan "diambil-alihnya" perusahaanperusahaan Belanda oleh organisasi buruh, yang langsung atau tidak berafiliasi dengan PKI. Pemerintah pun terpaksa melakukan nasionalisasi. Maka sekian ribu warga negara Belanda pun meninggalkan Indonesia, dengan segala kerusakan ekonomi yang diakibatkannya. Peraturan Pemerintah Nomor 10 yang melarang keturunan Cina untuk berdagang di daerah pedesaan bukan saja menyebabkan terjadinya eksodus mereka-khususnya dari Jawa Barat-tetapi juga ketegangan RI dengan RRT. Sementara itu konflik daerah-pusat pun semakin menajam juga. Dalam proses selanjutnya batas-batas antara hasrat daerah dengan pertentangan politik dan ideologi pun menjadi kabur, seperti juga menjadi kaburnya batas antara perdebatan politik dengan teror politik, yang dialami para penentang "konsepsi Presiden". Dalam suasana inilah para pembangkang militer di Sumatera mengeluarkan ultimatum yang menuntut penggantian Kabinet Djuanda dengan kabinet yang dipimpin oleh Hatta dan/atau Sultan Hamengku Buwono IX. Penolakan atas ultimatum ini menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain selain dari memproklamasikan PRRI. Dan Permesta pun segera menyusul. Perkiraan PRRI/ Permesta bahwa pemerintah pusat akhirnya bersedia berunding, ternyata hanya impian belaka. Operasi militer dilancarkan dan menjelang pertengahan tahun 1958 sudah kelihatan bahwa pemerintah tandingan yang berpusat di Sumatera Barat itu tidak lagi merupakan ancaman yang serius. Sementara itu kekuatan politik yang beragam-ragam itu mengalami pengentalan, dengan Soekarno sebagai sumbunya. Maka yang tinggal hanya dua kemungkinan saja, yaitu pro atau anti-Soekarno.
*** BEGITULAH-untuk memperpendek cerita-ketika akhirnya Presiden Soekarno terbujuk juga oleh argumen Nasution untuk "kembali ke UUD 1945", Indonesia telah melalui berbagai corak krisis, mulai dari hubungan daerah-pusat dan pertentangan partai-partai di pusat pemerintahan sampai dengan konflik internasional. Ketika Dekrit 5 Juli dikeluarkan, Soekarno dan TNI AD telah merupakan kekuatan politik yang paling utama. Konflik presiden dan TNI yang terjadi dalam "Peristiwa 12 Oktober" (1952) telah memberikan pada keduanya pelajaran yang sangat berharga. Dengan ucapannya yang terkenal-"Aku tidak mau jadi diktator"presiden menolak tuntutan TNI AD agar membubarkan parlemen, yang mereka anggap telah terlalu mencampuri urusan internal file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dekrit%20Pre...i,%20dan%20Kepribadian%20Nasional%20--%20Jumat.htm (5 of 11)4/3/2005 11:05:00 AM
Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional -- Jumat, 1 Juni 2001
militer. Sejak itu Soekarno semakin menyadari bahwa kedudukannya sebagai Kepala Negara, yang dikatakan "can do no wrong", bukanlah peranan yang sesuai bagi dirinya. Sejak itu pula AH Nasution mulai memikirkan tempat yang sesuai bagi militer dan UUD yang menjanjikan kestabilan politik. Dengan argumen sejarah ia mengajukan UUD 1945 dan dengan argumen sejarah juga ia menemukan "jalan tengah" bagi militer. Kesempatan untuk mewujudkan itu datang dalam berbagai gejolak radikalisasi politik. Pengambilalihan beberapa perusahaan Belanda yang dilakukan buruh menyebabkan pemerintah mengadakan nasionalisasi dan menugaskan TNI AD untuk menjalankannya. TNI AD mendapat kesempatan untuk "berkenalan dengan dunia bisnis". Pemberontakan PRRI/Permesta, yang memancing intervensi asing sekaligus menaikkan wibawa TNI dan Soekarno. Keberhasilan TNI mengatasi ancaman PRRI/Permesta dan pelaksanaan SOB, hukum bahaya perang, bukan saja telah menjadikan TNI AD di bawah Nasution semakin terkonsolidasi, tetapi juga semakin merupakan kekuatan politik yang harus diperhitungkan. Sementara itu, sejak terbentuknya zaken Kabinet Djuanda dan dibubarkannya Konstituante dan juga parlemen hasil pemilu, partaipartai mengalami kemunduran yang luar biasa. Liga Demokrasi yang dilahirkan beberapa tokoh partai sebagai protes terhadap pembubaran parlemen hanya bisa bertahan sebentar. Masyumi, partai yang paling "menjengkelkan" Soekarno, dan PSI, dibubarkan (1960), dengan alasan bahwa ada tokoh dari kedua partai itu terlibat dalam PRRI/Permesta. Tetapi PKI, yang berada di luar percaturan elite politik di pusat pemerintahan, karena penolakan partai-partai lain dan militer, selangkah demi selangkah berhasil menggarap masyarakat bawah. Dalam pemilu daerah yang diadakan pada tahun 1957 di Pulau Jawa, PKI menunjukkan bahwa partai ini telah menjadi yang terbesar. Lebih penting lagi selama tahun-tahun krisis politik, di bawah pimpinan yang muda dan pragmatis, PKI berhasil mendekatkan dirinya dengan Soekarno. Partai ini selalu muncul sebagai pembela dan pendukung garis politik dan ideologis Presiden Soekarno. Sebaliknya, betapapun mungkin TNI AD ingin menghambat gerak maju PKI, presiden selalu tampil sebagai pembela. Jika perlu Presiden Soekarno bersedia membuka dengan resmi Kongres PKI yang dihalang-halangi TNI AD.
***
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dekrit%20Pre...i,%20dan%20Kepribadian%20Nasional%20--%20Jumat.htm (6 of 11)4/3/2005 11:05:00 AM
Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional -- Jumat, 1 Juni 2001
MAKA, demikianlah Demokrasi Terpimpin ditandai dengan semakin kuatnya kedudukan politik Soekarno, TNI AD, dan PKI. Masalah yang terberat dihadapi Soekarno ialah menjamin kesetiaan militer, memelihara dukungan politik PKI, dan menghalangi kemungkinan terjadinya konflik terbuka antara TNI AD dengan PKI. Bagaimana keseimbangan dari kedua kekuatan besar ini tanpa membiarkan salah satu menjadi lemah? Bagaimanapun juga TNI harus merupakan sebuah kekuatan yang disegani di dalam maupun di luar negeri. Bukankah perjuangan Irian Barat semakin meningkat? Bukankah pula ancaman kekuatan anti-revolusioner, sebagaimana dirumuskan Manipol-USDEK (dokumen politik yang dikatakan Soekarno sebagai "hadis-nya Pancasila") masih gentayangan? Sebaliknya PKI bukan saja sebuah kekuatan revolusioner yang diyakini Soekarno "bisa dijinakkan"-nya, tetapi juga sebuah partai yang dianggapnya bisa dengan memahami orientasi pemikirannya. Alasan empiris dari pemberlakuan Dekrit Presiden 5 Juli ialah bahwa Konstituante telah gagal mendapatkan 2/3 suara untuk menentukan Indonesia kembali ke UUD 1945. Tetapi dalam pidatonya yang terkenal, The Discovery of Our Revolution, yang disampaikan pada peringatan ulang tahun kemerdekaan kelihatan bahwa ada dua alasan utama, yang sejak lama telah menjadi obsesi Bung Karno. Pertama, bahwa demokrasi liberal bertentangan dengan "kepribadian nasional". Dalam pidatonya, ia menekankan kembali pidatonya di hari kemerdekaan 1957. "Demokrasi kita adalah demokrasi, yang"-sambil mengatakannya dalam bahasa Belanda-"tak meninggalkan apa-apa selain dari kemerdekaan itu sendiri". Karena itulah demokrasi kita harus bercorak "negarasentris, bukan yang membawa orang menjadi ego-sentris atau kelompok-sentris atau partai-sentris atau kronis-sentris". Maka demokrasi yang diinginkan adalah yang terpimpin yang sesuai dengan tradisi luhur bangsa, yaitu "musyawarah dan mufakat". Kedua, kembali mengulangi tema lamanya ialah "revolusi belum selesai". Tema inilah yang paling keras mengental dalam pidatonya ini. "Inilah logika revolusi", kata Bung Karno, "sekali telah kita mulai kita harus melanjutkannya sampai semua cita-citanya terwujud. Ini adalah hukum mutlak dari revolusi, yang tak bisa dibantah, tak bisa diperdebatkan lagi. Karena itu jangan katakan 'Revolusi telah selesai', padahal revolusi masih terus berjalan". Ia pun menegaskan juga revolusi Indonesia yang "multikompleks" atau-sebagaimana, katanya, disebut seorang ilmuwan asing-"a summing-up of many revolutions in one generation" . Kedua konsep ideologis ini-"revolusi yang multikompleks"-dan "kepribadian nasional" bukan hal baru, tetapi dikeluarkan sebagai
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dekrit%20Pre...i,%20dan%20Kepribadian%20Nasional%20--%20Jumat.htm (7 of 11)4/3/2005 11:05:00 AM
Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional -- Jumat, 1 Juni 2001
pendukung dekrit, keduanya bisa berfungsi terobosan terhadap impas politik. The Discovery of Our Revolution dikeluarkan di saat wacana ideologis sedang mengalami kebuntuan dan di waktu perdebatan dasar negara sedang mengalami kemacetan. Tetapi, meskipun kedua pasang ideologi bisa sangat persuasif bagi mereka yang telah bosan dengan sistem demokrasi yang semakin mandul, kedua konsep menunjukkan dengan jelas sikap anti-pluralisme politik Soekarno. Pada hakikatnya kedua konsep ini bercorak hegemonik dan antiwacana. Bagaimanakah bisa dilawan dengan begitu saja konsep "kepribadian nasional", betapapun kaburnya, tanpa dibayangi ancaman tuduhan "tidak nasionalis". Bagaimanakah akan dihadapi wacana "revolusi belum selesai" tanpa ancaman tuduhan sebagai reaksioner? Dalam wacana yang semakin hegemonik ini, tidaklah terlalu sukar untuk menebak golongan masyarakat mana yang telah mulai kehilangan kepercayaan kepada sistem parlementer yang terlalu ingin mencampuri semua hal. Tidaklah pula terlalu sukar untuk memperkirakan, golongan mana atau partai apa yang melihat kedua pasang wacana itu sebagai wahana yang mungkin membebaskannya dari keterpencilan pembagian kekuasaan.
*** KONSEP Revolusi Indonesia yang dikatakan sebagai sesuatu yang "congruent with social conscience of man" dan yang "multikompleks" itu membagi dunia atas dua kekuatan yang antagonistik dan mengidentifikasi musuh-musuh revolusi dengan jelas. Dalam perwujudannya revolusi itu berarti "membongkar", "membangun", "retooling", "rebuilding" dan "herodening" semuanya. Diterapkan ke dalam sistem dan perilaku politik maka konsep tentang revolusi ini memberikan kepada TNI suasana yang congenial, sesuai, bagi klaim sejarah mereka. Ajukanlah pertanyaan yang heroik tentang revolusi nasional, maka siapakah yang akan diuntungkan secara ideologis? Setelah para pemimpin Republik ditawan Belanda, siapakah yang melanjutkan perjuangan, kalau bukan TNI? Bukankah pula TNI selalu mengatakan bahwa mereka berasal dari rakyat, dan karenanya akan selamanya menghirup nilai yang hidup di kalangan rakyat. Jadi, mengapa tidak mereka menyokong konsep "kepribadian bangsa"? Bagaimanapun Bung Karno bukan saja seorang pemimpin bangsa dan ideolog, ia adalah pula Presiden/Panglima Tertinggi. Kalau demikian, sang Presiden pun mempunyai sekian peralatan kekuatan untuk menjaga jangan sampai kesetiaan TNI kepada panglimanya berkurang. Bagi PKI "revolusi" adalah jalan yang harus ditempuh untuk file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dekrit%20Pre...i,%20dan%20Kepribadian%20Nasional%20--%20Jumat.htm (8 of 11)4/3/2005 11:05:00 AM
Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional -- Jumat, 1 Juni 2001
mewujudkan masyarakat tanpa-kelas, sebagaimana diajarkan marxisme-leninisme. Maka, terlepas dari latar belakang sosial Bung Karno yang "borjuis", PKI bisa melihat bahwa ajarannya sejajar dengan faham yang telah mereka anut. Bukankah Bung Karno berkali-kali mengatakan ia adalah penganut Marxist, meskipun bukan dalam pengertian ideologi dan filsafat, tetapi sebagai landasan teori sejarah dan sosial. Jika Manifesto Politik merumuskan makna revolusi, menunjukkan lawan dan kawan revolusi, dan sebagainya, maka USDEK berarti UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional. Jadi, USDEK bisa juga dilihat PKI sebagai "nasionalisasi" dari keprihatinan ideologis mereka. Apalagi Bung Karno adalah juga seorang Presiden yang sewaktu-waktu bisa memberikan perlindungan politik dan hukum bagi kehadiran dan aktivitas partai ini. Maka bisalah dipahami kalau PKI melihat Soekarno sebagai "pelindung" dan menyebutnya sebagai "aspek pro-rakyat" dalam pemerintahan. Aidit bahkan membuat hipotesa sejarah, jika seandainya Bung Karno yang berkuasa (bukannya Hatta) di tahun 1948, maka "peristiwa provokasi Madiun" tidak akan terjadi. Ia pun mengatakan pula bahwa Bung Karno adalah gurunya dalam marxisme-leninisme. Salah satu kelemahan dari ideologi yang bersifat hegemonik dan antiwacana ialah pengikutnya cenderung membuat interpretasi sesuai dengan kepentingan masing-masing. Sifat anti-wacana yang terlekat itu dengan mudah menutup pintu bagi pengujian terbuka keabsahan interpretasi. Dalam situasi ini hanya ucapan sang "Nabi" yang menjadi ukuran keabsahan. Mestikah diherankan kalau dalam persaingan untuk mendekati Soekarno, Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi, perbedaan penafsiran semakin lama semakin membesar juga. Kalau telah begini benih-benih konflik terbuka semakin tumbuh juga. Maka kalau perbedaan penafsiran ini dikenakan ke lapangan politik, maka kemungkinan terjadinya tabrakan kepentingan semakin tak terelakkan. Tanpa disadarinya, Soekarno telah menjadi satu-satunya penyangga dari konflik terbuka antara TNI AD, yang diejek PKI sebagai "kapitalis birokrat/kabir" (karena keterlibatannya dalam bisnis), dengan partai yang telah mendapat kehormatan sebagai unsur "kom" dari pilar politik Demokrasi Terpimpin, Nasakom. Ketika sang penyangga itu goyah, maka semua hambatan pun mencair. Sedemikian mencairnya hambatan itu, seakan-akan analogi literer Hatta bahwa Soekarno adalah kebalikan dari Mephistopheles (tokoh dalam drama Goethe, Faust), kekuatan jahat yang mendatangkan
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dekrit%20Pre...i,%20dan%20Kepribadian%20Nasional%20--%20Jumat.htm (9 of 11)4/3/2005 11:05:00 AM
Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional -- Jumat, 1 Juni 2001
kebaikan, terwujud dalam kenyataan empiris yang prosais. Maka bersama Soekarno kita pun menangis, karena di hadapan kita telah terhampar lembaran yang terhitam dalam sejarah Indonesia. Demikianlah, ternyata memang tanggal 5 Juli 1959 bukan hanya sebuah tanggal dari terjadinya sebuah peristiwa. Tanggal ini dan tanggal-tanggal lain yang dicatat sejarah sebagai "penting" bisa memberi berbagai rangsangan perasaan dan renungan intelektual tentang nasib bangsa, negara, dan kemanusiaan. * Taufik Abdullah Sejarawan, Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
●
● ●
● ● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda Tjipto-Soetatmo-Soekarno Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan Ziarah Kubur Bung Karno Soekarno di Masa Krisis PDRI Dunia MenurutSang Putra Fajar
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dekrit%20Pr...,%20dan%20Kepribadian%20Nasional%20--%20Jumat.htm (10 of 11)4/3/2005 11:05:00 AM
Desoekarnoisasi:Delegitimasi yang Tak Tuntas -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Desoekarnoisasi: Delegitimasi yang Tak Tuntas Agus Sudibyo TAHUN 1996, Soeharto gelisah. Ia ingin Golkar menang besar dalam Pemilu 1997, namun tak bisa menutup mata dari perkembangan yang terjadi di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Saat itu, semakin nyata bahwa PDI menjadi tempat berlabuh bagi kerinduan terhadap figur Soekarno dan segala rupa kekecewaan terhadap rezim Orde Baru. Maka Soeharto pun mengambil jalan pintas, memadamkan pengaruh simbolsimbol Soekarno di Kompas/kartono ryadi tubuh PDI sebelum pemilu berlangsung. Sebuah kongres partai yang prematur kemudian direkayasa, dan tergusurlah Megawati dari pucuk pimpinan partai berlambang kepala banteng itu. Tak lama kemudian, meletus Tragedi 27 Juli 1996 yang akhirnya justru menjadi titik balik dari kebangkrutan rezim Orde Baru. Ini bukan yang pertama kali rezim Orde Baru berusaha memadamkan pengaruh Soekarno. Hubungan antara Orde Baru file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Desoekarnoi...0yang%20Tak%20Tuntas%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (1 of 11)4/3/2005 11:05:01 AM
Desoekarnoisasi:Delegitimasi yang Tak Tuntas -- Jumat, 1 Juni 2001
dengan Soekarno memang hubungan yang menarik. Sejak awal kepemimpinannya, Soeharto memandang faktor Soekarno sebagai ancaman bagi legitimasi kekuasaannya. Soeharto bukan hanya memaksa Soekarno untuk turun dari kekuasaan, namun juga menggusur kekuatan-kekuatan soekarnois dari panggung pemerintahan dan militer. Uniknya, setelah Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, situasi tidak semakin membaik bagi Orde Baru. Jasad yang tak berdaya itu justru meninggalkan pengaruh yang semakin merepotkan Orde Baru. Soekarno sebagai institusi politik, ideologi dan sebagai dramaticperson dalam memori kolektif bangsa Indonesia seakan-akan menjadi hantu yang membuat penguasa Orde Baru tak pernah tidur nyenyak. Maka tak henti-hentinya dilakukan usaha untuk memutus mata rantai pengaruh Soekarno dalam kehidupan birokrasi, militer, serta dalam kehidupan masyarakat. Segala sesuatu yang berbau Soekarno selalu dicurigai, ditekan, bahkan kalau perlu diberangus. Rezim Orde Baru secara sistematis dan kontinu menggunakan perangkat-perangkat kekuasaannya untuk melakukan apa yang disebut sebagai desoekarnoisasi. Karantina politik Soekarno meninggal dalam status tahanan rumah. Sungguh tragis nasib Sang Proklamator ini di pengujung hidupnya. Ia digiring dalam sebuah karantina politik, diasingkan dari berbagai hal yang membuatnya merasa bermakna, yakni anak-istri, teman seiring, pengikut-pengikut setia, kerumunan massa dan pidato-pidato yang menggairahkan. Bahkan, untuk sekadar menyalurkan hobi berjalanjalan dan membaca surat kabar pun Soekarno sempat tak diizinkan. Seperti yang telah diwasiatkan almarhum, keluarga Soekarno hendak memakamkan almarhum di Batu Tulis, Bogor. Namun, sebagai penguasa Orde Baru, Soeharto berkehendak lain. Bagi Soeharto, Bogor terlalu dekat dengan Jakarta dan pemakaman Bung Karno di sana dikhawatirkan suatu hari dapat menimbulkan dampak negatif bagi Orde Baru. Soeharto juga menolak usul pemakaman Bung Karno di taman makam pahlawan di Jakarta. Blitar, nun jauh di sana, tempat asal orangtua Bung Karno, dianggap "aman" untuk memakamkan Putra Sang Fajar. Upacara pemakaman Soekarno dilaksanakan dengan sederhana dan singkat. Teks pidato pemerintah yang dibacakan Jenderal M Panggabean dibuat sedapat mungkin seimbang dalam menggambarkan kebaikan dan keburukan Bung Karno. Namun, Soeharto juga menunjukkan penghormatannya terhadap Soekarno dengan mengumumkan hari berkabung nasional, sekaligus file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Desoekarnoi...0yang%20Tak%20Tuntas%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (2 of 11)4/3/2005 11:05:01 AM
Desoekarnoisasi:Delegitimasi yang Tak Tuntas -- Jumat, 1 Juni 2001
menggelar upacara pemakaman secara militer. Dalam hal ini, Soeharto tampak sangat hati-hati dan memperhitungkan benar dampak keputusan yang diambilnya pada momentum kematian Soekarno. Soeharto sadar masyarakat masih banyak yang mengidolakan Soekarno, dan dalam kondisi seperti ini, mengontrol secara ketat proses pemakaman Soekarno dapat menimbulkan gejolak yang tidak menguntungkan. Prioritas Soeharto lebih pada upaya menghindari situasi eksplosif yang bisa muncul akibat suasana emosional di kalangan pendukung Soekarno. Dengan kata lain, Soeharto berusaha untuk mengontrol sekaligus menghormati pengaruh Bung Karno, sebuah taktik yang dipertahankan selama memimpin Orde Baru. Prediksi Soeharto akan situasi eksplosif itu cukup masuk akal. Kematian Soekarno begitu menggemparkan masyarakat. Ribuan orang berbondong-bondong untuk memberi penghormatan terakhir bagi Soekarno. Media massa memberitakan bagaimana ratusan ribu manusia menyemut di jalan-jalan yang dilalui rombongan jenazah Bung Karno dari Lapangan Udara Bugis Malang, menuju Kota Blitar, Jawa Timur. Harian Kompas (22/6/1970) menggambarkan Kota Blitar yang kecil dan sederhana mendadak sontak menjadi penuh sesak oleh manusia. Orang-orang dari berbagai daerah datang dengan menggunakan mobil, truk, angkutan umum, sepeda motor, sepeda bahkan berjalan kaki untuk menyaksikan pemakaman Soekarno. Meskipun demikian, masyarakat sesungguhnya menyambut kematian Soekarno dengan gamang. Situasi politik waktu itu membuat masyarakat tidak berani terang-terangan mengekspresikan kesedihan atas meninggalnya Soekarno. Meskipun telah diumumkan hari berkabung nasional, masyarakat Blitar baru berani mengibarkan bendera setengah tiang setelah ada instruksi dari Gubernur Jawa Timur M Noer. Mereka berani keluar rumah, bergerombol dan memperbincangkan apa yang terjadi setelah orang-orang dari luar daerah berdatangan untuk menyaksikan pemakaman Soekarno. (Kompas, 23/06/70) Suasana serupa juga terjadi di Jakarta. Warta Minggu (5/7/70) memberitakan sedikit sekali pejabat tinggi, pemimpin masyarakat, instansi atau perusahaan yang berani memasang iklan belasungkawa di surat kabar. Warta Minggu mencatat mereka yang berani memasang iklan duka cita adalah DPP PNI, DPP IPKI, Keluarga Yayasan Rehabilitasi Sosial BU NALO, Keluarga Sudarmoto Djakarta, PT Hotel Indonesia Internasional, Brigdjen H Sugandhi, DPP Djamiatul Muslimin Indonesia, DPP GMNI, Fraksi PNI DPR GR dan PPK Kosgoro. "Jang lain2 mungkin 'tidak berani'
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Desoekarnoi...0yang%20Tak%20Tuntas%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (3 of 11)4/3/2005 11:05:01 AM
Desoekarnoisasi:Delegitimasi yang Tak Tuntas -- Jumat, 1 Juni 2001
pasang iklan, atau tidak melihat keuntungannja jang njata," tulis Warta Minggu. Setelah Soekarno wafat, represi terhadap hal-hal yang berbau Soekarno justru semakin meningkat. Pada awal dekade 1970-an, diskusi tentang Bung Karno sangat dibatasi. Sebuah larangan tak resmi diberlakukan terhadap publikasi tulisan-tulisan politik Bung Karno. Nama presiden pertama Indonesia ini jarang, atau bahkan tidak pernah sama sekali, disebut-sebut oleh unsur-unsur rezim Orde Baru. Meskipun keyakinan bahwa Soekarno adalah perumus Pancasila begitu mengakar kuat dalam skema pemahaman mayoritas bangsa Indonesia, referensi yang mengaitkan Bung Karno dengan Pancasila hampir sepenuhnya diingkari oleh pemerintahan Orde Baru. Praktik desoekarnoisasi itu merupakan kontinum dari politik yang dijalankan Orde Baru pada saat-saat sebelumnya. Konsolidasi politik pasca-G30S/1965 bukan hanya dilakukan dengan membersihkan tubuh birokrasi dan militer dari unsur-unsur PKI dan simpatisannya, namun juga dari unsur-unsur soekarnois. Amputasi politik dalam skala masif dialami kalangan loyalis Soekarno di berbagai tingkatan birokrasi dan militer. Ada yang sekadar digeser posisinya, dipecat, dipenjarakan, bahkan ada yang turut dilenyapkan dalam huru-hara politik yang penuh darah itu. Lewat fusi paksa selepas tahun 1973, PNI sebagai simbol kelembagaan yang paling langsung dari Soekarno, dipaksa meleburkan diri dalam wadah yang justru lebih sempit, Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Orang-orang PNI yang masih Soekarnois tak diberi pilihan lain, bahkan teror-teror langsung dan sistematis dialami aktivis-aktivis PNI di pusat dan terutama sekali di daerah yang berusaha melakukan perlawanan. Rezim Orde Baru juga sempat melarang penggunaan gambar dan simbol Soekarno dalam kampanye Pemilu 1987, meskipun pelarangan ini terbukti tidak efektif. Pelarangan gambar Soekarno ini merupakan ekspresi permukaan dari tindakan sistematis rezim Orde Baru untuk menggunakan status legal-formalnya guna menyudahi eksistensi Soekarno sebagai ideologi dan institusi politik. Demikian juga ketika Orde Baru menghalangi usaha Rachmawati Soekarno untuk mendirikan Universitas Bung Karno tahun 1984. Yang terakhir dan paling fenomenal, rezim Orde Baru secara kasar menggusur Megawati Soekarnoputri dari pucuk pimpinan PDI tahun 1996. Pancasila dan Bung Karno
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Desoekarnoi...0yang%20Tak%20Tuntas%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (4 of 11)4/3/2005 11:05:01 AM
Desoekarnoisasi:Delegitimasi yang Tak Tuntas -- Jumat, 1 Juni 2001
Khalayak nasional pernah dibikin heboh oleh artikel berjudul Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara di Sinar Harapan, 3 Agustus 1981. Artikel ini ditulis Nugroho Notosusanto yang ketika itu sebagai Kepala Pusat Sejarah Militer ABRI. Dalam artikelnya, Nugroho menyatakan Soekarno bukan orang pertama yang merumuskan lima prinsip Pancasila. Menurut Nugroho, perumus utama Pancasila adalah Muhammad Yamin, Supomo, baru kemudian Soekarno. Peran Soekarno hanyalah dalam hal memunculkan istilah Pancasila. Bertolak dari premis ini, Nugroho juga menggugat keabsahan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila. Menarik untuk dicatat, premis yang merupakan reevaluasi terhadap sejarah Pancasila ini paralel dengan perubahan kebijakan rezim Orde Baru. Soeharto kemudian menghapus peringatan lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni, dan melarang semua bentuk peringatan pada tanggal itu. Meskipun menimbulkan keberatan dari berbagai pihak, rezim Orde Baru secara terang-terangan justru mengabsahkan premis Nugroho. Tahun 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan artikel Nugroho itu menjadi sebuah booklet 69 halaman yang dijadikan bacaan wajib bagi para guru pengajar pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Ada hal yang kurang relevan dalam tulisan Nugroho. Perumusan Pancasila adalah proses sejarah yang terjadi tahun 1945, namun Nugroho menghubung-hubungkannya dengan apa yang terjadi pada dekade 1960-an. Nugroho menegaskan, generasi muda perlu diberi tahu pengalaman sejarah Orde Lama di mana ideologi marxismeleninisme berkembang, agar mereka tidak mengulangi salah langkah pada masa itu, semata-mata hanya karena tidak tahu. Nugroho juga melihat pencabutan kekuasaan pemerintahan dari Soekarno oleh MPRS tahun 1967 adalah "faktor yang menjulang tinggi" di dalam persoalan pengamanan Pancasila dari ancaman ideologi marxismeleninisme sebagaimana yang dimaksud oleh Ketetapan MPRS No XXV/ MPRS/1966. Selanjutnya, menurut Nugroho, penghormatan terhadap jasa-jasa Soekarno seharusnya tidak membutakan mata masyarakat terhadap "kenyataan bahwa selama zaman Orde Lama itu, Bung Karno memberikan keleluasaan bergerak kepada PKI, dan bahkan mendukung partai itu dengan menyingkirkan kekuatan-kekuatan Pancasilais yang dapat mengimbangi kaum komunis..." Perlu dipertanyakan apa relevansi ditampilkannya "tafsir" sejarah itu. Sebab Nugroho tidak sedang berbicara tentang ancaman komunisme terhadap Pancasila, atau "kesaktian" Pancasila dalam menghadapi berbagai rongrongan. Proses perumusan Pancasila
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Desoekarnoi...0yang%20Tak%20Tuntas%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (5 of 11)4/3/2005 11:05:01 AM
Desoekarnoisasi:Delegitimasi yang Tak Tuntas -- Jumat, 1 Juni 2001
notabene berhenti pada 18 Agustus 1945 ketika PPKI mengesahkan UUD 1945, dan tentu saja berbeda dengan "proses perjalanan Pancasila sebagai dasar negara". Nugroho terlalu jauh masuk dalam pembahasan tentang sepak terjang politik Soekarno sehingga sedikit keluar dari konteks bahasan lahirnya Pancasila. Di sisi lain, Nugroho juga menegaskan rumusan Pancasila 1 Juni 1945 rentan terhadap ancaman komunisme. Nugroho menunjukkan bagaimana tokoh PKI seperti DN Aidit dan Nyoto pernah menggunakan sila internasionalisme, salah satu sila dalam Pancasila rumusan 1 Juni, untuk mendukung ide-ide komunismenya. Sebuah kesimpulan yang simplistik. Legitimasi atas rumusan Pancasila 1 Juni juga datang dari berbagai pihak, dengan latar belakang dan alasan yang berbeda dengan yang diutarakan tokoh PKI tadi. Dua minggu setelah artikel Nugroho itu dimuat, Institut SoekarnoHatta mengumumkan "Deklarasi Pancasila" yang berisi penegasan bahwa tanggal 1 Juni merupakan hari lahirnya Pancasila. Deklarasi ini ditandatangani 17 tokoh masyarakat yang sebagian mempunyai latar belakang antikomunis. Mereka di antaranya adalah Jusuf Hasyim (pemimpin PPP), Usep Ranawijaya (pemimpin senior PDI), HR Dharsono (mantan Sekretaris Jenderal ASEAN) dan Jenderal (Purn) Hugeng. Deklarasi ini dibacakan di Monumen SoekarnoHatta, Jalan Proklamasi Jakarta pada pukul 00.00, 17 Agustus 1981. Sebuah pemandangan yang menarik. Sejumlah tokoh dengan otoritas politik yang tinggi melakukan perlawanan simbolis terhadap seorang ahli sejarah yang baru saja menggugat sebuah versi sejarah. Kompetensi akademis dilawan secara politis. Dalam kacamata Brooks, tindakan Nugroho di atas mendapat restu pemerintah, sebagai bagian dari usaha untuk menciptakan "keseimbangan" perspektif tentang Soekarno. Peningkatan idealisasi terhadap Soekarno di kalangan loyalis Soekarno dan generasi muda, diimbangi dengan usaha-usaha untuk menegaskan makna penting Soekarno dalam konteks sejarah. Kebangkitan kekuatan nostalgis terhadap Soekarno dan semakin kuatnya mitos-mitos tentang Soekarno sekitar tahun 1978 cukup mengkhawatirkan Orde Baru sehingga Nugroho diinstruksikan untuk melakukan counter dengan menciptakan gambaran-gambaran yang negatif tentang Soekarno. Meskipun premis-premisnya sempat memicu kontroversi, Nugroho dipromosikan pemerintah menjadi Rektor UI tahun 1982. Setahun kemudian, Nugroho diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam jabatan yang terakhir ini, Nugroho pernah diinstruksikan Soeharto untuk merevisi pelajaran sejarah sekolah dengan menekankan instabilitas politik di era kepemimpinan
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Desoekarnoi...0yang%20Tak%20Tuntas%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (6 of 11)4/3/2005 11:05:01 AM
Desoekarnoisasi:Delegitimasi yang Tak Tuntas -- Jumat, 1 Juni 2001
Soekarno tahun 50-an. Berawal dari sinilah kemudian bermunculan konstruksi-konstruksi unfavourable tentang Soekarno dalam buku teks sejarah. Konstruksi unfavourable tentang Soekarno diidentifikasi Leigh dalam buku teks Tiga Puluh Tahun Indonesia Merdeka. Buku ini terdiri dari empat volume: volume 1 dan 2 menjelaskan sejarah era kepemimpinan Soekarno. Volume 1 (1945-1949) diawali dengan sampul foto Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan 1945. Dalam kacamata Leigh, foto yang memperlihatkan Soekarno sedang menundukkan pandangannya ini cenderung menafikan kharisma Soekarno. Buku ini terdiri dari 254 halaman dilengkapi dengan foto atau gambar. Namun, foto Soekarno hanya dimunculkan 14 kali dan menurut Leigh rata-rata berupa foto yang sulit diamati karena berukuran kecil atau foto dengan sudut pengambilan yang kurang tepat. Leigh membandingkannya dengan foto-foto Letkol Soeharto. Di antaranya adalah foto yang menonjolkan wajahnya, serta foto yang menunjukkan dia sedang di tengah-tengah kerumunan prajurit, yang menggambarkan peran pentingnya dalam Serangan Oemoem I Maret 1949 di Yogyakarta. Foto yang lain berupa foto sepenuh halaman Soeharto dengan para veteran perang, serta foto Soeharto dengan Sultan Yogyakarta. Foto-foto ini, menurut Leigh, memperteguh citra Soeharto sebagai militer yang bersih dan sosok pemimpin yang terpercaya. Periode 1945-1949 merupakan puncak karier Soekarno sebagai negarawan maupun politisi. Namun, eksistensi Soekarno justru dikecilkan atau dikeluarkan dari teks resmi pemerintah yang membahas sejarah periode itu. Eksklusi terhadap eksistensi Soekarno bersandingan dengan inklusi terhadap eksistensi militer di era revolusi fisik, dengan penonjolan peranan Soeharto pada momentum Serangan Oemoem 1 Maret. Satu fakta yang sangat menarik juga ditemukan Leigh dalam soalsoal ujian untuk materi sejarah tingkat sekolah dasar. Dalam soalsoal pilihan berganda itu, Soekarno ternyata banyak ditempatkan pada pilihan jawaban yang salah untuk pertanyaan-pertanyaan seputar Pancasila, perjuangan melawan penjajah, dan penumpasan pemberontakan pascakemerdekaan. Sebaliknya, Leigh tidak menemukan satu pun soal ujian yang menempatkan nama Soeharto dalam pilihan jawaban yang salah. Fakta ini menurut Leigh dapat berdampak buruk terhadap persepsi siswa terhadap peranan Soekarno maupun Soeharto dalam sejarah. Komunisme dan Soekarno file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Desoekarnoi...0yang%20Tak%20Tuntas%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (7 of 11)4/3/2005 11:05:01 AM
Desoekarnoisasi:Delegitimasi yang Tak Tuntas -- Jumat, 1 Juni 2001
Dalam buku Tiga Puluh Tahun Indonesia Merdeka Volume 3. (19651974), Leigh mencatat beberapa penyajian yang berdampak buruk terhadap citra Soekarno. Misalnya foto Soekarno dengan pemimpin PKI Aidit, karikatur yang menggambarkan Soekarno menjadi bahan tertawaan mahasiswa berkaitan dengan masalah PKI, serta foto tim dokter dari RRC sedang memberikan perawatan medis kepada Soekarno. Foto-foto ini ditampilkan dalam deskripsi peristiwa G30S/1965. Dalam buku ini, peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto dijelaskan dalam term pergantian kekuasaan, dan bukannya dalam term perebutan kekuasaan (coup d'etat). Soekarno dihadirkan sebagai personifikasi Orde Lama yang diidentifikasi dengan instabilitas politik, kemerosotan moral, dan krisis ekonomi. Sebaliknya, Soeharto digambarkan sebagai personifikasi Orde Baru yang berhasil menyelamatkan bangsa dari kondisi-kondisi kacau warisan Orde Lama. Tahun 1968, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh meluncurkan buku The Coup Attempt of the September 30 Movement in Indonesia. Buku ini menegaskan kesimpulan rezim Orde Baru bahwa PKI adalah kekuatan di balik peristiwa G30S/1965 yang telah diberi kesempatan Soekarno untuk berkembang pesat pada akhir dekade 50-an dan awal dekade 60-an. Rezim Orde Baru secara implisit menyimpulkan kontribusi Soekarno dalam peristiwa September 1965. Buku ini merupakan reaksi atas buku Ben Anderson dan Ruth McVey berjudul Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia yang menyimpulkan ABRI sebagai pemain utama dalam peristiwa G30S/1965. Pada tahun 1978, Nugroho juga mengoordinasi penyusunan Buku Putih G30S Tahun 1965 dengan kesimpulan yang sama dengan buku pertama tadi. Hal yang tak kalah menarik adalah sikap rezim Orde Baru ketika Kolonel (Purn) Soegiarso Soerojo mempublikasikan buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai tahun 1988. Buku ini sarat dengan tuduhan bahwa Soekarno seorang Marxis, komunis, serta terlibat dalam G30S/1965. Menanggapi penerbitan buku ini, Mensesneg Moerdiono dengan tegas menyatakan bahwa secara politik Soekarno memang salah. "Buktinya ada Tap MPRS tahun 1967, yang mencabut kekuasaannya dan tidak diterima pelaksanaan Nawaksara-nya," ujar Moerdiono. Dengan mengutip hasil Sidang MPRS 1967, Ketua BP-7 Oetoyo Oesman juga menyatakan, "Itulah kesalahan (Soekarnopen) yang bertautan dengan Peristiwa G30S/PKI. Yakni, kesalahan di bidang politik dan kesalahan yuridis. Dua kesalahan itu yang
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Desoekarnoi...0yang%20Tak%20Tuntas%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (8 of 11)4/3/2005 11:05:01 AM
Desoekarnoisasi:Delegitimasi yang Tak Tuntas -- Jumat, 1 Juni 2001
menyebabkan Soekarno dikoreksi oleh wakil rakyat yang duduk dalam lembaga tertinggi negara MPRS di tahun 1967." Ketika berbagai pihak mempertanyakan keabsahan buku itu, Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono menyatakan substansi buku karya Soegiarso itu tidak mengganggu ketertiban umum sehingga tidak perlu dilarang. Media massa dalam hal ini benar-benar dimanfaatkan rezim Orde Baru untuk melakukan delegitimasi terhadap Soekarno. Namun, media ternyata tak hanya memberi ruang kepada tafsir kebenaran negara tentang seluk-beluk G30S/1965, tetapi juga kepada tafsirtafsir alternatif. Untuk memenangkan perdebatan di media yang kompetitif itu, tak pelak rezim Orde Baru menempatkan figur yang otoritatif dan berkompeten, seperti terwakili oleh figur Moerdiono, Oetoyo Oesman, dan Sukarton. "Mikul dhuwur mendhem jero" Namun, desoekarnoisasi dalam berbagai bentuknya bukan satusatunya dimensi dalam sikap politik Orde Baru terhadap Soekarno. Sebab menentukan sikap terhadap Soekarno, ternyata menjadi suatu hal yang dilematis bagi Orde Baru. Terus-menerus mendiskreditkan Bung Karno ternyata bukan pilihan yang tak mengandung risiko. Pada akhirnya, pertimbangan-pertimbangan politislah yang lebih menentukan apakah Orde Baru harus mendelegitimasi atau melegitimasi Soekarno. Dalam ulang tahun PDI tahun 1978, Ali Moertopo mengumumkan rencana Presiden Soeharto untuk memugar kompleks makam Soekarno di Blitar. Rencana ini menjadi kontroversial dan mengundang kecurigaan karena bertolak belakang dengan perlakuan rezim Orde Baru terhadap Soekarno sebelumnya. Menurut Brooks, ada tiga kemungkinan di balik rencana itu. Pertama, Soeharto benar-benar ingin menghormati Soekarno. Kedua, rencana itu merupakan bagian dari strategi untuk menghadapi Pemilu 1992. Ada kepentingan politis untuk menetralisasi kekecewaan kalangan loyalis Soekarno atas sikap negara Orde Baru terhadap Soekarno sebelumnya. Kekecewaan ini dapat menimbulkan sikap apriori, bahkan antipati terhadap partai pemerintah (Golkar), dan sebaliknya menimbulkan dorongan untuk memilih partai politik yang "berseberangan" dengan pemerintah. Ketiga, rencana yang dapat menimbulkan efek rehabilitasi nama Soekarno bertujuan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari aksi-aksi protes mahasiswa yang cenderung semakin semarak tahun 1977-1978. Tahun 1985, nama Soekarno (Hatta) diabadikan sebagai nama file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Desoekarnoi...0yang%20Tak%20Tuntas%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (9 of 11)4/3/2005 11:05:01 AM
Desoekarnoisasi:Delegitimasi yang Tak Tuntas -- Jumat, 1 Juni 2001
bandara udara terbesar di Indonesia. Setahun kemudian, Orde Baru juga mengesahkan Soekarno-Hatta sebagai pahlawan proklamator kemerdekaan RI dan membangun Tugu Proklamator untuk mengenang jasanya. Beberapa pengamat menilai "eforia" Soekarno ini bisa jadi merupakan strategi untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari krisis ekonomi akibat anjloknya harga minyak pada awal dekade 1980-an. Krisis ini dapat melemahkan legitimasi kekuasaan Soeharto pada Pemilu 1987. Pada titik ini terlihat Soeharto menerapkan dua pendekatan yang berbeda terhadap Soekarno. Ia secara diam-diam berusaha mendiskreditkan Soekarno dan mengontrol pengaruhnya. Ketika taktik ini kurang berhasil, Soeharto berusaha untuk mewarisi popularitas Soekarno dengan menempatkan diri sebagai bagian dari kontinum kekuasaan yang telah digerakkan Soekarno. Kombinasi antara containment dan cooptation ini menjadi ekspresi dasar dari falsafah mikul dhuwur mendhem jero. Soeharto dapat menunjukkan penghormatannya kepada Soekarno sekaligus membelenggu mitologi-mitologi tentang Soekarno dengan selalu menekankan bahwa Soekarno telah melakukan berbagai kesalahan. Entah ada hubungannya dengan sikap di atas atau tidak, yang jelas desoekarnoisasi tak pernah berakhir tuntas. Romantisisme terhadap Soekarno hingga kini belum sepenuhnya pudar. Simbol-simbol Soekarno masih menjadi sarana yang efektif untuk menggalang massa dalam pemilu. Beberapa jajak pendapat yang dilakukan media massa juga menunjukkan generasi yang tak mengenal hirukpikuk perpolitikan era Soekarno dan yang notabene tak dididik untuk "melek" politik pun banyak yang mengagumi Soekarno melebihi tokoh sejarah yang lain. Meminjam istilah Cornelis Lay, Soekarno bukan saja terus bertahan sebagai ideologi dan pemikiran politik, namun dari waktu ke waktu mendapatkan impor energi yang semakin besar dari kegagalan Orde Baru dalam merumuskan ideologi bagi bangsa Indonesia yang ingin mereka bangun. * Agus Sudibyo Peneliti pada Institut Studi Arus Informasi Jakarta, menulis buku Citra Bung Karno, Analisis Berita Pers Orde Baru.
Berita nasional lainnya : ●
●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Desoekarnoi...0yang%20Tak%20Tuntas%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (10 of 11)4/3/2005 11:05:01 AM
Di Seberang Jembatan Emas -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Di Seberang Jembatan Emas Franz Magnis-Suseno SJ WAKTU Soekarno, Bung Karno, menulis brosurnya Mencapai Indonesia Merdeka, 1933 (saya memakai terbitan Yayasan Pendidikan Soekarno/Yayasan Idayu, Jakarta 1982), pergerakan nasional di Indonesia kelihatan hang. Sesudah pemberontakan komunis 1926/1927 dan krisis ekonomi dunia 1928, pemerintah kolonial dengan sangat represif menindas kaum nasionalis Indonesia. Sedangkan kaum nasionalis sendiri tidak bersatu tentang bagaimana perjuangan kebangsaan mereka harus diteruskan. Dalam situasi ini, Bung Karno menyerukan bahwa "di timur matahari mulai bercahaya, fajar mulai menyingsing". Kalau kaum Marhaen percaya akan cita-cita mereka, mereka, begitu Bung Karno, tidak dapat dikalahkan.Banyak pembaca sudah mencatat sesuatu yang dalam tulisan ini mau sedikit ditelusuri: Betapa Bung Karno dalam brosur ini terpengaruhi oleh pemikiran Lenin tentang revolusi sosialis. Berikut ini saya akan menunjukkan keterpengaruhan itu, lalu mempertanyakan sejauh mana Bung Karno dapat dikatakan menganut leninisme untuk, akhirnya, menarik beberapa kesimpulan. 1. Mengalahkan kapitalisme dan imperialisme Yang langsung menarik perhatian: Tujuan perjuangan kemerdekaan menurut Bung Karno bukan kemerdekaan itu sendiri, melainkan pembebasan dari "kapitalisme dan imperialisme". Kalau "imperialisme" jelas karena tak terpisah dari kolonialisme. Tetapi bahwa Bung Karno begitu saja, dalam tradisi wacana marxis murni, menganggap masa pascakolonial sebagai pascakapitalis, bagi banyak dari kita terasa asing. Tujuh puluh tahun sesudah Bung Karno kita semua sudah tahu bahwa sosialisme dalam arti penggantian mekanisme pasar dengan perekonomian berdasarkan perencanaan sentral negara sudah gagal, kita menyaksikan kejayaan masyarakat konsumis pasca-Perang Dunia II yang justru berdasarkan ekonomi pasar, kita barangkali sudah membaca Third Way-nya Anthony Giddens yang-seperti banyak ilmuwan lainfile:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Di%20Seber...batan%20Emas%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 11)4/3/2005 11:05:03 AM
Di Seberang Jembatan Emas -- Jumat, 1 Juni 2001
menganggap dikotomi "sosialisme lawan kapitalisme" sebagai jauh ketinggalan (third way itu bukan jalan ketiga di antara sosialisme dan kapitalisme, melainkan antara bentuk-bentuk perekonomian pascadikotomi itu!). Akan tetapi, di tahun 1920-an dan 1930-an, abad ke-20 situasi masih lain. Komunisme dan sosialisme radikal baru saja muncul di panggung dunia. Negara-negara demokratis di Eropa dengan perekonomian "kapitalis" mengalami kesulitan besar (dan akan dilanda oleh fasisme). Dalam situasi itu tidak mengherankan bahwa para nasionalis Indonesia dengan sendirinya menolak kapitalisme yang memang jelas mendorong perkembangan kolonialisme ke imperialisme sejak permulaan abad ke-19. Penolakan itu tidak khas Bung Karno saja. Hatta, HOS Tjokroaminoto, dan banyak tokoh lain sama saja menolak kapitalisme. 2. Ajaran Lenin tentang revolusi sosialis Namun, ciri "leninis" brosur Mencapai Indonesia Merdeka bukan hanya karena penolakan terhadap kapitalisme itu. Sebagaimana mau saya perlihatkan, seluruh strategi perjuangan untuk merebut kemerdekaan yang diajukan Bung Karno mengikuti, kadang-kadang secara harfiah, apa yang ditulis Lenin antara lain dalam dua buku yang paling termashyur, What is to be Done? (1903) dan The State and Revolution (1917). Demi perbandingan, mari kita lihat garis besar teori revolusi sosialis Wladimir I Lenin sebagaimana dimuat dalam dua buku itu. Lenin mengembangkan pandangannya berhadapan dua faham yang ditolaknya dengan tajam: ekonomisme dan anarkisme (sindikalis). Pandangan ekonomisme mengatakan bahwa revolusi sosialis tidak perlu diusahakan. Kapitalisme akan- karena dinamikanya sendirisemakin runtuh dan dengan demikian menciptakan situasi yang matang untuk revolusi. Melawan pandangan itu Lenin menegaskan bahwa revolusi sosialis hanya terlaksana apabila proletariat mau melaksanakannya. Tak akan ada revolusi tanpa kesadaran sosialis-revolusioner. Akan tetapi, kesadaran sosialis tidak dapat timbul dengan sendirinya. Proletariat dengan sendirinya hanya akan mencapai sebuah kesadaran "serikat buruh" (trade unionalist), artinya, berdasarkan pengalaman langsung perjuangan di tempat kerja mereka selalu hanya akan menuntut upah lebih tinggi dan kondisi-kondisi kerja lebih baik. Kesadaran sosialis yang sungguh-sungguh, karena itu, harus dimasukkan dari luar ke dalam proletariat. Hal itu juga jelas karena file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Di%20Seber...batan%20Emas%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 11)4/3/2005 11:05:03 AM
Di Seberang Jembatan Emas -- Jumat, 1 Juni 2001
sosialisme merupakan sebuah teori ilmiah yang hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang terlatih secara intelektual, tetapi tidak oleh kaum buruh yang tidak memiliki pendidikan tinggi. Memasukkan kesadaran revolusioner ke dalam proletariat adalah tugas partai. Inti leninisme adalah ajaran tentang peran kunci partai. Partai harus merupakan partai pelopor yang terdiri atas kaum revolusioner profesional purnawaktu. Partai itu harus memimpin proletariat. Partai sendiri diatur menurut asas sentralisme demokratis: Demokratis, karena para pemimpin dipilih dalam musyawarah partai itu, sentralistik karena sesudah pimpinan dipilih, pimpinan harus ditaati dengan mutlak dan partai dipimpin secara sentralistik dan hierarkis dari atas. Apakah revolusi memang perlu? Ada aliran dalam marxisme yang berpendapat bahwa sosialisme dapat diciptakan tanpa revolusi. Untuk itu, cukup kalau proletariat memakai mekanisme demokrasi. Bukankah proletariat akan merupakan mayoritas masyarakat? Kalau begitu, proletariat melalui pemilihan umum dapat mencapai mayoritas dan mengadakan sosialisme melalui undang-undang. Lenin menolak garis pikiran ini. Baginya demokrasi hanyalah tipuan borjuasi yang kalau proletariat membatasi diri padanya, akan mematikan semangat revolusioner proletariat. Dalam kerja sama dengan borjuasi sosialisme tidak mungkin tercapai. Lawan kedua Lenin adalah kaum anarko-sindikalis. Mereka menuntut agar sesudah revolusi negara dengan segala aparatnya dihapus. Tetapi bagi Lenin anggapan ini naif. Meskipun sesudah revolusi kekuasaan politik dipegang oleh proletariat, namun semua struktur kekuasaan masih sama dengan masa kekuasaan borjuasi. Oleh karena itu, perlu proletariat mengadakan kediktatoran dulu untuk menghancurkan borjuasi dan kapitalisme. Maka, untuk mewujudkan sosialisme sebagai tujuan terakhir, proletariat harus memantapkan dulu monopoli kekuasaan dalam tangannya. Dan karena lawan sementara ini hanya kalah secara politik, serta proletariat masih minoritas terhadap kelas-kelas sekutu, kaum tani dan borjuasi kecil, maka bukan demokrasi, melainkan kediktatoran proletariat yang perlu dibikin. 3. Massa aksi dan partai pelopor Mari kita sekarang melihat pandangan Bung Karno tentang perjuangan demi Indonesia Merdeka. Yang sangat mencolok dalam tulisan yang berjudul Mencapai Indonesia Merdeka adalah bahwa hal merdeka- yang tentu saja tidak pernah hilang dari fokus Bung Karno: "syarat yang pertama ialah: kita harus merdeka" (41)-seakanakan terdesak oleh sebuah keprihatinan lebih jauh, yaitu penolakan terhadap kapitalisme dan imperialisme. Bung Karno sangat khawatir
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Di%20Seber...batan%20Emas%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 11)4/3/2005 11:05:03 AM
Di Seberang Jembatan Emas -- Jumat, 1 Juni 2001
jangan sampai sesudah Indonesia merdeka, Indonesia jatuh ke tangan "kaum ningrat dan kaum kapitalis". Kemerdekaan bukan tujuan atau nilai pada dirinya sendiri, melainkan "jembatan". "Kita harus merdeka agar supaya kita bisa leluasa bercancut tali wanda menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme" (41). Tujuan perjuangan kaum marhaen adalah "suatu masyarakat yang adil dan sempurna," jadi "yang tidak ada tindasan dan hisapan," dan oleh karena itu "tidak ada kapitalisme dan imperialisme"(41). Seperti telah saya sebutkan di atas, penolakan kapitalisme dan imperialisme bukan khas Bung Karno, melainkan menjadi pandangan seluruh tokoh nasionalis waktu itu, namun menunjukkan pengaruh perspektif Leninis. Karena itu, kaum Marhaen tidak cukup asal berjuang. Mereka harus berjuang dengan kesadaran yang tepat. Mengikuti bahasa Lenin, Bung Karno menegaskan bahwa yang perlu adalah kesadaran yang radikal. Radikal bagi Bung Karno berarti sadar akan adanya dua golongan dalam masyarakat yang berlawanan. Bung Karno tidak memakai bahasa "pertentangan kelas", tentu karena faham "Marhaen" justru mau menegaskan bahwa analisa kelas marxis tidak cocok dengan kenyataan sosial di Indonesia. Namun, ia menegaskan bahwa kaum Marhaen harus selalu sadar bahwa ada yang "sana" dan yang "sini", ada "golongan 'atas'" dan "golongan 'bawah'" dan bahwa antara dua-duanya hanya bisa ada pertentangan. "Sana dan sini tidak bisa diakurkan, sana dan sini tidak bisa dipungkiri atau ditipiskan antitesenya, sana dan sini akan selamanya bertabrak-tabrakan satu sama lain" (47) karena "inilah yang oleh kaum marxis disebutkan dialektiknya sesuatu keadaan" (ib.). Seperti Lenin menolak kemungkinan untuk mencapai sosialisme secara damai, begitupun Bung Karno menuntut sikap nonkooperasi. Nonkooperasi bukan hanya dengan pemerintahan kolonial, tetapi juga dalam arti "tidak mau duduk di dalam dewan-dewan kaum pertuanan" (49). Oleh karena itu, seperti Lenin membedakan antara kesadaran "serikat buruh" dan "kesadaran sosialis revolusioner", Bung Karno membedakan "massa aksi" yang radikal dari massale actie yang hanya kelihatan radikal (62). Dalam yang terakhir "kaum lunak" sekadar membatasi diri pada "rapat-rapat umum". Begitu misalnya Sarekat Islam "dulu tidak bisa membangkitkan massa aksi karena ia tidak berdiri di atas pendirian yang radikal". Artinya, ia tidak mempunyai perspektif "sana-sini", perspektif Marhaen lawan kaum ningrat dan kaum kapitalis (63). "Massa aksi" harus "100 persen radikal: perlawanan sonder damai, kemarhaenan, melenyapkan cara susunan masyarakat sekarang, mencapai cara susunan masyarakat baru" (ib.).
