UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan;
b.
bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan
sudah
tidak
sesuai
dengan
penyelenggaraan
kepabeanan sehingga perlu dilakukan perubahan; c.
bahwa dalam upaya untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik, untuk mendukung upaya peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan perdagangan global, untuk mendukung kelancaran arus barang dan meningkatkan efektivitas pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam daerah pabean Indonesia, serta untuk mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan, perlu pengaturan yang lebih jelas dalam pelaksanaan kepabeanan;
http://www.bphn.go.id/
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan
Atas
Undang-Undang
Nomor
10
Tahun
1995
tentang
Kepabeanan. Mengingat: 1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564);
3.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995, Nomor 3612); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75,
http://www.bphn.go.id/
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3612) diubah sebagai berikut: 1.Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 17 diubah dan ditambah 4 (empat) angka, yaitu angka 15a, angka 19, angka 20, dan angka 21 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Kepabeanan
adalah
segala
sesuatu
yang
berhubungan
dengan
pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar. 2. Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang ini. 3. Kawasan pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 4. Kantor pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai
tempat
dipenuhinya
kewajiban
pabean
sesuai
dengan
ketentuan Undang-Undang ini. 5. Pos pengawasan pabean adalah tempat yang digunakan oleh pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan ekspor. 6. Kewajiban pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini. 7. Pemberitahuan pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
http://www.bphn.go.id/
8. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 9. Direktur jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai. 10. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai. 11. Pejabat bea dan cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang ini. 12. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 13. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. 14. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. 15. Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. 15a. Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang ekspor. 16. Tempat penimbunan sementara adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di kawasan pabean untuk menimbun barang, sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya. 17. Tempat penimbunan berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk. 18. Tempat penimbunan pabean adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu, yang disediakan oleh pemerintah di kantor pabean, yang berada di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk menyimpan barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara berdasarkan Undang-Undang ini. 19. Barang tertentu adalah barang yang ditetapkan oleh instansi teknis terkait sebagai barang yang pengangkutannya di dalam daerah pabean diawasi. 20. Audit kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku,
http://www.bphn.go.id/
catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang
dalam
rangka
pelaksanaan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan di bidang kepabeanan. 21. Tarif adalah klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau bea keluar. 2.Ketentuan Pasal 2 ayat (2) diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 1) Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk. 2) Barang yang telah dimuat di sarana pengangkut untuk dikeluarkan dari daerah pabean dianggap telah diekspor dan diperlakukan sebagai barang ekspor. 3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan barang ekspor dalam hal dapat dibuktikan bahwa barang tersebut ditujukan untuk dibongkar di suatu tempat dalam daerah pabean. 3. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 pasal yaitu Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 2A 1) Terhadap barang ekspor dapat dikenakan bea keluar. 2) Bea keluar dikenakan terhadap barang ekspor dengan tujuan untuk: a. menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; b. melindungi kelestarian sumber daya alam; c. mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari
http://www.bphn.go.id/
komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; atau d. menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri. 3) Ketentuan mengenai pengenaan bea keluar terhadap barang ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 4) Ketentuan Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 1) Terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean. 2) Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang. 3) Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara selektif. 4) Ketentuan
mengenai
tata
cara
pemeriksaan
pabean
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 5) Pasal 4 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 4 sehingga Penjelasan Pasal 4 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini. 6) Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A 1) Terhadap barang tertentu dilakukan pengawasan pengangkutannya dalam daerah pabean.
http://www.bphn.go.id/
2) Instansi teknis terkait, melalui menteri yang membidangi perdagangan, memberitahukan jenis barang yang ditetapkan sebagai barang tertentu kepada Menteri. 3) Ketentuan
mengenai
pengawasan
pengangkutan
barang
tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. 7) Ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 1) Pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean dengan menggunakan pemberitahuan pabean. 2) Pemberitahuan pabean disampaikan kepada pejabat bea dan cukai di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean. 3) Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, ditetapkan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean. 4) Penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri. 8) Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 5A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 5A 1) Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik. 2) Penetapan kantor pabean tempat penyampaian pemberitahuan pabean
http://www.bphn.go.id/
dalam bentuk data elektronik dilakukan oleh Menteri. 3) Data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang ini. 4) Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 9) Ketentuan Pasal 6 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 1) Terhadap barang yang diimpor atau diekspor berlaku segala ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 2) Dalam hal pengawasan pengangkutan barang tertentu tidak diatur oleh instansi teknis terkait, pengaturannya didasarkan pada ketentuan Undang-Undang ini. 10)Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 6A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 6A 1) Orang yang akan melakukan pemenuhan kewajiban pabean wajib melakukan registrasi ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mendapat nomor identitas dalam rangka akses kepabeanan. 2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) orang yang melakukan pemenuhan kewajiban pabean tertentu. 3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 11) Judul BAB II diubah sehingga BAB II berbunyi sebagai berikut:
http://www.bphn.go.id/
BAB II PENGANGKUTAN BARANG, IMPOR, DAN EKSPOR 13)Judul BAB II Bagian Pertama diubah sehingga BAB II Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut: Bagian Pertama Pengangkutan Barang 13.Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 1 diubah sehingga BAB II Bagian Pertama Paragraf 1 berbunyi sebagai berikut: Paragraf 1 Kedatangan Sarana Pengangkut 14.Pasal 7 dihapus. 15.Di antara Pasal 7 dan BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 7A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 7A (1) Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan datang dari: a. luar daerah pabean; atau b. dalam daerah pabean yang mengangkut barang impor, barang ekspor, dan/atau barang asal daerah pabean yang diangkut ke tempat lain dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean, wajib memberitahukan rencana kedatangan sarana pengangkut ke kantor pabean tujuan sebelum kedatangan sarana pengangkut, kecuali
http://www.bphn.go.id/
sarana pengangkut darat. (2) Pengangkut yang sarana pengangkutnya memasuki daerah pabean wajib mencantumkan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam manifesnya. (3) Pengangkut yang sarana pengangkutnya datang dari luar daerah pabean atau datang dari dalam daerah pabean dengan mengangkut barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan pemberitahuan pabean
mengenai
barang
yang
diangkutnya
sebelum
melakukan
pembongkaran. (4) Dalam hal tidak segera dilakukan pembongkaran, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan: a. paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sejak kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut yang melalui laut; b. paling
lambat
8
(delapan)
jam
sejak
kedatangan
sarana
pengangkut, untuk sarana pengangkut yang melalui udara; atau c. pada
saat
kedatangan
sarana
pengangkut,
untuk
sarana
pengangkut yang melalui darat. (5) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikecualikan bagi pengangkut yang berlabuh paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan tidak melakukan pembongkaran barang. (6) Dalam hal sarana pengangkut dalam keadaan darurat, pengangkut dapat membongkar barang impor terlebih dahulu dan wajib: a. melaporkan keadaan darurat tersebut ke kantor pabean terdekat pada kesempatan pertama; dan b. menyerahkan pemberitahuan pabean paling lambat 72 (tujuh puluh dua) jam sesudah pembongkaran. (7) Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (8) Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
http://www.bphn.go.id/
ayat (3), ayat (4), atau ayat (6) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 16.Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 diubah sehingga BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 berbunyi sebagai berikut: Paragraf 2 Pengangkutan Barang 17.Pasal 8 dihapus. 18.Di antara Pasal 8 BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 disisipkan 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 8A, Pasal 8B, dan Pasal 8C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A (1) Pengangkutan barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat
penimbunan
berikat
dengan
tujuan
tempat
penimbunan
sementara atau tempat penimbunan berikat lainnya wajib diberitahukan ke kantor pabean. (2) Pengusaha atau importir yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat
membuktikan
bahwa
kesalahan
tersebut
terjadi
di
luar
kemampuannya, wajib membayar bea masuk atas barang impor yang kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
http://www.bphn.go.id/
(3) Pengusaha atau importir yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar lebih dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (4) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. Pasal 8B (1) Pengangkutan tenaga listrik, barang cair, atau gas untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui transmisi atau saluran pipa yang jumlah dan jenis barangnya didasarkan pada hasil pengukuran di tempat pengukuran terakhir dalam daerah pabean. (2) Pengiriman peranti lunak dan/atau data elektronik untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui transmisi elektronik. (3) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. Pasal 8C (1) Barang tertentu wajib diberitahukan oleh pengangkut baik pada waktu keberangkatan maupun kedatangan di kantor pabean yang ditetapkan. (2) Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilindungi dokumen yang sah dalam pengangkutannya. (3) Pengangkut yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada
http://www.bphn.go.id/
ayat (1), tetapi jumlahnya kurang atau lebih dari yang diberitahukan dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (4) Pengangkut yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. 19.Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 diubah sehingga BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 berbunyi sebagai berikut: Paragraf 3 Keberangkatan Sarana Pengangkut 20.Pasal 9 dihapus. 21.Di antara Pasal 9 dan BAB II Bagian Kedua disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 9A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 9A (1) Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan berangkat menuju: a. ke luar daerah pabean; b. ke dalam daerah pabean yang mengangkut barang impor, barang ekspor, dan/atau barang asal daerah pabean yang diangkut ke tempat lain di dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean, wajib menyerahkan pemberitahuan pabean atas barang yang
http://www.bphn.go.id/
diangkutnya sebelum keberangkatan sarana pengangkut. (2) Pengangkut yang sarana pengangkutnya menuju ke luar daerah pabean wajib mencantumkan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam manifesnya. (3) Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00
(sepuluh
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 22.Judul BAB II Bagian Kedua diubah sehingga BAB II Bagian Kedua berbunyi sebagai berikut: Bagian Kedua Impor 23.Pasal 10 dihapus. 24.BAB II Bagian Kedua ditambah 3 (tiga) paragraf, yaitu Paragraf 1, Paragraf 2, dan Paragraf 3 yang berbunyi sebagai berikut: Paragraf 1 Pembongkaran, Penimbunan, dan Pengeluaran Pasal 10A (1) Barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) wajib dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor pabean.
http://www.bphn.go.id/
(2) Barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) dapat dibongkar ke sarana pengangkut lainnya di laut dan barang tersebut wajib dibawa ke kantor pabean melalui jalur yang ditetapkan. (3) Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan
dalam
pemberitahuan
pabean
dan
tidak
dapat
membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, wajib membayar bea masuk atas barang impor yang kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (4) Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar lebih banyak dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (5) Barang impor, sementara menunggu pengeluarannya dari kawasan pabean, dapat ditimbun di tempat penimbunan sementara. (6) Dalam hal tertentu, barang impor dapat ditimbun di tempat lain yang diperlakukan sama dengan tempat penimbunan sementara. (7) Barang impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6) setelah dipenuhinya kewajiban pabean untuk: a. diimpor untuk dipakai; b. diimpor sementara; c. ditimbun di tempat penimbunan berikat; d. diangkut ke tempat penimbunan sementara di kawasan pabean lainnya;
http://www.bphn.go.id/
e. diangkut terus atau diangkut lanjut; atau f. diekspor kembali. (8) Orang yang mengeluarkan barang impor dari kawasan pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6), setelah memenuhi semua ketentuan tetapi belum mendapat persetujuan pengeluaran dari pejabat bea dan cukai, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). (9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. Paragraf 2 Impor Untuk Dipakai Pasal 10B (1) Impor untuk dipakai adalah: a.memasukkan barang ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipakai; atau b.memasukkan barang ke dalam daerah pabean untuk dimiliki atau dikuasai oleh orang yang berdomisili di Indonesia. (2) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor untuk dipakai setelah: a.diserahkan pemberitahuan pabean dan dilunasi bea masuknya; b.diserahkan pemberitahuan pabean dan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42; atau c.diserahkan dokumen pelengkap pabean dan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. (3) Barang impor yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, atau pelintas batas ke dalam daerah pabean pada saat kedatangannya wajib diberitahukan kepada pejabat bea dan cukai. (4) Barang impor yang dikirim melalui pos atau jasa titipan hanya dapat
http://www.bphn.go.id/
dikeluarkan atas persetujuan pejabat bea dan cukai. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. (6) Orang yang tidak melunasi bea masuk atas barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b atau huruf c dalam jangka waktu yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 10% (sepuluh persen) dari bea masuk yang wajib dilunasi. Pasal 10C (1) Importir dapat mengajukan permohonan perubahan atas kesalahan data pemberitahuan pabean yang telah diserahkan sepanjang kesalahan tersebut terjadi karena kekhilafan yang nyata. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak apabila: a. barang telah dikeluarkan dari kawasan pabean; b. kesalahan tersebut merupakan temuan pejabat bea dan cukai; atau c. telah mendapatkan penetapan pejabat bea dan cukai. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. Paragraf 3 Impor Sementara Pasal 10D (1) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada waktu importasinya benar-benar dimaksudkan untuk diekspor kembali paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Barang impor sementara sampai saat diekspor kembali berada dalam pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
http://www.bphn.go.id/
(3) Barang impor sementara dapat diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk. (4) Barang impor sementara yang diberikan keringanan bea masuk, setiap bulan dikenai bea masuk paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. (5) Orang yang terlambat mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu yang diizinkan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. (6) Orang yang tidak mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu yang diizinkan wajib membayar bea masuk dan dikenai sanksi administrasi berupa denda 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. (7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 25.Judul BAB II Bagian Ketiga diubah sehingga BAB II Bagian Ketiga berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga Ekspor 26.Pasal 11 dihapus. 27.Di antara Pasal 11 dan BAB III disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 11A (1) Barang yang akan diekspor wajib diberitahukan dengan pemberitahuan pabean. (2) Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
http://www.bphn.go.id/
diperlukan
terhadap
barang
pribadi
penumpang,
awak
sarana
pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai dengan batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu. (3) Pemuatan barang ekspor dilakukan di kawasan pabean atau dalam hal tertentu dapat dimuat di tempat lain dengan izin kepala kantor pabean. (4) Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor, sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun di tempat penimbunan sementara atau tempat lain dengan izin kepala kantor pabean. (5) Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika ekspornya dibatalkan wajib dilaporkan kepada pejabat bea dan cukai. (6) Eksportir
yang
tidak
melaporkan
pembatalan
ekspor
sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). (7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 28.Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terhadap: a. barang impor yang dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional; atau b. barang impor bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan. (2) Tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. 29.Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
http://www.bphn.go.id/
Pasal 14 (1) Untuk penetapan tarif bea masuk dan bea keluar, barang dikelompokkan berdasarkan sistem klasifikasi barang. (2) Ketentuan tentang klasifikasi barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. 30.Ketentuan Pasal 15 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) diubah, dan di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3a) sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan. (2) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi barang dari barang identik. (3) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi dari barang serupa. (3a) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan ketentuan pada ayat (4) dan ayat (5) secara berurutan, kecuali atas permintaan importir, urutan penentuan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat digunakan mendahului ayat (4).
