BAYANGAN DI DINDING Mary E. Wilkins Freeman
2014
Bayangan di Dinding Diterjemahkan dari The Shadows on the Wall karangan Mary E. Wilkins Freeman terbit tahun 1903 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Juni 2014 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2014 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
“HENRY bertengkar dengan Edward di kamar kerja pada malam sebelum Edward meninggal,” ujar Caroline Glynn. Cara bicara Caroline tidak getir, tapi keras mengerikan. Rebecca Ann Glynn menghembuskan nafas setuju. Dia duduk dalam lipatan rok sutera hitam lebar di pojok sofa, dan mengalihkan tatapan ngerinya dari saudaranya, Caroline, kepada saudaranya yang lain, Ny. Stephen Brigham, yang dulu dipanggil Emma Glynn, paling cantik di keluarga. Yang terakhir ini masih cantik, dengan kecantikan luar biasa. Dia memenuhi kursi goyang besar dengan kefeminimannya, dan berayun-ayun lembut, sutera hitamnya berbisik dan jumbai-jumbai hitamnya berkibar. Bahkan goncangan kematian—saudaranya, Edward, tergolek tewas di rumah—tak mampu mengusik ketenangan sikapnya. Tapi ekspresi ketenangannya berubah sebelum pengumuman Caroline dan tanggapan ngeri dan pedih dari Rebecca Ann. “Kupikir Henry sudah mengendalikan tabiatnya, ketika Edward yang malang mendekati ajal,” katanya tajam, sedikit merusak lengkungan merah mulut indahnya. “Tentu saja dia tak tahu,” gumam Rebecca Ann dalam nada redup. “Tentu saja dia tak tahu itu,” kata Caroline cepat. Dia menoleh pada saudaranya dengan tatapan curiga yang aneh dan tajam. Lalu dia seakan bersembunyi dari jawaban saudaranya. Rebecca menghembuskan nafas lagi. Saudara yang sudah menikah, Ny. Emma Brigham, kini duduk lurus di kursi; dia sudah berhenti berayun-ayun, memandangi mereka berdua dengan 5
penekanan kesamaan keluarga di wajahnya. “Apa maksud kalian?” katanya kepada mereka berdua. Lalu dia juga seperti bersembunyi dari kemungkinan jawaban yang keluar. Dia bahkan tertawa mengelak. “Tak ada maksud apa-apa,” kata Caroline mantap. Dia bangkit dan dengan yakin menyeberangi ruangan menuju pintu. “Mau ke mana?’ tanya Ny. Brigham. “Ada sesuatu yang harus kuperiksa,” jawab Caroline, dan dari nada suaranya, kedua saudaranya segera tahu bahwa dia punya tugas serius dan menyedihkan di kamar mayat. “Oh,” kata Ny. Brigham. Setelah Caroline menutup pintu, Ny. Brigham berpaling pada Rebecca. “Apa Henry banyak bertengkar dengan Edward?” tanyanya. “Bicara mereka sangat keras,” jawab Rebecca mengelak. Ny. Brigham menatapnya. Dia belum berayun-ayun lagi, masih duduk lurus, dengan sedikit rajutan tegang di keningnya, di antara lengkungan indah rambut pirangnya. “Apa kau—dengar sesuatu?” tanyanya dalam suara rendah sambil melirik ke arah pintu. “Aku ada di seberang koridor di ruang tamu selatan, dan pintunya terbuka sewaktu pintu ini sedikit renggang,” jawab Rebecca dengan wajah agak memerah. “Kalau begitu kau pasti—” “Mau tak mau.” “Semuanya?” 6
