“BERSIH DAN KOTOR” KANAL BATAVIA DAN TRANSFORMASI SPASIAL MASA KOLONIAL (“Clean and Dirty” on Batavia Canal and Colonial Spatial Transformation) Euis Puspita Dewi Program Doktor, Departemen Arsitektur, Universitas Indonesia e-mail:
[email protected] Abstrak Isu tentang “kebersihan” selain terkait dengan aspek fisik, juga berkaitan erat dengan dimensi sosial dan budaya. Konsep“bersih” dan “kotor”dapat dijadikan sebagai penanda perbedaan ras, kelas dan warna kulit, baik menyangkut pakaian, tubuh, alam ataupun lingkungan terbangun. Kanal Batavia sebagai lingkungan buatan masa kolonial yang kini dengan kondisi yang kotor dan bau merupakan fenomenayang perlu diungkap melalui perjalanan panjang sejarahnya. Foto-foto, lukisan dan cerita-cerita masa lalu tentang kondisi “bersih” dan “kotor” dan segala aktifitas di kanal Batavia, merupakan bukti sejarah yang dapat diinterpretasi dan ditelusuri secara sinkronik dan diakronik. Pada awal abad ke 17, Batavia dibangun sebagai kota kanal yang lebar, bersih dan indah dengan tujuan pertahanan, rekreasi, pengendali banjir dan penanda status, kemudian mengalami perubahan pada pertengahan abad ke-18 sebagai kanal yang kotor, bau, dan menjijikan. Akhirnya,kanal-kanal tersebut satu persatu dikubur dan Batavia ditinggalkan.Melalui otoritas serta superioritas bangsa Eropa, pusat pemerintahan dipindahkan ke area yang lebih tinggi yaitu Weltevreden, dengan alasan kebersihan.Kehidupan baru dibangun kembali dengan membangun landhuislandhuis yang luas di sepanjang kanal. Kanal Molenvliet yang pernah dibangun pada 1648, dihidupkan kembali dan masih dijadikan sebagai akses yang menghubungkan kota bagian atas dan bawah. Namun, awal abad ke-20, kanal Molenvliet dan Pasar Baru sebagai kanal di kawasan Weltevreden tidak digunakan oleh orang-orang Eropa, terutama ketika teknologi transportasi dan sanitasi berkembang.Pada masa itu, bangsa Eropa dihadapkan padapilihan cara hidup yang menurut mereka lebih berkelas dan beradab.Mereka lebih memilih kereta kuda dan tremsebagai sarana transportasi dan kamar mandi di belakang rumah sebagai ruang aktifitas kebersihan.Sedangkan kanal digunakan hanya oleh orang pribumi dengan berbagai aktifitas, seperti mandi, cuci, memancing dan buang kotoran.Akhirnya, kanal menjadi penanda perbedaan kelas antara bangsa Eropa dengan pribumi.Bagi bangsa Barat, kegiatan membersihkan diri adalah di dalam ruangan yang dibatasi oleh dinding yang kemudian berkembang dan dikenal sebagai area privat, sedangkan bangsa pribumi melakukannya di ruang publik, yaitu kanal. Jadi, kondisi kanal yang kini tergambar dan memiliki julukan “kotor”, secara masif sudah terbentuk dari masa lalunya. Fakta ini seharusmya membuka kesadaran bagi masyarakat Jakarta kini untuk membentuk konsep kebersihan yang berasal dari jati diri dan budaya sendiri yang memiliki nilai-nilai tinggi, bukan budaya meniru dari jati diri pihak lain. Kata Kunci: Bersih, Kanal, Kotor, Transformasi Abstract The issue of cleanlinessis not only related to the physical aspect, but it is also closely related to social and cultural dimensions. The concept of "clean" and "dirty" can be used as a marker of differences of race, class, and color of skin, either in Seminar Nasional Keberlanjutan Ruang Huni Masa Depan EKO-ARSITEKTUR
269
Jurusan Arsitektur FTSP - Universitas Trisakti relation to clothing, body, natural environment, or built environment. Batavia canalsas artificial environment of the colonial period, now dirty and smelly, is a phenomenon that needs to be revealed by under understanding its long history through photographs, paintings, and stories in terms of "clean" and "dirty" as well as all the activities on the canals. That evidencecan be traced synchronically and diachronically.In the beginning of the 17th century, Batavia C Canal was a wide, clean, and beautiful stream for defensive purposes, recreation, flood control, and status markers, then it transformed into a dirty, smelly, and disgusting canal in the mid 18th century. Finally the Batavia