Bahan Rakernas MA 2012
Hal ke- 0 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
HUKUM PIDANA SERTA TUNTUTAN TEGAKNYA KEBENARAN DAN KEADILAN Oleh: Dr. Artidjo Alkostar, SH, LLM. (Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung RI)
I. Hukum Pidana Sebagai Penjaga Kewibawaan Negara Indonesia. Prasyarat tegaknya kewibawaan sutatu negara yang berdaulat adalah berfungsinya hukum pidana yang dapat memberi ancaman dan sanksi bagi siapa saja yang melakukan perbuatan pidana seperti antara lain pencurian, makar, korupsi, dan lain sebagainya. Negara akan kehilangan kedaulatannya kalau pelaku kejahatan dibiarkan bebas tidak dituntut dan diadili oleh negara. Kewajiban asasi negara adalah memberi makan rakyatnya, menyediakan sarana transportasi dan kesehatan bagi rakyatnya, menegakkan keadilan, serta menjaga teritorial wilayahnya.
II.
Contempt of Court. Perbuatan pidana yang ditujukan terhadap penyelenggaraan Peradilan, merupakan perbuatan yang harus dituntut dan diadili, karena menghalangi terwujudnya keadilan yang merupakan kebutuhan pokok rokhaniah bagi pihak yang berperkara, pemangku kepentingan (stake holder). masyarakat dan negara. 1. Postulat moral keharusan adanya Contempt of Court Mengapa perlu adanya Contempt of Court, karena para hakim yang dalam tugas yuridisnya wajib menghasilkan keadilan. Hakim sebagai subjek yang bertanggungjawab atas adanya keadilan dalam memutus perkara. Tanggung jawab dalam filsafat moral menuntut adanya kebebasan. Konstruksi hipotetisnya dalam rumusan pasal hukum pidana yang mengatur contempt of court, orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan Hakim tidak memiliki kebebasan dalam mengadili perkara merupakan perbuatan yang salah atau bertentangan dengan nilai-nilai moral. Hakim adalah figur sentral dalam proses pengadilan. Postulat moral yang menuntut adanya aturan hukum tentang contempt of court adalah demi tegaknya nilai keadilan yang menjadi kebutuhan pokok rokhaniah masyarakat beradab. Jadi contempt of court bukan semata- mata untuk kepentingan pribadi hakim tapi demi menjaga dan melindungi eksistensi keadilan dalam kehidupan masyarakat. Hal ke- 1 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
Pada dasamya contempt of court mencakup pengertian tentang tindakan yang dinilai bermaksud mempersulit, menghalangi, atau merintangi tugas pengadilan. Atau yang dinilai mengurangi kewenangan dan merendahkan martabat pengadilan. Tindakan tersebut dilakukan oleh pihak tertentu atau mereka yang sedang terlibat sebagai pihak dalam suatu perkara di pengadilan. Pelecehan terhadap pengadilan baik berupa direct contempt maupun indirect contempt bisa terjadi di Indonesia maupun di negara lain yang maju seperti Amerika Serikat. Dalam bukunya yang berjudul Contempt of Court, Mark Curriden dan Leroy Phillips, Jr. mengelaborasi contempt of court dalam korelasinya dengan system of justice. a person is not supposed to have to prove his innocence, due process of law (Curriden and Leroy; 1999 : 350-351). Dari konstelasi tersebut terlihat bahwa spirit keberadaan undangundang yang mengancam pidana terhadap pelaku contempt of court itu demi adanya proses hukum yang adil dan tidak memihak (a fair and impartial law). Ancaman pidana karena contempt of court sebagaimana dipaparkan oleh Charles W. Wolfram dalam bukunya Modem Legal Ethics yang menyatakan A lawyer may understandably regret an adverse judicial ruling but may not advise a client to disobey a direct court order or participate with a client in such disobedience. A lawyer who does so is punishable for contempt.