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Di%20Seber...batan%20Emas%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 11)4/3/2005 11:05:03 AM
Di Seberang Jembatan Emas -- Jumat, 1 Juni 2001
Namun, lagi-lagi mengikuti Lenin, Bung Karno menegaskan bahwa "kesadaran kemarhaenan" akan terlalu lama kalau ditunggu berkembang dengan sendirinya. Harus ada satu partai Marhaen yang berjalan di depan. Seperti perjuangan proletariat harus dipimpin oleh partai pelopor, begitu perjuangan kaum Marhaen harus dipimpin oleh sebuah "partai pelopor". "Partai yang memegang obor, partailah yang berjalan di muka, partailah yang menyuluhi jalan yang gelap dan penuh dengan ranjau-ranjau itu sehingga menjadi jalan terang" (37). Partai itu "memimpin massa", "memegang komando", "harus memberi ke-bewust-an pada pergerakan massa", "memberi keradikalan". Adalah tugas partai untuk "menjelmakan massa yang tadinya onbewust dan hanya raba-raba itu menjadi suatu pergerakan massa yang bewust dan radikal, yakni massa aksi yang insaf akan jalan dan maksud-maksudnya" (37). "Partai yang dengan gagah berani pandai memimpin dan membangkitkan bewuste massa aksi" "kemenangan sudah bisa datang" (38). Maka, partai harus "memberi pendidikan dan keinsafan pada massa buat apa ia berjuang, dan bagaimana ia harus berjuang" (67). Partai harus menjaga dan menyalakan "radikalisme" yang tidak melupakan tujuan akhir dalam massa. Namun, justru karena itu perlu ada partai yang terus-menerus mengingatkan tujuan perjuangan yang sebenarnya. Partai perlu menjaga agar rakyat jangan sampai karena "tertarik oleh manisnya hasil-hasil kecil itu lantas lupa akan maksud besar", yaitu mencapai "puncak gunung Indonesia Merdeka" (69). Secara lebih konkret, yang harus dilakukan oleh partai pelopor itu adalah mengadakan "propaganda di mana-mana, kursus di mana-mana, perlawanan di mana-mana, anak-anak organsiasi, vakbond-vakbond, sarekatsarekat tani, majalah-majalah dan pamflet-pamflet" (72). Partai sendiri, mengikuti Lenin, harus waswas terhadap dua macam lawan, yaitu reformisme dan "anarcho-syndicalisme" (65). "Tiap-tiap anggota partai yang nyeleweng ke arah reformisme harus ditendang dari kalangan partai zonder pardon dan zonder ampun" (64; ungkapan "tanpa maaf dan tanpa ampun" hampir di setiap halaman The State and Revolution diulangi Lenin). Kalau pada Lenin kaum reformasi adalah kaum sosial demokrat Internasionale II yang mengharapkan bahwa sosialisme dapat diwujudkan secara demokratis, maka bagi Bung Karno kaum reformis adalah kaum "kooperasi", mereka yang mau mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia dalam bekerja sama dengan pemerintahan Belanda. Mengharapkan kemerdekaan dari kerja sama dengan kaum kolonialis adalah percuma. Mereka hanya akan melepaskan kekuasaan kalau dipaksa. Bung Karno mengutip Karl Marx: "Tak pernahlah sesuatu kelas suka melepaskan hak-haknya
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Di%20Seber...batan%20Emas%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (5 of 11)4/3/2005 11:05:03 AM
Di Seberang Jembatan Emas -- Jumat, 1 Juni 2001
dengan ridanya kemauan sendiri" (55). Maka, tak mungkin ada kemerdekaan yang tidak diperjuangkan oleh rakyat dalam "massa aksi". Faham "anarcho-syndikalisme" langsung diambil alih dari Lenin. Lenin menolak tuntutan mereka agar sesudah revolusi sosialis negara dengan segala aparatnya dihapus. Sesudah revolusi kekuatan negara perlu dipegang oleh proletariat untuk menghancurkan para musuh proletariat. Yang dimaksud Bung Karno dengan anarcho-syndikalisme adalah "penyelewengan ke arah amukamukan zonder pikiran, penyelewengan ke arah perbuatanperbuatan atau pikiran-pikiran cap mata gelap" (65). Melawan penyelewengan itu partai pelopor harus menegakkan "disiplin": "Disiplin, disiplin yang kerasnya sebagai baja, disiplin yang zonder ampun dan zonder pardon menghukum tiap-tiap anggota yang berani melanggarnya, adalah salah satu nyawa dari partai pelopor itu!" Di dalam partai pelopor Marhaen tidak boleh ada demokrasi. Sebagai prinsip kepemimpinan dalam partai Bung Karno mengambil "democratisch centralisme"-nya Lenin. "Partai di dalam kalbu sendiri tidak boleh berdemokrasi dalam makna segala 'isme' boleh leluasa" (64). Dan ia mengutip "seorang pemimpin besar": "Di dalam partai tak boleh ada kemerdekaan pikiran yang semau-maunya saja; kokohnya persatuan partai itu adalah terletak di dalam persatuan keyakinan" (65). Lalu apa yang harus dilakukan menurut Bung Karno, apabila Kemerdekaan sudah tercapai? Bung Karno menegaskan bahwa perjuangan dengan perolehan kemerdekaan belum selesai. Harus dipastikan bahwa kaum Marhaen dan bukan kaum ningrat dan kaum kapitalis yang memegang kekuasaan. Kemerdekaan harus dilihat sebagai "hanyalah sebuah jembatan, sekalipun suatu jembatan emas!" (76). Harus disadari bahwa "di seberang jembatan itu jalan pecah jadi dua: satu ke dunia keselamatan Marhaen, satu ke dunia Kesengsaraan Marhaen; satu ke dunia Sama Rata Sama Rasa, satu ke dunia sama Ratap sama Tangis" (ib.). "Kereta Kemenangan" di atas jembatan itu jangan "dikusiri oleh lain orang selainnya Marhaen" (ib.). Jadi, harus dipastikan bahwa kaum Marhaen, dan bukan kaum ningrat dan kaum kapitalis mengambil alih kekuasaan. Oleh karena itu, Bung Karno menolak demokrasi politik sebagai tujuan revolusi. Untuk memastikan bahwa kaum Marhaen, dan bukan pihak lain, "menggenggam kekuasaan pemerintahan" (46) demokrasi tidak memadai. Mengikuti kritik Lenin terhadap demokrasi, Bung Karno menunjuk pada Revolusi Perancis di mana rakyat jelata "akhirnya ternyata hanya diperkuda belaka oleh kaum borjuis yang bergembar-gembor 'demokrasi'" (77). Karena kekayaan dan penguasaan media komunikasi, kaum borjuasi akan menjadi
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Di%20Seber...batan%20Emas%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (6 of 11)4/3/2005 11:05:03 AM
Di Seberang Jembatan Emas -- Jumat, 1 Juni 2001
penguasa yang sebenarnya. Menurut Bung Karno "negeri-negeri sopan", Amerika Serikat, Belgia, Denmark, Swedia, Swiss, dan Jerman dikuasai oleh kapitalisme, dan karena itu di semua negara itu "rakyat jelata tidak selamat, bahkan sengsara kelewat sengsara" (79). Dan ia mengutip seorang Caillaux bahwa "kini Eropa dan Amerika ada di bawah kekuasaan feodalisme baru" (81). Maka, yang harus tercapai bukanlah demokrasi, melainkan "kekuasaan 100 persen pada rakyat", bukan hanya kekuasaan politik, melainkan kekuasaan ekonomis (bdk 82). Istilah untuk apa yang diidam-idamkan Bung Karno adalah "sosiodemokrasi" dan "sosio-nasionalisme" (83). Ia tidak menguraikan secara konkret operasional apa yang dimaksud dengan dua istilah itu. Memang, "tidak boleh ada satu perusahaan lagi yang secara kapitalistis menggemukkan kantong seseorang borjuis ataupun menggemukkan kantong burgerlijke staat" (82). Tetapi, kata "sosialisme" atau "sosialisasi hak milik produktif" tidak kita temukan. Selain bahwa "penyakit individualisme" harus disembuhkan dengan "benih 'gotong royong'" sehingga terwujud "'manusia baru' yang merasa dirinya 'manusia masyarakat' yang selamanya mementingkan keselamatan umum" serta petunjuk pada "koperasikoperasi yang radikal, vakbond-vakbond dan srikat-srikat tani radikal" tidak ada petunjuk lagi. 4. Soekarno dan Leninisme Dari uraian di atas kelihatan betapa Bung Karno terpengaruh oleh pemikiran Lenin. Apakah penghapusan kapitalisme sebagai tujuan revolusi, perlunya kesadaran radikal dalam kaum Marhaen, perlunya perspektif "sana" dan "sini", perlu adanya partai pelopor, penolakan terhadap cara damai atau kooperatif untuk mencapai kemerdekaan, perang terhadap reformisme dan "anarcho-syndicalisme", penegasan bahwa sesudah kemerdekaan tercapai, perjuangan belum selesai karena harus dipastikan bahwa kaum Marhaen dan bukan kaum ningrat dan kaum kapitalis yang memegang kekuasaan, serta bahwa untuk itu demokrasi tidak cocok, semua itu mengikuti garis pikiran Lenin. Jadi, Bung Karno seorang leninis? Itulah pertanyaan yang sekarang perlu diajukan. Saya bertolak dari perbedaan yang langsung mencolok. Bung Karno bukan hanya tidak bicara tentang proletariat, melainkan juga tidak tentang kelas-kelas. Bung Karno bicara tentang "kaum Marhaen". Di sini tidak perlu diceriterakan kembali bagaimana Bung Karno sampai ke nama itu. Yang mau dikatakannya dengan memakai istilah itu jelas: Bahwa pemisahan keras dan terinci antara pelbagai kelas yang khas bagi marxisme tidak sesuai dengan kenyataan di Indonesia. Di Indonesia yang mencolok adalah
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Di%20Seber...batan%20Emas%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (7 of 11)4/3/2005 11:05:03 AM
Di Seberang Jembatan Emas -- Jumat, 1 Juni 2001
pertentangan antara "orang kecil" dan "kaum atas", dan "orang kecil" bukan kata dari perbendaharaan marxisme. Apakah perbedaan ini relevan? Jawaban hanya dapat berbunyi: Perbedaan ini bersifat prinsipiil dan berarti bahwa Bung Karno-berbeda dari persepsinya sendiri-bukan seorang Marxis sama sekali. Bagi Karl Marx justru tidak semua "kelas bawah" di segala zaman bersifat revolusioner. Agar sebuah kelas dapat diharapkan menumbangkan kapitalisme (tujuan yang juga diiyakan oleh Bung Karno), situasi khas kelas itu dalam proses produksi harus kondusif ke perkembangan kesadaran kelas revolusioner itu. "Orang kecil" bagi analisa Marxis terlalu kabur, tidak dapat dipakai. Dilihat dari perbedaan perspektif sangat mendalam ini, perbedaanperbedaan "kecil" lainnya antara bahasa Lenin dan bahasa Bung Karno justru relevan. Pertama, partai pelopor Bung Karno tidak memiliki ciri-ciri partai pelopor Lenin. Kedua, tidak ada syarat-syarat keanggotaan, syarat bahwa anggota harus kaum revolusioner profesional purnawaktu dan sebaiknya diambil dari kaum intelektual. Tidak ada faham ajaran revolusioner ilmiah yang karena itu tidak dapat diketahui oleh proletariat yang kurang berpendidikan, dan karena itu harus dimasukkan dari luar ke dalamnya oleh partai. Bung Karno, lebih dekat dengan Marx daripada Lenin, melihat fungsi partai membuat sadar apa yang sudah dimiliki massa Marhaen secara tak sadar. "Kesadaran" pada Bung Karno lain daripada kesadaran revolusioner pada Lenin karena yang terakhir dimaksud sebagai kepercayaan pada sebuah teori dan pandangan dunia, yaitu Materialisme, Dialektis, dan Historis. Ketiga, tak ada sama sekali pada Bung Karno padanan terhadap kediktatoran proletariat yang dalam kenyataan, tetapi juga menurut ucapan Lenin, dilaksanakan sebagai kediktatoran partai komunis di atas proletariat. Tak ada tanda bahwa Bung Karno sesudah revolusi politik mengharapkan penghancuran total terhadap struktur kepemilikan dalam masyarakat sebagaimana menjadi program Lenin. Wacana "sosio-demokrasi" dan "sosio-nasionalisme" hanya diisi dengan menunjuk pada "koperasi radikal", serikat buruh dan serikat tani "radikal" tanpa menjelaskan apa itu "radikal", unsur-unsur mana semua, barangkali yang "radikal" itu juga terdapat dalam negara-negara "kapitalis" di Barat. Bung Karno bukan seorang revolusioner sosial. Maka, retorika leninis Bung Karno jangan menipu kita. Di sini tidak bicara seorang leninis, melainkan seorang yang mencita-citakan pembebasan rakyatnya dari penindasan kolonialisme dan keterpurukan di bawah kaum feodal tradisional serta kapitalisme baru. Bahasa keras Lenin yang tidak pernah main-main melainkan merupakan cetak biru prinsip-prinsip yang akan dilaksanakan begitu
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Di%20Seber...batan%20Emas%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (8 of 11)4/3/2005 11:05:03 AM
Di Seberang Jembatan Emas -- Jumat, 1 Juni 2001
ia memegang kekuasaan, dipakai Bung Karno bukan karena ia seorang Leninis, melainkan karena menyediakan kamus ungkapanungkapan bersemangat yang sangat cocok untuk menjadi wahana romantika revolusi yang mempesona. 5. Akhirul kata Tidak ada tanda apa pun bahwa Bung Karno sendiri menganggap diri sebagai seorang le-ninis. Jauh lebih masuk akal bahwa Bung Karno-sama seperti rekan-rekan nasionalisnya lain-melihat kepada Revolusi Oktober dengan simpati, bukan karena menyetujuinya, melainkan karena di sini ada bangsa besar yang membebaskan diri dari kapitalisme. Berbeda dengan anggapan Bung Karno sendiri, marhaenisme-yang dalam pandangan saya jauh lebih realistik daripada analisa kelas Marx yang tidak pernah peka terhadap apa yang sebenarnya menggerakkan orang-bukan sebuah marxisme. Namun, kecenderungan untuk seakan-akan lebur dalam romantika bahasa program revolusi Lenin yang sedikit pun tidak romantik, menunjuk juga pada kelemahan Bung Karno yang akan menjadi faktor dalam kejatuhannya. Bahwa pergerakan nasional Indonesia ditentukan oleh tiga alam makna, yaitu nasionalisme, Islam, dan marxisme, pasti betul. Namun, waktu Bung Karno 35 tahun kemudian melontarkan triade itu sebagai nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom), Bung Karno masuk ke dalam sebuah perangkap daripadanya ia tidak lepas lagi. Romantikanya membuatnya tidak percaya bahwa omongan "progresif-revolusioner" kaum komunis Indonesia, wacana keras revolusioner mereka, bukan romantika hiperbolis sebagaimana ia sendiri memahaminya dalam "Mencapai Indonesia Merdeka", melainkan sebuah program keras dan realistik untuk merebut kekuasaan, bukan demi "kaum Marhaen" Indonesia, melainkan demi kekuasaan komunis sedunia. Bung Karno jatuh cinta dengan kata revolusi, tetapi tidak memahami implikasi kata itu, yaitu bahwa struktur pemilikan masyarakat yang ada harus dihancurkan dan bahwa penghancuran itu, sebagaimana disadari sepenuhnya oleh Lenin, hanya dapat melalui kediktatoran partai yang tidak takut memakai senjata teror. Maka, ia tidak siap dalam hati untuk melepaskan kaum komunis yang andaikata secara dini dilarang, barangkali dapat luput dari pembunuhan mengerikan yang akhirnya menimpa apa pun yang berbau komunis. Dan masih satu hal. Lain daripada Hatta-yang juga mengkritik bahwa demokrasi Barat tidak sampai ke bidang ekonomi-Soekarno tidak mengembangkan sikap hati yang positif terhadap demokrasi (Barat!). Begitu saja ia termakan oleh hasutan anti demokrasi Lenin-dengan tidak memperhatikan bahwa mayoritas kaum sosialis sedunia 1918 file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Di%20Seber...batan%20Emas%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (9 of 11)4/3/2005 11:05:03 AM
Di Seberang Jembatan Emas -- Jumat, 1 Juni 2001
memilih demokrasi daripada sosialisme yang berdasarkan teror (dan karena itu berpisah dengan Lenin). Ketertutupan hati Bung Karno terhadap demokrasi prosedural, tendensinya ke arah populisme, merupakan sebuah tragika ka-rena Bung Karno tentu akan bisa menjadi pendidik bangsanya ke arah demokrasi yang paling baik. * Prof Dr Franz Magnis-Suseno SJ Rohaniwan, menulis lebih dari 300 karangan dan 26 buku, terutama bidang etika, filsafat, dan pandangan dunia Jawa; sekarang Direktur Program Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
●
● ●
● ● ● ● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda Tjipto-Soetatmo-Soekarno Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan Ziarah Kubur Bung Karno Soekarno di Masa Krisis PDRI Dunia MenurutSang Putra Fajar Bung Karno di Bawah Bendera Jepang Bung Karno, Seni, dan Saya
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Di%20Seber...batan%20Emas%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (10 of 11)4/3/2005 11:05:03 AM
Dunia MenurutSang Putra Fajar -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Dunia Menurut Sang Putra Fajar Budiarto Shambazy DENGAN baju kebesaran berwarna putih, lengkap dengan kopiah dan kacamata baca, Bung Karno tidak mempedulikan protokoler Sidang Umum. Biasanya, setiap kepala negara berpidato sendiri saja. Tetapi, untuk pertama kalinya, Bung Karno naik ke podium didampingi ajudannya, Letkol (CPM) M Sabur. Lima tahun kemudian, per tanggal 1 Januari 1965, Bung Karno menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Ia memrotes penerimaan Malaysia, antek kolonialisme Inggris, menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK)-PBB. Ketika mendengar instruksi Pemimpin Besar Revolusi Indonesia itu dari PTRI New York, Sekjen PBB U Thanh menangis sedih, tak menyangka BK begitu marah dan kecewa. Bung Karno dikenal sering kecewa dengan kinerja DK-PBB. Sampai sekarang pun kewenangan DK-PBB yang terlalu luas masih sering terasa kontroversial. Misalnya, ketika mereka-terutama AS, Inggris dan Perancis-bersama Sekjen Koffi Annan, menjatuhkan sanksisanksi tak berperikemanusiaan atas Irak. Sudah lama memang Bung Karno tidak menyukai struktur PBB yang didominasi negara-negara Barat, tanpa memperhitungkan representasi Dunia Ketiga yang sukses unjuk kekuatan dan kekompakan melalui Konferensi AsiaAfrika di Bandung tahun 1955. Untuk itulah, setiap tahun Bung Karno coba mengoreksi ketimpangan itu dengan memperjuangkan diterimanya Cina, yang waktu itu diisolasi Barat. "Kita menghendaki PBB yang kuat dan universal, serta dapat bertugas sesuai dengan fungsinya. Oleh sebab itulah, kami konsisten mendukung Cina," kata Bung Karno. Wawasan berpikir Bung Karno waktu itu ternyata benar. Cina bukan cuma lalu diterima sebagai anggota, namun juga menjadi salah satu anggota tetap DKPBB. Puluhan tahun lalu, Bung Karno sudah memproyeksikan Cina sebagai negara besar dan berpengaruh, yang harus dilibatkan dalam file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dunia%20Men...Putra%20Fajar%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 8)4/3/2005 11:05:04 AM
Dunia MenurutSang Putra Fajar -- Jumat, 1 Juni 2001
persoalan-persoalan dunia. Dewasa ini, Cina sudah memainkan peranan penting dalam mengoreksi perimbangan kekuatan regional dan internasional, yang sudah terlalu lama dijenuhkan oleh penyakit yang berjangkit Perang Dingin. Kini hampir semua warga dunia sudah familiar dengan kata "globalisasi" atau saling keterkaitan (linkage) antar-bangsa, baik secara politis maupun ekonomis. Dan dalam pidato To Build the World Anew, Bung Karno sudah pernah mengucapkannya. "Adalah jelas, semua masalah besar di dunia kita ini saling berkaitan. Kolonialisme berkaitan dengan keamanan; keamanan juga berkaitan dengan masalah perdamaian dan perlucutan senjata; sementara perlucutan senjata berkaitan pula dengan kemajuan perdamaian di negara-negara belum berkembang," ujar Sang Putra Fajar. Di mana pun di dunia, Bung Karno tak pernah lupa membawakan suara Dunia Ketiga dan aspirasi nasionalisme rakyatnya sendiri. Siapa pun yang tidak suka kepadanya pasti akan mengakui sukses Bung Karno memelopori perjuangan Dunia Ketiga melalui Konrefensi Asia-Afrika atau KTT Gerakan Nonblok. Inilah Soekarno yang serius. Jika sedang santai dalam saat kunjungan ke luar negeri, Bung Karno menjadi manusia biasa yang sangat menyukai seni. Kemana pun, yang tidak boleh dilupakan dalam jadwal kunjungan adalah menonton opera, melihat museum, atau mengunjungi seniman setempat. Hollywood pun dikunjunginya, ketika Ronald Reagan dan Marilyn Monroe masih menjadi bintang film berusia muda. Ia pun tak segan memarahi seorang jenderal besar jago perang, Dwight Eisenhower, yang waktu itu menjadi Presiden AS dan sebagai tuan rumah yang terlambat keluar dari ruang kerjanya di Gedung Putih dalam kunjungan tahun 1956. Sebaliknya, Bung Karno rela memperpanjang selama sehari kunjungannya di Washington DC, setelah mengenal akrab Presiden John F Kennedy. Waktu berkunjung ke AS, banyak wartawan kawakan dari harian-harian besar di Amerika-mulai dari The New York Times, The Washington Post, LA Times, sampai Wall Street Journal-menulis dan memuat pidato dan pernyataannya yang menggugah, foto-fotonya yang segar, sampai soal-soal yang mendetail dari Bung Karno. Kunjungan-kunjungannya ke luar negeri, memang membuat Bung Karno menjadi tokoh Dunia Ketiga yang selalu menjadi sorotan internasional. Sikapnya yang charming dan kosmopolitan, kegemarannya terhadap kesenian dan kebudayaan, pengetahuannya mengenai sejarah, bahasa tubuhnya yang menyenangkan, mungkin menjadikan Bung Karno menjadi tamu agung terpenting di abad ke-20, yang barangkali cuma bisa ditandingi oleh Fidel Castro atau JF Kennedy.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dunia%20Men...Putra%20Fajar%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 8)4/3/2005 11:05:04 AM
Dunia MenurutSang Putra Fajar -- Jumat, 1 Juni 2001
PERUMUSAN politik luar negeri sebuah negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia Kedua, lebih banyak dipengaruhi oleh kepala negara/pemerintahan. Mereka sangat berkepentingan untuk menjaga negara mereka masing-masing agar tidak terjerumus ke dalam persaingan ideologis dan militer Blok Barat melawan Blok Timur. Lagi pula, netralitas politik luar negeri semacam ini waktu itu berhasil menggugah semangat "senasib dan sepenanggungan" di negara-negara baru Asia dan Afrika, untuk menantang bipolarisme Barat-Timur melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Di Indonesia, peranan Bung Karno dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, jelas sangat dominan sejak ia mulai memerintah sampai akhirnya ia terisolasi menyusul pecahnya peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965. Ia bahkan menjadi salah satu founding father pembentukan Gerakan Nonblok (GNB) sebagai kelanjutan dari Konferensi Bandung. Penting untuk digarisbawahi pula, Bung Karno pada awalnya menjadi satu-satunya pemimpin Dunia Ketiga yang dengan sangat santun menjalin serta menjaga jarak hubungan yang sama dan seimbang, dengan negaranegara Barat maupun Timur. Hubungan Bung Karno dengan Washington pada prinsipnya selalu akrab. Akan tetapi, Bung Karno merasa dikhianati dan mulai bersikap anti-Amerika ketika pemerintahan hawkish Presiden Dwight Eisenhower mulai menjadikan Indonesia sebagai tembok untuk membendung komunisme Cina dan Uni Soviet pada paruh kedua dasawarsa 1950. Sewaktu Moskwa dan Beijing terlibat permusuhan ideologis yang sengit, Bung Karno juga relatif mampu menjaga kebijakan berjarak sama dan seimbang (equidistance) terhadap Cina dan Uni Soviet. Lagi pula, Bung Karno dengan sangat pandai menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Bobot Indonesia sebagai negara yang besar dan strategis, peranan penting Indonesia dalam menggagas GNB, dan posisi "soko guru" sebagai negara yang baru merdeka, benar-benar dimanfaatkannya sebagai posisi tawar yang cukup tinggi dalam diplomasi internasional. Oleh sebab itulah, pelaksanaan politik luar negeri yang high profile ala Bung Karno, tidak pelak lagi, membuat suara Indonesia terdengar sampai ke ujung dunia. Mengapa ia akhirnya kecewa kepada Washington sehingga hubungan bilateral AS-Indonesia semakin hari semakin memburuk? Sebab Bung Karno tahu persis sepak terjang AS-juga Inggris, Australia dan Malaysia-ketika membantu pemberontakan PRRIPermesta. Lebih dari itu, setelah kegagalan pemberontakan itu, Pemerintah AS memasukkan Bung Karno dalam daftar pemimpin file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dunia%20Men...Putra%20Fajar%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 8)4/3/2005 11:05:04 AM
Dunia MenurutSang Putra Fajar -- Jumat, 1 Juni 2001
yang harus segera dilenyapkan karena menjadi penghalang containment policy Barat terhadap Cina. Juga ada beberapa alasan domestik yang membuat Washington kesal terhadap Bung Karno, seperti sikapnya kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada lima tahun pertama dekade 1960, hubungan Indonesia dengan Cina meningkat pesat. Mao Zedong sangat menghormati Bung Karno yang memberikan tempat khusus kepada komunis, dan sebaliknya Bung Karno mengagumi perjuangan Mao melawan dominasi AS dan Rusia di panggung internasional. Istimewanya hubungan Bung Karno dengan Mao ini tercermin dari gagasan pembentukan Poros Jakarta-Beijing. Bahkan kala itu poros ini sempat akan diluaskan dengan mengajak pemimpin Korut Kim Ilsung, pemimpin Vietnam Utara Ho Chi Minh, dan pemimpin Kamboja Norodom Sihanouk. Tatkala memutuskan untuk keluar dari PBB, Bung Karno mencanangkan pembentukan New Emerging Forces sebagai reaksi terhadap Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Ia juga bercita-cita membentuk sendiri forum konferensi negara-negara baru itu di Jakarta, sebagai reaksi terhadap dominasi PBB yang dinilainya terlalu condong ke Barat. Sungguh patut disayangkan, wadah kerja sama Dunia Ketiga ini hanya sempat bergulir sampai pesta olahraga Ganefo belaka.
*** SEPERTI telah disinggung di atas, dominasi Bung Karno dalam perumusan politik luar negeri yang bebas dan aktif, sangat dominan. Persepsi, sikap, dan keputusan Bung Karno dalam mengendalikan diplomasi Indonesia, bersumber pada pengalaman-pengalamannya dalam kancah perjuangan dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mungkin karena terlalu banyak krisis yang dihadapi Bung Karno selama ia memimpin, membuat pelaksanaan politik luar negerinya menjadi high profile dan agak bergejolak. Akan tetapi, gejolak-gejolak tersebut, juga sikap Bung Karno menghadapi politik Perang Dingin, tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kelemahan ataupun penyimpangan dari politik luar negeri yang bebas aktif. Justru yang terjadi, Bung Karno senantiasa mencoba menghadirkan gagasan-gagasannya tentang dunia yang damai dan adil, dengan mengedepankan posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah yang menyuarakan nasib Asia dan Afrika. Penting pula untuk ditegaskan, perilaku internasional Bung Karno pada kenyataannya memang berhasil mengangkat derajat masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga dalam menghadapi file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dunia%20Men...Putra%20Fajar%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 8)4/3/2005 11:05:04 AM
Dunia MenurutSang Putra Fajar -- Jumat, 1 Juni 2001
kemapanan politik Perang Dingin. Malahan jika menghitung akibatnya, ada kekhawatiran besar di negara-negara adidaya terhadap internasionalisasi sukarnoism yang akan membahayakan posisi mereka. Jika berbicara mengenai sumber-sumber yang mempengaruhi "politik global" Bung Karno, sesungguhnya mudah untuk memahaminya. Ia lahir dari persatuan antara dua etnis, Bali dan Jawa Timur. Ia menikahi pula gadis dari Pulau Sumatera. Ia beberapa kali dipenjarakan penjajah Belanda di berbagai tempat di Nusantara, membuatnya mengenal dari dekat kehidupan berbagai etnis. Pendek kata, ia lebih "Indonesia" ketimbang menjadi seorang yang "Jawasentris." Dalam pandangan Bung Karno, dunia merupakan bentuk dari sebuah "Indonesia kecil" yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Dan ini betul. Bung Karno seakan-akan membawa misi untuk membuat agar semua bangsa berdiri sama tinggi dan setara di dunia ini, sama dengan upayanya berlelah-lelah mempersatukan semua suku bangsa menjadi Indonesia. Meskipun Indonesia cuma menyandang kekuatan menengah, Bung Karno sedikit banyak memiliki sebuah "visi dunia" seperti para pemimpin negara adidaya, yang waktu itu merupakan sebuah utopia belaka. Pengalaman pahit menghadapi penjajah Belanda serta Jepang, merupakan sumber utama bagi Bung Karno untuk membawa Indonesia menjadi anti-Barat di kemudian hari. Kebijakan antikomunisme yang dijalankan Barat untuk membendung pengaruh Uni Soviet, menurut Bung Karno merupakan sebuah pemasungan terhadap sebuah penolakan terhadap hak kesetaraan semua bangsa di dunia untuk bersuara. Persepsi Bung Karno mengenai perjuangan GNB pun serupa, yakni memberdayakan Dunia Ketiga untuk mengikis ketimpangan antara negara-negara kaya dengan yang miskin. Pada hakikatnya, wawasan Bung Karno tentang perlunya memperjuangkan ketidakadilan internasional itu, masih relevan dengan situasi politik dan ekonomi global saat ini. Entah sudah berapa banyak dibentuk fora-fora kerja sama politik dan ekonomi internasional, yang masih gagal menutup kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin, seperti Dialog Utara-Selatan, atau G-15. Sampai saat ini pun, PBB masih belum melepaskan diri dari genggaman kepentingan-kepentingan negara-negara Barat di Dewan Keamanan.
*** file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dunia%20Men...Putra%20Fajar%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (5 of 8)4/3/2005 11:05:04 AM
Dunia MenurutSang Putra Fajar -- Jumat, 1 Juni 2001
ANDAIKAN saja Bung Karno tidak tersingkir dari kekuasaan, apa yang sesungguhnya telah ia lakukan dalam ruang lingkup politik global? Mungkin saja, satu-satunya kegagalan-kalaupun itu layak disebut sebagai kegagalan-adalah ingin menantang atau mengubah (to challenge) tata dunia yang "stabil" pada masa itu. Stabilitas, atau equilibrium global pada saat itu, suka atau tidak, diatur oleh perimbangan kekuatan antara Barat dengan Timur. Kedua blok yang berseteru meyakini bahwa perdamaian abadi hanya bisa dicapai dengan sebuah lomba senjata yang seimbang, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Pengaturan perimbangan kekuatan itu bersifat pasti, matematis, dan mengamankan dunia dari ancaman instabilitas. Itulah jadinya pembentukan NATO dan Pakta Warsawa, serta perjanjian hot line dan anti-tes senjata nuklir antara JF Kennedy dengan Nikita Kruschev. Stabilitas global AS-Uni Soviet inilah yang juga menjamin peredaan ketegangan dan tercegahnya perang antara Eropa Barat dengan Eropa Timur, antara Korut dan Korsel di Semenanjung Korea, antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan di daratan Asia Tenggara, dan antara Kuba dengan AS. Pada prinsipnya, akan selalu ada pemimpin yang ingin mengubah stabilitas semu semacam ini. Upaya-upaya yang membahayakan kemaslahatan perimbangan kekuatan tersebut, akan selalu menimbulkan krisis politik atau krisis militer. Bagi para penjamin stabilitas, seorang Bung Karno memang hanya merupakan sebuah ancaman yang akan menimbulkan krisis politik, bukan krisis militer. Oleh sebab itulah perlu ditekankan sekali lagi, pihak-pihak Baratkhususnya AS dan Inggris-sudah sampai pada kesimpulan bahwa Bung Karno mesti dilenyapkan. Sayang sekali, inisiatif-inisiatif diplomasi Bung Karno terhenti di tengah jalan saat ia diisolasi dari kekuasaannya. Betapapun, banyak doktrin dari politik luar negeri yang dijalankannya, dilanjutkan oleh para penggantinya. Warisan Bung Karno bukan hanya menjadi diorama yang bagus dilihat-lihat, tetapi juga masih kontekstual untuk zaman-zaman selanjutnya. Tidak pada tempatnya bagi kita untuk menyesali politik luar negeri Bung Karno, seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Apakah kebijakan lebih buruk ketimbang politik luar negeri yang cuma mengemis-ngemis bantuan luar negeri? Apakah melepas Timor Timur juga merupakan kebijakan yang lebih baik? Apakah berwisata ke luar negeri tanpa tujuan, lalu mendengang-dengungkan poros Cina-Indonesia-India juga lebih file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dunia%20Men...Putra%20Fajar%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (6 of 8)4/3/2005 11:05:04 AM
Dunia MenurutSang Putra Fajar -- Jumat, 1 Juni 2001
hebat dari politik global Bung Karno? Sesuai dengan julukan Sang Putra Fajar, Bung Karno membuka matanya melihat terang benderang dunia saat fajar menyising, tatkala sebagian dari kita masih terlelap menutup mata. Dunia versi Bung Karno adalah dunia yang mutlak harus berubah menjadi tempat yang lebih adil dan setara bagi semua. Kita pernah beruntung memiliki seorang duta bangsa, yang sekaligus juga seorang diplomat terulung yang pernah dimiliki Indonesia. * Budiarto Shambazy Wartawan Kompas.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
●
● ●
● ● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda Tjipto-Soetatmo-Soekarno Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan Ziarah Kubur Bung Karno Soekarno di Masa Krisis PDRI Dunia MenurutSang Putra Fajar
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Dunia%20Men...Putra%20Fajar%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (7 of 8)4/3/2005 11:05:04 AM
Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal In Nugroho Budisantoso ANDAI Soekarno dan Hatta tidak berpisah sebagai Dwitunggal, barangkali jalan sejarah Indonesia akan berbeda. Boleh saja kita berandai-andai seperti itu, tetapi yang terjadi pada sejarah adalah bahwa pada waktu itu, 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden, dan dengan demikian Dwitunggal bercerai. Pengunduran diri Hatta dalam situasi bangsa yang masih belum menentu pasca-Pemilihan Umum 1955 ini mengundang banyak pertanyaan. Sebab, dalam situasi seperti itu justru dibutuhkan seorang Hatta yang dikenal sangat jernih, tegas, dan tanpa kompromi dalam mengurus pemerintahan. Apa yang membuat Hatta tidak pernah datang kembali dengan Soekarno sebagai Dwitunggal? Hatta sepertinya meninggalkan tanggung jawab untuk ikut memikirkan bangsa dan negara yang sedang kacau. Hatta justru seakan memilih tidak berbuat apa-apa di luar arena. Dan memang selepas perceraian Dwitunggal itu, Hatta seakan menghilang dari hiruk-pikuk politik. Suaranya hampir-hampir bahkan tidak terdengar; juga pada saat peristiwa besar terjadi pada 1965 yang melibatkan sejumlah tentara dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Benarkah Hatta meninggalkan tanggung jawab? Padahal, semua tahu bahwa dalam rentang waktu yang panjang sejak tahun 1920-an, dalam kegusaran dan kegelisahan akan situasi bangsa dan negerinya, seperti halnya Soekarno, Hatta dengan gigih ingin memberikan jalan keluar bagi bangsa dan negerinya. Kondisi konkret rakyat Indonesia yang sengsara di bawah penjajahan menjadi tatapan mata Soekarno dan Hatta. Keduanya berpikiran, pada rakyat yang terbelenggu itu harus dibuka kedok-kedok yang menutup kesadaran bahwa mereka sengsara karena ditindas dan dijajah. Maka, tidak mengherankan kalau keduanya berbuat sesuatu agar kepada rakyat disuntikkan kesadaran untuk bisa melihat sejelas-jelasnya siapa dirinya sendiri, di mana posisinya sekarang ini, dan ke mana langkah mesti diayun. Bahkan, demi rakyat, mereka berdua tidak memperhitungkan lagi file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Hatta%20Tak...sebagai%20Dwitunggal%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (1 of 12)4/3/2005 11:05:05 AM
Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal -- Jumat, 1 Juni 2001
konsekuensi-konsekuensi fisik dari kampanye-kampanye penyadaran yang dijalankan. Penjara dan tanah pengasingan tidak berarti apa-apa dibanding mutiara yang bersinar dalam hati dan budi rakyat yang sadar akan kemerdekaan hidup yang mesti direbut. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa dalam diri Soekarno dan Hatta bangkit perasaan mendalam akan tanggung jawab terhadap kehidupan. Perasaan ini akan terusik terus-menerus kalau di dalam lapangan kehidupan selalu dijumpai segala bentuk ketimpangan. Ketimpangan-ketimpangan itu pada dasarnya mengisyaratkan adanya gerak dunia yang lupa akan tanggung jawab, lupa akan kehidupan yang semestinyalah dipelihara baik-baik. Disadari bahwa dibutuhkan usaha terus-menerus untuk mengembalikan gerak dunia agar ingat akan tanggung jawab terhadap kehidupan. Dan, sepertinya Hatta memilih mundur dan berpisah dari Dwitunggal untuk tujuan itu. Hatta mengambil posisi untuk memberi ingat kepada Soekarno yang dipandangnya sudah berjalan dalam gerak lupa akan tanggung jawab. Hatta memberi ingat, dan selalu memberi ingat meskipun lebih sering tidak didengarkan. Hatta kemudian memang hanya tampak seperti orang yang berseru-seru di padang gurun. Ketika bersepakat menjadi Dwitunggal Perpisahan Dwitunggal itu belum terbayang saat Soekarno dan Hatta rujuk ketika Jepang menguasai Indonesia, sekalipun orang tahu bahwa antara mereka berdua ada perbedaan prinsip dan pilihan tindakan. Dengan disaksikan Sjahrir, Soekarno dan Hatta bersepakat mengakhiri pertentangan panjang pada tahun 1930-an mengenai jalan yang harus dilakukan dalam rangka mencapai Indonesia merdeka. Sebagaimana diketahui, Soekarno memilih jalan aksi massa, di mana ia sendiri datang ke tengah-tengah massa, dan membangkitkan kesadaran di sana. Sebab, bagi Soekarno politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending-pembentukan kekuatan dan pemakaian kekuatan dari massa rakyat yang bersatu. Sedangkan Hatta mengambil jalan kaderisasi. Sebab, katanya, janganlah rakyat terlalu tergantung pada satu pemimpin. Ketergantungan ini hanya menyebabkan pergerakan pupus di tengah jalan sewaktu si pemimpin ditangkap. Menurut dia, "Pergerakan kita tak boleh tinggal pergerakan pemimpin, yang hidup dan mati dengan pemimpin itu. Akan tetapi pergerakan kita harus menjadi 'pergerakan pahlawan-pahlawan yang tak punya nama', artinya pergerakan rakyat sendiri, yang tidak tergantung kepada nasibnya pemimpin." Kecuali itu di antara keduanya juga berkembang perselisihan mengenai sikap nonkooperasi yang harus dijalankan. Soekarno yang file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Hatta%20Tak...sebagai%20Dwitunggal%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (2 of 12)4/3/2005 11:05:05 AM
Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal -- Jumat, 1 Juni 2001
mempunyai latar belakang pendidikan di Bandung, berpandangan bahwa sikap nonkooperasi ditunjukkan dengan menolak segala sesuatu yang berbau penjajah, termasuk Tweede Kamer. Sedangkan Hatta yang mengenyam pendidikan di Belanda berpendapat bahwa sikap nonkooperasi harus ditunjukkan dalam sikap perlawanan terus-menerus kepada penjajah sungguh pun duduk di Tweede Kamer. Namun, ketika Jepang menduduki Indonesia, dirasakan oleh Soekarno dan Hatta bahwa suatu tugas yang jauh lebih besar berada di depan mata, dan itu tidak dapat dilakukan seorang perseorangan. Sembari keduanya berjabat tangan erat, Soekarno waktu itu berkata kepada Hatta, "Inilah janji kita sebagai Dwitunggal. Inilah sumpah kita yang jantan untuk bekerja berdampingan dan tidak akan berpecah hingga negeri ini mencapai kemerdekaan sepenuhnya." Karena keduanya dikenal publik, maka perjuangan secara publik yang mereka tempuh, sedangkan Sjahrir yang menyaksikan jabat tangan itu mengambil jalan perjuangan bawah tanah. Menurut Soekarno, pembicaraan antara mereka bertiga waktu itu amatlah singkat. Namun, sering kali di kemudian hari, konsepsi mengenai Dwitunggal kelihatan seperti sudah dipersiapkan dan dikerjakan dengan perhitungan yang saksama. Berbeda dengan Sjahrir yang berjuang di bawah tanah, strategi perjuangan secara publik dari Soekarno dan Hatta jelas sekali langsung menggambarkan keduanya sebagai kolaborator Jepang. Tentu saja keduanya menyangkal sangkaan itu. Hatta misalnya menjelaskan bahwa keterlibatannya sebagai penasihat pemerintah militer Jepang justru untuk melindungi rakyat. Demikian pula dengan keberadaan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) bersama Soekarno. Rakyat tetap menjadi tatapan mata akan strategi perjuangan yang dijalankan. Sedapat mungkin rakyat dilindungi dan mendapat keuntungan dalam situasi saat itu. Bahkan, Soekarno pernah berujar kepada Hatta bahwa dalam kondisi semacam itu, dengan biaya Pemerintah Jepang, rakyat akan dididik dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pada dasarnya, mereka sama sekali tidak sudi tunduk di bawah penjajahan. Hatta dalam rapat umum di Lapangan Ikada, 8 Desember 1942, bahkan pernah berpidato, "Bagi pemuda Indonesia, ia lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali." Soekarno dan Hatta pada gilirannya memang dikenal sebagai pemimpin rakyat Indonesia. Dapat dikatakan, di mana Soekarno ada di situ pun Hatta. Strategi perjuangan publik di bawah pendudukan Jepang mengantarkan keduanya untuk kemudian juga berperan penuh dalam masa-masa ketika Jepang dipukul mundur oleh Sekutu pada pertengahan 1945. Keduanya seperti sudah melupakan sama
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Hatta%20Tak...sebagai%20Dwitunggal%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (3 of 12)4/3/2005 11:05:05 AM
Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal -- Jumat, 1 Juni 2001
sekali pertentangan faham yang terjadi pada tahun 1930-an, dan seia-sekata dalam pikiran dan tindakan. Kalau sebelumnya mereka dapat dikatakan saling mencela, pada saat-saat itu keduanya saling membela. Sebagai Dwitunggal, keduanya sangat menonjol dalam detik-detik Proklamasi kemerdekaan. Hatta menulis dalam Memoirnya bahwa Dwitunggal itulah yang kemudian dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI untuk pertama kalinya. Dikatakan oleh Soekardjo Wirjopranoto bahwa konstruksi Dwitunggal untuk presiden dan wakil presiden itu unik dalam sejarah, dan merupakan suatu keharusan bagi Indonesia di masa itu. Perjalanan Dwitunggal dalam pemerintahan sejak Proklamasi Kemerdekaan memang telah melewati sejumlah kondisi yang berbeda, yang berkaitan dengan strategi politik. Awalnya, Soekarno dan Hatta menjadi presiden dan wakil presiden dalam sebuah kabinet presidensial. Namun, ternyata di mata internasional Soekarno dianggap sebagai kolaborator Jepang yang tentu saja menyulitkan perundingan-perundingan diplomasi yang dijalankan. Terhadap ini, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengusulkan agar untuk sementara waktu dibentuk kabinet parlementer untuk menangkis serangan-serangan dari luar negeri terhadap Soekarno atas nama rakyat. Seperti sudah diketahui, anggota-anggota KNIP diangkat oleh Soekarno dan Hatta untuk menggantikan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang mempunyai cap "Tokyo". Soekarno dan Hatta menyetujui usul Badan Pekerja itu. Dan, kemudian Soekarno mengangkat Sjahrir sebagai perdana menteri dengan alasan bahwa presiden mendelegasikan kekuasaan kepada perdana menteri untuk mengatasi kesulitan sementara waktu. Setelah berubah konfigurasinya sebanyak tiga kali, kabinet Sjahrir jatuh, dan Soekarno mengambil alih. Formasi kabinet selanjutnya di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin yang kemudian digantikan pula oleh Kabinet Hatta. Sementara itu, perjuangan secara publik Dwitunggal di masa pendudukan Jepang yang mengesankan tindakan kolaborasi sering digunakan rival politik Soekarno dan Hatta; setidaknya, itu pernah dilakukan oleh Muso yang menyebut keduanya sebagai pedagang romusha. Bahkan, Sjahrir menurut Soekarno, juga sering menggunakan keterlibatan dengan Jepang untuk mencelanya sebagai pengecut. Tuduhan sebagai pengecut kembali mereka terima ketika keduanya ditangkap di Yogyakarta karena waktu itu mereka tetap tinggal di kota dan tidak terjun bergerilya bersama rakyat dan tentara. Namun, sebenarnya dengan penangkapan itu, justru sosok Dwitunggal sebagai pemimpin nasional semakin bersinar daripada muncul sebagai pemberontak yang lari ke hutan. Pada saat dipercaya menjadi perdana menteri (1948-1950), yaitu
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Hatta%20Tak...sebagai%20Dwitunggal%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (4 of 12)4/3/2005 11:05:05 AM
Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal -- Jumat, 1 Juni 2001
pasca-Kabinet Amir Sjarifuddin yang memberikan kepada pemerintahannya hasil-hasil Perjanjian Renville, Hatta sungguh menunjukkan kepiawaiannya dalam mengurus pemerintahan. Selain keberhasilan dalam perjuangan memperoleh kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar, sejumlah hal dijalankan termasuk penghematan, rasionalisasi dalam tentara dan pegawai negeri, serta juga penanganan atas membeludaknya pengangguran. Hingga kemudian dapat dibuktikan bahwa pemerintahan Hatta, meskipun dalam situasi darurat, berhasil memperluas sawah menjadi 75.000 hektar, membentuk sejumlah koperasi pertanian, mengendalikan harga-harga, dan mencegah penimbunan. Bahkan, mulai dipikirkan secara serius Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang berdasarkan otonomi yang luas. Sering dikatakan bahwa Dwitunggal Soekarno-Hatta dengan Soekarno sebagai presiden dan Hatta sebagai wakil presiden sekaligus perdana menteri ini merupakan kombinasi kepemimpinan yang sangat cocok dalam situasi Indonesia yang sulit di masa-masa awal kemerdekaan. Namun, bagaimanapun kombinasi kepemimpinan seperti itu ada dalam suasana darurat. Seperti dikatakan Hatta dalam pidatonya di depan Badan Pekerja KNIP pada tanggal 16 Februari 1948, "Presiden dan saya berpendapat bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi krisis politik yang merugikan negara ialah mengadakan sementara waktu pemerintahan yang bersifat kabinet presidensiil, menunggu terbentuknya kabinet parlementer yang kuat." Namun, harus diakui bahwa konfigurasi kepemimpinan nasional sejak Dwitunggal ini sepertinya tidak pernah secara tuntas diselesaikan baik dalam rangka demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, maupun sesudahnya. Bahkan, dengan kembalinya pada tahun 1959 UUD 1945 yang sejak awal dikonstruksi untuk keadaan darurat, sebenarnya dilanggengkan juga konfigurasi kepemimpinan nasional yang darurat. Peran Soekarno dan Hatta dalam pemerintahan Sejak diberlakukannya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, sebagai presiden, Soekarno tidak dapat mengambil tindakan sendiri, dan kekuasaannya dikurangi sedikit demi sedikit. Perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Bahkan, sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, keputusan presiden harus ditandatangani juga oleh Menteri Pertahanan. Satu-satunya hak prerogatif presiden adalah menunjuk seorang atau sejumlah orang untuk membentuk kabinet. Menurut Bernard Dahm, kondisi seperti itu terjadi ada kaitan dengan munculnya Sjahrir dalam pemerintahan. Munculnya Sjahrir memang seperti sudah menjadi tuntutan zaman.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Hatta%20Tak...sebagai%20Dwitunggal%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (5 of 12)4/3/2005 11:05:05 AM
Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal -- Jumat, 1 Juni 2001
Ia yang tidak tampil dalam kerja sama dengan Jepang, logis untuk menjadi pihak perunding dengan Belanda. Dan, berbeda dengan Soekarno, Sjahrir sering dikatakan tidak mempunyai prasangka terhadap orang-orang Belanda. Pendidikan di Barat mengonstruksikan dalam dirinya bentuk demokrasi yang semestinya dijalankan, yang tentu saja berbeda dengan konstruksi demokrasi Soekarno. Mengenai kekuasaan presiden itu, Hatta mengungkapkan bahwa sejak keluarnya Maklumat Wakil Presiden No X pada pertengahan Oktober 1945, KNIP mempunyai hak legislatif. Sebelumnya, menurut UUD 1945 pada aturan peralihan, segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional. Hatta menambahkan bahwa mulai saat itu, "secara berangsur-angsur kekuasaan yang lain akan diberikan kepada badan yang berhak berdasarkan trias politika." Pertentangan pandangan akan peran Hatta dalam pemerintahan pun sejak pertengahan 1950 muncul secara menonjol. Waktu itu, RIS bubar menjadi negara kesatuan RI. Dari satu pihak ada yang mengharapkan, terutama dari golongan Masyumi, Hatta merangkap jabatan wakil presiden dan perdana menteri, sedangkan dari pihak lain, yaitu PNI dan PSI, mengharapkan Hatta menjabat salah satu saja. Dalam waktu-waktu kemudian, mengenai ini, Hatta pernah berujar bahwa Sjafruddin Prawiranegara, salah seorang pemimpin Masyumi, mengusulkan agar Hatta menjabat sebagai wakil presiden saja. Hanya saja, kalau kondisi bangsa sulit, Hatta kembali merangkap sebagai perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Usulan Sjafruddin ini terkenal dengan sebutan escape clause. Usulan ini tidak disetujui kubu PNI dan PSI, dan perdebatan terus berlangsung. Akhirnya, Hatta menyerahkan kepada mereka putusan apa saja yang akan diterimanya dengan lapang dada. Kemudian, Presiden Soekarno, sebagai kepala negara, menunjuk Mohamad Natsir sebagai formatur kabinet. Presiden dan wakil presiden dalam pemerintahan Kabinet Natsir dan sesudahnya tampak hanya berperan sebagai penasihat saja. Dwitunggal Soekarno-Hatta sepertinya kemudian tinggal menjadi simbol pemimpin bangsa yang tidak mempunyai gigi dalam pemerintahan. Soekarno memang masih duduk sebagai kepala negara, namun Hatta? Menyaksikan situasi politik sekacau apa pun, Hatta tidak mempunyai wewenang untuk menjalankan sesuatu tindakan secara konstitusional, kecuali membantu tugas-tugas Soekarno. Dalam situasi seperti itu apa yang harus dibuat? Sebuah artikel dalam harian Fikiran Rakjat tertanggal 9 Oktober 1954 memuat komentar seperti ini, "Sejauh yang kita lihat dan dengar, Hatta bisa mengendalikan dirinya dan tetap berada di dalam batas-
