BAYANGAN KELAM Mary Elizabeth Braddon
2014
Bayangan Kelam Diterjemahkan dari The Shadow in the Corner karangan Mary Elizabeth Braddon terbit tahun 1879 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Mei 2014 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2014 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
W
ILDHEATH
GRANGE berdiri agak jauh dari jalan, dengan
dataran tandus di baliknya, dan beberapa pohon cemara
—bongkol terurai diterpa angin—sebagai pelindungnya. Ini merupakan rumah sepi di jalan sepi, sedikit lebih baik dari jalan setapak, yang melintasi padang-padang pasir terpencil menuju pantai; dan rumah ini menyandang nama buruk di antara penduduk asli desa Holcroft, tempat terdekat di mana manusia bisa dijumpai. Meski demikian, rumah tua tersebut bagus, dibangun pada masa ketika pasokan batu dan kayu tak terbatas—rumah batu kelabu tua yang indah, dengan banyak muka, dudukan-dudukan jendela yang dalam, tangga yang lebar, gang-gang sempit gelap, pintu tersembunyi di pojok-pojok aneh, lemari-lemari dinding sebesar ruang modern, dan gudang-gudang bawah tanah di mana sekompi prajurit mungkin pernah bersembunyi. Mansion tua nan luas ini telah diserahkan kepada tikus, kesunyian, gema, dan tiga orang sepuh: Michael Bascom, yang nenek moyangnya adalah tuan tanah terkemuka di lingkungan ini, bersama dua pembantunya, Daniel Skegg dan isterinya, yang telah mengabdi sejak pemilik rumah tua suram tersebut meninggalkan universitas, di mana dia menghabiskan lima belas tahun hidupnya —lima tahun sebagai mahasiswa, dan sepuluh tahun sebagai profesor ilmu alam. Pada umur 33, Michael Bascom tampak separuh baya; pada umur 56, dia berparas, bergerak, dan berbicara seperti kakekkakek. Selama kurun dua puluh tiga tahun itu dia hidup sendirian di Wildheath Grange, dan orang-orang desa sering bergosip bahwa 5
rumah itulah yang membuatnya demikian. Ini pemikiran takhayul dan mengkhayal, sudah pasti, tapi tidaklah sulit menelusuri pertalian antara bangunan suram nan sepi dan orang yang tinggal di dalamnya. Keduanya sama-sama terasing dari perhatian manusia; keduanya memiliki suasana melankolis kuat, ditimbulkan oleh kesunyian abadi; keduanya sama-sama memiliki corak pudar, pembusukan perlahan. Tapi betapapun sepinya hidup Michael Bascom di Wildheath Grange, dia tak mengubah suasana. Dia senang menukar keterasingan ruang-ruang kuliah dengan kesunyian Wildheath. Cintanya pada riset ilmiah sangat fanatik, dan hari-hari sunyinya diisi dengan kerja keras yang nyaris selalu menarik perhatiannya dan memberinya kepuasan. Ada periode depresi, terkadang keraguan, ketika sasaran yang ditujunya tidak tercapai, dan semangat di dalam dirinya meredup. Untungnya masa-masa seperti itu sangat jarang. Dia punya kekuatan kontinuitas yang membawanya ke puncak pencapaian tertinggi, dan mungkin yang memberinya nama besar dan ketenaran di seluruh dunia, tapi disertai malapetaka yang membebani tahun-tahun kemundurannya dengan penyesalan mendalam. Suatu pagi di musim gugur—ketika dia sudah menghabiskan dua puluh tiga tahun di Wildheath, dan baru mulai menyadari bahwa pembantu setianya, yang telah berumur paruh baya saat pertama kali bekerja, semakin menua—sewaktu sarapan, renungan Tn. Bascom mengenai risalat teranyar teori atom dibuyarkan oleh tuntutan mendadak dari Daniel Skegg. Lelaki tersebut sudah biasa 6
menunggu tuannya dalam kebisuan, jadi ucapannya ini terasa mengagetkan, seolah patung dada Socrates di atas lemari buku tiba-tiba bicara dalam bahasa manusia. “Percuma,” kata Daniel, “harus ada seorang anak perempuan untuk isteriku!” “Seorang apa?” desak Tn. Bascom, tanpa mengalihkan perhatiannya dari tulisan yang sedang dibaca. “Seorang anak perempuan—untuk berlari-lari dan mencuci, dan membantu perempuan tua. Kakinya semakin lemah, kasihan. Kita tidak bertambah muda dalam dua puluh tahun terakhir.” “Dua puluh tahun!” timpal Michael Bascom mengejek. “Apalah arti dua puluh tahun dalam pembentukan lapisan— bahkan dalam pertumbuhan pohon ek—pendinginan gunung berapi!” “Mungkin tidak banyak, tapi itu tepat untuk tulang manusia.” “Pengkaratan manggan dibanding tengkorak mengindikasikan —” sang ilmuwan mulai lagi. “Andai saja tulang-tulangku bebas dari rematik seperti dua puluh tahun silam,” timpal David tak sabar, “maka akan kuanggap enteng dua puluh tahun. Panjang ataupun pendek, isteriku tetap butuh anak perempuan. Dia tak bisa berlari-lari di gang-gang panjang ini, dan berdiri di dapur batu itu tahun demi tahun, seakan dia masih muda. Dia butuh anak perempuan untuk membantunya.” “Kalau begitu beri dia dua puluh anak perempuan,” kata Tn. Bascom, kembali berkonsentrasi pada bukunya. “Apa maksud Anda bicara seperti itu, tuan. Dua puluh anak! Satu saja kita jarang dapat.” 7
“Karena lingkungan ini jarang penduduk?” tanya Tn. Bascom, masih membaca. “Bukan, tuan. Karena rumah ini dikenal berhantu.” Michael Bascom menaruh bukunya, dan melempar tatapan marah pada pembantunya. “Skegg,” katanya dengan suara berat, “kupikir kau sudah cukup lama hidup denganku untuk mengabaikan hal konyol seperti itu.” “Aku tidak bilang percaya hantu,” balas Daniel setengah menyesal, “tapi orang-orang desa percaya. Tak ada di antara mereka yang mau melewati ambang pintu kita setelah malam turun.” “Hanya karena Anthony Bascom, yang hidup serampangan di London, dan kehilangan uang dan tanah, pulang kemari dalam keadaan patah hati, dan diduga bunuh diri di rumah ini—satusatunya properti yang tersisa dari estat yang megah.” “Diduga bunuh diri!” pekik Skegg. “Lantas kenapa fakta itu sama terkenalnya dengan kematian Ratu Elizabeth, atau kebakaran dahsyat London. Kenapa dia tak dikubur di persimpangan antara tempat ini dan Holcroft?” “Tradisi isapan jempol, kau tak punya bukti substansial,” balas Tn. Bascom pedas. “Aku
