PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Bagian 5 WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH TUJUAN PEMBELAJ ARAN Mahasiswa mampu mengembangkan, mendalami pengetahuan dan wawasan pertanian/ pangan terkait (a) situasi dan kecenderungan global, (b) kerjasama global, regional dan bilateral, (c) Politik ekonomi pangan dan kedaulatan pangan nasional, dan (d) peran pemerintah dalam membangun kedaulatan pangan nasional.
DESKRIPSI 5.1 Diskusi wawasan masa depan pembangunan pertanian dan pangan Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 akan mencapai lebih dari 270 juta jiwa. Struktur ekonomi Indonesia pada 2020, apabila pertumbuhan ekonomi mencapai 5 % per tahun, paling jauh sama dengan kondisi perekonomian Thailand sekarang. Dengan pertambahan penduduk lebih dari 60 juta dibandingkan tahun 2000, atau sekitar tiga kali penduduk Malaysia sekarang, maka pertambahan penduduk Indonesia selama 20 tahun yang akan datang, sudah cukup rumit untuk mencari jalan pemecahannya. Setiap pertambahan penduduk memerlukan pekerjaan, makanan, ruang hidup, lingkungan yang sehat, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kebutuhankebutuhan lainnya.Kapasitas sumberdaya alam dan modal fisik bukan hanya terbatas, tetapi juga kondisinya sudah banyak yang rusak, bahkan memerlukan rehabilitasi atau bahkan memerlukan tindakan konservasi karena pemanfaatannya selama ini telah melampaui daya dukungnya. Perubahan gaya hidup dan cara pandang terhadap pangan masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang akan berubah. Kecenderungan karakter konsumen yang akan terjadi pada masa depan dan sudah mulai dapat dirasakan saat ini antara lain adalah tuntutan konsumen terhadap keamanan, nilai gizi, cita rasa, dan ketersediaan pangan akan meningkat pesat. Pada masa depan akan semakin banyak orang yang makan di luar rumah, dan semakin banyak makanan instan di rumah. Keamanan dan mutu pangan akan menjadi isue penting, walaupun mungkin ketahanan pangan masih menjadi isue yang tidak kalah penting. Di Indonesia, pasar modern (hypermarket, supermarket, minimarket) akan tumbuh dengan laju pertumbuhan yang sangat tinggi. Walaupun jumlah supermarket chain besar berkurang, tetapi yang bertahan makin besar, sehingga
109
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
keseimbangan kekuatan bergesar dari produsen/petani ke perusahaan multinasional. Kondisi ini akan menyebabkan adanya kompetisi antara produk pangan domestik dengan produk impor (yang sering kali lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah). Tuntutan konsumen terhadap produk pertanian pada masa depan akan semakin meningkat, yang mau tidak mau, akan mempengaruhi kecenderungan manajemen produksi tanamanan. Tuntutan konsumen tersebut antara lain adalah: 1. Produk pertanian harus benar-benar aman, bebas dari cemaran, racun, pestisida, & mikroba berbahaya bagi kesehatan. Aturan mengenai batas maksimum residu (MRL = maximum reside limit) pestisida akan semakin ketat, sehingga akan mempengaruhi pengelolaan dalam perlindungan tanaman. Produk pangan juga harus bebas dari kandungan zat berbahaya, termasuk logam berat dan racun. Keracunan sianida dari singkong, Hg dari ikan, Pb dari kangkung dan sebagainya tidak akan terjadi lagi. Produk juga harus bebas dari berbagai cemaran. Bahan pengawet dan pewarna yang tidak diperuntukkan untuk pangan, seperti formalin, tidak akan digunakan sama sekali. Kasus pencampuran minyak solar ke CPO seperti yang terjadi pada beberapa waktu yang lalu tidak akan terjadi lagi. Cemaran biologi, baik yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun bagi pertanian akan dicegah. Sanitary and Phytosanitary Measures akan semakin diperketat di karantina. Peneliti Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi hal-hal tersebut. 2. Produk pangan juga dituntut mempunyai nilai gizi tinggi dan mengandung zat berkhasiat untuk kesehatan. Konsumen menghendaki informasi mengenai kandungan fitokimia yang berkhasiat untuk meningkatkan kesehatan dalam produk pangan. Karena itu penelitian mengenai manfaat produk-produk pertanian tanaman pangan Indonesia perlu mulai segera dilakukan. Pengetahuan indigenous mengenai manfaat produk pangan perlu dibuktikan secara ilmiah dan diketahui apa fitokimia yang terkandung di dalamnya. 3. Produk pangan juga harus mempunyai mutu tinggi, tidak sekedar enak. Mutu adalah segala hal yang menunjukkan keistimewaan atau derajad keunggulan sesuatu produk. Mutu atau kualitas juga dapat dipahami sebagai kecocokan suatu produk dengan tujuan dari produksi. Dengan demikian, mutu merupakan gabungan dari sifat-sifat atau ciri-ciri yang memberikan nilai kepada setiap komoditas yang terkait dengan maksud penggunaan komoditas tersebut. Secara singkat mutu termasuk semua hal yang dapat memuaskan pelanggan.Menurut versi Codex Alimentarius Standar mutu termasuk masalah tampilan produk seperti keutuhan, keseragaman, kebebasan dari cacat, hama dan penyakit, tingkat kematangan, kesegaran, kebersihan, ketahanan dalam transportasi dan penanganan, dan kemampuan agar mutu produk bertahan tetap baik sampai tujuan. Kelas, kode ukuran, kemasan dan label juga menjadi hal yang penting dalam mutu produk. Produsen pertanian perlu melakukan pembenahan dalam sistem produksinya agar dapat memenuhi kepentingan konsumen.
110
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
4. Produk pertanian harus diproduksi dengan cara yang tidak menurunkan mutu lingkungan. Tuntutan terhadap kelestarian lingkungan akan semakin ketat, padahal pada saat yang sama tekanan populasi terhadap sumberdaya lahan semakin kuat. Karena itu peneliti Indonesia perlu mengembangkan teknologi pertanian yang dapat menjamin produksi pangan yang memenuhi tututan konsumen namun tetap dapat menjaga kelestarian lingkungan, mencegah pencemaran tanah dan air, mencegah erosi dan hal-hal lain yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. 5. Produk pertanian juga harus diproduksi dengan memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan petani dan pekerja. 6. Mempunyai traceability. Cara produksi pangan harus dapat dirunut dari pasar sampai kebun. Data-data harus transparan dan jujur. Karena itu catatan aktivitas di kebun dan rantai pasar harus menajdi perhatian. 7. Produk pangan harus tersedia dalam waktu yang tepat. Selain persyaratan di atas, produk pertanian harus tersedia dan tepat waktu. Untuk produk pangan tertentu kontinyuitas penyediaan menjadi faktor yang sangat penting. 8. Harga jual produk pertanian harus kompetitif. Untuk itu efisiensi dalam produksi, dalam delivery harus dilakukan. Harus dikembangkan supply chain management (SCM) yang berkeadilan dan berorientasi pada nilai produk. Berdasarkan tuntutan konsumen, masalah yang dihadapi dan kondisi pertanian dan lingkungan pertanian di Indonesia, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh pertanian Indonesia. Tantangan ini harus dijawab oleh para ilmuwan pertanian. Tantangan tersebut meliputi: 1. Bagaimana menghasilkan produk pertanian dengan harga yang wajar bagi bagi populasi yang terus bertambah. 2. Bagaimana meningkatkan hasil per satuan luas (produktivitas); karena perluasan areal sudah semakin sulit. 3. Bagaimana menghasilkan lebih menggunakan air lebih sedikit.
banyak
produk
pertanian
dengan
4. Bagaimana menghasilkan produk pertanian yang lebih aman, bermutu dan bernilai bagi konsumen. 5. Bagaimana menghasilkan produk pertanian tanpa menurunkan potensi sumberdaya lahan dan lingkungan. 6. Bagaimana cara menjamin ketersediaan yang kontinyu produk pertanian yang secara alami bersifat musiman. 7. Bagaimana menghasilkan produk pertanian yang mensejahterakan petani. 8. Bagaimana meningkatkan daya saing global pertanian Indonesia. Seperti diuraikan di atas, dayasaing produk pertanian akan ditentukan oleh kuantitas,
111
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
kualitas, keamanan, kontinyuitas pasokan, ketepatan delivery, kompetitif dalam harga, dan adanya traceability (6K+T). Dengan menyadari kondisi Indonesia saat ini, diperkirakan kondisi Indonesia mendatang akan menghadapi persoalan yang berat, terutama dalam memenuhi kebutuhan pokok yang menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya, antara lain: pangan, enerji, pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan perikehidupan lainnya sebagai bagian dari negara yang bermartabat dan sejahtera, maka diperlukan suatu pengkajian atau reinterpretasi tentang pembangunan nasional dan pembangunan pertanian yang berada di dalamnya. Hal ini diperlukan untuk menata kembali pembangunan pertanian dan atau pembangunan nasional untuk menyelesaikan/menghadapi persoalan-persoalan sekarang dan yang akan datang. Dalam kurun waktu kurang-lebih 50 tahun, atau setelah Perang Dunia II, dunia ini telah mengalami berbagai perubahan.Lebih dari 100 negara berkembang mencoba membangun negara masing-masing untuk menjadi negara yang lebih maju. Dalam proses mencapai tujuan tersebut, negara-negara berkembang didukung oleh negara-negara yang telah maju sebelumnya, termasuk di dalamnya adalah pinjaman luar negeri dan bantuan teknis serta kerjasama politik. Berakhirnya perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, telah melahirkan pikiran bahwa pasar dengan basisnya kapitalisme merupakan institusi “pemenang” dalam pertentangan pandangan selama periode di atas. Namun demikian, perlu di cermati bahwa dari banyaknya negara berkembang yang berhasil melakukan proses transformasi struktur ekonominya mendekati negara maju tidaklah banyak. Bahkan dapat dikatakan keberhasilan tersebut hanya dicapai oleh beberapa negara saja, terutama setelah pengalaman terjadinya krisis ekonomi Asia akhir-akhir ini. Negara yang dimaksud adalah: Korea Selatan, Malaysia, Thailand, dan Singapura. Kecuali Singapura yang tidak memiliki pertanian, negara-negara berhasil membangun pertaniannya dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk Indonesia.Sebaliknya, negara-negara yang mengabaikan pertaniannya sehingga produktivitasnya rendah, negara-negara ini makin tertinggal.
Beberapa ilustrasi dapat dikemukakan sebagai berikut : Pertama, perubahan struktural terjadi di negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Korea Selatan lebih cepat daripada Indonesia. Bahkan Korea Selatan GDP sektor pertaniannya tinggal 4 % dengan tenaga kerja pertanian tinggal 12 % pada 2002. Thailand dengan GDP pertanian tinggal 9 % dan tenaga kerja pertanian masih 50 %, dari 45 tahun sebelumnya 82 %. Demikian pun dengan Malaysia.Apa yang berbeda?