(Wolfram, Charles W; 1986 : 701). Jadi lawyer dapat dipidana karena contempt of court jika tidak memberi nasehat kepada kliennya tentang adanya ketentuan undang- undang yang harus dipatuhi, juga jika dia mengetahui tentang aturan ketat di Pengadilan tetapi tidak memberitahukan kliennya atau menasehati untuk tidak mematuhi perintah Pengadilan atau berpartisipasi dengan kliennya dalam pembangkangan terhadap perintah pengadilan tersebut. James A. Inciardi memformulasikan contempt of court sebagai intentional obstruction of a court in the administration of justice or an act calculated to lessen its authority or dignity or failure to obey its lawful order (Inciardi, James A;1987 : 733). Perbuatan yang dikualifikasikan contempt of court oleh James A Inciardi adalah sengaja menghalangi pengadilan dalam proses menegakkan keadilan atau suatu tindakan yang digolongkan mengurangi otoritas kewenangan atau martabat pengadilan atau tidak mentaati perintah pengadilan. Hal ke- 2 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
Penasehat hukum sebagai subjek yang mewakili pihak yang berperkara, berpotensi untuk menimbulkan adanya contempt of court. Dalam mengelaborasi peran lawyer, Marvin E. Frankel dalam bukunya Partisan Justice mengatakan bahwa to the extent the attempts fail, there is much wasted effort and demoralizing contempt for legal process (Frankel, E. Marvin; 1980 : 104). Jadi jika lawyer gagal melakukan upaya-upaya yang tidak semestinya dalam membela perkara, maka tindakannya selain merupakan upaya yang sia-sia juga merupakan pelecehan yang merendahkan proses hukum. 2. Contempt of Court dalam KUHP saat ini dan RUU KUHP Dalam pengertian yang luas contempt of court telah diatur dalam KUHP lndonesia saat ini, yang diatur dalam berbagai bab dan pasal, Dalam arti pula bahwa KUHP kita sa at ini tidak mengatur dalam bab tersendiri dan jelas tidak diatur dalam UU tersendiri. Dalam KUHP kita paling tidak ada 15 pasal yang dapat digolongkan sebagai termasuk kualifikasi contempt of court, yaitu : Pasal 220 KUHP tentang laporan palsu; Pasal 221 KUHP tentang menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan; Pasal 222 KUHP tentang menghalangi pemeriksaan mayat; Pasal 223 KUHP tentang melepaskan/memberi pertolongan meloloskan diri orang yang ditahan oleh penguasa hukum/Hakim; Pasal 224 KUHP tentang tidak memenuhi panggilan Hakim sebagai saksi; Pasal 225 KUHP tentang tidak menyerahkan surat yang dianggap palsu; Pasal 227 KUHP tentang melakukan suatu hak, padahal mengetahui bahwa dengan putusan Hakim, hak tadi untuk dirinya telah dicabut; Pasal 242 ayat (2) KUHP tentang memberi keterangan/kesaksian palsu; Pasal 217 KUHP tentang menimbulkan kegaduhan di sidang pengadilan; Pasal 207 KUHP tentang menghina badan umum; Pasal 231 KUHP tentang menarik barang dari sitaan Jaksa/polisi/mengambil barang sitaan); Pasal 232 KUHP tentang merusak segel; Pasal 233 KUHP tentang menghancurkan merusak barang bukti; Pasal 317 KUHP tentang pengaduan fitnah; Pasal 522 KUHP tentang dipanggil sebagai saksi ahli atau juru bahasa tidak datang secara melawan hukum. Dan masih banyak perbuatan lain yang dapat diusulkan sebagai contempt of court, baik dilakukan oleh pihak tertentu maupun dilakukan o/eh penegak hukum sendiri.