tak
tahu-menahu
soal
bukti,
tapi
warga
desa
mempercayainya sekokoh kepercayaan mereka pada Injil.” “Jika kepercayaan mereka pada Injil sedikit lebih kuat, mereka tak perlu repot-repot mengurus Anthony Bascom.” 8
“Well,” gerutu Daniel, sambil mulai membereskan meja, “kita perlu anak perempuan, tapi dia harus orang asing, atau anak perempuan yang mencari tempat tinggal.” Ketika Daniel Skegg bilang orang asing, yang dia maksud bukan penduduk suatu daerah jauh, tapi seorang anak perempuan yang tidak dilahirkan dan dibesarkan di Holcroft. Daniel dibesarkan di dusun kecil tersebut, dan meskipun itu kecil dan sepi, dia menganggap dunia di luarnya sebagai pinggiran belaka. Michael Bascom terlalu asyik dengan teori atom sampaisampai tidak punya waktu memikirkan kebutuhan pembantu tua. Bu Skegg jarang bertegur sapa dengannya. Dia lebih sering tinggal di kawasan suram di ujung utara rumah, di mana dia berkuasa atas dapur sepi mirip katedral, dan banyak ruang cuci piring, tempat penyimpanan makanan, dan pantri, di mana dia melakukan perang tiada akhir dengan laba-laba dan kumbang, dan menghabiskan masa tuanya dengan menyapu dan menggosok. Dia wanita bermuka sangar, alim dogmatis, dan lidahnya tajam. Dia koki yang hebat, dan tekun meladeni keperluan tuannya. Michael Bascom bukan penggemar makanan, tapi ingin hidupnya lancar dan mudah, dan keseimbangan pikirannya akan terganggu oleh makan malam yang buruk. ***** Dia tak lagi mendengar usulan penambahan pembantu selama sepuluh hari ini, ketika Daniel Skegg lagi-lagi mengagetkannya di 9
tengah istirahat dengan pengumuman mendadak: “Aku dapat anak perempuan!” “Oh,” kata Michael Basom, “benarkah?” dia pun melanjutkan dengan bukunya. Kali ini dia membaca esai tentang fosfor dan fungsinya terhadap otak manusia. “Ya,” timpal Daniel dengan nada menggerutu seperti biasa, “dia anak terlantar dan tersesat, atau mungkin tak semestinya aku mendapatkannya. Andai dia penduduk sini, dia takkan mendatangi kita.” “Kuharap orangnya sopan,” kata Michael. “Sopan! Itulah satu-satunya kekurangan yang dia punya, kasihan. Dia terlalu baik untuk tempat ini. Dia belum pernah bekerja sebagai pembantu, tapi dia bilang mau bekerja, dan aku yakin isteriku bisa melatihnya. Ayahnya pedagang kecil di Yarmouth. Dia meninggal sebulan lalu, dan meninggalkan anak malang ini tanpa rumah. Ny. Midge, di Holcroft, adalah bibinya, dan dia menyuruh anak perempuan itu tinggal bersamanya sebelum mendapatkan tempat tinggal; dan anak itu telah tinggal dengan Ny. Midge selama tiga minggu ini, berusaha mencari tempat. Ketika Ny. Midge mendengar isteriku butuh anak perempuan untuk membantu, dia berpikir itu cocok untuk keponakannya, Maria. Beruntung Maria belum dengar apa-apa soal rumah ini, jadi bocah polos itu membungkuk kepadaku, dan dengan senang hati dia akan datang, dan akan berusaha semampunya untuk belajar mengerjakan tugas. Dia menjalani masa menyenangkan dengan ayahnya, yang 10
mendidiknya melampaui lingkungannya, dasar gila,” geram Daniel. “Berdasarkan keteranganmu, aku khawatir kau membuat tawar-menawar yang jelek,” kata Michael. “Kau tak ingin perempuan belia membersihkan ceret dan panci.” “Jika dia bangsawan muda, isteriku akan membuatnya bekerja,” ketus Skegg tegas. “Di mana kau akan tempatkan anak perempuan ini?” tanya Tn. Bascom agak kesal, “aku tak mau anak perempuan asing berjalanjalan di gang-gang di luar kamarku. Kau tahu tidurku jelek, Skegg. Seekor tikus di balik kayu lis sudah cukup untuk membangunkanku.” “Sudah kupikirkan,” jawab sang kepala pelayan, dengan roman terlalu bijaksana. “Aku takkan menempatkannya selantai dengan tuan. Dia akan tidur di loteng.” “Kamar yang mana?” “Yang besar di ujung utara rumah. Itu satu-satunya langitlangit yang tidak kebocoran air. Dia juga bisa tidur di pancuran mandi atau di loteng mana saja.” “Kamar di ujung utara,” timpal Tn. Bascom penuh pikir, “bukankah itu…?” “Tentu saja,” balas Skegg, “tapi dia tak tahu apa-apa soal itu.” Tn. Bascom kembali membaca buku, dan melupakan semua hal tentang anak yatim dari Yarmouth, sampai suatu pagi, saat masuk kamar kerja, dia terperanjat oleh penampakan seorang anak perempuan asing, bergaun katun hitam putih rapi, sedang sibuk 11
membersihkan debu dari jilid-jilid buku yang bertumpuk di atas meja tulis luas—mengerjakannya dengan cekatan dan teliti sehingga dia tak marah atas kelancangan ini. Bu Skegg sudah menahan diri dari membersihkan debu di situ, dengan alasan tidak mau mengganggu kebiasaan tuannya. Salah satu kebiasaan tuannya adalah menghirup lumayan banyak debu sepanjang waktu belajarnya. Anak perempuan itu kurus, berwajah pucat dan kuno, rambut berwarna jerami, dikepang di bawah topi kasa yang rapi, corak kulit kuning langsat, dan mata biru cerah. Itu mata biru paling cerah yang pernah dilihat Michael Bascom, tapi ada sifat manis dan lembut dalam ekspresi matanya yang mengkompensasi warna hambarnya. “Kuharap Anda tak keberatan aku membersihkan buku-buku Anda, tuan,” katanya, membungkuk. Dia bicara dengan ketelitian aneh dan indah yang membuat Michael Bascom terpesona. “Tidak, aku tidak keberatan dengan kebersihan, asalkan buku dan makalahku tidak terganggu. Jika kau mengangkat sebuah jilid dari mejaku, letakkan kembali ke posisi semula. Itu saja yang kuminta.” “Aku akan hati-hati, tuan.” “Kapan kau datang?” “Baru tadi pagi, tuan.” Sang pelajar duduk di mejanya, dan anak itu memohon diri, mengeluyur keluar kamar tanpa suara, bagai bunga tertiup 12