canal was abandoned, and the aut authority of the Europeans wasmoved the administrative center to a higher area called Weltevreden for hygienereasons. It resulted on the development of landhuis along the Molenvliet canal, that was ever built in 1648 was revived and used as the access that connects onnects the upper and lower town.Inthe beginning of the 20th century, the Molenvliet and Pasar Baru canalsin Weltevreden area were no longer used by the European, especially when technology,transportation, and sanitation were developed. At that time, Europeans eans had to choose whether to live in a more classy and civilized lifestyle. Instead, they prefer to choose horse horse-drawn carriages and trams as a means of transportation and a bathroom at the backyard as a space for cleanliness. Whereas, the canal is used o only by indigenous people to do daily activities, such as bathing, washing, fishing and others. Canal became a marker of stratification status of indigenous and European. The European used a room bounded walls as personal services area, while indigenous peo people used canal as their sanitation public services.The canal is recognized as a ‘dirty’ area because of the history. Therefore, the public should create the concept of cleanliness deriving from their own cultural identity instead of imitating others. Keywords:: Canal, Cleanliness, Dirty, Transformation. PENDAHULUAN Berdasarkan terminologinya, kanal adalah sungai buatan manusia (man-made river) yang secara fisik menghubungkan kota dengan badan air dan menyusur serta mengait bagian kota (lace together neighboorhood/district, boorhood/district, link several cities in one line, began as towns ringed with circular moats, walls and towers to defend against invasion) (Moore, 1994). Kanal juga merupakan wadah sekaligus saluran (channel) (channel)(Erick, 2000) yang mengarahkan air dari tempat awal atau asal ke tempat tujuan, bisa hasil modifikasi dari sungai yang ada atau sengaja dibangun dari awal karena tidak ada sungai. Kanal sering disebut “roads on the move” (Cohen, 2001), yang dibuat oleh manusia dengan tujuan sebagai jalur air, jalur transportasi ransportasi dan navigasi juga sebagai pemasok air air. Namun kanal juga memiliki pengertian sebagai aliran, arus atau bahkan sebuah kandungan air sebagai sumber pemberi kehidupan ibarat pembuluh vena dan arteri (Moore, Moore, 1994) yang mampu memberikan citra dan persepsi. Berdasarkan sejarahnya, Bataviapernah menjadi kota yang memiliki banyak kanal yang bersih dan memiliki arti penting bagi kota dan penghuninya. Namun, fenomena kini yang terjadi pada kanal yang tersisa telah menjadi area yang terabaikan, kotor bau, penuh sampah dan penyebab banjir. Fenomena kotor dan bersih pada kanal Batavia ini menjadi isu yang melatarbelakangi tulisan ini untuk dapat ditelusuri perjalanan sejarahnya dan mengungkap bagaimana transformasi secara spasialnya terjadi di masa kolonial. Secaraterminologis, kata bersih berasal dari Bahasa Inggris yaitu clean sebagai kata sifat yang juga berarti pure, elegant, neatdan dan menghasilkan kata turunan cleanly sebagai kata keterangan; ‘to cleanse’ sebagai kata kerja (Erick, 2000) atau cleannessdancleanliness sebagai kata benda. Kata “cleanliness’’lebih lebih umum terdengar dibanding‘’ dibanding‘’cleanness’’. Sekilas Seminar Nasional Keberlanjutan Ruang Huni Masa Depan EKO-ARSITEKTUR ARSITEKTUR
270
keduanya memiliki arti yang sama dan berhubungan. Namun cleanness biasanya digunakan untuk merujuk kepada perasaan tentang bersih yang bersentuhan dengan bentuk, penampilan atau kesan yang dimunculkan. Sedangkan cleanlinessberhubungan dengan kualitas moral, keyakinan atau sebuah aphorisme terhadap sesuatu yang baik dan buruk. Cleanliness may be wed with a moral quality, as indicated by the aphorism "cleanliness is next to godliness, and may be regarded as contributing to other ideals such as health and beauty”. Kata bersih pada dasarnya digunakan untuk menggambarkan sebuah kondisi yang secara fisik bebas dari