TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP RESIDIVIS SEBAGAI ALASAN PEMBERAT PEMIDANAAN DALAM KUHP Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : Arizal Firdaus NIM : 109043200007
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat-nya kepada hamba Allah, Sholawat beserta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada orangorang yang telah begitu banyak memberikan sumbangsi terhadap penulisan skripsi ini, berkat merekalah penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Mereka adalah: 1. Dr. JM. Muslimin, MA. selaku Dekan FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Pembantu Dekan I, II, dan III. 2. Dr. H. M. Taufiki, M. Ag. dan Bpk Fahmi Muhammad Ahmadi M. Si. sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bpk Dedi Nursamsi SH. MH. dan Ibu Masyrofah, M. Si. selaku dosen pembimbing
yang
telah
meluangkan
waktunya
untuk
selalu
memberikan arahan, bimbingan dan motivasi bagi penulis. 4. Kepada Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membantu dalam pengadaan dan pelayanan buku referensi. 5. Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M.A. selaku Dosen Pembimbing Akademik.
vi viii
6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen atau Staf Pengajar Program Studi Perbandingan Hukum FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama kuliah. 7. Ayahanda tercinta Syamsudin dan Ibunda Rumyanah, karena berkat do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian dan bantuannya yang diberikan kepada ananda, sehingga ananda bisa menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi sebagai Sarjana Syariah (S.Sy). 8. Pengasuh Pondok Pesantren Daar El-Hikam, K.H. Bahrudin S.Ag (Abi) dan Ummi beserta keluarga penulis ucapkan terima kasih banyak atas bimbingan, nasihat dan ilmu yang diberikan mudah-mudahan bermanfaat dan bisa diamalkan. 9. Serta kakak ku Nurlelah, Dede Umayah dan Neneng Khoeriyah, Kusnadi,
Kurniadi,
Ahmad
Mubarok.
dengan
dorongan
dan
kebersamaannya serta perhatian yang selama ini diberikan kepada penulis. 10. Teman-teman seperjuangan program studi Perbandingan Madzhab dan Hukum angkatan 2009, Kholid, Hamzah, Uday, Dadan, Ade S, Eva, Ayat, Deli, All, Juni, Nabila, Syukur, Zainun, Rezha, Firman, Ader. Terima kasih atas motivasi, dukungan dan kebersamaan yang diberikan selama ini. 11. Teman-teman Pondok Pesantren Daar El-Hikam, Amri, Malik, Asep, Hajroni, Khudri, Ikbal, Fahmi, dan yang tidak saya sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih atas saran dorongan dan
viii vii
bantuannya, penulis ucapkan terima kasih banyak semoga kita menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat. 12. Guru-guru Raudhatul Irfan, Bpk Irham beserta Istri, Ustad Syarif, Bahrum, Asnawi, Ikbal, Aisyah, Bu Mala, Bu Nur, Irfan Putri. yang telah memberikan motivasi dan waktunya untuk penulis, penulis ucapkan terima kasih banyak semoga kita menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat. 13. Terakhir kepada saudari Firda Farhana, yang selalu menasehati dan membimbing penulis, penulis mengucapkan terima kasih banyak. Demikianlah ucapan terima kasih penulis, bagi pihak-pihak yang tidak penulis sebut, tanpa mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih banyak dan semoga mendapatkan balasan yang banyak dari Allah SWT.
Jakarta, 12 Mei 2014
Arizal Firdaus
viii
DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN..................................................................iii LEMBAR PERNYATAAN.................................................................................................iv ABSTRAK..............................................................................................................................v KATA PENGANTAR..........................................................................................................vi DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..ix BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………………...........1 B. Batasan dan Rumusan Masalah………………………………………............8 C. Tujuan dan Manfaat Studi Pustaka……………………………………..........8 D. Metodologi Penelitian…………………………………………………..........9 E. Studi Terdahulu………………………………………………………...........11 F. Sistematika Penulisan…………………………………………………..........12
BAB II
PEMBERAT HUKUM PIDANA DALAM PENGULANGAN JARIMAH MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Jarimah.....................……………………………………….........14 B. Macam-macam Jarimah………………………………………………..........16 C. Pertanggungjawaban Jarimah…………………………………………..........23 D. Pemberat Pidana Dalam Pengulangan Jarimah………………………...........27
BAB III PEMBERAT PIDANA DALAM PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) MENURUT KUHP A. Pengertian Tindak Pidana……………………………………………...........32
B. Macam-macam Tindak Pidana……………………………………….............40 C. Pertanggungjawaban Tindak Pidana………………………………….. .........43 D. Pemberat Pidana Dalam Pengulangan Pidana………………………..............48 BAB IV
ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBERAT PIDANA DALAM PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) MENURUT (KUHP) A. Analisis Terhadap Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)………….............56 B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberatan Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)…………………………………………………………….............58 C. Perbandingan antara Hukum Positif dan Hukum Islam..................................65
BAB V
PENEUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………………...........67 B. Saran………………………………………………………………….............68
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………............70
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana telah diketahui bahwa di dalam Negara Republik Indonesia, yang menjadi dasar kehidupan hukuman adalah Pancasila, baik yang dituangkan dalam pembukaan maupun batang tubuh Undang Undang Dasar 1945. Maka oleh sebab itu seluruh hukum yang dibuat oleh Negara atau Pemerintah dalam arti yang seluas-luasnya, tidak boleh bertentangan dengan hukum Tuhan. Hal ini sebagai konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang maha Esa dalam Pancasila, yang secara yuridis mengikat, kepada rakyat dan pemerintah untuk mengamalkannya. Oleh sebab itulah sebagai usaha pemerintah untuk melindungi keutuhan hukum Tuhan yang telah digariskan dalam bentuk aturan-aturan yang diwahyukan melalui Rasulnya dalam bentuk yang kita kenal Agama, maka kita dapat melihat jaminan untuk menjalankan Agama sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 dan tertuang juga dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 156, 176, 177 dan Pasal 156a KUHP, UU. Pnps. No.1 tahun 1965.1 Pentingnya pembangunan di bidang hukum agar tercipta suatu pola hidup dan tingkah laku yang baik bagi masyarakat hingga pada akhir fungsi hukum itu dapat dijadikan sosial kontrol bagi masyarakat serta menjadikan rasa aman, tertib, dan terkendali. Dan tindakan kriminal merupakan suatu masalah yang amat
1
S.Praja, Ahmad Syhabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung, Angkasa, 1982), h. 2.
1
2
kompleks dalam kehidupan, baik di media masa dan harian ibu kota, dimana kejahatan tersebut kebanyakan dilakukan oleh para pelaku residivis. Pengertian sistem pemidanaan” dapat mencangkup pengertian yang sangat luas.L. H. C. Hulsmanpernah mengemukakan, bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah” aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan” apabila pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencangkup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakan atau dioprasionalkan secara konkrit, sehingga seseorang di jatuhkan sanksi hukuman pidana. Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana Substantif. Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, yang dulu bernama wetboek van Strafrecht voor Indonesia merupakan semacam kutipan WvS Nederlan. Bahasanya tentu saja bahasa Belanda. Pasal 1 KUHP mengatakan bahwa perbuatan yang pelakunya dapat di pidana adalah perbuatan yang sudah disebutkan di dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut.“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.”Berdasarkan
3
rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni.2Suatu perbuatan manusia, Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang, Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedikit berbicara sejarah hukum pidana di Indonesia, hukum pidana dapat di bagi menjadi tiga macam, yaitu masa sebelum kedatangan bangsa belanda, masa pendudukan Belanda dan masa kemerdekaan. Inggris dan Jepang pernah menduduki Indonesia, tetapi karena waktunya singkat menetapkan tetap berlakunya hukum pidana. Setelah semangkin berkembangnya bangsa Indonesia, dan hukuman-hukumanpun semangkin berpariasi maka banyaklah hukumanhukuman yang dikodifikasikan, maka terjadilah salah satu hukum yang dinamakan Residivis. Adapun secara yuridis formal, masalah pemberian sanksi pidana di Indonesia di kenal sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam KUHP itu terdapat ketentuan pasal mengenai sanksi pidana yaitu pasal 10 KUHP.3 Dalam kitab Undang-undang kita tidak terdapat pengulangan yang umum, hanya peristiwa-peristiwa pidana yang tertentu atau golongan dua peristiwa pidana tertentu mengakibatkan adanya pengulangan. 4
2
Teguh Presetyo, Hukum Pidana, (Jakarta, Rajawali Grepindo Persada, 2011), h, 47-48. Barda Nawawi Arief,Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta, Kencana, 2010), h. 148-149. 4 Mr. J.E. Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, h. 286. 3
4
Pengulangan atau residivis terdapat dalam hal seseorang telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, di antara perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Pertanyaan sangat mirip dengan gabungan beberapa perbuatan yang dapat dihukum dan dalam pidana mempunyai arti, bahwa pengulangan merupakan dasar yang memberatkan hukuman. Alasan hukuman dari pengulangan sebagai dasar pemberat hukuman ini adalah seorang yang telah dijatuhkan hukuman dengan mengulang lagi melakukan kejahatan, membuktikan bahwa ia telah memiliki tabiat buruk. Jahat karenanya dianggap sebagai membahayakan bagi keamanan dan ketertiban masyarakat. 5Dan Pengulangan diatur dalam Pasal 486, 487, 488 KUHP. Akan tetapi, apabila mereka mengulangi kembali melakukan kejahatan, hal ini membuktikan bahwa mereka itu tidak dapat ditakut-takuti lagi. Kriminologi menganggap, bahwa dasar hukum bagi residivis kurang tepat, berhubung seseorang yang menjalani hukuman sudah tidak takut lagi, untuk menjalani hukuman. Akan tetapi ancaman hukuman berat itu akan menakut-nakuti orang yang belum pernah menjalani hukuman, hingga orang itu akan takut untuk melakukan sesuatu kejahatan. Residivis adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, yang merupakan beberapa delick yang berdiri sendiri akan tetapi perbuatan satu atau lebih telah dijatuhkan hukuman oleh hakim.
5
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grafindo Permai, 2011), h. 191.
5
Dasar hukuman yang dilakukan oleh seseorang yang melakukan pengulangan delik. Orang yang demikian ini membuktikan telah mempunyai tabiat yang jahat, dan oleh sebab itu di anggap merupakan bahaya bagi masyarakat dan bagi ketertiban umum. Seperti telah diketahui, dasar hukuman menurut teori relatif atau teori tujuan (relative of doel theorie) adalah merupakan tujuan hukum dan tujuan hukuman antara lain mencegah kejahatan atau prevensi. Dan Pengulangan menurut sifatnya terbagi dalam dua jenis Residivis umum dan Residivis khusus.6 Persamaan jenis kejahatan tersebut merupakan dasar pemberatan hukuman.Seseorang melakukan kejahatan dan terhadap kejahatan itu dijatuhkan hukuman oleh hakim. Pengertian pengulangan dalam hukum positif adalah dikerjakannya suatu jarimah oleh seseorang, setelah ia melakukan jarimah lain yang telah dapat keputusan terakhir, perkataan pengulangan mengandung arti terjadinya suatu jarimah berapa kali dari satu orang yang dalam jarimah sebelumnya telah mendapat keputusan terakhir. Pemberatan hukuman terhadap pengulangan ini dapat di temukan dalam hadis, yaitu apabila terjadi pencurian yang kelima kalinya, lengkapnya hadis tersebut sebagai berikut.
6
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1983), h. 62.
