Bahan Kuliah ke-7 UU dan Kebijakan Pembangunan Peternakan
Industri Sapi Potong
Untuk Kalangan Internal
[email protected]
PENDAHULUAN 1. 2. 3. 4. 5.
Pohon industri sapi potong Permasalahan dalam agroindustri sapi potong Kelembagaan: Sub Ditjen Peternakan (Khususnya Perbibitan, Ruminansia dan Keswan), Dispet Propinsi dan Kab/Kota. Asosiasi2: PPSKI, APFINDO, ASOHI dll Legislasi: UU, SK Menteri, SK Dirjen Peternakan dan Perda. (Tugas Baca:
Visi dan Misi Tujuan Sasaran Strategi
Kebijakan Analisis SWOT
Program
PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 54/Permentan/OT.140/10/2006 TENTANG PEDOMAN PEMBIBITAN SAPI POTONG YANG BAIK (GOOD BREEDING PRACTICE)
Implementasi
Obat-obatan Kesehatan Hewan
Industri Semen dan Perangkat IB
Pakan Hijauan Industri Pakan “REARING”
Cow - Calf
Kereman Feedloter
Pohon Industri Peternakan Sapi Potong
Impor Bakalan
Biogas Pupuk Organik
Pemotongan R P H
Pasar Ternak
T P H
Hasil Ikutan lain
DAGING
KULIT
Industri Pengolahan Produk Sampingan
Industri Pengolahan Daging
Industri Penyamakan Kulit
Bone & Blood Meal
Baso, Dendeng, dll
Pakaian, Sepatu
PRODUK SEGAR Z Z Z Z Z
O N F A R M
PRODUK OLAHAN
Z Z Z Z Z Z Z Z
IMPOR
Pascapanen Mutu Packaging Penyimpanan Kemitraan
LIMBAH
Mutu Harga Potensi Volume
DOMESTIK
PASAR
Industri Pengolahan Alat-alat Pengolahan Alat Pengering Packaging Canning, Botling Bahan Penolong Mutu Kemitraan PRODUK IKUTAN
Z Z Z Z
Turunan I Olahan
Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z
Whole Sale Cold Storage Terminal /Sub Terminal Gudang Lumbung Transportasi Distribusi Pelabuhan Jalan Harga Bursa
Z Z Z Z Z Z Z Z Z
Mutu Harga Time Delivery Trust / Image Kecintaan Performance Market analysis Promosi Persaingan
EKSPOR Z Z Z Z
PPn Tarif / Non Tarif P .E K. E
PERENCANAAN, FASILITASI, PENGATURAN, PELAYANAN, REGULASI, KEBIJAKAN, PENGENDALIAN (TUGAS PEMERINTAH)
4
Permasalahan: Permasalahan utama agribisnis sapi potong secara umum adalah lambatnya peningkatan populasi yang berkaitan dengan belum optimalnya tingkat produktivitas serta adanya penyembelihan betina produktip. Kondisi pasar utamanya fluktuasi harga sapi potong saat ini menjadi faktor pendorong keterpurukan usaha sapi potong pada peternakan rakyat. Populasi sapi potong pada periode tahun 2001-2005 sangat emprihatinkan dengan tingkat pertumbuhan negatip (-0,9%), jumlah populasi 11,137 juta (tahun 2001) dan 10,679 juta (tahun 2005). Pada tahun 2006 jumlah populasi 10,875 juta dan meningkat pada tahun 2008 sebesar 11,869 juta. Pada kurun waktu 2006-2008 terjadi pertumbuhan sebesar 4,5%.
Untuk memacu populasi, perlu memperhatikan strategi peningkatan populasi ternak sekalipun teknik yang digunakan masih relatip sama seperti penggunaan inseminasi buatan (IB), pemberantasan penyakit dan gangguan reproduksi, dan pencegahan penyembelihan ternak betina produktif. Program budidaya perlu dikonsentrasikan pada wilayah yang memilki keunggulan komparatif dalam memproduksi ternak, dan diberikan pengawasan insentif. Pada wilayah tersebut harus disertai program peningkatan kualitas dan kuantitas produksi pakan ternak, dan subsistem penunjang seperti pengairan, pengolahan tanah dan sebagainya. Pengembangan sapi potong berbasiskan agribisnis akan lebih baik jika dapat diintegrasikan dengan kegiatan pertanian lain.
