BAHAYA LISAN: STUDI KUALITAS HADIS SENDA GURAU DALAM KITAB IHYÂ` ‘ULÛM AL-DÎN
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh Zaenuri NIM: 1110034000056
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 Oktober 2014
Zaenuri
ABSTRAK Zaenuri Bahaya Lisan : (Studi Kualitas Hadis Senda Gurau dalam Kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn) Lisan merupakan salah satu anggota tubuh yang mempunyai beberapa fungsi, diantaranya untuk berbicara. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak pernah luput dari peran lisan karena lisan adalah sarana untuk berkomunikasi dengan yang lainnya. Lisan ibarat dua mata pedang yang pada sisi lain bisa membawa manfaat dan di sisi lain bisa membawa mudharat. Dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn karya imam al-Ghazali terdapat pembahasan yang membahas tentang bahaya lisan, salah satu poinnya adalah senda gurau. Senda gurau memang suatu hal yang biasa dilakukan dalam upaya untuk mencairkan suasana sebagai refreshing agar suasana tidak terlalu kaku. Namun dalam senda gurau juga harus memperhatikan etika-etika agar tidak menyinggung pihak lain.Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan library research yaitu dengan mengumpulkan data-data yang terdapat dalam sumber primer yaitu kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn dan sumber sekunder yaitu buku-buku, skripsi, artikel, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pembahasan penelitian ini. Dalam kajian terhadap hadis Nabi, penulis menemukan hadis-hadis yang berhubungan dengan senda gurau yang terdapatdalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn pada bab Bahaya Lisan. Dari sekian banyak hadis Nabi yang menjadi pembahasan tentang senda gurau,penulis hanya meneliti empat hadis sebagai sampel dari 20 hadis senda gurau yang terdapat dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn.Setelah ditelusuri kualitas hadis tersebut melalui metode takhrij hadis, ditemukanlah sebagai berikut: hadis pertama yang menjelaskan larangan bersenda gurau dan kualitas hadisnyaadalah hasan, hadis kedua yang menerangkan akibat apabila seseorang bersenda gurau dan kualitas hadisnya adalah hasan, hadis ketiga yang menjelaskan Nabi juga bersenda gurau kecuali kebenaran dan kualitas hadisnya adalah sahih, dan hadis keempat yang menerangkan bagaimana Nabi tertawa ketika bersenda gurau dan kualitas hadisnya adalah sahih.
i
Kata Pengantar Syukur yang sangat mendalam saya curahkan kepada Allah swt. Atas semua yang telah Allah berikan selama ini kepada saya, baik nikmat, karunia, hidayah, dan cobaan. Sehingga dengan mengucapkan Alhamdulillah akhirnya skripsi ini bisa saya selesaikan. Salawat serta salam, saya junjungkan untuk Nabi Muhammad saw. Sebagai tauladan bagi kita semua, dengan akhlak mulianya sehingga kita patut untuk mengikuti jejak beliau. Selanjutnya, dalam usaha menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan waktu, pengetahuan, dan biaya sehingga tanpa bantuan dan bimbingan dari semua pihak tidaklah mungkin berhasil dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tidaklah berlebihan apabila penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada: -
Bapak Maulana, M.Ag, selaku pembimbing dalam pembuatan skripsi saya, yang tidak pernah lelah untuk memotivasi supaya bisa lebih semangat dan terus meperbaiki dalam pembuatan skripsi ini.
-
Ibu Lilik Ummi Kaltsum, selaku ketua jurusan Tafsir Hadis beserta sekretaris prodi Tafsir Hadis, Bapak Jauhar Azizy.
-
Seluruh dosen jurusan Tafsir Hadis yang telah member pengetahuan kepada saya dari semester awal sampai semester akhir ini, beserta seluruh staf dan karyawan yang bekerja di Fakultas Ushuluddin.
-
Kedua orang tua saya, H. Zawawi dan Hj. Ely Horyanti, yang sangat saya sayangi, yang selalu member saya semangat dalam menjalani
ii
kehidupan ini, dan telah banyak berkorban untuk saya baik secara materi maupun non materi. -
Seluruh keluarga saya, dari jalur baba dan mama, yang selalu memberikan support kepada saya selama ini dan saya harapkan kehadiran kalian ketika saya wisuda nanti.
-
Khusushan untuk Ukhty yang selalu memberikan support, kekuatan serta semangat dalam menyusun skripsi ini hingga selesai.
-
Semua teman-teman seperjuangan, keluarga besar TH B 2010 yang tetap menjaga kekompakan dan tali silaturrahmi, serta seluruh mahasiswa/i angkatan 2010.
Demikian kata pengantar dari penulis, mudah-mudahan penelitian ini dapat diambil manfaat untuk kita, amin.
Jakarta, 7 Oktober 2014
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK....................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................. iv PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................. vi BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................ 6 C. TinjauanPustaka ………………………………. 6 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................... 7 E. Metodologi Penelitian ........................................ 8 F. Sistematika Penulisan ......................................... 11
BAB II
BIOGRAFI AL-GHAZALI A. Riwayat Hidup al-Ghazali.................................. 12 B. Sekilas mengenai Kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn........ 17 1. Isi Kitab......................................................... 17 2. Pendapat Ulama.......................................... 20
BAB III
LISAN DAN SENDA GURAU A. Pengertian Lisan dan Senda Gurau................... 23 B. Etika Senda Gurau............................................ 25 C. Pandangan Ulama…………………………….. 30
BAB IV
STUDI KRITIK HADIS SENDA GURAU A. Pengertian dan Kedudukan Hadis .................... 32 B. Takhrîj Hadis .................................................... 33
iv
C. Kritik Sanad Hadis ........................................... 39 D. Kritik Matan Hadis ............................................ 41 E. Kritik Hadis Tentang Senda Gurau…………… 43
BAB IV
PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................... 89 B. Saran-saran ........................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
No.
Huruf Arab
Huruf Latin
No.
Huruf Arab
Huruf Latin
16.
ط
T
1.
ا
2.
ب
B
17.
ظ
Z
3.
ت
T
18.
ع
‘
4.
ث
Ts
19.
غ
gh
5.
ج
J
20.
ف
F
6.
ح
H
21.
ق
Q
7.
خ
Kh
22.
ك
K
8.
د
D
23.
ل
L
9.
ذ
Dz
24.
م
M
10.
ر
R
25.
ن
N
11.
ز
Z
26.
و
W
12.
س
S
27.
ه
H
13.
ش
Sy
28.
ء
`
14.
ص
S
29
ي
Y
15.
ض
D
Vokal Panjang TandaVokal Arab
TandaVokal Latin
نا
Â
ني
Î
نو
Û
vi
Kata Sandang Kata sandang, yang dalam aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl. Syaddah/tasydîd Syaddah atau tasydîd yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tandaّ , dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu menggandakan huruf yang diberitanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Contoh: الضّرورةtidak tertulis ad-darûrah melainkan al-darûrah.
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Lisan merupakan karunia yang amat vital dan sangat penting pada manusia. Lisan juga merupakan bagian tubuh yang paling banyak digunakan dalam keseharian. Oleh karena itu sangat penting untuk menjaga lisan, apakah banyak kebaikannya dengan menyampaikan yang hak ataupun malah terjerumus ke dalam dosa dan maksiat. Lisanlah yang menghubungkan manusia dengan manusia, lisanlah yang menciptakan segala bahasa, lisanlah yang memberi suara semua pikiran dan cita, lisanlah yang memperindah nyanyi dan irama, lisan yang memberi nasihat dapat menerangkan gelora amarah dalam dada.1 Allah swt telah menyebutkan dalam firman-Nya salah satu nikmat yang besar yang diberikan kepada manusia berupa lisan:
“(Tuhan) yang Maha pemurah. Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (QS. Ar-Rahmaan : 1-4) Namun, masih banyak orang yang kurang menyadari akan bahaya lisan ini, sehingga banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi disebabkan oleh lisan itu sendiri, seperti kasus pembakaran rumah, pembakaran kios, kerusuhan, tawuran massal, baku hantam antar warga masyarakat, sampai keributan pun terjadi di kalangan pejabat. Hal ini terjadi karena lisan yang tak dijaga dengan baik sehingga menyebabkan kesenjangan sosial dalam masyarakat.2 1
Imam al-Ghazali, Bahaya Lidah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 2 Dikalustian Rizkiputra, Bahaya Lisan dan Pencegahannya dalam al-Qur‟an, (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), no. 2886, h. 3 2
1
2
Agar umatnya tidak saling bertengkar dan terpecah belah karena lisan, Nabi memberikan cara khusus untuk tidak menggunakan lisan kepada hal-hal yang bisa menjerumuskan seseorang ke dalam bahayanya, yaitu dengan cara diam. Nabi saw bersabda:
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu al-Ahwash dari Abu Hushain dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menyakiti tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.” Di samping itu, al-Ghazali dalam bukunya menyatakan bahwa seseorang wajib untuk memelihara lisan. Sebab, di antara anggota badan dan panca indera yang paling banyak menimbulkan kerusakan adalah mulut.4 Salah satu bahaya lisan yang telah menyebar di kalangan masyarakat Islam dan sudah menjadi kebiasaan adalah senda gurau. Setiap hari dalam kehidupan zaman sekarang ada saja senda gurau yang dimunculkan dalam setiap kesempatan baik itu formal maupun non formal. Sebenarnya hal itu tidak dilarang dalam agama Islam, namun yang menjadi masalah adalah sudah banyak sekali di zaman sekarang yang berlebihan dalam bersenda gurau. Acara-acara seminar sering sekali memunculkan senda gurau yang berlebihan dari para nara sumber yang biasanya dilakukan dengan
3
Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya „Ulumuddin, jilid III, (Beirut: Daar al-Fikr, 2002), h. 116. Lihat juga Muslim ibn Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, jilid I, (Beirut: Daar al-Fikr), h. 68. 4 Imam al-Ghazali, Wasiat Imam Ghazali Minhajul Abidin (Jakarta: Darul Ulum Press, 1986), h. 140.
3
menggunakan lisan atau perbuatan yang bertujuan untuk membuat suasana menjadi lebih hidup atau sebagai icebreaking dalam komunikasi yang membeku. Sekarang banyak juga dalam acara televisi yang hampir disetiap chanel menampilkan acaraacara berbentuk senda gurau yang berlebihan dengan hal-hal berbagai macam bentuk yang terkadang membuat seseorang merasa sakit hati ataupun tersinggung, disadari atau tidak hal-hal seperti itulah yang membuat senda gurau menjadikan bahaya pada diri seseorang. Dalam hadis Nabi disebutkan:
“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Ishaq berkata; telah mengabarkan kepada kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami Az Zubair bin Sa'id lalu ia menyebutkan hadits dari Shafwan bin Sulaim berkata; dan Shafwan bin Sulaim telah menceritakan juga dari 'Atho` bin Yasar dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Seorang laki-laki mengatakan suatu kalimat yang dengannya ia ingin menjadi bahan tertawaan orang-orang disekelilingnya, maka ia akan masuk ke dalam neraka sejauh bintang-bintang di langit." Bahkan yang lebih mengherankan, orang-orang Indonesia yang bermayoritas pemeluk agama Islam seakan senang sekali dipertontonkan dengan sebuah acara senda gurauan. Hal itu terbukti dengan banyaknya acara-acara senda gurau yang menjadi rating tertinggi di dalam penayangan acara televisi di Indonesia. Sebagai salah satu acara yang di dalamnya banyak sekali senda gurauan, program YKS (Yuk Keep Smile)6 lah yang dapat menyita perhatian public Indonesia dengan menempati rating teratas. Dalam salah satu sumber meyebutkan “Banyak yang menilai bahwa program YKS tidak mendidik dan dapat merusak moral. Selain itu program YKS juga pernah berkali-kali mendapat teguran KPI karena dinilai melanggar norma kesopanan 5
Ahmad bin Hambal, Musnad li al-imam Ahmad ibn Hambal, (Beirut: Dar al-Fikri, 1991(. Tayangan yang awalnya bernama “Yuk Kita Sahur” untuk mengisi program ramadhan di Trans TV kini berubah nama menjadi “Yuk Keep Smile”. 6
4
dan membuat lawakan yang menyerang fisik dan kehormatan seseorang. Anehnya, justru setelah mendapat teguran berkali-kali dari KPI, bukannya tenggelam dan mati karena ditinggal sponsor (iklan) dan penontonnya, justru YKS semakin berkibar dan menempati rating dan share yang semakin tinggi. Dan untuk kasus YKS, semakin dihujat dan dicaci maki ternyata rating dan sharenya semakin menjulang ini membuat YKS menjadi “raja rating” di Indonesia”.7 Rasulullah Shalallahu „alaihi wasallam juga melakukan senda gurau akan tetapi itu bertujuan untuk sebuah maslahat, yaitu menyenangkan hati lawan bicara dan beramah tamah dengannya bukan untuk senda gurau yang berlebihan apalagi dengan mencela orang lain yang membuat seseorang sakit hati atau tersinggung.8 Dalam sabda Nabi saw:
Artinya: “Sesungguhnya aku juga bercanda dengan mu namun aku tidak berkata kecuali yang benar.” Dalam realita kehidupan sekarang ini, ternyata masih banyak sekali orang yang tidak tahu tentang senda gurau sebagai salah satu bahaya lisan dan tidak memperhatikan terhadap masalah kecil ini. Bahkan masih banyak orang-orang yang tidak menyadari bahwa ia sesungguhnya telah menggunakan lisannya untuk bersenda gurau dengan tidak baik di dalam setiap pembicaraan sehingga tanpa disadari akan mengakibatkan bahaya terhadap dirinya sendiri.
7
http://media.kompasiana.com/new-media/2014/01/06/yks-semakin-dihujat-ratingnya-semakinmenjulang-624438.html diakses pada tanggal 10 Juli 2014 8 9
http://wika-online.blogspot.com/2013/01/humor-dalam-islam.html diakses pada tanggal 10 Juli 2014 Abî Hisyâm Muhammad bin „Isâ bin Tsaurah, Sunan Tirmîdzî, Beirut:Dâr al-Ma‟rifah, 2002.
5
Hadis sebagai salah satu pedoman bagi umat Islam selain al-Qur‟an, sudah selayaknya menjadi salah satu referensi utama pula terhadap permasalahanpermasalahan yang ada di dalam segala aspek kehidupan yang terjadi pada manusia yang menganut agama Islam di dunia ini. Dalam kesempatan ini, penulis akan mengkhususkan diri untuk mengambil salah satu kitab yang memuat berbagai hadis Nabi saw yang salah satunya hadis tentang senda gurau yaitu kitab Ihyâ` „Ulûm al-Dîn karya Imam al-Ghazali. Imam alGhazali yang di zamannya terkenal sebagai tokoh yang menjadi panutan masyarakat saat itu, menjadi sandaran umat, menjadi hujjah, yang tentunya dalam perjalanan hidupnya beliau tidaklah akan dengan beraninya mempertaruhkan dirinya dalam sebuah kebatilan dengan cara mengutip kata-kata sembarangan yang kemudian diklaim sebagai kata-kata Nabi. Namun, di dalam kitab Ihyâ` „Ulûm al-Dîn ini alGhazali banyak mengutip hadis-hadis Nabi dan sama sekali tidak menyertakan sanadsanad secara lengkap dan juga tidak mencantumkan kualitas hadisnya. Ibnu al-Jauzi salah satu ulama yang kontra terhadap al-Ghazali, beliau mengkritik al-Ghazali dalam masalah hadis dengan memberikan julukan kepada alGhazali sebagai “pencari kayu di malam hari”, maksudnya mengambil setiap yang ditemuinya tanpa ada penyeleksian atau penyaringan terlebih dahulu.10 Dengan demikian penulis berinisiatif untuk meneliti hadis-hadis yang berada di dalam kitab Ihyâ` „Ulûm al-Dîn khususnya dalam poin senda gurau karena kitab ini sering disajikan dalam pembelajaran oleh para kyai/ustadz kepada masyarakat atau para santri dengan harapan masyarakat dan santri dapat memiliki moral yang tinggi. Akan tetapi yang patut diperhatikan juga adalah apakah hadis-hadis tersebut dapat diamalkan atau tidak.
10
Ahmad Satori Ismail, Pro-Kontra Pemikiran al-Ghazali, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h.149
6
Penulis akan mencoba meneliti apa saja bahaya lisan yang di paparkan alGhazali dalam kitabnya, dan dalam penelitian penulis, hal ini akan menjelaskan bagaimana kualitas hadis senda gurau yang terdapat dalam kitab Ihyâ` „Ulûm al-Dîn sehingga penelitian ini -dalam harapan penulis- akan membuka cara pandang masyarakat luas umat Islam tentang lisan khususnya berkaitan dengan senda gurau menurut al-Ghazali maupun para ulama. Karena itu, penulis akan membuat sebuah penelitian hadis yang bertemakan “Bahaya Lisan: (Studi Kualitas Hadis Senda Gurau dalam Kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn)”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Masalah lisan merupakan masalah yang cukup luas dan penting dalam kehidupan bermasyarakat, dan di dalam hadis banyak sekali yang menjelaskan mengenai bahaya lisan. Namun demikian untuk menghindari pembahasan yang tidak mengarah kepada maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini, maka penulis perlu membatasi permasalahan skripsi ini, yang dimaksud bahaya lisan disini adalah lebih menitik beratkan pada poin “senda gurau” saja. Menurut penulis pembahasan poin ini menarik jika ditelusuri lebih dalam, banyak orang-orang yang meremehkan tentang senda gurau ini. Kemudian di dalam kitab Ihyâ` „Ulûm al-Dîn terdapat cukup banyak memuat hadis-hadis tentang senda gurau akan tetapi penulis akan membatasi empat hadis saja yang akan diteliti kualitasnya (kritik sanad maupun matannya) karena kelima hadis tersebut menarik untuk di bahas lebih lanjut dalam skripsi ini dan tentu kualitas keempat hadis tersebut masih dipertanyakan dimana belum terdapat di dalam kitab Ihyâ` „Ulûm al-Dîn itu sendiri, hadis ini juga yang mewakili dari poin senda gurau yang akan dibahas.