Pada tahun 1999 ada Majelis Hakim mengadukan pengacara yang dinilai melakukan contempt of court karena dua pengacara tersebut Hal ke- 3 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
meninggalkan ruang sidang tanpa persetujuan Majelis Hakim (Kompas, 19-10-1999). Majalah Tempo edisi 27 Mei 2001 memberitakan Hakim di Medan dicaci dan dikejar-kejar. Di beberapa negara diatur tentang Civil Contempt yaitu larangan perbuatan yang ditujukan terhadap proses peradilan. Tercakup di dalamnya adalah perbuatan menghambat, menghalangi, dan mencampuri jalannya peradilan; termasuk di dalamnya adalah melecehkan martabat Hakim. Dalam RUU (Rancangan Undang-undang) KUHP yang baru, contempt of court ditempatkan dalam satu bab yaitu bab tentang Tindak Pidana terhadap Proses Peradilan. Bab ini terdiri dari 4 bagian yaitu : (1). Gangguan dan penyesatan proses peradilan; (2). Menghalang-halangi proses peradilan; (3) Perusakan gedung, ruang sidang, dan alat perlengkapan sidang peradilan; (4). Perluasan perbuatan dan pemberatan pidana. Bab ini terdiri dari 15 pasal yang antara lain diatur tentang ancaman pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya proses peradilan. Begitu pula perbuatan yang tidak mematuhi perintah pengadilan, menghina Hakim atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. Diancam pidana juga tindakan advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara melawan hukum mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan dari pihak yang dibantunya. Dikualifikasikan sebagai contempt of court juga orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap penegak hukum (Polisi, Advokat, Hakim, Jaksa), serta perbuatan lain yang termasuk dalam tindak pidana terhadap proses peradilan. 3. Kebebasan Hakim Kebebasan Hakim menjadi syarat mutlak adanya putusan yang bernilai kebenaran dan bersukma keadilan. Dalam praksis pelaksanaan tugas yuridisnya hakim dapat dipengaruhi oleh tekanan kekuasaan dan godaan kekuatan ekonomis. Lebih dari itu bias nurani bisa terjadi kesesatan relevansi berfikir dari para Hakim. Hakim sebagai manusia bersifat da'if, sehingga dalam proses berfikir memandang dan memutus perkara rentan terhadap kesesatan relevansi. Padahal putusan Hakim sejatinya tidak bisa karena ada belas kasihan, berkepentingan karena ada hubungan tertentu dan lepas dari motivasi kebencian atau balas dendam. Untuk itu dalam pengadilan terhadap Slobodan Milosevic pengadilan menunjuk Amicus Curreae agar pengadilan ada yang menegur supaya tidak menyimpang dari kaidah dasar Independence Judiciary. Hal ke- 4 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
Kebebasan proses pengadilan merupakan prasyarat tegaknya keadilan. Adanya intervensi terhadap pengadilan akan membuat proses pengadilan tidak efektif atau terkendala dalam mencapai tujuan yang hakiki. Seperti dikatakan oleh Peter H. Schuck dalam bukunya The Limits of Law, bahwa ada 3 kendala struktural yang mempengaruhi efektivitas pengadilan yaitu : (1). The limited nature of constitutional rights; (2). The low level of judicial independence; (3). The judicial lack of implementation power (Schuck, Peter H; 2000 : 396). Dengan demikian, dapat dicandra (digambarkan) bahwa jika pengadilan kurang memiliki kebebasan maka proses pengadilan menjadi tidak efektif. Disamping juga faktor adanya pembatasan hakhak konstitusional dan kendala kelemahan dalam melaksanakan kekuasaan pengadilan. Dalam kacamata teori, ada beberapa macam bias berfikir yang menyimpang dari relevansi pokok perkara. Putusan pengadilan tidak boleh lahir dari sebab adanya ancaman (argumentum ad Baculum) dan sebaliknya tidak boleh karena belas kasihan (argumentum ad misericordiam). Putusan pengadilan harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum yang sahih. Pengadilan harus terhindar dari kesesatan Non causa Pro causa atau menyatakan suatu hal sebab atas terjadinya akibat yang menjadi pokok perkara tetapi sebenamya bukan hal itu yang menjadi sebab. Pengadilan tidak boleh terjebak dalam kesesatan ignoratio elenchi, artinya memutus suatu perkara yang tidak relevan dengan pertimbangan hukum yang mendasarinya. Jika terjadi bias pertimbangan hukum seperti itu secara yuridis dapat diluruskan melalui proses upaya hukum, banding, kasasi dan peninjauan kembali. 4. Putusan pengadilan sebagai puncak pencerahan Mengadakan kriminalisasi terhadap tindakan-tindakan dalam rangka menegakkan kewibawaan pengadilan penting dan yang tidak kalah pentingnya adalah menegakkan kewibawaan dari dalam. Dalam arti mengelola intellectual capital sehingga dapat mengeluarkan putusan yang berkualitas mencerahkan dan merupakan puncak kearifan dari masalah hukum yang dihadapi masyarakat. Penegakan kewibawaan pengadilan terkait juga dengan faktor ekstern baik kondisi sosial politik dan ekonomi masyarakat, serta kinerja dan kewibawaan institusi penegak hukum lain, seperti kepolisian, kejaksaan, dan advokat. Hal ke- 5 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
