International Journal of the Malay World and Civilisation (Iman) 3(1), 2015: 107 - 115
M. Rafiek 107
Tumbuhan dalam Hikayat Raja Banjar: Larangan, Manfaat, Akibat, Asal-Usul, dan Pertanda Plants in Hikayat Raja Banjar: Prohibition, Benefits, Result, Origin and a Sign M. Rafiek
ABSTRAK Hikayat Raja Banjar adalah karya sastera Melayu klasik berbentuk prosa di Kalimantan Selatan, Indonesia. Hikayat ini selain berisi cerita tentang salasilah raja-raja Banjar dan Kota Waringin juga berisi cerita tentang tumbuhan yang memiliki larangan, manfaat, akibat, asal-usul, dan pertanda. Tumbuhan dalam Hikayat Raja Banjar yang mengandung larangan, manfaat, akibat, asal-usul, dan pertanda antara lain sahang atau lada (piper nigrum), bunga nagasari, bunga melati (Jasminum sambac) dan bunga merah, jerangau (Acorus calamus) dan pirawas, kayu gading, dan pohon rengas (glutta renghas). Lada dilarang ditanam terlalu banyak karena dapat mengakibatkan datangnya bencana bagi kerajaan. Lada boleh ditanam sedikit saja untuk keperluan rempah dapur tiap keluarga. Bunga nagasari berasal dari kesaktian Putri Junjung Buih sebagai pertanda kasih sayangnya kepada bawahannya. Bunga melati dan bunga merah sebagai pertanda Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga mati dibunuh. Jerangau berasal dari sepah kinangan Arya Malingkun dan Pirawas berasal dari sepah kinangan istri Arya Malingkun yang bermanfaat sebagai ubat bagi cucunya yang bernama Putri Huripan. Kayu gading merupakan dasar bagi Raja Bungsu memberi nama desa Ampelgading. Kayu gading bermanfaat untuk dijadikan tongkat. Pohon rengas memiliki pertanda kalau dahannya tiada angin maka patah sendiri, alamat ada para dipati mati, kalau ujungnya patah sendiri, alamat raja mati. Kata kunci: Hikayat Raja Banjar; tumbuhan; larangan; manfaat; akibat; pertanda ABSTRACT Hikayat Raja Banjar is a classical Malay literature in prose in South Kalimantan, Indonesia. This saga besides containing stories about the genealogy of the kings of Banjar and Kota Waringin also contains stories about herbs which have prohibition, benefits, consequences, the origin, and a sign. Plants in the Hikayat Raja Banjar which contain prohibition, benefits,consequences, the origin, and a sign among others are sahang or pepper (piper nigrum), nagasari flower, jasmine (Jasminum sambac) and red flowers, calamus (Acorus Calamus) and pirawas, ivory wood, and tree rengas (glutta renghas). Pepper is prohibited from being planted too much because it can lead to disaster for the kingdom. Some pepper may be planted to spice kitchen needs of each family. Interest on Nagasari flower is derived from the supernatural Puteri Junjung Buih as a sign of affection to her subordinates. Jasmine flowers and red flowers are signs of the death of Bangbang Sukmaraga and Bangbang Patmaraga. Jerangau is derived from kinangan Arya Malingkun junk and Pirawas junk is derived from kinangan Arya Malingkun’s wife wish was useful as a medicine for her grandson named Princess Huripan. Ivory wood is the basis for the youngest king in naming Ampelgading village. Ivory wood is useful as a walking stick, Rengas tree has the sign that if the is no wind branches break by themselves, it is a sign that a Dipati is dead, and if the tip of the branches breaks by itself it is a sign that the king dies. Keywords: Hikayat Raja Banjar; plants; prohibition; benefits; as a result; the origin; and a sign
PENDAHULUAN Tumbuhan tampaknya banyak mendapat sorotan dari para peneliti di Indonesia mahupun di luar negara. Hal itu dapat dimaklumi kerana tumbuhan itu tumbuh dan ada di sekitar kita. Keberadaan tumbuhan, khususnya nama-nama tumbuhan itu semakin lama semakin kurang dikenal oleh kalangan muda penutur bahasa ibunda. Hal itu kerana ekosistem tumbuhan yang dimaksudkan sudah rosak, sudah punah, atau sudah sangat sulit dijumpai dalam lingkungan di kehidupannya sehari-hari.
