Bahan Analisis RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Supporting System A-194
Masukan Supporting System A-194 atas RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan1
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan merupakan RUU prioritas 2010 yang menjadi usul inisiatif dari DPR yang diserahkan pada badan kelengkapan BALEG. Naskah akademis RUU Perubahan 10/04 ini hingga saat ini belum ‘hadir’ di tangan para anggota BALEG. Tentu saja hal ini harus menjadi catatan bahwa dalam mekanisme formil penyusunan peraturan perundang-undangan dalam hal ini ialah Naskah Akademis RUU perubahan 10/04 seharusnya dapat dibenahi. Adanya pandangan suatu RUU memiliki arti komoditas bernilai tinggi sehingga ‘diserobot’ perancangannya oleh DPR dengan dalih Pasal 20 ayat (1) UUD NKRI 1945 bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada pada DPR seharusnya bukan menjadi ‘senjata’ bagi DPR. Berbagai sumber menyebutkan bahwa kementerian hukum dan HAM telah memiliki konsep yang komprehensif mengenai RUU Perubahan UU 10/04 ini. Hal ini berbeda sekali dengan apa yang saat ini terjadi di BALEG. Beberapa RDPU yang diselenggarakan menunjukka jikalau konsep awal, urgensitas, tujuan perubahan, pokok bahasan yang akan ada dalam RUU masih kabur.2 Terlepas dari kekurangmatangan persiapan yang ada, kami menyimpulkan paling tidak terdapat beberapa pokok pikiran terkait dengan RUU perubahan UU 10/04 ini yang disarikan dari beberapa RDPU yang telah dilakukan, antara lain: 1. Perubahan, penggantian, atau pembentukan UU yang baru sama sekali.3 Perlu diskusi yang panjang terkait hal ini. UU 10/04 diyakini menjadi patokan seluruh legal drafter (perancang peraturan) dalam rangka perancangan peraturan perundang-undangan. Pemerintahan dari tingkat pusat hingga lokal/daerah merujuk pada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UU ini. Sehingga dampak dari perubahan UU 10/04 ini tentu saja berimplikasi masif. 1
Bahan untuk RDPU dengan Prof. Philipus Hardjon dan Prof. Effendi Lotulung, Senin tanggal 22 Februari 2010. 2 RDPU BALEG dengan Prof. Bagir Manan dan Prof. Laica Marzuki pada tanggal 10 Februari 2010. Hal ini juga ditunjukkan dalam RDPU BALEG dengan Prof. Jimly Asshidiqie pada tanggal 16 Februari 2010. 3 Masukan dari Prof. Jimly Asshidiqie.
Menurut pendapat kami, para tenaga ahli BALEG, peneliti dari P3DI, dan drafter Sekjen DPR harus secepatnya menyusun naskah akademis untuk menjadi acuan hal-hal apa saja yang ingin didapatkan dalam RUU ini baik berupa perubahan, penggantian atau pembentukan UU yang sama sekali baru terkait peraturan pembentukan perundang-undangan ini. 2. Analysis cost and benefit dalam proses legislasi RUU ini.4 Perlu adanya pendataan mengenai inefisiensi yang telah terjadi selama ini, ekses negatif apa saja yang ada dalam UU 10/04 yang perlu diubah? Mengapa tidak diperbaiki dengan kebijkan lain (Peraturan Pemerintah atau putusan peradilan)? Apa sudah terdapat kajian yang komprehensif? Adapun akibat yang diharapkan dari RUU yang ada ialah: a) Sistem perundang-undangan lebih tertib b) Teknik penyusunan lebih efektif c) Peraturan lebih bermutu, kokoh secara konstitusional dan punya daya laku atau hidup yang panjang d) Future oriented Sehingga sebelum masuk dalam esensi/materi pembahasan telah terjadi kesepakatan tujuan dari RUU baik dari implikasi sosiologis, yuridis, hingga budgeting. Menurut pendapat kami, masukan ini dapat dimuat dalam naskah akademis sebagaimana usulan diatas.
