18
PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DENGAN AMELIORASI PADA SISTEM TUMPANGSARI KARET DAN NENAS DI LAHAN GAMBUT KALIMANTAN TENGAH
REDUCTION OF GREEN HOUSE GAS EMISSION BY USING AMELIORANTS UNDER RUBBER AND PINEAPPLE INTERCROPPING OF CENTRAL KALIMANTAN PEATLAND Ali Pramono1, W.A. Nugraha2, M.A. Firmansyah2, A. Wihardjaka1, Prihasto Setyanto1 1
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Jakenan-Jaken Km 5, Pati
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalteng. Jl. G. Obos 5, Palangkaraya
Abstrak. Lahan gambut merupakan lahan marjinal dan mudah terdegradasi. Penggunaan lahan gambut harus memperhatikan aspek lingkungan karena dapat menyebabkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Pemberian amelioran pada lahan gambut, selain memperbaiki produktivitas, juga berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi emisi GRK melalui pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dengan sistem tumpangsari dan penggunaan ameliorant. Penelitian dilaksanakan pada demplot seluas 5 hektar di Desa Jabiren, Kalimantan Tengah periode Juni 2013 – Mei 2014. Sistem tumpangsari yang digunakan adalah karet dan nenas. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat ulangan dan empat perlakuan bahan amelioran yang meliputi kontrol, pupuk gambut, pupuk kandang ayam, dan bahan tanah mineral. Pengambilan contoh gas menggunakan metode sungkup tertutup dan contoh gas dianalisis dengan kromatografi gas model micro GC CP 4900. Contoh gas diambil di piringan tanaman karet dan di sela tanaman nenas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ameliorasi pupuk kandang ayam dan pupuk gambut menurunkan fluks CO2 di piringan tanaman karet, namun tidak di sela tanaman nenas. Pemberian pupuk gambut paling efektif menurunkan emisi CO2, sedangkan amelioran pupuk kandang ayam paling efektif menurunkan emisi CH4. Pemberian amelioran di lahan gambut dapat menurunkan emisi gas rumah kaca. Kata kunci: Emisi, karbondioksida, metana gambut, tumpangsari karet, dan nenas. Abstract. Peat soils are one of marginal lands which is easily degraded due to its fragile properties. The use of peatland should be estimate the environmental aspect due to resulting green house gas emission in huge amount. Peat amelioration increases the soil productivity and could reduce green house gas (GHGs) emission. The research aimed to monitor GHGs emission from peatland under intercropped rubber and pineapple. The experiment was conducted at Jabiren Village, Central Kalimantan from June 2013 to May 2014. The experiment used the completely randomized block
249
Ali Pramono et al.
design with four replications and four treatments consisted of control, peat fertilizer (pugam), chicken manure (pukan), and mineral soil. Gas samples were taken using closed chamber technique and analyzed using a gas chromatography micro GC CP 4900 model. Gas samples were taken around rubber plants and between pineapple plants. The results showed that chicken manure and peat fertilizer decreased CO2 flux effectively around rubber plant, but not between pineapple plants. Peat fertilizer and chicken manure were the most effective ameliorants for reducing CO2 and CH4 emission of up to 7% and 30%, respectively relative to control treatment. Ameliorants application on peatland could reduce the greenhouse gas emissions. Keywords: Emissions, carbondioxide, methane peat, intercropping of rubber and pineapple plants.