Rosaknya ekosistem tumbuhan itu dapat dimaklumi kerana perkembangan perumahan di kota dan desa dan juga kerana penebangan hutan untuk pertanian dan industri serta perlombongan. Tumbuhan yang semula masih sangat familiar di telinga kita dan mudah dijumpai di sekitar kita pada akhirnya akan tidak dikenal lagi dan tidak diketahui kewujudannya. Mahu tidak mahu semua pihak harus cepat tanggap dalam ‘menginventarisasi’ dan mendokumentasikan tumbuhan tersebut tidak terkecuali para peneliti sastera Melayu. Dalam kesempatan ini, penulis secara khusus meneliti
108 M. Rafiek
tumbuhan yang disebut dan diceritakan dalam Hikayat Raja Banjar (selanjutnya di singkat HRB) yang mempunyai manfaat dan pertanda baik atau buruk dalam kehidupan. Ternyata dalam HRB selain memuat salasilah dan cerita raja-raja Banjar dan Kota Waringin juga memuat tumbuhan-tumbuhan khas yang mempunyai khasiat dan menandakan sesuatu. Penelitian awal yang dijadikan rujukan dalam hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Aishah Haji Muhamad dan A. Aziz Bidin (1993) dalam artikel penelitian yang berjudul Tumbuhan dari Perspektif Antropologi. Dalam penelitian Aishah Haji Muhammad dan A. Aziz Bidin diketahui bahawa teori yang mereka gunakan adalah teori asal-usul kegunaan tumbuhan dari Sofowora, Evans-Pritchard, dan Chua Sui Sen. Penelitian Aishah Haji Muhammad dan A. Aziz Bidin juga menggunakan teori sebab-musabab penyakit yang berasaskan kepada teori humoral patologi dan teori magis. Aishah Haji Muhamad dan A. Aziz Bidin menemukan 57 kegunaan tumbuhan ubatan dan cara menggunakannya. Penulisan Dove (1997) yang berjudul The “Banana Tree at The Gate”: Perceptions of Production of Pipper Nigrum (Piperaceae) in a Seventeenth Century Malay State menjelaskan bahawa naskhah HRB memuat cerita tentang larangan raja Nagara Dipa untuk menanam lada sebagai barang dagangan. Dove (1997: 348) mengutip cerita pesan Empu Jatmaka kepada semua orang di negeri Nagara Dipa agar jangan menanam sahang (lada) sebagai dagangan negeri untuk mencari harta seperti negeri Palembang dan Jambi. Pesan Empu Jatmaka tersebut disampaikan kerana manakala negeri itu menjadikan lada sebagai barang dagangan, barang makanan menjadi mahal dan sesuatu yang ditanam tidak mahu menjadi kerana uapnya yang panas. Empu Jatmaka pun menceritakan bahawa datang fitnah pada negeri itu dan perintah (pemerintahan) menjadi huruhara. Lebih lanjut, dalam HRB diceritakan bahawa Empu Jatmaka mengatakan banyak orang sakai yang berani pada orang kota kalau lada dijadikan dagangan untuk mencari harta. Empu Jatmaka hanya menyarankan agar menanam lada kira-kira empat-lima rapun (rumpun) per orang dan cukup untuk dimakan saja. Namun lagi-lagi Empu Jatmaka mengingatkan sungguh empat-lima rumpun per orang itu banyak juga uapnya. Terakhir, Empu Jatmaka berpesan kalau sangat dihumakan lada itu, niscaya negeri itu menjadi rusak. Penelitian berikutnya yang dijadikan rujukan adalah Fungsi Tumbuhan Cekur (Kaempferia
Galanga L.) dan Setawar (Costus Speciosus) dalam Kehidupan Tradisional Suku Dayak Desa oleh Herpanus (2011: 259-268). Dalam penelitiannya, Herpanus menemukan fungsi tumbuhan cekur untuk pengubatan dan mengusir hantu dan fungsi tumbuhan setawar dalam adat mendirikan rumah, pembuatan dan pemindahan dapur, dan digunakan dalam adat berhuma. Penelitian Herpanus ini memberikan gambaran juga bahawa ternyata tumbuhan cekur ada dalam sastera lisan setempat. Penelitian lainnya adalah Kategori TumbuhanTumbuhan Wit dan Suket dalam Bahasa Jawa yang dilakukan oleh Suhandano (2009). Dalam penelitiannya tersebut, Suhandano menyimpulkan bahawa penutur bahasa Jawa memilih tumbuhtumbuhan ke dalam dua kelompok besar yang masing-masing diacu dengan leksikon wit dan suket. Leksikon wit mengacu pada tumbuhan berukuran besar, sedangkan leksikon suket mengacu pada tumbuh-tumbuhan berukuran kecil. Dalam bahasa Jawa, wit bererti pohon, sedangkan suket bererti rumput. Nawangningrum et al. (2004) dalam penulisan mereka yang berjudul Kajian terhadap Naskah Kuna Nusantara Koleksi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia: Penyakit dan Pengobatan Ramuan Tradisional menemukan bahawa terdapat 500 nama tanaman ubat dari naskhah Jawa, 219 nama tanaman ubat dari naskhah Bali, 265 nama tanaman ubat dari naskhah Melayu, dan 2 nama tanaman ubat dari naskhah Sunda. Penelitian mereka tersebut menunjukkan bahawa naskhah karya sastera klasik Nusantara memuat nama-nama tanaman atau tumbuhan yang berfungsi dan bermanfaat. PERMASALAHAN KAJIAN Penelitian tentang tumbuhan dalam HRB belum pernah dilakukan oleh para peneliti sastera Melayu klasik. Penelitian ini berupaya mendeskripsikan dan menjelaskan tentang larangan, manfaat, akibat, asal-usul, dan pertanda terkait dengan tumbuhan dalam HRB . Penelitian-penelitian sebelumnya terkait dengan HRB pernah dilakukan oleh Cense (1928), Ras (1968), Soeratno (1991), dan Rafiek (2010). Semua penelitian tersebut tidak ada yang meneliti tentang tumbuhan secara khusus. Cense (1928) menerbitkan penelitiannya yang berjudul De Kroniek van Bandjarmasin. Penelitian Cense ini berisi ringkasan dua versi utama HRB secara terperinci dan diikuti oleh perbincangan kritis tentang isinya. Salah satu keunggulan dari penelitian
