BAHASA KOMUNIKASI NONVERBAL Pengirim Pesan tanpa Kata Oleh Dr. Moch. Syarif Hidayatullah 1. Pendahuluan Dalam kegiatan menyampaikan informasi dan pesan, seringkali yang terpenting bukan apa yang dikatakan, tetapi bagaimana cara mengatakannya. Bahasa yang berupa bunyi (verbal) tak jarang tidak mampu menjangkau maksud sesungguhnya dari penutur. Pada titik inilah, bahasa tubuh, gerak tubuh, kontak mata, dan jarak fisik, membantu untuk tersampaikannya suatu informasi dan pesan kepada penerimanya. Dengan kata lain, bahasa nonverbal memegang kunci penting dalam keberhasilan informasi dan pesan tersampaikan. Hal ini berhubungan dengan fungsi utama bahasa sebagai alat komunikasi paling utama. Sebelum lebih jauh membicarakan tentang fungsi dan karakteristik bahasa, kita perlu lebih dulu menyamakan persepsi terkait bahasa. Dalam perbincangan mengenai definisi bahasa, sekurang-kurangnya kita mendapati dua jenis definisi. Pertama, definisi yang berasal dari khazanah literatur Arab klasik. Kedua, definisi yang berasal dari literatur Barat-modern. Oleh para linguis Arab, Ibn Jinni (w. 392 H) dinilai sebagai pelopor definisi jenis pertama. Dia merupakan linguis paling berpengaruh pada masa lalu dan turut mempengaruhi struktur pemikiran linguistik modern. Definisinya tentang bahasa selalu dikutip dalam pembicaraan tentang linguistik Arab hingga kini. Dia mendefinisikan bahwa bahasa adalah ashwat yu’bbiru biha kull qaum ‘an aghradhihim (bunyi yang dipergunakan setiap komunitas untuk mengungkapkan maksud dan tujuan) (Ibn Jinni, 1955: 33). Definisi lain yang juga mempengaruhi pandangan linguis Arab hingga saat ini adalah pendapat Ibn Khaldun (w. 808) yang mengatakan bahwa lughah itu ‘ibarah al-mutakallim ‘an maqshudihi (ekspresi dari penutur atas apa yang diinginkannya) (al-Tsubaiti, 2010: 3). Dengan pengertian seperti itu, ekspresi tersebut dalam pandangan Ibn Khaldun, merupakan aktivitas lisan yang lahir dari maksud yang ingin disampaikan pada saat bicara. Dan, setiap komunitas mempunyai cara sendiri dalam mengungkapkannya. Sementara itu, definisi jenis kedua yang baru muncul setelah mendapat pengaruh dari linguistik Barat, diwakili oleh para linguis Arab yang "pulang kampung" setelah menamatkan studi di Barat atau yang pernah mendapat wawasan linguistik Barat. Al Khuli (1993: 12) mendefinisikan bahasa sebagai nizham i'tibathi li rumuz shautiyyah tustakhdam li tabadul alafkar wa al-masya'ir bain a’dha’ lughawiyyah mutajanisah (sistem arbitrer yang mewakili simbol bunyi yang dipergunakan untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaan antarindividu yang menggunakan bahasa yang sama). Definisi yang kurang lebih sama dikemukakan oleh alAziz (1988: 10) yang menyatakan bahwa al-lughah nizham min al-rumuz al-manthuqah almuktasabah tastakhdimuhu jama'ah mu'ayyanah min al-nas bi hadaf al-ittishal wa tahqiq alta'awuni bainahum (bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang diperoleh dan dipergunakan oleh sekelompok orang tertentu untuk kepentingan berkomunikasi dan be-kerja sama). Definisi kedua ini biasanya merujuk pada pendapat para linguis Barat terkemuka, seperti de Saussure, Sapir, dan Chomsky. Hanya susah memastikan apakah para linguis Arab memang dipengaruhi oleh linguistik Barat itu, karena bila menilik definisi Ibn Jinni dan Ibn Khaldun, maka kita juga menemukan beberapa kemiripan dengan apa yang dikemukakan oleh pada linguis Barat tersebut. Ibn Jinni dan Ibn Khaldun juga membicarakan bunyi, ekspresi, komunitas, maksud, yang bisa ditemui pada definisi para linguis Barat. Di sini saya merasa tidak perlu mengemukakan definisi dari para linguis Barat tersebut, karena sudah banyak buku yang membincangkannya.