7
Hadis pertama menjelaskan larangan bersenda gurau. Hadis kedua menerangkan bagaimana akibat bila seseorang bersenda gurau. Selanjutnya hadis ketiga menjelaskan Nabi juga bersenda gurau kecuali kebenaran dan tidak berlebihan. Kemudian hadis keempat contoh tertawa Nabi ketika sedang bersenda gurau, berikut hadis-hadis tersebut:
Sedangkan metode pembahasan dalam penelitian hadis ini yaitu: a. Melakukan Takhrij hadis melalui salah satu lafadz hadis dengan menggunakan kitab kamus hadis yaitu: Al-Mu‟jam al-Mufahras Fî Alfâdz al-Hadîts al-Nabawî karya A.J Wensick, melalui topik hadis dengan menggunakan kitab Miftâh al-Kunûz al-Sunnah, kitab al-Jâmi‟ al-Saghîr min Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr karya „Abd al-Rahmân ibn Abû Bakar alSuyûtî. b. Mencari data yang telah diperoleh dari kitab kamus dengan merujuk pada kitab asli yang ditunjukan oleh kitab kamus. c. Melakukan penelitian kritik sanad dari data yang diambil dari kitab asli, kemudian melakukan penelusuran pada periwayatan hadis sehingga diketahui kepribadian setiap periwayatan, menilai keadaannya, hubungan antar guru-guru dan murid guna mendapatkan kesimpulan tentang kredibilitas periwayat hadis tersebut. d. Melakukan penelitian matan dari hasil penelitian di atas.
8
e. Memberikan kesimpulan dari hasil penelitian. Dari pembatasan tersebut, kemudian penulis merumuskan permasalahan utama dalam skripsi ini dirumuskan dengan: Bagaimana kualitas keempat hadis di atas yang terdapat dalam kitab Ihyâ` „Ulûm al-Dîn tentang senda gurau? C. Tinjauan Pustaka Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan buku-buku atau skripsi yang lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat pemasalahan yang sama, sehingga diharapkan kajian ini tidak plagiat dari kajian yang telah ada. Berdasarkan hasil penelusuran dari berbagai buku-buku, skripsi, maupun semua yang berkaitan dengan judul ini, penulis menemukan ada beberapa karya yang membahas permasalahan bahaya lisan ini, yaitu: Buku karya Imam al-Ghazali, ”Bahaya Lidah”, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), isi buku Bahaya Lidah karya Imam al-Ghazali ini
hanya menerjemahkan apa yang ada di kitab Ihyâ` „Ulûm al-Dîn menjadi bahasa Indonesia saja. Skripsi oleh Eneng Maria Ulfa dengan judul “Etika Menjaga Lisan dalam al-Qur‟an; Kajian Terhadap QS. Al-Nisa ayat 114 dan QS. Al-Hujuraat ayat 12”, tahun 2005, no. 429, isi skripsi ini sendiri adalah hanya kajian dari beberapa ayat al-Qur‟an saja yang tercantum dalam judul. Skripsi oleh Dikalustian Rizkiputra dengan judul “Bahaya Lisan dan Pencegahannya dalam al-Qur‟an”, tahun 2011, no. 2886, adapun isi dari skripsi ini adalah kumpulan-kumpulan ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan bahaya lisan. Dari tinjauan diatas, dapat penulis katakan bahwa pembahasan skripsi ini berbeda dengan karya di atas, karena penulis membahas bahaya lisan yaitu hanya
9
memfokuskan kepada poin senda gurau dalam kitab Ihyâ` „Ulûm al-Dîn dan meneliti kualitas hadis-hadis tersebut kemudian diambil kesimpulan berdasarkan data-data yang terkumpul.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui secara mendalam hadis tentang senda gurau melalui pandangan al-Ghazali maupun para ulama lain. 2. Agar dapat mengungkapkan data-data hadis yang berkaitan dengan bahaya lisan terutama pada poin senda gurau, dan juga membuktikan data kualitas hadis yang terdapat di dalam kitab Ihyâ` „Ulûm al-Dîn mengenai senda gurau. 3. Untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk mencapai gelar kesarjanaan Strata Satu (S-1) Sarjana Theologi Islam (S. Th. I) pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi umum mengenai bahaya lisan dan khususnya menegenai senda gurau dengan harapan dapat menjadi kajian keislaman, khususnya di bidang hadis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berarti bagi masyarakat luas maupun masyarakat akademis dalam memahami konsep bahaya lisan ataupun senda gurau yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian juga penelitian ini diharapkan mendorong umat Islam untuk tidak bersenda gurau secara berlebihan dan
10
menyakiti hati orang lain. Sekaligus penulis dapat memberikan sumbangsih dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam.
E. Metodologi Penelitian Metode penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian dengan metode Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu mengumpulkan data-data yang memiliki relevansinya dengan masalah yang dibahas, baik itu yang bersumber dari buku-buku,
kitab-kitab,
kamus,
majalah,
koran,
artikel,
dan
sebagainya,
mengungkapkan data-data yang ada, mengolah dan menyimpulkan dalam suatu kesimpulan. Ada dua jenis data dalam membuat skripsi ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah sumber utama yang digunakan dalam pembahasan ini, yaitu kitab Ihyâ` „Ulûm al-Dîn. Sedangkan data sekunder adalah data pendukung berupa buku-buku, kitab-kitab hadis, artikel-artikel, makalah dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan ini. Adapun tipe kajiannya bersifat Deskriptif-Analitis, yakni mengumpulkan data, memaparkan dan menganalisa pemikiran al-Ghazali maupun para pakar dalam bidang hadis sehingga menjadi kesimpulan. F. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, maka penulis membagi penyusunan dalam lima bab yang diawali dengan pemaparan tentang latar belakang masalah, lalu pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kemudian membahas tentang metodologi penelitiannya, dan diakhiri pada bab pertama ini dengan sistematika penulisan. Bab ini berusaha memberikan gambaran singkat tentang masalah yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.
11
Pada bab kedua, penulis menguraikan secara rinci dari berbagai literatur tentang riwayat hidup al-Ghazali dan karya-karya beliau. Pada bab ketiga, penulis membahas gambaran umum tentang lisan dan mengkhususkan tentang senda gurau yang meliputi: pengertian senda gurau, etika bersenda gurau, dan pendapat ulama tentang senda gurau. Bab ini menjelaskan tentang lisan secara umum dan lebih khusus kepada senda gurau baik ditinjau dari segi kebahasaan. Output yang diharapkan pada bab ini adalah dapat memahami pengertian lisan atau senda gurau serta hikmahnya secara baik dan benar. Pada bab keempat, penulis akan meneliti kualitas keempat hadis yang terdapat dalam kitab Ihyâ` „Ulûm al-Dîn pada poin senda gurau dengan cara mengkritik sanad dan matan hadis. Adapun output yang diharapkan adalah dapat memahami senda gurau dengan berbagai bentuk dan dampaknya berdasrkan hadis yang ada sehingga dapat memberi dorongan kepada pembaca untuk menghindarinya, serta pembaca dapat mengetahui kualitas hadis Nabi yang berhubungan dengan senda gurau. Pada bab kelima merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan yang didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada babbab sebelumnya, dan juga memuat saran-saran yang diperlukan. Bab ini berusaha menjawab pertanyaan yang dibuat pada perumusan masalah sehingga dapat mengetahui jawaban dari masalah tersebut. Selain itu juga, bab ini memberikan saran agar memotivasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembahasan ini.
BAB II AL-GHAZALI DAN IHYÂ` ‘ ULÛM AL-DÎN A. Biografi Nama lengkap beliau adalah Abû Hamîd Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, beliau lahir di Thus pada tahun 405 H. Beliau dijuluki Abû Hamîd karena mempunyai putra bernama Hamîd yang meninggal sewaktu kecil. Hidup dari keluarga yang sederhana, sebelum ayahnya wafat ia berpesan kepada sahabatnya agar mendidik anaknya. Al-Ghazali menuntut ilmu bersama beberapa Imam lainnya di Naisabur, dan sempat menjadi sahabat baik. Mereka adalah al-Kayya al-Haras, Abû alMuzhfar al-Khawwafi serta Abâ al-Ma‟âlî al-Juwainî (dari al-Juwainî juga al-Ghazali memperoleh ilmu ushul fiqh, ilmu mantiq, dan ilmu kalam). Mereka bertiga sempat menjuluki al-Ghazali sebagai “lautan yang tak bertepi” dan beliau juga terkenal dengan sebutan “al-Ghazzala”. Al-Ghazali wafat pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir 505/18 Desember 1111, di makamkan di Taban, Thus dan makamnya banyak sekali orang yang datang untuk menziarahi. Menurut laporan adiknya, al-Ghazali wafat sesudah berwudhu, sholat subuh kemudian minta diambilkan kain kafan lalu ia mengambil dan menciumnya serta menutupkannya kepada kedua matanya seraya berkata, tâ’atan li al-dukhûl ‘alâ al-malak, yang artinya aku rela dan patuh, silahkan masuk wahai malaikat ku. Kemudian beliau menelentangkan kakinya dan menghadap kiblat, sehingga wafat sebelum matahari terbit. Pendidikan dan Karir Intelektual Imam al-Ghazali Pendidikan al-Ghazali di masa anak-anak berlangsung di kampung halamannya. Setelah ayahnya meninggal dunia ia dan saudaranya dididik oleh Ahmad bin Muhammad
12
13
al-Razâkanî al-Tûsî, seorang sufi yang mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuh mereka, dan kepadanyalah pertama kali al-Ghazali mempelajari ilmu Fiqh. Namun, setelah sufi tersebut tidak sanggup lagi mengasuh, mereka dimasukkan kesebuah madrasah di Thus. Setelah mempelajari dasar-dasar Fiqh di kampung halamannya, ia merantau ke Jurjan pada tahun 465 H, sebuah kota di Persia yang terletak antara kota Tabristan dan Naisabur. Di Jurjan ia memperluas wawasannya tentang Fiqh dengan berguru kepada seorang fakih yang bernama Imâm Abû Nasr al-Ismâ‟ilîy. Kemudian al-Ghazali yang sudah berusia 20 tahun berangkat kembali ke Naisabur pada tahun 470 H untuk belajar kepada salah seorang ulama Asy‟ariyah, yaitu Imâm Abû al-Ma‟âlî al-Juwainî yang dijuluki sebagai Imâm al-Haramain dan mengikutinya sampai gurunya tersebut meninggal dunia pada tahun 1016 M/478 H, al-Ghazali belajar kepadanya dalam bidang Fiqh, Manthiq, Filsafat dan Ilmu Kalam. Dengan meninggalnya Imâm al-Haramain, maka al-Ghazali dengan bekal kecakapan dan kecerdasannya menggantikan peran gurunya sebagai pemimpin pada madarasah yang didirikan Imâm al-Haramain di Naisabur. Di samping itu, al-Ghazali juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi, yaitu Imâm Yusuf al-Nasaj dan Imâm Abû „Alî al-Fadl bin Muhammad bin „Alî al-Farmazî al-Tûsî. Ia juga belajar hadis kepada banyak ulama, seperti Abû Sahal Muhammad bin Ahmad al-Haisi al-Marwâzî, Abû alFath Nasr bin „Alî bin Ahmad al-Hâkimî al-Tûsî, Abû Muhammad „Abdullah bin Ahmad al-Khuwarîy. Muhammad bin Yahyâ bin Muhammad al-Sujjâ‟i al-Zawzanî, al-Hâfidz Abû al-Fityân „Umar bin Abî al-Hasan al-Ru‟asi al-Dahistani, dan Nasr bin Ibrâhim alMaqdisî.
14
Setelah al-Juwainî meninggal dunia, al-Ghazali mengunjungi tempat kediaman seorang wazir (mentri) pada masa pemerintahan Sultan „Adûd al-Daulah Al-Arselan (455 H/1063 M-465 H/1072 M) dan Jalâl al-Daulah Mâlik Syah (465 H/1072 M-1092 M) dari dinasti Salajiqah di al-„Askar sebuah kota di Persia. Wazir kagum atas pandanganpandangan al-Ghazali sehingga al-Ghazali diminta untuk mengajar Fiqh al-Syafi‟iyah di perguruannya Nizham al-Mulk di Baghdad, yang lebih dikenal dengan perguruan atau Madrasah Nizhamiyah. Al-Ghazali mengajar di Baghdad pada tahun 484 H/1091 M, pada saat inilah al-Ghazali yang pada waktu itu berusia 34 tahun memeperoleh berbagai gelar dalam dunia Islam dan mencapai puncak karirnya yang ia capai dalam usia yang masih relatif muda. Empat tahun lamanya al-Ghazali mengajar di Baghdad, kemudian ia meninggalkan Baghdad menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya pada tahun 488 H, setelah ia mewakilkan tugas kepada saudaranya dan terus melanjutkan perjalanan ke Damaskus. Di sini ia hidup sebagai seorang zahid yang mendalami suasana batin, meninggalkan kemewahan dan mensucikan diri dari dosa selama kurang dari dua tahun lamanya. Kemudian pada akhir tahun 490 H/1098 M ia pergi ke Herbon dan Bait al-Maqdis, Palestina, dan melanjutkan perjalanan ke Mesir serta hendak ke Maroko dengan maksud untuk bertemu dengan salah seorang Amir dari pemerintahan Murabithun. Namun sebelum keinginannya tercapai, al-Ghazali mendengar kabar meninggalnya Amir tersebut. Lantas ia membatalkan niatnya dan kembali ke Timur menuju tanah suci Mekkah dan Madinah. Selanjutnya ia kembali ke Naisabur dan diangkat oleh Fakhr al-Mulk (putra Nizham al-Mulk) sebagai Perdana Mentri dari Gubernur Khurasan, Sanjar yang merupakan salah seorang putra Malik Syah sebagai
15
Presiden dari perguruan di Naisabur pada tahun 1105 M. Tidak cukup lama di Naisabur, al-Ghazali kembali ke Thus dan mendirikan madrasah yang mempelajari Teologi dan Tasawuf, serta madrasah fiqhi yang khusus mempelajari ilmu hukum. Di sinilah alGhazali menghabiskan sisa hidupnya setelah mengabdikan diri untuk pengetahuan berpuluh tahun lamanya dan sesudah memperoleh kebenaran yang sejati. 1 Karya-karya al-Ghazali Beliau seorang yang sangat produktif menulis. Karya Ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah: a. Pertama, dalam masalah Ushuluddin dan Aqidah: 1) Arba’in fi Usûl al-dîn. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawâhir al-Qur’ân. 2) Qawâ’id al-‘Aqâ`id, yang beliau satukan dengan Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn pada jilid pertama. 3) Al-Iqtisâd fi al-I’tiqâd. 4) Tahâfut al-Falâsifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy‟ariyah. 5) Faysâl al-Tafrîqahbain bain al-Islâm wa Zanâdiqah. b. Kedua, dalam ilmu Ushul, Fiqh, Filsafat, Manthiq, dan Tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak, di antaranya: 1) Al-Mustasyfâ min ‘Ilmi al-Usûl. 2) Mahak al-Nadzar. 3) Mi’yâr al-‘Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang ilmu Manthiq. 4) Ma’ârif al-‘Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdul Karim „Ali „Ustman. 1
Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, (Beirut: Daar al-Fikr, 2002), h.3-5
16
5) Misykât al-Anwâr. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abu al-A‟laAfifi. 6) Al-Maqsad al-Asnâ fî Syarh Asmâ` Allah al-Husnâ. 7) Mizân al-A’mal. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Sulaiman Dunya. 8) Al-Madmûnbihî ‘alâ Ghairi Ahlihî. 9) Al-Ajwibah al-Ghazâliyyah fî al-Masâ’il al-Ukhrawiyyah. 10) Ma’ârij al-Quds fî Madârij al-Ma’rifat ‘an al-Nafs. 11) Qanûn al-Ta’wîl. 12) Fadâ’ih al-Bâtiniyyahdan al-Qistâs al-Mustaqîm. 13) Iljâm al-A’wâm ‘an ‘ilm al-Kalâm. 14) Rawdat al-Tâlibînwa‘Umdat al-Sâlikhîn. 15) Al-Risâlah al-Ladûniyah. 16) Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn. 17) Minhaj al-‘Abidin 2 B. Sekilas mengenai Kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn 1. Isi Kitab Al-Ghazali membagi kitabnya pada empat bagian, yaitu: pertama, Rub’ al‘Ibâdât. Bagian mengenai ibadah ini terdiri dari sepuluh pembahasan, yaitu: Kitab ilmu, Kitab kaidah-kaidah i‟tikad, Kitab rahasia (hikmah) bersuci, Kitab hikmah salat, Kitab hikmah zakat, Kitab hikmah puasa, Kitab hikmah haji, Kitab adab membaca Alquran, Kitab dzikir dan doa, dan Kitab tartib wirid pada masing-masing waktunya.3
2
Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, terj. Ibnu Ibrahim Ba‟adillah, h.11 Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, tahqiq: Badawi Thibanah, Juz I (Semarang: Karya Thaha Putra, tt), 5 3
17
Kedua, rub’ al-‘Âdât. Bagian kedua ini merupakan pembahasan yang terkait dengan pekerjaan sehari-sehari atau adat kebiasaan. Terdapat sepuluh hal adat yang ia bahas pada bagian ini, yaitu: kitab adab makan, kitab adab perkawinan, kitab hukum berusaha, kitab halal dan haram, kitab adab berteman dan bergaul dengan berbagai golongan manusia, kitab „uzlah (pengasingan diri), kitab adab musafir, kitab mendengar dan merasa, kitab amr ma‟ruf nahi munkar, dan kitab adab kehidupan dan akhlak kenabian.4 Ketiga, rub’ al-muhlikât. Bagian ketiga ini merupakan bahasan yang terkait dengan perbuatan-perbuatan yang membinasakan. Ada sepuluh bab yang mengisi bagian ini, yaitu: kitab menguraikan keajaiban hati, kitab latihan diri, kitab bahaya hawa nafsu perut dan kemaluan, kitab bahaya lidah, kitab bahaya marah, dendam, dan dengki, kitab tercelanya dunia, kitab tercelanya harta dan kikir, kitab tercelanya sifat suka kemegahan dan cari muka, kitab tercelanya sifat takabur dan menyombongkan diri, dan kitab tercelanya sifat tertipu dengan kesenangan duniawi.5 Keempat, rub’ al-munjiyât. Ini merupakan seperempat bagian terakhir yang ada dalam kitab Ihya. Isinya terkait dengan perbuatan yang dianggap melepaskan dari perbuatan tercela, atau dengan kata lain budi pekerti yang terpuji. Ada sepuluh bab dalam bagian ini, yaitu: kitab taubat, kitab sabar dan syukur, kitab tajut dan harap, kitab fakir dan zuhud, kitab tauhid dan tawakkal, kitab cinta kasih, rindu, lembut hati, dan rela, kitab niat, benar, dan ikhlas, kitab muraqabah dan menghitung amalah, kitab tafakkur, dan kitab ingat mati.6
4
Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, tahqiq Badawi Tabanah, h.389. Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, tahqiq Badawi Tabanah, h.402. 6 Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, tahqiq Badawi Tabanah, h.535. 5
18
Di Indonesia, kitab Ihyâ` Ulûm al-Dîn ini sudah banyak dikenal oleh masyarakat. Dalam pelacakan penulis, tahun 1963 merupakan tahun pertama kitab ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Hamka memberikan pengantar pada buku tersebut dan ia menyatakan kesenangannya telah ada orang yang mau menerjemahkan kitab ini ke dalam bahasa Indonesia, adapun yang menerjemahkan kitab ini adalah Isma‟il Ya‟kub dan diterbitkan oleh penerbit Imbalo Medan.7 Setelah itu ada beberapa penerbit yang turut serta menerjemahkan kitab ini, di antaranya Penerbit Pustaka Indonesia di Medan dengan jumlah 9 jilid pada tahun 1976, Penerbit Faizan di Jakarta dengan jumlah 4 jilid pada tahun 1984, Penerbit al-Syifa di Semarang pada tahun 1992, dan Penerbit Republika dengan jumlah 9 jilid pada tahun 2011. Menurut Badawi8, kitab ini pada dasarnya terbagi menjadi tiga bahasan pokok, yaitu: al-‘Aqliyah al-Syarî’ah, al-‘Aqliyah al-Falsafiyah, dan al-‘Aqliyah al-Sufiyah. a. Al-‘Aqliyah al-Syarî’ah Pokok bahasan dari al-‘Aqliyah al-Syarî’aholeh al-Ghazali disariakn dari hukum-hukum yang berkaitan dengan persoalan fiqih dan usulnya, yang itu dinukilkan dari sumber hukum Islam terbesar yaitu Alquran dan hadis, serta disarikan dari pendapat para Imam madzhab, ditambahkan pula dari pendapat ahli fikih, ulama syari‟ah, ulama hadis dan ta‟wil. Meski demikian, semuanya itu tidak menyimpang dari sandaran hukum pokok yang utama dalam Islam, yaitu Alquran, Hadis, dan ijma‟ ulama yang diridhai Allah.9
7
Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, terjemahan Isma‟il Ya‟kub (Medan:Penerbit Imbalo, 1964), h.19-22. 8 Ia adalah orang yang mentahqiq kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn 9 Abu Hafsa, Pintu Masuk Buku Ini, dalam Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, (Jakarta:Republika Penerbit, 2011), h. 13
19
b. Al-‘Aqliyah al-Falsafiyah Pokok bahasan dari al-‘Aqliyah al-Falsafiyah oleh Imam al-Ghazali disandarkan pada kemampuan akal manusia untuk memahami, sebagai saran yang telah Allah anugrahkan kepada setiap manusia yang mau menggunakan akal sesuai aturan dan petunjuknya. Sekaligus sebagai pembenar dan saksi atas kebenaran aturan hidup yang disampaikan, yang itu bertujuan untuk memudahkan kita dalam menjalani hidup, serta seluruh aturan yang diperintahkan oleh Allah swt. Di dalamnya penggunaan akal yang dimaksud disini adalah metode berfikir yang dirancang untuk tidak menyimpang dari fithrahnya yang suci, dengan menggunakan logika yang lurus dan cara-cara berfikir yang sahih.10 c. Al-‘Aqliyah al-Shufiyyah Sedangkan pokok bahasan dari al-‘aqliyah al-shufiyyah oleh Imam alGhazali disandarkan untuk lebih mempersiapkan kepentingan urusan akhirat, melalui cara-cara seperti bersikap zuhut terhadap urusan dunia, menucikan diri dari segala bentuk urusan yang meragukan, maupun usaha pembersihan jiwa dari kotoran yang sanggup melingkupinya. Serta di atas semua permasalahan tersebut, tujuan utamanya adalah pembersihan qalbu melalui pendekatan diri secara langsung kepada Allah swt, menggunakan beberapa metode yang sudah ditentukan-Nya.11
10 11
Abu Hasfa, Pintu Masuk Buku Ini dalam Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, h. 14 Abu Hasfa, Pintu Masuk Buku Ini dalam Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, h. 14
20
2. Pandangan Ulama atas Kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn Terdapat satu buku yang berupa mengumpulkan pandangan-pandangan kurang baik atas kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn. Buku ini disusun oleh Ali Hasan Ali Abdul Hamid dengan judul terjemahannya Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn dalam pandangan Ulama. Ia meneyebutkan beberapa pandangan ulama yang menyatakan adanya kekurangan dalam kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn. Di bawah ini, penulis kutip dua diantaranya: 1) Ibn al-Jauzi bahwa “kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn di dalamnya terdapat banyak kerusakan (penyimpangan) yang tidak diketahui kecuali oleh para ulama. Penyimpangannya yang paling ringan (dibandingkan dengan penyimpanganpenyimpangan besar lainnya) adalah hadis-hadis palsu dan batil (yang termaktub di dalamnya), juga hadis-hadis mauqûf (ucapan sahabat atau tabi‟in) yang dijadikan sebagai hadis marfû’ (ucapan Rasulullah shallallah „alaihi wa sallam). Semua itu dinukil oleh penulisnya dari referensinya, meskipun bukan dia yang memalsukannya. Serta (sama sekali) tidak dibenarkan mendekatkan diri (kepada Allah swt) dengan hadis palsu, dan tidak boleh tertipu dengan ucapan yang didustakan (atas nama Rasulullah shallallah „alaihi wa sallam).”12 2) Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah: “Dalam kitab ini terdapat hadis-hadis dan riwayatriwayat yang lemah bahkan banyak hadis yang palsu. Juga banyak kebatilan dan kebohongan orang-orang ahli Tasawuf.”13 Dalam tulisannya, ia menyatakan: “Kitab ini berisi pembahasan-pembahasan yang tercela, (yaitu) pembahasan yang rusak (menyimpang dari Islam) dari para ahli filsafat yang berkaitan dengan
12
Ibn al-Jauzi, Minhajul Qashidin, sebagaimana dikutip oleh: Ali Hasan Ali Abdul Hamid, Ihya Ulumuddin Pandangan Ulama, terj. Yoga (Jakarta: Darul Qolam, tt), h. 14-17 13 Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa, Juz X, h. 552, sebagaimana dikutip oleh: Ali Hasan Ali Abdul Hamid, Ihya Ulumuddin Pandangan Ulama, terj. Yoga (Jakarta: Darul Qolam, tt), h. 19
21
tauhid (Pengesaan Allah swt), kenabian dan hari kebangkitan. Maka, ketika penulisnya menyebutkan pemahaman orang-orang ahli Tasawuf (yang sesat) keadaanya seperti seseorang yang mengundang seseorang musuh bagi kaum muslimin tetapi (disamarkan dengan) memakaikan padanya pakaian kaum muslimin (untuk merusak agama mereka secara terselubung). Sungguh para Imam (ulama besar) Islam telah mengingkari (kesesatan dan penyimpangan) yang ditulis oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya.”14 Sebenarnya orang yang menyebutkan sisi baik dari kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, juga tidak sedikit. Buya Hamka, saat memberikan kata pengantar pada terjemahan kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn cetakan pertama berbahasa Indonesia, menyebutkan begitu besar pengaruh kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn pada masyarakat Muslim dan Ulama di Indonesia. Contohnya, penyebaran Islam di Kerajaan Pasai dipengaruhi juga oleh karya al-Ghazali ini. Untuk contoh lainnya karya Seykh „Abd al-Shamad al-Falimbani, Sa’ir al-Salikin, banyak dipengaruhi kitab Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn. Buya Hamka menambahkan, bahwa buku Tasawuf Modern miliknya, “amat banyak mengambil buah renungan al-Ghazali ini”.15 Bila kitab ini memiliki kekeliruan besar tenyata tidak akan banyak orang yang akan terpengaruhi olehnya. Namun apabila kitab ini sedikit kekeliruan, hal itu penulis pandang sebagai suatu normal dalam sebuah karya.
14
Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa, Juz X, h. 552, sebagaimana dikutip oleh: Ali Hasan Ali Abdul Hamid, Ihya Ulumuddin Pandangan Ulama, terj. Yoga, h. 20 15 Hamka, “Sambutan Terjemahan IHYA‟ ULUMUDDIN” dalam Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, terj. Tk. Ismail Yakub, Juz I (Medan: Penerbit Imbalo, 1964), h. 17-18
BAB III LISAN DAN SENDA GURAU A. Pengertian Lisan dan Senda Gurau Menurut Bahasa ٌ لِسَانberasal dari akar kata yang terdiri atas tiga huruf; lam-sinnun yang dihubungkan menjadi َ لَسَنdan mempunyai makna dasar yaitu panjang yang agak lembut. Dalam lisân al-„arab, kata ٌ لِسَانdiartikan
jârihat al-kalâm, yaitu
anggota badan yang bisa mengeluarkan perkataan. Sedangkan bentuk jamak dari lisan ْسن ُ ْ“ اَلalsun” dan
adalah
ْ“ اَلْسِنَهalsinah”. Samin Halabi, penulis buku kosakata
Alquran, „Umdat al-Huffâdz fî Tafsîr Asyrâf al-Alfâdz, membedakan dua bentuk jamak tersebut. Jika kata lisan diposisikan sebagai mudzakar maka bentuk jamaknya adalah ْ اَ ْلسِنَه, tetapi jika lisan diposisikan sebagai muannats maka bentuk jamaknya adalah ْ اَ ْلسُن. Para ahli bahasa memaknai lisan sebagai salah satu organ tubuh yang terdapat di bagian mulut yang menghasilkan kekuatan berbicara yang dapat dimengerti oleh sesama manusia atau disebut juga bi tahrîk al-fasâhah, yaitu ketajaman lisan oleh pengguna bahasa Arab disebut ْ“ اَلَلسَنal-lasan”. 1 Lisan Menurut Istilah adalah sekumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut yang dapat membantu pencernaan makanan dengan mengunyah dan menelan. Lisan berada di dalam mulut manusia, dan bertetangga dengan gigi dan gusi. Lisan
1
Ibnu Mandzûr, Lisân al-„Arabi,juz 12 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-„Arabi), h. 275-276. Lihat juga: Sihabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia al-Qur‟an; kajian kosa kata, vol II (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. 1, h. 520.
23
24
hanyalah segumpal otot lentur yang melintang dan panjang sehingga dapat digerakkan atau dijulurkan. Normalnya, lisan memiliki ukuran 5-6 cm. Lisan juga dikenal sebagai indera pengecap yang banyak memiliki struktur tunas pengecap.2 Lisan juga turut membantu dalam tindakan bicara.3 Pengertian Senda Gurau menurut bahasa ialah: Mazaha, yang berasal dari kata 4
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti senda
gurau adalah main-main (canda) dengan kata-kata seperti olok-olok; kelakar; seloroh.5 Bersenda gurau merupakan salah satu cara yang di syari‟atkan dan sifat agar kita disukai banyak orang. Juga merupakan salah satu perantara yang utama untuk dapat dicintai orang lain dan cara yang mudah untuk memperoleh simpati hati mereka. Rasulullah mencontohkan bersenda gurau dengan para sahabatnya, menanamkan kegembiraan dan keceriaan di hati mereka.6 Terdapat unsur humor dalam senda gurau, karena biasanya senda gurau menghasilkan sebuah tawa. Istilah humor sendiri merupakan kata- kata yang memiliki 2
Tunas pengecap adalah bagian pengecap yang ada di pinggir papilla, terdiri dari dua sel yaitu sel penyokong dan sel pengecap. Sel pengecap berfungsi sebagai reseptor. Sedangkan sel penyokong berfungsi untuk menopang. Terdapat lebih dari 10.000 tunas pengecap pada lidah manusiausianya hanya seminggu. Tunas itu akan mati dan segera digantikan oleh sel-sel yang baru. Sel-sel reseptor terdapat pada tonjolan-tonjolan kecil pada permukaan lidah (papila). Sel-sel inilah yang bias membedakan rasa manis, asam, pahit, dan asin. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah. 3 http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah. Diakses pada tanggal 8 Juni 2014. 4 Ibnu Mandzûr, Lisân al-„Arabi, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-„Arabi), h. 92 5 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.812 6 Muhammad bin Ismail al-„Umrani, Ta‟aruf Cinta, h. 76
25
banyak makna. Pada Abad Pertengahan, humor menunjuk kepada suatu energi yang berpikir untuk berhubungan dengan suatu keadaan emosional. Energi ini telah dipercaya untuk menentukan kesehatan dan karakter. Menurut Freud, tujuan dari lelucon atau humor adalah untuk memberikan kesenangan, memunculkan hal yang sebelumnya tersembunyi atau tidak diakui. Sedang Dalam literatur Islam masa lalu, cukup banyak tokoh-tokoh muslim yang telah menghasilkan karya-karya humor. Namun humor dan canda mereka selalu mengandung unsur akidah, muamalah dan akhlak. Di antaranya Nasruddin Hoja, Hani al Arabiy. Para tokoh humor ini, digambarkan sebagai manusia-manusia unik. Dari ucapan dan perbuatan mereka, semuanya mengandung pengajaran dan dakwah. Jadi, di dalam Islam sama sekali tidak ada larangan humor dan cara bersenda gurau. Tentu saja selama masih berada dalam koridor yang benar. Kita tidak diperbolehkan bersenda gurau yang berlebihan hingga akhirnya jatuh pada ghibah atau olok-olok.7 B. Etika Senda Gurau Yusuf Qardhawi telah mengariskan lima etika dalam bersenda gurau : 1) Tidak menggunakan perkara yang bohong sebagai alat untuk manusia tertawa. Nabi SAW bersabda,
Artinya: Celaka orang yang bercakap kemudian berbohong supaya manusia ketawa. Celakalah dia dan celakalah dia!!! 7
http://wiki.blogspot.com/senda-gurau-dalam-islam di akses pada tanggal 20 Agustus 2014
26
2) Gurauan tidak mengandung penghinaan terhadap orang lain melainkan diizinkan oleh orang tersebut. Allah telah berfiman dalam surat al-Hujurat, ayat 11, "Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah satu kaum itu menghina kaum yang lain, kemungkinan orang yang dihina lebih baik daripada orang yang menghina. Janganlah wanita menghina wanita lain, kemungkinan wanita yang dihina lebih baik daripada wanita yang menghina.."
Nabi juga ada bersabda,
Cukuplah seorang itu melakukan kejahatan apabila dia menghina saudaranya semuslim. Penghinaan itu juga termasuk cara seseorang itu meniru perbuatan orang lain. (sabah : mengolok-ngolok). Saidatina Aisyah RA berkata, "Aku telah meniru perbuatan seorang manusia." Lalu, Baginda bersabda,
Aku tidak suka meniru perbuatan orang lain.
8
Muslim ibn Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Daar al-
Fikr). 9
Ahmad bin Hanbal, Musnad li al-imam Ahmad ibn Hanbal, (Beirut: Dar al-Fikri, 1991(.
27
3) Bergurau yang tidak menakutkan orang lain. Nukman bin Basyir RA berkata, "Sesungguhnya, kami bersama Rasulullah SAW dalam satu perjalanan. Seorang lelaki mengantuk di atas tunggangannya. Seorang lelaki yang lain mengambil anak panah dari busurnya, dan mengejutkan lelaki yang mengantuk itu, menyebabkan dia terperanjat." Rasulullah SAW bersabda,
Tidak boleh bagi seorang muslim untuk menakutkan sesama saudara muslim. Nabi juga bersabda,
“Janganlah kamu mengambil barang kepunyaan saudara seIslamnya dengan niat bergurau atau betul-betul.” 4) Janganlah bergurau di tempat yang serius dan janganlah serius di tempat yang bergurau. Dalam Islam, ada tiga perkara yang dianggap diambil hukumnya walaupun dalam keadaan bergurau. Nabi SAW bersabda,
“Tiga perkara yang mana diambil hukumnya sama dalam keadaan bergurau atau serius yaitu nikah, cerai dan membebaskan hamba.”
10
Sulaiman bin al-„Asy‟asy Abu Dawud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar
11
Sulaiman bin al-„Asy‟asy Abu Dawud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar
12
Abî Hisyâm Muhammad bin „Isâ bin Tsaurah, Sunan Tirmîdzî, (Beirut:Dâr al-Ma‟rifah,
al-Fikr). al-Fikr). 2002).
28
Sesungguhnya, Allah telah mencela orang-orang musyrikin yang ketawa ketika mendengar bacaan al-Quran. Firman Allah SWT dalam surah an-Najm, ayat 59-61,
"Adakah kamu hai musyrikin rasa hairan dengan ayat-ayat suci al-Quran? Kamu ketawa ketika mendengarnya, tidak menangis ketika mendengranya dan kamu dengar dengan keadaan lalai." 5) Hendaklah bergurau sekedar yang perlu dan tidak berlebihan. Nabi SAW bersabda,
"Janganlah kamu banyak ketawa. Sesungguhnya banyak ketawa boleh mematikan hati.". Saidina Ali RA juga pernah berkata, "Masukkan gurauan dalam kata-kata sekedar kamu memasukkan garam dalam makanan kamu." 14 Adapun adab Bersenda Gurau sebagai berikut:
a)
Bercanda adalah perkataan yang dimaksudkan untuk melapangkan dada, dan tidak sampai menyakiti, bila menyakiti maka berubah menjadi mengejek.
b)
Bercanda juga dianjurkan di antara saudara dan sahabat sebab hal itu dapat membuat hati menjadi tenang.
13
Abî Hisyâm Muhammad bin „Isâ bin Tsaurah, Sunan Tirmîdzî, (Beirut:Dâr al-Ma‟rifah,
2002). 14
Yusuf Qardhawi, Fiqih Al-lahwi At-Tarawih, Terj. Dimas Hamsyah, Fiqih Hiburan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005).
29
c)
Saat bercanda jangan sampai menuduh, menceritakan aib orang, tenggelam dalam canda yang dapat menurunkan harga diri, mengurangi kewibawaan pribadi, perkataan kotor yang dapat menimbulkan permusuhan, tidak memunculkan
keributan
dan
tindakan
bodoh,
tidak
memunculkan
pengkhianatan dan tidak pula bermuatan kebohongan. d)
Di antara canda para shahabat radhiallahu anhum adalah saling melempar semangka, sementara dalam pentas realita mereka adalah para pejuang.
e)
Di antara bercanda dan bermain yang tidak diperbolehkan sebagaimana diterangkan dalam hadits riwayatkan Abdullah bin As-Saib dari Ayahnya dan dari kakeknya ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:
15
"Janganlah seseorang diantara kalian mengambil harta saudaranya dengan main-main atau sengaja, Jika di antara kalian mengambil tongkat saudaranya maka hendaklah dia mengembalikannya". f)
Tidak memperbanyak bersendra gurau, jika hal tersebut melewati batas sehingga terbentuk menjadi tabi‟at pribadi, akhirnya menjatuhkan harga dirimu dan para penganggur mempermainkanmu.
15
al-Fikr).