6
اﻧﻤﺎ ﺳﺮق: ﻓﻘﺎﻟﻮا. اﻗﺘﻠﻮه: ﺟﻰء ﺑﺴﺎرق اﻟﻰ اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎل: وﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل ﺛﻢ ﺟﻰءﺑﮫ اﻟﺜﺎ ﻟﺜﺔ ﻓﺬﻛﺮ ﻣﺜﻠﮫ" ﺛﻢ: اﻗﺘﻠﻮه" ﻓﺬ ﻛﺮ ﻣﺜﻠﮫ:ﯾﺎ رﺳﻮل اﷲ" اﻗﻄﻌﻮه ﻓﻘﻄﻊ" ﺛﻢ ﺟﻰءﺑﮫ اﻟﺜﺎ ﻧﯿﺔ ﻓﻘﺎل ( اﻗﺘﻠﻮه ) اﺧﺮﺟﮫ اﺑﻮ داود واﻟﻨﺴﺎﺋﻰ:ﺟﻰء ﺑﮫ اﻟﺮا ﺑﻌﺔ ﻛﺬ ﻟﻚ" ﺛﻢ ﺟﻰء ﺑﮫ اﻟﺨﺎ ﻣﺜﺔ ﻓﻘﺎ ل Artinya: Dari jabir ra ia berkata: seorang pencuri telah di bawa kehadapan Rasulullah saw. Maka Nabi bersabda: Bunuhlah ia. Para sahabat berkata: Ya Rasulullah ia hanya mencuri. Nabi mengatakan: potonglah tangannya. Kemudian ia dipotong. Kemudian ia dibawa lagi untuk kedua kalinya. Lalu Nabi mengatakan bunuhlah ia. Kemudian disebutkan seperti tadi, kemudian ia di bawa untuk ketiga kalinya maka nabi menyebutkan seperti tadi. Kemudian ia dibawa lagi untuk ke empat kalinya dan nabi mengatakan seperti tadi. Akhirnya dia dibawa lagi untuk kelima kalinya. Lalu nabi mengatakan: bunuhlah ia. (Hadis dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i)7 Meskipun pengulangan tersebut sudah di jelaskan dalam hadis di atas, namun tidak ada keterangan yang menjelaskan persyaratan dan lain-lain.8 Dengan melihat beberapa aspek di atas, dalam Hukum Islam orang yang melakukan tindak pidana harus dijatuhkan hukuman yang telah ditetapkan atas apa yang telah dilakukan, namun bila pelaku mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya, hukuman yang dijatuhkan kepadanya akan diperberat, apabila ia terus melakukan perbuatan tersebut, ia dapat dijatuhkan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup. Kewenangan untuk menentukan hukuman tersebut diserahkan kepada pengusaha dengan memandang kondisi tindak pidana dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Fuqaha sepakat apabila seorang menuduh orang lain berkali-kali dalam satu waktu, maka ia dikenakan satu hukuman (had). Jadi, ia tidak dihukum setiap 7
Ibnu Hajar Asqolani, Kitab Bulughul Maram, h. 278. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), h. 166. 8
7
qadzhaf. Tetapi jika kemudian ia menuduh lagi, maka ia dijatuhkan hukuman lagi. Dan jika ia menuduh lagi, maka ia dijatuhkan hukuman lagi, dan begitu seterusnya.9 Dan di dalam Hukum Islam pengulangan jarimah atau yang biasa kita kenal residivis sudah dikenal sejak jaman Rasullullah SAW. Dalam jarimah pencurian misalnya, nabi telah menjelaskan hukuman secara rinci. Seperti yang terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ad. Daruquthni dari Abu Hurairah dijelaskan bahwa Rasullullah SAW. Dalam kaitannya dengan hukuman pencuri.10 Adapun yang dapat dipermasalahkan dalam hal ini, apakah pemberatan hukum pidana untuk pengulangan ini sudah wajar? Masalah lainnya dalam hubungan hal ini adalah mengenai penentuan jangka waktu lima tahun tersebut, Apakah untuk pasal-pasal ini setelah lewat lima tahun tersebut, tidak lagi dipandang tabiat jahat. Dan bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap residivis sebagai pemberat hukum pidana. Berdasarkan keterangan tersebut mendorong penulis memilih tema ini dengan judul: “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Residivis Sebagai Alasan Pemberat Pemidanaan Dalam KUHP.
9
Al-Faqih Abul Wahib Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd,Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Dar Al-Jiil, Bairut, 1989 M, 10 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika), h. 81.
8
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam membahas masalah ini, penulis hanya ingin menitikberatkan dan memfokuskan pada bagaimana residivis dalam Hukum Islam dan membandingkan dengan Hukum Pidana di Indonesia. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penyusun memberikan batasan dalam lingkungan pembahasan sebagai berikut: 1. Bagaimana KUHP menentukan pengulangan tindak pidana (Recidive) sebagai alasan pemberat pidana ? 2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap ketentuan KUHP tentang pengulangan tindak pidana (Recidive) sebagai alasan pemberat pidana? C. Tujuan dan Manfaat Stadi Pustaka Adapun tujuan yang hendak di capai dalam stadi pustaka ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana KUHP memandang terhadap residivis sebagai alasan pemberat hukum pidana. 2. Dan juga untuk mengetahui bagaimana hukum Islam memandang pengulangan (Recidive) sebagai alasan pemberat pidana dalam KUHP. Sedangkan manfaat studi pustaka ini adalah:
9
1. Di harapkan dapat bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain dan untuk melengkapi syarat-syarat yang di perlukan untuk mencapai gelar S1 dalam bidang Perbandingan Madzhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum di Universitas Islam Negeri Jakarta. 2. Menambah wawasan dalam bidang hukum agama khususnya dalam Hukum Pidana. 3. Mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai pengulangan (recidive) sebagai alasan pemberat Hukum Pidana (Analisis perbandingan Hukum Pidana dan Hukum Islam). 4. Sebagai bahan referensi bagi rekan-rekan mahasiswa hukum serta pihak lain yang berkompeten yang ingin mengetahui pelaksanaan hukuman terhadap residivis sebagai alasan pemberat Hukum Pidana, (Analisis perbandingan Hukum Pidana dan Hukum Islam). D. Metodelogi Penelitian Penelitian ini akan memfokuskan kajiannya pada masalah residivis dalam Hukum Islam
dan memperbandingkannya dengan Hukum Pidana, maka alur
penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan merupakan studi pustaka sebagai acuannya. Terkait dengan penelitian ini, penulis akan menggunakan metode pendekatan. Mendefinisikan pengertian pengulangan dalam
10
tindak pidana dalam pandangan Hukum Islam. Kedua, menganalisis masalah residivis dalam pandangan Hukum Islam. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis-komparatif, artinya penulis akan mendeskripsikan masalah pengulangan tindak pidana dalam pandangan Hukum Islam, dan sekaligus pembahasan mengenai pengulangan tindak pidana dalam hukum Pidana. 2. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini, ialah: a. Data Primer Data yang langsung di peroleh dari sumber yang asli atau data pertama di lokasi penelitian. Adapun dari data ini berupa Al-Qur’an, Al-Hadits dan Undangundang. b. Data Skunder Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber sekunder yang berupa kitab, Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Pidana Islam, M. Nurul Irfan, Masyrofah. Fiqh Jinayah, Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Fikih Islam Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusdy, Hukum Pidana Islam, oleh Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Intisari Hukum Pidana, oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah. Satochid Kartanegara.
11
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam
pengumpulan
data,
penulis
berupaya
melakukan
survei
kepustakaan dan studi literatur, survei kepustakaan yang menghimpun data berupa sejumlah literatur yang diperoleh di perpustakaan atau tempat lain kedalam sebuah daftar bahan pustaka. Sedangkan studi literatur adalah mempelajari, menelaah dan mengkaji bahan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang menjadi objek penelitian. E. Studi Terdahulu Yang menjadi acuannya antara lain,pada tahun 2010 telah ditulis oleh Abdillah Munir, Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Penambahan 1/3 Hukuman Karena Pengulangan Tindak Kejahatan (Recidive) Dalam Pasal 486 KUHP. Dengan subtansi bahwasannya penulis membahas penambahan 1/3 hukuman karena pengulangan tindak kejahatan dalam pasal 486 apakah sudah membuat jera bagi pelaku pengulangan
tindak
pidana,
Selanjutnya
pada
tahun
2011
penuli,
Azriadi,Universitas Andalas Padang dengan judul Pelaksanaan Pembinaan NarapidanaResidivis
Berdasarkan
Prinsip
Pemasyarakatan
di
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II.A Biaro. Dengan subtansi Bagaimana Kedudukan Dan Landasan Hukum Pembinaan Narapidana Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Biaro apakah udah sesuai dengan hukumyang diterapkan di dalam KUHP.
12
Oleh karena itu penulis berkeinginan untuk meneliti lebih mendalam mengenai masalah ini sebagai sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi. F. Sistematika Penulisan Sistematik penulisan merupakan pengaturan langkah, langkah penulisan penelitian agar runtut, ada keterkaitan yang harmonis antara pembahasan yang pertama dan pembahasan-pembahasan yang selanjutnya. Untuk itu maka pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, satu bab pendahuluan, tiga bab isi, kemudian di tutup dengan satu bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran penelitian ini. Dalam penelitian ini penulis membuat sistematika pembahasan sebagai berikut: BAB I
Merupakan bab pendahuluan yang didalamnya dijelaskan tentang latar belakang munculnya permasalahan penelitian ini, kemudian batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat studi pustaka, metodologi penelitian, studi terdahulu, dan sistematika penulisan.
BAB II
Akan di paparkan mengenai konsep, pemberat hukum pidana dalam pengulangan jarimah menurut hukum islam, dimana bab ini mencangkup tentang Pengertian Jarimah, Macam-macam Jarimah, Pertanggungjawaban Jarimah, Bagaimana Pemberat Pidana Dalam Pengulangan Jarimah.
BAB III
Penelitian ini akan memaparkan mengenai pemberat pidana dalam pengulangan tindak pidana (Recidive) menurut KUHP. Dimana bab ini mencangkup Pengertian Tindak Pidana, Macam-
13
macam Tindak Pidana, Pertanggungjawaban Tindak Pidana, Bagaimana Pemberat Pidana Dalam Pengulangan Pidana. BAB IV
pada bab ini dibahas tentang hukum Pidana Islam terhadap pemberat pidana dalam pengulangan tindak pidana (Recidive). Dimana didalamnya menguraikan analisis terhadap pengulangan tindak pidana, dan analisis pemberat terhadap pengulangan tindak pidana (Recidive), dan perbedaan antara keduanya.
BAB V
Penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari seluruh pembahasan yang penulis kemukakan dalam skripsi ini
14
BAB II PEMBERAT HUKUM PIDANA DALAM PENGULANGAN JARIMAH MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Jarimah Dalam Hukum Islam ada dua istilah yang kerap digunakan untuk tindak pidana ini yaitu Jinayah dan Jarimah, dapat dikatakan Jinayah yang digunakan para fuqaha sama dengan istilah jarimah, ia didefinisikan sebagai laranganlarangan hukum yang diberikan oleh Allah. 11 Jarimah menurut bahasa berasal dari kata ( )ﺟﺮمyang sinonimnya ( ﻛﺴﺐ )وﻗﻄﻊartinya : berusaha dan bekerja, hanya saja pengertian usaha di sini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia. Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik suatu definisi yang jelas, bahwa jarimah itu adalah ارﺗﻜﺎ ب ﻛﻞ ﻣﺎ ھﻮ ﻣﺨﺎ ﻟﻒ ﻟﻠﺤﻖ وا ﻟﻌﺪ ل واﻟﻄﺮ ﯾﻖ اﻟﻤﺴﺘﻘﯿﻢ Melaksanakan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus (Agama). Dari keterangan ini jelaslah bahwa jarimah menurut bahasa artinya melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak baik, dibenci
11
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Asy press Grafika, cet1, Pendahuluan.h.ii.
14
15
oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan jalan yang lurus (agama). Dalam memberikan definisi menurut istilah ini, Imam Al-Mawardi mengemukakan sebagai berikut. اﻟﺠﺮ اﺋﻢ ﻣﺤﻈﻮ رات ﺷﺮ ﻋﯿﺔ زﺟﺮ اﷲ ﺗﻌﺎ ﻟﻰ ﻋﻨﮭﺎ ﺑﺤﺪ او ﺗﻌﺰﯾﺮ Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara, yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan perkataan syara pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara. Juga perbuatan atau tidak berbuat dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila diancam
hukuman
terhadapnya. 12 Dengan memperhatikan definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa kata-kata jinayah dalam istilah fuqaha dianggap sama dengan kata-kata jarimah. Sehingga definisi tindak pidana dalam Islam adalah setiap perbuatan yang diharamkan atau dilarang oleh Allah SAW. Dan Rasulnya, yang membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta, serta diancam oleh Allah SAW. Dengan hukuman Had, qishash, dan ta’zir.
12
Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam PidanaIslam, (Jakarta, CV Indhill, 2008), h. 5.