kotor,baik pada tubuh, benda atau lingkungan. Namun, persepsi atas ‘”bersih”dan “kotor” juga digunakan untuk menggambarkan sebuah pujian atau sebaliknya kecaman terhadap individu atau sekelompok orang untuk membedakan status sosial, ekonomi, agama atau latar belakang etnik (Dijk, 2011). Kata bersih dan kotor seringkali dimanfaatkan sebagai alat untuk menunjukkan superioritas sebuah pihak terhadap pihak lainnya. Tulisan ini akan melihat kanal Batavia dalam sebuah transformasi spasial dengan konsep “bersih”‘’dan kotor’’di dalamnya dan menjawab apa pengaruh kuasa terhadap konsep ‘’bersih’’ dan kotor’’ pada transformasi kanal di Batavia pada masa kolonial. METODE PENELITIAN Lokasi dan Data Batavia Bawah dan Batavia Atas menjadi lokasi yang diteliti secara diakronis untuk melihat transformasi kanal secara makro dan kawasan Molenvliet (kini Jl. Gajah MadaHayam Wuruk) yang diteliti secara sinkronis untuk melihat konsep “bersih” dan “kotor”kanal secara mikro. Data yang dikumpulkan berasal dari sumber-sumber yang terdiri dari peta sebagai alat tektualisasi dari realitas spasial. Foto dari berbagai sumber juga diambil untuk mengembangkan data semakin banyak.Foto juga sangat kuat dalam menggambarkan hubungan antara perilaku manusia dengan ruang. Namun, foto tidak dapat dijadikan sebagai sumber paling penting melebihi sumber lainnya (Borchert, 1982). Oleh karena itu perlu upaya ‘membersihkan’ atau ‘memfilter’ bukti tersebut untuk menghindari sumber yang tidak jelas asal usulnya, dengan cara menghilangkan bagian yang tidak sesuai, dan mengambil informasi dari bagian yang sesuai. Teks, yang bersumber dari catatan perjalanan, surat pernyataan, surat keputusan dan lain-lain juga merupakan data dan informasi yang penting untuk digali dan diinvestigasi, karena akan memiliki relasi dengan ruang dan komunikasi terhadap makna yang terkandung di dalamnya. Metode Analisis Sejarah merupakan pendekatan yang dipilih untuk mengungkap dan menjelaskan transformasi spasial kanal Batavia dalam wacana bersih dan kotor. Interpretasi kemudian menjadi pijakan penting dalam menghasilkan penulisan. Penafsiran terhadap gambar dan teks-teks sejarah untuk memberi gambaran bagaimana peristiwa di masa lalu tersebut terjadi, sehingga terjadi proses yang berkesinambungan dan interaksi fakta-faktanya, sebagai sebuah dialog antara masa sekarang dan masa lalu (E. H. Carr, 2001). HASIL DAN DISKUSI Kanal sebagai wujud material, bukan saja dilihat sebagai obyek, namun juga dilihat sebagai elemen intrinsik dari kehidupan manusia sehari-hari. Kanal tidak dikomposisikan sebagai obyek yang terisolasi dan hanya bersifat monumental, namun juga menyediakan cerita tentang latar belakang (Borden, 2002) danproses keterlibatan manusia di dalamnya. Selain sebagai ruang produk sejarah (historical production), kanal Batavia merupakan
Seminar Nasional Keberlanjutan Ruang Huni Masa Depan EKO-ARSITEKTUR
271
Jurusan Arsitektur FTSP - Universitas Trisakti medium dari kehidupan sosialnya, ya, yang diproduksi dari hasil aktivitas manusia (Levebre, 1991). Kanal di Jakarta kini tidak terlepas dari keberadaan kanal kanal-kanal Batavia pada masa lalunya. Kanal Jakarta yang kini dijuluki”kotor” dengan air yang penuh sampah, bau (Gambar 1), sebagai area belakang dan tempat membuang (Gambar 2), sesungguhnya berawal dari sebuah sungai yang pada awal abad ke-17, 17, ditemukan oleh VOC dengan kondisi yang bersih dengan airnya yang sangat jernih. Cornelis Matalief de Jonge, seorang pelukis armada VOC yang berlabuh h di Jayakarta pada tahun 1607. Batavia digambarkan sebagai kota yang dikelilingi pagar dari kayu yang rendah, rumah dari kayu dan gedek, atap dari jerami; dengan sungai yang bersih dan air yang baik, udaranya enak dan segar (Matelief de Jonge, C., 1648: 56, 6, dalam Heukeun, 2000). Lahannya yang sangat subur akan segala macam makanan serta airnya yang jernih yang sangat cocok untuk menyegarkan para pelaut juga digambarkan pada pelabuhan Jayakarta (Bry, J. Th.et, 601:95, diterjemahkan oleh Adolf Heukeun, 2000).