Sulaiman bin al-„Asy‟asy Abu Dawud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar
30
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh orang yang bersenda gurau:
a)
Hendaknya senda gurau dilakukan pada waktunya yang sesuai
b)
Tidak tenggelam dan terlewat batas
c)
Tidak berbicara dengan perkataan yang buruk.
d)
Tidak bersenda gurau dengan memperolok-olok agama.
e)
Tidak bersenda gurau dengan orang-orang yang bodoh.
f)
Hendaknya menjaga perasaaan orang lain.
g)
Bersanda gurau dengan orang yang lebih tua dan alim dengan sesuatu yang pantas.
h)
Tidak terbuai sampai tertawa terbahak-bahak.
i)
Tidak memudharatkan diri sendiri
C. Pendapat Ulama tentang Senda Gurau Nabi saw sedikit sekali bersenda gurau. Sekalipun bersenda gurau, beliau hanya mengatakan perkataan yang benar. Umar bin Abdul Aziz ra berkata: “Berhatihatilah kalian terhadap senda gurau karena hal itu berbuntut pada dendam dan menimbulkan keburukan.” Dikatakan pula, “Setiap sesuatu itu mempunyai benih, dan benih dari permusuhan adalah senda gurau.”
31
Naisaburi berkata: “Senda gurau itu memancing untuk saling mencela, sesungguhnya senda gurau itu awalnya manis tetapi berakhir dengan permusuhan.”16 Hassan Al-Banna telah menyusun dan merintis semula mengenai isu ini dengan meletakkan suatu pesanan yang sangat berguna kepada para da‟i dan setiap Muslim yang beriltizam dengan agama Islam ini. Beliau tidak meletakkan hukum 'haram' dalam gurauan dan ketawa. Namun, beliau seperti Baginda SAW dan Saidina Ali RA, telah menyeru dan memperbaharui seruan melalui wasiatnya supaya umat Islam ini kurangkan bergurau dan lebihkan amalan dan tindakan. Hal ini disebabkan, dengan banyak ketawa atau gurauan, dapat menyebabkan hati dan fikiran 'mati' daripada memikirkan nasib dan permasalahan ummah yang menderita akibat terusterusan dijajah.
16
Ali al-Dihami, Menjaga Hati, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 97
BAB IV STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS SENDA GURAU A. Pengertian dan Fungsi Hadis Menurut bahasa kata hadits memiliki arti:
(sesuatu yang
baru), lawan dari qadîm. Bisa juga diartikan dengan Qarîb (yang dekat), selain itu juga bisa diartikan dengan khabar yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Hadis merupakan sumber Islam kedua setelah Alquran. Dimana ia adalah sinonim dari kata sunnah yaitu yang diartikan sebagai segala sesuatu yang diambil dari Rasulullah saw, baik berupa perkataan, perbuatan, dan penetapan.1 Keberadaannya bisa dijadikan sebagai penguat dari Alquran, penjelas dari sesuatu yang masih global yang terdapat dalam Alquran, menerangkan yang sulit, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum, dan menguraikan ayat-ayat yang ringkas, bahkan kadangkala menetapkan suatu hukum yang tidak terdapat dalam Alquran.2 Dalam referensi lain juga disebutkan bahwa kedudukan hadis adalah sebagai penjelas, baik berbentuk sabda, perbuatan, maupun penetapan pada hal-hal yang yang masih global dan sebagainya dalam
1
Fathur Rahman, Ikhtisar Mustalah Hadis, ( Bandung:PT Ma‟arif, 1974), h.24 Ending Syaifuddin Ansyari, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pemikiran Islam dan Umatnya, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1993), h.35 2
32
33
Alquran.3 Dengan demikian, hadis merupakan tuntunan praktis terhadap Alquran.4 B. Kegiatan Takhrij Hadis Ada 20 hadis yang menjelaskan tentang senda gurau dalam bab bahaya lisan yang terdapat dalam kitab Ihyâ` „Ulûm al-Dîn, adapun redaksi semua hadis adalah sebagai berikut: No
Teks Hadis
1.
2. 3.
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
3
M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj.‟Ali Mustafa Ya‟qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h.27 4 M.‟Ajâj al-Khâtib, Ushûl al-Hadîts, terj. M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq (Jakarta:Gaya Media Pertama, 2001), h.35
34
12. 13. 14. 15. 16. 17.
18. 19. 20.
Dan berikut adalah redaksi hadis yang dipilih untuk diteliti berdasarkan tema senda gurau: .ٔ .ٕ .ٖ .ٗ
35
1. Pengertian Takhrij Menurut bahasa takhrij berasal dari kata kharraja ( )خَرّجyang berarti mengeluarkan.5 Dalam kamus al-Munawwir lafazََخ رّج:ََإِخْت رج:َََإِسْ تخْرج bermakna ( ضِ ذَُّادْخ َلlawannya memasukkan). Kata at-takhrij sering dimutlakkan pada beberapa macam pengertian; dan pengertian-pengertian yang popular untuk kata at-takhrij itu ialah: (1) al-istinbât (hal mengeluarkan); (2) al-tadrîb (hal melatih atau hal pembiasaan); (3) al-taujîh (hal memperhadapkan).6 Adapun menurut istilah takhrij adalah:
“Menunjukan posisi hadis dalam sumber-sumber asli yang yang dikeluarkan dengan sanadnya, kemudian menjelaskan kedudukan ketika dibutuhkan.” Sedangkan dalam bukunya, M. Syuhudi Ismail menjelaskan pengertian takhrijul-hadis yang digunakan untuk maksud kegiatan penelitian hadis ialah “Penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan”.8
5
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h.155 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), h. 39. Lihat juga Mahmud at-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, (Riyad: Maktabah alMa‟arif, 1991), h.8 7 Mahmud at-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, h.10 8 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 41 6
36
2. Sebab-sebab Perlunya Kegiatan Takhrij Hadis Bagi seorang peneliti hadis, kegiatan takhrijul-hadis sangat penting. Tanpa dilakukan kegiatan takhrij hadis terlebih dahulu, maka akan sulit diketahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti, berbagai riwayat yang telah meriwayatkan hadis itu, dan ada atau tidak adanya syahid atau muttabi‟ dalam sanad bagi hadis yang ditelitinya. Dengan demikian, ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrij hadis dan melaksanakan penelitian hadis. Berikut ini dikemukakan tiga hal tersebut: a)
Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Suatu hadis akan sangat sulit diteliti status dan kualitasnya bila terlebih dahulu tidak diketahui asal-usulnya. Tanpa diketahui asal-usulnya, maka sanad dan matan hadis yang bersangkutan sulit diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya. Tanpa diketahui susunan sanad dan matan secara benar, maka hadis yang bersangkutan akan sulit diteliti secara cermat. Untuk mengetahui bagaimana asalusul hadis yang akan diteliti itu, maka kegiatan takhrij perlu dilakukan terlebih dahulu.
b)
Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan diteliti. Hadis yang akan diteliti mungkin memiliki lebih dari satu sanad. Mungkin saja, salah satu dari sanad itu berkualitas daif, sedang yang lainnya berkualitas sahih. Untuk dapat menentukan sanad yang berkualitas daif dan yang berkualitas sahih, maka terlebih dahulu harus diketahui
seluruh
riwayat
hadis
yang
bersangkutan.
Dalam
37
hubungannya untuk mengetahui seluruh riwayat hadis yang sedang akan diteliti, maka kegiatan takhrij sangat diperlukan. c)
Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid dan muttabi‟ pada sanad yang diteliti. Ketika hadis diteliti salah satu sanad-nya, mungkin ada periwayat lain yang sanad-nya mendukung pada sanad yang sedang diteliti. Dukungan itu bila terletak pada bagian periwayat tingkat pertama, yakni tingkat sahabat nabi, disebut sebagai syahid, sedang bila terdapat di bagian bukan periwayat tingkat sahabat disebut sebagai muttabi‟. Dalam penelitian sebuah sanad, syahid yang didukung oleh sanad yang kuat dapat memperkuat sanad yang sedang diteliti. Begitu pula mutabi‟ yang memiliki sanad yang kuat, maka sanad yang sedang diteliti mungkin dapat ditingkatkan kekuatannya oleh muttabi‟ tersebut. Untuk mengetahui apakah suatu sanad memiliki syahid atau muttabi‟, maka seluruh sanad hadis itu harus dikemukakan. Itu berarti takhrijul-hadis harus dilakukan terlebih dahulu. Tanpa kegiatan takhrij hadis, tidak dapat diketahui secara pasti seluruh sanad untuk hadis yang sedang diteliti.9 Dalam menelusuri hadis sampai pada sumber asalnya tidak semudah
menelusuri ayat Alquran. Untuk menelusuri ayat Alquran, cukup diperlukan sebuah kitab kamus Alquran, misalnya kitab al-Mu‟jam al-Mafahras li Alfâdz al-Qur‟ân al-Karîm susunan Muhammad Fuad „Abdul Baqi, dan sebuah 9
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 41-43
38
rujukan berupa mushaf Alquran. Akan tetapi untuk menelusuri sebuah hadis, tidak cukup hanya menggunakan sebuah kamus atau sebuah kitab hadis yang disusun oleh mukharijnya. Karena hadis terhimpun di dalam banyak kitab sehingga diperlukan kitab-kitab kamus hadis untuk memudahkan kegiatan takhrij hadis dan memahami cara penggunanya. Untuk mengetahui kejelasan hadis beserta sumber-sumbernya seorang peneliti haruslah mengetahui metode-metode dalam mentakhrij hadis.10 Metode-metode tersebut adalah: 1. Men-takhrij hadis melalui periwayatan pertama. Kitab yang digunakan diantaranya adalah kitab-kitab athraf dan kitab-kitab musnad. 2. Men-takhrij melalui lafal pertama hadis (awal matan). Kitab yang digunakan dalam metode ini adalah al-Jâmi‟ al-Saghîr min ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr, al-Fathu al-Kabîr fî Dammi al-Ziyâdah ila al-Jâmi‟ al-Saghîr dan kitab Mausû‟ah al-Atrâf al-Hadîts al-Nabawî al-Syarîf. 3. Men-takhrij hadis melalui lafal yang terdapat dalam matan hadis. Kitab yang digunakan dalam metode ini adalah alMu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Hadîts al-Nabawî. 4. Men-takhrij hadis melalui tema hadis. Kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab Kanz al-„Ummâl, kitab Muntakab Kanz al-„Ummâl.
10
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 43
39
5. Men-takhrij hadis melalui klasifikasi jenis hadis. Kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab al-Azhar alMutanatsiruh, kitab al-Ittihâfât al-Saniyyah, kitab al-Hadîts alQudsiyyah, kitab al-Marâsil, kitab Tanzîh al-Syarî‟ah alMarfû‟ah, dan kitab al-Masnû‟. Dari kelima metode tersebut di atas tidak mengharuskan seorang peneliti menggunakan semua metode. Terkadang ditemukan hanya tiga atau dua metode saja, jika yang digunakan itu sudah dapat memenuhi usaha penelusuran hadis.11 C. Kegiatan Penelitian dan I’tibar Sanad a. Pengertian I‟tibar dan Sanad Kata i‟tibar (ُ )اإلِعْتِبَارmerupakan masdar dari kata َ )إعتب ر. Menurut bahasa, arti al-i‟tibar adalah “Peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatu yang jelas.” Menurut istilah ilmu hadis, al-I‟tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis yang dimaksud.12
11
Abu Muhammad Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, (terj) Said Agil Husain alMunawar & H.A. Rifki Mukhtar, Metodelogi Takhrij hadis, (Semarang: Toha Putra Group, 1994), h.78 12 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.49
40
Dengan dilakukannya al-i‟tibar, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masingmasing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan al-i‟tibar adalah untuk mengetahui keadan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus muttabi‟ atau syahid. Yang disebut muttabi‟ (biasa juga disebut tabi‟ dengan jama‟ tawabi‟) ialah periwayat yang berstatus pendukung para periwayat yang bukan sahabat Nabi. Pengertian syahid (dalam istilah ilmu hadis biasa diberi kata jamak dengan syawahid) ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi. Melalui al-i‟tibar akan dapat diketahui apakah sanad hadis yang diteliti memiliki muttabi‟ dan syahid ataukah tidak.13 Sanad berarti tarîq, yaitu jalan. Sedangkan menurut istilah adalah jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis. Dalam referensi lain, sanad menurut bahasa ialah sandaran, tempat bersandar, atau dapat juga berarti yang dapat dipegang atau dipercaya.14 Setelah melalui kegiatan takhrȋ j hadis, kemudian dilanjutkan dengan kritik sanad hadis. Dalam kritik sanad hadis ini menyajikan biografi tiap sanad yang menjadi jalur hadis tersebut yang sampai kepada matan hadis, kemudian menyajikan guru-guru dan murid-murid beliau sehingga sanad dapat dipastikan
13
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h.50 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), cet ke-4, h. 168 14
41
bersambung (ittisâl), dan selanjutnya menyajikan tentang komentar ulama terhadapnya sehingga bisa diketahui melalui kitab rijal hadis apakah sanad tersebut termasuk yang positif (ta‟dîl) atau yang negatif (tajrîh). Kriteria kesahihan sanad hadis terdapat beberapa syarat yaitu: bersambungnya sanad, diriwayatkan oleh perawi yang ḏâbiṯ, tidak ada kejanggalan (Syâdz) maupun cacat („illat).15 Kritik sanad hadis ini merupakan cara untuk mengetahui kualitas perawi yang menjadi rentetan sanad hadis, melalui kitab-kitab rijal hadis seperti Tahdzȋb al-Tahdzîb, Tahdzîb al-Kamâl, dan lain sebagainya. D. Kegiatan Penelitian Matan Untuk mengetahui status kehujjahan hadis, penelitian sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama penting. Karena dalam suatu hadis barulah dinyatakan sahih apabila sanad dan matan hadis itu sama-sama berkualitas sahih. Adapun yang menjadi unsur-unsur acuan utama yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas shahih adalah terhindar dari Syudzudz (kejanggalan) dan „Illat (kecacatan). Namun terdapat juga beberapa kriteria kesahihan matan hadis,16 yaitu: tidak bertentangan dengan akal, tidak bertentangan dengan Alquran, tidak bertentangan dengan hadis yang mutawattir, tidak bertentangan
15
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2009), h.20. 16 Dr.Bustamin M.SI, Metode Kritik Hadis, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010
42
dengan hadis ahad yang kualitasnya sahih, tidak bertentangan dengan kesepakatan ulama terdahulu. Dalam kegiatan penelitian matan ini, ada tiga langkah yaitu sebagai berikut: I.
Meneliti matan dengan melihat kualitas hadis Dilihat dari segi obyek penelitian, matan dan sanad hadis memiliki
kedudukan yang sama, yakni sama-sama penting untuk diteliti dalam hubungannya dengan status kehujjahan hadis. Suatu matan hadis tidak dianggap sahih apabila sanadnya diragukan. II.
Meneliti susunan lafadz yang semakna Perbedaan dalam redaksi (matan) dengan matan hadis yang sejalur
dengannya karena periwayatan secara makna menurut ulama hadis dapat ditoleransi sepanjang tidak menyalahi kandungan makna hadis dari Rasulullah saw. baik itu pergantian lafal, perbedaan struktur, maupun pengungkapannya sempurna atau tidak, semuanya masih dapat diterima sebagai sabda yang berasal dari Rasulullah saw. III.
Meneliti kandungan matan hadis Adapun yang dianggap penting diperhatikan terhadap kandungan
matan
hadis
yang
sejalan
atau
tidak
bertentangan
dan
yang
dipertentangkan.17
17
Dr.Bustamin M.SI, Metode Kritik Hadis, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010
43
E. Kritik Hadis tentang Senda Gurau Hadis Pertama a. Teks Hadis
Langkah awal dalam melakukan kritik hadis adalah takhrij hadis, dalam kegiatan takhrij ini penulis menelusuri melalui penggalan lafaz matan hadis dengan menggunakan kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Hadîts al-Nabawî yaitu dengan lafaz
kemudian ditemukanlah sebagai berikut:
َ ٔ٨٘٨ََبر,ت
Penulis juga menelusuri kata dari lafaz
kemudian ditemukan sebagai berikut:
ٔ9
Penulis juga menelusuri kata dari lafaz
dan ditemukan sebagai berikut:
ٕٓ
18
٘٨ََبر,ت
٘٨ََبر,ت
A.J Weinsinck, Corcondance et Indices de la Tradition Musumane, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu‟ad „Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz alHadîts al-Nabawî, jilid 3. (Brill:Leiden, 1955), h.237 19 A.J Weinsinck, Corcondance et Indices de la Tradition Musumane, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu‟ad „Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz alHadîts al-Nabawî, h. 256
44
Berdasarkan hasil penelusuran di atas bahwa matan hadis tersebut terdapat pada: Tirmidzi, Kitab al-Birr, bab 58 Dengan demikian matan hadis ini hanya terdapat dari jalur Tirmidzi saja. Adapun dalam kitab Mausû‟ah li Atrâf al-Hadîts ditemukanlah sebagai berikut: َ ٕ:ََٕٔٓٗ–َاركارََٕٓٔ–َخفاء٨ََٗٗمشكاف-ٔ١ََ–َاتحاف9ٙ٘,ت Berikut hadis yang mukharijnya al-Tirmîdzî
Telah menceritakan kepada kami Ziyad bin Ayyub Al Baghdadi, telah menceritakan kepada kami Al Muharibi dari Al Laits ia adalah Ibnu Abu Sulaim, dari Abdul Malik dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Janganlah engkau debat saudaramu, janganlah engkau permainkan dia, dan janganlah engkau membuat janji dengannya lalu engkau mengingkarinya." Berkata Abu Isa: Ini merupakan hadits hasan gharib, tidak kami ketahui kecuali melalui jalur ini, dan menurutku Abdul Malik bin Marwan ialah Ibnu Bisyr.
Setelah dilakukan takhrij dan mengetahui hasilnya, penulis akan menampilkan skema sanad di halaman berikutnya agar dapat memahami urutan sanad dalam hadis ini.
20
A.J Weinsinck, Corcondance et Indices de la Tradition Musumane, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu‟ad „Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz alHadîts al-Nabawî, h. 56 21 Abî Hisyâm Muhammad bin „Isâ bin Tsaurah, Sunan Tirmîdzî, Beirut:Dâr al-Ma‟rifah, 2002.