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan gambut terluas di dunia, yang luasannya mencapai sekitar 14,9 juta ha (Ritung et al., 2011). Meskipun lahan gambut di Indonesia sangat luas, faktanya pemanfaatan sebagai area budidaya tanaman pertanian masih terbatas karena mempertimbangkan sifat dan perilaku gambut. Bahkan ada anggapan bahwa konversi gambut untuk budidaya pertanian atau perkebunan akan berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK). Di sisi lain, peningkatan populasi penduduk Indonesia yang telah mencapai 238 juta dengan laju pertumbuhan 1,3% per tahun, sangat membutuhkan lahan pertanian yang lebih luas. Oleh karena itu lahan gambut sebagai lahan marjinal mulai dilirik untuk lahan pertanian yang tetap memperhatikan hidrologi dan kesesuaian lahan. Lahan gambut memiliki fungsi lingkungan yang cukup penting, antara lain sebagai penyimpan C (karbon), penyangga lingkungan dari kebanjiran dan kekeringan, dan kaya akan keanekaragaman hayati. Indonesia mempunyai sekitar 14,9 juta ha lahan gambut (Ritung et al., 2011). Lahan gambut mempunyai cadangan karbon di dalam tanah sekitar 37 Gt (Wahyunto et al., 2004, 2005, 2006). Cadangan karbon tersebut sangat mudah teremisi menjadi CO2 apabila hutan gambut dibuka dan didrainase. Dalam keadaan alami, tanah gambut mengalami proses dekomposisi yang menghasilkan gas rumah kaca (GRK) secara perlahan, sehingga emisi yang dihasilkannya relatif seimbang dengan penyerapan oleh vegetasi alami dalam bentuk CO2 bahkan kadang kala berperan sebagai sink karbon. Dalam tiga dekade terakhir, lahan gambut telah digunakan secara intensif untuk aktivitas pertanian tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Alih fungsi lahan gambut untuk budidaya tanaman pertanian akan mengurangi stabilitas dan mempercepat proses dekomposisi. Selain itu, deforestasi dan degradasi lahan gambut memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan emisi GRK nasional.
250
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari
Lahan gambut dengan kedalaman satu meter dan luas lahan mencapai satu hektar (ha), mengandung karbon 300-700 t C/ha, namun dengan perhitungan minimal rata-rata simpanan karbon di lahan gambut seluas satu hektar bisa mencapai sekitar 600 t C/ha. Aktivitas pertanian di lahan gambut menyebabkan subsidensi permukaan gambut dan kehilangan karbon dalam bentuk emisi CO2 dan CH4. Emisi CO2 dari gambut yang digunakan untuk pertanian di Indonesia diperkirakan mencapai 73 ton CO 2-e/ha/tahun dari wilayah perkebunan, 27 ton CO2-e/ha/tahun dari gambut yang digunakan untuk tanaman semusim, dan 55 ton CO2-e/ha/tahun dari gambut yang terbakar (BBSDLP, 2009). Berdasarkan standar IPCC Tier 2 dengan menggunakan data penggunaan dan tutupan lahan dari tahun 2000-2006, rata-rata emisi gas rumah kaca emisi tahunan dari oksidasi gambut Indonesia adalah 220 Mt CO2/tahun (BAPPENAS, 2009). Meskipun emisi karbon dari gambut sangat besar potensinya, namun ketidakpastian perkiraan itu sangat besar (Sabiham, 2010). Seiring dengan komitmen Indonesia dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011, berbagai upaya perlu dilakukan untuk menghambat laju pemanasan global, antara lain dengan penerapan teknologi ameliorasi. Penggunaan bahan amelioran atau bahan pembenah tanah selain dapat memperbaiki struktur tanah gambut juga dapat menurunkan emisi GRK. Tantangan sektor pertanian adalah bagaimana mengelola lahan gambut sehingga bisa berproduksi dengan baik tanpa merusak lingkungan dengan menghasilkan emisi serendah mungkin, dengan begitu lahan gambut bisa memberikan keuntungan ekonomi yang memuaskan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bahan ameliorasi yang efektif menurunkan emisi CO2 pada sistem tumpangsari tanaman karet dan nenas di lahan gambut Kalimantan Tengah.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di area perkebunan karet seluas 5 ha di Desa Jabiren, Kecamatan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Tataguna lahan di petak demplot Jabiren, Kalimantan Tengah adalah tumpangsari dengan tanaman karet sebagai tanaman pokok dan nenas sebagai tanaman sela. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, dengan perlakuan pemberian amelioran terdiri atas 1 pupuk gambut (pugam), 2) pupuk kandang ayam (pukan), 3) tanah mineral, dan 4) kontrol (tanpa amelioran). Sebagai pembanding juga dilakukan pengambilan contoh gas dari petak petani (praktis petani). Masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Ukuran masing-masing plot 50 m x 27 m, dengan umur tanaman karet kira-kira 7 tahun pada awal penelitian ini. Tata letak perlakuan seperti pada Gambar 1.