Gambar 1.. Kondisi kanal yang penuh sampah Gambar 2.. Kondisi kanal sebagai area belakang (Sumber: Pribadi, 2015) danpembuangan (Sumber: Pribadi, 2015)
Transformasi dari Area “Kotor’’ menuju Area “Bersih’’ Batavia direncanakan dan dibangun sebaga sebagai kota yang tertutup dengan penjagaan yang ketat (de Jounge, 1877, hal:116 dalam Abeyasekere, 1989), dipenuhi kanal kanal-kanal indah yang saling berpotongan, denganairnya jernih, jalan dan bangunan megah sehinggamemiliki pesona luar biasa, sebagaimana tertulis dalam catatan perjalanan du Perron, Muze yang menggambarkan keindahan Batavia: “O, Batavia yang indah, yang telah menyihirku. Di sana alun-alun alun kota dengan bangunannya yang megah...menyibak keagunganmu! Betapa sempurnanya kau! Kanal-kanalmu kanalmu yang luas, den dengan air jernih yang mengalir, terbangun dengan sangat indah, tidak ada kota tandinganmu di Belanda..Kanal Harimau, di mana Batavia disanggahMelemparkan ke angkasa sebarisan istana langit. Dan berkilau dari ujung ke ujung dengan permata-permata permata arsitektur. Dipenuhi bayangan jalan-jalan dengan hijau bersemi yang abadi..Betapa Batavia mempesona para pelancong” pelancong”(du Perron, Muze, :154155 dalam Taylor, 1983). Pada tahun 1718, seorang Portugis, Innigo de Biervillas juga menulis dengan baik tentang keindahan B Batavia dengan makanan yang berlimpah dan lingkungan Batavia yang sehat:“Batavia “Batavia sangatlah indah dengan makanan yang berlimpah dengan iklim yang sehat” (Voyage d’Innigo de Biervillas, Potugais, a la cote de Malabar, Goa, Batavia et autres lieux des Indes Orientalis, ientalis, Paris, Dupuis, 1736, hal. 2 2-9 dalam Scoot, 2001). Kemudian pada tahun 1720, Francois Valentijn bahkan menyebut Batavia sebagai kota dengan kanal yang baik di abad ke 17 (the town’s ‘sixteen very fine canals’), di mana Seminar Nasional Keberlanjutan Ruang Huni Masa Depan EKO-ARSITEKTUR ARSITEKTUR
272
terdapat pohon asam (tamarind) dan pohon-pohon berbunga yang membuat Batavia menjadi kota yang menyenangkan sepanjang hari (Valentinjn, 1724-6). Awal abad ke-18, merupakan masa termakmur kota Batavia. Banyak orang mendapatkan untung dari pengeluaran VOC sepanjang abad ke-18, ketika populasi penduduk dalam kota sekitar 20.000 dan di suburban sekitar 15.000 (de Haan, II:346-350). Namun, pada sisi lain masa ini, tepatnya tahun 1730, kondisi Batavia sebagai rawa-rawa, menjadikan endemik penyakit malaria(Blusse, 1968), dengan kondisi kanal yang kotor, mandek dan bau. Kota yang semakin padat dan gaya hidup tak sehat membuat Batavia menjadi kota yang tidak bergairah dan bahkan banyak yang menjulukinya sebagai “kota hantu”. Kota yang awalnya sangat sehat mengalami transformasi menjadi kuburan (Blusse, 1968). Bagi sebagian Bangsa Eropa, Batavia menjadi tempat yang tidak layak huni (de Haan, Vol.I, hal: 237,251,256). Sistem kanal tidak dapat menyelesaikan permasalahan drainase kota. Air pasang yang membawa pasir dan lumpur yang terbawa dari hulu menghambat aliran air di kanal. Pertambahan jumlah penduduk juga menambah penyumbatan kanal akibat perilaku yang buruk dengan membuang sampah dan limbah ke air (Blackburn, 2000:56). Sebuah catatan