•
384 •
BEBERAPA ASPEK EFEK'I1VITAS PEMUNGUTAN PAJAK
__________ Oleh: Ari Purwadi, S.H. _ _ _ _ _ _ _ __ Tiada negara tanpa pajak. Kehidupan suatu negara tanpa pajak tidak lebih dari "utopia". Negara tradisional ataupun modern, kolonial ataupun nasional, kapitalis ataupun sosialis, semuanya memungut pajak. Pajak fen omena historis, demikian Onghokham. Sebagai fenomena historis selalu hadir baik pada masa lalu maupun pada masa kini, sebab pajak merupakan salah satu cara penting yang selalu ada dalam upaya menghimpun dana negara untuk pembiayaan semua tujuannya. Persoalan yang ada bukanlah ada atau tidak adanya pajak, melainkan efektivitas pemungutan pajak. Persoalan tersebut dikemukakan, karena hampir setiap negara baik negara maju maupun negara sedang berkembang menghadapi bagian terbesar di antara rakyatnya tidak pemah meresap kewajiban membayar pajak tanpa menggerutu . Bahkan bila ada sedikit kemungkinan saja, maka pad a umumnya mereka cenderung untuk meloloskan diri dari setiap pajak. Gejala yang demikian ini terdapat di setiap negara dan di • sepanJang masa. Us aha meloloskan diri dari pembayaran pajak dapat berbentuk perlawanan pasif dan perlawanan aktif. Yang dimaksud dengan perlawanan pasif adalah berupa hambatan-hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan erat hubungannya dengan struktur
ekonomi suatu negara, dengan perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dengan teknik pemungu tan pajak itu sendiri. Sedang bentuk perlawanan aktif adalah meliputi semua usaha dan perbuatan, yang secara langsung ditujukan terhadap fiskus dan bertujuan unt'uk menghindari pajak. Perlawanan aktif ini dapat dibedakan cara-caranya sebagai berikut: 1) penghindaran diri dari pajak, 2) pengelakan/penyelundupan pajak, dan 3) mel alaikan pajak. Terhadap usaha-usaha perlawanan demikian sebagian besar kalangan berpendapat, bahwa faktor utama yang menyebabkannya adalah menyangkut kesadaran dan solidaritas nasional. Namun, pada dasamya masalah kesadaran sebenamya hanyalah merupakan salah satu faktor di anfara sekian banyak faktor yang mempengaruhi efektivitas pemungutan pajak. Beberapa faktor yang dapat diketengahkan , antara lain : 1. Faktor peraturannya, 2. Faktor fiskus (aparat/petugas pajak) 3. Faktor kesadaran wajib pajak, 4. Faktor tata laksana hutang pajak. Setiap peraturan tentang pemungu tan pajak, baik berbentuk Undang-undang maupun peraturan daerah, pada dasamya memperhatikan syarat-syarat
•
E(ekttlJtttJII Pemunllutan Pajak
pembuatannya . . 1. Syarat yuridis, 2. Syarat ekonomis, dan 3. Syarat keuangan Syarat yuridis menghendaki bahwa pajak itu harus adil. Syarat adil ini pernah dipertanyakan akan manfaatnya atau perlunya syarat itu. Prof. Adriani, misalnya, sangat meragukan apakah pemungutan pajak dapat dihubungkan dengan keadilan, karena adil dan keadilan itu adalah konsep yang masih merupakan suatu pengertian yang abstrak. Kranenburg, memberikan patokan umum dengan menggunakan asas perbandingan. Van den Ber ger berpendapat bahwa sadar hukum adalah batu ujiannya, karena hal ini dapat diselidiki dalam masyarakat Iewat lembaga perwakilan rakyat, kritik, pers, dan sebagainya. Di dalam nakan syarat keadilan perlu diperhatikan adanya keadilan beban pajak -dan keadilan pelaksanaan pemungutan pajak. Keadilan dalarn beban pajak menuntut adanya persamaan beban (equality for sacrifice) , sedangkan keadilan dalam pelaksanaan pajak menghendaki adany a pengawasan atas tindakan sewenangwenang aparat/petugas yang diserahi tugas penetapan dan pemungutan pajak. Bentuk konkret daripada persamaan beban adalah sistem tarif pajak dari pemungutan pajak. Ada beberapa sistem tarif pajak, antara lain:
1. Tarif pajak yang sepadan (proporsional) ialah tarif dengan persentase pengenaan yang tidak berubah. Jurnlah pajak yang harus dibayar berubah menurut jumlah yang dipakai sebagai dasar. Semakin besar jumlah yang di-
385 pakai sebagai dasar, semakin besar pula jumlah utang pajaknya, tetapi kenaikan ini diperoleh dengan persentase yang sarna. Contoh: Pajak Pembangunan I yang menetapkan 10% dari jumlah yang dibayarkan dalarn rumah makan atau rumah penginapan Sistem ini dalarn pertumbuhannya di Eropa dianggap adil sarnpai berlangsung terus hingga saat Montesquieu (1689-1755) menganggap sistem proporsional ini tidak adil. Menurut pendapatnya, keadilan tidak boleh disamakan dengan kesarnaan dan pemungutan pajak harus didasarkan atas ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a) barang yang mutlak hams ada, tanpa barang ini orang akan mati (sebagai kebutuhan pokok atau kebu tuhan fisik minimum), harus dibebaskan dari pajak, b) barang yang bermanfaat harus dkenakan pajak, dan c) barang yang ber1ebih~lebihan (kelebihan), hams aikenakan pajak yang lebih berat. Demikian juga, H.I{ Gossen, sarjana ekonomi dari Austria, ke be rat an atas sistem proporsional dan mengajarkan bahwa yang menentukan sesuatu barang (dalarn arti kata yang subjektif) adalah faedah barang itu. Nilai subjektif ini agar mudah dimengerti lazimnya digambarkan dalarn suatu contoh sebagai berikut: Bilarnana seseorang telah beberapa hari tidak makan dan diha- ' dapannya terdapat beberapa potong roti. Roti pertama baginya mempunyai faedah yang sangat besar, sebab pada saat itu mengenyangkan walaupun belum sampai pada kenyang sekali. Roti kedua tentunya faedahnya tidak sebesar roti yang pertarna, apalagi dengan roti yang ketiga, sebab hanya sekedar penarnbah saja, demikian seterusnya. Bahkan untuk roti yang Agustus 1987
386
Hukum dan Pembdngundn
•
kelima, ja tidak untuk memakannya karena terlalu kenyang. Dengan demikjan, nilai manfaat roti itu moon menu run. Demikjan pula dengan semua benda, juga apabila seseorang hendak berusaha memenuhi kebutuhannya tentunya kebutuhan-kebutuhan yang mutlak untuk sehari-hari yang dieukupi terlebih dahulu. •
2. Tari/pajak yang meningkat (progresif) ialah suatu tarif yang pengenaannya menaik, semakin besar jumlah yang harus dikenakan pajak, semakin besar hutang pajaknya. Contoh: Misalnya tarif pajak pengha~ilan yang progresif yang menetapkan pengenaan pajak sebagai berikut : Pendapatan
Pajaknya
Rp 600.000,- -10% Rp 1.200.000,- - 12,5% Rp 3.600.000,- - 17,5% Rp 7.200.000,- - 21,5%
Rp 60.000,Rp 150.000,Rp 630.000,Rp 1.530.000,-
Keberatan atas sistem ini ialah kalau persentase meningkat terus, maka pada satu titik akan meneapai 100% yang berarti perampasan oleh negara, yang tentunya tidak sesuai dengan konsep negara hukum. Tarif progresif ini dapat dibagi menjadi. a) tarif progresif-proporsional, jika persentase pemungutan pajak naik, semakin besar jumlah yang harus dikenakan pajak, serta kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu (kenaikan marjinal) adalah tetap, b) tarif progresif-degresif, jika persentase pemungutan pajak semakin naik, semakin besar jumlah yang harus dikenakan pajak, serta kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu (kenaikan marjinal) setiap kali menurun, dan 3) tarif progresifprogresif, ialah tarif yang persentase pemungutannya naik, semakin besar
jumlah yang harus dikenakan pajak, serta kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu (kenaikan marjinal) setiap kali naik.