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Hatta%20Tak...sebagai%20Dwitunggal%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (6 of 12)4/3/2005 11:05:05 AM
Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal -- Jumat, 1 Juni 2001
batas konstitusional; dengan kata lain, ia tidak mencampuri urusan eksekutif. Tetapi sejauh yang kita ketahui, merupakan siksaan bagi Soekarno untuk tetap berada di dalam batas-batas konstitusional dan tidak campur tangan dalam eksekutif". Hubungan Dwitunggal semakin renggang Masa-masa Dwitunggal sebagai simbol itu sering dilukiskan Hatta sebagai masa di mana dirinya dan Soekarno mulai berselisih faham. Kondisi ini ada kaitannya dengan kedekatan baru Soekarno dengan PKI yang sangat memusuhi Hatta. Dikatakan oleh Hatta di kemudian hari bahwa "sejak kita meninggalkan UUD 1945 berganti dengan UUD 1950, arti dan kedudukan Dwitunggal mulai berubah dan makin berkurang. Hal itu digunakan sebaik-baiknya oleh PKI dalam taktik dan perjuangan politiknya, sehingga proses merosotnya daya ikat dan kegunaan Dwitunggal itu makin cepat dan bahkan antara kami berdua sering timbul berbagai salah pengertian. Akibatnya tercermin pula dalam berbagai urusan kenegaraan yang kalau dulu diatasi dengan kewibawaan dan kenegarawanan yang terletak dalam lembaga Dwitunggal itu, lama-lama menjadi masalah-masalah yang tidak teratasi, atau diatasi dengan cara-cara yang menimbulkan keretakan-keretakan baru yang makin berlarut-larut." Perselisihan faham antara Soekarno dan Hatta sebenarnya mulai bersemi sejak 1949 di mana di bawah Konstitusi RIS Hatta sebagai perdana menteri mempunyai kedudukan kepemimpinan yang lebih kuat dibandingkan Soekarno. Namun demikian, seperti dipaparkan oleh Mavis Rose, Soekarno memang mempunyai pesona terutama di kalangan orang-orang Jawa sehingga memungkinkan dirinya untuk menyarankan kembali adanya negara kesatuan. Sebab, negara Indonesia Serikat dengan federalismenya dalam pandangan Soekarno mengundang regionalisme yang dapat memecah persatuan dan kesatuan. Dengan demikian, meskipun secara publik Dwitunggal kelihatan sebagai kombinasi kepemimpinan yang sangat sesuai dan melengkapi satu dengan yang lain, sebenarnya terjadi tarik-menarik gagasan mengenai bagaimana mengatur bangsa dan negara. Pada titik ini, keduanya seperti ingin sungguh mewujudkan tanggung jawabnya kepada rakyat. Hingga, rakyat harus sampai pada perasaan bahwa mereka memerintah diri sendiri sebagai bangsa yang merdeka dalam negara yang dibentuknya sendiri. Mengenai bentuk negara kesatuan itu, Hatta sebaliknya mengungkapkan bahwa gagasan negara kesatuan tidak selalu berarti mencegah separatisme. Sebab, justru "suatu sistem federal dalam kenyataan sesuai dengan kepulauan yang terpencar-pencar dan bisa diperkirakan akan memperkuat rasa persatuan". Dalam pikiran Hatta, semakin terdesentralisasi suatu sistem pemerintahan
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Hatta%20Tak...sebagai%20Dwitunggal%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (7 of 12)4/3/2005 11:05:05 AM
Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal -- Jumat, 1 Juni 2001
semakin rakyat dapat mengusahakan menyelesaikan persoalannya sendiri, tanpa harus tergantung elite penguasa. Di sini Hatta seperti mengingatkan kembali akan pentingnya kaderisasi dan pendidikan yang menghasilkan suatu organisasi yang tidak tergantung pada satu pemimpin. Mengenai federalisme, sebenarnya Hatta sudah menjadi penganjur paling depan mengenai Indonesia sebagai negara federal sebelum Perhimpunan Indonesia mulai membicarakan bentuk negara yang merdeka. Lalu, apa sebenarnya konsepsi "persatuan" dari keduanya? Dengan memperhatikan gagasan Soekarno mengenai politik machtsvorming dan machtsaanwending, orang mempersepsikan persatuan seperti ada kaitannya dengan massa yang bergerak. Bahkan, Soekarno pernah mengatakan bahwa "massa bukanlah cuma rakyat jelata yang berjuta-juta saja, massa adalah rakyat jelata yang sudah terluluh mempunyai semangat satu, kemauan satu, roh dan nyawa satu. Massa adalah berarti deeg, jeladren, luluhan. Ia dus bukan gundukan rakyat jelata saja yang berlain-lainan semangat dan kemauan". Kecuali itu, pada diri Soekarno juga selalu melekat gagasan persatuan nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom) di mana ketiganya menurut Dahm saling bertentangan. Ketiganya menjadi satu ketika mendapatkan musuh bersama kolonialisme dan imperialisme Barat. Pendekatan yang dipakai Soekarno ini sangat khas bersifat sinkretisme Jawa. Bahkan, menurut catatan Onghokham, dalam merumuskan Pancasila pun, Soekarno memeras kelima sila menjadi tiga, yang kemudian menjadi satu sila saja, yaitu "gotong royong". Soekarno sungguh menekankan abstraksi dalam melihat persatuan. Bagaimanapun abstraksi mengandung potensi untuk meniadakan keunikan, dan hak-hak individu rakyat dapat dikesampingkan. Adapun menurut Hatta, persatuan harus dimengerti sebagai "satu bangsa Indonesia yang tidak dapat dibagi-dibagi. Di dalam pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat pelbagai paham politik. Dan tiaptiap aliran paham haruslah mendapat kesempatan bergerak, untuk membuat propaganda bagi asas sendiri, dan tidak mesti dicekek dengan kata wasiat 'persatuan'". Sebab, bagi Hatta, "kepahaman rakyat dan kepahaman borjuis atau ningrat tidak dapat disatukan. Persatuan segala golongan ini sama artinya dengan mengorbankan asas masing-masing". Hatta di sini menekankan pluralitas. Sementara hubungan antara Soekarno dan Hatta semakin renggang, terjadi konflik mendalam di antara partai-partai. Bahkan, mereka cakar-cakaran. Krisis dalam pemerintahan tidak dapat dihindarkan. Hasil Pemilu 1955 diharapkan dapat mengatasi krisis.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Hatta%20Tak...sebagai%20Dwitunggal%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (8 of 12)4/3/2005 11:05:05 AM
Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal -- Jumat, 1 Juni 2001
Namun, ternyata tidak ada pemenang mutlak. Situasi krisis tidak menunjukkan perubahan. Dalam situasi seperti itu, Soekarno menunjukkan akan membangun suatu penyelesaian dengan menggalang kekuatan dari rakyat Jawa, PNI, PKI, NU, Partai Murba, dan juga dengan menggandeng kepala staf Angkatan Darat yang berpengaruh, Nasution. Soekarno pada Oktober 1956 bahkan pernah berpidato mengajak untuk mengubur semua partai. Dan, kemudian memperkenalkan satu sistem demokrasi baru, yaitu Demokrasi Terpimpin. Dalam diri Soekarno seperti ada kegusaran terus mengenai konsepsi persatuan yang diidam-idamkannya sejak awal. Sepertinya, pada Demokrasi Terpimpin, Soekarno melihat celah yang mengarah ke terjadinya konsepsi persatuan nasionalnya. Hatta, dalam situasi seperti itu menurut UUDS semestinya bertugas membantu Soekarno. Namun, hati Hatta tidak kuasa menahan kecewa. Sebab, dengan mendukung Soekarno berarti mengebiri demokrasi multipartai dan parlementer yang merupakan unsur pokok dari kedaulatan rakyat yang sudah sejak awal diperjuangkannya. Demokrasi parlementer memang sedang terganggu, tetapi untuk menegakkan demokrasi bukan dengan mematikannya. Menjelang mundur dari Dwitunggal, yaitu saat berpidato di Universitas Gadjah Mada, Hatta menyerukan bahwa sejak 1950 pemerintahan dijalankan dalam demokrasi parlementer yang tanpa demokrasi dan tanpa parlemen sehingga yang terjadi anarki politik. Kekuasaan sesungguhnya tidak berada di dalam pemerintahan, tetapi dalam dewan partai yang tidak bertanggung jawab. Hatta mundur Hatta mundur dari Dwitunggal pada 1 Desember 1956. Dikatakannya bahwa meskipun ia meninggalkan jabatan wakil presiden, tetapi rakyat sekali-kali tidak pernah ditinggalkannya. Hatta sepertinya yakin bahwa posisi "oposisi" akan lebih membantu dalam rangka memperbaiki kondisi carut-marut negerinya daripada mandul sebagai wakil presiden. Hatta melihat bahwa perselisihan didalam pemerintahan telah melupakan wajah-wajah pucat dan tubuh-tubuh kering dari rakyat Indonesia yang miskin dan kekurangan pangan. Ia memberi ingat akan tujuan semula kemerdekaan yang harus segera diwujudkan, yaitu perbaikan kondisi kesejahteraan rakyat. Kecuali itu, dilihatnya bahwa kebijakan perekonomian pusat tidak menguntungkan daerah-daerah luar Jawa. Dalam mata Hatta, pemberontakan regional dapat muncul sebagai suatu "letusan kekecewaan" dan suatu "konflik kejiwaan antara pusat dan daerah". Setelah berpisah, hubungannya dengan Soekarno tetap dijalin dengan surat-menyurat. Dalam surat-suratnya itu, Hatta kerap bersuara keras menentang kebijakan Soekarno yang sudah menjauh
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Hatta%20Tak...sebagai%20Dwitunggal%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (9 of 12)4/3/2005 11:05:05 AM
Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal -- Jumat, 1 Juni 2001
dari mewujudkan kedaulatan rakyat. Namun, peringatan-peringatan Hatta sering kurang diperhatikan Soekarno. Ia terus menggulirkan konsepsi Demokrasi Terpimpin dengan didukung orang-orang di sekelilingnya. Kecuali itu Hatta juga bersuara di surat kabar. Namun, begitu surat kabar yang memuat tulisan Hatta diberangus, kemudian tidak ada yang berani memuat gagasan-gagasan Hatta. Hatta menyayangkan tindakan pemberangusan ini, sebab yang dirugikan pasti banyak pihak. Tindakan kekerasan terhadap buah-buah pikiran pada dasarnya merugikan diri sendiri. Pemberangusan yang memakan banyak korban itu yang antara lain memaksa Hatta untuk tidak bersuara lagi di surat kabar. Dalam usaha menolong kondisi negeri yang krisis, Hatta mengungkapkan perlunya orang kembali mencermati kadar rasa tanggung jawab. Waktu itu, kehampaan tanggung jawab (emptiness of responsibility) begitu menggejala di mana-mana dalam pelbagai bentuknya. Kondisi rakyat tidak membangkitkan rasa perasaan apa pun dalam diri para pengambil ke-putusan. Maka, antara lain Hatta menganjurkan perubahan dalam sistem pemilihan umum yaitu dengan diadakannya sistem daerah pemilihan. Sebab, dengan begitu para wakil rakyat yang terpilih merasa bertanggung jawab langsung terhadap rakyat. Bukannya bertanggung jawab kepada partai yang telah menempatkannya sebagai wakil rakyat. Kecuali itu, dalam perspektif tanggung jawab pemimpin kepada rakyatnya yang harus dibangkitkan lagi, Hatta menulis Demokrasi Kita dalam kerangka debat konsepsi demokrasi dengan Soekarno bersama Demokrasi Terpimpin-nya yang pada dasarnya otoriter. Tidak dapat disangkal bahwa pada diri Soekarno dan Hatta terdapat kegelisahan besar untuk membangun dan menyusun bangsa dan negaranya. Namun, memang harus diakui bahwa perbedaan pandangan di antara keduanya terus mengikuti kegelisahan itu. Yang menarik, persahabatan di antara mereka tidak retak sekalipun ada perbedaan-perbedaan pandangan. Hatta pun sebenarnya masih didukung sebagai pemimpin oleh kalangan-kalangan tertentu, terutama dukungan dari rakyat Sumatera. Namun, Hatta tetap teguh menjalani jalan sunyinya di luar gebyar panggung politik. Maka, ia pun tidak menggalang dan mengerahkan massa untuk mendukung butir-butir gagasannya. Hatta memang tidak pernah datang kembali sebagai Dwitunggal bersama Soekarno. Tetapi, kekayaan pengalamannya dalam memperjuangkan rakyat ketika bertentangan dengan Soekarno maupun ketika duduk bersama dalam Dwitunggal tidak pernah hilang. Ia telah menghabiskan hidupnya dengan studi, debat, di penjara, dan diasingkan. Ia pun sebagai Dwitunggal berada di bawah bayang-bayang Soekarno. Ia lebih banyak diam merenung di dalam
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Hatta%20Tak...sebagai%20Dwitunggal%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (10 of 12)4/3/2005 11:05:05 AM
Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal -- Jumat, 1 Juni 2001
hati, tetapi berpikir bening dan jitu dalam strategi. Ia mengerti kapan harus tampil, dan kapan turun panggung tanpa harus melukai persatuan yang sudah dibangun bersama teman-temannya sejak Perhimpunan Indonesia berdiri. Ia mengerti bagaimana menjalin hubungan persahabatan dengan Soekarno meskipun nasihatnasihatnya sering tidak didengar. Ia mengerti kapan keras menghardik dan kapan lembut menegur. Ia rela meninggalkan segala-galanya, termasuk jabatan, kalau hati nuraninya terganggu. Memang, sungguh butuh berlimpah hal untuk mengubah dunia, seperti kata Bertolt Brecht (1898-1956), penyair Jerman, dalam Einverstaendnis, "it takes a lot of things to change the world: Anger and tenacity. Science and indignation, The quick initiative, the long reflection, The cold patience and the infinite perseverance, The understanding of the particular case and the understanding of the enseble: Only the lessons of reality can teach us to transform reality". * In Nugroho Budisantoso Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Hatta%20Tak...sebagai%20Dwitunggal%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (11 of 12)4/3/2005 11:05:05 AM
Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001 Soekarno dan Gerakan Perempuan
Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Gadis Arivia MEMBUKA lembaran-lembaran buku bersejarah tentang Soekarno dan mencari tulisan-tulisan maupun paragraf-paragraf yang penting, yang menuangkan gagasan Soekarno tentang perempuan, mengantar kita ke lembaran sejarah pergerakan perempuan di masa lalu.I "Banjak orang jang tidak mengerti apa sebabnja saja anggap kursuskursus wanita itu begitu penting. Siapa jang membatja kitab jang saja sadjikan sekarang ini,-jang isinja telah saja uraikan di dalam kursuskursus wanita itu dalam pokok-pokoknja-akan mengerti apa sebab saja anggap soal wanita itu soal jang amat penting. Soal wanita adalah soal-masjarakat!" (Soekarno, Sarinah, 1947) Representasi ini sangat mengesankan ketika melihat gambargambar perjuangan perempuan yang dibalut kain kebaya menyuarakan aspirasi mereka, bukan hanya soal kepandaian putri, tetapi bahkan menyerukan perjuangan revolusioner. Satuan perjuangan yang pertama adalah Lasjkar Wanita Indonesia atau Lasjwi yang didirikan Aruji Kartawinata di Bandung tahun 1945. Satuan ini mengangkat senjata dan berangkat ke garis depan medan pertempuran, bergiat dalam melakukan perawatan prajurit yang menderita luka, menyelenggarakan dapur umum dan menjahit seragam prajurit. Satuan-satuan semacam ini menyebar ke seluruh Jawa, serta Sumatera Tengah dan Selatan, Sulawesi Tengah dan Selatan. Di Jakarta terdapat organisasi Wani atau Wanita Negara In-donesia
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Kepentingan...entingan%20Perempuan%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (1 of 11)4/3/2005 11:05:07 AM
Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan -- Jumat, 1 Juni 2001
(1945) yang dipimpin sejumlah tokoh seperti Suwarni Pringgodigdo (Istri Sedar), Sri Mangunsarkoro, dan Suyatin Kartowiyono. Wani mendistribusikan beras untuk tujuan perjuangan. Terdapat pula organisasi-organisasi buruh seperti Barisan Buruh Wanita yang berhaluan kiri, salah satu tokohnya adalah SK Trimurti. Jauh sebelum masa perjuangan revolusioner, pergerakan perempuan sebenarnya sudah dimulai oleh perempuan-perempuan kelas menengah. Ada beberapa faktor mengapa kelas menengah mengambil peranan yang penting di sini. Faktor-faktor tersebut antara lain disebabkan tingkat pendidikan, waktu luang dan juga akses informasi dan pengetahuan yang mereka miliki. Organisasi yang cukup kuat misalnya adalah Putri Merdeka, yang dibentuk tahun 1912 dan mempunyai afiliasi dengan Boedi Oetomo, organisasi nasionalis pertama yang berdiri tahun 1908. Afiliasi ini memperlihatkan bagaimana pada saat itu organisasi perempuan sangat dekat dengan nasionalisme. Simbolisasi ini terlihat pada Kartini, seorang perempuan priyayi. Isu-isu yang dilontarkan senada dengan Kartini seperti persoalan pendidikan dan peningkatan kepandaian putri. Organisasi perempuan kelas menengah lainnya yang mempunyai nuansa agama adalah Muhammadiyah. Organisasi perempuan mulai menjadi politis baru terlihat pada tahun 1920-an, ketika organisasi-organisasi politik yang besar seperti Sarekat Islam, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI) mempunyai divisi perempuan. Organisasi-organisasi perempuan ini mempunyai anggota yang bervariasi dalam latar belakang sosial dan politiknya. Cakupannya meliputi tingkat kelas menengah-bawah yang meluas. Isu-isu yang dilontarkan adalah seputar partisipasi perempuan dalam politik dan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan (decision-making). Pada suasana seperti inilah hadir Soekarno yang pada akhir tahun 1920-an mulai mengemuka sebagai tokoh nasionalis. Ia mulai terlibat dalam politik pada tahun 1926, dan satu tahun kemudian pada tahun 1927 ikut menggagas PNI. Ketika Kongres Ibu diadakan pertama kali pada tanggal 22 Desember 1928, Soekarno mengambil kesempatan ini untuk mengemukakan pendapatnya tentang perempuan. II "Berbahagialah kongres kaum ibu: diadakan pada suatu waktu, di mana masih ada sahadja kaum bapak Indonesia jang mengira, bahwa perdjoangannja mengedjar keselamatan nasional bisa djuga lekas berhasil zonder sokongannja kaum ibu; Oleh karena daripada kaum bapak masih banjak jang kurang pengetahuan akan harganja file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Kepentingan...entingan%20Perempuan%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (2 of 11)4/3/2005 11:05:07 AM
Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan -- Jumat, 1 Juni 2001
sokongan kaum ibu itu; kita tidak sahadja gembira hati akan kongres itu oleh karena kaum bapak belum insjaf akan keharusan kenaikan deradjat kaum ibu itu,-kita gembira hati ialah teristimewa djuga oleh karena di kalangan kaum ibu sendiri belum banjak jang mengetahui atau mendjalankan kewadjibannja ikut menjeburkan diri di dalam perdjoangan bangsa, dan belum banjak jang berkehendak akan kenaikan deradjat itu." (Soekarno: Kongres Kaum Ibu, 1928) PIDATO Soekarno pada Kongres Kaum Ibu tahun 1928 ini amat penting untuk membaca penempatan perempuan dalam pemikiran Soekarno. Ia menyokong hak-hak perempuan, namun ia menganggap perjuangan hak perempuan harus nomor dua setelah perjuangan kemerdekaan. Dan bila perjuangan hak-hak perempuan itu tercapai, perjuangan tersebut belum cukup karena kepentingan nasional belum terwujud. Ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan bertubi-tubi kepada kaum perempuan saat itu: "Apakah kiranja sudah tjukup, jang kaum ibu Indonesia mendjadi sama haknja dengan kaum bapak Indonesia-hak kaum bapak Indonesia jang terikat-ikat ini? Apakah kiranja sudah tjukup, jang kaum ibu Indonesia mendjadi sama deradjatnja dengan kaum bapak Indonesia,-deradjat kaum bapak Indonesia jang tak lebih daripada deradjatnja orang djadjahan, tak lebih daripada deradjatnya putera negeri jang tak merdeka?" (Kongres Kaum Ibu, 1928) Awalnya dalam Kongres Kaum Ibu, pandangan-pandangan Soekarno tidak mendapatkan sambutan yang hangat. Tigapuluh perempuan yang mengikuti kongres tersebut tetap berkonsentrasi untuk mendiskusikan isu-isu perempuan dan bukan nasionalisme. Bahkan, ada tuduhan terhadap Soekarno yang ingin "memolitikkan" isu-isu perempuan bagi kepentingan politiknya. Terhadap tuduhan ini, Soekarno mengelak dengan mengatakan bahwa soal perempuan adalah soal yang luas. "Kita tidak mempolitikkan soal ini! Kita memudjikan pendirian jang demikian, tak lain tak bukan ialah oleh karena pada hakekatnja soal perempuan tidak dapat dipisahkan daripada soal laki-laki. Kita pun harus memperingatkan, bahwa jang menderita pengaruhnja sesuatu proses kemasjarakatan, dus djuga proses kolonial sebagai di sini, ialah bukan sahadja satu bagian, bukan sahadja kaum laki-laki, tetapi semua manusia laki-perempuan jang berada di dalam lingkungannja proses kemasjarakatan itu." (Kongres Kaum Ibu, 1928)
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Kepentingan...entingan%20Perempuan%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (3 of 11)4/3/2005 11:05:07 AM
Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan -- Jumat, 1 Juni 2001
Tak lama setelah Kongres Kaum Ibu diadakan, beberapa organisasi baru terbentuk. Di antaranya adalah Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) yang namanya kemudian berubah menjadi Asosiasi Perempuan Indonesia (API). Tahun 1935, berganti nama lagi menjadi Kongres Perempuan Indonesia (KPI). Dalam kiprah politiknya, kelompok ini kelihatannya mengambil "jalan tengah" yakni bermain di antara isu-isu perempuan dan nasionalisme, antara isu perkawinan yakni monogami dengan pendidikan campuran (anak laki-laki dan perempuan). Kelompok ini berusaha menjaga harmoni antara kelompok yang berbasis agama dan yang sekuler. Kali ini, Soekarno berhasil mencuri perhatian kelompok perempuan apalagi ide memperjuangkan kemerdekaan dapat merangkul kelompok-kelompok perempuan berbasis agama yang masih curiga dengan isu-isu perempuan yang diperjuangkan, seperti hak seorang istri untuk meminta perceraian bila sang suami mempunyai istri kedua. Situasi ini menimbulkan per-debatan yang seru di antara kelompok perempuan. Maria Ulfah Subadio yang lama aktif di dunia politik dan kemudian menjadi menteri perempuan pertama Indonesia merefleksikan ketegangan yang terjadi saat itu, dan menyimpulkan bahwa: "Kita memang bukan merupakan sebuah gerakan feminis, kita tidak pernah mendjadi sebuah gerakan feminis, kita berfikir lebih baik melawan pendjadjahan daripada melawan laki-laki. Djadi, kita membutuhkan laki-laki sebagai sekutu." (Doran, 1987:104) Setelah Kongres Perempuan Indonesia berakhir, beberapa organisasi kelompok perempuan bermunculan untuk mengangkat persoalan politik negeri. Tahun 1930, Istri Sedar yang dibentuk di Bandung menyatakan diri ingin meningkatkan status perempuan Indonesia melalui perjuangan kemerdekaan. Ide dasarnya adalah bahwa tidak akan ada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan bila tidak ada kemerdekaan. Sesudah Jepang menyerah, kaum perempuan dari kalangan parpol dan ormas berbasis agama seperti Aisyah dan Wanita Katolik membuat agenda untuk menunjang perjuangan. Hal yang sama dilakukan juga oleh Wanita Muslimat dari Masyumi. Istri-istri anggota angkatan bersenjata seperti anggota Bhayangkari (1945) dan istri-istri Angkatan Laut (1946) melakukan kerja sama untuk saling membantu dalam perjuangan terutama apabila suami mereka tewas. Pada Kongres Kaum Perempuan di Klaten pada bulan Desember 1945, Persatuan Wanita Republik Indonesia file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Kepentingan...entingan%20Perempuan%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (4 of 11)4/3/2005 11:05:07 AM
Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan -- Jumat, 1 Juni 2001
(Perwari) bertekad mendukung revolusi nasional. III "Sekarang kita telah Merdeka. Kita telah mempunjai Negara. Kita telah mempunjai Republik. Bagaimanakah aktiviteit wanita di dalam perdjoangan Republik kita itu? Inilah soal jang amat penting, jang diinsjafi sungguh-sungguh oleh semua pemimpin wanita Indonesia. Malahan bila mungkin, djangan ada seorang wanita pun jang tidak insjaf, djangan ada seorang pun di antara mereka jang ketinggalan! Dengan tiada berfaham komunis saja dapat mengagumi ucapan Lenin: "Tiap-tiap koki harus dapat mendjalankan politik"Maka saja berkata: "Hai wanita-wanita Indonesia, djadilah revolusioner,-tiada kemenangan revolusioner, djika tiada wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner, djika tiada pedoman revolusioner!" Tiap-tiap pergerakan jang menghantam, melemahkan, menggempur imperialisme adalah pergerakan-pergerakan revolusioner." (Sarinah, 1947:247,283) SEJAK Awal tahun 1930-an Soekarno telah masuk dalam fase baru dalam perkembangan pemikiran politiknya, yaitu menguatnya konsep-konsep marxisme di dalam dirinya. Baginya, perjuangan perempuan yang lebih penting adalah penghancuran kapitalisme. Hal inilah yang ia tekankan kepada kaum perempuan dengan sekali lagi menegaskan bahwa "kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak tjukup. Ada kebutuhan jang lebih besar lagi jaitu penghancuran sistem kapitalis". (Doran, 1987:104). Hampir separuh buku Sarinah, menguraikan pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikiran pergerakan perempuan sosialis. Nama yang kerap mun-cul di dalam buku ini adalah Clara Zetkin yang oleh Soekarno dijuluki sebagai "ibu besar" dari pergerakan proletar sedunia. Ia menceritakan bagaimana Zetkin menggagas Kongres Perempuan Internasional bersama Rosa Luxemburg. Perjuangan hak mengikuti pemilihan umum memang merupakan agenda pertama dari mereka dan ini diperjuangkan melalui Kongres Perempuan Internasional. Namun, tidak hanya berhenti di sini, ia juga memperluas perjuangannya dalam soal menggempur kapitalisme. Pembesaran figur Zetkin oleh Soekarno sebenarnya cukup berlebihan dan mengalami polesan yang sedemikian rupa untuk menjaga kepentingan pemikirannya sendiri yang sedang mengeras ke arah "kiri". Ia sama sekali tidak menjelaskan protes gerakan perempuan sosialis akan keberatan mereka terhadap ide-ide dan aksi-aksi mengalahkan kepentingan perempuan demi kepentingan ideologi. Ia juga tidak menyinggung betapa Zetkin berusaha file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Kepentingan...entingan%20Perempuan%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (5 of 11)4/3/2005 11:05:07 AM
Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan -- Jumat, 1 Juni 2001
mendiskusikan secara terbuka isu-isu kesetaraan dalam diskusi perempuan dalam Partai Komunis yang saat itu mendapat teguran keras dari Lenin. Bagi Lenin apa yang dikerjakan Zetkin-yaitu mendiskusikan isu-isu perempuan-tidak memberikan kontribusi dalam perjuangan revolusioner. Menurut Lenin, yang seharusnya dilakukan oleh Zetkin bukan membuang-buang waktu membicarakan soal-soal perempuan tetapi membangkitkan gairah dan kesadaran perjuangan revolusioner menentang kapitalisme pada perempuan. Sebaliknya, bagi Zetkin, persoalannya jelas bahwa terdapat kebutuhan bagi perempuan untuk memahami dan menghubungkan penindasan yang terjadi di bidang "privat" maupun "publik". Ia mengerti benar mengapa perempuan tertindas dan hal ini tampaknya sama sekali tidak dipahami oleh Lenin. Marxisme menjelaskan mengapa kapitalisme mengakibatkan adanya pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki, pemi-sahan antara perempuan di dunia domestik dan laki-laki di dunia publik. Tetapi, marxisme tidak menjelaskan mengapa sebelum ada kapitalisme pemisahan tersebut sudah terjadi. Bagi Zetkin, baik kategori Marx maupun kapital samasama buta terhadap persoalan perempuan. Tokoh-tokoh feminis sosialis setelah Zetkin kemudian mengagendakan persoalan perempuan sebagai yang utama, baru kemudian persoalan kelas. Walaupun feminis sosialis setuju dengan para feminis marxis bahwa pembebasan perempuan bergantung pada penghancuran kapitalisme, namun mereka juga sadar bahwa kapitalisme tidak dapat dihancurkan bila patriarki tidak dimusnahkan. Bagi mereka materi atau hubungan ekonomi masyarakat tidak akan mengalami perubahan yang berarti bila ideologi patrarki tidak dirubah. Perempuan dengan demikian harus berperang melawan dua musuh sekaligus, yakni kapitalisme dan patriarki. Baru di sana pembebasan yang sejati terhadap perempuan bisa terwujud. Pada tahun 1950-an, badan organisasi perempuan diakui bukan lagi hanya satu. Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang dibentuk pada tahun 1946 untuk menunjang perjuangan kemerdekaan, bubar. Kongres Wanita Indonesia hanyalah salah satu upaya untuk memfasilitasi kontak di antara organisasi perempuan, namun tidak memiliki otoritas melakukan keputusan sendiri. Organisasi perempuan yang cukup kuat saat itu adalah Gerwis, sebuah organisasi yang independen bertujuan memajukan pendidikan perempuan dan menyediakan fasilitas penitipan anak. Tahun 1954, organisasi Gerwis menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan kemudian menjadi organisasi yang tangguh memiliki paling tidak satu juta anggota. Walaupun tidak ada hubungan yang resmi antara Gerwani dan PKI, namun seringkali Gerwani dipandang sebagai bagian dari divisi perempuan PKI. Hubungan yang erat antara
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Kepentingan...entingan%20Perempuan%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (6 of 11)4/3/2005 11:05:07 AM
Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan -- Jumat, 1 Juni 2001
Gerwani dan pergerakan buruh (SOBSI) serta PKI, membuat hubungan Gerwani dengan Soekarno menjadi sangat dekat. IV "Setelah bayiku berumur dua hari, waktu aku sedang berbaring, pagipagi benar datanglah Bung Karno. Bung Karno du-duk di depanku dan kemudian berkata: 'Fat, aku minta izinmu, aku akan kawin dengan Hartini.' Aku dengarkan saja apa yang Bung Karno utarakan tadi dengan seksama dan tenang. 'Boleh saja,' kataku menjawab, tetapi Fat minta dikembalikan pada orangtua. Aku tidak mau dimadu dan anti poligami. Tetapi aku cinta padamu dan juga cinta pada Hartini, demikian Bung Karno. 'Oo, tak bisa begitu!,' kataku." (Fatmawati, 1978:80) PERKAWINAN Soekarno dengan Hartini pada tahun 1954 merupakan tamparan keras bagi kelompok perempuan. Hubungan Soekarno dengan gerakan perempuan menjadi tegang. Popularitas Soekarno jatuh dan ide-ide besarnya tentang perempuan di dalam bukunya Sarinah dipertanyakan. Ketegangan pun terjadi di antara kelompok perempuan. Nani Suwondo dari Perwari yang mendukung Fatmawati untuk meninggalkan Istana menyesalkan tindakan Gerwani, yang tidak memprotes perkawinan Soekarno dengan Hartini. Gerwani dituduh lebih berat membela politik dan bukan kepentingan kaum perempuan. Protes Perwari sebaliknya merugikan organisasinya sendiri. Banyak anggota Perwari yang mengundurkan diri dari organisasi karena suami mereka mendapat tekanan di tempat kerja. Perwari selanjutnya kehilangan dukungan dan tidak menerima bantuan apa pun. Sujatin Kar-towiyono sebagai Ketua Perwari pada saat itu banyak menerima tekanan, intimidasi, bahkan ancaman mati.Setelah perkawinan Soekarno dengan Hartini, reformasi undang-undang perkawinan berjalan semakin lambat. Sebelumnya telah terjadi perbedaan pendapat yang mencolok antara kelompok perempuan yang berbasis agama dengan yang sekuler. Kemudian setelah Soekarno marah besar pada gerakan perempuan Indonesia, perjuangan reformasi undang-undang perkawinan semakin sulit. Baru pada tahun 1954, rancangan undang-undang perkawinan diajukan pada Kementerian Agama, namun, dibutuhkan tiga tahun lamanya, dan pada tahun 1957 rancangan tersebut dibahas dalam sidang kabinet pari-purna. Pada bulan Maret tahun 1958, PNI mengusulkan rancangan undang-undang perkawinan ke parlemen yang lebih radikal lagi, yakni menuntut monogami bagi seluruh bangsa Indonesia dan menjamin hak-hak yang sama dalam penceraian untuk perempuan.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Kepentingan...entingan%20Perempuan%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (7 of 11)4/3/2005 11:05:07 AM
Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan -- Jumat, 1 Juni 2001
Tentunya kata sepakat tidak tercapai dalam parlemen, karena ide ini tidak didukung oleh kalangan Muslim. Kompromi kemudian dicapai melalui ga-gasan Bhayangkari, bahwa permaduan diizinkan bagi suami-istri Muslim, tetapi kitab Un-dang-Undang Perkawinan Sipil mendasarkan diri pada aspek monogami. Perjalanan perjuangan undang-undang perkawinan setelah ini masih panjang karena ditentang Kementerian Agama. Perempuan Indonesia harus menunggu sampai tahun 1973 untuk mendapatkan undang-undang perkawinan baru yang melarang poligami. V "Sudah lama bunga Indonesia tiada mengeluarkan harumnja, semendjak sekar jang terkemudian sudah mendjadi laju. Tetapi sekarang bunga Indonesia sudah kembang kembali, kembang ditimpa tjahaja bulan persatuan Indonesia; dalam bulan jang terang benderang ini, berbaulah sugandi segala bunga-bungaan jang harum, dan menarik hati jang tahu akan harganja bunga sebagai hiasan alam jang diturunkan Ilahi. (Soekarno, Kongres Kaum Ibu, 1928) PRIBADI presiden pertama Republik Indonesia ini memiliki tiga ciri persona yang menarik, yakni charm, kharisma, dan pamor (sinar cahaya). Ia juga sangat ahli dalam berkata-kata, sangat puitis dan sekaligus tajam dilengkapi daya analisa yang kritis. Secara keseluruhan, ia adalah laki-laki yang cute (elok) dan smart (tampan, cerdas), sangat menonjol dari laki-laki pada zamannya. Karya besarnya tentang perempuan yang ia tuangkan dalam bukunya berjudul Sarinah setebal 329 halaman ini, menunjukkan keseriusannya dalam membedah persoalan-persoalan perempuan. Pada bab-bab pertama, ia membahas soal laki-laki dan perempuan, soal "alam" dan "kultur" serta menunjukkan bagaimana perempuan didefinisikan oleh kultur. Pada bab-bab berikutnya, ia menjelaskan keadaan perempuan dan menyatukannya dengan pemikiranpemikiran feminisme marxis/sosialis. Pada bab-bab terakhir, Soekarno mempertegas kewajiban perempuan, yakni ikut serta menyelamatkan Republik memperkuat Negara Nasional. Ia menjanjikan bahwa setelah negara terselamatkan, masyarakat adil dan sejahtera, dan perempuan pada akhirnya akan bahagia dan merdeka. Benarkah janji itu terpenuhi? Kaum feminis belajar dari sejarah bahwa perjuangan bentuk apa pun yang meletakkan perjuangan perempuan sebagai bukan yang utama, akan mengalami penipuan. Segala bentuk penipuan terhadap perempuan adalah hal yang biasa dan sering dialami. Beberapa kali dalam sejarah perempuan diminta untuk memperjuangkan kemerdekaan dahulu baru kemudian hak-
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Kepentingan...entingan%20Perempuan%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (8 of 11)4/3/2005 11:05:07 AM
Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan -- Jumat, 1 Juni 2001
haknya. Memperjuangkan ideologi dahulu baru hak-haknya? Memperjuangkan demokrasi dahulu baru hak-haknya? Sudah seringkali di negara ini dan di belahan dunia lainnya, perempuan "dipakai" untuk tujuan-tujuan politik tertentu, yang lebih besar dan lebih agung. Bahkan, Gerwani akhirnya disingkirkan oleh rezim Orde Baru demi kepentingan politik rezim tersebut. Seluruh filsafat abad modern memuja ide-ide besar, agung dan kebenaran mutlak. Soekarno dalam perspektif filsafatnya tidak dapat dilepaskan dari keterbelengguannya dengan "teori-teori besar" (grand theory), yang menganggap seluruh entitas ini sebagai suatu keseluruhan dan universal. Demikian pula pemikiranpemikirannya tentang perempuan merupakan suatu entitas yang tidak dapat dipisahkan dari totalitas universal. Soekarno menganggap perempuan hanyalah suatu bagian dari suatu subyek yang lebih besar lagi, yakni revolusi, ideologi, negara, suatu rasionalitas yang semuanya diterjemahkan dengan cara berpikir maskulin. Apakah ide-ide perempuan? Bagaimanakah moralitas dan etika perempuan? Kehidupan moral perempuan bukanlah da-tang dari ideide besar melainkan dari kehidupan sehari-sehari yang ia jalani: kehidupan ruang domestik yang ia geluti, ruang pribadi yang menyangkut kesejahteraan keluarganya, relasi-relasi kecil yang mempunyai keterikatan emosional, dunia feminitas yang tampak sederhana dari luar namun sangat kompleks dalam kehidupan perempuan. Soekarno tidak dapat mengerti pentingnya undangundang perkawinan bagi kelompok perempuan, Lenin sulit memahami mengapa perempuan perlu berdiskusi segala tetek bengek yang ia anggap buang-buang waktu saja. Feminisme tidak pernah tertarik untuk membangun suatu teori yang abstrak dengan prinsip-prinsip universal. Feminisme seringkali mengambil posisi epistemologis yang menentang suatu pencarian rasionalistik dan sistem universal. Sebaliknya, pencarian feminisme selalu ditekankan pada pengalaman moral. Feminis Annette Baier (1985) mengatakan bahwa perempuan dalam perdebatan moralnya mempunyai kehendak yang berbeda dari laki-laki, perempuan lebih menitikberatkan nilai-nilai etika yang berarti bagi kehidupannya. Perempuan hidup di dalam masyarakat yang nilai-nilai kefemininnya dianggap remeh dan tidak penting, seluruh eksistensinya sebagai perempuan disubordinasikan. Dalam masyarakat yang patriarkis, seluruh aturan universal berlaku pada sistem "aturan laki-laki" (the law of the father), sifat egois yang berpusat pada kemauan laki-laki sehingga dunia publik menjadi dominasi laki-laki. Bagi feminisme amatlah jelas, hak-hak perempuan sebagai manusia
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Kepentingan...entingan%20Perempuan%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (9 of 11)4/3/2005 11:05:07 AM
Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan -- Jumat, 1 Juni 2001
harus diperjuangkan terlebih dahulu agar ia setara dengan jenis manusia lainnya, bila ini telah tercapai, terwujudlah masyarakat yang adil dan makmur, negara yang merdeka dan demokratis. Ah, seandainya Soekarno memahami hal ini. * Gadis Arivia Ketua Yayasan Jurnal Perempuan, staf pengajar Jurusan Filsafat Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) dan Kajian Wanita UI.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
●
● ●
● ● ● ● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda Tjipto-Soetatmo-Soekarno Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan Ziarah Kubur Bung Karno Soekarno di Masa Krisis PDRI Dunia MenurutSang Putra Fajar Bung Karno di Bawah Bendera Jepang Bung Karno, Seni, dan Saya
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Kepentingan...entingan%20Perempuan%20--%20Jumat,%201%20Juni.htm (10 of 11)4/3/2005 11:05:07 AM
Koleksi dan Karya Presiden Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Koleksi dan Karya Presiden Soekarno
Presiden Soekarno Karya : Basuki Abdullah
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Koleksi%20d...en%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 5)4/3/2005 11:05:08 AM
Koleksi dan Karya Presiden Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
Judul : Peperangan antara Gatutkatja dan Antasena Karya : Basuki Abdullah
Judul : Persiapan Gerilya Karya : Dullah
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Koleksi%20d...en%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 5)4/3/2005 11:05:08 AM
Koleksi dan Karya Presiden Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
Judul : Kawan-kawan Revolusi Karya : S Sudjojono
Judul : Si Denok Karya : M Pastori (Swiss)
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Koleksi%20d...en%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 5)4/3/2005 11:05:08 AM
Koleksi dan Karya Presiden Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
Judul : Potret Seorang Putri Karya : Soekarno Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Koleksi%20d...en%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 5)4/3/2005 11:05:08 AM
Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Sartono Kartodirdjo PANCAROBA masa peralihan abad ke-19 ke abad ke-20 ialah ucapan yang lumrah diketengahkan dalam sejarah Indonesia bahwa suatu jiwa zaman (zeitgeist) membentuk kepribadian Dok Kompas seseorang yang hidup di masa itu, dan sebaliknya pribadi tokoh sejarah menempa jiwa zaman. Abad ke-20 bercirikan nasionalisme serta produk perkembangannya, ialah negara nasion, maka berbicara tentang Bung Karno tidak lepas dari nasionalisme, dan sebaliknya perkembangan nasionalisme tidak dapat lepas dari peran kepemimpinan Bung Karno.Beberapa dasawarsa menjelang tahun 1900, Indonesia, khususnya Jawa, mengalami perubahan ekonomi sosial dan politik sebagai dampak modernisasi seperti pembangunan komunikasi, antara lain kereta api, jalan raya, telepon, telegraf, industri pertanian dan pertambangan, edukasi dari sekolah rendah sampai pelbagai pengajaran profesi dalam kedokteran, teknologi pertanian dan lain sebagainya. Tidak mengherankan apabila timbul peningkatan mobilitas, pendidikan profesi, ekonomi pasar, serta ekonomi keuangan dan lain-lain.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Latar%20Be...ral%20Dunia%20Kanak-kanak%20dan%20Masa%20Mud.htm (1 of 10)4/3/2005 11:05:09 AM
Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
Kebingungan rakyat dalam menyikapi perubahan itu menciptakan pada rakyat sejak kira-kira pertengahan abad ke-19 pandangan dunia, seperti gambaran kuno ialah datangnya kaliyuga atau datangnya kiyamat (apocalyps). Kedatangan akhiring zaman ditandai antara lain oleh "Pulau Jawa sudah berkalung besi" (adanya kereta api), anak yang sudah tahu nilai uang akibat adanya monetisasi, anak tidak lagi mematuhi kata orangtua, dan sebagainya. Adanya kebingungan berubahnya nilai-nilai, karangan pujangga terakhir Ranggawarsita maka dalam serat Kalatida menyatakan "jamannya ialah jaman edan" "Jamane jaman edan sing ora edan ora keduman... Begja begjane kang lali luwih begja kang eling lan waspada." Di sini zaman penuh perubahan nilai-nilai menimbulkan kebingungan, karena orang kehilangan pegangan sehingga kelakuannya serba aneh (seperti orang gila). Orang tidak jujur (korup) menjadi kaya dan yang jujur tidak menjadi kaya akan tetapi yang paling bahagia adalah orang yang tetap ingat (jujur) serta waspada. Sang pujangga menilai zaman pancaroba serba negatif, terutama dari pandangan tradisional jadi konservatif karena perubahan membahayakan masyarakat tradisional, maka perubahan mengancam tradisi. Ucapan Ranggawarsita tidak lagi diindahkan pada zaman emansipasi, justru kemajuan yang menjadi tujuan hidup kaum "kebangkitan" yang disebut dalam sejarah, meskipun mereka menyebut diri sendiri kaum maju.
*** PARA kaum maju merupakan akar pergerakan nasional atau lazim disebut kebangkitan nasional. Dari Kartini bersaudara sampai Bung Karno dan Bung Hatta merupakan proses pergerakan nasionalisme yang berideologi melawan kolonialisme Belanda, gerakan nasionalisme merupakan antitesis terhadap kolonialisme. Kolonialisme bercirikan diskriminasi antara kaum kulit putih dengan kaum kulit berwarna, ekonomi dualistis, dan segregasi pemukiman. Faktor-faktor tersebut dilambangkan secara menonjol dalam kehidupan sehari-hari, membawa dampak pada kaum pribumi, yaitu merasakan serba rendah (inferior), dalam bahasa kini disebut minder. Golongan yang terdahulu merasakan hal tersebut adalah kaum intelektual (terpelajar). Merekalah yang menyadari stigmanya sebagai pribumi yang sedang mengalami krisis identitas. Meskipun telah terpelajar namun mereka belum diakui sama status dengan kaum Eropa. Tambahan pula feodalisme masih sangat kuat di kalangan ambtenar dan priyayi sehingga kedudukan mereka masih sangat ditentukan oleh ikatan feodalnya. Dalam pada itu modernisasi telah banyak menghapus identitas tradisional serta komunal sehingga mereka perlu mencari identitas baru yang sesuai dengan modernisasi gaya hidup mereka.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Latar%20Be...ral%20Dunia%20Kanak-kanak%20dan%20Masa%20Mud.htm (2 of 10)4/3/2005 11:05:09 AM
Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
Mobilisasi, urbanisasi, dan detradisionalisasi memungkinkan ada pelembagaan solidaritas baru, berupa perkumpulan antara lain Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Pasundan. Kecuali berbentuk forum baru, organisasi itu berfungsi sebagai identitas kolektif. Di sini kita menghadapi bentuk ekspresi etno-nasionalisme atau religio-nasionalisme. Meskipun ketiga emansipator pada dekade pertama abad ke-20 yaitu Kartini, Wahidin, dan Soetomo sebagai perintis emansipasi memusatkan perhatian kepada keterlibatan solidaritas nasional masih terbatas, tetapi dipusatkan perhatiannya pada aspek modernisasi yang bervariasi. Di sini kita menghadapi fakta historis berupa konvergensi dua proses, yaitu di satu pihak pada Bangsa Indonesia timbul kesadaran adanya status serba rendah di bawah sistem penjajahan, sedangkan di pihak lain pada Bangsa Belanda muncul kesadaran betapa besar penderitaan rakyat terjajah serta beratnya kewajiban moral dalam pelaksanaan pemerintahan kolonial. Adapun dalam masyarakat Belanda sementara itu timbul kepedulian terhadap situasi Hindia Belanda sebagai negeri yang merosot kesejahteraannya, di samping itu dirumuskan politik kolonial mission sacre, yang terwujud berupa gerakan missi dan zending. Dipicu oleh proses perkembangan dan perubahan konsep kolonialisme, tambahan pula sebagai ideologi kolonialisme sebagai dampak penyebaran literatur kolonial sejak Max Havelaar dari Multatuli (EEF Douwes Dekker) sampai Du Peron. Gambaran tentang Hindia Belanda sebagai jajahan mulai berubah. Politik etis bertujuan memberikan kemudahan untuk kemajuan serta kesejahteraan rakyat. Perlu ditambahkan di sini suatu interpretasi ekonomi bertujuan industrialisasi pertanian serta penanaman modal, maka fungsi jajahan berubah, ialah sebagai pasar penanaman modal. Untuk mendorong hal itu perlu ada perbaikan transportasi serta membuka banyak lahan untuk perkebunan. Perlu dicatat di sini bahwa ideal dalam politik etis ialah akan menciptakan kaum terpelajar yang Neerlandophil. Sesungguhnya pendidikan yang dikembangkan memuat gagasan P Kennedy adalah dalam jangka panjang menjadi satu bom waktu bagi kolonialisme.
*** MENYINGGUNG lagi masalah emansipasi, ketiga emansipator tersebut di atas menjadikan pendidikan sebagai dasar modernisasi yang mencakup tiga segi, yaitu: a. pendidikan wanita, b. biaya pendidikan (beasiswa), c. pendidikan pada umumnya. Pidato Soetomo dalam kongres "Jong Java" menyatakan bahwa dewasa itu pembangunan masih terbelakang. Dipandang dari segi historis politik kolonial menghasilkan hominies novi (manusia baru) atau priyayi intelegensia yang akan berperan sebagai modernisator atau aktor intelektualis dalam file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Latar%20Be...ral%20Dunia%20Kanak-kanak%20dan%20Masa%20Mud.htm (3 of 10)4/3/2005 11:05:09 AM
Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
profesionalisme teknologi bidang industri, pertanian, kedokteran, biroktasi, pendidikan, dan sebagainya. Dalam menyebut pendidikan sebagai unsur politik kolonial perlu diketengahkan Politik Etis pada awal abad ke-20 dengan trilogi (sic) sebagai langkah pelaksanaan pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 serta merupakan perwujudan ekspresi dari edukasi, irigasi, dan emigrasi. Pada akhir dekade pertama kita menjumpai kultur gaya hidup kaum maju yang terdiri atas kaum priyayi inteligensia serta pimpinan bangsawan atau kaum aristokrasi (Boedi Oetomo). Maka selaras dengan kondisi itu sifat organisasi, gerakannya tidak mungkin radikal. Kaum pedagang menengah dan penduduk kota sebagai anggota Muhammadiyah juga lebih bersifat moderat, sedang SI yang mencakup lapisan menengah sampai bawah terdiri atas aneka ragam golongan antara lain golongan petani, golongan pertukangan industrialis rumah tangga, serta pedagang kecil. Acap kali ideologinya merupakan campuran antara gerakan tradisional dan setengah modern kota. Meskipun masih bercorak etnonasionalistis, namun sudah ada komunikasi antara golongan bawah menengah dan atas. Contoh yang jelas mengenai bentuk komunikasi tersebut di atas ialah kongres Jong Java pada 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta. Kongres itu sudah dipersiapkan sejak 20 Mei 1908. Bagaimana semangat dan sikap kaum maju dalam akhir dekade pertama dapat diamati selama kongres tersebut. Sangat menonjol jenis nasionalisme pertemuan itu ialah etnosentrisme. Namun, meskipun ada keterbatasan peserta, terutama dari Jawa, pertemuan itu sudah berhasil menghimpun pelbagai golongan, antara lain golongan bangsawan, golongan aristokrasi, dokter, guru, siswa dari pelbagai sekolah. Mereka duduk sama tinggi dan berbahasa satu.