M. Rafiek 109
Cense adalah kedua versi utama dari HRB yang disebutnya versi I dan versi II diperbandingkan untuk pertama kalinya. Cense tidak menentukan hubungan yang tepat antara kedua versi ini, tetapi sekurang-kurangnya dia memperlihatkan kepada kita bahawa dalam hikayat ini terdapat suatu masalah filologi yang memerlukan perhatian. Ras (1968) dalam penelitiannya yang berjudul Hikayat Bandjar, A Study in Malay Historiography membahas HRB dari sudut filologi. Dalam penelitian tersebut, Ras membandingkan resensi 1 dan 2 dari HRB. Ras juga membandingkan HRB dengan cerita Melayu dan Jawa lainnya. Ras pun memberikan penjelasan tentang koloni Melayu di Kalimantan Tenggara dan kontaknya dengan Jawa. Soeratno (1991) dalam penelitiannya yang berjudul Hikayat Iskandar Zulkarnain pada bab IV juga membahas teks HRB penyambut Hikayat Iskandar Zulkarnain. Soeratno hanya mengkaji tentang sejarah teks HRB dalam hubungannya dengan tradisi Iskandar, unsur Iskandar dalam HRB, dan intertekstualitas HRB dan Hikayat Iskandar Zulkarnain. Rafiek (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Mitos Raja dalam HRB membahas mitos-mitos yang terkait dengan cerita raja Banjar yang ada dalam HRB. Jadi, tidak ada sama sekali membahas tentang tumbuhan. KERANGKA TEORI Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sastera Melayu klasik dan cerita asal-usul. Teori Melayu klasik di sini terkait dengan HRB sebagai sastera sejarah. HRB sebagai sastera sejarah memuat cerita raja Banjar yang melarang rakyatnya menanam lada terlalu banyak untuk diperdagangkan kerana akan mendatangkan bencana (Liaw Yock Fang 2011: 494). Menurut Djamaris (1990: 47), dalam kesusasteraan Indonesia lama terdapat suatu jenis cerita yang berupa cerita etiologi, iaitu cerita tentang asal-usul suatu benda, binatang, atau tumbuhan berdasarkan gejala-gejala yang terdapat pada alam atau rupanya yang sekarang ini. Lebih lanjut, menurut Djamaris (1990: 47), cerita etiologi dapat digolongkan menjadi 3, iaitu etiologi dalam dunia tumbuh-tumbuhan, etiologi dalam dunia binatang, dan etiologi tempat atau kejadian sesuatu tempat. Dalam hal ini, peneliti menggunakan teori etiologi dalam dunia tumbuh-tumbuhan dan etiologi tempat atau kejadian sesuatu tempat yang berkaitan dengan tumbuhan. Menurut Liaw Yock Fang (2011: 2), cerita asal-usul atau dongeng etiologis juga menceritakan tentang asal-usul berbagai tumbuhan.
METOD PENELITIAN Metod penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metod penelitian kualitatif. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kandungan. Teknik analisis kandungan adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensiinferensi yang dapat ditiru dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya (Krippendorff 1991: 15). Teknik analisis kandungan dalam penelitian ini menggunakan klasifikasi kontekstual (Krippendorff 1991: 178, 181), iaitu sebuah teknik multivariat untuk mengeliminasi jenis kelebihan tertentu dalam data dengan menyarikan apa yang tampak menjadi konseptualisasi yang mendasar. Klasifikasi kontekstual dan penggugusan memberikan jenis pensyaratan data yang sama, sejumlah nilai tertentu untuk setiap unit pencatatan (Krippendorff 1991: 181). HASIL DAN PEMBAHASAN Sahang atau lada atau merica (piper nigrum) adalah tumbuhan rempah yang sangat terkenal dari Nusantara. Sahang atau lada atau merica merupakan tumbuhan yang memiliki daya tarikan bagi kedatangan pihak Eropah ke Nusantara. Tumbuhan sahang berbentuk semak hanya tumbuh subur di kawasan beriklim tropika dan agak lembap (Vlekke 2008: 101). Menurut Turner (2011: xxv), dalam berbagai standard penilaian, jenis rempah yang bernilai paling tinggi dan paling banyak mengandung nilai sejarah adalah sahang atau lada atau merica. Lebih lanjut, Turner (2011: xxv) menjelaskan tentang sahang sebagai berikut: .... Rempah ini berasal dari buah Piper nigrum, jenis tumbuhan asli yang merambat di Pantai Malabar, India. Sulurnya menghasilkan sekumpulan biji lada yang tebal, berduri tipis serta berubah warna menjadi merah kekuningan jika telah masak, seperti kismis merah. Pada tanaman ini, tumbuh tiga jenis lada asli: hitam, putih, dan hijau. Lada hitam, jenis yang paling dikenal, dipetik ketika masih belum terkelupas, untuk kemudian dicelupkan sebentar di air mendidih dan dibiarkan mengering di bawah sinar matahari. Selang beberapa hari, kulitnya akan mengerut dan menghitam, menghasilkan kerut-kerutan yang khas. Lada putih berasal dari buah yang sama, tapi dibiarkan lebih lama merambat. Setelah dipanen, kulit bagian luarnya dilunakkan dengan cara direndam di air, lalu dibiarkan mengering dan diseka dengan air atau lewat aksi mekanis. Biji lada hijau atau biji yang sudah diasamkan, dipetik ketika masih dalam keadaan belum terkelupas, seperti lada hitam lalu segera direndam dalam air asin.
