BEBERAPA MASALAH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 1 Oleh: A. Mukthie Fadjar 2
I. Pendahuluan Salah satu kewenangan konstitusional yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus tentang perselisihan hasil pemilihan umum. Dari ketentuan tersebut belum jelas tentang pengertian dan ruang lingkup apa yang dimaksud dengan “perselisihan hasil pemilihan umum” (selanjutnya disingkat PHPU), sehingga beberapa masalah dapat diajukan, antara lain: 1. macam-macam pemilu yang dapat diperselisihkan hasilnya di MK; 2. pengertian
PHPU,
apakah
juga
termasuk
proses
Pemilu
yang
melanggar asas pemilu luber dan jurdil (pelanggaran administratif dan pidana Pemilu) yang dapat mempengaruhi hasil Pemilu; 3. mekanisme pengajuan keberatan di MK dan bagaimana tindak lanjut (eksekusi) putusan MK tentang PHPU. II. Macam-macam Perselisihan Hasil Pemilu Secara eksplisit, melalui Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yang dimaksud dengan Pemilu adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) melalui Pasal 74 s.d. 79 UU MK hanya mengatur hukum acara perselisihan hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Mengenai pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya mengamanatkan bahwa harus dipilih secara demokratis, sehingga menimbulkan perdebatan apakah termasuk 1 2
Materi “Hukum Acara Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu 2009”. Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
rezim hukum Pemilu atau bukan. Akan tetapi, berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (disingkat UU 22/2007) pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kemudian dikategorikan sebagai Pemilu yang juga harus diselenggarakan oleh KPU beserta jajarannya (KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota), sehingga disebut Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (untuk selanjutnya disingkat Pemilukada). Semula, perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) berdasarkan Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA) untuk menyelesaikannya. Namun, dengan lahirnya UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua UU 32/2004, kewenangan mengadili perselisihan hasil Pilkada atau sekarang disebut Pemilukada dialihkan ke MK (vide Pasal 236C UU 12/2008) yang secara efektif telah berlaku sejak 1 November 2008 lewat serah terima resmi dari MA ke MK pada tanggal 29 Oktober 2008. Dengan demikian, macam-macam Pemilu dan PHPU ada tiga, yakni: a. Pemilu dan PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD; b. Pemilu dan PHPU Presiden dan Wakil Presiden; c. Pemilukada dan PHPU Pemilukada. II. Pengertian dan Ruang Lingkup PHPU Di atas sudah dikemukakan bahwa UUD 1945 tidak menegaskan tentang pengertian dan ruang lingkup mengenai apa yang dimaksud dengan “perselisihan tentang hasil pemilihan umum” yang tercantum dalam Pasal 24C ayat (1), sehingga undang-undanglah yang kemudian mengaturnya, yakni UUMK, UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU Pemilu Presiden, dan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah yang terakhir dengan UU 12/2008. Pasal 74 ayat (2) UUMK memberikan pengertian bahwa perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan mengenai “penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh KPU” yang mempengaruhi: a. terpilihnya calon anggota DPD;
2
b. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden; c. perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan. Pasal 258 UU 10/2008 merumuskan pengertian perselisihan hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD sbb.: (1) Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. (2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu. Dari ketentuan Pasal 201 ayat (1) dan ayat (2) UU 42/2008 dapat disimpulkan bahwa