Proses penegakan hukum senantiasa berkorelasi dengan integritas moral dan kualitas mental penegak hukum. Demi tegaknya keadilan hukum, diperlukan adanya mekanisme kontrol yang berkelanjutan baik secara yuridis, institusional dan sosial terhadap legal behavior para penegak hukum. Code of conduct aparat penegak hukum yang menyangkut courtroom behavior sejatinya dapat mewujudkan keindahan perangai penegak hukum yang tercermin dari kecerdasan moral, emosional dan mental dalam menjalankan mandat hukum menegakkan keadilan. Hal ini berkait juga dengan ideologi penegak hukum, yaitu preferensi aksiologis (pilihan nilai-nilai) yang dipakai oleh penegak hukum dalam menegakkan keadilan hukum. Secara hipotesis kebutuhan adanya kebebasan hakim dalam menjalankan tugas yuridisnya adalah guna memelihara dan meningkatkan kualitas putusan pengadilan. Terwujudnya kualitas putusan pengadilan berkorelasi dengan variabel knowledge, skill, dan kepribadian para Hakim. Masyarakat pencari keadilan juga menuntut adanya parameter penegakan keadilan yang dipakai oleh Hakim. Parameter adalah variabel yang bersifat konstan, artinya pertimbangan hukum dalam suatu perkara yang sama menyediakan untuk diberlakukan sama dalam perkara lain, sehingga tidak terjadi disparitas yang menjadikan putusan menjadi tidak adil. Dalam hukum acara, dituntut adanya penerapan keadilan prosedural (prosedural justice). Di samping itu, idealita pelaksanaan pengadilan yang independen adalah apa yang dielaborasi oleh Lawrence M. Friedman dalam bukunya Total Justice, yang menyatakan the idea that the state has a duty to provide for "innocent" victims reflects a new, and powerful norm; the norm of total justice (Friedman; 1985 : 67). Putusan pengadilan yang berkualitas adalah memberi nilai bagi kehidupan sosial, bangsa, dan umat manusia. Untuk itu, segala bentuk contempt of court harus dilarang dan harus ada sanksi yang tegas bagi yang mencederai martabat pengadilan. Contempt of Court Any act which is calculated to embarrass, hinder, or obstruct court in administration of justice, or which is calculated to lessen its authority or its dignity. Committed by person who does any ac in wilful contravention of its authority or dignity or tending to impede or frustrate the administration of justice or by one who, being under the court’s authority as a party to a proceeding there in, wilfully Hal ke- 6 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
disobeys its lawful orders or fails to comply with an undertaking which he has given. (Black’s Law dictionary, 1990) Sistem peradilan pidana atau Criminal justice System berkorelasi dengan perlindungan masyarakat, termasuk di dalamnya perlindungan hak-hak dari warga masyarakat yang menjadi tersangka atau Terdakwa dalam perkara pidana, korban kejahatan dan pemangku kepentingan (stakeholder). Seperti halnya hak Access to Justice, Equal Protection of The Law, Due Process of law.
Obstructing Justice : Impending or Obstructing those who seek justice in a court, or Those who have duties or power of administering justice therein. The Act by which one or more persons attempt to prevent, or do prevent the execution of lawful process. The term applies also to obstructing the administration of justice in any way-as by hindering witnesses from appearing, assaulting process server, influencing jurors, obstructing court orders or criminal investigation. Any Act, Conduct or directing agency pertaining to pending proceedings, intended to play on human frailty and to deflect and deter court from performance of its duty and drive it into compromise with its own unfettered judgment by placing it, through medium of knowingly false assertion, in wrong position before public, constitutes an obstruction to administration of justice Obstruction of Justice (art.25) Although it does not include specific provisions on combating corruption, swiss law provides for the prosecution of all the punishable act listed in article 25 (a) of the Convention. The power to prosecute for instigation to false testimony or the other offence, persons using physical force, threats or intimidation meets the requirement of the Convention Swiss criminal law has provisions effectively covering the acts listed in article 25 (b). The Penal Code prohibits any act of violence on a member of the judiciary or law enforcement authorities, or their close family, and Hal ke- 7 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
also prohibits the destruction of their property. Obstruction, including through use of violence, in the giving of testimony of witnesses, victims, experts, translator or interpreters, is also prohibited. Such behaviour is punishable with 5 years imprisonment.
