No.33/Th.2/ Sya’ban 1429H/Agustus 2008
Jum’at – III
BERANI BERUBAH (Dikutip dan direvisi dari Republika On-Line, oleh : Teguh Rahardjo, S.Pd) Di hari-hari sekitar peringatan Hari Kemerdekaan ini, saya sempat membuka sebuah buku lama. Buku itu berisi perdebatan para tokoh bangsa di tahun 1935-1936, di berbagai media yang ada saat itu. Sutan Takdir Alisjahbana yang memulainya hingga mengundang reaksi dari berbagai tokoh. Sanusi Pane, dr Sutomo, hingga Ki Hadjar Dewantoro ikut menanggapinya. Para pemerhati menyebutnya sebagai "Polemik Kebudayaan". Sastrawan besar yang juga penulis Atheis Achdiat K Mihardja mengumpulkannya menjadi buku. Balai Pustaka menerbitkannya di tahun 1949. Polemik itu berpangkal dari kerisauan Sutan Takdir yang melihat betapa lemah bangsa ini dalam peradaban dunia. Saat itu, bangsa ini tampak begitu statis, begitu pasrah pada alam dan nasib, dan terkungkung oleh budaya feodal. Ia ingin mengajak bangsa ini keluar dari keadaan. Ia ingin membebaskan bangsa ini dari berbagai keterbelengguan itu. Ia ingin membuat gerakan semacam Restorasi Meiji yang membangkitkan Jepang menjadi bangsa yang maju. Maka, Sutan Takdir mengajak semua untuk mengadopsi budaya Barat. Budaya yang bukan pasrah pada alam, melainkan yang bertekad untuk mampu mengendalikan alam. Budaya yang bukan statis, melainkan dinamis. Budaya yang bukan mematikan hasrat pribadi, melainkan justru mendorong setiap diri untuk tegak memperjuangkan kepentingan masing-masing. Lontaran itu semula sempat dicurigai sebagai ajakan merendahkan budaya Timur. Bahkan, mengusik nilai-nilai keislaman. Takdir memang tak setuju pada kepatuhan umat pada kiai dan tokoh agama. Apalagi tak sedikit pula tokoh agama yang terus memupuk kepatuhan itu untuk menyalahgunakannya. Bagi Sutan Takdir nilai Islam yang diturunkan sejak masa Nabi Ibrahim AS tidak seperti itu. Rasulullah SAW pun telah menegaskan bahwa tak ada kerahiban dalam Islam. Tak ada 'orang suci' yang harus 'dibongkok-bongkoki'. Islam mengharuskan umatnya untuk menghormati orang tua. Juga orang-orang yang lebih alim. Namun, penghormatan itu tidaklah dengan merendahkan diri sendiri. Takdir mengajak bangsa ini untuk mengambil nilai Islam yang asli. Yakni, Islam yang meneladani Nabi Ibrahim AS yang mengajak semua manusia untuk benar-benar menjadi merdeka. Manusia yang tidak terjajah oleh apa pun, termasuk oleh jabatan, harta, maupun pikiran dan kekhawatirannya sendiri, karena meyakini bahwa cuma Dia yang layak diagungkan. Nilai Islam itulah yang akan menjadikan manusia rasional, teguh, tenang, tidak khawatir pada apa pun, serta siap mengelola dan bukan dikelola oleh alam ini. Sayangnya nilai Islam seperti itu sudah terlalu terselaputi oleh pendekatan formalistik fikiyah. Bahkan, budaya feodal yang entah mengapa tumbuh 1
subur di lingkungan umat Islam. Takdir menyalahkan budaya India telah membelokkan nilai-nilai ideal itu. Tak semua setuju tentu dengan pandangan Sutan Takdir. Maka, reaksi pun bermunculan. Tapi, jika kita simak umat dan bangsa ini sekarang, keadaannya tak banyak bergeser dari masa 'Polemik Kebudayaan' dulu berlangsung. Persoalan Indonesia yang dikemukakan Sutan Takdir sebelum kemerdekaan, masih menjadi persoalan Indonesia sekarang. Masa setelah 63 tahun merdeka. Kemiskinan bukan teratasi melainkan malah beranak pinak dengan kecepatan luar biasa. Budaya feodal bukan menghilang melainkan malah terlestarikan lewat format barunya. Kemampuan mengelola dan mengendalikan alam bahkan tererosi menjadi kemampuan menguras dan merusak alam. Sikap statis justru semakin mengental lewat kegemaran kita pada 'kemapanan'. Baik kemapanan pada posisi agar terus dikasihani, maupun kemapanan akan hal-hal yang tak benar, seperti korupsi. Umat dan bangsa besar bukan umat dan bangsa yang mapan pada nasib. Baik pada nasib susah maupun nasib yang tampak baik (padahal belum tentu, atau bahkan tidak). Umat dan bangsa yang besar adalah yang berani berubah. Yakni, seperti yang diajarkan Nabi SAW, yang selalu mengoreksi diri sendiri. Juga yang selalu menjadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin. Masihkah kita merasa sebagai umat Nabi Muhammad SAW, jika merasa nyaman dengan keadaan sekarang dan tak berusaha keras buat berubah? Apa artinya memperingati Indonesia merdeka jika tak mau mengubah diri sendiri agar menjadi manusia yang benar-benar merdeka?