112
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Tabel 5.1 Perbandingan Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia dengan Thailand, Malaysia dan Korea Selatan Indonesia 1957 2002 56 17
Malaysia 1957 2002 45 9
Thailand 1957 2002 38 9
Korea Selatan 1957 2002 41 4
GDP pertanian (%) Tenaga Kerja 61 44 58 21* 82 50* 70 Pertanian (%) Catatan: * = tenaga kerja pria Sumber: 1) Data tahun 1957 diperoleh dari Russett et. al., 1964.World Handbook of Political and Social Indicators. Yale University Press, New Haven. 2) Data tahun 2002: a) BPS untuk Indonesia; b) 2004 World Development Indicators. Tabel 5.2 Perubahan Persentase Penurunan Tenaga Kerja (TK) Pertanian dan GDP Pertanian dan Elastisitas Perubahan TK Pertanian terhadap Perubahan GDP Pertanian, Tahun 1957&2002
Indonesia Δ% TK Pertanian (A) Δ % GDP Pertanian (B) (A/B)
17 39 0,43
Thailand
Malaysia 32 29 1,1
Korea Selatan 37 36 1,02
58 37 1,56
Perbedaan mendasar dalam perihal perubahan struktural di ke empat negara di atas sebagai berikut: a) Pengamatan sekilas memperlihatkan bahwa perkembangan di Indonesia pun sudah sejalan dengan prediksi teori ekonomi, yaitu proses perubahan struktural telah terjadi melalui pembangunan ekonomi. Namun, pengamatan yang lebih mendalam menunjukkan bahwa pangsa penyerapan tenaga kerja oleh sektor non pertanian di Indonesia lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara lainnya dalam Tabel 2 di atas. Sebagai ilustrasi, setiap 1 % penurunan pangsa GDP pertanian di Korea Selatan diikuti oleh 1,56 % penurunan pangsa tenaga kerja di sektor pertanian. Walaupun % penurunan penyerapan tenaga kerja di Thailand dan Malaysia oleh sektor pertanian lebih rendah daripada penurunan penyerapan tenaga kerja pertanian di Korea Selatan, secara proporsional masih lebih besar daripada penurunan pangsa GDP di negara-negara tersebut. Sedangkan di Indonesia, setiap 1 % PDB pertanian menurun, maka hanya terjadi pengurangan 0,43 % tenaga kerja di sektor pertanian. Artinya, pertanian menanggung beban lebih besar dalam proses perubahan struktural tersebut. b) Kesimpulan dari analisis ini adalah bahwa perkembangan sektor industri dan jasa di Indonesia tidak banyak menampung pertambahan tenaga kerja dibandingkan dengan apa yang telah terjadi di Korea Selatan, Malaysia dan Thailand. Dengan membandingkan kondisi awal dan kondisi akhir selama 45 tahun terakhir antara Indonesia, Malaysia, Thailand dan Korea Selatan,
113
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
12
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
c)
maka dapat dikatakan strategi dasar, kebijaksanaan dasar dan praktekpraktek pembangunan yang dilaksanakan Indonesia memerlukan reinterpretasi dan koreksi dan penyempurnaan yang mendasar. Kemajuan Korea Selatan, Malaysia dan Thailand disebabkan oleh keberhasilan negaranegara tersebut dalam membangun strategi, kebijaksanaan dan implementasinya yang mampu mengintegrasikan kemajuan sektor pertanian, industri dan jasa secara seimbang. Hal yang sangat penting adalah bagaimana merevitalisasi pertanian sebagai jantung dan pelampung ekonomi pada khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya, untuk membangun Indonesia 50 tahun mendatang.
Kedua, pertumbuhan penduduk dunia meningkat dengan kecepatan yang makin pesat. Dapat dibayangkan penduduk dunia pada tahun 1350 baru berjumlah 300 juta orang, dua kali lipat dari perkiraan jumlah penduduk pada tahun pertama masehi. Pada tahun 1700 penduduk dunia meningkat menjadi 600 juta, dua kali lipat jumlah penduduk 350 tahun sebelumnya. Seratus tahun kemudian, 1800, penduduk dunia diperkirakan mencapai 900 juta orang. Dalam tempo 100 tahun penduduk dunia bertambah 300 juta orang. Pada tahun 1900, seratus tahun kemudian, penduduk dunia bertambah 700 juta orang, menjadi 1,6 milyar jiwa. Lima puluh tahun berikutnya, yaitu 1950 penduduk dunia mencapai 2,4 milyar orang, bertambah 800 juta orang dalam tempo 50 tahun. Selanjutnya, pada tahun 1985 penduduk dunia mencapai 5 milyar orang dan dewasa ini diperkirakan sekitar 6 milyar orang. Pada tahun 2020 penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 8 milyar orang. Sebagian besar penduduk tersebut berada di negara-negara berkembang dan sebagian besar bermukim di Asia. Perkembangan penduduk ini akan berkaitan dengan segala aspek kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Pertanian memiliki peran kunci dalam melanggengkan kehidupan umat manusia yang jumlahnya makin meningkat tersebut.Persoalan menjadi lebih kompleks mengingat persoalan kehidupan ini menjadi makin kompetitif sebagai akibat dari ruang atau habitat manusia yang menjadi relatif makin sempit. Perubahan jumlah dan distribusi serta karakter kependudukan juga akan berkaitan dengan distribusi kekuatan suatu negara sehingga kependudukan ini juga tidak terlepas dari keamanan dunia. Potensi konflik ini akan makin besar apabila terjadi kelangkaan pangan, kerusakan lingkungan hidup yang menyebabkan terjadinya berbagai kelangkaan kebutuhan dasar manusia seperti air bersih, udara segar dan kualitas lingkungan hidup lainnya. Dalam paruh kedua abad ke-20, produksi pangan dunia meningkat pesat.Selama 50 tahun terakhir dapat dikatakan telah terjadi revolusi dalam bidang pertanian yang secara agregat membuat dunia ini tidak kekurangan pangan. Pada saat Perang Dunia ke-II, produksi pangan dunia berkurang 5 % atau 15 % dalam satuan per kapita dibandingkan dengan masa sebelum perang. Namun demikian, lima puluh tahun kemudian produksi pangan dunia melimpah. Hal ini tidak dapat dipisahkan akibat perkembangan teknologi di bidang pertanian dan pangan dunia. Pada saat produksi pangan dunia memadai, misalnya pada tahun 2001, di negara maju, ketersediaan pangan per kapita lebih dari 2700 kcal/hari; sedangkan di negara-negara berkembang berkisar 2500 kcal/hari, bahkan terdapat negara-negara yang tidak mampu mengembangkan pertaniannya sehingga hanya mencapai jumlah ketersediaan pangan kurang dari 2000
114
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
kcal/hari. Hingga saat ini, isyu pangan dan enerji dunia terus menjadi bagian diskusi terpenting bagi negara-negara manapun, terutama terkait pada upaya peningkatan produktivitas. Dari berbagai indikator, produktivitas dan pertumbuhan produktivitas merupakan hal yang sangat penting. Pertumbuhan pertanian, pada tingkat penggunaan intput yang sama, tetapi tingkat hasilnya lebih tinggi, merupakan dampak dari perbaikan pelbagai hal di luar tingkat penggunaan input tersebut. Paramenter yang menggambarkan pergeseran kurva produksi tersebut dalam literatur ekonomi dinamakan Total Factor Productivity (TFP). Coelli dan Rao (2003) dengan menganalisis data dari 93 negara dalam periode waktu 1980-2000 menghasilkan estimasi TFP untuk pertanian sebagai berikut: Secara keseluruhan pertumbuhan produktivitas pertanian (TFP) telah meningkat 2,1 % per tahun, dengan kontribusi peningkatan efisiensi sebesar 0,9 % per tahun dan perubahan teknologi (frontier-shift) 1,2 %. RRC merupakan negara dengan nilai TFP tertinggi yaitu 6 % per tahun atau hampir 3 kali lipat dari rata-rata TFP pertanian keseluruhan negara (93 negara). Asia mencapai pertumbuhan TFP tertinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya dengan pertumbuhan TFP 2,9 %, sedangkan Afrika merupakan kawasan terlemah pertumbuhannya dengan laju hanya 0,6 % per tahun. Tingkat perubahan efisiensi, perubahan teknologi dan perubahan TFP Indonesia berada di bawah rata-rata keseluruhan, masing-masing yaitu 1,009; 1,012; dan 1,021. Sedangkan masing-masing parameter tersebut untuk Indonesia hanyalah mencapai: 0,978; 1,003 dan 0,981. Sebagai perbandingan, Malaysia mencapai pertumbuhan efisiensi 1,000; technical change 1,004 dan pertumbuhan TFP 1,004. RRC mencapai pertumbuhan efisiensi 1,044, technical change 1,015 dan pertumbuhan TFP 1,060. Produktivitas dan pertumbuhan ditentukan oleh berbagai hal di luar tingkat penggunaan inputnya itu sendiri.Hal tersebut mencakup lingkungan, iklim, lokasi geografis, faktor sosial ekonomi, politik, kebijaksanaan pemerintah negara lain dan lain-lain. Alaudin, Rao dan Headey (2004) menyimpulkan bahwa faktor terpenting yang berdampak negatif terhadap tingkat dan pertumbuhan TFP adalah: Ketimpangan pemilikan lahan di negara-negara berkembang; Kebijaksanaan yang bersifat menekan desa tetapi menguntungkan kota (urban biased policy) Tingkat dan pertumbuhan produktivitas pertanian yang rendah yang dialami oleh suatu negara menyebabkan terhambatnya proses industrialisasi dari negara tersebut dalam periode yang lama. Hal ini menyebabkan terjadinya ketimpangan yang makin menjauh dari negera-negara maju. Namun demikian sampai sejauh mana suatu negara dapat mengejar ketertinggalan dari negaranegara industri, dipengaruhi oleh produktivitas dari sektor non pertaniannya (Gollin et. al., 2001). Fakta-fakta di atas memperkuat keyakinan bahwa pandangan pembangunan pertanian sebagai prasyarat kemajuan peradaban, termasuk tumbuhnya sektor industri dan jasa merupakan hal yang sudah dibuktikan bukan hanya secara teoritis tetapi juga secara empiris.
