BAHASA PERUMPAMAAN TOKOH DALAM HIKAYAT RAJA BANJAR (PARABLE OF FIGURES IN THE STORY OF KING BANJAR) M. Rafiek Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail
[email protected] Abstract Parable of Figures in the Story of King Banjar. This study aims to discover and clarify the existing language of parable figures in the saga of king Banjar. The theory used in this research is the theory of figure of speech (style) and figuratively stilistika theory. The method used in this research is descriptive qualitative analysis techniques stilistika literature. The results of this study is contained in the language of parable figures Raden Putra (prince Suryanata), Huripan Princess, Princess Junjung Buih, Ki Mas Lelana, and Raden Samudera (Prince Suryanullah or Suriansyah). In the present study found the language of parable figures used simile in the fifth figure, the Princess Junjung Buih, Raden Putra, Princess Huripan, Ki Mas Lelana, and Raden Samudera. Simile of figure in the saga king Banjar use words like as marker. In addition, there is also the use of figure of speech hyperbole in the parable figures Ki Mas Lelana. Conclusion of the study is the language of the parable of the characters in the saga of king Banjar using simile. Keywords: language of parable, the saga of king banjar, simile
Abstrak Bahasa Perumpamaan Tokoh dalam Hikayat Raja Banjar. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan menjelaskan bahasa perumpamaan tokoh yang ada dalam Hikayat Raja Banjar. Teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori majas (gaya bahasa) dan teori stilistika kiasan. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis stilistika sastra. Hasil penelitian ini berupa bahasa perumpamaan tokoh terdapat pada tokoh Raden Putra (Pangeran Suryanata), Putri Huripan, Putri Junjung Buih, Ki Mas Lalana, dan Raden Samudera (Pangeran Suryanullah atau Suriansyah). Dalam penelitian ini ditemukan bahasa perumpamaan tokoh menggunakan majas perumpamaan pada kelima tokoh, yaitu Putri Junjung Buih, Raden Putra, Putri Huripan, Ki Mas Lelana, dan Raden Samudera. Majas perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar menggunakan kata seperti sebagai penandanya. Selain itu, ditemukan pula penggunaan majas hiperbola dalam perumpamaan tokoh Ki Mas Lelana. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian adalah bahasa perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar menggunakan majas perumpamaan. Kata-kata kunci: bahasa perumpamaan, hikayat raja banjar, majas perumpamaan
PENDAHULUAN Penelitian terhadap Hikayat Raja Banjar ini adalah yang kesekian kali peneliti lakukan, yang pertama, peneliti bersama M. Zainal Arifin Anis meneliti Eksistensi Wiramartas dalam Hikayat Banjar (2004), yang kedua, peneliti meneliti Realitas Mitologis dan Ideologis dalam Hikayat Raja Banjar (2005a), yang ketiga, peneliti meneliti Realitas Mitologis dalam Hikayat Raja Banjar (2005b), yang keempat, peneliti meneliti Poligami dalam Hikayat Banjar (2006a). Keempat, peneliti meneliti tokoh mitos Banjar dalam Hikayat Raja Banjar dengan teori antropologi struktural Claude Levi-Strauss (2006b). Peneliti juga sudah meneliti Mitos Raja dalam Hikayat Raja Banjar (2010), Hikayat Raja Banjar: Kajian Jenis, Makna, dan Fungsi Mitos Raja (2011), Hikayat Raja Banjar, Tutur Candi, dan Pararaton: Suatu Perbandingan (2012a), Kearifan Lokal dalam Hikayat Raja Banjar (2012b). Selanjutnya, pada artikel ilmiah ini, peneliti mencoba menjelaskan bahasa perumpamaan tokoh mitos Banjar dalam naskah Hikayat Raja Banjar. Penelitian mengenai bahasa perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan orang. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi semacam perintis awal bagi penelitian bahasa perumpamaan dalam Hikayat Raja Banjar. Penelitian semacam ini akan sangat bermanfaat untuk membuka wawasan baru dalam meneliti aspek kebahasaan suatu hikayat. Sekalipun penelitian ini sangat sederhana, akan tetapi peneliti berusaha mengkajinya secara lebih mendalam. Penelitian orang lain sebelumnya yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini adalah Sarana Retorika dalam Penuturan Munaba Waropen Papua oleh Dharmojo (2004). Dalam penelitiannya tersebut, Dharmojo menemukan bahwa di dalam munaba terdapat (1) pemilihan kata (diksi), (2) pengimajian, (3) penggunaan bahasa figuratif, (4) aspek bahasanya bersifat ekspresif, sugestif, asosiatif, dan magis, (5) bahasa yang mungkin memiliki kegandaan tafsir makna, dan (6) penggunaan bahasa Waropen. Munaba adalah nyanyian ratapan kematian yang mengungkapkan kesedihan, penghormatan, kasih sayang, sanjungan terhadap orang yang meninggal (Dharmojo, 2004: 87). Berdasarkan penelitian Dharmojo tersebut dapat diketahui bahwa di dalam karya sastra terdapat penggunaan bahasa figuratif. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengungkap apakah dalam Hikayat Raja Banjar juga terdapat bahasa figuratif, khususnya majas perumpamaan? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bahasa-bahasa perumpamaan tokoh mitos Banjar dalam naskah Hikayat Raja Banjar. Manfaat penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan dan menginventarisasi khazanah sastra Melayu klasik, khususnya Hikayat Raja Banjar dari segi bahasa perumpamaan tokoh. Dari segi teoretis, hasil penelitian ini sangat berguna bagi pengembangan gaya bahasa dan stilistika. Perumpamaan, menurut Zaidan, Rustapa, dan Hani‟ah (2000: 189 dan 210), dinamakan simile atau umpamaan. Umpamaan adalah majas perbandingan yang menggunakan kata perbandingan, antara lain umpama, seperti, dan bagaikan, simile. Tarigan (1985: 118) mengatakan perumpamaan adalah „perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan oleh pemakaian kata „seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, dan sejenisnya. Kata simile itu sendiri berasal dari bahasa Latin yang bermakna „seperti‟ (Tarigan, 1993: 180-181). Pateda (1995: 191), perumpamaan adalah „kemampuan untuk membandingkan dua hal yang pada hakikatnya berbeda dengan harapan jangan diikuti atau merupakan keputusan atas sesuatu yang dilihat atau dirasakan. Perumpamaan biasanya menggunakan kata-kata bak, bagai, seperti, umpama, ibarat, laksana. Keraf (2002: 138) juga mempunyai pendapat tersendiri tentang perumpamaan yang disamakannya dengan persamaan atau simile, yaitu perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan
perbandingan yang bersifat eksplisit itu adalah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Contohnya kikirnya seperti kepiting batu, bibirnya seperti delima merekah, matanya seperti bintang timur. Terkadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan objek pertama yang mau diperbandingkan, contohnya bagaikan air di daun talas dan bagai duri dalam daging. Perumpamaan adalah peribahasa yang membandingkan watak, keadaan, atau kelakuan seseorang dengan gejala-gejala alam. Biasanya diawali dengan kata ibarat, seperti, umpama, bagai, sebagai, bak, dan lain-lain (Eneste, 1994: 