110 M. Rafiek
Sahang atau lada adalah tanaman memanjat dan bercabang banyak, tinggi mencapai 15 meter, dari buku-buku batang keluar daun, tunas, berbunga, berdaun tunggal berselang-seling pada cabang, buahnya buni dan tidak bertangkai, berbiji satu, berkulit keras dan dibalut isi buah yang tebal, digunakan sebagai rempah-rempah (Departemen Pendidikan Nasional 2008: 769). Jenis-jenis lada di Indonesia adalah lada api (cabai rawit, capsicum frutescens), lada berekor (kemukus, piper cubeba), lada burung (lada api), lada cili (lada api), lada hitam (rempah-rempah dari buah lada (piper nigrum) yang masih hijau, diperam dan dijemur sampai kering sehingga buahnya menjadi keriput dan berwarna kehitam-hitaman, lada kutu (lada api), lada merah (cabai merah, capsicum annuum), lada padi (lada api), lada panjang (cabai Jawa, piper retrofractum), lada putih (buah lada, piper nigrum) yang hampir masak, direndam dan dikupas kulitnya, lalu dijemur, rasanya kurang pedas, dan lada sulah (lada panjang) (Departemen Pendidikan Nasional 2008: 769). Namun, lada yang paling dikenal adalah lada hitam dan lada putih. Lada hitam adalah merica yang diperoleh dari buah yang belum masak, dijemur di panas matahari atau dikeringkan di rumah asap sampai berwarna hitam, berbentuk butiran hitam berkeriput, sedangkan lada putih adalah merica yang diperoleh dari buah yang sudah masak berwarna merah, setelah tangkainya dibuang, buah direndam dalam air mengalir hingga sebahagian kulitnya rosak dan dapat dikupas, kemudian dijemur (Departemen Pendidikan Nasional 2008: 905). Sahang pada umumnya digunakan sebagai rempah dapur untuk membuat masakan terasa agak pedas. Masakan yang menggunakan lada akan terasa panas atau hangat di dalam perut ketika masakan atau makanan itu dimakan. Di bawah ini disajikan kutipan tentang larangan menanam sahang atau lada pada masa Empu Jatmaka (raja Negara Dipa), Maharaja Suryanata, Maharaja Sari Kaburungan, dan Sultan Suryanullah. .... Kata raja: .... Dan jangan negeri kita ini bertanam sahang dagangan negeri, mencari harta, seperti negeri Palembang dan negeri Jambi itu. Manakala negeri itu menjadikan sahang, barang makanan mahal dan barang ditanam tiada pati menjadi, karena uapnya sahang itu panas. Maka adalah datang itu fitnah negeri itu dan perintah pun huru-hara. Orang sakai pun banyak berani pada orang kota lamun sahang dijadikan akan dagangan mencari harta. Adapun bertanam sahang itu kira-kira empat lima rapun seorang-seorang itu, maka baik akan cagar dimakan saja. Sungguh empat lima rapun seorang-seorang itu uapnya orang banyak itu banyak jua itu jadinya,
lamun sangat dihumakan sahang itu, niscaya negeri itu menjadi rusak” (Ras 1968: 264)
Pada kutipan di atas dapat diketahui bahawa raja Negara Dipa melarang negerinya untuk menanam sahang sebagai barang dagangan. Raja memberi contoh negeri yang menjadikan sahang sebagai barang dagangan yang akhirnya membuat barang makanan menjadi mahal, tumbuhan ditanam tiada menjadi. Di akhir pesannya, sekali lagi raja Negara Dipa mengumpamakan “kalau dikebunkan (diladangkan) sahang itu, nescaya negeri itu menjadi rosak”. Pada masa raja Negara Dipa ini, raja hanya mengizinkan orang menanam empat sampai lima rumpun sahang sahaja. .... Dan satu lagi pesanku: ”Jangan segala alkah negeri ini bertanam sahang, seperti Jambi dengan Palembang itu. Barangkali negeri itu menjadikan sahang akan mencari harta, akan kesugihan. Niscaya negeri itu akhirnya rusak, banyak fitnah dan mahal makanan karena uapnya sahang itu panas, barang yang ditanam tiada pati menjadi. Perintah huru-hara karena orang kota tiada diupamai oleh orang desa, orang yang kaparak pada raja itu tiada ditakuti oleh sakai yang bersahang itu. Jikalau bertanam sahang, sakira-kira akan dimakan, jangan banyak, kira-kira sepuluh dua puluh tunggulnya seorang-seorang. Astamewah perkumpulannya orang banyak itu menjadi banyak itu. Adapun jangan tiada-tiada berbuat sungguh-sungguh usahakan tanam itu: padi dan jagung dan ubi, keladi, pisang. Barang segala makan-makanan yang lain daripada sahang itu tanam sungguh-sungguh, supaya makmur negeri, suka ramai, barang kehendak segera jadi, perintah istilah tahta kerajaan menjadi karena makanan murah, segala rakyat tiada sukar mencari makanan. .... (Ras 1968: 330)