115
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Dengan demikian, apa yang menyebabkan negara-negara yang berhasil tersebut menempatkan pertanian sebagai hal utama dalam pembangunannya? Pertama, hidup dan tumbuhnya keyakinan bahwa pertanian, khususnya pangan, merupakan prasyarat untuk dapat mandirinya suatu negara.Pandangan kemandirian ini melatar belakangi pertanian menjadi prasyarat suksesnya pembangunan nasional secara keseluruhan.Terbukti bahwa kemandirian inilah yang telah menyelamatkan dan menyukseskan pembangunan negara-negara tersebut di atas. Kedua, negara-negara yang berhasil melaksanakan pembangunannya (misalnya Korea Selatan, Thailand) memperlihatkan bahwa negara-negara tersebut memiliki rancangan besar (grand design) dan strategi besar (grand strategy) yang mampu mengintegrasikan secara harmonis dan sinergis antara pembangunan pertanian dan dimensi pembangunan lainnya. Ketiga, pembangunan pertanian dipahami dengan filosofi bukan sekedar pengembangan agribisnis tetapi sebagai sebagai pembangunan negara sebagai prasyarat tercapainya posisi dan situasi yang lebih maju.Hal ini tergambar dengan dipenuhinya segala dukungan yang diperlukan untuk kemajuan pertanian. Di Amerika Serikat dunia mengenal Homestead Act 1862 dan Morrill Act 1862 masing-masing sebagai prasyarat berkembangnya lahan untuk para petani dan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendirian Land Grant College di setiap negara bagian. Kita juga melihat bahwa petani dan pertanian di negaranegara maju dilindungi oleh negara, sehingga kesejahteraan petani terjamin. Keempat, industri pengolahan berbasis bahan baku hasil pertanian di dalam negeri dikembangkan dan dijadikan sumber pertumbuhan ekonomi yang penting. Hal ini menyebabkan berkembangnya nilai tambah secara keseluruhan dan meringankan beban pertanian terhadap tekanan ketenagakerjaan. Untuk Meraih Keunggulan Pertanian Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, maka diperlukan upaya-upaya antara lain :
Pengembangan Sumberdaya Manusia. Pengembangan SDM pertanian tidak hanya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam penerapan teknologi pertanian, tetapi juga untuk meningkatkan motivasi dan persepsi tentang pertanian modern, dan juga untuk perbaikan moral, transformasi tradisi dan kultur menjadi pertanian berbudaya industri. Penyempurnaan Kelembagaan Petani dan Pertanian. Salah satu penyebab rendahnya daya saing pertanian Indonesia adalah sempitnya lahan pertanian yang dikelola petani. Dalam kondisi seperti itu, petani pada umumnya mengelola lahan sempitnya secara sendiri-sendiri, tidak ada konsolidasi dalam pengelolaan lahan. Karena itu kelembagaan petani juga harus disempurnakan. Rekayasa sosial, penguatan kelembagaan, dan pendampingan oleh pakar menjadi kunci penting untuk peningkatan daya saing produk pertanian Indonesia. Rekayasa sosial seperti pengembangan Komunitas Estate Padi (KEP) yang sedang dikembangkan oleh Faperta IPB, program sarjana masuk desa yang dikembangkan LPPM dengan BULOG, dan aktivitas sejenisnya perlu dikembangkan untuk pemberdayaan dan peningkatan mutu SDM pertanian. Peningkatan Produktivitas dan Efisiensi. Produktivitas dan efisiensi dapat ditingkatkan antara lain dengan penerapan teknologi yang tepat. Good Agriculture Practices, Good Handling Practices, dan Good Manufacturing Practices, menjadi salah satu pilar dalam meningkatkan produktivitas dan
116
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
efisiensi. Untuk mendukung hal tersebut diperlukan sarana dan prasarana yang memadai, antara lain adalah: peta perwilayahan komoditas, sumber air irigasi yang mencukupi, jalan usahatani yang mendukung penyaluran hasilpertanian, perusahaan pembibitan yang profesional, laboratorium analisis tanah, stasiun meteorologi yang dapat memberikan informasi cuaca yang dapat diandalkan, klinik tanaman, laboratorium pengendali kualitas dan sarana pasca panen dan gudang yang memadai. Peningkatan Nilai Tambah Produk Pertanian. Peningkatan nilai tambah diarahkan kepada peningkatan pendapatan masyarakat petani dan perdesaan di luar kegiatan on farm, sekaligus mendukung kebijakan lahan pertanian, dengan banyaknya peluang pendatan dari kegiatan off farm. Peningkatan nilai tambah dapat dicapai melalui Pengembangan industri pertanian, pengembangan infrastruktur pertanian dan pedesaan, penguatan kelembagaan, profesionalisme tenaga kerja, sistem mutu produk pertanian, dan peningkatan daya saing produk dan pemasaran. Usaha untuk Kemandirian Pangan. Strategi kemandirian pangan diarahkan pada pemenuhan pangan nasional secara mandiri berdasarkan sumberdaya alam, kemampuan produksi dan kreativitas masyarakat. Keanekaragaman pangan ditingkatkan baik sumber maupun bentuk dan citarasa hasil olahan dengan basis tepung sebagai produk antara bahan pangan. Kemandirian pangan diupayakan melalui diversifikasi pangan, pengembangan infrastruktur pertanian dan pedesaan dan pengembangan budaya industri di pedesaan. Dengan keberhasilan diversifikasi pangan, konsumsi beras diperkirakan akan turun menjadi 90 kg/kapita/tahun. Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Produktif dan Lestari. Pengelolaan lingkungan hidup yang produktif dan lestari diarahkan untuk terpeliharanya daya dukung lingkungan dengan produktivitas yang tinggi secara berkelanjutan, keaneka ragaman hayati serta keseimbangan interaksi antara semua unsur dan faktor lingkungan. Pengelolaan lingkungan yang produktif dan lestari dilaksanakan melalui upaya pengembangan sumberdaya alam secara lestari, pemberdayaan masyarakat, reklamasi lahan, perluasan areal pertanian dan pengadaan lahan pertanian pangan abadi. Penyempurnaan Sistem Pemasaran Produk Pertanian. Perlu dilakukanj pemberdayaan rantai pasar dengan Penerapan Supply-Chain Management, sehingga tipe dan karateristik hubungan bisnis berubah dari tipe transaksional menjadi tipe partnership. Kebijakan Makro yang Mendukung Pertanian. Untuk mendukung semua hal di atas, perlu kebijakan makro yanh mendukung pertanian, ialah: (a) pertanian menjadi platform pembangunan nasional, (b) akses pertanian terhadap lahan, modal, teknologi dan informasi memadai, (c) infrastruktur pertanian dan yang mendukung pertanian dikembangkan, (d) sektor industri dan jasa berkembang dengan pesat sehingga mampu menyerap tenaga kerja dari perdesaan dan sektor pertanian, (e) dilakukan pemberdayaan masyarakat perdesaan.
Pola Pertanian pada Masa Depan tidak akan bisa bertahan hanya dengan pola seperti pertanian saat ini (konvensional). Tetapi pertanian konvensional masih akan memegang peran yang cukup penting. Pada masa yang akan datang akan ada 3 pola pertanian penting, ialah (1) Pertanian Konvensional; (2) Pertanian Konservasi; (3) Pertanian dengan Teknologi Tinggi. Pada masa 5-10
117
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
tahun ke depan, di Indonesia pertanian konvensional akan tetap dominan, namun masukan teknologi pada pola ini akan semakin tinggi. Pertanian konvensional adalah pertanian seperti yang dilakukan oleh sebagian besar petani di seluruh dunia saat ini. Pertanian ini mengandalkan input dari luar sistem pertanian, berupa energi, pupuk, pestisida untuk mendapatkan hasil pertanian yang produktif dan bermutu tinggi. Pada masa yang akan datang sistem pertanian ini akan lebih ramah lingkungan bersamaan dengan lebih banyak input teknologi. Perkembangan atau kemajuan pertanian konvensional pada masa depan dibandingkan masa sekarang terjadi karena peran penelitian bidang ekofisiologi dan pumuliaan tanaman, serta karena tuntutan masyarakat. Kemajuan yang ingin dicapai itu antara lain berupa:
Digunakannya varietas-varietas tanaman yang lebih produktif, lebih bermutu, lebih tahan atau toleran pada hama dan penyakit utama, lebih tahan pada kekurangan air dan hara, serta dapat berproduksi tinggi pada lahan-lahan marginal. Lebih memanfaatkan biota di lingkungan pertanian, baik untuk meningkatkan kesuburan lahan, maupun toleransi terhadap OPT. Penggunaan pupuk akan lebih bijaksana, berdasarkan Integrated Plant nutrition System, sehingga tidak berlebih, berdasarkan kebutuhan riel tanaman, tidak banyak yang tercuci dan mencemari lingkungan. Penggunaan pestisida akan sangat berkurang; pengendalian organisme pengganggu tanaman akan berdasarkan PHT. Konsolodasi lahan-lahan pertanian akan terjadi, sehingga pengelolaan sistem produksi akan lebih mudah. Tenaga kerja di pertanian berkurang karena urbanisasi dan menjadi pekerja pada sektor industri, sehingga terjadi peningkatan mekanisasi pertanian, input energi biologi (tenaga ternak atau tenaga manusia) akan banyak diganti energi mekanik berbasis biologi, seperti biodisel maupun bioetanol, dan daya tawar petani dan buruh tani lebih tinggi, sehingga kesejahteraannya meningkat. Produktivitas pertanian akan meningkat lagi setelah leveling off yang terjadi bisa diatasi. Produksinya juga lebih bermutu, lebih bergizi, lebih aman karena sistem pertanian dikelola dengan lebih baik. Petani akan mempunyai catatan pertanian, sehingga tuntutan terhadap traceability dapat dipenuhi.
Pertanian Konservasi juga akan meluas. Ada kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai tuntutan terhadap pangan yang bebas pestisida dan bebas dari pupuk kimia, serta kelompok yang ingin agar pertanian tidak mencemari lingkungan. Dua kelompok masyarakat ini akan semakin besar di dunia, demikian pula di Indonesia. Produktivitas sistem ini pada umumnya rendah, lebih-lebih pada beberapa tahun kemudian; mutu fisik/visual produk juga rendah, tetapi keamanannya tinggi dan dipercaya oleh sebagian konsumen nilai zat berkhasiatnya yang terkadung di dalamnya tinggi. Namun, karena adanya permintaan yang semakin besar dari kelompok-kelompok ini akan mendorong semakin luasnya pertanian konservasi. Pada pertanian konservasi, prinsip utamanya adalah pertanian yang mengandalkan dan berusaha mempertahankan kelestarian alam. Dengan pertanian konservasi diusahakan agar tidak terlalu banyak gangguanan ekosistem dalam alam pertanian. Pertanian ini lebih
118
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
mengandalkan mekanisme ekobiologi dari alam sehingga input yang diberikan pada sistem pertanian ini diusahakan serendah mungkin. Kalaupun intu diberikan, maka input tersebut berupa bahan-bahan organik alamiah yang bukan hasil budaya. Studi ekofisiologi akan memegang peran penting dalam meningkatkan produktivitas dan kelestarian sistem ini. Pertanian Teknologi Tinggi juga akan meningkat pada masa depan. Pertanian ini akan sngat produktif, produknya bermutu tinggi, aman, kandungan gizi dan zat berkhasiat yang ada di dalamnya bisa diatur sesuai kebutuhan. Karena itu, pertanian ini memerlukan input tinggi, baik berupa teknologi, bahan-bahan kimia maupun energi. Pertanian ini bisa mengatasi kendala dan hambatan alam, bisa sangat efisien tepai bisa juga tidak efisien. Pertanian ini juga mungkin tidak menyebabkan degradasi lahan pertanian, maupun alam sekitar karena tidak mengandalkan alam dalam produksi. Pertanian ini lebih mengandalkan teknologi dan input dari hasil budaya.