perjalanan tentang kondisi kanal yang kotor dan baudi Batavia, disampaikan Stockdale, mengutip dari Stavorinus:“Pada musim kemarau, kanal-kanal yang mandek mengeluarkan bau yang sangat menusuk, dan pohon-pohon yang ditanam di sepanjang kanal menghambat aliran udara yang seharusnya dapat mengurangi bau busuk tersebut. Ketidaknyamanan juga terjadi pada musim hujan, air kotor dalam kanal meluap ke bagian kota yang lebih rendah dan membanjiri lantai dasar rumah. Banjir ini menyisakan begitu banyak lumpur dan kotoran. Kanal-kanal ini kadangkala dibersihkan, namun pembersihannya sama mengganggunya seperti air kanal yang bau. Lumpur hitam yang diangkat dari dasar dibiarkan bertumpuk di tepi kanal di tengah-tengah jalan hingga cukup padat untuk dapat diangkut ke atas peahu dan dibawa pergi. Lumpur ini sebagian berisi kotoran manusia yang secara rutin dibuang ke kanal setiap paginsebagai kebutuhan harian di seluruh kota dan mencemari udara ketika dibiarkan mengering di tepi kanal. Bahkan air yang mengalir menjadi gangguan akibat ketidakpedulian penduduk. Kadangkala, bangkai babi atau kuda terdampar di bagian kanal yang dangkal, dan karena tidak ada ditugaskan untuk menyingkirkannya, maka bangkai tersebut dibiarkan saja”. (Stockdale, mengutip Stavorinus,1812 dalam Blackburn, 2011). Akibat dari kondisi yang tidak sehat tersebut, kanal-kanal dikubur dan hanya menyisakan sedikit kanal. Kanal dianggap tidak lagi membawa manfaat, bahkan mengakibatkan banyaknya kematian. Pada tahun 1770, Kapten Cook mencatat dalam jurnal bahwa, seluruh awak kapal yang saat tiba pada Oktober dalam keadaan sehat, kemudian pada Desember sebagian besar dari mereka jatuh sakit dan beberapaorang meninggal:“Orang-orang Eropa lebih banyak yang meninggal karena udara yang tidak sehat…..”(Captain Cook’s Journal, 1768-1771, Adelaide, Libraries Board of South Australia, 1968, hlm.364). Berita kematian menjadi hal yang biasa bagi karena sangat sering terjadi dan orang yang mendengar berita tersebut tidak terkejut (Stockdale, dikutip dari Stavorinus, 1812). Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperbaiki kondisi kota yang sudah tidak sehat tersebut, mulaii dari menyiramkan cairan pembersih dan anti kuman sampai dengan penggalian kanal untuk memperdalam kanal,penyulingan arak serta pembakaran kapur untuk mengatasi masalah kesehatan kota.Rencana perbaikan kanal kota dibuat oleh Kenneth Mckenzie Leutenant Bengal Engineers dan pada tahun 1813 ia ditunjuk sebagai Kepala Insinyur dan SuperintendenPekerjaan Umum dan Bangunan untuk pendalaman kanal-kanal atau bahkan penguburan kanal-kanal seperti Stadbinnengracht, Leewinnengracht dan Amsterdamse gracht (ANRI, B. 84 dalam Grote Atlas van the VOC&Comprehensive Atlas of the Dutch United East India Company: 115) Kemudian, ketika Belanda jatuh ke tangan pasukan Prancis pada tahun 1795, pemerintahan Belanda mengirim seorang pejabat baru yang bersemangat melakukan Seminar Nasional Keberlanjutan Ruang Huni Masa Depan EKO-ARSITEKTUR
273