Pada kutipan di atas dapat diketahui bahawa Maharaja Suryanata melarang negerinya untuk menanam sahang. Menurutnya, kalau suatu negeri menanam sahang untuk mencari harta untuk kekayaan, nescaya negeri itu akhirnya rosak, banyak fitnah, makanan mahal, dan tumbuhan ditanam tidak menjadi. Intinya, negeri menjadi huru-hara. Maharaja Suryanata malah menyarankan agar menanam padi, jagung, ubi, keladi, dan pisang. Hal itu, ia sarankan agar negeri makmur, negeri aman damai, makanan murah, dan semua rakyat mudah memperoleh makanan. Pada masa Maharaja Suryanata, maharaja hanya mengizinkan orang menanam sahang sepuluh sampai dua puluh tunggul meskipun tetap khawatir kalau jumlah keseluruhan tumbuhan sahang yang ditanam tetap banyak. .... Dan jangan engkau berikan (izinkan) orang menjadikan bertanam sahang. Manakala menjadikan
M. Rafiek 111 sahang itu segala tanam-tanaman yang lain itu tiada menjadi, karena uapnya sahang itu panas. Akhirnya mahal makan-makanan, perintah menjadi huru-hara itu, maka orang kota tiada ditakuti oleh orang desa. Jangankan ia takut, hormat pun kurang itu karena ia menghumakan sahang itu. Suruhan raja pun itu tiada pati ditakutinya itu dan tiada akan tiada akhirnya itu perintah menjadi huru-hara dan banyak fitnah datang pada negeri itu. Hanya bertanam sahang itu kira-kira sepuluh tunggulnya atau dua puluh tunggulnya akan dimakan saja itu, astamewah paraba orang banyak itu banyak jadinya itu. Hanya yang patut ditanam dijadikan sungguh-sungguh itu: padi, jagung, ubi, gumbili, keladi, pisang. Barang makanan yang lain daripada sahang itu harus dijadikan, supaya makmur negeri serba murah, perintah itu menjadi karena murah makanan, tiada sukar barang dicari itu. Jangan seperti Jambi dengan Palembang karenanya rusak sebab menjadikan sahang itu. .... (Ras 374)
Petikan di atas menunjukkan bahawa Maharaja Sari Kaburungan melarang anaknya mengizinkan orang menanam sahang. Hal itu kerana sahang akan membuat tanaman lain ditanam tiada menjadi, makanan mahal, negeri menjadi huru-hara, dan banyak fitnah datang pada negeri. Maharaja Sari Kaburungan juga menyarankan sama seperti yang disarankan oleh Maharaja Suryanata agar rakyatnya menanam padi, jagung, ubi, gumbili, keladi, dan pisang. Hal itu disarankan agar negeri makmur, makanan murah, makanan mudah dicari. Pada masa pemerintahan Maharaja Sari Kaburungan, maharaja hanya mengizinkan orang menanam sahang sepuluh sampai dua puluh tunggul meskipun tetap khawatir kalau jumlah tumbuhan sahang yang ditanam secara keseluruhan tetap banyak. .... Tiada diberikan (diizinkan) bertanam sahang lebih daripada dua tiga tunggulnya seorang-seorang itu, hanya akan cagar dimakan. Lamun banyak, akan mencari harta itu, menjadikan sengsara negeri: serba mahal dan banyak fitnah datang, perintah tiada menjadi karena orang banyak berani kepada raja. Itulah, uapnya sahang itu, zaman dahulu maka tiada diberikan (diizinkan) orang bertanam sahang. .... (Ras 1968: 442)
Pada kutipan di atas dapat diketahui bahawa Sultan Suryanullah tidak mengizinkan orang menanam sahang untuk diperdagangkan, beliau hanya mengizinkan menanam sahang khusus untuk keperluan sendiri. Kalau tanaman sahang itu banyak dan digunakan untuk mencari harta, akan menjadikan negeri sengsara, makanan dan barang serba mahal, banyak fitnah datang, negeri menjadi huru-hara. Pada masa pemerintahan Sultan Suryanullah ini kembali lagi sultan hanya mengizinkan orang menanam sahang hanya dua-tiga tunggul saja.
Berdasarkan keempat kutipan di atas dapat diketahui bahawa maharaja dan sultan Banjar melarang bawahan dan rakyatnya menanam lada kerana akan mendatangkan malapetaka. Hal itu dapat diketahui setelah masa pemerintahan mereka, orang asing datang dan akhirnya dapat menguasai Banjar. Kedatangan orang asing itu tidak lain disebabkan oleh banyaknya perkebunan lada di Kalimantan Selatan ketika itu. Larangan maharaja dan sultan itu mengandung nasihat bahawa suatu saat bangsa asing akan datang untuk menguasai daerah dan perdagangan lada di sana. Hal ini sangat sesuai dengan pendapat Vlekke (2008: 101) yang menyatakan bahawa kontrol perdagangan memungkinkan sebahagian negara (baca kesultanan ketika itu) di Indonesia menangkis segala ancaman terhadap kemerdekaan mereka untuk waktu lama. Menurut informasi Vlekke (2008: 226) pula, sahang tumbuh di sekitar kota dan merupakan barang dagangan utama. Informasi tentang lada juga pernah dikemukakan oleh Dampier (dalam Lombard 2006: 84) bahawa lada digunakan untuk penyedap rasa masakan unggas, ikan, dan daging kerbau. Beaulieu (dalam Lombard 2006: 102) bahkan menceritakan bagaimana orang menanam lada dengan menyatakan: “Kembali ke lada tadi, tumbuhnya di tanah yang baru dibuka dan yang gemuk; di negeri ini lada ditanam pada kaki segala macam pohon, dan pohon itu yang dililiti dan dijalarinya seperti cara tanaman hop. Mereka yang mau membuat tanaman lada, menanam tunas dari tanaman lada yang sudah tua di kaki salah satu semak: semua rerumputan yang tumbuh di sekitarnya harus dibersihkan atau disiangi dengan tekun. ....”