pengertian perselisihan hasil Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden adalah “pengajuan keberatan yang diajukan oleh Pasangan Calon terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU yang penghitungan suaranya mempengaruhi terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi.” Dari ketentuan Pasal 74 ayat (2) UUMK junctis Pasal 258 UU 10/2008 dan Pasal 201 UU 42/2008 dapat disimpulkan bahwa: a. perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Peserta Pemilu (parpol, perseorangan calon anggota DPD, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden) dan KPU sebagai penyelenggara Pemilu; b. yang diperselisihkan adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional oleh KPU; c. perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional dimaksud harus mempengaruhi: 1) perolehan kursi parpol di suatu daerah pemilihan; atau 2) terpilihnya calon anggota DPD; atau 3) penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (putaran kedua). 3
Dengan demikian, meskipun antara Peserta Pemilu dan KPU terdapat perselisihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional, namun apabila secara signifikan tidak mempengaruhi perolehan kursi parpol di suatu daerah pemilihan, atau terpilihnya calon anggota DPD, atau penentuan pasangan calon yang masuk putaran kedua Pemilu Presiden serta terpilihnya pasangan Presiden dan Wakil Presiden, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan objek sengketa perselisihan hasil Pemilu. Sedangkan mengenai pengertian perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah, dengan merujuk Pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 dan UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, dapat disimpulkan bahwa: a. perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah adalah perselisihan antara pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai Peserta Pemilu Kepala Daerah dan KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilu; b. yang diperselisihkan adalah penetapan penghitungan suara hasil Pemilukada
yang
ditetapkan
oleh
KPU
provinsi
atau
KPU
kabupaten/kota yang mempengaruhi penentuan calon untuk masuk ke putaran kedua Pemilukada atau terpilihnya pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dari
uraian
tersebut
di
atas,
undang-undang
nampaknya
membatasi masalah PHPU hanya pada persoalan perselisihan angkaangka perolehan suara Peserta Pemilu yang ditetapkan oleh KPU, sehingga tidak mencakup proses yang mempengaruhi hasil perolehan suara, seperti berbagai pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana Pemilu. Seolah-olah MK hanya diminta mengkoreksi kalkulasi suara yang telah dilakukan oleh KPU dan jajarannya dengan mengabaikan berbagai pelanggaran dalam proses Pemilu (electoral process). Padahal, kedudukan dan fungsi MK sebagaimana dijelaskan dalam UU MK adalah menjaga atau mengawal Konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi (Penjelasan Umum UU MK). Mengawal/menjaga Konstitusi 4
berarti termasuk pula menjaga/mengawal agar asas-asas Pemilu yang “Luber dan Jurdil” dipatuhi baik oleh Penyelenggara Pemilu maupun Peserta Pemilu, bahkan juga seluruh insitusi yang terkait Pemilu. Memang, UU 10/2008 dan UU 42/2008, serta juga UU 32/2004 telah
menyediakan
mekanisme
penyelesaian
berbagai
pelanggaran
pemilu, baik administratif maupun pidana, bahkan Pasal 257 ayat (1) UU 10/2008 dan Pasal 200 ayat (1) UU 42/2008 telah menentukan bahwa kasus pelanggaran pidana Pemilu harus sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu. Akan tetapi, dari pengalaman MK menangani PHPU tahun 2004 dan PHPU Pemilukada tahun 2008 menunjukkan bahwa berbagai pelanggaran Pemilu, baik administratif maupun
pidana
tidak
tertangani
di
institusi
yang
berwenang
menanganinya. Dalam hal terjadi demikian, MK tentunya akan mengedepankan status dan fungsinya sebagai pengawal Konstitusi, in casu mengawal “asas luber dan jurdil” yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, menggali kebenaran dan keadilan prosedural,
yaitu
apakah
materiil, tidak semata-mata
pelanggaran-pelanggaran
Pemilu
tersebut
dilakukan secara sistemik dan massif, serta signifikan mempengaruhi perolehan suara peserta Pemilu, sehingga dapat mengubah perolehan kursi atau pemenang Pemilu. IV. Mekanisme pengajuan keberatan Mekanisme pengajuan keberatan terhadap penetapan hasil Pemilu yang diatur dalam Pasal 74 s.d. Pasal 79 UU MK sangat sumir dan hanya menyangkut PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta PHPU Presiden dan Wakil Presiden yang hanya memuat: 1. Pihak yang berhak mengajukan keberatan, yaitu perorangan WNI calon anggota DPD Peserta Pemilu, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Peserta Pemilu, dan Partai Politik (Parpol) Peserta Pemilu, yang disebut sebagai Pemohon. UU MK bahkan tidak menegaskan apakah KPU merupakan Termohon; 2. Objek permohonan, yaitu penetapan hasil Pemilu yang ditetapkan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD, penentuan pasangan Presiden dan wakil Presiden yang 5