71). Perumpamaan adalah majas perbandingan yang dilukiskan dengan membandingkan dua hal berbeda yang dianggap sama (Rani dan Maryani, 2004: 297). Chaer (2002: 174) mengatakan perumpamaan sebagai perbandingan. Perbandingan, yaitu leksem yang digunakan adalah seperti, sebagai, laksana, seolah-olah, dan seakan-akan. Simile adalah perbandingan langsung antara benda-benda yang tidak selalu mirip secara esensial. Perbandingan yang menggunakan simile, biasanya terdapat kata „seperti‟ atau laksana (engkau laksana bulan) dan ketimbang atau daripada (ia lebih cantik ketimbang mawar merekah) (Minderop, 2005: 52; Reaske, 1966: 41). Perumpamaan adalah peribahasa yang berisi perbandingan; terjadi dari maksud (yang tidak diungkapkan) dan perbandingan (yang diungkapkan), misalnya seperti katak di bawah tempurung, ibarat bunga, sedap dipakai, layu dibuang. Perumpamaan kadang-kadang memakai kata seperti, ibarat, bagai, macam, dan sebagainya, kadang-kadang tidak (Kridalaksana,2001: 173). Peneliti dalam hal ini selain mengacu pada teori gaya bahasa di atas juga mengacu pada teori stilistika kiasan. Menurut Endraswara (2006: 73), stilistika kiasan terdiri atas dua macam, yaitu gaya retorik dan gaya kiasan. Gaya retorik meliputi eufemisme, paradoks, tautologi, polisindeton, dan sebagainya, sedangkan gaya kiasan sangat banyak ragamnya, antara lain alegori, personifikasi, simile, sarkasme, dan lain-lain. METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat tentang bahasa perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar (Djajasudarma, 1993: 8). Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik analisis stilistika sastra. Teknik analisis stilistika sastra berupaya mengungkap aspek-aspek estetik pembentuk kepuitisan karya sastra (Endraswara, 2006: 72). Pendekatan analisis stilistika sastra, yaitu (1) dimulai dengan analisis sistematis tentang sistem linguistik karya sastra, dan dilanjutkan ke interpretasi tentang ciri-ciri sastra, interpretasi diarahkan ke makna secara total dan (2) mempelajari sejumlah ciri khas yang membedakan satu sistem dengan sistem lain (Endraswara, 2006: 74). Dalam hal ini, peneliti memfokuskan analisis pada aspek melihat dari ciri teks sastra, yaitu dengan cara mempelajari dan mengkategorikan gaya bahasa yang tampil dalam teks (Endraswara, 2006: 74). Langkah-langkah analisis yang digunakan oleh peneliti dalam meneliti bahasa perumpamaan dalam Hikayat Raja Banjar ini mengacu pada langkah-langkah analisis dari Endraswara (2006: 75), yaitu: 1. Menetapkan unit analisis berupa data yang mengandung bahasa perumpamaan. 2. Menganalisis kata atau kalimat atau paragraf yang digunakan oleh pengarang dalam bahasa perumpamaan. Peneliti terlebih dahulu menganalisis sistem linguistiknya
dan setelah itu dilanjutkan dengan menganalisis dengan interpretasi tentang ciri-ciri dari tujuan estetis karya tersebut sebagai “makna total”. 3. Membahas kutipan yang mengandung bahasa perumpamaan secara lebih mendalam. 4. Melakukan pengontrasan antara majas yang satu dengan majas yang lainnya (kalau dalam analisis ada atau ditemukan. 5. Menemukan dan membahas unsur estetis bahasa perumpamaan tokoh. HASIL DAN PEMBAHASAN Bahasa Perumpamaan Tokoh Putri Junjung Buih Bahasa perumpamaan tokoh Putri Junjung Buih dalam Hikayat Raja Banjar mempunyai kaitan dengan perumpamaan wajah wanita cantik. Bahasa perumpamaan yang digunakan oleh pengarang anonim mengacu kepada rupa manusia yang diibarat seperti cahaya kumala. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. ….Maka putri itu kaluar dari dalam buih itu. Rupanya gilang-gumilang, cahayanya saparti kumala …. (Maka putri itu keluar dari dalam buih itu. Rupanya gilang-gemilang, cahayanya seperti kumala) (Ras, 1968: 276). Pada kutipan di atas terdapat majas perumpamaan, yaitu cahayanya seperti kumala. Majas perumpamaan yang digunakan untuk melukiskan rupa putri ini menunjukkan bahwa tokoh yang bersangkutan sangat cantik dan rupawan. Tokoh Putri Junjung Buih keluar dari air (buih) dalam rupa cantik jelita. Kumala bisa berarti batu permata dan bisa pula berarti kumala naga. Unsur estetis dalam bahasa perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan rupa Putri Junjung Buih yang bercahaya seperti kumala. Bahasa Perumpamaan Tokoh Raden Putra Bahasa perumpamaan tokoh Raden Putra digambarkan dalam Hikayat Raja Banjar sebagai seorang yang tampan dan gagah. Raden Putra yang semula sebelum terjun ke air berpenyakit campah kudung berubah menjadi pemuda yang gagah perkasa setelah keluar dari air. Penyakit campah kudungnya hilang dan ia keluar dari dalam air dengan menggunakan sarung sutera berwarna kuning. Maka Raden Putra itu kaluar bartapih sutra kuning. Maha indah-indah rupa cahayanya tapih sutra itu, karana bukannya parbuatan manusia itu, parbuatan dewa-dewa itu. Hilanglah sarungnya Raden Putra yang saparti campah kudung itu. Rupanya itu putih kuning saparti amas digasa, cahayanya saparti bulan purnama; rambutnya ikal saparti sobrah dikarang, basarnya itu paradaksa, artinya tingginya dangan basarnya itu sambada (Maka Raden Putra itu keluar bersarung sutra kuning. Maha indah-indah rupa cahayanya sarung sutra itu, karena bukannya perbuatan manusia itu, perbuatan dewa-dewa itu. Hilanglah sarungnya (kulit) Raden Putra yang seperti campah kudung itu. Rupanya itu putih kuning seperti emas digasa, cahayanya seperti bulan purnama; rambutnya ikal seperti sobrah dikarang, besarnya itu paradaksa, artinya tingginya dengan besarnya itu sembada) (Ras, 1968: 312).
Penggunaan majas perumpamaan dalam kutipan di atas terlihat pada kutipan Rupanya itu putih kuning seperti emas digasa, cahayanya seperti bulan purnama; rambutnya ikal seperti sobrah dikarang. Penggunaan majas perumpamaan dalam mendeskripsikan tokoh Raden Putra dalam Hikayat Raja Banjar menggunakan kata seperti. Tokoh Raden Putra dideskripsikan sebagai seorang pemuda tampan dan gagah. Majas perumpamaan tokoh ini membandingkan rupa manusia seperti benda yang berkilau dan bersinar atau bercahaya. Majas perumpamaan tokoh ini juga membandingkan rambut manusia yang ikal seperti sobrah dikarang. Unsur estetis dalam bahasa perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan rupa Raden Putra seperti emas disepuh, rupanya bercahaya seperti bulan purnama, rambutnya itu ikal seperti sobrah dikarang, dan ukuran tubuhnya itu ideal. Bahasa Perumpamaan Tokoh Putri Huripan Bahasa perumpamaan tokoh Putri Huripan dalam Hikayat Raja Banjar digambarkan seorang bayi yang mempunyai keajaiban pada waktu dilahirkan. Tokoh Putri Huripan ketika dilahirkan diceritakan bersama rawingnya dan sudah memakai gelang, kandit, caping, dan kerocong. Intinya, tokoh Putri Huripan ketika dilahirkan sudah memakai perhiasan wanita yang lengkap. Hal itu bisa dilihat pada kutipan di bawah ini. …. Maka budak di dalam parut itu kaluar, sarta rawingnya, sarta galangnya, sarta kanditnya, sarta capingnya, sarta kakarucungnya itu. Tubuhnya putih kuning, rambutnya mamayang hanibung cahayanya saparti bulan