45
b. Kritik Sanad 1. Al-Tirmîdzî (w.279 H) Nama lengkapnya adalah Imam al-Hâfidz Abû „Isa Muhammad bin „Isa bin Saurah bin Mûsa bin al-Dahhâk Al-Sulami al-Tirmîdzî, salah seorang ahli hadis kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyur lahir pada 279 H di kota Tirmiz. Guru-gurunya: ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam al-Bukhâri, kepadanya ia mempelajari hadis dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abû Dâwud. Bahkan al-Tirmîdzî belajar pula hadis dari sebagian guru mereka. Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia‟id, Ishâq bin Mûsâ, Mahmûd bin Ghailân. Sa‟îd bin „Abdur Rahmân, Muhammad bin Basysyâr, „Alî bin Hajar, Ahmad bin Munî‟, Muhammad bin alMusanna dan lain-lain. Murid-murid beliau di antaranya ialah Makhûl ibn al-Fadl, Muhammad bin Mahmûd „Anbar, Hammâd bin Syâkir, „Abd bin Muhammad al-Nasfî, al-Haisam bin Kulaib al-Syasyi, Ahmad bin Yûsuf al-Nasafi, Abû al-„Abbâs Muhammad bin Mahbûd al-Mahbûbî, yang meriwayatkan kitab Al-Jâmi‟ dari padanya, dan lainlain. Kekuatan hafalan Abû „Isa al-Tirmîdzî diakui oleh para ulama, keahliannya dalam menghafal hadis. 2. Ziyâd bin Ayyûb (w.252 H) Nama lengkapnya adalah: Ziyâd bin Ayyûb bin Ziyâd al-Baghdâdî Abû Hâsyim al-Ma‟rûf Badaluwiyah, beliau berasal dan asli dari Thus.
46
Guru-gurunya: Ibrâhîm bin Abî al-„Abbâs, Ahmad bin Abî al-Hawariy, Adam bin Ayyûb, Asbath bin Muhammad al-Qurasyiy, Ismâ‟il bin Ulaiyah, Ziyâd bin „Abdullah al-Bakka‟i, Sa‟îd bin Zakariyâ al-Madaaniy, Sa‟îd bin „Amir alDhuba‟i, Sa‟îd bin Muhammad al-Warrâq, dan Abî Sufyân Sa‟îd bin Yahyâ alHimyari. Murid-muridnya: al-Bukhâri, Abû Dâwud, al-Tirmîdzî, al-Nasâ‟i, Ibrâhim bin „Abdullah bin Junaidi al-Khuttuliy, Ibrâhim bin Muhammad bin „Abbâd, Ahmad bin Husain bin Muhammad bin Ahmad Junaidi al-Daqaqi dan Ahmad bin Ali al„Alai al-Juzijani. Pendapat tentang Ziyâd bin Ayyûb: Abû Hâtim
:
Sadûq
Al-Nasa‟i
:
Laisa bihî Ba‟sa
Ibnu Hibbân menyebutnya dalam kitab al-Tsiqât‟.22 3. Al-Muhâribi (w.195 H) Nama lengkapnya adalah: Abdurrahman bin Muhammad bin Ziyâd alMuhâribi, Abû Muhammad al-Kûfî. Guru-gurunya: Ibrâhim bin Muslim al-Hajari, Ismâ‟il bin Abi Khalid, Ismâ‟il bin Rafi‟ al-Madani, Asy‟ats bin Tsawar, Bakr bin Khunais, Hajjâj bin Artah, Sulaimân al-A‟masy, Salâm al-Tawîl, Salih bin Salih bin Hayy, „Abdullah bin Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizyi, Tahdzîb al-Kamâl fȋ Asmâ` al-Rijâl, Beirut: Mu`assasah Risalah, 1992, h.432-436 22
47
Sa‟îd bin Abî Sa‟îd al-Maqbûri, „Abdurraman bin Ziyâd bin An‟um al-Ifriqi, „Abdussalam bin Harb, Fudail bin Ghazwân, Fitr bin Khalifah, Laits bin Abi Sulaim, Muhammad bin Ishaq bin Yasar dan Musa bin Qais al-Farai. Murid-muridnya: Ibrahim bin Yusuf al-hadhrami al-Sairafi, Ahmad bin Harb alMaushuli, Ahmad bin Muhammad bi Hanbal, Ishaq bin Musa al-Anshori, Ja‟far bin Muhammad bin „Imran, Hasan bin „Arafah, Hamad bin Hasan bin „Anbah alWaraqi, Khalad bin Yahya, Daud bin Rusyaid, Abu Sa‟id Abdullah bin Sa‟id alAsyja, Sahal bin Utsman al-„Askari, Salid bin Suhail al-Nakhai, Muhammad bin Salam al-Bikandi. Pendapat Ulama: Abu Bakar bin Abi Khoisamah: Tsiqah Al-Nasa‟i: Tsiqah Ibn Hibbân menyebutnya dalam kitab al-Tsiqât. 23 4. Laits bin Abî Sulaim (w.148 H) Nama lengkapnya: Laits bin Abî Sulaim bin Zunaim al-Qurasyi. Guru-gurunya: Asy‟asy bin Abi Sya‟tsa, Busyrâ, Tsabit bin „Ajlan, Hajjaj bin Ubaid bin Yassar, Rabi‟ bin Annas, Zayid bin Artah, Sa‟id bin Amir, Syahr bin Hautsab, Safwan bin Muhriz, Tawwus bin Kaisan, Talhah bin Musarrif, Abdul Malik bin Abi Basyir al-Madaani dan I‟krimah maula Ibn Abbas. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizyi, Tahdzîb al-Kamâl fȋ Asmâ` al-Rijâl, jilid 17 (Beirut: Mu`assasah Risalah), 1992, h. 386-389 23
48
Murid-muridnya: Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad al-Pazariy, Ismail bin Ulaiyah, Ismail bin „Ayyasy, Bakar bin Khunaisy, Tsa‟labah bin Suhail, Jarir bin Abdul Hamid, Hasan bin Ibrahim, Abdurrahman bin Muhammad al-Muharibi dan Abdul al-Salam bin Harrab. Pendapat Ulama: Mu‟awiyah: Daif Ibrahim: Tidak ada hadis darinya Abu Ma‟mar: Daif24 5. Abdul Malik (w.118 H) Nama lengkapnya: Abdul Malik bin Abi Basyir al-Bashriy al-Madani. Guru-gurunya: Abdullah bin Musawir, I‟krimah maula Ibn Abbas dan Hafshah binti Sirin. Murid-muridnya: Abû Hazim Junaid bin „Ala‟ bin Abi Dahrah al-Taimiy alKufiy, Zuhair bin Muawiyah, Sufyan al-Tsauri, „Abdurrahman bin Muhammad alMuharibi, Laits bin Abi Sulaim dan Muhammad bin Humran al-Qisiy. Pendapat ulama: Muammal: Saduq Ali bin Madiniy: Tsiqah Abdullah bin Ahmad: Tsiqah. 25 Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizyi, Tahdzîb al-Kamâl fȋ Asmâ` al-Rijâl, Beirut: Mu`assasah Risalah, 1992, h. 279-287 24
49
6. ‘Ikrîmah (w.104 H) Nama lengkapnya: „Ikrîmah al-Qurasyiy al-Hasyimi, Abu Abdullah al-Madani. Guru-gurunya: Jabi‟r bin Abdullah, Hajjaj bin „Amr bin Ghaziyyah al-Ansari, Hasan bin Ali bin Abi Talib, Safwan bin Umayyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin „Amr bin „Ash dan „Uqbah bin Amir al-Juhaniy. Murid-muridnya: Aban bin Sam‟ah, Ibrahim al-Nakha‟i, Artah bin Abi Artah, Ishaq bin Abdullah bin Jabir al-Adaniy, Ismail bin Abi Khalid, Ja‟far bin Rabi‟ah, Abdul Malik bin Abi Basyir al-Bashriy al-Madaani, Utsman bih Hakim al-Anshari dan Isham bin Qudamah. Pendapat ulama: Sufyan bin „Uyainah : a‟lamunnas „Amru bin Dinar: „alim 7. Ibnu ‘Abbâs (w.68 H) Nama Lengkap : „Abd Allâh bin „Abbâs bin 'Abd al-Muṯ ṯ alib bin Hâsyim.26 Ia lahir di Makkah tiga tahun sebelum hijrah. Dia adalah putra „Abbâs bin 'Abd al-Muṯ ṯ alib bin Hâsyim, paman Rasulullah dan ibunya adalah Ummu Faḏ l Labâbah binti hârits, Ia wafat di Ṯ aif pada tahun 68 H.
Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizyi, Tahdzîb al-Kamâl fȋ Asmâ` al-Rijâl, Beirut: Mu`assasah Risalah, 1992, h. 287-288 26 Syihâb al-Dîn Ahmad bin Fahâris Ibn Hajar al-„Atsqalanî, al-Isâbah fȋ Tamyȋ z alSahâbah, jilid 2, Beirut: Dâr al-Kitâb al-„Arabȋ , h.326 25
50
Pendapat ulama mengenai beliau adalah: Ibnu Hajar al-'Atsqalanȋ : Sahâbat Al-Dzahabȋ : Sahâbat Mengingat posisinya sebagai Sahâbat Nabi Saw, para ulama jarh wa ta‟dȋ l tidak mempersoalkan ‟adâlah-nya, semua ulama sepakat bahwa al-sahâbȋ kulluhum „udûl. c. Kritik Matan Setelah menelusuri sanad hadis, langkah selanjutnya adalah kritik matan hadis. Hadis ini menjelaskan tentang larangan Nabi untuk melakukan perdebatan dan bersenda gurau. Dalam penelusuran matan ini, penulis menggunakan beberapa pendekatan dalam kritik matan, yaitu: Pendekatan melalui bahasa Bahasa yang dipakai oleh Nabi Muhammad Saw adalah bahasa yang sopan, tidak bertele-tele dalam pemakaian bahasa Arab, serta fokus dalam satu masalah yang dibahas dalam hadis tersebut. Memperhatikan matan hadis diatas bahwa matan hadis di atas menjelaskan tentang larangan berdebat dan bersenda gurau. Struktur kalimat yang terdapat dalam matan tersebut juga sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, sebagai contoh:
51
adalah fiil nahi yang menunjukkan arti larangan, berasal dari fiil madhi َِ ُيمَار-مَار. kata
termasuk dari salah satu asmaul
khamsah yang dibaca nashab karena kedudukannya sebagai maf‟ul bih, fiil nahi yang berasal
dan tanda nasabnya menggunakan alif.
,
dari fiil madi
dhamir muttashil yang dibaca nasab karena
kedudukannya sebagai maf‟ul bih, tanda nasabnya adalah mabni. Dhamir kembali ke lafadz
.
d. Kesimpulan kualitas hadis Kriteria
kesahihan
hadis
terdapat
beberapa
syarat
yaitu:
bersambungnya sanad, diriwayatkan oleh perawi yang dhabit, tidak ada kejanggalan (Syadz) maupun cacat („illat)27. Sesuai dengan penjelasan kritik hadis diatas dapat disimpulkan bahwa semua sanad mempunyai hubungan antara guru dan murid sehingga bisa dipastikan bahwa semuanya adalah bersambung sanadnya (ittishal al-sanad), dan mayoritas sanad dari hadis tersebut adalah dipandang positif (ta‟dil), namun sanad Laits bin Abi Sulaim bin Zunaim al-Qurasyi dinilai daif oleh kritikus hadis, jadi kualitas hadis tersebut adalah hasan.
27
Dr.Bustamin M.SI. Metode Kritik Hadis, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010
52
Hadis Kedua a. Teks Hadis
Ditelusuri melalui penggalan lafaz matan hadis di kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Hadîts, dengan lafaz
ditemukanlah sebagai berikut:
َ َٕٗٓ:َٖ,حم
Penulis juga menelusuri kata dari lafaz
kemudian ditemukan sebagai berikut:
َٕٗٓ:َٖ,حم Setelah menelusuri dari lafaz lain namun penulis tidak menemukan hasilnya. Berdasarkan penelusuran di atas bahwa matan hadis tersebut terdapat pada: Musnad Ahmad bin hanbal, jilid 3, halaman 402 Dengan demikian hadis ini hanya terdapat pada jalur Ahmad bin Hanbal saja. Adapun dalam kitab Mausu‟ah li Atraf al-Hadits ditemukanlah sebagai berikut: َ َٖٕٖٔ,مطالب
53
Berikut hadis yang mukharijnya Ahmad bin Hanbal
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Ishaq berkata; telah mengabarkan kepada kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami Az Zubair bin Sa'id lalu ia menyebutkan hadits dari Shafwan bin Sulaim berkata; dan Shafwan bin Sulaim telah menceritakan juga dari 'Atho` bin Yasar dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Seorang laki-laki mengatakan suatu kalimat yang dengannya ia ingin menjadi bahan tertawaan orang-orang disekelilingnya, maka ia akan masuk ke dalam neraka sejauh bintang-bintang di langit." Setelah dilakukan takhrij dan mengetahui hasilnya, penulis akan menampilkan skema sanad di halaman berikutnya agar dapat memahami urutan sanad dalam hadis ini.
54
b. Kritik Sanad Setelah dilakukan takhrij hadis, langkah selanjutnya adalah meneliti kualitas sanad yang terdapat pada hadis tersebut: 1. Ahmad bin Hanbal (w.241 H) Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi. Ayah beliau seorang komandan pasukan di Khurasan di bawah kendali Dinasti Abbasiyah. Kakeknya mantan Gubernur Sarkhas di masa Dinasti Bani Umayyah, dan di masa Dinasti Abbasiyah menjadi da‟i yang kritis.28
Guru-guru Beliau: Imam Ahmad bin Hanbal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara merekaadalah: Ismail bin Ja‟far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, „Alî bin Ishâq al-Sulami, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar Al-Sulami, Imam al-Syafi‟i., Waki‟ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin „Uyainah, Abdurrazaq, dan Ibrahim bin Ma‟qil. 2. ‘Alî bin Ishâq (w.213 H)
28
Muqaddimah kitab sunan Ahmad bin Hanbal, Musnad li Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut:1996
55
Profil beliau: „Alî bin Ishâq al-Sulami maulâhum Abû al-Hasan al-Marwazi al-Dârâkânî. Guru-gurunya dalam meriwayatkan hadis diantaranya adalah: Sakhr bin Râsyid, „Abdullah bin al-Mubârak, al-Fadl bin Mûsâ al-Sînânî, al-Nadr bin Muhammad al-Syîbânî, Abû Hamzah al-Sukarî. Adapun murid-muridnya diantaranya adalah: Ibrâhîm bin Mûsâ al-Râzî, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin al-Khalîl al-Burjulânî, Abû Mas‟ûd Ahmad bin al-Furât al-Râzî, Ahmad bin al-Barrâ`, Ishâq bin Abî Isrâ`îl, „Abbâs bin Muhammad al-Duwarî, „Abdullah bin „Umar, Abû Bakar bin Muhammad bin Abî Syaibah, Muhammad bin Ishâq, Muhammad bin al-Husain, Muhammad bin Yahyâ, Mûsâ bin Hizâm al-Tirmîdzî. Komentar ulama hadis terhadapnya: „Alî bin Husain: tsiqah sadûq Muhammad bin Sa‟d : tsiqah Al-Nasâ‟i : tsiqah Ibn Hibbân menyebutnya dalam kitab al-Tsiqât Abû Rajâ`: ia bertempat di Tirmidz, wafat pada tahun 213 H, dan ia tsiqah.29 Menurut para kritkus hadis, mereka menilai bahwa „Alî bin Ishâq alSulami ini termasuk orang-orang yang tsiqah jadi bisa dibenarkan pernyataan bahwa „Alî bin Ishâq al-Sulami pernah berguru dan menerima Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizyi, Tahdzîb al-Kamâl fȋ Asmâ` al-Rijâl, Beirut: Mu`assasah Risalah, 1992. 29
56
hadis dari „Abdullah bin Mubârak secara langsung, dengan demikian sanadnya bersambung (muttasil). 3. ‘Abdullah bin Mubârak (w.181 H) Nama lengkap beliau adalah „Abdullah bin Mubârak bin Wâdih alHandzalî al-Tamîmî. Guru-gurunya diantaranya adalah: Abân bin Taghlîb, Abân bin „Abdullah, Abân bin Yazîd, Ibrâhîm bin Sa‟d, Ibrâhîm bin Tahmân, Ibrâhîm bin Abî „Ablah, Ibrâhîm bin „Uqbah, Ibrâhîm bin Nâfi‟, Ibrâhîm bin Nasyît, Usâmah bin Zaid al-Laitsî, Ismâ‟îl bin Muslim al„Abd, Aswad bin Syaibân, Basyîr bin Muhâjir, Basyîr Abî Ismâ‟îl, Habîb bin Sulaim, Harmalah bin „Imrân, Hazm bin Mihrân, Hasan bin „Amr, Zubair bin Sa‟îd, Zubair bin „Abdullah, Zuhair bin Mu‟âwiyah, Sa‟îd bin Ayyûb, Sa‟îd bin Iyyas, dan Abî Sinân Sa‟îd bin Sinân. Adapun murid-muridnya adalah: Abû Ishâq Ibrâhîm bin Ishâq, Ibrâhîm bin Syammâs, „Abdullah al-Khalâl, Ibrâhîm bin Musyajjar, Ahmad bin Jamîl, Ahmad bin al-Hajjâj, Bisyr bin al-Sariyy, Bisyr bin Muhammad, Hasan bin Rabî‟, Hasan bin „Arafah, Hasan bin „Îsâ, Husain bin Hasan, „Alî bin Ishâq, Sa‟îd bin Rahmah, Sa‟îd bin Sulaimân, Salamah bin Sulaimân, Komentar ulama hadis terhadapnya: Ahmad bin Hanbal : ia adalah seorang yang hafidz Abû Hâtim : ia adalah faqih, „alim, ahli ibadah, zuhud, pemberani, dan penyair
57
Ahmad bin Muharraz : ia adalah seorang yang pemberani.30 Berdasarkan penilaian para ulama terhadap „Abdullah bin Mubârak bisa dikategorikan sebagai periwayat yang dinilai ta‟dil (positif), dan melalui kitab rijal hadis dapat diketahui bahwa„Abdullah bin Mubârak benar menerima riwayat sebuah hadis dan bersangkutan dari seorang gurunya yang bernama Zubair bin Sa‟îd bin Sulaimân dan sanad mereka bersambung (muttasil). 4. Zubair bin Sa’îd (w.152 H) Nama lengkapnya adalah Zubair bin Sa‟îd bin Sulaimân. Gurugurunya adalah: Safwân bin Sulaim, „Abdullah bin „Alî bin Yazîd, ;Abd al-Hamîd bin Salîm, „Abd al-Rahmân bin Qâsim, Muhammad bin alMunkadir, Abî Suhail Nâfi‟ bin Mâlik, Ilyasa‟ bin al-Mughîrah. Adapun murid-muridnya adalah: Ismâ‟îl bin „Ayyâsy, Jarîr bin Hâzim, Sa‟îd bin Zakariyyâ, Abû „Âsim al-Dahhâk bin Makhlad, „Abdullah bin Hârits, „Abdullah bin Mubârak, „Abdullah bin Maimûn al-Qaddâh, „Abd al-Hamîd bin Zakariyyâ, Mutarraf bin „Abdullah. Komentar ulama terhadapnya: Abû „Ubaid: da‟îf Abû Zur‟ah: Syaikh Al-Nasâ`î: da‟îf Sâlih bin Muhammad: majhûl
Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizyi, Tahdzîb al-Kamâl fȋ Asmâ` al-Rijâl, Beirut: Mu`assasah Risalah, 1992, h. 5-18 30
58
Muhammad bin Sa‟d: qalîl al-hadîts.