3. Tari! yang menurun (degresit) ialah tarif menu run. Contoh: Rp 1.000,Rp 2.000,Rp 3.000,Rp 4.000,-
yang besarnya persentase
-
10% 9% 8,5% 8%
= Rp 100,= Rp 180,-
= Rp 225,= Rp 320,-
4. Tari/ yang tetap (vast) ialah tarif yang besarnya tetap dan tidak tergantung kepada sesuatu jumlah. Contoh: Bea Materai untuk kuitansi. Syarat ekdnomis menuntut pajak harus dibayar dari penghasilan rakyat dan tidak boleh merugikan kebahagiaan rakyat ataupun menghalang-halangi perdagangan dan industri, serta penagihannya pada saat yang paling tepat/ menyenangkan bagi wajib pajak. Syarat keuangan (finansial) menuntut agar dengan pemungutan pajak dapat dipenuhi fungsi pertama dari pemenuhannya yaitu fungsi budgetair, dipungut eukup untuk kebutuhan dana negara, serta efisiensi pemungutannya. Efisiensi pemungutan berarti biaya pemungutan pajak hendaknya sekeeil mungkin. Sejak zaman negara tradisional dan mungkjn juga hingga saat ini aparat/ petugas pajak senantiasa dibenci oleh setiap orang. Hal tersebut terjadi disebabkan karena masyarakat memandang mereka yang selalu memberatkan masyarakat melalui penetapan pajak. Apalagi kalau aparat/petugas pajak bertindak sewenang-wenang yang mungkjn menjurus pada tindakan yang korup, menyalahgunakan wewenang •
•
387
EfekttlJitas Pemungutan Poiak
•
atau jabatan, ataupun manipulasi. Oleh karena itu, di satu pihak aparat/petugas pajak merupakan aparat yang betuI-betuI bersih dan berwibawa. Dan di pihaK lain, perlu adanya mekanisme berupa kesempatan yang diberikan kepada wajib pajak untuk mengadu kepada pihak atasan yang berwenang manakala penetapan pajak dirasakan kurang adil. Meskipun di dalam peraturan perundang-undangan pajak memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan atas penetapan pajak, tetapi persoalannya: apakah mekanisme itu efektif atau tidak. Apabila mekanisme yang tersedia itu terlalu birokratis, maka dikhawatirkan membuka peluang bagi wajib pajak untuk menempuh jalan lain yang nampaknya lebih cepat dan efisien dibandingkan dengan mekanisme keberatan yang tersedia. Bagaimana dengan undang-undang pajak baru yang telah ditetapkan oleh pemerintah kita? Nampaknya ada beberapa sinyalemen yang mengatakan bahwa dengan un dang-un dang pajak yang baru tidak berarti lubang-Iubang korupsi di bidang perpajakan telah tertutup sarna sekali. Di dalamnya masih terdapat celah-celah yang dapat mengurangi target pemasukan pajak, sehingga sebenarnya undang-undang ini masih mungkin untuk diperbaiki lagi di masa mendatang. Tapi paling tidak korupsi dapat diperkecil dan tawaran untuk bertindak korup akan datang dari pengusaha/wajib pajak, tidak lagi dari aparat/petugas pajak. Ini disebabkan karena sifat pajak yang baru adalah penafsiran besarnya pajak oleh pengusaha/wajib pajak sendiri (self-assessment), sehingga dimungkin-
kan kecurangan-kecurangan untuk be- . sar pajak yang harus dibayar dilakukan dengan tawar-menawar dengan petugas 'pajak, yang sebetulnya mekanisme yang demikian tidak diatur. Oleh karena itu, bagaimana pun pemerintah patut melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan undang-undang pajak yang baru. Fungsi pengawasan harus diperbanyak dan diperluas, sehingga menjadi salah satu bagian dari usaha yang menyeluruh. Pengawasan menjadi suatu kebutuhan dalam rangka manajemen total yang sifatnya bukan mencari kesalahan, tetapi merupakan rangsangan kerja. Aparat pengawasan harus terdiri atas tenaga-tenaga yang mampu dan mengerti tug as dan fungsinya. Bagi sebagian terbesar wajib pajak membayar pajak adalah be ban, dan bukan merupakan tanggung jawab sebagai warganegara. Keadaan yang demikian · dirasakan baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kini yang sudah merdeka. Perasaan wajib pajak bahwa membayar pajak adalah beban, karena keadaannya dalanl zaman penjajahan. Namun, dalam zaman kemerdekaan kini tetap saja perasaan yang demikian ada tanpa perubahan Hal demikian , jelas bukanlah tidak ada kesadaran wajib pajak. Namun, praktek pemungutan pajak dalam banyak hal sarna. Rakyat tidak diberikan penerangan ten tang pokok-pokok perbedaan pembayaran pajak pada zaman penjajahan dengan pembayaran pajak dalam zaman merdeka. Rochmat Soemitro, dkk. , pemah mengadakan penelitian untuk Direktorat lenderal Pajak, sampai pada kesimpulan bahwa kesadaran pajak raky at Indonesia pada umumnya masm
•
Agustus 1987 •
.