KEMERDEKAAN ADALAH MENGALIHKAN KETERGANTUNGAN Ust. Ir. Al-Bahra, M.Kom) Setiap saat bibir kita tidak pernah kering dengan ucapan basmalah. Setiap hendak melakukan sesuatu, ingatan kita hanya pada ilahi robbi. Dengan mengucapkan basmalah agar niat, cara ataupun teladan yang mendasari pekerjaan itu benar, dan tentu saja hanya itu yang menghantarkan kita pada tujuan hidup yang sebenarnya yaitu madhotillah. Jika salah satunya baik niat, cara, ataupun teladan yang diambil itu menyimpang beberapa derajat saja, berarti kita telah berkhianat terhadap amanat Allah SWT. Sebab ucapan basmallah itu adalah amanat dari Allah yang diberikan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW untuk kemudian disampaikan kepada kita agar kita melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Bismillah artinya dengan menyebut nama Allah yang pengertiannya adalah suatu ikrar / janji kita di hadapan Allah atas perbuatan yang kita lakukan, bahwa perbuatan kita akan selaras dengan yang Allah kehendaki. Seperti yang telah dikatakan diatas, menyimpang dari ikrar / janji kita di hadapan Allah tersebut berarti kita telah berkhianat kepada Allah Azza Wajalla. 2
Niat kita hadapkan pada ridha Allah semata, aturan kita gunakan menurut AlQur’an dan As-sunnah, dan juga cara yang di lakukan kita sesuaikan dengan metoda atau langkah yang telah dilakukan para Nabi Allah, syuhada, shodiqin dan sholihin. Karena orang-orang yang terlepas dari keterkaitan dengan aturan Allah adalah orangorang yang dhalim. Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maa-idah ayat 44-47.
!$¯ΡÎ) $uΖø9t“Ρr& sπ1u‘öθ−G9$# $pκÏù “W‰èδ Ö‘θçΡuρ 4 ãΝä3øts† $pκÍ5 šχθ–ŠÎ;¨Ψ9$# tÏ%©!$# (#θßϑn=ó™r& tÏ%©#Ï9 (#ρߊ$yδ tβθ–ŠÏΨ≈−/§9$#uρ â‘$t6ômF{$#uρ $yϑÎ/ (#θÝàÏósçGó™$# ÏΒ É=≈tFÏ. «!$# (#θçΡ%Ÿ2uρ ϵø‹n=tã u!#y‰pκà− 4 Ÿξsù (#âθt±÷‚s? }¨$¨Ψ9$# Èβöθt±÷z$#uρ Ÿωuρ (#ρç!tIô±n@ ÉL≈tƒ$t↔Î/ $YΨyϑrO WξŠÎ=s% 4 tΒuρ óΟ©9 Οä3øts† !$yϑÎ/ tΑt“Ρr& ª!$# y7Íׯ≈s9'ρé'sù ãΝèδ tβρãÏ≈s3ø9$# ∩⊆⊆∪
$oΨö;tFx.uρ öΝÍκön=tã !$pκÏù ¨βr& }§ø¨Ζ9$# ħø¨Ζ9$$Î/
š÷yèø9$#uρ È÷yèø9$$Î/ y#ΡF{$#uρ É#ΡF{$$Î/ šχèŒW{$#uρ ÈβèŒW{$$Î/ £Åb¡9$#uρ ÇdÅb¡9$$Î/ yyρãàfø9$#uρ ÒÉ$|ÁÏ% 4 yϑsù šX£‰|Ás? ϵÎ/ uθßγsù ×οu‘$¤Ÿ2 …ã&©! 4 tΒuρ óΟ©9 Νà6øts† !$yϑÎ/ tΑt“Ρr& ª!$# y7Íׯ≈s9'ρé'sù ãΝèδ tβθßϑÎ=≈©à9$# ∩⊆∈∪ $uΖø‹¤s%uρ #’n?tã ΝÏδÌ≈rO#u |¤ŠÏèÎ/ Èø⌠$# zΝtƒó0tΒ $]%Ïd‰|ÁãΒ $yϑÏj9 t÷t/ ϵ÷ƒy‰tƒ zÏΒ Ïπ1u‘öθ−G9$# ( çµ≈oΨ÷8s?#uuρ Ÿ≅ŠÅgΥM}$# ϵŠÏù “W‰èδ Ö‘θçΡuρ $]%Ïd‰|ÁãΒuρ $yϑÏj9 t÷t/ ϵ÷ƒy‰tƒ zÏΒ Ïπ1u‘öθ−G9$# “Y‰èδuρ ZπsàÏãöθtΒuρ tÉ)−Gßϑù=Ïj9 ∩⊆∉∪ ö/ä3ósu‹ø9uρ ã≅÷δr& È≅ŠÅgΥM}$# !$yϑÎ/ tΑt“Ρr& ª!$# ϵŠÏù 4 tΒuρ óΟ©9 Νà6øts† !$yϑÎ/ tΑt“Ρr& ª!$# y7Íׯ≈s9'ρé'sù ãΝèδ šχθà)Å¡≈xø9$# ∩⊆∠∪ Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) 3
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi Nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, Yaitu: Taurat. dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, Yaitu kitab Taurat. dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orangorang yang bertakwa. Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. Orang yang tidak memutuskan perkara menurut hukum Allah, di bagi mnjadi tiga macam dalam Al-Qur’an yaitu : a. karena benci dan ingkarnya kepada hukum Allah, orang yang semacam ini kafir (Qur’an surat Al-Maa-idah ayat 44). b. karena menurut hawa nafsu dan merugikan orang lain dinamakan zalim (Qur’an surat Al-Maa-idah ayat 45). dan c. karena Fasik sebagaimana ditunjuk oleh ayat 47 surat ini. Semoga kita jauh dari hal-hal seperti itu. Dengan membaca bismi robbik akan terasa berbeda dibandingkan dengan membaca tanpa bismirobbik. Membaca disini dalam artian mengantisipasi lingkugan kita dengan filter yang amat halus. Misalnya ketika kita diserang suatu penyakit, kita harus cepat membaca bismirobbik dan keterkaitan dengan Allah semakin dekat bahwa sakit kita karena kuasa Allah dan merupakan cobaan dari-Nya agar kita semakin bertaqwa kepada-Nya. Atau dalam kasus lain hubungan kita sebagai manusia tidak pernah lepas dari kebutuhan yang secara sengaja ataupun tidak, yang penting ataupun tidak, telah memaksa kita dari menstabilkan institusi yang tanpa keterkaitan denga Allah dalam setiap aspek. Contoh sehari-hari yang kecil saja, yaitu setiap hari kita menyimpan kendaraan di pinggir jalan, kita harus membayar parkir. Mengapa dan untuk apa? Lalu apa yang kita perbuat? Bisakah kita terlepas dari kewajiban seperti itu ? ternyata halhal seperti itu memang tidak bisa kita hindari, karena kita masih terkait dalam kesisteman itu. Adakah jalan keluarnya ? Allah telah memberikan jalan keluar yang terbaik bagi kita. Yaitu hijrah (kemerdekaan). Allah perintahkan agar kita beriman dan memperkokoh keimanan kita karena dengan iman yang kuat insya Allah kita dapat menghentikan kebiasaan bergantung kepada sistem diluar orientasi Allah. Istilahnya kita telah siap mental, misalnya dalam hal berbelanja, biasanya kita membeli sabun A karena menurut kita sabun itu wangi, bintang iklannya cantik dan alasan-alasan estetika lainnya tetapi karena warung kita tidak menyediakannya, maka siap mentallah untuk beralih ke sabun Z. Kita lihat hal seperti itu layaknya urusan yang kecil saja, padahal kalau kita 4
mengalaminya kita akan merasa berat untuk meninggalkan sabun A. Hanya iman yang kuat sajalah yang dapat menanggulanginya, Allah juga telah memerintahkan hijrah (memedekakan dirinya) bagi orang-orang yang beriman. Kemana? Ya tentu saja dari ketergantungan pada aturan yang di buat oleh manusia menuju kepada ketidaktergantungan pada semua itu. Usahakanlah untuk menghindari ketergantungan kita pada yang lain selain Allah. Manusia yang merdeka adalah mereka yang telah membebaskan dirinya dari belenggu-belenggu dunia. Telah membebaskan dirinya dari bergantung dan takut/tunduk pada manusia dan aturan-aturan yang di buat oleh manusia. Sehingga manusia yang merdeka tidak pernah merasa takut kalau nilai dolar membumbung tinggi, harga BBM naik, gas hilang dari pasaran, harga bahan pokok ikut naik, dan seterusnya. Sebab mereka (manusia yang merdeka) yakin bahwa Allah yang akan mengatur rizki untuk dirinya, Allah yang akan mengatur kebutuhan hidupnya, Allah yang akan mengatur kebutuhan energi yang ia perlukan. Manusia yang merdeka adalah manusia yang telah menjual dirinya kepada Allah SWT, menyerahkan seluruh hidup dan matinya hanya untuk Allah semata dan berusaha untuk menjadi orang yang pertama-tama menyerahkan dirinya kepada Allah Rabbul ‘alamin, seperti firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 162-163 :
ö≅è% ¨βÎ) ’ÎAŸξ|¹ ’Å5Ý¡èΣuρ y“$u‹øtxΧuρ †ÎA$yϑtΒuρ ¬! Éb>u‘ tÏΗs>≈yèø9$# ∩⊇∉⊄∪ Ÿω y7ƒÎ!Ÿ° …çµs9 ( y7Ï9≡x‹Î/uρ ßNöÏΒé& O$tΡr&uρ ãΑ¨ρr& tÏΗÍ>ó¡çRùQ$# ∩⊇∉⊂∪ Artinya : “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".
“Waktu Shalat Dhuhur adalah 12:00”
5