Upaya peningkatan populasi juga harus dibarengi dengan penegakan (harus benar-benar dijalankan) peraturan perundangan No 18 Tahun 2009 khususnya tentang larangan pemotongan betina produktif untuk menjamin pasokan bakalan dan peningkatan populasi. Sosialisasi, pengawasan dan law enforcement untuk hal ini harus benar-benar dilakukan secara berkelanjutan serta dibarengi dengan upaya–upaya lain untuk menjamin pelaksanaan peraturan ini, penyediaan dana talangan, retribusi yang tinggi, pemberian penghargaan kepada petugas RPH dan masyarakat. Kebijakan pengembangan agribisnis sapi potong harus memperhatikan daya dukung dan kebijakan yang mendukung aspek-aspek tersebut. Terutama bila pola usaha bersifat kerakyatan, berskala kecil, kepemilikan modal dan sumberdaya sangat terbatas. Usaha rakyat dapat diintegrasikan dengan industri pengolahan atau dengan perusahaan yang memiliki kepentingan atas usaha rakyat tersebut. Pola integrasi dapat bersifat kemitraan investasi dan penyediaan sarana produksi.
Pakan merupakan aspek penting dalam usaha peternakan. Kualitas produk peternakan sangat tergantung pada keberadaan pakan. Untuk ternak ruminansia seperti sapi potong, kualitas pakan sering terabaikan. Peternak lebih suka melepas ternaknya untuk mencari rumput alam atau padang penggembalaan umum yang berkualitas rendah. Hal tersebut sangat berkaitan dengan kondisi mayoritas pola usaha sapi potong yang berbasis pada usaha rakyat, sehingga peternak jarang memiliki lahan yang cukup luas untuk menyediakan pakan, atau tidak mampu memiliki ternak untuk dipelihara. Pengalaman beberapa daerah dalam program pengembangan sapi potong berkelanjutan dan berbasis sumberdaya lokal sangat dibutuhkan untuk diterapkan pada daerah lain yang memiliki kemiripan karakteristik agroekosistem dan sistem produksi. Pengembangan ternak pola integrasi diharapkan dapat dilakukan secara in-situ. Pola tersebut akan mengefisienkan pemanfaatan tenaga kerja ternak, serta perputaran pakan dan kompos.
Pengembangan agribisnis sapi potong membutuhkan perwilayahan untuk produksi sapi bakalan, sapi bibit. Khusus untuk produksi bibit ternak diperlukan program pemuliabiakan yang mencakup seleksi berdasarkan karakteristik fenotip dan genetik serta pencatatan reguler untuk meningkatkan mutu dan menghindari inbreeding. Selain itu diperlukan eksplorasi potensi sumberdaya genetik lokal serta pemetaan genetik. Permasalahan lain adalah tidak adanya insentif (dukungan) pembiayaan yang dapat merangsang tumbuhnya peternak pembibitan dan penggemukan yang berorientasi komersial sebagai akibat kondisi struktur pasar yang kurang kondusif dalam mendukung iklim usaha peternakan sapi potong rakyat. Kebijakan impor sapi hidup dan produk turunannya cenderung menunjukkan dampak negatif terhadap harga sapi di tingkat lokal.
Diperlukan upaya-upaya sebagai berikut: (1) Kebijakan yang mampu mengkonsolidasikan pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten dalam mengimplementasikan program terpadu; (2) Perlu menekan kebijakankebijakan yang bersifat mendistorsi pasar, (3) Dalam menghadapi globalisasi diperlukan perlindungan dan perlakuan khusus untuk peternak skala kecil, dan (4) reformasi sistem kelembagaan agribisnis sapi potong.
Selain permasalahan tersebut di atas permasalahan dalam meningkatkan reproduktifitas sapi potong adalah masih tingginya kasus gangguan reproduksi yakni sekitar 13% dari betina produktif. Upaya penanggulangan gangguan reproduksi untuk mengembalikan status reproduksi menjadi kembali normal perlu dilakukan, terlebih lagi karena ketersediaan betina produktif yang masih jauh dibandingkan kebutuhan. Disamping itu untuk meningkatkan keberhasilan inseminasi buatan maupun kawin alam perlu dilakukan sinkronisasi estrus dengan memberikan perlakuan hormonal. Diharapkan dengan perlakuan tersebut permasalahan kelemahan deteksi birahi oleh peternak dapat direduksi secara bertahap dan juga meningkatkan tingkat kebuntingan (S/C) sapi potong. Peningkatan pelayanan kesehatan hewan juga perlu dilakukan terutama untuk meningkatkan performan reproduksi sapi, menurunkan kasus kematian pedet dan juga penanganan penyakit hewan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Diantara pelayanan kesehatan hewan yang dilakukan terutama dilakukan penanganan penyakit parasiter (parasit internal seperti cacingan maupun parasit eksternal).