5.2 Diskusi kecenderungan dinamika pasar global produk-produk pertanian dan pangan Di paruh kedua 2008, headline Kompas (1/9/2008) seolah menjadi pemicu diskusi publik berkenaan dengan persoalan mendasar Indonesia sebagai bangsa agraris: perangkap pangan. Berbagai data perdagangan pangan menunjukkan bahwa konsentrasi produksi dan perdagangan pangan cenderung lebih dikuasai negara-negara maju, sementara negara berkembang seperti Indonesia hanya menjadi sasaran empuk produk dan pasar industri multinasional. Indonesia sebagai bangsa agraris ternyata sudah masuk ke dalam “Perangkap Pangan” (food trap) negara maju dan kapitalisme global. Beberapa komoditas utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat sangat bergantung pada impor. Karena menyangkut pangan,---mendasar dan hakiki bagi kehidupan manusia dan negara--, maka menjadi tema sentral para diskusan ekonom pertanian saat itu sampai sekarang. Foodtraps, kenapa berbahaya? Pangan adalah kebutuhan asasi. Demikian asasinya pangan bagi masyarakat dan negara, karena ia menjadi indikator bagi tingkat aspirasi humanistik, kemajuan, kemandirian, ketenteraman dan bahkan kesejahteraan masyarakat. Menjadi sangat penting bagi Indonesia,---terlebih sebagai negara agraris---, menjadikan pangan sebagai instrumen yang sangat penting untuk mencapai cita-cita, sebagaimana divisikan pada Pembukaan UUD 1945. Suatu ketergantungan, ketidakpastian dan ketidakstabilan yang significant, baik dalam sisi produksi/penyediaan, perdagangan, distribusi maupun konsumsi pangan, tentu akan mengkhawatirkan kelangsungan berbangsa dan bernegara. Pengalaman, baik di dalam negeri maupun di negara lain, telah banyak membuktikan hal itu. Ketergantungan yang significant itulah akar dari „penyakit‟ foodtraps kita. „Penyakit‟ itu menjadi „kronis‟ manakala seiring dengan berjalannya waktu, ketergantungan itu menjadi semakin tinggi dan semakin mengakar.
119
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Kita bisa melihat beberapa ilustrasi. Dari sudut produksi, beras sebagai pangan utama kita relatif „aman‟ beberapa tahun ini, meski menyisakan beberapa pertanyaan akademik tentang angka-angka produksi dan produktivitasnya, serta sumber-sumber pertumbuhannya. Akan tetapi, beberapa komoditas pangan utama non-beras seperti kedelai, daging, telur ayam ras, daging sapi dan bahkan susu masih sangat mengkhawatirkan,akibat tingginya ketergantungan impor. Beberapa diantaranya, angka impor dalam lima tahun terakhir rata-rata mencapai 50-70 persen kebutuhan setiap tahunnya. Sementara itu, walaupun kita surplus jagung tahun ini, akan tetapi ketergantungan benih hybrid-nya masih sangat tinggi pada perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam hal konsumsi, semakin tingginya ketergantungan kita pada gandum yang hampir semua harus diimpor, jelas-jelas sangat memprihatinkan, karena kita justru tidak mempunyai keunggulan kompetitif untuk komoditas itu. Meski begitu, setiap tahun sejak 2000, kita harus mengimpor tidak kurang dari 6 juta ton, dengan reit peningkatan tidak kurang 10 persen setiap tahunnya. Yang lebih mengkhawatirkan, ada kecenderungan meningkatnya konsentrasi produksi dan penguasaan perdagangan pangan pada negara-negara maju dan bahkan hanya terbatas pada beberapa korporasi multinasional saja. Sejumlah korporasi multinasional sangat menguasai industri hulu seperti benih, pupuk dan pestisida, selain juga menguasai industri hilirnya, seperti industri pengolahan, pengemasan, dan bahkan standardisasi. Ibaratnya suatu rantai agribisnis pangan, ujung hulu (point of production) dan ujung hilir (point of consumption) dikendalikan oleh mereka, sementara sebagian terbesar (petani produsen) kita „terhimpit di tengah-tengah‟ rantai agribisnis pangan, dengan nilai tambah yang semakin marjinal. Dalam kondisi seperti itu, jika pada suatu ketika terjadi gejolak dunia akibat ketidaknormalan iklim, hama penyakit, dan bahkan dimensi krisis yang lain, maka ketidakseimbangan supply dan demand yang terjadi tentu segera berakibat serius pada kestabilan ekonomi pangan domestik, yang pada gilirannya tentu segera merambah ke bidang-bidang non-
120
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
ekonomi. Kasus kedelai pada awal tahun dapat menjadi cermin bagi kita. Tentu kita tidak ingin melihat ilustrasi itu terjadi pada gandum misalnya, mengingat produksi bahan pangan tersebut hampir seluruhnya di luar kendali kita.
Wakil Presiden, segera menunjuk bahwa teknologi dan riset pertanian yang masih lemah adalah salah satu penyebab utamanya, sehingga Kementerian Pertanian merasa penting di tahun-tahun mendatang untuk lebih memperkuat program-program di bidang itu, bahkan berupaya meningkatkan dan memperkuat peran konsorsium riset pertanian sebagai tumpuan riset komoditas pangan. Benar, bahwa riset (pertanian dan pangan) merupakan salah satu faktor pembentuk daya saing (competitiveness) agar kita berkeunggulan kompetitif dibandingkan negara lain. Riset adalah cikal bakal pembangun teknologi, dan teknologi adalah akar dari peningkatan produktivitas. Itu sebabnya, negaranegara maju maupun korporasi multinasional menyiapkan dana yang demikian besar dan waktu yang relatif lama untuk melakukan riset guna meningkatkan sesuatu yang lebih produktif. Monsanto, Syngenta, Zeneca, Nestle, korporasi lainnya serta negara-negara maju lainnya melakukan dengan komprehensif, serius, mendalam, terfokus dan berkesinambungan, hanya untuk satu tujuan : meningkatkan daya saing melalui kinerja yang lebih produktif. Benih komoditas pangan jenis hibrida misalnya, segera setelah diyakini lebih berkeunggulan produktif dibanding jenis komposit dan saat ini menjadi tumpuan hampir separuh petani-petani kita, maka beberapa negara memulai „beralih‟ memasuki era bioteknologi moderen untuk meriset benih-benih potensi unggul lainnya. Tujuannya jelas, meraih hasil yang lebih produktif dan lebih unggul. China misalnya, para ahli pemulia pangan mereka saat ini sedang disibukkan dengan pemantapan padi/beras melalui bioteknologi moderen yang mereka namakan Golden Rice. Golden Rice, suatu jenis padi/beras bukan hanya karena warna berasnya yang keemasan, akan tetapi unggul sangat produktif, tahan perubahan iklim dan kekeringan, terlebih lagi mengandung beta-karoten, berbagai jenis vitamin yang tidak diproduksi tubuh kita. Mereka juga yakinkan melalui hasil riset, bahwa mengkonsumsi bahan pangan tersebut aman bagi kesehatan. Bagaimana dengan kita? Sementara sebahagian dunia seperti China berlomba memanfaatkan bioteknologi moderen menjadi bagian dominan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pangannya akibat tuntutan penduduk yang demikian besar, tampaknya periset-periset kita saat ini berada di turning
121
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
point. Di simpang jalan, sebab lingkungan dan kebijakan yang belum kondusif. Akibatnya, kita akan semakin jauh tertinggal dibanding negara-negara lain. Oleh karenanya, sangat penting untuk melihat peluang research-partnerships dengan berbagai pihak dan negara lain untuk mengatasi ketertinggalan kita di bidang ini. Tindak lanjut MoU dengan Brasil dan negara lain di bidang pertanian dan pangan misalnya, sebagaimana dilakukan dalam muhibah Presiden medio Nopember ini menjadi sangat penting. Walaupun demikian, harus ditekankan bahwa untuk keluar dari „perangkap pangan‟ tidak cukup hanya mengandalkan pada revitalisasi riset (pertanian dan pangan) semata. Fokus kebijakan yang hanya ditumpukan pada pengembangan riset, ----walaupun penting dan harus---, akan tetapi hanyalah sebagian dari upaya peningkatan daya saing. Tantangan kita ke depan di bidang pangan juga sangat terkait pada bagaimana mensejahterakan petani sebagai produsen bahan pangan, meningkatkan distribusi dan aksesibilitas bahan pangan yang lebih efisien dan berkeadilan, serta mendiversifikasikan secara tepat konsumsi bahan pangan pada masyarakat. Justru tantangan-tantangan inilah yang seringkali kurang „diprioritaskan‟ oleh pengambil kebijakan, memunculkan kebijakankebijakan yang justru semakin memerangkap ketergantungan pangan kita pada negara-negara maju maupun korporasi multinasional. Kebijakan kontekstual seringkali diambil dengan kurang mempertimbangkan akibatnya secara mendalam kepada dampak jangka panjangnya. Kasus gula dan kedelai adalah dua contoh yang dapat menjadi pelajaran berharga pada tahun ini. Ikhtiar mengatasi tantangan-tantangan dan kerumitan pangan kita di atas bukanlah pekerjaan mudah dan sederhana. Merunut kebelakang, sebenarnya begitu usai krisis ekonomi 1998, beberapa ekonom pertanian telah memperingatkan kemungkinan semakin membelenggunya foodtraps pada kita, Indonesia. Itulah sebabnya beberapa rekan ekonom pertanian kala itu kurang sepakat dengan kebijakan di bidang pertanian dan pangan kita yang dianggap „terlampau liberal‟. Kebijakan seperti itu dipandang sangat berbahaya bagi keberlangsungan pertanian (pangan) yang menyejahterakan petani. Kasus gula misalnya, tingginya semangat para petani tebu rakyat kita dalam memasok dan memproduksi bahan untuk gula putih (white sugar) meluntur karena tertekannya harga pasar gula putih, akibat membaurnya jenis gula rafinasi yang seharusnya tidak menjadi bagian dari pasar konsumsi. Perasaan tidak adil akibat subsidi yang melekat pada gula impor (baik raw sugar maupun refined sugar), illegal import, dan sebab-sebab lain mewarnai dilema tersebut. Padahal, saat ini mereka telah mampu menunjukkan peningkatan kinerja dengan peningkatan produksi dan produktivitas yang relatif baik dibandingkan tahuntahun sebelumnya. Kasus kedelai yang terjadi lebih awal, walaupun tidak persis serupa dengan gula, akan tetapi mempunyai kemiripan masalah. Pada akhirnya, yang perlu kita ingat selalu adalah, dengan kesadaran bahwa pertanian dan pangan adalah inti kehidupan, maka menjadi kewajiban kita sebagai negara agraris, untuk senantiasa mendudukkannya sebagai bagian kehidupan masyarakat yang sangat vital dan senantiasa tetap menjaga eksistensi kedaulatannya. Untuk itu, yang kita perlukan adalah kebijakan yang benar-benar memperhatikan pertanian dan pangan sebagai kepentingan nasional sehingga mampu mengedepankan „aturan main‟ yang jelas dan lugas, baik dalam bidang produksi, distribusi maupun konsumsi pangan kita, yang
122
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
senantiasa mempertimbangkan aspek-aspek efisiensi dan keadilan. Impor misalnya, bukanlah instrumen yang harus „mengalahkan‟ produk dalam negeri. Konsumsipun, mesti dipertimbangkan upaya-upaya kebijakan yang mampu mengeliminasi bahan pangan asal impor yang tidak kompetitif. Dengan demikian, dalam era otonomi daerah saat ini, ia harus merupakan urusan wajib yang harus menjadi prioritas utama dalam setiap daerah. Hanya dengan cara inilah, kebijakan-kebijakan yang dibangun akan mampu mengatasi ketergantungan pangan kita sekaligus membangun kedaulatan pangan kita.