melewati ambang pintu. Michael Bascom memperhatikannya dengan heran. Sepanjang karirnya yang garing, sangat jarang dia menyaksikan kaum wanita muda, dan dia penasaran terhadap anak perempuan ini seakan-akan spesies yang tak dikenal. Betapa langsat dan halusnya, kulit yang transparan, aksen yang lembut dan menyenangkan yang keluar dari bibir berwarna mawar itu. Alangkah cantik gadis dapur ini! Sulit dibayangkan, di dunia sibuk ini tak ada pekerjaan lebih baik untuknya selain menggosok periuk dan panci. Larut memikirkan tulang kering, Tn. Bascom tak lagi memperhatikan pembantu berwajah pucat itu. Dia tak lagi melihatnya di sekitar ruangannya. Apapun yang dikerjakan anak itu, semua sudah selesai pagi-pagi sekali, sebelum sang cendekiawan sarapan. Sudah sepekan anak itu bekerja di rumah ketika Tn. Bascom bertemu dengannya suatu hari di lorong. Dia tercengang oleh perubahan penampilannya. Bibir gadis itu sudah kehilangan corak mawarnya; mata biru pucatnya tampak mengerikan, dan ada lingkaran-lingkaran gelap di sekelilingnya, seperti kurang tidur atau diganggu mimpi buruk. Michael Bascom terkejut oleh raut mukanya yang tak terlukiskan. Meskipun tak biasa bersikap ramah, dia sampai menanyakan apa yang membuatnya merana. “Pasti ada yang salah,” katanya “Apa itu?” “Tak ada, tuan,” dia bimbang, masih terlihat ketakutan atas pertanyaannya. “Sungguh, tak ada apa-apa, tak ada yang perlu 13
Anda risaukan.” “Bohong. Kau pikir, karena aku hidup dengan buku-buku, aku tak punya simpati pada sesama? Katakan, apa yang salah denganmu, nak. Pasti kau bersedih atas kepergian ayahmu barubaru ini.” “Bukan, tuan, bukan itu. Aku takkan berhenti bersedih untuk itu. Kesedihan itu akan merundungku seumur hidup.” “Kalau begitu ada yang lain?” tanya Michael tak sabar. “Aku mengerti, kau tak bahagia di sini. Pekerjaan berat tak sesuai denganmu. Kupikir juga begitu.” “Oh, tuan, jangan berpikir begitu,” pekik sang gadis, sungguhsungguh. “Sungguh, aku senang bekerja—senang membantu; hanya saja—” Dia terputus-putus dan berhenti, air mata bergulir pelan dari mata sedihnya, meski dia berusaha membendungnya. “Hanya saja apa?” pekik Michael, kian marah. “Anak ini penuh rahasia dan misteri. Apa maksudmu, gadis?” “Aku—aku tahu ini sangat konyol, tuan, tapi aku takut dengan kamar tidurku.” “Takut! Kenapa?” “Boleh aku berkata jujur, tuan? Janji Anda takkan marah?” “Aku takkan marah jika kau mau berterus-terang; tapi kau memancingku dengan keraguan dan keengganan ini.” “Dan tolong, tuan, jangan beritahu Bu Skegg bahwa aku sudah bercerita pada Anda. Dia akan mengomeliku, atau mungkin menyuruhku pergi.” 14
“Bu Skegg takkan mengomelimu. Teruskan, nak.” “Anda mungkin tak tahu ruang tidurku, tuan; ruangan besar di ujung rumah ini, menghadap ke laut. Aku bisa melihat garis gelap air dari jendelanya, dan terkadang aku berpikir itu laut yang sama dengan yang biasa kulihat semasa kecil di Yarmouth. Sangat sunyi, tuan, di puncak rumah ini. Bapak dan Ibu Skegg tidur di kamar kecil dekat dapur, Anda tahu, tuan, dan aku sendirian di lantai paling atas.” “Skegg pernah bilang, pendidikanmu lebih tinggi dari kedudukan sosialmu, Maria. Aku anggap efek pertama dari pendidikan bagus adalah membuatmu tak mengacuhkan khayalan konyol soal kamar kosong.” “Oh, tuan, jangan berpikir ini kesalahan dalam pendidikanku. Ayah bersusah-payah demi diriku; dia mengeluarkan biaya tanpa peduli apapun demi memberiku pendidikan bagus yang dibutuhkan puteri seorang pedagang. Dan dia agamis, tuan. Dia tak percaya”— dia berhenti sejenak, dengan rasa ngeri yang tertahan—“pada munculnya arwah orang mati di hadapan orang hidup, sejak harihari mukjizat, ketika hantu Samuel muncul di depan Saul. Dia tak pernah memasukkan ide konyol ke dalam kepalaku, tuan. Aku tak terpikir untuk takut saat pertama kali berbaring istirahat di kamar besar dan sunyi di lantai atas.” “Well, lantas apa?” “Tapi di malam pertama itu,” si gadis melanjutkan dengan terengah-engah, “aku merasa tertindih dalam tidurku seakan-akan suatu beban berat ditaruh di atas dadaku. Itu bukan mimpi buruk, 15
gangguan itu terus mengikutiku sepanjang tidur; dan persis saat fajar—mulai agak ringan setelah jam enam—tiba-tiba aku terbangun, keringat dingin mengucur di wajahku, dan aku tahu ada sesuatu yang menakutkan di kamar itu.” “Apa maksudmu sesuatu yang menakutkan. Kau lihat sesuatu?” “Tidak terlalu, tuan, tapi itu membuat darahku beku, dan aku tahu inilah yang terus mengikutiku dan menindihku sepanjang tidur. Di pojok, di antara perapian dan lemari pakaian, aku melihat sebuah bayangan—bayangan redup tanpa bentuk—” “Dihasilkan oleh sudut lemari, kurasa.” “Tidak, tuan, aku bisa melihat bayangan lemari, jelas dan tajam, seperti terlukis di dinding. Bayangan yang ini ada di pojok —aneh dan tak berbentuk, atau jika ia memiliki bentuk, kelihatan seperti—” “Apa?” tanya Michael penasaran. “Bentuk mayat yang tergantung di dinding!” Michael Bascom semakin pucat, tapi dia berpura-pura tidak percaya. “Anak malang,” katanya ramah, “kau terus memikirkan ayahmu sampai syaraf-syarafmu lemah, dan kau diselimuti khayalan. Bayangan di pojok, benar; ah, di waktu fajar setiap pojok dipenuhi bayangan. Mantel tuaku yang tertanggal di kursi akan terlihat seperti hantu.” “Oh, tuan, aku sudah berusaha menganggapnya khayalan. Tapi aku merasakan tindihan yang sama setiap malam. Aku melihat 16