purnama. Maka ia barkata:”Namaku ini Putri Huripan” (…. Maka bayi di dalam perut itu keluar, serta rawingnya, serta gelangnya, serta kanditnya, serta capingnya, serta kakarocongnya itu. Tubuhnya putih kuning, rambutnya memayang hanibung cahayanya seperti bulan purnama. Maka ia berkata:”Namaku ini Putri Huripan”) (Ras, 1968: 346). Dalam kutipan di atas dapat diketahui bahwa Putri Huripan dideskripsikan dengan menggunakan majas perumpamaan, yaitu cahayanya seperti bulan purnama. Lagi-lagi yang dideskripsikan pengarang Hikayat Raja Banjar yang anonim berkaitan dengan rupa seseorang. Dalam hal ini, rupa Putri Huripan pada waktu masih bayi. Dalam kutipan di atas juga terdapat pelesapan majas perumpamaan dalam kutipan rambutnya memayang hanibung. Kutipan ini dapat dimaknai secara lengkap dengan menggunakan majas perumpamaan menjadi rambutnya seperti mayang hanibung. Jadi, rambut Putri Huripan ketika masih bayi panjang seperti mayang terurai. Aspek keajaiban tokoh sangat dominan untuk mendeskripsikan tokoh ini. Unsur estetis dalam bahasa perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan tubuh Putri Huripan ketika masih bayi yang bercahaya seperti bulan purnama. Bahasa Perumpamaan I Tokoh Ki Mas Lelana (Raden Sekar Sungsang atau Maharaja Sari Kaburungan) Bahasa perumpamaan tokoh Ki Mas Lelana dalam Hikayat Raja Banjar memang sungguh luar biasa. Tokoh Ki Mas Lelana digambarkan sebagai seorang pria yang sangat tampan sehingga membuat banyak anak dara menjadi gila, lupa makan, lupa karena sangat mengagumi ketampanan tokoh Ki Mas Lelana ini. Bayangkan saja, tokoh Ki Mas Lelana ini digambarkan dengan menggunakan majas perumpamaan seperti berjalan seperti merak
menari, berdehem seperti menggertak musuh, terkejut segala yang mendengar. Hal itu bisa dilihat pada kutipan di bawah ini. …. Banyaklah anak dara yang jadi gila, lupa akan makan, lupa akan parbuatan birahi kapada Ki Mas Lalana itu: barjalan saparti marak mahigal, bardehem saparti manggatak musuh, tarkajut sagala yang mandangar, barludah, tiga dapa lajangnya. Barang laku mambari birahi kapada hati parampuan (…. Banyaklah anak dara yang jadi gila, lupa akan makan, lupa akan perbuatan birahi kepada Ki Mas Lalana itu: berjalan seperti merak menari, berdehem seperti menggertak musuh, terkejut segala yang mendengar, berludah, tiga depa jauhnya. Barang laku memberi birahi kepada hati perempuan) (Ras, 1968: 360). Dalam kutipan di atas juga ditemukan majas hiperbola, yaitu berludah, tiga depa jauhnya. Bagi manusia biasa hal tersebut sangat tidak mungkin dan tidak masuk akal, akan tetapi bagi bahasa hikayat hal itu mungkin saja atau sah-sah saja. Tokoh Ki Mas Lelana dalam kutipan di atas juga diceritakan mempunyai perilaku yang bisa membuat birahi hati perempuan. Unsur estetis dalam bahasa perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan cara berjalan Ki Mas Lelana yang seperti merak menari, cara berdehem seperti menggertak musuh, berludah tiga depa jauhnya, dan perilakunya membuat birahi kepada hati perempuan. Bahasa Perumpamaan II Tokoh Ki Mas Lelana (Raden Sekar Sungsang atau Maharaja Sari Kaburungan) Bahasa perumpamaan tokoh Ki Mas Lelana dalam Hikayat Raja Banjar di bawah ini lebih lengkap dan rinci lagi dibandingkan bahasa perumpamaan tokoh yang sama sebelumnya. Dalam bahasa perumpamaan tokoh ini terdapat tambahan majas yang lain. Majas tersebut adalah majas hiperbola. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. …. Maka Ki Mas Lalana itu mahiringkan, barkain limar candrasari diparamas, barsabuk tali datu, karis batatah barwarangka katimaha, landean tunggul sami, barpamandak hastakona, barpanduk timbaga suasa, barsasumping surengpati. Tubuhnya kuning saparti amas digasa, rambutnya ikal saparti sobrah dikarang, tangannya lantik saparti patah, bahu bidang saparti wayang, pinggangnya ramping sacakak malang, pupu gangsir manunggang bilalang. Barjalan saparti marak mahigal. Bardaham saparti manggatak musuh bunyinya, tarkajut orang mandangar, takut sarta kasihnya. Lamun barludah tiga dapa jauhnya. Giginya saparti mutiara. Lamun barkata suaranya nyaring bunyinya, saparti suara naga, mambari birahi parampuan hatinya gila …. (…. Maka Ki Mas Lalana itu mengiringkan, berkain limar candrasari diperemas, bersabuk tali datu, keris bertatah berwarangka katimaha, landean tunggul sami, berpemandak hastakona, berpanduk tembaga suasa, bersasumping surengpati. Tubuhnya kuning seperti emas digasa, rambutnya ikal seperti sobrah dikarang, tangannya lantik seperti patah, bahu bidang seperti wayang, pinggangnya ramping secakak malang, pupu gangsir menunggang belalang. Berjalan seperti merak menari. Berdehem seperti menggertak musuh bunyinya, terkejut orang mendengar, takut serta kasihnya. Lamun berludah tiga depa jauhnya. Giginya seperti mutiara. Lamun berkata suaranya nyaring
bunyinya, seperti suara naga, memberi birahi perempuan hatinya gila ….) (Ras, 1968: 364). Dalam kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Ki Mas Lelana dideskripsikan dengan menggunakan majas perumpamaan. Hal itu terlihat pada kutipan Tubuhnya kuning seperti emas digasa, rambutnya ikal seperti sobrah dikarang, tangannya lantik seperti patah, bahu bidang seperti wayang, pinggangnya ramping secakak malang, pupu gangsir menunggang belalang. Berjalan seperti merak menari. Berdehem seperti menggertak musuh bunyinya, terkejut orang mendengar, takut serta kasihnya. …. Giginya seperti mutiara. Lamun berkata suaranya nyaring bunyinya, seperti suara naga, memberi birahi perempuan hatinya gila. Majas hiperbola terlihat pada kutipan Lamun berludah tiga depa jauhnya. Tubuh Ki Mas Lelana diumpamakan seperti emas disepuh, rambutnya ikal seperti sobrah dikarang, tangannya lentik seperti patah, bahunya bidang seperti wayang. Bila Ki Mas Lelana berjalan seperti merak menari. Bila Ki Mas Lelana berdehem seperti menggertak musuh. Gigi Ki Mas Lelana seperti mutiara. Bila Ki Mas Lelana berkata, suaranya nyaring seperti suara naga. Majas hiperbola pun dapat ditemukan pada kalimat terakhir kutipan ini, yaitu Lamun berkata suaranya nyaring bunyinya, …., memberi birahi perempuan hatinya gila. Mendengar suaranya yang nyaring saja bisa membuat birahi perempuan hatinya gila. Unsur estetis dalam bahasa perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan Ki Mas Lelana yang memiliki tubuh yang kuning seperti emas disepuh, rambut yang ikal seperti sobrah dikarang, tangannya lentik seperti patah, bahu bidang seperti wayang, cara berjalan seperti merak menari, berdehem seperti menggertak musuh, gigi yang seperti mutiara, bunyi suara yang nyaring seperti suara naga yang membuat birahi perempuan hatinya gila. Bahasa Perumpamaan Tokoh Raden Samudera Bahasa perumpamaan tokoh Raden Samudera dalam Hikayat Raja Banjar menggunakan bahasa yang biasa dan tidak melebih-lebihkan. Bahasa apa adanya ini menunjukkan bahwa pengarang Hikayat Raja Banjar tidak ingin mengulang atau menambahkan majas perumpamaan pada tokoh Raden Samudera seperti pada tokoh-tokoh