HADIS KEMISKINAN MENURUT IBNU QUTAIBAH DALAM KITAB TA’WIL MUKHTALIFUL HADIS
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh Fiqri Auliya Ilhamny NIM : 107034001713
JURUSAN TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 M / 2014 H
INSPIRASI UNTUK SEORANG KAWAN Walaupun kita gagal, ingatlah mimpi itu indah. “ Sudently, we can get what we want, but not what we need” “when we never try, we never know” “ Mimpi dan kenyataan mungkin jarang bersatu, tapi selalu ada peluang meraih dan menggapainya ” “barang siapa mengerjakan kebaikan dzarrahpun, niscaya dia akan meliha (balasan)Nya *az-zalzalah ayat 7*” *Fiqri Ilhamny (Mahasiswa TH ’07) NB :Skripsi ini saya persembahkan khusus kepada teman-teman TH angkatan 2007 yang tidak dapat menyelesaikan masa studi S1 di UIN Jakarta.
KATA PENGANTAR Puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya pemulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang begitu berjasa dalam mencurahkan kebaikan kepada seluruh manusia. Dalam proses penulisan skripsi ini penulis merasakan tantangan dan halangan yang begitu berat. Di sela-sela kesibukan penulis dalam bekerja, penulis harus menyempatkan diri mencari buku-buku referensi serta mengetik hasil temuan tersebut dengan harapan dapat segera menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sebagai karya tulis hamba yang dha’if, tentunya di dalam penelitian ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, ada kemungkinan ditemukan bagi mereka yang ingin menelaahnya dengan lebih teliti. Segala kesalahan tersebut tidak lain adalah sebuah keterbatasan pengetahuan penulis di dalam melakukan penelitian ini. Bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak serta kritikan, sangat berharga dalam penyusunan tugas akhir ini. Maka, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1.
Segenap civitas akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Masri Mansoer MA, (Dekan Fakultas Ushuluddin), Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si (Pembantu Dekan Bidang Akademik), Dr. M. Suryadinata, M.Ag (Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum), Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA (Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan), Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A (Ketuan Jurusan Tafsir-Hadis), Jauhar Azizy, MA (Sekretaris Jurusan Tafsir-Hadis)
2.
Dr. M Isa HA Salam, MA Selaku pembimbing yang telah dengan sabar dan tidak bosan-bosannya membantu, membimbing dan mengarahkan serta menasehati penulis dalam penulisan skripsi ini, semoga beliau selalu diberi perlindungan dan kesehatan oleh Allah SWT (Amin).
3.
Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, Khususnya dosen-dosen di Jurusan TafsirHadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, dari semenjak penulis masuk di Fakultas Ushuluddin sampai saat ini, sehingga berkat jasa beliau-beliaulah penulis mendapatkan berbagai pengetahuan, semoga Allah SWT selalu melindungi beliaubeliau semua (Amin).
4.
Kedua orang tua (H. Abdullah Cholil dan Zumrotun Nisa)yang selalu memberikan dukungan, semangat, motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, serta senantiasa menghembuskan nafas untuk mendoakan penulis agar kelak menjadi manusia yang sukses serta bermanfaat bagi banyak orang. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat, hidayah, perlindungan dan kesehatan kepada mereka (Amin).
5.
Kakak dan adik penulis (Mas Iqbal, Mbak Nining, Mas Meni, Mbak Nining, Ida Zuraida dan Malik) yang sudah banyak berkorban membantu penulis mengeluarkan sebagian penghasilannya dalam menyelesaian skripsi ini, semoga Allah SWT melancarkan dan memberikan keberkahan atas rejekinya (Amin)
6.
Teman-teman penulis di Jurusan Tafsir Hadis angkatan 2007: Mustar, Mi’roji, Husnul Aqib, Fiqri Aulia Ilhamny, Daud Catur Wicaksono, Irwan Muhibbudin, Muhammad Rusli, Arfan Akbar, Muhammad Berbudi, Muhammad Badrul Munir, Ismail Amir, Syaifuddin, Dian Kusnadi, Uchil, Redhitya Bagus, dan kepada temanteman lain yang penulis tidak bisa cantumkan namanya satu persatu dalam kata pengantar ini, semoga Allah SWT melindungi mereka semua dimanapun berada (Amin).
7.
Kepada teman-teman KKN 46 tahun 2010, yang selalu memberikan semangat, semangat dan semangat pada penulis.
8.
Akhirnya, harapan penulis, semoga segala aktivitas yang kita kerjakan selalu diberi kemudahan dan menjadi nilai ibadah di sisi-Nya. Sekali lagi dari lubuk hati yang paling dalam penulis haturkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya.
Jakarta, 28 September 2014
Penulis
LEMBAR PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Fiqri Auliya Ilhamny
Tempat/ Tanggal Lahir
: Surabaya, 12 Juni 1987
NIM
: 107034001713
Jurusan
: Tafsir Hadis
Judul Skripsi
: “Hadis Kemiskinan Menurut Ibnu Qutaibah Dalam Kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadis)”.
Dosen Pembimbing
: Dr. M. Isa HA Salam, MA
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 28 September 2014
Fiqri Auliya Ilhamny
DAFTAR ISI ……………………………….......................
iii
……………………………………………………....
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
…..………………………….............
ix
BAB I
......……………………………..........
1
…………………….....
1
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
BAB II
............
5
C. Tujuan Penelitian
………………………………...
5
D. Tinjauan Pustaka
………………………………...
6
E. Metodologi Penelitian ……..…………..…………....
7
F. Sistematika Penulisan ……………………...…..….....
8
IBNU QUTAIBAH DAN KITAB TA'WIL MUKHTALIFUL HADIS A. Riwayat Hidup
...............................................
1. Biografi Ibnu Qutaibah 2. Karya-karyanya
9
.......................
9
..............................................
B. Mengenal Kitab Ta'wil Mukhtaliful Hadis
11
............
13
1. Latar Belakang Penulisan Kitab .........................
13
2. Metode Penyelesaian Kitab Ta’wil Mukhtaliful Hadis.. 17 a. Penyelesaian Antara Hadis Dengan Hadis
....
b. Penyelesaian Antara Hadis Dengan Al-Quran ..
18 20
c. Penyelesaian Hadis Yang Tidak Sejalan Dengan Akal 22 d. Penyelesaian Hadis Mutasyabihat BAB III
..............
PANDANGAN UMUM TENTANG KEMISKINAN ....... A. Pengertian Kemiskinan Dan Indikator .........................
24 27 27
1.
Prespektif Islam
.......................................
28
2.
Prespektif Sosial
.......................................
31
B. Faktor-Faktor yang Membentuk Kemiskinan ............
32
1.
Faktor Kondisi Alam .......................................
32
2.
Faktor Kultular
.......................................
34
3.
Faktor Struktural
.......................................
35
vii
viii
C. Kondisi dan Wajah Kemiskinan Masyarakat BAB IV
38
Analisis Hadis Kemiskinan ......................................................... 41 ……….....................................
41
1. Meneliti Kandungan Matan Dengan Hadis.............
43
2. Meneliti Kandungan Matan Dengan Al-Qur’an .........
45
3.Wasiat Nabi Mencintai Orang Miskin
.............
46
4. Pendapat Ulama Tentang Do’a Miskin ...................
50
B. Analisis Ibnu Qutaibah tentang Hadis Kemiskinan …
51
A. Hadis Kemiskinan
BAB V
...............
PENUTUP…………………………………………….......
54
A. Kesimpulan……………………………….............
54
B. Saran……………………………………………....
55
DAFTAR PUSTAKA……………………..………………………...........
56
PEDOMAN TRANSLITERASI A. Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
Huruf Arab
Huruf Latin
ب
B
ط
t
ت
T
ظ
z
ث
Ts
ع
‘
ج
J
غ
gh
ح
H
ف
f
خ
Kh
ق
q
د
D
ك
k
ذ
Dz
ل
l
ر
R
م
m
ز
Z
ن
n
س
S
و
w
ش
Sy
هـ
h
ص
S
ء
`
ض
D
ي
y
B. Vokal Vokal Tunggal
:
....... = a
......
= i
...... = u
Vokal Panjang
:
....... = â
......
= î
...... = û
Vokal Rangkap
:
....... = ai
......
= au
C. Alif Lam (al) Alif lam ta’rîf ( )الdalam lafadz atau kalimat, baik yang bersambung dengan huruf qamariyyah maupun syamsiyyah ditulis dengan huruf kecil (al), dan diikuti dengan kata penghubung ” – “. Namun, jika terletak diawal kalimat, maka ia ditulis dengan huruf besar (Al). Contoh:
ix
x
1. Al ditulis dengan huruf kecil - al-Qur’an = seperti, “sebagai mana disebutkan dalam al-Qur’an” - al-Baihaqî = seperti, “menurut al-Baihaqi, bahwasannya…” 2. Al ditulis dengan huruf besar - Al-Baihaqi = seperti, “Al-Baihaqi menyatakan bahwa….” - Al-Bukhari = seperti, “Al-Bukhari, didalam kitabnya menegaskan…”
D. Singkatan SWT = Subhânahu wa ta’âlâ
H
= Hijriyah
as
= ‘Alaih al-salâm
ra
= Radiya Allâh ‘anhu
M
= Masehi
w
= Wafat
Q.S
= al-Qur’ân; surat
h
= Halaman
saw
= Sholla Allahu ‘alaih wa sallam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang bersifat umum. Fenomena itu terdapat pada berbagai lapisan masyarakat di Indonesia,1 baik yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maupun yang mayoritas penduduknya beragama non Islam, yaitu Hindu, Kristen, dan kepercayaan lokal. Fenomena seperti itu juga terdapat pula pada banyak masyarakat di negara lain. Dengan demikian kemiskinan bukan merupakan fenomena yang bersifat khusus pada masyarakat dengan latar belakang tertentu dari segi Suku, Bangsa dan Agama. Menurut Parsudi Suparlan, kemiskinan bukanlah suatu yang terwujud sendiri, terlepas dari aspek-aspek lainnya, tetapi terwujud sebagai hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia. Aspek-aspek yang utama adalah sosial dan ekonomi.2 Pendapat ini agaknya sejalan dengan ungkapan Anwar Nasution yang menyatakan, bahwa keterbelakangan ekonomi suatu negara atau masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh Agama, kepercayaan, sikap hidup dan adat istiadat, tetapi juga dipengaruhi oleh variabel-variabel lain3. Kedua pendapat ini mengakui bahwa kemiskinan ditimbulkan oleh berbagai faktor. 1
Pada tahun 1990, terdapat 22,7 juta jiwa rakyat indonesia berada dibawah garis kemiskinan (15,08% dari total penduduk). Lihat Biro Pusat Statistik, kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan di Indonesia 1976-1990 (Jakarta: BPS, 1991), hal. 19 2 Parsudi Suparlan, “Kemiskinan”, dalam A.W. Widjaja (ed), Manusia Indonesia Individu, Keluarga, dan Masyarakat (Jakarta: Akademika Pressindo, 1986), hal.29 3 Anwar Nasution, “Bahasan”, dalam Sri Edi Swarsono, et al. (ads), Sekitar Kemiskinan Dan Keadilan Dari Cendikiawan Kita Tentang Islam (Jakarta: UI Press, 1987), hal. 167
1
2
Kemiskinan
sebagai
fenomena
sosial
telah berlangsung lama.