3. Jenis dan hierarki sebagaimana yang ada dalam Pasal 7 UU 10/04 harus direvisi.5 Dalam hal ini Prof. Jimly mengusulkan adanya pembedaan hierarki peraturan perundang-undangan antara hierarki struktural (berhubungan dengan lembaga yang berwenang membentuk peraturan) dan hierarki fungsional (berhubungan dengan materi ketentuan atau fungsi dari norma). Bagi kami pemikiran ini tentu saja revolusioner dan harus dietapkan dengan seksama 4 5
Masukan dari Prof. Bagir Manan Masukan dari Prof. Jimly Asshidiqie dan Prof. Laica Marzuki
(melihat juga teori piramida norma oleh Kelsen dan pengaturan yang ada dalam konstitusi terkait wewenang MK dan MA). Dalam pandangan Prof. Laica Marzuki disebutkan bahwa sebagaimana dalam Pasal 24A ayat (1) yang menyatakan wewenang MA salah satunya ialah menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap undang-undang, dalam hal ini Perda terhadap UU harus dilaksanakan secara konsekuen. Sehingga jika terdapat mekanisme pembatalan perda oleh mendagri merupakan suatu langkah yang ‘gendeng’. Lebih jauh bahkan, pandangan Prof. Jimly A. dalam permasalahan ini yang menempatkan perda sebagai produk legislatif dan eksekutif pada tingkat daerah sehingga menurutnya selain diuji legalitasnya oleh MA dapat pula diuji konstitusionalitasnya oleh MK. Menurut pendapat kami, pandangan Prof. Jimly dan Prof. Laica mengarah pada federation flavour (aroma federasi). Pengaturan mengenai perda terkait erat dengan konsep hubungan pemerintah pusat dan daerah. Konsep mengenai otonomi daerah di Indonesia yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tetap menempatkan pemerintah daerah pada bingkai negara kesatuan. Pemerintah daerah meskipun kini menerapkan otonomi daerah tetap bagian Indonesia, lebih jauh disebutkan created by central government, sehingga mekanisme perda diuji oleh MA bahkan MK menempatkan kedudukan pemerintah daerah yang sejajar dengan pemerintah pusat. Hal ini tentu saja pemikiran yang terlampau jauh. Menurut pendapat kami, kami setuju dengan masukan dari Prof. Jimly bahwa perda masuk dalam hierarki struktural, sehingga pengujiannya tetap berada dalam kuasa depdagri sebagai pemerintah pusat. DPRD bukanlah bagian dari lembaga legislatif pusat tetapi tetap bagian dari ranah eksekutif dibawah Presiden seperti halnya kepala daerah. Akan tetapi, pandangannya bahwa pengujian perda dapat dilakukan oleh MA dan MK menurut pendapat kami jelaslah keluar dari alur negara kesatuan.
4. Pengaturan mengenai Perpu6 Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang atau perpu akhir-akhir ini meresahkan kehidupan hukum dan politik di Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya pengertian, syarat, dan tolak ukur yang jelas dari hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 12 (alasan subyektif Presiden) dan Pasal 22 ayat (1) UUD NKRI 1945. Bagi Prof. Jimly, Perpu dan Perpres dapat dijadikan ‘senjata’ bagi pemerintah (dalam arti sempit) untuk melegalkan sesuatu yang jelas ilegal. Hal ini dikarenakan persetujuan (Pasal 22 ayat (2)) dan atau penolakan dengan diikuti langkah pengajuan RUU pencabutan perpu oleh Presiden membutuhkan waktu yang lama dari waktu dikeluarkannya perpu oleh Presiden. Dalam waktu jeda tersebut hal-hal ilegal yang dibenarkan dalam perpu menjadi legal. Mengenai pengujian perpu oleh Prof. Bagir Manan, tidak dapat dilakukan oleh lembaga peradilan apapun (MA dan MK). Hal ini terjadi dikarenakan perpu dikeluarkan dalam keadaan hal ihwal kegentingan yang memaksa (keadaan tidak normal) sehingga sesuatu keadaan yang tidak normal tidak dapat diuji oleh lembaga peradilan dalam keadaan yang normal. Jika terjadi pengujian maka ketidakadilanlah yang terjadi. Pendapat Prof. Jimly pencabutan perpu idealnya dilakukan saja dengan kepres dan bukan oleh RUU pencabutan. Kepres merupakan jawaban dikarenakan langkah hukum perpu dilakukan oleh satu pihak (Presiden) tidak melibatkan DPR, sehingga dicabut oleh Presiden juga. Permasalahan selanjutnya apakah perpu termasuk materi ketentuan definisi, syarat, dan tolak ukur hal ihwal kegentingan yang memaksa masuk dalam RUU ini atau terpisah dengan RUU tersendiri? Bagi Prof. Bagir Manan opsi manapun dapat dilakukan. Sedangkan Prof. Laica M. menyarankan untuk dimasukkan saja dalam RUU ini dengan alasan praktis. Pendapat kami, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 12 disebutkan “….syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undangundang.”, maka pengaturan mengenai hal ihwal kegentingan yang memaksa (dalam diartikan pula keadaan bahaya) harus dilakukan dengan
6
Masukan dari Prof. Bagir Manan, Prof. Laica Marzuki dan Prof. Jimly A.
undang-undang tersendiri. Hal ini dikarenakan pemakaian kata dengan dan bukan kata dalam. Implikasinya sesuai dengan pendapat Prof. Jimly kedepannya jika syarat yang akan dituangkan kedalam RUU tersendiri tersebut, dapat saja perpu melanggar konstitusi kecuali Pasal 28I UUD NKRI tahun 1945. 5. Sistem informasi hukum dan administrasi hukum7 Susahnya rakyat untuk mengakses produk hukum (regeling/peraturan, beschiking/keputusan,
vonis/putusan
peradilan,
dan
beleidsregel/aturan
kebijakan) tentu saja perlu diperbaiki. Publikasi dan promulgasi (to announce) non-peraturan haruslah diperbaiki. Berkaitan dengan permasalahan tersebut ialah adanya Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara, dan Berita Negara. Menurut Prof. Jimly tambahan lembaran negara dapat ditiadakan, lembaran negara berisi produk hukum berupa peraturan perundang-undangan dari pusat hingga daerah), dan berita negara yang berisi putusan pengadilan, Keputusan pejabat tata usaha negara, dan tindakan pengesahan badan hukum. Sedangkan tambahan dari Prof. Bagir Manan, perlu adanya badan khusus DPR yang mengurus percetakan dan kemudahan informasi data peraturan perundang-undangan bagi masyarakat.
7
Masukan dari Prof. Jimly A. dan Prof. Bagir Manan.