Parasit internal (cacingan) kelihatannya merupakan permasalahan sederhana karena sangat sering ditemukan di lapangan, namun demikian kalau dihitung kerugian yang diakibatkan ternyata cukup besar. Kasus cacingan yang ada di Indonesia mencapai 90% populasi sapi potong dan mengakibatkan penurunan penambahan berat badan perhari (Add Daily Gain /ADG) hingga 0,1 KG. Terapi terhadap kasus cacingan ini akan memberikan dampak positif kenaikan berat badan yang akhirnya meningkatkan ketersediaan daging sapi. Masalah lain pelayanan kesehatan hewan adalah tingginya kematian pedet. Berdasarkan beberapa kajian, kasus kematian pedet banyak terjadi akibat malnutrisi, diare pada pedet dan infeksi lain seperti omphalitis dsb. Upaya yang dilakukan adalah meningkatkan pelayanan kesehatan hewan tertutama didaerah sumber bibit yakni di village breeding centre (VBC) dan juga dikelompok peternak.
Dampak Impor Ternak dan Daging Sapi Besaran impor daging sapi telah lama meresahkan beberapa kalangan peternakan Indonesia. Melihat besarnya potensi bisnis dan ditambah populasi penduduk yang sangat besar, Indonesia menjadi pasar yang menarik bagi negara-negara penghasil produk peternakan yang hendak memasukkan produk dagingnya ke Indonesia. Untuk mendorong peningkatan produksi daging sapi di dalam negeri diperlukan kondisi lingkungan usaha peternakan sapi potong yang kondusif. Pada periode 2007-2008 terjadi peningkatan produksi daging (3,8%) dengan jumlah produksi pada tahun 2007 sebesar 339.480 ton (berasal dari sapi lokal 263.458 ton dan sapi impor 76.022 ton), pada tahun 2008 sebesar 352.413 ton (berasal dari sapi lokal 251.941 ton dan sapi impor 100.472 ton). Pada periode tersebut juga terjadi peningkatan impor daging sapi sebesar 9,42%, yaitu 64.010 ton (tahun 2007) dan 70.039 ton (tahun 2008). Tingkat kontribusi daging asal sapi lokal menurun (-4,37%) sedangkan daging asal bakalan impor meningkat (32,16%). Realisasi impor sapi bakalan untuk tujuan dipotong dan pemanfaatan betina produktif hendaknya tidak melebihi dari kebutuhan. Terjadi peningkatan impor sapi bakalan (28,92%) yaitu 496.368 ekor (tahun 2007) menjadi 639.913 ekor (tahun 2008).
Dalam menentukan kebijakan impor, harus melihat pertimbangan dan dampak lain yang dimungkinkan dapat terjadi pada perkembangan agribisnis peternakan saat ini.
Tupoksi2 Penting Pemerintah dalam pengembangan Sapi Potong
Kebijakan Direktorat Jenderal Peternakan untuk mencapai tujuan dalam periode 2010-2014 adalah : 1. Kebijakan peningkatan ketersediaan dan mutu benih dan bibit 2. Kebijakan peningkatan populasi dan optimalisasi produksi ternak ruminansia 3. Kebijakan peningkatan populasi dan optimalisasi produksi ternak nonruminansia
4. Kebijakan peningkatan dan mempertahankan status kesehatan hewan 5. Kebijakan peningkatan jaminan keamanan produk hewan
6. Kebijakan peningkatan pelayanan prima kepada masyarakat
Strategi yang ditempuh adalah : 1. Peningkatan ketersediaan dan perbaikan mutu benih dan bibit ternak dengan optimalisasi kelembagaan perbibitan dan sertifikasi, penjaringan, pemurnian dan persilangan ternak bibit dan benih lokal melalui penerapan perbibitan yang baik, serta penggunaan teknologi inseminasi buatan dan embrio transfer. 2. Peningkatan populasi dan optimasi produksi ternak ruminansia melalui penerapan good farming practices (GFP), pengaturan perwilayahan, integrasi ternak dan tanaman, pendayagunaan bahan pakan lokal serta pemberdayaan peternak. 3. Pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan menular dan gangguan reproduksi serta mempertahankan dan memperluas status wilayah Indonesia bebas penyakit hewan menular strategis. 4. Pencegahan dan pengamanan bahaya pencemaran produk hewan, zoonosis dan produk rekayasa genetik, serta peningkatan penerapan kesejahteraan hewan. 5. Pendayagunaan peran dan fungsi kelembagaan serta SDM peternakan untuk kebijakan dan pengambilan keputusan.