bayangan yang sama setiap pagi.” “Tapi ketika siang datang, tidak bisakah kau lihat bayangan apa sebetulnya itu?” “Tidak, tuan, bayangannya pergi sebelum hari terang.” “Tentu saja, seperti semua bayangan lainnya. Ayolah, buang pikiran konyol ini dari kepalamu, atau kau tak bisa bekerja seharian. Aku bisa bicara dengan Bu Skegg, dan memintanya memberikan kamar lain, jika aku mau mengikuti kekonyolanmu. Tapi itu hal terburuk yang bisa kulakukan untukmu. Selain itu, dia bilang semua kamar lain di lantai atas lembab; dan jika dia memindahkanmu ke salah satu kamar tersebut, kau pasti menemukan bayangan lain di pojok lain, dan sebagai tambahannya kau akan kena rematik. Tidak, gadis baik, kau harus berusaha buktikan sendiri pendidikan unggulmu.” “Aku akan berusaha, tuan” jawab Maria dengan patuh, kemudian membungkuk. Maria kembali ke dapur dalam keadaan sangat depresi. Itulah kehidupan suram yang dilaluinya di Wildheath Grange—siang yang suram, malam yang suram, sebab beban samar dan bayangan tak berbentuk, yang dianggap ringan oleh sang cendekiawan renta, sangat mengerikan baginya. Tak ada yang pernah bilang padanya bahwa rumah itu berhantu, tapi dia berjalan di lorong-lorong bergema itu dengan rasa takut. Dia tak mendapat belas kasihan dari Daniel Skegg dan isterinya. Kedua orang saleh tersebut sudah membulatkan tekad bahwa karakter rumah ini mesti ditegakkan, sepanjang Maria berjalan. Baginya, sebagai orang asing, Grange 17
semestinya dirawat menjadi tempat tinggal yang apik, tak dinodai oleh bau dari dunia bawah tanah. Seorang gadis yang bisa disuruhsuruh telah menjadi unsur kebutuhan dalam eksistensi Bu. Skegg. Gadis itu sudah ditemukan, dan harus dipertahankan. Khayalan sosok supranatural harus dipadamkan. “Hantu, tentu!” pekik Skegg ramah. “Baca Alkitabmu, Maria, jangan pernah bicara lagi soal hantu.” “Alkitab juga menyebut-nyebut hantu,” kata Maria merinding, teringat ayat-ayat mengerikan dalam Injil yang sangat dihafalnya. “Ah, itu sesuai tempatnya, atau mungkin semestinya tak ada,” ketus Bu Skegg. “Kuharap kau tak mencari-cari kesalahan dalam Alkitab, Maria.” Maria duduk diam di pojok dekat perapian dapur, dan membalik-balik halaman Alkitab milik mendiang ayahnya sampai dia membuka pasal yang paling mereka sukai dan sering dibaca bersama. Ayahnya berpikiran sederhana, blak-blakan, seorang pembuat lemari Yarmouth—orang yang penuh aspirasi kebaikan, berbudi halus, agamis. Dia dan puteri piatunya menghabiskan hidup berdua, di rumah mungil apik yang segera dihargai dan diperindah oleh Maria; dan mereka saling menyayangi dengan rasa sayang yang nyaris romantis. Mereka punya selera yang sama, ide yang sama. Mereka sudah cukup bahagia. Tapi kematian memisahkan ayah dan puteri, dalam perpisahan mendadak yang mirip goncangan gempa—seketika luluh-lantak, sepi, dan putus asa. Wujud rapuh Maria membungkuk di hadapan prahara. Dia 18
melewati masalah yang bisa melumatkan alam. Keimanannya yang dalam, dan keyakinannya bahwa perpisahan kejam ini takkan berlangsung selamanya, telah menopang jiwanya. Dia menghadapi hidup, dan pengasuhannya dan kewajibannya, dengan kesabaran berwujud keberanian. Michael
Bascom
beranggapan,
khayalan
konyol
gadis
pembantu tentang kamarnya tak perlu diambil serius. Tapi itu terus melekat dalam benaknya, tak mengenakkan, mengusik pekerjaannya. Ilmu eksak membutuhkan kemampuan penuh otak manusia, perhatian total; dan pada malam ini Michael merasa hanya memberi separuh perhatiannya. Wajah pucat gadis itu, nada gemetarnya, menghujam ke dalam pikirannya. Dia menutup buku sambil mendesah, memutar roda kursi lengannya ke perapian, dan merenung. Percuma belajar dengan pikiran terusik seperti itu. Malam ini mendung, awal November; lampu baca sang pelajar dinyalakan, tapi daun jendela belum ditutup, begitupun gorden. Dia bisa melihat langit kelam di luar jendela, puncak-puncak pohon fir bergoyang tertiup angin murka. Dia bisa mendengar hembusan musim dingin di antara muka-muka rumahnya, sebelum menyerbu ke arah laut dengan raungan buas mirip huru-hara perang. Michael Bascom menggigil, dan lebih mendekati perapian. “Itu kekanakan, omong-kosong konyol,” katanya sendirian, “tapi aneh dia berkhayal mengenai bayangan. Konon Anthony Bascom bunuh diri di kamar itu. Aku pernah mendengarnya saat kecil, dari seorang pembantu tua yang ibunya menjadi pengurus 19