*** INI semua memberikan makna, bahwa tidak lagi dipatuhi aturan feodal dan ada komunikasi lebih bebas. Di sini kita melihat tanda-tanda permulaan dari demokrasi. Dari substansi pembicaraan terbukti perhatian mereka luas, mencakup kesejahteraan kehidupan rakyat dan bagaimana mereka menyikapi kebudayaan Barat. Dua hal yang menarik untuk diungkapkan masa itu ialah, pertama, pidato Soetomo; dan kedua, dialog antara dokter Tjipto Mangunkoesoemo dan dokter Radjiman Wedyodiningrat. Dokter Soetomo mengutarakan keadaan negerinya yang serba terbelakang di pelbagai bidang, antara lain bidang kesehatan, pendidikan, pertanian, peternakan, perumahan, dan sebagainya. Pidato itu mencakup pelbagai segi kehidupan rakyat yang sangat file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Latar%20Be...ral%20Dunia%20Kanak-kanak%20dan%20Masa%20Mud.htm (4 of 10)4/3/2005 11:05:09 AM
Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
komprehensif, tetapi tidak disinggung masalah politik, diskriminasi sosial dan serba tertinggal dalam tingkat pendidikan. Sesuai dengan tingkat kepriyayiannya, dokter Soetomo tidak melancarkan kritik terhadap pihak kolonial, masih jauh dari retorik serta diskusi Bung Karno dua dekade kemudian. Apabila pada masa reformasi sekarang ini perubahan masyarakat ekonomi sosial politik dan kultural tidak dapat ditinjau lepas dari proses globalisasi, pada waktu itu perubahan peradaban masyarakat tidak lepas dari proses westernisasi. Dokter Tjipto Mangunkoesoemo lebih berpandangan progresif, bahwa kemajuan dapat dicapai dengan menerima dan menyikapi positif proses westernisasi terutama dalam segi teknologinya. Sebagai visi alternatif dokter Radjiman Wedyodiningrat mengutarakan bahwa mungkin lebih baik tetap bersifat konservatif dalam menghadapi westernisasi. Bangsa Indonesia telah memiliki kultur atau peradaban sendiri, lebih-lebih dengan perbendaharaan yang cukup kaya raya, khususnya dalam hal ini pembicara merujuk kepada kesenian dan Kesusastraan Jawa. Dengan pandangan seperti tersebut di atas Radjiman lebih condong mempertahankan kebudayaannya sendiri serta berhati-hati dalam menerima kebudayaan Barat, sedang dokter Tjipto Mangoenkoesoemo lebih cenderung menerima westernisasi terutama yang dimaksud bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Rupanya pada zaman Soekarno kolonialisme semakin kuat sistem dominasinya sehubungan dengan ancaman Perang Dunia II serta ancaman ekspansi Jepang. Pidato-pidato Soekarno semakin lebih tegas menyerang kolonialisme dan imperialismenya negara Barat. Nyatanya nasionalisme Indonesia pada fase-fase perkembangannya merupakan reaksi sesuai dengan zeitgeist. Lagi pula Soekarno dalam nasionalisme dan ideologinya menyesuaikan diri dengan visi masa depan. Dalam menghadapi modernisasi lewat westernisasi oleh para kaum maju, jelas disadari bahwa tidak ada jalan lain daripada mengutamakan edukasi menurut sistem Barat. Suatu ide yang telah dikemukakan Ibu Kartini dan Dewi Sartika, di samping itu juga generasi muda dari kalangan aristokrat.
*** SEPERTI diketahui umum, perhatian para pemimpin modernisasi pada awal dekade kedua terpusat pada aktivitasnya pada pendirian sistem pendidikan modern dengan bentuk adaptasi kepada kebudayaan Indonesia, baik Jawa, Sunda, dan Melayu. Sistem pendidikan Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Kayu Taman di satu pihak memakai didaktik serta teknik modern sistem Barat, di pihak lain materai mengajar menurut agama atau kebudayaan. Baik ciptaan KH Mohammad Dahlan file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Latar%20Be...ral%20Dunia%20Kanak-kanak%20dan%20Masa%20Mud.htm (5 of 10)4/3/2005 11:05:09 AM
Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
maupun dari Ki Hajar Dewantoro dan Mohammad Syafii, bagi masyarakat pribumi sangat relevan dengan kebutuhan modernisasi dewasa itu. Meskipun sistem tersebut menjauhi pendidikan politik, namun secara politis pengaruhnya sangat besar. Lain lagi dengan organisasi Sarekat Islam yang secara umum membangkitkan kesadaran agama dan kebudayaan. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20 sudah ada tanda-tanda munculnya revivalisme Islam di Hindia Belanda pada umumnya dan Jawa khususnya. Sarekat Islam didirikan oleh Haji Samanhoedi di Solo pada tahun 1911 dan cepat menyebar ke seluruh nusantara dan jumlah anggota meningkat secara cepat. Maka tidak mengherankan apabila pemerintah Hindia Belanda sangat waswas sehingga dipraktikkan politik klasik divide et impera, sehubungan dengan itu maka dilarang untuk membuat cabang-cabang. Meskipun demikian timbul dominasi pimpinan Sarekat Islam pusat di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Di sini kita jumpai seorang tokoh lokal yang rupanya dapat kita anggap selaku model peran bagi Soekarno, terutama pada keterampilan berpidato di muka massa, khususnya retorikanya. Tokoh-tokoh pemimpin seperti dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat, HOS Tjokroaminoto, dan EEF Dauwes Dekker (Dokter Setia Boedi) yang menunjukkan sifat menonjol seperti anti-kolonialisme dan radikalisme. Karakter tokoh-tokoh di atas merupakan model peran yang memperlihatkan sifat radikal dan kemudian diadopsi oleh Soekarno. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh beberapa bacaan tentang marxisme pada massa HBS-nya sangat mempengaruhi alam pikirannya. Pengalamannya langsung dengan rakyat jelata menimbulkan perhatian khusus kepada marxisme, sedang pengenalan tentang rakyat bawah menimbulkan ide populismenya. Adapun religiusnya mencerminkan pengaruh masa tinggal bersama Tjokroaminoto. Revivalisme Islam di lingkungan SI sangat meningkatkan kegiatan SI, yang menimbulkan banyak konflik dan kerusuhan di banyak lokalitas di Jawa sepanjang pantai utara. Sebab-sebabnya dapat dilacak kembali pada persaingan dalam perdagangan dengan golongan Tionghoa. Tambahan pula pada aktivitas penegakan moral antara lain pemberantasan pelacuran dan perjudian.
*** BICARA tentang radikalisme tidak dapat dilupakan peran Indische Party yang dipimpin oleh trio tersebut di atas. Meskipun sangat anti-kolonial, Tjipto Mangoenkoesoemo mendapat penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda karena jasanya memberantas wabah pes di daerah Malang. Di tambahkan di sini bahwa Soewardi Soerjaningrat melancarkan kritik tajam terhadap pesta Belanda memperingati 100 tahun pembebasan Belanda di bawah kekuasan Perancis dalam file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Latar%20Be...ral%20Dunia%20Kanak-kanak%20dan%20Masa%20Mud.htm (6 of 10)4/3/2005 11:05:09 AM
Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
artikelnya yang berjudul Bila Saya Seorang Belanda. Sejak awal dekade kedua suara anti kolonialisme yang dikumandangkan oleh para pemuka Indische Party selama dekade itu sambungsinambung oleh media massa seperti Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa, keduanya adalah surat kabar SI. Sementara itu mulai cukup banyak pengaruh dari gerakan M Gandhi dengan Swadesi, Satyagraha, dan Ahimsanya dalam melawan imperialisme Inggris. Gerakan antikolonialisme Hindia Belanda semakin memuncak pada dekade ketiga, lebih-lebih di kalangan mahasiswa yang belajar di negeri Belanda dan terorganisasikan dalam Perhimpunan Indonesia (PI). Sejak 1923 di kalangan itu, antara lain karena dipicu oleh gerakan antiimperialisme oleh komunisme internasional, mulai dilakukan studi yang mendalam tentang kolonialisme serta dampaknya pada masyarakat Hindia Belanda. Analisis tentang masyarakat kolonial itu akhirnya menghasilkan suatu kesimpulan yang dirumuskan secara singkat dalam manifesto politik dan dimuat dalam majalah PI berjudul Indonesia Merdeka. Di sini perlu dicatat bahwa pengaruh manifesto politik tentu sampai Hindia Belanda meskipun kemudian kurang dapat dipopularisasikan pada masyarakat di kemudian hari. Meskipun demikian dampaknya pada pergerakan nasional pada umumnya dan Bung Karno pada khususnya amat besar, khususnya pada soal proses perjuangan kemerdekaan, swasembada dan negara kebangsaan yang berdaulat dan berideologi kesatuan (uniti). Bunyi manifesto politik sebagai berikut: 1. Pemerintah di Indonesia perlu dilakukan oleh bangsa Indonesia yang dipilih oleh rakyat Indonesia sendiri. 2. Perjuangan untuk mendapat kemerdekaan tidak membutuhkan bantuan dari pihak mana pun. 3. Pelbagai unsur di Indonesia perlu dipersatukan sebab tanpa persatuan itu perjuangan tersebut tidak dapat dicapai. Gerakan nonkooperasi yang menonjol timbul pada pertengahan dekade ketiga terutama dari inspirasi manifesto politik. Selanjutnya radikalisme itu juga merupakan dampak dari dalil Presiden Wilson pada pascaPerang Dunia I tentang hak menentukan nasib sendiri.
*** PELAKSANAAN beberapa pokok perjuangan Bung Karno cukup jauh file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Latar%20Be...ral%20Dunia%20Kanak-kanak%20dan%20Masa%20Mud.htm (7 of 10)4/3/2005 11:05:09 AM
Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
melampaui jangkauan waktu yang direncanakan (1900-1910). Maka perlu dibenarkan mengingat bahwa dengan perluasan jangkauan modernisasi tercipta ruang waktu dalam komunikasi semakin diperpendek, tercipta apa yang dinamakan semacam semi cyber space sehingga satu setengah dasawarsa mudah dijangkau. Maka Bung Karno dalam akhir dekade kedua mudah berkomunikasi dengan ideologi satu dekade sebelumnya. Proses komunikasi memudahkan integrasi nasional, membuka batas-batas suku dan kebudayaan, bajunya gerakan nasionalisme dipercepat dan tidak diragukan bahwa Bung Karno dalam hal ini telah memperoleh fasilitas komunikasi modern. Dalam pada itu, kepemimpinannya terhadap massa kritikal dalam ideologi nasionalisme serta perkembangan integrasi bersamaan dengan pesatnya perkembangan komunikasi. Dalam gagasan Bung Karno, kita semua mengetahui bahwa nasionalisme sangat ditonjolkan dan selalu ditegaskan prinsip kesatuan. Prinsip itu menjiwai perjuangannya baik pada masa pergerakan maupun setelah menjadi presiden. Usaha Bung Karno turut menciptakan kesatuan sebagai ideologi nasionalisme di satu pihak, dan di pihak lain perjuangan kemerdekaan serta perjuangan pembentukan negara kebangsaan (nation state). Catatan: Rupanya sejarah perjuangan ini kurang ditanggapi oleh masyarakat Indonesia, sehingga masalah kesatuan kurang dihargai dan dipahami nilainya untuk eksistensi negara Indonesia sendiri. Nationbuilding Indonesia memerlukan renasionalisasi atau revitalisasi nasionalisme Indonesia. Sebagai epilog perlu dinyatakan di sini bahwa awal periode kehidupan Soekarno berdasarkan dokumentasi terbatas. Lebih banyak difokuskan pada konteks sosio-kultural kehidupan masyarakat beserta meal-storm ideologi politiknya, yang merupakan akar karakter serta corak perjuangan Soekarno di kemudian hari sewaktu berkiprah dalam arena pergerakan nasional beserta gaya kepemimpinan di dalamnya. Dibesarkan dan dikembangkan kepribadiannya pada masa Kebangkitan Nasional (1900-1910) serta tindak lanjut para perintis selanjutnya (19101930) Bangsa Indonesia sedang menciptakan kebudayaan politik nasional untuk menggantikan kultur politik kolonial. Zeitgeist benar-benar memberikan persiapan kepada Bung Karno untuk memenuhi panggilannya dalam perjuangan nasional dalam pelbagai segi perjuangan nasional, khususnya ialah: 1. Melawan kolonialisme 2. Membela kepentingan rakyat kebanyakan file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Latar%20Be...ral%20Dunia%20Kanak-kanak%20dan%20Masa%20Mud.htm (8 of 10)4/3/2005 11:05:09 AM
Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
3. Turut membangun negara nasion terutama berdasarkan ideologi kesatuannya. Perlu dicatat di sini bahwa Bung Karno pernah menulis pada secarik kertas yang berbunyi: "Saya tidak membenci Belanda tetapi membenci sistem kolonialnya" (arsip Den Haag). Pada masa krisis nasional dewasa ini, penulis berpendapat bahwa gejala separatisme adalah dampak timbulnya marginalisasi suku-suku di luar Jawa pada masa Orde Baru dengan sentralisasi yang sangat kuat, maka suku-suku tersebut membutuhkan ruang gerak politik untuk beremansipasi sehingga dapat segera mengejar ketinggalannya. Pelajaran sejarah dapat ditarik dari perkembangan historis dalam uraian tersebut di atas. * Sartono Kartodirdjo Sejarawan, guru besar emeritus UGM, Yogyakarta.
Berita nasional lainnya : ● ●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda Tjipto-Soetatmo-Soekarno Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan Ziarah Kubur Bung Karno Soekarno di Masa Krisis PDRI
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Latar%20Be...ral%20Dunia%20Kanak-kanak%20dan%20Masa%20Mud.htm (9 of 10)4/3/2005 11:05:09 AM
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno James Luhulima PERISTIWA penjemputan paksa sejumlah jenderal Angkatan Darat pada tanggal 30 September 1965 tengah malam, yang dikenal dengan nama Peristiwa Gerakan 30 September (G30S), sampai saat ini masih menyimpan misteri.Siapa dalang di balik peristiwa G30S itu? Partai Komunis Indonesia (PKI), atau Central Intelligence Agency (CIA), atau jangan-jangan gerakan itu hanya merupakan letupan dari konflik intern Angkatan Darat saja? Apakah Presiden Soekarno terlibat? Ataukah Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal (Mayjen) Soeharto? Atau jangan-jangan peristiwa itu tidak ada dalangnya? Jangan-jangan semua pihak yang terkait dalam peristiwa itu hanya bereaksi sesuai dengan perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu? Gerakan yang mengakibatkan tewasnya enam orang jenderal dan seorang perwira Angkatan Darat itu, memang meninggalkan banyak pertanyaan, yang masih harus dicarikan jawabannya. Kalaupun ada yang pasti dari peristiwa penjemputan paksa yang berlangsung tengah malam itu, adalah berubahnya perjalanan hidup Presiden Soekarno. Sinar Matahari yang menyinari Bumi pada tanggal 1 Oktober 1965 dan hari-hari sesudahnya, tidak lagi tampak sama di mata Presiden Soekarno. Sejak pagi hari itu, perlahan tetapi pasti Presiden Soekarno mulai surut ke belakang. Tanggal 1 Oktober 1965 merupakan turning point (titik balik) dalam perjalanan hidup Presiden Soekarno. Karena peristiwa penjemputan paksa para jenderal Angkatan Darat, sehari sebelumnya, mengawali kejatuhan Soekarno dari tampuk kekuasaannya. Mulai tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno bukan lagi
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Peristiwa%2...ik%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 14)4/3/2005 11:05:11 AM
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
merupakan satu-satunya pemimpin tertinggi di Indonesia. Pada hari yang sama, Panglima Kostrad Mayjen Soeharto mulai membangun kekuatan tandingan dengan secara sepihak mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dari tangan Menteri/ Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, yang belum diketahui keberadaannya. Bukan itu saja, Mayjen Soeharto pun mencegah Panglima Kodam V Jaya Brigadir Jenderal (Brigjen) Umar Wirahadikusumah memenuhi panggilan Presiden Soekarno untuk menghadap. "Sampaikan kepada Bapak Presiden, mohon maaf Panglima Kodam V Jaya tidak dapat menghadap. Dan, karena saat ini Panglima Angkatan Darat tidak ada di tempat, harap semua instruksi untuk Angkatan Darat disampaikan melalui saya, Panglima Kostrad," ujar Mayjen Soeharto kepada Komisaris Besar Polisi Sumirat dan Kolonel (Mar) Bambang Widjanarko, Ajudan Presiden Soekarno, yang menjemput Panglima Kodam V Jaya. (Sewindu Dekat Bung Karno, Bambang Widjanarko, PT Gramedia, 1988) Presiden Soekarno kelihatan kurang senang karena Panglima Kodam V Jaya tidak diizinkan menghadap oleh Panglima Kostrad. Sebab, Pasal 10 Undang-Undang Dasar 1945 menggariskan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Siang hari, dalam pertemuan dengan Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya (Laksdya) Omar Dani, Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksdya RE Martadinata, dan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Inspektur Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, Presiden Soekarno memutuskan untuk mengambil alih seluruh tanggung jawab dan tugas Menteri/Panglima Angkatan Darat, serta mengangkat Asisten Menteri/ Panglima Angkatan Darat Bidang Personel Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Menteri/ Panglima Angkatan Darat. Usai pertemuan itu, pukul 17.00, Presiden Soekarno memerintahkan ajudannya, Kolonel Bambang Widjanarko, memanggil Mayjen Pranoto Reksosamudro untuk menghadap. Namun, seperti pada pagi harinya, Mayjen Soeharto kembali menegaskan bahwa untuk sementara ia memegang kendali Angkatan Darat. Dan, ia tidak mengizinkan Mayjen Pranoto Reksosamudro menghadap Presiden Soekarno. Dengan alasan, ia tidak ingin Angkatan Darat kehilangan jenderalnya lagi. Soeharto tidak berhenti sampai di sana. Ia meminta kepada Bambang Widjanarko untuk membujuk Presiden Soekarno agar file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Peristiwa%2...ik%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 14)4/3/2005 11:05:11 AM
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
meninggalkan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Namun, pembangkangan terhadap Presiden Soekarno itu, bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Sebab, di saat Presiden Soekarno gencar berkonfrontasi dengan Malaysia, di Kostrad dibentuk Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin Letnan Kolonel (Letkol) Ali Moertopo, dan dibantu Mayor LB Moerdani, Letkol AR Ramli, dan Letkol Sugeng Djarot. Personelpersonel Opsus secara diam-diam melakukan kontak-kontak rahasia dengan pihak-pihak di Malaysia untuk mengupayakan perdamaian antara kedua negara. Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri dalam Kabinet 100 Menteri yang dipimpin Presiden Soekarno, dalam bukunya yang berjudul Memoar Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Soekarno, terbitan Hasta Mitra tahun 1995, menggambarkan situasi tanggal 1 Oktober 1965 dan hari-hari sesudahnya. Oei Tjoe Tat menuturkan, ...dengan cepat iklim dan suasana politik di ibu kota bergeser 180 derajat. Menurut pengamatan saya, sejak 1 dan 2 Oktober 1965 kekuasaan de facto sudah terlepas dari tangan Presiden selaku penguasa Republik Indonesia. Memang padanya masih ada corong mikrofon, tetapi inisiatif dan kontrol atas jalannya situasi sudah hilang. PADA tanggal 30 September 1965, Presiden Soekarno tidak tidur di Istana Merdeka. Menjelang tengah malam, Presiden Soekarno meninggalkan Istana Merdeka menuju ke kediaman istrinya, Ny Ratnasari Dewi, di Jalan Gatot Subroto (kini, Museum Satria Mandala). Dalam perjalanan ke sana, Presiden Soekarno singgah di Hotel Indonesia untuk menjemput Ny Dewi, yang tengah menghadiri resepsi yang diadakan Kedutaan Besar Irak di Bali Room. Keesokan harinya, tanggal 1 Oktober 1965, pada pukul 06.30, Presiden Soekarno ke luar rumah, memasuki mobil kepresidenan Buick Chrysler hitam dengan nomor polisi B 4747, dan bergegas ke Istana Merdeka. Pagi hari itu, Presiden Soekarno dijadwalkan menerima Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena dan Menteri/ Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani pada acara minum kopi (koffie uurtje) pukul 07.00. Di dalam mobil, Suparto, sopir pribadi Presiden, memberi tahu informasi yang diperolehnya dari Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo, yakni bahwa pada pukul 04.00, ada penembakan di rumah Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution dan rumah Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena, yang letaknya bersebelahan.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Peristiwa%2...ik%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 14)4/3/2005 11:05:11 AM
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
Presiden Soekarno langsung memerintahkan Suparto untuk memberhentikan mobil yang baru bergerak beberapa meter itu. Ia langsung memanggil Mangil dan meminta penjelasan tentang penembakan di rumah Nasution dan Leimena itu. Kemudian Presiden Soekarno bertanya, "Baiknya bagaimana, saya tinggal di sini dulu atau langsung kembali ke Istana?" Mangil menjawab, "Sebaiknya Bapak tinggal di sini dulu, karena saya masih harus menunggu laporan dari Inspektur I Jatiman (Kepala Bagian II DKP) yang tadi saya perintahkan mengecek kebenaran berita tersebut. Sampai sekarang, Jatiman belum melaporkan hasilnya." Mendengar jawaban itu, Presiden Soekarno menghardik Mangil dengan nada keras, "Bagaimana mungkin, kejadian pukul 04.00 pagi, sampai sekarang belum kamu ketahui dengan jelas...." Presiden Soekarno kemudian menyuruh Suparto untuk berangkat. Mobil yang ditumpangi Presiden Soekarno kemudian bergerak perlahan-lahan meninggalkan rumah Ny Dewi menuju Istana Merdeka dengan rute Jembatan Semanggi, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat, dan Jalan Medan Merdeka Utara. Di depan mobil Presiden Soekarno ada satu jip DKP, dan di belakangnya, mobil yang ditumpangi Mangil. Saat iring-iringan rombongan Presiden Soekarno melintas di atas Jembatan Dukuh Atas, menjelang Hotel Indonesia, Jatiman menghubungi Mangil dan membenarkan terjadinya penembakan di rumah Jenderal AH Nasution dan rumah Dr Leimena. Jatiman juga menginformasikan adanya pasukan Angkatan Darat "yang terasa sangat mencurigakan" di sekitar Istana, termasuk di kawasan Monumen Nasional (Monas). Pada saat itu, Jalan Medan Merdeka Barat ditutup dan dijaga oleh pasukan Angkatan Darat dari Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya dan Batalyon 454/Para/Diponegoro. Kendaraan-kendaraan yang datang dari arah Hotel Indonesia diharuskan membelok ke kiri. Mangil tidak sempat menanyakan Jatiman tentang pasukan "yang terasa sangat mencurigakan" itu, karena iring-iringan rombongan Presiden Soekarno sudah semakin mendekati Bundaran Air Mancur. Mangil berpikir cepat: Presiden Soekarno harus dijauhkan dari pasukan itu. Pada saat yang bersamaan, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa Kolonel (CPM) Maulwi Saelan menghubungi Mangil lewat handy-talkie dan meminta agar Presiden Soekarno jangan dibawa ke Istana karena banyak tentara yang tidak dikenal. Saelan meminta agar Presiden Soekarno dibawa ke rumah istrinya yang lain, Ny Harjati, di kawasan Slipi, di sebelah lokasi Hotel Orchid file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Peristiwa%2...ik%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 14)4/3/2005 11:05:11 AM
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
(sekarang). Rombongan kemudian membelok ke kiri, memasuki Jalan Budi Kemuliaan, Tanah Abang Timur, Jalan Jati Petamburan, dan ke arah Slipi, ke rumah Ny Harjati. Saelan menunggu Presiden Soekarno di rumah Ny Harjati. Begitu tiba pada pukul 07.00, Presiden Soekarno segera masuk ke dalam rumah, diikuti Saelan. Saelan melaporkan tentang penembakan di rumah Jenderal AH Nasution dan rumah Dr Leimena, serta adanya pasukan tidak dikenal di sekitar Istana. Presiden Soekarno terkejut mendengar semua itu. Ia segera memerintahkan Saelan mengontak semua panglima angkatan. Namun, pagi itu, jaringan telepon lumpuh sehingga Saelan meminta sopir pribadi Presiden, Suparto, untuk menghubungi langsung. Saelan mendatangi Mangil di luar, dan mengupayakan untuk mencari tempat yang aman bagi Presiden Soekarno. Mangil mengusulkan agar Presiden Soekarno dibawa ke bekas rumah Sie Bian Ho di Jalan Wijaya I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang sudah dibeli Resimen Tjakrabirawa. Usul itu disetujui oleh Saelan. Namun, setelah Suparto kembali pukul 08.30 dan melaporkan bahwa ia hanya berhasil mengadakan kontak dengan Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksdya Omar Dani di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Saelan berubah pendapat. Ia kemudian menyarankan agar Presiden Soekarno dibawa ke Halim saja. Itu sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) Tjakrabirawa. Bahwa jika dalam perjalanan pengamanan Presiden terjadi sesuatu hal yang mengancam keamanan dan keselamatan Presiden, maka secepatnya Presiden dibawa ke Markas Angkatan Bersenjata terdekat. Alternatif lain adalah menuju ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma karena di sana ada pesawat terbang kepresidenan C-140 Jetstar. Atau, pelabuhan Angkatan Laut, tempat kapal kepresidenan RI Varuna berlabuh. Atau, bisa juga ke Istana Bogor karena di sana diparkir helikopter kepresidenan Sikorsky S-61V. Kemungkinan-kemungkinan itu dilaporkan kepada Presiden Soekarno. Dan, Soekarno memutuskan pergi ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Saelan kemudian ke luar dan memberi tahu Mangil. Dan, agar tidak menarik perhatian, Presiden Soekarno menggunakan mobil VW
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Peristiwa%2...ik%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (5 of 14)4/3/2005 11:05:11 AM
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
Kodok biru laut nomor polisi B 75177. Pengawalan pun hanya dilakukan oleh anggota DKP yang mengenakan pakaian sipil. Sekitar pukul 09.30, rombongan Presiden Soekarno tiba di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Presiden disambut Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksdya Omar Dani dan Komodor Leo Wattimena. Sekitar pukul 10.00, Brigjen Soepardjo, pimpinan G30S, melapor kepada Presiden Soekarno bahwa ia dan kawan-kawannya telah mengambil tindakan terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat. Namun, Presiden Soekarno memerintahkan kepada Soepardjo untuk menghentikan gerakannya guna menghindari pertumpahan darah. Presiden Soekarno, pada kesempatan itu, juga menolak permintaan Soepardjo untuk mendukung G30S. Presiden Soekarno kemudian memerintahkan ajudannya, Komisaris Besar Sumirat untuk memanggil Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksdya RE Martadinata, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Inspektur Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, Panglima Kodam V Jaya Brigjen Umar Wirahadikusumah, Jaksa Agung Brigjen Soetardio, dan Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena. PANGLIMA Kostrad Mayjen Soeharto, pada tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.00 diberi tahu oleh Mashuri, tetangganya di Jalan Haji Agus Salim, Menteng, bahwa pada dini hari terdengar suara tembakan. Mashuri mencatat bahwa pagi itu, Soeharto sudah mengenakan pakaian tempur. Soeharto dalam bukunya yang berjudul Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya-Otobiografi seperti yang dipaparkan kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH, terbitan PT Lamtoro Gung Persada tahun 1989, mengaku bahwa pada 1 Oktober 1965 pukul 00.15 ia pulang ke rumah, setelah seharian menjaga anaknya, Tommy (Hutomo Mandala Putra), yang tersiram sup panas, di rumah sakit. Pada pukul 04.30, ia didatangi oleh Hamid, juru kamera TVRI, yang baru saja menyelesaikan syuting. Hamid bercerita bahwa ia mendengar tembakan di beberapa tempat. Setengah jam kemudian, datang tetangganya, Mashuri, yang juga mendengar suara tembakan. Pukul 05.30, datang Broto Kusmardjo yang memberi tahu berita yang mengejutkan, yakni beberapa pati (Perwira Tinggi) Angkatan Darat telah diculik. Maka segeralah Soeharto bersiap dengan pakaian lapangan.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Peristiwa%2...ik%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (6 of 14)4/3/2005 11:05:11 AM
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
Menurut Komandan Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam V Jaya Kolonel Abdul Latief, yang dianggap sebagai salah satu tokoh penting di balik peristiwa G30S, seharusnya Mayjen Soeharto tidak perlu terkejut. Sebab, Mayjen Soeharto sudah diberi tahu sebelumnya tentang akan dilakukannya penjemputan paksa terhadap para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat. Latief mengungkapkan bahwa dua hari menjelang tanggal 1 Oktober 1965, ia dan keluarga mendatangi rumah Mayjen Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Di samping menghadiri acara kekeluargaan, Latief juga bermaksud memberitahu adanya info bahwa Dewan Jenderal akan mengadakan coup d'etat terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Saat info itu disampaikan, menurut Latief, Mayjen Soeharto mengatakan bahwa ia sudah mengetahui info itu dari seorang bekas anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagyo, yang datang sehari sebelumnya. Dan, malam menjelang terjadinya peristiwa G30S, Latief, yang datang menjenguk putra Soeharto ke Rumah Sakit Angkatan Darat, melaporkan akan adanya gerakan pada esok harinya untuk menggagalkan rencana coup d'etat dari Dewan Jenderal. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, Mayjen Soeharto tidak pernah menyebut-nyebut mengenai kedatangan Latief ke rumahnya. Soeharto hanya menyebut tentang kedatangan Latief ke rumah sakit. Akan tetapi, itu pun dalam versi yang berbeda. Dalam wawancara dengan Arnold Brackman dalam buku The Communist Collaps in Indonesia (1970), Soeharto mengatakan, Latief datang ke rumah sakit untuk mengecek keberadaannya. Sedangkan dalam wawancara dengan Der Spiegel bulan Juni 1970, Soeharto mengatakan, Latief dan komplotannya datang ke rumah sakit untuk membunuhnya, tetapi tampaknya tidak jadi karena mereka khawatir melakukannya di tempat umum. Dan, dalam bukunya yang berjudul Soeharto Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto hanya menyebut, kira-kira pukul sepuluh malam saya sempat menyaksikan Kolonel Latief berjalan di depan zaal tempat Tommy dirawat. Oei Tjoe Tat dalam memoarnya menceritakan tentang pertemuan dan persahabatannya dengan Subagyo, yang namanya disebut Soeharto dalam percakapan Latief di rumah Soeharto Jalan Haji Agus Salim dua hari menjelang G30S.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Peristiwa%2...ik%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (7 of 14)4/3/2005 11:05:11 AM
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
Subagyo yang ditahan bersama Oei Tjoe Tat di rumah tahanan militer (RTM) menceritakan bahwa ia beberapa kali mendatangi Mayjen Soeharto untuk memberi tahu akan terjadinya sesuatu yang membahayakan negara. Sekitar pukul 06.00, Mayjen Soeharto kemudian berangkat ke Markas Kostrad, Jalan Medan Merdeka Timur. Di sana ia mengumpulkan anak buahnya dan melakukan langkah-lang-kah konsolidasi. Langkah pertama yang diambilnya adalah mengambil alih kepemimpinan dalam Angkatan Darat yang kosong, karena Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani belum diketahui keberadaannya. Menurut Soeharto, sebelum ia berangkat, datang Letkol Sadjiman, atas perintah Panglima Kodam V Jaya Brigjen Umar Wirahadikusumah, dan menginformasikan adanya pasukan tak dikenal di sekitar Monas dan Istana. Oleh sebab itu, pada pukul 06.30, ia memerintahkan seorang perwira Kostrad, Kapten Mudjono, untuk memanggil Komandan Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya Mayor Bambang Soepeno yang menempatkan pasukannya di sekitar Monas dan Istana. Wakil Komandan Batalyon 530 Kapten Soekarbi, yang memimpin pasukan itu di lapangan, bertanya, apakah ia bisa mewakili, karena Mayor Bambang Soepeno sedang ke Istana. Perwira itu menjawab tidak bisa. Namun, pukul 07.30, perwira itu datang lagi dan mengatakan, Kapten Soekarbi diperbolehkan menggantikan Mayor Bambang Soepeno. Tidak lama kemudian datang pula menghadap Wakil Komandan Batalyon 454/Para/ Diponegoro Kapten Koencoro. Kepada Mayjen Soeharto, Soekarbi dan Koencoro melaporkan mengenai briefing Mayor Bambang Soepeno yang menyebut tentang Ibu Kota Jakarta dan Panglima Tertinggi ABRI dalam keadaan gawat. Serta, ada kelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Mayjen Soeharto kemudian mengatakan bahwa isi briefing itu tidak benar. Dan, Mayjen Soeharto memerintahkan kedua wakil komandan batalyon itu untuk mengambil alih pasukan dan kembali ke Kostrad. Soekarbi, kini Mayor (Purnawirawan), dalam wawancara yang dimuat tabloid berita Detak edisi 29 September-5 Oktober 1998, mengemukakan, kehadiran pasukannya di Jakarta adalah untuk mengikuti peringatan HUT ke-20 ABRI tanggal 5 Oktober 1965. Muncul pertanyaan, mengapa dalam radiogram Panglima Kostrad file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Peristiwa%2...ik%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (8 of 14)4/3/2005 11:05:11 AM
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
Nomor 220 dan Nomor 239 tanggal 21 September 1965, yang ditandatangani oleh Mayjen Soeharto, isinya perintah agar Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawidjaja disiapkan dalam rangka HUT ke-20 ABRI tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan "perlengkapan tempur garis pertama". Apalagi kemudian, sebagian dari anggota pasukan itu dilibatkan dalam G30S. Lepas tengah hari, Ajudan Presiden Komisaris Besar Sumirat yang diminta untuk memanggil Panglima Kodam V Jaya Brigjen Umar Wirahadikusumah tiba di Markas Kodam V Jaya di Lapangan Banteng. Namun, Brigjen Umar Wirahadikusumah tidak ada di tempat, ia sedang berada di Markas Kostrad Jalan Medan Merdeka Timur. Sumirat, yang didampingi Ajudan Presiden lainnya, Kolonel Bambang Widjanarko, kemudian menyusul ke Kostrad. Di Kostrad, keduanya mendapat penjelasan dari Panglima Kostrad Mayjen Soeharto bahwa ia melarang Panglima Kodam V Jaya untuk menghadap, dan Soeharto juga minta keduanya memberi tahu Presiden Soekarno agar semua instruksi untuk Angkatan Darat disampaikan melalui dia. Penjelasan yang sama diberikan sore harinya kepada Kolonel Bambang Widjanarko, saat Mayjen Soeharto melarang Mayjen Pranoto Reksosamudro menghadap Presiden Soeharto. Rupanya, langkah Mayjen Soeharto tidak berhenti di sana. Kemudian ia juga mengambil alih peranan Panglima Tertinggi ABRI dari Presiden Soekarno. Dan, secara sepihak, ia memberlakukan keadaan darurat. Ia juga menelepon Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksdya RE Martadinata, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Komisaris Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, dan Deputi Operasi Angkatan Udara Komodor Leo Wattimena. Dan, kepada mereka, Soeharto memberi tahu untuk sementara pimpinan Angkatan Darat dipegang olehnya, serta meminta agar mereka tidak mengadakan pergerakan pasukan tanpa sepengetahuan Panglima Kostrad. NAMUN, langkah Mayjen Soeharto yang paling efektif adalah memonopoli media massa sehingga ia dengan leluasa dapat membentuk opini publik (public opinion) sesuai yang dikehendakinya. Suatu langkah yang kemudian terus dilanjutnya selama memerintah negara ini lebih dari 31 tahun. Soeharto tidak hanya menguasai stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan mengambil alih stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) dari tangan pasukan G30S, tetapi ia juga menguasai surat kabar. Melalui Panglima Kodam V Jaya Brigjen Umar Wirahadikusumah, Soeharto melarang terbit semua surat kabar, di luar surat kabar milik file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Peristiwa%2...ik%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (9 of 14)4/3/2005 11:05:11 AM
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
Angkatan Darat. Kompas termasuk surat kabar yang tidak diizinkan terbit. Mulai tanggal 2 Oktober-5 Oktober 1965 media cetak yang terbit hanya Harian Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, kantor berita Antara, dan Pemberitaan Angkatan Bersenjata. Di mulai dengan pemberitaan RRI, TVRI, dan surat kabar-surat kabar Angkatan Darat, yang diikuti surat kabar-surat kabar lain mulai tanggal 6 Oktober 1965, disebarkanlah cerita-cerita tentang kekejaman G30S. Walaupun hasil visum et repertum terhadap tujuh korban G30S itu menyebutkan tidak ada penyiksaan seperti yang digambarkan dalam pemberitaan media massa, berita-berita yang berisi cerita mendetail tentang penyiksaan itu tidak surut. Dan, dengan mengontrol media massa, Mayjen Soeharto dapat dengan leluasa menentukan informasi apa yang ia ingin atau tidak ingin sampaikan kepada masyarakat. Itu sebabnya, pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 21.00, melalui RRI Mayjen Soeharto mengumumkan bahwa ia telah mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Padahal, saat itu, ia sudah mengetahui bahwa Presiden Soekarno telah mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dan mengangkat Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker. Pada tanggal 2 Oktober 1965, Presiden Soekarno memanggil Mayjen Soeharto ke Istana Bogor. Kepada Presiden Soekarno, Mayjen Soeharto mengatakan, pengambilalihan pimpinan Angkatan Darat dilakukannya agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan. Kepada Mayjen Soeharto, Presiden Soekarno memberi tahu bahwa ia mengambil alih pimpinan Angkatan darat dan mengangkat Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker. Menanggapi pemberitahuan itu, dengan nada mengancam Soeharto mengatakan, dengan diangkatnya Pranoto sebagai caretaker, ia tidak lagi bertanggung jawab atas situasi keamanan saat itu. Sebagai alasan, Soeharto mengatakan, ia tidak ingin terjadi dualisme dalam kepemimpinan Angkatan Darat. Mengingat Mayjen Soeharto secara de facto sudah "mengendalikan" pasukan, maka Presiden Soekarno mengangkatnya menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Namun, walaupun Mayjen Pranoto Reksosamudro adalah caretaker Menteri/Panglima Angkatan Darat, tetapi dalam kenyataannya Pangkopkamtib Mayjen Soeharto-lah yang menguasai Angkatan Darat. Bukan itu saja, dengan wewenangnya sebagai Pangkopkamtib, file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Peristiwa%2...ik%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (10 of 14)4/3/2005 11:05:11 AM
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
Soeharto "membersihkan" Angkatan Darat dari orang-orang yang dianggap terlibat G30S. Bahkan, Mayjen Pranoto Reksosamudro, pada tanggal 14 Oktober 1965, ditangkap dengan tuduhan terlibat G30S. Dengan demikian, Presiden Soekarno tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengangkat Soeharto jadi Menteri/Panglima Angkatan Darat. Tetapi Soeharto tidak berhenti. Ia terus mengganggu pemerintahan Presiden Soekarno-meskipun ia merupakan salah seorang menteri dalam pemerintahan itu-dengan mengarahkan mahasiswa turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Gangguan itu mencapai puncaknya pada tanggal 11 Mei 1966, yang ditandai dengan pengerahan pasukan-pasukan yang tak beridentitas di balik para mahasiswa yang mengadakan unjuk rasa. Kehadiran pasukan tak beridentitas itu mengakibatkan Sidang Kabinet 100 Menteri (Kabinet Dwikora) yang diadakan di Istana Merdeka dihentikan. Sore harinya, tiga perwira tinggi Angkatan Darat, yakni Brigjen M Jusuf, Mayjen Basuki Rachmat, dan Brigjen Amirmachmud, menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor, dan menyampaikan pesan Letjen Soeharto bahwa kalau ia diberikan kepercayaan, maka ia bisa mengatasi keadaan. Lahirlah Surat Perintah 11 Maret, yang lebih dikenal lewat singkatannya, Supersemar. Mendapatkan Supersemar, gerakan Soeharto tak tertahankan lagi. Keesokan harinya, ia langsung membubarkan PKI dan organisasi massanya, serta menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang. Tanggal 17 Maret 1966, Soeharto menahan 15 menteri anggota Kabinet Dwikora yang diduga terlibat G30S. Ia juga membersihkan MPRS dari orang-orang yang diduga terlibat dalam G30S, dan memasukkan orang-orang yang mendukung. Presiden Soekarno berulang kali memprotes tindakan Soeharto, dan menyebutnya sebagai bertindak di luar wewenangnya, tetapi Soeharto tidak peduli. Situasi itu membuat ajudannya, Bambang Widjanarko menulis dalam bukunya, Sewindu Dekat Bung Karno, "Berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditandatangani oleh BK sendiri itulah jalan hidup BK berubah dan karier politiknya berakhir." PRESIDEN Soekarno sesungguhnya sangat bisa jika ia ingin bertahan, dan menghadapi rongrongan Panglima Kostrad Mayjen Soeharto terhadap kekuasaannya. Masih banyak rakyat yang berdiri di belakangnya, demikian juga kesatuan-kesatuan Angkatan Bersenjata, seperti Divisi Brawijaya, Divisi Diponegoro, dan kesatuan-kesatuan Angkatan Udara, file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Peristiwa%2...ik%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (11 of 14)4/3/2005 11:05:11 AM
Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
Angkatan Laut, dan Angkatan Kepolisian. Bahkan, Komandan Korps Komando (KKO) Mayjen Hartono secara terbuka menyatakan siap membela Presiden Soekarno. "Mereka semua menunggu instruksi Presiden untuk bertindak. Dan instruksi itu tak kunjung... tak kunjung datang," tulis Oei Tjoe Tat di dalam memoarnya. Dari orang-orang yang dekat dengan Presiden Soekarno, diketahui bahwa ia tidak ingin melihat perang saudara merobek-robek Negara Kesatuan Indonesia. Oei Tjoe Tat bercerita, "Kalau perlu", demikian menurut sementara orang menirukan ucapannya, "biarlah aku lepaskan jabatan kepresidenanku daripada harus menyaksikan perang saudara yang nantinya bisa dimanfaatkan kekuatan-kekuatan Nekolim." Cerita ini dipertegas oleh Roeslan Abdulgani, dalam tulisannya di buku Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku, Pledoi Omar Dani, terbitan PT Media Lintas Inti Nusantara, tahun 2001. Dalam pertemuan pada awal tahun 1967 di Istana Bogor, Presiden Soekarno mengatakan, "Cak! Kalau saya maju selangkah lagi memenuhi tuntutan mereka, akan pecah perang saudara. Brawijaya di Jawa Timur sudah mau mengajak saya ke sana. Saya tidak ingin ada perang saudara. Nekolim terang-terangan akan masuk. Dan kita akan dirobek-robek. Sekali lagi Cak, relakan saya tenggelam. Asal jangan bangsa ini dirobek-robek oleh Nekolim dan kaki tangannya." Pada tanggal 7-12 Maret 1967, berlangsung Sidang Istimewa MPRS. Sidang itu kemudian mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/ MPRS/ 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Ketetapan MPRS itu memutuskan untuk mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, berlaku surut mulai 22 Februari 1967, dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Saat menerima berita tentang Ketetapan MPRS itu, Presiden Soekarno tengah berada di Istana Bogor. Bambang Widjanarko, dalam bukunya, Sewindu Dekat Bung Karno menyebutkan, Kelihatan benar betapa terpukul hatinya saat itu. Lama ia duduk diam tanpa berkata sepatah pun. Akhirnya ia menarik napas panjang dan berkata, "Aku telah berusaha memberikan segala sesuatu yang kuanggap baik bagi nusa dan bangsa Indonesia." * James Luhulima WartawanKompas.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Peristiwa%2...ik%20Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (12 of 14)4/3/2005 11:05:11 AM
"Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
"Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Valina Singka Subekti MEMAHAMI manusia besar seperti Bung Karno tidaklah mudah. Setiap episode perjalanan hidupnya merupakan proses menuju pematangan pribadi sebagai seorang manusia biasa maupun sebagai pemimpin. Episode itu sangat panjang, sejak ia dilahirkan sampai akhir hidupnya.Bila kita membaca berbagai tulisan mengenai Soekarno, tampak benang merah yang memperlihatkan Soekarno sebagai manusia multidimensi. Di satu sisi adalah manusia yang sangat rasional ketika berhadapan dengan kepentingan bangsanya, tetapi di sisi lain ia bisa menjadi sangat emosional ketika berhadapan dengan penjajah Belanda. Atau ia bisa menjadi sangat sentimental dan perasa ketika berhadapan dengan perempuan. Boleh dikatakan Soekarno adalah manusia yang rasional, sekaligus perasa dan sentimental. Seluruh perjalanan hidupnya sangat dipengaruhi sifat personalitasnya itu. Salah satu episode penting adalah masa awal abad ke-20, khususnya periode 1927 sampai ketika ia dibuang ke Ende, Flores. Sebagaimana para pemimpin pergerakan kebangsaan lainnya, penjara atau pengasingan sudah merupakan bagian yang inheren sebagai konsekuensi perjuangan. Soekarno pun menyadari hal itu, dan secara mental sudah menyiapkan diri. Untuk membesarkan hatinya ia suka mengulangi apa yang diucapkan pemimpin revolusi Perancis, Danton, dalam perjalanan gerobak sampah sebelum menuju tiang gantungan, "Audace, Danton, Toujours de l'audace", artinya, "Keberanian, Danton, Junjunglah Selalu Keberanian"!. Maka Soekarno tidak pernah berhenti berpidato dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia menggerakkan dan menggelorakan semangat rakyat untuk merebut kembali kemerdekaan asasinya yang telah direbut dan dinjak-injak oleh pemerintah kolonial Belanda. Katanya, "Hayolah kita bergabung menjadi satu keluarga yang besar dengan file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Permintaan%...20pada%20Pemerintah%20Kolonial%20Belanda%20--.htm (1 of 11)4/3/2005 11:05:12 AM
"Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda -- Jumat, 1 Juni 2001
satu tujuan yang besar, menggulingkan pemerintah kolonial, melawannya, dan bangkit bersama-sama". Agitasi semacam ini dilakukannya terus-menerus dalam setiap orasinya di depan rakyat. Semua tahu, Soekarno adalah singa podium yang mempunyai kemampuan menerapkan berbagai gaya bahasa orasi seperti retorika, personifikasi, dan hiperbola. Ia mempersonifikasikan realitas dengan perumpamaan benda-benda yang mampu mendatangkan efek 'menekan', dan pidatonya itu mampu menggetarkan emosi rakyat. Inggit Ganarsih misalnya, menceritakan bagaimana Soekarno membandingkan potensi ledakan kemarahan rakyat yang selalu ditekan dan ditindas pemerintah kolonial Belanda dengan Gunung Kelud yang ketika meledak mendatangkan suara gemuruh hebat. Kata Soekarno, "Manakala perasaan kita meletus, Den Haag akan terbang ke udara". Tidak heran rakyat selalu berkerumun manakala mendengar Soekarno akan berpidato. Ia memang pandai memainkan emosi rakyatnya.
*** PERIODE 1926 sampai dengan ketika Soekarno ditangkap pada tahun 1929 merupakan periode bergolaknya semangat perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Pada waktu itu PKI baru saja gagal dalam pemberontakan melawan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1926, sehingga partai tersebut dilarang dan tokohnya seperti Semaun dan Alimin dikucilkan. Maka PNI mulai berkembang pesat, sementara Perhimpunan Indonesia di Belanda juga melakukan propaganda gerakan nasionalis untuk disebarluaskan di Indonesia. Ada semacam pertemuan kepentingan antara gerakan di Tanah air dengan yang di negeri Belanda. Tokoh nasionalis mulai bermunculan seperti Soekarno, Sjahrir, Hatta, Sartono, dan Sukiman, di samping sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh pergerakan dari kalangan Sarekat Islam seperti HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim. Ketika agitasi Soekarno dan kawan-kawannya dari kalangan gerakan nasionalis semakin mampu menciptakan gerakan massa yang sadar politik dan dianggap membahayakan kedudukan Pemerintah Hindia Belanda, maka pemerintah kolonial mulai mengawasi segala gerakgerik Soekarno dan kawan-kawannya. Pengalaman pertamanya di penjara adalah ketika ia ditangkap bersama dengan Gatot, Maskun, dan Supriadinata pada malam tanggal 29 Desember 1929. Ia dijebloskan ke Penjara Banceuy, Bandung, selama delapan bulan, sebelum pada akhirnya menetap di Penjara Sukamiskin selama dua tahun. Di sini Soekarno tidak hanya dipenjarakan, tetapi juga diasingkan, tidak boleh berkomunikasi dengan orang luar maupun sesama tahanan. Soekarno mengatakan, file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Permintaan%...20pada%20Pemerintah%20Kolonial%20Belanda%20--.htm (2 of 11)4/3/2005 11:05:12 AM
"Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda -- Jumat, 1 Juni 2001
hanya cicaklah yang menjadi temannya. Banceuy adalah penjara tingkat rendah yang didirikan abad ke-19. Keadaannya kotor, bobrok, dan tua. Di sana ada dua macam sel, untuk tahanan politik dan tahanan pepetek (rakyat jelata). Kalau yang pepetek tidur di atas lantai semen, maka yang satu lagi tidur di atas velbed yang dialasi tikar rumput. Soekarno menceritakan pada Cindy Adams betapa tertekan dirinya dalam penjara itu. "Tempat itu gelap, lembab dan melemaskan. Memang, aku telah lebih seribu kali menghadapi hal ini semua dengan diam-diam jauh dalam kalbuku sebelum ini. Akan tetapi ketika pintu yang berat itu tertutup rapat dihadapanku untuk pertama kali, aku rasanya hendak mati". Pengadilan politik mulai digelar pada tanggal 18 Agustus 1930 di pengadilan Landraad, Bandung. Pada tanggal 22 Desember 1930, Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Soekarno naik banding, menyusun pledoi, dan membacakan pidato pembelaannya yang sangat terkenal berjudul Indonesia Menggugat. Pidatonya itu menjelma menjadi suatu dokumen politik historis menentang kolonialisme dan imperialisme. Di situ Soekarno menampilkan diri sebagai manusia 'penggerak', juga intelektual muda yang sedang berusaha memahami persoalan bangsanya berhadapan dengan kolonialisme Belanda. Boleh dikatakan isi pidato itu merupakan intisari hasil jelajah pikiran Soekarno selama 15 tahun belakangan terhadap tulisan para pemikir besar dunia yang menentang segala bentuk penindasan atau eksploitasi sesama manusia. Sejak masih tinggal dengan keluarga HOS Tjokroaminoto di Surabaya, Soekarno sudah membaca tulisan pemikir-pemikir besar dunia. Ia membaca Gladstone dari Britania serta Sidney dan Beatrice Webb yang mendirikan gerakan buruh Inggris. Ia gandrung pada karya-karya Karl Marx, Friederich Engels, termasuk Lenin dari Rusia. Karya Karl Kautsky juga dibacanya. Ia pun sangat menyukai Jean Jacques Rousseau, serta ahli pidato dari Perancis Aristide Briand dan Jean Jaures. Ia juga sering menyamakan dirinya sebagai Danton atau Voltaire, karena begitu kagumnya kepada dua orang itu. Dan sebenarnya cita-cita dan dasar pemikiran politiknya sudah terbentuk pada tahun 1920 itu, yakni sintesa antara tiga aliran besar yaitu nasionalisme, marxisme dan Islamisme. Soekarno selalu mengatakan bahwa menyatukan ketiga aliran itu merupakan keharusan dalam rangka menyatukan kekuatan bangsa Indonesia menentang kolonialisme untuk mencapai pintu gerbang kemerdekaan. Ketiga aliran itu bisa saling mengisi. file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Permintaan%...20pada%20Pemerintah%20Kolonial%20Belanda%20--.htm (3 of 11)4/3/2005 11:05:12 AM
"Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda -- Jumat, 1 Juni 2001
*** TESIS yang diajukannya dalam Indonesia Menggugat sebenarnya juga diilhami oleh dasar-dasar pemikiran politiknya itu. Yang paling dominan adalah analisisnya mengenai kejahatan ekonomi dan kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan pemerintah kolonial selama 350 tahun menjajah Indonesia. Soekarno memaparkan data mengenai penderitaan rakyat Indonesia. Misalnya dikatakan, penghasilan seorang kepala rumah tangga marhaen setahun rata-rata 161 gulden, sementara beban setahun rata-rata 22,50 gulden, sehingga penghasilan bersih setahun adalah 138,50 gulden. Kalau dihitung, maka rata-rata pengeluaran setiap bulan adalah 12 gulden dan pengeluaran per hari 0,40 gulden. Maka apabila dimakan untuk lima orang, setiap harinya adalah sebesar 0,08 gulden per orang. Tidak heran, kondisi rakyat hari ini makan, besok belum tentu makan. Kondisi kesehatan sangat buruk, sekitar 20 persen angka kematian, bahkan di kota-kota besar seperti di Pasuruan, Betawi, dan Makassar bisa mencapai 30 sampai 40 persen kematian setiap tahunnya. Kalaupun bisa bertahan hidup, badan mereka kurus kering dan sangat kekurangan gizi. Kata Soekarno, "rakyat kami hidup dalam jajahan yang sengsara, imperialisme modern telah menunjukkan kejahatannya". Dengan penghasilan yang hanya sekian gulden per tahun, setiap marhaen harus membayar pajak 10 persen, sementara bangsa Eropa pajak setinggi itu hanya dikenakan pada mereka yang mempunyai penghasilan tidak kurang dari 8.000-9.000 gulden per tahun. Bayangkan betapa kejamnya penghisapan yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap rakyat Indonesia yang tidak berdaya itu. Soekarno dianggap bersalah, dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara, kemudian dipindahkan ke Penjara Sukamiskin, Bandung. Ia menerima perlakuan relatif baik di sini. Walaupun diasingkan pada beberapa bulan pertama, namun sesudahnya Inggit, istrinya, dibolehkan membesuk. Soekarno secara mental lebih kuat dibandingkan ketika di Penjara Banceuy. Muncul kesadaran untuk menerima keadaannya dan bahkan kemudian menganggap penjaranya itu sebagai sekolah. Di Sukamiskin inilah Soekarno mulai mendalami agama Islam secara intens dengan cara mempelajari isi Al Quran. Pembelaan Soekarno Indonesia Menggugat ternyata memperoleh simpati tidak hanya dari kalangan ahli hukum yang ada di negeri file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Permintaan%...20pada%20Pemerintah%20Kolonial%20Belanda%20--.htm (4 of 11)4/3/2005 11:05:12 AM
"Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda -- Jumat, 1 Juni 2001
Belanda, tetapi juga mereka yang terlibat dalam gerakan antiimperialisme dan kolonialisme di Eropa Barat. Banyak kritik ditujukan kepada Pemerintah Hindia Belanda yang memberi hukuman terlampau berat kepada Soekarno. Karena itu pada akhirnya hukuman dikurangi menjadi hanya dua tahun. Ia dibebaskan oleh Gubernur Jenderal De Graeff pada pagi hari tanggal 31 Desember 1931. Baru beberapa bulan menghirup udara kebebasan, Soekarno ditangkap lagi dengan tuduhan tetap menyebarkan agitasi melawan pemerintah kolonial. Memang selepas dari penjara-seperti biasanyamulai lagi bergerak memimpin partai. Ia mengadakan pertemuan massa dan membakar semangat massa dengan berbagai pidatonya. Seperti kita ketahui ketika Soekarno dipenjara, PNI- partai yang didirikannya-pecah dan gerakan nasionalis menurun kegiatannya. Sebagai gantinya berdiri PNI Baru dan Partindo. Soekarno kemudian bergiat dalam Partindo.