Article 25. Obstruction of justice A. Negotiation texts First session: Vienna, 21 January-1 February 2002 Rolling text (A/AC.261/3 (Part II)) “Article 37 “Criminalization of obstruction of justice
“1. Each State Party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally:
“(a) The use of physical force, threats or intimidation or the promise, offering or giving of an undue advantage to induce false testimony or to interfere in the giving of testimony or the production of evidence in a proceeding in relation to the commission of offences covered by this Convention;“
“(b) The use of physical force, threats or intimidation to interfere with the exercise of official duties by a justice or law enforcement official in relation to the commission of offences covered by this Convention.
“2. Nothing in this article shall prejudice the right of States Parties to havelegislation that protects other categories of public official.”
Fourth session: Vienna, 13-24 January 2003
Rolling text (A/AC.261/3/Rev.3) Hal ke- 8 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
“Article 37 “Obstruction of justice
“Each State Party shall adopt such legislative and other measures as may benecessary to establish as criminal offences, when committed intentionally:
“(a) The use of physical force, threats or intimidation or the promise, offering or giving of an undue advantage to induce false testimony or to interfere in the giving of testimony or the production of evidence in a proceeding in relation to the commission of offences covered by this Convention; “(b) The use of physical force, threats or intimidation to interfere with the exercise of official duties by a justice or law enforcement official in relation to thecommission of offences covered by this Convention. [Nothing in this subparagraphshall prejudice the right of States Parties to have legislation that protects other categories of public official.]”
Fifth session: Vienna, 10-21 March 2003 Rolling text (A/AC.261/3/Rev.4) “Article 37 “Obstruction of justice “Each State Party shall adopt such legislative and other measures as may benecessary to establish as criminal offences, when committed intentionally: “(a)The use of physical force, threats or intimidation or the promise, offering or giving of an undue advantage to induce false testimony or to interfere in the giving of testimony or the production of evidence in a proceeding in relation to the commission of offences covered by this Convention; “(b) The use of physical force, threats or intimidation to interfere with the exercise of official duties by a justice or law enforcement official in relation to the commission of offences covered by this Convention. Nothing in this subparagraph shall prejudice the right Hal ke- 9 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
of States Parties to have legislation that protects other categories of public official.”
B. Approved text adopted by the General Assembly (see resolution 58/4, annex)
Article 25 Obstruction of justice
Each State Party shall adopt such legislative and other measures as may benecessary to establish as criminal offences, when committed intentionally: (a) The use of physical force, threats or intimidation or the promise, offering or giving of an undue advantage to induce false testimony or to interfere in the giving of testimony or the production of evidence in a proceeding in relation to the commission of offences established in accordance with this Convention; (b) The use of physical force, threats or intimidation to interfere with the exercise of official duties by a justice or law enforcement official in relation to the commission of offences established in accordance with this Convention. Nothing in this subparagraph shall prejudice the right of States Parties to have legislation that protects other categories of public official
Seperti telah disinggung di atas, ada tahun 1980an dalam membahas RUU KUHP di BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) telah pernah disinggung masalah Contempt of Court (CoC). Pengaturan tentang Contempt Of Court (Tindak Pidana Terhadap Penyelengaraan Peradilan) ada beberapa alternatif, antara lain: 1. Diatur dalam UU tersendiri. 2. Diatur dalam Bab Tersendiri dalam KUHP 3. Diatur secara tersebar dalam berbagai BAB seperti keadaan KUHP sekarang, dengan catatan : dalam Penjelasannya akan ditunjukkan pasal – pasal yang termasuk kualifikasi Contempt of Court. Hal ke- 10 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
Contempt Of Court (COC) 1. DIRECT CONTEMPT - Hakim dapat menjatuhkan hukuman secara langsung maka perlu hukuman secara tersendiri. 2. INDIRECT CONTEMPT Inventarisasi ketentuan dalam KUHP yang dapat digolongkan sebagai COC : 1. Pasal 220
: Laporan Palsu.