“Hampir semuanya.” “Apa?” “Cerita lama.” “Kurasa Henry marah, seperti biasa, lantaran Edward tinggal di sini berleha-leha padahal sudah menghabiskan semua uang yang ayah wariskan.” Rebecca mengangguk, sambil takut-takut melirik ke pintu. Ketika Emma berbicara lagi, suaranya masih teredam. “Aku tahu perasaannya,” katanya. “Menurutnya Edward hidup atas biayanya, padahal tidak.” “Tidak, dia tidak begitu.” “Dan Edward punya hak di sini menurut syarat wasiat ayah, dan Henry pasti ingat itu.” “Ya, pasti.” “Apa dia mengatakan hal kasar?” “Sangat kasar, dari yang kudengar.” “Apa?” “Aku mendengarnya berkata pada Edward bahwa dia tak punya urusan di sini sama sekali, dan sebaiknya pergi.” “Apa kata Edward?” “Dia akan tinggal di sini selama dia hidup dan bahkan setelahnya, jika dia mau, dan dia ingin melihat Henry mengusirnya; lalu —” “Apa?” “Lalu dia tertawa.” “Apa kata Henry?” 7
“Aku tak mendengarnya bilang sesuatu, tapi—” “Tapi apa?” “Aku melihatnya keluar dari ruangan ini.” “Dia tampak marah?” “Kau tentu pernah melihatnya marah.” Emma mengangguk. Ekspresi ngeri di wajahnya semakin kuat. “Kau ingat saat dia membunuh kucing gara-gara mencakarnya?” “Ya. Sudah-sudah!” Caroline kembali ke ruangan; dia mendekati perapian di mana kayu sedang terbakar—saat itu hari musim gugur yang dingin dan mendung—lalu menghangatkan tangan, yang memerah akibat dicuci dalam air dingin. Ny. Brigham memandanginya dan ragu. Dia melirik ke pintu, yang masih sedikit renggang. Pintu tersebut tidak mudah ditutup, masih memuai gara-gara cuaca lembab musim panas. Dia bangkit dan mendorongnya diiringi gedebuk keras, yang menggetarkan rumah. Rebecca mulai setengah memekik, kesal. Caroline menatapnya tak suka. “Sudah waktunya kau kendalikan stresmu, Rebecca,” katanya. Ny. Brigham, sekembalinya dari pintu, dengan sombong berujar bahwa itu harus diperbaiki, lantaran sulit ditutup. “Pintu itu akan cukup menyusut setelah kita menyalakan perapian beberapa hari,” balas Caroline. “Kurasa Henry pasti malu dengan dirinya sendiri karena sudah bicara begitu pada Edward,” kata Ny. Brigham tiba-tiba, tapi 8
suaranya hampir tak terdengar. “Hush,” kata Caroline, melirik ketakutan ke arah pintu yang tertutup. “Tak ada yang akan dengar dengan pintu tertutup. Kuulangi, Henry pasti malu. Aku yakin dia tak bisa melupakannya, bertengkar dengan Edward yang malang pada malam sebelum dia meninggal. Watak Edward lebih baik daripada Henry, dengan segala kekurangannya.” “Aku tak pernah mendengarnya berkata marah, kecuali yang diucapkannya pada Henry malam itu. Entahlah, tapi itulah yang Rebecca dengar.” “Tak terlalu marah, agak lunak, dan manis, dan menjengkelkan,” endus Rebecca. “Menurutmu apa penyakit Edward?” tanya Emma hampir berbisik. Dia tak menoleh pada saudaranya itu. “Kau bilang dia sakit perut parah, dan kejang urat, tapi apa yang membuatnya menderita penyakit itu?” “Kata Henry masalah lambung. Kau tahu, Edward selalu mengalami gangguan pencernaan.” Ny. Brigham ragu sesaat. “Adakah obrolan tentang— pemeriksaan?” katanya. Saat itu Caroline menoleh sengit padanya. “Tidak,” katanya dengan suara tak mengenakkan. “Tidak.” Jiwa ketiga bersaudara itu bertemu pada landasan yang sama, kesepahaman mengerikan terlihat dari pancaran mata mereka. Palang pintu kuno terdengar berderak, dorongan dari luar 9