masuk putaran kedua atau terpilihnya pasangan calon, dan perolehan kursi Parpol disuatu daerah pemilihan (dapil); 3. Tenggat (tenggang waktu) mengajukan permohonan, yaitu 3 X 24 jam sejak KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional; 4. Isi permohonan, yaitu posita mengenai adanya kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPU dan hasil yang benar menurut Pemohon, serta petitum berupa permintaan membatalkan penetapan KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut versi Pemohon; 5. Tenggat pengiriman berkas permohonan ke KPU, yaitu 3 hari kerja sejak permohonan diregistrasi di Kepaniteraan MK; 6. Tentang
berbagai
kemungkinan
amar
putusan:
a)
tidak
dapat
diterima, jika tak memenuhi syarat subjectum litis, objectum litis, dan tenggat;
b)
dikabulkan,
ditolak, jika
jika
permohonan
permohonan
tidak
beralasan,
beralasan, disertai
dan
c)
pernyataan
pembatalan hasil Pemilu yang ditetapkan KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar; 7. Tenggat (batas waktu) penanganan PHPU di MK, yaitu untuk Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan diregistrasi dan untuk PHPU Presiden dan Wakil Presiden 14 hari kerja sejak permohonan diregistrasi; 8. Penyampaian Putusan MK tentang PHPU kepada Presiden. Mengingat begitu sumirnya hukum acara PHPU yang diatur dalam UU MK, maka sesuai kewenangan yang diberikan Pasal 86 UU MK, diterbitkanlah berbagai Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), yaitu PMK No. 04/PMK/2004 dan PMK No. 05/PMK/2004 yang memuat Pedoman Beracara dalam PHPU untuk Pemilu 2004. Sedangkan untuk PHPU pada Pemilu 2009 mendatang, telah diterbitkan PMK No. 14 Tahun 2008 untuk PHPU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang kemudian diganti dengan PMK No. 16 Tahun 2009 dan sudah diterbitkan PMK No. 17 Tahun 2009 untuk PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan untuk PHPU Pemilukada yang belum ada pengaturannya dalam UU MK telah dikeluarkan PMK No. 15 Tahun 2008 yang acuannya adalah UU 32/2004 dan PMK PHPU Presiden dan Wakil 6
Presiden atas dasar pertimbangan bahwa pada hakikatnya prosedur penyelesaian PHPU Pemilukada hampir sama dengan PHPU Presiden dan Wakil Presiden, terutama tenggat 14 hari kerja harus selesai. Sudah barang tentu, apa yang diatur dalam PMK No. 15 Tahun 2008, PMK No. 16 Tahun 2009, dan PMK
No. 17 Tahun 2009 tersebut
masih harus terus menerus dievaluasi dan disempurnakan, terutama perlunya memuat berbagai klausula apabila MK harus kembali kepada “khittahnya” sebagai pengawal Konstitusi, tatkala berbagai pelanggaran Pemilu (administrasi dan pidana) sudah menggoyahkan prinsip-prinsip Pemilu yang “luber dan jurdil”. Mengenai tindak lanjut Putusan MK mengenai PHPU, Pasal 259 ayat (3) UU 10/2008 dan Pasal 201 ayat (4) UU 42/2008 telah memuat ketentuan bahwa KPU beserta jajarannya wajib menindaklanjuti Putusan MK tentang PHPU. V. Penutup Peradilan perkara PHPU oleh MK memang merupakan peradilan yang
cepat
yang
oleh
undang-undang
telah
ditetapkan
tenggat
penyelesaiannya. Bahkan, khusus untuk PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta PHPU Presiden dan Wakil Presiden juga harus memperhatikan kalendar ketatanegaraan lima tahunan yang tidak boleh dilewati, yaitu pelantikan/pengambilan sumpah Anggota DPR dan DPD pada tanggal 1 Oktober dan pelantikan/pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 20 Oktober. Pada dasarnya, PMK tentang PHPU yang diterbitkan oleh MK sekedar sebagai pedoman atau acuan bagi kelancaran penanganan PHPU, karena hukum acara yang diatur dalam undang-undang masih sangat sumir, sangat terbuka untuk penyempurnaan, serta harus menampung berbagai dinamika dalam persidangan, termasuk persidangan melalui video conference. --amf--
7