http://www.bphn.go.id/
(4) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan metode deduksi. (5) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan metode komputasi. (6) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), atau metode komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan dengan menggunakan tata cara yang wajar dan konsisten dengan prinsip dan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) berdasarkan data yang tersedia di daerah pabean dengan pembatasan tertentu. (7) Ketentuan mengenai nilai pabean untuk penghitungan bea masuk diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 31.Ketentuan Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif terhadap barang impor sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean. (2) Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai pabean barang impor untuk penghitungan bea masuk sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan
http://www.bphn.go.id/
pabean. (3) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk kecuali importir mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1), importir wajib melunasi bea masuk yang kurang dibayar sesuai dengan penetapan. (4) Importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar. (5) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) mengakibatkan kelebihan pembayaran bea masuk, pengembalian bea masuk dibayar sebesar kelebihannya. (6) Ketentuan mengenai penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 32.Ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (4) sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. (2) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada importir untuk: a. melunasi bea masuk yang kurang dibayar; atau b. mendapatkan pengembalian bea masuk yang lebih dibayar. (3) Bea masuk yang kurang dibayar atau pengembalian bea masuk yang lebih
http://www.bphn.go.id/
dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayar sesuai dengan penetapan kembali. (4) Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diakibatkan oleh adanya kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar. 33.Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A Berdasarkan permohonan, Direktur Jenderal dapat menetapkan klasifikasi barang dan nilai pabean atas barang impor sebagai dasar penghitungan bea masuk sebelum diajukan pemberitahuan pabean. 34.Judul BAB IV diubah sehingga BAB IV berbunyi sebagai berikut: BAB IV BEA MASUK ANTI DUMPING, BEA MASUK IMBALAN, BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN, DAN BEA MASUK PEMBALASAN 35.Pasal 20 dihapus. 36.Pasal 23 dihapus. 37.BAB IV ditambahkan 3 (tiga) bagian, yaitu Bagian Ketiga, Bagian Keempat,
http://www.bphn.go.id/
dan Bagian Kelima yang berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga Bea Masuk Tindakan Pengamanan Pasal 23A Bea masuk tindakan pengamanan dapat dikenakan terhadap barang impor dalam hal terdapat lonjakan barang impor baik secara absolut maupun relatif terhadap barang produksi dalam negeri yang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing, dan lonjakan barang impor tersebut: a. menyebabkan kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut dan/atau barang yang secara langsung bersaing; atau b. mengancam terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dan/atau barang yang secara langsung bersaing. Pasal 23B (1) Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. (2) Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1). Bagian Keempat Bea Masuk Pembalasan
http://www.bphn.go.id/
Pasal 23C (1) Bea masuk pembalasan dikenakan terhadap barang impor yang berasal dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara diskriminatif. (2) Bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1). Bagian Kelima Pengaturan dan Penetapan Pasal 23D (1) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (2) Besar tarif bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan
pengamanan,
dan
bea
masuk
pembalasan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. 38.Ketentuan Pasal 25 ayat (2) dihapus dan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 (1) Pembebasan bea masuk diberikan atas impor: a. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; b. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia; c. buku ilmu pengetahuan;
http://www.bphn.go.id/
d. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah untuk umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam; e. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum serta barang untuk konservasi alam; f. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; g. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya; h. persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan kepolisian, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara; i. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara; j. barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan; k. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah; l. barang pindahan;barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu; m. obat-obatan yang diimpor dengan menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat; n. barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian; o. barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama dengan kualitas pada saat diekspor; p. bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan. (2) Dihapus. (3) Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. (4) Orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pembebasan bea masuk
http://www.bphn.go.id/
yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. 39.Ketentuan Pasal 26 ayat (2) dihapus dan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Pembebasan atau keringanan bea masuk dapat diberikan atas impor: a.barang dan bahan untuk pembangunan dan pengembangan industri dalam rangka penanaman modal; b.mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri; c.barang
dan
bahan
dalam
rangka
pembangunan
dan
pengembangan industri untuk jangka waktu tertentu; d.peralatan
dan
bahan
yang
digunakan
untuk
mencegah
pencemaran lingkungan; e.bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian, peternakan, atau perikanan; f.hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin; g.barang
yang
mengalami
kerusakan,
penurunan
mutu,
kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena alamiah antara saat diangkut ke dalam daerah pabean dan saat diberikan persetujuan impor untuk dipakai; h.barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum; i.barang untuk keperluan olahraga yang diimpor oleh induk organisasi olahraga nasional;
http://www.bphn.go.id/
j.barang untuk keperluan proyek pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah dari luar negeri; k.barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor. (2) Dihapus. (3) Ketentuan
mengenai
pembebasan
atau
keringanan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. (4) Orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. 40.Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 (1) Pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian bea masuk yang telah dibayar atas: a. kelebihan pembayaran bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat (3), atau karena kesalahan tata usaha; b. impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26; c. impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai; d. impor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai kedapatan jumlah yang sebenarnya lebih kecil daripada yang telah dibayar bea masuknya, cacat, bukan barang yang dipesan, atau berkualitas lebih rendah; atau e. kelebihan pembayaran bea masuk akibat putusan Pengadilan Pajak.
http://www.bphn.go.id/
(2) Ketentuan tentang pengembalian bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 41.Ketentuan Pasal 30 diubah dengan menambah 2 (dua) ayat, yaitu ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Importir bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang sejak tanggal pemberitahuan pabean atas impor. (2) Bea masuk yang harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan tarif yang berlaku pada tanggal pemberitahuan pabean atas Impor dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (3) Bea masuk harus dibayar dalam mata uang rupiah. (4) Ketentuan mengenai nilai tukar mata uang yang digunakan untuk penghitungan dan pembayaran bea masuk diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. 42.Ketentuan Pasal 32 ayat (3) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (4) sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Pengusaha tempat penimbunan sementara bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang atas barang yang ditimbun di tempat penimbunan sementara. (2) Pengusaha tempat penimbunan sementara dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal barang yang ditimbun di tempat penimbunan sementaranya: a.
musnah tanpa sengaja;
http://www.bphn.go.id/
b.telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai, atau diimpor sementara; atau c.telah dipindahkan ke tempat penimbunan sementara lain, tempat penimbunan berikat atau tempat penimbunan pabean. (3) Perhitungan bea masuk yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak dapat didasarkan pada tarif dan nilai pabean barang yang bersangkutan, didasarkan pada tarif tertinggi untuk golongan barang yang tertera dalam pemberitahuan pabean pada saat barang tersebut ditimbun di tempat penimbunan sementara dan nilai pabean ditetapkan oleh pejabat bea dan cukai. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) termasuk tata cara penagihan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 43.Judul BAB VII diubah sehingga BAB VII berbunyi sebagai berikut: BAB VII PEMBAYARAN, PENAGIHAN UTANG, DAN JAMINAN 44.Judul BAB VII Bagian Pertama diubah sehingga BAB VII Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut: Bagian Pertama Pembayaran 45.Ketentuan Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 36 berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
http://www.bphn.go.id/
(1) Bea masuk, denda administrasi, dan bunga yang terutang kepada negara menurut Undang-Undang ini, dibayar di kas negara atau di tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri. (2) Bea masuk, denda administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan jumlahnya dalam ribuan rupiah. (3) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran, penerimaan, penyetoran bea masuk, denda administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta pembulatan jumlahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 46.Ketentuan Pasal 37 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (2a) sehingga Pasal 37 berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 (1) Bea masuk yang terutang wajib dibayar paling lambat pada tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean. (2) Kewajiban membayar bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan penundaan dalam hal pembayarannya ditetapkan secara berkala atau menunggu keputusan pembebasan atau keringanan. (2a) Penundaan kewajiban membayar bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2): a. tidak dikenai bunga sepanjang pembayarannya ditetapkan secara berkala; b. dikenai bunga sepanjang permohonan pembebasan atau keringanan ditolak. (3) Ketentuan mengenai penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 47.Di antara Pasal 37 dan Bagian Kedua BAB VII disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu
http://www.bphn.go.id/
Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 37A (1) Kekurangan pembayaran bea masuk dan/atau denda administrasi yang terutang wajib dibayar paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan. (2) Atas
permintaan
orang
yang
berutang,
Direktur
Jenderal
dapat
memberikan persetujuan penundaan atau pengangsuran kewajiban membayar
bea
masuk
dan/atau
denda
administrasi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 12 (dua belas) bulan. (3) Penundaan kewajiban membayar bea masuk dan/atau denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan. (4) Ketentuan
mengenai
penundaan
pembayaran
utang
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 48.Ketentuan Pasal 38 diubah dengan menambah 1 (satu), yaitu ayat (3) sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Utang atau tagihan kepada negara berdasarkan Undang-Undang ini yang tidak atau kurang dibayar dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai hari pembayarannya, dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan. (2) Penghitungan
utang
atau
tagihan
kepada
negara
menurut
Undang-Undang ini dibulatkan jumlahnya dalam ribuan rupiah. (3) Jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai berikut:
http://www.bphn.go.id/
a. dalam hal tagihan negara kepada pihak yang terutang yaitu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (1); b. dalam hal tagihan pihak yang berpiutang kepada negara yaitu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat keputusan pengembalian oleh Menteri. 49.Pasal 41 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 41 sehingga penjelasan Pasal 41 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal dalam Undang-Undang ini. 50.Ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (1a) sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 (1) Dengan persyaratan tertentu, suatu kawasan, tempat, atau bangunan dapat
ditetapkan
sebagai
tempat
penimbunan
berikat
dengan
mendapatkan penangguhan bea masuk untuk: a. menimbun barang impor guna diimpor untuk dipakai, dikeluarkan ke tempat penimbunan berikat lainnya atau diekspor; b. menimbun barang guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai; c. menimbun barang impor, dengan atau tanpa barang dari dalam daerah pabean, guna dipamerkan; d. menimbun, menyediakan untuk dijual dan menjual barang impor kepada orang dan/atau orang tertentu; e. menimbun barang impor guna dilelang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai; f. menimbun barang asal daerah pabean guna dilelang sebelum
http://www.bphn.go.id/
diekspor atau dimasukkan kembali ke dalam daerah pabean; atau g. menimbun barang impor guna didaur ulang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai. (1a) Menteri dapat menetapkan suatu kawasan, tempat, atau bangunan untuk dilakukannya suatu kegiatan tertentu selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai tempat penimbunan berikat. (2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pendirian penyelenggaraan, pengusahaan, dan perubahan bentuk tempat penimbunan berikat diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. 51.Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga Pasal 45 berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 (1) Barang
dapat
dikeluarkan
dari
tempat
penimbunan
berikat
atas
persetujuan pejabat bea dan cukai untuk: a. diimpor untuk dipakai; b. diolah; c. diekspor sebelum atau sesudah diolah; d. diangkut ke tempat penimbunan berikat lain atau tempat penimbunan sementara; e. dikerjakan dalam daerah pabean dan kemudian dimasukkan kembali ke tempat penimbunan berikat dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri; atau f. dimasukkan kembali ke dalam daerah pabean. (2) Barang dari tempat penimbunan berikat yang diimpor untuk dipakai berupa: a. barang yang telah diolah atau digabungkan; b. barang yang tidak diolah; dan/atau c. barang lainnya. (3) Dipungut bea masuk berdasarkan tarif dan nilai pabean yang ditetapkan
http://www.bphn.go.id/
dengan peraturan menteri. (4) Orang yang mengeluarkan barang dari tempat penimbunan berikat sebelum diberikan persetujuan oleh pejabat bea dan cukai tanpa bermaksud mengelakkan kewajiban pabean, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). (5) Pengusaha
tempat
penimbunan
berikat
yang
tidak
dapat
mempertanggungjawabkan barang yang seharusnya berada di tempat tersebut wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. 52.Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 Importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan wajib menyelenggarakan pembukuan. 53.Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 (1) Atas permintaan pejabat bea dan cukai, orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan untuk kepentingan audit kepabeanan. (2) Dalam hal orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berada di tempat, kewajiban untuk menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan
http://www.bphn.go.id/
dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan beralih kepada yang mewakili. 54.Ketentuan Pasal 51 diubah dan ditambah 3 (tiga) ayat, yaitu ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sehingga Pasal 51 berbunyi sebagai berikut: Pasal 51 (1) Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib diselenggarakan dengan baik agar menggambarkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya, dan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, pendapatan, dan biaya. (2) Pembukuan wajib diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, mata uang rupiah, dan bahasa Indonesia, atau dengan mata uang asing dan bahasa asing yang diizinkan oleh menteri. (3) Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya di Indonesia. (4) Ketentuan mengenai pedoman penyelenggaraan pembukuan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 55.Ketentuan Pasal 52 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat sehingga Pasal 52 berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 (1) Orang yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp.
http://www.bphn.go.id/
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Orang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). 56.Judul BAB X diubah sehingga BAB X berbunyi sebagai berikut: BAB X LARANGAN DAN PEMBATASAN IMPOR ATAU EKSPOR, PENANGGUHAN IMPOR ATAU EKSPOR BARANG HASIL PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN PENINDAKAN ATAS BARANG YANG TERKAIT DENGAN TERORISME DAN/ATAU KEJAHATAN LINTAS NEGARA 57.Ketentuan Pasal 53 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai berikut: Pasal 53 (1) Untuk
kepentingan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
ketentuan
larangan dan pembatasan, instansi teknis yang menetapkan peraturan larangan
dan/atau
pembatasan
atas
impor
atau
ekspor
wajib
memberitahukan kepada Menteri. (2) Ketentuan
mengenai
pelaksanaan
pengawasan
peraturan
larangan
dan/atau pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. (3) Semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk
diimpor
atau
diekspor,
jika
telah
diberitahukan
dengan
http://www.bphn.go.id/
pemberitahuan pabean, atas permintaan importir atau eksportir: a. dibatalkan ekspornya; b. diekspor kembali; atau c. dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai; kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar dinyatakan sebagai barang yang dikuasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 58.Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54 Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta, ketua pengadilan niaga dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada pejabat bea dan cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia. 59.Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga Pasal 56 berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 Berdasarkan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, pejabat bea dan cukai: a. memberitahukan secara tertulis kepada importir, eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya perintah penangguhan pengeluaran barang impor dan ekspor;
http://www.bphn.go.id/
b. melaksanakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dari kawasan pabean terhitung sejak tanggal diterimanya perintah tertulis ketua pengadilan niaga. 60.Ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 57 berbunyi sebagai berikut: Pasal 57 (1) Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu, dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dengan perintah tertulis ketua pengadilan niaga. (3) Perpanjangan penangguhan terhadap pengeluaran barang impor atau ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan perpanjangan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d. 61.Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga Pasal 58 berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 (1) Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta yang meminta perintah penangguhan, ketua pengadilan niaga dapat memberi izin kepada pemilik atau pemegang hak tersebut guna memeriksa barang impor atau ekspor yang diminta penangguhan pengeluarannya. (2) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan niaga setelah mendengarkan dan mempertimbangkan penjelasan serta memperhatikan kepentingan pemilik
http://www.bphn.go.id/
barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya. 62.Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga Pasal 59 berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), pejabat bea dan cukai tidak menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan pengeluaran bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan, pejabat bea dan cukai wajib mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan
dan
menyelesaikannya
sesuai
dengan
ketentuan
kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini. (2) Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan hak telah mulai dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor wajib secepatnya melaporkannya kepada pejabat bea dan cukai yang menerima perintah dan melaksanakan penangguhan barang impor atau ekspor. (3) Dalam hal tindakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah diberitahukan dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2), pejabat bea dan cukai mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran
barang
impor
atau
ekspor
yang
bersangkutan
dan
menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini.