5.3 Wawasan Umum Tentang Kerjasama Global, Regional dan Bilateral dalam Pertanian Dalam bidang pertanian, kerjasama luar negeri umumnya dilakukan untuk mengembangkan kemampuan pertanian di dalam negeri. Selama ini, kerjasama luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah adalah menjalin kerjasama baik bilateral, regional maupun multileteral dibidang pertanian dengan negara-negara lain. Kerjasama bilateral adalah kerjasama dengan negara-negara tertentu, sementara kerjasama regional seperti ASEAN, APEC, ESCAP dan lain sebagainya, serta kerjasama multilateral bersama-sama dengan organisasiorganisasi multilateral. Melalui PBB misalnya, khususnya FAO (Food and Agriculture Organisation), WFP (World Food Programme), IFAD (International Fund for Agriculture Development) termasuk dengan CFC (Common Fund for Commodity) dan lembaga sumber-sumber pendanaan internasional lainnya. Kerjasama-kerjasama tersebut pada hakekatnya adalah usaha untuk memanfaatkan secara optimal yang saling menguntungkan, baik dalam kerangka bilateral, regional ataupun multilateral agar bisa saling melengkapi antara kekurangan dan kelebihan yang ada dan saling berbagi, terutama dibidang penelitian, termasuk pertukaran tenaga ahli. Disamping itu, kerjasama tersebut sekaligus dipergunakan sebagai wahana promosi perdagangan produk dan industri pertanian Indonesia ke luar negeri. Kerjasama di bidang capacity building dan pertukaran tenaga ahli dengan negara-negara maju, kita lakukan untuk kepentingan membantu kita didalam pengembangan bidang-bidang tertentu. Di sisi lain kita juga bisa membantu negara-negara lain di beberapa hal yang menjadi kelebihan kita. Apalagi memang kita memiliki tenaga ahli yang cukup banyak dan sudah mendapat pengakuan dari lembaga-lembaga internasional dan negara-negara lain di dunia mengenai keberhasilan dan kemajuan kita dibidang pertanian. Dengan kerjasama, diharapkan agar produk-produk pertanian Indonesia dapat berkembang dan meningkat kualitasnya, terutama untuk komoditi yang berpotensi sebagai produk ekspor dimasa mendatang. Beberapa contoh misalnya, (1) untuk kelapa sawit kita berharap bisa melakukan transfer genetik dari beberapa negara di Asia dan Afrika karena mereka memiliki sumberdaya genetik sawit yang murni (galur murni), (2) untuk tebu dilakukan upaya peningkatan produktivitas bibit dan teknologi, (3) di bidang tanaman pangan dilakukan pertukaran berbagai tenaga ahli dan pelatihan sebagai sarana transfer of knowledge dengan negara lain. Kerjasama di bidang pertanian dengan negara-negara maju seperti Jepang misalnya, kita berharap dapat mentransfer kelebihan Jepang dalam penanganan pasca panen yang baik, treatment untuk beberapa hama seperti lalat dan lain sebagainya, mengingat bahwa berbagai produk yang diperbolehkan masuk ke
123
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
pasar Jepang harus memenuhi syarat dan ketentuan tersebut. Demikian juga dengan kakao di AS, di mana sejauh ini komoditas kita masih terkena automatic detention karena Amerika Serikat menginginkan kualitas yang baik dengan standar-standar tertentu. Untuk bidang peternakan, Australia dapat menjadi sumber yang membantu didalam pengembangan bibit unggul, breeding yang menghasilkan suatu hybrid yang unggul dan dapat beradaptasi dengan iklim di Indonesia. Demikian juga dengan New Zealand, Brazil, Paraguay dan Uruguay sebagai negara yang sudah maju dalam bidang peternakan.Dengan Belanda kita mendapatkan keterampilan penanganan produk-produk pertanian, mulai dari produksi sampai ke hilir, agar kita mampu menerapkan good agriculture practices dan juga good management practices dengan menggunakan residu-residu yang sudah ditetapkan batasan-batasannya. Sebaliknya, Indonesia memberikan bantuan kepada negara-negara berkembang, khususnya dalam kerangka kerjasama Selatan-Selatan. Itu adalah komitmen kita untuk membantu negara berkembang dalam rangka SSTC (South-South Technical Cooperation). Pelatihan yang kita lakukan sejak 1980 sampai sekarang ini, kurang lebih sudah 50 negara dari Asia, Afrika, Pasifik dan Amerika yang telah dibantu dalam hal pendampingan, teknologi maupun pelatihan-pelatihan kepada para petani negara-negara tersebut. Keberhasilan Indonesia dalam mengembangkan produksi dan ketahanan pangan pada tahun 1980-an, telah menjadikan negara-negara lain berharap agar Indonesia dapat membantu negara-negara tersebut, terutama berkenaan dengan kemampuan Indonesia dalam penanganan bahan pokok beras dan juga breeding. Karena itu kita membantu meningkatkan kemampuan negara-negara tersebut dalam kerangka pengembangan produksi, teknologi dan produktivitas padi/beras. Selain itu Indonesia juga memberikan bantuan berupa benih dan peralatan pertanian kepada beberapa negara, dimana dalam hal ini juga terkait promosi dan memasarkan produk pertanian kita. Hal ini penting untuk sekaligus dapat mendorong sektor swasta berinvestasi memasarkan produknya baik dalam bentuk produk maupun perbenihan, saprotan dan peralatan pertanian lainnya.Di lain pihak, kerjasama-kerjasama sekaligus diupayakan untuk mengurangi ketergantungan dengan negara-negara yang selama ini dominan terhadap pasar kita, agar harga produk yang masuk ke Indonesia menjadi sangat kompetitif, dan konsumen diuntungkan. Misalnya seperti gandum, yang sebelumnya didominasi oleh Australia, akan tetapi saat ini sudah beberapa negara yang memenuhi ketentuan impor kita. Di bidang hortikultura, kerjasama dengan Jepang dirasakan telah membawa manfaat yang cukup baik. Banyak sekali petani-petani Indonesia yang magang di Jepang, dan ketika mereka kembali dalam jumlah yang cukup besar, mereka kemudian mendalami ilmu yang diperoleh untuk usaha-usaha yang sangat cepat running businessmereka. Contoh seperti ini dapat dilihat pada kelompok petanipetani hortikultura di Jawa Barat. Kita juga mengharapkan adanya investasi dan terbukanya pasar bagi produk pertanian kita dengan memenuhi ketentuan yang sudah ada. Sekarang ini produk-produk pertanian Indonesia seperti salak dan manggis telah memulai ekspor ke China. Banyak produk hortikultura Indonesia yang masuk ke Singapura, Malaysia dan Brunei. Untuk Timor Leste kita ekspor benih, dan untuk negara-negara Pasifik banyak permintaan penambahan peralatan pertanian. Tampaknya hal ini sedang diupayakan terus ke negara-negara lain seperti
124
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Myanmar, Kamboja, Laos dan lain-lainnya dalam hal benih, bibit unggul atau peralatan pertanian.
5.4 Wawasan Bangsa dalam Politik Ekonomi Pangan dan Kedaulatan Pangan nasional (UU Pangan dan UU Bidang Pertanian penting lainnya) dan Peran Pemerintah dalam Kedaulatan Pangan Pangan pada dasarnya merupakan kebutuhan manusia yang sangat asasi. Demikian asasinya pangan bagi kehidupan masyarakat, maka ketersediaannya harus dapat dijamin dalam kuantitas dan kualitas yang cukup untuk pemenuhan aspirasi humanistik masyarakat, yaitu hidup yang maju, mandiri, dalam suasana tenteram, serta sejahtera lahir dan batin. Berbagai aspek yang berperan dalam hal itu antara lain : a) Dalam lingkungan strategis yang sangat dinamis saat ini, baik sebagai konsekuensi berkembangnya era globalisasi, liberalisasi perdagangan, maupun dinamika internal serta dinamika alam, maka berbagai komoditas pangan menjadi semakin strategis bagi suatu masyarakat, wilayah maupun secara nasional. Ketidakpastian dan ketidakstabilan produksi pangan nasional, ditambah dengan kecenderungan perdagangan pangan internasional yang kurang berpihak pada negara-negara berkembang, tidak serta merta dapat secara otomatis mengandalkan kepada ketersediaan pangan di pasar dunia. (Periksa headline Kompas 1 September 2008 terlampir). Alasan mendasar inilah yang seringkali menjadi sangat penting bagi sebagian besar negara-negara, termasuk Indonesia, untuk menetapkan Sistem dan Strategi Ketahanan Pangan untuk kepentingan penduduk dan masyarakatnya. b) Indonesia sebagai negara agraris dan maritim dengan sumberdaya alam yang sangat potensial di satu pihak, dengan jumlah penduduk dan wilayah yang sangat besar, sudah barang tentu harus mampu mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Hal ini sangat penting mengingat masalahmasalah pangan akan sangat berpengaruh kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan hankam. Pada saat ini, sebagian besar masyarakat masih dihadapkan pada masalah masih tingginya ketergantungan pada beras dan rentannya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Tingginya ketergantungan konsumsi pada beras mengakibatkan tekanan yang semakin tinggi terhadap peningkatan produksi padi. Tingkat produksi padi saat ini telah memenuhi sekitar 90-95 persen kebutuhan beras dalam negeri, sebagai sumber bahan pangan pokok karbohidrat bersama palawija lainnya. Walaupun demikian, konsumsi sumber pangan lain berbasis protein hewani (daging, susu dan telur), sayur dan buah masih relatif rendah. Pola konsumsi masyarakat yang masih relatif kurang seimbang seperti ini relatif kurang mendukung pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Selain itu, situasi ketahanan pangan di tingkat rumah tangga masih rentan. Masalah utamanya adalah masih kurang efisiennya sistem distribusi pangan dalam menjamin penyebaran ketersediaan antar waktu dan wilayah, serta perlunya peningkatan pendapatan petani agar mampu mencapai tingkat konsumsi yang ideal.