16
B. Macam-Macam Jarimah Diantara pembagian jarimah yang paling penting adalah pembagian yang ditinjau dari segi hukumnya. Jarimah ditinjau dari segi hukumnya terbagi kepada tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishash dan diat, dan jarimah ta’jir. a. Jarimah Hudud Kata hudud jama dari kata hadd. Menurut bahasa artinya mencegah. Batas rumah (pagar) disebut haddud daar karena mencegah penggabungan dengan yang lain. Penjaga pintu juga disebut haddaad karena ia mencegah orang keluar masuk. Hukuman ini disebut dengan hudud karena bisa mencegah perbuatan keji. Ada yang mengatakan, hukuman tersebut karena Allah SWT membatasi dan menentukan hukuman ini sehingga tidak melebihi atau kurang dari ketentuan.13 Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah hudud itu adalah sebagai berikut.14 a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal. b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang paling dominan.
13
Al Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kipayatul Akhyar,( Jilid III, Bina Ilmu, 1997), h. 63. 14 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), cet 2, h. Pendahuluan x.
17
Oleh karena hukuman had adalah merupakan hak Allah maka hukuman tersebut tidak bisa digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atas keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh Negara. Menurut Abu Ya’la adalah semua jenis sanksi yang wajib diberlakukan kepada pelaku karena ia meninggalkan semua hal yang diperintahkan, seperti sholat, puasa, zakat, dan haji. Adapun hudud dalam katagori yang kedua adalah semua jenis sanksi yang diberikan kepada seseorang karena ia melanggar larangan Allah, seperti berzina, mencuri, dan meminum khamar.15 Hudud jenis kedua ini terbagi menjadi dua, pertama, hudud yang merupakan hak Allah, seperti hudud atas jarimah zina, meminum-minuman keras, pencurian, dan pemberontakan. Kedua hudud yang merupakan hak manusia, seperti had qadzaf dan qishash. Kemudian jika ditinjau dari segi materi jarimah, hudud terbagi menjadi tujuh, yaitu: 1) Jarimah zina. Bentuk hukuman ada tiga yaitu hukuman cambuk/dera/jilid, pengasingan dan rajam. 2) Jarimah qazaf (menuduh zina). Bentuk hukuman yaitu dikenakan dua hukuman, hukuman pokok berupa dera/jilid 80 kali dan hukuman tambahan berupa tidak diterimanya kesaksian yang bersangkutan selama seumur hidup
15
16-17.
M. Nurul Irfan, Masyrofah. Fiqh Jinayah, (Jakarta, Paragonatama Jaya, 2013), cet 1, h.
18
3) Jarimah syurbul khamr (minum-minuman keras). Bentuk hukumannya yaitu di dera dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali. 4)Jarimah pencurian (sariqah). Bentuk hukuman yaitu dipotong kedua tangannya. 5) Jarimah hirabah (perampokan). Bentuk hukuman yaitu ada bentuk hukuman: hukuman mati dan disalib, hukuman mati, hukuman potong tangan dan kaki bersilang, hukuman pengasingan. 6) Jarimah riddah (keluar dari Islam). Bentuk hukumannya adalah hukuman mati. 7) Jarimah Al Bagyu (pemberontakan). Bentuk hukumannnya adalah hukum bunuh.16 b. Jarimah Qishash dan Diat Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash atau diat. Baik qishash maupun diat kedua-duanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaan dengan hukuman had adalah bahwa hukuman had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat adalah hak manusia (hak individual). Di samping itu, perbedaan yang lain adalah karena hukuman qishash dan diat merupakan hak manusia maka hukuman tersebut bisa dimaafkan atau digugurkan oleh korban atau keluarganya, sedangkan hukuman had tidak bisa dimaafkan atau digugurkan.17
16
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung, 2004), h. 12. 17
Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), cet 2, h. 11.
19
Pengertian qishash, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahran adalah, persamaan dan keseimbangan antara jarimah dan hukuman. Sanksi hukum qishash yang diberlakukan terhadap pelaku pembunuhan sengaja (terencana) terdapat dalam firman Allah sebagai berikut:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; (QS : Al-Baqarah : 178) Ayat ini berisi tentang hukuman qishash bagi pembunuhan yang melakukan kejahatan secara sengaja dan pihak keluarga korban tidak memaafkan pelaku. Kalo keluarga korban ternyata memaafkan pelaku, maka sanksi qishash tidak berlaku, dan beralih menjadi hukuman diyat. 18Namunapabila diperluas maka ada lima macam, yaitu 1) pembunuhan sengaja 2) pembunuhan menyerupai sengaja 3) pembunuhan karena kesalahan 4) penganiayaan sengaja 5) dan penganiayaan tidak sengaja19 Pembunuhan sengaja adalah suatu pembunuhan dimana pelaku perbuatan tersebut sengaja melakukan
suatu perbuatan
dan dia menghendaki dari
perbuatannya, yaitu matinya orang yang menjadi korban. Sebab indikator dari 18
Nurul Irfan, Masyrofah. Fiqh Jinayah, (Jakarta, Paragonatama Jaya, 2013), cet 1, h. 5. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 29 19
20
kesengajaan untuk membunuh tersebut dapat dilihat dari alat yang digunakannya, dalam hal ini alat yang digunakan untuk membunuh adalah alat yang galibnya (lumrahnya) dapat mematikan korban, seperti senjata api, senjata tajam, dan sebagainya. Pembunuhan menyerupai sengaja memiliki dua unsur, yaitu unsur kesengajaan dan unsur kekeliruan, unsur kesengajaan terlihat dalam kesengajaan berbuat berupa pemukulan. Unsur kekeliruan terlihat dalam ketiadaan niat membunuh. Dengan demikian pembunuhan tersebut menyerupai sengaja, karena ada kesengajaan dalam berbuat. Dalam pembunuhan karena kesalahan dapat dilihat bahwasannya tidak ada unsur kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang dilarang, dan tindak pembunuhan yang terjadi kurangnya kehati-hatian, atau karena kelalaian dari pelaku. Pembunuhan yang pembunuhnya harus di qishash ada beberapa syarat, yaitu: pembunuhan baliq. Pembunuhan berakal, dan yang dibunuh bukan budak. Qishash artinya balasan yang sepadan. Pembunuhan yang bisa dituntut qishash ialah yang mukallaf dan berakal. Pembunuhan yang terdiri dari anak kecil atau orang-orang yang tidak berakal (seperti gila) tidak boleh dituntut qishash, dan orang Islam yang membunuh orang kafir tidak dituntut qishash.20
20
Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Fikih Islam, (Jakarta, Rineka Cipta), h. 300.
21
c.Jarimah Ta’zir Pengertian ta’zir secara etimologi, ta’zir berasal dari kata azzara yuazziru ta’ziran. Yang artinya mencegah menolak dan mendidik dan memukul dengan sangat. Secara terminologi, hukuman pendidik yang dijatuhkan hakim terhadap tindak pidana atau maksiat yang belum ditentukan hukumannya oleh syari’at, atau telah ditentukan hukumannya, akan tetapi tidak terpenuhi syarat pelaksanaanya seperti: bercumbu selain faraz, dan mencuri yang tidak terpenuhi syarat untuk pemotongan tangan.21 Sebagaimana dikemukakan oleh Al-Mawardi adalah Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara. Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara, dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepada ulil amri. Di samping itu, dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah ta’zir adalah sebagai berikut.22
21 22
12.
Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam, h. 12-13. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), cet 2, h.
22
1. Hukuman tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya, hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan ada batas minimal dan maksimal. 2. Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa (ulil amri). Tujuan
diberikannya
hak
penentuan
jarimah-jarimah
ta’zir
dan
hukumannya terhadap penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak. Jarimah ta’zir disamping ada yang diserahkan penentuannya sepenuhnya kepada ulil amri, dan juga ada yang sudah ditetapkan oleh syara, seperti riba dan suap. Di samping itu juga termasuk kelompok ini, jarimah-jarimah yang sebenarnya sudah ditetapkan hukumannya oleh syara, (hudud) akan tetapi syaratsyarat untuk dilaksanakan hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya pencuri yang tidak sampai selesai atau barang yang dicuri tidak sampai nishab pencurian, yaitu seperempat dinar. Syara tidak menentukan macam-macam hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringanringannya sampai yang seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai macam jarimah ta’zir tidak mempunyai batas tertentu. Juga jenis jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya, sedangkan pada jarimah-jarimah hudud dan qishash diyat sudah ditentukan dan memang jarimah ta’zir tidak mungkin ditentukan jumlanya. Syara hanya menentukan sebagian
23
jarimah-jarimah ta’zir, yaitu perbuatan-perbuatan yang selamanya akan tetap dianggap sebagai jarimah: seperti riba, menggelapi titipan, memaki-maki orang, penyuapan dan sebagainya, sedang sebagian terbesar dari jarimah ta’zir diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya, dengan syarat harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash (ketentuan-ketentuan) syara’ dan prinsip-prinsip umum.23 C. Pertanggungjawaban Jarimah Pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan seseorang dalam akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu. Dalam hukum Islam pertanggungjawaban itu didasari kepada tiga hal:24 1. Adanya perbuatan yang dilarang, 2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan 3. Pelaku mengetahui akibat perbuatan itu. Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat juga pertanggungjawaban. Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban. Dengan demikian, seorang anak tidak dikenaka hukuman Had karena kejahatan yang dilakukan, karena tak ada tanggung jawab hukum atas seorang anak yang berusia h.14.
23
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), cet 2,
24
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar
Grafika, 2004), cet 1, h. 74.
24
berapa pun sampai ia sampai berumur puber, Qodhi hanya akan tetap berhak untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya yang akan membantu memperbaikanya dan menghentikannya dari membuat kesalahan lagi di masa yang akan datang. Menurut Abu Zaid Al-Qayrawani, seorang Ulama Madzhab Maliki, tetap tak akan ada hukuman Had bagi anak-anak kecil bahkan dalam hal tujuan zina yang palsu (Qadzaf) atau justru si anak sendiri yang melakukannya. Kalau seseorang melakukan tindak pidana dalam keadaan sakit saraf (gila) maka ia tidak akan mendapat hukuman. Imam Abu Yusuf berkata bahwa “Hukuman Hadd dapat dikenakan kepada tertuduh setelah ia mengakuinya, jika tidak penjelasan bahwa ia tidak gila, atau mengalami gangguan mental. Bila ternyata dia bebas dari kurungan semacam itu, maka ia harus menjalani hukuman yang berlaku”. Oleh karena itu, Hakim sangat perlu meyakinkan dirinya sendiri dengan pikiran yang jernih atas perkara kriminal itu sebelum dia menyatakan keputusannya. Tidur dianggap sebagai mati kecil, bila ada tindak pidana yang dilakukannya sewaktu dalam keadaan tidur, maka seseorang tidak harus mempertanggungjawabkannya asalkan diyakinkan bahwa hal itu benar-benar dalam keadaan tidur, kasus putra Umar, Ubaidillah, yang melakukan zina
25
terhadap seorang wanita yang sedang tidur, disebutkan secara terperinci dalam bab tentang “Zina” Ubai dihukum, sedangkan si wanita dibebaskan.25 Prinsip yang sama ditegaskan kalau seseorang mengigau ngelindur, berjalan dalam keadaan sedang tidur, meskipun ia tampaknya awas, namun ia tetap tertidur dan berjalan. Jika seseorang melakukan sesuatu perkara pidana dalam keadaan itu, maka secara hukum dia tak bertanggungjawab. Pembebasan pertanggungjawaban terhadap meraka di dasarkan kepada hadis Nabi, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud disebutkan: رﻓﻊ اﻟﻘﻠﻢ ﻋﻦ ﺛﻼﺛﺔ ﻋﻦ اﻟﻨﺎ ﺋﻢ: ﻓﺎ ل رﺳﻮ ل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ: ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺻﻲ اﷲ ﻋﻨﮭﺎ ﻗﺎ ﻟﺖ ﺣﺘﻰ ﯾﺴﺘﯿﻘﻆ وﻋﻦ اﻟﻤﺒﺘﻠﻰ ﺣﺘﻰ ﯾﺒﺮأ وﻋﻦ اﻟﺼﺒﻲ ﺣﺘﻰ ﯾﻜﺒﺮ Artinya: Dari Aisyah ra. Ia berkata: telah bersabda Rasullullah SAW: dihapuskan ketentuan dari tiga hal, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia dewasa. Para ahli Hukum Islam, sebagaimana para ahli hukum Positif, menegaskan bahwa harus ada hubungan sebab akibat (causal relationship) antara akibat seseorang agar seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, mengutip dua contoh Ibn Hazm. 26 1. Seorang pria sedang pergi dengan ibunya dengan mengendarai seekor keledai ketika seorang pria lain datang mengendarai kuda yang menderap dengan
25
Abdur Rahman, Tindak-Tindak Pidana dalam Islam, (Jakarta, Rineka Cipta), h. 16-17 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung, Asy Syaamil Press dan Grafika), cet 1, h. 167. 26
26
kecepatan tinggi. Keledai itu ketakutan sehingga melompat, ibu itupun jatuh dari keledai dan tewas. Putranya mengadukan kepada Khalifah Umar bin Khatab. Umar bertanya, apakah orang tersebut menabrak keledai? lelaki itu menjawab, “Tidak”. Maka Umar berkata, saat bagi ibumu telah tiba, maka tunduklah pada kehendak Allah. 2. Merupakan suatu pembunuhan bagi seseorang yang membuka dam/bendungan sampai menenggelamkan penduduk atau membakar suatu gedung hingga mengakibatkan matinya orang (sanad, 1991: 86). Dalam teori hukum pidana orang tersebut dapat digolongkan memiliki kesengajaan berupa keinsapan kepastian atau kesengajaan sebagai keinsapan kemungkinan. Apabila pertanggungjawaban pidana itu tergantung kepada adanya perbuatan melawan hukum ini bertingkat-tingkat maka pertanggungjawaban itu juga bertingkat-tingkat. Hal itu disebabkan karena kejahatan seseorang itu erat kaitannya dengan niatnya. Perbuatan melawan hukum adakalanya disengaja dan ada kalanya karena kekeliruan, sengaja dibagi kepada dua bagian, yaitu sengaja semata-mata dan menyerupai sengaja, sedangkan kekeliruan juga ada dua macam, keliru sematamata dan perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan. Dengan demikian pertanggungjawaban itu juga ada empat tingkatan sesuai dengan tingkatan perbuatan melawan hukum tadi, yaitu sengaja, semi sengaja keliru, dan yang disamakan dengan keliru.