Setidaknya, dapat dikatakan bahwa fenomena demikian itu sudah ada pada masa al-Qur’ân diturunkan. Ini mengandung arti bahwa banyak masyarakat yang bergelut dengan kemiskinan dalam jangka waktu yang lama. Ini dapat pula berarti bahwa banyak warga masyarakat, secara individual atau berkelompok, gagal mengatasi kemiskinan sebagai suatu hal yang tidak mereka kehendaki. Kemiskinan tidak dikehendaki oleh semua orang, sebab dalam kondisi seperti ini mereka dalam keadaan serba kekurangan, tidak mampu mewujudkan berbagai kebutuhan utamanya di dalam kehidupannya, terutama dari segi material. Akibat dari ketidakmampuan di bidang material, orang miskin mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan gizinya, memperoleh pendidikan, modal kerja dan sejumlah kebutuhan utama lainnya. Akibat lain yang mungkin timbul diantara mereka, antara lain, kurangnya harga diri, moralitas yang rendah dan kurangnya kesadaran beragama. Islam sangat memperhatikan fenomena kemiskinan, yang tergambar dalam teks qurani maupun hadist . Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
3
Akan tetapi di antara sekian banyak hadis ataupun do’a-do’a yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diajarkan kepada umatnya, ada doa yang sedikit mengganjal. yaitu:
َواحْ ُشرْ نِي فِي ُز ْم َر ِة ا ْل َم َسا ِكي ِن،ً َوأَ ِم ْيتِنَي ِم ْس ِكينا،ًاللّهُ َّم أَحْ يِنِي ِم ْس ِكينا Artinya : Ya Allah ! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) di dalam rombongan orang-orang miskin”.4 Disisi lain, seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Seharusnya telah memberikan solusi-solusi tentang wacana-wacana yang telah terjadi, karena hadis menempati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadis bagi umat Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur`an. Hal ini karena, hadis merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an, yang karenanya siapapun tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan hadis tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara hadis dengan Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan dengan sendiri.5
Perlu kita tekankan kembali bahwa hadis mempunyai kedudukan yang begitu penting dalam Islam, sehingga Tuhan sendiri perlu menjelaskan posisi Nabi -sebagai sumber hadis- dalam Islam. Oleh karena itu bagi kita sebagai 4 5
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah. Juz 2 halaman 1381 no Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam Jakarta: Bulan Bintang,1989
4
umat Islam, kiranya juga perlu mengetahui fungsi hadis tersebut dalam kehidupan kita sehar-hari, termasuk fungsi utama hadis terhadap sumber pertama Islam yakni al-Quran. Karena kita yakin bahwa dengan mengetahui fungsi hadis tersebut, kita akan lebih dapat mengenal hadis dan lebih mantap dalam mengkaji dan sekaligus mengamalkannya. 6
Secara umum bahwa fungsi hadis bagi umat Islam ialah sebagai pedoman dan arah dalam menjalani kehidupan di dunia ini, karena hadis itu memberikan arahan yang berupa prinsip-prinsip yang harus ditegakkan, baik dalam kaitannya dengan persoalan ibadah maupun bermuamalah dengan sesama manusia. Disamping itu hadis juga memberikan berbagai ketentuan yang cukup rinci, khususnya berkaitan dengan persoalan ibadah, seperti shalat, zakat, dan lainnya. Jadi setiap muslim yang mengaku beriman, sesungguhnya ia harus menjadikan hadis Nabi sebagai tuntunan dalam segala aktifitasnya, tentu saja disamping al-Quran yang menjadi prioritas utama.7
Dalam hal ini perlu adanya pemahaman yang harus dijabarkan kembali secara detail tentang bagaimana agama Islam melalui sumber hukumnya yang kedua yakni hadis Nabi Muhammad SAW, memberikan pemahaman tentang hakikat dari sebuah kemiskinan. Untuk menuju hal tersebut pada skripsi ini akan menjelaskan lebih spesifik lagi melalui pendapat Ibnu Qutaibah di dalam Kitab Ta’wil Mukhtalif Hadis. Karena didalam buku ini men-syarah tentang arti miskin yang terdapat dalam hadis nabi. 6 7
Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama,1996 Munzier Saputra,ilmu HadisJakarta PT RajaGrafindo Persada:1993.
5
Dengan latar belakang pemikiran di atas, maka masalah pokok yang dibahas adalah Hadis Kemiskinan Menurut Ibnu Qutaibah Dalam Kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadis.
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1.
Batasan Masalah
Untuk memperjelas dan menghindari pembahasan yang tidak mengarah pada maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka penulis akan membatasi permasalahan dengan menitik beratkan kepada pensyarahan Ibnu Qutaibah dalam Kitab Ta’wil Mukhtalif Hadis dalam hadis “ Allahumma ahyinii miskinan, wa amitnii miskinan, wahsyurnii fi jumratil masaakiin” 2.
Rumusan Masalah Berdasarkan
pembatasan
masalah
di
atas,
maka
penulis
merumuskan
permasalahannya pada: Bagaimana syarah Ibnu Qutaibah tentang kemiskinan dalam Kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadis?
C. Kajian Pustaka Penulis telah menemukan beberapa skripsi yang berkaitan tentang skripsi yang penulis bahas, yaitu : 1. Studi Kualitas Hadis Tentang Kemiskinan Mendekati Kekafiran, yang ditulis oleh Amiludin bin Yusuf, pada tanggal 20 Februari 2008. Namun demikian, Skripsi ini hanya membahas hadis-hadis tentang kemiskinan, tidak mencakup keseluruhan hadis-hadis kemiskinan akan tetapi hanya membatasi pada hadis miskin mendekati kekafiran.
6
2. Telaah Interpretasi Yusuf Qardhawi terhadap Ayat-ayat Kemiskinan, yang ditulis oleh Muhammad Aqib pada tanggal 21 Mei 2012. Skripsi ini hanya memaparkan ayat-ayat 6 ayat al-Qur’ân dalam menjawab masalah kemiskinan, dengan penekanan pada problem dan bahaya kemiskinan. 3. Studi kritik sanad dan matan hadis tentang doa nabi agar dihidupkan dalam keadan miskin dengan Kode 1936 th u tahun 2007. Skripsi ini juga membahas hadis yang penulis kaji, akan tetapi dalam pembahasannya lebih terfokus pada sanad, dan sedikitnya penjabaran dari bidang matan. Oleh karena itu skripsi yang penulis tulis ini lebih memfokuskan kepada analisa syarah Ibnu Qutaibah, terhadap kemiskinan dengan pandangan dan pendapat para ulama. Adapun kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam penulisan skripsi ini Ta’wil Mukhtaliful hadis karena didalam kitab ini menjabarkan pendapat Ibnu Qutaibah dan kitab-kitab lainnya yang mendukung dengan pembahasan skripsi ini seperti penjelasan hadis dari ulama hadis.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dalam bentuk penelitian, tujuan merupakan landasan utama yang dijadikan tolok ukur.
Tanpa tujuan yang jelas, maka akan simpang siurlah
pelaksanaan penelitian ini. Adapun tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana Ibnu Qutaibah menjabarkan arti kemiskinan yang dimaksud dalam doa Nabi.
7
Dan yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan inspirasi bagi kajian Islam terutama dalam kajian Hadis yang penulis lakukan sekarang ini. 2.
Sebagai syarat untuk gelar sarjana S1 pada Fakultas Ushuluddin.
E. Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode penelitian kepustakaan (Library Research). Library Research adalah suatu penelitian penyelidikan terhadap buku-buku, majalah dan bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Kemudian dari bacaan tersebut penulis mengklarifikasikan materi dan kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. Kemudian dalam penulisan skripsi ini penulis mengacu kepada metodologi deskriptis analisis, yang dalam hal ini diharapkan dapat memahami dan memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan isi skripsi ini. Demikian juga agar penulis dapat menyusun dalam bentuk yang sistematis sehingga nantinya dapat mengena pada inti permasalahan dan dapat memperoleh hasil penelitian yang benar. Adapun data primer yang penulis pakai dalam penulisan skripsi ini adalah : Kitab Ta’lif mukhtaliful hadis sebagai kitab primer dan buku-buku lain sebagai pendukung. Sedangkan data sekunder merupakan sumber pendukung yang ada relevansinya dengan pembahasan skripsi ini. Semua itu dilakukan melalui proses pengumpulan data-data, pendapat para ulama ahli fiqih dan hadis untuk kemudian dijadikan analisis kesimpulan akhir pada skripsi ini.
8
Adapun teknik penulisan skripsi ini penulis menggunakan standar buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007 yang dianjurkan Fakultas Ushuluddin dan juga rujukan penulisan ayat-ayat al-Qur’ân Depag RI.
F.
Sistematika Penulisan
Ada lima bab dalam skripsi ini, setiap bab terdiri dari sub-sub bab, hal ini sebagai penjelas yang memiliki kolerasinya dengan pembahasan bab-bab tersebut. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah : Bab pertama adalah pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi peneletian dan sistematika penulisan. Bab kedua, biografi dari Ibnu Qutaibah dan sekilas tentang kitab Ta’wil mukhtalif al-hadis. Bab ketiga pengertian kemiskinan, yang berisi penjabaran miskin dari prespektif islam, prespektif sosial. Bab keempat mengkaji dari matan hadis,
dan analisis Ibnu Qutaibah
tentang hadis kemiskinan didalam kitab mukhtalif al-hadis. Bab kelima merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saransaran.
BAB II IBNU QUTAIBAH DAN KARYANYA TA'WÎL MUKHTALIF AL-HADÎTS
A.
Riwayat Hidup 1. Biografi Ibnu Qutaibah
Nama lengkap Ibnu Qutaibah adalah ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah alDainûrî al-Marwazî. Kun-yahnya adalah Abû Muhammad. Ia dinisbatkan pada alDainûrî, yaitu suatu daerah di mana ia pernah menjadi hakim di sana. Sebagian ulama berpendapat, Ibnu Qutaibah juga dinisbatkan pada al-Marwazî yang merupakan tempat kelahiran ayahnya. Dalam beberapa literatur, ia terkadang dikenal dengan sebutan al-Qutbâ atau al-Qutaibâ yang merupakan bentuk tashghîr (memiliki arti kecil) dari kata Qutbah dan bentuk tunggal dari kata aqtâb yang mempunyai arti jeroan binatang ternak. Tidak diketahui dengan jelas mengapa ia dinisbatkan pada kata tersebut.1 Ibnu Qutaibah dilahirkan pada tahun 213 H / 828 M di Baghdad, dan ada yang mengatakan di Kufah. Pada masa itu Baghdad merupakan ibu kota negara yang berada di dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon. Jadi dapat dikatakan bahwa pusat pemerintahan dinasti ‘Abbâsiah berada di tengah-tengah bangsa Persia.2 Sejak saat itu Baghdad tidak pernah sepi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kemunculan ulama, sehingga kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ibnu Qutaibah untuk 1
‘Abd al-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, (Beirut, Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiah 1988) Cet. I, hlm. 8 2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta, RajaGrafindo Persada 1995, Cet. III)
hlm. 51
9
10
menyerap ilmu dari beberapa ulama setempat. Tidak puas dengan apa yang beliau dapatkan di Bahgdad, Ibnu Qutaibah pun mulai gemar melakukan perlawatan dari satu daerah ke daerah yang lain untuk memperoleh ilmu, sebagaimana yang dilakukan para ulama pada waktu itu. Ia mengunjungi Bashrah, Makkah, Naisabur dan tempat-tempat lain untuk belajar berbagai macam disiplin ilmu dari para ulama yang ada di sana. Beliau belajar hadis pada Ishâq bin Râhawaih, Abû Ishâq Ibrahim bin Sulaimân al- Ziyâdî, Muhammad bin Ziyâd bin ‘Ubaidillâh al-Ziyâdî, Ziyâd bin Yahyâ al- Hassânî, Abû Hâtim al-Sijistânî dan para ulama yang semasa dengan mereka.3 Di samping mempelajari ilmu-ilmu agama, beliau juga haus akan pengetahuan yang berkembang pesat pada waktu itu. Semangatnya yang tinggi dalam mencari ilmu semakin membara ketika menyaksikan berbagai macam pemikiran yang meracuni sebagian besar umat Islam, sehingga pada akhirnya beliau tumbuh berkembang menjadi seorang ulama yang berwawasan luas, kritis terhadap permasalahan-permasalahan sosial dan mampu mewarnai corak pemikiran keilmuan yang berkembang pada saat itu. Beliau juga mampu memberikan solusi terhadap problem keagamaan khususnya permasalahan yang sedang diperdebatkan oleh ulama ahli Kalam, dengan uraian yang ilmiah dan bisa diterima oleh berbagai kalangan, yang sebelumnya memperbincangkan sekitar permasalahan tersebut masih dianggap tabu oleh sebagian ulama Salaf khususnya golongan Ahl al-Sunnah.4
3
Muhammad ‘Abd al-Rahîm, Al-Muqaddimah, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta'wil Mukhtalif al-hadis, Dâr al-Fikr, Beirut, 1995, hlm. 6. Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts Wa alMuhadditsûn, Dâr al-Fikr, Beirut, t.th., hlm 362 4 Joesoef Sou'yb, Sejarah Daulat Abbasiah II, (Jakarta, Bulan Bintang t.th 1996, ) hlm. 26
11
Di samping itu beliau juga mampu menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh-tokoh ensiklopedik besar, sehingga tidak heran bila beliau menjadi rujukan bagi Ibnu Atsîr dalam mengupas lafazh-lafazh hadis yang janggal dan sulit dipahami dalam karyanya al-Nihâyah fî Ghorîb al-Hadîts dan ulama lain dalam permasalahan yang sama.5 Dalam bidang fiqh, beliau senantiasa berada di barisan madzhab-madzhab ulama yang teguh memegang sunnah yang berkembang pada waktu itu, meskipun secara pribadi beliau mengikuti madzhab Imam Ahmad dan Imam Ishâq.6 Ibnu Qutaibah Wafat tahun 276 H pada usia 63 tahun (menggunakan perhitungan tahun hijriyah)
2. Karya-Karya Ibnu Qutaibah Ibnu Qutaibah adalah salah seorang ulama yang gemar menulis. Hasil karyanya tidak kurang dari 300 buah. Beliau banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama hadis maupun ulama lainnya. Bahkan penduduk kota Maghrib memberikan penghargaan yang tinggi kepadanya seraya mengatakan, “Barang siapa sengaja menentang Ibnu Qutaibah maka dicurigai sebagai seorang zindiq (atheis).” Mereka juga mengelu-elukan Ibnu Qutaibah dengan mengatakan, “Setiap rumah yang tidak terdapat karya Ibnu Qutaibah, maka tidak ada kebaikan di dalamnya.” 7
5
‘Abd al-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiah, Beirut, 1988, Cet. I, hlm. 12-13 6 Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts Wa al-Muhadditsûn, , Beirut, Dâr al-Fikr t.th.1995, hlm 362 7 ‘Abd al-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiah, Beirut, 1988, Cet. I, hlm.7
12
Di antara karya-karya Ibnu Qutaibah dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan adalah: (1) Al-Ibil, (2) Adab al-Qâdlî, (3) Adab al-Kâtib, (4) AlIsytiqâq, (5) Al-Asyribah, (6) Ishlâh al-Ghalâth, (7) I’râb al-Qur'an, (8) A’lâm alNubuwwah, (9) Al-Alfâzh al-Muqribah bi al-Alqâb al-Mu’ribah, (10) Al- Imâmah wa al-Siyâsah, (11) Al-Anwâ', (12) Al-Taswiyah bain al-‘Arab wa al- ‘Ajam, (13) Jâmi’ al-Nahwî, (14) Al-Ru'yâ, (15) Al-Rajul wa al-Manzil, (16) Al-Râd ‘alâ al-Syu’ûbiyah, (17) Al-Râd ‘ala Man Yaqûlu bi Khalq al-Qur'an, (18) Al-Syi’ru wa al-Syu’arâ, (19) Al-Shiyâm, (20) Thabaqât al-Syu’arâ, (21) Al-Arab wa ‘Ulûmuha, (22) ‘Uyûn alAkhbâr, (23) Gharîb al-Hadîts, (24) Gharîb al-Qur'an, (25) Al-Faras, (26) Fadllu al‘Arab ‘alâ al-Ajam, (27) Al- Fiqh, (28) Al-Qirâ'ât, (29) Al-Masâ'il wa al-Ajwibah, (30) Al-Musytabih min al-Hadîts wa al-Qur'an, (31) Musykil al-Hadîts, (32) AlMa’ârif, (33) Ma’âni al-Syi’r, (34) Al-Nabât, (35) Al-Hajwu, dan karya-karya yang lain. Seluruh hasil karya tersebut beliau ajarkan di kota kelahirannya, Baghdad. Di antara para muridnya yang mampu menyerap pengetahuan yang diajarkan oleh Ibnu Qutaibah adalah anaknya sendiri, Abû Ja’far bin ‘Abdillah yang pernah menjabat sebagai Qâdli di Mesir sekitar tahun 320 H. 8 Akhirnya pada usia 63 tahun bulan Rajab tahun 276 H/889 M beliau dipanggil oleh Allah SWT. Seluruh hidupnya beliau pergunakan untuk mengembangkan pemikiran keislaman serta memajukan bidang pendidikan dan kebudayaan. Tetapi
8
Muhammad ‘Abd al-Rahîm, Al-Muqaddimah, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta'wil Mukhtalif al-hadis, Beirut, Dâr al-Fikr 1995, hlm. 7
13
perhatian yang lebih besar beliau tujukan untuk membela sunnah dan ulama ahli hadis di hadapan musuh-musuh Islam.9
B.