membuat pintu bergoncang tanpa hasil. “Itu Henry,” desah Rebecca, bukan cuma berbisik. Setelah berlari tanpa gaduh, Ny. Brigham kembali mengambil tempat di kursi goyangnya, dan berayun-ayun dengan kepala bersandar nyaman. Pintu akhirnya terbuka dan Henry Glynn masuk. Dia melontarkan lirikan tajam dan luas kepada Ny. Brigham yang sedang santai; kepada Rebecca yang berjubel di pojok sofa dengan saputangan di wajah, salah satu telinganya memerah dan tak tertutupi, mendengarkan seperti anjing; dan kepada Caroline yang duduk tegang di kursi lengan dekat perapian. Matanya yang kokoh bertemu mata Henry dalam roman ketakutan, menantang rasa takut dan Henry sendiri. Henry Glynn lebih menyayangi adik yang satu ini dibanding yang lain. Keduanya sama-sama bertubuh lemah dan berhidung bengkok. Mereka saling berhadapan, tak bergerak bagai dua patung yang pada garis-garis marmernya tertanam perasaan abadi. Lalu Henry Glynn tersenyum, dan senyuman ini mengubah wajahnya. Tiba-tiba dia seperti lebih muda beberapa tahun, dan kesembronoan anak kecil tampak di wajahnya. Dia berayun ke kursi dengan gelagat membingungkan, karena tidak serasi dengan penampilannya. Dia menyandarkan kepala, bertopang kaki, dan memandang Ny. Brigham sambil tertawa. “Emma, kau makin muda saja setiap tahun,” katanya. Muka Emma memerah tersipu, mulut tenangnya melebar di sudut. Dia lemah terhadap pujian. “Perhatian kita hari ini terpusat pada salah seorang di antara kita yang takkan pernah menua,” kata Caroline tajam. 10
Henry menoleh padanya, masih tersenyum. “Tentu saja kita tak melupakan urusan itu,” katanya, dengan suara rendah dan lembut; “tapi kita harus berbicara dengan yang hidup, Caroline, dan sudah lama aku tak berjumpa dengan Emma, lagipula yang hidup dan yang mati sama-sama disayang.” “Tidak bagiku,” kata Caroline. Dia bangkit dan sekonyong-konyong pergi lagi. Rebecca ikut bangun dan bergegas mengejarnya, tersedu-sedu nyaring. Henry memperhatikan mereka. “Caroline sangat terpukul,” katanya. Ny. Brigham tergoncang. Keyakinan sikap Henry menjalar kepadanya. Dengan keyakinan tersebut dia angkat bicara, cukup enteng dan alami. “Kematiannya sangat mendadak,” katanya. Kelopak mata Henry sedikit gemetar tapi pandangannya berpaling. “Ya,” katanya, “amat mendadak. Dia baru sakit beberapa jam.” “Kau menyebutnya apa?” “Masalah lambung.” “Kau tak terpikir akan pemeriksaan?” “Tak perlu. Aku sangat yakin dengan penyebab kematiannya.” Tiba-tiba Ny. Brigham merasa kengerian merangkak dalam jiwanya. Dagingnya terasa ditusuki duri dingin, sebelum suaranya berganti nada. Dia berdiri, berjalan terhuyung-huyung dengan lutut yang lemas. “Mau ke mana?” tanya Henry dengan suara aneh sambil 11
menahan nafas. Ny. Brigham berkata tak karuan, dia bilang ada pekerjaan menjahit
yang
harus
dilakukannya—pakaian
hitam
untuk