*** UNTUK kedua kalinya Soekarno masuk penjara. Waktu itu usianya 32 tahun. Kali ini mereka mengurung Soekarno dalam sebuah sel khusus supaya tidak bisa bertemu dengan orang lain. Pemerintah kolonial Belanda menyadari, kekuatan Soekarno terletak pada komunikasinya dengan rakyat, karena itu hubungannya dengan rakyat harus diputuskan. Kalau pada waktu masuk penjara yang pertama dulu masih ada kesenangan bisa berkomunikasi dengan tiga kawannya yang lain yang sama-sama ditahan, maka di sini Soekarno benar-benar dikucilkan. Dan seperti yang diakui oleh Soekarno, keadaan itu telah membunuh seluruh kekuatannya. Rakyat atau massa adalah sumber kekuatan Soekarno. Manakala sumber kekuatan itu ditutup, maka habislah semangatnya. Maka seperti halilintar di siang bolong, semua orang terkejut ketika mendengar Soekarno telah menulis surat 'meminta ampun' pada pemerintah jajahan. Kabar buruk tersebut cepat tersebar di antara kaum pergerakan dan menjadi bahan pembicaraan. Termasuk Inggit sendiri, merasa sangat tidak enak mendengar kabar tak sedap itu. Yang menjadi pertanyaan adalah darimana mereka memperoleh kabar tersebut? Ternyata berdasarkan tulisan Ingleson, ada laporan pemerintah kolonial pada akhir bulan Oktober yang diperkuat oleh pengumuman pegurus Partindo, bahwa Soekarno telah mengundurkan diri dari partai, menyesali kegiatannya di masa lalu dan menawarkan kerja sama dengan pemerintah di masa mendatang.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Permintaan%...20pada%20Pemerintah%20Kolonial%20Belanda%20--.htm (5 of 11)4/3/2005 11:05:12 AM
"Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda -- Jumat, 1 Juni 2001
Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Apakah memang benar Soekarno telah meminta ampun kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda? Sebenarnya tidak banyak orang yang mengetahui mengenai soal permintaan ampun Soekarno itu. Soal ini memang tidak banyak ditulis atau dikupas buku-buku yang terbit di Indonesia. Sampai ketika tahun 1979, John Ingleson, seorang mahasiswa pascasarjana pada Jurusan Sejarah Universitas Monash, Australia, menulis buku yang berjudul Road to Exile: The Indonesia Movement, 1927-1934, diterbitkan oleh Asian Studies Association of Australia, Southeast Asian Publication Series. Buku yang berasal dari disertasi itu ditulis berdasarkan penelitian perpustakaan arsip dokumen pemerintah Hindia Belanda di Kementerian Dalam Negeri Belanda. Bukunya itu yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1983 dengan judul Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934 itu tentu saja menggemparkan. Buku itu kontan menimbulkan perdebatan seputar kebenaran cerita itu. Yang menarik adalah kolumnis kawakan Rosihan Anwar termasuk yang percaya dengan surat-surat Soekarno seperti yang terdapat dalam tulisan Ingleson. Padahal sebenarnya Ingleson sendiri dalam bukunya itu, selain berpikir kemungkinan kebenaran dari surat-surat itu, juga tidak mengabaikan kemungkinan surat itu sebagai suratsurat palsu. Rosihan Anwar dalam kolomnya berjudul Perbedaan Analisa Politik antara Sukarno dengan Hatta di Kompas, 15 September 1980, menulis, "Sebuah perbedaan lain ialah dalam sikap politik terhadap pemerintah jajahan Hindia Belanda. Hatta bersikap teguh, konsisten dan konsekuen. Sebaliknya Sukarno, ahli pidato yang bergembargembor, lekas bertekuk lutut, jika menghadapi keadaan yang sulit dan tidak menyenangkan bagi dirinya". Seterusnya Rosihan menulis, "Demikianlah dalam kurun waktu satu bulan, ketika Sukarno berada dalam penjara Sukamiskin di Bandung, ia menulis empat pucuk surat bertanggal 30 Agustus, 7, 21, dan 28 September 1933 kepada Jaksa Agung Hindia-Belanda. Dalam suratsurat itu Sukarno memohon kepada Hindia Belanda supaya ia dibebaskan dari tahanan penjara. Sebagai gantinya Sukarno berjanji tidak akan lagi ambil bagian dalam soal-soal politik untuk masa hidup selanjutnya. Ia mencantumkan sepucuk surat yang dialamatkan kepada dewan pimpinan Partindo dan dalam surat itu ia memajukan permintaan berhenti dari partai. Selain daripada itu dia mengakui, betapa tidak bertanggung jawabnya kegiatan-kegiatan politiknya. Seterusnya ia bertaubat dalam hal pandangan-pandangannya yang
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Permintaan%...20pada%20Pemerintah%20Kolonial%20Belanda%20--.htm (6 of 11)4/3/2005 11:05:12 AM
"Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda -- Jumat, 1 Juni 2001
bersifat non-koperatif. Apabila pemerintah membebaskannya, maka dia akan bekerja sama dengan pemerintah. Akhirnya dia menawarkan akan menandatangani apa saja yang dikehendaki oleh pemerintah guna memperoleh pembebasannya". Selanjutnya dalam tulisan kolomnya di harian yang sama, 14 Februari 1981, Rosihan menegaskan kembali pendiriannya yang cenderung meyakini kebenaran surat-surat tersebut. Ia memberi contoh bahwa Soekarno pada tanggal 19 Desember 1948 tatkala tentara Belanda menduduki Lapangan Terbang Maguwo dan sedang bergerak menuju Kota Yogyakarta, Soekarno menyuruh Kepala Rumah tangga Istana mengibarkan bendera putih tanda menyerah pada Belanda dan membiarkan dirinya ditawan tentara Belanda. Tulisnya, "Ini sekedar ilustrasi, memanglah Sukarno itu lekas bertekuk lutut atau minta ampun, bila ada berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang superior atau sedang mengalami ancaman bahaya dan ketidak-enakan bagi dirinya. Semua ini kedengarannya tidak sedap bagi mereka yang mengagung-agungkan atau mengkultuskan pemimpin. Tetapi suka atau tidak suka, saya pikir, kita sebagai bangsa harus berusaha mendidik diri kita, supaya mencapai kedewasaan. Marilah kita hadapi realitas ini." Namun demikian pada akhirnya Rosihan mengatakan bahwa itu semua sama sekali tidak mengurangi penghargaan kepada Soekarno sebagai proklamator kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Tulisnya, "Kita mengakuinya sebagai pemimpin yang besar jasanya bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia". Tentu saja tulisan Rosihan Anwar itu menimbulkan pro dan kontra, terutama mereka yang mencintai Soekarno dan menganggapnya sebagai manusia pejuang tanpa cacat. Yang mengomentari adalah Mahbub Djunaidi, Ayip Bakar, Anwar Luthan dan Mr Mohammad Roem. Semuanya menulis di harian ini, Kompas. Berlainan dengan Rosihan, keempatnya menyangsikan kebenaran isi surat tersebut. Mr Mohammad Roem dalam tulisannya di Kompas, 25 Januari 1981, berjudul Surat-Surat dari Penjara Sukamiskin, mempertanyakan apa yang dituliskan oleh Ingleson itu, sebab dibuat tidak berdasarkan otentitas surat asli. Ia mempertanyakan otentitas empat surat itu, sebab surat-surat yang dikutip dari arsip Kerajaan Belanda itu bukanlah tulisan asli Soekarno, melainkan salinan dari surat asli Soekarno yang diketik oleh pejabat yang diberi wewenang oleh peraturan pemerintah kolonial waktu itu. Salinan itu diketik dan tidak membawa tanda tangan asli Soekarno, melainkan hanya "tertanda" atau ditandatangani oleh Soekarno.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Permintaan%...20pada%20Pemerintah%20Kolonial%20Belanda%20--.htm (7 of 11)4/3/2005 11:05:12 AM
"Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda -- Jumat, 1 Juni 2001
Mr Roem pada kesimpulan tulisannya mengatakan, sangat meragukan kebenaran salinan surat-surat tersebut. Mr Roem berkata: "Waktu saya membaca surat-surat itu, saya menemukan beberapa kesalahan dalam bahasa Belandanya. Pengetahuan bahasa Belanda Bung Karno (HBS) paling sedikit sama dengan pengetahuan saya (AMS). Di waktu itu, kalau kita membuat surat dalam bahasa Belanda untuk pembesar Belanda, kita hati-hati benar jangan sampai membuat kesalahan. Surat Soekarno yang keempat sangat emosional akhirnya. Meskipun tidak selamanya saya dapat mengikuti Bung Karno, akan tetapi ini: Het te mooi om waar te zijn, atau terlalu indah untuk benar".
*** BAGAIMANA sebenarnya salinan surat-surat Soekarno itu sehinggamembuat Mr Roem tidak yakin? Surat kedua Soekarno kepada Jaksa Agung tertanggal 7 September 1933 seperti tertulis dalam Laporan Surat Rahasia 1933/1276 adalah sebagai berikut: "Saya mohon kepada tuan dan pemerintah untuk melindungi saya dari proses pengusutan hukum atau penahanan lebih lanjut, dan untuk memerintahkan pembebasan saya dengan segera. Hukuman penjara atau penahanan Saya mohon kepada tuan dan pemerintah untuk melindungi saya dari akan berarti malapetaka bagi saya, keluarga saya, terutama ibu saya-bagi ibu saya hukuman atas diri saya itu mungkin berarti kematiannya. Setiap hari dalam tahanan ini sekarang ini saya menderita kesedihan yang amat sangat dan perasaan putus asa. Saya akan berterimakasih kepada kemurahan hati pemerintah dan dengan sepenuh hati bersedia memperlihatkan rasa terimakasih itu dalam tindakan-tindakan saya setelah bebas nanti. Maafkanlah sikap saya yang tak tahu syukur setelah pengampunan yang dulu. Saya telah menyatakan dalam surat saya terdahulu bahwa sekarang ini jiwa saya sepenuhnya telah berubah. Di dalam hati, saya telah membuang politik dan memohon tuan melepaskan saya dengan segera dari penderitaan ini. Setiap jam dari penahanan ini bagiku bagaikan satu hari penderitaan panjang dan berat. Selanjutnya saya berharap bahwa tuan akan mempertimbangkan keadaan pikiran saya sekarang yang patut dikasihani, dan bahwa janji saya ini cukup memadai sehingga saya bisa segera dibebaskan. Tetapi, apabila janji yang saya buat ini belum cukup, maka bermurah hatilah terhadap diri saya (karena keadaan saya benar-benar parah) dengan memberitahu pejabat yang berwenang syarat-syarat mana yang masih harus saya penuhi bagi pembebasan saya. Saya bersedia menerima semua tuntutan. Penderitaan saya sendiri dan penderitaan keluarga serta ibu saya file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Permintaan%...20pada%20Pemerintah%20Kolonial%20Belanda%20--.htm (8 of 11)4/3/2005 11:05:12 AM
"Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda -- Jumat, 1 Juni 2001
terlalu besar, penanggungan saya demikian beratnya, sementara tanpa kepastian ini amat memakan syaraf, sehingga tak mungkinlah saya tak menerima syarat-syarat itu seluruhnya. Bahkan saya juga bersedia, bila tuan dan pemerintah benar-benar menghendakinya sebagai syarat penglepasan saya, untuk mencabut kembali permintaan saya dulu agar surat-surat saya tetap dirahasiakan, dan menyatakan setuju kalau pemerintah mengadakan pengumuman dengan kalimat-kalimat berikut: "Pemerintah telah menerima permintaan dari Ir Sukarno untuk dibebaskan dengan janji bahwa ia akan berhenti dari segala kegiatan politik lebih lanjut". Sementara surat keempat tertanggal 28 September 1933 yang termuat dalam Laporan Surat Rahasia 1933/1276 yang menurut Mr Roem adalah terlalu indah untuk benar yaitu, antara lain, sebagai berikut: "Saya meratapkan sekali lagi dan sekali lagi permohonan dihadapan tuan dan pemerintah, kembalikan saya kepada isteri saya dan kepada ibu saya yang tua dan manis, akan tetapi sakit-sakitan. Saya sudah berbuat jahat tapi saya menyesalinya yang sedalamdalamnya. Limpahkan ampun kepadaku dan dahulukan rasa kasihan daripada hukum. Saya menjatuhkan diri di hadapan tuan dan pemerintah agar dibebaskan dari penderitaan". Roem berpendapat bahwa itu bagian taktik licik Belanda untuk mengacaukan pikiran rakyat dan mengacaukan barisan perjuangan pergerakan nasional Indonesia yang pada waktu itu sedang mencapai puncaknya. Pembunuhan karakter manusia sekaliber Soekarno akan mampu menghancurkan kekuatan mobilisasi massa rakyat menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Yang menarik adalah polemik itu tidak selesai sampai di situ, sebab kemudian Rosihan Anwar menjawabnya kembali dan dijawab sekali lagi oleh Mr Roem. Kemudian polemik itu ditutup oleh sebuah tulisan sejarawan Taufik Abdullah berjudul Biografi dan Surat-surat Itu dalam Majalah Tempo tanggal 28 Februari 1981. Taufik Abdullah berusaha membedakan antara seseorang sebagai manusia biasa dan sebagai aktor sejarah. Sebagai manusia biasa seseorang dalam kediriannya tampil sebagaimana adanya, yang bisa mencintai, membenci, takut, nekat dan apa saja. Sementara sebagai aktor sejarah, seorang manusia dapat luluh dalam kaitannya dengan masyarakat dan dinamika sejarah. Artinya, apa pun yang sudah berlangsung dalam pengalaman pribadinya sebagai manusia biasa dengan segala kekuatan dan kelemahannya, tidak akan mengurangi kontribusinya sebagai manusia pembuat sejarah bangsanya. Soekarno pernah mengatakan pada Cindy Adams mengenai masafile:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Permintaan%...20pada%20Pemerintah%20Kolonial%20Belanda%20--.htm (9 of 11)4/3/2005 11:05:12 AM
"Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda -- Jumat, 1 Juni 2001
masa itu sebagai berikut, "Aku akan dibuang ke salah satu pulau yang paling jauh. Berapa lamakah? Hingga semangat dan jasadku menjadi busuk. Aku akan menghadapi pembuangan itu". Namun, hal ini diceritakan Soekarno pada tahun 1960-an, yaitu pada saat empat buah surat soal 'minta ampun' belum dipublikasikan, sehingga Soekarno tidak bisa menjawab tentang kebenarannya. Apabila demikian halnya, tetap ada baiknya untuk melakukan penelitian sejarah lebih lanjut mengenai kebenaran dari surat-surat tersebut. Bagaimanapun surat-surat tersebut berkaitan dengan periode tertentu yang amat penting dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia. * Valina Singka Subekti Staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
●
● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda Tjipto-Soetatmo-Soekarno Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Permintaan%...20pada%20Pemerintah%20Kolonial%20Belanda%20--.htm (10 of 11)4/3/2005 11:05:12 AM
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Daniel Dhakidae BIOGRAFI yang ditulis oleh orang lain, apalagi dalam kategori "as told to" selalu membagi dua pendapat antara yang memuja dan mencacimakinya. Tentang biografi semacam itu sastrawati Inggris, profesor sastra dari University College, London, AS Byatt, mengatakan sebagai: ...bentuk rusak dan upaya mengejar pengetahuan murahan. Cerita tuturan mereka yang tidak mampu menangkap penemuan sejati, cerita sederhana bagi orang yang tidak mampu menyelam lebih dalam. Bentuk rumpi dan kekosongan jiwa yang sakit. (On Histories and Stories, Selected Essays, dalam The New York Times, 18 Maret 2001). Penilaian sekeras ini kontra-produktif karena kalau semata-mata itu file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Satu%20Abad...ra%20dan%20Nusantara%20Bersama%20Soekarno%20-.htm (1 of 9)4/3/2005 11:05:13 AM
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
yang dipakai, hampir tidak terbuka kemungkinan mengenal seorang lain melalui naskah-naskah warisan. "Tales of the two presidents" Ini juga berlaku dalam hal dua orang yang pernah menjadi presiden Indonesia. Presiden Soekarno dan Soeharto, sama sekali tidak ada waktu menulis otobiografinya sendiri, karena itu suasana batinnya tidak pernah diketahui umum secara "asli". Soekarno dengan seluruh kemampuan intelektualnya untuk merenung, mencernakan, dan menulis tidak pernah meluangkan waktu menulis tentang dirinya sendiri selain beberapa keping cerita anekdotal yang tercecer sanasini. Soeharto tidak pernah terbukti menulis sesuatu yang berarti untuk publik, selain pidato-pidato kepresidenan dengan intervensi begitu banyak tangan dan otak. Namun, kalau biografi "as told to" menjadi satu-satunya sumber yang bisa dipakai, maka berikut ini adalah "ucapan asli" dengan mana kedua presiden itu mengungkapkan dirinya--Soekarno kira-kira beberapa waktu sebelum atau di sekitar tahun 1965 kepada penulis Amerika, Cindy Adams, dalam buku Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams, pada saat Soekarno berumur 65 tahun; Soeharto kira-kira beberapa waktu sebelum atau di sekitar tahun 1989 kepada dua penulis Indonesia, Dwipayana dan Ramadhan, dalam buku Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Otobiografi Seperti Dipaparkan Kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H., pada saat Soeharto berumur kira-kira hampir sama, 67 tahun. Membandingkan apa yang dikatakan kedua orang ini tentang dirinya mungkin bisa memberikan wawasan tentang kepribadiannya masingmasing dan apa yang dibuatnya. Tentang dirinya Soekarno mengatakan: "Aku adalah putra seorang ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idaju, berasal dari kasta tinggi. Raja terakhir Singaraja adalah paman ibuku. Bapakku dari Jawa. Nama lengkapnya adalah Raden Sukemi Sosrodihardjo. Raden adalah gelar bangsawan yang berarti "Tuan". Bapak adalah keturunan Sultan Kediri... Apakah itu kebetulan atau suatu pertanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang memerintah, akan tetapi apa pun kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian bagi kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan tiba-tiba. Akulah ahli-warisnya. Suatu yang sangat berbeda berlangsung dengan Soeharto, yang tentang dirinya berkata:
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Satu%20Abad...ra%20dan%20Nusantara%20Bersama%20Soekarno%20-.htm (2 of 9)4/3/2005 11:05:13 AM
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
Ayah saya, Kertosudiro, adalah ulu-ulu, petugas desa pengatur air, yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama beliau memikul tugasnya itu... Saya adalah keturunan Bapak Kertosudiro alias Kertorejo ...yang secara pribadi tidak memiliki sawah sejengkal pun. Bila diperhatikan ada beberapa perbedaan besar yang menarik perhatian antara keduanya. Pertama, keturunan ningrat langsung saja diangkat Soekarno, baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapak. Dari pihak ibu garis keturunan disusur-mundur sampai ke Raja Singaraja, Bali, dan dari pihak ayah disusur-mundur sampai ke Sultan Kediri, yang kelak berurusan dengan kerajaan besar Majapahit. Sedangkan Soeharto hanya menyebut Desa Kemusuk, desa kecil di luar Kota Yogyakarta, dan pangkat bapaknya seorang "ulu-ulu, petugas desa pengatur air". Kedua, bukan saja keningratan akan tetapi adanya suatu suratan takdir bahwa Soekarno, bukan karena kemauannya atau keinginan pribadinya akan tetapi sejarah menetapkan demikian, akan dan bahkan harus memimpin Indonesia karena dari asal-muasal sebagai bagian dari the ruling class. Ketiga, meski dengan seluruh kesadaran tentang "silsilah" ke masa lalu dan suratan takdir ke masa depan tidak satu kata pun disebut Soekarno tentang harta, milik, atau kekayaan apa pun. Sebaliknya, Soeharto sudah dalam halaman-halaman pertama membicarakan harta-tanah sejengkal, tanah jabatan, pangkat bapaknya, yang dalam halamanhalaman susulannya berbicara lagi tentang kambing, baju dan lainlain lagi-meski semuanya dihubungkan dengan "...banyak penderitaan yang mungkin tidak dialami oleh orang-orang lain". Keempat, Soekarno bukan saja berbicara tentang keningratan, suratan takdir, kelas berkuasa dan memerintah akan tetapi tentang freedom of the people, suatu cita-cita abstrak-filosofis tinggi yang mencerminkan idealisme Soekarno-isch. Semuanya ini tentu saja berhubungan dengan kekuasaan, power, akan tetapi Soekarno tidak berbicara tentang kekuasaan dirinya. Dia berbicara tentang kelas berkuasa dan bukan tentang dirinya dan kekuasaan akan tetapi suratan takdir untuk memimpin. Dalam hal Soeharto bisa dilihat sesuatu yang berbeda karena Soeharto berbicara tentang kekuasaan. Hal itu bisa diperiksa hanya dalam satu halaman sebelumnya ketika Soeharto kepada pewawancara untuk penulisan bukunya, dengan bangga dan sedikit sombong, mengenang saat ketika dia berdiri di depan forum dunia tahun 1985 di Food and Agriculture Organization, FAO, milik PBB, di Kota Roma:
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Satu%20Abad...ra%20dan%20Nusantara%20Bersama%20Soekarno%20-.htm (3 of 9)4/3/2005 11:05:13 AM
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
Saudara bayangkan, seorang yang lebih dari enam puluh tahun ke belakang masih anak bermandi lumpur di tengah kehidupan petani di Desa Kemusuk saat itu naik mimbar dan bicara di depan sekian banyak ahli dan negarawan dunia, sebagai pemimpin rakyat yang baru berhasil memecahkan persoalan yang paling besar bagi lebih dari 160 juta mulut. Suatu loncatan besar dari suatu desa kecil di Yogyakarta, ke Roma, kota metropolitan; dari seorang anak berlumur lumpur di Kemusuk yang langsung dihubungkan dengan mimbar yang harus dipahami dalam arti ex cathedra, dan berbicara, yang juga harus dipahami lebih dalam arti memberikan maklumat di depan para ahli dan negarawan dunia. Dia menyebut dirinya pemimpin rakyat sambil menjejerkan prestasinya-bukan dalam hubungan dengan freedom of the people akan tetapi dengan kemampuannya memecahkan soal paling besar; bukan soal abstrak-filosofis Soekarno-isch akan tetapi persoalan "lebih dari 160 juta mulut". Ketika dia menyebut rakyat maka dia reduksikan rakyat itu menjadi bukan orang akan tetapi mulut. Satu Abad Bersama Nusantara Dengan itu sebagai titik tolak-idealisme, sense of destiny, dan apa yang dicapainya-penerbitan khusus ini mau memeriksa Soekarno pada hari ulang tahunnya yang ke-100 sebagai suatu gejala historis. Kalau Soekarno sendiri mungkin tidak dengan mudah menilai dirinya, semakin besar pula kesulitan itu untuk kita. Kesulitan itu semakin besar lagi ketika kita harus memeriksa kembali diri Soekarno-30 tahun setelah meninggalkan dunia ini, 45 tahun setelah dijatuhkan Soeharto, dan 100 tahun setelah dilahirkan ibunya. Semuanya menjadi suatu kompleks dari persoalan karena meninggalnya 30 tahun lalu bukan sekadar seorang yang memenuhi nasib Sein zum Tode akan tetapi karena kematiannya semakin menimbulkan soal lagi-betulkah dia mati wajar? Kejatuhannya lebih membingungkan ketika semuanya berpusat pada pembunuhan enam jenderal-betulkah PKI yang membunuh dengan konsekuensi menjatuhkan Soekarno pelindungnya adalah keharusan, atau mereka dibunuh oleh anak buahnya sendiri para perwira militer bawahannya dan dengan itu tidak perlu menjatuhkan Soekarno. Hannah Arendt tidak mengalami kesulitan ketika harus mengucapkan eulogia kepada Karl Jaspers, filosof eksistensialisteman, kolega, yang mendapatkan hadiah perdamaian Jerman. Tidak ada kata yang lebih pantas, demikian Arendt, daripada pujapujian, laudatio, karena, sambil mengutip Cicero dikatakannya "in laudationibus...ad personarum dignitatem omnia referrentur", dalam puja-pujian semuanya mengacu kembali kepada kebesaran pribadi-
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Satu%20Abad...ra%20dan%20Nusantara%20Bersama%20Soekarno%20-.htm (4 of 9)4/3/2005 11:05:13 AM
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
pribadi itu, terutama karena mereka membuktikan dirinya dalam hidup. Di sana justru letak seluruh kegemasan memeriksa Soekarno, karena jajaran antara dignitas personae dan pembuktian diri dalam hidup tidak selalu seiring, apalagi persoalan yang ditinggalkan Soekarno, seperti konsekuensi ekonomi-politik dan karena itu kemanusiaan yang berasal dari keputusan-keputusannya. Menilai Soekarno semata-mata dari kebesarannya-kalau bukan pendasar maka Soekarno adalah penganjur paling vokal nasionalisme Indonesia, proklamator kemerdekaan-selalu membingungkan dan juga memusingkan karena di samping kebesaran di sana langsung menyusul kekerdilan, di samping kecemerlangan langsung menyusul diletantisme, di samping keberanian revolusioner langsung saja menyusul kekecutan, dan ke-pengecut-an. (Baca: Valina Singka Subekti) Di pihak lain mengecilkan Soekarno hanya karena persoalan yang ditinggalkannya-semua masalah pra dan pascaperistiwa tanggal 1 Oktober 1965, pembunuhan jenderal-jenderal oleh para perwira bawahannya--sungguh menyesatkan dari satu ujung ke ujung lainnya dan bagi generasi-generasi berikutnya menjadi penipuan terencana. Lantas pertanyaan-untuk siapa pun yang berminat memeriksa Soekarno secara sungguh-sungguh-harus diajukan kembali lagi ke dasar paling awal: siapa Soekarno? Apa yang dibuat Bung Karno? Apa yang ditinggalkan Presiden Republik Indonesia pertama, Pemimpin Besar Revolusi, dan Penyambung Lidah Rakyat? Satu Abad Nusantara Bersama Soekarno Soekarno adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbitkan dengan judul Dibawah Bendera Revolusi, dua jilid. Namun, dari dua jilid ini hanya jilid pertama yang boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno. Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang berasal dari tahun 1926, dengan judul "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme" yang paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun-kira-kira pada umur yang sama ketika Marx, 30 tahun, dan Engels, 28 tahun, menulis Manifesto Partai Komunis. Marx dan Engels membuka manifestonya dengan kata-kata "a spectre is haunting Europe--the spectre of Communism", ada hantu file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Satu%20Abad...ra%20dan%20Nusantara%20Bersama%20Soekarno%20-.htm (5 of 9)4/3/2005 11:05:13 AM
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
yang menggerayangi Eropa--hantu komunisme. Soekarno membuka tulisannya dengan suatu pernyataan keras, semacam Manifesto Soekarno-isch: Sebagai Aria Bima-Putera, jang lahirnja dalam zaman perdjoangan, maka Indonesia-Muda inilah melihat tjahaja hari pertama-tama dalam zaman jang rakjat-rakjat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnja. Tak senang dengan nasib-ekonominja, tak senang dengan nasib-politiknja, tak senang dengan segala nasib jang lain-lainnja. Zaman "senang dengan apa adanja", sudahlah lalu. Zaman baru: zaman m u d a, sudahlah datang sebagai fadjar jang terang tjuatja. Paralelisme antara manifesto Marxis dan manifesto Sukarno-isch bisa dilihat di sini. Soekarno membuka manifestonya yang sarat dengan simbolisme ketika di sana dikatakan tentang Suluh Indonesia Muda, majalah bulanan yang didirikannya sebagai organ organisasi Algemeene Studie Club, yang juga didirikannya: "Sebagai Aria BimaPutera, jang lahirnja dalam zaman perdjoangan". Dalam imaji Soekarno Suluh harus menjadi secerdik-cendekia Gatotkaca, sesakti dan seulet tokoh wayang itu yang menjadi orang terakhir yang mengembuskan napasnya di tangan pamannya sendiri. Imaji Soekarno tentang Gatotkaca tidak jauh dari imaji orang Jawa umumnya tentang Gatotkaca, yakni berani tak mengenal takut, teguh, tangguh, cerdik-pandai, waspada, gesit, tangkas dan terampil, tabah dan mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Ia sangat sakti, sehingga digambarkan sebagai ksatria yang mempunyai 'otot kawat balung wesi'...sumsum gagala, kulit tembaga, drijit gunting, dengkul paron... (Ensiklopedi Wayang Purwa, Balai Pustaka, 1991) "Hantu" Gatotkaca selalu kembali kalau diperlukan kerajaan Pandawa dalam keadaan krisis dan dalam kalangan keluarga Pandawa berlaku semacam standing order:"...bila sewaktu-waktu menghadapi bahaya, agar memanggil Gatotkaca". Gatotkaca di sini tidak lain dari semacam "hantu", spectre, das Gespenst dalam Manifesto Karl Marx, yang menurut Derrida hantu itu harus dipahami dalam arti hantologie-dan bukan ontologie sebagaimana Marx selalu ditafsirkan--sebagai keadilan yang tidak bisa diredusir lagi. Dalam manifesto Soekarno, maka dasar berpijak itu berada pada kemerdekaan dari mana tidak ada reduksi lagi-yaitu kemerdekaan dalam arti lepas dan melepaskan diri dari kolonialisme asing, Barat. Kemerdekaan memerlukan beberapa syarat dan salah satu syarat terpenting adalah persatuan. Hantu kemerdekaan itulah yang selalu kembali seperti Gatotkaca untuk menuntut keadilan dalam suatu masa ketika Asia merasa tak senang dengan nasibnya, yaitu nasib kolonial yang tidak adil. Dalam paham Soekarno kolonialisme itu
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Satu%20Abad...ra%20dan%20Nusantara%20Bersama%20Soekarno%20-.htm (6 of 9)4/3/2005 11:05:13 AM
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
tidak lain dari soal kekurangan rezeki, dan "kekurangan rezeki itulah jang mendjadi sebab rakjat-rakjat Eropah mentjari rezeki dinegeri lain!". Dalam paham Soekarno di Asia sudah mulai tumbuh keinsyafan akan tragedi ketika "rakjat-rakjat Eropah itu mempertuankan negerinegeri Asia" (untuk para pembaca muda "mempertuankan negerinegeri Asia = menguasai, menjajah Asia-Penulis). Keinsyafan akan tragedi itulah yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat Indonesia yang walaupun dalam maksudnya sama "ada mempunyai tiga sifat: nasionalistis, Islamistis dan Marxistis-lah adanja". Apa yang dipahami Soekarno tentang marxisme? Sebelum masuk ke dalam apa yang dipahami Soekarno, untuk itu baca Franz MagnisSuseno, mari kita lihat beberapa hal teknis tentang orang yang disanjungnya dan paham yang dipuja. Sungguh mencengangkan bahwa menulis nama Karl Marx pun, Soekarno menulisnya terbalik, dalam suatu urutan nama Barat, dengan tiga suku bersama iddle name. Soekarno menulis bukan Karl Heinrich Marx, akan tetapi Heinrich Karl Marx. Ketika memberikan acuan kepada Manifesto Komunis Soekarno mengatakan, di tiga halaman berbeda, bahwa Manifesto ditulis dan diumumkan tahun 1847--tahun sesungguhnya adalah bulan Februari 1848. Semua kekeliruan "kecil" di atas harus dimaafkan karena lebih bisa diterima sebagai kealpaan seorang sarjana yang baru saja tamat Sekolah Tinggi Teknik di Bandung dengan gelar insinyur--kalau sudah tamat karena Soekarno menyelesaikan studinya 25 Mei 1926. (Edisi asli Soeloeh Indonesia Moeda, tidak diperoleh). Apa sesungguhnya yang dipahami Soekarno tentang ketiganya? Bisalah dikatakan di sini bahwa apa yang dicita-citakan Soekarno adalah suatu mission impossible baik dari segi teoretis maupun dari segi praktis. Nasionalisme Soekarno adalah jenis nasionalisme voluntaristik, dengan tekad sebagai modal dengan tujuan hampir satu-satunya yaitu persatuan tanpa mempedulikan realitas ekonomipolitik. Karena itu ketika Soekarno mengatakan bahwa: ...asal mau sahadja...tak kuranglah djalan kearah persatuan. Kemauan, pertjaja akan ketulusan hati satu sama lain, keinsjafan akan pepatah "rukun membikin sentausa" ...tjukup kuatnja untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala fihakfihak dalam pergerakan kita ini lebih menjadi wishful thinking baik pada waktu itu maupun pada waktu ini. (Baca: Baskara Wardaya) Mengapa persatuan? karena itulah persyaratan bagi kemerdekaan. Dengan begitu semua yang lain atau tunduk kepada atau harus ditafsirkan kembali atas dasar persatuan. Persatuan pada gilirannya akan merumuskan jenis nasionalisme, Islam, dan marxisme. Hampir
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Satu%20Abad...ra%20dan%20Nusantara%20Bersama%20Soekarno%20-.htm (7 of 9)4/3/2005 11:05:13 AM
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
seluruh esoterisme Soekarno dan kekhilafan fundamental yang tersebar sana-sini ketika menafsirkan nasionalisme, Islam, dan marxisme berasal dari sana. (Baca: Vedi Hadiz) Soekarno dan suratan takdir Semakin Soekarno diperiksa, semakin kita tidak mengerti siapa Soekarno itu selain bahwa suratan takdir itu sudah dipenuhinya yaitu memimpin Indonesia dalam waktu yang lama-bukan sekadar ketika menjadi presiden, akan tetapi jauh-jauh sebelum itu, sekurangkurangnya sejak mengeluarkan manifesto Soekarno-isch tahun 1926 sampai dijatuhkan militer tahun 1966 di Jakarta. Setelah jatuh pun Orde Baru tidak mampu menghapus Soekarno dari kenangan publik dan pujaan massa yang tidak pernah mengenalnya. (Baca: Agus Sudibyo). Manifesto itu menjadi dasar geloranya, dan juga menjadi dasar ketidak-tentuan-nya. Namun, sejak itu Soekarno dan Indonesia hampir tidak terpisahkan, baik bagi bangsanya, maupun bagi dunia: bagi Asia, Afrika, dan Amerika Latin, Belanda kolonial, bagi fasisme Jepang, maupun bagi imperialis, Amerika dan Inggrisbaik sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka. Secara intelektual dan politik ketika Soekarno menganalisa soal dia menjadi Marxis. Ketika dia ingin menghanyutkan massa Soekarno menjadi Leninis dalam jalan pikiran. Namun, ketika harus memecahkan soal dalam masa krisis, dia menjadi lebih dekat kepada sesuatu yang sangat dibencinya yaitu menjadi fasis dalam berpikir dan bertindak. Karena itu dia dan militer seperti aur dan tebing, yang satu membutuhkan yang lain, meski kemudian dia dikhianati militer. Dalam hubungan dengan gerak dan tindakan militer, Soekarno menempatkan persatuan jauh-jauh lebih penting, sesuatu yang sangat disukai militer, dari kemerdekaan, terutama dalam arti kebebasan-Soekarno menjadi anti-Soekarno-sesuatu yang mungkin lebih diperlukan warganya yang sudah lelah dan letih ditindas ratusan tahun, oleh tuan-tuan asing-putih-kuning, dan kelak tuantuan sawomatang dari bangsanya sendiri. Tidak ada orang lain yang lebih paham tentang penderitaan itu dari Soekarno. * Daniel Dhakidae Kepala Litbang Kompas.
Berita nasional lainnya : ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Satu%20Abad...ra%20dan%20Nusantara%20Bersama%20Soekarno%20-.htm (8 of 9)4/3/2005 11:05:13 AM
Soekarno di Masa Krisis PDRI -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Soekarno di Masa Krisis PDRI Mestika Zed BULANbulan terakhir tahun 1948 adalah saat terberat dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Bukan saja karena Republik yang masih usia balita itu Dok Kompas harus menghadapi musuh di depan Belanda-tetapi juga ditusuk dari belakang oleh anak-bangsa sendiri, yaitu kelompok komunis (PKI) pimpinan Muso yang mendalangi peristiwa (kudeta) Madiun pada pertengahan September 1948. Klimaksnya ialah terjadinya serangan (agresi) militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948. Akibatnya nyaris fatal. Ibu kota Republik, Yogyakarta, diduduki Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri yang berada di ibu kota ditangkap. Sejak itu Belanda menganggap Republik sudah tamat riwayatnya.Akan tetapi, kemenangan militernya itu hanya bersifat sementara. Walaupun ibu kota Yogya jatuh ke tangan Belanda dan Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Hatta dengan sejumlah menteri dapat ditawannya, nyatanya Republik tidak pernah bubar seperti yang dibayangkan Belanda. Suatu titik balik yang tak terduga oleh Belanda datang secara hampir serentak dari dua jurusan. Pertama, dari Yogya dan kedua dari Bukittinggi di Sumatera. Beberapa
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...Krisis%20PDRI%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 11)4/3/2005 11:05:15 AM
Soekarno di Masa Krisis PDRI -- Jumat, 1 Juni 2001
jam sebelum kejatuhan Yogya, sebuah sidang darurat kabinet berhasil mengambil keputusan historis yang amat penting: Presiden dan Wakil Presiden memberikan mandat (dalam sumber "menguasakan") kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI di Sumatera. Jika ikhtiar ini gagal, mandat diserahkan kepada Dr Soedarsono, Mr Maramis dan Palar untuk membentuk exilegovernment di New Delhi, India. Surat mandat tersebut kabarnya tidak sempat "dikawatkan" karena hubungan telekomunikasi keburu jatuh ke tangan Belanda. Namun, naskahnya dalam bentuk ketikan sempat beredar di kalangan orang Republieken. Kedua, sewaktu mengetahui (via radio) bahwa Yogya diserang, Mr Sjafruddin Prawiranegara (waktu itu Menteri Kemakmuran) yang sedang bertugas di Sumatera, segera mengumumkan berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. Tindakannya itu mulanya bukan berdasarkan pada mandat yang dikirimkan Yogya, melainkan atas inisiatif "spontan", Sjafruddin dengan pemimpin setempat, PDRI pada gilirannya dapat berperan sebagai "pemerintah alternatif" bagi Republik yang tengah menghadapi "koma". Sebagaimana terbukti kemudian, selama delapan bulan keberadaannya (Desember 1948-Juli 1949), PDRI di bawah kepemimpinan Sjafruddin di Sumatera mampu memainkan peran penting sebagai pusat gravitasi baru dalam mempersatukan kembali kekuatan Republik yang berceraiberai di Jawa dan Sumatera. Bahkan, tidak kurang dari Panglima Soedirman sendiri, yang kecewa dengan menyerahnya Soekarno-Hatta kepada Belanda, menyatakan kesetiaannya kepada PDRI dan siap memimpin perjuangan dengan bergerilya di hutan-hutan belantara dalam keadaan sakit parah sekalipun. Sementara itu, kontak-kontak PDRI via India ke dunia internasional membuat kemenangan militer Belanda semakin tak berarti, suatu Pyrrhic victory, suatu kemenangan yang terlalu banyak makan korban, suatu kemenangan sia-sia karena sukses militer yang dicapainya harus ditarik kembali. Hanya dalam tempo tiga hari setelah kejatuhan Yogya, tepatnya tanggal 22-23 Desember, Dewan Keamanan PBB buru-buru mengadakan sidangnya. Semua negara, kecuali Belgia, mengecam keras tindakan Belanda di Indonesia. Pihak Belanda benar-benar dibuat sebagai "pesakitan" yang kehilangan muka di panggung pengadilan dunia. Resolusi DK-PBB, kemudian juga diperkuat dengan Konferensi Asia di New Delhi kurang satu bulan kemudian, yang menuntut pembebasan segera para pemimpin Republik yang ditangkap, begitu juga pengembalian ibu kota Yogya dan pembentukan pemerintahan Indonesia yang demokratis tanpa campur tangan Belanda. Dalam perundingan-perundingan selanjutnya negara bekas penjajah itu tidak
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...Krisis%20PDRI%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 11)4/3/2005 11:05:15 AM
Soekarno di Masa Krisis PDRI -- Jumat, 1 Juni 2001
bisa lagi mengelak dari campur tangan internasional. Sejak itu, kebohongan-kebohongan yang direkayasa Belanda lewat manipulasi informasi untuk mempengaruhi opini dunia semakin kelihatan belangnya sehingga membuat posisinya semakin terpojok, baik di Indonesia maupun di mata dunia. Tulisan ini ingin mendiskusikan sekadarnya tentang posisi Soekarno di masa PDRI, yang selama ini terkesan ingin dilupakan, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh sejumlah penulis biografinya, dan bahkan juga dalam wacana sejarah bangsa umumnya. Apakah dilema sejarah yang dihadapinya dalam kerangka perjuangan diplomasi dan/atau militer pada masa itu? Apa sebenarnya yang terjadi dalam diri Soekarno sehingga peranannya dalam masa-masa krisis waktu itu seakan-akan tenggelam sebagai kawasan terra incognita yang belum banyak disentuh selama ini? Pemimpin yang hadir di saat-saat kritis Telah berpuluh-puluh tahun "Bapak Bangsa" (the founding fathers)-jika yang dimaksud dengan itu ialah semua tokoh yang ikut merumuskan konstitusi-berjuang mendirikan sebuah nation-state, negara bangsa yang akhirnya diproklamasikan 17 Agustus 1945 itu: Republik Indonesia atau sering disingkat dengan Republik saja. Dalam usianya yang masih bayi itu, Republik yang dimerdekakan dengan revolusi itu terpaksa harus menghadapi cobaan yang bertubi-tubi. Namun, belum pernah terjadi sebelumnya dan juga tidak sesudahnya, kecuali hanya pada masa agresi kedua, ketika sebuah ibu kota negara jatuh ke tangan musuh, Presiden dan Wakil Presidennya beserta sejumlah menteri ditangkap Belanda. Juga belum pernah terjadi sebelumnya, kecuali pada masa ini, simpati dan dukungan dunia internasional terhadap Indonesia demikian intensnya. Di atas segala-galanya nasib Republik pada akhirnya haruslah ditentukan oleh pemimpin dan bangsanya sendiri. Salah seorang pemimpinnya yang paling terkemuka ialah Soekarno, proklamator dan Presiden Republik yang pertama. Ia tak hanya cakap dalam menghadirkan gagasan, tetapi juga seorang pemimpin yang selalu hadir memberi "kata-putus" di saat-saat yang paling genting bagi negara dan bangsanya. Itulah yang terjadi, misalnya, pada saat-saat genting sebelum Proklamasi, di mana faktor Soekarno bersama Hatta, menjadi amat menentukan dalam Kasus Rengasdengklok. Bukankah, situasi kritis pada rapat raksasa yang penuh gejolak di Lapangan Ikadasatu bulan setelah ia menjadi presiden-hanya dapat didinginkan oleh Soekarno, hingga hadirin bisa pulang dengan tenang dan pertumpahan darah dengan Jepang pun akhirnya tak perlu terjadi? Bukankah Soekarno pula yang dipanggil Sekutu untuk meredakan pertempuran 10 November di Surabaya ketika posisinya yang semakin terjepit dan
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...Krisis%20PDRI%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 11)4/3/2005 11:05:15 AM
Soekarno di Masa Krisis PDRI -- Jumat, 1 Juni 2001
siap melepaskan senjata modern, memerlukan seorang Bung Karno, demi untuk menghindari semakin banyak korban 'mati-konyol' karena pasukan bambu runcing yang siap "berjibaku" untuk Tanah Air mereka, seperti juga dalam pertempuran Ambarawa? Akan tetapi, di masa kritis pada penghujung tahun 1948, bisakah Soekarno sebagai pemimpin, membawa bangsanya keluar dari keadaan gawat itu? Memang tak mudah melihat Bung Karno dalam potret hitam putih. Seperti dikatakan sejarawan Onghokham (1978), dia adalah "pribadi yang kompleks dan tokoh penuh aneka warna". Namun, untuk satu hal, "Bung Karno adalah sebuah gelora", tulis kolumnis Gunawan Mohamad dalam sebuah esai pendeknya (1991). Sebuah gelora adalah sesuatu yang menggetarkan. Sebuah gelora juga merupakan sesuatu yang bisa memesonakan dan bahkan menghanyutkan. Tetapi, sebuah gelora juga merupakan sesuatu yang tak punya definisi yang persis. Ia bagaikan nebula yang jauh di langit. Mungkin gugus itu sehimpun bintang yang bersinar atau barangkali hanya selapis kabut bercahaya. Nebula yang bersinar itu ialah harapan yang dipancarkan dari figur dan pidato-pidatonya yang menggetarkan. Tetapi, harapan juga bisa berbalik menjadi kekecewaan baru, ketika apa yang dijanjikannya tak sesuai kenyataan. Itulah yang terjadi pada saat-saat genting sewaktu agresi Belanda kedua itu. Pada bulan-bulan terakhir 1948, Bung Karno sangat sibuk mengadakan perjalanan dan menyampaikan pidato-pidato politiknya yang gegap gempita, guna mengangkat moral perjuangan yang semakin merosot karena ditusuk dari muka dan belakang. Di depan ada Belanda, yang setelah Perjanjian Renville (Januari 1948) terus-menerus menggembosi dukungan Republik dengan mendirikan negara-negara federal versi Van Mook. Waktu itu hampir semua wilayah Indonesia sudah berada di bawah pengaruh Belanda dengan berdirinya negara-negara federal ciptaan Van Mook di sana, kecuali di tiga daerah: Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Aceh, di mana negara federal tidak mendapat tempat karena kesetiaan kepada Republik sudah merupakan harga mati yang tak bisa ditawar-tawar. Sementara tekanan politik federal Van Mook semakin gencar, terjadi pula pemberontakan PKI di Solo dan Madiun bulan September 1948. Pemberontakan itu bukan hanya suatu pengkhianatan, melainkan juga "tusukan dari belakang", yang memperlemah Republik di saat posisi Belanda semakin unjuk kekuatan dan diperkirakan akan melakukan serangan baru setiap saat. Dalam suasana kacau balau dan terombangambing "di antara dua karang" seperti dilukiskan Hatta waktu itu Soekarno-Hatta adalah "dwitunggal" yang membuat kepastian dalam ketidakpastian. Sebuah pesan radio dari Presiden Soekarno meminta
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...Krisis%20PDRI%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 11)4/3/2005 11:05:15 AM
Soekarno di Masa Krisis PDRI -- Jumat, 1 Juni 2001