rumahtangga di rumah besar ini di masa Anthony. Aku tak pernah dengar bagaimana dia mati, kasihan—entah minum racun, atau menembak dirinya sendiri, atau menggorok leher; tapi aku diberitahu itulah kamar yang dipakainya. Skegg tua itu pasti pernah dengar juga. Aku bisa lihat dari tingkahnya ketika dia bilang anak perempuan itu akan tidur di sana.” Dia duduk lama sekali, sampai kelabunya malam di luar jendela kamar kerja berubah menjadi hitam, dan huru-hara angin perang memudar menjadi gumaman keluh pelan. Dia memandangi perapian, dan membiarkan angannya mengeluyur ke masa lalu dan dongeng yang pernah didengarnya semasa kecil. Itu kisah konyol dan menyedihkan tentang paman orangtuanya, Anthony Bascom; kisah malang tentang kekayaan dan kehidupan yang disia-siakan. Karir amburadul di Cambridge, istal pacuan di Newmarket, pernikahan ceroboh, hidup foya-foya di London, isteri yang kabur, tanah yang dikorbankan kepada rentenir Yahudi, dan kemudian akhir mengenaskan. Michael sering mendengar kisah suram tersebut: bagaimana, ketika isteri picik Anthony Bascom meninggalkannya, ketika uang pinjamannya habis, dan teman-temannya semakin bosan dengannya, dan semuanya lenyap kecuali Wildheath Grange, Anthony, sang lelaki modis yang hancur, tak disangka-sangka datang ke rumah sepi ini pada suatu malam, dan menyuruh agar ranjangnya dirapikan di kamar di mana dia biasa tidur bila berkunjung untuk menembak itik di masa mudanya. Senapannya masih tergantung di atas rak perapian, di mana dia meninggalkannya setelah mewarisi 20
tanah, dan mampu membeli senapan gotri terbaru. Sudah lima belas tahun dia tidak ke Wildheath; dan selama itu dia nyaris melupakan rumah tua suram miliknya tersebut. Wanita yang menjadi pengurus rumahtangga di Bascom Park, sebelum rumah dan tanah beralih ke tangan Yahudi, merupakan penghuni tunggal Wildheath. Dia memasak jamuan untuk tuannya, dan membuatnya senyaman mungkin di ruang makan yang panjang dan luas; tapi, sewaktu membereskan meja setelah Bascom pergi tidur ke lantai atas, dia mendapati tuannya itu hampir tidak makan apa-apa, dia pun jadi sedih. Keesokan paginya dia menyiapkan sarapan di ruang yang sama, yang dia atur lebih cerah dan ceria ketimbang semalam. Sapu, sikat debu, dan perapian hangat sangat memperbaiki segala aspek. Tapi pagi beranjak siang, dan si pelayan tua menantikan bunyi langkah kaki tuannya di lantai. Siang beranjak sore. Dia tak mau mengganggunya, mengira bahwa tuannya letih akibat perjalanan menunggang kuda, dan sedang tertidur lelah. Tapi begitu hari November yang singkat itu dinaungi bayang-bayang pertama senja, si wanita tua semakin cemas, dan naik menuju pintu kamar tuannya, di mana dia memanggil, mengetuk, dan menunggu jawaban. Pintu terkunci dari dalam, dan si pembantu tak cukup kuat untuk
mendobraknya.
Dia
bergegas
turun
lagi,
diliputi
kekhawatiran, dan berlari tanpa tutup kepala, menuju jalan yang sunyi. Tak ada tempat tinggal lain di jalan kereta kuda itu, dari situ jalan samping ini mencabang ke laut. Ada sedikit harapan akan 21
melintasnya seseorang. Dia berlari sepanjang jalan, tidak tahu apa yang sedang atau akan dilakukannya, tapi dengan ide tidak jelas dia harus mencari seseorang untuk membantunya. Keberuntungan menaunginya. Sebuah gerobak, bermuatan ganggang laut, berjalan lamban dan berat dari permukaan padang pasir di mana tanah larut ke dalam air. Seorang pekerja pertanian berjalan di samping gerobak. “Demi Tuhan, tolong masuk, tolong dobrak pintu kamar majikanku!” pintanya, merenggut lengan pria itu. “Mungkin dia mati, atau pingsan, aku tak bisa menolongnya.” “Baiklah, nyonya,” jawab pria itu, seolah ajakan tersebut sudah biasa sehari-hari. “Hush, Dobbin, diam, kuda, tetap di sini.” Dobbin cukup senang dilabuhkan di atas petak rumput buangan di depan kebun Grange. Tuannya mengikuti si pembantu ke lantai atas, dan meremukkan kunci boks kuno dengan satu tinju keras. Kekhawatiran wanita tua itu menjadi kenyataan. Anthony Bascom meninggal. Tapi cara kematiannya tak pernah Michael ketahui. Puteri si pembantu, yang menceritakan kisah ini kepadanya, sudah berusia lanjut ketika Michael masih kanakkanak. Dia hanya menggeleng-geleng kepala, dan raut mukanya tak bisa dilukiskan, sewaktu Michael menanyainya lebih dalam. Dia belum pernah mengakui bahwa tuan tanah itu melakukan bunuh diri. Tapi dongeng bunuh dirinya berakar kokoh dalam benak penduduk asli Holcroft: dan ada kepercayaan kuat bahwa arwahnya, pada saat dan musim tertentu, menghantui Wildheath 22
Grange. Sekarang Michael Bascom adalah seorang materialis fanatik. Baginya, alam semesta beserta semua penghuninya adalah mesin hebat, diatur oleh hukum yang tak bisa ditawar-tawar. Bagi orang semacam itu, ide hantu sama sekali absurd—seabsurd pernyataan bahwa dua tambah dua sama dengan lima, atau bahwa lingkaran bisa dibentuk dari garis lurus. Tapi dia punya semacam minat pada pikiran yang meyakini hantu. Subjek ini menawarkan studi psikologis yang memikat. Gadis pembantu kecil yang malang itu kini dirasuki teror supranatural di dalam kepalanya, yang hanya bisa ditaklukkan oleh cara rasional. “Aku tahu apa yang harus kulakukan,” kata Michael Bascom tiba-tiba. “Aku akan tempati kamar itu malam ini, dan menunjukkan kepada gadis konyol itu bahwa dugaannya tentang bayangan hanyalah fantasi bodoh, lahir dari sifat penakut dan semangat rendah. Satu ons bukti lebih baik daripada satu pon argumen. Jika bisa kubuktikan padanya bahwa aku menghabiskan satu malam di kamar itu, dan tak melihat bayangan, dia akan mengerti takhayul hanyalah isapan jempol.” Daniel tiba-tiba masuk untuk menutup daun jendela. “Suruh isterimu merapikan ranjang di kamar tidur Maria, dan pindahkan dia ke salah satu kamar di lantai satu untuk malam ini, Skegg,” kata Tn. Bascom. “Tuan?” Tn. Bascom mengulang perintahnya. “Gadis bodoh itu pasti mengeluh pada Anda tentang 23
kamarnya,” seru Skegg naik darah. “Dia tak pantas diberi makan dan dirawat di rumah yang nyaman. Semestinya dia berada di yayasan jemaat.” “Jangan
marah
pada
gadis
malang
itu,
Skegg.