Beaulieu (dalam Lombard 2006: 103) menyatakan bahawa ketika lada sudah besar dan hijau serta rasanya sangat pedas, penduduk menggunakannya untuk dimakan sebagai selada atau di acar, iaitu dicampur dengan buah-buahan lain dalam kuah cuka yang dapat disimpan satu tahun penuh. Asal-Usul Dan Pertanda Bunga Nagasari Dalam Hrb
Dalam HRB edisi Ras diceritakan tentang bunga nagasari yang merupakan pemberian Putri Junjung Buih kepada Bangbang Sukmaraga dan Bangbang Patmaraga, anak Empu Mandastana. Bunga nagasari tersebut dilemparkan oleh Putri Junjung Buih sebagai tanda kasih pada hambanya. Hal itu dapat diketahui pada kutipan di bawah ini.
112 M. Rafiek “Tiada tatkala masa itu bunga nagasari di negeri Nagara Dipa itu. Daripada putri itu menunjukkan kesaktiannya itu maka ada bunga nagasari itu, dan tandanya kasih pada hambanya itu, ....” (Ras 1968: 282)
Dalam kutipan di atas diceritakan bahawa bunga nagasari berasal dari kesaktian Putri Junjung Buih. Bunga nagasari tersebut sebagai tanda kasihnya pada para bawahannya. Bunga nagasari dalam masyarakat Banjar dapat dipergunakan sebagai ubat anti diarea, aromatik, ekspektoran. Nagasari adalah sejenis tumbuhan yang mempunyai nama ilmiah Palaquium rostratum dan dalam bahasa Inggeris disebut Gutta Percha. Tanaman Nagasari di beberapa daerah di Indonesia disebut dengan beberapa nama yang berbeda seperti Balam Bakulo (Palembang), Balam Pucung (Kubu), Nyatoh Darat (Bangka), Nyatoh Pisang (Bangka Belitung), Balam Pucung, Nyatoh Terung, Pulai Pipit (Minangkabau), Nyatoh Terung (Lampung), Nagasari (Jawa) (http:// alamendah.wordpress.com/2010/01/04/nagasaripohon-anti-tenung/). Pertanda Bunga Melati Dan Bunga Merah Dalam Hrb
Bunga melati (Jasminum sambac) dan bunga merah adalah tumbuhan yang tumbuh di depan rumah (pekarangan). Bunga melati dan bunga merah adalah bunga yang serasi dari segi warnanya. Bunga melati berwarna putih dan bunga merah berwarna merah. Bunga melati adalah tumbuhan perdu suku Rubiaceae, biasanya ditanam di halaman rumah, warna bunganya putih berbentuk bintang, berbau sangat harum, sering digunakan dalam berbagai upacara adat (Departemen Pendidikan Nasional 2008: 896). Bunga merah di Kalimantan Selatan identik dengan mawar yang berwarna merah dan ditanam di pekarangan rumah. Mawar adalah tanaman perdu suku Rosaceae, meliputi ratusan jenis, tumbuh tegak atau memanjat, batangnya berduri, bunganya beraneka warna, seperti merah, putih, merah jambu, merah tua, dan berbau harum (Departemen Pendidikan Nasional 2008: 890). ....Bangbang Sukmaraga mematah pikang bunga melati, ditanam dari kanan tampakan lawang itu, katanya: ”Ayah bunda, lamun daun melati itu luruh sudah hamba itu mati dibunuh mama (paman) Lambu Mangkurat itu. Bangbang Patmaraga mamatah pikang bunga merah, ditanamnya dari kiri tampakan lawang itu, sarta barkata damikian jua itu (Ras 1968: 286)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahawa bila daun melati yang gugur atau jatuh ke tanah menandakan bahawa Bangbang Sukmaraga mati dibunuh pamannya. Begitu pula, bila daun bunga merah gugur atau jatuh ke tanah menandakan bahawa Bangbang Patmaraga mati dibunuh pamannya. Dalam masyarakat Banjar, bunga melati dan bunga mawar adalah dua jenis bunga yang memang terdapat dalam rangkaian kembang untuk diletakkan di kuburan atau makam. Asal-Usul Dan Manfat Jerangau Dan Pirawas Dalam Hrb
Jerangau (Acorus Calamus) dan pirawas ini adalah tumbuhan yang terjadi akibat sepah kinangan dari Aria Malingkun dan isterinya yang ditanam sebelum mereka bunuh diri. Mereka menyuruh menanam sepah kinangan itu agar kelak dapat tumbuh menjadi tanaman yang menjadi ubat bagi cucunya Putri Huripan. Secara implisit, pesan Aria Malingkun dan isterinya itu mengandung makna bahawa suatu saat tanaman jerangau dan pirawas itu dapat menjadi ubat bagi generasi berikutnya secara turun-temurun terutama kaum wanita. Aria Malingkun sendiri adalah penguasa daerah Tangga Hulin. Daerah dan nama Tangga Hulin masih ada hingga sekarang di kota Amuntai, Hulu Sungai Utara. Peneliti menemukan tumbuhan jerangau di daerah Banjang, Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan, tumbuhan itu pun hanya ditanam sebagai apotek hidup di samping rumah salah seorang penduduk. Menurut mereka, jerangau itu digunakan sebagai ubat batuk yang dioleskan di leher setelah ditumbuk terlebih dahulu bersama bedak dingin. Jerangau adalah tumbuhan tahunan yang umbinya dapat digunakan sebagai ubat atau campuran beberapa jenis minuman keras, akarnya dapat digunakan sebagai bahan ramuan ubat, bumbu dapur, dan insektisida (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 580). Sementara itu, mengenai tanaman pirawas tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya. Di bawah ini disajikan cerita mengenai legenda jerangau dan pirawas tersebut. Setelah itu maka Aria Malingkun dua laki-istri mendengar kabar anaknya itu mati demikian itu, kata Aria Malingkun dua laki-istri: ”Hai adikku kamu, anak kita sudah mati. Apa rupa kita, meski hidup menjadi gila birahi akan anak kita. Marilah kita sama-sama berbela”. Kata istrinya: ”Baiklah, kita bersama”. Sudah itu Aria Malingkun menginang pinang muda, istrinya menginang pinang tua. Maka sepah keduanya itu disuruhnya tanam pada hambanya. Pesan Aria