125
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Berangkat dari landasan berfikir, dinamika pangan di atas, mutlak diperlukan strategi yang tepat dalam membangun suatu sistem ketahanan (sekaligus perlindungan) pangan yang tepat dan dinamis serta berkelanjutan, terutama bagi negara besar baik penduduk maupun wilayahnya dengan keragaman sumberdaya yang besar pula. Pangan menjadi prasyaratbagi suatu kondisi pembangunan ekonomi nasional yang kondusif. Pangan juga menjadi landasan terciptanya stabilitas politik. Pangan pula yang pada gilirannya akan menentukan, apakah kita akan menjadi bangsa yang bermartabat ataukah sebaliknya. Sebagai cermin bahwa kecukupan pangan bagi bangsa dan masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat mendasar dan strategis, dapat dikaji dari berbagai landasan hukum yang berkenaan dengan hal itu, yaitu: a) Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum yang mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk memberikan jaminan kepada warganegaranya agar dapat hidup sejahtera lahir dan batin. Amanat tersebut antara lain tersurat pada Pasal 28 A, ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 34 menjamin hak warganegara atas perlindungan dari diskriminasi. b) Undang-Undang (UU) No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 9 ayat 1 menyebutkan “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Walaupun secara eksplisit hak atas pangan tidak disebutkan, kedua ayat tersebut secara implisit memuat perintah kepada penyelenggara negara untuk menjamin kecukupan pangan dalam rangka memenuhi hak azasi pangan setiap warganya dan menyatakan pentingnya pangan sebagai salah satu komponen utama dalam mencapai kehidupan sejahtera lahir dan batin. Undang-Undang yang secara eksplisit menyatakan kewajiban mewujudkan ketahanan pangan adalah UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. UU tersebut menjelaskan konsep ketahanan pangan, komponen, serta para pihak yang harus berperan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Secara umum UU tersebut mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat wajib mewujudkan kedaulatan pangan. Disamping mengacu pada berbagai dokumen hukum nasional tersebut, pelaksanaan pembangunan ketahanan pangan juga mengacu pada komitmen bangsa Indonesia dalam kesepakatan dunia. Sebagai anggota Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia telah menyatakan komitmen untuk melaksanakan aksi-aksi mengatasi masalah kelaparan, kekurangan gizi serta
126
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
kemiskinan di dunia. Kesepakatan tersebut antara lain tertuang dalam Deklarasi World Food Summit 1996 dan ditegaskan kembali dalam World Food Summit: five years later (WFS:fyl) 2001, serta Millenium Development Goals (MDGs) 2000, untuk mengurangi angka kemiskinan ekstrim dan kerawanan pangan di dunia sampai setengahnya di tahun 2015. Beberapa konvensi internasional yang memuat komitmen bangsa Indonesia terhadap pembangunan di bidang pangan, gizi dan kesehatan antara lain adalah: (i) Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia (Universal Declaration on Human Rights) tahun 1948 yang menyatakan bahwa hak atas pangan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hak azasi manusia; (ii) Kovenan Internasional tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya (ECOSOC) tahun 1968, yang mengakui hak setiap individu atas kecukupan pangan dan hak dasar (azasi) untuk terbebas dari kelaparan; (iii) Konvensi tentang Hak Anak (International Convention on the Right of Child) pasal 27 “Negara anggota mengakui hak asasi dari setiap anak kepada standar kehidupan yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak” yang mengakui hak anak untuk mendapatkan gizi yang baik; dan (iv) Konvensi Internasional tentang Eliminasi Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan tahun 1978 (CEDAW), yang memberi perlindungan khusus untuk nutrisi semasa kehamilan, menyusui, serta komitmen untuk menghapus diskriminasi bagi perempuan di perkotaan dan pedesaan dalam hal akses ke pekerjaan, tanah, kredit dll. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; aman; merata; dan terjangkau. Dari pengertian tersebut, tersirat bahwa upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi-kondisi berikut: a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, dengan pengertian bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama. c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dengan pengertian bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya setiap saat dan merata di seluruh tanah air. d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Terwujudnya ketahanan pangan adalah merupakan resultan dari bekerjanya suatu sistem dengan unsur-unsur yang merupakan subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem ketersediaan, subsistem distribusi, dan subsistem konsumsi. Dalam sistem seperti itu, maka pembangunan ketahanan pangan memerlukan keharmonisan dari pembangunan masing-masing subsistem tersebut dalam suatu sistem yang tepat, dinamis dan berkelanjutan.
127
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Subsistem Penyediaan menyangkut ketersediaan, stabilitas dan kemampuan untuk mendapatkan dan memproduksi (aksebilitas) pangan. Ketersediaan pangan adalah mengisyaratkan adanya rata-rata pasokan pangan yang cukup dan tersedia baik dalam jumlah, kualitas dan waktu. Stabilitas adalah aspek yang harus dipandang sebagai kemampuan meminimalkan rumpang konsumsi pangan terhadap permintaan konsumsi pangan, khususnya di tahuntahun atau musim-musim sulit. Sementara itu, aksebilitas mengingatkan kita pada kenyataan bahwa walaupun pasokan melimpah, banyak orang kekurangan pangan (baca: kelaparan) sebagai akibat keterbatasan sumberdaya untuk memproduksi atau membeli pangan yang mereka butuhkan. Sebagai salah satu subsistem utama dari sistem ketahanan pangan maka FAO telah mengedepankan 5 (lima) karakteristik sistem penyediaan pangan, yang harus dipenuhi, yaitu:
Kapasitas (capacity): mampu menghasilkan, mengimpor dan menyimpan makanan pokok dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk (national food sufficiency). Pemerataan (equity): mampu mendistribusikan makanan pokok sehingga tersedia dalam jangkauan seluruh keluarga.
Kemandirian (self-reliance): mampu menjamin kecukupan sediaan makanan pokok dengan mengandalkan kekuatan sendiri sehingga ancaman fluktuasi pasar dan tekanan politik internasional dapat ditekan seminimum mungkin.
Kehandalan (reliability): mampu meredam dampak variasi musiman maupun siklus tahunan sehingga kecukup-sediaan pangan dapat dijamin setiap saat.
Keberlanjutan (sustainability): mampu menjaga keberlanjutan dan kecukupsediaan pangan dalam jangka panjang dengan tanpa merusak kualitas hidup.
Kelima karateristik inilah yang harus dijadikan sebagai kriteria teknis fungsional dalam mengevaluasi maupun merumuskan kebijakan produksi dan penyediaan pangan dalam rangka pemantapan sistem ketahanan pangan.