sebelumnya. …. Tatapinya cahaya mukanya, rupa parduduknya, rupa pardirinya, rupa parjalannya, angkuh parkataannya, sakaliannya itu bartikas barlain lawan orang banyak. Ia itu rambutnya ikal, tubuhnya bangbang manis, basarnya paradaksa, artinya sambada basarnya dan tingginya itu, barang lakunya itu barang pantas. …. (…. Tetapinya cahaya mukanya, rupa perduduknya, rupa perdirinya, rupa perjalannya, angkuh perkataannya, sekaliannya itu berbatas berlain dengan orang banyak. Ia itu rambutnya ikal, tubuhnya bangbang manis, besarnya paradaksa, artinya sembada basarnya dan tingginya itu, barang lakunya itu barang pantas. ….) (Ras, 1968: 398 dan 400). Bahasa perumpamaan tokoh pada kutipan di atas tidak menggunakan kata perumpamaan, tetapi langsung merujuk pada gambaran sosok seseorang atau pendeskripsian sosok tokoh. Hal itu dapat diketahui dari kutipan Tetapinya cahaya mukanya, rupa perduduknya, rupa perdirinya, rupa perjalannya, angkuh perkataannya, sekaliannya itu berbatas berlain dengan orang banyak. Ia itu rambutnya ikal, tubuhnya bangbang manis, besarnya paradaksa, artinya sembada basarnya dan tingginya itu,
barang lakunya itu barang pantas. Pendeskripsikan tokoh Raden Samudera ini diceritakan apa adanya sebagai seorang raden atau bangsawan atau keturunan darah biru. Tidak ada majas perumpamaan apalagi hiperbola dalam pendeskripsian tokoh Raden Putra. Hal ini sangat berbeda dengan perumpamaan tokoh lainnya dalam Hikayat Raja Banjar. Dari deskripsi tokoh dalam kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Raden Samudera adalah orang yang tampan dan gagah. Hal itu dapat diketahui dari kutipan Ia itu rambutnya ikal, tubuhnya bangbang manis, besarnya paradaksa, artinya sembada basarnya dan tingginya itu, barang lakunya itu barang pantas. Kalau diperhatikan pemilihan kata dalam bahasa perumpamaan di atas, tentu dapat kita pahami bahwa pengarang ingin menceritakan atau mendeskripsikan tokoh seperti apa adanya. Pengarang tidak menambah majas perumpamaan seperti tokoh-tokoh Hikayat Raja Banjar sebelum Raden Samudera. Unsur estetis dalam bahasa perumpamaan tokoh di atas terlihat dari deskripsi sosok tokoh Raden Samudera yang memiliki rambut yang ikal, tubuhnya yang bangbang manis, besarnya paradaksa, dan barang lakunya barang pantas.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, yaitu bahasa perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar hanya terdapat pada tokoh Putri Junjung Buih, Raden Putra, Putri Huripan, Ki Mas Lelana yang menggunakan kata seperti, terkecuali tokoh Raden Samudera. Bahasa perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar berkaitan dengan (1) cahaya rupa, (2) cahaya tubuh, (3) rambut, (4) ukuran atau postur tubuh, (5) cara berjalan, (6) bunyi ketika berdehem, (7) tangan, (8) bahu, (9) gigi, dan (10) bunyi suara ketika berkata. Bahasa perumpamaan tokoh yang paling rinci diceritakan dalam Hikayat Raja Banjar adalah perumpamaan tokoh Ki Mas Lelana. Selain majas perumpamaan, dalam bahasa perumpamaan tokoh Ki Mas Lelana juga ditemukan penggunaan majas hiperbola. Saran Saran bagi peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian-penelitian tentang majas atau gaya bahasa yang lain dalam Hikayat Raja Banjar. Penelitian lainnya yang disarankan adalah agar meneliti makna dan fungsi majas dalam Hikayat Raja Banjar. Kedua penelitian yang disarankan ini sangat penting untuk dilakukan agar majas, makna, dan fungsinya dalam Hikayat Raja Banjar tuntas dikaji secara lebih mendalam.