http://www.bphn.go.id/
63.Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 Dalam keadaan tertentu, importir, eksportir, atau pemilik barang impor atau ekspor dapat mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan niaga untuk memerintahkan secara tertulis kepada pejabat bea dan cukai agar mengakhiri penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dengan menyerahkan jaminan yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d. 64.Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga Pasal 61 berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 (1) Apabila dari hasil pemeriksaan perkara terbukti bahwa barang impor atau ekspor tersebut tidak merupakan atau tidak berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta, pemilik barang impor atau ekspor berhak untuk memperoleh ganti rugi dari pemilik atau pemegang hak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor tersebut. (2) Pengadilan niaga yang memeriksa dan memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memerintahkan agar jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d digunakan sebagai pembayaran atau bagian pembayaran ganti rugi yang harus dibayarkan. 65.Di antara Pasal 64 dan BAB XI disisipkan 1 (satu) bagian, yaitu Bagian Ketiga yang berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga Penindakan Atas Barang yang Terkait dengan Terorisme dan/atau Kejahatan Lintas Negara
http://www.bphn.go.id/
Pasal 64A (1) Barang yang berdasarkan bukti permulaan diduga terkait dengan tindakan terorisme dan/atau kejahatan lintas negara dapat dilakukan penindakan oleh pejabat bea dan cukai. (2) Ketentuan mengenai tata cara penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 66.Ketentuan Pasal 75 ayat (1) diubah sehingga Pasal 75 berbunyi sebagai berikut: Pasal 75 (1) Pejabat bea dan cukai dalam melaksanakan pengawasan terhadap sarana pengangkut di laut atau di sungai menggunakaan kapal patroli atau sarana lainnya. (2) Kapal patroli atau sarana lain yang digunakan oleh pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan senjata api yang jumlah dan jenisnya ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 67.Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga Pasal 76 berbunyi sebagai berikut: Pasal 76 (1) Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini pejabat bea dan cukai dapat meminta bantuan Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan/atau instansi lainnya. (2) Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan/atau instansi lainnya berkewajiban untuk memenuhinya.
http://www.bphn.go.id/
68.Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78 Pejabat bea dan cukai berwenang untuk mengunci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman yang diperlukan terhadap barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dan barang ekspor atau barang lain yang harus diawasi menurut Undang-Undang ini yang berada di sarana pengangkut, tempat penimbunan atau tempat lain. 69.Ketentuan Pasal 82 ayat (4) dihapus dan ayat (1), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 82 berbunyi sebagai berikut: Pasal 82 (1) Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan pemeriksaan pabean atas barang impor atau barang ekspor setelah pemberitahuan pabean diserahkan. (2) Pejabat
bea
dan
cukai
berwenang
meminta
importir,
eksportir,
pengangkut, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, atau yang mewakilinya menyerahkan barang untuk diperiksa, membuka sarana pengangkut atau bagiannya, dan membuka setiap bungkusan atau pengemas yang akan diperiksa. (3) Jika permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi: a. pejabat bea dan cukai berwenang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas risiko dan biaya yang bersangkutan; dan b. yang bersangkutan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). (4) Dihapus. (5) Setiap orang yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang
http://www.bphn.go.id/
dalam
pemberitahuan
pabean
atas
impor
yang
mengakibatkan
kekurangan pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1.000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar. (6) Setiap orang yang salah memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang dalam pemberitahuan pabean atas ekspor yang mengakibatkan tidak terpenuhinya
pungutan
negara
di
bidang
ekspor
dikenai
sanksi
administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari pungutan negara di bidang ekspor yang kurang dibayar dan paling banyak 1.000% (seribu persen) dari pungutan negara di bidang ekspor yang kurang dibayar. 70.Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan satu pasal, yaitu Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 82A (1) Untuk kepentingan pengawasan, pejabat bea dan cukai berwenang melakukan pemeriksaan karena jabatan atas fisik barang impor atau barang
ekspor
sebelum
atau
sesudah
pemberitahuan
pabean
disampaikan. (2) Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 71.Ketentuan Pasal 85 ayat (1) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3) sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai berikut: Pasal 85 (1) Pejabat bea dan cukai memberikan persetujuan impor atau ekspor setelah
http://www.bphn.go.id/
pemberitahuan pabean yang telah memenuhi persyaratan diterima dan hasil pemeriksaan barang tersebut sesuai dengan pemberitahuan pabean. (2) Pejabat bea dan cukai berwenang menunda pemberian persetujuan impor atau
ekspor
dalam
hal
pemberitahuan
pabean
tidak
memenuhi
persyaratan. (3) Pejabat bea dan cukai berwenang menolak memberikan pelayanan kepabeanan dalam hal orang yang bersangkutan belum memenuhi kewajiban kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini. 72.Di antara Pasal 85 dan BAB XII Paragraf 2 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 85A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 85A (1) Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pejabat bea dan cukai dapat melakukan pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu yang diangkut dalam daerah pabean. (2) Pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pada saat pemuatan, pengangkutan, dan/atau pembongkaran di tempat tujuan. (3) Ketentuan mengenai pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 73.Ketentuan Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (1a), serta ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3) sehingga Pasal 86 berbunyi sebagai berikut: Pasal 86 (1) Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit kepabeanan terhadap
http://www.bphn.go.id/
orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. (1a) Dalam melaksanakan audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat bea dan cukai berwenang: a. meminta laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan; b. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari orang dan pihak lain yang terkait; c. memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat-surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk sarana/media penyimpan data elektronik, dan barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan
kegiatan
usaha
yang
berkaitan
dengan
kegiatan
kepabeanan; dan d. melakukan tindakan pengamanan yang dipandang perlu terhadap tempat atau ruangan penyimpanan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan. (2) Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yang menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat menjalankan kewenangan audit kepabeanan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). (3) Ketentuan
mengenai
tata
cara
pelaksanaan
audit
kepabeanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.
74.Di antara Pasal 86 dan Paragraf 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 86A yang berbunyi sebagai berikut:
http://www.bphn.go.id/
Pasal 86A Apabila dalam pelaksanaan audit kepabeanan ditemukan adanya kekurangan pembayaran bea masuk yang disebabkan oleh kesalahan pemberitahuan jumlah dan/atau jenis barang, orang wajib membayar bea masuk yang kurang dibayar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (5). 75.Ketentuan Pasal 88 ayat (2) diubah sehingga Pasal 88 berbunyi sebagai berikut: Pasal 88 (1) Untuk pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan Undang-Undang ini, pejabat bea dan cukai berwenang memasuki dan memeriksa bangunan atau tempat yang bukan rumah tinggal selain yang dimaksud dalam Pasal 87 dan dapat memeriksa setiap barang yang ditemukan. (2) Selama pemeriksaan atas bangunan atau tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan atas permintaan pejabat bea dan cukai, pemilik atau yang menguasai bangunan atau tempat tersebut wajib menyerahkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan barang yang berada di tempat tersebut. 76.Ketentuan Pasal 90 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 90 berbunyi sebagai berikut: Pasal 90 (1) Untuk pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan Undang-Undang ini pejabat bea dan cukai berwenang untuk menghentikan dan memeriksa sarana pengangkut serta barang di atasnya.
http://www.bphn.go.id/
(2) Sarana pengangkut yang disegel oleh penegak hukum lain atau dinas pos dikecualikan dari pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pejabat bea dan cukai berdasarkan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3) berwenang untuk menghentikan pembongkaran barang dari sarana pengangkut apabila ternyata barang yang dibongkar tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. (4) Orang yang tidak melaksanakan perintah penghentian pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). 77.Di antara Pasal 92 dan BAB XIII disisipkan 1 (satu) bagian, yaitu Bagian Keempat yang berbunyi sebagai berikut: Bagian Keempat Kewenangan Khusus Direktur Jenderal Pasal 92A (1) Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan dari orang yang bersangkutan dapat: a. membetulkan surat penetapan tagihan kekurangan pembayaran bea masuk
yang
dalam
penerbitannya
terdapat
kesalahan
tulis,
kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan Undang-Undang ini; atau b. mengurangi atau menghapus sanksi administrasi berupa denda dalam hal sanksi tersebut dikenakan pada orang yang dikenai sanksi karena kekhilafan atau bukan karena kesalahannya. (2) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan, pembetulan, pengurangan, atau penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri.
http://www.bphn.go.id/
78.Judul BAB XIII diubah sehingga BAB XIII berbunyi sebagai berikut: BAB XIII KEBERATAN DAN BANDING 79.Ketentuan Pasal 93 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a), serta ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (6) sehingga Pasal 93 berbunyi sebagai berikut: Pasal 93 (1) Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat bea dan cukai mengenai tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar tagihan yang harus dibayar. (1a) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib diserahkan dalam hal barang impor belum dikeluarkan dari kawasan pabean. (2) Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya pengajuan keberatan. (3) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan. (4) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan dikembalikan. (5) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat
http://www.bphn.go.id/
(4) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan dikabulkan, pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. (6) Ketentuan
mengenai
tatacara
pengajuan
keberatan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 80.Di antara Pasal 93 dan Pasal 94 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 93A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 93A (1) Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat bea dan cukai selain tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan. (2) Sepanjang keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkut kekurangan pembayaran bea masuk, jaminan wajib diserahkan sebesar tagihan yang harus dibayar. (3) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak wajib diserahkan dalam hal barang impor belum di keluarkan dari kawasan pabean. (4) Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya pengajuan keberatan. (5) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan. (6) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan dikembalikan.
http://www.bphn.go.id/
(7) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan diterima, pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. (8) Ketentuan mengenai pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 81.Ketentuan Pasal 94 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (6) sehingga Pasal 94 berbunyi sebagai berikut: Pasal 94 (1) Orang yang dikenai sanksi administrasi berupa denda dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan. (2) Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya pengajuan keberatan. (3) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur
Jenderal,
jaminan
dicairkan
untuk
membayar
sanksi
administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan, jaminan dikembalikan. (4) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, keberatan yang bersangkutan dianggap dikabulkan dan jaminan dikembalikan. (5) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan dikabulkan, pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen)
http://www.bphn.go.id/
setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. (6) Ketentuan
mengenai
tatacara
pengajuan
keberatan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 82.Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95 Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi. 83.Pasal 96 dihapus. 84.Pasal 97 dihapus. 85.Pasal 98 dihapus. 86.Pasal 99 dihapus. 87.Pasal 100 dihapus. 88.Pasal 101 dihapus. 89.Ketentuan BAB XIII Bagian Kedua dihapus. 90.Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga Pasal 102 berbunyi sebagai berikut:
http://www.bphn.go.id/
Pasal 102 Setiap orang yang: a. mengangkut
barang
impor
yang
tidak
tercantum
dalam
manifes
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2); b. membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean; c. membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3); d. membongkar
atau
menimbun
barang
impor
yang
masih
dalam
pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan; e. menyembunyikan barang impor secara melawan hukum; f. mengeluarkan
barang
impor
yang
belum
diselesaikan
kewajiban
pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini; g. mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya; atau h. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor dalam pemberitahuan pabean secara salah, dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 91.Di antara Pasal 102 dan Pasal 103 disisipkan 4 (empat) pasal, yaitu Pasal
http://www.bphn.go.id/
102A, Pasal 102B, Pasal 102C, dan Pasal 102D yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 102A Setiap orang yang: a. mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean; b. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor; c. memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3); d. membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin kepala kantor pabean; atau e. mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah sesuai dengan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (1); dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang ekspor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 102B Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A yang mengakibatkan terganggunya sendi-sendi perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
http://www.bphn.go.id/
Pasal 102C Dalam hal perbuatan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 102, Pasal 102A, Pasal 102B dilakukan oleh pejabat dan aparat penegak hukum, pidana yang
dijatuhkan
dengan
pidana
sebagaimana
ancaman
pidana
dalam
Undang-Undang ini ditambah 1/3 (satu pertiga). Pasal 102D Setiap orang yang mengangkut barang tertentu yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah). 92.Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 103 Setiap orang yang: a. menyerahkan pemberitahuan pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau dipalsukan; b. membuat, menyetujui, atau turut serta dalam pemalsuan data ke dalam buku atau catatan; c. memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak benar, yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban pabean; atau d. menimbun,
menyimpan,
memiliki,
membeli,
menjual,
menukar,
memperoleh, atau memberikan barang impor yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102;
http://www.bphn.go.id/
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 93.Di antara Pasal 103 dan Pasal 104 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 103A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 103A (1) Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang kepabeanan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 94.Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104 Setiap orang yang: a. mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 102A, atau Pasal 102B; b. memusnahkan, memotong, menyembunyikan, atau membuang buku atau
http://www.bphn.go.id/
catatan yang menurut Undang-Undang ini harus disimpan; c. menghilangkan,
menyetujui,
atau
turut
serta
dalam
penghilangan
keterangan dari pemberitahuan pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan; atau d. menyimpan
dan/atau
menyediakan
blangko
faktur
dagang
dari
perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang diketahui dapat digunakan
sebagai
kelengkapan
pemberitahuan
pabean
menurut
Undang-Undang ini; dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun, dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 95.Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105 Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak membuka, melepas, atau merusak kunci, segel atau tanda pengaman yang telah dipasang oleh pejabat bea dan cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.
500.000.000,00
(lima
ratus
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 96.Pasal 106 dihapus. 97.Pasal 107 tetap dengan perubahan penjelasan pasal 107 sehingga penjelasan Pasal 107 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini. 98.Ketentuan Pasal 108 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 108 berbunyi
http://www.bphn.go.id/
sebagai berikut: Pasal 108 (1) Dalam
hal
suatu
tindak
pidana
yang
dapat
dipidana
menurut
Undang-Undang ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, tuntutan pidana ditujukan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut; dan/atau b. mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau
yang
bertindak
sebagai
pimpinan
atau
yang
melalaikan pencegahannya. (2) Tindak pidana menurut Undang-Undang ini dilakukan juga oleh atau atas nama badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain
bertindak
perusahaan,
dalam
lingkungan
perkumpulan,
badan
hukum,
perseoran
atau
atau
koperasi
tersebut
tanpa
yayasan
memperhatikan apakah orang tersebut masing-masing telah melakukan tindakan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. (3) Dalam hal suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, pada waktu penuntutan diwakili oleh pengurus yang secara hukum dapat dimintai
pertanggungjawaban
sesuai
bentuk
badan
hukum
yang
bersangkutan. (4) Terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) jika atas tindak pidana tersebut
http://www.bphn.go.id/
diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda. 99.Ketentuan Pasal 109 ayat (1) dan ayat (2) diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (2a) sehingga Pasal 109 berbunyi sebagai berikut: Pasal 109 (1) Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 103 huruf d, atau Pasal 104 huruf a, barang ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102A, atau barang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102D yang berasal dari tindak pidana, dirampas untuk negara. (2) Sarana pengangkut yang semata-mata digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A, dirampas untuk negara. (2a) Sarana pengangkut yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102D, dapat dirampas untuk negara. (3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 73. 100.Di antara BAB XV dan BAB XVI disisipkan 1 (satu) bab, yaitu BAB XV A sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XV A PEMBINAAN PEGAWAI Pasal 113A (1) Sikap dan perilaku pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terikat
http://www.bphn.go.id/
pada kode etik yang menjadi pedoman pelaksanaan tugas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Pelanggaran terhadap kode etik oleh pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diselesaikan oleh Komisi Kode Etik. (3) Ketentuan mengenai kode etik diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. (4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Komisi Kode Etik diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. Pasal 113B Apabila pejabat bea dan cukai dalam menghitung atau menetapkan bea masuk atau
bea
keluar
tidak
sesuai
dengan
Undang-Undang
ini
sehingga
mengakibatkan belum terpenuhinya pungutan negara, pejabat bea dan cukai dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 113C (1) Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana kepabeanan yang menyangkut pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Menteri dapat menugasi unit pemeriksa
internal
di
lingkungan
Departemen
Keuangan
untuk
melakukan pemeriksaan pegawai guna menemukan bukti permulaan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. Pasal 113D (1) Orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau unit kerja yang berjasa dalam menangani pelanggaran kepabeanan berhak memperoleh premi. (2) Jumlah premi diberikan paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen)
http://www.bphn.go.id/
dari sanksi administrasi berupa denda dan/atau hasil lelang barang yang berasal dari tindak pidana kepabeanan. (3) Dalam hal hasil tangkapan merupakan barang yang dilarang dan/atau dibatasi yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh dilelang, besar nilai barang sebagai dasar perhitungan premi ditetapkan oleh Menteri. (4) Ketentuan mengenai pemberian premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. 101.Di antara Pasal 115 dan BAB XVII disisipkan 3 (tiga) pasal, yaitu Pasal 115A, Pasal 115B, dan Pasal 115C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 115A (1) Barang yang dimasukkan atau dikeluarkan ke dan dari serta berada di kawasan yang telah ditunjuk sebagai daerah perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas dapat diawasi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. Pasal 115B (1) Berdasarkan permintaan masyarakat, Direktur Jenderal memberikan informasi yang dikelolanya, kecuali informasi yang sifatnya tertentu. (2) Ketentuan mengenai pemberian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. Pasal 115C (1) Setiap
pegawai
Direktorat
Jenderal
Bea
dan
Cukai
dilarang
memberitahukan segala sesuatu yang diketahuinya atau diberitahukan
http://www.bphn.go.id/
kepadanya oleh orang dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan Undang-Undang ini kepada pihak lain yang tidak berhak. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal untuk membantu pelaksanaan ketentuan Undang-Undang ini. (3) Menteri secara tertulis berwenang memerintahkan pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti dari orang kepada pejabat pemeriksa untuk keperluan pemeriksaan keuangan negara. (4) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana, atas permintaan
hakim
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
180
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Menteri dapat memberi izin tertulis kepada pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk memberikan bukti dan keterangan yang ada padanya kepada hakim. Pasal II Ketentuan Peralihan 1. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang kepabeanan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diatur dengan
peraturan
pelaksanaan
yang
baru
berdasarkan
Undang-Undang ini; b. urusan kepabeanan yang pada saat berlakunya Undang-Undang ini belum dapat diselesaikan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan
perundang-undangan
di
bidang
kepabeanan
yang
meringankan setiap orang.
http://www.bphn.go.id/
2. Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. 3. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Nopember 2006 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Nopember 2006 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd HAMID AWALUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 93 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN
http://www.bphn.go.id/
I.