pemakaman—lalu keluar ruangan. Dia naik ke kamar depan yang dihuninya. Caroline ada di sana. Dia menghampirinya dan memegang tangannya, kedua bersaudara itu saling menatap. “Jangan bicara, jangan, aku tak mau dengar!” akhirnya Caroline berkata dalam bisikan tak enak. “Baiklah,” jawab Emma. Petang itu ketiga bersaudara berada di kamar kerja. Ny. Brigham sedang mengelim bahan hitam. Akhirnya dia menaruh pekerjaannya di atas pangkuan. “Percuma, aku tak bisa melihat untuk menjahit setik berikutnya tanpa ada cahaya,” katanya. Caroline, yang sedang menulis surat di meja, berpaling pada Rebecca di tempat biasa di sofa. “Rebecca, sebaiknya kau ambilkan lampu,” katanya. Rebecca angkat bicara; bahkan dalam suasana menjelang malam, wajahnya menunjukkan kedongkolan. “Kurasa kita belum butuh lampu,” katanya memelas, pilu seperti anak-anak. “Kita butuh,” balas Ny. Brigham memerintah. “Aku tak bisa menjahit setik berikutnya.” Rebecca bangkit dan meninggalkan kamar. Tak lama kemudian dia masuk membawa lampu. Ditaruhnya lampu itu di meja kartu kuno yang terletak di dinding seberang jendela. Dinding seberang 12
tersebut dihabiskan oleh tiga pintu; satu ruang kecil ditempati meja. “Untuk apa kau taruh di sana?” tanya Ny. Brigham, lebih tak sabaran daripada biasanya. “Kenapa tak sekalian ditaruh di koridor? Aku dan Caroline tak bisa melihat kalau lampunya ditaruh di meja itu.” “Kupikir kau akan pindah,” balas Rebecca kasar. “Sekalipun aku pindah, kami tak bisa duduk di meja itu berduaan. Kertas-kertas Caroline bertebaran. Kenapa tidak kau taruh lampunya di meja kerja di tengah ruangan, supaya kami berdua bisa melihat?” Rebecca ragu. Wajahnya sangat pucat. Dia menatap Caroline dengan ekspresi menderita. “Kenapa tak kau taruh lampunya di meja ini, seperti dia bilang?” tanya Caroline, sedikit galak. “Kenapa tingkahmu seperti itu, Rebecca?” Rebecca mengambil lampu dan menempatkannya di atas meja di tengah ruangan tanpa berkata apa-apa lagi. Lalu dia duduk di sofa dan menutupi matanya dengan tangan seolah berlindung, dan terus seperti itu. “Apa cahaya membuat matamu sakit, apa itu alasanmu tak mau lampu?” tanya Ny. Brigham ramah. “Aku selalu senang duduk dalam gelap,” jawab Rebecca tertahan. Dia mengambil saputangan dari saku dan mulai menangis. Caroline meneruskan menulis, Ny. Brigham kembali menjahit. Tiba-tiba Ny. Brigham melirik ke dinding seberang. Lirikan 13
berubah menjadi tatapan kokoh. Dia mengamati dengan sungguhsungguh, pekerjaan tertunda di tangannya. Lalu dia berpaling lagi dan melakukan beberapa jahitan, kemudian mengamati lagi, dan kembali berpaling pada pekerjaannya. Akhirnya dia menaruh pekerjaan di pangkuannya dan menatap dengan konsentrasi. Dia mengamati dinding sekeliling ruangan, memperhatikan berbagai objek. Kemudian dia menoleh pada kedua saudaranya. “Apa itu?” tanyanya. “Ada apa?” tanya Caroline parau. “Bayangan aneh di dinding itu,” jawab Ny. Brigham. Rebecca
duduk
dengan
wajah
tersembunyi;
Caroline