2. Pasal 221 melakukan kejahatan.
: Menyembunyikan orang yang
3. Pasal 222
: Menghalangi pemeriksaan mayat.
4. Pasal 223 melepaskan diri
: Melepaskan / memberi pertolongan orang yang ditahan
oleh
penguasa hukum/hakim. 5. Pasal 224 : Tidak memenuhi panggilan hakim sebagai ahli atu juru bahasa. 6. Pasal 225 dianggap palsu.
: Tidak menyerahkan surat yang
7. Pasal 227 mengetahui bahwa
: melakukan suatu hak, padahal dengan putusan hakim hak tadi
untuk dirinya telah dicabut. 8. Pasal 242 Ayat (2) palsu.
: Memberi keterangan / kesaksian
9. Pasal 217 pengadilan
: Menimbulkan kegaduhan di sidang
10. pasal 207
: Menghina Badan Umum.
11. Pasal 231 Polisi mengambil
: Menarik barang dari sitaan (jaksa / barang sitaan) Hal ke- 11 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
12. Pasal 232
: Merusak segel.
13. Pasal 233 bukti.
: Menghancurkan / merusak barang
14. Pasal 317
: Pengaduan Fitnah.
15. Pasal 522 : Dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa tidak datang secara melawan hukum.
Penegakan hukum yang menyangkut Contempt of Court (CoC) merupakan bagian dari upaya berkelanjutan menjaga dan menjunjung tinggi marwah dan kewibawaan pengadilan. Contempt of Court atau pelecehan pengadilan merupakan tindakan yang berakibat mengurangi yang pada gilirannya melunturkan kepercayaan publik terhadap kewenangan atau perintah pengadilan. Problem have arisen in the past over the power of domestic tribunal to gather evidence, and in particular over whether they may compel unwilling witnesses to come and testify before them. When a disciplinary tribunal is set up by Parliament the modern tendency is to give it the power to issue subpoenas. These are orders to witnesses to attend or else face proceedings for contempt of court, and are the method of compelling testimony in the civil proceedings in the ordinary courts.
III. Natural Justice. Natural justice dikemukakan oleh J.R. Spencer dalam bukunya Jackson’s Machinery of Justice (1989) menunjukkan adanya dua prinsip yang terkandung di dalamnya yaitu Audi et alteram partem dan Nemo Index in Sua Causa. Procedural impropriety goes wider than this, however, and also covers case where the proceedings failed to comply with certain minimum unwritten standards of fairness which are usually called ‘the rules of natural justice’. These rules are two and lawyers usually dignify and obscure them by putting them into Latin. The firs is audi alteram partem : literally, ‘hear both sides’. In the case of a tribunal which is entrusted with the task of settling a dispute between two citizens or between a citizen and some public official or department, this means exactly what it says: tribunal must give both sides an opportunity to state their case before it decides between Hal ke- 12 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
them. To take an obvious example, judicial review lies if a bench of magistrates dismisses an information against a defendant without hearing the prosecution case, or if (as occasionally happens) the magistrates hear the prosecution case and then absent-mindedly convict before hearing the case for the defence. The rule is said to apply not only to independent tribunals, but also to public officials who have to make decisions adversely affecting others. In these case there are not two sides, however, and the rule has to be modified so that it is almost a different rule. In this sort of context audi alterem partem is taken to mean that before making a decision which will adversely affect another person, the official must normally listen to what that person has to say: the rule is not so much ‘hear both sides’ as ‘do not condemn another person unheard’. The second rule of natural justice is nemo index in sua cause: literally, no one must be judged in his own case. Once again, the scope and application of this rule is clear in the case of magistrate, coroners, and other independent tribunal. Here it means that the tribunal which is charged with resolving a dispute between two sides must be independent of both. Pasal 14 ICCPR menyatakan : Semua orang mempunyai kedudukan yang setara di depan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadap dirinya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang berwenang mandiri dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum.