UMUM
Pesatnya perkembangan industri dan perdagangan menimbulkan tuntutan masyarakat agar pemerintah dapat memberikan kepastian hukum dalam dunia usaha. Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang berfungsi sebagai fasilitasi perdagangan harus dapat membuat suatu hukum kepabeanan yang dapat mengantisipasi perkembangan dalam masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan dan pengawasan yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, masyarakat menganggap bahwa rumusan tindak pidana penyelundupan yang diatur dalam Pasal 102 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang menyatakan bahwa "Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor
atau
mencoba
mengimpor
atau
mengekspor
barang
tanpa
mengindahkan ketentuan Undang-Undang ini dipidana karena melakukan penyelundupan", kurang tegas Karena dalam penjelasan dinyatakan bahwa pengertian
"tanpa
mengindahkan"
adalah
sama
sekali
tidak
memenuhi
ketentuan atau prosedur. Hal ini berarti jika memenuhi salah satu kewajiban seperti menyerahkan pemberitahuan pabean tanpa melihat benar atau salah, tidak dapat dikategorikan sebagai penyelundupan sehingga tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, oleh karenanya dipandang perlu untuk merumuskan kembali tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyelundupan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan secara eksplisit menyebutkan bahwa kewenangan DJBC adalah melakukan pengawasan atas lalulintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean, namun mengingat letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang lautnya berbatasan langsung dengan negara tetangga, maka perlu dilakukan pengawasan terhadap pengangkutan barang yang diangkut melalui laut di dalam daerah pabean untuk
http://www.bphn.go.id/
menghindari
penyelundupan
dengan
modus
pengangkutan
antar
pulau,
khususnya untuk barang tertentu. Secara implisit dapat dikatakan bahwa pengawasan pengangkutan barang tertentu dalam daerah pabean merupakan perpanjangan kewenangan atau bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan pabean sebagai salah satu instansi pengawas perbatasan. Sehubungan dengan hal tersebut masyarakat memandang perlu untuk memberikan kewenangan kepada DJBC untuk mengawasi pengangkutan barang tertentu yang diusulkan oleh instansi teknis terkait. Tempat Penimbunan Berikat (TPB) sebagai bentuk insentif di bidang kepabeanan yang selama ini diberikan, tidak dapat menampung tuntutan investor luar negeri untuk dapat melakukan pelelangan, daur ulang, dan kegiatan lain karena adanya pembatasan tujuan TPB hanya untuk menimbun barang impor untuk diolah, dipamerkan, dan/atau disediakan untuk dijual. Untuk menghindari beralihnya investasi ke negara-negara tetangga serta sebagai daya tarik bagi investor asing perlu diberikan suatu insentif, kepastian hukum, dan kepastian berusaha dengan perluasan fungsi TPB. Dalam
kaitannya
dengan
perdagangan
intemasional,
Undang-Undang
kepabeanan idealnya dapat mengikuti konvensi internasional dan pratek kepabeanan
internasional
sehingga
perlu
melakukan
penyesuaian
Undang-Undang kepabeanan Indonesia dengan menambahkan atau mengubah ketentuan sesuai dengan konvensi tersebut. Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, mengatur lembaga banding. Namun ternyata lembaga tersebut
belum
dibentuk
dengan
pertimbangan
telah
dibentuk
badan
penyelesaian sengketa pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang kemudian diganti dengan Pengadilan Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Kompetensi pengadilan pajak mencakup banding di bidang
http://www.bphn.go.id/
kepabeanan sehingga Pasal 96 sampai dengan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak diperlukan lagi dan dihapus. Sesuai dengan Agreement on Implementation of Article VII of General Agreement on
Trade
and
Tariff
(GATT)
1994,
Article
22
menyebutkan
bahwa
perundang-undangan nasional harus memuat ketentuan penetapan nilai pabean sesuai World Trade Organization (WTO) Valuation Agreement. Dalam Article 4 Konvensi tersebut diatur bahwa metode komputasi dapat digunakan mendahului metode deduksi atas permintaan importir. Indonesia telah menggunakan kesempatan untuk menunda pelaksanaan Article 4 Konvensi tersebut selama 5 (lima) tahun yang berakhir pada tahun 2000, sehingga ketentuan penetapan nilai pabean sesuai Article 4 Konvensi tersebut harus dimasukkan dalam perubahan Undang-Undang Kepabeanan ini. II.
PasAL DEMI PasAL Pasal 1 Cukup Jelas. Pasal 2 Ayat (1) Ayat ini memberikan penegasan pengertian impor secara yuridis, yaitu pada saat barang memasuki daerah pabean dan menetapkan saat barang tersebut terutang bea masuk serta merupakan dasar yuridis bagi pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan. Ayat (2) Ayat ini memberikan penegasan tentang pengertian ekspor. Secara nyata ekspor terjadi pada saat barang melintasi daerah pabean,
namun
mengingat
dari
segi
pelayanan
dan
pengamanan tidak mungkin menempatkan pejabat bea dan
http://www.bphn.go.id/
cukai di sepanjang garis perbatasan untuk memberikan pelayanan dan melakukan pengawasan barang ekspor, maka secara yuridis ekspor dianggap telah terjadi pada saat barang tersebut telah dimuat di sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah pabean. Yang dimaksud dengan sarana pengangkut, yaitu setiap kendaraan, pesawat udara, kapal laut, atau sarana lain yang digunakan untuk mengangkut barang atau orang. Yang dimaksud dimuat yaitu dimasukkannya barang ke dalam sarana pengangkut dan telah diajukan pemberitahuan pabean termasuk dipenuhinya pembayaran bea keluar. Ayat (3) Ayat ini memberikan penegasan bahwa walaupun barang tersebut telah dimuat di sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah pabean, jika dapat dibuktikan barang tersebut akan dibongkar di dalam daerah pabean dengan menyerahkan suatu pemberitahuan pabean, barang tersebut tidak dianggap sebagai barang ekspor. Pasal 2A Pengenaan bea keluar dalam pasal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional, bukan untuk membebani daya saing komoditi ekspor di pasar internasional. Pasal 3 Ayat (1) Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai pemberitahuan pabean yang diajukan terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean dalam bentuk penelitian terhadap dokumen dan pemeriksaan atas fisik barang. Ayat (2)
http://www.bphn.go.id/
Cukup Jelas. Ayat (3) Pada dasarnya pemeriksaan pabean dilakukan dalam daerah pabean oleh pejabat bea dan cukai secara selektif dengan mempertimbangkan risiko yang melekat pada barang dan importir. Namun, dengan mempertimbangkan kelancaran arus barang dan/atau pengamanan penerimaan negara, Menteri dapat menetapkan pelaksanaan pemeriksaan pabean di luar daerah pabean oleh pejabat bea dan cukai atau pihak lain yang bertindak untuk dan atas nama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ayat (4) Cukup Jelas. Pasal 4 Pada dasarnya pemeriksaan pabean dilakukan di dalam daerah pabean oleh pejabat bea dan cukai. Dalam rangka mendorong ekspor, terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan daya saing barang ekspor Indonesia di pasar dunia, diperlukan suatu kecepatan dan kepastian bagi eksportir. Dengan demikian, pemeriksaan pabean dalam bentuk pemeriksaan fisik atas barang ekspor harus diupayakan seminimal mungkin sehingga terhadap barang ekspor pada dasarnya hanya dilakukan penelitian terhadap dokumennya. Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai pemberitahuan pabean yang diajukan, pasal ini memberikan kewenangan kepada menteri untuk dalam hal-hal tertentu dapat mengatur tata cara pemeriksaan fisik atas barang ekspor.
http://www.bphn.go.id/
Pasal 4A Ayat (1) Pengawasan pengangkutan barang tertentu sebagaimana dimaksud
pada
ayat
ini
hanya
dilakukan
terhadap
pengangkutan barang tersebut dari satu tempat ke tempat lain dalam daerah pabean yang dilakukan melalui laut. Pengawasan pengangkutan barang tertentu ini bertujuan untuk mencegah penyelundupan ekspor dengan modus pengangkutan antarpulau barang-barang strategis seperti hasil hutan, hasil tambang, atau barang yang mendapat subsidi. Ayat (2) Yang
dimaksud
dengan
instansi
teknis
terkait
yaitu
kementerian atau lembaga pemerintah nondepartemen yang berwenang. Ayat (3) Cukup Jelas. Pasal 5 Ayat (1) Dilihat dari keadaan geografis Negara Republik Indonesia yang demikian luas dan merupakan negara kepulauan, maka tidak mungkin menempatkan pejabat bea dan cukai di sepanjang pantai untuk menjaga agar semua barang yang dimasukkan ke atau yang dikeluarkan dari daerah pabean memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, ditetapkan bahwa pemenuhan kewajiban pabean hanya dapat dilakukan di kantor pabean. Penegasan bahwa pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean maksudnya yaitu jika kedapatan barang dibongkar atau dimuat di suatu tempat yang tidak ditunjuk sebagai kantor pabean berarti terjadi
http://www.bphn.go.id/
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini. Dengan demikian, pengawasan lebih mudah dilakukan, sebab tempat
untuk
memenuhi
kewajiban
pabean
seperti
penyerahan pemberitahuan pabean atau pelunasan bea masuk telah dibatasi dengan penunjukan kantor pabean yang disesuaikan dengan kebutuhan perdagangan. Pemenuhan kewajiban pabean di tempat selain di kantor pabean dapat diizinkan dengan pemenuhan persyaratan tertentu yang akan ditetapkan oleh Menteri, sesuai dengan kepentingan perdagangan dan perekonomian, atau apabila dengan cara tersebut kewajiban pabean dapat dipenuhi dengan lebih mudah, aman, dan murah. Pemberian kemudahan berupa pemenuhan kewajiban pabean di tempat selain di kantor pabean tersebut bersifat sementara. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Untuk keperluan pelayanan, pengawasan, kelancaran lalu lintas barang dan ketertiban bongkar muat barang, serta pengamanan
keuangan
negara,
Undang-Undang
ini
menetapkan adanya kawasan pabean di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan menetapkan adanya kantor pabean. Penunjukan pas pengawasan pabean dimaksudkan untuk tempat pejabat bea dan cukai melakukan pengawasan. Pas tersebut merupakan bagian dari kantor pabean dan di tempat tersebut tidak dapat dipenuhi kewajiban pabean. Ayat (4) Cukup Jelas.
http://www.bphn.go.id/
Pasal 5A Ayat (1) Data elektronik (softcopy) yaitu informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik dengan menggunakan
komputer
atau
perangkat
pengolah
data
elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Pasal 6 Ayat (1) Ayat ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor atau ekspor harus didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang
ini
yang
pelaksanaan
penegakannya
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 6A Ayat (1) Dengan
semakin
berkembangnya
penggunaan
teknologi
informasi dalam kegiatan kepabeanan, diperlukan adanya sarana untuk mengenali pengguna jasa kepabeanan melalui
http://www.bphn.go.id/
nomor identitas pribadi yang diberikan Direktorat Jenderal Bea
dan
Cukai.
Dengan
nomor
identitas
pribadi
itu
dimaksudkan bahwa hanya orang yang memiliki nomor identitas tersebut yang dapat mengakses atau berhubungan dengan sistem teknologi informasi kepabeanan. Pemerolehan
nomor
identitas
tersebut
dapat
dilakukan
dengan cara registrasi, misalnya registrasi importir, eksportir, dan pengusaha pengurusan jasa kepabeanan. Ayat (2) Pengecualian yang dimaksud pada ayat ini diberikan kepada orang yang menyelesaikan kewajiban pabean tertentu antara lain atas barang penumpang, barang diplomatik, atau barang kiriman melalui pas atau perusahaan jasa titipan. Ayat (3) Cukup Jelas. Pasal 7 A Ayat (1) Ketentuan ini mengatur kewajiban bagi pengangkut untuk memberitahukan rencana kedatangan sarana pengangkutnya sebelum sarana pengangkut tiba di kawasan pabean, baik terhadap sarana pengangkut yang melakukan kegiatannya secara reguler (liner) maupun sarana pengangkut yang tidak secara teratur berada di kawasan pabean (tramper). Hal ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pengawasan pabean atas barang impor dan/atau barang ekspor. Yang dimaksud dengan saat kedatangan sarana pengangkut yaitu: a. saat lego jangkar di perairan pelabuhan untuk sarana pengangkut melalui laut; b. saat mendarat di landasan bandar udara untuk sarana
http://www.bphn.go.id/
pengangkut melalui udara. Ayat (2) Yang dimaksud dengan manifes yaitu daftar barang niaga yang dimuat dalam sarana pengangkut. Ayat (3) Pemberitahuan pabean pada ayat ini berisi informasi tentang semua
barang
niaga
yang
diangkut
dengan
sarana
pengangkut, baik barang impor, barang ekspor, maupun barang asal daerah pabean yang diangkut ke tempat lain dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean. Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Ketentuan mengenai berlabuh pada ayat ini dihitung sejak kedatangan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (1). Ayat (6) Pada dasarnya barang impor hanya dapat dibongkar setelah diajukan pemberitahuan pabean tentang kedatangan sarana pengangkut. Akan tetapi, jika sarana pengangkut mengalami keadaan darurat seperti mengalami kebakaran, kerusakan mesin yang tidak dapat diperbaiki, terjebak dalam cuaca buruk, atau hal lain yang terjadi di luar kemampuan manusia dapat diadakan pengecualian
dengan
melakukan
pembongkaran
tanpa
memberitahukan terlebih dahulu tentang kedatangan sarana pengangkut. Huruf a. Yang dimaksud dengan kantor pabean terdekat yaitu kantor pabean yang paling mudah dicapai. Melaporkan keadaan darurat sebagaimana dimaksud
http://www.bphn.go.id/
dalam
ketentuan
ini
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan radio panggil, telepon, atau faksimile. Huruf b Cukup Jelas. Ayat (7) Cukup Jelas. Ayat (8) Cukup Jelas. Ayat (9) Cukup Jelas. Pasal 8A Ayat (1) Yang dimaksud dengan pengangkutan pada ayat ini yaitu pengangkutan barang impor yang tidak melalui laut (inland transportation). Ayat (2) Yang dimaksud dengan pengusaha pada ayat ini yaitu pengusaha tempat penimbunan sementara atau pengusaha tempat penimbunan berikat. Yang dimaksud dengan importir yaitu orang yang mengimpor. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Pasal 8B Ayat (1) Mengingat tenaga listrik, barang cair, atau gas bersifat khusus, pengangkutan terhadap barang tersebut dilakukan dengan cara khusus antara lain melalui transmisi atau saluran pipa.