Dia
memasukkan khayalan ke dalam kepalanya, dan aku ingin tunjukkan padanya betapa konyolnya dia,” kata Tn. Bascom. “Dan Anda mau tidur di kamarnya—di kamar itu,” kata kepala pelayan. “Tepat.” “Well,” renung Skegg, “jika dia berjalan—yang mana aku tidak percaya—maka dia kerabat Anda sendiri, dan kurasa dia takkan menyakiti Anda.” Ketika kembali ke dapur, tanpa ampun Daniel Skegg mencerca Maria yang duduk pucat dan bisu di pojok dekat perapian, sedang menambal kaus kaki wol kelabu milik Bu Skegg. Itu perisai paling kasar yang pernah dikenakan kaki manusia. “Pernahkah ada seorang nona baik,” desak Daniel, “masuk ke rumah pria baik, lalu mengeluarkannya dari kamarnya sendiri untuk tidur di loteng, dengan omong-kosong dan tingkah anehnya.” Jika ini hasil dari didikan bagus, Daniel menganggap dirinya bersyukur tak pernah sekolah tinggi-tinggi sampai membaca tanpa mengeja. Baginya masa bodoh dengan pendidikan, kalau begini hasilnya. “Aku minta maaf,” kata Maria gagap, menangis pelan sambil bekerja. “Sungguh, Pak Skegg, aku tak mengadu. Tuan yang menanyaiku, dan aku katakan yang sebenarnya. Itu saja.” “Itu saja!” pekik Tn. Skegg berang, “itu saja, benar! Kupikir 24
itu cukup.” Maria yang malang tetap bisu. Angannya, dikipas-kipas oleh ketidakramahan Daniel, mengeluyur dari dapur besar nan suram itu menuju rumah di masa lalu—ruang tamu mungil dan rapi di mana dia dan ayahnya duduk di samping perapian hangat pada malam seperti ini; dia dengan kotak perkakas dan jahitannya, ayah dengan koran favoritnya; kucing peliharaan yang mendengkur di atas karpet, ceret yang bernyanyi di atas tatakan kuningan, baki teh yang menghembuskan hidangan paling enak di hari itu. Oh, malam-malam bahagia itu, kebersamaan indah itu! Apakah semua itu betul-betul lenyap selamanya, tak menyisakan apapun selain keburukan dan perbudakan? Malam itu Michael Bascom pergi tidur lebih larut daripada biasanya. Dia terbiasa duduk membaca buku setelah semua lampu lain dipadamkan. Keluarga Skegg sudah sunyi di kamar lantai bawah yang suram. Malam ini studi Michael agak menarik, dan lebih melibatkan bacaan menghibur daripada pekerjaan berat. Dia khusyuk membaca sejarah orang-orang misterius yang bertempat tinggal di danau-danau Swiss, dan sangat tertarik dengan spekulasi dan teori tentang mereka. Jam berdiri kuno menandakan pukul dua saat Michael naik ke lantai atas sambil memegang lilin, menuju wilayah loteng yang asing. Di puncak tangga dia menghadapi gang sempit nan gelap yang mengarah ke utara, gang yang sudah cukup untuk menanamkan teror ke dalam pikiran takhayul, begitu gelap dan gaib. 25
“Anak malang,” renung Tn. Bascom, memikirkan Maria, “lantai loteng ini agak suram, dan bagi pikiran anak muda yang rentan berkhayal—” Dia sudah membuka pintu kamar utara, dan berdiri melihatlihat. Kamarnya besar, langit-langit melandai di satu sisi, tapi lumayan tinggi di sisi lain; kamar gaya lama, penuh furnitur kuno —besar, berat, janggal—terkait dengan hari-hari yang sudah berlalu dan orang-orang yang sudah mati. Lemari pakaian kayu kenari ada di hadapannya—lemari bergagang kuningan, yang bersinar dari kegelapan seperti mata iblis. Ada sebuah kerangka ranjang tinggi bertiang empat, yang telah dipotong di satu sisi untuk mengakomodasi landaian langit-langit, dan akibatnya berbentuk tidak serasi. Ada meja tulis tua dari mahoni, yang berbau rahasia. Ada beberapa kursi berat tua dengan alas duduk dari tanaman rush, bulukan karena usia, dan sangat aus. Ada meja cuci muka di pojok, dengan baskom besar dan buyung kecil—barangbarang rombeng masa lalu. Tak ada karpet, selain secarik sempit di sisi ranjang. “Kamar yang suram,” renung Michael, kembali merasa kasihan pada kelemahan Maria. Baginya tak masalah di mana dirinya tidur; tapi setelah membiarkan dirinya direndahkan oleh minatnya pada orang-orang danau Swiss, sedikit-banyak dia dimanusiakan oleh peringanan dari bacaan malamnya, dan bahkan condong mengasihani kelemahan seorang gadis konyol. 26
Dia pergi ke ranjang, memutuskan untuk tidur lelap. Ranjangnya nyaman, dibekali selimut agak mewah, dan sang cendekiawan merasakan keletihan yang menjanjikan tidur nyenyak dan tenteram. Dia segera tertidur, tapi bangun terkejut sepuluh menit kemudian. Beban kesusahan apa ini yang telah membangunkannya —perasaan berat yang membebani semangat dan menindas hatinya —kengerian krisis hidup yang harus dia lalui? Baginya perasaan ini baru dan juga menyiksa. Hidupnya mengalir di atas gelombang tenang dan lambat, tak terusik oleh riakan kepedihan. Tapi malam ini dia merasakan segala kepedihan dan penyesalan; kenangan hidup yang menderita dan disia-siakan; perihnya penghinaan dan pencemaran, aib, kejatuhan; kematian seram, yang dia pilih dengan tangannya sendiri. Inilah horor yang membolak-balikkannya dan menindihnya selagi dia berbaring di kamar Anthony Bascom. Ya, bahkan dia, orang yang tak mengakui ada yang secara alami—atau ilahi—lebih baik atau lebih tinggi dari mesin tak bertanggung jawab dan tak berubah-ubah yang diatur oleh hukum mekanis, rela mengakui dirinya sedang berhadapan dengan misteri psikologis. Gangguan ini, yang datang antara dirinya dan tidurnya, adalah gangguan yang mengejar Anthony Bascom pada malam terakhir hidupnya. Jadi begitulah rasanya bunuh diri itu saat dia berbaring di kamar sunyi ini, berusaha mengistirahatkan pikiran letihnya dengan tidur duniawi terakhir sebelum dia beralih ke alam tak dikenal di mana yang ada hanya kegelapan dan tidur. Dan pikiran berat tersebut telah menghantui kamar ini sejak saat itu. 27
