POTENSI SUMBERDAYA LAHAN SEBAGAI BASIS TATA RUANG PENGEMBANGAN PETERNAKAN RUMINANSIA DI INDONESIA Suratman 1) dan Busyra . BS 2) '~ Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Z ~ Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
ABSTRAK Berbagai model pengembangan tata ruang menempatkan bidang peternakan seolah-olah mempunyai prioritas kedua setelah tanaman budidaya. Berbagai kalangan menganggap khususnya ternak ruminansia sebagal pengganggu tanaman budidaya, oleh karena itu ternak ditempatkan pada lahanlahan marginal, misalnya padang rumput dan lahan-lahan tidur yang umumnya tandus. Ternak merupakan komponen di bidang pertanian yang perlu mendapatkan posisi yang sama densan Wang lainnya . Untuk itu pla peternakan memegang peranana penting dalam penataan ruang pertanian bersama dengan bidang lainnya . Agar usaha pertanlan berhasil dengan balk, patens! lahan memegang peranan penting sebagai faktor yang harus dipertimbangkan. Telah dilakukan penyusunan potensi lahan peternakan berdasarkan pada kondisi sumberdaya lahannya di sebelas Provinsi yang ada di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan mengacu pada faktor kesesualan lahan untuk berbagai tanaman pakan sekaligus kesesuaian lingkungan bagi ternaknya . Berdasarkan analisis di seluruh wiloyah tersebut dari luas lahan 51 .534 .400 ha, 14.487.900 ha (28,11 %) lahan mempunyal potensi tinggi untuk pengembangan peternakan, 2.833.300 ha (5,50%) berpotensi sedang, dan 34 .223 .200 ha (66,39%) berpotensi rendah/tidak berpotensi . Polo pengembangan peternakan yang paling luas adalah dengan sistem diversifikasilterintegrasi dengan bidang lainnya, kemudian ekstensifikasl dengan penggembalaan bebas . Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sumberdaya lahan untuk pengembangan ternak ruminansia cukup memadai di sebelas provinsi . Sedangkan pada pengembangan dapat dilakukan berintegrasi dengan bidang lainnya . Kata kunci : Potensi sumberdaya lahan, pengembangan peternakan ruminansia .
PENDAHULUAN ubsektor peternakan merupakan salah satu komponen dalam sektor pertanian yang memberikan kontribusi 12% terhadap produk domestik bruto nasional, dimana 21% produk daging nasional disumbangkan dari ternak potong ruminansia (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2003) . Sehingga bidang peternakan perlu diperhatikan datam penyusunan tata ruang pertanian .
S
Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi sumberdaya lahan sangat beragam . Keragaman ini berpengaruh terhadap potensi sumberdaya lahan dalam mendukung pengembangan pertanian khususnya bidang peternakan . Dari luas lahan Indonesia 75 .893 .305 ha, fisiografi aluvial, volkan dan tektonik dengan topografi datar hingga bergelombang yang luasnya 45 .300 .781 ha (59,7%) merupakan lahan yang mempunyai potensi paling baik dalam mendukung pengembangan lahan peternakan . Lahan lainnya terdiri dari fisografi maring, gambut, perbukitan danpegunungan yang sebagian masih bisa memberikan dukungan terhadap pengembangan peternakan (Pustittanak, 2000) . Demikian juga dari keragaman tanah dan iklim, Indonesia sebagai negara kepualauan mempunyai keragaman yang sangat menguntungkan dalam rangka penyediaan dan penganekaragaman komoditas pertanian, termasuk pengembangan peternakan . Adanya keragaman tersebut akan mempengaruhi potensi lahan dalam kaitannya denga pengembangan suatu komoditas . Berdasarkan gambaran umum arahan tata ruang pertanian menunjukkan bahwa wilayah Indonesia yang berpotensi untuk tanaman pangan tahan basah 24,56 juta ha, tanaman pangan lahan keying 24,53 juta ha, tanaman tahunan termasuk perkebunan 50,94 juta ha, tambak dan mangrove 6,66 juta ha, hutan 78,67 juta ha, sedangkan padang rumput/penggembalaan hanya 0,50 juta ha (Puslitbangtanak, 2001) .