http://www.bphn.go.id/
Pemberitahuan pabean atas impor atau ekspor barang tersebut harus didasarkan pada jumlah dan jenis barang pada saat pengukuran di tempat pengukuran terakhir dalam daerah pabean. Ayat (2) Peranti lunak (software) dapat berupa serangkaian program dalam sistem komputer yang memerintahkan komputer apa yang harus dilakukan. Peranti lunak dan data elektronik (softcopy) merupakan barang yang menjadi objek dari Undang-Undang ini dan pengangkutan atau pengirimannya dapat dilakukan melalui transmisi elektronik misalnya melalui media internet. Ayat (3) Cukup Jelas. Pasal 8C Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan dokumen yang sah yaitu dokumen yang dipersyaratkan dalam pengangkutan barang tertentu. Ayat (3) Sanksi
administrasi
berupa
denda
dikenakan
terhadap
kelebihan atau kekurangan barang tertentu pada saat pengangkutan atau pembongkaran. Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Cukup Jelas. Pasal 9A
http://www.bphn.go.id/
Ayat (1) Yang dimaksud dengan barang impor yaitu barang impor baik yang diangkut lanjut maupun yang diangkut terus. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Pasal 10A Ayat (1) Pembongkaran
di
tempat
lain
dilakukan
dengan
memperhatikan teknis pembongkaran atau sebab lain atas pertimbangan
kepala
kantor
pabean,
misalnya
sarana
pengangkut tidak dapat sandar di dermaga atau alat bongkar tidak tersedia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pembongkaran pada ayat ini yaitu pembongkaran barang dari sarana pengangkut yang satu ke sarana pengangkut lainnya, dilakukan di pelabuhan yang belum dapat disandari langsung sehingga pembongkaran dilakukan di luar pelabuhan (reede). Yang dimaksud dengan jalur yang ditetapkan yaitu jalur yang harus dilalui oleh sarana pengangkut yang meneruskan pengangkutan dari reede ke kantor pabean. Ayat (3) Kewajiban
pada
ayat
pengangkut
atau
kedatangan
sarana
ini
yang
kuasanya pengangkut
harus yaitu dengan
dilakukan
oleh
memberitahukan pemberitahuan
http://www.bphn.go.id/
pabean kepada pejabat bea dan cukai dan dokumen tersebut harus memuat atau berisi semua barang impor yang diangkut di dalam sarana pengangkut tersebut, baik berupa barang dagangan maupun bekal kapal. Apabila jumlah barang yang dibongkar kurang dari jumlah yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean, pengangkut berdasarkan ketentuan pada ayat ini dianggap telah memasukkan barang impor tersebut ke peredaran bebas sehingga selain wajib membayar bea masuk atas barang yang kurang dibongkar tersebut, juga dikenai
sanksi
administrasi
berupa
denda,
jika
yang
bersangkutan tidak dapat membuktikan bahwa kekurangan barang yang dibongkar tersebut bukan karena kesalahannya. Dalam hal barang yang diangkut dalam kemasan, yang dimaksud dengan jumlah barang yaitu jumlah kemasan. Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Ketentuan ini dimaksudkan bahwa penimbunan barang di tempat penimbunan sementara bukan merupakan keharusan karena penimbunan tersebut hanya dilakukan dalam hal barang tidak dapat dikeluarkan dengan segera. Ayat (6) Yang dimaksud dalam hal tertentu yaitu apabila penimbunan di tempat penimbunan sementara tidak dapat dilakukan seperti kongesti, kendala teknis penimbunan, sifat barang, atau sebab lain sehingga tidak memungkinkan barang impor ditimbun. Termasuk dalam pengertian ini yaitu pemberian fasilitas penimbunan selain di tempat penimbunan sementara dengan tujuan untuk menghindari beban biaya penumpukan yang mungkin atau yang telah timbul selama dalam proses pemenuhan kewajiban pabean.
http://www.bphn.go.id/
Ketentuan yang berlaku pada tempat penimbunan sementara berlaku di tempat lain yang dimaksud pada ayat ini. Ayat (7) Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Cukup Jelas. Huruf c Cukup Jelas. Huruf d Cukup Jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan barang diangkut terus yaitu barang yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui kantor pabean tanpa dilakukan pembongkaran terlebih dulu. Yang dimaksud dengan barang diangkut lanjut yaitu barang yang diangkut dengan sarana pengangkut melalui
kantor
pabean
dengan
dilakukan
pembongkaran terlebih dulu. Huruf f Yang dimaksud dengan diekspor kembali antara lain: 1) pengiriman kembali barang impor keluar daerah pabean karena ternyata tidak sesuai dengan yang dipesan; 2) oleh karena suatu ketentuan baru dari pemerintah tidak boleh diimpor ke dalam daerah pabean. Ayat (8) Pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan tanpa bermaksud untuk mengelakkan pembayaran bea masuk, karena telah diajukan pemberitahuan pabean dan bea masuknya telah
http://www.bphn.go.id/
dilunasi,
akan
tetapi
karena
pengeluarannya
tanpa
persetujuan pejabat bea dan cukai, atas pelanggaran tersebut dikenai sanksi administrasi berupa denda. Ayat (9) Cukup Jelas. Pasal 1OB Ayat (1) Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Cukup Jelas Ayat (2) Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Ketentuan ini memungkinkan importir yang memenuhi persyaratan, untuk mengeluarkan barang impor untuk dipakai sebelum melunasi bea masuk yang terutang dengan menyerahkan jaminan. Namun, importir wajib menyelesaikan kewajibannya dalam jangka waktu yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini. Kemudahan ini diberikan dengan tujuan untuk memperlancar arus barang. Huruf c Cukup Jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan penumpang yaitu setiap orang yang melintasi perbatasan wilayah negara dengan menggunakan sarana pengangkut, tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas batas.
http://www.bphn.go.id/
Yang dimaksud dengan awak sarana pengangkut yaitu setiap orang yang karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama sarana pengangkut. Yang dimaksud dengan pelintas batas yaitu penduduk yang berdiam atau bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara serta memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan yang melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui pas pengawas lintas batas. Yang dimaksud dengan diberitahukan yaitu menyampaikan pemberitahuan secara ligan atau tertulis. Ayat (4) Yang dimaksud dengan persetujuan pejabat bea dan cukai yaitu penetapan pejabat bea dan cukai yang menyatakan bahwa barang tersebut telah dipenuhi kewajiban pabean berdasarkan Undang-Undang ini. Ayat (5) Cukup Jelas. Ayat (6) Ketentuan pada ayat ini mengatur tentang pengenaan sanksi administrasi berupa denda kepada importir yang memperoleh kemudahan berdasarkan ketentuan pada ayat (2) huruf b atau huruf c, yaitu mengimpor barang untuk dipakai sebelum melunasi bea masuk dengan penyerahan jaminan, tetapi tidak menyelesaikan menurut
kewajiban
jangka
waktu
untuk
membayar
yang
ditetapkan
bea
masuk
berdasarkan
Undang-Undang ini. Pasal 10C Ayat (1)
http://www.bphn.go.id/
Kekhilafan yang nyata adalah kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi dalam suatu pemberitahuan pabean yang sering terjadi dalam bentuk kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kesalahan penerapan peraturan yang seharusnya tidak perlu terjadi, dan tidak mengandung persengketaan antara
pejabat
bea
dan
cukai
dengan
pengguna
jasa
kepabeanan, misalnya: -
kesalahan tulis berupa kesalahan penulisan nama atau alamat;
-
kesalahan hitung berupa kesalahan perhitungan bea masuk atau pajak;
-
kesalahan penerapan aturan berupa ketidaktahuan adanya perubahan peraturan, sering terjadi pada awal berlakunya peraturan baru.
Ayat (2) Huruf a Cukup Jelas, Huruf b Cukup Jelas. Huruf c Penetapan pejabat bea dan cukai dapat juga merupakan penetapan dengan menggunakan sistem komputer pelayanan. Ayat (3) Cukup Jelas, Pasal 10D Ayat (1) Tujuan pengaturan impor sementara yaitu memberikan kemudahan atas pemasukan barang dengan tujuan tertentu, misalnya barang perlombaan; kendaraan yang dibawa oleh
http://www.bphn.go.id/
wisatawan; peralatan penelitian; peralatan yang digunakan oleh teknisi, wartawan, dan tenaga ahli; kemasan yang dipakai berulang-ulang; dan barang keperluan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Mengingat
pemasukannya
barang-barang
tersebut
hanya
untuk
diberikan
sementara,
pembebasan
atau
keringanan bea masuk. Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan terlambat yaitu barang tersebut telah selesai dipergunakan sesuai dengan jangka waktu yang diizinkan,
tetapi
yang
bersangkutan
tidak
mengurus
administrasi kepabeanannya sampai dengan tanggal jatuh tempo. Perhitungan bea masuk pada ayat ini dihitung berdasarkan tarif dan nilai pabean pada saat pengajuan pemberitahuan pabean atas impor sementara tersebut. Ayat (6) Cukup Jelas. Ayat (7) Cukup Jelas. Pasal 11A Ayat (1) Pemberitahuan pada ayat ini dimaksudkan sebagai sarana untuk melakukan pengawasan terhadap barang yang akan
http://www.bphn.go.id/
dikeluarkan dari daerah pabean. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Yang
dimaksud
dengan
dibatalkan
yaitu
dibatalkan
seluruhnya atau sebagian. Ayat (6) Cukup Jelas. Ayat (7) Cukup Jelas. Pasal 13 Ayat (1) Ayat ini memberikan kewenangan kepada menteri untuk menetapkan tarif bea masuk yang besarnya berbeda dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). Huruf a Tarif bea masuk dikenakan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan
yang
dilakukan
Pemerintah
Republik
Indonesia dengan pemerintah negara lain atau beberapa negara lain, misalnya bea masuk berdasarkan Common Effective Preferential Tariff for Asean Free Trade Area (CEPT for AFTA). huruf b Dalam
rangka
mempermudah
dan
mempercepat
penyelesaian impor barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman
http://www.bphn.go.id/
melalui pas atau jasa titipan, dapat dikenakan bea masuk berdasarkan tarif yang berbeda dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), misalnya dengan pengenaan tarif rata-rata. Ketentuan ini perlu, mengingat barang-barang yang dibawa oleh para
penumpang,
awak
sarana
pengangkut,
dan
pelintas batas pada umumnya terdiri dari beberapa jenis. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan sistem klasifikasi barang dalam pasal ini yaitu suatu daftar penggolongan barang yang dibuat secara sistematis dengan tujuan untuk mempermudah penarifan, transaksi perdagangan, pengangkutan, dan statistik. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan nilai transaksi yaitu harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar oleh pembeli kepada penjual atas barang yang dijual untuk diekspor ke daerah pabean ditambah dengan: a. biaya yang dibayar oleh pembeli yang belum tercantum dalam
harga
yang
sebenarnya
dibayar
atau
yang
seharusnya dibayar berupa: 1. komisi dan jasa, kecuali komisi pembelian; 2. biaya pengemas, yang untuk kepentingan pabean,
http://www.bphn.go.id/
pengemas
tersebut
menjadi
bagian
yang
tak
terpisahkan dengan barang yang bersangkutan; 3. biaya pengepakan meliputi biaya material dan upah tenaga kerja pengepakan; b. nilai dari barang dan jasa berupa: 1. material, komponen, bagian, dan barang-barang sejenis yang terkandung dalam barang impor; 2. peralatan, cetakan, dan barang-barang yang sejenis yang digunakan untuk pembuatan barang impor; 3. material yang digunakan dalam pembuatan barang impor; 4. teknik,
pengembangan,
karya
seni,
desain,
perencanaan, dan sketsa yang dilakukan dimana saja di luar daerah pabean dan diperlukan untuk pembuatan barang impor, yang dipasok secara langsung atau tidak langsung oleh pembeli, dengan syarat barang dan jasa tersebut: a. dipasok dengan cuma-cuma atau dengan harga diturunkan; b. untuk kepentingan produksi dan penjualan untuk ekspor barang impor yang dibelinya; c. harganya
belum
termasuk
dalam
harga
yang
sebenarnya atau yang seharusnya dibayar dari barang impor yang bersangkutan. c. royalti dan biaya lisensi yang harus dibayar oleh pembeli secara langsung atau tidak langsung sebagai persyaratan jual beli barang impor yang dinilai, sepanjang royalti dan biaya lisensi tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar dari barang impor yang bersangkutan; d. nilai setiap bagian dari hasil/pendapatan yang diperoleh pembeli untuk disampaikan secara langsung atau tidak
http://www.bphn.go.id/
langsung kepada penjual, atas penjualan, pemanfaatan, atau pemakaian barang impor yang bersangkutan; e. biaya
transportasi
barang
impor
yang
dijual
untuk
diekspor ke pelabuhan atau tempat impor di daerah pabean; f. biaya pemuatan, pembongkaran, dan penanganan yang berkaitan
dengan
pengangkutan
barang
impor
ke
pelabuhan atau tempat impor di daerah pabean; g. biaya asuransi. Ayat (2) Dua barang dianggap identik apabila keduanya sama dalam segala hal, setidak-tidaknya karakter fisik, kualitas, dan reputasinya sama, serta: a. diproduksi oleh produsen yang sama di negara yang sama; atau b. diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama. Ayat (3) Dua barang dianggap serupa apabila keduanya memiliki karakter fisik dan komponen material yang sama sehingga dapat menjalankan fungsi yang sama dan secara komersial dapat dipertukarkan, serta: a. diproduksi oleh produsen yang sama di negara yang sama; atau b. diproduksi oleh produsen lain di negara yang sama. Ayat (3a) Cukup Jelas. Ayat (4) Yang
dimaksud
metode
deduksi
yaitu
metode
untuk
menghitung nilai pabean barang impor berdasarkan harga jual dari barang impor yang bersangkutan, barang impor yang identik atau barang impor yang serupa di pasar dalam daerah
http://www.bphn.go.id/
pabean dikurangi biaya atau pengeluaran, antara lain komisi atau keuntungan, transportasi, asuransi, bea masuk, dan pajak. Ayat (5) Yang dimaksud dengan metode komputasi yaitu metode untuk menghitung nilai pabean barang impor berdasarkan penjumlahan harga bahan baku, biaya proses pembuatan, dan biaya/pengeluaran lainnya sampai barang tersebut tiba di pelabuhan atau tempat impor di daerah pabean. Ayat (6) Yang dimaksud dengan pembatasan tertentu yaitu bahwa dalam perhitungan nilai pabean barang impor berdasarkan ayat ini tidak diizinkan ditetapkan berdasarkan: a. harga jual barang produksi dalam negeri; b. suatu sistem yang menentukan nilai yang lebih tinggi apabila ada dua alternatif nilai pembanding; c. harga barang di pasaran dalam negeri negara pengekspor; d. biaya produksi, selain nilai yang dihitung berdasarkan metode komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah ditentukan untuk barang identik atau serupa; e. harga barang yang diekspor ke suatu negara selain ke daerah pabean; f. harga patokan; g. nilai yang ditetapkan dengan sewenang-wenang atau fiktif. Ayat (7) Cukup Jelas. Pasal 16 Penetapan tarif dan nilai pabean atas pemberitahuan pabean secara self assesment hanya dilakukan dalam hal tarif dan nilai pabean yang diberitahukan berbeda dengan tarif yang ada dan/atau nilai
http://www.bphn.go.id/
pabean barang yang sebenarnya sehingga: a. bea masuk kurang dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean yang ditetapkan lebih tinggi; b. bea masuk lebih dibayar dalam hal tarif dan/atau nilai pabean yang ditetapkan lebih rendah. Dalam hal tertentu atas barang impor dilakukan penetapan tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk setelah pemeriksaan fisik, tetapi sebelum diserahkan pemberitahuan pabean. Dalam
rangka
masyarakat,
jika
memberikan
kepastian
pemberitahuan
pabean
pelayanan sudah
kepada
didaftarkan,
penetapan harus sudah diberikan dalam Waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran. Batas waktu 30 (tiga puluh) hari dianggap cukup bagi pejabat bea dan cukai untuk mengumpulkan informasi sebagai dasar pertimbangan dalam melakukan penetapan. Ayat (1) Yang dimaksud dengan penetapan tarif sebelum penyerahan pemberitahuan pabean yaitu penetapan tarif yang dilakukan terhadap importasi tertentu secara official assesment. Ayat (2) Yang dimaksud dengan penetapan nilai pabean sebelum penyerahan pemberitahuan pabean yaitu penetapan nilai pabean yang dilakukan terhadap importasi tertentu seperti impor sementara, barang penumpang, atau barang kiriman secara official assesment. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Cukup Jelas. Ayat (6)
http://www.bphn.go.id/
Cukup Jelas. Pasal 17 Ayat (1) Pada dasarnya penetapan pejabat bea dan cukai sudah mengikat dan dapat dilaksanakan. Akan tetapi, jika hasil penelitian ulang atas pemberitahuan pabean atau dalam hal pelaksanaan
audit
kepabeanan
ditemukan
adanya
kekurangan dan/atau kelebihan pembayaran bea masuk yang disebabkan oleh kesalahan pemberitahuan tarif dan/atau nilai pabean, Direktur Jenderal membuat penetapan kembali. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Ketentuan ini dimaksudkan bahwa pada dasarnya yang mengetahui
besarnya
suatu
transaksi
yang
dilakukan
hanyalah pihak penjual dan pembeli sehingga kebenaran pemberitahuan nilai transaksi semata-mata tergantung pada kejujuran
pihak
yang
bertransaksi.