Bukan arwah raga yang kembali ke lokasi di mana dia menderita dan binasa, melainkan arwah pikirannya—jiwanya; bukan pakaian tak bermakna yang dikenakannya, dan tubuh yang memakainya. Michael Bascom bukan orang yang suka melepas landasan filsafat skeptisnya tanpa berusaha. Dia berjuang menaklukkan tindasan yang membebani pikiran dan perasaannya ini. Sekali lagi dia berhasil menenangkan diri untuk tidur, tapi terbangun kembali oleh pikiran menyiksa yang sama, penyesalan yang sama, keputusasaan yang sama. Jadi malam berlalu dengan keletihan tak terucapkan; meski menurutnya kesusahan ini bukan kesusahannya, bahwa tak ada kenyataan dalam beban ini, tak ada alasan untuk penyesalan ini, tapi khayalan gamblang ini menyakitkan dan nyata, dan mencengkeramnya kuat. Berkas cahaya pertama merangkak masuk lewat jendela— redup, dingin, dan kelabu, lalu datanglah masa temaram, dan dia mengamati pojok antara lemari pakaian dan pintu. Ya, ada bayangan, bukan bayangan lemari saja—itu cukup jelas, tapi samar dan tak berbentuk, menggelapkan dinding cokelat pudar; saking redupnya, saking berbayangnya, dia tak bisa menyimpulkan sifatnya, atau benda yang dilambangkannya. Dia memutuskan memperhatikan bayangan ini sampai hari terang; tapi keletihan semalam telah memayahkannya, dan sebelum cahaya fajar pertama berlalu dia sudah jatuh tertidur, dan merasakan berkah tidur lelap. Ketika dia bangun, mentari musim dingin menyinari kisi-kisi, dan kamar telah kehilangan aspek muramnya. Kelihatan kuno, kelabu, cokelat, dan jorok; tapi kemuramannya 28
telah sirna bersama bayang-bayang dan kegelapan malam. Tn. Bascom bangkit setelah disegarkan oleh tidur lelap, yang berlangsung hampir tiga jam. Dia ingat perasaan pahit yang telah pupus sebelum tidur menenteramkan tadi, tapi dia mengingat sensasi aneh ini hanya untuk merendahkannya, dan dia memandang rendah dirinya lantaran sudah menganggap itu penting. “Mungkin salah cerna,” katanya, “atau cuma khayalan, garagara cerita gadis bodoh itu. Orang-orang bijak lebih dikuasai imajinasi daripada yang diakuinya. Well, Maria tak boleh tidur di kamar ini lagi. Tak ada alasan untuk itu, dan dia tak boleh sengsara hanya untuk menyenangkan Skegg renta dan isterinya itu.” Setelah mengenakan pakaian dengan santai seperti biasa, Tn. Bascom berjalan ke pojok di mana dia tadi melihat atau mengkhayalkan bayangan, dan memeriksa titik tersebut secara seksama. Sepintas dia tidak menemukan karakter misterius. Tak ada pintu di dinding berlapisan wallpaper, tak ada bekas pintu di masa lalu. Tak ada pintu kolong pada lantai papan yang dimakan serangga. Tak ada noda gelap yang mengindikasikan pembunuhan. Tak ada sedikitpun isyarat rahasia atau misteri. Dia mendongak ke langit-langit. Cukup utuh, kecuali tambalan dekil di sana sini, di mana hujan melepuhkannya. Ya, ada sesuatu—sesuatu yang tak signifikan, tapi menyiratkan kemuraman yang membuatnya terperanjat. Sekitar satu kaki di bawah langit-langit, dia melihat cantelan 29
besi besar menonjol dari dinding, persis di atas titik di mana dia melihat bayangan wujud samar. Dia naik kursi untuk memeriksa cantelan ini, dan untuk memahami maksud penempatannya di sana. Cantelan itu usang dan berkarat. Pasti sudah bertahun-tahun di sana. Siapa yang menempatkannya, dan mengapa? Itu bukan jenis cantelan untuk menggantung lukisan atau pakaian. Ditempatkan di pojok yang gelap. Apa Anthony Basom memasangnya di sana pada malam kematiannya, ataukah dia mendapatinya sudah ada di sana untuk dipakai bunuh diri? “Jika aku orang yang percaya takhayul,” pikir Michael, “aku pasti cenderung percaya Anthony Basom gantung diri dari cantelan tua berkarat ini.” ***** “Tidur nyenyak, tuan?” tanya Daniel sambil menunggui tuannya sarapan. “Luar biasa,” jawab Michael, memutuskan tidak memenuhi rasa penasaran orang itu. Dia selalu benci pada pemikiran bahwa Wildheath Grange berhantu. “Oh, benar juga, tuan. Anda begitu telat sampai aku mengira —” “Telat, ya! Aku tidur lelap hingga melampaui jam bangun biasa. Tapi, ngomong-ngomong, Skegg, karena anak malang itu keberatan dengan kamar itu, biarkan dia tidur di tempat lain. 30
Memang bagi kita tak ada bedanya, tapi bagi dia lain.” “Hmmm!” gerutu Daniel galak, “Anda tidak melihat sesuatu yang aneh di atas sana, kan, tuan?” “Melihat sesuatu? Tentu saja tidak.” “Well, kalau begitu, kenapa dia melihat sesuatu? Itu cuma omong-kosongnya.” “Tak apa-apa, biarkan dia tidur di kamar lain.” “Tak ada kamar lain yang kering di lantai atas.” “Kalau begitu biarkan dia tidur di lantai bawah. Dia tak terlalu berisik, anak yang malang. Dia takkan menggangguku.” Daniel menggerutu, dan tuannya mengerti gerutuan tersebut berarti setuju, tapi sayang sekali Tn. Bascom salah paham. Kekeraskepalaan dibandingkan