mencelupkan pena ke dalam botol tinta. “Kenapa kau tak menoleh dan melihatnya?” tanya Ny. Brigham, heran dan kecewa. “Aku sedang buru-buru untuk menyelesaikan surat ini,” jawab Caroline singkat. Ny. Brigham bangkit, pekerjaannya merosot ke lantai, dan mulai berjalan mengitari ruangan, menggeser berbagai barang furnitur, dengan mata terpaku pada bayangan tersebut. Tiba-tiba dia menjerit: “Lihat bayangan seram ini! Apa itu? Caroline, lihat, lihat! Rebecca, lihat! Apa itu?” Seluruh ketenangan Ny. Brigham sirna. Wajah indahnya pucat ketakutan. Dia berdiri kaku menunjuk bayangan. Kemudian setelah melirik ngeri ke dinding, Rebecca meraung liar. 14
“Oh, Caroline, ada lagi, ada lagi!” “Caroline Glynn, lihat itu!” kata Ny. Brigham. “Lihat! Bayangan seram apa itu?” Caroline bangkit, berbalik, dan berdiri menghadap dinding. “Mana kutahu?” katanya. “Itu hadir setiap malam sejak dia meninggal!” pekik Rebecca. “Setiap malam?” “Ya; dia meninggal hari Kamis dan sekarang Sabtu; berarti sudah tiga malam,” kata Caroline kaku. Dia berdiri menahan ketenangannya dengan penuh konsentrasi. “Itu—itu seperti—seperti—” Ny. Brigham terbata-bata dalam nada ngeri. “Aku tahu seperti apa itu,” kata Caroline. “Aku punya mata.” “Itu seperti Edward,” seloroh Rebecca dalam ketakutan. “Hanya saja—” “Ya, benar,” Ny. Brigham mengiyakan, nada takutnya menandingi kedua saudaranya, “hanya saja—Oh, itu menyeramkan! Apa itu, Caroline?” “Kukatakan sekali lagi, mana kutahu?” jawab Caroline. “Aku juga melihatnya sepertimu. Mana mungkin aku lebih tahu darimu?” “Pasti ada sesuatu di ruangan ini,” kata Ny. Brigham, menengok sekeliling. “Kami menggeser semua barang di ruangan ini pada malam pertama ia datang,” kata Rebecca, “ia bukan dari ruangan ini.” Caroline berpaling geram padanya. “Tentu saja dari ruangan 15
ini,” katanya. “Bodoh! Apa maksudmu bilang begitu? Tentu saja ia dari ruangan ini.” “Tentu saja begitu,” Ny. Brigham sependapat, menatap Caroline dengan curiga. “Pasti sesuatu di ruangan ini.” “Bukan,” ulang Rebecca keras kepala. Pintu tiba-tiba terbuka dan Henry Glynn masuk. Dia mulai berbicara, matanya mengikuti arah ketiga saudaranya. Dia terbelalak melihat bayangan di dinding. “Apa itu?” desaknya dengan suara aneh. “Pasti dari sesuatu di ruangan ini,” kata Ny. Brigham pelan. Henry
Glynn
terbelalak
lebih
lama
lagi.
Wajahnya
memperlihatkan seluruh perasaan. Ketakutan, keyakinan, lalu ketidakpercayaan hebat. Tiba-tiba dia mulai mondar-mandir di ruangan. Dia menggeser furnitur dengan sentakan keras, berpaling berkali-kali untuk melihat efeknya terhadap bayangan di dinding. Tak satupun garis bentuk mengerikan itu bergoyang. “Pasti ada sesuatu di ruangan ini!” hardikannya seperti cambuk. Rautnya berubah, watak rahasianya tampak nyata di wajahnya, sampai ciri-cirinya hampir lenyap. Rebecca berdiri dekat sofa, mengenalinya dengan mata sedih dan kaget. Ny. Brigham mencengkeram tangan Caroline. Mereka berdua berdiri di pojok, menyingkir darinya. Beberapa lama Henry mengobrak-abrik ruangan bagai binatang liar yang dikurung. Dia menggeser setiap furnitur. Karena tindakan tersebut tidak mempengaruhi bayangan, dia membantingnya ke lantai. 16
Tiba-tiba dia berhenti. Tertawa. “Lucu sekali,” katanya enteng. “Berbuat begini terhadap bayangan.” “Begitulah,” Ny. Brigham sependapat, dengan suara ketakutan yang
diusahakan
terdengar
alami.