ketegasan kepada rakyat untuk memilih pemerintahan yang sah atau Muso. Pidato-pidato Soekarno menggetarkan, acap kali diselingi dengan slogan-slogan yang menggugah. Salah satu slogan berbahasa Belanda yang tidak saja sering diulang-ulanginya dalam setiap kesempatan, melainkan juga dengan gigih diperjuangkannya sejak muda ialah samenbundeling van alle krachten (menghimpun segala kekuatan). "Saya menyaksikan bagaimana pidatonya mampu membangkitkan kesadaran politik di kalangan rakyat di desa dan di kota", kenang George McT Kahin, seorang mahasiswa Amerika yang saat itu berada di Yogya untuk keperluan riset disertasinya. Ia benar-benar mengenal detak jantung rakyatnya dan "tidak dapat ditandingi oleh pemimpin mana pun juga", tulis Kahin dalam sebuah risalahnya (1986). Namun, ucapan Bung Karno yang paling berkesan waktu itu, hingga sering dikutip-kutip koran dan itu diulanginya lagi lewat radio dan terakhir dalam pidatonya dua hari sebelum aksi militer Belanda ialah, "Jika Belanda ngotot menggunakan kekuatan militernya untuk menghancurkan Republik Indonesia dengan menduduki Yogyakarta, tujuh puluh juta rakyat Indonesia akan bangkit berjuang dan saya sendiri akan memimpin perang gerilya." (Merdeka, 29 Mei 1948) Namun, apa yang terjadi kemudian ialah sebuah kekecewaan. Ketika Yogya diserang, Soekarno dan pemimpin Republik merencanakan tetap tinggal di dalam kota, artinya menyerah kepada Belanda. Reaksi dari kalangan militer, terutama di kalangan para perwira yang tahu bahwa Soekarno sebelumnya bersedia untuk ikut bergerilya bersama mereka, telah menimbulkan rasa kecewa yang dalam. Bahkan, perintah yang dikeluarkan Hatta, pada saat-saat terakhir menjelang kejatuhan Yogyakarta, agar perjuangan diteruskan, tidak lagi mampu memulihkan rasa hormat tentara terhadap pemimpin sipil mereka. Peristiwa di atas, menurut Ulf Sundhaussen (1982) merupakan awal rusaknya hubungan sipil-militer dalam perpolitikan Indonesia. Akan tetapi, kekecewaan pada Bung Karno-patahnya kepercayaan kepada obor, sebuah simbol-tidak hanya merisaukan banyak orang. Kejadian dramatis di hari itu juga menimbulkan kekecewaan dan kecemasan Soekarno pribadi. Ia pun senantiasa berada dalam kecemasan terus-menerus terhadap nasib Republik dan terhadap nyawanya. "Pada akhirnya saya hanya manusia biasa. Siapa yang tahu apa rencana mereka terhadap saya? Saya punya perasaan mereka akan membunuh saya. Tiap kali saya mendengar bunyi yang asing, saya berpikir: sekarang tiba saatnya; mereka akan membawa saya ke depan pleton penembak", begitu dituturkannya kepada Cindy Adam, penulis otobiografinya yang terkenal.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...Krisis%20PDRI%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (5 of 11)4/3/2005 11:05:15 AM
Soekarno di Masa Krisis PDRI -- Jumat, 1 Juni 2001
Walaupun pada akhirnya Presiden dan Wakil Presiden dengan sejumlah anggota kabinet ditawan Belanda, suasana kritis dan mencekam waktu itu tidak perlu membuat kedua tokoh puncak Republik itu kehilangan akal sehat. Pada detik-detik sebelum kejatuhan Yogya, mereka masih sempat melepas anak panah terakhir dari busurnya: mandat berdirinya PDRI, sebuah keputusan yang menentukan perjalanan sejarah Republik selanjutnya. Setelah itu mereka ditangkap dan tak lagi tahu apa yang terjadi di luar dinding tembok tahanan mereka. Menurut keterangan Hatta di belakang hari, keputusan apakah pemerintah akan tetap berada dalam kota atau ikut bergerilya bukan atas kemauan pribadi Presiden dan Wakil Presiden, melainkan keputusan yang ditetapkan kabinet berdasarkan pemungutan suara. Soekarno dan Menteri Laoh cenderung memilih sikap pertama, artinya tetap di tempat, sedangkan pihak militer, terutama Panglima Besar Soedirman, dengan tegas sejak pagi-pagi sudah memutuskan untuk meninggalkan kota, artinya siap bergerilya dengan prajurit TNI. Simatupang juga menyarankan agar Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya "ikut perang gerilya". Namun, karena tidak tersedia cukup pasukan pengawal untuk kedua pemimpin itu, dia bisa menerima sikap resmi pemerintah. (Hatta, 1982: 541-2) Hidup dalam pembuangan Para pemimpin Republik yang ditawan Belanda selepas pendudukan Yogya, diasingkan pada dua tempat yang berbeda. Tiga orang pemimpin besar Indonesia: Soekarno, Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir ditawan di Brastagi, Sumatera Utara, kemudian dipindahkan ke Prapat. Selebihnya, termasuk Hatta, dideportasi ke Bangka. Di antara tokoh yang ditawan di Brastagi, Haji Agoes Salim adalah yang paling tua, tetapi paling singkat masa penahanannya. Di zaman Belanda ia tak pernah masuk penjara, kecuali sebentar di zaman Jepang. Karena penahanan itu dianggap kekhilafan belaka, kemudian ia dibebaskan dengan "permintaan maaf" dari pembesar Jepang. Tetapi, kejadian serupa juga dapat ditemukan dalam setiap zaman sejarah Indonesia merdeka, bahkan juga dalam periode yang lebih belakangan. Akan tetapi, Soekarno dan Sjahrir sama-sama pernah mengalami hidup dalam penjara Belanda dalam waktu yang lama. Sjahrir pernah menjadi Digulis, tahanan kelas berat bersama Hatta dan kawan-kawan di Digul, Papua, kemudian dipindahkan ke Bandaneira, dekat Ambon. Jika dihitung ada sekitar 10 tahun lamanya Sjahrir hidup dalam tahanan Belanda. Sedang Soekarno juga menghabiskan sebagian besar waktunya dalam tahanan Belanda. Mula-mula masuk penjara berdasarkan keputusan "Landraad" Bandung tahun 1930, kemudian ia dibuang lagi ke Ende, lalu dipindahkan lagi ke Bengkulu. Sewaktu
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...Krisis%20PDRI%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (6 of 11)4/3/2005 11:05:15 AM
Soekarno di Masa Krisis PDRI -- Jumat, 1 Juni 2001
dibebaskan karena Jepang masuk dan Belanda jatuh, Soekarno sudah menghabiskan usianya dalam tahanan Belanda selama 10 tahun. Antara Sjahrir dan Bung Karno yang sama-sama ditahan di Brastagi, kemudian dipindahkan ke Prapat, terdapat beberapa kesamaan nasib dalam berurusan dengan penjara Belanda. Kecuali ditahan untuk waktu yang lama-sampai 10 tahun-keduanya adalah korban exorbitante rechten Belanda, yaitu hak khusus pemerintah kolonial untuk menahan dengan mengasingkan siapa saja yang dianggap membahayakan rust en orde (keamanan dan ketertiban). Tentu saja "membahayakan" menurut tafsiran yang berkuasa. Kalau hal itu dinamakan "kezaliman", orang tak begitu keliru. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan tahanan biasa, exorbitante rechten, menurut Mr Moh Roem (1983), amat berat. Sebab, korban exorbitante rechten tidak pernah diberitahu berapa lama ia akan ditahan dan juga tidak tahu tuduhan yang dikenakan kepadanya, atau jika pun tahu terasa sekali mengada-ada. Tetapi, kalau tahanan biasa, bisa mengetahui apa yang dituduhkan kepadanya. Begitu pula perkaranya akan diperiksa secara terbuka di depan pengadilan dan ia dapat membela diri atau dibela oleh pengacara. Jika ia dijatuhi hukuman, ia diberitahu berapa lama vonis hukumannya. Apa pun namanya, hukuman yang diterima Bung Karno dan Sjahrir amat mempengaruhi perjalanan hidupnya, dan dengan demikian juga sejarah bangsanya. Keduanya juga pernah ditahan di akhir hayatnya. Sjahrir ditahan oleh Soekarno dan tidak sempat menikmati pembebasan karena dalam masa tahanan ia meninggal dunia di tempat pengobatannya di Zurich. Soekarno ditawan oleh Soeharto dan sampai meninggalnya ia juga tak pernah mengalami pembebasan. Namun, belum pernah terjadi sebelumnya Sjahrir dan Soekarno hidup begitu dekat kecuali pada masa ini. Mereka tinggal bertiga dengan Haji Agus Salim dalam satu kamar. Sjahrir pendiam dan suka marah kalau ketenangannya merasa terusik, sementara Soekarno adalah pribadi yang ceria suka "membunuh" waktunya dengan menyanyi atau apa saja yang disukainya. Ketika mereka dibolehkan pengawal memesan kebutuhan yang diperlukan, Sjahrir minta dibawakan buku-bukunya, tetapi Soekarno minta dibawakan kemeja "Arrow". Sekali waktu Bung Karno pernah mengatakan, "saya tak keberatan menjadi tawanan Belanda karena ada tujuh cermin di kamar saya...." Sjahrir dibuat jengkel dengan sikapsikap Bung Karno yang dianggapnya a bloody old fool atau dengan umpatan serapah yang tak mengenakkan. Tetapi, inilah klimaksnya. Bung Karno kalau lagi mandi suka nyanyi. Sekali waktu Bung Karno menyanyi di kamar mandi dengan suara cukup keras dan bagi Sjahrir dirasakannya membuat ribut, hingga Sjahrir berteriak (dalam bahasa Belanda): houd je mond (tutup mulutmu). Soekarno terdiam dan jengkel
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...Krisis%20PDRI%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (7 of 11)4/3/2005 11:05:15 AM
Soekarno di Masa Krisis PDRI -- Jumat, 1 Juni 2001
juga sama Sjahrir. Ketika suatu kali Moh Roem menanyakan kepada Soekarno mengapa ia benci pada Sjahrir, ia mengatakan, "Bagaimanapun juga saya adalah Kepala Negara, mengapa dia menghardik saya seperti itu?" Dalam kasus lain, sewaktu PM Belanda Willem Drees datang ke Indonesia, Sjahrir diminta datang ke Jakarta untuk bertemu dengan Drees. Sjahrir bersedia datang ke Jakarta, tetapi ia tidak kembali lagi ke Prapat karena sudah dibebaskan Belanda, dengan maksud untuk memanfaatkannya sebagai "perantara" dalam rencana perundingan baru, Roem-Roijen. Kejadian ini membuat Bung Karno tambah marah. "Mengapa ia tidak kembali ke sini" (Prapat). "Kalau begitu ia tidak setia," sambungnya lagi seperti diceritakannya kepada Haji Agus Salim. Sepeninggal Sjahrir, di Prapat hanya tinggal dua tawanan, Bung Karno dan HA Salim. Sejak Februari 1949, keduanya digabungkan dengan tawanan Republik di Manumbing, Bangka. Tetapi, karena Bung Karno tidak tahan hawa dingin, ia minta dipindahkan ke Mentok, yang berhawa panas. Karena beliau tidak mau tinggal di sana sendirian, maka ditunjuk beberapa orang untuk menemani Bung Karno di sana. Antara lain H Agus Salim, Mr Moh Roem, dan Ali Sastroamidjojo. Sejak itu tawanan jadi dua kelompok: Kelompok Manumbing di bawah pimpinan Bung Hatta dan Kelompok Muntok di bawah pimpinan Bung Karno. Ketika prakarsa persetujuan Roem-Roijen dimulai bulan April 1949, Sjahrir yang sudah dibebaskan, atas saran Hatta, diangkat sebagai penasihat delegasi perunding Indonesia ke Roem-Roijen. Mulanya Sjahrir menolak karena mempertanyakan tanda tangan Soekarno dalam surat keputusan itu. "Apa dia itu? Mengapa dia yang harus mengangkat saya? Orang yang seharusnya mengangkat saya ialah Mr Sjafruddin Prawiranegara", (Ketua PDRI di Sumatera). Roem kesal, tetapi lebih kesal lagi dan marah ialah Bung Karno setelah mendengar itu. Pengalaman yang kurang menyenangkan selama dalam masa tahanan, dan kekecewaan dirinya dan orang-orang yang setia kepadanya pada saat memilih ditawan Belanda dan bukan bergerilya, saat kejatuhan Yogya, agaknya merupakan bagian terburuk dalam memori sejarah pribadi Bung Karno, dan sekaligus penyebab utama mengapa ia terkesan melupakan sejarah episode PDRI. Baginya, episode ini seakan-akan eine vergangheit die nicht vergehen will, sebuah pengalaman masa lalu yang ingin-tapi tak bisa dilupakan-dalam ingatan kolektif, sebagaimana tercermin dalam otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adam. Lagi pula, setelah kembali ke Yoyga dan dalam perundingan-perundingan selanjutnya, bukan Bung Karno, tetapi Hatta-lah sebagai Perdana Menteri yang menjadi nakhoda Republik
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...Krisis%20PDRI%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (8 of 11)4/3/2005 11:05:15 AM
Soekarno di Masa Krisis PDRI -- Jumat, 1 Juni 2001
hingga pengakuan kedaulatan di pengujung 1949. PDRI, ujian pertama integrasi bangsa Pada detik-detik terakhir yang menegangkan sebelum pemimpin puncak Republik ditawan Belanda, Hatta masih sempat mendiktekan pidato singkatnya untuk diedarkan ke seluruh wilayah Republik. "Musuh mau mengepung pemerintah, tetapi Republik tidak tergantung pada nasibnja orang2 jang mendjadi kepala-negara atau jang duduk dalam pemerintahan.... Rakjat harus berdjoang terus...." Memang, Republik tidak hanya punya Soekarno-Hatta, tetapi juga sederetan nama besar lainnya. Salah seorang yang paling diremehkan agaknya ialah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selama tahun-tahun krisis 1948-1950 sesungguhnya dialah tokoh yang memegang kendali dalam mengurusi intern di bidang militer, ekonomi dan politik di belakang layar. Sjafruddin Prawiranegara berada jauh dalam hutan di Sumatera, sedangkan Soekarno-Hatta dalam kerangkeng Belanda di Bangka. Apa jadinya Republik kalau tidak ada Sri Sultan? Otoritasnya sebagai ahli waris takhta Yogya tak tersentuh oleh tangan kekuasaan Belanda. Sebagai Republiekan sejati ia tak hanya menyerahkan takhtanya untuk rakyat, tetapi berbuat banyak untuk Republik. Tidak hanya menjembatani kubu PDRI dan Bangka, tetapi juga melindungi kepentingan Republik di Yogya. Sesungguhnya dialah arsitek utama dalam serangan balik Republik terhadap kedudukan Belanda di Yogya, yang dikomandoi oleh Letkol Soeharto pada awal Maret 1949. Dia jugalah yang membiayai semua keperluan Republik ketika "kembali ke Yogya". Sekitar 6 juta gulden kekayaan Kraton Yogya diserahkan untuk menghidupi dapur Republik. Maka Belanda keliru besar, ketika Yogya jatuh ke tangannya menyimpulkan bahwa Republik telah dirobohkan. Mereka lupa atau tak mau peduli bahwa Republik yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945 itu, telah tercerahkan (enlightened) oleh cita-cita kebangsaan sejak awal abad lalu. Ia bukanlah sebuah kerajaan, juga bukan hadiah Jepang, sebagaimana yang ada dalam benak kaum kolonialis Belanda, melainkan sebuah "negara-bangsa" yang modern yang telah dipersiapkan sedemikian rupa. Pembukaan UUD '45 dan bangunan konstitusi itu sendiri, sesungguhnya adalah blue-print dari Republik yang baru itu, dan keduanya disusun oleh para "bapak bangsa" dengan penuh kesadaran dan kecerdasan sebuah generasi yang tak ada duanya. Ketika pimpinan puncak Republik ditawan Belanda, PDRI di Sumatera mampu memerankan dirinya sebagai faktor integratif, yang menjadi pusat jaringan perjuangan Republik via India ke dunia internasional dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di ibu kota Yogya dan Jenderal Soedirman di medan gerilya. Maka, pada masa perjuangan kemerdekaan, khususnya era PDRI, teori
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...Krisis%20PDRI%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (9 of 11)4/3/2005 11:05:15 AM
Soekarno di Masa Krisis PDRI -- Jumat, 1 Juni 2001
politik klasik kolonial tak berlaku lagi, yang selalu percaya bahwa jika raja atau pemimpin ditawan atau dibujuk, semua akan beres, bisa ditundukkan. Nyatanya tidak demikian, dan Belanda sempat dibuat shock karena kemenangan militernya hanya sebuah kemenangan yang sia-sia. Sesungguhnya inilah periode di mana proses integrasi nasional menunjukkan hasil, ketika panggung sejarah beralih dari kota ke desadesa dan hutan-hutan, ketika rakyat tidak lagi sekadar pelengkap penderita, melainkan tokoh sentral di panggung sejarah bangsa. Baik PDRI maupun militer tidak bisa hidup kalau bukan disubsidi nasibnya oleh rakyat, tetapi mengapa sekarang semuanya seakan-akan dilupakan? Memang wacana sejarah bangsa kita, seperti dikatakan sejarawan Taufik Abdullah, adalah soal pilihan: ada bagian yang ingin dilupakan dan yang ingin diingat dan bahkan dipalsukan. Pilihan yang semenamena terhadap sejarah bangsa bisa menyesatkan selama kriterianya ialah like and dislike yang berkuasa. Terserahlah kalau itu sejarah pribadi. Sejarah PDRI seperti juga biografi Soekarno adalah bagian dari sejarah bangsa, dan keduanya merupakan wajah kita di masa lalu dengan segala warna-warninya. * Mestika Zed Sejarawan, lulusan Vrije Universiteit, Amsterdam, tinggal di Padang.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%2...risis%20PDRI%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (10 of 11)4/3/2005 11:05:15 AM
Soekarno di Wilayah "Hyperreal" -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Soekarno di Wilayah "Hyperreal" Niniek L Karim SEINGATKU kurang lebih pukul 20.30 waktu itu (karena keluarga kami baru saja selesai makan malam yang selalu di sekitar pukul 20.00), hari ketiga Bung Karno dinyatakan wafat. Kuangkat telepon yang berdering, suara seorang teman: "Niek, cepet ndeloko bulan, ono gambare Bung Karno ning kono! (Niek, cepat lihatlah bulan, ada gambarnya Bung Karno di sana)". Ayah yang sedang lewat di depanku menggeleng-gelengkan kepalanya ketika kuceritakan kata-kata teman itu, lalu masuk ke kamarnya. Ayahku memang seorang PSI (Partai Sosialis Indonesia), walaupun tidak pernah aktif berpartai. Penasaran aku keluar mencari bulan, namun sampai bosan menunggu, kebetulan waktu itu bulan tetap saja tertutup awan mendung.Esok harinya di sekolah heboh! Saling bertanya dan mencoba meyakinkan satu sama lain tentang munculnya gambar Bung Karno di bulan. Tidak semua mengaku melihatnya memang, tapi hampir seluruh masyarakat Kediri yang
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...h%20Hyperreal%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 10)4/3/2005 11:05:16 AM
Soekarno di Wilayah "Hyperreal" -- Jumat, 1 Juni 2001
Soekarnois kala itu percaya bahwa itu adalah kebenaran belaka. "Bung Karno tidak mati, tapi moksa suatu waktu nanti akan muncul lagi." Begitulah kepercayaan yang mereka yakini waktu itu, bahkan mungkin sampai sekarang. Oleh karena itu, tak lama setelah Soekarno secara resmi dinyatakan wafat, berpuluh truk yang semuanya penuh berjejalan manusia setiap harinya menuju Desa Mantingan, Ngawi, untuk bicara atau mendengar pesan-pesan Soekarno melalui bantuan Mbah Suro-dukun yang menabalkan dirinya sebagai mediator bagi orang yang ingin bicara dengan Soekarno-lewat di depan rumah saya, yang memang letaknya di salah satu jalan yang biasa dilewati kendaraan yang akan keluar Kota Kediri. Seorang teman anak saya, lahir tahun l984, l4 tahun setelah Soekarno wafat-yang wafatnya dalam kondisi dikucilkan karena tidak populer di mata pemerintahan waktu itu-begitu mengagumi Soekarno sehingga waktu acara pemberian ijasah lulus SMP-nya memakai baju ala Soekarno, juga mengoleksi buku-tulisan tentang dan oleh Soekarno, bercita-cita menjadi seperti Soekarno. Teman anak saya itu bukan suku Jawa, lahir dan besar di Jakarta setelah Soekarno meninggal, saya yakin dia bukan satu-satunya pengagum cilik Soekarno. Di rumah saya jarang sekali membicarakan Soekarno, namun betapa terheran-herannya saya ketika anak laki-laki saya berusia 7 tahun menyatakan dia merasa bangga memiliki telinga yang besar:" ... seperti Bung Karno" katanya. Saya juga yakin bahwa masih banyak lagi pengagum cilik lainnya di negeri ini. Tulisan ini ingin membahas tentang bagaimana kedudukan Soekarno dalam persepsi pengagumnya di Indonesia. Ingin menelaah bagaimana persepsi publik terhadap Soekarno dengan melihat bagaimana beroperasinya faktor-faktor yang dalam telaahan ilmu sosial mutakhir sekarang sering diistilahkan sebagai "representasi", "simbol", "simulakra", dan lain-lain. Dari retorika sampai mitos Pada tahun 60-an, yang masih bisa saya kenang, setiap kali Soekarno berpidato hampir semua jalan jadi sepi. Bahkan, tukang becak di perempatan jalan tempat kami tinggal waktu itu, di Kediri, Jatim, tidak mau narik, memilih bergerombol di rumah orang yang memiliki radio-kala itu radio masih "barang mewah", tidak setiap orang memilikinya, boro-boro televisi di Kediri belum ada yang punyauntuk ikut mendengarkan pidato Bung Karno. Mereka, atas kemauan sendiri, tanpa dipaksa, rela tidak dapat uang karena emoh narik, untuk mendengarkan pidato Soekarno.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...h%20Hyperreal%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 10)4/3/2005 11:05:16 AM
Soekarno di Wilayah "Hyperreal" -- Jumat, 1 Juni 2001
"Kemarin aku baca Ramayana, saudara-saudara, Ramayana. Di dalam kitab Ramayana itu disebut satu negeri, namanya Utara Kuru. Utara Kuru, artinya lor-nya negara Kuru. Kuru artinya Kurawa. Disebutkan di dalam kitab itu bahwa di negeri Utara Kuru tidak ada panas yang terlalu, tidak ada dingin yang terlalu, tidak ada manis yang terlalu, nggak ada pahit yang terlalu. Segalanya itu tenang, tenang. Ora ono panas, ora ono adem. Tidak ada gelap, tidak ada terang yang cemerlang. Adem tentrem mbanyu ayu sewindu lawase. Di dalam kitab Ramayana itu sudah dikatakan, hmm negeri yang begini tidak bisa menjadi negeri yang besar. Sebab tidak ada oh up and down up and down. Perjuangan tidak ada" "tapi orang-orang besar ini satu persatu tidak luput dari salah. Oleh karena sekedar manusia biasa. Saya ulangi, siapa berani berkata bahwa Bismark tidak pernah bersalah? Siapa berani berkata bahwa Meurabeu tidak pernah bersalah? Siapa berani berkata bahwa Gladstone tidak pernah bersalah? Siapa berani berkata bahwa Garibaldi tidak pernah bersalah? Siapa berani berkata bahwa Mao Tse Tung tidak pernah bersalah." (Pidato Bung Karno pada Peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di Istana Merdeka, 1964, dikutip dari album kaset karya Bram Kampungan berjudul Bung Karno Milik Rakyat Indonesia. Album Kelompok Kampungan dari Yogyakarta ini pertama kali dirilis pada tahun l970-an, dirilis ulang tahun l999). Bung Karno dan pidato-pidatonya selalu memukau publiknya. Sehingga pada tahun l970-an Bram dan kelompoknya yang kemungkinan saat itu berusia 20-an tahun, merasa patut merilis sebuah album kaset yang berlatar reproduksi pidato Soekarno tersebut. Asumsi yang boleh jadi mendasarinya bahwa khalayak (musik pop) juga tertarik terhadapnya. Asumsi itu terbukti signifikan dengan adanya rilis ulang di tahun l999. Rekaman itu diproduksi oleh sebuah perusahaan komersial, Musica, yang tentunya soal untungrugi menjadi perhitungan konkret. Seperti pidato yang sebagian dikutip di atas, Soekarno menunjukkan penguasaannya atas retorika yang luar biasa. Bicara dari cerita Ramayana, Utara Kuru, Kurawa, yang memang diakrabi masyarakat di desa-desa, sampai ke pemikir-ideolog-pejuang kemerdekaannegarawan seperti Otto von Bismarck, Meurabeu, Gladstone, Giuseppe Garibaldi, dan lain-lain. Didengarkan dengan tekun dan terkagum-kagum sampai selesai pidato-pidato yang jarang kurang dari 60 menit lamanya itu oleh publiknya, yang hampir pasti sebagian besar tidak tahu bahkan mungkin tidak peduli apa dan siapa tokohtokoh yang disebut itu semua.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...h%20Hyperreal%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 10)4/3/2005 11:05:16 AM
Soekarno di Wilayah "Hyperreal" -- Jumat, 1 Juni 2001
Soekarno memang sebuah mitos bagi sebagian masyarakat dalam jumlah yang tidak kecil. Maka, sebagaimana pola suatu mitos yang cenderung diturun-temurunkan ke anak-cucu, bisa kita pahami teman anak saya yang usia 14 tahun itu kagum berat pada Soekarno. Bahkan, mungkin saja bisa tertera suatu jejak ingatan dalam kesadaran kolektif pada masyarakat jauh di masa depan jika proses turun-temurun itu terjadi secara intensif, sesuai teori tentang arkhetype dari Carl Gustav Jung. Dari "Belief" sampai "Hyperreality" Pidato-pidatonya ditangkap oleh publiknya bukan lagi melalui akal, melainkan langsung ke area belief, yang dalam The Penguin Dictionary of Psychology diartikan sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan, atau doktrin tertentu. Tidak mengerti pun tidak apa-apa, karena pidato yang disebar-luaskan lewat radio tadi sudah menjadi otonom sebagai "mantra" yang menciptakan suatu hyperreal thing. Soekarno pun menjadi sebuah sosok hyperreal, atau dalam bahasa yang sudah dikenal dari studistudi sebelumnya tentang Soekarno, bahwa oleh masyarakat Indonesia di desa-desa ia dianggap "setengah manusia setengah dewa", "titisan Wisnu", Ratu Adil dan sebagainya. Ia dianggap quasinabi. Dalam autobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams (2000), Soekarno bercerita bagaimana masyarakat Bali memandangnya sebagai titisan Wisnu, Dewa Hujan. Ketika Bali dilanda kemarau panjang, masyarakat Bali mengharap sang Presiden tersebut datang ke Bali, karena percaya bahwa kedatangannya akan menganugerahkan hujan. Kebetulan memang, hujan pun turun saat kedatangannya itu. Maka makin percayalah masyarakat pengagumnya akan kebesarannya tersebut. Begitu kuatnya persepsi tentang kekuatan supernatural Soekarno pada masyarakat, sehingga masyarakat Kediri heboh, setiap malam keluar rumah menengadah ke bulan, mencari wajah Soekarno. Beribu-ribu orang dari pelosok-pelosok Jawa Timur, bahkan ada juga yang dari Jawa Tengah, atau pun pelosok lain di Indonesia, berbondong-bondong ke Mbah Suro agar bisa "mendengar" pesanpesan atau apa pun dari Soekarno. Kemarin, seorang teman SMA saya yang ketika itu adalah seorang ketua GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia) mengatakan bahwa sebagian besar para Soekarnois ini percaya bahwa suatu hari kelak Soekarno yang moksa itu akan muncul kembali secara "riil", dan disebutkanlah dua daerah yang salah satunya akan jadi tempat kemunculan Soekarno. Menurut dia, hampir semua para Soekarnois ini penuh keyakinan bahwa hal tersebut akan terjadi. Merujuk pada lima tingkatan belief dari Gillian Bennet dalam bukunya The Tradition
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...h%20Hyperreal%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 10)4/3/2005 11:05:16 AM
Soekarno di Wilayah "Hyperreal" -- Jumat, 1 Juni 2001
of Belief, kategori keyakinan yang sepenuhnya (convinced belief) adalah yang terdalam letaknya. Diterima langsung pada area belief tanpa perlu pencernaan akal, berkembang menjadi mitos, persepsi kekuatan supranaturalnya itu kemudian masuk ke wilayah kehidupan praktis para pengagumnya. Dalam psikologi, diakui bahwa belief adalah salah satu motor penggerak perilaku manusia. Saat isi dari belief mendapat pembuktiannya dalam kenyataan hidup sehari-hari, maka belief itu pun menjadi penggerak utama dari tingkah laku, :"Soekarno tidak bisa mati", dan mereka pun merasa terbuktikan hal tersebut saat Soekarno beberapa kali terluput dari usaha pembunuhan, seperti usaha pelemparan granat di Perguruan Cikini, terhindar dari usaha penembakan ketika Bung Karno shalat Ied, dan tembakan seorang pilot Angkatan Udara RI dari pesawat. Pembuktian isi belief yang kebetulan beberapa kali terjadi itu, menciptakan "kebenaran"-nya sendiri. "Kebenaran" yang secara subyektif dipersepsi sebagai kenyataan, sehingga secara obyektif pun ia menghasilkan efek praktis yang nyata. Jadilah Soekarno sebagai sosok hyperreal". Dari mistifikasi sampai gerakan nasionalisme Tentu saja, mistifikasi tokoh Soekarno itu berlangsung dalam sebuah momentum sejarah yang memungkinkan semua itu terjadi. Seperti referensi-referensi Barat-termasuk nasionalisme-yang dalam beberapa hal menjadi "mantra". Tahun l940-an dan l950-an merupakan sebuah fase sejarah di mana dunia menyaksikan bangkitnya nasionalisme di berbagai belahan dunia, dari Afrika sampai Asia, dari Mesir, India, sampai Indonesia. Dalam wacana bangkitnya nasionalisme di berbagai negara itu, muncul nama-nama yang pada saat berikutnya menjadi penggerak Konferensi Asia Afrika di Bandung seperti Soekarno sendiri, Nehru, Nasser, dan lainnya. Mereka menjadi lokomotif kemerdekaan. Pemikir posmodernis Edward Said mengutip Thomas Hodgkin, mengatakan, gerakan nasionalisme itu dikobarkan oleh "para nabi dan pendeta" ("prophet and priest") yang ditulis dalam tanda petik, untuk menunjukkan bagaimana kira-kira posisi para penggerak itu di masyarakatnya), yang di antara mereka adalah penyair dan tukang ramal. Mari kita simak petikan kata-katanya: "Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali." (Pidato 17 Agustus 1949) "Berjuanglah, berusahalah, membanting tulang, memeras keringat, mengulur-ngulurkan tenaga, aktif, dinamis, meraung, menggeledek, file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...h%20Hyperreal%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (5 of 10)4/3/2005 11:05:16 AM
Soekarno di Wilayah "Hyperreal" -- Jumat, 1 Juni 2001
mengguntur, dan selalu sungguh-sungguh, tanpa kemunafikan, ichlas berkorban untuk cita-cita yang tinggi." (Pidato 17 Agustus 1964) "Karena itu hai Bangsa Indonesia, janganlah kita mencari kepeloporan mental pada orang lain. Carilah kepeloporan mental itu pada diri sendiri. Carilah sendiri konsepsi-konsepsimu sendiri. Freedom to be free! Freedom to be free!" (17 Agustus 1964). Bukankah Soekarno juga sering menggunakan kekuatan-kekuatan ucapan yang puitis seperti kutipan-kutipan di atas, yang kemudian memberi inspirasi bagi bangsa ini tentang "menjadi Indonesia"? Nasionalisme, marhaenisme-sebuah sintesa Soekarno atas marxisme dengan analisisnya tentang berbagai kondisi IndonesiaNasakom (akronim "nasional-agama-komunis") yang kelihatannya merupakan sebagian dari "sinkretisme Jawa"-nya, di benak orang kebanyakan, termasuk para tukang becak yang suka mangkal di dekat rumah saya di Kediri dulu, menjadi konsepsi "agung" (grandeur) yang "keagungan"-nya terbangun seiring media komunikasi yang kala itu terutama adalah radio yang menyebarluaskannya, sehingga konsepsi-konsepsi tadi terinternalisasi pada masyarakatnya. Singkatnya semangat yang lebih besar, yakni semangat "independen", semangat "anti-imperialisme", menjelma sebagai semangat zaman itu. Bagaimana rincian dari semangat itu harus diterjemahkan dalam kehidupan berbangsa secara lebih rasional, atau setidaknya harus dipahami secara lebih kritis, tidaklah terlalu dihiraukan. Yang jelas, dalam domain yang dihuni Soekarno, di situ ia berperan sebagai pemimpin kharismatik, politikus flamboyan, orator, pemikir, budayawan, seniman setingkat (kuasi) nabi. Kondisi sosial-politik saat itu, bersinergi dengan faktor kepribadiannya yang begitu kuat, menghasilkan mitos Soekarno sebagai Ratu Adil. Penjajahan lebih dari 300 tahun, kemiskinan yang dirasakan makin meningkat, ketidakadilan dan kesenjangan sosial antara pribumi dan nonpribumi (baik Belanda maupun Asia Timur Jauh) yang diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda, feodalisme yang dikuatkan oleh manipulasi kuasa kolonial, bergabung dengan kebutuhan akan kekuatan supranatural yang dipercayai akan membebaskan masyarakat tertindas, menjulangkan Soekarno sebagai "juru selamat" Indonesia. Dari "simbol" kekuatan sampai ke "battleground"
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...h%20Hyperreal%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (6 of 10)4/3/2005 11:05:16 AM
Soekarno di Wilayah "Hyperreal" -- Jumat, 1 Juni 2001
Tesis mengenai Soekarno yang kemudian menjadi hyperreality itu ditakuti sebagai sebuah "simbol" kekuatan oleh kelompok yang berkuasa pada masa berikutnya, makin terbuktikan. Kita lihat bagaimana pada perkembangannya, tokoh ini berikut gagasangagasan beserta kelompok politiknya hendak dibasmi, hendak disingkirkan dari panggung sejarah oleh rezim politik yang menamakan dirinya Orde Baru, persis pada wilayah yang disebut Jean Baudrillard, seorang pemikir posmodernis lain, sebagai "simulakra", sejenis simulasi (simulasion): tiruan yang tidak memiliki rujukan, sesuatu yang merujuk pada sesuatu yang tak ada. Meski tak ada rujukannya, tiruan itu memiliki efek praktis yang obyektif terhadap tingkah laku sekelompok manusia tertentu. Mengikuti gagasan Jean Baudrillard, dalam konteks hyperreality hal yang "nyata" (real) dan "khayalan" (imaginary) bertaut satu sama lain. Hasilnya adalah apa yang disebut orang pada umumnya sebagai "kenyataan", yang pada dasarnya menurut istilah Baudrillard hanyalah "simulakra". Pada zaman ini, kiranya lebih mudah menerangkan dari sudut pandang tersebut, di mana sebuah simulasi sering dianggap lebih nyata dari kenyataan itu sendiri, atau mungkin seperti lirik lagu U2, "even better than the real thing". Kembali ke Soekarno, bagaimana pemerintahan yang berkuasa pada fase berikutnya berusaha menggusur dia dari wacana publik? Dengan menjadikan wilayah simulasi itu sebagai battleground, kancah peperangan terhadap belief tentang Proklamator RI itu. Seperti banyak diasumsikan para peneliti dari ilmu-ilmu politik dan sosial pada masa belakangan ini, tentang bagaimana sistematisnya penguasa era kemudian berusaha menggunakan media massa untuk menghancurkan citra Soekarno dan wacana atau kekuatan yang terbentuk di masanya. Cerita mengenai kisah para jenderal yang disayat-sayat seluruh tubuh oleh para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) mengiringi babak kejatuhan Soekarno, telah menjadi cerita "klasik" yang disebarkan media massa kala itu, yang belakangan dilawan dengan argumen, bahwa itu semua cuma rekayasa tentara. Selama bertahun-tahun pada masa sesudahnya, diciptakanlah sebuah "fiksi" sebagai sebuah imaginary, bahwa kita selalu dalam ancaman kekuatan komunis kiri serta berbagai wacana yang dituduhkan Orde Baru disuburkan oleh Soekarno. Bersama seluruh wacana di sekelilingnya itulah Soekarno hendak dikubur oleh rezim Orde Baru. Betapapun, dinamika media massa berikut berkembangnya teknologi media ternyata menentukan hukum bahkan perlawanannya sendiri. Represi terhadap Soekarno, ternyata malah memberi inspirasi
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...h%20Hyperreal%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (7 of 10)4/3/2005 11:05:16 AM
Soekarno di Wilayah "Hyperreal" -- Jumat, 1 Juni 2001
kepada pengagumnya untuk mengidentifikasi diri mereka seperti Soekarno yang mereka bayangkan. Tahun 1970-an, ketika rezim Orde Baru masih jaya dan intelnya menyusup ke mana-mana, tetap muncul album kaset Bung Karno Milik Rakyat oleh Kelompok Kampungan yang dikutip di awal tulisan ini. Tahun 1990-an, dirilis ulang, sebab dianggap tetap fancy. Padahal untuk khalayak musik pop masa l970-an atau pun masa kini, perlu dipertanyakan adakah mereka tahu Bismark, Meurabeu, Gladstone, Garibaldi, tadi? Mungkin juga tidak, sama halnya dengan rakyat di desa-desa dan para penarik becak di dekat rumah saya, di Kediri tahun 1960-an. Dari "self-representation" sampai ke "Latent Envy" Seperti dikatakan seorang tokoh media, Marshall McLuhan dan diperkuat oleh Baudrillard bahwa representasi realitas telah memproduksi realitas tersendiri dari yang mereka mediasikan itu. Sejak semula, Soekarno agaknya orang yang sangat mampu dan tahu bagaimana dia harus mempresentasikan dirinya. Bertautan dengan dinamika media massa, pada gilirannya dia menjadi tokoh hyperreal. Di situ ia bisa muncul di bulan seusai wafatnya; menghasilkan pengikut yang disebut "Soekarnois" yang boleh jadi tak paham benar apa sebetulnya gagasan-gagasannya namun dengan sangat rela berpanas-lapar-haus tetap khidmat mendengarkan pidato berjamjam tanpa ada yang tertidur. (Tidak seperti yang tampak di televisi jika Soeharto pidato di depan para anggota DPR ataupun MPR yang terhormat tapi banyak yang terlelap, pemandangan yang sangat memuakkan). Banyak orang Indonesia dengan sangat bangga meniru cara berpakaian Soekarno, bangga punya telinga besar seperti Soekarno. Dan Soekarno pun dijadikan komoditas kebudayaan pop ketika orang ingin menikmati sesuatu yang meledak-ledak). Mungkin di situlah letak simpul latent envy-iri hati laten-pada bayangan Soekarno yang selalu menghantui Soeharto. Segala usaha dilakukannya untuk menghilangkan kekaguman dan harapan masyarakat terhadap Soekarno, menghilangkan bayangan Soekarno dari impian massanya. Dari tindakan yang ringan-ringan seperti: tempat-tempat yang menggunakan nama Soekarno digantinya, Gunung Soekarnopura diganti dengan Jaya Wijaya, Gelora Bung Karno diganti Gelora Senayan Jakarta, larangan membawa gambar Soekarno dalam kampanye pemilihan umum, sampai pada penumpasan-penumpasan fisik yang tak kalah menakjubkannya. Dari desukarnoisme sampai kontrol ideologi
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...h%20Hyperreal%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (8 of 10)4/3/2005 11:05:16 AM
Soekarno di Wilayah "Hyperreal" -- Jumat, 1 Juni 2001
Soekarno sebagai tokoh hyperreal yang selalu menjadi hantu bagi rezim Orde Baru dengan tokohnya Soeharto, tetap hadir dengan kokohnya dalam benak para pengagumnya. Berbagai cara yang dilakukan Orde Baru untuk menggusur "realitas" itu, tampak sia-sia. Ternyata benak manusia tidak semudah itu untuk dikontrol dengan pola tertentu. Apa yang bisa dipelajari dari ini semua? Usaha-usaha untuk menggusur belief yang sudah membayangi benak seseorang, bisa-bisa malah menjadi bumerang yang justru memantapkan dan memapankan kepercayaan itu. Inilah yang patut dicermati oleh Indonesia dalam menjalani masa-masa yang datang. Pemberangusan buku-buku berbau ini dan itu, pelarangan isme ini dan itu, pemaksaan kepercayaan ini dan itu, yang merupakan usaha kontrol belief manusia, apakah mujarab untuk niat-niat tersebut? Lagi pula apakah itu jalan yang terbaik bagi keberlangsungan Indonesia sebagai negara dan bangsa? * Niniek L Karim Psikolog, dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno%20...h%20Hyperreal%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (9 of 10)4/3/2005 11:05:16 AM
Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih M Imam Aziz TAK berlebihan jika dikatakan kolonialisme telah melahirkan Indonesia. Dalam pengertian demikian, Indonesia pascakolonial selalu bergulat dengan ambiguitas yang tak terdamaikan. Bayangbayang antikapitalisme, anti-imperialisme sebagai ingatan kolektif dari pahitnya kolonialisme di satu sisi dan keinginan mewujudkan tatanan kehidupan sosial-politik berlandaskan nilai-nilai demokrasi di sisi lain, merupakan salah satu contoh betapa rumitnya kesadaran itu. Jika ambiguitas itu diterima "begitu saja" pada masa prakemerdekaan, tetapi tidak mudah mengelolanya pada pascakemerdekaan.Oleh karena itu, ironi dan tragedi justru banyak terjadi pada pascakemerdekaan. Para penggagas nasionalisme seperti Soekarno, Hatta dan sebagainya seolah-olah bergulat di antara "kata" dan "fakta" politik yang dicoba dirajut untuk memperoleh maknanya. Dan itu ternyata tidak mudah, dan tak jarang menemui jalan buntu. Soekarno yang rajin berkata-kata, antara lain mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum nasionalis, agama dan komunis (1926) menemukan kenyataan yang sama sekali bertolak belakang, ketika ia mencobanya menjadi fakta. Gagasan inilah yang mengantarkan Soekarno, yang semula dibalut atribut kebesaran, pada "kematiannya". Nasib serupa menimpa pada gagasan besarnya yang lain: marhaenisme, atau nasionalisme marhaenistis, yang matang dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan, mungkin, pada gagasannya mengenai Pancasila. Harus segera ditambahkan, 'nasib' itu tidak hanya milik Soekarno, tetapi juga kawan-kawannya seperti Hatta, Sjahrir, Tan Malaka. Orang tergoda untuk mengatakan, mereka dan gagasan mereka hanya relevan untuk membebaskan Indonesia dari kekuasaan kolonialisme. Setelah itu, Indonesia seolah-olah merupakan sebuah medan pertarungan baru, yang tak pernah terpikirkan. Pada suatu saat, di zaman Indonesia-merdeka, Soekarno bahkan pernah ingin dilupakan. Buku-bukunya dilarang. Pikiran-pikirannya diharamkan (secara resmi hingga saat ini). Tetapi justru karena itu, Soekarno file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%2...lisme%20Letih%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 11)4/3/2005 11:05:17 AM
Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih -- Jumat, 1 Juni 2001
menjadi penting kembali saat ini, setelah upaya melupakan Soekarno (dan kawan-kawan) mengakibatkan krisis-demi-krisis, yang tak kunjung usai. Pertanyaan yang muncul, ada apa pada Soekarno? Pada pikiranpikirannya? Dan pada perilaku politiknya?
*** SOEKARNO, pertama-tama harus ditempatkan pada seting pergerakan kebangsaan, yang muncul dan berkembang jauh sebelum ia merumuskan gagasan-gagasannya dan terjun ke dunia pergerakan. Dia bukan sang pemula. Usia Soekarno jauh di bawah para perintis awal nasionalisme, seperti Dr Tjipto. Ketika Boedi Oetomo dideklarasikan oleh anak-anak School tot Opleiding van Inlandsche Arsten (Stovia) pada hari Minggu 20 Mei 1908, usia Soekarno belum genap tujuh tahun. Ketika Boedi Oetomo resmi berpolitik yang mengibarkan proyek pemerdekaan Tanah Air dan keutuhan bangsa, Soekarno masih duduk di bangku Europeesche Lagere School, ELS) sekolah menengah Belanda) di Surabaya. Ia lahir di Blitar, Jawa Timur, dari sebuah keluarga priayi rendahan. Kedudukan sosial ekonomi orangtuanya hanya agak sedikit lebih baik di atas masyarakat miskin di sekitarnya. Karena itu, ia berkesempatan meneruskan sekolah menengahnya di Surabaya. Di sana ia tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto, yang dipanggilnya Pak Tjok, yang usianya 21 tahun di atasnya. Ia tahu, Tjokro adalah salah seorang pejuang nasionalisme, salah satu pendiri dan pemimpin Sarekat Islam. "Pak Tjok adalah pujaanku. Aku muridnya", katanya, meski belakangan ia agak kecewa, karena Tjokro dinilai tidak mampu memberikan kehangatan langsung pribadinya kepada pribadi Soekarno yang masih dalam pencarian. "Tak seorang pun mencintaiku seperti yang kuidamkan". Ia merasa, Pak Tjok hanya mengajarkan tentang "apa dan siapa dia", bukan tentang "apa yang ia ketahui atau tentang apa jadiku kelak". Kekecewaannya semakin bertambah ketika tokoh-tokoh yang datang ke rumah Pak Tjok pun tak mempedulikan Soekarno. "Mahaputera-mahaputera ini mengacuhkanku, karena aku masih kanak-kanak". Karena itu ia memilih mengundurkan diri ke dalam "dunia pemikiran". (Kutipankutipan dari Cindy Adam, Bung Karno...) Usianya baru belasan, ketika ia tenggelam dalam bacaan buku-buku filsafat di perpustakan milik ayahnya, seorang teosof. Aneh, jenis yang digemari adalah jenis buku kerohanian dan "dunia yang lebih kekal". "Aku menyelam sama sekali ke dalam dunia kebatinan ini. Dan aku di sana bertemu dengan orang-orang besar". "Di dalam itulah aku dapat hidup dan sedikit bergembira". file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%2...lisme%20Letih%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 11)4/3/2005 11:05:17 AM
Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih -- Jumat, 1 Juni 2001
Di samping membaca filsafat, ia membaca pikiran-pikiran politik Thomas Jefferson, George Washington, Abraham Lincoln, dan JJ Rousseau. Juga Karl Marx, Frederick Engels, Lenin, Voltaire, Danton. Sejauh mana pikiran tokoh-tokoh itu mempengaruhi pikiranpikirannya, tampak pada periode perkembangan dan kematangannya. Paling tidak, ia mulai menuliskan pemikiranpemikiran dan mempublikasikan melalui media massa. Konon lebih 500 karangannya dimuat dengan nama-nama samaran: Bima, Srihana, Abdurrahman. Mungkin karena kemajuan intelektualnya ini, ia mulai diajak Pak Tjok mengikuti rapat-rapat partai. Surabaya awal abad ke-20 tampaknya merupakan antitesis Jakarta. Secara budaya ia lebih terbuka, memungkinkan berkembangnya pikiran-pikiran kerakyatan, sebagai oposisi budaya priayi yang masih berkembang. Masuk akal, jika Sarekat Islam (SI) yang semula lahir sebagai organisasi pedagang di Surakarta, gairahnya lebih tersedot ke Surabaya. SI lalu berkembang di Surabaya, di tangan Tjokroaminoto yang sangat antidiskriminasi. Soekarno berkembang dari situasi yang sangat dekat dengan sehari-harinya di Surabaya bersama Tjokro. Bukan kebetulan kalau pemikiran kedua orang itu bercorak sosialistis. Tetapi berbeda dengan sosialisme Tjokro yang diinspirasi Islam, Soekarno-mungkin karena bacaan-bacaannya-lebih cenderung ke sosialisme Marxian. Tetapi karena kurang memperoleh pendidikan sistematis mengenai pemikiran "sosialisme", ia kelak tampil menjadi pemikir sosialis eklektik. Akan tetapi soal eklektikisme ini bukan hanya milik Soekarno, tetapi milik hampir semua perintis nasionalisme sebelum perang. Dari sekian orang Indonesia yang mengaku dirinya Marxis, relatif sedikit saja yang benar-benar mempelajari dan mengadopsi dasar filosofis teori Marxis. Hanya sedikit di antara mereka yang sungguh-sungguh pernah berlindung langsung dari tulisan Karl Marx. (Mintz, 7) Tak diragukan, pembentuk utama corak sosialisme dan nasionalisme Soekarno adalah situasi penjajahan itu sendiri. Pahitnya didiskriminasi, kemiskinan rakyat terjajah, itulah yang menggumpalkan sikap-sikapnya yang jelas-jelas memihak rakyat. Marxisme dan sosialisme, mendapat sambutan karena ada penjelasan dan deskripsi tentang kolonialisme. Bagi umumnya nasionalis Indonesia yang memang membaca karya Marx, karakterisasinya tentang kolonialisme Eropa sebagai "suatu perampokan, perbudakan dan pembunuhan terselubung" mendapat perhatian besar, sama seperti definisi Marxis-Leninis tentang imperialisme.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%2...lisme%20Letih%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 11)4/3/2005 11:05:17 AM
Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih -- Jumat, 1 Juni 2001
Pada Soekarno, gagasan marxisme dan sosialisme telah menggumpal di dalam dirinya dalam tiga tema: anti-elitisme, antiimperialisme dan antikolonialisme. Anti-elitisme Soekarno terlihat pada kritiknya yang tajam terhadap ideologi priayi yang masih kental di tubuh Boedi Oetomo. "Para intelektual harus memikirkan nasib rakyat", katanya. Kelak tiga tema pemikirannya, dirumuskan kembali secara cemerlang dalam "Nasionalisme Marhaenistis". Soekarno semakin jelas berpaham nasionalisme primordial. Soedjatmoko menyebutnya nasionalisme Jacobin.