251
Ali Pramono et al.
Saluran Sekunder
Saluran Tersier Pugam
Kontrol
Pukan
Tanah Mineral
Kontrol
Tanah Mineral
Pugam
Pukan
Tanah Mineral
Pukan
Kontrol
Pugam
Pukan
Pugam
Tanah Mineral
Kontrol
Praktis Petani
Gambar 1. Tata letak perlakuan amelioran pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah. Pemberian amelioran pada plot perlakuan dilakukan sebanyak 2 kali dengan cara disebar. Pemberian amelioran pertama dilakukan pada awal bulan Juli 2013 dan yang kedua pada bulan Februari 2014 (Tabel 1). Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali dengan cara tugal. Pemupukan I dilakukan pada pertengahan bulan September 2013. Pemupukan II akan dilakukan pada bulan Juli 2014. Pada petak petani tidak dilakukan pemupukan N, P, dan K. Parameter yang diamati adalah fluks GRK (CO2 dan CH4). Pengambilan sampel gas dari lahan gambut dilakukan sebanyak 7 kali dari bulan Juni 2013 hingga Mei 2014. Pengambilan sampel gas pertama dilakukan pada awal Juni 2013 untuk mengetahui baseline emisi GRK, sebulan kemudian dilakukan pemberian amelioran dan pengamatan GRK. Tabel 1. Pemberian amelioran dan pupuk pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah. No
Uraian
Ameliorasi I (Juli 2013)
Pemupukan I (September 2013)
Ameliorasi II (Pebruari 2014)
1
Kontrol
-
-
2
Pugam (kg/pohon)
2
1
3
Pukan (kg/pohon)
4
2
4
Tanah Mineral (kg/pohon)
6
3
5
Pupuk Dasar (kg/pohon)
Pemupukan II (Juli 2014)
- Urea - SP-36
0,25 0,2
0,25 0,2
- KCl
0,25
0,25
Pengambilan contoh gas pada masing-masing perlakuan dilakukan pada piringan tanaman karet dan sela tanaman nenas (Gambar 2). Sampling gas juga dilakukan pada petak petani, dimana petani tidak melakukan pemupukan pada petak tersebut.
252
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari
Pengambilan contoh gas dilakukan dengan menggunakan metode sungkup tertutup (closed chamber technique). Ukuran sungkup untuk pengambilan gas pada piringan adalah 50cm x 50cm x 30cm, sedangkan pada sela berukuran 50cm x 15cm x 30cm. Interval waktu pengambilan contoh gas adalah 3, 6, 9, 12, 15, 18, dan 21 menit. Contoh gas dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas model micro GC CP 4900.
Piringan
Sela tanaman
Gambar 2. Pengambilan sampel gas pada piringan tanaman karet dan sela tanaman nenas pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah. Hasil analisis konsentrasi gas dengan interval waktu 3 menit tersebut akan digunakan untuk menentukan laju perubahan/fluks CH4 dan CO2 (c/t). Perhitungan fluks CO2 pada setiap perlakuan menggunakan persamaan yang diadopsi dari IAEA (1993) sebagai berikut:
E
Bm Csp V 273,2 x x x Vm t A T 273,2
Di mana: E = emisi CO2 atau CH4 (mg/m2/hari) V = volume sungkup (m3) A = luas dasar sungkup (m2) T = suhu udara rata-rata di dalam sungkup (oC) Csp/t = laju perubahan konsentrasi gas CH4 atau CO2 (ppm/menit) B = berat molekul gas CH4 atau CO2 dalam kondisi standar Vm = volume gas pada kondisi stp (standard temperature and pressure) yaitu 22,41 liter pada 23oK
253
Ali Pramono et al.