Menurut para kritikus hadis, Zubair dinilai sebagai sanad yang daif, namun demikian sanad Zubair dapat dikatakan bahwa riwayat hadis yang disampikan adalah muttasil, karena ada ketergantungan dan bertemu langsung antara murid dan gurunya yang bernama Safwân bin Sulaim alMadani. 5. Safwân bin Sulaim (w.132 H) Nama lengkapnya ialah Safwân bin Sulaim al-Madani. Gurugurunya adalah: Anas bin Mâlik, Tsa‟labah bin Abi Mâlik, Jâbir bin „Abdullah, Hamzah bin „Abdullah bin „Umar, Humaid bin „Abd alRahmân, Dzakwân Abî Sâlih, Sâlim bin „Abdullah bin „Umar, Sa‟îd bin Salamah, Sa‟îd bin Musayyab, Sulaimân bin Yasâr, „Urwah bin Zubair, „Atâ` bin Yasâr, „Ikrimah maula Ibn „Abbâs, „Umar bin Tsâbit. Adapun murid-muridnya adalah: Ibrâhîm bin Sa‟d, Usâmah bin Zaid, Zubair, Ziyâd bin Sa‟d, Zaid bin Aslam, Sufyân al-Tsauri, Sufyân bin „Uyainah, Umayyah bin Sa‟îd, Mâlik bin Anas, Abû „Alqamah, dan „Abd al-Malik bin Juraij, Komentar ulama terhadapnya adalah: Muhammad bin Sa‟d: tsiqah Abû Hâtim: tsiqah Al-Nasâ`î: tsiqah Ya‟qûb bin Syaibah: tsabat
59
Ya‟qûb bin Ibrâhîm: ia wafat pada tahun 132 H.31 Nama Safwân bin Sulaim al-Madani ini dapat digolongkan orang yang tsiqah berdasarkan penilaian beberapa ulama hadis yang berkomentar tentang beliau, bisa dikatakan bahwa apa yang diriwayatkan dari seorang Safwân bin Sulaim al-Madani ini benar karena beliau langsung dan bertemu dengan gurunya yang bernama „Atâ bin Yasâr al-Hilâli, jadi hadis yang diriwayatkan dari Safwân bin Sulaim al-Madani adalah muttasil. 6. ‘Atâ bin Yasâr (w.103 H) Nama lengkap beliau ialah „Atâ bin Yasâr al-Hilâli, Abû Muhammad al-Madanî al-Qâshî. Guru-gurunya adalah: Ubay bin Ka‟ab, Usâmah bin Zaid, Jâbir bin „Abdullah, Zaid bin Tsâbit, Zaid bin Khâlid al-Juhâni, Khâwât bin Jubair al-Ansâri, Rafâ‟ah bin „Arabah al-Juhâni, Abî Sahlah al-Saibi bin Khalad al-Ansâri, „Âmir bin Saad bin Abî Waqas, „Abdullah bin „Amr bin „Âs, Mu‟âwiyah bin Hakam al-Sulami, Abî Ayyûb al-Ansâri, Abî Dardâ`, Abî Hurairah, „Â`isyah dan Ummu Salamah. Murid-muridnya: Ismâ‟îl bin „Abdurrahman bin Abî Zuaib, Bakr bin Sawâdah al-Juzâmî, Bukair bin Asyja‟, Habîb bin Abî Tsâbit, Zaid bin Aslim, Syarîk bin „Abdullah bin Abî Namir, Safwân bin Sulaim, „Abdullah bin Muhammad bin „Aqîl, „Ubaidillah bin Miqsam, „Umâroh bin „Abdullah bin Sayâd al-Anshâri, „Amr bin Dînâr, Muhammad bin Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizyi, Tahdzîb al-Kamâl fȋ Asmâ` al-Rijâl, Beirut: Mu`assasah Risalah, 1992, h. 184-191 31
60
Ibrâhîm al-Hârits al-Taymi, Muhammad AbîHarmalah, Hilâl bin „Ali, Abû Salamah bin „Abdurrahman bin „Auf dan Abû„Abdullah maula Ismâîl bin „Ubaid. PendapatUlama: Abû Hâtim: Lam yusma‟ minhu Ishâq bin Mansûr: Tsiqah Menurut para kritikus hadis bahwa „Atâ bin Yasâr al-Hilâli adalah orang yang tsiqah dan jika ditinjau dari sanad guru dan muridnya ada keterkaitan dengan Abu Hurairah jadi dapat disimpulkan periwayatan hadis dari seorang „Atâ bin Yasâr al-Hilâli adalah bersambung (muttasil). 7. Abu Hurairah (w.57 H) Nama lengkapnya adalah ad-Dausi al-Yamani32, salah satu sahabat Rasulullah, seorang sahabat yang hafidz, ada beberapa perbedaan tentang namanya, ada yang menyebutnya Ibn Ghanam,‟Abdullah Ibn „Amir, Ibn Shakhir. Guru-gurunya adalah: Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Fadhl bin Abbas, Sa‟id bin Musayyab, Usamah bin Zaid, Abu Rafi‟. Dan murid-muridnya diantaranya: Abu Qais Ziyad bin Rabbah, Salim bin Abdullah, Abu Sa‟id al-Maqburi, Abu Sannan, Amir bin Sa‟ad, Mujahid, Ikrimah, Abu al-Walid, Sa‟id bin Sam‟an. Penilaian para ulama hadis terhadapnya, Ibnu Mas‟ud berkata bahwa Abu Hurairah adalah sahabat yang banyak meriwayatkan hadis dan ia shalih. Jabir bin Abdullah berkata ia adalah Hafidz. 32
Syihabuddin Ahmad bin Faharis Ibn Hajar al-„Atsqalani Al –Ishabah fi Tamyiz asShahabah Juz 1 , Daar Kutub al-ilmiyyah, Beirut:1852 .
61
Kesimpulan
pribadi
penilaian
Abu
Hurairah
adalah
berdasarkan
penelusuran melalui kitab rijal hadis bahwa ia adalah salah satu sahabat Nabi yang banyak meriwayatkan hadis dan ia shalih, sedangkan kullu shahabah „udul (semua sahabat adalah „udul). c. Kritik Matan Kandungan matan hadis di atas adalah tentang balasan bagi orang yang sengaja mengatakan sesuatu yang bertujuan agar menjadi bahan tertawaan orang di sekelilingnya, adapun balasannya yaitu ia akan masuk neraka. Pendekatan melalui bahasa Bahasa yang dipakai oleh Nabi Muhammad Saw adalah bahasa yang sopan, tidak bertele-tele dalam pemakaian bahasa Arab, serta focus dalam satu masalah yang dibahas dalam hadis tersebut. Memperhatikan matan hadis diatas bahwa matan hadis di atas menjelaskan tentang balasan bagi orang yang sengaja mengatakan sesuatu yang bertujuan agar menjadi bahan tertawaan orang di sekelilingnya, adapun balasannya yaitu ia akan masuk neraka. Matan hadis tersebut juga sesuai dengan kaidah bahasa Arab, salah satu contohnya adalah lafadz
dibaca nasab karena kemasukan
62
salah satu amil nawasikh, yaitu
adapun tanda nasabnya yaitu dengan
fathah karena ia termasuk isim mufrad. d. Kesimpulan Kualitas Hadis Kriteria
kesahihan
hadis
terdapat
beberapa
syarat
yaitu:
bersambungnya sanad, diriwayatkan oleh perawi yang dhabit, tidak ada kejanggalan (Syadz) maupun cacat („illat)33. Sesuai dengan penjelasan kritik hadis diatas dapat disimpulkan bahwa semua sanad mempunyai hubungan antara guru dan murid sehingga bisa dipastikan bahwa semuanya adalah bersambung sanadnya (ittishal al-sanad), dan mayoritas sanad dari hadis tersebut adalah dipandang positif (ta‟dil), namun sanad Zubair bin Sa’îd bin Sulaimân dinilai daif oleh kritikus hadis, jadi kualitas hadis tersebut adalah hasan. Hadis Ketiga a. Teks hadis
Langkah awal dalam menelusuri hadis adalah takhrij hadis, melalui penggalan lafadz matan yaitu داعب, kemudian ditemukanlah sebagai berikut: ٘١ََّبر,ت َٖٙٓ,َٖٗٓ,َٕ,حم 33
Dr.Bustamin M.SI. Metode Kritik Hadis, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010
63
Setelah ditelusuri semua lafaz namun penulis tidak menemukan hasilnya, dan berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan bahwa hadis ini terdapat pada: Sunan Tirmidzi, Kitab al-Birr, bab 57 Musnad ahmad bin Hanbal, jilid 2, halaman 340 dan 360 Berikut ini Hadis yang mukharijnya al-Tirmidzi
Telah menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad Ad Duri Al Baghdadi, telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Hasan, telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Mubarak dari Usamah bin Zaid dari Sa'id Al Maqburi dari Abu Hurairah ia berkata; Mereka (para sahabat) berkata, "Sesungguhnya Anda …." Beliau bersabda: "Sesungguhnya aku tidaklah mengatakan sesuatu kecuali yang benar. Adapun hadis yang mukharijnya Ahmad bin Hanbal
Telah menceritakan kepada kami Yunus telah menceritakan kepada kami Laits dari Muhammad dari Sa'id bin Abi Sa'id dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Aku tidak berkata kecuali kebenaran, " sebagian sahabatnya berkata; "Sesungguhnya engkau bercanda dengan kami wahai Rasulullah, " maka beliau bersabda: "Aku tidak berkata kecuali kebenaran." Setelah ini penulis akan menampilkan skema sanad di halaman berikutnya agar dapat memahami urutan sanad dalam hadis ini.
64
b. Kritik Sanad Dalam kritik sanad hadis ini, penulis menelusuri sanad yang dari jalur alTirmidzi, adapun rincian sanadnya adalah sebagai berikut: 1. Al-Tirmidzi (w.279 H) Nama lengkapnya adalah Imam al-Hafidz Abu „Isa Muhammad bin „Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak As-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyur lahir pada 279 H di kota Tirmiz. Guru-gurunya: ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka. Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia‟id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin „Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, „Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni‟, Muhammad bin alMusanna dan lain-lain. Murid-murid beliau di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud „Anbar, Hammad bin Syakir, „Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-„Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami‟ dari padanya, dan lain-lain. Kekuatan hafalannya Abu „Isa at-Tirmidzi diakui oleh para ulama, keahliannya dalam menghafal hadis.
65
2. ‘Abbâs bin Muhammad (w.271 H) Nama lengkapnya: Abbas bin Muhammad bin Hatim bin Waqid al-Dauri, Abu alFadhli al-Baghdadi, maula Bani Hasyim, asli Khawarizimi. Guru-gurnya: Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Mashur al-Sululi, Abi Ma‟mar Ismail bin Ibrahim al-Hudzali, Hasan bin Musa al-Asyyab, Husain bin Ali al-Ju‟fi, Husain bin Muhammad al-Marwazi, Khalid bin Makhlad, Khalaf bin Tamim Sa‟di bin Amir a-Dhuba‟i, Sulaiman bin Daud al-Hasyimi, Ali bin al-Hasan bin Syaqiq al-Marwazi, Muhammad bin Qosim al-Asadi, Abi Salamah Musa bin Ismail dan Yahya bin Ishaq al-Sailahini. Murid-muridnya: al-„Arba‟ah, Abu Husai Ahmad bin Ja‟far bin Muhammad bin Ubaidillah ibn Munadi, Abu Abbas Ahmad bin Umar bin Suroj al-Qodhi, Abu Husain Ahmad bin Yahya bin Utsman al-Adami dan Ismail bin Muhammad alShoffari. Pendapat Ulama: Abdurrahman bin Abi Hatim al-Rozi: Shoduq Al-Nasai: Tsiqah. 34 3. ‘Ali bin al-Hasan (w.215 H) Nama lengkapnya adalah Ali bin al-Hasan bin Syaqiq bin Dinar bin Misy‟ab al„Abdi, Abu Abdurrahman maula Abdul Qais. Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizyi, Tahdzîb al-Kamâl fȋ Asmâ` al-Rijâl, jilid 14, (Beirut: Mu`assasah Risalah, 1992), h. 245-249 34
66
Guru-gurunya: Ibrahim bin Sa‟id, Ibrahim bin Tahman, Israil bin Yunus, Ja‟far bin Sulaiman al-Dhuba‟i, Husain bin Waqid, Hamad bin Zaid, Kharijah bin Mush‟ab, Sufyan bin Uyaynah, Syarik bin Abdullah, Abdullah bin Mubarok, Abdul Warats bin Sa‟id, „Awan bin Musa, Qois bin Rabi‟, Abi Bakr bin „Ayyasy, Abi Hamzah al-Sukkari, Abi Munib al-„Ataki. Murid-muridnya: al-Bukhori, Ibrahim bin Ya‟qub al-Juzajani, Ahmad bin Hanbal al-Marwazi, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Yassar al-Marwazi, Hisyam bin Abi Daaroh, Abu Khoisyamah Zuhair bin Harb, Abbas bin Muhammad ad-Dauri, Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, Muhammad bin Hatim bin Yazi‟, Ali bin Hasan bin Syaqiq dan Muhammad bin Musa bin Hatim. Pendapat Ulama: Abu Daud: Syaqiq Abu Hatim: Dia lebih dicintai dari Ali bin Husain. 4. ‘Abdullah bin Mubârak (w.181 H) Guru-guru „Abdullah bin Mubârak bin Wâdih al-Handzalî al-Tamîmî, diantaranya adalah: Abân bin Taghlîb, Abân bin „Abdullah, Abân bin Yazîd, Ibrâhîm bin Sa‟d, Ibrâhîm bin Tahmân, Ibrâhîm bin Abî „Ablah, Ibrâhîm bin „Uqbah, Ibrâhîm bin Nâfi‟, Ibrâhîm bin Nasyît, Usâmah bin Zaid al-Laitsî, Ismâ‟îl bin Muslim al-„Abd, Aswad bin Syaibân, Basyîr bin Muhâjir, Basyîr Abî Ismâ‟îl, Habîb bin Sulaim, Harmalah bin „Imrân, Hazm bin Mihrân, Hasan bin „Amr,
67
Zubair bin Sa‟îd, Zubair bin „Abdullah, Zuhair bin Mu‟âwiyah, Sa‟îd bin Ayyûb, Sa‟îd bin Iyyas, dan Abî Sinân Sa‟îd bin Sinân. Adapun murid-muridnya adalah: Abû Ishâq Ibrâhîm bin Ishâq, Ibrâhîm bin Syammâs, „Abdullah al-Khalâl, Ibrâhîm bin Musyajjar, Ahmad bin Jamîl, Ahmad bin al-Hajjâj, Bisyr bin al-Sariyy, Bisyr bin Muhammad, Hasan bin Rabî‟, Hasan bin „Arafah, Hasan bin „Îsâ, Husain bin Hasan, „Alî bin Ishâq, Sa‟îd bin Rahmah, Sa‟îd bin Sulaimân, Salamah bin Sulaimân. Komentar ulama hadis terhadapnya: Ahmad bin Hanbal : ia adalah seorang yang hafidz Abû Hâtim : ia adalah faqih, „alim, ahli ibadah, zuhud, pemberani, dan penyair Ahmad bin Muharraz : ia adalah seorang yang pemberani 5. Usamah bin Zaid (w.153 H) Guru-guru Usamah bin Zaid al-Laitsi, Abu Zaid al-Madani: Aban bin Salih, Ibrahim bin Abdullah bin Hunain, Ishaq maula Zaidah, Ba‟jah bin Abdullah bin Badr al-Juhani, Ja‟far bin „Amr bin Ja‟far bin „Amr bin Umiyyah adhDhumri, Hafsh bin Ubaidillah bin Anas bin Malik, Salim bin Saroj, Sa‟id bin Abi Sa‟id al-Maqburi, Sa‟id bin Musayyab, Sulaiman bin Yassar, Salih ibn Kaisan, Safwan bin Sulaim, Abdullah ibn Hanin, Abdullah bin Rafi‟ dan Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shidiq. Murid-muridnya: Abû Samrah Anas bin „Iyadh al-Laitsi, Ayyûb bin Suwaib al-ramli, Ja‟far bin „Aun, Hatim bin Ismail al-Madani, Abu Usamah
68
Hammad bin Usamah, Abdullah bin Mubarok, Abdullah bin Wahab, Abdul aziz bin Abdullah bin Abi Salamah al-Majisyun, Utsman bin „Amr bin Faris dan Isa bin Yunus. Pendapat Ulama: Abu Bakr al-Atsram: Laisa Bi syain. 35 6. Sa’id al-Maqburi (w.123 H) Nama lengkap beliau adalah Sa‟id bin Abi Sa‟id, Kaisaan al-Maqburi, Abu Sa‟id al-Madani. Guru-gurunya: Anas bin Malik, Basyir bin Muharir, Jabir bin Abdullah, Jubair bin Muth‟im, Salim maula an-Nashrobin, Sa‟id bin Abi Waqash, Syarik bin Abdullah bin Abi Namir, Abdullah bin Rofi‟ maula Umu Salamah, „Urwah bin Zubair, „Atho maula ibn Abi Ahmad, Ka‟ab bin Ujroh, Yazid bin Hurmuz dan Abi Ishaq al-Qurasyi. Murid-muridnya: Ibrahim bin Thohman, Abu Ishaq Ibrahim bin Fadhli alMakhzumi, Usamah bin Zaid al-Laitsi, Ishaq bin Abi Furot, Ismail bin Umayyah, Ayyub bin Musa, Khalifah bin Ghoib al-Laitsi, Daud bin Khalid al-Laitsi, Zaid bin Abi Unaisah, Abu Hazim Salamah bin Dinar al-Madani, Syu‟bah bin Hajjaj, Abdullah bin Abdul Aziz al-Laitsi, Ali bin „Urwah ad-Damasqi, Laits bin Sa‟id, Muhammad bin „Ajlan dan Abu Uwais al-Ashbahi.
Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizyi, Tahdzîb al-Kamâl fȋ Beirut: Mu`assasah Risalah, 1992, h. 347-351 35
Asmâ` al-Rijâl,
69
Pendapat Ulama: Abdullah bin Ahmad bin Hanbal: Laisa bihi Ba‟sa Utsman bin Sa‟id ad-Darimi: Laisa bihi Ba‟sa Ali bin al-Madini: Tsiqah Abu Hatim: Saduq 7. Abu Hurairah (w.57 H) Nama lengkapnya adalah al-Dausi al-Yamani36, salah satu sahabat Rasulullah, seorang sahabat yang hafidz, ada beberapa perbedaan tentang namanya, ada yang menyebutnya Ibn Ghanam,‟Abdullah Ibn „Amir, Ibn Shakhir, beliau wafat pada tahun 57 H.37 Guru-gurunya adalah: Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Fadhl bin Abbas, Sa‟id bin Musayyab, Usamah bin Zaid, Abu Rafi‟. Adapun murid-murid beliau diantaranya: Abu Qais Ziyad bin Rabbah, Salim bin Abdullah, Abu Sa‟id al-Maqburi, Abu Sannan, Amir bin Sa‟ad, Mujahid, Ikrimah, Abu al-Walid, Sa‟id bin Sam‟an. Penilaian para ulama hadis terhadapnya, Ibnu Mas‟ud berkata bahwa Abu Hurairah adalah sahabat yang banyak meriwayatkan hadis dan ia shalih. Jabir bin Abdullah berkata ia adalah Hafidz.
36
Syihabuddin Ahmad bin Faharis Ibn Hajar al-„Atsqalani Al –Ishabah fi Tamyiz asShahabah Juz 1 , Daar Kutub al-Ilmiyyah, Beirut:1852 . 37 Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizyi, Tahdzib al-Kamal Juz 12, Muassasah Risalah:Beirut 1988, h. 290
70
Kesimpulan
pribadi
penilaian
Abu
Hurairah
adalah
berdasarkan
penelusuran melalui kitab rijal hadis bahwa ia adalah salah satu sahabat Nabi yang banyak meriwayatkan hadis dan ia shalih, sedangkan kullu shahabah „udul (semua sahabat adalah „udul). Adapun penelusuran pada riwayat Ahmad bin Hanbal sebagai berikut: 1. Ahmad bin Hanbal (w.241 H) Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi. Ayah beliau seorang komandan pasukan di Khurasan di bawah kendali Dinasti Abbasiyah. Kakeknya mantan Gubernur Sarkhas di masa Dinasti Bani Umayyah, dan di masa Dinasti Abbasiyah menjadi da‟i yang kritis.38
Guru-guru Beliau: Imam Ahmad bin Hanbal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara merekaadalah: Ismail bin Ja‟far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, „Alî bin Ishâq al-Sulami, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami,
Imam Asy-Syafi‟i., Waki‟ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah,
Sufyan bin „Uyainah, Abdurrazaq, dan Ibrahim bin Ma‟qil.
38
Muqaddimah kitab Ahmad bin Hanbal, Musnad li Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut:1996
71
2. Yunus (w.207 H) Nama lengkapnya adalah Yunus bin Muhammad bin Muslim al-Baghdadi, Abu Muhammad al-Mu‟dib. Guru-gurunya: Harb bin Maymun al-Kabir, Hamad bin Zaid, Salih bin Ruman, Laits bin Sa‟ad, Fulaih bin Sulaiman, Mush‟ab bin Hayan, Mu‟tamar bin Sulaiman, Hayaj bin Bisthom dan Ya‟qub bin Abdullah a-Qummi. Murid-muridnya: Ibrahim bin Ya‟qub al-Juzjani, Ahmad bin Hanbal, Hajjaj bin Sya‟ir, Abbas bin Muhammad al-Dauri, Ali ibn Madani, Mujahid bin Musa, Muhammad bin Ismail bin „Ulayyah dan Ya‟qub bin Syaibah al-Sadusi. Komentar Ulama: Utsman bin Sa‟id: Tsiqah Ya‟qub bin Syaibah: Tsiqah Abu Hatim: Saduq Ahmad bin Khalil: Saduq 3. Laits (w.175 H) Nama lengkap: Laits bin Saad bin Abdurrahman al-Fahmi, Abu al-Harits al-Mishri, maula Abdurrahman bin Khalid. Guru-gurunya: Ibrahim bin Abi Ablah, Ayyub bin Musa, Bakr bin Sawadah, Ja‟far bin Rabi‟ah, Harits bin Yazid al-Hadhromi, al-Harits bin Ya‟qub, Khalil bin Murroh, Muhammad bin „Ajlan, Mu‟awiyah bin Salih dan Hisyam bin „Urwah.
72
Murid-muridnya: Ahmad bin Abdullah bin Yunus, Adam bin Abi Iyas, Asyhab bin Abdul Aziz, Hajjaj bin Muhammad, Daud bin Manshur an-Nasa‟i, Sa‟id bin al-Hakam bin Abi Maryam, Abdullah bin Abdul Hakam, Abdullah bin Mubarak dan Yunus bin Muhammad al-Muadib. Komentar Ulama: Ahmad bin Saad: Tsiqah Tsubut Abu Daud: TsiqohAli bin al-Madani: Tsubut Al-„Ijli: Tsiqah Ibnu Khirosy: Saduq 4. Muhammad (w.148 H) Nama lengkapnya: Muhammad bin „Ajlan al-Qurasyi, Abu Abdullah alMadani, maula Fatimah bintu Walid bin „Utbah. Guru-gurunya: Abaan bin Salih, Ibrahim bin Abdullah bin Hunain, Anas bin Malik, Bukair bin Abdullah bin Asyaj, Roja‟ bin Haywah, Zaid bin Aslam, Sa‟id bin Abi Sa‟id al-Maqburi, Sulaiman Abi Hazim al-Asyja‟i, Suhail bin Abi Salih, Ashim bin „Umar bin Qotadah dan Ubaidullah bin Miqsam. Murid-muridnya: Ibrahim bin Abi Ablah al-Maqdasi, Asbath bin Muhammad alQurasyi, Ismail bin Ja‟far, Bakr bin Mudar, Hatim bin Ismail, Laits bin Saad, Ma‟di bin Sulaiman dan Yahya bin Ayyub al-Mishri. Pendapat Ulama: Salih bin Ahmad bin Hanbal: Tsiqah
73
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal: Tsiqah Uyaynah: Tsiqah Ishaq: Tsiqah Abu Hatim dan al-Nasa‟i: Tsiqah 5. Sa’id al-Maqburi (w.123 H) Nama lengkap beliau adalah Sa‟id bin Abi Sa‟id, Kaisaan al-Maqburi, Abu Sa‟id al-Madani. Guru-gurunya: Anas bin Malik, Basyir bin Muharir, Jabir bin Abdullah, Jubair bin Muth‟im, Salim maula al-Nashrobin, Sa‟id bin Abi Waqash, Syarik bin Abdullah bin Abi Namir, Abdullah bin Rafi‟ maula Umu Salamah, „Urwah bin Zubair, „Atha maula ibn Abi Ahmad, Ka‟ab bin Ujroh, Yazid bin Hurmuz dan Abi Ishaq al-Qurasyi. Murid-muridnya: Ibrahim bin Thahman, Abu Ishaq Ibrahim bin Fadhli alMakhzumi, Usamah bin Zaid al-Laitsi, Ishaq bin Abi Furat, Ismail bin Umayyah, Ayyub bin Musa, Khalifah bin Ghaib al-Laitsi, Daud bin Khalid al-Laitsi, Zaid bin Abi Unaisah, Abu Hazim Salamah bin Dinar al-Madani, Syu‟bah bin Hajjaj, Abdullah bin Abdul Aziz al-Laitsi, Ali bin „Urwah ad-Damasqi, Laits bin Sa‟id, Muhammad bin „Ajlan dan Abu Uwais al-Ashbahi. Pendapat Ulama: Abdullah bin Ahmad bin Hanbal: Laisa bihi Ba‟sa Utsman bin Sa‟id al-Darimi: Laisa bihi Ba‟sa
74
Ali bin al-Madini: Tsiqah Abu Hatim: Saduq 6. Abu Hurairah (w.57 H) Nama lengkapnya adalah al-Dausi al-Yamani39, salah satu sahabat Rasulullah, seorang sahabat yang hafidz, ada beberapa perbedaan tentang namanya, ada yang menyebutnya Ibn Ghanam,‟Abdullah Ibn „Amir, Ibn Shakhir, beliau wafat pada tahun 57 H.40 Guru-gurunya adalah: Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Fadhl bin Abbas, Sa‟id bin Musayyab, Usamah bin Zaid, Abu Rafi‟. Adapun murid-murid beliau diantaranya: Abu Qais Ziyad bin Rabbah, Salim bin Abdullah, Abu Sa‟id al-Maqburi, Abu Sannan, Amir bin Sa‟ad, Mujahid, Ikrimah, Abu al-Walid, Sa‟id bin Sam‟an. Penilaian para ulama hadis terhadapnya, Ibnu Mas‟ud berkata bahwa Abu Hurairah adalah sahabat yang banyak meriwayatkan hadis dan ia shalih. Jabir bin Abdullah berkata ia adalah Hafidz. Kesimpulan
pribadi
penilaian
Abu
Hurairah
adalah
berdasarkan
penelusuran melalui kitab rijal hadis bahwa ia adalah salah satu sahabat Nabi yang banyak meriwayatkan hadis dan ia shalih, sedangkan kullu shahabah „udul (semua sahabat adalah „udul).
39
Syihabuddin Ahmad bin Faharis Ibn Hajar al-„Atsqalani Al –Ishabah fi Tamyiz asShahabah Juz 1 , Daar Kutub al-Ilmiyyah, Beirut:1852 . 40 Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizyi, Tahdzib al-Kamal Juz 12, Muassasah Risalah:Beirut 1988, h. 290
75
c. Kritik Matan Kandungan hadis di atas adalah tentang pernyataan Nabi bahwa Nabi tidak pernah mengatakan apa-apa kecuali kebenaran. Dalam kritik matan ini penulis akan menjabarkan dengan berbagai pendekatan, yaitu: Pendekatan melalui bahasa Bahasa yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw adalah bahasa yang sopan, tidak bertele-tele dalam pemakaian bahasa Arab, serta focus dalam satu masalah yang dibahas dalam hadis tersebut. Memperhatikan matan hadis diatas bahwa matan hadis di atas menjelaskan tentang pernyataan bahwa Nabi tidak pernah mengatakan apa-apa kecuali kebenaran. Teks matan hadis di atas juga sesuai dengan kaidah bahasa Arab, seperti kemasukan huruf nida` yaitu
dan dibaca nasab
karena ia merupakan susunan idafah, jadi mudafnya (
) harus dibaca
contoh lafadz
nasab. d. Kesimpulan Kualitas Hadis Kriteria
kesahihan
hadis
terdapat
beberapa
syarat
yaitu:
bersambungnya sanad, diriwayatkan oleh perawi yang dhabit, tidak ada kejanggalan (Syadz) maupun cacat („illat)41. Sesuai dengan penjelasan kritik hadis diatas dapat disimpulkan bahwa semua sanad mempunyai
41
Dr.Bustamin M.SI. Metode Kritik Hadis, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010
76
hubungan antara guru dan murid sehingga bisa dipastikan bahwa semuanya adalah bersambung sanadnya (ittishal al-sanad), dan semua sanad dari hadis tersebut adalah dipandang positif (ta‟dil), jadi kualitas hadis tersebut adalah sahih. Hadis Keempat a. Teks hadis
Setelah ditelusuri melalui lafaz
,
,
,
kemudian
ditemukanlah sebagai berikut: َّٖجهَطب ٕٗٓ,ٔٔٗ,َٕحم َ Berdasarkan hasil penelusuran di atas bahwa hadis ini terdapat pada: Sunan Ibnu Majah, Kitab Thib, halaman 3 Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 2, halaman 114 dan 240 Berikut hadis yang mukharijnya Ibnu Majah
77
ٕٗ
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abdul Wahab dia berkata; telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Mubarak dari Abdul Hamid bin Shaifi salah seorang anaknya shuhaib, dari Ayahnya dari kakeknya Shuhaib dia berkata, "Aku datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedangkan di hadapan beliau terdapat roti dan kurma, lalu beliau bersabda: "Mendekat dan makanlah." Maka aku mengambil kurma dan memakannnya, lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kamu memakan kurma sedang kamu lagi sakit mata?" Shuhaib berkata, "Aku menjawab, "Aku mengunyah dari sisi yang lain." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun tersenyum mendengarnya." Adapun hadis yang mukharijnya Ahmad bin Hanbal sebagai berikut
(Ahmad bin Hanbal radliyallahu'anhu) berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Nadlr berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al Mubarak dari Abdul Hamid bin Shaifi dari Bapaknya dari kakeknya berkata; sesungguhnya Shuhaib mendatangi Nabi Shallallahu'alaihiwasallam dan di hadapannya ada kurma dan roti. Lalu beliau bersabda: "Dekatkanlah dan makanlah!" (Shuhaib bin Sinan radliyallahu'anhu) berkata; lalu dia memakan kurmanya. Lalu Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda kepadanya, "Di matamu ada sebuah penyakit", lalu dia berkata; Wahai Rasulullah, saya akan makan dari arah yang lain. (Shuhaib bin Sinan radliyallahu'anhu) berkata; lalu Nabi Shallallahu'alaihiwasallam tersenyum. Selanjutnya di halaman berikut penulis akan menampilkan skema sanad hadis ini agar lebih dipahami urutan sanadnya. 42
Muhammad Nasiruddin Albani, Sunan Ibnu Mâjah, Pustaka Azzam: Jakarta, 2007.
penerjemah Iqbal Mukhlis,
78
b. Kritik sanad Susunan jalur sanad yang mukharrijnya Ibnu Majah, sebagai berikut: 1. Ibnu Majah (w.273 H) Nama lengkap beliau adalah al-Imam Abi „Abdillah Muhammad bin Yazid ibn Majah al-Rabi‟i al-Qazwini, dilahirkan di Qazwin tahun 209 H dan wafat tanggal 22 Ramadhan 273 H, dalam masyarakat dikenal dengan Ibnu Majah.43 2. Abdurrahman bin Abdul Wahab (w.254 H) Nama lengkap beliau adalah: Abdurrahman bin Abdul Wahab al-„Ammi al-Bashri ash-Shairafi. Guru-gurunya adalah: Umayah bin Khalid al-Azdi, Hasan bin Habib bin Nadbah, Abi Qutaibah Salam bin Qutaibah, Abi „Ashim al-Dahhak bin Makhlad, Abi Salamah, Musa bin Ismail, Waki‟ bin Haraj, Ya‟qub bin Ishaq al-Hadhrami dan Abi „Amir al-„Aqadi. Sedangkan murid-muridnya adalah: Ibnu Majah, Ibrahim bin Muhammad bin Harits bin Nailah al-Ashbahani, Ibrahim bin Hasyim al-Baghowi, Baqi bin Makhlad al-Andalusi, Hasan bin Sufyan an-Nasa‟i, Muhammad bin Abdullah bin Rustah al-Ashbahani dan Abu Zur‟ah al-Razi. Komentar Ulama:
43
Bustamin dan Hasanuddin, Membahas Kitab Hadis, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 75
79
Ibnu Hibban menyebutnya dalam kitab ats-Tsiqot, ia berkata “Mustaqim al-Hadits”
3. Musa bin Ismail (w.223 H) Nama lengkap: Musa bin Ismail al-Minqori, Abu Salamah al-Tabwizaki al-Bashri. Guru-gurunya: Aban bin Yazid al-„Athor, Ibrahim bin Sa‟ad az-Zuhri, Ismail bin Minqori, Bakar bin Abdul Aziz bin Abi Bakroh, Tamim bin Syarik bin Tamim bin Abdullah al-Bashri, Abi Zuhair Tsabit bin Zuhair, Abdullah bin Mubarak, Abdul Wahid bin Ziyad dan Isa bin Minhal. Sedangkan murid-muridnya adalah: al-Bukhori, Abu Daud, Ibrahim bin Ishaq alHarbi, Ahmad bin Daud al-Maki, Ahmad bin Manshur ar-Romadhi, Ismail bin Abdullah al-Ashbahani, Hasan bin Ali al-Khollal, Abbas bin Fadhil al-Asfathi, Abdurrahman bin Abdul Wahab al-„Ammi dan Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi. Pendapat Ulama: Husain bin Hasan: Tsiqoh Abu Hatim: Tsiqoh, Shoduq Muhammad bin Sa‟ad: Tsiqoh 4. ‘Abdullah bin Mubârak (w.181 H) Nama lengkapnya: „Abdullah bin Mubârak bin Wâdih al-Handzalî al-Tamîmî.
80
Guru-gurunya diantaranya adalah: Abân bin Taghlîb, Abân bin „Abdullah, Abân bin Yazîd, Ibrâhîm bin Sa‟d, Ibrâhîm bin Tahmân, Ibrâhîm bin Abî „Ablah, Ibrâhîm bin „Uqbah, Ibrâhîm bin Nâfi‟, Ibrâhîm bin Nasyît, Usâmah bin Zaid alLaitsî, Ismâ‟îl bin Muslim al-„Abd, Aswad bin Syaibân, Basyîr bin Muhâjir, Basyîr Abî Ismâ‟îl, Habîb bin Sulaim, Harmalah bin „Imrân, Hazm bin Mihrân, Hasan bin „Amr, Zubair bin Sa‟îd, Zubair bin „Abdullah, Zuhair bin Mu‟âwiyah, Sa‟îd bin Ayyûb, Sa‟îd bin Iyyas, dan Abî Sinân Sa‟îd bin Sinân. Adapun murid-muridnya adalah: Abû Ishâq Ibrâhîm bin Ishâq, Ibrâhîm bin Syammâs, „Abdullah al-Khalâl, Ibrâhîm bin Musyajjar, Ahmad bin Jamîl, Ahmad bin al-Hajjâj, Bisyr bin al-Sariyy, Bisyr bin Muhammad, Hasan bin Rabî‟, Hasan bin „Arafah, Hasan bin „Îsâ, Husain bin Hasan,„Alî bin Ishâq, Sa‟îd bin Rahmah, Sa‟îd bin Sulaimân, Salamah bin Sulaimân, Komentar ulama hadis terhadapnya: Ahmad bin Hanbal : ia adalah seorang yang hafidz Abû Hâtim : ia adalah faqih, „alim, ahli ibadah, zuhud, pemberani, dan penyair Ahmad bin Muharraz : ia adalah seorang yang pemberani. 44 5. Abdul Hamid bin Shoifi (w.142 H) Nama lengkapny: Abdul Hamid bin Shoifi Shuhaib bin Sinan al-Qurasyi, at-Taimi. Guru-gurunya: Abihi, Jadiihi Shuhaib Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizyi, Tahdzîb al-Kamâl fȋ Asmâ` al-Rijâl, Beirut: Mu`assasah Risalah, 1992), h. 5-18 44
81
Murid-muridnya: Jabir bin Ghanim as-Sulaqi al-Himshi, Dafa‟ bin Daghfal asSudusi, Abdullah bin al-Mubarok dan Husaim bin Basyir. Komentar kritikus hadis terhadapnya: Ibnu Hibban menyebutnya dalam kitab ats-Tsiqot 6. Shoifi bin Shuhaib (w.100 H) Nama lengkapnya: Shoifi bin Shuhaib bin Sanan ar-Rumi. Guru-gurunya: Abihi Shuhaib. Murid-muridnya: Anakanya Khudzaifah bin Shoifi, Ziyad bin Shoifi, Abdul Hamid bin Shoifi, „Amr bin dinar al-Bashri dan Qohroman al-Zubair. Pendapat Ulama: Ibnu Hibban menyebutnya dalam kitab ats-Tsiqoh 7. Shuhaib bin Sinan (w.38 H) Nama lengkapnya: Shuhaib bin Sinan bin Kholid „Amr. Guru-gurunya: Nabi SAW, Ali bin Abi Tholib dan „Umar bi Khattab. Murid-muridnya: Ibrahim bin Abdurrahman bin „Auf az-Zuhri, Aslam maula „Umar bin Khattab, Jabir bin Abdullah al-Anshori, Habib bin Shuhaib, Hamzah bin Shuhaib, Ziyad bin Shoifi bin Shuhaib, Saad bin Shuhaib, Sa‟id bin Musayyab, Sulaiman bin Abi Abdillah, Su‟aib bin „Amr bin Sulaim al-Anshori, Sholih bin Shuhaib, Abdullah bin „Umar bin Khattab dan Ka‟ab al-Ahbar.