240
Suratman dan Busyra B. S
Berdasarkan data statistik (BPS, 2003), populasi ternak sapi potong terbesar terdapat di Provinsi Jawa Timur, yakni 3 .312 .000 ekor, menyusul Sulawesi Selatan 725 .600 ekor, Nusa Tenggara Timur 510.400 ekor dan Sulawesi Tengah 200 .100 ekor . Sedangkan padang rumput yang terluas berturut-turut adalah Nusa Tenggara Timur 763 .103 ha, Sulawesi Selatan 273 .125 ha,. Sulawesi Tengah 160 .051 ha, dan Kalimantan Selatan 141 .169 ha . Sedangkan Jawa Timur hanya 1 .420 ha atau 0,07% dari Was seluruh padang rumput Provinsi di Indonesia, yakni 1 .170 .100 ha . Sedangkan lahan kering (tegalan), Jawa Timur paling luas diantara Provinsi di Indonesia yakni 1 .170 .100 ha . Dari pulau-pulau besar di Indonesia, populasi ternak yang terbanyak adalah di pulau Jawa dengan lahan pertanian paling luas sedangkan padang penggembalaan justru relatif sempit yaitu urutan ketima (37 .950 ha) setelah Nusa Tenggara dan Bali yakni 774 .926 ha, kemudian Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan Timur (Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2003) . Pemetiharaan ternak sebetulnya sangat fleksibel untuk diusahakan pada berbagai kondisi lahan yang potensial dengan menata pola pemeliharaannya, sehingga tidak hanya menempatkan ternak seolah-olah hanya berada di wilayah padang rumput atau lahan yang tidak produktif saja, namun dapat diintegrasikan dengan beberapa tanaman/komoditas lainnya .
KONSEP TATA RUANG Berdasarkan undang-undang no . 24/1992 tentang Penataan Ruang, ditetapkan bahwa pada tingkat nasional perlu disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang memuat strategi dan kebijaksanaan pemanfaatan ruang secara nasional . Pada tingkat provinsi disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I (RTRWPD I) yang mengacu pada Tata Ruang Nasional . Pada tingkat nasional, rencana tata ruang berisi perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang yang dibagi menjadi 3 kawasan yaitu penetapan Kawasan Lindung, Kawasan Budidayo, Jan Kawasan Tertentu, dan pada tingkat provinsi akan merupakan penjabaran dari ketiga kawasan tersebut . Dalam perkembangan tatanan pemerintahan selanjutnya, dalam rangka desentralisasi wilayah pada Undang-undang No . 22/1999 telah menyerahkan otonomi kepada provinsi dan kabupaten/kota yang berisi tanggung jawab mengenai administrasi, pembangunan, dan pemanfaatan sumberdaya lahan . Metalui Peraturan Pemerintah No . 25/2000 telah diatur tanggung jawab masing-masing daerah dalam tata ruang, dan pemerintah pusat hanya menjalankan fungsi pendukung dan pengawasan (Klaar dan Amhar, 2001) . Berdasarkan Undang-undang No . 24/1992 tentang penataan ruang, maka penyusunan tata ruang wilayah akan bersifat top down, sedangkan Undang-undang No . 22/1999 bersifat bottom up . Dari penetapan tiga kawasan, kawasan budidaya dalam pengelolaannya pertu dilakukan secara seksama dan berdaya guna dengan mempertimbangkan berbagai aspek, baik aspek teknis maupun aspek keruangan . Oleh karena itu penetapan kawasan budidaya membutuhkan pertimbangan teknis sektoral dan teknis keruangan . Kriteria teknis kerungan adalah ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan ruang untuk suatu kegiatan budidaya suatu kawasan menghasilkan nilai sinergi terbesar terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya dan tidak bertentangan dengan pelestarian lingkungan . Oleh karena itu potensi lahan merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam penyusunan tata ruang wilayah agar pemanfaatan lahan dapat berhasil dengan optimal .