keluarga
dengan
babi
tak
ada
kekeraskepalaan
apa-apanya
seorang
lelaki
jika tua
pembangkang, yang pikiran sempitnya belum pernah diterangi oleh pendidikan. Daniel mulai merasa cemburu atas perhatian majikannya kepada si anak yatim. Gadis itu bertipe lemah-lembut dan manja yang bisa merasuki hati seorang perjaka tua tanpa disadari, dan mendapat sarang yang nyaman di sana. “Kita akan menyaksikan skandal percintaan, dan aku dan isteri tuaku takkan punya tempat, jika aku tidak menumpas omongkosong ini,” gerutu Daniel sendirian sambil mengangkut baki sarapan ke pantri. Maria bertemu dengannya di lorong. “Well, Pak Skegg, apa kata tuan?” tanyanya menahan nafas. “Apa dia lihat sesuatu yang aneh di kamar?” 31
“Tidak, nak. Apa yang mesti dilihat? Dia bilang kau konyol.” “Tak ada yang mengusiknya? Dia tidur tenang?” Maria gagap. “Tak pernah tidur senyenyak itu dalam hidupnya. Nah, tidakkah kau merasa malu?” “Ya,” jawabnya sabar, “aku malu terlalu banyak berkhayal. Aku akan kembali ke kamarku malam ini, Pak Skegg, jika Anda suka, dan aku takkan mengeluh lagi.” “Kuharap begitu,” bentak Skegg, “kau sudah cukup memberi kami masalah.” Maria mendesah, lalu mengerjakan tugasnya dalam kebisuan sedih. Hari berjalan lamban, seperti semua hari lainnya di rumah tua tak bergairah itu. Sang cendekiawan duduk di kamar kerjanya, Maria bergerak pelan dari ruang ke ruang, menyapu dan membersihkan debu, murung dan tanpa bicara. Mentari tengah hari memudar menjadi kelabunya petang, dan malam turun bagai kutukan pada rumah tua itu. Sepanjang hari itu Maria dan majikannya tidak berjumpa. Siapapun yang memperhatikan penampilannya akan melihat bahwa dia pucat, tatapan matanya tegas, seperti seseorang yang bertekad menghadapi cobaan menyakitkan. Dia hampir tak makan apa-apa seharian. Dia membisu. Skegg dan isterinya mengaitkan kedua gejala ini dengan tabiat anak itu. “Dia tak mau makan dan bicara,” kata Daniel pada mitra kegembiraannya. “Itu berarti dia merongseng, dan aku tak pernah membiarkan rongsengan menguasaiku saat aku muda, dan kau mencoba bersikap begitu di waktu muda, dan aku takkan takluk 32
oleh rongsengan di masa tua.” Tibalah waktu tidur, Maria mengucapkan selamat tidur yang sopan kepada keluarga Skegg, dan naik ke loteng sunyinya tanpa menggumam. Keesokan paginya, Ny. Skegg mencari babu penyabarnya. Dia butuh bantuan Maria dalam menyiapkan sarapan. “Gadis itu tidur cukup nyenyak pagi ini,” kata wanita tua tersebut. “Pergi panggil dia, Daniel. Kaki malangku tak sanggup naik tangga.” “Kakimu semakin tak berguna,” gerutu Daniel tak sabar, sambil pergi melaksanakan perintah isterinya. Dia mengetuk pintu dan memanggil Maria—sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Dia mencoba kuncinya, ternyata dikunci. Digoncangnya pintu keras-keras, diiringi kecemasan. Lalu dia berkata pada dirinya sendiri bahwa gadis itu sedang mempermainkannya. Anak itu pasti menyelinap keluar sebelum fajar, dan membiarkan pintu terkunci untuk menakutinya. Tapi tidak, tidak mungkin, sebab dia bisa melihat kunci di tempatnya saat
berlutut
dan mengintip
lewat lubang
kunci.
Kunci
menghalangi penglihatannya ke dalam kamar. “Dia di dalam sana, diam-diam menertawakanku,” katanya bicara sendiri, “tapi aku akan segera mendapatkannya.” Ada batang berat di tangga, untuk mengamankan daun jendela yang menerangi tangga. Itu berupa batang lepas, dan selalu bercokol di pojok dekat jendela, dan jarang dipergunakan untuk 33
mengunci. Daniel berlari ke peron tangga, dan meraih batang besi besar tersebut, lalu kembali ke pintu loteng. Satu hantaman dari batang berat meremukkan kunci tuanya, kunci yang sama yang dirusak tukang pedati dengan tinjuan keras tujuh puluh tahun silam. Pintu berayun terbuka, Daniel pun masuk ke loteng yang telah dipilihnya sebagai kamar tidur orang asing tersebut. Maria tergantung dari cantelan di dinding. Dia berusaha menutup wajah dengan saputangan. Dia gantung diri sekitar satu jam sebelum Daniel menemukannya, pagi-pagi buta. Dokter, yang dipanggil dari Holcroft, bisa menetapkan waktu bunuh dirinya, tapi tak ada yang bisa mengatakan teror apa yang membuatnya bertindak putus asa demikian, atau siksaan yang membuat pikirannya menyerah. Seperti biasa, juri koroner memberi putusan murah hati, “penyakit gila temporer”. Nasib naas sang gadis menyuramkan sisa hidup Michael Bascom. Dia pergi dari Wildheath Grange layaknya lari dari tempat terkutuk, dan dari keluarga Skegg layaknya dari pembunuh gadis tak berdosa. Dia mengakhiri hari-harinya di Oxford, di mana dia menemukan komunitas pemikir menyenangkan, dan buku-buku yang dicintainya. Tapi ingatan akan wajah sedih Maria, dan kematian yang lebih pedih lagi, menjadi dukacitanya yang tak kunjung hilang. Jiwanya tak pernah bangkit dari bayangan mendalam itu.
34