Data fluks CO2 dan CH4 dianalisis statistik dengan sidik ragam (analysis of variance) dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil atau uji kisaran ganda Duncan untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan pada taraf 5%. Analisis data menggunakan program SAS.
HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi penelitian merupakan lahan milik petani setempat, dengan tanaman karet sebagai tanaman pokok dan nenas sebagai tanaman sela. Tingkat kematangan gambut di lahan tersebut termasuk golongan saprist, ketebalan gambut sekitar 4-5 meter dan pH berkisar 3-4. Pemberian bahan ameliorasi dan pupuk bertujuan untuk mengurangi kemasaman tanah dan meningkatkan ketersediaan hara yang rendah. Amelioran yang digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu dianalisis kimianya. Pupuk gambut (pugam) merupakan pupuk majemuk yang mengandung fosfat (P), magnesium (Mg), dan silikat (Si). Ketiga unsur ini sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Selain tiga unsur tersebut, pugam juga mengandung besi (Fe), aluminium (Al), seng (Zn), dan tembaga (Cu), unsur yang selain dibutuhkan tanaman juga penting untuk mengikat asam-asam organik beracun agar tidak mengganggu pertumbuhan akar tanaman. Kelasi asam-asam organik oleh kation polivalen menyebabkan bahan organik lebih stabil dan emisi karbonnya berkurang. Pupuk kandang (pukan) ayam mempunyai nisbah C/N 16%, P2O5 dan K2O sedikit lebih rendah daripada tanah mineral (Tabel 2). Pukan ayam dan pugam merupakan sumber kation polivalen. Kation polivalen dapat menetralkan asam-asam tersebut secara efektif, sehingga penambahan dalam dosis tepat dapat meningkatkan produktivitas lahan gambut secara berkelanjutan. Pugam mengandung kation polivalen dengan konsentrasi tinggi, sehingga takaran amelioran yang diperlukan tidak terlalu besar yaitu hanya 750 kg ha-1 (Subiksa et al., 2009). Lahan gambut sangat miskin hara makro maupun mikro, sehingga perlu ditambahkan apabila dimanfaatkan untuk usahatani tanaman pangan maupun tanaman perkebunan.
254
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari
Tabel 2. Karakteristik bahan amelioran yang digunakan pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah. Parameter Kadar air (%) pH
Jenis Amelioran Pugam A
Pukan Ayam
Tanah Mineral
4,78
-
-
8,0
8,6
3,9
C-organik(%)
-
16
-
N-total (%)
-
0,98
0,01
Nisbah C/N
-
16
11
P2O5 (%)
13,7
0,47
2
K2O (%)
0,04
1,34
2
CaO (%)
28,27
-
0,27
MgO (%)
8,16
-
0,27
Fe (%)
0,33
0,07
1,08
Al (%)
0,53
-
4,62
Mn (ppm)
202
76
0,3
Cu (ppm)
905
2
0,1
Zn (ppm)
1503
46
0,1
Dinamika Fluks Gas Rumah Kaca Pengamatan fluks GRK pertama dilakukan pada bulan Juni 2013 sebagai data awal (baseline). Setelah itu, pengamatan dilakukan setiap 1-2 bulan sekali selama satu tahun. Pada awal pengukuran, gambut yang belum diberi amelioran menghasilkan fluks CO 2 sebesar 9000-16000 mg/m2/hari (Gambar 3). Setelah dilakukan ameliorasi, fluks CO 2 menurun pada dua kali pengamatan (bulan September dan November 2013). Pemberian amelioran II dilakukan pada bulan Februari 2014 dan pengamatan GRK baru mulai dilakukan lagi pada bulan Maret. Ameliorasi gambut tampak menurunkan fluks pada bulan pertama setelah dilakukan ameliorasi II, hal ini mungkin disebabkan karena dosis ameliorannya lebih rendah dibandingkan pada ameliorasi I.