IV. Judicial Actvism. Judicial Activism merupakan proses dan upaya pengadilan untuk mencapai puncak kearifan dalam melaksanakan tugas yudisialnya. Putusan Pengadilan mengacu pada nilai-nilai keadilan (etis), kebenaran (logis), estetis (harmoni) bagi pencari keadilan dan pemangku kepentingan (stakeholder). Keadilan di dunia tidak pernah sempurna tetapi harus diupayakan secara maksimal, dengan mempergunakan potensi yang dianugerahkan Allah yang Maha Kuasa. Yang salah adalah orang yang merasa paling benar, karena pada diri manusia melekat keterbatasan-keterbatasan. Upaya maksimal mempergunakan potensi kemanusiaan merupakan kebajikan dan keutamaan moral para hakim dalam beramal-ilmiah dengan ilmu-amaliah dalam menegakan kebenaran dan keadilan. Hal ke- 13 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
Sifat dari Aktivisme Yudisial the nature of judicial activism (a) Term dari “aktivisme judicial” dapat digunakan dalam berbagai cara (the term “judicial activism” can be used in a number of ways) Pengadilan membuat keputusan yang mendukung atau meningkatkan kepentingan sosial (seperti, pengakuan dan penegakan hak-hak sipil oleh Mahkamah Agung Amerika pada tahun 1960-an) (where courts have made decisions that promote or advance social objective (ef, the recognition and enforcement of civil right by the United States Supreme Court in the 1960); Pembuatan keputusan dengan mempertimbangkan hukum atau prinsip-prinsip baru yang signifikan, seperti : pangkuan Mahkamah Agung Australia dalam kasus MABO tahun 1992 tentang pengakuan hak atas tanah orang-orang Aborigin atas tanah yang mereka tempati (the making of decisions which involve the recognition of significant new legal rules or principles (eg, the recognition by the Australian High Court in the Mabo case (1992) of the right of aboriginal occupants of land to claim ‘native title’ over such land); Pengadilan mengamati dengan serius dasar hukum tindakan-tindakan executive yang mungkin secara politik tidak disenangi atau kontroversi. (where court have vigorously scrutinized the legality if executive action by government and have been prepared to make decisions which may be politically unpopular or controversial).
The Court if Appeal, dealing solely with civil case, decided in Young v Bristol Aeroplane Co. In 1944 that it is bound by its own decisions except in there instances, namely: (1) it can choose between conflicting decisions of its own; (2) it should refuse to follow decisions of its own which, though not expressly over-ruled by the House of Lords, are Inconsistent with a decision of the House of Hal ke- 14 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
Lords; and (3) it is not bound to follow a decision of its own given per incuriam (which is legal language for inadvertence, mistake or ignorance of relevant authority). Naturally this self-imposed straitjacket has been irksome to members of the court who would like to have a more activist role, but clearly there is a difference of opinion among the Lords Justices as to how far, if at all its members should have an activist role. Dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung tahun 1987, Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH, mengatakan : “jauhkan diri dari segala bentuk formalisme, bekerjalah dan berusahalah, masalah-masalah tentng hukum adalah tak terhingga banyaknya karena hukum tidak pernah berhenti melainkan selalu berkembang.” Lebih dari itu Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja juga menekankan bahwa tujuan hakiki dari hukum adalah memberikan perlakuan hukum yang adil. Tujuan utama dari aktivisme yudisial adalah memperbarui paradigma hukum dalam upaya menuju puncak kearifan dalam memutus perkara. Dalam arti pula, mengeluarkan energi maksimal memberdayakan potensi intelektual dan potensi spiritual mencapai kebenaran hakiki dan keadilan sejati. V. Butir-butir pokok: 1. Optimalisasi peran perangkat hukum Contempt of Court akan dapat melindungi dan meningkatkan peran dan martabat pengadilan di Indonesia. 2. Segala bentuk perbuatan yang berkualifikasi obstruction of justice harus dijauhkan dari peradilan Indonesia, karena mengganggu integritas pengadilan. 3. Judicial Activism merupakan bagian dari upaya menggali nilai-nilai yang ada dalam masyarakat guna menemukan kebenaran materiel dan keadilan substantif.