M. Rafiek Malingkun: ”Sepahku ini pakai obat namanya Jerangau akan obat cucuku Putri Huripan itu”. Kata istrinya: ”Sepahku ini pakai obat dinamai pirawas akan obat cucuku Putri Huripan itu”. Sudah itu maka Aria Malingkun dua laki-istri itu berjalan ia kepada kebunnya, mati berbela. Sepah yang ditanam itu sama tumbuh. Itulah asal-mulanya jerangau dengan pirawas itu di tanah Banjarmasih. Asal mulanya di Tangga Hulin; ia itu bernama Huripan sampai pada sekarang ini. Banyak tiada tersebut (Ras 1968: 346)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahawa tumbuhan jerangau dan pirawas berasal dari sepah pinang yang ditanam oleh Aria Malingkun dan isterinya. Tumbuhan tersebut sangat berguna bagi cucunya Putri Huripan sebagai ubat. Jerangau termasuk habitus herba, tinggi tanaman kurang dari satu meter, dan letak daun berpasangan (Foto 1). Ciri-cirinya adalah berdaun tunggal, warna daun hijau, bentuk daun sangat panjang dan meruncing (acucular), tepi daun rata, tanpa gerigi (entire), pangkal daun runcing (acute) dan ujung daun meruncing (acuminate), permukaan daun atas dan bawah halus (glabrous), tulang daun bertipe paralel atau sejajar, dan tulang utama terletak di bahagian tengah daun. Bahagian yang bermanfaat adalah daun. Di bawah disajikan rajah jerangau yang terdapat di Amuntai.
113
dan jeruk nipis dekat kepala bayi sampai berusia 40 hari. Sementara itu, menurut salah seorang informan yang bernama Arbainah, jerangau itu dipergunakan untuk mengusir sejenis makhluk halus atau kuyang yang mengganggu wanita yang mahu dan sudah melahirkan. Kuyang tersebut biasanya menghisap darah wanita yang bersalin itu. Caranya adalah dengan meletakkan jerangau tersebut bersama bawang merah tunggal dan tali sapu aduk di rumah biasanya di dekat tempat tidur. MANfAAT KAYU GADING DAN ASAL-USUL AMPELGADING DALAM HRB
Dalam HRB edisi Ras diceritakan adanya kayu gading yang dapat dibuat sebagai tongkat. Kayu gading tumbuh di tempat yang agak tinggi seperti dataran tinggi atau pergunungan. Kayu gading: ….Ada kayu gading itu, ditabas orang itu, diambilnya akan tongkat selamanya orang menebas itu oleh Raja Bungsu itu. Itulah maka dukuh itu dinamai Raja Bungsu itu Ampelgading, sampai sekarang ini (Ras 1968: 418)
Berdasarkan petikan di atas dapat diketahui bahawa kayu gading bermanfaat untuk dibuat tongkat dan dukuh tempat tumbuhnya kayu gading tersebut akhirnya dinamakan Ampelgading. Manfaat kayu gading lainnya adalah sebagai penolak binatang buas atau sesuatu yang tidak baik. Dalam kutipan di atas, tempat tumbuh kayu gading yang ditebas orang itu menjadi sebab daerah tersebut dinamakan Ampelgading. PERTANDA DARI POHON RENGAS DALAM HRB
fOTO
1. Tumbuhan Jerangau
Menurut Daud (1997: 11), daun jerangau yang diletakkan di bawah kasur seorang wanita yang baru melahirkan atau bayinya merupakan penangkal terhadap gangguan kuyang dan hantu beranak yang suka mengganggu mereka. Lebih lanjut, Daud (1997: 235-236) menjelaskan tentang berbagai penangkal untuk bayi agar terhindar dari gangguan makhluk halus dan saudara-saudara ghaibnya. Penangkal tersebut adalah dengan cara meletakkan cermin, kitab surah Yasin, bawang tunggal, daun jerangau,
Pohon rengas (Foto 2) dalam bahasa Banjar dinamakan pohon jingah. Dalam bahasa Latin, pohon jingah atau rengas atau ingas disebut pula Glutta Renghas. Dalam HRB edisi Ras diceritakan bahawa pohon rengas itu berhubungan dengan pertanda adanya kematian dipati dan raja. Di bawah ini disajikan kutipan mengenai legenda kayu rengas yang ada dalam HRB edisi Ras: Maka anak kayu rengas yang tempat meugar tetunggul wulung wanara putih tatkala rebah kena angin ribut, rengas itu hidup. Dinamai Tunggul Mata Wulung itu. Masih membawa tanda: kalau dahannya itu tiada angin maka patah sendirinya itu alamat ada para dipati mati; kalau ujungnya patah sendirinya itu alamat raja mati. Itu tandanya dahulu sampai pada sekarang ini. .... Lamun rengas itu ripah (patah) tahulah orang Nagara itu ada para dipati atawa para mantri-mantri mati itu (Ras 1968: 438)
114
M. Rafiek
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahawa anak kayu rengas yang dinamai tunggul mata wulung itu mengandung pertanda tentang kematian. Menurut kutipan HRB edisi Ras di atas Kalau dahan pohon rengas tidak ada angin patah dengan sendirinya pertanda ada para dipati mati. Kalau ujungnya patah dengan sendirinya pertanda raja mati. Tunggul bererti tongkat atau tonggak yang tertancap tegak lurus. Sementara itu, wulung bererti biru kehitam-hitaman. Bila dahannya patah sendiri tanpa disebabkan oleh angin itu menandakan ada dipati yang meninggal, sedangkan bila hujungnya patah sendiri tanpa disebabkan oleh tiupan angin itu menandakan ada raja yang mati. Kayu jingah (rengas) umumnya tumbuh di tepi sungai dan tidak bisa disentuh karena bisa mengakibatkan gatal pada tubuh. Sekalipun menurut warga setempat, pohon jingah (rengas) ini bisa dibuat ranjang atau dipan. Menurut Daud (1997: 414-415), pohon jingah atau rengas ini tidak dapat secara sembarangan didekati dan disentuh karena akan mengakibatkan badan berbintil-bintil serta biasanya terjadi pada anakanak. Hal ini tidak ada seorang pun yang dapat menjelaskan penyebabnya.