Sapi potong merupakan salah satu ternak ruminansia yang mempunyai kontribusi terbesar sebagai penghasil daging. Selama ini produksi daging sapi di Indonesia belum mampu memenuhi permintaan dalam negeri yang cenderung meningkat setiap tahun. Oleh karena itu, pemerintah melakukan impor daging sapi dan bakalan antara lain dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat.
Peningkatan permintaan terhadap daging sapi membuka peluang bagi pengembangan sapi potong lokal dengan skala agribisnis melalui pola kemitraan. Sistem agribisnis sapi potong merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan pertanian, industri, dan jasa secara simultan dalam suatu kluster industri yang mencakup empat subsistem, yaitu subsistem agrisbisnis hulu, subsistem agribisnis budi daya, subsistem agribisnis hilir, dan subsistem jasa penunjang. Kemitraan merupakan kegiatan kerja sama antar pelaku agribisnis mulai dari tingkat praproduksi, produksi hingga pemasaran, yang dilandasi azas saling membutuhkan dan menguntungkan di antara pihak-pihak yang bekerja sama, dalam hal ini perusahaan dan petani peternak sapi potong, untuk saling berbagi biaya, risiko, dan manfaat.
PARADIGMA 1.
Pembangunan ekonomi kerakyatan dengan antisipasi global
2.
Pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat, pemerintah menjalankan fungsi stimulasi, dinamisasi, regulasi, fasilitasi dan pengendalian
3.
Mengisi dan memperkuat pelaksanaan otonomi daerah
4.
Menumbuhkan, mengutuhkan, dan mengembangkan yang telah ada berdasarkan potensi daerah
5.
Mengembangkan perencanaan dari bawah (bottom up planning) dan bersifat transparan, partisipatif dan demokratis
6.
Keseimbangan antar kawasan, terutama antara KTI dengan KBI
Analisis Masalah berdasarkan isu pokok : 1. 2. 3. 4.
Daya Saing Berkelanjutan Kerakyatan Desentralisasi (Otonomi Daerah)
Isu penting dalam pengembangan usaha ternak sapi potong adalah penurunan populasi ternak yang terus berlanjut dari tahun ke tahun. Rendahnya produktivitas ternak serta kompleksnya masalah dalam sistem usaha ternak sapi potong merupakan tantangan sekaligus peluang dalam pengembangan usaha ternak sumber daging tersebut. Solusi yang dapat dijangkau adalah mengintegrasikan usaha sapi potong dengan sumber pakan. Sumber pakan dapat memanfaatkan limbah pertanian dan perkebunan yang selama ini belum digunakan secara optimal.
Pengembangan rumah potong hewan dan pengendalian pemotongan sapi betina produktif perlu mendapat perhatian. Pencegahan pemotongan induk betina produktif berpotensi menambah populasi ternak melalui anak yang Dilahirkan.
Keberhasilan pengembangan usaha ternak sapi potong ditentukan oleh dukungan kebijakan yang strategis yang mencakup tiga dimensi utama agribisnis, yaitu kebijakan pasar input, budi daya, serta pemasaran dan perdagangan dengan melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat peternak. Dari ketiga dimensi tersebut, kebijakan pemasaran (perdagangan) memegang peranan kunci. Keberhasilan kebijakan pasar output akan berdampak langsung terhadap bagian harga dan pendapatan yang diterima pelaku agribisnis. Kondisi ini akan memantapkan proses adopsi teknologi, peningkatan produktivitas, dan pada akhirnya menjamin keberlanjutan investasi.