Oleh
karena
itu,
kesalahan akibat ketidakjujuran yang ditemukan dalam penelitian kembali atau dalam pelaksanaan audit kepabeanan dikenai sanksi administrasi berupa denda.
Pasal 17 A Penetapan Direktur Jenderal sebelum diajukan pemberitahuan pabean dalam pasal ini yaitu dalam rangka memberikan pelayanan kepada
pengguna
jasa
dan
menyesuaikan
dengan
praktik
kepabeanan internasional yang lazim dikenal sebagai Pre-Entry
http://www.bphn.go.id/
Classification dan Valuation Ruling. Yang dimaksud dengan Pre-Entry Classification yaitu penetapan klasifikasi barang oleh Direktur Jenderal terhadap importasi barang sebelum
diajukan
pemberitahuan
pabean
atas
permohonan
importir. Yang dimaksud dengan Valuation Ruling yaitu penetapan nilai pabean oleh Direktur Jenderal yang dibuat berdasarkan basil audit kepabeanan terhadap importasi barang yang telah dan akan dilakukan oleh importir dalam jangka waktu tertentu. Pasal 23A Yang
dimaksud
dengan
bea
masuk
tindakan
pengamanan
(safeguard) yaitu bea masuk yang dipungut sebagai akibat tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan/atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan/atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural. Dalam hal tindakan pengamanan telah ditetapkan dalam bentuk kuota (pembatasan impor), maka bea masuk tindakan pengamanan tidak harus dikenakan. Yang dimaksud dengan kerugian serius adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri dalam negeri. Kerugian tersebut harus didasarkan pada (shall be based on) fakta-fakta bukan didasarkan pada tuduhan, dugaan, atau perkiraan. Pasal 23B
http://www.bphn.go.id/
Ayat (1) Dalam hal barang ekspor Indonesia diperlakukan secara tidak wajar oleh suatu negara misalnya dengan pembatasan, larangan,
atau
pengenaan
tambahan
bea
masuk,
barang-barang dari negara yang bersangkutan dapat dikenai tarif yang besarnya berbeda dengan tarif yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23C Cukup jelas. Pasal 23D Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pembebasan bea masuk yaitu peniadaan
pembayaran
bea
masuk
yang
diwajibkan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Huruf a Yang dimaksud dengan barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yaitu barang milik atau untuk keperluan perwakilan negara asing tersebut, termasuk pejabat pemegang paspor diplomatik dan keluarganya di Indonesia. Pembebasan tersebut diberikan apabila negara yang bersangkutan
memberikan
perlakuan
yang
sama
terhadap diplomat Indonesia. Huruf b
http://www.bphn.go.id/
Yang dimaksud dengan barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yaitu milik atau untuk keperluan
badan
internasional
yang
diakui
dan
terdaftar pada Pemerintah Indonesia, termasuk para pejabatnya yang ditugaskan di Indonesia. Pembebasan ini tidak diberikan kepada pejabat badan internasional yang memegang paspor Indonesia. Huruf c Pembebasan
bea
masuk
rekomendasi
dari
diberikan
kementerian
berdasarkan
terkait
terhadap
buku-buku yang bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Huruf d Yang dimaksud barang keperluan ibadah untuk umum yaitu barang-barang yang semata-mata digunakan untuk keperluan ibadah dari setiap agama yang diakui di Indonesia. Yang dimaksud dengan barang keperluan amal dan sosial yaitu barang yang semata-mata ditujukan untuk keperluan amal dan sosial dan tidak mengandung unsur komersial, seperti bantuan untuk bencana alam atau pemberantasan wahab penyakit. Yang
dimaksud
kebudayaan meningkatkan Pembebasan
dengan
yaitu
barang
hubungan bea
barang
masuk
yang
untuk
keperluan
ditujukan
untuk
kebudayaan
antarnegara.
diberikan
berdasarkan
rekomendasi dari kementerian terkait. Huruf e Cukup Jelas.
http://www.bphn.go.id/
Huruf f Yang
dimaksud
dengan
barang
untuk
keperluan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yaitu barang
atau
melakukan
peralatan
penelitian/riset
yang
digunakan
atau
percobaan
untuk guna
peningkatan atau pengembangan suatu penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembebasan
bea
masuk
diberikan
berdasarkan
rekomendasi dari kementerian terkait. Huruf g Cukup Jelas. Huruf h Cukup Jelas. Huruf i Cukup Jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan barang contoh yaitu barang yang diimpor khusus sebagai contoh, antara lain untuk keperluan produksi (prototipe) dan pameran dalam jumlah dan jenis yang terbatas, baik tipe maupun merek. Huruf k Cukup Jelas. Huruf i Yang
dimaksud
dengan
barang
pindahan
yaitu
barang-barang keperluan rumah tangga milik orang yang semula berdomisili di luar negeri, kemudian dibawa pindah ke dalam negeri. Huruf m Yang dimaksud dengan barang pribadi penumpang,
http://www.bphn.go.id/
awak sarana pengangkut dan pelintas batas yaitu barang-barang yang dibawa oleh mereka sebagaimana dimaksud
dalam
penjelasan
Pasal
10B
ayat
(3),
sedangkan barang kiriman yaitu barang yang dikirim oleh pengirim tertentu di luar negeri kepada penerima tertentu di dalam negeri. Huruf n Cukup Jelas. Huruf o Yang dimaksud dengan perbaikan yaitu penanganan barang
yang
rusak,
mengembalikannya
usang,
pada
atau
keadaan
tua
dengan
semula
tanpa
mengubah sifat hakikinya. Yang dimaksud dengan pengerjaan yaitu penanganan barang,
selain
perbaikan
tersebut
di
atas,
juga
mengakibatkan peningkatan harga barang dari segi ekonomis tanpa mengubah sifat hakikinya. Pengujian meliputi pemeriksaan barang dari segi teknik dan menyangkut mutu serta kapasitasnya sesuai dengan standar yang ditetapkan. Pembebasan atau keringanan dalam hal ini hanya dapat diberikan terhadap barang dalam keadaan seperti pada waktu diekspor, sedangkan atas bagian yang diganti atau ditambah dan biaya perbaikan tetap dikenakan bea masuk. Huruf p Pembebasan bea masuk dapat diberikan terhadap barang
setelah
diekspor,
diimpor
kembali
tanpa
mengalami proses pengerjaan atau penyempumaan apapun, seperti barang yang dibawa oleh penumpang ke
luar
negeri,
barang
keperluan
pameran,
http://www.bphn.go.id/
pertunjukan, atau perlombaan. Terhadap
barang
yang
diekspor
untuk kemudian
karena suatu hal diimpor kembali dalam keadaan yang sama dengan ketentuan segala fasilitas yang pemah diterimanya dikembalikan. Huruf q Bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan yaitu: 1)bahan terapi yang berasal dari manusia, yaitu darah manusia darah
serta
turunannya
seluruhnya,
plasma
(derivativ kering
seperti
albumin,
gamaglobulin, fibrinogen serta organ tubuh. 2)bahan pengelompokkan darah yang berasal dari manusia,
binatang,
tumbuh-tumbuhan,
atau
sumber lain. 3)bahan penjenisan jaringan yang berasal dari manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, atau sumber lain. Ayat (3) Ayat ini memberikan wewenang kepada Menteri untuk mengatur lebih lanjut persyaratan dan tata cara yang harus dipenuhi guna memperoleh pembebasan berdasarkan pasal ini. Ayat (4) Yang dimaksud dengan tidak memenuhi ketentuan antara lain digunakan tidak sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang ditetapkan, seperti fasilitas pembebasan bea masuk atas impor barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan, tetapi pada kenyataannya diperdagangkan. Pelanggaran
atas
ketentuan
tentang
pembebasan
ini
ditemukan pada pengawasan, penelitian kembali, dan/atau pelaksanaan audit kepabeanan.
http://www.bphn.go.id/
Pasal 26 Pembebasan bea masuk yang diberikan dalam pasal ini yaitu pembebasan yang relatif, dalam arti bahwa pembebasan yang diberikan didasarkan pada beberapa persyaratan dan tujuan tertentu,
sehingga
terhadap
barang
impor
dapat
diberikan
pembebasan atau hanya keringanan bea masuk. Ayat (1) Yang
dimaksud
pengurangan
dengan
sebagian
keringanan pembayaran
bea
masuk
yaitu
bea
masuk
yang
diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Huruf a Yang dimaksud dengan penanaman modal pada huruf ini yaitu penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf b Yang dimaksud dengan mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri yaitu setiap mesin, permesinan, alat perlengkapan instalasi pabrik, peralatan, atau perkakas yang digunakan untuk pembangunan dan pengembangan industri. Pengertian pembangunan dan pengembangan industri meliputi pendirian perusahaan atau pabrik baru serta perluasan (diversifikasi) hasil produksi, modernisasi, rehabilitasi
untuk
tujuan
peningkatan
kapasitas
produksi dari perusahaan atau pabrik yang telah ada. Huruf c Yang dimaksud dengan barang dan bahan yaitu semua barang
atau
bahan,
tidak
melihat
jenis
dan
http://www.bphn.go.id/
kompasisinya, yang digunakan sebagai bahan atau komponen untuk menghasilkan barang jadi, sedangkan batas
waktu
akan
diatur
dalam
keputusan
pelaksanaannya. Huruf d Cukup Jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan bibit dan benih yaitu segala jenis tumbuh-tumbuhan atau hewan yang diimpor dengan tujuan benar-benar untuk dikembangbiakkan lebih
lanjut
dalam
rangka
pengembangan
bidang
pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, atau perikanan. Huruf f Yang dimaksud dengan hasil laut yaitu semua jenis tumbuhan laut, ikan atau hewan laut yang layak untuk dimakan seperti ikan, udang, kerang, dan kepiting yang belum atau sudah diolah dalam sarana penangkap yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan sarana penangkap yaitu satu atau sekelompok kapal yang mempunyai peralatan untuk menangkap atau mengambil hasil laut, termasuk juga yang mempunyai peralatan pengolahan. Yang dimaksud dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin yaitu sarana penangkap yang berbendera Indonesia
atau
berbendera
asing
yang
telah
memperoleh izin dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan penangkapan atau pengambilan hasillaut. Huruf g Dalam transaksi perdagangan kemungkinan adanya perubahan kondisi barang sebelum barang diterima
http://www.bphn.go.id/
oleh pembeli dapat saja terjadi. Sedangkan prinsip pemungutan bea masuk dalam Undang-Undang ini diterapkan atas semua barang yang diimpor untuk dipakai sehingga, apabila terjadi perubahan kondisi (kerusakan,
penurunan
mutu,
kemusnahan,
atau
penyusutan volume atau berat karena sebab alamiah) barang tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai atau memberikan manfaat sebagaimana diharapkan, wajar apabila barang yang mengalami perubahan kondisi sebagaimana diuraikan di atas tidak sepenuhnya dipungut bea masuk. Oleh karena itu pembatasan pada saat
kapan
tersebut,
terjadinya
yaitu
antara
perubahan waktu
kondisi
barang
pengangkutan
dan
diberikannya persetujuan impor untuk dipakai. Huruf h Yang dimaksud dengan kepentingan umum yaitu kepentingan masyarakat yang tidak mengutamakan kepentingan di bidang keuangan, misalnya proyek pemasangan lampu jalan umum. Huruf i Cukup Jelas. Huruf j Cukup Jelas. Huruf k Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan tidak memenuhi ketentuan antara
http://www.bphn.go.id/
lain digunakan tidak sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang ditetapkan, seperti fasilitas keringanan bea masuk atas impor
barang,
untuk
keperluan
olahraga
tetapi
pada
kenyataannya di perjualbelikan. Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Kesalahan tata usaha yang dimaksud antara lain kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan pencantuman tarif. Huruf b Cukup Jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan sebab tertentu yaitu bahwa hal tersebut
bukan
melainkan
merupakan
disebabkan
oleh
kehendak adanya
importir
,
kebijaksanaan
pemerintah yang mengakibatkan barang yang telah diimpor tidak dapat dimasukkan ke dalam daerah pabean
sehingga
harus
diekspor
kembali
atau
dimusnahkan dibawah pengawasan pejabat bea dan cukai dalam kondisi yang sama. Huruf d Cukup Jelas. Huruf e Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 30 Cukup Jelas.