388
Hulcum dan Pemban,unon
"sangat rendah. Selama ini kepada rak• yat Indonesia tidak pernah diberikan penyuluhan atau informasi ten tang pajak-pajak. Kesadaran rakyat akan pajak belum pernah digarap. Namun, Rochmat Soemitro sendiri mengakui bahwa pada waktu berlakunya undang-undang pajak yang baru memang digiatkan dan digalakkan kampanye penyuluhan pajak. Tetapi, menurut pengamatan beliau, penyuluhan itu hanya mengenai pelaksanaan peraturan perpajakan, bagaimana menghitung pendapatan kena pajak, bagaimana mengisi surat pemberitahuan bagaim ana melakukan pengampunan, dan sebagainya tetapi tidak cukup menggarap kesadaran wajib pajak. Dikatakan oleh beliau lebih lanjut, pada rakyat harus diletakkan kesadaran bahwa membayar pajak itu bukan sematamata merupakan kewajiban setiap penduduk negara, tetapi juga merupakan hak setiap warganegara untuk ikut serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan. Contoh-contoh y ang diketemukan di dalam masyarakat dapat digunakan untuk lebih mendukung penyuluhan tersebut. Salah satu usaha untuk menumbuhkan kesadaran wajib pajak di dalam undang-undang pajak baru ialah mengajak anggota masyarakat untuk mandiri dalam kewajiban pajaknya. Mekanismenya meliputi: mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, apabila seharusnya mendaftarkan diri; menghitung dan menetapkan sendiri jumlah pajak yang terhutang; dan membayar sendiri pajak yang terhutang pada negara. Aparat/ petugas pajak bertugas mengawasi pelaksanaannya serta memberikan bimbingan dan pembinaan kepada wajib •
pajak agar wajib pajak melakukan kewajiban pajaknya dengan baik. Namun demikian, usaha ini dirasakan akan sulit untuk diharapkan dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak andaikata motivasinya tidak diubah, yakni membayar pajak sebagai beban ke arah kesadaran dan solidaritas nasional bahwa membayar pajak merupakan tanggung jawab sebagai warganegara. Salah satu tujuan hukum pajak adalah mencapai tujuan secara praktis. Sesuai dengan prinsip tersebut teknik pemungutan pajak hendaklah menjamin pemungutan pajak secara merata bagi seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan keteniuan yang berlaku. Juga dengan cara yang sesederhana mungkin, sehingga pembayaran pajak yang sudah . dirasakan sebagai suatu beban janganlah lagi dibebani prosedur yang berbelit-belit, yang merupakan salah satu faktor yang menambah keengganan untuk membayar pajak. Sistem pemungutan pajak dalam undang-undang pajak yang baru di antaranya berintikan pemerataan dan kesederhanaan. Pemerataan dalam pengenaan pajak akan terlaksana dengan baik , apabila setiap anggota masyarakat yang memenuhi syarat yang ditentukan, mendaftarkan diri sebagai wajib pajak akan tercapai pula pemerataan dalam memikul biaya negara. Yang dimaksud dengan kesederhanaan ialah upaya agar peraturan perundang-undangan pajak itu mudah dipahami dan dilaksanakan oleh setiap anggota masyarakat. Kepastian hukum tidak akan pernah dapat dirasakan apabila orang tidak paham akan hukum itu sendiri .
389
Efelrttvtttu Pemun,u tan Paiak
DAFTAR PUSTAKA
•
Brotodihardjo, Santoso R., Pengantar l/mu Hukum Pajak, Cet. VIII (Jakarta . Eresco, 1979). Soemitro, Rochmat, Dosar-dasar Hukum pajak dan Pajak Pendapatan 1944, Prisma No. 4, Th. XIV, 1985.
•
•
•
• •
, Agustus 1987