2. Karakteristik Bahasa Dari pengertian bahasa yang sudah dibicarakan sebelumnya, kalau diklasifikasikan akan didapati karakteristik yang hakiki dari bahasa, yang antara lain: a. Bahasa sebagai sistem Sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna dan berfungsi. Sebagai sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak. Sistemis artinya bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri dari subsubsistem atau sistem bawahan. Subsistem itu dapat disebutkan antara lain: subsistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Tiap unsur dalam setiap subsistem juga bersusun menurut aturan atau pola tertentu yang secara keseluruhan membuat satu sistem. Jika tidak tersusun menurut aturan atau pola tertentu, maka subsistem itu pun tidak dapat berfungsi. Masing-masing subsistem tersebut tersusun secara bertingkat. Artinya, subsistem yang satu terletak di bawah subsistem yang lain, lalu subsistem yang lain ini terletak pula di bawah subsistem yang lain lagi. Ketiga subsistem itu (fonologi, morfologi, dan sintaksis) terkait dengan subsistem semantik, sedangkan subsistem leksikon yang juga diliputi subsistem semantik, berada di luar ketiga subsistem struktural itu. Jenjang subsistem ini di dalam linguistik dikenal dengan “tataran linguistik” atau “tataran bahasa”. Yang menyangkut ketiga subsistem struktural di atas adalah tataran fonem, morfem, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Tataran fonem masuk dalam bidang kajian fonologi; tataran morfem dan kata masuk dalam bidang kajian morfologi; tataran frasa, klausa, kalimat, dan wacana masuk dalam bidang kajian sintaksis. b. Bahasa sebagai lambang Kata lambang sering dipadankan dengan kata simbol dengan pengertian sama. Lambang dengan berbagai seluk-beluknya dikaji orang dalam kajian ilmiah yang disebut ilmu semiotika atau semiologi. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang membuat penuturnya bisa menyampaikan semua pemikiran atau sikap sebagai sebuah lambang atau simbol untuk mengacu pada sesuatu yang disimbolkan. Hanya yang perlu digarisbawahi bahwa antara lambang dengan sesuatu yang dilambangkan tidak ada hubungan secara langsung. Setiap kata memang mengacu pada sesuatu yang dilambangkan. Namun, kata saja tidak bisa dipahami secara utuh tanpa melibatkan konteks penggu-naan kata itu dalam struktur yang lebih besar, seperti frasa, klausa, dan kalimat. Konteks berperan penting dalam penggunaan suatu kata sebagai lambang. c. Bahasa itu bunyi Secara teknis, bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang beraksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Bunyi biasa bersumber pada gesekan atau benturan benda-benda, alat suara pada binatang dan manusia. Yang dimaksud dengan bunyi pada pembahasan ini adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, sedangkan yang bukan dihasilkan oleh alat ucap manusia tidak termasuk bunyi bahasa. Akan tetapi, tidak semua yang dihasikan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi bahasa, seperti bunyi teriak, bersin, dan batuk-batuk, yang tidak dikaitkan dengan penyampaian pesan. Kalaupun bunyi yang dihasilkan tersebut disengaja sebagai bagian dari penyampaian pesan dari penutur ke petutur, tetap tidak bisa disebut sebagai bunyi bahasa. Dengan kata lain, bunyi bahasa atau bunyi ujaran (speech sound) adalah satuan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang di dalam Fonologi diamati sebagai “fon” dan di dalam Fonetik sebagai “fonem”. Bunyi bahasa sekaligus menandakan bahwa pada prinsipnya bahasa itu ujaran, bukan tulisan. Ada banyak fakta dan bukti yang menunjukkan bahwa ujaran lebih dulu daripada tulisan. Secara historis, prinsip-prinsip ujaran telah secara otomatis berada di memori penutur
suatu bahasa. Anak kecil mula-mula yang dipelajari adalah ujaran, kemudian membaca, kemudian menulis. Tahapan belajar menulis ini biasanya dimulai ketika anak sudah hampir mendekati umur enam. Bukti lain yang menunjukkan bahwa ujaran lebih dulu daripada tulisan adalah fakta terkait banyaknya bahasa di dunia yang ada penuturnya, tetapi belum ada sistem tulisnya. Ini seperti yang bisa ditemukan pada beberapa bahasa di Sudan. Beberapa bahasa daerah di Indonesia, juga tidak memiliki sistem tulis. Bunyi bahasa juga menjadi perhatian dalam pengajaran bahasa. Para ahli di bidang ini memfokuskan pada kajian oral, dan mengedepankan kemahiran mendengar dan kemahiran berbicara daripada kemahiran membaca dan kemahiran menulis. d. Bahasa itu bermakna Yang dilambangkan dalam bahasa itu adalah suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna. Lambang-lambang bunyi bahasa yang bermakna itu di dalam bahasa berupa satuan-satuan bahasa yang berwujud morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Semua satuan itu memiliki makna. Namun karena ada perbedaan tingkatannya, maka jenis maknannya pun tidak sama. Makna yang berkenaan dengan morfem dan kata disebut makna leksikal; yang berkenaan dengan frasa, klausa dan kalimat disebut makna gramatikal; dan yang berkenaan dengan wacana disebut makna pragmatik atau makna konteks. e. Bahasa itu arbitrer Yang dimaksud dengan istilah arbitrer adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Andaikata ada hubungan wajib antara lambang dengan yang dilambangkan, tentu lambang yang dalam bahasa Arab berbunyi (bait) akan disebut juga (bait) dalam bahasa Indonesia, bukan (rumah). Dengan kata lain, tidak ada kata