128
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Kriteria teknis fungsional di atas merupakan syarat keharusan yang mesti dipenuhi agar kebijakan produksi dapat berperan efektif dalam pemantapan ketahanan pangan melalui sisi penyediaan pangan. Di samping persyaratan teknis fungsional tersebut, kebijakan produksi harus pula memenuhi dua jenis syarat kecukupan agar dapat diprioritaskan: (a) kelayakan ekonomis dan (b) kelayakan politis. Kelayakan ekonomis berarti bahwa kebijakan tersebut efisien, biaya efektif (cost effective) dan manageable. Kelayakan politis berarti bahwa kebijakan tersebut mendapatkan dukungan politis yang luas sehingga pemerintah (daerah) mencurahkan komitmen yang kuat untuk melaksanakannya dengan dukungan partisipasi dan pengawasan dari masyarakat luas. Subsistem Distribusipada dasarnya berkaitan erat dengan upaya-upaya yang harus dibangun untuk melancarkan „arus ekonomi‟ bahan pangan dari point of production (petani produsen) hingga kepada point of consumption (konsumen akhir), dengan suatu pola distribusi yang efektif dan efisien. Dalam hal ini, perlu pemahaman bahwa masalah distribusi tidak hanya sekedar menyangkut distribusi bahan pangan di dalam negeri, akan tetapi menyangkut perdagangan internasional, dalam suatu sistem harga yang terintegrasi secara tepat. Fokus pengembangan subsistem distribusi pada hakekatnya adalah membangun suatu pola distribusi pangan yang mampu menjamin keterjangkauan pangan oleh masyarakat seara fisik dan ekonomi, mengembangkan sistem kelembagaan pangan di masyarakat yang partisipatif dalam menangani kerawanan pangan, dan upaya-upaya untuk meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat dalam peningkatan ketahanan pangan rumah tangga. Dengan demikian, subsistem ini harus dapat berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien sebagai prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu, dengan harga yang terjangkau. Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar musim menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi, agar pangan tersedia sepanjang waktu di seluruh wilayah. Kinerja subsistem distribusi dipengaruhi oleh kondisi prasarana dan sarana, kelembagaan dan peraturan perundangan. Penyediaan prasarana dan prasarana distribusi pangan merupakan bagian dari fungsi fasilitasi pemerintah, yang pelaksanaannya harus mempertimbangkan aspek efektivitas distribusi pangan sekaligus aspek efisiensi secara ekonomi. Biaya distribusi yang paling efisien harus menjadi acuan utama, agar tidak membebani produsen maupun konsumen secara berlebihan. Lembaga pemasaran harus dapat berperan menjaga kestabilan distribusi dan harga pangan, menggerakkan aliran produk pangan dari sentra-sentra produksi ke sentra-sentra konsumsi, sehingga tercapai keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan. Apabila lembaga pemasaran bekerja dengan baik maka tidak akan terjadi fluktuasi harga yang terlalu besar pada musim panen maupun paceklik, banjir, normal maupun saat bencana. Peraturan-peraturan pemerintah daerah, seperti biaya retribusi dan pungutan lainnya dapat mengakibatkan biaya tinggi yang mengurangi efisiensi kinerja subsistem distribusi. Disamping itu, keamanan di sepanjang jalur distribusi, di lokasi pemasaran maupun pada proses transaksi sangat mempengaruhi besarnya biaya distribusi. Demikian pula, iklim perdagangan yang adil, khususnya dalam penentuan harga dan cara pembayaran perlu diwujudkan
129
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
sehingga tidak terjadi eksploitasi oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain (pihak yang kuat terhadap yang lemah). Oleh sebab itu penjagaan keamanan, pengaturan perdagangan yang kondusif dan penegakan hukum menjadi kunci keberhasilan kinerja subsistem distribusi. Stabilitas pasokan dan harga merupakan indikator penting yang menunjukkan kinerja subsistem distribusi. Harga yang terlalu berfluktuasi dapat merugikan petani produsen, pengolah, pedagang hingga konsumen, berpotensi menimbulkan keresahan sosial. Oleh sebab itu hampir semua negara melakukan intervensi kebijakan untuk menjaga stabilitas harga pangan pokok yang mempengaruhi kehidupan sebagian besar masyarakat. Dalam kaitan ini Pemerintah telah menerapkan kebijakan stabilitasi harga pangan melalui pembelian maupun penyaluran bahan pangan (beras) oleh Perum Bulog. Sistem perdagangan pangan global yang semakin terbuka dapat menjadi kendala dalam upaya stabilitasi harga pangan. Kebijakan-kebijakan subsidi domestik, subsidi ekspor dan kredit ekspor yang diterapkan oleh negaranegara eksportir telah menyebabkan harga pangan global terdistorsi dan tidak merefleksikan biaya produksi yang sebenarnya. Untuk melindungi produsen dalam negeri dari persaingan yang tidak adil ini diperlukan kebijakan proteksi secara selektif dengan perhitungan yang cermat. Subsistem Konsumsi sangat berkaitan dengan masalah utama saat ini yaitu memantapkan kondisi pangan (nasional, daerah) yang difokuskan kepada upaya untuk mendiversifikasikan konsumsi pangan, serta menjamin terwujudnya keamanan pangan. Dengan demikian, subsistem ini bertujuan untuk memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan, disamping juga efisiensi yang mencegah pemborosan. Subsistem ini juga mengarahkan agar pemanfaatan pangan dalam tubuh (food utility) dapat optimal, dengan peningkatan kesadaran atas pentingnya pola konsumsi beragam dengan gizi seimbang mencakup energi, protein, vitamin dan mineral, pemeliharaan sanitasi dan higiene serta pencegahan penyakit infeksi dalam lingkungan rumah tangga. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan dan penyadaran masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kemauan menerapkan kaidahkaidah tersebut dalam pengelolaan konsumsinya. Kinerja subsistem ini tercermin dalam pola konsumsi masyarakat di tingkat rumah tangga. Pola konsumsi dalam rumah tangga dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kondisi ekonomi, sosial dan budaya setempat. Berkaitan dengan itu maka penanaman kesadaran pola konsumsi yang sehat perlu dilakukan sejak dini melalui pendidikan dan non-formal. Dengan kesadaran gizi yang baik, masyarakat dapat menentukan pilihan pangan sesuai kemampuannya dengan tetap memperhatikan kuantitas, kualitas, keragaman dan keseimbangan gizi. Dengan kesadaran gizi yang baik pula masyarakat dapat meninggalkan kebiasaan serta budaya konsumsi yang kurang sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan. Kesadaran yang baik ini lebih menjamin terpenuhinya kebutuhan gizi masing-masing anggota keluarga sesuai dengan tingkatan usia dan aktivitasnya. Acuan kuantitatif untuk konsumsi pangan adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG) rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) ke-VIII tahun 2004, dalam satuan rata-rata per kapita perhari, untuk energi 2.000 kkal dan protein 52 gram. Acuan untuk menilai tingkat keragaman konsumsi pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH) dengan skor 100 sebagai pola yang ideal. Kinerja keragaman konsumsi pangan pada suatu waktu untuk komunitas tertentu dapat dinilai dengan metoda PPH. Dalam kondisi kegagalan berfungsinya salah satu
130
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
subsistem di atas, maka pemerintah perlu melakukan tindakan intervensi. Berbagai macam intervensi yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah: (a) pada subsistem ketersediaan berupa bantuan/subsidi saprodi, kebijakan harga pangan, kebijakan impor/ekspor, kebijakan cadangan pangan pemerintah; (b) pada subsistem distribusi berupa penyaluran pangan bersubsidi, penyaluran pangan untuk keadaan darurat dan operasi pasar untuk pengendalian harga pangan; dan (c) pada subsistem konsumsi dapat dilakukan pemberian makanan tambahan untuk kelompok rawan pangan/gizi buruk, pemberian bantuan tunai untuk meningkatkan kemampuan mengakses pangan. Dalam hal ini, upaya-upaya khusus untuk meningkatkan konsumsi pangan adalah terutama pada konsumsi sumber karbohidrat non beras dan pangan sumber protein, menganekaragamkan dan kualitas konsumsi pangan masyarakat dan menurunkan konsumsi beras per kapita, selain mengembangkan industri dan bisnis pangan yang lebih terdiversifikasi/beragam. Pengembangan teknologi industri berbasis pangan yang lebih fleksibel seperti tepung merupakan pilihan yang tepat dalam mendorong konsumsi tersebut. Dalam pada itu, pengembangan penjaminan keamanan pangan perlu didorong, baik melalui polapola HACCP, ISO maupun berbagai mekanisme lain yang berkaitan dengan hak atas pangan (the right to food). Pemenuhan konsumsi pangan melalui penyediaan dalam negeri, menjadi tema sentral dalam pembangunan pertanian. Walaupun bahan pangan yang dibutuhkan mungkin lebih murah bila diimpor, tetapi pemenuhan kebutuhan dari hasil produksi sendiri tetap penting untuk mengurangi ketergantungan pada pasar dunia dan sebagai upaya mempertahankan martabat bangsa di forum internasional. Sebagai gambaran umum, konsumsi pangan saat ini masih “bias” beras”, rata-rata konsumsi beras masih di atas 100 kg/kap/tahun (bandingkan dengan Jepang, dibawah 60 kg/kap/tahun). Konsumsi sayuran dan buahbuahan masing-masing masih sekitar 30 kg/kap/tahun, jauh di bawah standar 65 kg/kap/tahun. Konsumsi ikan masih sangat rendah, sekitar 20 kg/kap/tahun, masih jauh di bawah standar minimumnya. Dalam kaitan inilah, masalah ketahanan pangan menjadi penting untuk dibangun sistemnya secara tepat, dinamis dan berkelanjutan. Melihat kecenderungan saat ini, tampaknya dapat diantisipasi bahwa konsumsi beras nasional sebagai bahan utama pangan penduduk masih akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan rumah tangga dan jumlah penduduk, meskipun dengan laju pertumbuhan yang menurun. Disamping untuk konsumsi rumah tangga, beras juga dipergunakan sebagai bahan baku untuk industri pengolahan, mulai dari industri tepung beras, industri bihun dan industri makanan lainnya. Meskipun masih kecil volumenya, penggunaan beras untuk bahan baku industri pengolahan mengalami peningkatan pada beberapa tahun terakhir ini. Demikian juga permintaan akan jagung dan gandum diperkirakan akan terus meningkat pula. Hal ini terlihat dari kecenderungan meningkatnya impor, baik jagung maupun gandum, dari tahun ke tahun. Meningkatnya permintaan akan jagung tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan jagung untuk bahan baku industri makanan dan industri ternak, sementara untuk konsumsi langsung rumah tangga cenderung menurun. Sementara itu meningkatnya permintaan akan gandum banyak dipacu oleh partisipasi konsumsi rumah tangga terhadap produk makanan olahan yang menggunakan terigu sebagai bahan baku utama, terutama mie, roti dan produk
131
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
makanan lainnya. Fenomena ini pada gilirannya jelas akan menimbulkan masalah baru dalam konsumsi pangan di kemudian hari, karena di satu pihak akan mengurangi beban untuk melestarikan swasembada beras namun di pihak lain akan meningkatkan ketergantungan kita terhadap impor yang mempunyai konsekuensi menguras devisa, terutama bila harga gandum di pasar dunia mengalami lonjakan. Dengan terus berkembangnya industri pengolahan dan berubahnya pola konsumsi makanan rumah tangga, sangat penting diantisipasi tingkat permintaan gandum di masa datang secara cermat. Beberapa dekade lalu, diversikasi horisontal masih sangat mewarnai arah pengembangan pertanian. Usaha untuk mengembangkan komoditas non beras seperti umbi-umbian, sagu dan ketela pohon sebagai pengganti beras tampaknya kurang direspon oleh masyarakat. Hal ini mengakibatkan bukan saja konsumsi beras perkapita kita terus meningkat bahkan komoditas pengganti tersebut selain tidak disukai juga sering mendapat label inferior. Saat ini, diversifikasi vertikal mau tidak mau harus merupakan arah yang kita tempuh. Tampaknya kita belum secara serius menggarap upaya diversifikasi pangan tersebut. Ini merupakan tantangan yang harus kita jawab bersama, baik pemerintah, swasta dan masyarakat. Persoalannya adalah: bagaimana kita memampukan diri untuk secara produktif dan efisien mengolah produk primer pertanian menjadi bahan pangan olahan yang dapat meningkatkan nilai gizi dan nilai ekonomi, dengan memperhatikan dinamika dari preferensi konsumsi dan meningkatkan kemampuan distribusinya?. Upaya menciptakan iklim kondusif bagi berkembangnya industri pangan baik dalam skala kecil, menengah dan besar di perdesaan dan di perkotaan adalah salah satu prasyarat utama. Jika reposisi dan redefinisi pertanian industrial abad 21 dapat meluas kepada subsistem di luar konsentrasi aspek budi daya (on farm business) seperti agro industri, pemasaran, permodalan, dan infrastrukturnya (offfarm business), agaknya iklim kondusif lebih mudah didekati. Diversifikasi pada dasarnya juga mempunyai dimensi regional, yang mengutamakan spesialisasi wilayah dalam memproduksi komoditas pertanian unggulan secara efisien, berkelanjutan dan mampu diserap pasar. Manakala dimensi regional dari diversifikasi dapat ditumbuh-kembangkan, niscaya ia akan mampu menjadi engine dalam mendorong pertumbuhan dan perdagangan antar daerah, dengan asumsi cukup dukungan sistem pasar dan distribusinya, dalam kerangka agribisnis, pilihan terhadap komoditas secara komparatif maupun kompetitif menjadi penting untuk dianalisis, baik dari sisi supply dan demandnya. Krisis ekonomi yang terjadi sejak 1998 telah menimbulkan pertanyaan apakah krisis tersebut diikuti oleh krisis pangan atau tidak. Berbagai indikasi memperlihatkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas lahan pertanian (untuk pangan) tentu memberikan dampak negatif pada ketahanan pangan secara nasional. Pertanian yang merupakan sektor unggulan membutuhkan dukungan sektor lain untuk mengembangkan dirinya, sampai saat ini masih dihadapkan pada berbagai kondisi yang memprihatinkan, misalnya SDM petani yang sangat terbatas, kepemilikan lahan yang sempit, kelembagaan tani yang semakin memudar, agroindustri yang belum berkembang dengan baik, dan ekonomi pertanian yang kurang kondusif bagi petani dan masyarakat pertanian. Jika demikian, mata rantai berikutnya yang perlu dipertimbangkan untuk memperoleh perhatian adalah : kebijakan publik dalam kerangka perlindungan pertanian.