Jurusan Arsitektur FTSP - Universitas Trisakti reformasi yaitu Gubernur Jenderal Daendles dan memindahkan pusat pemerintahan ke pedalaman yang lebih bersih dan sehat, yaitu Weltevreden. Pada tahun 1810, ia meruntuhkan tembok dan benteng kota di Batavia lama dengan me membawa puing-puingnya untuk membangun Weltevreden. Pemindahan kota dari area yang kotor ke area yang bersih menunjukkan kuasa bangsa Eropa untuk menentukan pilihan tentang lokasi yang membuat mereka nyaman. Konsep bersih dan sehat menjadi indikator kenyaman kenyamanan dan seolah hanya dimiliki oleh mereka sebagai bangsa yang lebih beradab dibanding bangsa lainnya. Pejabat kompeni meletakkan alam sebagai penyebab utama kondisi yang semakin memburuk di Batavia, seperti iklim yang tidak sehat di daerah tropis yang bera berawa, kurangnya air bersih, sedimentasi akibat meletusnya Gunung Salak pada tahun 1699. Mereka jarang sekali mengkritik potitik dan kebijakan mereka dalam membangun kota (Blusse, 1986:16).Mereka berbondong-bondong bondong kearah selatan yang lebih bersih dan membang membangun hunian dengan taman yang luas.Kawasan lama dihuni oleh bangsapribumi dan Cina dalam kondisi yang padat, seperti daerah Pecinan sebagai area komersial, Kampung Luar Batang sebagai hunian padat dan gudang-gudang gudang yang dihuni oleh kuli kuli-kuli bangsa pribumi. Kedua kawasan tersebut semakin menunjukkan perbedaan kondisi dan fungsinya dalam kota. Pemisahan antara “Kota Bawah (downtown) (downtown)” dan “Kota Atas (uptown)” yang diformalkan, sebagai hasil kreasi the Batavia City Council 1905 (Mirraless, 2001),semakin memperjelas adanya pemisahan area bersih dan kotor yang dihubungkan dengan kanal Molenvliet. (Gambar 3). Kanal Molenvliet yang sudah dibangun pada tahun 1648 semakin diberdayakan untuk menghubungkan Kota Atas dan Kota Bawah. Pembangunan landhuis bagi orang-orang kaya di sepanjang kanal Molenvliet semakin banyak dan hingga mencapai kawasan Jacatraweg dan Weltevreden. Mereka mengibaratkan Batavia seperti barbel menggambarkan kanal Monlevliet yang ketika itu masih menjadi sarana transportasi sebagai batang barbel yang menghubungkan antara kota atas dengan kota bawah(Abeyasekere, 1989), sekaligus memisahkan area “bersih” dan “kotor”. Pada awal abad ke ke-20, kesan-kesan yang diceritakan para wisatawan tentang kanal di Molenvliet menjadi sebuah cerita yang dinikmati sebagai agai sebuah tontonan, sebagaimana tulisan Dr. Strehler dalam buku hariannya: “Kanal di Molenvliet itu diramaikan oleh biduk biduk-biduk petani, orang cina dan penjual rumput, mentega, susu dan buah-buahan. buahan. Pagi hari kanal itu dipenuhi oleh artisan lelaki, peremp perempuan, anak-anak, anak, kerbau, kuda, sapi, babi dan kambing. Ratusan manusia dan binatang bersama bersamasama mandi mencuci pakaian dan berendam nikmat” (Strehler. menuliskan kesan-kesannya mengunjungi Batavia dalam buku harianya, Bijzonderheden wegens Batavia en deszel deszelfs omstreken: uit het dagboek gedurende twee reizen derwaarts in 1828 1828-1830 (Haarlem: de Wed. A. Lossjes PZ. 1833). Begitu pula cerita yang digambarkan oleh D. Van der Zee: “In early morning, ere the tropical sun has shed its first rays over the country, na native women with their washing may be seen hurrying towards the river..” (D. Van der Zee dalam Batavia, Batavia: The Queen of The East).