yang baik dan kata yang buruk dalam membincangkan nama-nama satuan-satuan kosakata. f. Bahasa itu konvensi Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkan bersifat arbitrer, tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat konvesional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Sebagai contoh, bila alat transportasi udara itu disepakati oleh penutur bahasa Indonesia sebagai pesawat, maka bila ada salah satu anggota penutur bahasa Indonesia menyebut kata yang lain untuk merujuk pada alat transportasi tersebut, maka komunikasi akan terhambat. Bahasanya menjadi tidak bisa dipahami oleh penutur bahasa Indonesia lainnya, dan berarti pula dia telah keluar dari konvensi itu. g. Bahasa itu produktif Meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur yang jumlahnya terbatas dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara relatif sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa tersebut. Oleh karenanya, bahasa dikatakan produktif. h. Bahasa itu universal Ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Ciri-ciri itu menjadi unsur bahasa yang paling umum yang bisa dikaitkan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat bahasa lain. Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri universal dari bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan. Bukti lain dari keuniversalan yang bermakna adalah berupa kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Namun, pembentukan satuan-satuan tersebut mungkin tidak sama. i. Bahasa itu dinamis Bahasa merupakan satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sebagai makhluk hidup yang berbudaya dan bermasyarakat. Dalam kehidupan di dalam masyarakat kegiatan manusia itu tidak tetap dan selalu berubah-ubah, maka
bahasa juga menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap, dan menjadi tidak statis. Karena itulah, bahasa itu disebut dinamis. Perubahan bahasa bisa terjadi pada semua tataran, baik fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon. Perubahan yang paling jelas, dan paling banyak terjadi terdapat pada bidang leksikon dan semantik. Hampir setiap saat ada kata-kata baru muncul sebagai akibat perubahan budaya dan ilmu, atau ada kata-kata lama yang muncul dengan makna yang baru. Perubahan bahasa yang terjadi bisa berupa pengembangan dan perluasan ataupun berupa kemunduran sejalan dengan perubahan yang dialami masyarakat bahasa bersangkutan. Kemampuan adaptasi yang dimiliki oleh bahasa inilah yang membuat sebagian ahli menganggap bahwa bahasa itu sempurna. j. Bahasa itu bervariasi Mengenai variasi bahasa ini ada tiga istilah yang perlu diketahui, yaitu idiolek, dialek, dan ragam. Idiolek adalah variasi atau ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu. Ragam atau ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu, untuk situasi formal digunakan ragam bahasa yang disebut ragam baku atau ragam standar dan untuk situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau nonstandar. k. Bahasa itu budaya Bahasa merupakan sarana budaya terpenting dari satu bangsa ke bangsa yang lain. Guru bahasa yang baiklah sebetulnya yang menjadi agen transmisi dan transformasi budaya, melalui pembekalan aspek-aspek kebudayaan saat menjelaskan ujaran atau kalimat-kalimat tertentu yang berhubungan dengan bahasa yang sedang dipelajari. l. Bahasa itu komunikasi Seperti diketahui, fungsi utama bahasa adalah komunikasi. Selain fungsi utama tersebut, bahasa juga mempunyai fungsi lain, yang bergantung pada faktor-faktor siapa, apa, kepada siapa, tentang siapa, di mana, bilamana, berapa lama, untuk apa, dan dengan apa bahasa itu diujarkan. Kecenderungan mutakhir dalam pengajaran bahasa, semakin menguatkan fungsi utama bahasa sebagai alat komunikasi.
3. Bahasa Nonverbal Bila memperhatikan definisi bahasa dan karakteristik bahasa seperti yang disebutkan sebelumnya, seolah mengisyaratkan adanya persyaratan bunyi bahasa. Meskipun juga di bagian akhir disebutkan bahwa fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Dengan fungsi utama demikian, bahasa tentu diperuntukkan agar ia terpahami dengan baik oleh penerima informasi dan pesan, persis seperti yang diinginkan oleh penuturnya. Dengan kata lain, bila bunyi bahasa tak berhasil atau kurang berhasil dalam mengirimkan informasi atau pesan, maka diperlukan perangkat lain di luar bunyi yang bisa mengatarkan terkirimnya informasi atau pesan tertentu. Aspek nonverbal seperti bahasa tubuh, gerak tubuh, kontak mata, jarak fisik, dan aspek lainnya, akan membantu tersampaikannya suatu informasi dan pesan kepada calon penerimanya. Pada bagian ini mungkin akan memunculkan pertanyaan, mengapa bahasa verbal bisa gagal dalam menyampaikan informasi dan pesan? Jawabannya karena bahasa verbal terlalu mekanis dan sistemis, sementara dalam kegiatan komunikasi yang terjadi sedemikian spontan. Dari kesepontanan itulah, bahasa menjadi lebih manusiawi, tidak seperti perangkat sistem bunyi yang dimiliki robot. Proses komunikasi di mana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Sebagai gantinya, gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan
kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, simbol-simbol, serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara, yang menjadi alat bantu berkomunikasi. Namun perlu pula dipertegas bahwa komunikasi nonverbal tidak sama dengan komunikasi nonlisan. Bahasa isyarat dan tulisan tidak dianggap sebagai komunikasi nonverbal karena menggunakan kata, sedangkan intonasi dan gaya berbicara tergolong sebagai komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal juga berbeda dengan komunikasi bawah sadar, yang dapat berupa komunikasi verbal ataupun nonverbal. Tabel berikut akan membantu memperjelas perbedaan antara komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal: KOMUNIKASI VOKAL NONVOKAL KOMUNIKASI VERBAL bahasa lisan bahasa tertulis KOMUNIKASI nada suara isyarat NONVERBAL desah gerakan jeritan penampilan kualitas vokal ekspresi wajah Sumber: Ronald B. Adler, George Rodman (2011: 96) Pada titik ini pula aspek budaya dalam bahasa menjadi sangat nyata terlihat. Rintangan ekspresi budaya dalam berbahasa lebih banyak disebabkan oleh aspek nonverbalnya daripada aspek verbalnya. Dalam kaitan ini, Brown (2008: 261) menyebutkan bahwa bahasa verbal hanya memanfaatkan satu indra: pendengaran. Senada dengan pendapat Brown ini, saya menyebut bahwa dalam kegiatan komunikasi verbal, anggota tubuh yang dominan hanya lidah dan telinga. Dengan kata lain, komunikasi menjadi kaku dan sangat terbatas. Di sinilah letak pentingnya bahasa nonverbal dalam komunikasi. Hal ini juga sekaligus menjelaskan mengapa komunikasi sering kali gagal bila hanya memperhatikan aspek-aspek verbalnya semata. Oleh karena itu, Edward Hall (1966), Julius Fast ((1970), dan Norinne Dresser, seperti dikutip Brown (2008: 264), mengakui pentingnya komponen bahasa nonverbal ini. Untuk itulah diperlukan pemanfaatan anggota tubuh lainnya agar komunikasi lebih lancar, cair, dan berhasil, apalagi bila menilik bahwa komunikasi itu seringkali lebih subtil dan spontan yang mewakili sesuatu dalam diri penuturnya. Bahkan pada titik tertentu, ada perbedaan antara penutur pria dan penutur wanita dalam memanfaatkan bahasa nonverbal dalam kegiatan berkomunikasi. Perhatikan dua gambar berikut:
Sumber: psikomikaa.blogspot.com Berikut aspek-aspek nonverbal yang mendukung keberhasilan kegiatan berbahasa dan berkomunikasi: a. Kinesik Kinesik adalah bahasa tubuh. Hampir semua kebudayaan di dunia bertumpu pada kinesik dalam menyampaikan informasi dan pesan. Dalam komunikasi nonverbal, kinesik meliputi kontak mata, ekspresi wajah, isyarat, dan sikap tubuh. Gerakan tubuh biasanya digunakan untuk menggantikan suatu kata atau frasa, misalnya mengangguk untuk mengatakan ya; untuk mengilustrasikan atau menjelaskan sesuatu; menunjukkan perasaan, misalnya memukul meja untuk menunjukkan kemarahan; untuk mengatur atau menngendalikan jalannya percakapan; atau untuk melepaskan ketegangan. Setiap manusia memang menggerakkan kepala, mengedipkan mata, menggerakkan lengan dan tangan mereka, tetapi penafsiran terhadap gerakan-gerakan itu berbeda-beda antara satu budaya dengan budaya yang lain. Bahkan, gerak tubuh tertentu yang dianggap dalam satu budaya merupakan sesuatu yang lumrah, menjadi tidak sopan di budaya yang lain.
Sumber: psikomikaa.blogspot.com b. Kontak Mata Kontak mata tidak hanya berhubungan dengan tatapan mata, tetapi juga berhubungan dnegan gerak mata. Brown (2008: 262) menyebutkan bahwa mata bisa mengisyaratkan minat, kebosanan, empati, permusuhan, ketertarikan, pemahaman, kesalahpahaman, dan pesan-pesan lainnya. Hal ini karena mata sering disebut-sebut sebagai jendela jiwa, karena ia mampu memperlihatkan secara jelas tentang apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh seseorang. Ketika kita berbincang dengan orang lain, memperhatikan gerakan mata merupakan hal yang alami dan bagian penting dalam proses komunikasi. Beberapa kebiasaan umum berkaitan dengan gerakan seseorang ketika berkomunikasi: menatap langsung, memalingkan pandangan, seberapa banyak berkedip atau seberapa lebar pupil mata seseorang berubah. Seperti dikemukakan sebelumnya, kontak mata tidak hanya meliputi tatapan, tetapi juga kedipan, ukuran pupil. Terkait tatapan mata, Pada saat seseorang menatap langsung ke mata kita pada saat berbincang, hal tersebut menunjukkan bahwa ia tertarik atau mencoba untuk
memberikan perhatian terhadap perkataan anda. Meski demikian, tatapan mata yang terlalu lama juga dapat menganggu kenyamanan komunikasi. Di sisi lain, menundukkan tatapan atau sering memalingkan pandangan menunjukkan bahwa orang tersebut merasa terganggu, tidak nyaman dengan kita atau ia mencoba untuk menyembunyikannya yang sebenarnya. Berbeda dengan kedipan mata. Berkedip adalah hal yang alami, hanya saja perlu diperhatikan apakah lawan bicara kita terlalu banyak berkedip atau justru jarang berkedip. Orang sering mengedipkan matanya pada saat mereka merasa tertekan atau tidak nyaman. Sebaliknya, jika mata seseorang jarang berkedip menunjukkan bahwa ia sedang mencoba mengontrol pergerakan matanya. Misalnya, seseorang yang sedang menyetir kendaraan di jalan raya di malam yang gelap, kemungkinan ia akan jarang berkedip karena ia harus mencoba untuk menjaga agar kendaraannya tidak keluar dari jalan raya. Begitu juga dengan ukuran pupil. Salah satu isyarat yang paling halus berkaitan dengan mata adalah perubahan ukuran pupil mata seseorang. Meski cahaya yang berada di lingkungan berpengaruh terhadap perubahan pupil mata seseorang, namun terkadang emosi juga memberikan perubahan pada pupil mata seseorang. Dalam kaitan inilah muncul istilah “bedroom eyes” yang sering dipakai untuk menunjukan pandangan seseorang ketika ia merasa tertarik terhadap orang lain atau sesuatu.