PENENTUAN POTENSI LAHAN UNTUK MENDUKUNG TATA RUANG PETERNAKAN Potensi Lahan Peternakan Potensi lahan dicerminkan oleh hasil penitaian kesesuaian lahan terhadap suatu penggunaan/pemanfaatan tertentu . Kesesuaian tahan adatah kecocokan lahan untuk suatu penggunaan tertentu . Untuk mengentahui kesesuaian lahannya dilakukan evaluasi lahan .
Prosiding Peternakan 2006
241
Evaluasi Lahan adalah cara menentukan tingkat kesesuaian Lahan untuk berbagai alternatif penggunaan antara lain untuk budidaya pertanian termasuk pengembangan peternakan . Evaluasi kesesuaian Lahan peternakan dilakukan terhadap kesesuaian Lahan pakan ternak sekaligus kesesuaian lingkkungan terhadap ternaknya . Analisis evaluasi kesesuaian Lahan untuk pakan ternak ruminansia mewakili tiga macam jenis strata pakan ternak yang meliputi jenis rumput-rumputan, peperduan dan pepohonan terpitih . Selain itu juga ditakukan penilaian kesesuaian tingkungan ternak ruminansia . Hasil penilaian kesesuaian lahan pakan ternak dibedakan menjadi : Lahan sesuai (S), sesuai bersyarat (CS), dan tidak sesuai (N) . Sedangkan kesesuaian tingkungan untuk ternak ruminansia dibedakan menjadi Lahan sesuai (S) dan tidak sesuai (N) . Penentuan kesesuaian Lahan peternakan adalah merupakan kominasi dari kesesuaian tingkungan ekologis ternak dan kesesuaian Lahan untuk pakan ternak (Tabel 1) . Selanjutnya dituangkan datam kriteria potensi Lahan peternakan sebagai berikut : Lahan berpotensi tinggi, sedang, rendah, dan tidak berpotensi dengan kriteria pengelompokan potensi Lahan dengan ketentuan seperti Tabel 2 . Tabel 1 . Matriks penentuan kesesuaian lahan peternakan . Kesesuaian tingkungan ekotogis ternak Lahan secara ekologis tingkungan sesuai untuk ternak (S) Lahan secara ekologis Lingkungan tidak sesuai untuk ternak (N)
Sesuai (S) S N
Kesesuian Lahan pakan ternak Sesuai bersyarat Tidak sesuai (CS) (N) CS N N N
Tabel 2 . Matriks potensi Lahan peternakan . Proporsi tingkat kesesuaian Lahan peternakan (%) Tidak sesuai Sesuai Sesuai bersyarat > 75 25 - 50 50 - 75 25 - 50 50 - 75 25 - 50 50 - 75 > 75 50 - 75 25 - 50 25 - 50 50 - 75 25 - 50 50 - 75 ' > 75
PotensiLahan Lahan berpotensi tinggi Lahan berpotensi sedang Lahan berpotensi rendah
Lahan tidak berpotensi
Polo Pengembangan Peternakan
Dengan mempertimbangkan kondisi penggunaan lahannya dilakukan analisis untuk membuat arahan pengembangan peternakan yang dibagi menjadi Lahan ekstensifikasi, intensifikasi, dan pota terpadu/terintegrasi . Pengelompokan arahan ini berdasarkan pada ketentuan pada Tabet 3 . Tabel 3 . Matriks arahan pengembangan . Potensi Lahan Potensi tinggi Potensi sedang Potensi rendah Tidak berpotensi
Sentra pengembangan intensif Intensifikasi Intensifikasi Intensifikasi Tidak diarahkan
Keadaan penggunaan Lahan Lokasi transmigrasi Lahan pertanian Terintegrasi Terintegrasi Terintegrasi Terintegrasi Terintegrasi Terintegrasi Tidak diarahkan Tidak diarahkan
Penggunaan lainnya Ekstensifikasi Ekstensifikasi Ekstensifikasi Tidak diarahkan
Faktor Penilaian Potensi Lahan Peternakan
Faktor penilaian ini berdasarkan pada faktor yang dominan menentukan kecocokan Lahan tersebut untuk mendukung kehidupan ternak dan sekaligus kecocokan untuk tanaman pakannya .