ANALISIS MASUKAN KEBIJAKAN 1. Pemetaan potensi pengembangan padang penggembalaan dan tanamanhijauan pakan di setiap daerah atau wilayah yang memungkinkan. 2. Penetapan lokasi atau kawasan pengembangan. 3. Perencanaan dan pelaksanaan program- program yang terintegrasi antarsektor(instansi teknis), lebih dari sekedar saling mendukung.
4. Pemenuhan jumlah dan kompetensi tenaga penyuluh. 5. Dukungan dan fasilitasi bagi terbentuknya sekolah lapang bagi petani atau peternak, dan pengadaan sumber informasi atau unit pelayanan yang mudah dan dapat diakses dengan cepat oleh masyarakat untuk menyampaikan masalah dan memperoleh bimbingan atau informasi. 6. Perbaikan intensitas dan frekuensi pelatihan, khususnya penyediaan hijauan sesuai dengan peningkatan populasi ternak sapi. Swasembada daging sapi akan dicapai dan dapat dipertahankan bila populasi dan mutu ternak sapi potong berkembang lebih cepat atau minimal sama dengan peningkatan kebutuhan. 7. Pengawasan dan pengendalian pemotongan ternak betina produktif dan pengembangan rumah potong hewan. 8. Dukungan penelitian dan pengembangan.
Bibit sapi potong merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya mendukung terpenuhinya kebutuhan daging sapi di dalam negeri. Upaya untuk meningkatkan keseimbangan penyediaan dan kebutuhan ternak sangat tergantung pada ketersediaan bibit yang berkualitas.
Oleh karena itu upaya perbaikan mutu dan penyediaan bibit yang memenuhi standar dalam jumlah yang cukup dan tersedia secara terus menerus serta harga terjangkau harus diupayakan secara berkelanjutan. Permasalahan perbibitan yang dihadapi saat ini adalah bahwa: (1). Jumlah bibit ternak belum terpenuhi; (2) Kualitas bibit masih rendah; (3) Pelaku usaha masih kurang respons dalam kegiatan perbibitan; (4) Pengurasan sapi betina produktif akibat pemotongan sapi betina produktif masih terus terjadi; (5) Sumbersumber perbibitan ternak masih tersebar dengan kepemilikan rendah sehingga menyulitkan pembinaan, pengumpulan dan distribusi bibit dalam jumlah yang sesuai kebutuhan (6) Kelembagaan perbibitan belum memadai, (7) Keterkaitan dan saling ketergantungan diantara para pelaku perbibitan belum berlangsung secara optimal.
Sasaran perbaikan mutu dan penyediaan bibit sapi potong Mengatasi permasalahan ini perlu dilakukan tindakan nyata untuk mempercepat pembangunan industri perbibitan di Indonesia. Sasaran perbaikan mutu dan penyediaan bibit sapi potong, adalah: 1. Meningkatkan jumlah dan mutu bibit, 2. Mengoptimalkan keterkaitan dan saling ketergantungan pelaku pembibitan dalam upaya penyediaan benih/ bibit ternak dalam jumlah, jenis dan mutu sesuai kebutuhan. 3. Meningkatkan peran lembaga pembibitan ternak di perdesaan.