Sumber: ma-aljawami.juplo.com c. Proksemika Proksemika adalah bahasa ruang, yaitu jarak yang digunakan ketika berkomunikasi dengan orang lain, termasuk juga tempat atau lokasi posisi si penutur berada. Dengan kata lain, proksemika ini berhubungan dengan kedekatan fisik. Pengaturan jarak menentukan seberapa jauh atau seberapa dekat tingkat keakraban si penutur dengan orang lain, menunjukkan seberapa besar penghargaan, suka atau tidak suka dan perhatian si penutur terhadap orang lain, selain itu juga menunjukkan simbol sosial. Dalam ruang personal, proksemika dapat dibedakan menjadi empat ruang interpersonal: (1) jarak intim, yaitu jarak dari mulai bersentuhan sampai jarak satu setengah kaki. Biasanya jarak ini untuk bercinta, melindungi, dan menyenangkan; (2) jarak personal, yaitu jarak yang menunjukkan perasaan masing - masing pihak yang berkomunikasi dan juga menunjukkan keakraban dalam suatu hubungan, jarak ini berkisar antara satu setengah kaki sampai empat kaki; (3) jarak sosial. Dalam jarak ini pembicara menyadari betul kehadiran orang lain, karena itu dalam jarak ini pembicara berusaha tidak mengganggu dan menekan orang lain, keberadaannya terlihat dari pengaturan jarak antara empat kaki hingga dua belas kaki; (4) jarak publik, yaitu berkisar antara dua belas kaki sampai tak terhingga. Menurut Brown (2008: 262) mengutip pendapat Hall (1966), berbagai kebudayaan memiliki gaya yang berbeda mengenai jarak yang diterima untuk percakapan dalam berbagai ruang interpersonal tersebut. Di Amerika, ketika seorang asing berdiri lebih dekat dari 20 hingga 24 inci, maka hal itu membuat ketidaknyamanan tersendiri bagi orang yang berada di dekatnya, kecuali di ruangan yang terbatas, seperti di lift atau angkutan umum lainnya. Di
sinilah terkadang diperlukan benda lain yang dapat menjaga jarak dalam kegiatan komunikasi. Meskipun dalam beberapa budaya, benda-benda tersebut dapat mendorong proses komunikasi, tetapi tak jarang benda-benda itu justru menghambat komunikasi (Brown, 2008: 263).
Sumber: psikomikaa.blogspot.com d. Artefak Pakaian dan perhiasan juga merupakan aspek penting dalam komunikasi. Pakaian sering mengisyaratkan kesan harga diri, kelas sosioekonomi, dan karakter umum seseorang. Perhiasan juga menyampaikan pesan-pesan tertentu. Dalam kegiatan berkomunikasi, artefak bisa menjadi faktor penting dalam menyingkirkan rintangan, mengidentifikasi karakteristik personalitas tertentu, dan menetapkan suasana umum (Brown, 2008: 263). Terkait pakaian, misalnya, orang sering dinilai dari jenis pakaian yang digunakannya, walaupun ini dianggap termasuk salah satu bentuk stereotipe.
Sumber: psikomikaa.blogspot.com e. Kinestetik atau Haptik Kinestetik atau haptik adalah sentuhan. Sentuhan dapat termasuk: bersalaman, menggenggam tangan, berciuman, sentuhan di punggung, mengelus-elus, pukulan, dan lainlain. Masing-masing bentuk komunikasi ini menyampaikan pesan tentang tujuan atau perasaan dari sang penyentuh. Sentuhan juga dapat menyebabkan suatu perasaan pada sang penerima sentuhan, baik positif maupun negatif. Hal yang menjadi penting dalam pembahasan ini adalah terkait dengan bagaimana cara menyentuhnya dan di mana. Mengapa? Karena bagian ini yang paling sering disalahpahami yang diakibatkan oleh perbedaan asumsi terkait persoalan budaya dan kebiasan. Dalam beberapa budaya sentuhan mengisyaratan gaya sangat personal dan akrab,
sementara dalam budaya-budaya yang lain bersentuhan dalam arti luas adalah hal yang lumrah (Brown, 2008: 263).
Sumber: psikomikaa.blogspot.com f. Dimensi Olfaktori Dimensi olfaktori berhubungan dengan hidung yang ternyata juga menerima pesanpesan indrawi. Kecenderungan terhadap parfum, losion, krim, dan bedak, menjadi bentuk dari keharusan lain dalam kegiatan komunikasi, terutama bagi masyarakat modern (Brown, 2008: 263). Bahkan, aroma dan bau tertentu dapat melambangkan status sosial seseorang. Meskipun pada kebudayaan lain, bau alami dari tubuh manusia justru disukai. Dengan kata lain, aroma apa pun yang melekat pada diri seorang penutur menjadi aspek yang dipertimbangkan dalam kegiatan berbahasa dan berkomunikasi. Bila seorang penutur mengeluarkan suatu bau atau aroma yang tidak disukai oleh lawan bicara, maka bisa jadi kegiatan berkomunikasi tersebut menjadi terhambat atau terganggu.
Sumber: majalahouch.com g. Kronemik Kronemik berhubungan dengan penggunaan waktu yang meliputi durasi yang dianggap cocok bagi suatu aktivitas, banyaknya aktivitas yang dianggap patut dilakukan dalam jangka waktu tertentu, serta ketepatan waktu (punctuality). Waktu sendiri terbagi menjadi dua: waktu monokronik (tepat dan serba diperhitungkan) dan polikronik (lebih santai). Kegagalan seorang penutur dalam memahami hal ini, bisa berakibat pada kesia-siaan pesan verbal yang mungkin telah disampaikannya
Sumber: psikomikaa.blogspot.com h. Vokalik Vokalik atau paralanguage adalah unsur nonverbal dalam suatu ucapan, yaitu cara berbicara. Contohnya adalah nada bicara, nada suara, keras atau lemahnya suara, kecepatan berbicara, kualitas suara, intonasi, dan lain-lain. Selain itu, penggunaan suara-suara pengisi seperti "mm", "e", "o", "um", saat berbicara juga tergolong unsur vokalik, dan dalam komunikasi yang baik hal-hal seperti ini harus dihindari. Suara-suara tersebut mengomunikasikan emosi dan pikiran yang hendak disampaikan, juga dapat memberi informasi tentang rasa percaya diri dan penguasaan pengetahuan.