24 2
Suratman dan Busyra B.S
Kondisi Tanah
Kondisi tanah yang termasuk paling balk mendukung potensi lahan peternakan adalah tanah yang bertekstur halus maupun agak kasar, dengan drainase balk atau paling tidak sampai agak terhambat, beberapa jenis rumput dalam kondisi terhambat masih bisa tumbuh meskipun kurang balk, sotum tanah lebih dari 30 cm, beberapa rumput bisa lebih dangkal sampai 15 cm tanpa ada bahan yang meracuni, misalnya pirit, penggaraman, atau kandungan aluminium yang tinggi pada lapisan atasnya, dan pH yang baik untuk beberapa jenis pakan adalah 4-8 . Topografi
Topografi yang paling baik mendukung potensi lahan peternakan adalah lahan dengan Lereng tidak lebih dari 15%, bisa sampai 30% tetapi dengan konservasi yang intensif, hamparan batuan kurang dari 50%, paling balk <25% . Elevasi yang diperlukan beberapa jenis pakan tidak balk pada kondisi lebih tingi dari 1200 m dpi . Beberapa jenis ternak potong pada ketinggian di atas 1200 m dpi sudah mengalami gangguan kesehatan . Ikl im
Beberapa unsur iklim, antara lain suhu udara yang cocok untuk tanaman pakan maupun kehidupan ternaknya adalah antara 18 °C hingga 35 ° C . Sedangkan kelembaban udara berpengaruh terhadap lingkungan ekologis ternak, kondisi yang balk adalah pada kelembaban udara antara 60-90% . Curah hujan yang terlalu kering (<400 mm/tahun) dan kekeringan yang melebihi 8 bulan juga menghambat pertumbuhan berbagai macam tanaman pakan termasuk rumput-rumputan alami yang sebetulnya paling tahan terhadap stres iklim . Selain itu ketersediaan air menjadi syarat tentatif untuk mendukung kehidupan ternak . Hasil Penilaian Potensi Lahan Peternakan di Indonesia
Berdasarkan penilaian kesesuaian tahan yang dilakukan terhadap 11 provinsi di Indonesia seluas 51 .534 .400 ha diperoleh potensi lahan sebagai berikut a . Lahan berpotensi tinggi Lahan ini mempunyai tingkat kesesuaian yang paling tinggi, baik dari kesesuaian lingkungan ekologis ternak maupun kesesuaian lahan untuk pakan . Berdasarkan kesesuaian lingkungan ternak termasuk sesuai, berdasarkan kesesuaian lahan untuk pakan sebagian besar (>75%) sesuai atau lebh dari setengahnya (50-75%) termasuk sesuai dan sebagian sesuai bersyarat . Luas lahan yang berpotensi tinggi dari 11 provinsi ini adalah 14 .487 .900 ha (28,11% dari total Luas wilayah yang dinilai yakni 51 .534 .400 ha) . b . Lahan berpotensi sedang Lahan ini mempunyai tingkat kesesuaian cukup, berdasarkan kesesuaian lingkungan ternak termasuk sesuai, berdasarkan kesesuaian lahan untuk pakan tebih dari setengahnya (5075%) termasuk sesuai, tetapi masih ada sebagian kecil yang termasuk tidak sesuai, atau kurang dari setengah lahan (25-50%) termasuk sesuai dan lebih dari setengahnya (50-75%) termasuk sesuai bersyarat . Luas lahan ini adalah 2 .833 .300 ha (5,50%) . c. Lahan berpotensi rendah Lahan ini mempunyai tingkat kesesuaian yang rendah/kurang . Berdasarkan kesesuaian lingkungan ternak termasuk sesuai, berdasarkan kesesuaian lahan untuk pakan sebagian besar dari lahan ini (>75%) termasuk sesuai bersyarat, atau lebih dari setengahnya (5075%) termasuk sesuai bersyarat, tetapi masih ada sebagian kecit yang termasuk tidak sesuai, atau kurang dari setengah lahan (25-50%) termasuk sesuai dan lebih dari setengahnya (50-75%) termasuk tidak sesuai . Luas lahan ini adalah 4 .222 .500 ha (8,19) .