fOTO
2. Pohon Rengas (Glutta Renghas)
Pohon rengas biasanya tumbuh di pinggirpinggir sungai. Rengas adalah pohon yang merah kayunya, getahnya sangat tajam, jika getahnya tersentuh dapat menyebabkan kulit melepuh, getahnya dapat juga dijadikan cat pernis atau minyak kayu, dan sebagainya (Departemen Pendidikan Nasional 2008: 1164). KESIMPULAN Kajian ini berhasil menemukan lapan jenis tumbuhan yang terkait dengan larangan, manfaat, akibat, asalusul, dan pertanda dalam HRB edisi Ras, iaitu (1)
sahang atau lada atau merica, (2) bunga nagasari, (3) bunga melati, (4) bunga merah, (5) jerangau, (6) pirawas, (7) kayu gading, dan (8) pohon rengas. Cerita yang menyangkut tumbuhan sahang atau lada ditemukan sebanyak 4 kutipan. Cerita yang menyangkut bunga nagasari ditemukan sebanyak 1 kutipan. Cerita yang menyangkut bunga melati dan bunga merah sebanyak 1 kutipan. Cerita yang menyangkut jerangau dan pirawas sebanyak 1 kutipan. Cerita yang menyangkut kayu gading sebanyak 1 kutipan. Cerita yang menyangkut pohon rengas sebanyak 1 kutipan. Berdasarkan temuan tersebut tumbuhan lada memiliki frekuensi pemunculan cerita paling banyak sebanyak 4 kutipan. RUJUKAN Aishah Haji Muhamad & A. Aziz Bidin. 1993. Tumbuhan dari perspektif antropologi. Sari 11: 99-125. Cense, A. A. 1928. De Kroniek van Bandjarmasin. Santpoort. Daud, A. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar, Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Djamaris, E. 1990. Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka. Dove, M.R. 1997. The “Banana Tree at the Gate”: Perceptions of production of piper nigrum (piperaceae) in a seventeenth century Malay state. Economic Botany 51(4): 347-361. Herpanus. 2011. Fungsi tumbuhan cekur (kaempferia galanga l.) dan setawar (costus speciosus) dalam kehidupan tradisional Suku Dayak Desa. Sari 29(1): 259-268. http://alamendah.wordpress.com/2010/01/04/nagasari-pohonanti-tenung/diakses 17 Agustus 2012. Krippendorff, K. 1991. Analisis Isi, Pengantar Teori dan Metodologi. Terjemahan oleh Farid Wajidi. Jakarta: Rajawali Pers. Liaw Yock Fang. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Lombard, D. 2006. Kerajaan Aceh, Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Terjemahan oleh winarsih Arifin. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), forum Jakarta-Paris, dan École française d’Extrême-Orient. Nawangningrum, Dina, widodo, Supriyanto, Suparta, I Made & Holil, Munawar. 2004. Kajian terhadap Naskah Kuna Nusantara Koleksi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia: Penyakit dan pengobatan ramuan tradisional. Makara, Sosial Humaniora 8(2): 45-53. Rafiek, Muhammad. 2010. Mitos Raja dalam Hikayat Raja Banjar. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Ras, J.J. 1968. Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus Nijhoff. Soeratno, Siti Chamamah. 1991. Hikayat Iskandar Zulkarnain. Jakarta: Balai Pustaka.
M. Rafiek 115 Suhandano. 2009. Kategori tumbuh-tumbuhan wit dan suket dalam Bahasa Jawa. Humaniora 19 (1): 89-97. Turner, J. 2005. Sejarah Rempah dari Erotisme sampai Imperialisme. Terjemahan oleh Julia Absari. 2011. Jakarta: Komunitas Bambu. Vlekke, B.H.M. 1961. Nusantara, Sejarah Indonesia. Terjemahan oleh Samsudin Berlian. 2008. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Freedom Institute, dan Balai Pustaka.
M. Rafiek, Ph.D., M. Pd. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin Kampus Kayu Tangi, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry Banjarmasin, Kode Pos 70123 INDONESIA. E-mail:
[email protected]