255
Ali Pramono et al.
Gambar 3. Rata-rata fluks CO2 selama pengamatan pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah.
Pemupukan pada bulan September meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang berperan dalam dekomposisi gambut, sehingga amelioran tidak berpengaruh terhadap peningkatan fluks CO2. Emisi CO2 heterotrofik dari gambut dipengaruhi oleh dinamika populasi mikroba, kualitas, dan kuantitas bahan organik yang tersedia untuk dekomposisi (limbah, gambut dan eksudat akar), yang pada gilirannya merupakan fungsi dari masa lalu dan sekarang dari dinamika vegetasi, hubungan aktivitas mikroba dengan hidrologi (kedalaman muka air tanah dan kelembaban tanah), suhu udara dan suhu gambut, dan juga status hara gambut (Brady, 1997; Hirano et al., 2009; Yule dan Gomez, 2009). Setelah 3 bulan pemupukan II, fluks CO2 makin meningkat pada semua perlakuan. Kenaikan fluks CO2 terendah terjadi pada perlakuan pukan dibandingkan perlakuan lainnya. Fluks CO2 dari petak petani menunjukkan nilai terendah hampir semua waktu pengamatan. Rata-rata fluks CO2 dari pengukuran selama satu tahun akibat pemberian amelioran pukan adalah sebesar 6.130 mg/m2/hari, pugam 6.114 mg/m2/hari, 6.412 mg/m2/hari dan kontrol 6.572 mg/m2/hari. Petak petani menghasilkan rata-rata fluks CO2 sebesar 3.038 mg/m2/hari. Terdapat perbedaan fluks GRK pada piringan dan sela tanaman. Fluks tertinggi dihasilkan dalam piringan tanaman karet. Hal ini disebabkan karena pada piringan biasanya diberikan perlakuan pemupukan dan juga terjadi respirasi akar. Ameliorasi pukan dan pugam pada gambut menurunkan fluks CO2 pada piringan tanaman karet, dibandingkan dengan pada sela tanaman nenas (Gambar 4). Dari rata-rata fluks yang dihasilkan masing-masing perlakuan, terlihat bahwa pemberian amelioran pukan ayam dan pugam menyebabkan penurunan fluks CO2 pada siang hari. Meningkatnya suhu akan
256
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari
merangsang kegiatan mikroorganisme, mempercepat laju dekomposisi dan memperbesar energi kinetik dan gas. Pada gambut terdrainasi, radiasi matahari yang mencapai permukaan gambut akan meningkatkan suhu gambut, hal ini akan meningkatkan oksidasi gambut (Jauhiainen et al., 2012). Peningkatan suhu gambut dapat menstimulasi kedua proses metanogenesis dan metanotrofi, meskipun metanotrofi nampak lebih sensitif terhadap suhu daripada metanogenesis dan lebih tergantung pada ketersediaan CH 4 (Le Mer and Roger, 2001). Sementara itu, pemberian tanah mineral dan kontrol meningkatkan fluks CO2 pada siang hari (Gambar 5).
Gambar 4. Fluks CO2 pada piringan dan sela tanaman dengan berbagai perlakuan amelioran pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah.
Gambar 5. Perbedaan fluks CO2 pada waktu pagi dan siang hari dengan berbagai perlakuan amelioran pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah.
257
Ali Pramono et al.