*** SURABAYA menggoreskan bekas yang mendalam, mungkin juga kegalauan di dalam dirinya. Untuk pertama kalinya ia menyaksikan sebuah degup pergerakan kebangsaan, yang digerakkan oleh aliranaliran utama Islam dan komunisme. Pengalaman ini kelak sangat mempengaruhi pemikirannya. Pada periode tahun 1916-1921, Sarekat Islam yang mencapai tahap kematangannya, sangat bersifat inklusif, mewadahi berbagai pandangan politik, dari pan-Islamis konservatif, hingga marxisme radikal. SI pernah membuktikan bahwa gerakan ini mampu mengatasi keanekaragaman isme-isme. Pada saatnya, pemimpin SI, Tjokroaminoto-pria kelahiran Madiun itumampu memobilisasi kesadaran rakyat, yang terdiri kaum miskin yang terjajah, hingga ia dianggap penjelmaan Ratu Adil. Karena sikap pribadinya yang menentang diskriminasi yang dilakukan pemerintah kolonial, ia juga sering disebut "Gatutkoco Sarekat Islam". (Noer, 122) Ia berhasil mengantar SI sebagai partai politik terbesar pertama yang mampu menarik massa ratusan ribu anggota yang penuh semangat. Ketika pada tahun 1921 Soekarno meninggalkan Kota Surabaya yang dijulukinya "dapur nasionalisme" itu, di dalam tubuh SI telah terbelah menjadi dua, setelah sebelumnya terjadi pergumulan yang sangat keras, antara kaum Islam yang dibakar semangat panIslamisme seperti Moeis dan Salim, dengan kaum Marxis yang terobsesi dengan kemenangan Jepang atas Rusia. Semaun adalah salah satunya. Semula tarikan Semaun tampaknya berpengaruh dalam SI. Pada kongres ketiga, tahun 1918 di Surabaya, SI menyepakati "pemogokan buruh yang teratur untuk memperbaiki nasib, mencari keadilan dan melawan perbuatan sewenang-wenang... (dan) akan memajukan ikhtiar kaum buruh buat memperbaiki nasib, mencari keadilan dan melawan perbuatan sewenang-wenang itu". Partai bahkan akan membantu pemogokan-pemogokan itu. Pada kongres tahun berikutnya, ditegaskan lebih rinci mengenai tata cara mogok. file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%2...lisme%20Letih%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 11)4/3/2005 11:05:17 AM
Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih -- Jumat, 1 Juni 2001
Tidak hanya itu, pemimpin-pemimpin Sarekat Islam juga bergabung pada serikat-serikat kerja yang ada untuk memberikan dukungannya. Tjokroaminoto, Moeis, Salim kemudian juga memberikan bantuan dalam kepemimpinan pergerakan buruh. (Noer, 135) Akan tetapi pada bulan Mei 1920, sayap kiri SI membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Komunis Indonesia. Anggota-anggotanya dibiarkan memiliki keanggotaan ganda di PKI dan di SI, dengan tujuan mengontrol SI dari dalam. Sebelum berdirinya PKI, para pemimpin komunis membentuk serikat-serikat kerja di cabangcabang SI. Sehingga PKI mampu membangun pengikut-pengikut yang substansial, terutama lewat serikat-serikat kerja. PKI mengorganisasi kaum buruh untuk melakukan pemogokan, dan menggiring mereka menuju konfrontasi dengan Pemerintah Hindia Belanda. Sementara itu, SI sendiri semakin menekankan watak Islamnya. Di bawah arahan Agus Salim, dalam Kongres SI pada tahun 1921 di Surabaya, SI melarang anggotanya menjadi anggota partai politik lain, sebagai usaha untuk melindungi watak Islamnya. Tjokroaminoto sendiri masih di tahanan ketika kongres berlangsung. Menurut Salim, penetrasi dasar-dasar bukan Islam yang selama ini masuk dalam lingkungan partai, telah melemahkan partai. "(Kita) tidak perlu mencari isme-isme lain yang akan mengobati penyakit pergerakan. Obatnya ada di dalam asasnya sendiri, asas yang lama dan kekal, yang tidak dapat dimubahkan orang, sungguhpun sedunia memusuhi dengan permusuhan. Asas itu ialah Islam". Kebijakan ini membuat SI merosot sebagai suatu kekuatan politik. SI bahkan tidak saja kehilangan sayapnya yang radikal, bahkan sayap kanan Islamis, satu demi satu meninggalkan SI. Organisasi Muslim berdiri bernama Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 di Surabaya, melengkapi Muhammadiyah yang berdiri 15 tahun sebelumnya di Yogyakarta. Tokoh-tokoh kedua organisasi ini, semula pendukung kuat Sarekat Islam. Bandung segera menjadi daya tarik baru bagi Soekarno yang selalu gelisah itu. Ia menamatkan Technische Hoge School (THS) dan dilantik menjadi insinyur pada 25 Mei 1926. Di sini ia bertemu dengan tokoh Islam modernis dari Persatuan Islam, A Hassan. Di sini pula, konon, ia bertemu dengan petani kecil bernama Marhaen yang kelak dijadikan ikon 'ajaran-ajaran' populis-nya. Ia terjun ke dunia politik secara total, pertama dengan ikut mendirikan Algemene Studie Club Bandung, tahun 1926, dan setahun kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%2...lisme%20Letih%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (5 of 11)4/3/2005 11:05:17 AM
Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih -- Jumat, 1 Juni 2001
Pemikiran nasionalisme Soekarno tampak lebih menemukan bentuknya. Menurut Soekarno, "nasionalisme Indonesia merupakan nasionalisme ke-Timur-an, dan sekali-kali bukan nasionalisme keBarat-an", bahwa istilah itu tidak ada hubungannya dengan chauvinisme ataupun dengan "nasionalisme yang serang menyerang". Mengenai marhaeinisme nasionalistis, Soekarno mengatakan "banyak di antara kaum nasionalis Indonesia yang berangan-angan: "Jempol sekali jikalau negeri kita bisa seperti negeri Jepang atau negeri Amerika atau negeri Inggris! Armadanya ditakuti dunia, kotanya haibat-haibat, bank-banknya meliputi dunia, benderanya kelihatan di mana-mana! ... Kaum nasionalis yang demikian itu lupa, bahwa barang-barang yang haibat itu adalah hasil kapitalisme, dan bahwa kaum Marhaen di negeri ini adalah tertindas... Mereka hanyalah ingin Indonesia-Merdeka sahaja sebagai maksud yang penghabisan". (Di Bawah Bendera Revolusi) Pergulatannya yang tak selalu manis dengan isme-isme, tak membuatnya kehilangan optimismenya untuk mempersatukan gerakan-gerakan kebangsaan. Perpecahan dalam tubuh SI mungkin membuatnya berpikir keras untuk mencari jalan mempersatukan dua ideologi yang saling bertentangan itu. Pada Majalah Indonesia Muda edisi pertama, kedua dan ketiga, yang diterbitkan ASC, Soekarno menulis Nasionalisme, Islam dan Marxisme, suatu uraian yang paling jelas tentang pokok-pokok pikiran Soekarno, bahwa gerakangerakan Islam, Marxis dan Nasionalis di Indonesia berasal dari suatu dasar yang sama, yaitu hasrat kebangsaan untuk melawan kapitalisme dan imperialisme. Soekarno, jelas sekali mengimbau tiga kekuatan ideologi politik itu harus bersatu dalam menghadapi musuh bersama. Mungkin saja merupakan suatu kebetulan, tulisan Soekarno itu terbit bersamaan dengan aksi faksi revolusioner dalam PKI yang melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial di Jawa Barat, pada November 1926. Eksperimen pemberontakan yang tampaknya tidak direncanakan dengan baik itu, berakhir menjadi petaka bagi PKI. Untuk pertama kalinya, PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Pemimpin-pemimpinnya ditangkap dan ribuan anggotanya dipenjarakan atau dibuang ke Digul. Mungkin saja, Soekarno tahu PKI ternyata tidak memiliki organisasi dan kekuatan yang cukup untuk melaksanakan rencananya secara baik. Tetapi, sejauh ini ia tak bereaksi negatif atas peristiwa ini. Sikap Soekarno ini sama dengan sikap Hatta, yang memimpin Perhimpunan Indonesia di Belanda, juga tidak bereaksi negatif atas radikalisme PKI itu. Bahkan Hatta marah, ketika alumni PI di Bandung-yang merancang membuat partai baru-menolak orang PKI
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%2...lisme%20Letih%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (6 of 11)4/3/2005 11:05:17 AM
Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih -- Jumat, 1 Juni 2001
untuk menjadi anggotanya, dengan alasan Pemerintah Belanda sedang melancarkan tekanan-tekanan keras kepada PKI. Ada kemungkinan, tekanan itu juga akan dilancarkan kepada organisasiorganisasi yang menerima PKI sebagai anggota. Pada 2 Juni 1926, Hatta menulis surat kepada Sudjadi, "Kami yang ada di sini (di Belanda) ... sedang berusaha membentuk suatu blok nasionalis yang berintikan kaum nasionalis radikal yang kuat, termasuk orang komunis. Kerja sama dengan orang komunis tidak ada bahayanya; malahan sebaliknya, asal kita tidak melengahkan dasar-dasar ideologi kita sendiri, akan bertambah kuat membentuk blok nasionalis". (Ingleson, 17) Bagi Hatta, kerja sama itu mudah karena kaum komunis mempunyai tujuan yang sama, yakni Kemerdekaan Indonesia. "Saya melihat, bahwa orang komunis Indonesia sebenarnya orang nasionalis yang tersembunyi", tulis Hatta. Sejauh mereka mengikuti pola perjuangan kelas seperti teman-temannya di Eropa, maka, kata Hatta, mereka sama dengan kita. "Apakah mereka kelak akan tetap menjadi komunis setelah kemerdekaan nanti, marilah kita tunggu". (Ibid, 18)
*** SEPERTI umumnya pemimpin revolusi sezamannya, Soekarno mengorganisasikan pikirannya dengan lebih dahulu belajar "menamai" dunianya. Bagi Soekarno sama sekali bukan imajiner, ketika ia menamai dunianya dengan 'Indonesia', sebagai kulminasi terbaik yang diangan-angankan oleh orang mengenai Tanah Air selama masa kolonial. Ia mengenal lebih dari batas-batas tanah kelahirannya, Jawa. Ia bertemu dengan kaum muda dari Sumatera, Minahasa, Makassar. Apalagi ia pernah mengalami pembuangan di Bangka, dan Ende. Pasti pula ia mendengar cerita mengenai Digoel, tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir. Begitu pula, ketika ia menamai gagasannya dengan Marhaenisme, yang, katanya, marxisme yang dipraktikkan di Indonesia. Bentuk 'terapan' marxisme ini adalah program yang kandungannya ingin diwujudkan melalui koalisi faksi nasionalis, agama dan komunis. Ia memastikan posisinya dalam tiga kekuatan itu, dengan segala pertaruhannya. Akan banyak harimau mati karena belangnya. Dan Soekarno mati karena gagasannya. Era pascakolonial, Soekarno tetap berpegang pada gagasan yang dikembangkan di Bandung, yang ingin mempersatukan isme-isme besar: nasionalisme, Islam, dan komunisme. Untuk yang kedua kalinya, ia menyaksikan Partai Komunis Indonesia yang dituduh melawan pemerintah, pemimpinpemimpinnya ditangkap dan ribuan anggotanya dipenjarakan, dibunuh atau dibuang. Soekarno di-impeach karena dianggap tidak file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%2...lisme%20Letih%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (7 of 11)4/3/2005 11:05:17 AM
Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih -- Jumat, 1 Juni 2001
bisa mempertanggungjawabkan gagasannya. Sejak semula, Soekarno menggagas nasionalisme yang primordialistis. Ia mengidentifikasi Indonesia-nya sebagai keniscayaan dari proses historis yang panjang. "Indonesia" bukan identitas yang baru. Kolonialisme-lah yang mengubur identitas itu. Nasionalisme mengemban tugas mengartikulasikan identitas itu kembali. Corak pemikiran itu kurang menyadari ancaman tersembunyi dari watak yang melekat pada "negara", betapapun negara itu dianggap antitesis negara kolonial. Perjalanan Soekarno selanjutnya diwarnai kegamangannya melihat rumitnya kenyataan negara yang impersonal, tanpa hati, dan begitu mudahnya menjadi alat kaum elite memaksakan kepentingan ekonomi-politiknya. Soekarno, karena lebih berpikir mengenai "bangsa" (nation building) ketimbang soal state. Padahal guru Marx wanti-wanti sejak lama soal yang satu ini. Maka, begitu proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, negara baru lahir, Soekarno yang didaulat menjadi presidennya, terhenyak dari dua sisi. Pada sisi pertama, ia melihat Belanda sama sekali tidak mau kehilangan bekas jajahan mereka begitu saja. Dengan segala upaya, ia menguasai kembali kota-kota utama, dan berusaha memecah-belah perlawanan dengan membentuk negara-negara kecil, suatu negara federal terdiri dari enam negara dan sembilan daerah istimewa. Tidak hanya itu, Belanda pun masih menguasai ekonomi Indonesia hingga tahun 1954. Sembilan puluh persen modal yang ditanam dalam usaha perkebunan adalah modal Belanda. Di tengah situasi itu, Soekarno mendapatkan kenyataan pahit lain. Kawan-kawannya sesama perintis pembebasan, membangkitkan pemberontakan-pemberontakan lokal dengan menolak tunduk kepada pemerintah pusat. Kartosuwiryo mendirikan negara Islam "Darul Islam", Kahar Muzakkar mengupayakan hal yang sama di tanah Bugis, Daud Beureuh memimpin gerakan otonomi, juga mengikuti Kartosuwiryo. Himpitan-himpitan itu membuat Soekarno secara internasional berada di kubu "anti-imperialis". Ia mengundang negara-negara AsiaAfrika menyelenggarakan konferensi besar di Bandung (1955). Di dalam negeri, ia mengubah politiknya tampak secara drastis hanya mengandalkan dukungan unsur-unsur radikal, menghapus sistem parlementer dan terutama menasionalisasi sebagian besar kekayaan asing. Ia, terutama, melihat kelompok militer-yang tak pernah ia perhitungkan-mengingini sistem politik yang lebih pro-Barat. Sistem pemerintahan yang baru itu menempatkan dirinya sebagai pusat file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%2...lisme%20Letih%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (8 of 11)4/3/2005 11:05:17 AM
Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih -- Jumat, 1 Juni 2001
kekuasaan. Dan sejarah berikutnya menyaksikan pertarungan antara Soekarno yang nasionalistik dan militer yang pro-Barat. Pertarungan dimenangkan militer. Ketika seratus tahun yang lalu, sedikit anak bangsa menggeliat menggagas identitas nasional mereka, mungkin tak terbayangkan krisis demi krisis akan menimpa bangsa ini. Justru ketika kemerdekaan politik diraih. Hak menentukan nasib sendiri terpenuhi. Bentang Tanah Air "bak untaian zamrud" telah bersatu di bawah satuan administrasi bernama Republik Indonesia. Lengkap dengan Merah Putih, burung garuda dan lagu kebangsaan yang penuh semangat. Apa lagi yang tersisa dari 'imajinasi' para perintis nasionalisme di awal abad yang lalu? Tepat di sini kita memperingati 100 tahun hari jadi Soekarno, salah seorang penggagas nasionalisme, sekaligus yang 'ditakdirkan' menjadi pelaksana gagasan-gagasannya sendiri. Akan tetapi, kini kita menyaksikan sebuah bangsa yang letih. Orang ragu pada penyelesaian krisis, karena sejarah pertarungan politik saat ini ternyata masih berputar pada sumbu yang sama. * M Imam Aziz Sekarang dosen di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.Bahan Bacaan:Abdullah, Taufik, et. al. Manusia dalam Kemelut Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1988) Adam, Cindy, Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat, terjemahan (Jakarta: Gunung Agung, tt.) Aziz, M. Imam dan Iip Zulkifli Yahya, Soekarno-Islam Pertemuan Marhaen dan Santri, Majalah Basis, Maret-April 2001. Hobsbauwm, E.J., Nasionalisme Menjelang Abad XXI (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992 Ingleson, John, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934 (Jakarta: LP3ES, 1988) Mintz, Jeanne S., Mohammed, Marx and Marhaen, the Roots of Indonesian Socialism (New York: Frederik A Praeger Publisher) Muljana, Slamet. Prof Dr, Kesadaran Nasional (Jakarta: Yayasan Idayu, 1966) Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996) file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%2...lisme%20Letih%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (9 of 11)4/3/2005 11:05:17 AM
Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih -- Jumat, 1 Juni 2001
Pringgodigdo, A.K, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat, 1986) Soedjatmoko, Etika Pembebasan, (Jakarta: LP3ES, 1996) Sukarno, Indonesia Menggugat Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
●
● ●
● ● ● ● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda Tjipto-Soetatmo-Soekarno Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan Ziarah Kubur Bung Karno Soekarno di Masa Krisis PDRI Dunia MenurutSang Putra Fajar Bung Karno di Bawah Bendera Jepang Bung Karno, Seni, dan Saya
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%2...lisme%20Letih%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (10 of 11)4/3/2005 11:05:17 AM
Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Vedi R Hadiz DENGAN Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante yang bertugas merancang UUD baru bagi Indonesia, serta memulai periode yang dalam sejarah politik kita disebut sebagai "Demokrasi Terpimpin". Peristiwa ini sangat penting, bukan saja karena menandai berakhirnya eksperimen bangsa Indonesia dengan sistem demokrasi yang liberal, tetapi juga tindakan Soekarno tersebut memberikan landasan awal bagi sistem politik yang justru kemudian dibangun dan dikembangkan pada masa Orde Baru. Tapi bukankah Soekarno amat berbeda dari Soeharto, pendiri Orde Baru yang menggantikannya lewat serangkaian manuver politik sejak tahun 1965 yang hingga kini masih banyak diselimuti misteri?Tentu banyak perbedaan antara Soekarno dan Soeharto yang amat gamblang. Presiden pertama RI dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat. Presiden kedua RI sama sekali bukan orator, jauh lebih tertutup, serta dikenal sebagai orang yang-meskipun pemerintahannya penuh dengan kasus kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN)-memimpin proses bergabung kembalinya Indonesia dengan sistem kapitalisme internasional, setelah sempat hendak diputus oleh pendahulunya. Ia juga terkesan curiga dengan kekuatan rakyat: kebijaksanaan "massa mengambang" Orde Baru didasari premis bahwa rakyat harus dipisahkan dari politik. Namun, di balik kesan kuat adanya keterputusan antara "Orde Lama" dan "Orde Baru", terdapat pula beberapa kontinuitas yang cukup penting. Pertama, dua-duanya sangat anti terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan disintegrasi teritorial Indonesia, duaduanya dapat dikatakan sangat "nasionalis" dalam hal itu. Dengan demikian, baik Soekarno maupun Soeharto amat mementingkan file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%...20Orde%20Lama,%20dan%20Orde%20Baru%20--%20Ju.htm (1 of 10)4/3/2005 11:05:19 AM
Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru -- Jumat, 1 Juni 2001
retorika "persatuan" dan "kesatuan". Bahkan, sejak 1956, Soekarno sudah menuduh partai politik di Indonesia pada waktu itu sebagai biang keladi terpecah-belahnya bangsa, dan sempat mengajak rakyat untuk "mengubur" partai-partai tersebut dalam sebuah pidato yang amat terkenal. Dengan mengubur partai politik, Soekarno menganggap bahwa bangsa Indonesia dapat kembali kepada "rel" revolusi yang sejati dengan semangat persatuan. Soeharto bahkan dikenal lebih antipartai politik, dengan merekayasa sebuah sistem yang pada dasarnya didominasi oleh satu "partai negara", yakni Golkar, dan dua partai "pajangan". Sebenarnya, didirikannya satu "partai negara" atau "pelopor" adalah ide yang juga lama digandrungi oleh Soekarno, walau keinginannya tidak pernah menjadi kenyataan di masa kekuasaannya.
*** SEPERTI Soekarno, Soeharto juga beranggapan bahwa sistem politik yang didukungnya adalah yang paling "cocok" dengan "kepribadian" dan "budaya" khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, keduanya mengecam "individualisme" yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antar-partai. Pada akhirnya, tidaklah terlalu sulit untuk menemukan banyak kontinuitas antara "Demokrasi Terpimpin"-nya Soekarno dan "Demokrasi Pancasila"-nya Soeharto, dengan perbedaan bahwa Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, sedangkan Soeharto justru sebaliknya. Perbedaan kedua adalah simpati Soekarno pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensi, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah. Soeharto sendiri menjalankan pembangunan bercorak kapitalis, termasuk dengan merangkul kekuatan-kekuatan kapitalisme terdepan di dunia, dan justru telah menutup arena politik untuk kekuatan komunisme. Tapi dua-duanya, dengan caranya masing-masing, mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Dua-duanya mementingkan "persatuan"-yang satu demi "revolusi" dan yang lainnya demi "pembangunan". Boleh dikatakan bahwa Orde Lama serta Demokrasi Terpimpin telah pave the way, membuka jalan, bagi Orde Baru dan "Demokrasi Pancasila" versi Soeharto. Tidak mengherankan bahwa Soekarno telah mengawali Demokrasi Terpimpinnya dengan kembali pada Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan Soeharto, di masa file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%...20Orde%20Lama,%20dan%20Orde%20Baru%20--%20Ju.htm (2 of 10)4/3/2005 11:05:19 AM
Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru -- Jumat, 1 Juni 2001
kekuasaannya, selalu bersikeras tentang sifat "sakral" konstitusi, yang tidak boleh diamandemen. Sikap menomorsatukan UUD 1945 bukanlah hanya mencerminkan masalah ideologis atau filosofis yang abstrak, tetapi masalah kekuasaan yang konkret. Baik Soekarno maupun Soeharto amat mengerti bahwa UUD '45 memusatkan kekuasaan pada lembaga kepresidenan, suatu hal yang hari ini justru menjadi masalah dengan adanya tarik-menarik antara Presiden dan DPR. Hal yang menarik adalah justru pada tahun 1945 Soekarno pernah berucap bahwa konstitusi itu hanya bersifat sementara. Sebab, UUD '45 diciptakan dalam keadaan darurat, jadi sama sekali bukan sesuatu yang "suci", sebagaimana diklaim oleh Soeharto, dan beberapa aktor politik lebih kontemporer. Dalam pengamatan yang lebih seksama, ternyata ada banyak sekali "utang" Orde Baru pada Orde Lama. Untuk menjelaskan hal ini, mungkin ada baiknya kita kembali dulu kepada latar belakang pembubaran Konstituante oleh Soekarno serta kembalinya Indonesia kepada UUD 1945. Dalam versi sejarah yang dibaca di sekolah, tahun 1950-an di Indonesia ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer yang berlaku pada waktu itu. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Toh Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI-kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai ini adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah yang kita baca di sekolah akan menekankan pula bahwa integritas nasional terusmenerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya. Bahwa kabinet sering jatuh bangun pada waktu itu adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Bahwa beberapa gerakan separatis muncul sepanjang tahun 1950-an juga adalah kenyataan, bahkan Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah. Lebih jauh lagi, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarutlarut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%...20Orde%20Lama,%20dan%20Orde%20Baru%20--%20Ju.htm (3 of 10)4/3/2005 11:05:19 AM
Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru -- Jumat, 1 Juni 2001
Seperti diketahui, salah satu aspek yang penting dari Demokrasi Terpimpin adalah berpusatnya kekuasaan di tangan eksekutif (presiden) dan berkurangnya kekuasaan lembaga legislatif, atau DPR. Hal ini telah difasilitasi dengan kembalinya Indonesia kepada UUD '45. Bahkan, bentuk parlemen pun diubah dengan dicanangkannya suatu lembaga yang pada dasarnya memberikan tempat yang lebih besar untuk golongan-golongan "fungsional" dalam masyarakat, yang kemudian dikenal sebagai golongan "karya". Pada saat yang sama, tempat partai di dalam parlemen juga dibatasi-sebab menurut Soekarno-politisi partai hanya mewakili kepentingan partainya, dan yang diperlukan adalah individu-individu yang dapat mewakili kepentingan "rakyat" atau yang depat menyuarakan "kepentingan nasional" yang sebenarnya. Di masa Orde Baru, dengan sistem kekuasaan yang jauh lebih terpusat dibandingkan pada masa Soekarno, hal ini kemudian menjadi masalah yang amat besar. Negara-dalam hal ini hampir tidak bisa dibedakan dari Soeharto, keluarga, sekutu serta kroninyamengambil-alih seluruh hak untuk mendefinisikan "kepentingan nasional" tersebut. Akibatnya, kepentingan nasional menjadi identik dengan kepentingan segelintir penguasa politik dan ekonomi, dan segala unsur dalam masyarakat yang menentangnya dinyatakan sebagai pengkhianat. Bahkan "oposisi" menjadi kata yang kotor. Mungkin terjadinya hal seperti itu akan sukar dibayangkan oleh Soekarno sendiri, meskipun ia senang memandang dirinya sebagai "penyambung lidah rakyat" berada "di atas" konflik-konflik kepentingan yang sempit.
*** ADALAH penting juga untuk dicatat bahwa salah satu kekuatan pendukung utama upaya Soekarno untuk memberlakukan Demokrasi Terpimpin adalah Angkatan Darat. Mengapa Angkatan Darat mendukung upaya Soekarno? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Ada persamaan nasib antara Soekarno dan tentara di dalam sistem demokrasi liberal yang mementingkan peranan partai dan parlemen, yakni keduanya tidak mempunyai akses yang langsung terhadap jalannya roda pemerintahan. Dengan kata lain, di luar jatuh bangunnya kabinet dalam sistem liberal tahun 1950-an serta pemberontakan-pemberontakan di daerah, baik Soekarno dan Angkatan Darat mempunyai kepentingan nyata untuk membangun suatu sistem politik baru yang memberikan mereka kekuasaan yang lebih langsung. Bisa dikatakan Soekarno tidak puas sebagai presiden yang hanya bersifat figure-head, sedangkan Angkatan Darat telah berkembang menjadi kekuatan yang juga tidak puas dalam peranan hanya sebagai penjaga file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%...20Orde%20Lama,%20dan%20Orde%20Baru%20--%20Ju.htm (4 of 10)4/3/2005 11:05:19 AM
Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru -- Jumat, 1 Juni 2001
pertahanan dan keamanan belaka. Pembahasan terhadap kepentingan-kepentingan konkret seperti ini tidak lazim ditemukan dalam pelajaran sejarah di sekolah pada tahun 1950-an. Perlu diingat pula bahwa, untuk sebagian, penaklukan terhadap pemberontakan daerah telah menghasilkan suatu pimpinan Angkatan Darat yang jauh lebih bersatu dibandingkan sebelumnya. Jenderal Abdul Haris Nasution telah tampil sebagai pimpinan yang mampu untuk meredam tantangan yang diajukan oleh komandankomandan lokal yang memberontak karena tidak senang dengan dominasi Jakarta/Jawa. Di samping itu, kondisi darurat yang dicanangkan untuk menghadapi pemberontakan daerah telah menempatkan banyak perwira militer sebagai administrator roda pemerintahan. Lebih jauh lagi, nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di tahun 1957-yang sebenarnya dipelopori oleh serikat buruhtelah menempatkan banyak perwira militer di pucuk pimpinan perusahaan-perusahaan negara yang terbesar. Di antaranya adalah Ibnu Sutowo yang kemudian mengembangkan Pertamina. Dengan posisi politik dan ekonomi yang kuat seperti ini, tampaknya militer tergiur untuk mempunyai peranan yang langsung di dalam sistem politik. "Demokrasi Terpimpin"-nya Soekarno memberikan peluang. Di antara golongan "fungsional" atau "karya" yang boleh duduk dalam parlemen adalah tentara. Dalam konteks ini, kita perlu mengingat pula bahwa Jenderal Nasution telah mengajukan apa yang disebut sebagai "jalan tengah" untuk militer Indonesia. Dalam konsepsi ini, militer Indonesia tidak akan bersifat intervensionis-dan terlibat dalam kudeta demi kudetasebagaimana di Amerika Latin, namun juga tidak akan tinggal diam sebagai penonton arena politik, sebagaimana di negeri-negeri Barat. Walaupun sering dikatakan bahwa maksud awal Nasution telah dipelesetkan oleh Soeharto, dalam ide ini kita melihat cikal-bakal dari "dwifungsi" ABRI yang dipraktikkan Orde Baru. Jadi, bila Soekarno telah memberikan dasar dari konsepsi sistem politik yang akan dikembangkan dalam versi yang lebih birokratis, otoriter dan ekslusioner pada masa Orde Baru, Nasution telah memberikan landasan awal bagi peranan militer di dalamnya. Nasution pulalah yang pertama mengusulkan bahwa hak pilih tentara dan polisi dicabut dan diganti oleh hak otomatis memperoleh perwakilan di badan legislatif. Oleh karena itu, Orde Baru dapat dipandang sampai tingkat tertentu sebagai hasil yang tidak disengaja (unintended consequence) dari manuver-manuver politik Soekarno dan Nasution di tahun 1950-an. Bisa dikatakan bahwa Soeharto tidak mungkin "ada" secara politik tanpa manuver kedua pendahulunya itu, masing-masing sebagai pimpinan negara dan
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%...20Orde%20Lama,%20dan%20Orde%20Baru%20--%20Ju.htm (5 of 10)4/3/2005 11:05:19 AM
Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru -- Jumat, 1 Juni 2001
tentara. Tentunya, Soekarno dan Nasution pada waktu itu berada dalam situasi yang ditandai oleh keharusan untuk bernegosiasi dan bekerja sama, tetapi juga tidak jarang oleh konflik. Khususnya, militer amat tidak senang dengan upaya Soekarno untuk mengikutsertakan PKI dalam pemerintahan, sedangkan Soekarno semakin mengandalkan PKI sebagai satu-satunya kekuatan politik di awal tahun 1960-an yang dapat mengimbangi Angkatan Darat. Dalam pikiran Soekarno, PKI adalah bagian tak terpisahkan dari "front" nasional menentang imperialisme dan untuk memajukan revolusi nasional. Ternyata-walaupun cukup "sukses" dalam pemilu nasional dan lokal sebelumnya-PKI mampu beradaptasi dengan lingkungan politik baru setelah berakhirnya masa demokrasi parlementer, seperti juga PNI dan NU (dua elemen lain dari Nasakom-nya Soekarno). Konflik militer-PKI sendiri setidaknya sudah berawal pada peristiwa Madiun, dan diperburuk sejak tentara semakin aktif mengembangkan ormas untuk melawan dominasi PKI terutama di bidang organisasi buruh dan tani. Apalagi tentara sejak 1957 berhadapan langung dengan SOBSI-serikat buruh yang dekat dengan PKI-di perusahaan nasional yang dikelola militer. Sebagaimana diketahui, konflik militer dan PKI itu akhirnya berkulminasi dengan peristiwa 1965 yang hingga kini masih misterius, dan naiknya Jenderal Soeharto ke pucuk pimpinan negara. Adalah dalam konteks konflik militer dengan PKI ini jugalah lahir "bayi" yang kemudian menjadi entitas politik bernama Golkar. Setelah Soekarno memperjuangkan konsep perwakilan politik berdasarkan "fungsi" dalam masyarakat, ideolog militer macam Jenderal Soehardiman juga mengembangkan konsep "karyawan" di bidang perburuhan dengan mendirikan SOKSI (terutama berbasis pada perusahaan negara yang dikuasai militer). Akhirnya, Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar) didirikan oleh tentara untuk menghimpun kekuatan-kekuatan keormasan dan politik yang berseberangan dengan kekuatan komunis. Pada dasarnya, militerlah yang kemudian menjadi ahli waris langsung dari konsep golongan karya yang awalnya diperjuangkan oleh Soekarno, walau dalam versi tentara, konsep ini bermutasi menjadi lebih anti-partai, dan bercorak anti-komunis. Dalam perjalanan sejarah, Golkar dikembangkan di masa Soeharto sebagai salah satu pilar utama Orde Baru, yakni sebagai wadah untuk melegitimasikan kekuasaan lewat sejumlah pemilu yang jauh dari prinsip bebas dan bersih. file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%...20Orde%20Lama,%20dan%20Orde%20Baru%20--%20Ju.htm (6 of 10)4/3/2005 11:05:19 AM
Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru -- Jumat, 1 Juni 2001
*** ADALAH menarik bahwa pada masa awal Orde Baru, terjadi pula perdebatan di antara para pendukungnya sendiri (ketika itu, termasuk para intelektual dan mahasiswa) tentang peranan partai politik yang wajar di Indonesia. Intelektual macam Mochtar Lubis pun menulis di koran Indonesia Raya tentang perlunya lapangan politik dibersihkan dari partai politik yang identik dengan Orde Lama, yang katanya menghambat pembangunan. Tentu dia tidak sendiri, karena pandangan ini dikumandangkan juga oleh banyak intelektual laintermasuk yang kemudian menjadi lawan Soeharto yang gigih dan tokoh gerakan demokrasi-serta sejumlah jenderal. Perdebatan di antara para pendiri atau pendukung Orde Baru berkisar sejauh dan secepat manakah partai politik perlu di-'kubur'. Dalam hal-hal macam ini pulalah kita bisa melihat satu lagi "utang" Orde Baru-nya Soeharto pada "Orde Lama"-nya Soekarno. Seperti diketahui, setelah proses perdebatan dan intrik yang panjang, akhirnya semua partai "sisa" Orde Lama memang difusikan menjadi Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia di tahun 1973, disertai oleh Golkar, partainya golongan karya. Salah satu tokoh yang paling penting dalam proses perekayasaan sistem politik Orde Baru adalah Jenderal Ali Moertopo. Peranannya menonjol baik sebagai ideolog maupun sebagai operator politik utama Soeharto di awal Orde Baru (dengan Aspri dan Opsus-nya). Jenderal Moertopo menerbitkan beberapa karya yang amat gamblang menggambarkan dasar-dasar pemikiran, blueprint, politik Orde Baru. Moertopo bukan seorang Soekarnois, tapi saya kira ada beberapa aspek dari pemikirannya-yang meskipun mungkin "dipinjam" dari tempat lain- "bertemu" secara tidak langsung dengan ide-ide yang sempat diperjuangkan oleh Soekarno di tahun 1950-an. Salah satu "pertemuan" itu adalah dalam penempatan "negara" sebagai suatu entitas yang diidealisasikan berada di atas konflik dan perbedaan dalam masyarakat. Dalam pidato kenegaraan di tahun 1956, Soekarno menyatakan bahwa negara atau bangsa adalah suatu organisme yang tidak bisa dipilah-pilah, sedangkan strategi politik Moertopo dicurahkan terutama untuk menjamin bahwa tidak ada kekuatan dalam masyarakat yang mampu untuk menentang kemauan negara sebagai pengejewantahan dari kepentingan bersama. Menurut David Bourchier (seorang pengamat politik Indonesia berasal dari Australia), pemikiran Moertopo banyak dipengaruhi oleh pemikiran Gereja Katolik Eropa awal abad ke-20, yang juga file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%...20Orde%20Lama,%20dan%20Orde%20Baru%20--%20Ju.htm (7 of 10)4/3/2005 11:05:19 AM
Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru -- Jumat, 1 Juni 2001
mengajukan konsep adanya pertalian yang erat, hubungan organik, antara negara dan masyarakat. Pemikiran ini aslinya dikembangkan di Eropa sebagai respons terhadap bahaya "fragmentasi" masyarakat yang disebabkan oleh kemunculan politik perjuangan kelas yang dimotori oleh kaum sosialis. Menurut Bourchier, Moertopo mungkin memperoleh gagasan ini dari intelektual Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang sempat menjadi dapur pemikirannya. Seperti dikemukakan sebelumnya, Soekarno pun mengkhawatirkan proses fragmentasi di Indonesia, walaupun lebih menurut aliran politik atau sentimen kedaerahan. Di masa Orde Baru, ketakutan akan fragmentasi-atas dasar kelas, agama, atau hal laindigabungkan dengan praktik-praktik politik represif yang membungkam bukan hanya partai, tetapi semua suara oposisi dengan dalih ancaman terhadap persatuan nasional dan sebagainya. Bahkan, protes daerah-daerah tertentu mengenai berbagai kebijakan pemerintah pusat dijawab dengan pengiriman tentara demi menjamin lestarinya persatuan nasional. Sekali lagi, tentu ada perbedaan-perbedaan yang penting antara "visi" Orde Baru dan visi "Demokrasi Terpimpinnya Soekarno". Setidak-tidaknya retorika Orde Baru di masa awal dibumbui dengan jargon-jargon teori modernisasi yang dipinjam dari kepustakaan ilmu sosial Barat, seperti karya Samuel Huntington yang tersohor, Political Order in Changing Societies. Ironisnya, hal ini terjadi meskipun sistem politik yang hendak dibangun di Indonesia adalah yang diklaim bercorak kepribadian nasional yang khas. Sebaliknya, retorika Soekarno seperti biasa dibumbui oleh jargon-jargon revolusioner yang cenderung romantis dan yang menekankan bersatunya pemimpin dengan rakyat.
*** TULISAN ini telah memusatkan perhatian pada beberapa kontinuitasmungkin terasa agak ironis-antara Orla dan Orba, meskipun ada banyak perbedaan di tingkat permukaan. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan betapa relevannya pemikiran dan tindakan Soekarno pada masa yang jauh melampaui kurun waktu kehidupannya sendiriwalaupun dalam bentuk unintended consequence-yakni berdiri, berkembang, dan bercokolnya Orde Baru. Pada dasarnya, kontinuitas adalah tema yang masih amat relevan dibicarakan di Indonesia, bahkan dewasa ini karena masih eratnya kaitan antara aktor-aktor politik di masa reformasi ini dengan berbagai kepentingan yang menonjol di masa Orde Baru. Bedanya, kepentingan-kepentingan ini bukan lagi dilindungi oleh negara yang file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%...20Orde%20Lama,%20dan%20Orde%20Baru%20--%20Ju.htm (8 of 10)4/3/2005 11:05:19 AM
Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru -- Jumat, 1 Juni 2001
otoriter tetapi justru oleh partai-partai yang tumbuh relatif bebas dalam alam demokratisasi. Seperti di tahun 1950-an dan 1960-an, perilaku partai politik yang dianggap mementingkan diri sendiri juga telah menyebabkan banyak orang menjadi sinis terhadapnya. Apakah sejarah akan berulang dan partai politik kembali dicap sebagai biang keladi fragmentasi bangsa, sebagaimana pernah dituduhkan Soekarno? Mudah-mudahan saja solusi politik yang akhirnya ditemukan oleh bangsa Indonesia akan sangat berbeda dari solusi yang pernah muncul sebelumnya. Mudah-mudahan sejarah tidak berulang dengan naiknya tentara sebagai panglima politik, dan bercokolnya rezim yang otoriter untuk waktu yang lama. * Dr Vedi R Hadiz Staf pengajar pada Departemen Sosiologi Universitas Nasional Singapura.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
●
●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno Muda Tjipto-Soetatmo-Soekarno
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Soekarno,%...20Orde%20Lama,%20dan%20Orde%20Baru%20--%20Ju.htm (9 of 10)4/3/2005 11:05:19 AM
Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Tantangan dan Kebijakan Ekonomi Indonesia Selama Masa Awal Kemerdekaan Thee Kian Wie PADA tanggal 2 Januari 1950, HM Hirschfeld, Komisaris Tinggi (kepala perwakilan) Belanda pertama di Indonesia Dok Kompas merdeka, telah diterima dengan penghormatan penuh oleh Presiden Soekarno, karena di antara para kepala perwakilan negara asing yang diakreditasi di Indonesia, Hirschfeld diberikan kehormatan untuk menyerahkan surat kepercayaan pertama kepada Presiden Soekarno. Tempat terkemuka yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada Belanda juga tercermin pada nomor pelat yang diberikan kepada kendaraan mobil yang ditumpanginya, yaitu CD-1. (Meier 1994: 13) Akan tetapi, hanya sepuluh tahun sesudah peristiwa tersebut, tanggal 17 Agustus 1960, J van Vixseboxse, kuasa usaha baru Belanda yang baru saja tiba di Indonesia tanggal 5 Agustus 1960, diminta untuk datang pagi hari ke Departemen Luar Negeri. Di sana Vixseboxse diberitahu oleh Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri bahwa ia tidak perlu menyerahkan surat kepercayaannya kepada Presiden Soekarno. Sebab, Presiden Soekarno dalam pidato tahunannya yang akan diucapkan siang itu di Istana Merdeka akan mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan negeri Belanda karena file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tantangan%...Ekonomi%20IndonesiaSelama%20Masa%20Awal%20Ke.htm (1 of 13)4/3/2005 11:05:20 AM
Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan -- Jumat, 1 Juni 2001
"tindakan agresif Belanda mengenai Irian Barat". Yang dimaksud Presiden Soekarno dengan "tindakan agresif Belanda" adalah pengiriman kapal induk Karel Doorman oleh Pemerintah Belanda untuk memperkuat pertahanan Irian Barat. (Meier 1994: 607) Kedua peristiwa di atas menunjukkan bahwa pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1947 (atau "penyerahan kedaulatan kepada Indonesia" menurut tafsiran Belanda) tidak berhasil membawa perbaikan yang berarti dalam hubungan antara negara bekas penjajah dan bekas jajahannya, malahan terus merosot dalam tahun-tahun berikutnya. Hal ini disebabkan pada dasarnya proses dekolonisasi Indonesia belum dapat diselesaikan dengan tuntas dalam Konferensi Meja Bundar antara Belanda dan Indonesia yang diadakan di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-2 November 1949 untuk merundingkan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Dengan kata lain, kemerdekaan politik Indonesia belum berhasil memutuskan segala ikatan historis dengan Belanda, baik dalam arti politis dan ekonomi, dan mungkin juga dalam arti budaya dan psikologi. Dalam arti politis, kemerdekaan Indonesia belum dianggap tuntas karena dalam Konferensi Meja Bundar Belanda tidak bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia, yang menurut Belanda, sebenarnya bukan termasuk wilayah Indonesia. (Houben 1996: 17475) Dihadapi dengan jalan buntu, Indonesia dan Belanda sepakat bahwa status quo Irian Barat untuk sementara dipertahankan, tetapi juga bahwa dalam waktu satu tahun status daerah ini akan ditentukan lebih lanjut melalui perundingan. (Legge 1973: 238) Akan tetapi, dalam perundingan berikutnya Belanda tetap enggan untuk menyerahkan Irian Barat. Oleh karena hal ini Soekarno berpendapat bahwa revolusi nasional belum selesai dan perlu diteruskan sampai Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia. Dalam tahun-tahun berikutnya, Presiden Soekarno tak henti-hentinya menekankan bahwa perjuangan untuk merebut kembali Irian Barat adalah prioritas utama dalam kebijakan nasional Pemerintah Indonesia. Meskipun pemimpin-pemimpin nasional lainnya setuju bahwa Irian Barat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia, beberapa di antara mereka berpendapat bahwa sebaiknya konflik dengan Belanda tentang Irian Barat dibahas secara tidak mencolok melalui saluran diplomatik biasa, karena Indonesia pada waktu itu menghadapi berbagai masalah lainnya, termasuk masalah ekonomi, yang perlu segera ditanggulangi. (Legge 1973: 248) Dalam tahun-tahun berikutnya, memang ternyata bahwa pada tahap awal kemerdekaan, banyak energi dan sumber daya nasional yang file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tantangan%...Ekonomi%20IndonesiaSelama%20Masa%20Awal%20Ke.htm (2 of 13)4/3/2005 11:05:20 AM
Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan -- Jumat, 1 Juni 2001
sebenarnya bisa disalurkan untuk pembangunan ekonomi, justru dimobilisasi untuk menanggulangi masalah Irian Barat. Akar-akar nasionalisme ekonomi Indonesia Selain masalah Irian Barat, kemerdekaan Indonesia sesudah pengakuan kedaulatan oleh Belanda belum dirasakan sebagai tuntas oleh para pejuang kemerdekaan, karena berbagai sektor ekonomi yang penting masih dikuasai Belanda, sedangkan berbagai jabatan penting dalam birokrasi pemerintah masih dipegang oleh pejabatpejabat Belanda. Hal ini bisa terjadi karena dalam rangka persetujuan Indonesia-Belanda yang telah dicapai dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, kepentingan bisnis Belanda tetap dijamin dalam Indonesia merdeka. Pembicaraan tentang kelangsungan bisnis Belanda telah menyita banyak waktu dalam Konferensi Meja Bundar, karena pada tahun 1949 pembangunan ekonomi Belanda-yang mengalami banyak kerusakan selama Perang Dunia Kedua-belum selesai. Berhubung dengan hal ini Pemerintah Belanda menganggap penting bahwa penghasilan dari perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia perlu diamankan, karena penghasilan ini merupakan sumber pembiayaan penting bagi pembangunan ekonomi Belanda. (Meier 1994: 46) Dalam Persetujuan Finansial-Ekonomi (Financieel-Economische Overeenkomst Finec) yang telah dicapai di Konferensi Meja Bundar, tuntutan Belanda untuk memperoleh jaminan bahwa bisnis Belanda dapat tetap beroperasi di Indonesia tanpa hambatan, terpaksa dipenuhi oleh pihak Indonesia. Oleh karena ini tidak mengherankan bahwa bahkan seorang sejarawan ekonomi Belanda yang konservatif, Henri Baudet, menyatakan bahwa Persetujuan Finec memuat jaminan maksimal yang dapat dicapai bagi kelangsungan hidup bisnis Belanda di Indonesia. (Baudet & Fennema, 1983: 213) Indonesia tetap amat penting bagi ekonomi Belanda. Hal ini tercermin dari suatu perkiraan resmi Belanda yang mengungkapkan bahwa pada tahun 1950 penghasilan total Belanda yang diperoleh dari hubungan ekonomi dengan Indonesia (ekspor ke Indonesia, pengolahan bahan-bahan mentah, penghasilan dari penanaman modal di Indonesia, transfer uang pensiun dan tabungan, dan lainlain) merupakan 7,8 persen dari pendapatan nasional Belanda. Untuk tahun-tahun berikutnya sampai tahun 1957 sewaktu semua perusahaan Belanda diambil alih, angka persentase ini adalah: 8,2 persen (1951); 7,0 persen (1952); 5,8 persen (1953); 4,6 persen (1954); 4,1 persen (1955); 3,3 persen (1956); dan 2,9 persen (1957). (Meier 1994: 649).
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tantangan%...Ekonomi%20IndonesiaSelama%20Masa%20Awal%20Ke.htm (3 of 13)4/3/2005 11:05:20 AM
Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan -- Jumat, 1 Juni 2001
Penurunan dalam arti ekonomi Indonesia bagi Belanda sejak tahun 1953 berkaitan erat dengan merosotnya hubungan ekonomi Indonesia-Belanda akibat merosotnya hubungan diplomatik dengan Belanda. Di samping jaminan ini, Persetujuan Finec juga memuat ketentuan yang kontroversial yang mewajibkan Pemerintah Indonesia menanggung utang-utang internal Pemerintah Hindia Belanda sebelum Indonesia diduduki Jepang tahun 1942 sebanyak 3,3 milyar gulden (sama dengan 1,13 milyar dollar AS pada kurs devisa yang berlaku pada waktu itu). Selain itu, Pemerintah Indonesia juga diwajibkan menanggung utang eksternal Pemerintah Hindia Belanda sebesar kurang lebih 70 juta dollar AS. (Meier 1994: 47; McT. Kahin 1997: 26; 314) Jelas sekali bahwa Konferensi Meja Bundar "mewarisi" utang luar negeri yang amat besar kepada Pemerintah Indonesia yang sangat mempersulit upaya Pemerintah Indonesia untuk membiayai rehabilitasi prasarana fisik yang telah hancur akibat pendudukan Jepang dan perjuangan fisik melawan Belanda, apalagi melaksanakan program pembangunan. (Kahin 1997: 27) Oleh karena itu, Dr Sumitro Djojohadikusumo, yang ikut sebagai anggota delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar, sangat menentang konsesi delegasi Indonesia untuk mengambil alih utangutang dari Pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi, Drs Moh Hatta, Wakil Presiden RI yang bertindak sebagai ketua delegasi Indonesia, akhirnya menerima tuntutan pihak Belanda karena ia ingin cepat menyelesaikan perundingan agar tujuan utama-penyerahan kedaulatan kepada Indonesia-dapat tercapai dalam waktu sesingkatnya. (Esmara & Cahyono, 2000: 95-98) Perkembangan ini pada awal kemerdekaan menyebabkan nasionalisme ekonomi di Indonesia jauh lebih kuat ketimbang di negara-negara Asia Tenggara lainnya, bahkan hingga sekarang. Jika nasionalisme ekonomi diartikan sebagai aspirasi sesuatu bangsa untuk memiliki atau setidak-tidaknya menguasai aset-aset yang dimiliki atau dikuasai orang asing dan untuk menduduki fungsi-fungsi ekonomi yang dilakukan oleh orang asing (Johnson 1972: 26), maka tidak mengherankan nasionalisme ekonomi bangsa Indonesia pada awal kemerdekaan sangat tersentak oleh kenyataan bahwa bagian terbesar dari sektor-sektor modern Indonesia (perkebunanperkebunan besar, pertambangan, industri-industri padat modal skala besar, dan sektor jasa-jasa modern, seperti perbankan, perdagangan besar, dan jasa-jasa pelayanan publik, seperti listrik, air, gas, komunikasi, dan transport)-diperkirakan meliputi 25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada waktu itu dan
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tantangan%...Ekonomi%20IndonesiaSelama%20Masa%20Awal%20Ke.htm (4 of 13)4/3/2005 11:05:20 AM
Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan -- Jumat, 1 Juni 2001
mempekerjakan kurang lebih 10 persen dari angkatan kerja Indonesia-masih dimiliki atau dikuasai Belanda. (Higgins 1990: 40) Di samping itu, banyak jabatan senior dan penting lainnya di birokrasi Pemerintah Indonesia pada awal tahun 1950-an masih diduduki oleh pejabat-pejabat Belanda, yang pada waktu itu masih berjumlah kurang lebih 6.000 orang. Misalnya, jabatan Gubernur Bank Java (Javasche Bank, cikal bakal Bank Indonesia) dan Kepala Direktorat Dewan Pengendalian Devisa masih tetap dipegang orang-orang Belanda.(Higgins 1990: 40) Malahan dalam Dewan Direktur Bank Java hanya terdapat satu direktur Indonesia, sedangkan yang lainnya semua masih orang Belanda. Di Departemen Keuangan pun masih ada banyak pejabat Belanda. Menghadapi keadaan ini, tidak mengherankan aspirasi utama nasionalisme ekonomi Indonesia pada waktu itu adalah untuk "merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional", di mana orang-orang Indonesia menjadi 'tuan di rumah sendiri'. Kebijakan ekonomi selama kurun waktu 1950-1957 Dihadapi dengan tatanan ekonomi yang masih tetap "kolonial", Pemerintah Indonesia mengambil berbagai langkah untuk menguasai dan mengendalikan berbagai sektor dan usaha yang dianggap strategis. Misalnya, pada tahun 1953 Bank Java dinasionalisasikan dan diberi nama baru "Bank Indonesia". Sebagai Gubernur orang Indonesia pertama dari Bank Indonesia diangkat Sjafruddin Prawiranegara, mantan Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta dan Kabinet Natsir. (Prawiranegara 1987: 102-03) Nasionalisasi Bank Java ini dianggap penting sekali, karena pengendalian peredaran uang dan kredit memang diakui sebagai unsur pokok dari kedaulatan sesuatu negara. (Anspach 1969: 137) Sebenarnya Pemerintah Indonesia pada awal tahun 1950-an agak enggan melakukan nasionalisasi besar-besaran dari perusahaanperusahaan Belanda, karena merasa terikat dengan Persetujuan Finec hasil Konferensi Meja Bundar. Keengganan ini juga disebabkan kabinet-kabinet pertama pada paruh pertama tahun 1950-an (Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, dan Kabinet Wilopo) pada umumya masih terdiri atas orang-orang nasionalis moderat dan pragmatis yang menyadari bahwa peran penting perusahaan-perusahaan dan pejabat-pejabat Belanda, meskipun tidak menyenangkan, masih diperlukan untuk sementara waktu. Meskipun demikian, pada akhir tahun 1952 Kabinet Wilopo mengambil keputusan tegas untuk menasionalisasi perusahaanfile:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tantangan%...Ekonomi%20IndonesiaSelama%20Masa%20Awal%20Ke.htm (5 of 13)4/3/2005 11:05:20 AM
Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan -- Jumat, 1 Juni 2001
perusahaan listrik swasta Belanda. (Anspach 1969: 145) Menurut persetujuan Finec, nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda bisa dilakukan jika hal ini dianggap perlu untuk kepentingan nasional dan disetujui oleh kedua belah pihak. Di samping itu jumlah kompensasi harus diputuskan oleh seorang hakim atas dasar nilai riil usaha yang dinasionalisasikan. (Meier 1994: 46-47) Selain nasionalisasi perusahaan-perusahaan listrik, Pemerintah Indonesia atas desakan keras golongan nasionalis pada tahun 1954 juga menasionalisasikan perusahaan penerbangan Garuda Indonesian Airways yang didirikan pada tahun 1950 sebagai usaha patungan antara perusahaan penerbangan Belanda KLM dan Pemerintah Indonesia. Dalam usaha itu kedua belah pihak masingmasing memegang 50 persen saham dari perusahaan ini. Dalam akta pendirian Garuda, Pemerintah Indonesia diberi opsi untuk membeli saham mayoritas sesudah 10 tahun, sedangkan pengendalian manajemen dipegang oleh KLM. Dalam tahun-tahun berikutnya KLM mulai menjual sebagian dari sahamnya kepada Pemerintah Indonesia, tetapi di lain pihak KLM enggan sekali menyerahkan pengendalian manajemen kepada pihak Indonesia. Akan tetapi, nasionalisasi Garuda oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I dibarengi juga dengan pengambilalihan pengendalian manajemen oleh pihak Indonesia. Sejak itu peran KLM hanya terbatas pada pemberian bantuan teknis kepada Garuda. (Anspach 1969: 146) Upaya Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan sektor industri manufaktur modern yang dikuasai dan dikendalikan oleh orang Indonesia sendiri dimulai dengan Rencana Urgensi Ekonomi yang bertujuan mendirikan berbagai industri skala besar. Menurut rencana ini, pembangunan industri-industri akan dibiayai dulu oleh pemerintah, tetapi kemudian akan diserahkan kepada pihak swasta Indonesia, koperasi, atau dikelola sebagai usaha patungan antara pihak swasta nasional dan Pemerintah Indonesia. (Anspach 1969: 163) Gagasan tentang peran perintis Pemerintah Indonesia dalam industrialisasi Indonesia agak mirip dengan peran yang dilakukan Pemerintah Jepang selama tahap awal industrialisasi Jepang selama zaman Meiji. Sayang sekali, pelaksanaan Rencana Urgensi Ekonomi berjalan tersendat-sendat, dan pabrik-pabrik yang sempat dibangun beroperasi dengan hasil yang mengecewakan. Oleh karena itu, rencana ini dihapus pada tahun 1956 dan diganti dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (1955-1960) yang telah disusun oleh Biro Perancang Negara yang dipimpin oleh Ir Djuanda. (Anspach file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tantangan%...Ekonomi%20IndonesiaSelama%20Masa%20Awal%20Ke.htm (6 of 13)4/3/2005 11:05:20 AM
Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan -- Jumat, 1 Juni 2001
1969: 163) Untuk menyusun kekuatan tandingan terhadap kepentingan ekonomi Belanda, Pemerintah Indonesia pada tahun 1950 meluncurkan Program Benteng. (Djojohadikusumo 1986: 35) Hal ini diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta pribumi yang tangguh dan dengan menempatkan sektor ekonomi yang penting, yaitu perdagangan impor, di bawah pengendalian nasional. Untuk mencapai tujuan ini, lisensi-lisensi impor disalurkan ke pengusaha-pengusaha nasional, khususnya pengusahapengusaha pribumi. Diharapkan dengan modal yang dapat dipupuk dari perdagangan impor, para pengusaha pribumi Indonesia mampu melakukan diversifikasi ke bidang lain, seperti perkebunan besar, perdagangan dalam negeri, asuransi, dan industri-industri substitusi impor, seperti yang dirintis beberapa perusahaan pribumi, misalnya perusahaan milik Dasaad Musin dan Rahman Tamin. (Anspach 1969: 168) Ditinjau dari segi pengendalian nasional atas perdagangan impor, Program Benteng cukup berhasil karena pada pertengahan tahun 1950-an kurang lebih 70 persen dari perdagangan impor sudah dilakukan oleh pengusaha-pengusaha Indonesia. (Burger 1975: 171) Namun, dalam waktu singkat sudah kelihatan bahwa Program Benteng mengandung berbagai kelemahan, terutama dengan munculnya banyak 'importir aktentas', yaitu orang yang tidak memanfaatkan peluang baik untuk memperoleh keterampilan dan pengalaman dalam perdagangan impor, tetapi justru menjual lisensi impor yang mereka peroleh kepada importir lain, kebanyakan importir etnis Cina. Dengan demikian, Program Benteng justru membuka peluang bagi 'kegiatan perburuan rente' (rent-seeking activities) sehingga kurang berhasil dalam mengembangkan golongan wiraswasta nasional sejati yang tangguh dan mandiri. Hal ini sebenarnya sejak awal sudah disadari oleh Profesor Sumitro, salah seorang arsitek Program Benteng, yang dalam suatu wawancara pernah menyatakan bahwa jika "dari bantuan dari Program ini kepada 10 orang, tujuh orang ternyata adalah benalu, tiga orang lainnya masih bisa muncul sebagai wiraswasta sejati". (Djojohadikusumo 1986: 35) Kelemahan-kelemahan yang melekat pada Program Benteng mendorong Pemerintah Indonesia mengadakan penyaringan ketat untuk mengeliminasi importir semu atau tidak mampu. Akibat penyaringan ini jumlah importir yang terdaftar berhasil dikurangi, dari 4.300 sampai kurang lebih 2.000. (Burger 1975: 171) file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tantangan%...Ekonomi%20IndonesiaSelama%20Masa%20Awal%20Ke.htm (7 of 13)4/3/2005 11:05:20 AM
Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan -- Jumat, 1 Juni 2001
Akan tetapi, perkembangan politik dalam negeri setelah pertengahan tahun 1950-an, khususnya pergolakan di daerah, mengalihkan perhatian pemerintah kepada bahaya perpecahan bangsa. Penyelundupan komoditas-komoditas ekspor dari daerah-daerah luar Jawa mengakibatkan pasokan devisa bagi Pemerintah Indonesia banyak berkurang sehingga mengurangi devisa untuk menunjang Program Benteng. Hal ini termasuk kegagalan untuk mengembangkan wiraswasta nasional yang tangguh, akhirnya mendorong Pemerintah Indonesia menghapus Program Benteng. Karena Program Benteng ini dianggap sebagai upaya pokok utuk pengembangan wiraswasta nasional, maka kegagalan Program Benteng menciptakan iklim yang makin condong untuk menasionalisasikan usaha-usaha Belanda yang dianggap menghambat pengembangan wiraswasta nasional. (Anspach 1969: 179) Sementara itu, hubungan dengan Belanda makin merosot akibat pertikaian tentang Irian Barat. Rasa permusuhan terhadap Belanda makin memuncak sewaktu Sidang Umum PBB pada akhir November 1957 gagal menerima mosi Indonesia yang mendesak Belanda merundingkan status Irian Barat dengan Indonesia. Presiden Soekarno memberikan reaksi keras terhadap putusan ini, dan mengimbau rakyat Indonesia untuk membangun kekuatan yang dapat memaksa Belanda menyerahkan Irian Barat. Dalam waktu dekat suatu kampanye raksasa muncul di Jakarta dan di tempattempat lain terhadap perusahaan-perusahaan dan milik Belanda lainnya, yang berakhir dengan pengambilalihan semua perusahaan Belanda. Meskipun dalam kampanye waktu itu tidak ada seorang Belanda pun hilang nyawanya, namun dalam waktu singkat puluhan ribu orang Belanda meninggalkan Indonesia. (Legge 1973: 292-93) Aksi massa untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda menjadikan Pemerintah Indonesia mengambil alih pengendalian atas perusahaan-perusahaan Belanda dengan fait accompli. Untuk mengendalikan perkembangan yang memprihatinkan, pemerintah memutuskan mengambil alih pengendalian atas perusahaanperusahaan Belanda yang diambil alih massa. (Legge 1973: 293-94) Pada tahun 1958, perusahaan-perusahaan Belanda ini dinasionalisasikan secara resmi oleh Pemerintah Indonesia, dan diubah statusnya menjadi perusahaan negara. Dengan kejadian ini, setelah beroperasi selama kurang lebih 350 tahun di Indonesia, seluruh bisnis Belanda hengkang dari Indonesia. Penutup
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tantangan%...Ekonomi%20IndonesiaSelama%20Masa%20Awal%20Ke.htm (8 of 13)4/3/2005 11:05:20 AM
Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan -- Jumat, 1 Juni 2001
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda untuk sebagian besar memang berhasil memenuhi aspirasi nasionalisme ekonomi Indonesia untuk "menjadi tuan di rumahsendiri". Di samping itu tidak dapat disangkal bahwa dengan tetap bercokolnya bisnis Belanda, ruang gerak Pemerintah Indonesia untuk merombak struktur kepemilikan ekonomi kolonial menjadi sangat terbatas. Selain kekurangan dana untuk membayar kompensasi kepada perusahaan Belanda yang dinasionalisasikan, pada waktu itu belum ada cukup wiraswasta dan manajer nasional yang dapat mengelola perusahaanperusahaan yang dinasionalisasikan. (Glassburner 1971: 94) Memang di atas kertas, Pemerintah Indonesia secara gradual dapat mengembangkan suatu golongan wiraswasta nasional dan manajer profesional yang cukup tangguh. Pengembangan wiraswasta nasional diusahakan melalui Program Benteng, tetapi program ini, dengan beberapa pengecualian, telah gagal dalam mengembangkan wiraswasta nasional yang tangguh. Manajer-manajer profesional diharapkan dapat muncul dari kalangan manajer Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda. Jika keadaan politik pada waktu itu telah mengizinkan, maka perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan sebenarnya juga dapat menarik manajer-manajer Indonesia keturunan Cina yang bekerja di perusahaan-perusahaan milik pengusaha etnik Cina, seperti dilakukan pimpinan Central Trading Company (CTC), perusahaan dagang milik negara pertama yang telah didirikan di Bukittinggi selama perjuangan fisik melawan Belanda. (Daud 1999: 44-45) Pentingnya pengembangan sumber daya manusia Indonesia untuk keberhasilan pembangunan nasional Indonesia juga telah ditekankan oleh nasionalis moderat, seperti Sjafruddin Prawiranegara. (1987: 106) Akan tetapi, tetap berlangsungnya dominasi bisnis Belanda dalam alam Indonesia merdeka dan sikap kaku Pemerintah Belanda yang terus menolak merundingkan status Irian Barat tidak memberikan peluang bagi pemimpin-pemimpin moderat-seperti Moh Hatta, Sjafruddin Prawiranegara, dan Djuanda-untuk menempuh kebijakan yang gradual dan hati-hati, dan akhirnya memberikan peluang bagi pemimpin yang lebih radikal, terutama Presiden Soekarno, untuk menempuh kebijakan yang konfrontatif yang berakhir dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Langkah ini tidak berhasil memecahkan berbagai masalah ekonomi gawat yang dihadapi Indonesia pada waktu itu, terutama laju inflasi yang tinggi akibat pembiayaan defisit (deficit financing) anggaran file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tantangan%...Ekonomi%20IndonesiaSelama%20Masa%20Awal%20Ke.htm (9 of 13)4/3/2005 11:05:20 AM
Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan -- Jumat, 1 Juni 2001
pemerintah yang besar yang disebabkan oleh displin fiskal yang lemah dan merajalelanya pasar gelap devisa karena apresiasi riil (overvaluation) rupiah yang diakibatkan oleh laju inflasi yang tinggi. Keadaan ini juga memaksa Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang makin besar pada pengendalian jumlah cadangan devisa dan emas yang terbatas sehingga masalah-masalah ekonomi lainnya diabaikan. (Mackie 1971: 58-67) Lagi pula, vakum ekonomi yang telah ditinggalkan oleh hengkangnya pengusaha-pengusaha Belanda dengan cepat diisi oleh pengusahapengusaha Indonesia keturunan Cina dan etnis lainnya, dan bukan oleh pengusaha-pengusaha pribumi. Dalam perkembangan selanjutnya hal ini akan menimbulkan masalah sosial dan ekonomi baru, terutama selama masa Orde Baru, yang hingga kini pun masih belum dapat dipecahkan dengan tuntas. Suatu masalah lain adalah bahwa dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, Pemerintah Indonesia dalam sekejap mata memiliki ratusan perusahaan negara baru, hal mana memang telah sangat memperbesar pengendalian nasional atas berbagai sektor ekonomi yang strategis maupun yang kurang strategis. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya perusahaan-perusahaan negara (kini disebut BUMN), terutama selama Orde Baru, telah membuka peluang bagus untuk praktik-praktik KKN, khususnya dengan menjadikannya sebagai sapi perahan oleh oknum-oknum pemerintah yang korup. Dengan demikian, banyak perusahaan negara tidak bisa beroperasi secara efisien dan menghasilkan penerimaan yang berarti bagi kas negara, malahan sering harus diberikan subsidi oleh pemerintah. Tidak mengherankan bahwa dalam program reformasi ekonomi Indonesia yang digulirkan setelah krisis ekonomi Asia tahun 1997/98, privatisasi BUMN merupakan salah satu prioritas pemerintah, meskipun pelaksanaannya lamban sekali. Jakarta, 12 Mei 2001 * Thee Kian Wie sejarawan ekonomi pada Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PEP-LIPI), Jakarta.