27
D. Pemberat Pidana dalam Pengulangan Jarimah Dalam hukum Islam, secara bahasa pengulangan tersebut dikenal dengan A’ud berasal dari kata: ﻋﻮ دا- ﯾﻌﻮد-ﻋﺎد Yang mempunyai makna kembali atau mengulang. Jika dirangkaikan dengan kata-kata al-jarimah atau al-jinayah, maka akan mempunyai arti pengulangan jarimah (pengulangan tindak pidana)27 Pengertian pengulangan dalam istilah Hukum Positif dikerjakannya suatu jarimah oleh seseorang, setelah ia melakukan jarimah lain yang telah mendapat keputusan terakhir. Perkataan pengulangan mengandung arti terjadinya sesuatu jarimah beberapa kali dari satu orang yang dalam jarimah sebelumnya telah mendapatk keputusan terakhir. Pengulangan jarimah oleh seseorang, setalah yang jarimah sebelumnya mendapat hukuman melalui keputusan terakhir, menunjukkan sifat membandel dan tidak mempannya hukuman pertama. Oleh karena itu sudah sewajarnya apabila timbul kecendrungan untuk memperberat hukuman-hukuman atas pengulangan jarimah, kecendrungan ini pada masa-masa yang lalu, ditentang oleh
27
Abdul Qodir Audah, at-Tasyri al-Jinai al-Islami,(Kairo: Maktabah Daarul Urubah, 1960)h. 768.
28
beberapa sarjana Hukum Positif. Akan tetapi, pada masa sekarang tidak ada orang yang berkeberatan untuk memperberat hukuman tersebut.28 Hukum pidana Mesir, menggunakan sepenuhnya syarat-syarat tersebut. Dalam Pasal 49 KUHP Mesir, sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi, disebutkan bahwa dianggap sebagai pengulang jarimah adalah orang-orang sebagai berikut.29 1. Orang yang telah dijatuhi hukuman jarimah jinayah, kemudian ia melakukan jinayah atau janhah. 2. Orang yang dijatuhkan hukuman penjara satu tahun atau lebih, dan ternyata ia melakukan suatu jarimah, sebelum lewat lima tahun dari masa berakhirnya hukuman tersebut atau dari masa hapusnya hukuman karena kadaluarsa. 3. Orang yang dijatuhkan hukuman karena jinayah atau janhah dengan hukuman penjara kurang dari satu tahun, atau dengan hukuman denda, dan ternyata ia melakukan janhah yang sama dengan jarimah yang pertama sebelum lewat lima tahun dari masa dijatuhkannya hukuman tersebut. Mencuri, penipuan, dan penggelapan barang dianggap janhah-janhah yang sama. Dalam hukum Pidana Islam, pengulangan jarimah sudah dikenal bahkan sejak jaman Rasullullah SAW.
28
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafik, 2004), cet, 1, h. 164-166
29
Dalam jarimah pencurian misalnya, Rasullullah telah menjelaskan hukuman
untuk pengulangan ini secara rinci. Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dari Abu Hurairah dijelaskan bahwa Rasullullah saw. Bersabda dalam kaitan dengan hukuman untuk mencuri. " ﺛﻢ ان ﺳﺮق ﻓﺎﻗﻄﻌﻮا رﺟﻠﮫ, ﺛﻢ ان ﺳﺮق ﻓﺎﻗﻄﻌﻮا ﯾﺪه, ﺛﻢ ان ﺳﺮق ﻓﺎ ﻗﻄﻌﻮا رﺟﻠﮫ.ان ﺳﺮ ق ﻓﺎ ﻗﻄﻌﻮ ا ﯾﺪه Artinya: Jika ia mencuri potonglah tangannya (yang kanan), jika ia mencuri lagi potonglah kakinya (yang kiri). Jika ia mencuri lagi potonglah tangannya (yang kiri), jika ia mencuri lagi maka potonglah kakinya (yang kanan). Hadis diatas menjelaskan tentang hukuman bagi residivis atau pelaku pengulangan kejahatan dalam tindak pidana pencurian. Namun apabila diperhatikan, dalam hadis tersebut tidak ada pemberat atau penambah hukuman, melainkan hanya menjelaskan urutan saja sejak pencuri yang pertama sampai yang keempat. Pemberatan hukuman terhadap pengulangan ini dapat ditemukan dalam hadis lain, yaitu apabila terjadi pencurian yang kelima kalinya,, lengkapnya hadis tersebut sebagai berikut. اﻧﻤﺎ ﺳﺮق: اﻗﺘﻠﻮه ﻓﻘﺎﻟﻮا: ﺟﻰء ﺑﺴﺎرق اﻟﻰ اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎل: وﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل ﺛﻢ ﺟﻰءﺑﮫ اﻟﺜﺎ ﻟﺜﺔ ﻓﺬﻛﺮ ﻣﺜﻠﮫ" ﺛﻢ: اﻗﺘﻠﻮه" ﻓﺬ ﻛﺮ ﻣﺜﻠﮫ:ﯾﺎ رﺳﻮل اﷲ" اﻗﻄﻌﻮه ﻓﻘﻄﻊ" ﺛﻢ ﺟﻰءﺑﮫ اﻟﺜﺎ ﻧﯿﺔ ﻓﻘﺎل 30
( اﻗﺘﻠﻮه ) اﺧﺮﺟﮫ اﺑﻮ داود واﻟﻨﺴﺎﺋﻰ:ﺟﻰء ﺑﮫ اﻟﺮا ﺑﻌﺔ ﻛﺬ ﻟﻚ" ﺛﻢ ﺟﻰء ﺑﮫ اﻟﺨﺎ ﻣﺜﺔ ﻓﻘﺎ ل
Artinya: Dari jabir ra ia berkata: seorang pencuri telah di bawa kehadapan Rasulullah saw. Maka Nabi bersabda: Bunuhlah ia. Para sahabat berkata: Ya Rasulullah ia hanya mencuri. Nabi mengatakan: potonglah tangannya. Kemudian ia dipotong. Kemudian ia dibawa lagi untuk kedua kalinya. Lalu Nabi mengatakan bunuhlah ia. Kemudian disebutkan seperti tadi, kemudian ia di bawa untuk ketiga kalinya maka nabi menyebutkan seperti tadi. Kemudian ia dibawa lagi untuk ke empat 30
Ibnu Hajar Asqolani, Kitab Bulughul Maram, h 278.
30
kalinya dan nabi mengatakan seperti tadi. Akhirnya dia dibawa lagi untuk kelima kalinya. Lalu nabi mengatakan: bunuhlah ia. (Hadis dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i) Meskipun pengulangan tersebut sudah di jelaskan dalam hadis di atas, namun tidak ada keterangan yang menjelaskan persyaratan dan lain-lain.31 Selanjutnya dalam hukum pidana khamar, sebagaimana yang telah di riwayatkan yaitu: Artinya: Dari Abdullah bin Amru bin al-Ash berkata: bahwa Rasullullah saw bersabda: barang siapa yang meminum khamar (Arak) maka jilidlah ia, jika ia mengulangi lagi maka jilidlah ia, jika ia mengulangi lagi maka jilidlah ia, jika ia mengulangi lagi yang keempat kalinya, maka bunuhlah ia”, (HR Ahmad) Apabila peminum khamar telah melakukan pengulangan dalam jarimah khamar padahal sudah pernah diberikan sanksi, maka pada jarimah tersebut pelakunya diberikan pemberatan dari dipukul kemudian dijilid, dari pengertian hadis diatas bahwa dalam memberikan pemberat hukuman
terhadap pelaku
pengulangan tindak pidana (a’ud) bahkan dapat juga dalam bentuk hukuman mati.32 Dengan melihat beberapa aspek di atas, dalam Hukum Islam orang yang melakukan tindak pidana harus dijatuhkan hukuman yang telah ditetapkan atas apa yang telah dilakukan, namun bila pelaku mengulangi tindak pidana yang 31
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), cet 1, h. 166. 32 M. Hasbi Asshidiqi, Koleksi Hadis-hadis Hukum, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), cet, ke III, Jilid IX, h. 193.
31
pernah dilakukannya, hukuman yang dijatuhkan kepadanya akan diperberat, apabila ia terus melakukan perbuatan tersebut, ia dapat dijatuhkan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup. Kewenangan untuk menentukan hukuman tersebut diserahkan kepada pengusaha dengan memandang kondisi tindak pidana dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
32
BAB III PEMBERAT PIDANA DALAM PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) MENURUT KUHP A. Pengertian Tindak Pidana Dan istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetepi dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya. Oleh karena itu “Tindak Pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khusus. Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunyaasas-asas hukum pidana di Indonesia memberikan definisi “ tindak pidana”atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya
merupakan istilah resmi dalam
Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict.
32
33
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.33 Sedangkan dalam buku Pelajaran Hukum Pidana karya Drs. Adami Chazawi, S.H menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit “, tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.34 Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatanperbuatan apa yang dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. Perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana adalah: Pembunuhan, penipuan, pencurian, perampokan, penganiayaan, pemerkosaan, dan korupsi.
33
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), cet 3, h. 58. 34
h. 67.
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002),
34
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (WvS) telah menetapkan jenis-jenis pidana yang termaktub dalam pasal 10. Diatur dua pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, Jenis-jenis pidana menurut pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut. a. Pidana mati Baik berdasarkan pada pasal 69 maupun berdasarkan hak yang tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana yang terberat. Karena pidana ini merupakan pidana terberat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini berada di tangan tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pro dan kontra, bergantung kepada pementingan cara memandang pidana mati itu sendiri.35 Selain itu kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialah apabila telah dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atau jenis pidananya atau perbaikan atas diri terpidananya apabila kemudian penjatuhan pidana ini terdapat kekeliruan, baik kekeliruan terhadap orang maupun pembuatannya/petindaknya,
atau
kekeliruan
atas
tindak
pidana
yang
mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan atau juga kekeliruan atas kesalahan terpidana. Sebelum pembentuk Undang-undang pada saat ini telah menyadari akan sifat pidana mati sebagaimana yang telah diutarakan tersebut. Oleh karena itu, dalam KUHP, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati hanyalah
35
Adami Chazawi, Stelsel Pidana, Tindak pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grapindo Persada, 2008), h. 29.