Mengenal Kitab Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts 1. Latar Belakang Penulisan Kitab Imam Ibnu Qutaibah hidup pada masa Daulah ‘Abbâsiyah yang pusat
kekuasaannya di kota Bahgdad. Beliau hidup pada masa ‘Abbâsiyah II, yaitu masa Khalifah al-Mutawakkil sejak tahun 232 H/847 M. Pada masa ini keadaan politik dan militer mulai mengalami kemerosotan, namun dalam bidang ilmu pengetahuan semakin mengalami kemajuan, tidak terkecuali dalam bidang hadis. Keadaan itu antara lain karena negara-negara bagian dari kerajaan Islam berlomba-lomba dalam memberi penghargaan atau kedudukan terhormat kepada para ulama dan para pujangga.10 Seiring dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan, banyak pula bermunculan gerakan-gerakan politik yang berselimutkan agama, sebagai kelanjutan dari masa sebelumnya, baik yang mendukung pemerintah maupun yang melakukan oposisi, seperti revolusi Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindik di Persia, gerakan Syi’ah, Murji'ah, Ahl al-Sunnah dan Mu’tazilah.11 Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu’tazilah mulai berkembang di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun pemikirannya yang lebih kompleks dan 9
Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts Wa al-Muhadditsûn, Beirut, Dâr al-Fikr t.th.1995, hlm
363 10
A. Hasjmy, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam, Banda Aceh, Badri Yatim 1973, Bagian I, hlm.190., op. cit., hlm. 53 11 A. Hasjmy, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam, ( Banda Aceh, Badri Yatim 1973) hlm. 199.
14
sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani ‘Abbas periode pertama, yaitu sekitar awal abad ke-9 Masehi setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani. Tokoh perumus pemikiran Mu’tazilah yang terbesar adalah Abû al-Hudzail al-‘Allâf (135-235 H/752-849 M) dan al-Nazhâm (185-221 H/801-835 M).12 Pada periode ini, bahkan sejak abad ke-2 Hijriah, telah lahir para mujtahid di bidang ilmu fiqh dan ilmu kalam. Kemajuan ilmu pengetahuan Islam pun sangat pesat. Pada masa ini pula bentrokan pendapat telah mulai memanas baik antar madzhab fiqh maupun antar madzhab ilmu Kalam. Ulama ahli hadis pada masa ini juga menghadapi tantangan dari madzhab ilmu Kalam khususnya kaum Mu’tazilah. Ketegangan ini semakin memuncak ketika kaum Mu’tazilah mendapat angin segar dari penguasa pada waktu itu yaitu ketika pemerintahan dipegang oleh Khalifah alMa'mûn (wafat 218 H/833 M) yang dengan tegas mendukung pendapat-pendapat Mu’tazilah. Pada masa ini ulama fiqh dan ulama hadis menghadapi ujian yang sangat berat terutama ketika dipaksa oleh para penguasa untuk mengikuti paham Mu’tazilah, khususnya
tentang
kemakhlukan
al-Qur'an.Keadaan
yang
sangat
tidak
menguntungkan bagi ulama hadis ini tetap berlanjut pada masa Khalifah alMu’tashim (wafat 227 H/842 M) dan al- Watsîq (wafat 232 H/846 M). Barulah pada waktu Khalifah al-Mutawakkil mulai memerintah (232 H/846 M), ulama hadis mulai mendapat kelonggaran, sebab khalifah ini memiliki kepedulian terhadap sunnah.13
12
A. Hasjmy, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam, ( Banda Aceh, Badri Yatim 1973) hlm.
57 13
Muhammad Abû Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, , Jakarta, Logos 1996, Cet. I, hlm. 158
15
Keadaan tersebut sangat berpengaruh sekali terhadap perkembangan hadis. Pada masa ini hadis-hadis Nabi semakin tersebar luas ke berbagai wilayah. Sementara itu golongan-golongan yang memusuhi ulama hadis semakin gencar memperuncing permusuhan, akibatnya pemalsuan hadis dengan motivasi yang berbeda-beda pun kian merajalela. Di samping itu mereka juga meragukan validitas metodologi yang dipakai oleh ulama hadis dalam mengkodifikasikan sunnah, sehingga berakibat lahirnya sikap pengingkaran terhadap sunnah.14 Lebih jauh sebelum itu, mereka juga meragukan kejujuran para sahabat Nabi semenjak terjadinya fitnah pada masa ‘Ali bin Abî Thâlib. Mereka mencerca sebagian besar tokoh-tokoh sahabat dan menuduh mereka berbuat bohong, bodoh dan munafik. Penilaian ini membuat musuh-musuh Islam menolak hadis-hadis yang diriwayatkan dari para sahabat tersebut. Selain itu mereka juga mengingkari kehujjahan qiyas, ijma’ dan kepastian hadis mutawattir, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum Mu’tazilah. Pendirian golongan ini mengenai sunnah yang ekstrim dan menyalahi akidah umumnya kaum muslimin itu berpengaruh besar terhadap pertentangan antara tokoh-tokoh mereka dengan para ulama hadis serta membawa mereka kepada sikap saling menuduh. Mereka menuduh ulama hadis sebagai pembawa kebohongan, kepalsuan dan pengumpul berita tanpa memahami apa isi berita itu. Sementara itu ulama hadis menuduh mereka sebagai fasik, jahat, pembuat
14
Mushthafâ al-Sibâ’i, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Syari’at Islam, Terj. Nur kholish Madjid, (Jakarta, Pustaka Firdaus 1991) Cet. I, hlm. 116
16
bid’ah dalam agama dan mendominasi pendapat sendiri (al-ra'yu) yang Allah tidak memberinya otoritas mutlak.15 Serangan-serangan musuh Islam tersebut ternyata mampu mengguncang pendirian umat Islam pada waktu itu, sehingga mereka terjerumus ke dalam jurang perselisihan dan mengklaim kebenaran hanya berada di pihak mereka. Akibat dari perpecahan ini, umat Islam terbagi menjadi beberapa golongan. Di antara mereka ada yang masih memegang teguh dan mengedepankan urusan akhirat. Ada yang berpenampilan ulama, namun materialistis. Ada juga cendekiawan yang berilmu, tapi tidak bertaqwa. Ada yang hanya ikut-ikutan dan ada pula yang tidak tahu menahu. Masing-masing golongan mempunyai pendirian yang tidak mau dikalahkan oleh yang lain. Masing-masing juga mempunyai hujjah sendiri-sendiri baik dari al-Qur'an, sunnah maupun ijtihad untuk menjatuhkan lawan-lawan mereka.16 Peristiwa ini semakin lama semakin memanas hingga akhirnya lahirlah ulama-ulama hadis yang teguh pendiriannya dan berusaha semaksimal mungkin melalui pendapat dan karya-karyanya untuk membela kebenaran dan membersihkan tuduhan-tuduhan hina yang ditujukan pada sunnah Nabi maupun para ahli hadis.17 Sebagai seorang ulama yang santun, berilmu tinggi dan berwawasan yang luas, Ibnu Qutaibah merasa terpanggil untuk menancapkan kembali pondasi kebenaran dan kewibawaan Islam yang telah diceraiberaikan oleh orang-orang yang
15
Mushthafâ al-Sibâ’i, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Syari’at Islam, Terj. Nur kholish Madjid, (Jakarta, Pustaka Firdaus 1991) Cet. I, hlm. 178 16 ‘Abd al-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, Beirut, 1988, Cet. I, hlm. 10 17 ‘Abd al-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, Beirut, 1988, Cet. I, hlm. 11
17
tidak bertanggung jawab, melalui salah satu karyanya yang monumental Ta'wil Mukhtalif al-Hadîts. Di dalam karyanya tersebut, beliau berusaha menepis anggapan sebagian golongan yang menuduh ulama hadis telah melakukan kecerobohan, dengan meriwayatkan hadis yang dianggap saling berlawanan maupun tidak sejalan dengan al-Qur'an, pemahaman akal serta mengamalkan hadis-hadis yang bertentangan dengan Kemahasucian Allah. Beliau juga memberikan jawaban sebagai solusi pemecahan hadis-hadis tersebut berdasarkan keahlian yang beliau miliki. Sebelum menguraikan itu, terlebih dahulu beliau menjelaskan konflik yang terjadi antara ahli Kalam dan ahli Ra’yu (golongan rasionalis), membeberkan sikap golongan pengingkar sunnah yang menolak kapasitas para sahabat serta mengungkapkan argumentasi mereka terhadap al-Qur'an dan sunnah.18
2. Metode Penyelesaian Kitab Ta’wil Mukhtalif Al-Hadist Pada dasarnya, penyelesaian yang ditempuh oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts tidak hanya menuntaskan pertentangan antara beberapa hadis saja. Beliau juga mengkompromikan hadis-hadis yang dinilai berlawanan maupun tidak sejalan dengan al-Qur'an dan dalil ‘aqlî serta menjelaskan hadis-hadis yang mengandung makna tasybîh (penyerupaan dengan sifat-sifat Allah). Beberapa pendekatan yang digunakan Ibnu Qutaibah dalam penyelesaian tersebut menunjukkan betapa luasnya ilmu dan wawasan beliau dalam berbagai aspek. Inilah yang melatarbelakangi analisisnya dalam memberikan solusi terhadap
18
368
Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts Wa al-Muhadditsûn, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995)., hlm
18
hadis-hadis yang dianggap saling bertentangan. Namun secara spesifik, berikut akan penulis contohkan berbagai langkah yang ditempuh Ibnu Qutaibah sebagai metode penyelesaiannya
a. Penyelesaian Antara Hadis Dengan Hadis Penyelesaian antara beberapa hadis yang saling bertentangan merupakan bagian terbesar yang mendominasi isi dari kitab Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts dengan berbagai
macam pendekatan. Berbagai pendekatan tersebutakan dapat diketahui
setelah menelaah terlebih dahulu uraian Ibnu Qutaibah dalam contoh yang penulis ketengahkan dalam penelitian ini. Hadis tentang etika memakai sandal, yang dalam hal ini terdapat riwayat yang bersumber dari Abû Hurairah sebagai berikut: عن ابي هريرة عن النبي صلى للا عليه وسلم انه قال إذاانقطع شسع أحد كم فل يمش في نعل واحدة Artinya:“Dari Abû Hurairah yang meriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda,”Apabila tali sandal seseorang di antara kalian putus, maka janganlah ia berjalan dengan satu sandal.”19 Hadis tersebut dianggap bertentangan dengan riwayat ‘Aisyah yang mengatakan bahwa: حتى يصلح الخرى، فمشى في النعل الواحدة،قالت ربما انقطع شسع رسول للا صلى للا عليه وسلم Artinya: ‘Aisyah berkata,”Pernah (suatu ketika) tali sandal Rasulullah SAW putus, kemudian beliau berjalan dengan satu sandal hingga beliau memperbaikinya.”20
19 20
HR. Muslim dalam shahih-nya dalam masalah pakaian (69) dan (71) HR. At- Tirmidzi dalam Sunan-nya dalam masalah pakaian (36)
19