Referensi :
Hal ke- 15 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
Abel, Richard L and Lewis, Philips S.C. Lawyers in Society, University of California Press, Barkeley, Los Angeles, London, 1995. Asikin Kusumah Atmadja, Prof, SH (Tuada Perdata Tertulis) Mahkamah Agung RI, Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan pembinaan Hukum Mahkamah Agung RI, Beberapa Yuristrudensi Perdata Yang Penting serta Hubungan ketentuan Hukum Acara Perdata, Diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1992. Auerbach, Jerold S, Unequal Justice, Lawyers and Social Change in Modern America, Oxford University Press, New York, 1976. Black, Henry Cambell, MA, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, ST. Paul, Minnessota, 1990. Curriden, Mark & Phillips, Leroy, Contempt of Court, Faber and Faber, Inc, New York, 1999. Bruncken, Ernest & Register, Layton B, (translator), Science of Legal Method, Augustus M. Kelly Publisher, New York, 1969. Callison, I.P . Courts of Injustice, Twayne Publisheers, New York, 1956. Charlton, James, Legal Brief, A Lawyers Quotation Book, McGraw-hill Publishing Company, New York, Paris, Tokyo, 1990 Curriden Mark and Philips Leroy Jr.,. Contempt of Court, Faber dan Faber Inc, New Yotk. 1999 Daudistel, Howard C, et al, Criminal Justice Situations and Decision, Holt, Rinehart and Winston, New York, 1979.
Dershowitz, Alan M, Contrary To Popular Opinion, Pharos Books, New York, 1992. Dershowitz, Alan M, Letter to A Young Lawyer Basic Book, New York, 2011 Epstein, Lee and Knight, Jack, The Choices Justice Make, CQ Press Washington D.C, 1998 Forer, Lois G., Money and Justice, Who Owns the Court, W.W Norton and Company, New York, 1984 Frankel, Marvin E., Partisan Justice, Hill and Wang, New York, 1978 Hal ke- 16 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
Friedman, Lawrence M., Total Justice, Beacon Press, Boston, 1985 Hart, H.L.A & Honore, Tony, Causation In The Law, Oxford University Press, New York, 1985. Inciardi, James A., Criminal Justice, Hartcourt Brace Jovanovich Publisher, San Diego, New York, 1987 Indonesia-Australia Specialised Training Program II, Environmental Law & Enforcement In-Indonesia Training Supreme Court/High Court, Jakarta, July 30 – August 1, 2002. Jacob, Herbert (et al), Court, Law & Politics in Comparative Perspective, Yale University Press, New Haven and London, 1996 Kaplan, John (et al), Criminal Justice, The Foundation Press Inc., Westbury, New York, 1991 Keijzer, Nico, Prof,Mr, Contempt Of Court, Goude Quint, 2000. Keraf, Gorys, Argumentasi dan Narasi, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010. Lasser, William, The Limits of Judicial Power, The University of North Carolina Press, Chapel Hill & London, 1988 National Institute for Trial Advocacy, Federal Rules of Criminal Procedure, Notre Dame Law School, Notre Dame, Indiana, 1999. Payne, Melvin M. (editor in chief), Equal Justice Under Law, The Supreme Court in America Life, The Foundation of the Federal Bar Association, Washington D.C., 1965
Poespoprodjo. W., Dr., SH., SS., B.Ph., L.PH., Logika Scientifika, Pustaka Grafika, Bandung, 1999 Pompe, Sebastian,The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, Runtuhnya Institusi Mahakamah Agung, Penerjemah: Noor Cholis, Penerbit: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Perdailan (LeIP), Jakarta, 2012. Schiller, Lawrence and Willwerth, James, American Tragedy, Random House, New York, 1996. Schuck, Peter H., The Limits of Law, Westview Press, London, 2000 Hal ke- 17 dari 19 halaman
Bahan Rakernas MA 2012
Shook, Michael D. and Meyer, Jeffey D., Legal Briefs, Macmilan, USA, 1995 Siegel, larry J & Senna, Joseph J, Essential of Criminal Justice, Thomson Learning Asia, Singapore, 2007. Spencer, J.R, Jackson Machinary of Justice, Cambridge University Press, New York, 1995. Surajiyo, Drs., dkk, Dasar-dasar Logika, Bumi Aksara, Jakarta, 2006. Titscher, Stefan, et el, Method of Tex and Discourse Analysys, Metode Analisis Teks & Wacana, Terjemahan; Gazali dkk, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009. Wolfram, Charles W., Modern Legal Ethnics, West Publishing Co., St. Paul, Minn., 1986
Hal ke- 18 dari 19 halaman