35
pada kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang jumlahnya sangat terbatas, seperti.36 1. Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan Negara (104, 111 ayat 2, 124 ayat 3 jo 129). 2. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang-orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya: 140 (3), 340. 3. Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang sangat memberatkan (365 ayat 4, 368 ayat 2). 4. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai, dan pantai (444). Disamping itu, sesungguhnya pemberat KUHP sendiri telah memberikan suatu isarat bahwa pidana mati tidak dengan mudah dijatuhkan. b. Pidana Penjara Dibawah ini dapat disimak beberapa hal sehubungan dengan ketentuan pidana penjara yang dapat menjadi jus constituendum, yaitu sebagai berikut. a. Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu. Waktu tertentu paling lama dijatuhkan lima belas tahun atau paling singkat satu hari, kecuali ditentukan minimum khusus. b. Jika dipilih pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, atau jika ada pemberatan atas tindak pidana yang dijatuhkan pidana penjara lima belas tahun maka pidana penjara bisa dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturutturut.
36
Adami Chazawi, Stelsel Pidana, Tindak pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grapindo Persada, 2008), h.. 31.
36
c. Jika pidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang sepuluh tahun pertama dengan berkelakuan baik, mentri kehakiman dapat mengubah sisa pidana tersebut menjadi pidana penjara paling lama lima belas tahun. c. Pidana kurungan Dalam beberapa hal pidana kurungan sama dengan pidana penjara, yaitu sebagai berikut. 1. Sama, berupa pidana hilang kemerdekaan bergerak. 2. Mengenal maksimum 1 tahun umum, maksimum 1,4 tahun khusus dan minimum 1 tahun umum dan tidak mengenal minimum khusus. Maksimum umum pidana penjara 15 tahun yang karena alasan-alasan tertentu dapat diperpanjang menjadi maksimum 20 tahun, dan pidana kurungan 1 tahun yang dapat diperpanjang maksimum 1 tahun 4 bulan. 3. Orang yang dipidana kurungan dan pidana penjara diwajibkan untuk menjalankan pekerjaan tertentu walaupun nara pidana kurungan lebih ringan dari pada nara pidana penjara. 4. Tempat menjalani pidana penjara sama dengan tempat menjalani pidana kurungan walaupun ada sedikit perbedaan yaitu harus dipisah (pasal 28). 5. Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku apabila terpidana tidak ditahan yaitu pada hari putusan hakim (setelah mempunyai keputusan tetap) dijalankan/dieksekusi, yaitu pada saat pejabat kejaksaan meekekusi dengan cara melakukan tindak pidana paksa memasukan terpidana ke dalam lembaga kemasyarakatan.
37
d. Pidana Denda Hal yang menarik dalam pidana denda antara lain ditetapkannya jumlah denda berdasarkan katagori dan pembayaran denda dapat diangsur. Pokok-pokok pidana denda sesuai rancangan KUHP yang dimaksud adalah sebagai berikut.37 a. Apabila tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit seribu lima ratus rupiah. b. Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan katagori, yaitu: 1. Katagori 1, seratus lima puluh ribu rupiah, 2. Katagori II, tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, 3. Katagori III, tiga juta rupiah, 4. Katagori IV, tujuh juta lima puluh ribu rupiah, 5. Katagori V, tiga puluh juta rupiah, 6. Katagori VI, tiga ratus juta rupiah. c. Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah katagori lebih tinggi berikutnya. d. Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidan yang diancam dengan:
37
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), h. 20.
38
1. Pidana penjara paling banyak tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun adalah denda katagori V. 2. Pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun adalah katagori VI, 3. Pidana denda paling sedikit adalah katagori IV. e. Pidana tutupan Pidana tutupan ini ditambahkan ke dalam pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 tahun 1946, yang maksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang melakukan kejahatan itu cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim menentukan bahwa pidana penjara lebih tepat. 1.Jenis-jenis Pidana Tambahan Sebagaimana telah disebut dimuka, berkaitan dengan pidana tambahan yang ternyata lebih banyak dibandingkan dengan KUHP.38 a. Pencabutan Hak-hak Tertentu Dari judul ini mudah dimengerti bahwa tidak dimungkinkan untuk mencabut semua hak-hak dari terdakwa. Dahulu telah dikenal diancamkan sebagai tindak pidana tambahan, bagi pelaku dari kejahatan sangat berat.
38
Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), h. 22.
39
Walaupun pidana tambahan ini dicantumkan dalam buku I ketentuan umum, tidak berarti bahwa pidana tambahan ini dapat ditambahkan untuk setiap pemidanaan. Lihatlah kembali uraian pada no 217 a. Sedangkan apa yang dimaksud dengan pekerjaan (beroep) tertentu adalah pekerjaan sehari-hari yang dilakukan oleh seseorang sebagai mata pencahariannya yang bukan merupakan jabatan dan pegawai negeri. Misalnya: tukang pangkas, tukang gambar, wartawan, pedagang dan lain sebagainya. Hak-hak menjalankan kekuasaan bapak, kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu dan pengampu pengawas, baik atas anak sendiri (ayat 1 sub ke-5) maupun atas orang lain (ayat 1 ke-4) dapat dicabut bila terjadi pemidanaan karena: a. Pemegang hak tersebut dengan sengaja melakukan kejahatan bersama, sama dengan anak yang kurang cukup umur yang berada di bawah kekuasaannya. b. Pemegang hak tersebut melakukan kejahatan penggelapan asal-usul, kesusilaan, meninggalkan seseorang padahal memerlukan pertolongan, perampasan kemerdekaan, perampasan jiwa, atau penganiayaan terhadap anak yang kurang cukup umur yang berada dibawah kekuasaannya. Hak tersebut dapat juga dicabut apabila ditentukan secara tegas untuk sesuatu tindak pidana tertentu. Pengecualian terhadap kebolehan pencabutan hak tersebut ditentukan bahwa hakim pidana tidak boleh melakukan pencabutan tersebut,
40
apabila terhadap terdakwa/terpidana berlaku aturan undang-undang hukum perdata terhadap pencabutan tersebut. Hak memilih dan dipilih dapat dicabut adalah hak-hak yang diatur diadakan berdasarkan aturan-aturan umum seperti menjadi pemilik atau calon anggota perwakilan rakyat, pemilih atau calon pamongpraja dan lain sebagainya. 39 Di luar hak-hak yang ditentukan dalam pasal 35 tersebut, hakim tidak berwenang mencabutnya sebagai pidana tambahan. Hak menjadi suami/istri hak memeluk suatu agama, hak berpolitik dan lain sebaginya tidak boleh dicabut. b. Pidana Perampasan Barang-barang Tertentu. Salah satu ketentuan yang menarik adalah dapat dijatuhkannya pidana tambahan ini tanpa dijatuhkannya pidana pokok. Pidana ini dapat dijatuhkan apabila ancaman pidana penjara tidak lebih dari tujuh tahun atau jika terpidana hanya dikenakan tindakan. c. Pengumuman Putusan Hakim Dalam hal diperintahkan supaya putusan diumumkan maka harus ditetapkan cara melaksanakan perintah tersebut dan biaya pengumuman yang harus ditanggung oleh terpidana, namun apabila biaya pengumuman itu tidak dibayar oleh terpidana maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda. B. Macam-macam Tindak Pidana Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam macam-macam tertentu atau mengklasifikasikannya dapat sangat bermacam-macam sesuai 39
S.R.Siantari, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (BPK Gunung Mulia,1996), h. 70-71.
41
dengan kehendak yang mengklasifikasikannya atau mengelompokan, yaitu menurut dasar apa yang diinginkan demikian halnya dengan tindak pidana. KUHP sendiri telah mengklasifikasikan tindak pidana dalam dua kelompok besar dalam buku kedua dan ketiga masing-masing menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran.40 1. Kejahatan dan Pelanggaran Penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan adalah rumusan delikyang biasanya disebut delik hukuman, ancaman hukumannya lebih berat. Tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan pelanggaran, semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang sepenuhnya memuaskan. Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan wetsdelick atau delik Undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri dan sebagainya. Sedangkan delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh Undang-undang,
misalnya
saja
keharusan mempunyai SIM
bagi
yang
mengendarai kendaraan bermotor, atau mengenakan helm ketika mengendarai sepeda motor. Disini tidak tersangkut lagi masalah keadilan. 2. Delik Formal (Formil) dan Delik Material (Materiil) Pada umumnya rumusan delik di dalam KUHP merupakan rumusan yang selesai, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya.
40
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Kharisma Putra Utama Offset, 2012), cet 3, h. 57-58
42
Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak dipermasalahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya hanya merupakan aksidentelia (hal yang kebetulan). Contoh delik formal adalah Pasal 362 (pencurian). Jika seorang telah melakukan perbuatan telah mengambil dan seterusnya, dalam delik pencurian sudah cukup. Juga jika penghasutan sudah dilakukan, tidak peduli apakah yang dihasut benar-benar mengikuti hasutan itu. Sebaliknya di dalam delik material titik beratnya pada akibat yang dilarang, delik itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah. Contohnya adalah Pasal 338 (pembunuhan), yang terpenting adalah matinya seseorang. Caranya boleh dengan mencekik, menusuk, menembak, dan sebagainya. 3. Delik Dolus dan Delik Kulpa Dolus dan kulpa merupakan bentuk kesalahan (schuld) yang akan dibicarakan tersendiri di belakang. Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas, dengan sengaja, tetapi mungkin dengan kata-kata lain yang senada, seperti diketahuinya, dan sebagainya. Contohnya adalah Pasal-pasal 162, 197, 310, 338, dan lebih banyak lagi. Delik kulpa di dalam rumusannya memuat unsur kealpaan, dengan kata, karena kealpaannya, misalnya pada Pasal 359, 360, 195. Di dalam beberapa terjemahan kadang-kadang dipakai istilah karena kesalahannya.
43
4. Delik Aduan dan Delik Biasa (Bukan Aduan) Delik aduan (klachtdelict) adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau terkena. Misalnya penghinaan, perzinahan, pemerasan. Jumlah delik aduan ini tidak banyak terdapat di dalam KUHP. Siapa yang dianggap berkepentingan, tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang ada. Untuk perjinahan misalnya, yang berkepentingan adalah suami dan istri yang bersangkutan. Terdapat dua jenis delik aduan absolute, yang penuntutannya hanya berdasarkan pengaduan, dan delik aduan relative di sini karena adanya hubungan istimewa antara pelaku dan korban, misalnya pencurian dalam keluarga (Pasal 367 ayat (2) dan (3).) C. Pertanggungjawaban Tindak Pidana 1. Kesalahan dalam Hukum Pidana Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak pidana tidak masuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya suatu perbuatan. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan. Ini
44
berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.41 Berdasarkan hal tersebut di atas Sudarto, juga menyatakan hal yang sama, bahwa: “dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang tidak dibenarkan (an objective breach of a panel provision), namun hal tersebut tidak memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt).
Dengan
perkataan
lain,
orang
tersebut
harus
dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatan baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.42 Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa, di sini berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan” Ruslan Saleh menyatakan, seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi kemasyarakatan, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak ingin berbuat demikian. Apabila dikaji lebih lanjut pengertian kesalahan menurut beberapa ahli hukum pidana ternyata terdapat beberapa pandangan.
48.
41
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, (Bandung, Nusa Media, 2010), h.
42
Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, (Bandung, Nusa Media, 2010), 18.
45
Jonkers dalam keterangan tentang kesalahan membuat pembagian atas tiga bagian dalam pengertian kesalahan: 1. Selain kesengajaan dan kealpaan (opzet of schuld) 2. Meliputi juga sifat melawan hukum (de wederrechtelijkheid), 3. Kemampuan bertanggungjawab (de toerekenbaarhed) Sedangkan yang mempunyai pandangan yang memisahkan antara tindak pidana dan kesalahan dengan unsurnya masing-masing (pandangan dualistis), dapat dikemukakan pandangan dan Vos, yang memandang pengertian kesalahan mempunyai tiga tanda khusus yaitu: 1. Kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaaheid van de dader), 2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatan itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan, 3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapus tanggungjawab bagi si pembuat atas perbuatannya itu. Mengenai hakikat kejahatan, Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila di lihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal,sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran.
46
Ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat yakni. pertama pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak seronoh yang di lakukan manusia lainya. Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat. Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal maka ukuran-ukuran tersebut
tidak
berlaku
baginya
tidak
ada
gunanya
untuk
diadakan
pertanggungjawaban sebagaimana ditegaskan ketentuan Bab III Pasal 44 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:43 1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. 2. Jika hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim bisa memerintahkan supaya orang itu dimasukan kerumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. 3. Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. b. Kesalahan dan Konsep Pertanggungjawaban Pidana Setiap sistem hukum moderen seyogianya, dengan berbagai cara, mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik dalam konsep maupun implementasi.