http://www.bphn.go.id/
Pasal 32 Ayat (1) Facia prinsipnya importir bertanggung jawab atas bea masuk barang yang diimpornya. Namun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang ini, importir baru dinyatakan
bertanggung
jawab
atas
bea
masuk
sejak
didaftarkannya pemberitahuan pabean. Dengan demikian, sebelum didaftarkannya pemberitahuan pabean, tanggung jawab atas bea masuk berada pada pengusaha tempat penimbunan sementara, yaitu tempat penimbunan barang impor yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Apabila barang impor yang harus dilunasi bea masuknya terdiri dari beberapa jenis dengan satu nama umum (golongan barang), sedangkan jenis barang yang sebenarnya tidak dapat diketahui, sebagai dasar perhitungan bea masuk, diambil tarif tertinggi yang berlaku atas golongan barang tersebut dan nilai pabean ditetapkan oleh pejabat bea dan cukai. Ayat (4) Cukup Jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan dibulatkan jumlahnya dalam ribuan rupiah yaitu dibulatkan ke atas sehingga bagian dari ribuan menjadi ribuan Ayat (3)
http://www.bphn.go.id/
Cukup Jelas. Pasal 37 Ayat (1) Kewajiban membayar bea masuk yang timbul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus dilunasi paling lambat pada tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean atas impor. Ayat (2) Yang
dimaksud
dengan
penundaan
yaitu
penundaan
pembayaran bea masuk dalam rangka fasilitas pembayaran berkala dan penundaan pembayaran bea masuk karena menunggu keputusan pembebasan atau keringanan. Ayat (2a) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Pasal 37A Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Direktur
Jenderal
pengangsuran kemampuan
dapat
pembayaran orang
dalam
memberikan setelah membayar
penundaan
atau
mempertimbangkan utangnya
dengan
memperhatikan laporan keuangan dan kredibilitas orang tersebut. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas.
http://www.bphn.go.id/
Pasal 38 Cukup Jelas. Pasal 41 Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, penagihan bea masuk dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pasal 44 Ayat (1) Tujuan
pengadaan
Undang-Undang
tempat
ini
yaitu
penimbunan memberikan
berikat
dalam
fasilitas
kepada
pengusaha berupa penangguhan pembayaran bea masuk. Yang
dimaksud
dengan
penangguhan
yaitu
peniadaan
sementara kewajiban pembayaran bea masuk sampai timbul kewajiban
untuk
membayar
bea
masuk
berdasarkan
Undang-Undang ini. Dalam
tempat
menyimpan,
penimbunan
menimbun,
berikat
melakukan
dilakukan
kegiatan
pengetesan
(Quality
Control), memperbaiki/merekondisi, menggabungkan (kitting), memamerkan, mengolah,
menjual,
mendaur
(assembling),
mengemas,
ulang,
mengurai
mengemas
melelang
barang,
(disassembling),
kembali, merakit dan/atau
membudidayakan flora dan fauna yang berasal dari luar daerah pabean tanpa lebih dahulu dipungut bea masuk. Pengadaan tempat penimbunan berikat ini diharapkan dapat memperlancar
arus
barang
impor
atau
ekspor
serta
meningkatkan produksi dalam negeri. Huruf a Cukup Jelas.
http://www.bphn.go.id/
Huruf b Yang
dimaksud
memproses
dengan
bahan
mengolah
mentah,
bahan
yaitu baku,
kegiatan barang
setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi. Huruf c Barang impor setelah dipamerkan dapat direekspor atau dijual setelah dilunasi bea masuk yang terutang. Barang yang berasal dari dalam daerah pabean dapat diekspor setelah memenuhi persyaratan ekspor sesuai ketentuan yang berlaku. Huruf d Yang dimaksud dengan orang tertentu yaitu warga negara asing yang bertugas di Indonesia atau orang yang berangkat ke luar negeri. Huruf e Cukup Jelas. Huruf f Cukup Jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan daur ulang yaitu suatu kegiatan pengolahan limbah dan barang lainnya menjadi produk yang mempunyai nilai tambah dan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Ayat (1a) Penetapan
oleh
menteri
ini
guna
mengantisipasi
perkembangan industri dan perdagangan internasional. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pengusahaan tempat penimbunan berikat
yaitu
melakukan
kegiatan
usaha
pengetesan,
menyimpan,
menimbun,
memperbaiki/merekondisi,
http://www.bphn.go.id/
menggabungkan (kitting), memamerkan, menjual, mengemas, mengemas kembali, mengolah, mendaur ulang, melelang barang,
merakit
(assembling),
mengurai
(disassembling),
dan/atau membudidayakan flora dan fauna di tempat penimbunan berikat. Pasal 45 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Cukup Jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan barang lainnya antara lain waste, scrap, sisa/potongan, bahan baku yang rusak, dan/atau barang yang rusak. Ayat (3) Pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan tanpa bermaksud mengelakkan pembayaran bea masuk karena telah diajukan pemberitahuan pabean dan bea masuk telah dilunasi, tetapi pengeluaran barang tersebut dilakukan tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai sehingga pelanggar dikenai sanksi administrasi berupa denda. Ayat (4) Yang dimaksud dengan pengusaha tempat penimbunan berikat yaitu orang yang benar-benar melakukan kegiatan usaha
menyimpan,
menimbun,
memperbaiki/merekondisi, memamerkan,
menjual,
melakukan
pengetesan,
menggabungkan
(kitting),
mengemas,
mengemas
kembali,
http://www.bphn.go.id/
mengolah,
mendaur
(assembling),
ulang,
mengurai
melelang
barang,
(disassembling),
merakit dan/atau
membudidayakan flora dan fauna di tempat penimbunan berikat. Ketentuan pada ayat ini menegaskan bahwa terhadap barang impor yang wajib bea masuk, yang hilang dari tempat penimbunan berikat, kepada pengusaha tempat penimbunan berikat, wajib membayar bea masuk yang terutang dan sanksi administrasi berupa denda. Pasal 49 Yang dimaksud dengan pembukuan yaitu suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi yang meliputi dan mempengaruhi keadaan harta, utang, modal, pendapatan, dan biaya yang secara khusus menggambarkan jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang kemudian diikhtisarkan dalam laporan keuangan. Kewajiban
menyelenggarakan
pembukuan
diperlukan
untuk
pelaksanaan audit kepabeanan setelah barang dikeluarkan dari kawasan pabean. Yang dimaksud dengan pengusaha pengangkutan yaitu orang yang menyediakan jasa angkutan barang impor atau ekspor dengan sarana pengangkut di darat, laut, dan udara. Pasal 50 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berada di tempat bagi orang berupa badan hukum yaitu pimpinan badan hukum tersebut tidak berada di
http://www.bphn.go.id/
tempat. Yang dimaksud dengan yang mewakili yaitu karyawan atau bawahan
atau
pihak
lain
yang
ditunjuk
oleh
orang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. Pasal 51 Ayat (1) Pengaturan pada ayat ini dimaksudkan agar dapat dihitung besarnya nilai transaksi impor atau ekspor. Untuk menjamin tercapainya
maksud
tersebut,
pembukuan
harus
diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di
Indonesia
misalnya
berdasarkan
standar
akuntansi
keuangan. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan
usaha
termasuk
data
elektronik,
surat
yang
berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia dengan maksud agar apabila Direktur Jenderal akan melakukan audit kepabeanan,
bukti
dasar
pembukuan
dan
surat
yang
diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Dalam hal data tersebut berupa data elektronik, orang wajib menjaga keandalan sistem pengolahan data yang digunakan agar data elektronik yang disimpan dapat dibuka, dibaca, atau diambil kembali setiap waktu. Ayat (4) Cukup Jelas.
http://www.bphn.go.id/
Pasal 52 Cukup Jelas. Pasal 53 Ayat (1) Sesuai dengan praktik kepabeanan internasional, pengawasan lalulintas barang yang masuk atau keluar dari daerah pabean dilakukan oleh instansi pabean. Dengan demikian, agar pelaksanaan
pengawasan
peraturan
larangan
dan
pembatasan menjadi efektif dan terkoordinasi, instansi teknis yang bersangkutan wajib menyampaikan peraturan dimaksud kepada Menteri untuk ditetapkan dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Barang yang dilarang atau dibatasi impor atau ekspornya yang tidak memenuhi syarat yaitu barang impor atau ekspor yang telah diberitahukan dengan pembcritahuan pabean, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan larangan atau pembatasan atas barang yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan diberitahukan dengan pemberitahuan pabean
dalam
pasal
ini
dapat
berupa
pemberitahuan
kedatangan sarana pengangkut, pemberitahuan impor untuk dipakai, dan pemberitahuan ekspor barang. Permintaan importir atau eksportir untuk membatalkan ekspomya, mereekspor, atau memusnahkan tidak dapat disetujui jika peraturan perundang-undangan yang berlaku menetapkan lain. Ayat (4)
http://www.bphn.go.id/
Yang
dimaksud
dengan
ditetapkan
lain
berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan telah mengatur secara khusus penyelesaian barang impor yang dibatasi
atau
dilarang,
misalnya
impor
limbah
yang
mengandung bahan berbahaya dan beracun. Penerapan sanksi administrasi pada ayat ini tidak mengurangi ketentuan pidana. Pasal 54 Perintah tertulis tersebut dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi kawasan pabean, yaitu tempat kegiatan impor atau ekspor tersebut berlangsung. Dalam hal impor barang tersebut ditujukan ke beberapa kawasan pabean dalam daerah pabean Indonesia permintaan perintah tersebut ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi kawasan pabean pertama, yaitu tempat impor barang yang bersangkutan ditujukan atau dibongkar. Dalam hal ekspor dilakukan dari beberapa kawasan pabean, permintaan tersebut ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh ketua pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi kawasan pabean pertama, yaitu tempat ekspor berlangsung. Yang dimaksud dengan pengadilan niaga yaitu pengadilan niaga yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 56 Cukup Jelas. Pasal 57 Ayat (1)
http://www.bphn.go.id/
Jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja tersebut merupakan jangka waktu maksimum bagi penangguhan. Jangka waktu tersebut disediakan untuk memberi kesempatan kepada pihak yang meminta penangguhan agar segera mengambil langkah-langkah untuk mempertahankan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (2) Perpanjangan jangka waktu penangguhan tersebut hanya dapat dilakukan dengan syarat yang ketat untuk mencegah kemungkinan
penyalahgunaan
hak
untuk
meminta
penangguhan. Ayat (3) Cukup Jelas. Pasal 58 Ayat (1) Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam rangka
identifikasi
atau pencacahan untuk kepentingan pengambilan tindakan hukum atau langkah-langkah untuk mempertahankan hak yang diduga telah dilanggar. Pemeriksaan
tersebut
dilakukan
dengan
sepengetahuan
pejabat bea dan cukai. Ayat (2) Karena permintaan penangguhan tersebut masih berdasarkan dugaan, kepentingan pemilik barang juga perlu diperhatikan secara wajar. Kepentingan tersebut, antara lain kepentingan untuk menjaga rahasia dagang atau informasi teknologi yang dirahasiakan, yang digunakan untuk memproduksi barang impor atau ekspor tersebut. Dalam hal demikian, pemeriksaan hanya diizinkan secara fisik, sekedar untuk mengidentifikasi atau
mencacah
barang-barang
yang
dimintakan
http://www.bphn.go.id/
penangguhan. Pasal 59 Cukup Jelas. Pasal 60 Yang dimaksud dengan keadaan tertentu tersebut, misalnya kondisi atau sifat barang yang cepat rusak. Pasal 61 Cukup Jelas. Pasal 64 A Ayat (1) Yang dimaksud dengan penindakan yaitu penindakan di bidang kepabeanan yang perlu dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap barang yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme dan/atau kejahatan lintas negara. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 75 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam melaksanakan tugas pengawasan agar sarana pengangkut melalui jalur yang ditetapkan dan untuk memeriksa sarana pengangkut berupa kapal, pejabat bea dan cukai perlu dilengkapi sarana operasional berupa kapal patroli atau sarana pengawasan lainnya seperti radio telekomunikasi atau radar. Yang dimaksud dengan kapal patroli yaitu kapal laut dan/atau kapal udara milik Direktorat Jenderal Bea dan
http://www.bphn.go.id/
Cukai yang dipimpin oleh pejabat bea dan cukai sebagai komandan patroli, yang mempunyai kewenangan penegakan hukum di daerah pabean sesuai dengan Undang-Undang ini. Ayat (2) Kelengkapan kapal patroli atau sarana lain dengan senjata api pada ayat ini dimaksudkan untuk menghadapi bahaya yang mengancam jiwa atau keselamatan pejabat bea dan cukai dan kapal patroli dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. Pasal 76 Semua instansi pemerintah, baik sipil maupun militer bila diminta, berkewajiban
memberi
bantuan
dan
perlindungan
atau
memerintahkan untuk melindungi pejabat bea dan cukai dalam segala hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Ketentuan
dalam
pasal
ini
menegaskan
bahwa
bantuan
sebagaimana dimaksud di atas yaitu sehubungan dengan segala kegiatan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 78 Wewenang pejabat bea dan cukai yang diatur dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin pengawasan yang lebih baik dalam rangka pengamanan keuangan negara. Pasal 82 Ayat (1) Ayat ini memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai untuk melakukan pemeriksaan barang guna memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai pemberitahuan atau dokumen yang diajukan. Dalam melaksanakan pemeriksaan ini pemilik barang atau
http://www.bphn.go.id/
kuasanya wajib menghadiri pemeriksaan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan menyerahkan barang untuk diperiksa pada ayat ini yaitu menyiapkan barang di tempat pemeriksaan barang dan menyiapkan peralatan pemeriksaan sehingga pejabat bea dan cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik barang. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Cukup Jelas. Ayat (6) Yang dimaksud salah pada ayat ini yaitu kesalahan karena kelalaian. Yang dimaksud pungutan negara di bidang ekspor pada ayat ini meliputi bea keluar. Pasal 82A Ayat (1) Yang dimaksud dengan pemeriksaan karena jabatan yaitu pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai karena
kewenangan
yang
dimilikinya
berdasarkan
Undang-Undang ini dalam rangka pengawasan. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 85 Ayat (1) Cukup Jelas.
http://www.bphn.go.id/
Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam hal orang yang bersangkutan telah memenuhi kewajibannya, pejabat bea dan cukai segera memberikan pelayanan kepabeanan. Pasal 85A Pasal ini memberikan wewenang kepada pejabat bea dan cukai untuk melakukan pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu di atas alat angkut, di tempat pemuatan, dan di tempat pembongkaran di dalam daerah pabean. Pasal 86 Ayat (1) Audit kepabeanan dilakukan dalam rangka pengawasan sebagai konsekuensi diberlakukannya: a.sistem self assesment, b.ketentuan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi; c.pemberian
fasilitas
tidak
dipungut,
pembebasan,
keringanan, pengembalian, atau penangguhan bea masuk yang hanya dapat diawasi dan dievaluasi setelah barang impor keluar dari kawasan pabean. Ayat (1a) Huruf a Audit kepabeanan bukan merupakan audit untuk menilai
atau
memberikan
opini
tentang
laporan
keuangan, tetapi untuk menguji tingkat kepatuhan orang
terhadap
ketentuan
peraturan
perundang-undangan di bidang kepabeanan. Laporan
keuangan
diminta
dalam
kegiatan
audit
http://www.bphn.go.id/
kepabeanan dengan tujuan hanya untuk memastikan bahwa pembukuan yang diberikan oleh orang kepada pejabat
bea
dan
cukai
adalah
pembukuan
yang
sebenarnya yang digunakan untuk mencatat kegiatan usahanya yang pada akhir periode diikhtisarkan dalam laporan keuangan. Selain itu, dengan laporan keuangan, pejabat bea dan cukai dapat memperoleh informasi mengenai kegiatan orang yang berkaitan dengan kepabeanan. Pejabat bea dan cukai yang melaksanakan audit dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak terhadap segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh orang berkaitan dengan audit yang dilaksanakannya. Huruf b Yang dimaksud dengan pihak lain yang terkait, yaitu pihak-pihak yang mempunyai hubungan dengan orang yang terkait dengan transaksi yang dilakukan oleh orang tersebut, misalnya pembeli di dalam negeri atas barang impor, pembeli di luar negeri atas barang ekspor, pemasok di dalam negeri atas barang ekspor, pemasok di luar negeri atas barang impor, bank, dan pihak lain yang diyakini dapat memberikan keterangan sehubungan transaksi yang dilakukan oleh orang, seperti
Pusat
Pelaporan
dan
Analisa
Transaksi
Keuangan. Huruf c Cukup Jelas. Huruf d Cukup Jelas. Ayat (2)
http://www.bphn.go.id/
Ketentuan
ini
dimaksudkan
bahwa
perbuatan
yang
menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat menjalankan wewenangnya
mencakup
perbuatan
tidak
menyerahkan
laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan
dengan
kegiatan
di
bidang
kepabeanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50. Ayat (3) Cukup Jelas. Pasal 86A Cukup Jelas. Pasal 88 Ayat (1) Bangunan dan tempat lain yang bukan rumah tinggal yang dimaksud dalam ayat ini misalnya bangunan yang didirikan khusus untuk menyimpan barang apapun dan pendirinya bukan dimaksudkan sebagai tempat usaha berdasarkan Undang-Undang ini. Apabila berdasarkan petunjuk yang ada bahwa di tempat tersebut terdapat barang yang tersangkut pelanggaran, baik sebagai barang yang wajib bea masuk maupun yang dikenai peraturan larangan dan pembatasan, Direktur Jenderal dapat memerintahkan pejabat bea dan cukai untuk melakukan pemeriksaan terhadap tempat tersebut. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 90
http://www.bphn.go.id/
Ayat (1) Penghentian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai terhadap sarana pengangkut bertujuan untuk pengawasan dan dipatuhinya peraturan perundang-undangan yang pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Bea
dan
Cukai.