Dalam menemukan titik temu antara kedua hadis di atas, Ibnu Qutaibah berusaha menyoroti setting sosial masyarakat Arab pada waktu hadis tersebut terjadi. Beliau berangkat dari penilaian masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan umum yang telah berlaku di dalamnya, termasuk adat istiadat daerah setempat. Seperti yang diuraikan oleh Ibnu Qutaibah sebagai berikut. Seseorang akan dianggap tabu bila ia menemukan tali sandalnya telah putus, kemudian membuangnya atau setidak-tidaknya membawa tali sandal tersebut dan berjalan dengan satu sandal yang lain sampai menemukan gantinya. Hal ini terjadi jika orang tersebut memakai sesuatu yang sejenis dengan sandal seperti sepatu, kaos kaki dan sebagainya. Berbeda dengan apabila yang dipakai adalah pakaian satu steel umpamanya, maka ia tidak dianggap tabu jika memakai salah satu bagian dari pakaian tersebut.21 Sedangkan jika salah satu tali sandalnya putus namun orang tersebut hanya melangkah sejauh dua sampai tiga langkah saja sampai dapat memperbaikinya, maka hal tersebut juga tidak dianggap tabu. 22 Pertimbangan
Ibnu
Qutaibah
tersebut
bukanlah
satu-satunya
dasar
pemahaman beliau dalam memberikan solusi. Sebagai buktinya, beliau sengaja memberi perbandingan dengan permasalahan lain yang memiliki kaitan erat, yang dijadikan dalil penguat agar apa yang beliau tawarkan dalam memahami hadis-hadis
21
Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 98-99 22 Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 87
20
di atas dapat diterima secara menyeluruh oleh orang lain. Dalil penguat tersebut dapat dilihat dari pendapat Ibnu Qutaibah sebagai berikut. Permasalahan di atas sama seperti bolehnya seseorang yang sedang shalat, melangkah dua sampai tiga langkah menuju barisan yang ada di depannya. Tetapi haram baginya jika berjalan, apalagi sampai melebihi tiga langkah. Ia tidak boleh mengambil selendang yang jatuh, tidak boleh melipat pakaian apalagi melakukan pekerjaan yang terus menerus. Ia boleh tersenyum, namun tidak boleh tertawa. Semua itu berdasarkan pada kaidah bahwa tuntutan hukum bagi sesuatu yang sedikit dilakukan, akan berbeda dengan yang banyak dan berulang-ulang dilakukan.23 Uraian di atas memberi gambaran bahwa metode yang digunakan Ibnu Qutaibah dalam menyelesaikan hadis-hadis yang bertentangan tersebut berdasarkan pada pendekatan sosiologis, yang merupakan salah satu cara memahami hadis Nabi yang berpijak dari posisi masyarakat yang membawa kepada perilaku tertentu. Di samping itu, Ibnu Qutaibah juga mengikutsertakan kaidah-kaidah hukum yang dijadikan sebagai dalil penguat terhadap uraiannya.
b. Penyelesaian Antara Hadis Dengan Al-Qur'an Dalam memberikan solusi terhadap pertentangan antara hadis dengan alQur'an, Ibnu Qutaibah berusaha menakwilkan keduanya yang dianggap masih janggal dan kurang jelas pemahamannya. Di samping memberikan takwil, Ibnu Qutaibah juga menganalisa berdasarkan uraian bahasa, serta mempertegas argumentasinya dengan
23
Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 88
21
menampakkan kelemahan pendapat lain. Hal ini dapat dilihat dalam contoh hadis yang beliau utarakan sebagai berikut: Ayat dan hadis yang menerangkan tentang wasiat sebagaimana berikut: Artinya:“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya...”(QS. al- Baqarah:180).24
Ayat tersebut bertentangan dengan hadis di bawah ini: ّ أن رسول للا صلى للا عليه وسلم قال ل وصية لوارث `Artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,”Tidak (sah) wasiat untuk ahli waris.”25 Pada ayat diatas menerangkan bahwa membolehkan berwasiat, sedangkan dalam hadis Nabi melarang untuk berwasiat. Terdapat perbedaan mengenai boleh atau tidaknya
berwasiat.
Langkah
yang ditempuh
Ibnu
Qutaibah
dalam
menyelesaikan kedua dalil dalam contoh di atas adalah menggunakan metode naskh, sebab inilah satu-satunya cara yang mungkin dilakukan. Ayat ini telah di naskh (baca : dihapus) oleh ayat-ayat mengenai warisan. Dan Hadis ini menjadi penguat setelah ayat-ayat mengenai warisan.26
24
Al-Qur’an Departemen Agama RI., (Jakarta: Kalam Ilahi,2002) hlm. 44 HR. At- Tirmidzi dalam Sunan-nya (2120 dan 2121) 26 Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 324 25
22
c. Penyelesaian Antara Hadis Yang Tidak Sejalan dengan Akal Dalam rangka menyelaraskan pemahaman terhadap hadis yang dianggap sulit diterima oleh akal, Ibnu Qutaibah berusaha mengklasifikasikan pemahaman terhadap redaksi hadis baik secara tekstual maupun kontekstual. Pemahaman secara tekstual dapat dilihat dari uraian Ibnu Qutaibah tentang hadis-hadis di bawah ini. فإن في أحد جنا حيه س ّما وفي اآلخر،أن النبي صلى للا عليه وسلم قال إذا وقع الذبا ب في إناء أحدكم فامقلوه وأنه يقدم السم ويؤخر الشفاء،شفاء Artinya: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jika ada seekor lalat jatuh ke dalam tempat minum kamu maka celupkanlah, sebab ia selalu mendahulukan sayapnya yang mengandung racun dan mengakhirkan sayapnya yang mengandung obat penawar.”27
Hadis tersebut dirasa janggal pemahamannya oleh sebagian golongan, sebab bagaimana mungkin antara racun dan penawarnya dapat berkumpul dalam satu tempat, dan bagaimana bisa terjadi seekor lalat mampu mengetahui mana sayap yang beracun dan yang tidak beracun. Menurut Ibnu Qutaibah pemahaman hadis sebagaimana di atas tidak akan diperoleh secara menyeluruh sebelum memahami hal-hal yang sebenarnya lebih utama untuk dijadikan pedoman dalam memahami hadis-hadis semisal hadis di atas. Dalam hal ini Ibnu Qutaibah sengaja tidak secara langsung memberikan solusi terhadap pemecahan hadis di atas, namun beliau lebih condong memberikan kasus tertentu sebagai bahan perbandingan agar dapat digunakan untuk memahami hadis di atas, sebagaimana diungkap oleh Ibnu Qutaibah di bawah ini.
27
HR. Al- Bukhari dalam Shahih-nya (3320, 5782)
23
Di antara hadis-hadis Rasulullah SAW terdapat beberapa hadis yang memang sulit dipahami oleh akal, namun hal ini bukanlah salah satu penyebab ditolaknya suatu hadis. Dengan menolak suatu hadis berarti juga menolak semua yang disabdakan oleh Rasulullah SAW. Berkumpulnya racun dan penawarnya dalam hadis di atas tidak ubahnya seperti menfaat seekor ular. Menurut para tabib, daging ular berfungsi sebagai obat penawar bagi racun yang dibawanya, dapat mengobati sengatan kalajengking, gigitan anjing gila dan sebagainya. Perut kalajengking yang telah dirobek dapat mengobati rasa sakit yang ditimbulkan oleh sengatannya. Begitu juga dengan lalat yang bermanfaat untuk mempertajam penglihatan, mencegah sakit mata dan untuk mengobati sengatan kalajengking jika diramu dengan cara-cara tertentu. Semua itu menunjukkan bahwa obat penawar yang di dalamnya terdapat racun ternyata mampu berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. 28 Masih sama seperti permasalahan di atas, secara rasional bagaimana mungkin sekelompok semut mampu menyimpan biji makanan pada musim panas untuk digunakan pada musim dingin. Jika khawatir membusuk, maka biji tersebut dikeluarkan pada malam hari. Tetapi jika khawatir tumbuh, maka bagian tengahnya dilobangi. Hal semacam ini telah banyak terjadi dan tidak dapat dianalogkan. Seandainya diteliti dan dibahas lebih jauh, maka akan membutuhkan waktu yang panjang karena semua itu termasuk salah satu kelebihan yang dimiliki oleh makhluk Allah.29
28
Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 387 29 Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 388
24
Dari uraian di atas, Ibnu Qutaibah mencoba mengajak orang lain untuk menemukan satu titik pemahaman tekstual terhadap hadis-hadis yang semisal dengan hadis di atas melalui beberapa gambaran dan kejadian yang bersifat alamiah dan realistis. Di samping itu beliau mampu mencari celah kelemahan orang lain, yang dalam hal ini adalah para pengingkar hadis, dengan memaparkan beberapa bukti yang nyata.
d. Penyelesaian Hadis-Hadis Mutasyâbihât Permasalahan yang muncul di dalam hadis-hadis mutasyâbihât (samar maknanya) tidaklah pertentangan antara hadis satu dengan hadis lain yang sama-sama mengandung makna tasybîh. Tetapi pemaknaan redaksi hadis itu sendirilah yang membutuhkan pemahaman tersendiri sebab mengandung arti adanya penyerupaan antara Allah dengan makhluk-Nya. Hal ini tidak terlepas dari penolakan sebagian golongan terhadap hadis-hadis mutasyâbihât yang menilai bahwa hadis-hadis tersebut telah menyalahi aturan. Oleh karenanya Ibnu Qutaibah berusaha memberikan penjelasan sesuai dengan bidang keilmuan yang beliau miliki serta analisisnya yang cermat dengan tidak melampaui kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab beliau yakin bahwa orang-orang yang disinggung oleh Allah dalam al-Qur`an sebagai al-Râsikhûn fi al-‘Ilmi (orang yang mendalam ilmunya) juga
25
mendapat pengetahuan dari Allah tentang rahasia maksud syariat yang telah ditetapkan.30 Dalam memberikan argumentasinya, Ibnu Qutaibah memandang perl tidaknya melakukan takwil terhadap hadis-hadis mutasyâbihât tergantung pada ada tidaknya dalil-dalil pendukung yang kuat baik dari kitab, hadis maupun ijtihad yang rasional, sehingga diharapkan pendapat beliau dapat diterima oleh berbagai kalangan. Di antara proses pemahaman terhadap hadis-hadis mutasyâbihât tersebut adalah berangkat dari riwayat hadis sebagai berikut:
إن قلب المؤمن بين أصبعين من أصابع للا عز وجل Artinya:”Sesungguhnya hati seorang mukmin berada di antara kedua jari-jari Allah.”31
Jika dalam memahami hadis tersebut diperlukan takwil, maka penakwilan tersebut dapat diterima. Tetapi jika diartikan sesuai dengan apa adanya, maka akan bertentangan dengan Kemahasucian Allah. Menurut Ibnu Qutaibah, hadis tersebut tidak tergolong hadis-hadis yang boleh ditakwili sebab tidak ditemukan dalil lain sebagai penguat. Beliau lebih cenderung memaknai hadis tersebut apa adanya dengan menyerahkan makna hakikatnya kepada Allah. Hal tersebut sebagaimana pendapat beliau sebagai berikut:
30
Yusuf Qardhawi, Al-Qur'an Dan Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam, Terj. Bahruddin Fannani, Robbani Press, Jakarta, 1997, Cet. I, hlm. 227. Lihat Mahmûd bin ‘Umar al-Zamakhsyarî, AlKasysyâf, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) Cet. I, Juz. I, hlm. 413 31 Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 315
26
Penakwilan mereka tentang lafadz أصبعyang bermakna nikmat, justru akan semakin jauh dari maksud hadis tersebut. Sebab sehubungan Menurut al Zamakhsyarî, orang-orang yang mendalami ilmu-Nya adalah orang-orang yang teguh dan tegar serta memegang erat suatu kepastian yang ada pada-Nya. Dengan hadis tersebut Rasulullah SAW telah bersabda dalam doanya, “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku dalam agama-Mu”.