43
KUHP, Bab III Pasal 44, Jiwa yang Tidak Sehat dan Normal Tidak Adanya Pertanggungjawaban.
47
Baik Negara-negara Civil Law maupun Camman law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.44 Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang menentukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama berpengaruh pada hakim, hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif, hakim harus mempertimbangkan hal itu, sekalipun penuntut umum tidak membuktikannya. Sebaliknya jika terdakwa melakukan pembelaan yang berdasarkan pada alasan yang menghapus kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk memasuki masalah lebih dalam. Dalam hal ini hakim berkewajiban untuk memasuki masalah lebih jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan-keadaan khusus dari peristiwa tersebut, yang kini diajukan sebagai alasan penghapus kesalahannya. Walaupun terdakwa tidak
mengajukan pembelaan berdasarkan
alasan penghapus kesalahan perlu diperhatikan hal ini tidak ada pada diri terdakwa ketika melakukan tindak pidana. Dalam
menentukan
pertanggungjawaban
pidana
hakim
harus
mempertimbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimasukan kedalam surat dakwaan oleh penuntut umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan pembelaan. hal ini mengakibatkan
44
perlunya sejumlah ketentuan tambahan
Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, (Jakarta, Sinar Grafika, 1983), h. 260.
48
mengenai hal ini, baik dalam hukum pidana materiil (KUHP), apalagi dalam hukum formalnya (KUHAP). a. Kesengajaan Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja. 45 b. Culpa Arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya” tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhatihati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.46 D. Pemberatan Dalam Pengulangan Pidana (Recidive). Pengulangan atau residivis terdapat dalam hal seseorang telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, di antara perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan.47 Pertanyaan sangat mirip dengan gabungan beberapa perbuatan yang dapat dihukum dan dalam pidana mempunyai arti, bahwa pengulangan merupakan dasar yang memberatkan hukuman. Ini merupakan dasar pemberat pidana. Pengertian residivis menurut Mahrus Ali, adalah kelakuan seseorang yang mengulang perbuatan pidana dan itu 45
Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, PT Refika Aditama, 2003), h. 66. 46
Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, PT Refika Aditama, 2003), h. 72. 47 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grafindo Permai, 2011), h. 191.
49
yang dijatuhkan pidana dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuasaan hukum tetap karena perbuatan pidana yang telah dilakukan lebih dahulu.48 Menurut doctrine, dari sudut sifatnya sistem residivis itu dapat dibagi dalam:49 1. Generale residivis atau (recidive umum). Residivis umum adalah melakukan kejahatan terhadap kejahatan mana telah dijatuhkan hukuman maka apabila ia telah melakukan kejahatan lagi yang merupakan bentuk kejahatan apapun, ini dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memperberat hukuman. Contoh: A melakukan kejahatan pencurian, karenanya ia dijatuhkan hukuman. Setelah ia dijatuhkan hukuman itu, ia kembali dalam masyarakt. Akan tetapi A melakukan kejahatan kembali yaitu penganiayaan terhadap B. Berdasarkan residivis ini perbuatan penganiayaan itu dapat merupakan alasan untuk memperberat hukuman yang dijatuhkan atas dirinya. 2. Special residivis atau (recidive khusus). Residivis khusus adalah seseorang melakukan kejahatan, dan terhadap kejahatan itu dijatuhkan oleh hakim. Kemudin ia melakukan kejahatan lagi yang sama (sejenis) dengan kejahatan pertama, maka persamaan kejahatan yang dilakukan kemudian itu merupakan dasar untuk memberatkan hukuman. Akan tetapi perlu pula diketahui, bahwa residivis harus memenuhi beberapa syarat. 48
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011), h.139-140. Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 2, Balai Lektur Mahasiswa, tth, hlm. 186-187. 49
50
Dan syarat-syarat yang dimaksud adalah: 1. Terhadap kejahatan yang pertama yang telah dilakukan harus telah ada keputusan hakim yang mengandung hukuman. 2. Keputusan hakim tersebut harus merupakan keputusan yang tidak dapat diubah lagi, artinya yang mempunyai keputusan akhir. Ini tidak berarti bahwa hukum ini harus sudah dijalani seluruhnya. 3. Didalam pasal 486 dan pasal 487 ditentukan, bahwa hukuman yang dijatuhkan berhubungan dengan perbuatan yang pertama harus merupakan hukuman penjara, sedang di pasal 488 “tidak” ditentukan hukuman apa yang telah dijatuhkan dalam perbuatan yang pertama. 4. Jangka waktu antara kejahatan yang diulangi kemudian, dan hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan yang pertaman, jangka waktu adalah lima tahun. Pada tanggal 2 januari 1951, setelah ia menjalani hukuman seluruhnya, A dibebaskan. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1952, A melakukan perbuatan penggelapan. Dengan demikian jangka waktu antara tanggal 2 Januari 1951 dan saat perbuatan kedua masih terletak kurang dari lima tahun, dan atas dasar pasal 486, hukuman atas diri A berhubungan dengan perbuatan yang kedua tadi, dapat ditambah dengan sepertiga. Akan tetapi, setelah ia dibebeskan pada tanggal 2 Januari 1951, pada tanggal 10 Januari 1956 melakukan penipuan, maka atas diri A tidak boleh dijatuhkan hukuman yang terberat karena setelah dijatuhkan hukuman yang kedua itu telah terletak diluar jangka waktu.
51
Akan tetapi, apabila mereka ternyata mengulang kembali melakukan kejahatan, hal ini membuktikan bahwa mereka itu tidak dapat ditakut-takuti lagi. Kriminologi menganggap, bahwa dasar hukum bagi residivis kurang tepat, berhubung seseorang yang telah menjalani hukuman sudah tidak takut lagi menjalani hukuman. Akan tetapi, ancaman hukuman berat itu akan menakutnakuti justru orang yang belum pernah menjalani hukuman, hingga orang itu akan takut untuk melakukan sesuatu kejahatan. Perlu dijelaskan bahwa selain ketentuan umum tentang residivis yang ditentukan di dalam pasal-pasal 486, 487 dan 488 KUHP, terdapat dalam berbagai pasal KUHP tentang pemberatan atau penambahan pidana berdasarkan pengulangan, seperti yang diatur di dalam pasal-pasal 137 lid 2, 216 lid 3, 489 lid 1, 492 lid 2, 523 lid 2, 536 lid 2, 3 dan 4 WVS, yang jangka waktu lampau jangka waktunya lebih pendek (Jinkers 1946 : 175). Selain itu masih terdapat dasar penambahan pidana karena adanya berbagai keadaan khusus, misalnya yang terdapat di dalam pasal-pasal 356, 361 dan 412 dan sebagainya. Adapun Speciale recidive, pengulangan khusus jumlahnya sangat terbatas. Misalnya pasal 137 ayat 2 KUHP menyatakan bahwa kalau terpidana melakukan kejahatan penghinaan kepada wakil presiden atau wakil presiden yang dilakukan dalam jabatannya dan belum lagi berlalu dua tahun setelah pidana yang dijatuhkan pertama sudah memperoleh kekuatan tetap, maka residivis ini dapat dipecat dari jabatannya. Pasal 216 (3) KUHP berupa kejahatan kalau diulang dilakukan dan
52
belum berlalu dua tahun sejak putusan pertama sudah mempunyai kekuatan hukum tetap maka pidana dapat ditambah sepertiganya. Selanjutnya pasal 492 (2) dan pasal 536 (2), (3) dan (4) menentukan lampau waktu residivis ialah satu tahun, dan kalau terjadi pengulangan pelanggaran tersebut maka pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan, yang merupakan pemberatan pidana. Dasar Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam pasal 52 KUHP yang rumusan lengkapnya adalah: “Bilamana seorang pejabat kerena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga”. 50 Dasar pemberat pidana tersebut dalam pasal 52 ini adalah terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pemberat (pejabat atau pegawai negeri) mengenai 4(empat) hal, ialah dalam melakukan tindak pidana dengan: a. Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatan, b. Memakai kekuasaan jabatan, c. Menggunakan kesempatan karena jabatannya, d. Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatan. Tetapi pemberat pidana berdasarkan pasal 52 ini tidak berlaku pada kejahatan-kejahatan jabatan maupun pelanggaran jabatan tersebut, melainkan
50
Adami Chazawi, penafsiran Hukum Pidana Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Pidana Kejahatan Aduan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet 1, h. 73.
53
berlakunya pada kejahatan dan pelanggaran yang lain, sebabnya ialah pidana yang diancamkan pada kejahatan jabatan dan pelanggaran jabatan karena dari kualitasnya sebagai Pegawai Negeri itu telah diperhatikan. Jadi pemberat pidana berdasarkan pasal 52 ini berlaku umum seluruh jenis dan tindak pidana, kecuali pada kejahatan dan pelanggaran jabatan seperti yang diterangkan diatas, tetapi ada perbedaan antara tindak pidana dengan memperberat atas dasar pasal 52 ini dengan kejahatan dan pelanggaran jabatan. Pengulangan delik berdasarkan pengelompokan menurut pasal 486, 487, dan 488 KUHP lampau waktu untuk pengulangan seperti telah diuraikan adalah lima tahun. Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus hipotesis sebagai berikut: A dijatuhi pidana oleh Pengadilan Negeri Ujung Pandang tahun 1985 karena dinyatakan terbukti telah mencuri barang lain. Putusan ini telah menjadi res judikata, mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pada tahun 1991 A melakukan penggelapanbarang orang lain. Dalam hal tersebut ketentuan pengulangan yang diatur dalam pasal 486 KUHP tidak dapat dilakukan kepada terdakwa A, karena sudah lampau lima tahun sejak ia dijatuhkan pidana, sekalipun kejahatan pertama pencurian dan kejahatan kedua penggelapan adalah sekelompok, yaitu golongan delik terhadap harta benda yang disebut secara limitatif di dalam pasal 486 KUHP.
54
Adapun dasar hukuman adalah bahwa, orang yang demikian itu membuktikan telah mempunyai tabiat yang jahat, dan oleh sebab itu dianggap merupakan bahaya bagi masyarakat dan bagi ketertiban umum.51 Apabila ketiga pasal yaitu pasal. 486,487, dan 488, penggolongan jenis-jenis kejahatan yang dapat digunakan berdasarkan pengulangan atau residivis adalah sebagai berikut:52 a. Pasal 486: kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan: dengan maksud mencari keuntungan yang tidak layak. Yang menggunakan tipu muslihat. b. Pasal 487: kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan: terhadap badan dan jiwa seseorang, kekerasan terhadap seseorang. c. Pasal 488: kejahatan- kejahatan yang dilakukan dengan perbuatanperbuatan yang bersifat penghinaan. Selain dibedakan antara bentuk pengulangan umum dan pengulangan khusus, dalam doktrin hukum pidana juga dikenal adanya bentuk pengulangan kebetulan (accidentally reddive) dan pengulangan kebiasaan (habitual reddive). Pengulangan kebetulan maksudnya pembuat melakukan tindak pidana yang kedua kalinya itu disebabkan oleh hal-hal yang bukan karena sifat atau perangainya yang buruk, akan tetapi oleh sebab-sebab lain yang memang dia tidak mampu mengatasinya, misalnya karena akibat dari kehilangan pekerjaan dari sebab masuk Lembaga Pemasyarakatan (LP) karena mencuri uang majikannya, setelah keluar
51
SatochidKartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 2, Balai Lektur Mahasiswa, tth, hlm. 185. 52 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grafindo Permai, 2011), h. 184.
55
LP dia mencuri sepotong roti karena kelaparan, dalam hal seperti ini sepatutnya tidak dijadikan alasan pemberat pidana. Berbeda denga;pengulangan karena kebiasaan, yang menunjukkan perangai yang buruk. Tidak jarang narapidana yang setelah keluar LP tidak menjadikan perangai yang lebih baik, justru pengaruh pergaulan di dalam LP menambah sifat buruknya, kemudian melakukan kejahatan lagi, dan disini memang wajar pidananya diperberat. Namun KUHP tidak membedakan antara dua jenis pengulangan yang dibicarakan terakhir ini.53 Pemidanaan terhadap residivis adalah maksimum pidana dengan ditambah 1/3 dari pasal yang bersangkutan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas pengulangan diatur dalam KUHP sebagai dasar pemberat hukuman, sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa pengulangan tidak dapat diperlukan terhadap setiap tindak pidana.