Kebijakan Pemerintah Dalam PERBIBITAN
Visi Tersedianya benih dan bibit ternak berkualitas dalam jumlah yang cukup mudah diperoleh dan dijangkau serta terjamin kontinuitasnya Misi 1. Memfasilitasi tersedianya benih dan bibit ternak 2. Mendorong usaha pembibitan ternak rakyat, pemerintah dan swasta 3. Membina kelembagaan perbibitan 4. Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dibidang perbibitan 5. Memanfaatkan sumberdaya genetik ternak secara optimal
TUJUAN 1. Meningkatkan produksi dan produktivitas benih dan bibit ternak serta pemanfaatan sumberdaya genetik ternak secara berkelanjutan
2. Menyusun kebijakan dan strategi perbibitan ternak secara nasional 3. Meningkatkan fungsi kelembagaan perbibitan rakyat, swasta dan pemerintah
4. Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia perbibitan 5. Mewujudkan iklim usaha pembibitan yang kondusif 6. Menyusun perencanaan dan pelaporan kegiatan perbibitan
Sasaran 1. Penyediaan benih dan bibit ternak dalam jumlah yang cukup dan berkualitas secara berkelanjutan 2. Penerbitan peraturan di bidang perbibitan untuk peningkatan pelayanan 3. Optimalisasi fungsi kelembagaan perbibitan 4. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia perbibitan (peternak, petugas, kelembagaan perbibitan) 5. Fasilitasi usaha-usaha pembibitan ternak 6. Penyusunan perencanaan dan pelaporan kegiatan perbibitan
STRATEGI 1. Pembinaan perbibitan ternak unggulan nasional maupun daerah 2. Memfasilitasi usaha pembibitan yang dilakukan UPT/UPTD, rakyat maupun swasta 3. Mendorong usaha-usaha pembibitan ternak di pedesaan 4. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perbibitan melalui pelatihan, magang, studi banding, dan lain-lain 5. Mendorong kemitraan usaha pembibitan ternak antara UPT/UPTD, peternak dengan pengusaha 6. Mendorong pemanfaatan plasma nutfah secara berkesinambungan
KEBIJAKAN 1. Pengelolaan dan peningkatan mutu dan jumlah benih dan bibit ternak 2. Penyusunan, penyempurnaan, sosialisasi ”Sistem Perbibitan Ternak Nasional” dan peraturan perbibitan 3. Penguatan koordinasi dan kelembagaan perbibitan 4. Penguatan SDM perbibitan 5. Promosi dan membangun citra (brand image) bibit ternak 6. Koordinasi perencanaan dan pelaporan
PROGRAM 1.
2. 3. 4. 5.
Peningkatan ketersediaan benih dan bibit ternak serta pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan plasma nutfah Peningkatan minat usaha pembibitan ternak dan membangun citra (brand image) bibit ternak Peningkatan koordinasi dan kelembagaan perbibitan Peningkatan dan pemberdayaan SDM perbibitan Penyusunan dan penyempurnaan peraturan dibidang perbibitan
PROGRAM 1. Peningkatan ketersediaan benih dan bibit ternak serta pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan plasma nutfah 2. Peningkatan minat usaha pembibitan ternak dan membangun citra (brand image) bibit ternak 3. Peningkatan koordinasi dan kelembagaan perbibitan 4. Peningkatan dan pemberdayaan SDM perbibitan 5. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan dibidang perbibitan
MISI DIREKTORAT BUDIDAYA 1. Meningkatkan populasi dan produktivitas ternak ruminansia 2. Meningkatkan dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pakan lokal 3. Mendorong pengembangan teknologi tepat guna melalui pemanfaatan alat dan mesin 4. Meningkatkan kualitas pelayanan teknis budidaya ternak ruminansia yang berorientasi kepada kepuasan pelanggan 5. Meningkatkan koordinasi, pembinaan dan pengembangan wilayah secara terpadu dalam bingkai integrasi usaha. 6. Meningkatkan pembinaan kelembagaan usaha peternakan yang berdaya saing
TUJUAN 1. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha budidaya ternak ruminansia. 2. Meningkatkan ketersediaan daging dan susu 3. Pengaturan stock/persediaan bakalan, daging dan susu. 4. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak
SASARAN 1. Meningkatnya populasi sapi potong mencapai 14,231 juta ekor (pertumbuhan ratarata 2,7 % per tahun) dan produksi daging 420,4 ribu ton (pertumbuhan rata-rata 7,92 % per tahun) sampai dengan tahun 2014. 2. Meningkatnya populasi sapi perah mencapai 613.554 ribu ekor (pertumbuhan ratarata 9,28% pertahun) dan produksi susu mencapai 1,29 juta ton (pertumbuhan ratarata 15,5 % per tahun) sampai dengan tahun 2014. 3. Meningkatnya populasi ternak ruminansia lainnya (kerbau, kambing dan domba). 4. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan peternak
KEBIJAKAN 1. Meningkatkan populasi dan produktivitas ternak ruminansia melalui : inseminasi buatan, intensifikasi kawin alam, pencegahan pemotongan ternak betina produktif dan penanggulangan gangguan reproduksi. 2. Meningkatkan daya saing usaha budidaya ternak ruminansia melalui : produksi bakalan, pembesaran dan penggemukan. 3. Meningkatkan daya saing usaha budidaya ternak perah melalui : pengembangan rearing unit (pembesaran), pengembangan model cluster dan perwilayahan. 4. Meningkatkan ketersediaan pakan yang memenuhi standar kebutuhan secara berkesinambungan melalui : pengembangan tanaman pakan, pembinaan penerapan teknologi tepat guna berbasis sumber daya pakan lokal dan pemanfaatan limbah pertanian serta agroindustri. 5. PengembanganMendorong pemanfaatan alat dan mesin budidaya ternak ruminansia, pengolahan pakan ternak, pasca panen dan pengolahan limbah peternakan. 6. Pemberdayaan kelembagaan usaha budidaya ternak ruminansia melalui : pengembangan kawasan usaha peternakan, fasilitasi permodalan dan kemitraan usaha, pembinaan kelompok, pengembangan model-model usaha peternakan spesifik lokasi. 7. Pemberdayaan peternak melalui peningkatan pelayanan teknis.