BAB III PANDANGAN UMUM TENTANG KEMISKINAN
A. Pengertian dan Indikator Kemiskinan Dalam kehidupan di dunia ini, selalu ada permasalahan dan problem yang harus dihadapi untuk diselesaikan. Hal ini dapat terjadi pada tingkat individu, keluarga, tetangga, umat beragama, bahkan yang lebih luas lagi yaitu pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu permasalahan yang sering muncul hampir di setiap negara adalah kemiskinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kemiskinan dapat diartikan sebagai keadaan melarat, tidak punya apa-apa.1 Kemiskinan merupakan masalah multidimensional yang terkait dengan masalah ekonomi, politik, keamanan, dan kebudayaan. Kemiskinan juga merupakan salah satu ancaman sosial dan keberagaman umat manusia di seluruh dunia. Dalam Islam kemiskinan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, mulai dari sudut tasawuf, fikih dan aqidah. Bidang fikih, kemiskinan ditempatkan pada objek pemberian, penekanannya juga dilihat dari sisi materi. Menurut ilmu fikih, kemiskinan terbagi dalam dua wujud yaitu fakir dan miskin. Fakir berarti kondisi seseorang sama sekali tidak memiliki daya untuk bertindak memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, namun hasil yang diperoleh terlalu kecil bahkan kurang untuk bisa memenuhi kehidupan tersebut. Menurut ulama mahzab Syafi’i, kemiskinan dihitung berdasarkan harta milik atau usaha seseorang, apakah dapat memenuhi kebutuhannya atau tidak.2 Dalam prespektif tasawuf, kemiskinan adalah lambang kesucian. Dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, seorang sufi harus menempuh Maqamat atau
1
Tim prima pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gitamedia Press, 2011) hal. 31 Lilies Nurul Husna dan Achmad wazir Wicaksono, Ormas Agama Bicara Anggaran (Jakarta: Lakpesdam NU, 2011), hal 27 2
27
28
station. Sebagian dari Maqamat itu adalah Zuhud, Faqr dan Tawakal.3 Dalam bidang aqidah padangan kemiskinan nampak dari pembahasan takdir dan perilaku manusia antara golongan Jabariyyah dan Qadariyyah berbeda pandangan, kemiskinan bukanlah keadaan hidup yang semata-mata karena takdir sebagaimana aliran Jabariyyah. Atau sebaliknya bahwa kemiskinan adalah semata-mata karena faktor manusianya, sebagaimana pendapat kalangan Qadariyyah. Untuk mengetahui pengertian kemiskinan yang lebih luas maka penulis membagi menjadi dua perspektif. Pertama perspektif agama dalam hal ini Islam dan yang kedua perspektif ilmu sosial. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1.
Perspektif Islam Kemiskinan berasal dari Arab Sakana, yang berarti “diam” atau
“mandek”. Kata lain yang semakna dengannya adalah fakir dari kata “Faqr” artinya “tulang punggung”. Maksudnya adalah beban yang sangat besar hingga
mematahkan
tulang punggung. 4
Ketika
menjelaskan
tentang
kemiskinan, al-Qur’an memakai beberapa kata. Namun, kata yang sering digunakan adalah kata faqir dan miskin. Kata faqir (bentuk mufrad), fuqara (bentuk jama’) dan faqr (bentuk masdar) dipergunakan al-Quran dalam berbagai arti, yang tersebar dalam 13 ayat, pada sepuluh surat. Surat-surat tersebut ialah dua surat Makkiyah, yaitu surat al-Qashash dan Fatir, serta delapan surat Madaniyyah, yaitu al-Baqarah, Ali-Imran, an-Nisa’, at-Taubah, al-Hajj, an-Nur, Muhammad, dan al-Hasyr. Al-Quran menggunakan kata
3
HM. Sa’ad Ibrahim, Kemiskinan Dalam Prespektif al-Quran (Malang: UIN Malang Press, 2007), hal.7 4 Said Aqil Sirodj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, mengedepankan islam sebagai inspirasi bukan aspirasi (Bandung: Mizan,2006), h.375
29
fuqoro sebagai lawan kata ghaniy, sebagaimana terdapat dalam surat al-Fathir ayat 15 sebagai berikut: Artinya : Hai manusia, kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Al-Quran juga mengemukakan bahwa fuqara adalah kelompok yang berhak menerima atau memperoleh bagian zakat bersama kelompok-kelompok lain, sebagaimana ayat 60 surat at-Taubah berikut;5
Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Selanjutnya dalam ayat 16 surat al-Balad menggambarkan orang miskin sebagai orang yang sangat papah, menunjukkan bahwa orang miskin itu ialah orang yang tidak berharta. Dalam ayat 76 surat al-Kahfi justru memberi gambaran bahwa orang-orang miskin dalam ayat tersebut justru pemilik perahu. Hanya saja dalam ayat ini perahu tersebut bukan milik seorang. Tetapi juga kepunyaan orang-orang miskin. Dengan adanya perbedaan gambaran tersebut, al-Quran bermaksud menjelaskan bahwa seorang disebut miskin bukan ditentukan oleh ketiadaannya harta benda yang mereka miliki, akan
5
Saad Ibrahim, Kemiskinan Dalam Perspektif al-Quran, h.28
30
tetapi lebih ditentukan oleh lemah atau tidaknya potensi mereka untuk berusaha mencukupi kebutuhan hidup.6 Islam menempatkan kemiskinan sebagai suatu realitas kehidupan yang memiliki kompleksitas tersendiri, tidak dapat dipahami bahwa dengan melihat satu atau sebagian unsur saja. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa dengan satu sisi, kemiskinan itu memang takdir yang harus diterima oleh manusia, namun pada sisi lain manusia diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengubah keadaan tersebut sehingga tidak lagi menjadi miskin. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran surat al-Ra’d ayat 11 sebagai berikut:
Artinya : Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum. Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Dari keketerangan diatas kemiskinan dalam Islam diartikan keadaan kekurangan dari seseorang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang tidak jarang menjerumuskan pada kemunkaran. Oleh sebab itu dalam Islam ada perintah bagi yang mampu untuk menolong dan berbagi dalam rangka mengangkat kesejahteraan bersama dan menghindarkan dari keterpurukan melalui Zakat, Infak dan Shadaqah.
6
Saad Ibrahim, Kemiskinan Dalam Perspektif al-Quran, h.42
31
2.
Perspektif Sosial Menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas),
kemiskinan memiliki wujud yang majemuk seperti rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif, kelaparan, dan kekurangan gizi, serta rendahnya kesehatan, akses pendidikan, dan layanan sosial lainnya yang terbatas.7 Selain itu, kemiskinan juga diartikan sebagai kondisi kehidupan serba kekurangan yang dialami seseorang, baik laki-laki ataupun perempuan, atau rumah tangga, sehingga tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar itu meliputi terpenuhinya hak atas pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, hak atas tanah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman dari tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi.8 Selain itu kemiskinan sering juga didefinisikan sebagai situasi serba kekurangan dari penduduk yang disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksiorang miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan. Sedangkan Bank Dunia (WB) memberi defini keadaan miskin yaitu “povertyis concern with absolute standard of living of part of society the poor in the equality refers to relative living standard across the whole society”. (Keprihatinan dengan standar mutlak hidup bagian dari masyarakat miskin 7 8
h.14
Lilies Nurul dan Wazir Wicaksono, Ormas Agama, h.13 Mishabul Hasan, dkk, Ulama Mengadvokasi Anggaran, (Jakarta: PP Lakpesdam NU, tt),
32
dalam kesetaraan mengacu pada standar hidup relatif di seluruh masyarakat). Bank dunia juga memberikan gambaran pengertian “sangat miskin” ini sebagai orang yang mempunyai pendapatan hidup kurang dari USD 1 perhari, dan “miskin” dengan pendapatan kurang dari USD 2 perhari.9 Peraturan pemerintah dalam konteks Indonesia mendefinisikan fakirmiskin adalah orang yang sama sekali tidak memiliki sumberdaya hidup berupa mata pencahariandan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Atau seseorang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya yang layak bagi kemanusiaan.
B. Faktor-faktor yang Membentuk Kemiskinan Para ilmuan sosial sependapat sebagaimana dikatakan oleh Supardi Suparlan bahwa sebab utama yang melahirkan kemiskinan adalah sistem ekonomi yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, tetapi kemiskinan itu sendiri bukanlah suatu gejala yang terwujud semata-mata karena sistem ekonomi. Dalam kenyataannya kemiskinan merupakan perwujudan dari interaksi yang melibatkan hampir semua aspek yang dimiliki manusia dalam kehidupannya.10 Ada tiga faktor yang membentuk atau melahirkan kemiskinan. Ketiga faktor tersebut yaitu; 1. Faktor Kondisi Alam Kelompok atau orang yang memandang permasalahan kemiskinan sebagai “kehendak alam” yang secara ringkas menganggap bahwa 9
Mishabul Hasan, Ulama Mengadvokasi Anggaran, h.15 Parsudi Suparlan (ED), Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h.13
10
33
kemiskian merupakan realitas diluar kendali manusia. Jadi menurut mereka, kemiskinan harus diterima dan dijalani saja apa adanya.11 Berkaitan dengan kondisi alam, al-Quran menyatakan bahwa alam sementara ini ditundukkan kepada manusia sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Jatsiyyah ayat 13 berikut: Artinya : Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.
Berpijak pada ayat ini, dapat dinyatakan bahwa alam semesta merupakan sumber daya yang siap didayagunakan untuk berbagai kepentingan manusia. Karena Allah yang telah menundukan alam tersebut, maka pola manusia dengan alam harus diletakkan atas prinsip-prinsip yang sejalan dengan norma-norma ketuhanan. Norma demikian termasuk dalam konteks tauhid. Dalam paradigma tauhid inilah, maka manusia harus tetap berpegang teguh pada norma-norma agama Ilahi dalam mengelola alam, jika yang terjadi tidak demikian, maka pada gilirannya akan merasakan dampak negatif dari interaksi tersebut. Bahkan
al-Quran
telah
memberikan sinyal
bahwa
fenomena
kehancuran telah merata, baik di daratan maupun di lautan yang disebabkan pola interaksi antara manusia dengan alam. Dalam hal ini melalui surat ar-Rum ayat 41, al-Quran menyatakan;
11
Lilies Nurul dan Wazir Wicaksono, Ormas Agama, h.17
34
Artinya : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Pola interaksi destruktif antara manusia dan alam, berupa eksploitasi alam tanpa melakukan analisis dampak lingkungan, kecenderungan untuk menghabiskan seluruh potensi alam, keengganan mengadakan peremajaan demi kelangsungan alam, dan sebagainya. Akibat dari pola interaksi demikian ialah kemiskinan, baik secara langsung maupun tidak, baik generasi yang sedang berlangsung maupun generasi selanjutnya. 12
2. Faktor Kultural Manusia memegang seluruh kendali atas apa yang terjadi, begitu juga dalam konteks kemiskinan. Akibat dari kemalasan, kebodohan, dan keterbelakangan
dalam
berbagai
hal
inilah,
maka
permasalahan
kemiskinan muncul. Menurut kaum konservatif kemiskinan tidak bermula dari struktur sosial tetapi berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin, karena ia tidak mau bekerja keras, boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa kewirausahaan, tidak ada hasrat berprestasi, dan sebagainya. Orang-orang miskin adalah kelompok sosial yang mempunyai budaya sendiri.