Prosiding Peternakan 2006
243
d . Lahan berpotensi sangat rendah/tidak berpotensi Lahan ini hampir seluruhnya tidak sesuai untuk tanaman pakan ternak atau sebagian kecil saja dari tahan ini yang termasuk sesuai bersyarat, termasuk lahan yang tidak sesuai untuk tingkungan hidup ternaknya . Luas lahan ini adalah 30 .000 .700 ha (58 .20%) . Tabel 4 . Potensi lahan peternakan . Provinsi DIAceh Sumut Jambi Lampung Bengkulu Jateng Kalbar Kalsel NTB NTT Sulsel Jumlah
Tinggi Ha 988500 1747500 2241000 1865500 561900 1695400 3392000 1148900 191000 180100 1038000 15049800
% 18 .00 25 .60 43 .98 55 .69 28 .39 52 .09 23 .09 30 .83 9 .67 3 .80 43 .40 28 .12
Potensi lahan Sedang Rendah Sangat rendah Ha % Ha % Ha % 217500 3 .96 150000 2 .73 873500 15 .91 105500 1 .55 219000 3 .31 1186000 17 .37 377000 7 .40 832500 16 .34 43000 1 .28 47000 1 .40 464500 13 .87 67800 3 .43 420900 21 .27 925300 46 .76 314800 9.67 307700 9 .45 892100 27 .41 1529500 10.41 697500 4 .75 3189000 21 .71 1118000 30 .01 666100 17 .88 108000 5 .47 759000 38 .43 7500 0.38 998000 21 .08 32675000 69 .01 286800 6.06 446300 18 .66 260700 10.90 200300 8 .38 2833100 5 .29 4643400 8 .68 13501800 25 .23
Penggunaan lain Ha 3261000 3469500 1334500 931000 3000 44800 6880500 793000 841500 2600 446300 18007700
% 59 .39 50 .82 26 .19 27 .79 0 .15 1 .38 46 .84 21 .28 42 .61 0 .05 18 .66 33 .65
Total Ha 5490500 6827500 5095500 3350000 1978900 3254800 14688500 3726000 1975000 4735000 2391600 53513300
Arahan Pola Pengembangan Peternakan dalam Kerangka Tata Ruang Berdasarkan hasil analisis potensi lahan secara spasial dengan mempertimbangkan kondisi penggunaan lahannya diperoleh pola pengembangan peternakan yang sesuai, sebagai arhan untuk pengembangan peternakan . a . Pola pengembangan intensifikasi Lahan pengembangan intensifikasi terutama meliputi daerah sentra produksi dan pengembangan peternakan . Daerah yang termasuk kategori ini umumnya hanya setempat saja, sehingga tidak dapat terlokalisir secara spasial dan tidak dinyatakan Luas wilayahnya . Dalam kerangka tata ruang lahan ini terintegrasi dengan penggunaan lainnya . b . Pola pengembangan ekstensifikasi Lahan ini umumnya terdapat di daerah padang rumput, padang penggembalaan, tahanlahan kosong tidak produktif yang umumnya berupa semak dan belukar . Lahan ini tidak digunakan untuk usaha pertanian karena mempunyai kendala biofisik lahan yang cukup berat . Kendala yang ada pada tahan ini umumnya kesuburan rendah, sebagian berlereng tinggi, ketersediaan air kurang, dan solum dangkal . Dalam kerangka tata ruang lahan ini diutamakan untuk pewilayahan pengembangan peternakan . c.