Acuan Abdullah, Taufik, (editor), 1997, The Heartbeat of Indonesian Revolution, PT Gramedia Pustaka Utama in Cooperation with file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tantangan...konomi%20IndonesiaSelama%20Masa%20Awal%20Ke.htm (10 of 13)4/3/2005 11:05:20 AM
Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan -- Jumat, 1 Juni 2001
Program of Southeast Asian Studies, LIPI, Jakarta. Anspach, Ralph, 1969, Indonesia, dalam: Golay, et. al., 1969, hlm 111-202. Baudet, H. & M. Fennema, et.al., 1983, Het Nederlands belang bij Indie (Kepentingan Belanda di Indonesia), Het Spectrum, Utrecht. Burger, D.H., 1975, Sociologisch-Economische Geschiedenis van Indonesie - Deel II: Indonesia in de 20e Eeuw (Sejarah Sosiologi Ekonomi Indonesia, Jilid II: Indonesia dalam Abad ke-20), Koninklijk Instituut voor de Tropen, Amsterdam. Daud, Teuku Mohamad, 1999, Survey of Recent Developments, dalam: Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 35, no. 3, December, hlm 41-50. Djojohadikusumo, Sumitro, 1986, Recollections of My Career, dalam: Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 22, no. 3, December, hlm 27-39. Esmara, Hendra, & Heru Cahyono, 2000, Sumitro DjojohadikusumoJejak Perlawanan Begawan Pejuang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Glassburner, Bruce, 1971a, Economic Policy-Making in Indonesia, 1950-1957, dalam: Glassburner (editor), 1971b, hlm 70-98. , - , (editor), 1971b, The Economy of Indonesia - Selected Readings Cornell University Press, Ithaca and London. Golay, Frank; Ralph Anspach; M. Ruth Pfanner; & Eliezer B. Ayal, 1969, nderdevelopment and Economic Nationalism in Southeast Asia Cornell University Press. Higgins, Benjamin, 1990, hought and action: Indonesian economic studies and policies in the 1950s dalam: Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 26, no. 1, hlm 37-47. Houben, Vincent, 1996, Van Kolonie tot Einheidstaat (Dari Jajahan Sampai Negara Kesatuan), Semaian 16, Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azie en Oceanie, Rijksuniversiteit te Leiden. Johnson, Harry, 1972, The Ideology of Economic Policies in the New States, dalam: Wall (editor), 1972.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tantangan...konomi%20IndonesiaSelama%20Masa%20Awal%20Ke.htm (11 of 13)4/3/2005 11:05:20 AM
Tantangan dan Kebijakan Ekonomi IndonesiaSelama Masa Awal Kemerdekaan -- Jumat, 1 Juni 2001
Kahin, George McT., 1997, Some Recollections from and Recollections on the Indonesian Revolution, dalam: Abdullah (editor), 1997, hlm 10-28. Legge, J.D., 1973, Sukarno - A Political Biography, Penguin Books. Mackie, J.A.C., 1971, The Indonesian Economy, 1950-1963, dalam: Glassburner (editor), 1971b, hlm 16-69. Meier, Hans, 1994, Den Haag-Djakarta - De NederlandsIndonesische betrekkingen 1950-1962 (Den Haag-DjakartaHubungan negeri Belanda-Indonesia, 1950-1962), Aula paperbacks, Het Spectrum B.V., Utrecht. Prawiranegara, Sjafruddin, 1987, Recollections of My Career, dalam: Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 23, no. 3, December, pp. 100-07. Wall, David, (editor), 1972, Chicago Essays in Economic Development, University of Chicago Press.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tantangan...konomi%20IndonesiaSelama%20Masa%20Awal%20Ke.htm (12 of 13)4/3/2005 11:05:20 AM
Tjipto-Soetatmo-Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Tjipto-Soetatmo-Soekarno Takashi Shiraishi
SOEKARNO adalah generasi kedua dari nasionalis Indonesia yang mewarisi pencapaian generasi yang mendahuluinya yang diwakili orang-orang seperti Douwes Dekker, Tjokroaminoto, Sneevliet, Semaoen, Haji Fachroddin, dan Haji Misbach di zaman pergerakan pada seperempat pertama abad ke-20. Soekarno tidak mempertanyakan kenapa rakyat dipisahkan oleh garis ideologis Islam, marxisme, dan nasionalisme. Ia menerima kenyataan ini begitu saja dan menganjurkan agar Islam, marxisme dan nasionalisme bersatu. Ia menerima apa adanya nasionalisme Indonesia dan tidak mempertanyakan kenapa nasionalisme Indonesia dan bukannya nasionalisme Jawa. Ia menerima demokrasi, yaitu kerakyatan, sebagai dasar untuk Indonesia file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tjipto-Soetatmo-Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 10)4/3/2005 11:05:22 AM
Tjipto-Soetatmo-Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
merdeka. Ia memberi marhaenisme sebagai namanya, tanpa mempertanyakan dalam bentuk apa kerakyatan seharusnya berbentuk. Dengan mewarisi semua yang dicapai generasi yang mendahuluinya, tesis, antitesis segala tanpa sintesis, ia menjadi orang yang penuh kontradiksi. Ini penting sekali jika kita ingin memahami bagaimana kebudayaan dan nasionalisme Jawa membentuk idenya mengenai demokrasi dan nasionalisme. Pada kenyataannya ia mewarisi dua cabang pemikiran nasionalisme dan demokrasi yang satu sama lain saling bertentangan. Kedua aliran pemikiran itu paling jelas diwakili oleh Soetatmo Soeriokoesoemo dan Tjipto Mangoenkoesoemo pada 1910-an dalam perdebatan mengenai nasionalisme, perkembangan kebudayaan Jawa, dan demokrasi. Tjipto dikenal baik sebagai nasionalis Indies (Hindia), seorang dokter Jawa, anggota dan pendiri Indische Partij, yang akhirnya menjadi mentor Soekarno pada pertengahan 1920-an. Sedangkan Soetatmo, berasal dari lingkungan Paku Alam di Yogyakarta, adalah pendukung nasionalisme Jawa. Ia juga pemimpin jurnal berbahasa Belanda Wederopbouw (Rekonstruksi) pada 1910-an. Ia lantas bergabung dengan Soewardi Soerjaningrat, yang kemudian dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, untuk mendirikan Taman Siswa. Pada awal 1920an, ia menjadi ketua pertama Taman Siswa, dengan Soewardi sebagai sekretarisnya. Apa ide mereka mengenai nasionalisme, perkembangan kebudayaan Jawa, dan demokrasi, yang kemudian diwarisi oleh Soekarno dan pada akhirnya diteruskan kepada orangorang Indonesia sekarang? Pertama-tama mari kita membicarakan Soetatmo dan kemudian Tjipto.
*** SEBAGAI orang Boedi Oetomo, Soetatmo Soeriokoesoemo, seperti kebanyakan pendukung nasionalisme Jawa, mengatakan bahwa nasion dapat dan mesti dibangun atas dasar kebudayaan dan bahasa yang dipakai orang banyak. Nasionalisme Jawa memiliki dasar yang dapat ditemukan dalam kebudayaan, bahasa, dan sejarah orang Jawa. Sementara nasionalisme Indies sama sekali tidak eksis landasannya atau setidaknya merupakan kreasi pemerintah kolonial Belanda. Dalam pandangan Soetatmo hanya nasionalisme Jawa yang memiliki dasar kebudayaan yang kuat sebagai landasan komunitas politik untuk masa depan. Apa yang dimaksudkan oleh Soetatmo ketika ia membicarakan kebudayaan Jawa dan bagaimana kebudayaan itu dapat berkembang? Ia mengatakan bahwa opvoeding, pembinaan, merupakan inti pokok kebudayaan Jawa dan dasar perkembangan file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tjipto-Soetatmo-Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 10)4/3/2005 11:05:22 AM
Tjipto-Soetatmo-Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
Jawa. Dalam pandangannya, wilayah moral dalam diri manusia merupakan orde tertinggi yang dikendalikan kekuatan Ilahi, dan dalam kebudayaan Jawa tugas pembinaan moral diserahkan kepada pandita yang hidup dalam asketisme dan jauh dari hiruk-pikuk persoalan sosial, terus-menerus berusaha mengendalikan diri dan berusaha mengatasi semua perbedaan yang timbul karena perbedaan garis partai, agama atau kepentingan. Lebih jauh dari itu seorang pandita belajar memahami hukum tertinggi. Namun, pandita tidak lagi berada di sini, ia telah lama hilang dalam sejarah, sehingga yang sekarang tersisa sebagai sumber pokok kebijakan Jawa, dan sarana pendidikan moral untuk orang Jawa adalah wayang. Soetatmo melihat perkembangan yang sedang terjadi saat itu penuh dengan keraguan. Ia percaya betul, seperti juga nasionalis Jawa lainnya, bahwa puncak kejayaan Jawa telah dicapai pada masa Majapahit, setelah itu sejarah Jawa penuh dengan cerita kemunduran dan mencapai titik terendahnya setelah dijajah Belanda. Ia menggambarkan suasana waktu itu pada buku kecil berjudul Sabdo-Panditto-Ratoe (diterbitkan tahun 1920) seperti berikut: "Saat ini, Indies sedang mengalami kekacauan, neraka; orang tidak lagi bisa membedakan antara teman dan musuh. Pemerintah memainkan peran ganda, sesekali menjadi teman, namun pada saat lain berubah menjadi musuh; sekarang progresif, tapi kemudian bisa berubah menjadi reaksioner. Orang berkelahi melawan temannya sendiri, dan bergandengan tangan dengan musuhnya, padahal pada saat yang sama mereka sama-sama yakin sedang melawan musuh. Tak seorang pun tahu di mana ujung dari kekacauan ini dan kerusuhan muncul di mana-mana; ningrat melawan bukan-ningrat, kromo berhadapan dengan ngoko, kapital lawan buruh, pemerintah melawan yang diperintah, pemerintah melawan rakyat; masyarakat sudah jungkir balik dan berantakan. Itulah gambaran mengenai Indies saat ini." Dalam pandangan Soetatmo, sistem politik yang sedang berjalan di Indies tidak benar. Ia membandingkan negara Indies dengan sebuah keluarga yang "bapaknya cerewet dan ibunya sibuk mengurus diri sendiri, sehingga lupa tugasnya terhadap anak-anak". "Jika ibu terusmenerus menolak tugasnya, kecelakaan tak terhindarkan. Dan ketika kecelakaan terjadi, anak-anak adalah pemenangnya. Aturan akan kacau, sebagai akhir bapak dan ibu harus menaatinya. Dan itulah gambaran negara yang berlandaskan demokrasi." Soetatmo sangat mengerti bahwa gelombang yang menuju negara demokratis tak terhindarkan. Ia juga memperhatikan dengan sedih orang-orang menerima dengan penuh antusias datangnya demokrasi. Namun, ia percaya bahwa volksregeering atau
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tjipto-Soetatmo-Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 10)4/3/2005 11:05:22 AM
Tjipto-Soetatmo-Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
pemerintahan rakyat yaitu demokrasi adalah ilusi. Karena "jika setiap individu memiliki hak sama, mereka tak punya tugas untuk dipenuhi, setiap individu bersandar pada dirinya, haknya sendiri dan tak ada masyarakat yang mungkin bertahan. Anak-anak akan mengurus dirinya sendiri, karena mereka menekankan bahwa setiap orang harus menghormati haknya. Tak akan ada persatuan sama sekali, tetapi hanya perbedaan-perbedaan, tak ada keteraturan tetapi kekacauan." Lantas apa jalan keluarnya? Soetatmo mengatakan bahwa pembinaan moral adalah kuncinya. Ia melihat opvoeding yang diberikan pandita-ratoe sebagai jalan dan kunci baik untuk perkembangan kebudayaan Jawa maupun jawaban atas demokrasi. Ia mengatakan bahwa pembinaan moral harus diarahkan oleh pandita yang sangat mengerti aturan tertinggi, demokrasi harus diarahkan pandita-ratu yang bijaksana. Ia menulis dalam SabdoPanditto-Ratoe: "Persamaan dan persaudaraan... harus juga disampaikan dengan benar; tetapi bukan persamaan dalam demokrasi, yang berbicara mengenai persamaan hak, tetapi persamaan dalam keluarga, anak tertua memainkan peranan penting dalam urusan domestik rumah, sehingga ia mendapatkan hak yang lebih banyak daripada adikadiknya yang lebih mudah dan masih banyak bermain. Tak ada persamaan hak dalam keluarga seperti itu, tetapi di antara anakanak aturan mengenai persamaan dan persaudaraan telah cukup dilaksanakan seperti makna yang terkandung di dalamnya." Dengan kata lain, "apa yang dikatakan Bapak itu baik, karena Bapak itu benar! Itulah keluarga ideal, begitu juga negara." Adalah Bapak/ yang bijaksana/pandita-ratoe yang mesti mengarahkan demokrasi dan perkembangan kebudayaan Jawa.
*** SEPERTI nama jurnalnya Wederopbouw, yang artinya rekonstruksi, nasionalisme Jawa seperti yang dianjurkan oleh Soetatmo Soeriokoesoemo adalah ideologi restorasi yang dilihatnya sebagai kunci untuk pembaharuan atas aturan sosial Jawa dan merupakan jawaban atas demokrasi, partisipasi rakyat dalam politik. Soetatmo menggarisbawahi pentingnya pandita/pandita-ratoe. Karena ia percaya bahwa itu adalah tugas nasionalis Jawa untuk memainkan peran pandita, bertanggung jawab atas opvoeding, pembinaan, dan merestorasi kebudayaan Jawa dan bahwa tokoh pergerakan, yang sering disebut satria (sebagai kebalikan dari pandita), hanya menimbulkan kekacauan pada kebudayaan dan aturan sosial Jawa. Pemikiran Soetatmo mengenai opvoeding (pembinaan/tut wuri file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tjipto-Soetatmo-Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 10)4/3/2005 11:05:22 AM
Tjipto-Soetatmo-Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
handayani), negara kekeluargaan dan pandita-ratoe yang bijaksana memberi landasan pada teori Soewardi tentang demokrasi dan leiderschap (kepemimpinan), yang pada akhirnya diwarisi oleh Soekarno dalam rumusannya yang tertuang pada Demokrasi Terpimpin. Tjipto Mangoenkoesoemo, demokrat sejati, tidak setuju dengan Soetatmo dan tetap mendukung ide nasionalisme Indies. Dalam pandangannya, Soetatmo tidak mengerti perkembangan sejarah dunia. Tidak diragukan lagi bahwa Indies terdiri dari banyak kelompok etnis yang berbeda dalam budaya dan bahasanya seperti yang dikatakan Soetatmo. Tetapi Jawa sudah lama kehilangan kedaulatannya dan menjadi bagian dari Hindia Belanda yaitu Indies. 'Tanah air' orang Jawa bukan lagi Jawa, tetapi Indies dan adalah tugas pemimpin nasional untuk merumuskan nasionalisme Indies. Tjipto lantas menggambarkan nasion untuk Indiers sebagai landasan masa depan Indies merdeka, sementara nasion Jawa seperti yang dibayangkan Soetatmo berlandaskan identitas kebudayaan Jawa. Tjipto tidak melihat inti kebudayaan Jawa dalam opvoeding, pembinaan, ia malah menyebutnya sebagai Hinduisme, koeksistensi antara rakyat dan dewa, sistem kasta, dan wayang. Menurut dia, hinduisme menjadi halangan bagi perkembangan kebudayaan Jawa. Contoh yang baik adalah sistem kasta, yang masih memegang kokoh prinsip suksesi berdasarkan garis keturunan untuk jabatan bupati. Sistem kasta ini menjadi pilar pemerintahan Hindia Belanda dan hanya menimbulkan kesulitan kreativitas bagi orang Jawa. Tetapi waktu telah berubah dan orang Jawa harus berubah seiring dengan itu. Masa kejayaan Majapahit telah lama berlalu. Restorasi kejayaan Majapahit tidak mungkin menjadi tujuan untuk orang Jawa pada abad ke-20. Dan dalam pandangannya bukan opvoeding, pembinaan, yang bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat juga. Yang penting dan harus dilakukan orang Jawa adalah mempelajari ilmu pengetahuan Barat untuk tujuan ini. Dalam pandangan Tjipto, pendapat Soetatmo soal opvoeding, pembinaan, cuma ilusi. Soetatmo mengatakan bahwa pandita mesti mampu mengendalikan diri dan mengerti aturan-aturan Ilahi. Tjipto tidak setuju, karena kebudayaan Jawa dalam pandangannya tidak berhasil menekan egoisme walaupun menempatkan posisi yang tinggi pada moral ketimbang materi dan juga tidak memberikan ruang bagi materi untuk berkuasa di atas pengorbanan kehidupan yang lebih bermoral. Sebaliknya, seseorang harus dapat memetik pelajaran dari sejarah Jawa, katanya, bahwa orang-orang di masa lampau melakukan praktik asketisme dan meditasi serta mengendalikan nafsunya hanya untuk keselamatan anak-cucunya di
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tjipto-Soetatmo-Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (5 of 10)4/3/2005 11:05:22 AM
Tjipto-Soetatmo-Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
masa depan, biasanya tujuan konkretnya adalah mencari berkah Tuhan, sehingga salah seorang dari keturunannya nanti akan menjadi raja di tanah Jawa. Dalam pandangannya sama sekali bukan opvoeding, pembinaan, yang akan menyumbangkan kesejahteraan untuk rakyat banyak. Dan dalam pandangannya, kebudayaan dan bahasa Jawa memang tidak berguna untuk tujuan ini. Lantas apa yang harus dilakukan, dalam perspektif Tjipto, untuk perkembangan kebudayaan Jawa? Bagaimana pandangannya tentang demokrasi dalam kaitan dengan kebudayaan Jawa? Tjipto mengatakan bahwa orang Jawa sebaiknya bereinkarnasi menjadi orang Indier sehingga kebudayaan Jawa mengambil alih karakter baru secara total, karena kebudayaan Jawa dengan segala elemennya yang sudah usang dan sekarang hanya menjadi halangan bagi perkembangan rakyat akan mati dalam proses transformasi orang Jawa menjadi orang Indier. Itu karena hinduisme, seperti yang terwujud secara melembaga dalam sistem kasta, sejak lama telah menekan kreativitas dan inisiatif rakyat. Rakyat hanya bisa dibebaskan dari kematian moral ini jika kebudayaan Jawa dihancurkan dan orang Jawa bereinkarnasi menjadi orang Indier. Dalam pandangan Tjipto, merekonstruksi kembali kebudayaan Jawa seperti yang dianjurkan Soetatmo adalah resep yang salah bagi demokrasi dan perkembangan kebudayaan Jawa. Soetatmo lebih melihat rakyat sebagai obyek yang harus diarahkan, kawulanya Bapak/pandita-ratu yang bijaksana. Tjipto percaya bahwa rakyat akan berubah sejalan dengan berjalannya sejarah dan partisipasi orang banyak dalam politik, yang merupakan inti dari pergerakan secara umum, memberikan tekanan atas transformasi orang Jawa menjadi orang Indier. Tjipto sepenuh hati menerima datangnya demokrasi dan melihat perkembangan pergerakan sebagai lahirnya orang Indier. Siapakah orang Indier? Dalam makalah yang diberikan pada acara Kongres Indiers Pertama di Semarang pada 1913 dan diberi judul Beberapa Pandangan tentang Jawa, Sejarah dan Etika, Tjipto menyerang kolonialisme Belanda pada sisi otorianisme dan eksploitasi kapitalis serta menyalahkan priyayi karena kehilangan integritas dan otonominya karena menjadi bawahan Belanda dan bermain-main dengan persoalan Jawa bagi kepentingan tuan mereka: Belanda. Ia mengatakan, serangan dari penjajah Belanda dan Hindu Jawa yang menghancurkan karakter bebas dan tegas yang semula dimiliki orang Jawa, yang ujungnya berakhir pada kehancuran Jawa itu sendiri. Melihat sejarah Jawa dalam perspektif ini, Tjipto lantas bertanya, siapakah "kita" contohkan untuk hidup dalam masa yang
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tjipto-Soetatmo-Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (6 of 10)4/3/2005 11:05:22 AM
Tjipto-Soetatmo-Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
mengenaskan ini dan mendapatkan kembali keteguhan dan kebebasan sebagai karakter. Dalam pandangannya, hal tersebut terdapat dalam diri Dipanegara sebagai satria yang menentang kehancuran moral. Menurut dia: "Apa yang kita lihat pada Pangeran Dipanegara? Seorang pemberontak biasa yang terdorong oleh nafsu meraih untung atau ambisi telah menyerahkan negerinya pada apa yang jadi momok bagi tiap orang-perang? Apakah fanatisme bodoh macam ini yang membuatnya mengibarkan panji-panji pemberontakan? Saya percaya, saya akan dibenarkan jika meniadakan pertanyaan ini. Ada tugas mulia yang harus dilaksanakan. Ia merasa ditakdirkan untuk melaksanakan tugas ini. Baik kalau begitu! Dengan energi dan kegigihan luar biasa ia mengikuti arah hidupnya (yang sudah ditakdirkan). Ia memang gagal. Tetapi, saya pikir Anda seperti juga saya, tidak boleh menilai kerja orang semata dari keberhasilannya. Di samping itu, memang bukan maksud saya menilai ketangguhan Dipanegara. Saya hanya mau menunjukkan bahwa kebalikan dengan apa yang dipercaya beberapa orang, orang Jawa itu sebenarnya punya dasar etika yang dalam, suatu dasar untuk membangun sumber moral yang mestinya membuat kita jadi optimis akan kemungkinan bangkitnya zaman keemasan kita. Perhatian Tjipto di sini adalah etika dan moral, sebagaimana ia melihat Dipanegara sebagai satria yang menentang kehancuran moral, ia mengajak audiensnya untuk bersikap seperti satria dan meneguhkan karakter moralnya. Pandangannya tentang satria sangat berbeda jauh dari pengertian asalnya, serta bebas dari pengaruh hinduisme yang menekankan hanya kepada kualitas moral. Maka tidak mengherankan ketika mengetahui bagaimana ia melihat reinkarnasi orang Jawa menjadi Indiers, kelahiran kembali Jawa, harapannya agar Indies merdeka dari Belanda, dan feodalisme Jawa. Dalam suratnya yang dikirimkan kepada kawan Belandanya pada 1916, ia menulis: "Mengapa orang Belanda, yang tidak bodoh dalam banyak hal, ternyata telah menghabiskan banyak waktu sampai akhirnya sadar ke mana ia harus melangkah beserta koloninya, padahal mestinya ia bisa memikirkannya sejak dulu? Jawaban pertanyaan ini, saya pikir, terutama karena sifat patuh orang Jawa, yang selalu bilang ja atau amin pada apa pun yang dibebankan padanya tanpa prasangka bahwa sebagai manusia ia juga punya hak asasi yang tak bisa dikesampingkan begitu saja; di distrik-distrik gula khususnya, ia demikian sering diinjak-injak. Singkatnya, karena kurangnya semangat perlawanan (oppositiegeest) maka kita "tidak punya hak",
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tjipto-Soetatmo-Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (7 of 10)4/3/2005 11:05:22 AM
Tjipto-Soetatmo-Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
baik secara langsung maupun tidak. Tanpa terasa saya sampai ke hal kedua yang ingin saya bicarakan denganmu - sehingga kamu tidak salah menilai saya, misalnya mengaitkan dengan sifat baik yang justru tidak ada pada saya. Obat untuk penyakit apa pun sebenarnya sangat mudah jika penyakitnya diketahui. Dalam kasus kami sekarang semuanya sudah jelas, saya pikir, bahwa (masalahnya) karena kurangnya semangat perlawanan. Budaya Jawa tak membolehkan munculnya kritik terhadap kebijakan pemegang kuasa - sebaliknya, budaya ini mengharuskan kita tunduk tanpa syarat pada pandangan penguasa. Soesoehoenan, misalnya, boleh menyatakan bahwa ia adalah keturunan Adam dan Arjuna, semata-mata untuk menjadikan dirinya berasal dari sumber yang suci dan hebat, sehingga ia bisa mengontrol kita dan membuat kita merasa sebagai manusia biasa, keturunan kromo atau Soeto yang tidak akan berhasil dalam setiap pemberontakan. Oleh karena dewa-dewa adalah nenek moyang Soesoehoenan maka tak perlu dibilang bahwa mereka jelas membela pemegang kuasa ini. Akan tetapi, izinkan saya kembali menjelaskan obat kami. Saya bisa bilang bahwa itu tak lain adalah "pengorganisasian rasa tidak puas", sama seperti yang akan dikatakan De Locomotief. Oposisi harus dilakukan terhadap pemegang kuasa, dengan wajar dan jika mungkin dengan pengetahuan (nyata) tentang hal-hal tersebut. Tetapi, jika terbukti tidak bisa, oposisi demi oposisi semata. Tolong jangan anggap ini sebagai ekspresi antipati saya terhadap dominasi Belanda, sebab saya pun akan tetap beroposisi jika orang Jawa yang berkuasa. Kamu tahu lebih banyak dari pada saya bahwa di dalam BB (Binnenlandsch Bestuur), misalnya, ada pejabat-pejabat yang luar biasa takutnya terhadap kritik yang tajam. Jujur saja, inilah alasan mengapa saya justru melakukannya (yaitu mengekspresikan kritik yang tajam) pada tempat pertama, kedua, dan ketiga. Betapapun, kekhawatiran adalah cara yang baik untuk mencegah terjadinya penyimpangan kekuasaan." Tidak perlu komentar panjang mengenai apa yang dikatakan Tjipto. Itu adalah pembentukan karakter, menempa orang Jawa menjadi satria seperti Dipanegara dengan cara menghadapkan mereka pada serangkaian kesulitan dan kesusahan, yang dianggap Tjipto sebagai obat untuk "orang Jawa yang mudah diatur". Dan ia melihat bahwa satria Indiers yang bereinkarnasi akan menjadi landasan bagi kemerdekaan Indies.
***
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tjipto-Soetatmo-Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (8 of 10)4/3/2005 11:05:22 AM
Tjipto-Soetatmo-Soekarno -- Jumat, 1 Juni 2001
SUDAH jelas kiranya bahwa Soekarno mewarisi dua aliran pemikiran yang berkembang pada nasionalis generasi pertama seperti yang diwakili Soetatmo dan Tjipto. Tetapi Soekarno bukanlah pemikir, ia adalah seorang yang mementingkan tindakan. Maka ia menyerap segala hal walaupun itu mengandung kontradiksi di dalamnya, tesis dan antitesis semua, yang kemudian terwujud secara berbeda-beda dalam hidupnya. Pada tahun 1920-an, ketika bersama Tjipto, Soekarno bicara seperti Tjipto, menyuarakan perlunya national spirit ditempa menjadi national will yang akhirnya akan mewujud dalam bentuk aksi nasional. Pada masa 1960-an, sebaliknya, ia menyuarakan Demokrasi Terpimpin, yang didapatnya dari konsep demokrasi dan leiderschap (kepemimpinan) dari Ki Hadjar Dewantara, yang sangat dipengaruhi oleh visi Soetatmo mengenai negara kekeluargaan di bawah kendali Bapak/yang bijaksana/pandita-ratu. * Takashi Shiraishi, Profesor Ilmu Sejarah di Universitas Kyoto, Jepang.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ● ●
● ●
●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih Dekrit Presiden, Revolusi, dan Kepribadian Nasional "Permintaan Maaf" Soekarno pada Pemerintah Kolonial Belanda Hatta Tak Pernah Kembali sebagai Dwitunggal Bhinneka Tunggal Ika dan"Passing Over" Spiritualitas Bung Karno Antikolonialisme dan Anti-elitisme dalam Pemikiran Soekarno
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Tjipto-Soetatmo-Soekarno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (9 of 10)4/3/2005 11:05:22 AM
Ziarah Kubur Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
English
Nederlands
>Jumat, 1 Juni 2001
Ziarah Kubur Bung Karno Emmanuel Subangun HIKMAH dari kehidupan bersama dalam negara Indonesia selama lebih dari separuh abad ini adalah tak terbantahkannya kenyataan bahwa kekuasaan politik tidak pernah bersifat tunggal, melainkan selalu bersifat ganda, tak menentu. Bung Karno sebagai orang pergerakan, karena itu, juga harus diterima dalam watak majemuknya. Selalu ada sifat tak terduga, atau mungkin diabolik, dalam sepak terjangnya, dan hal itu mudah dimengerti asalkan kita bisa membaca dengan baik naskah yang dia tulis (atau pidato yang dia ucapkan), tindakan yang dia lakukan, dan akibat politik yang dia timbulkan.S ehingga dengan demikian, dari awal kita melihat bahwa cara baca kita terhadap Bung Karno bukanlah cara baca yang naifmaka tulisan ini berjudul Ziarah Kubur Bung Karno- tetapi sepenuhnya adalah tulisan yang bersifat atau mengandung cacat. Tidak netral seperti bayi, tapi adalah bacaan atas Bung Karno seperti pikiran, perasaan, dan tindakan yang dilakukan oleh jutaan warga masyarakat yang datang ke Blitar, di mana Bung Karno tidur untuk selamanya. Dia tidak musnah, tidak lenyap, tapi semata pralaya, semata berpindah ke alam yang lain, dan mereka yang hidup masih dan selalu punya kesempatan untuk bertemu, mengeluh atau mungkin minta petunjuk dan pelipur hati. Bacaan atas Bung Karno, dalam keadaan alam pergerakan Indonesia hari-hari ini, tidak mungkin untuk ditelaah semata-mata secara obyektif, dalam asas paling pokok dari positivisme alias otak adalah cermin yang bersih, dan lewat konsep-konsep yang dibentuk oleh akal, lalu benda-benda di luarnya ditangkap secara netral, karena benda-benda itu bisa dibagi menjadi dua dan hanya dua, yakni res extensa dan res cogitans. Hal pertama dalam fakta dan data, dan hal kedua adalah makhluk manusia yang berpikir dan hanya berpikir. Alam berpikir modern Cartesian seperti ini jelas tak memadai untuk kepentingan kita hari-hari ini. Akan jauh lebih memadai pola pikir yang sepenuhnya tradisional, yakni alam pikir metaforik yang menarik makna dari perasaan, dari metafor, dari file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Ziarah%20K...Bung%20Karno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (1 of 9)4/3/2005 11:05:23 AM
Ziarah Kubur Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
pengalaman, dan bukan dari konsep, dari analisa abstrak. Pengalaman kita bernegara selama ini telah memberi hikmah yang penting. Dari zaman Bung Karno sudah amat jelas bahwa sebuah political goodwill tidak memadai untuk menggerakkan sebuah bangsa keluar 100 persen dari negara kolonial. Dan pengalaman selama Orde Baru memberi pelajaran amat berharga bahwa negara modern yang bersendi pada tentara dan pegawai negeri adalah sebuah anakronisme sejarah: hendak keluar dari negara kolonial, tetapi dengan menghidupkan sebuah negara pegawai (beamtenstaat). Dan masa transisi yang kita alami sekarang memberikan wajah amat pasti bahwa sebagai bangsa dan negara, sebuah unit yang bernama Indonesia itu, sekarang sedang dalam krisis konjungtural, struktural, dan politik. Artinya, dari segi tatanan world system, kejatuhan rezim bisa dilihat sebagai keteledoran dalam investasi dan pengelolaan valuta asing, yang lalu memiliki efek domino. Dana menganggur dari pasar modal dunia secara sembrono ditelan mentah-mentah oleh para kapitalis semu kita, dan akhirnya membawa keruntuhan ekonomi. Sementara di dalam negeri rapuhnya sistem politik segera tak bisa disembunyikan lagi ketika Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) semakin jelas bukan semata-mata sebagai alat negara, tapi sepenuhnya alat penguasa. Dan, karena itu juga sebagai alat penguasa tentara tidak bisa dipisahkan dari sejuta kepentingan yang berkecamuk di dalam negeri-artinya bukan semata-mata dwifungsi, tapi multifungsi!sehingga posisi khususnya juga runtuh. Akhirnya perimbangan kekuasaan "istana presiden" yang berubah menjadi "istana raja" Jawa semakin tidak peka pada pergeseran zaman. Sehingga secara politik memang tidak bisa bertahan lagi. Dalam keadaan semacam itulah, saya membaca sejarah, naskah dan ingatan akan Bung Karno. Bukan bacaan cartesian, bukan bacaan lawan/kawan secara ideologis, tapi adalah bacaan yang paling tradisional. Metaforik, semacam ziarah kubur. (1) Politik aliran dan golongan Salah satu budaya politik amat penting yang dibawa oleh tentara dalam sistem politik di Indonesia adalah sebuah budaya elite yang menggantikan budaya pelopor. Dengan menjadikan massa rakyat sekadar sebagai penonton yang boleh berpolitik sekali dalam lima tahun dalam "pesta demokrasi", maka selain ritualisme politik, hal lain adalah pergeseran pengertian politik yang setali tiga uang dengan barang najis. Elitisme politik berakibat pada penajisan politik.
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Ziarah%20K...Bung%20Karno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (2 of 9)4/3/2005 11:05:23 AM
Ziarah Kubur Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
Dan, hal ini harus dipahami dalam hubungan dengan soekarnoisme. Soekarnoisme secara deskriptif bisa dibaca dari kutipan kisah seperti ini: "Megapa Anda tidak membubarkan PKI?" tanya saya kepada Soekarno ketika saya berkunjung ke Indonesia, beberapa minggu sebelum ia dipecat (Soekarno diturunkan Maret 1966). "Kita tidak dapat menghukum suatu partai secara keseluruhan karena kesalahan beberapa orang," jawabnya. Saya katakan padanya bahwa ia telah dapat melakukannya dalam tahun 1960, ketika ia melarang Masjumi dan PSI. "Masjumi dan PSI," jawabnya, "telah merintangi penyelesaian revolusi kami. Akan tetapi, PKI merupakan pelopor kekuatankekuatan revolusi. Kami membutuhkannya untuk pelaksanaan keadilan sosial dan masyarakat yang makmur." Saya bertanya, apakah ia masih merasa yakin bahwa konsepnya mengenai Nasakom, konsep pemersatuan golongan-golongan nasionalis, agama dan komunis, pada dasarnya benar. Ia menjawab, "Ya". (2) Apa yang dikatakan Soekarno tahun l960 itu tetap merupakan pernyataan keyakinan politik yang dituliskan tahun 1926. Keyakinan akan pentingnya sebuah partai pelopor yang tidak bisa diperankan oleh satu partai saja, tetapi harus dibagi peran oleh tiga unsur pokok yang disebut agama, nasionalis dan komunis yang semua itu mendapatkan perumusan paling utuh dan menyeluruh dalam dasar negara Republik Indonesia yang disebut Pancasila! Dengan demikian amatlah tidak sederhana untuk menafikan Bung Karno semata-mata sebagai seorang makhluk Jawa yang tidak mampu berpikir secara rasional, dan dengan menggunakan selera kepentingan lalu mencari dan menggabungkan apa saja yang disangka baik, lalu dipadukan sebagai sebuah pandangan hidup. Kegentingan masalah partai pelopor bukanlah masalah selera, tetapi masalah himpitan struktural yang tidak mungkin dihindarkan. Dalam naskah tahun 1926 itu Bung Karno menyebut sebuah via dolorosa yang harus sepenuhnya disadari, jika partai pelopor itu dilupakan. Dalam bahasa kaum strukturalis, mereka yang melihat Soekarno hanya menjalankan model berpikir sinkretis sepenuhnya menjalankan praktik baca yang disebut oversight, artinya melihat tapi tak suatu pun yang tampak, karena dalam mencari adequatio rei et
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Ziarah%20K...Bung%20Karno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (3 of 9)4/3/2005 11:05:23 AM
Ziarah Kubur Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
intellectus yang disebut terakhir itu adalah sistem konsep yang dibangun dalam dan dari pengalaman sejarah negeri dan waktu yang lain. Demokrasi dengan seluruh uraian ideologis yang menyertainya sepenuhnya, tidak mungkin dimengerti tanpa sejarah panjang pembentukan negeri nasional di Eropa, sejarah feodalisme, ekspansi kapitalisme dan konflik perang dingin. Nalar pergerakan tidak dapat dilihat secara berjenjang dalam hubungan dengan nalar "kebenaran" seperti ditata dalam filsafat, atau disusun dalam dogma agama. Apalagi sekadar ditilik secara dangkal dengan meninggalkan sinoptik seluruh weltanshauung yang tak lain akan menjadi api ideologi yang menggerakkan perubahan masyarakat untuk keluar dari orde kolonial. Hanya saja ketika tahun 1960-an Soekarno tetap bertahan dengan Front Persatuan, dia tidak terlalu jeli melihat konflik yang tak terkendali antara kepentingan politik militer, dengan sayap dalam sistem politik aliran dan golongan. Soekarno telah menjadi anakronik. Sinkretik atau tidak, bukan itu masalah bagi soekarnoisme dalam sejarah pergerakan. Tetapi pertanyaannya terletak di tempat lain: mampukah ide fixed "persatuan kesatuan" mengantarkan 200 juta rakyat untuk keluar dari sebuah rezim kolonial yang tetap bercokol sampai hari ini? Upaya untuk membangun sejumlah partai pelopor yang dengan terus-menerus dijaga oleh Soekarno selama 40 tahun pada akhirnya sampai pada titik buntu. Dan sementara pikiran itu tidak pernah mati, sistem politik yang menggantikannya adalah sistem elitis yang terbukti hari-hari ini kita menuai hasilnya. Malapetaka! Masyarakat madani Demi sebuah perbandingan dapatlah kita ambil sebuah naskah dan pemikiran revolusioner yang lain dari Rusia. Gagasan pergerakan tetap pada partai pelopor, dan rumusan masalah diletakkan dalam silogisme yang ketat, yang jika ditanggalkan dari semua kerumitan akhirnya akan muncul hal seperti ini: Akar masalah dunia modern adalah ditetapkannya hak milik pribadi sebagai mutlak dan universal. Hak milik pribadi hanya akan bisa dihapuskan dengan hak milik bersama. Dan hak milik bersama dijalankan oleh negara. Oleh karena itu, perjuangan politik paling tinggi adalah merebut kekuasaan negara dari para pembela hak milik pribadi dan
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Ziarah%20K...Bung%20Karno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (4 of 9)4/3/2005 11:05:23 AM
Ziarah Kubur Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
mengalihkannya pada fungsi-fungsi rasional dalam sistem negara. Sehingga pada giliran terakhir relevansi "negara" juga hilang, dan kita hidup dalam "masyarakat". (3) Dalam teori negara sebagai "alat" penindas seperti itu, memang kita bisa meletakkannya dalam uraian yang nonsinkretik, karena dari awal memang dimulai dari silogisme, atau hukum sebab-akibat, propter/ergo. Asal saja kita tahu bahwa sejarah Rusia adalah sejarah negara predator terhadap masyarakat, sebetulnya juga tidak menjadi terlalu sulit untuk akhirnya kita saksikan pergantian teori negara instrumentalis ini digantikan dengan konsep negara yang nonkausal, yang lazim disebut sebagai hubungan negara/masyarakat yang overdeterminatif, artinya hubungan yang melingkar dan seakan-akan tak langsung antara masyarakat dan negara, sehingga sifat gerakan politik juga harus menjadi lain sama sekali. Di Eropa Timur sifat gerakan politik itulah yang disebut dengan gerakan masyarakat sipil, yang sepenuhnya adalah selundupan konsep demokrasi dalam sistem otoriter Eropa Timur: masyarakat yang tidak dipilah dalam garis ideologi (komunis/ nonkomunis), dan hubungan terbalik masyarakat dan negara. Dan dalam penerapan sistem politik adalah diperkenalkannya sistem multipartai. (4) Akan terlalu frontal jika terhadap masyarakat yang baru terbebas dari sistem komunis, lalu diperkenalkan sebuah sistem yang diberi nama "kapitalis". Sehingga, meskipun isi ideologi dari masyarakat sipil tak lain adalah kapitalisme yang cocok untuk Eropa Timur, tidaklah terlalu mengherankan jika istilah tersebut diambil alih oleh wacana politik di Indonesia berdasar atas paralelisme pengalaman psikohistoris antara Indonesia dan Eropa Timur, dengan prakarsa penuh dari para teknokrat politik Amerika Serikat. Anehnya, tak seorang pun pernah mempersoalkan bahwa masyarakat sipil alias madani itu sama anakroniknya dengan front persatuannya Bung Karno di tahun 1960-an, dalam arti sekarang ini masyarakat sipil sesuai dengan kepentingan dan wacana ideologis Amerika Serikat, sedangkan Nasakom, dari awal memang tidak sesuai dengan kepentingan kapitalisme global seperti itu. Dan dapatkah Anda membayangkan bagaimana hal itu mungkin terjadi, sebuah negeri kapitalis pinggiran seperti Indonesia yang hancur lebur dalam proses penataan ulang sistem kapitalisme global, melalu jalur pendek yang disebut saluran finansial dan utang, lalu sejumlah elite nasionalnya sibuk berucap litani tentang kemudaratan masyarakat sipil, sebuah konsep impor bikinan luar untuk obat penenang di Eropa Timur itu? file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Ziarah%20K...Bung%20Karno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (5 of 9)4/3/2005 11:05:23 AM
Ziarah Kubur Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
Sejarah negara kita adalah sejarah negara jajahan. Negara jajahan bukan saja negeri itu diperas untuk negeri induk, tetapi jauh lebih mendalam dari itu semua, selalu tumbuh anggapan bahwa anak negeri jajahan adalah sekadar manusia setengah dewasa, yang tidak mampu berpikir mandiri, bertindak bebas dan bertanggung jawab. Negara jajahan adalah sebuah penghinaan sejarah atas harkat kita sebagai manusia, dan bukan semata masalah ekonomi, politik atau budaya. Apa yang salah dengan orang Jawa? Lazimnya orang akan mengatakan bahwa nalar sinkretik amat dominan pada Suku Jawa, karena suku inilah di Nusantara yang secara tuntas mengalami penjajahan dan dalam sejarah yang panjang mengenal gelombang besar peradaban dunia, mulai dari Hindu/Buddha, Islam dan juga ilmu politik modern. Karena Suku Jawa ini juga merupakan warga terbesar dari negara Indonesia, maka seakan teori antropologi gaya Geertz yang trikhotomis (santri, abangan, priayi) juga bisa menjelaskan proses involutif dari gerak masyarakat Indonesia. Dalam bidang politik, semua tinjauan itu hanya menjadi pengetahuan umum, sejenis common sense yang harus diterima sebagai "anggapan umum", dan tetap diterima sebagai "anggapan". Sebab, seperti kita kenal dalam dasawarsa 1970-an dan 1980-an, seakanakan program westernisasi itu sudah mencapai titik puncaknya, dan semua berbicara atas nama negeri industri baru (5), seakan-akan Indonesia telah menjadi bagian integral, tanpa masalah, dengan sistem kapitalis global. Kenyataan hari-hari ini adalah kenyataan yang pahit. Negara dengan pengalaman dijajah secara habis-habisan mengidap penyakit yang sangat tidak mudah disembuhkan: negara selalu dimengerti dalam kaitan rapat dengan bangsa. Sementara negara tak lebih merupakan sebuah unit dari sistem negara dunia, maka bangsa adalah struktur pengalaman yang jauh lebih mendalam. Negara harus bisa menjamin rasa berbangsa, dan masalah ini menjadi mendesak atau tampak amat mendesak jika dibandingkan dengan sejarah bahwa Asia lain yang tidak mengenal penjajahan seperti Thailand, Jepang, Korea atau bahkan Cina. Mereka yang tidak mengalami sindrom westernisasi ini tidak menderita luka sejarah-via dolorosa-seperti harus kita terima bersama. Soekarno mengerti, menjalani, berjuang dan wafat dalam via dolorosa itu. Bukan semata sebagai warga Suku Jawa yang irasional, sinkretik dan keras kepala. Sebagai orang pergerakanlah
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Ziarah%20K...Bung%20Karno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (6 of 9)4/3/2005 11:05:23 AM
Ziarah Kubur Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
harga Soekarno dalam sejarah Indonesia mesti ditorehkan. Sekali lagi, saya membaca Soekarno secara tradisional (metaforis) dengan mengandalkan pada ingatan, bacaan dan harapan, dan bukan dalam cara baca modern (obyektif) yang menerapkan sebuah konsep lain yang lebih sistematis untuk membaca Soekarno yang sinkretis, juga bukan cara baca pascamodern (simulatif), yang mengambil Soekarno sebagai sekadar naskah yang memburat dan terburai. Oleh karena itu, sepantasnya pula jika tulisan ini ditutup dengan baris-baris terakhir naskah pemimpin bangsa dan negara itu dari tahun 1926 tersebut tentang persatuan dan kemerdekaan: "Kita harus bisa menerima, tetapi juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya persatuan itu. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masingmasing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit saja. Dan jikalau kita semua insyaf bahwa kekuatan hidup itu letakan tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi, jikalau kita semua insyaf bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita, jikalau kita semua insyaf bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya "via dolorosa"; jikalau kita insyaf bahwa roh rakyat kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju sinar yang satu yang berada di tengah-tengah kegelap-gumpita yang menglilingi kita ini maka pastilah persatuan itu terjadi, dan pastilah sinar itu tercapai juga. Sebab sinar itu dekat!" Dan, kita menelan kepahitan itu: ternyata sinar itu semakin menjauh, hari-hari ini. * Emmanuel Subangun Pengamat sosial politik, direktur Alocita, Yogyakarta. Rujukan: (1) Cara baca cartesian yang menjadi dasar segala rupa positivisme mengandaikan res cogitans itu ibarat cermin. Semakin bersih dan berkilau cermin itu, akan semakin "obyektif" bacaan kita. Disebut bacaan "bebas nilai". Cara baca yang lain adalah bacaan strukturalis, atau malah pasca strukturalis, lihat Althuser, Louis et al, Lire Le Capital, Petite Collection Maspero,1968, Paris, dan juga Baudirallard, Jean, Le System des objets, Denoel-Gonthier, Paris, 1968. file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Ziarah%20K...Bung%20Karno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (7 of 9)4/3/2005 11:05:23 AM
Ziarah Kubur Bung Karno -- Jumat, 1 Juni 2001
(2) Banyak buku ditulis mengenai Soekarno, tetapi karya Bernard Dahm adalah salah satu yang utuh melihat tokoh ini secara kultural dan meletakkan dalam sejarah Ratu Adil, sehingga dengan sendirinya muncul kesimpulan sifat sinkretik dari gagasan Soekarno. Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, LP3ES, 1987, Jakarta, p. XIV. Dan Onghokham yang memberi pengantar dalam edisi Indonesia juga sudah mempersoalkan cara pandang kultural Dahm. Tulisan utama yang menjadi acuan pemikiran saya adalah buah pena Bung Karno tahun 1926 yang dimuat di Suluh Indonesia Muda, berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, dimuat dalam bagian pertama buku Di Bawah Bendera Revolusi, 1965, Jakarta, pp.1-23 (3) Teori withering away the state adalah doktrin resmi marxisme ortodoks, yang kemudian banyak menemukan rumusan baru dalam tahun 70-an, di Eropa. Naskah klasik untuk negara instrumental itu, lihat Lenin, N, The State and Revolution, 1917, Petrograd. (4) Salah satu buku untuk masyarakat sipil, lihat Hefner, RW, Democratic Civility, New Jersey, 1998. Dan kaitan dengan krisis komunisme yang melanda Eropa Timur lihat Drach. Marcel Le Crise dans les pays de L'est, Editions de la Decouverte,1984, Paris. (5) Optimisme palsu dan hiperbolik tentang Indonesia dan Asia bisa dilihat dalam buku Naisbitt, John, Megatrends Asia, Simons and Schuster, New York, 1996, setahun sebelum krisis menyapu negara kita.
Berita nasional lainnya : ●
●
● ● ● ● ● ● ● ● ●
Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Latar Belakang Sosio-kultural Dunia Kanak-kanak dan Masa Muda Bung Karno Bung Besar, Ideolog yang Kesepian Bung Karnodan Tiga Pelukis Istana Bung Karno, Arsitek-seniman Peristiwa G30S, "Titik Balik" Soekarno Bung Karno, Perjalanan Panjang Menuju G30S Di Seberang Jembatan Emas Kepentingan Bangsa Vs Kepentingan Perempuan Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru
file:///D|/100%20Tahun%20Bung%20Karno/Ziarah%20K...Bung%20Karno%20--%20Jumat,%201%20Juni%202001.htm (8 of 9)4/3/2005 11:05:23 AM