Seminar Nasional Keberlanjutan Ruang Huni Masa Depan EKO-ARSITEKTUR ARSITEKTUR
274
Gambar 3. Kanal Molenvliet sebagai penghubung Kota Atas dan Kota Bawah
Kanal: Pemisahan Area ‘’Bersih’’ dan ‘’Kotor ‘’Kotor’’ Seiring perkembangan teknologi, khususnya transportasi dan sanitasi, pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke-20, 20, kanal mengalami pergeseran dalam perannya. Setelah dihadapkan dengan berbagai alternatif sarana transportasi, kanal tidak lagi menjadi piliha pilihan. Bagi masyarakat Eropa, kanal yang masa awalnya sebagai representasi kekuasaan dengan dijadikan sebagai media pertahanan, transportasi dan penanda kelas, kemudian hanya digunakan bagi masyarakat lokal yang memanfaatkan kanal sebagai area untuk mandi, mencuci cuci dan transportasi. Mereka menggunakan jalan sebagai akses transportasi dan bangunan serta kebun yang luas sebagai tempat berkumpul dan berpesta untuk menunjukkan kelasnya. Ketika kanal tidak digunakan lagi oleh orang orang-orang Eropa, justru itu menjadi media ia pembeda kelas dengan masyarakat pribumi. Penemuan dan perkembangan teknologi sanitasi seperti sabun, system penyaluran dan pembuangan air, semakin menentukan posisi mereka sebagai masyarakat yang beradab. beradab.Bagi masyarakat Eropa, kegiatan mandi, cuci, buang g hajat adalah di dalam ruang yang dibatasi dinding bukan di tempat terbuka dan umum (kanal), sebagaimana masyarakat pribumi lakukan. Kegiatan Kegiatankegiatan bangsa Eropa seperti rekreasi, pesta dan dan bertransportasi yang pada abad ke ke17 di dilakukan di kanal sebagai ranah publik dan menjadi gaya hidup kelas elit Eropa, digantikan menjadi aktifitas dalam ruangan tertutup dengan berbagai peralatan yang serba mewah. Merekamelakukan aktifitas mandi di dalam kamar mandi, mencuci di laundri yang tersedia di dalam rumah umah lengkap dengan pegawainya,dan mengadakan pesta di tiap akhir pekan di dalam bangunan atau kebun mereka yang nyaman, luas, bersih dan indah (Gambar
Seminar Nasional Keberlanjutan Ruang H Huni Masa Depan EKO-ARSITEKTUR ARSITEKTUR
275
Jurusan Arsitektur FTSP - Universitas Trisakti 4). Bangunan-bangunan bangunan elit disepanjang kanal gedung Harmonie, Hotel des Indes (Merrillees, 2000) dan bangunan gunan penting lainnya merupakan penunjuk kelas tinggi bangsa Eropa yang lengkap dengan berbagai fasilitasnya. Bagi masyarakat pribumi, kanal digunakan untuk berbagai kegiatan, seperti cuci pakaian dan alat masak, mandi, karena mereka tidak memiliki fasili fasilitas-fasilitas sebagaimana yang dimiliki oleh bangsa Eropa. Akhirnya kanal bukan lagi hanya tempat membersihkan diri, namun juga tempat mereka berinteraksi sosial atau bahkan hiburan. Diantara masyarakat yang mandi, seringkali adayang berbugil ria dan menja menjadi pentas tontonan yang dikenal dengan istilah bathing beauties (Shihab, 2004). Kanalpun sering dijadikan sebagai tempat acara seperti perlombaan perahu, acara kesenian dan sebagainya. Kanal menjadi area publik milik masyarakat kelas bawah dengan berbaga berbagai aktifitas di dalamnya (Gambar 5).