Pola pengembangan terpadu (terintegrasi) Lahan yang diarahkan untuk pola pengembangan terpadu umumnya sudah dipakai untuk usaha pengembangan pertanian . Dari potensi lahannya umumnya termasuk berpotensi tinggi . Dari segi penggunaan lahannya berupa lahan usah apertanian tanaman pangan maupun perkebunana . Dalam kerangka tata ruang lahan ini terintegrasi dengan penggunaan yang sudah ada .
d . Area[ yang tidak diarahkan untuk pengembangan Lahan ini tidak disarankan untuk pengembangan peternakan, diarahkan untuk jenis penggunaan lainnya . Lahan ini mempunyai tingkta potensi sangat rendah . Faktor pembatas umumnya berat hingga sangat berat, kondisi Lain mempunyai status hutan kesepakatan/konservasi atau mempunyai fungsi lindung (hutan suaka ala, hutan lindung, dan hutan produksi terbatas), yang sulit untuk diatihfungsikan . Datam kerangka tata ruang lahan ini tidak untuk pengembangan peternakan tetapi diarahkan untuk tujuan konservasi atau kawasan lindung .
244
Suratman don Busyra B . S
KESIMPULAN 1 . Penentuan kawasan pengembangan peternakan dalam konsep tata ruang nasional, maupun daerah harus mempertimbangkan potensi sumberdaya lahan yang mendukung pengembangan peternakan suatu wilayah . 2 . Potensi sumbedaya lahan peternakan dilakukan dengan pendekatan kesesuaian lahan peternakan yang merupakan gabungan antara kesesuaian lahan pakan ternak maupun kesesuaian lingkungan ekologis bagi ternaknya . 3 . Dalam penjetasan atau penjabaran konsep tata ruang peternakan diperlukan suatu pola yang tepat dengan mempertimbangkan komoditas lainnya agar terdapat keserasian dalam aspek teknis sektoral maupun keruangan, serta sinergis diantara komponen pendukung tata ruang yang ada di suatu wilayah . 4 . Dari analisis yang telah dilakukan di sebelas provinsi di Indonesia terdapat tahan berpotensi untuk pengembangan peternakan . Lahan yang berpotensi tinggi seluas 15 .049 .800 ha yang terluas di Kalimantan barat, berikutnya Jambi, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan ; potensi sedang 2 .833 .100 ha, yang terluas di Kalimantan Barat, berikutnya NTT, Sulawesi Selatan, DI Aceh, Sumatera Utara ; potensi sedang 4 .643 .400 ha, yang terluas di Kalimantan Selatan, berikutnya NTT, Kalimantan Barat, Bengkulu, Jambi, dan Jawa Tengah . 5 . Dengan mempertimbangkan pemanfaatan untuk komoditas produktif tainnya selain peternakan, sehingga perlu ditakukan pengaturan pota pengembangannya secara intensifikasi dalam kerangka tata ruang terintegrasi dengan komoditas tainnya ; diversifikasi dalam kerangka tata ruang terintegrasi dengan komoditas lainnya ; atau ekstensifikasi dalam kerangka tata ruang sebagai lahan pewilayahan pengembangan peternakan . Dengan demikian dalam susunan tata ruang wilayah bidang peternakan mempunyai bobot yang sama dalam ukuran aspek teknis maupun aspek keruangan . DAFTAR PUSTAKA BPS . 2003 . Data Statistik Indonesia 2003 . Badan Pusat Statistik Indonesia . Klaar, W . dan F . Amhar . 2001 . Konsep proses tata ruang don teknologi pemetaan tata ruang . Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tataruang . Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional . (BAKOSURTANAL) . ISBN 979-9399-14-9 . Pusat Data dan Informasi Pertanian . 2003 . Statistik pertanian 2003 . Pusat Data dan Informasi Pertanian . Departemen Pertanian . Puslittanak . 2000 . Atlas sumberdaya tanah eksplorasi Indonesia . Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian dan Agroklimat . Badan Litbang Pertanian . Departemen Pertanian . Puslittanak . 2001 . Atlas tata ruang pertanian Indonesia . Pusat Penelitian dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian . Departemen Pertanian . Puslittanak . 2003 . Atlas sumberdaya lahan Indonesia . Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat . Pusat Penelitian dan Agroklimat . Badan Litbang Pertanian . Departemen Pertanian .
Prosiding Peternakan 2006
24 5