PROGRAM Swasembada Daging Sapi Penyediaan Bakalan/daging sapi lokal Peningkatan Produktifitas dan reproduktifitas ternak sapi lokal Pengembangan Hijauan Pakan Ternak (HPT) dan pabrik pakan mini Pencegahan pemotongan sapi betina produktif Pengaturan impor, distribusi dan pemasaran ternak/daging. Revitalisasi Persusuan Peningkatan populasi sapi perah Peningkatan produktivitas sapi perah Pengembangan Hijauan Pakan Ternak (HPT) dan pabrik pakan mini Penanganan pasca panen susu Pengembangan kelembagaan usaha Fasilitasi alat dan mesin Pengembangan Ternak Kerbau, Kambing dan Domba Peningkatan populasi dan produktivitas Pengembangan kelembagaan usaha Pengembangan Hijauan Pakan Ternak (HPT) dan pabrik pakan mini Fasilitasi alat dan mesin
Pencapaian Swasembada Daging Sapi. Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 telah ditetapkan sebagai program Nasional yang harus dipersiapkan dan dilaksanakan secara maksimal agar swasembada daging sapi benar-benar dapat diwujudkan tepat pada waktunya. Oleh karena itu Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS) harus dilakukan melalui berbagai terobosan yang dapat diwujudkan melalui jaringan koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, masyarakat, dan swasta, sehingga swasembada daging dapat dicapai secara berkelanjutan. Berdasarkan analisis kebutuhan dan penyediaan, maka tanpa upaya yang serius, dikhawatirkan pada tahun 2014 Indonesia masih dihadapkan pada kekurangan pasokan daging sapi. Dalam kondisi seperti itu, kebijakan yang dapat diterapkan adalah pengawasan pemotongan betina produktif, importasi sapi betina produktif, pengembangan pakan dan alat dan mesin (Alsin), serta importasi bull.
Pelaksanaan PSDS dilakukan dengan lima kegiatan pokok dan 13 kegiatan operasional yaitu : 1). Kegiatan pokok penyediaan bakalan/daging sapi lokal dengan kegiatan operasional yaitu : a). pengembangan usaha, b). pengembangan pupuk organik dan biogas, c). pengembangan integrasi, dan d). peningkatan kualitas RPH. 2). Kegiatan pokok peningkatan produktivitas dan reproduktivitas sapi lokal dengan kegiatan operasional yaitu : a). optimalisasi IB dan INKA, b). penyediaan dan pengembangan pakan dan air, c). penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan. 3). Kegiatan pokok pencegahan pemotongan sapi betina produktif dengan kegiatan operasional yaitu pemberdayaan sapi betina produktif secara optimal. 4). Kegiatan pokok penyediaan bibit sapi dengan kegiatan operasional yaitu : a). Penguatan kelembagaan sumber bibit dan kelembagaan usaha perbibitan, b). pengembangan usaha pembibitan sapi potong melalui Village Breeding Centre (VBC), dan c). penyediaan bibit melalui subsidi bunga (KUPS). 5). Kegiatan pokok revitalisasi aturan distribusi dan pemasaran ternak/daging sapi dengan kegiatan operasional yaitu : a). pengaturan impor sapi bakalan dan daging dan b). pengaturan distribusi dan pemasaran ternak sapi dan daging di dalam negeri.
Contoh: Sistem Integrasi Sapi Potong dengan komoditas lain Diskusi Kelompok: 1. Mengidentifikasi sistem integrasi sapi potong dengan komoditas lain 2. Analisis SWOT 3. Membuat ringkasan rancangan tentang bagan alir, dan sumberdaya yang dibutuhkan dengan contoh di bawah.
Gambar 1. Model Integrasi Ternak Sapi
Terimakasih