Gambar 4.. Aktifitas Masyarakat Eropa di Taman Gambar 5.. Aktifitas Masyarakat Pribumi di Kanal (Sumber: Collectie_Tropenmuseum)(Sumber: Collectie_Tropenmuseum)
Konsep “bersih” dan “kotor” seolah menjadi kesepakata kesepakatan antara orang Eropa dan pribumi. Tulisan ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa menjadi bersih merupakan salah satu tolok ukur yang digunakan untuk menyatakan diri superior orang Barat terhadap orang pribumi dalam menunjukkan perbedaan kelas. Bangsa ku kulit putih menempatkan area aktifitas kebersihannya berada di ruang privat, sedangkan bagi orang Timur, aktifitas kebersihan dilakukan di ruang publik, yaitu kanal. Ide dan tindakan yang menghasilkan ruang-ruang ruang tersebut merupakan bentuk pemisahan dan pemba pembagian dua dunia, yaitu Barat dan Timur atau occident dan orient, civilized dan uncivilized, sebagai batasan artifisial secara menyeluruh dan mendasar terhadap konsep atas ‘mereka’ dan ‘kami’. Mereka membagi dunia menjadi dua bagian dengan menggunakan konsep ‘ours’ dan ‘theirs’ yang digambarkan melalui garis imaginer geografis yang mendefinisikan bangsa Eropa sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dibanding bangsa pribumi. Kondisi kanal yang kini tergambar dan memiliki julukan kotor yang secara masif sudah di bentuk entuk oleh kaum Barat, harus membuka kesadaran bagi masyarakat Jakarta kini. Kesadaran atas bersih dan kotor yang dibangun seharusnya bukan atas dasar bayang bayangbayang kolonialisme, namun harus atas dasar jati diri lokal yang dimiliki. Budaya bersih yang kita miliki bukan sekedar atau perlu mencontoh kaum Barat, namun harus berasal dari budaya bangsa pada dasarnya sudah memiliki nilai nilai-nilai yang tinggi tentang kebersihan.
Seminar Nasional Keberlanjutan Ruang Huni Masa Depan EKO-ARSITEKTUR ARSITEKTUR
276
Daftar Pustaka Abeyasekere, Susan. (1989). Jakarta: A history: Oxford University Press Singapore. Blackburn, Susan. ( 2011). Jakarta: Sejarah 400 Tahun: Masup Jakarta. Blusse, Leonard. (1986). Strange Company: Chinese settlers, mestizo women and the Dutch in VOC Batavia: Foris Publications Holland. Borchert, James. (1982). Historical photo-analysis: A research method. Historical Methods: A Journal of Quantitative and Interdisciplinary History, 15(2), 35-44. Carr, Edward Hallett. (2001). What is history? : Palgrave Basingstoke,, UK. Cohen, Nahoum. (2001). Urban planning, conservation, and preservation: McGraw-Hill. Haan, F. De. (1922). Oud Batavia; Gedenkboek uitgegeven door het BataviaaschGenootschap van Kunsten en Wetenschappen naar aanleidingvan het driehonderdjarig bestaan der stad in 1919. Batavia:Kolff. Two vols. Heuken, A. (2000). Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta, Jilid II: Dokumen-dokumen Sejarah Jakarta dari kedatangan kapal pertama Belanda (1596) sampai dengan tahun 1619: Yayasan Cipta Loka, Jakarta. Eric, Partridge. (2006). Origins: An Etymological Dictionary of Modern English: Routledge. ISBN. Lefebvre, Henri. (1991). The production of space (Vol. 142): Oxford Blackwell. Merrillees, Scott. (2000). Batavia: In Nineteenth Century Photographs: Curzon. Moore, Charles W. (1994). Water and architecture: Thames and Hudson London. Said, Edward W. (1993). Culture and imperialism: Random House LLC. Shihab, Alwi. (2004). Betawi queen of the east: Penerbit Republika. Strehler.(1833). Bijzonderheden wegens Batavia en deszelfs omstreken: uit het dagboek gedurende twee reizen derwaarts in 1828-1830: Haarlem: de Wed. A. Lossjes PZ. Taylor, Jean Gelman. (1983).The social world of Batavia; European and Eurasian in Dutch Asia. Madison, WI: University of Wisconsin Press. Valentinjn,Francois.(1724). Oud en Nieuw Oost Indien: Amsterdam. Weitzel, A. WP (1860). Batavia in 1858; Schetsen en Beelden uit de Hoofstad: Gorinchem:J. Noorduijn & Zoon. D. Van der Zee. Batavia: De Koningin Van Hetoosten TheQueen of The East: Dr. Gustav Schueler Rotterdam.
Seminar Nasional Keberlanjutan Ruang Huni Masa Depan EKO-ARSITEKTUR
277