Sumber: psikomikaa.blogspot.com i. Lingkungan Lingkungan juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Di antaranya adalah penggunaan ruang, jarak, temperatur, penerangan, dan warna. Perhatikan tabel berikut: Suasana Hati Warna menggairahkn merah aman, nyaman biru tertekan, terganggu, bingung oranye lembut, menenangkan biru melindungi, mempertahankan merah, coklat, ungu, hitam sangat sedih, patah hati, tidak bahagia hitam, coklat kalem, damai, tentram biru, hijau berwibawa, agung ungu menyenangkan, riang, gembira kuning
menantang, melawan, memusuhi berkuasa, kuat, bagus sekali
merah, oranye, hitam hitam Sumber: Cangara (1998)
Sumber: psikomikaa.blogspot.com 4. Fungsi Bahasa Nonverbal Ada beberapa fungsi bahasa nonverbal. Butland (2012) menyebut beberapa fungsi bahasa nonverbal sebagai berikut: a. Repetisi Bahasa nonverbal dapat mengulangi bahasa verbal. Misalnya, Anda menganggukkan kepala ketika mengatakan "ya" atau menggelengkan kepala ketika mengatakan "tidak" atau menunjukkan arah (dengan telunjuk) ke mana seseorang harus pergi untuk menemukan WC.
Sumber: psikomikaa.blogspot.com b. Substitusi Bahasa nonverbal dapat menggantikan bahasa verbal. Dengan kata lain, tanpa berbicara Anda bisa berinteraksi dengan orang lain. Sebagai contoh, seorang pengamen mendatangi Anda kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun Anda menggoyangkan tangan Anda dengan telapak tangan mengarah ke depan (sebagai kata pengganti "tidak").
Sumber: psikomikaa.blogspot.com c. Kontradiksi Bahasa nonverbal dapat bertentangan dengan bahasa verbal dan bisa memberikan makna lain terhadap pesan verbal. Sebagai contoh, Anda memuji prestasi teman sambil mencibirkan bibir.
Sumber: psikomikaa.blogspot.com d. Aksentuasi Memperteguh, menekankan atau melengkapi bahasa verbal. Sebagai contoh, menggunakan gerakan tangan, nada suara yang melambat ketika berpidato.
Sumber: psikomikaa.blogspot.com e. Komplemen Bahasa nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal. Sebagai contoh, saat kuliah akan berakhir, Anda melihat jam tangan dua-tiga kali sehingga dosen segera menutup kuliahnya.
Sumber: psikomikaa.blogspot.com 5. Bahasa Nonverbal sebagai Produk Kebudayaan Kehidupan sehari-hari telah menyimpan dan menyediakan kenyataan, sekaligus pengetahuan yang membimbing perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas objektif yang ditafsirkan oleh individu, atau memiliki makna-makna subjektif. Di sisi lain, kehidupan sehari-hari merupakan suatu dunia yang berasal dari pikiranpikiran dan tindakan-tindakan individu, dan dipelihara sebagai ’yang nyata’ oleh pikiran dan tindakan itu. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui objektivasi dari proses-proses (dan makna-makna) subjektif –yang membentuk dunia akal-sehat intersubjektif (Berger dan Luckmann, 1990: 29). Pengetahuan akal-sehat adalah pengetahuan yang dimiliki bersama (oleh individu dengan individu-individu lainnya) dalam kegiatan rutin yang normal (dalam kehidupan sehari-hari). Realitas kehidupan sehari-hari seringkali dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted. Ia bersifat memaksa, namun ia hadir dan tidak (jarang) dipermasalahkan oleh individu. Misalnya, mengapa dalam streotip rasial orang Betawi dianggap masyarakat pinggiran, pemalas, tidak berpendidikan, memegang nilai-nilai agama, dan memegang kuat tradisi. Anehnya, hal itu sudah dianggap alamiah, sehingga tak perlu dibuktikan kebenarannya. Meskipun, terkadang hal itu merupakan konstruksi budaya yang dapat dirunut asalnya dari zaman kolonial (Budianta, 2008: 320 dikutip dari Furnivall, 1944; Anderson, 1990: 115). Menurutnya, pemerintah kolonial mengkatagorikan warga jajahannya ke dalam tiga kelompok kelas: (1) orang Belanda dan Indo yang menempati kelas tertinggi; (2) orang Timur, seperti Cina dan Jepang; (3) orang pribumi yang menempati kelas terendah. Ketiganya hidup di dunia yang berbeda baik dalam segi agama, budaya, maupun standar kehidupannya, tetapi mereka bertemu di satu pasar dan dunia ekonomi yang sama (hlm. 365). Pendidikan yang bisa menjembatani perbedaan kelas ini, sayangnya harus berfungsi lain, yaitu sebagai sarana kompetisi di lapangan kerja. Padahal, manusia secara biologis dan sosial terus tumbuh dan berkembang, karenanya ia terus belajar dan berkarya membangun kelangsungannya. Upaya menjaga eksistensi itulah yang kemudian menuntut manusia menciptakan konstruksi sosial. Jadi, konstruksi sosial merupakan produk manusia yang berlangsung terus menerus –sebagai keharusan antropologis yang berasal dari biologis manusia. Konstruksi sosial itu bermula dari eksternalisasi, yakni; pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya (Berger, 1991: 4-5). Masyarakat sebagai realitas objektif menyiratkan pelembagaan di dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang– sehingga terlihat polanya dan dipahami bersama—yang kemudian menghasilkan pembiasaan