Emisi Gas Rumah Kaca Dari perhitungan emisi CO2, perlakuan pukan menghasilkan emisi CO2 sebesar 26,1 ton/ha/tahun, perlakuan pugam sebesar 26,0 ton/ha/tahun, perlakuan tanah mineral 27,3 ton/ha/tahun. Plot kontrol menghasilkan emisi CO 2 tertinggi, yaitu sebesar 28 ton/ha/tahun, sedangkan plot petani menghasilkan emisi CO2 terendah yaitu sebesar 12,9 ton/ha/tahun (Tabel 3). Persentase penurunan emisi CO2 secara berurutan dari yang tertinggi yaitu ameliorasi pugam (7,1%), pukan (6,7%) dan tanah mineral (2,5%) dibandingkan kontrol. Emisi CO2 dari petak petani paling rendah, yaitu sebesar 12,9 ton/ha/tahun, hal ini mungkin disebabkan karena pada petak tersebut tidak dilakukan pemupukan N, P dan K. Hal yang sama diungkap oleh Maswar (2012) yang menyimpulkan bahwa dengan aplikasi pupuk NPK pada lahan gambut yang telah didrainase nyata meningkatkan kehilangan karbon dari gambut. Pemupukan pada lahan gambut dapat mempengaruhi aktivitas biologi dalam tanah, termasuk aktivitas mikroorganisme perombak sehingga dapat mempercepat kehilangan karbon. Etik (2009) juga melaporkan bahwa penambahan dosis pupuk urea sampai dengan dosis 4 g.100 g-1 gambut nyata meningkatkan fluks CO2 pada berbagai tingkat kematangan gambut. Tabel 3. Persentase penurunan emisi CO2 pada perlakuan amelioran pada penelitian emisi gas rumah kaca di Jabiren, Kalimantan Tengah Perlakuan
Emisi CO2 (t/ha/tahun)*)
CV (%)
n data fluks
n data % konsentrasi Penurunan
Pupuk kandang ayam (pukan) Pupuk gambut (pugam)
26,1+ 7,9a 26,0 + 15,2a
30,3 58,5
96 96
672 672
6,7 7,1
Kontrol
28,0 + 16,4a
58,6
96
672
-
Tanah Mineral
27,3 + 10,6a
38,8
96
672
2,5
Praktis Petani
12,9 + 6,6a
51,2
96
672
53,9
Angka dalam lajur sama diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji beda nyata terkecil atau DMRT pada taraf 5%.
258
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari
Gambar 6. Emisi gas rumah kaca lahan gambut pada sistem tumpangsari karet dan nenas di Jabiren, Kalimantan Tengah.
KESIMPULAN Ameliorasi pupuk kandang ayam (pukan) dan pupuk gambut (pugam) pada gambut menghasilkan fluks CO2 lebih rendah pada piringan tanaman karet dibandingkan pada sela tanaman nenas. Penurunan emisi CO2 paling efektif dengan menggunakan pugam, sedangkan penurunan emisi CH4 paling efektif dengan pukan ayam. Pemberian amelioran pada lahan gambut dapat menurunkan emisi gas rumah kaca.
UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini merupakan kerjasama Badan Litbang Pertanian dan BAPPENAS melalui Proyek Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). Ucapan terimakasih disampaikan kepada Sdr. Titi Sopiawati, SP; Sri Wahyuni, A.Md dan Sdr. Muhaimin yang telah membantu dalam analisis GRK dan pengambilan contoh gas di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA BAPPENAS. 2009. Reducing Carbon Emission from Indonesia’s Peatlands. Interim Report of Multi-Diciplinary Study. Bappenas, The Rebuplic of Indonesia. BBSDLP, Agricultural Land Resource Institute. 2009. Policy brief: Kajian pemanfaatan lahangambut untuk pengembangan perkebunan (Studies on the use of peatlands for plantation development). Agricultural Research and Development Agency, Ministry of Agriculture.
259
Ali Pramono et al.