53
Abdillah Munir, Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Penambahan 1/3 Hukuman karena Pengulangan Tindak Kejahatan (Recidive) dalam Pasal 486. Skripsi S1 IAIN Walisong Semarang, 2010.
56
BAB IV
ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBERAT PIDANA DALAM PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) MENURUT (KUHP) A. Analisis Terhadap Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) Sebagaimana pembahasan terdahulu dalam pasal-pasal yang telah ditentukan, residivis tidak hanya membahas ketiga pasal yaitu pasal. 486,487, dan 488, penggolongan jenis-jenis kejahatan yang dapat digunakan berdasarkan pengulangan atau residivis adalah sebagai berikut: a. Pasal 486: kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan: dengan maksud mencari keuntungan yang tidak layak. Yang menggunakan tipu muslihat. b. Pasal 487: kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan: terhadap badan dan jiwa seseorang, kekerasan terhadap seseorang. c. Pasal 488: kejahatan- kejahatan yang dilakukan dengan perbuatanperbuatan yang bersifat penghinaan. Tetapi perlu diketahui bahwa selain ketentuan umum tentang residivis yang ditentukan di dalam pasal-pasal 486, 487 dan 488 KUHP, terdapat dalam berbagai pasal KUHP tentang pemberatan atau penambahan pidana berdasarkan pengulangan, seperti yang diatur di dalam pasal-pasal 137 lid 2, 216 lid 3, 489 lid
56
57
1, 492 lid 2, 523 lid 2, 536 lid 2, 3 dan 4 WVS, yang jangka waktu lampau jangka waktunya lebih pendek (Jinkers 1946 : 175). Begitu juga melakukan kejahatan dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan dirumuskan dengan pasal 52 a, KUHP yang bunyi lengkapnya adalah: “Bilamana pada waktu melakukan kejahatan menggunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga”. Menurut asas yang dipergunakan oleh KUHP, kejahatan-kejahatan yang diatur itu dibagi dalam golongan-golongan menurut sifatnya yang oleh KUHP dianggap sama. Dengan melihat pasal-pasal yang telah ditentukan diatas, maka kita harus mengetahui
bagaimana
alasan-alasan
seorang
residivis
(pengulangan).
diantaranya:Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana, Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh Negara karenatindak pidana yang pertama, dan Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan, didalam pasal 486 dan pasal 487 ditentukan, bahwa hukuman yang dijatuhkan berhubungan dengan perbuatan yang pertama harus merupakan hukuman penjara, sedang di pasal 488 “tidak” ditentukan hukuman apa yang telah dijatuhkan dalam perbuatan yang pertama, jangka waktu antara kejahatan yang diulangi kemudian, dan hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan yang pertaman, jangka waktu adalah lima tahun. Adapun alasan hukuman dari pengulangan sebagai dasar hukuman bahwa, seorang yang telah dijatuhkan hukuman dengan mengulang lagi kejahatan,
58
membuktikan bahwa ia telah memiliki tabiat yang jahat, dan oleh sebab itu dianggap merupakan bahaya bagi masyarakat dan bagi ketertiban umum. Pemidanaan terhadap residivis adalah maksimum pidana dengan ditambah 1/3 dari pasal yang bersangkutan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas pengulangan diatur dalam KUHP sebagai dasar pemberat hukuman, sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa pengulangan tidak dapat diperlukan terhadap setiap tindak pidana. Hukuman yang ada dalam KUHP ini kalau di lihat dari penomenapenomena sekarang ini bukan semangkin membaik, melainkan tidak adanya keadilan dalam menjatuhkan hukuman, dan hukuman di Indonesia ini hanya bersifat sementara dan mendidik saja, efek jera yang dialami terdakwa tidak ada melainkan selesai seorang dihukum bukan menimbulkan sifat membaik melainkan memburuk, beda halnya dalam hukum Islam. B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberatan Pengulangan Tindak Pidana (Recidive). Pengertian pengulangan dalam istilah Hukum Islam dikerjakannya suatu jarimah oleh seseorang, setelah ia melakukan jarimah lain yang telah mendapat keputusan terakhir. Perkataan pengulangan mengandung arti terjadinya sesuatu jarimah beberapa kali dari satu orang yang dalam jarimah sebelumnya telah mendapatkan keputusan terakhir.54
54
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), cet 1, h. 163-164.
59
Seperti telah diketahui, dasar hukuman menurut teori relatif atau teori tujuan (relative of doel theorie) adalah merupakan tujuan hukum dan tujuan hukuman antara lain mencegah kejahatan atau prevensi. Dan Pengulangan menurut sifatnya terbagi dalam dua jenis Residivis umum dan Residivis khusus.55 Persamaan jenis kejahatan tersebut merupakan dasar pemberatan hukuman.Seseorang melakukan kejahatan dan terhadap kejahatan itu dijatuhkan hukuman oleh hakim. Dalam memberikan sanksi a’ud itu, harus diperhatikan aspek-aspek penting yang berkaitan dengan syarat dan rukunnya. Dalam masalah ini mengemukakan beberapa syarat untuk dapat diperlakukannya hukuman ini, yaitu sebagai berikut. Pelakunya sama dan berakal sehat, pencuri tidak dilakukan karena pelakunya sangat terdesak oleh kebutuhan hidup, tidak terdapat hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku, tidak ada unsur syubhat dalam hal kepemilikan, pencurian tidak terjadi pada saat peperangan di jalan Allah, mengambil barang curian lebih dari ¼. Dalam hukum Pidana Islam, pengulangan jarimah sudah dikenal bahkan sejak zaman Rasullullah SAW. Dalam jarimah pencurian misalnya, Rasullullah telah menjelaskan hukuman untuk pengulangan ini secara rinci. Dalam sebuah
55
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1983), h. 62.
60
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dari Abu Hurairah dijelaskan bahwa Rasullullah saw. Bersabda dalam kaitan dengan hukuman untuk mencuri. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﯿﺪ ﺑﻦ ﺳﻠﯿﻤﺎن ﺣﺪﺛﻨﺎ ھﺸﯿﻢ ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺧﻠﺪ اﻟﻘﺮﺳﻲ ﻋﻦ داودﺑﻦ ﺣﺼﯿﻦ ﻋﻦ ﻋﻜﺮ ﻣﺔ ﻋﻦ اﺑﻲ ﺛﻢ ان ﺳﺮق, ﺛﻢ ان ﺳﺮق ﻓﺎ ﻗﻄﻌﻮا رﺟﻠﮫ.ھﺮﯾﺮة ﻗﺎل رﺳﻮ اﷲ ﺻﻞ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ان ﺳﺮ ق ﻓﺎ ﻗﻄﻌﻮا ﯾﺪه " ﺛﻢ ان ﺳﺮق ﻓﺎﻗﻄﻌﻮا رﺟﻠﮫ,ﻓﺎﻗﻄﻌﻮا ﯾﺪه Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Sa'id binSulaiman dariHusyaim dari Muhammad bin Khalid al-Quraisy dari Dawud bin Husain dari Ikrimah dariAbu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jika ia mencuri potonglah tangannya (yang kanan), jika ia mencuri lagi potonglah kakinya (yang kiri). Jika ia mencuri lagi potonglah tangannya (yang kiri), jika ia mencuri lagi maka potonglah kakinya (yang kanan). Hadis diatas menjelaskan tentang hukuman bagi residivis atau pelaku pengulangan kejahatan dalam tindak pidana pencurian. Namun apabila diperhatikan, dalam hadis tersebut tidak ada pemberat atau penambah hukuman, melainkan hanya menjelaskan urutan saja sejak pencuri yang pertama sampai yang keempat. Pemberatan hukuman terhadap pengulangan ini dapat ditemukan dalam hadis lain, yaitu apabila terjadi pencurian yang kelima kalinya,, lengkapnya hadis tersebut sebagai berikut. اﺧﺒﺮﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻘﯿﻞ ﻗﺎل ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺟﺪي ﻗﺎل ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﻣﺼﺤﺐ ﺑﻦ ﺛﺎ ﺑﺖ ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ اﻟﻤﻨﻜﺪر ﻋﻦ اﻧﻤﺎ ﺳﺮق ﯾﺎ رﺳﻮل: اﻗﺘﻠﻮه ﻓﻘﺎﻟﻮا: ﺟﻰء ﺑﺴﺎرق اﻟﻰ اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎل:ﺟﺎ ﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﻗﺎل ﺛﻢ ﺟﻰءﺑﮫ اﻟﺜﺎ ﻟﺜﺔ ﻓﺬﻛﺮ ﻣﺜﻠﮫ" ﺛﻢ ﺟﻰء ﺑﮫ: اﻗﺘﻠﻮه" ﻓﺬ ﻛﺮ ﻣﺜﻠﮫ:اﷲ" اﻗﻄﻌﻮه ﻓﻘﻄﻊ" ﺛﻢ ﺟﻰءﺑﮫ اﻟﺜﺎ ﻧﯿﺔ ﻓﻘﺎل ( اﻗﺘﻠﻮه ) اﺧﺮﺟﮫ اﺑﻮ داود واﻟﻨﺴﺎﺋﻰ:اﻟﺮا ﺑﻌﺔ ﻛﺬ ﻟﻚ" ﺛﻢ ﺟﻰء ﺑﮫ اﻟﺨﺎ ﻣﺜﺔ ﻓﻘﺎ ل Artinya:Telah mengabarkan kepada kami dari Muhammad binAbdullahbin Ubaid bin 'Aqil dari Mus'ab bin Tsabitdari Muhammad bin alMunkadir dari Jabir binAbdullah, ia berkata: Seorang pencuri telah dibawa kehadapan Rasulullah saw. maka Rasulullah Sawbersabda: Bunuhlah ia. Para
61
sahabat berkata: Ya Rasulullah ia hanya mencuri. Nabi mengatakan: potonglah tangannya. Kemudian ia dipotong. Kemudian ia dibawa lagi untuk kedua kalinya. Lalu Nabi mengatakan bunuhlah ia. Kemudian disebutkan seperti tadi, kemudian ia di bawa untuk ketiga kalinya maka nabi menyebutkan seperti tadi. Kemudian ia dibawa lagi untuk ke empat kalinya dan nabi mengatakan seperti tadi. Akhirnya dia dibawa lagi untuk kelima kalinya. Lalu nabi mengatakan: bunuhlah ia. (Hadis dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i) Meskipun pengulangan tersebut sudah di jelaskan dalam hadis di atas, namun tidak ada keterangan yang menjelaskan persyaratan dan lain-lain.56 Fuqaha berbeda pendapat tentang pencurian yang berulang kali yaitu ketiga kalinya setelah dipotong tangan kanannya dan kaki kirinya. Menurut Imam Hanafi dan Imam Hambali: jika terjadi pencurian yang ketiga kalinya, maka tidak dipotong tangan, tetapi dipenjara selama waktu yang tidak ditentukan, sampai meninggal dunia atau sampai nampak taubatnya. 57 Diriwayatkan bahwa pada masa pemerintahan Ali, seorang pencuri dihadapkan kepadanya setelah ia mencuri yang ketiga kalinya (telah dipotong tangan kanannya dan kaki kirinya). Maka Ali berkata, saya malu kepada Allah jika saya potong tangan kirinya, maka ia makan dengan apa, ia berjalan dengan apa, dengan apa ia berwudhu untuk shalat, dengan apa ia mandi janabat”, demikian juga sebagaimana diriwayatkan oleh Umar. Ia hanya menjatuhi hukuman penjara kepada pencuriannya yang ketiga kalinya.
56
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), cet 1, h. 166. 57 Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, (Menuju Pelaksanaan Hukuman Potong Tangan di Nanggore Aceh Darussalam), h. 142-143.