12
Saad Ibrahim, Kemiskinan dalam Perspektif al-Quran, h.52-55
35
Al-Quran mengajarkan dalam kondisi yang amat lemah pun manusia harus mengaktualisasikan sisa-sisa potensi yang ia miliki. Hal ini digambarkan al-Quran lewat kisah perjalanan Siti Maryam ketika melahirkan Nabi Isa. Maryam diperintahkan untuk menggoyang pohon kurma agar buahnya yang ranum berguguran. Bukan persoalan bagaimana pohon kurma itu dapat digoyangkan, tapi bagaimana Siti Maryam yang dalam posisi mau melahirkan (kondisi fisik dan psikisnya lemah) bekerja keras
untuk
dapat
menggoyangkan
pohon
kurma
itu.
Dengan
mengaktualisasikan sisa-sisa potensi yang ia miliki, Maryam telah berhasil mengatasi prolemnya, yaitu yakin ada makanan untuk dimakan demi mengembalikan kekuatannya setelah melahirkan. Berdasarkan uraian diatas, cukup beralasan bahwa sebagian dari sebabsebab terjadinya kemiskinan kaitannya dengan kondisi manusia itu sendiri adalah kurang percaya pada kemampuan yang dimilikinya, keengganan mengaktualisasikan potensi yang ada dalam bentuk kerja nyata yang serius, pola hidup konsumtif dan boros, keengganan mencari ilmu, serta keengganan memberikan respek optimal terhadap perputaran waktu.13
3. Faktor Struktural Dalam faktor ini, seseorang memandang persoalan kemiskinan bukan hanya dari satu hal, tetapi memiliki keterkaitan dengan banyak hal. Kemiskinan bukan sekedar masalah sifat hidup seseorang, tetapi juga memiliki keterkaitan dengan sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial dan berbagai hal lain yang melekat dalam kehidupan masyarakat.
13
Saad Ibrahim, Kemiskinan dalam Perspektif al-Quran, h.26
36
Hal senada dijelaskan pula oleh budayawan Mangun Wijaya. Beliau menyatakan bahwa “kemiskinan WAW timbul karena struktur, mereka sebenarnya bukan orang miskin, tetapi dibuat miskin oleh suatu struktur”. Sementara itu, kaum radikalis menekankan peranan struktur ekonomi, politik dan sosial. Mereka miskin karena memang dilestarikan untuk miskin. Kemiskinan mempunyai fungsi yang menunjang kepentingan kelompok dominan, rulling elites,atau kelas kapitalis. Negara-negara terbelakang menjadi miskin karena memang secara terencana dimiskinkan. Pembangunan yang terjadi kata Strohmhanyalah entwickelung der unterentwickelung (pembangunan keterbelakangan).14 Menurut
Sa’ad
Ibrahim
yang dimaksud
dengan
sebab-sebab
kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi struktural adalah tindakantindakan dan keputusan-keputusan the rulling class mengenai harta kekayaan yang mengakibatkan terjadinya kemiskinan. Menurut Sa’ad, salah satu sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi sosial ialah terkonsentrasinya modal di tangam orang-orang kaya. Terkonsentrasinya modal di tangan mereka menyebabkan orang-orang fakir tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi-potensi demi meraih prestasi dibidang ekonomi. Memiliki potensi saja tanpa didukung modal tidak akan mewujudkan kesejahteraan hidupnya secara optinal. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran ayat 7 surat al-Hasyr sebagai berikut:
14
Sri Edi Swasono, Al Muzammil dan Amri Yusra, Sekitar Ekonomi dan Kemiskinan (Jakarta: UI Press, 1988), h.25
37
Artinya : apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.
Dalam ayat ini, harta rampasan perang hanyalah menjadi salah satu contoh yang ditunjukan oleh al-Quran, yang harus dibagi berdasarkan prinsip keadilan. Esensi ayat ini terletak pada tuntutan diwujudkannya keadilan dalam bidang ekonomi, tidak hanya harta rampasan perang saja, tetapi juga meliputi komoditas ekonomi lainnya. Indikasi terwujudnya keadilan di bidang ekonomi ialah jika kesempatan untuk mendayagunakan sumber-sumber ekonomi terbuka bagi setiap orang, tidak hanya terbuka bagi kalangan tertentu saja khususnya kalangan orang-orang kaya. Kelanjutan daari kezaliman bidang ekonomi yaitu terjadinya kecenderungan hidup mewah para penguasa, yang pada gilirannya memicu kehancuran. Dalam hal ini al-Quran mengingatkan melalui surat al-Isra’ ayat 16 sebagai berikut: Artinya : dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancurhancurnya.
38
Sudah barang tentu jika penguasa suatu negeri memiliki karakter yang jahat, maka konsekuensi logisnya terjadi berbagai bentuk kezaliman berupa undang-undang, peraturan-peraturan, dan keputusan-keputusan yang justru merugikan orang banyak, terutama bagi mereka yang lemah, termasuk golongan orang fakir miskin. Dengan demikian jelas adanya keterkaitan antara terjadi dan langgengnya kemiskinan dengan kezaliman penguasa.15
C. Kondisi dan Wajah Kemiskinan di Masyarakat Kemiskinan sebagai suatu realitas kehidupan yang sering membuat kelimpungan para pemimpin, terlebih di kalangan pemimpin formal, baik pada ranah lokal maupun nasional dan global. Dalam beberapa dekade ini banyak dilakukan kajian, diskusi, dan retorika tentang kemiskinan oleh banyak pihak, baik kalangan pemerintah maupun swasta. Bahkan pada sisi lain terjadi perang opini bahwa kemiskinan dijadikan komoditas yang menghasilkan keuntungan bagi beberapa pihak. Kecurigaan yang melatar belakangi opini tersebut berangkat dari otak-atik terhadap fakta bahwa banyak program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah maupun swasta (LSM), namun pada kenyataannya kemiskinan belum mengalami peningkatan yang signifikan (berkurangnya orang miskin).
15
Saad Ibrahim, Kemiskinan dalam Perspektif al-Quran, h.97
39
Menurut data BPS16, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada beberapa tahun belakangan ini adalah: Tahun
Jumlah (juta jiwa)
% dari total penduduk
2010
31,02
13,33
2009
32,53
14,15
2008
34,96
-
2007
37,17
16,58
Kemiskinan bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di seluruh dunia. Para ahli ilmu-ilmu sosial telah menyusun berbagai statistik untuk mengetahui luasnya kemiskinan di seluruh penjuru dunia dengan berpatokan pada beberapa indikator tertentu, antara lain kekurangan makanan, perkiraan usia rata-rata ketika dilahirkan dan lain-lain. Makanan merupajan kebutuhan pokok yang dipenuhi oleh setiap orang, sedangkan usia rata-rata mencerminkan sejauh mana pengaruh berbagai jenis kekurangan pada diri seseorang. Selain kedua ukuran biologis diatas ditambah pula unsur ketidaktahuan sebagai indikator yang berkaitan dengan kemajuan sosial. Bagi PBB, ketiga indikator ini memberikan gambaran singkat namun jelas sejauh mana tersebarnya kemiskinan dengan berbagai gejalanya yang beraneka ragam. Berdasarkan ketentuan ini, pada tahun 1971 PBB menyusun daftar nama negara di seluruh dunia yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu negara maju, negara berkembang, serta negara miskin (yakni negara yang palng miskin dan terbelakang secara materil atau yang paling sedikit pertumbuhan ekonominya).
16
Lilies dan Achmad, Ormas Agama, h.32
40
Kelompok pertama negara maju, merupakan dua puluh lima persen dari seluruh penduduk. Dengan demikian negara berkembang dan negara miskin merupakan 75% dari seluruh penduduk dunia. Pada tahin 1971, Majelis Umum PBB menghitung jumlah negara-negara miskin yang terbelakang sebanyak 24 negara. Jumlah tersebut pada tahun 1975 bertambah dengan empat negara dan pada tahun 1977 bertambah lagi dengan tiga negara. Terakhir jumlah negaranegara tersebut mencapai 36 negara setelah ditambahkan lagi dengan 5 negara lainnya.17 Daftar tersebut memuat 25 negara di Afrika, 8 di Asia, 2 si Pasifik dan 1 di Amerika. Adapun penduduknya di negara-negara ini (Asia dan Afrika) terdiri dari kaum muslimin, empat diantaranya menjadi Liga Arab. Berikut daftar negara-negara tersebut:18 Negara-negara termiskin di dunia (dan yang paling terbelakang) DI AFRIKA 1. Chad 2. Guinea 3. Mali 4. Niger 5. Somalia 6. Sudan 7. Garabia 8. Tanzania 9. Volta Hulu 10. Etiophia 11. Huinea Bissau 12. Kep.Kemarun 13. Afrika Tengah
17
14. Kepala Hijau 15. Burundi 16. Benine 17. Botsana 18. Lesoto 19. Malawi 20. Ruanda 21. Uganda 22. Jibouti 23. Guiena Kh 24. Satomi 25. Sichel
DI ASIA 26. Afghanistan 27. Bangladesh 28. Bhutan 29. Yaman Utara 30. Yaman Selatan 31. Kep.Maladewa 32. Nepal 33. Laos DI OCEANIA 34. Samo Barat 35. Tonga DI AMERIKA 36. Haiti
Nabl Subhi At-thawil, Kemiskinan dan Keterbelakangan di negara-negara muslim (Bandung: Mizan,1990) cet.II. h.36 18 Nabl Subhi At-thawil, Kemiskinan dan Keterbelakangan di negara-negara muslim (Bandung: Mizan,1990) cet.II, h.38
BAB IV ANALISIS HADIS KEMISKINAN
A. Hadis Kemiskinan Syuhudi Ismail di dalam bukunya Metodologi Penelitian Hadis Nabi mengatakan, sedikitnya ada tiga alasan mengapa penelitian matan hadis sangat diperlukan, yaitu: pertama adalah karena keadaan matan hadis tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad. Kedua dalam periwayatan matan hadis dikenal adanya periwayatan secara makna ( riwayah bi al-makna ). Ketiga dari segi kandungan hadis. Penelitian matan seringkali juga memerlukan pendekatan rasio, sejarah dan prinsipprinsip pokok ajaran Islam.1 Kegiatan penelitian matan lebih sulit dibandingkan kegiatan penelitian sanad. Kesulitan matan hadis disebabkan beberapa faktor, yaitu : 1. Adanya periwayatan secara semakna; 2. Beragam acuan yang digunakan dalam melakukan penelitian; 3. Latar belakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu dapat diketahui; 4. Adanya kandungan petunjuk hadis yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi “supra rasional”; 5. Masih jarang atau langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matan hadis.2 Dalam hubungannya dengan status ke-hujjahan hadis, maka penelitian sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama pentingnya. Karena menurut ulama hadis,
1 2
Syuhudi Ismail, Metodelogi Penelitian Hadis ; (Jakarta Bulan Bintang, 1992) Hal.26-27 Ariffudin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Jakarta : Renaisan 2005) hal.
108
41
42 suatu hadis barulah dinyatakan berkualitas shahih apabila sanad dan matan hadis itu sama-sama berkualitas shahih.3 Adapun langkah-langkah metodologis kegiatan matan hadis ada tiga yaitu; 1 meneliti matan dengan melihat sanadnya. 2. Meneliti susunan matan hadis yang semakna 3. Meneliti kandungan matan.4 Ulama hadis sepakat bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas shahih ada dua macam. Yakni terhindar dari syudzudz (kejanggalan) dan terhindar dari illat (cacat). Artinya, kedua unsur itu harus menjadi acuan utama dalam meneliti matan hadis. 5 Dalam penelitian matan tersebut, hanya akan mengupas penelitian matan semakna dan kandungan matan. Susunan matan hadis untuk kedua sanad dari kedua mukharrij tersebut, bersamaan maknanya. Perbedaan lafal memang ada, tetapi tidak menjadikan perbedaan makna. Hal ini menunjukan bahwa hadis yang diteliti telah diriwayatkan secara makna (riwayah bil makna). Untuk memperjelas lafal yang dimaksud, berikut ini di kemukakan kedua matan hadis tersebut: Hadis dari Ibnu Majah
فإني سمعت رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول في دعائه ( اللهم أحيينى مسكينا 6 ) وأمتني مسكينا واحشرني في زمرة المساكين
3
Syuhudi Ismail, Metodelogi Penelitian Hadis ; (Jakarta Bulan Bintang, 1992) Hal. 122-123 Syuhudi Ismail, Metodelogi Penelitian Hadis ; (Jakarta Bulan Bintang, 1992) Hal. 121-122 5 Ariffudin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Jakarta : Renaisan 2005) hal. 4
108 109 6
Ibnu Majah Juz 2 Halaman 1381 Nomer Hadis 4126 Bab Majalisatul Fuqara
43 Hadis dari Turmidzi
: قال. واحشرني في زمرة المساكين يوم القيامة، وأمتني مسكينا، «اللهم أحيني مسكينا يا، إنهم يدخلون الجنة قبل األغنياء بأربعين خريفا: لم يا رسول هللا ؟ قال: فقالت عائشة ِّ عائشة ال تردِّي المسكين ولو بش يقرِّبك هللا، وقرِّبيهم، يا عائشة أحبِّي المساكين، ق تمرة 7 أخرجه الترمذي.»يوم القيامة Pada kedua hadis di atas tampak adanya penambahan lafazh. Pada riwayat alTurmidzi, matan hadisnya agak panjang, yaitu adanya tambahan
“”إنهم يدخلون الجنة قبل األغنياء بأربعين خريفا Namun tambahan itu tidak menjadikan perbedaan makna, bahkan dengan adanya penambahan ini justru memperjelas dari hadis Ibnu Majah.