Brady, M.A. 1997. Organic Matter Dynamics of Coastal Peat Deposits in Sumatra, Indonesia. Doctoral dissertation. Retrieved from the University of British Columbia Library. Etik, P.H. 2009. Emisi karbondioksida (CO 2) dan metan (CH4) pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman. Disertasi S3. Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 158 hal. Hirano, T., Segah, H., Harada, T., Limin, S., June, T., Hirata, R., & Osaki, M. (2007). Carbondioxide balance of a tropical peat swamp forest in Kalimantan, Indonesia. Global Change Biology 13: 412-425. Hooijer, A., M. Silvius, H. Wösten, and S. Page. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia, Delft Hydraulics report Q3943. Inubushi, K., S. Otake, Y. Furukawa, N. Shibasaki, M. Ali, A.M. Itang, and H. Tsuruta. 2005. Factors influencing methane emission from peat soils: Comparison of tropical and temperate wetlands. Nutrient Cycling in Agroecosystems 71: 93–99. IAEA. 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emissions from Agricultural, Vienna, Austria. International Atomic Energy Agency. Jauhiainen, J., A. Jaya, T. Inoue, J. Heikkinen, P. Martikainen, and H. Vasander . 2004. Carbon balance in managed tropical peat in Central Kalimantan. In: Päivänen J (ed.) Proceedings of the 12th International Peat Congress, Tampere 6 11.6.2004. pp. 653-659. Jauhiainen J., A. Hooijer, and S. E. Page. 2012. Carbondioxide emissions from an Acacia plantation on peatland in Sumatra, Indonesia. Biogeosciences 9: 617–630. Lay DYF. 2009. Methane dynamics in northern peatlands: A review. Pedosphere 19: 409421. Le Mer, J., and P. Roger. 2001. Production, oxidation, emission and consumption of methane by soils: A review. Eur. J. Soil Biol. 37: 25–50. Maswar. 2012. Pengaruh aplikasi pupuk NPK terhadap kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainasi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pemupukan dan Pemulihan Lahan Terdegradasi. Penyunting: Wigena et al., Bogor, 29-30 Juni 2012. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Hal. 171-178. Ritung, S., Wahyunto, Nugroho, K., Sukarman, Hikmatullah, Suparto & Tafakresnanto, C. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000 (Indonesian peat soil map at the scale 1:250,000). Indonesian Center for Agricultural Land Resources Research and Development, Bogor, Indonesia. Sabiham S, 2010. Properties of Indonesian peat in relation to the chemistryof carbon emission. Proc. of Int. Workshop on Evaluation and Sustainable Management of Soil Carbon Sequestration in Asian Countries. Bogor, Indonesia Sept. 28-29, 2010.
260
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dengan Ameliorasi pada Sistem Tumpangsari
Subiksa, I.G.M., H. Suganda, dan J. Purnomo. 2009. Pengembangan Formula Pupuk untuk Lahan Gambut sebagai Penyedia Hara dan Menekan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Laporan Penelitian Kerja Sama antara balai Penelitian tanah dengan Departemen Pendidikan Nasional. Subiksa, I.G.M., W. Hartatik, dan F. Agus. 2011. Pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Buku Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. 2011. Wahyunto, Ritung S., Suparto, Subagjo H. 2004. Map of Peatland Distribution Area and Carbon Content in Kalimantan. Wetland International-Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada (WHC). Bogor–Indonesia. Wahyunto, Ritung S., Suparto, and H. Subagjo. 2005. Peat Land Distribution and Carbon Content in Sumatra and Kalimantan. Wetland International-Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada (WHC). Bogor –Indonesia. Wahyunto, Suparto, B. Heryanto, dan H. Bekti. 2006. Sebaran Lahan Gambut, Luas dan Cadangan Karbon Bawah Permukaan di Papua. Wetland International Indonesia Programme. Bogor – Indonesia. Yule, C.M., and L.N. Gomez. 2009. Leaf litter decomposition in a tropical peat swamp forest in Peninsular Malaysia. Wetlands Ecology and Management 17, 231-241.
261