(habitualisasi). Habitualisasi yang telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa. Di sinilah terdapat peranan di dalam konstruksi kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Jadi, peranan mempresentasikan konstruksi kelembagaan atau lebih jelasnya; pelaksanaan peranan adalah representasi diri sendiri. Meskipun, juga penting diungkapkan di sini ihwal apakah pentradisian itu memang berlangsung sekian lama dan dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted atau janganjangan semua itu hanyalah inventing traditions (Hobsbawm, 1992: 1), “tradisi yang belum terlalu lama” yang sengaja dihadirkan, diformat, diinstitusionalisasikan, diritualkan, dan dikonstruksi kembali untuk kepentingan tertentu sebagai bagian dari pelegitimasian suatu perilaku sosial. Karena, masyarakat sebagai realitas objektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi merupakan objektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif–karena tidak hanya menyangkut penjelasan, tetapi juga nilai-nilai. Legitimasi berfungsi untuk membuat objektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara subjektif. Pada titik ini biasanya perlu sebuah universum simbolik yang menyediakan legitimasi utama keteraturan pelembagaan. Universum simbolik menduduki hierarki yang tinggi, metasbihkkan bahwa semua realitas adalah bermakna bagi individu –dan individu harus melakukan sesuai makna itu. Agar individu mematuhi makna itu, maka organisasi sosial diperlukan, sebagai pemelihara universum simbolik. Maka, dalam kejadian ini, organisasi sosial dibuat agar sesuai dengan universum simbolik (teori/legitimasi). Di sisi lain, manusia tidak menerima begitu saja legitimasi. Bahkan, pada situasi tertentu universum simbolik yang lama tak lagi dipercaya dan kemudian ditinggalkan. Kemudian manusia melalui organisasi sosial membangun universum simbolik yang baru. Dan dalam hal ini, legitimasi/teori dibuat untuk melegitimasi organisasi sosial. Proses ”legitimasi sebagai legitimasi lembaga sosial” menuju ”lembaga sosial sebagai penjaga legitimasi” terus berlangsung, dan dialektik. Dialektika ini terus terjadi, dan dialektika ini yang berdampak pada perubahan sosial. Perlu juga ditegaskan bahwa Hobsbawm (1992: 2) membedakan secara gamblang antara tradition (tradisi) dan custom (norma). Tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang, meskipun ada yang benar-benar old tradition dan ada juga yang sesungguhnya hanya invented tradition) yang masih dijalankan di masyarakat, sementara custom (norma) adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok di masyarakat, yang dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan diterima. Dengan kata lain, custom melibatkan sanksi sosial bila anggota suatu kelompok masyarakat tidak mematuhi aturan tersebut, sementara tradisi tidak. Selain itu, realitas kehidupan sehari-hari pada pokoknya merupakan; realitas sosial yang bersifat khas (dan individu tak mungkin untuk mengabaikannya), dan totalitas yang teratur–terikat struktur ruang dan waktu, dan obyek-obyek yang menyertainya (Samuel, 1993: 9). Realitas kehidupan sehari-hari selain terisi oleh objektivasi, juga memuat signifikasi. Signifikasi atau pembuatan tanda-tanda oleh manusia, merupakan obyektivasi yang khas, yang telah memiliki makna intersubjektif –walaupun terkadang tidak ada batas yang jelas antara signifikasi dan objektivasi. Di sinilah sistem tanda menjadi diperlukan. Bahasa, sebagai sistem tanda-tanda suara, merupakan sistem tanda yang paling penting. Signifikasi tingkat kedua ini merupakan sarana untuk memelihara realitas objektif. Dengan bahasa realitas objektif masa lalu dapat diwariskan ke generasi sekarang, dan berlanjut ke masa depan. Bahasa memungkinkan menghadirkan obyek tersebut ke dalam situasi tatap muka. Bila bahasa dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem perbedaan ini adalah
oposisi biner (binary opposition), seperti, oposisi antara penanda-petanda, ujarantulisan, langue-parole, ujaran-tulisan. Oposisi biner dalam linguistik ini berjalan seiring dengan hal yang sama dalam tradisi filsafat Barat, seperti makna-bentuk, jiwabadan, transcendental-imanen, baik-buruk, benar-salah, maskulin-feminin, intelligiblesensible, idealism-materialisme, tinggi-rendah, menang-kalah, dan sebagainya. Dalam oposisi biner ini terdapat hierarki. Yang satu dianggap lebih superior dari pasangannya. Misalnya, jiwa diangap lebih mulia dari badan, rasio dianggap lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari feminin, dan sebagainya. Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran) dianggap lebih utama dari tulisan, karena tulisan dipandang hanya sebagai representasi dari lisan. Di kemudian hari, pandangan De Saussure tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh Derrida. Ia berusaha membongkar kecenderungan oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi filsafat Barat tersebut. Inilah yang dikenal sebagai dekonstruksi Derrida. Oposisi biner paling terkemuka, yang dibongkar dalam karya awal Derrida, adalah antara ujaran (speech) dan tulisan (writing). Menurut Derrida, pemikir-pemikir seperti Plato, Rousseau, De Saussure, dan Levi-Strauss, telah melecehkan kata tertulis dan lebih mengutamakan ujaran, dengan mengontraskan, dan menempatkan ujaran sebagai semacam saluran murni bagi makna. Ujaran menurut De Saussure adalah kesatuan petanda (signifie) dan penanda (signifiant), yang dianggap kelihatan menjadi satu dan sepadan, yang membangun sebuah tanda (sign). Makna atau kebenaran adalah petanda, yaitu isi yang diartikulasikan oleh penanda yang berupa suara/bentuk. Kebenaran yang semula berada di luar penanda (eksternal), kemudian menjadi lekat dengan penanda itu sendiri dalam bahasa. Dia bisa hadir lewat penanda. Kesatuan antara bentuk (penanda) dan isi (petanda) inilah yang disebut Derrida sebagai metafisika kehadiran (metaphysic of presence). Metafisika kehadiran, yang terkadang disebut logosentrisme, berasumsi bahwa sesuatu yang bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam ujaran, bukan tulisan. Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks, tetapi kemudian tersebar ke bidang-bidang yang lain. Dalam kajian budaya, dekonstruksi Derrida memberi pengaruh penting. Berkat dekonstruksi Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran universal, dan kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya pemikiran sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi bisa diterima. Secara sepintas, seolah-olah tidak ada tawaran “konkret” dari metode dekonstruksi. Namun, yang dimaui oleh dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Teks dan kebudayaan tidak lagi dipandang sebagai konstruksi makna yang utuh, melainkan sebagai arena pertarungan yang terbuka. Atau tepatnya, permainan antara upaya penataan dan chaos, antara perdamaian dan perang, dan sebagainya. Dalam kesusastraan, misalnya, dekonstruksi ditujukan sebagai metode pembacaan kritis yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks yang berkonflik dengan maksud pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi dimaksudkan untuk menangkap makna yang dimaksudkan pengarang, melainkan justru untuk memproduksi makna-makna baru yang plural, tanpa klaim absolut atau universal. Dalam proses itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi netral tatkala menganalisis suatu teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk oleh teks-teks yang pernah ia baca. Teks itu sendiri juga tidak bisa diasalkan maknanya sematamata pada gagasan si pengarang, karena pikiran pengarang juga merujuk kepada gagasangagasan pengarang lain yang mempengaruhinya. Dekonstruksi, seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana, penghargaan terhadap perbedaan, dan membuka diri terhadap yang lain (the other).
Penghargaan terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah bahasa, sastra, sejarah, seni, politik, masyarakat, maupun kebudayaan pada umumnya. 6. Penutup Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mehrabian (dalam Goman, 2008: 26), ternyata bahwa hanya 7% hasil komunikasi ditentukan oleh penggunaan kata-kata. Pemahaman pesan 38% berdasarkan pada nada suara, dan 55% berdasarkan pada ekspresi wajah, gerak tangan, posisi tubuh, dan bentuk-bentuk komunikasi nonverbal lain. Jadi, dalam konteks face to face communication, penggunaan kata-kata sebagai bahasa verbal tidak banyak menjamin keberhasilan kegiatan berkomunikasi, justru penggunaan nada suara dan bahasa tubuh sebagai bahasa nonverbal dan aspek nonverbal lainnya yang banyak membantu. Dengan demikian, bahasa nonverbal berperan penting dalam suksesnya komunikasi verbal, terlebih dalam komunikasi langsung. Yang juga perlu dikemukakan di sini sebagai penutup tulisan ini bahwa bahasa nonverbal itu diciptakan oleh kebudayaan yang dihasilkan dari kesepakatan atas interaksi keseharian, terlepas apakah itu sesuai dengan realitas atau tidak. Daftar Pustaka al Khuli, Muhammad Ali. 1982. A Dictionary of Theoretical Linguistics. Beirut: Librairie du Liban. al-Aziz, Muhammad Hasan Abd. 1998. Madkhal ila: ‘Ilm al-Lughah. Kairo: Dar el-Fikr elArabi. Berger, Peter L dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES. Berger, Peter L. 1991. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES. Brown, H. Douglas. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Kedubes AS. Budianta, Melani. 2008. “Representasi Kaum Pinggiran dan Kapitalisme”, dalam Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial. Jakarta: KITLV-Obor. Butland, Mark. 2012. Achieving Communication Competence: An Introduction to Human Communication. Iowa: Kendall Hunt. Cangara, Hafied. 1998. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Christomy, T., dan Untung Yuwono (ed.). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI. Goman, Esther N (Ed.). 2008. Questions and Politiness: Strategy in Social Interaction. Cambridge. Hidayatullah, Moch. Syarif. 2012. Cakrawala Linguistik Arab. Tangsel: Alkitabah. Hobsbawm. Eric. 1992. “Introduction Inventing Traditions” dalam Invention of Tradition. Cambridge: Cambridge University Press. Ibn Jinni, Utsman. 1955. al-Khasa:’ish. Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah. Ronald B. Adler, George Rodman. 2011. Understanding Human Communication. Oxford: Oxford University Press. Samuel, Hanneman. 1993. Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia. Tsubaiti. 2010. Muhammad bin Said. Muqaddimah fi: al-Lughawiyyah. Diktat. Tidak Diterbitkan.