Kolom IBRAHIM ISA Senin Malam, 13 Juli 2015 -----------------------
KRONIK “PULANG -KAMPUNG” - (4) BUKU, BUKU, SEKALI LAGI . . . BUKU . .
MENYOROTI DUA BUKU PROF. DR. BASKARA T. WARDAYA * * * Sudah lanjut umur begini (Agustus yad, 85th) – tapi, syukur alhamdulillah beberapa hari y.l , dengan jalan-kaki masih sanggup menarik dua kereta-geret dari Winkelcentrum Amsterdamse Poort, ke rumah. Yang satu isinya 23 buah buku, kiriman dari Jakarta, berkat bantuan kawanku Sutriyanto. Kereta-geret satunya berisi belanjaan untuk dapur akhir pekan ini. Pegawai KPN (Kantorpos Belanda dua hari sebelumnya dan keeesokan harinya sudah datang membawa parsel berisi buku-buku itu ke alamat rumah – sayang kami sedang keluar). Yang ingin diangkat disini ialah, dua dari 23 jilid buku kiriman dari Jakarta itu. Dari sekian banyak buku, hanya satu dua saja yang kubeli sendiri. Yang lainnya adalah pemberian kenang-kenangan dari Romo Baskara Wardaya, dan Peter, pimpinan GALANGPRESS. *** Masih ada sejumlah buku lagi yang kuperoleh dari budayawan Jaya Suprana, Jakarta, karya-penanya sendiri, yang masih akan kuterima dari Jakarta. Dua dari 23 buku itu, empat jilid adalah buku-buku karya Dr. Baskara T. Wardaya SJ, ada dua yang ingin kusoroti : 1. “Bung Karno MENGGUGAT”- Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Mssasl '65 hingg G30S. Dilengkapi dengan Dokumen Rahasia: Dubes AS – Marshall Green, 1 Oktober 1965 – Memorandum CIA, 6 Oktober, 1965. Buku ini adalah – Edisi Revisi – Cetakan ke-VII (2009) – BEST SELLER. Komentar Penerbit: “Tragedi berdarah 1 Oktober 1965, yang menewaskan tujuh perwira tinggi Angkatan Darat, hingga kini masih menyisakan sejumlah tanda tanya besar, siapa yang dalang dibalik peristiwa itu? Siapa saja perwira yang melancarkan pemberontakan? Benarkah
1
PKI terlibat dalam pemberontakan itu? Bagaimana dengan Suharto? Dan apa sesungguhnya peran Bung Karno? Pertanyaan-pertanyaan diatas penting untuk segera dijawab. Mungkinkah mereka dapat dituduh sebagai perancang perkomplotan terhadap perwira tinggi AD dan bahkan membantunya? Inilah buku yang mencoba melihat Tragedi '65 dalam perpsektif yang lebih luas, khususnya berkaitan dengan hidup dan perjuangn Bung Karno. Dilihat pada peran berbagai pihak lain dalam tragedi itu. Dokumen-dokumen rahasia dari Dubes AS Marshal Green dan memorandum CIA dikaji dengan teliti untuk melihat peta permasaalahan yang ada. Satu hal yang penting yang selama ini dipendam rezim Orba adalah soal pembunuhan massal atas nama penumpasan pemberontkan PKI, yang dikaitkan dengn Peristiwa 1 Oktber 1965. Ribuan orang dibantai tanpa proses pengadilan oleh tangan-tangan penguasa. Bila tujuh orang perwira AD yang tewas akibat peristiwa Gestok dijadikan “Tujuh Pahlawan Revolusi” (Tuparev) bagaimana dengan ratusan ribu nyawa yang dibantai atas nama penumpasan pemberontakan PKI itu? *** Sebagai akhli sejarah, Baskara T. Wardaya mengajak pembaca bukan sekadar meributkan siapa dalang peristiwa Gestok, tetapi juga membangun satu kesadaran advokasi: --- Siapa yang bertanggungjawab atas pembantaian massal usai peristiwa 1 Oktober tersebut, yang hingga kini masih menyisakan trauma tak berkesudahan? Demikian tanggapan “Penerbit Gelanggangpress” atas buku penting Baskara T. Wardaya. *** Buku Baskara satunya lagi yang kuterima adalah yang berjudul : ”Bertemu Matahari – Cerita tentang Sakit, Ambang Maut, dan Kehidupan Baru” – Buku ini kami (Murti dan aku) peroleh dari Romo Baskoro sebagi kenang-kenangan , – – ketika kami bertemu dan cakap-cakap di Yogyakarta April 2015 y.l. Tentang buku yang UNIK dan PRIBADI ini ingin kuangkat apa yang ditulis oleh penerbitnya, a.l sbb: “BERTEMU MATAHARI – Cerita tentang Sakit, Ambang maut, dan Kehidupan baru”:
2