1. Meneliti Kandungan Matan dengan Hadis Adapun yang dianggap penting diperhatikan terhadap kandungan matan hadis adalah matan hadis yang sejalan (tidak bertentangan) dan yang bertentangan. Namun dalam hadis di atas, setelah diteliti, kandungan matan-nya dapat dipertanggung jawabkan, karena hadis-hadis yang serupa juga banyak terdapat dalam kitab hadis. Misalnya, hadis tersebut di riwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra, alSuyuthi dalam Jam’ al-Jawami’, Ibnu Atsir dalam al-Bidayah Wa al-Nihayah, alHakim dalam al-Mustadrak.8 Hadis yang bertentangan tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, an-Nasa’i dan Ahmad Ibnu Hanbal. Yang berbunyi
حدثنا عبد هللا حدثني أبي ثنا روح ثنا عثمان الشحام حدثني مسلم بن أبي بكرة إنه مر اللهم إني أعوذ بك من الكفر والفقر وعذاب القبر: بوالده وهو يدعو ويقول Artinya : Aku bermohon kepada Allah agar dihindarkan dari kekufuran dan kefakiran dan adzab kubur.9 7
Kitab Turmidzi Juz 4 Halaman 672 Nomer Hadis 2773 Bab Fasal ‘Ula Abu Hajar Muhammad Al-Sa’id Bin Baisuni Zaghlul, Mausu’at Al-Athraf Al-Hadis AlNabawi Al-Syarif, Beirut: Dar Al-Fikr, 1989 cet. I hal. 166 9 Ahmad Bin Hanbal juz VII, h.306 8
44
Secara tegas dapat dinyatakan bahwa dalam hadis riwayat Ibnu Majah disebutkan bahwa Nabi SAW, bermohon kepada Allah agar dihidupkan dalam keadaan miskin. Sementara dalam riwayat Ahmad bin Hanbal, disebutkan bahwa Nabi SAW. bermohon juga kepada Allah agar dihindarkan dari kekufuran, kefakiran dan adzab kubur. Sehingga kelihatannya adanya kontradiksi di antara kedua hadis tersebut. Menurut Yusuf Qardhawi, bahwa yang dimaksud dengan menjadi orang “miskin” pada hadis diatas tidak lain adalah tawadhu’, merendah dan tunduk, tidak sombong dan congkak.10 Dan kalau kita melihat ke sejarah, memang seperti itulah Rasulullah SAW menjalani hidupnya. Amat jauh dari cara hidup orang-orang takabur, termasuk dalam sikap dan bentuk lahiriyahnya. Duduk beliau, seperti duduknya para budak dan fakir miskin. Makannya pun seperti mereka juga. Adakalanya seorang asing datang dan tidak mengenali beliau selalu sama saja dengan mereka, tak ada sedikitpun keistimewaan yang membedakannya dengan mereka. Di rumah, Beliau adakalanya menjahit alas sandalnya dengan tangannya sendiri. Kemudian juga menambal bajunya, memerah susu kambingnya, dan ikut menggiling (gandum) bersama-sama para pembantu rumahnya. 11 Pernah suatu ketika seorang lelaki menghadapnya dengan gemetar, beliau menegur :
ك إنما أنا ابن امرأ ٍة تأكل القديد ٍ ه ِّون عليك فإنِّي لست بمل
10
Dr. Yusuf Qardhawi, Kajian Kritis Pemahaman Hadis, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, terj. (Jakarta : Islamuna Press, 1991) cet.ii hal.123 11 Dr. Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Madis Hadis Nabi Saw, terjemahan. (Bandung. Karisma 1999) cet. VI h. 37
45 Artinya : “Tenanglah, jangan takut kepadaku. Aku bukan seorang raja, aku tidak lain putra seorang perempuan Quraisy yang suka makan dendeng (olahan daging)”.12
Dengan demikian, hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual. Kalau dipahami secara tekstual, dengan memaknai kata “miskin” dalam hadis tersebut sebagai seorang fakir yang sangat membutuhkan bantuan orang lain, maka makna seperti itu akan bertentangan dengan banyak hadis shahih. Karena itu, hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual.13
2. Meneliti Kandungan Matan dengan Al-Quran Menurut Abu Muhammad Ibnu Qutaibah, tidak ada pertentangan di antara kedua hadis tersebut, karena salah kalau kita mempertentangkan antara “fakir” dan “miskin”. Karena memang keduanya faqir dan miskin adalah dua hal yang berbeda. Kalau hadis tersebut berbunyi مسكنbunyi hadis diganti kata فقرbarulah terjadi perbedaan. Dan makna miskin dalam hadis tersebut adalah tawadhu dan ikhlas. Seolah-olah Nabi SAW. meminta kepada Allah SWT. Supaya tidak dijadikan termasuk golongan orang-orang sombong dan takabur.14 Diantara alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Qutaibah adalah bahwa seandainya jika Rasulullah SAW, meminta kepada Allah akan kemiskinan, yang mana kemiskinan itu adalah kefakiran, tentu Allah melarang Nabi meminta hal itu, karena Allah telah memberikan anugerah yang begitu besar kepada Nabi SAW. setelah sebelumnya Nabi hidup dalam keadaan fakir. Sebagaiman Allah berfirman dalam Surat ad-Dhuha :8. 12
Dr. Yusuf Qardhawi, Kajian Kritis Pemaknaan Hadis Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, terj. (Jakarta : Islamuna Press, 1991) cet.ii hal.124 13 Dr. Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Madis Hadis Nabi Saw, terjemahan. (Bandung. Karisma 1999) cet. VI hal. 35-36 14 Ibnu Qutaibah Al-Dainuri, Ta’wil Mukhtaiful Hadis, (Beirut, Mu’assasah Al-Kutub AlTsaqafiyah 1988), Hal.278
46
Artinya: Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Yang dimaksud dengan العائلdalam ayat di atas adalah الفقير. Ayat di atas menerangkan tentang keadaan Nabi ketika diutus oleh Allah, yaitu fakir ( )عائالdan keadaan Nabi ketika wafatnya, yaitu berkecukupan ()غنيا. Karena Allah telah mengutus Nabi dalam keadaan fakir dan kemudian memberikannya anugerah yang begitu besar. Ayat tersebut juga memberi petunjuk bahwa miskin yang diminta oleh Nabi daam hadis di atas tidaklah sama dengan fakir.15 Jadi dengan demikian tidak ada pertentangan diantara kedua hadis tersebut, karena yang dimaksud dengan miskin dalam hadis riwayat Ibnu Majah tersebut tidak sama dengan “fakir” yang dimaksud oleh hadis riwayat Ahmad bin Hanbal.
3. Wasiat Nabi untuk mencintai Orang Miskin Ada 7 wasiat Nabi terhadap Abu Dzar, untuk mencintai orang miskin :
وأن أنظر إلى من هو، بحبِّ المساكين وأن أدنو منهم: أوصاني خليلي بسب ٍع:عن أبي ذ ٍّر قال وأن أكثر من ال حول وال، وأن أصل رحمي وإن جفاني،أسفل منِّي وال أنظر إلى من هو فوقي وأن ال أسأل الناس شيئا، وال تأخذني في هللا لومة الئ ٍم،ِّ وأن أتكلم بم ِّر الحق،قوة إال باهلل. Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela
15
Ibnu Qutaibah Al-Dainuri, Ta’wil Mukhtaiful Hadis, Beirut, Mu’assasah Al-Kutub AlTsaqafiyah 1988, Hal.116
47 dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak memintaminta sesuatu pun kepada manusia”.16 Wasiat yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tujukan untuk Abu Dzar ini, pada hakikatnya adalah wasiat untuk ummat Islam secara umum. Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepada Abu Dzar agar mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita sebagai ummat Islam hendaknya menyadari bahwa nasihat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ini tertuju juga kepada kita semua. Orang-orang miskin yang dimaksud, adalah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan, tidak punya kepandaian untuk mencukupi kebutuhannya, dan mereka tidak mau meminta-minta kepada manusia. Pengertian ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
فتر ُّده اللُّقمة وال ُّلقمتان والتمرة،ليس المسكين بهذا الطواف الذي يطوف على الناس الذي ال يجد غنى يغنيه وال يفطن له فيتصدق: فما المسكين يا رسول هللا؟ قال: قالوا.والتمرتان وال يسأل الناس شيئا،عليه "Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir kurma.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab,"Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan dia tidak mempunyai kepandaian untuk itu, lalu dia diberi shadaqah (zakat), dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain.”17 Islam menganjurkan umatnya berlaku tawadhu` terhadap orang-orang miskin, duduk bersama mereka, menolong mereka, serta bersabar bersama mereka. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkumpul bersama orang-orang miskin, datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak berbicara dengan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi mereka enggan duduk bersama dengan orang-orang miskin 16
http://pustakaimamsyafii.com/mencintai-orang-orang-miskin-dan-dekat-denganmereka.html/ diakses 14-september-2014 17 Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1039 (101)), Abu Dawud (no. 1631), dan anNasâ`i (V/85). Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
48 itu, lalu mereka menyuruh beliau agar mengusir orang-orang fakir dan miskin yang berada bersama beliau. Maka masuklah dalam hati beliau keinginan untuk mengusir mereka, dan ini terjadi dengan kehendak Allah Ta’ala. Lalu turunlah ayat:
"Janganlah engkau mengusir orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan petang hari, mereka mengharapkan wajah-Nya". [al-An’âm/6:52].18 Mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan membantu dan menolong mereka, bukan sekedar dekat dengan mereka. Apa yang ada pada kita, kita berikan kepada mereka karena kita akan diberikan kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam setiap urusan, dihilangkan kesusahan pada hari Kiamat, dan memperoleh ganjaran yang besar. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ومن،من نفس عن مؤم ٍن كربة من كرب ال ُّدنيا نفس هللا عنه كربة من كرب يوم القيامة يسر على معس ٍر يسر هللا عليه في ال ُّدنيا واآلخرة "Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit hutang, Allah akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat"19 Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
وكالقائم ال يفتر:-الساعى على األرملة والمسكين كالمجاهد في سبيل هللا –وأحسبه قال وكالصائم ال يفطر "Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” –Saya (perawi) kira beliau
18
Lihat Shahîh Muslim (no. 2413), Sunan Ibni Majah (no. 4128), dan Tafsîr Ibni Katsir
(III/90) 19
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), at-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78 dalam al-Mawârid). Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
49 bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa merasa bosan serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus”.20 Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu berkumpul bersama orangorang miskin, sampai-sampai beliau berdo’a kepada Allah agar dihidupkan dengan tawadhu’, akan tetapi beliau mengucapkannya dengan kata "miskin". Orang–orang miskin yang masuk surga ini, adalah mereka yang taat kepada Allah, mentauhidkan-Nya dan menjauhi perbuatan syirik, menjalankan Sunnah dan menjauhi perbuatan bid’ah, menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a agar mencintai orang-orang miskin. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وأن تغفر لي، وحب المساكين، وترك المنكرات،اللهم إنِّي أسألك فعل الخيرات وحب، وحب من يحبُّك، وأسألك حبك، وإذَا أردت فتنة قو ٍم فتوفني غَير مفتو ٍن،وترحمني عم ٍل يقرِّبني إلى حبِّك "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan perbuatanperbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang miskin, dan agar Engkau mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau hendak menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah itu. Dan aku memohon kepada-Mu rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintaimu, dan rasa cinta kepada segala perbuatan yang mendekatkanku untuk mencintaiMu".21 Selain itu, dengan menolong orang-orang miskin dan lemah, kita akan memperoleh rezeki dan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
20
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5353, 6006, 6007) dan Muslim (no. 2982), dari Sahabat Abu Hurairah. Lafazh ini milik Muslim. 21 Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/243), lafazh ini miliknya, at-Tirmidzi (no. 3235), dan al-Hakim (I/521), dan dihasankan oleh at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata,"Aku pernah bertanya kepada Muhammad bin Isma’il –yakni Imam al-Bukhari- maka ia menjawab, ‘Hadits ini hasan shahîh’.” Dari Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu. Di akhir hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya ia (doa tersebut) merupakan hal yang benar, maka pelajari (hafalkan), dan perdalamlah.