Sambil
berbicara,
dia
mengangkat kursi di dekatnya. “Sepertinya kau sudah merusak kursi kesayangan Edward,” kata Caroline. Kengerian dan kemarahan berebut mengisi ekspresi wajahnya. Mulutnya mengeras, matanya menyusut. Henry mengangkat kursi dengan gugup. “Masih bagus,” katanya senang. Dia tertawa lagi, memandangi ketiga saudaranya. “Apa aku sudah menakuti kalian?” katanya. “Kalian pasti terbiasa denganku sebelum ini. Kalian tahu caraku melompat ke dasar misteri, dan bayangan itu memang terlihat— terlihat aneh—dan kupikir jika ada cara untuk menjelaskannya, akan langsung kulakukan tanpa ditunda-tunda.” “Sepertinya kau gagal,” ujar Caroline datar, sedikit melirik ke dinding. Mata Henry ikut-ikutan melirik, dia merinding. “Oh, bayangan memang tak bisa dijelaskan,” katanya, tertawa lagi. “Bodoh sekali berusaha menjelaskan bayangan.” Kemudian
bel
makan
malam
berbunyi,
mereka
pun
meninggalkan ruangan, tapi Henry tetap membelakangi dinding— begitupun yang lain. Henry memimpin dengan gelagat waspada seperti anak kecil; 17
Rebecca memimpin bagian belakang. Dia hampir tak bisa berjalan, lututnya gemetar. ***** “Aku tak mau lagi duduk di ruangan itu malam ini,” bisiknya pada Caroline setelah makan malam. “Baiklah, kita akan duduk di ruang selatan,” balas Caroline. “Kita akan duduk di ruang tamu selatan,” katanya nyaring; “tidak selembab kamar kerja, lagipula aku sedang pilek.” Mereka pun duduk di ruang selatan dengan pekerjaan menjahit. Henry membaca koran, kursinya ditarik ke dekat lampu di atas meja. Sekitar jam sembilan, tiba-tiba dia berdiri dan menyeberangi koridor menuju kamar kerja. Ketiga saudaranya saling memandang. Ny. Brigham bangkit, melipat roknya yang bergerisik, dan mulai berjinjit ke arah pintu. “Apa yang kau lakukan?” selidik Rebecca gelisah. “Aku ingin tahu mau apa dia,” jawab Ny. Brigham hati-hati. Sambil bicara dia menunjuk ke pintu kamar kerja di seberang koridor; pintunya sedikit terbuka. Henry bersusah-payah untuk menutupnya, tapi entah bagaimana itu memuai melebihi batas kecepatan normal. Pintu itu masih terbuka sedikit dan seberkas cahaya memancar dari atas sampai bawah. Ny. Brigham melipat rok begitu ketat sampai lekukan bengkak tubuhnya terlihat pada sutera hitam, lalu dia pergi tertatih-tatih menyeberangi koridor menuju kamar kerja. Dia berdiri di sana, 18
mengintip celah. Di ruang selatan, Rebecca berhenti menjahit dan mengamati dengan mata terbelalak. Caroline tetap menjahit. Apa yang disaksikan Ny. Brigham, dengan berdiri di celah pintu kamar kerja, adalah ini: Henry Glynn, setelah menduga sumber bayangan aneh itu ada di antara meja di mana lampu berdiri dan dinding, menusuk-nusuk ruang di antara keduanya dengan pedang tua milik ayah. Tak satu inchi pun dibiarkan. Dia tampak membelah ruang menjadi bagianbagian matematis. Diacungkannya pedang itu dengan geram dan penuh perhitungan; bilahnya memantulkan sorot cahaya, bayangan tetap tak bergeming. Ny. Brigham merasa ngeri. Akhirnya Henry berhenti dan berdiri dengan pedang di tangan dan mengangkatnya seolah hendak menyerbu, meninjau bayangan di dinding dengan penuh ancaman. Ny. Brigham kembali tertatih menyeberangi koridor dan menutup pintu ruang selatan sebelum menceritakan apa yang dilihatnya. “Dia seperti iblis,” katanya lagi. “Kau masih punya anggur tua itu, Caroline? Aku tak tahan lagi.” “Ya, masih banyak,” kata Caroline, “kau boleh ambil saat pergi tidur.” “Kurasa sebaiknya kita semua minum,” kata Ny. Brigham. “Oh, Caroline, apa—” “Jangan tanya, jangan bicara,” kata Caroline. “Tidak, aku tidak akan,” balas Ny. Brigham, “tapi—” Tak lama kemudian ketiga bersaudara itu pergi ke kamar 19