Salah satu momen tersulit dalam hidup manusia adaah momen ketika ia sedang menderita sakit yang berat. Apalagi harus opname di rumah sakit. Selain harus menghdapi tantangan fisik berupa rasa sakit yang mendalam, orang yang sakit harus pula menghadapi tantangqn psikologis berupa kesediaan atau ketidak sediaan menerima fakta bahwa ia sedang sakit berat. Dalam situasi demikian seringkali ia juga harus berjuang menghadapi dua kemungkinan: sembuh total, atau tidak sembuh dan harus bersiap mengucap 'selamat tinggal' pada kehidupan. Berada dalam posisi serupa itu, tentu tidak mudah. Banyak orang menjai galau karenanya. Pada saat yang sama, keadaan sakit berat juga bisa menjadi kesempatan emas bagi seseorang untuk berpikir ulang tentang banyak hal penting: tentang hidup, tentang keterbatasan manusia, tentang persahabatan, tentqang perjuangan batin, tentang kemampuan berimijinasi, tentaqng sejarah bangsa, bahkan tentang kematian. Juga tentang iman, harapan dan kasih. Buku ini berisi sebuah rangkaian cerita mengenai bagaimana seseorang secara nyata berhadapan dengn pilihan dan kemungkinan-kemungkinan seperti itu. Dalam rangkaian cerita tersebut terselip butir-burit refleksi tentang manusia ketika ia berada dalam kondisi sakit yang berat, bahkan sempat berada dalam jangkauan maut. Dengan membacanya Anda akan diajak untuk turut berpikir-ulang mengenai sejumlah hal penting dalam keseharian Anda. “You will never change your life until you change something you do daily”, kata penullis terkenal John Maxwell. Betul. Kita tidak akan pernah mengubah hidup kita sampai kita mampu mengubah apa yang kita lakukan sehari-hari. Semoga buku ini membantu Anda untuk mengubah diri disekitar Anda sedikit demi sedikit, hari demi hari. Demikian tanggapan Penerbit GalangPress mengenai karya cemerlang Baskara T. Wardaya SY menyangkut falsafah hidup dan untuk apa hidup. *** Sungguh terasa penyesalan-- apa sebab aku samasekali tidak mendengar, tidak mengetahui, bahwa seorang sahabat akrab, Baskara T Wardaya, pada pertengahan
3
Desember 2013 y.l – – – terserang sakit parah dan perlu menjalani operasi berat dan gawat ? Makanya, ketika kami jumpa April y.l. Di Yoyakarta, aku heran melihat beliau itu, begitu 'langsing'. Kurus! Kok kurus Pak Baskara? Tanyaku heran. Baskara mengangkat jasnya memperlihatkan bahwa ia pernah menjalani operasi besar. Aku ucapkan selamat operasinya sukses. Tapi tidak sempat menanyakan mengapa beliau dioperasi dan kapan? Setelah membaca bukunya “BERTEMU MATAHARI” -- barulah kuketahui segala sesuatu mengenai sakit yang menyerangnya dan operasi besar yang dijalaninya dengn sukses. *** Suatu kesimpulan pemikiran, perenungan dan refleksi yang AMAT LUHUR DAN BEGITU MULYA ! Dalam bukunya itu Baskara mengisahkan begitu banyak kawan-kawan, relasi dan keluarganya yang datang menjenguknya ketika ia diopname sesudah menjalankan operasi besar. Semua menyatakan empati, doa dan harapan mereka agar Romo Baskara cepat pulih seperti semula. Seperti dikemukakan --- ketika harus memutuskan menjalankan opersi - ya atau tidak -- ; dan selama masa pemulihan kesehatan, sesudah dioperasi: Romo Baskara banyak merenungkan dan berfikir kembali mengenai segala sesuatu di dunia yang fana ini. Beliau BERSYUKUR . . . operasi telah sukses dan pulih kembali. Sebagai “imbalan”, terhadap 'nasib' baik yang jatuh padanya, halmana menurutnya --bukanlah sekadar 'kebetulan' – – – tetapi karena “Yang Diatas” mengendakinya demikian – maka Baskara T. Wardaya --- menyimpulkan selanjutya akan -- BERBUAT LEBIH BANYAK DAN LEBIH BAIK LAGI, TERHADAP SESAMA INSAN . . Sungguh suatu kesimpulan pemikiran, perenungan dan refleksi yang AMAT LUHUR DAN MULYA
4
*** PANDANGAN SEKITAR PERISTIWA “TRAGEDI 1965“ Buku-buku yang telah ditulisnya sekitar pembantaian masal 1965, tidak sedikit. Dalam bukunya yang sedang dibicarakan ini, diulanginya dan ditegaskannya kembali, dalam kalimat-kalimat (a.l) sbb: “DEMOKRATIS KERAKYATAN” “Bicara tentang 'Tragedi '65', saya juga merasa bahwa selama opname di Rumah Sakit Panti Rapih itu saya banyak berguru dari buku-buku yang saya baca. Salah satu bukunya adalah buku yang berjudul “Kekerasan Budaya Pasca 1965” (Marjin Kiri, 2013). Buku ini ditulis oleh Dr. Wijaya Herlambang, seorang dosen di Universitas Pancasila, Jakarta, yang sebelumnya menempuh studi di Australia. Buku itu menarik, karena padanya saya bisa berguru mengenai sejarah perkembangn pemikiran dan budaya yang ada di Indonesia, khususnya sejak terjadinya pembantaian massal tahun 1965-1966. Jika dilihat sekilas dinamika budaya ekonomi dan politik di Indonesia sejak pembantaian