132
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
Dengan fokus-fokus pada berbagai dimensi di atas, diharapkan dapat dikonstruksikan suatu arah strategi besar (grand strategy) dalam membangun ketahanan pangan yang sekaligus mencakup perlindungan masyarakat akan pangan, yaitu mewujudkan ketahanan pangan di tingkat nasional maupun rumah tangga, pendiversifikasian konsumsi pangan, dan penjaminan keamanan pangan.
5.5 Kelembagaan (publik) di bidang pertanian dan Peran BULOG dalam Ketahanan Pangan Secara sederhana, pengertian kelembagaandalam arti sempit adalah sebatas entitas (kelompok organisasi) yaitu himpunan individu yang sepakat untuk menetapkan dan mencapai tujuan bersama. Dalam pengertian yang lebih luas, kelembagaan merupakan nilai-nilai, aturan, budaya, representasi, dan lainnya. Di bidang pertanian, banyak sekali jenis, tingkatan dan fungsi kelembagaan yang berperan dalam pembangunan pertanian. Kelembagaan mulai dari tingkatan yang paling “bawah”, dapat berupa perkumpulan petani yang bertujuan untuk bersama-sama mencapai tujuan usahataninya dengan mengatasi persoalanpersoalan yang dihadapi bersama. Kelembagaan petani dapat berupa kelompok tani, gabungan kelompok tani, asosiasi petani dan koperasi petani. Kita mengenal berbagai kelompok petani di berbagai wilayah dan komoditas serta fungsi-fungsi yang dikembangkan menurut kepentingannya. Kita juga mengenal berbagai asosiasi petani, seperti APTRI, GAPPERINDO, APTI, APKASI dan lain sebagainya. Kita juga mengenal berbagai koperasi tani (KopTan), dan jenis-jenis koperasi petani lainnya (perkebunan, peternakan, hortikultura, perikanan, dllnya). Selain itu, kelembagaan pemerintah di bidang pertanian dapat berupa kelembagaan publik berkenaan dengan pembangunan pertanian, baik berkenaan dengan masalah teknologi (penelitian dan pengembangan, pelayanan lain), produksi, penyuluhan, agribisnis dan lain sebagainya. Kelembagaan publik ini berada baik di desa, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, wilayah, maupun tingkat nasional. Dalam pada itu, terdapat pula kelembagaan swasta yang umumnya bergerak di bidang pengadaan sarana produksi, keuangan dan pengangkutan, pemasaran dan lain sebagainya. Ada pula jenis kelembagaan lain, misalnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang berkenaan dengan advokasi petani, perhimpunan-perhimpunan profesi di bidang pertanian seperti HKTI, PERHEPI, PERAGI, PERHIMPI, dan lain sebagainya. Kelembagaankelembagaan ini dibentuk dan dikembangkan dengan tugas dan fungsi masingmasing, akan tetapi pada umumnya mempunyai tujuan untuk membangun pertanian dan pangan di Indonesia. Secara khusus, terdapat kelembagaan “semi publik” yang berkenaan dengan masalah stabilisasi pangan nasional, yaitu BULOG. BULOG adalah “perusahaan umum” milik negara yang bergerak di bidang logistik pangan. Ruang lingkup bisnis perusahaan meliputi usaha logistik/pergudangan, survei dan pemberantasan hama, penyediaan karung plastik, usaha angkutan, perdagangan komoditi pangan dan usaha eceran. Sebagai perusahaan yang tetap mengemban tugas
133
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
publik dari pemerintah, BULOG tetap melakukan kegiatan menjaga Harga Dasar Pembelian untuk gabah, stabilisasi harga khususnya harga pokok, menyalurkan beras untuk orang miskin (Raskin) dan pengelolaan stok pangan. Menurut sejarahnya, Perum BULOG dimulai pada saat dibentuknya BULOG (Badan Urusan Logistik) pada tanggal 10 Mei 1967 berdasarkan keputusan pemerintah, dengan tujuan pokok untuk mengamankan penyediaan pangan dalam rangka menegakkan eksistensi Pemerintahan baru. Selanjutnya pada tahun 1969 tugas lembaga ini direvisi dengan tugas pokok melakukan stabilisasi harga beras, dan kemudian direvisi kembali melalui Keppres No 39 tahun 1987, yang dimaksudkan untuk menyongsong tugas BULOG dalam rangka mendukung pembangunan komoditas pangan yang multi komoditas. Perubahan berikutnya dilakukan melalui Keppres No. 103 tahun 1993 yang memperluas tanggung jawab BULOG mencakup koordinasi pembangunan pangan dan meningkatkan mutu gizi pangan, yaitu ketika Kepala BULOG dirangkap oleh Menteri Negara Urusan Pangan. Pada tahun 1995, keluar Keppres No 50, untuk menyempurnakan struktur organisasi BULOG yang pada dasarnya bertujuan untuk lebih mempertajam tugas pokok, fungsi serta peran BULOG.Oleh karena itu, tanggung jawab BULOG lebih difokuskan pada peningkatan stabilisasi dan pengelolaan persediaan bahan pokok dan pangan. Tugas pokok BULOG sesuai Keppres tersebut adalah mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras, gula, gandum, terigu, kedelai, pakan dan bahan pangan lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam rangka menjaga kestabilan harga bahan pangan bagi produsen dan konsumen serta memenuhi kebutuhan pangan berdasarkan kebijaksanaan umum Pemerintah. Namun tugas tersebut berubah dengan keluarnya Keppres No. 45 tahun 1997, dimana komoditas yang dikelola BULOG dikurangi dan tinggal beras dan gula. Kemudian melalui Keppres No 19 tahun 1998 tanggal 21 Januari 1998, Pemerintah mengembalikan tugas BULOG seperti Keppres No 39 tahun 1968. Selanjutnya melalu Keppres No 19 tahun 1998, ruang lingkup komoditas yang ditangani BULOG kembali dipersempit seiring dengan kesepakatan yang diambil oleh Pemerintah dengan pihak IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI). Dalam Keppres tersebut, tugas pokok BULOG dibatasi hanya untuk menangani komoditas beras. Sedangkan komoditas lain yang dikelola selama ini dilepaskan ke mekanisme pasar. Arah Pemerintah mendorong BULOG menuju suatu bentuk badan usaha mulai terlihat dengan terbitnya Keppres No. 29 tahun 2000, dimana didalamnya tersirat BULOG sebagai organisasi transisi (tahun 2003) menuju organisasi yang bergerak di bidang jasa logistik di samping masih menangani tugas tradisionalnya. Pada Keppres No. 29 tahun 2000 tersebut, tugas pokok BULOG adalah melaksanakan tugas Pemerintah di bidang manajemen logistik melalui pengelolaan persediaan, distribusi dan pengendalian harga beras (mempertahankan Harga Pembelian Pemerintah – HPP), serta usaha jasa logistik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Arah perubahan tesebut semakin kuat dengan keluarnya Keppres No 166 tahun 2000,
134
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
yang selanjutnya diubah menjadi Keppres No. 103/2000. Kemudian diubah lagi dengan Keppres No. 03 tahun 2002 tanggal 7 Januari 2002 dimana tugas pokok BULOG masih sama dengan ketentuan dalam Keppers No 29 tahun 2000, tetapi dengan nomenklatur yang berbeda dan memberi waktu masa transisi sampai dengan tahun 2003. Akhirnya dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI no. 7 tahun 2003 BULOG resmi beralih status menjadi Perusahaan Umum (Perum) BULOG Tugas publik Perum BULOG merupakan amanat dari Inpres No. 3 tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Berita dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, yang merupakan pengejawantahan intervensi pemerintah dalam perberasan nasional untuk memperkuat ketahanan pangan. Ketiga tugas publik BULOG tersebut saling terkait dan memperkuat satu sama lain sehingga dapat mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga maupun nasional yang lebih kokoh. Ketiga tugas publik tersebut adalah pertama, melaksanakan kebijakan pembelian gabah/beras dalam negeri dengan ketentuan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kegiatan ini diwujudkan dalam bentuk pengadaan gabah dan beras dalam negeri oleh Perum BULOG. Tugas kedua, menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang diwujudkan dalam pelaksanaan program RASKIN. Sedangkan tugas ketiga, menyediakan dan menyalurkan beras untuk menjaga stabilitas harga beras, menanggulangi keadaan darurat, bencana, dan rawan pangan. Kegiatan ketiga dilaksanakan Perum BULOG dalam bentuk pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP).
REFERENSI
Rudi Wibowo. Beberapa artikel dan makalah, antara lain (a) Kertas Kerja Orasi Dies Natalis UNEJ 2012, (b) artikel-artikel di Perhepi, 2007-2011. Suryana, A. 2013. Food Law Seminar, BPPKP Kemendag, Maret 2013. www.bulog.co.id www.kementan.go.id Roedy Poerwanto. Pertanian Masa Depan. https://agroland.wordpress.com/pertanian-masa-depan/
LATIHAN/TUG AS 1. Diskusikan, Indonesia bersama negara-negara Asia Tenggara telah menyepakati kerja sama Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yang mulai berlaku 31 Desember. Berlakunya kerja sama ini membuat regional Asean semakin terbuka dari pergerakan barang, jasa hingga tenaga kerja. Bagaimana dampak adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) terhadap sektor pertanian di Indonesia?
135
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH
PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
2. Diskusikan, selama ini Perum BULOG mengemban peran sebagai institusi untuk stabilisasi harga pangan. Apakah peran Bulog selama ini sebagai stabilisator harga pangan sudah cukup? Jika belum, Apa yang dapat dilakukan oleh Bulog ke depannya terkait peran untuk mencapai ketahanan pangan nasional?
136
Bagian 5
WAWASAN PANGAN, PERDAGANGAN PERTANIAN, KELEMBAGAAN DAN PERAN PEMERINTAH