Dengan
demikian
penghentian
dan
pemeriksaan sarana pengangkut serta barang di atasnya hanya dilakukan secara selektif. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam melaksanakan pengawasan
atas
pembongkaran
sarana
barang
pengangkut
impor,
pejabat
yang bea
melakukan dan
cukai
berwenang untuk menghentikan pekerjaan tersebut jika ternyata barang yang dibongkar berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh diimpor ke dalam daerah pabean. Ayat (4) Cukup Jelas. Pasal 92A Ayat (1) Huruf a Pembetulan surat tagihan kekurangan pembayaran bea masuk menurut ketentuan ini dilaksanakan untuk menjalankan pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan manusiawi dalam suatu
pepetapan
perlu
dibetulkan
sebagaimana
mestinya. Pengertian membetulkan dapat berarti menambah,
http://www.bphn.go.id/
mengurangi, atau menghapus, sesuai dengan sifat kesalahan dan kekeliruannya. Direktur
Jenderal
membetulkan
atau
karena
jabatannya
membatalkan
surat
dapat tagihan
kekurangan pembayaran bea masuk yang tidak benar, misalnya tidak memenuhi persyaratan formal meskipun persyaratan materialnya telah terpenuhi. Huruf b Direktur Jenderal dapat mengurangi atau menghapus sanksi administrasi berupa denda apabila orang yang dikenai sanksi ternyata hanya melakukan kekhilafan bukan
kesalahan
yang
disengaja
atau
kesalahan
dimaksud terjadi akibat perbuatan orang lain yang tidak mempunyai hubungan usaha dengannya serta tanpa sepengetahuan dan persetujuannya. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 93 Ayat (1) Ketentuan pada ayat ini ditujukan untuk menjamin adanya kepastian hukum dan sebagai manifestasi dari asas keadilan yang memberikan hak kepada pengguna jasa kepabeanan untuk mengajukan keberatan atas keputusan pejabat bea dan cukai. Waktu 60 (enam puluh) hari yang diberikan kepada pengguna jasa kepabeanan ini dianggap cukup bagi yang bersangkutan untuk mengumpulkan data yang diperlukan guna pengajuan keberatan kepada Direktur Jenderal. Dalam hal batas waktu 60 (enam puluh) hari tersebut dilewati,
hak
yang
bersangkutan
menjadi
gugur
dan
http://www.bphn.go.id/
penetapan dianggap disetujui. Yang dimaksud dengan sebesar tagihan yaitu kekurangan bea masuk, kekurangan pajak dalam rangka impor, dan sanksi administrasi berupa denda. Dalam hal tagihan telah dilunasi, keberatan tetap dapat diajukan tanpa kewajiban menyerahkan jaminan. Ayat (1a) Yang dimaksud dengan barang belum dikeluarkan pada ayat ini yaitu barang impor masih berada dalam kawasan pabean. Pihak
yang
mengajukan
keberatan
bertanggung
jawab
terhadap barang impor yang bersangkutan dan segala biaya yang mungkin timbul. Ayat (2) Penetapan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kepada Direktur
Jenderal
untuk
memberikan
keputusan
atas
keberatan yang diajukan oleh pengguna jasa kepabeanan ini merupakan jangka waktu yang wajar mengingat Direktur Jenderal juga perlu melakukan pengumpulan data dan informasi dalam memutuskan suatu keberatan yang diajukan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ditolak oleh Direktur Jenderal yaitu penolakan oleh Direktur Jenderal atas keberatan yang diajukan sehingga penetapan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai menjadi tetap. Penolakan oleh Direktur Jenderal ini dapat pula berupa penolakan sebagian atas keberatan yang diajukan, atau Direktur Jenderal menetapkan lain dari penetapan yang dilakukan oleh pejabat bea dan cukai, dan penetapan ini dapat lebih besar atau lebih kecil dari pada penetapan pejabat bea dan cukai tersebut.
http://www.bphn.go.id/
Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Cukup Jelas. Ayat (6) Cukup Jelas. Pasal 93A Ayat (1) Keberatan yang dapat diajukan yaitu keberatan terhadap penetapan pejabat selain mengenai tarif dan/atau nilai pabean, misalnya penetapan berupa pencabutan fasilitas atau penetapan sebagai akibat penafsiran peraturan. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Penetapan jangka waktu 60 (enam puluh) hari kepada Direktur
Jenderal
untuk
memberikan
keputusan
atas
keberatan yang diajukan oleh pengguna jasa kepabeanan ini merupakan jangka waktu yang wajar mengingat Direktur Jenderal juga perlu melakukan pengumpulan data dan informasi dalam memutuskan keberatan yang diajukan. Ayat (5) Cukup Jelas. Ayat (6) Cukup Jelas. Ayat (7) Cukup Jelas. Ayat (8)
http://www.bphn.go.id/
Cukup Jelas. Pasal 94 Cukup Jelas. Pasal 95 Cukup Jelas. Pasal 102 Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Cukup Jelas. Huruf c Cukup Jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan barang impor yang masih dalam pengawasan pabean yaitu barang impor yang kewajiban pabeannya belum diselesaikan. Contoh membongkar atau menimbun di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan atau diizinkan yaitu barang dengan tujuan
tempat
penimbunan
berikat
A
dibongkar
atau
ditimbun di luar tempat penimbunan berikat A. Huruf e Yang dimaksud dengan menyembunyikan barang impor secara melawan hukum yaitu menyimpan barang di tempat yang
tidak
wajar
dan/atau
dengan
sengaja
menutupi
keberadaan barang tersebut. Yang dimaksud tempat yang tidak wajar antara lain di dalam dinding kontainer, di dalam dinding koper, di dalam tubuh, di dalam
dinding
kapal
pada
ruang
mesin
kapal,
atau
http://www.bphn.go.id/
tempat-tempat lain. Huruf f Cukup Jelas. Huruf g Cukup Jelas. Huruf h Perbedaan pelanggaran yang dimaksud dalam huruf ini dengan pelanggaran dalam Pasal 82 ayat (5) yaitu bahwa pelanggaran ini didasarkan atas perbuatan yang disengaja dan melawan hukum. Pasal 102A Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan pungutan negara dibidang ekspor yaitu bea keluar. Huruf c Yang dimaksud dengan memuat yaitu memuat barang ekspor ke dalam sarana pengangkut yang akan berangkat ke luar daerah pabean. Huruf d Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah pembongkaran kembali barang ekspor yang telah dimuat di atas sarana pengangkut dengan tujuan utama untuk mencegah ekspor fiktif, misalnya barang ekspor dimuat di Semarang untuk tujuan Singapura tetapi barang ekspor tersebut dibongkar di Jakarta. Huruf e Cukup Jelas.
http://www.bphn.go.id/
Pasal 102B Cukup Jelas. Pasal 102C Cukup Jelas. Pasal 102D Cukup Jelas. Pasal 103 Huruf a Pengertian dokumen palsu atau dipalsukan antara. lain dapat berupa: a.dokumen yang dibuat oleh orang yang tidak berhak; atau b.dokumen yang dibuat oleh orang yang berhak tetapi memuat data tidak benar. Huruf b Cukup Jelas. Huruf c Memberi keterangan lisan sebagaimana dimaksud pada huruf ini terutama untuk penumpang dan pelintas batas. Huruf d Ketentuan pidana ini berhubungan dengan keadaan tempat ditemukannya
orang
menimbun,
memiliki,
menyimpan,
membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang berasal dari tindak pidana penyelundupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102. Orang yang ditemukan menimbun, memiliki, menyimpan, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang tanpa diketahui siapa pelaku kejahatan dapat dikenai pidana sesuai dengan pasal ini. Akan tetapi, jika yang
http://www.bphn.go.id/
bersangkutan memperoleh barang tersebut dengan itikad baik, yang bersangkutan tidak dituntut. Kemungkinan bisa terjadi,
pelaku
kejahatan
dapat
diketahui,
sehingga
kedua-duanya dapat dituntut. Pasal 103A Ayat (1) Yang dimaksud dengan mengakses yaitu tindakan atau upaya yang dilakukan untuk login ke sistem kepabeanan. Yang dimaksud dengan login yaitu memasuki atau terhubung dengan suatu sistem elektronik sehingga dengan masuk atau dengan keterhubungan itu pelaku dapat mengirim dan/atau informasi melalui atau yang ada pada sistem elektronik. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 104 Huruf a Cukup Jelas. Huruf b Cukup Jelas. Huruf c Cukup Jelas. Huruf d Ayat
ini
pemalsuan
dimaksudkan atau
untuk
mencegah
pemanipulasian
data
dilakukannya
pada
dokumen
pelengkap pabean, misalnya invoice. Pasal 105 Yang dimaksud dengan merusak yaitu merusak secara fisik atau melakukan perbuatan yang mengubah fungsi kunci, segel atau
http://www.bphn.go.id/
tanda pengaman. Pasal 107 Pasal ini menegaskan, jika pengusaha pengurusan jasa kepabeanan melakukan
pelanggaran
terhadap,
Undang-Undang
ini
dalam
melaksanakan pekerjaan yang dikuasakan oleh importir atau eksportir, yang bersangkutan diancam dengan pidana yang sama dengan ancaman pidana terhadap importir atau eksportir, misalnya, jika pengusaha pengurusan jasa kepabeanan mnemalsukan invoice yang diterima dari importir sehingga pemberitahuan pabean yang diajukan atas nama importir tersebut lebih rendah nilai pabeannya, pengusaha pengurusan jasa kepabeanan dikenai ancaman pidana. Pasal 108 Pasal ini memberikan kemungkinan dapat dipidananya suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan, termasuk badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, bentuk usaha tetap atau bentuk usaha lainnya, perkumpulan, termasuk persekutuan, firma atau kongsi, yayasan atau organisasi sejenis, atau koperasi dalam kenyataan kadang-kadang orang melakukan tindakan dengan bersembunyi di belakang atau atas nama badan-badan tersebut di atas. Oleh karena itu, selain badan tersebut harus dipidana juga mereka yang telah memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang sesungguhnya melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian orang yang bertindak tidak untuk diri sendiri, tetapi wakil dari badan tersebut, harus juga mengindahkan peraturan dan larangan yang diancam dengan pidana, seolah-olah mereka sendirilah yang melakukan tindak pidana tersebut. Atas dasar hasil penyidikan, dapat ditetapkan tuntutan pidana yang akan dikenakan kepada badan-badan yang bersangkutan dan/atau
http://www.bphn.go.id/
pimpinannya. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada badan tersebut senantiasa berupa pidana denda. Pasal 109 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Yang
dimaksud
dengan
semata-mata
digunakan
untuk
melakukan tindak pidana yaitu sarana pengangkut yang pada saat tertangkap benar-benar ditujukan untuk melakukan tindak pidana penyelundupan. Ayat (2a) Yang dimaksud dengan dapat dirampas yaitu memberikan kewenangan
kepada
hakim
untuk
mempertimbangkan
putusan dengan memperhatikan kasus per kasus, misalnya kapal yang hanya mengangkut barang tertentu dalam jumlah sedikit sedangkan kapal tersebut diperlukan sebagai alat angkut
untuk
menopang
perdagangan
ekonomi
daerah
tentunya diputuskan untuk tidak dirampas. Ayat (3) Secara umum, pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh penuntut umum. Namun, barang impor atau ekspor yang berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara, berdasarkan Undang-Undang ini menjadi milik negara yang pemanfaatannya ditetapkan oleh Menteri. Pasal 113A Ayat (1) Ayat ini mengamanatkan setiap pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus mengutamakan fungsi pelayanan maupun pengawasan
http://www.bphn.go.id/
dalam menghimpun dana melalui pemungutan bea masuk, melindungi kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, orang, dokumen, dan dapat menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Ayat (2) Mengingat dalam pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berkaitan erat dengan pengawasan dan pelayanan, pegawai
bea
cukai
wewenangnya
yang
harus
melaksanakan
tugas
dan
mempertanggungjawabkan
perbuatannya di hadapan Komisi Kode Etik apabila melanggar kode etik. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Pasal 113B Cukup Jelas. Pasal 113C Cukup Jelas. Pasal 113D Ayat (1) Yang
dimaksud
dengan
pelanggaran
kepabeanan
yaitu
pelanggaran administrasi dan tindak pidana kepabeanan. Yang
dimaksud
dengan
berjasa
yaitu
berjasa
dalam
menangani: a. pelanggaran administrasi meliputi memberikan informasi, menemukan baik secara administrasi maupun secara fisik, sampai dengan menyelesaikan penagihan; atau
http://www.bphn.go.id/
b. pelanggaran pidana kepabeanan meliputi memberikan informasi, melakukan penangkapan, penyidikan, dan penuntutan. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Pasal 115A Ayat (1) Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk menghindari penyalahgunaan daerah perdagangan bebas (free trade zone) dan/atau pelabuhan bebas terhadap pemasukan dan/atau pengeluaran barang-barang larangan dan pembatasan seperti narkoba, senjata api, bahan peledak. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 115B Ayat (1) Yang
dimaksud
informasi
yang
sifatnya
tertentu
yaitu
informasi yang menyangkut kerahasiaan negara atau yang berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
harus
dirahasiakan. Ayat (2) Cukup Jelas. Pasal 115C Ayat (1)
http://www.bphn.go.id/
Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Ketentuan
pada
ayat
ini
sebagai
upaya
pengamanan
keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau pejabat pemeriksa fungsional lain berdasarkan Undang-Undang. Ayat (4) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat ini, harus diminta
menyebutkan serta
nama
kaitan
tersangka,
antara
keterangan
perkara
pidana
yang yang
bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut. Pasal II Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4661
http://www.bphn.go.id/