tersebut terkesan bergerak secara “alamiah”. Seakan semuanya berjalan sebagaimana seharusnya, suatu arus zaman. Bahkan seakan terasa normal juga jika sebagai orang Indonesia, kita itu berpikir bahwa orng-orng yang berorientasi kiri, berorientasi kerakyatan, apalagi komunis itu jahat dan layak dibunuh. Tak kalah “alamiahnya” adalah bahwa Presiden Sukarno itu gagal memerintah, bahwa Presiden Suharto itu penuh keberhasilan, bahwa pemerintahan Orde Baru lebih hebat daripada pemerintahan Orde yang dijuluki “Lama”, dan sebagainya. Melalui bukunya, Wijaya Herlambang mengingatkan saya bahwa opini-opini seperti itu tampaknya perlu dikaji ulang. Buku ini menggelitik rasa ingin tahu saya. . . . Saya membacanya dengan tekun. Isinya sangat menarik dan menurut saya perlu diketahui oleh sebanyak mungkin orng Indonesia, terutama para seniman, aktivis, dan kaum intelektualnya. Dari buku itu, misalnya, saya menjadi tahu bahwa taqk lama setelah berakhirnya Perng Dunia Kedua tahun 1945, Amerika membentuk sebuah organisasi internasional bernama Congress for Cultural Freedom, disingkat (CCF). Tujuannya adalah untuk membentuk (baca memformat) cara berpikir bangsa-bangsa di dunia ini supaya berpikir sedemikian rupa sehingga akan menerima dan mendukung gagasan kapitalisme liberal. Diterimanya gagasan dan sistem ekonomi kapitalisme liberal ini penting bagi Amerika karena, menurut buku ini, akan menjamin superioritas ekonomi Amerika Serikjat. Artinya, AS akan mampu
5
menguasai sumber-sumbr alam milik banyak negara, sekaligus menjadikan negara-negara itu sebagai pasar bagi produknya. Sebagai bagian dari upaya tersebut, AS berusaha menyingkirkan setiap pemikiran yang berhaluan 'kiri'. Yang dimaksudkan dengn “kiri” disini adalah setiap bentuk pemikiran yang berorientasi kerakyatan dan yang bersikap anti terhadap sistem ekonomi kapitalis yang dikenal sangat eksploitatif itu. Dalam hal ini musuh terbesar bagi AS dengan ideologi kapitalisnya tentu saja adalah komunisme. Oleh karena itu, AS berusaha menghancurkan setiap pemikiran partai politik, dan pemerintahnya yang berhaluan kiri atau komunis. Bagi AS, komunisme harus dilawan, bukan terutama karena apakah orang-orang komunis bertuhan atau tidak, melainkan lebih karena jika dibiarkan, sistem komunis akan menjadi penghalang bagi berkembangnya sistem kapitalis yang tentu saja akan menguntungkan AS dan sekutu-sekutunya. Dalam pelaksanaannya, salah satu cara yang ditempuh oleh CCF adalah membentuk suatu jaringan yang terdiri dari kaum intelektual dan aktivis politik, maupun aktivis budaya supaya memeluk gagasan-gagsan liberalisme Barat. Pada saat yang sama kaum intelektual itu diperdaya supaya membantu menyebarkan komentar-komentar yang sifatnya mendeskreditkan dan memusuhi ide-ide kerakyatan dan komunis. Hal itu dilakukan oleh CCF hampir di setiap negeri yang menjadi targetnya. Salah satu negara yang menjadi target CCF itu tentunya adalah Indonesia. Sejak tahun 1950-an, masih kata buku Wijaya, melalui seorang agen CCF bernama Ivan Kats, agen CCF ”menggarap” sejumlah aktivis Indonesia. Tujuannya adalah supaya para pemikir, aktivis, dan seniman itu membantu menyebarkan gagasan-gagasan yang mendukung kapitalisme sekaligus mendeskreditkan setiap pemikiran yang berciri kerakyatan. CCF mendorong paham bahwa yang namanya kemanusiaan dan seni itu bersifat “universil”, tak hendak memihak siapapun. Gagasan ini kemudian terumus dalam istilah “humanisme universil”. (Wijaya Herlambang, 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film. Jakarta: Marjin Kiri, hlm 8-9.) Pada satu sisi gagasan demikian terdengar bagus dan mulya. Pada sisi lain ide seperti itu juga secara halus mengajak supaya para pemikir, aktivis, dan seniman Indonesia tidak tertarik untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, khususnya mereka yang berada di lapisan bawah masyarakat. Dalam kaitannya dengan kelompok komunis, CCF mendorong para pemikir, aktivis, dan seniman Indonesia yang telah berada di bawah pengaruhnya untuk menyebarkan sikap anti-komunis. Caranya antara lain dengan menyebarkan tuduhan bahwa komunisme itu jahat, curang, ateis dan sebagainya.
6
(Bersambung) ***
7