mereka dan meninggalkan ruang tamu selatan. Caroline berteriak pada Henry di kamar kerja supaya memadamkan lampu sebelum naik ke lantai atas. Mereka sudah pergi sekitar satu jam ketika Henry masuk ke ruangan sambil membawa lampu dari kamar kerja. Dia menaruhnya di meja, dan menunggu beberapa menit, mondar-mandir. Wajahnya menakutkan, corak kulitnya pucat kelabu, dan mata birunya hampa dan suram akibat merenung. Lalu dia mengangkat lampu dan kembali ke perpustakaan. Ditaruhnya lampu di meja tengah, dan bayangan itu pun muncul di dinding. Lagi-lagi dia mempelajari furnitur dan menggesergesernya, tapi tanpa kegilaan seperti tadi. Bayangan itu tak terpengaruh. Dia pun kembali ke ruang selatan dengan membawa lampu, dan menunggu lagi. Sekali lagi dia kembali ke kamar kerja dan menempatkan lampu di atas meja, dan bayangan muncul di dinding. Baru pada tengah malam dia naik ke lantai atas. Ny. Brigham dan kedua bersaudara, yang tak bisa tidur, mendengarnya. Keesokan harinya adalah upacara pemakaman. Malam itu seluruh keluarga duduk di ruang selatan. Beberapa kerabat menemani mereka. Tak ada yang memasuki kamar kerja sampai Henry membawa lampu ke sana setelah yang lain beristirahat. Dia kembali melihat bayangan di dinding di depan cahaya. Keesokan pagi, saat sarapan, Henry Glynn mengumumkan bahwa dirinya harus pergi ke kota selama tiga hari. Saudarasaudara perempuannya memandang kaget. Dia sangat jarang meninggalkan rumah, dan beberapa waktu lalu tempat prakteknya terbengkalai lantaran kematian Edward. 20
“Bagaimana bisa kau tinggalkan pasien-pasienmu sekarang?” tanya Ny. Brigham penasaran. “Harus bagaimana lagi, tak ada cara lain,” jawab Henry enteng. “Aku dapat telegram dari Dr. Mitford.” “Konsultasi?” selidik Ny. Brigham. “Aku punya urusan,” jawab Henry. Dokter Mitford adalah teman sekelas lama Henry yang tinggal di kota sebelah dan sesekali mampir jika ada konsultasi. Setelah Henry pergi, Ny. Brigham berkata kepada Caroline bahwa Henry belum bilang akan berkonsultasi dengan Dokter Mitford, dan dia merasa itu sangat aneh. “Segalanya sangat aneh,” kata Rebecca ngeri. “Apa maksudmu?” selidik Caroline. “Tak ada,” jawab Rebecca. Tak seorangpun masuk kamar kerja hari itu, atau keesokan harinya. Hari ketiga, Henry diperkirakan akan pulang, tapi dia tak kunjung datang padahal kereta terakhir dari kota sudah tiba. “Aku menyebutnya pekerjaan yang sangat aneh,” kata Ny. Brigham. “Dokter meninggalkan pasien di masa seperti ini, dan konsultasi selama tiga hari! Tak masuk akal, dan sekarang dia belum datang. Aku tak mengerti.” “Aku juga,” kata Rebecca. Mereka semua berada di ruang tamu selatan. Tak ada cahaya di kamar kerja; pintunya sedikit terbuka. Ny. Brigham kemudian bangkit—dia belum bilang alasannya; ada sesuatu yang mendorongnya—suatu keinginan di luar 21
kendalinya. Dia keluar kamar, lagi-lagi membelitkan rok agar bisa berjalan tanpa riuh, dan mulai mendorong pintu kamar kerja yang memuai. “Dia tak bawa lampu,” kata Rebecca dengan suara gemetar. Caroline, yang sedang menulis surat, ikut-ikutan berdiri, mengambil satu-satunya lampu yang tersisa di ruangan, dan menyusul saudaranya. Rebecca sudah berdiri, tapi gemetar, tak mau menyusul. Bel pintu berbunyi, tapi yang lain tak mendengarnya; letaknya di pintu selatan di sisi lain rumah dari kamar kerja. Rebecca, setelah ragu hingga bel berbunyi untuk kedua kalinya, pergi ke pintu tersebut; dia ingat pembantu sedang keluar. Caroline dan saudaranya, Emma, masuk kamar kerja. Ditaruhnya lampu di atas meja. Mereka mengamati dinding, dan ada dua bayangan. Kedua bersaudara itu saling berpegangan, terbelalak menyaksikan sosok seram di dinding. Lalu Rebecca masuk terhuyung-huyung, dengan telegram di tangannya. “Ada— telegram,” dia megap-megap. “Henry sudah—meninggal.”
22