50
هل تنصرون وترزقون إال بضعفائكم "Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian". 22 Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
وإخالصهم، وصالتهم، بدعوتهم:إنما ينصر هللا هذه األمة بضعيفها "Sesungguhnya Allah menolong umat ini dengan sebab orang-orang lemah mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka".23
4. Pendapat Para Ulama Tentang Do’a Miskin Imam Ibnul Atsir di kitabnya An-Nihaayah fi Gharibil Hadits (2/385) mengatakan : "Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan Miskin ..... Yang dikehendaki dengannya (dengan miskin tersebut) ialah : Tawadhu' dan Khusyu', dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur". Di kitab Qamus Lisanul Arab (2/176) oleh Ibnu Mandzur diterangkan asal arti Miskin di dalam lughah/bahasa ialah = Al-Khaadi' (orang yang tunduk), dan asal arti Faqir ialah : Orang yang memerlukan. Lantaran itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan Miskin ..... Yang dikehendaki ialah : Tawadhu' dan Khusyu', dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur. Artinya : Aku merendahkan diriku kepada Mu wahai Rabb dalam keadaan berhina diri, tidak dengan sombong. Dan bukanlah yang dikehendaki dengan Miskin di sini adalah Faqir yang memerlukan (harta). Imam Baihaqi mengatakan : "Menurutku bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah meminta keadaan miskin yang maknanya kekurangan tetapi beliau meminta miskin yang maknanya tunduk dan merendahkan diri (Khusyu' dan 22
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2896) dari Sahabat Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu 'anhu 23 Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh an-Nasâ`i (VI/45) dari Sahabat Mush’ab bin Sa’d Radhiyallahu 'anhu. Lihat Shahîh Sunan an-Nasâ`i (II/669, no. 2978)
51 Tawadhu'). (Lihat kitab : Sunatul Kubra al-Baihaqi 7/12-13 dan Taklhisul-Habir 3/109 No. 1415 oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar). Demikian juga maknanya telah diterangkan oleh Hujjatul Islam al-Imam Ghazali di kitabnya yang mashur Al-Ihya' 4/193. (baca juga syarah Ihya' 9/272 oleh Imam Az-Zubaidy). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : "Hidupkanlah aku dalam keadaan Khusyu' dan Tawadhu'". (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah 18/382 bahagian kitab hadits). Beliau juga mengatakan (hal.326) : ".... bukanlah yang dikehendaki dengan miskin (di dalam hadits ini) tidak mempunyai harta ..."
B. Analisis Ibnu Qutaibah Tentang Hadis Kemiskinan Ibnu Qutaibah dalam beberapa karyanya memiliki metode yang sangat menarik dalam memberikan solusi disetiap hadis yang sulit untuk difahami ataupun memiliki kontradiksi dengan ketetapan-ketetapan sunnah.
اللهم إنِّي أسألك غناي وغنى مو الي “ aku memohon kepada-Mu akan berkecukupanku dan kecukupan majikanku.”24
أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال اللهم أحيني مسكينا وأمتني مسكينا واحشرني في زمرة المساكين Artinya : Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ya Allah hidupkan dan matikanlah aku dalam kemiskinan serta masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang miskin.”25
Menurut Ibnu Qutaibah disini tidak terdapat perbedaan. Mereka telah salah penafsiran hadis dan telah berbuat zhalim dalam mempertentangkan antara kefakiran dan kemiskinan, padahal keduanya 24
25
berbeda. Seandainya Rasulullah SAW
HR. Ahmad dalam al-Musnad (453/3) HR. at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2352)
52 mengucapkan, “Ya Allah hidupkanlah aku di dalam kefakiran dan kumpulkanlah aku di dalam kefakiran dankumpulkanlah aku di dalam kumpulan orang-orang fakir”26, maka hal tersebut baru merupakan pertentangan. Arti kemiskinan di dalam sabda Rasulullah SAW, “dan kumpulkanlah aku dalam keadaan miskin,” berarti rendah hati.27 Seakan-akan Rasulullah SAW memohon kepada Allah agar tidak di jadika orang-orang yang keras hati dan orangorang yang sombong agar tidak dikumpulkan bersama mereka.28 Kalimat miskin (maskanah) adalah kalimat yang diambil dari kata as-sukun. Di katakan di dalam bahas Arab Tamaskana Ar-Rajul apabila seseorang lembut, rendah hati, khusyu’ dan tunduk.29 Di antaranya sabda Nabi kepada orang yang shalat :
تباءس وتمسكن وتقنع رأسك “ melemahlah, tenanglah dan tundukkan kepalamu.”30 Maksud dari hadis di bawah tersebut hendaklah engkau khusyu’ dan merendahkan diri dihadapan Allah SWT.”31 Di antara dalil yang ibnu Qutaibah sampaikan: Sesungguhnya Rasulullah SAW jika memohon Kemiskinan yang berarti kefakiran, niscaya Allah SWT melarang permohonan tersebut. Karena Allah SWT telah menjaminnya menjadi orang yang
26
Telah di takhrij di dalam pembahasan ini 27 Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka Azzam hal. 279) 28 Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka Azzam hal. 279) 29 Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka Azzam hal. 280) 30 HR. Ibnu Majah. Dalam Sunan-nya (1319) 31 HR. Al- haitsami dalam majma’ az-zawaid (11/6)
53 berkecukupan dan mampu dengan air yang diciptakan untuknya, sekalipun Allah tidak memberikan uang dirham yang berlimpah ruah.32 Allah SWT berfirman,
6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? 7. dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. 8. dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
Kalimat al’ail (kekurangan) adalah orang miskin/ faqir yang memiliki keluarga atau tidak memiliki keluarga. Kalimat al mu’il adalah orang fakir yang memiliki keluarga, baik ia meiliki harta atau tidak.33 Ibnu Qutaibah juga menambahkan bahwa, tidak pernah mendengar Nabi siapapun, sahabat manapun, ahli ibadah dan para mujtahid manapun berdoa, ” Ya Allah fakirkanlah diriku dan janganlah engkau memberikan kepadaku.” Dan tidak dengan cara seperti itu Allah SWT memperbudak manusia, tetapi Allah memperbudak manusia agar mereka berdoa, “Ya Allah berikanlah aku rezeki, ya Allah sehatkanlah aku.”34 Uraian di atas menunjukan bahwa dalam memberikan jalan keluar terhadap pertentangan hadis-hadis tersebut, Ibnu Qutaibah tidak hanya memahaminya melalui pendekatan bahasa saja, namun juga berdasarkan bukti-bukti lain yang ada kaitannya dengan hadis yang bersangkutan. Setelah menganalisa pendapat Ibnu Qutaibah beserta ulama hadis mengenai arti miskin ternyata tidak ada pesinggungan, yang berarti maksud dari miskin adalah tawadhu.
32
Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka Azzam hal. 280) 33 Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka Azzam hal. 281) 34 HR. al- Hindi dalam kanz al ‘Ummal (3745)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan
uraian-uraian
yang
telah
dipaparkan
pada
bab-bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan dari tulisan ini dengan merujuk kepada rumusan masalah sebagai berikut: Kata miskin berasal dari akar sukun yang berarti tenang, tawadhu (rendah hati) dan khusy’. Berbeda dengan fakir yang lebih condong ke arah materi. Dalam menakwilkan hadist-hadist tersebut, mereka kurang memahami arti dari fakir dan miskin, dan cenderung menyamakan keduanya, padahal keduanya tidak sama. Ada beberapa hadis yang bertentangan dengan hadis ini, tapi itu bukan menjadi pelemah hadis ini. Karena hadis itu justru menguatkan pemahaman akan arti miskin. Dengan demikian, hadis bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena dibalik kata miskin tersebut ada maksud tawadhu’ atau rendah diri, bukan miskin harta.
54
55
B. Saran-saran Dalam skripsi ini penulis hanya memfokuskan pada hadis kemiskinan. Maka
dari
itu
penulis
berharap
dikemudian
hari
ada
penulis
yang
menyempurnakan penelitian ini dengan bahasan dan penakwilan yang lebih luas lagi. Karena penulis sadar kesimpulan akhir dari skripsi ini tidak menutup kemungkinan ada kesimpulan lain dari analisis yang dilakukan penulis. Penulis juga berharap ada penelitian lanjutan yang lebih komprehensif, terhadap hadis-hadis kemiskinan dan tidak hanya menggunakan kitab ta’wil mukhtalif al-hadis saja. Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sedikit pengetahuan untuk penulis khususnya, para pembaca sekalian dan orang lain pada umumnya. Amien.
DAFTAR PUSTAKA ‘Athâ. ‘Abd al-Qadîr Ahmad, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ. Beirut, Dâr al-Fikr, 1995. Abû Zahw. Muhammad, Al-Hadîts Wa al-Muhadditsûn, Beirut: Dâr al-Fikr, th.1995 Ariffudin. Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi . Jakarta: Renaisan, 2005. Biro Pusat Statistik. Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan di Indonesia 19761990. Jakarta: BPS, 1991. Departement Agama, Al-Qur’an Departemen Agama RI. Jakarta: Kalam Ilahi, 2002. Hanafi. Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam . Jakarta: Bulan Bintang, 1989. Hanbal. Ahmad bin, Musnad Ibnu Hanbal. Beirut: Dâr al-Fikr, 1996. Hasan. Mishabul, Ulama Mengadvokasi Anggaran. Jakarta: PP Lakpesdam NU, t.th. Hasyim. Ahmad, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam. Banda Aceh: Lentera, 1973. http://pustakaimamsyafii.com/mencintai-orang-orang-miskin-dan-dekat-denganmereka.html/ diakses 14-september-2014 Husna. Lilies Nurul dan Achmad wazir Wicaksono, Ormas Agama Bicara Anggaran. Jakarta: Lakpesdam NU, 2011. Ibrahim. Saad, Kemiskinan dalam Perspektif al-Quran, Jakarta: Bulan Bintang, 1998. Ismail. Syuhudi, Metodelogi Penelitian Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Majah. Ibnu, Sunan Ibnu Majah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995. An-Nasa’i, Imam. Sunan an-nasai’, Beirut, Dâr al-Fikr, 1995 Nasution. Anwar, Sekitar Kemiskinan Dan Keadilan Dari Cendikiawan Kita Tentang Islam. Jakarta: UI Press, 1987. Qardhawi. Yusuf, Al-Qur'an Dan Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam, Terj. Bahruddin Fannani. Jakarta: Robbani Press, 1997. , Kajian Kritis Pemaknaan Hadis Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Islamuna Press, 1991.
56
57
, Bagaimana Memahami Madis Hadis Nabi Saw, terjemahan. Bandung: Karisma, 1999. Qutaibah. Abdullah Bin Muslim bin, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts. Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiah, 1988. Ranuwijaya. Utang, Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama,1996. Sa’ad. Ibrahim, Kemiskinan Dalam Prespektif al-Quran. Malang: UIN Malang Press, 2007. Saputra. Munzier, Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993. al-Sibâ’i. Mushthafâ, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Syari’at Islam, Terj. Nur Kholish Madjid. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991. Sirodj. Said Aqil, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, mengedepankan islam sebagai inspirasi bukan aspirasi. Bandung: Mizan, 2006. Sou'eb. Joesoef, Sejarah Daulat Abbasiah II. Jakarta: Bulan Bintang t.th, 1996. Suparlan. Parsudi, Manusia Indonesia Individu. Keluarga, dan Masyarakat. Jakarta: Akademika Pressindo, 1986. Swasono. Sri Edi, Al-Muzammil dan Amri Yusra, Sekitar Ekonomi dan Kemiskinan. Jakarta: UI Press, 1988. Al-Thawil. Nabl Subhi, Kemiskinan dan Keterbelakangan di negara-negara muslim. Bandung: Mizan, 1990. Tim prima pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gitamedia Press, 2011. Tirmidzi, Imam. Sunan Tirmidzi, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996 Yatim. Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Zaghlul. Abu Hajar Muhammad Al-Sa’id Bin Baisuni, Mausu’at Al-Athraf Al-Hadis Al-Nabawi Al-Syarif. Beirut: Dar Al-Fikr, 1989. Zahrah. Muhammad Abû, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos, 1996