62
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik dipotong tangan dan kakinya, dipotong tangan kanan pada pencurian yang pertama dan kaki kiri pada pencurian kedua. Kemudian dipotong tangan kiri pada pencurian yang ketiga dan kaki kanan pada pencurian yang keempat. Kemudian jika mencuri lagi yang kelima kalinya, maka dipenjarakan seumur hidup atau sampai nampak taubatnya. Begitu juga dalam hukuman khamar sebagaimana hadis Rasullullah saw yang berbunyi: Artinya: Dari Abdullah bin Amru bin al-Ash berkata: bahwa Rasullullah saw bersabda: barang siapa yang meminum khamar (Arak) maka jilidlah ia, jika ia mengulangi lagi maka jilidlah ia, jika ia mengulangi lagi maka jilidlah ia, jika ia mengulangi lagi yang keempat kalinya, maka bunuhlah ia”, (HR Ahmad) Apabila peminum khamar telah melakukan pengulangan dalam jarimah khamar padahal sudah pernah diberikan sanksi, maka pada jarimah tersebut pelakunya diberikan pemberatan dari dipukul kemudian dijilid, dari pengertian hadis diatas bahwa dalam memberikan pemberat hukuman
terhadap pelaku
pengulangan tindak pidana (a’ud) bahkan dapat juga dalam bentuk hukuman mati.58 Kalau kita melihat hukuman yang ada dalam hukum Islam, semua hukuman yang ada dalam hukum Islam ini tidak sama dengan hukuman yang ada dalam kitab undang-undang hukum pidana, dalam hukum Islam hukuman a’ud ini 58
M. Hasbi Asshidiqi, Koleksi Hadis-hadis Hukum, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), cet, ke III, Jilid IX, h. 193.
63
sangat tegas, dan pengulangannya itu tidak berurutan sebagaimana dikemukakan diatas. Contoh saja hukuman pencurian ketika seseorang mencuri pertama kali, sesuai persyaratan pencurian, maka si pencuri itu di potong tangannya, dan ketika mencuri kembali maka di potong kakinya secara bersilang, apabila mencuri yang ketiga kali maka potonglah tangannya lagi, dan seterusnya sampai yang kelima kali maka bunuhlah. Kalau kita melihat Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan adalah: 1. pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. 2. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.59 Menurut pendapat penulis, berdasarkan Undang-undang di atas, yaitu model penjara yang ideal di Indonesia sehingga mampu membuat jera pelaku adalah hukum Islam, tetapi karena Negara Indonesia ini adalah Negara yang banyak paham-paham ideologi, maka hukum Islam tidak bisa diterapkan. Oleh karena itu hukuman yang ideal menurut penulis adalah: kalau dilihat hukumanhukuman yang ada pada saat ini, semua kejahatan pada kenyataannya ingin medapatkan keuntungan apa yang sudah dia lakukan selama itu, entah dari 59
Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan Republik Indonesia pasal 1.
64
kejahatan perampokan, penipuan, penganiayaan, pembunuhan, pencurian, perampasan, pemerkosaan, korupsi, narkoba, sampai pada penjualan anak, itu semua semata-mati ingin mendapatkan keuntungan materi. Perbuatan itu semua di vonis oleh hakim dengan hukuman penjara, di sini saya menginginkan hukuman itu tidak hanya penjara melainkan hukuman kemiskinkan bagi si pelaku. Kenapa, karena kodrat manusia itu cinta terhadap dunia/ harta/patamorgana dan dengan kemiskinan pelaku itu menjadi takut untuk melakukan tindak pidana kembali. Tidak hanya itu, langkah selanjutnya yaitu hukuman sosial dimana setiap orang yang melakukan tindak pidana harus dikenakan sanksi seperti halnya menyapu jalanan, membersihkan kamar mandi umum, menggunting rumput yang ada di jalan, dan menggunakan seragam apa yang sudah di sepakati bersama. Agar pelaku tindak pidana merasa malu dan tidak ada wibawanya di depan masyarakat. Mengenai penambahan 1/3 hukuman yang ada dalam KUHP terutama tindak pidana pengulangan (Recidive), kalau dilihat dari penomena-penomena kenyataan yang ada sekarang ini, kurang membuat efek jera terhadap pelaku, tidak adanya keadilan dalam menjatuhkan hukuman, dan hukuman di Indonesia ini hanya bersifat sementara dan mendidik saja, beda halnya dalam Hukum Islam. hukuman yang sudah ditetapkan dalam Syariat Islam adalah hukuman yang paling baik, sebab bisa menjamin ketentraman, keadilan dalam masyarakat, dan semua hukuman yang ada dalam Syariat Islam tidak lepas dari Al-Qur’an dan Hadis.
65
Bahwasannya Hukum Islam sudah memberikan penghargaan tinggi terhadap status dan martabat manusia, memberikan perlindungan atas hak hidup, pelajaran kepada manusia untuk tidak mempermainkan nyawa manusia, memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan, melindungi jiwa dan raga, timbulnya ketertiban, keamanan, dan upaya mewujudkan harmoni dan stabilitas sosial dengan rendahnya tingkat kejahatan. C. Perbandingan antara Hukum Positif dan Hukum Islam Dari analisis Terhadap Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) dan Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberatan Pengulangan Tindak Pidana (Recidive), maka penulis dapat menyimpulkan beberapa persamaan dan perbedaan antara Hukum Positif dan Hukum Islam diantaranya. Yang menjadi persamaannya antara lain: persyaratan yang menjadi pemberat hukum bagi pengulangan antara hukum positif dan Hukum Islam yang pertama, yaitu faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana dan telah mendapatkan hukuman atas tindakannya. Kedua, faktor telah dijatuhkan pidana kepada si pembuat oleh Negara atau majlis hakim karena tindak pidana yang pertama. Ketiga, pidana ini telah dijalankan pada yang bersangkutan. Keempat, kedua-duanya baik hukuman yang ada dalam Hukum Islam maupun Hukum Positif memberikan pemberatan hukuman. Sedangkan perbedaannya antara lain: Pertama, dalam pemberatan hukuman, Hukum Positif memberikan batas maksimal penambahan dengan 1/3 (sepertiga). Sedangkan dalam Hukum Islam penambahan diukur dengan banyaknya pengulangan yang dilakukan, seperti pengulangan dalam pencurian
66
maupun pengulangan khamar. Kedua, batus waktu hukuman pidananyapun berbeda-beda dalam hukum pidana itu ada yang lima tahun, dua tahun, maupun satu tahun tapi dalam Hukum Islam tidak ada batas waktunya. Ketiga, pembebanan pemberatan hukuman tersebut diberlakukan hampir rata-rata untuk jenis kejahatan secara umum. Sedangkan dalam Hukum Islam pembebanan hukuman tersebut berbeda-beda sesuai jenis kejahatannya.
67
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari keseluruhan rangkaian pembahasan dalam skripsi ini, mengenai Tinjauan Hukum Islam terhadap Residivis sebagai alasan pemberat hukum pidana. Maka penulis menarik beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Dari Hukum Positif sendiri memandang terhadap pengulangan tindak pidana (Recidive) sebagai alasan pemberat pidana, bahwasannya residivis ini membuktikan mereka sudah tidak takut lagi atau tidak bisa ditaku-takuti lagi menjalani hukuman ini. Akan tetapi, dengan adanya hukuman ancaman berat itu akan menakut-nakuti orang yang belum pernah menjalani hukuman, hingga orang itu akan takut untuk melakukan suatu kejahatan pengulangan tindak pidana, dan di dalam Hukum Positif seorang melakukan kejahatan residivis maka akan di tambah hukumannya 1/3 sesuai pasal yang bersangkutan. Akan tetapi, kenyataannya hukuman yang sudah ditetapkan dalam Hukum Positif hanya bersifat sementara dan mendidik saja Hukuman ini sebenarnya tidak banyak hasilnya dalam memberantas jarimah pada umumnya dan kejahatan pencurian pada khususnya, sebab hukuman tersebut tidak cukup menimbulkan faktor psikologis pada diri pembuatnya yang cukup menjauhkannya dari jarimah tersebut. Hukuman penjara hanya bisa menjauhkan pembuat dari perbuatan selama
dalam
penjara,
sedangkan
hilangnya
tangan bisa
menjauhkannya dari perbuatan-perbuatan jarimah sepanjang hidupnya.
67
68
2. Hukum Islam memandang pengulangan (Recidive) sebagai alasan pemberat jarimah karena Pengulangan jarimah oleh seseorang, setalah jarimah sebelumnya mendapat hukuman melalui keputusan terakhir, menunjukkan sifat membandel dan tidak ampuhnya hukuman pertama. Oleh karena itu sudah sewajarnya apabila timbul kecendrungan untuk memperberat hukumanhukuman atas pengulangan jarimah. Salah satu pengulangan jarimah dalam Hukum Islam yaitu jarimah pencurian, apabila seorang melakukan pencurian yang kelima kalinya maka bunuhlah si pencuri itu sebagaimana ada di dalam hadis Rasullullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i. Bahwa hukuman penambahan 1/3 dalam pengulangan residivis kurang membuat efek jera terhadap pelaku, lain halnya dalam Hukum Islam. Dan hukuman yang sudah ditetapkan dalam Syariat Islam adalah hukuman yang paling baik, sebab bisa menjamin ketentraman dan keadilan dalam masyarakat, dan semua hukuman yang ada dalam Syariat Islam tidak lepas dari Al-Qur’an dan Hadis. B. Saran Dalam pembentukan hukum nasional yang akan datang, ada baiknya pembentuk
undang-undang
meninjau
kembali
aturan
atau
ketentuan
KUHPtentang masalah residivis. . 1. Dalam pelaksanan hukuman yang ada dalam KUHP harus lebih dipertajam lagi, agar setiap kejahatan yang dilakukan oleh pelaku bisa menjadikan pelaku takut
69
melakukan kejahatan lagi, Sehingga apa yang di cita-citakan para pembuat gagasan tentang pelaku narapidana dengan Sistem Pemasyarakatan benar-benar tercapai dan tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkan seperti peningkatan angka residivis. 2. Seharusnya hukuman yang diberikan oleh hakim kepada pelaku di tambah lagi seperti hukuman kemiskinan dan sosial, agar menciptakan efek jera terhadap tersangkanya. 3. Bilamana perlu menggunakan hukum Islam, maka penerapannya perlu dilakukan sesuai dengan hukum Islam, agar pelaku bisa menimbulkan efek jera terhadap apa yang sudah dilakukan pelaku.
70
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Wardi Muslich, Ahmad. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, Jakarta, Sinar Grafika, 2004. Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005. Praja, S. Syhabuddin, Ahmad Delik Agama Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung, Angkasa, 1982. Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2003. Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama, 2003. Presetyo, Teguh. Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Grepindo Persada, 2011. Arief, Nawawi Barda. Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta, Kencana, 2010. Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana, Jakarta, PT Raja Grafindo Permai, 2011. Abdullah, Mustafa. dan Achmad, Ruben.Intisari Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Wahab, Abdul, Al-Faqih. Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 1989 M.
Dar Al-Jiil, Bairut,
Irfan, Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah, Jakarta, Hamzah, 2013. Hakim,Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2000. Idris, Fatih, Abdul. Dan Abu Ahmadi, Fikih Islam, Jakarta, Rineka Cipta. Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta, CV Indhill, 2008. Abdur Rahman, Tindak-Tindak Pidana dalam Islam, Jakarta, Rineka Cipta Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung, 2004.
71
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung, Asy Syaamil Press dan Grafika. Muladi, Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni. Chazawi, Adami. Stelsel Pidana, Tindak pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta, PT Raja Grapindo Persada, 2008. Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008. Siantari, S. R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, BPK Gunung Mulia,1996. Abidin, Andi, Zainal. Hukum Pidana 1, Jakarta, Sinar Grafika, 1983. Ali, Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2011. SatochidKartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 2, Balai Lektur Mahasiswa, Farid, Abidin, Zainal. Hukum Pidana 1,(Jakarta, Sinar Grafika, 2007. Abdullah, Mustafa dan Achmad, Ruben. Intisari Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Djazuli, A. Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1997. Mardani,
Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, (Menuju Pelaksanaan Hukuman Potong Tangan di Nanggore Aceh Darussalam.
Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama, 2003.
Abul Wahib, Al-Faqih, Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd,Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Dar Al-Jiil, Bairut, 1989 M, Al Imam Abu Bakar, Taqiyuddin, Al-Husaini, Kipayatul Akhyar,( Jilid III, Bina Ilmu, 1997.
72
M.Assidiqi Hasbi, Koleksi Hadis-hadis Hukum, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), cet, ke III, Jilid IX Asqolani Ibnu Hajar, Kitab Bulughul Maram.
Skeripsi dan Disertasi Munir, Abdillah, Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Penambahan 1/3 Hukuman Karena Pengulangan Tindak Kejahatan (Recidive) Dalam Pasal 486 KUHP, IAIN Walisongo Semarang, 2010. Azriadi,
dengan judul Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis Berdasarkan Prinsif Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II.A Biaro, Universitas Andalas Padang. Paska Sarjana, 2011.
73