DAFTAR RUJUKAN Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Dharmojo. 2004. Sarana Retorika dalam Penuturan Munaba Waropen Papua. Vidya Karya, Jurnal Kependidikan dan Kebudayaan, 1(1): 84-94. Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik, Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco. Eneste, Pamusuk. 1994. Kamus Sastra untuk Pelajar. Ende, Flores, NTT: Nusa Indah. Keraf, Gorys. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Minderop, Albertine. 2005. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pateda, Mansoer. 1995. Kosakata dan Pengajarannya. Ende, Flores, NTT: Nusa Indah. Rafiek, Muhammad dan Anis, M. Zainal Arifin. 2004. Eksistensi Wiramartas dalam Hikayat Banjar. Wiramartas, Jurnal Sosial dan Pendidikan, 1 (1): 1-10. Rafiek, Muhammad. 2005a. Analisis Realitas Mitologis dan Realitas Ideologis dalam Naskah Hikayat Carita Raja Banjar dan Raja Kota Waringin dengan Pendekatan Strukturalisme Hermeneutika Claude Levi-Strauss. Laporan tidak diterbitkan. Banjarmasin: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Unlam. Rafiek, Muhammad. 2005b. Analisis Realitas Mitologis dalam Naskah Hikayat Carita Raja Banjar dan Raja Kota Waringin dengan Pendekatan Strukturalisme Hermeneutika Claude Levi-Strauss. Tesis tidak diterbitkan. Banjarmasin: Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Unlam. Rafiek, Muhammad. 2006a. Poligami dalam Hikayat Banjar. Kalimantan Scientiae, Majalah Ilmiah Universitas Lambung Mangkurat, Sosial dan Humaniora, 67 (1): 58-67. Rafiek, Muhammad. 2006b. Claude Levi-Strauss di Tengah-Tengah Para Tokoh Mitologis Banjar, Lambu Mangkurat, Putri Junjung Buih, dan Raden Putra (Pangeran Suryanata) yang Takkan Pernah Terlupakan Versus Wiramartas yang Terlupakan (Sebuah Kajian Strukturalisme Hermeneutik atas Naskah Hikayat Banjar, Suatu Historiografi Etnik). Jurnal Pendidikan & Humaniora, 5 (2): 263-279.
Rafiek, Muhammad. 2011. Hikayat Raja Banjar: Kajian Jenis, Makna, dan Fungsi Mitos Raja. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 1(1): 3-27. Rafiek, Muhammad. 2012a. Hikayat Raja Banjar, Tutur Candi, dan Pararaton: Suatu Perbandingan. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 2 (1): 5-17. Rafiek, Muhammad. 2012b. Kearifan Lokal dalam Hikayat Raja Banjar. IMAN, International Journal of the Malay World and Civilisation, 30 (1): 67-104. Rani, Supratman Abdul dan Maryani, Yani. 2004. Intisari Sastra Indonesia dilengkapi dengan Gaya Bahasa, 30 Ikhtisar Roman Pilihan, dan Kamus Istilah Sastra. Bandung: Pustaka Setia. Ras, Johanes Jacobus. 1968. Hikajat Bandjar. The Hague: Martinus Nijhoff. Reaske, Christopher Russel. 1966. How to Analyze Poetry. New York: Monarch Press. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengajaran Kosakata. Bandung: Angkasa. Zaidan, Abdul Rozak, Rustapa, Anita K., dan Hani‟ah. 2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.