82
Pendapat Ulama: Ibnu Hajar Al Atsqalani : Shahabat Adz-Dzahabi
: Shahabat. 45
Adapun susunan sanad melalui jalur yang mukharrijnya Ahmad bin Hanbal, sebagai berikut: 1. Ahmad bin Hanbal (w.241 H) Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi. Ayah beliau seorang komandan pasukan di Khurasan di bawah kendali Dinasti Abbasiyah. Kakeknya mantan Gubernur Sarkhas di masa Dinasti Bani Umayyah, dan di masa Dinasti Abbasiyah menjadi da‟i yang kritis.46
Guru-guru Beliau: Imam Ahmad bin Hanbal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara merekaadalah: Ismail bin Ja‟far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, „Alî bin Ishâq al-Sulami, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami,
Imam Asy-Syafi‟i., Waki‟ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah,
Sufyan bin „Uyainah, Abdurrazaq, dan Ibrahim bin Ma‟qil.
45
Syihabuddin Ahmad bin Faharis Ibn Hajar al-„Atsqalani Al –Ishabah fi Tamyiz asShahabah Juz 1 , Daar Kutub al-ilmiyyah, Beirut:1852 . 46 Muqaddimah kitab Ahmad bin Hanbal, Musnad li Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut:1996
83
2. Abu an-Nadhr (w. 207 H) Profil lengkapnya: Hisyam bin al-Qasim Abu Nadhr al-Laits al-Baghdadi. Beliau asli Khurasan dari bani Laits bin Kinanah. Guru-gurunya: Ibrahim bin Sa‟id, Ibrahim bin Abdullah bin al-Harits bin Hathib al-Jumahi, Ishaq bin Sa‟id al-Qurasyi, Bakr bin Khunais, Zuhair bin Mu‟awiyah, Syu‟bah bin al-Hajjaj, Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban, Abdullah bin Mubarak, Laits bin Sa‟id dan Abi Malik an-Nukho‟i. Murid-muridnya: Ibrahim bin Ya‟qub, Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Kholil alBurjulani, al-Harits bin Muhammad bin abi Usamah, Hasan bin „Arafah, Abdullah bin Muhammad al-Musnadi dan Ali bin al-Madani. Komentar ulama terhadapnya: Utsman bin Sa‟id:
Tsiqah
Al-Harits: Amar Ma‟ruf Nahi Munkar47 3. ‘Abdullah bin Mubârak (w.181 H) Nama lengkapnya: „Abdullah bin Mubârak bin Wâdih al-Handzalî alTamîmî. Guru-gurunya diantaranya adalah: Abân bin Taghlîb, Abân bin „Abdullah, Abân bin Yazîd, Ibrâhîm bin Sa‟d, Ibrâhîm bin Tahmân, Ibrâhîm bin Abî „Ablah, Ibrâhîm bin „Uqbah, Ibrâhîm bin Nâfi‟, Ibrâhîm bin Nasyît, Usâmah bin Zaid alLaitsî, Ismâ‟îl bin Muslim al-„Abd, Aswad bin Syaibân, Basyîr bin Muhâjir, Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizyi, Tahdzîb al-Kamâl fȋ Asmâ` al-Rijâl, jilid 30, Beirut: Mu`assasah Risalah, 1992, h.130-135 47
84
Basyîr Abî Ismâ‟îl, Habîb bin Sulaim, Harmalah bin „Imrân, Hazm bin Mihrân, Hasan bin „Amr, Zubair bin Sa‟îd, Zubair bin „Abdullah, Zuhair bin Mu‟âwiyah, Sa‟îd bin Ayyûb, Sa‟îd bin Iyyas, dan Abî Sinân Sa‟îd bin Sinân. Adapun murid-muridnya adalah: Abû Ishâq Ibrâhîm bin Ishâq, Ibrâhîm bin Syammâs, „Abdullah al-Khalâl, Ibrâhîm bin Musyajjar, Ahmad bin Jamîl, Ahmad bin al-Hajjâj, Bisyr bin al-Sariyy, Bisyr bin Muhammad, Hasan bin Rabî‟, Hasan bin „Arafah, Hasan bin „Îsâ, Husain bin Hasan,„Alî bin Ishâq, Sa‟îd bin Rahmah, Sa‟îd bin Sulaimân, Salamah bin Sulaimân, Komentar ulama hadis terhadapnya: Ahmad bin Hanbal : ia adalah seorang yang hafidz Abû Hâtim : ia adalah faqih, „alim, ahli ibadah, zuhud, pemberani, dan penyair Ahmad bin Muharraz : ia adalah seorang yang pemberani. 48 4. Abdul Hamid bin Shoifi (w.142 H) Nama lengkapnya: Abdul Hamid bin Shoifi Shuhaib bin Sinan al-Qurasyi, at-Taimi. Guru-gurunya: Abihi, Jadiihi Shuhaib Murid-muridnya: Jabir bin Ghanim as-Sulaqi al-Himshi, Dafa‟ bin Daghfal asSudusi, Abdullah bin al-Mubarok dan Husaim bin Basyir.
Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizyi, Tahdzîb al-Kamâl fȋ Asmâ` al-Rijâl, Beirut: Mu`assasah Risalah, 1992), h. 5-18 48
85
Komentar kritikus hadis terhadapnya: Ibnu Hibban menyebutnya dalam kitab ats-Tsiqot 5. Shoifi bin Shuhaib (w.98 H) Nama lengkapnya: Shoifi bin Shuhaib bin Sanan ar-Rumi. Guru-gurunya: Abihi Shuhaib. Murid-muridnya: Anakanya Khudzaifah bin Shoifi, Ziyad bin Shoifi, Abdul Hamid bin Shoifi, „Amr bin dinar al-Bashri dan Qohroman al-Zubair. Pendapat Ulama: Ibnu Hibban menyebutnya dalam kitab ats-Tsiqoh 6. Shuhaib bin Sinan (w. 38 H) Nama lengkapnya adalah: Shuhaib bin Sinan bin Kholid „Amr. Guru-gurunya: Nabi SAW, Ali bin Abi Tholib dan „Umar bi Khattab. Murid-muridnya: Ibrahim bin Abdurrahman bin „Auf az-Zuhri, Aslam maula „Umar bin Khattab, Jabir bin Abdullah al-Anshori, Habib bin Shuhaib, Hamzah bin Shuhaib, Ziyad bin Shoifi bin Shuhaib, Saad bin Shuhaib, Sa‟id bin Musayyab, Sulaiman bin Abi Abdillah, Su‟aib bin „Amr bin Sulaim al-Anshori, Sholih bin Shuhaib, Abdullah bin „Umar bin Khattab dan Ka‟ab al-Ahbar.
86
Pendapat Ulama: IbnuHajar Al Atsqalani : Shahabat AdzDzahabi
: Shahabat. 49
c. Kritik matan Kandungan hadis di atas adalah tentang salah satu contoh canda tawa Nabi bersama sahabat dan Nabi hanya tersenyum. Dalam kritik matan ini penulis akan menjabarkan dengan berbagai pendekatan, yaitu: Pendekatan melalui hadis yang berkualitas lain Matan hadis di atas mendapat dukungan dari hadis lain yang mukharrijnya lebih kuat, yaitu sebuah hadis yang mukharrijnya Ibnu Majah yang kandungan matannya sama dengan hadis di atas. Adapun hadisnya adalah sebagai berikut: Ibnu Majah
٘ٓ
49
Syihabuddin Ahmad bin Faharis Ibn Hajar al-„Atsqalani Al –Ishabah fi Tamyiz asShahabah Juz 1 , Daar Kutub al-ilmiyyah, Beirut:1852 . 50 Muhammad Nasiruddin Albani, Sunan Ibnu Mâjah, penerjemah Iqbal Mukhlis, Pustaka Azzam: Jakarta, 2007.
87
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abdul Wahab dia berkata; telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Mubarak dari Abdul Hamid bin Shaifi salah seorang anaknya shuhaib, dari Ayahnya dari kakeknya Shuhaib dia berkata, "Aku datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedangkan di hadapan beliau terdapat roti dan kurma, lalu beliau bersabda: "Mendekat dan makanlah." Maka aku mengambil kurma dan memakannnya, lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kamu memakan kurma sedang kamu lagi sakit mata?" Shuhaib berkata, "Aku menjawab, "Aku mengunyah dari sisi yang lain." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun tersenyum mendengarnya."
Pendekatan melalui bahasa Bahasa yang dipakai oleh Nabi Muhammad Saw adalah bahasa yang sopan, tidak bertele-tele dalam pemakaian bahasa Arab, serta focus dalam satu masalah yang dibahas dalam hadis tersebut. Memperhatikan matan hadis diatas bahwa matan hadis di atas menjelaskan tentang salah satu contoh gurauan Nabi bersama sahabat dan Nabi hanya tersenyum. Matan yang terdapat dalam hadis tersebut juga sesuai dengan kaidah bahasa Arab, salah satu contohnya adalah lafadz
lafadz
dibaca nasab
karena kedudukannya sebagai maf‟ul bin, tanda nasabnya dengan fathah karena ia termasuk isim mufrad. d.
Kesimpulan Kualitas Hadis
Kriteria kesahihan hadis terdapat beberapa syarat yaitu: bersambungnya sanad, diriwayatkan oleh perawi yang dhabit, tidak ada kejanggalan (Syadz)
88
maupun cacat („illat)51. Sesuai dengan penjelasan kritik hadis diatas dapat disimpulkan bahwa semua sanad mempunyai hubungan antara guru dan murid sehingga bisa dipastikan bahwa semuanya adalah bersambung sanadnya (ittishal al-sanad), dan semua sanad dari hadis tersebut adalah dipandang positif (ta‟dil), jadi kualitas hadis tersebut adalah sahih.
51
Dr.Bustamin M.SI. Metode Kritik Hadis, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010
BABV PENUTUP A. Kesimpulan Setelah dikaji dan diteliti, penulis berkesimpulan bahwa keempat hadis yang diteliti dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn tidak semuanya berkualitas sahih. Berikut uraian keempat hadis dengan kualitasnya: a. Hadis Pertama: Hadis ini menjelaskan larangan beranda gurau dan kualitas hadis yang diriwayatkan dari al-Tirmidzi tersebut adalah hasan. b. Hadis Kedua: Hadis ini menerangkan bagaimana akibat bila seseorang beranda gurau dan kualitas hadis yang mukharrijnya Ahmad bin Hanbal tersebut adalah hasan. c. Hadis Ketiga: Hadis ketiga ini menjelaskan bahwa Nabi juga melakukan senda gurau akan tetapi Nabi berkata tentang kebenaran dan kualitas hadis yang mukharijnya Ahmad bin Hanbal dan al-Tirmidzi tersebut adalah sahih. d. Hadis Keempat: Hadis ini menerangkan bagaimana cara Nabi tertawa dan kualitas hadis yang mukharijnya Ibnu Majah dan Ahmad bin Hanbal tersebut adalah sahih.
89
90
B. Saran-saran Dari hasil uraian tentang hadis senda gurau yang menjadi tema dalam skripsi ini, penulis akan memberikan saran kepada para pembaca: a. Hendaknya lebih hati-hati dalam menjaga lisan ketika berucap b. Tidak terlalu berlebihan dalam senda gurau, karena senda gurau bisa menyebabkan sakit hati jika sampai terjadi saling mengolok-olok. Penulis sepenuhnya sadar masih banyak terjadi kesalahan di dalam skripsi ini, untuk itu diharapkan untuk para pembaca meneliti lebih lanjut mengenai judul atau tema skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA Abû Hamîd, Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, (Beirut: Daar al-Fikr, 2002) -------, Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, tahqiq: Badawi Thibanah, Juz I (Semarang: Karya Thaha Putra, tt) ------- Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, terjemahan Isma‟il Ya‟kub (Medan: Penerbit Imbalo, 1964) -------, Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, terj. Ibnu Ibrahim Ba‟adillah (Jakarta: Republika Penerbit, 2011) Amin, Kamaruddin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2009) Ansyari, Ending Syaifuddin, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pemikiran Islam dan Umatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993) Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) al-A‟sham,„Abd al-Amir, al-Fallasuf al-Ghazali, (Beirut: Dar al-Andalus, tt) al-„Atsqalanî, Syihâb al-Dîn Ahmad bin Fahâris Ibn Hajar, al-Isâbah fȋ Tamyȋ z al-Sahâbah, jilid 2, Beirut: Dâr al-Kitâb al-„Arabȋ Azami, M.M, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj.‟Ali Mustafa Ya‟qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) Al-Bani, Muhammad Nasiruddin, Sunan Ibnu Mâjah, penerjemah Iqbal Mukhlis, Pustaka Azzam: Jakarta, 2007. Bustamin, Metode Kritik Hadis, diterbitkan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010 ------- dan Hasanuddin, Membahas Kitab Hadis, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010)
ad-Dihami, Ali, Menjaga Hati, (Jakarta: Gema Insani, 2005). al-Ghazali, Bahaya Lidah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994) ------- Wasiat Imam Ghazali Minhajul Abidin (Jakarta: Darul Ulum Press, 1986) Hafsa, Abu, Pintu Masuk Buku Ini, dalam Abû Hamîd al-Ghazali, Ihyâ` ‘Ulûm alDîn, (Jakarta:Republika Penerbit, 2011) Hamid, Ali Hasan Ali Abdul, Ihya Ulumuddin Pandangan Ulama, terj. Yoga (Jakarta: Darul Qolam, tt)
Hamka, “Sambutan Terjemahan IHYA‟ ULUMUDDIN” dalam Abû Hamîd alGhazali, Ihyâ`‘Ulûm al-Dîn, terj. Tk. Ismail Yakub, Juz I (Medan: Penerbit Imbalo, 1964) Hermawan, Karung Mutiara al-Ghazali, (Jakarta: Gramedia, 1997) Himawijaya, Mengenal al-Ghazali For Teens, Keraguan Adalah Awal Keyakinan, (Bandung:PT Mizan Banaya Kreative, 2004) Ismail, Ahmad Satori, Pro-Kontra Pemikiran al-Ghazali, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997). Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) Jarullah, Abdullah bin, Awas! Bahaya Lisan, Penerjemah Abu Haidar, Abu Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. VI al-Jawzi, Ibn, Minhajul Qashidin, sebagaimana dikutip oleh: Ali Hasan Ali Abdul Hamid, Ihya Ulumuddin Pandangan Ulama, terj. Yoga (Jakarta: Darul Qolam, tt) al-Khâtib, M.‟Ajâj, Ushûl al-Hadîts, terj. M. Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pertama, 2001) Mandzûr, Ibnu, Lisân al-‘Arabi, juz 12 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-„Arabi) al-Mizyi, Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf, Tahdzîb al-Kamâl fȋ Asmâ` al-Rijâl, Beirut: Mu`assasah Risalah, 1992. Muhammad, Ahsin Sakho, dkk, ed., Tematis Ensiklopedi Al-Qur’an, jilid 3. Terjemah al-Mausu’ah al-Qur’aniyah (Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, t,t) al-Naisaburi, Muslim ibn Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi, Shahih Muslim, jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr) Rahman, Fathur, Ikhtisar Mustalah Hadis, ( Bandung: PT Ma‟arif, 1974) Rizkiputra, Dikalustian, Bahaya Lisan dan Pencegahannya dalam al-Qur’an, (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), no. 2886 Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), cet ke-4 Sholichin, Mukhammad, Filsafat dan Metafisika dalam Islam, (Yogyakarta: Penerbit Narasi) Sihabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia al-Qur’an; kajian kosa kata, vol II (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. 1.
at-Tahhan, Mahmud, Usul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, (Riyad: Maktabah alMa‟arif, 1991) Taimiyah, Ibn, Majmu’ Fatawa, Juz X. Tsaurah, Abî Hisyâm Muhammad bin „Isâ bin, Sunan Tirmîdzî, (Beirut:Dâr alMa‟rifah, 2002). Weinsinck, A.J, Corcondanceet Indices de la Tradition Musumane, diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu‟ad „Abd al-Baqi, al-Mu’jam alMufahras li Alfâdz al-Hadîts al-Nabawî,jilid 3. Brill:Leiden,1955 Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989) http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah. Di akses pada tanggal 8 Juni 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah. Diakses pada tanggal 8 Juni 2014.
http://media.kompasiana.com/new-media/2014/01/06/yks-semakin-dihujat-ratingnyasemakin-menjulang-624438.html Di akses pada tanggal 10 Juli 2014 http://skyaddictshozza.blogspot.com/2012/06/bolehkah-senda-gurau.html pada 1 September 2014
Di
akses
عن
)(w.68 H عن
)(w.104 H عن
)(w.118 H عن
)(w.148 H
عن
)(w.195 H
حدثنا
)(w.252 H حدثنا
)(w.279 H
عن
)(w.57 H
عن
)(w.103 H عن
)(w.132 H
عن
)(w.152 H
اخبرنا
)(w.181 H
اخبرنا
)(w.213 H
حدثنا
)(w.241 H
قال
)(w.57 H عن
)(w.123 H عن
عن
)(w.153 H
)(w.148 H
عن
عن
)(w.181 H
)(w.175 H حدثنا
اخبرنا
)(w.215 H
حدثنا
)(w.207 H
حدثنا
)(w.271 H
خدثنا
)(w.279 H
)(w.241 H
قال
)(w.38 H
عن
)(w.100 H
عن
)(w.142 H
حدثنا
)(w.181 H
حدثنا
حدثنا )(w.223 H
)(w. 207 H
قال
)(w.254 H
حدثنا
حدثنا )(w.273 H
)(w.241 H