KELEMBAGAAN JASA ALAT DAN MESIN PERTANIAN (ALSINTAN) Supena Friyatno, Handewi P. Rachman dan Supriyati Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Agricultural equipments and machineries are the production factors affecting rice yield. The paper aims to analyze institution of agricultural equipments and machineries service in rice farming in some provinces in Indonesia. Results of the study showed that: (a) irrigating pumps, tractors and power threshers were still used by the farmers in case of water and labor scarcity, for examples during land cultivation and harvest periods; (b) participation rate of pump irrigation during wet season in East Java (77%) was higher than that in West Java (22%), but the participation rate increased during dry season in both provinces, i.e., 82 and 26 percent in East Java and West Java, respectively; (c) participation rate of tractor use varied from 25-97 percent during wet season and 25-96 percent during dry season; (d) participation rate of power thresher use correlated with labor scarcity, for example in Sidrap, South Sulawesi; (e) pricing system of pump irrigation varied among regions and depended on sources of wate, types of pumps, pump ownership, and local culture; (f) rental business of agricultural equipments and machineries was relatively profitable indicated by R/C ratio of greater than one; (g) main problem of the farmers was capital access for purchase of agricultural equipments and machineries. It is necessary to provide credit program or to subsidize the agricultural machineries industry such that selling price of the products becomes cheaper. Key words: institution, equipment, agricultural machineries, service
PENDAHULUAN Seiring dengan perubahan lingkungan biofisik dan sosial budaya, maka penggunaan alat-alat mesin pertanian (alsintan) di pedesaan Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Perubahan biofisik lingkungan seperti ketersediaan sumberdaya air permukaan yang semakin terbatas di satu sisi dan kebutuhan air yang semakin meningkat di sisi lain karena tuntutan pertumbuhan penduduk akan produk pangan, maka telah mendorong penggunaan pompa untuk memanfaatkan air bawah tanah. Pembangunan ekonomi nasional yang telah terjadi beberapa dekade, telah berhasil meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini mendorong terjadinya pergeseran kesempatan kerja dari sektor pertanian ke non pertanian yang pada gilirannya ketersediaan tenaga kerja di daerahdaerah pertanian tertentu menjadi kekurangan. Di sisi lain pembangunan sarana dan prasarana irigasi telah merubah pola dan jadwal tanam menjadi jadwal tanam yang serempak sehingga waktu pengolahan lahan, penyiangan dan panen sangat ketat, dan mengakibatkan permintaan tenaga kerja relatif tinggi dalam waktu yang singkat. Kondisi ini menyebabkan masyarakat
mencari alternatif penggganti kekurangan tenaga kerja dengan menggunakan alat-alat mesin pertanian seperti traktor, power thresser dan alat lain. Todaro (1983) mengemukakan bahwa penggunaan teknologi termasuk alsintan adalah merupakan salah satu faktor atau komponen pertumbuhan ekonomi disamping akumulasi modal dan pertumbuhan populasi. Dalam kondisi dimana tenaga kerja sudah langka dan mahal, maka azas penggunaan alsintan adalah dalam rangka penghematan/efisiensi tenaga kerja untuk mencapai output yang sama atau lebih tinggi. Namun pada umumnya yang terjadi, introduksi teknologi sangat jarang mengakibatkan penghematan “modal”, karena disamping rekayasa teknologi itu sendiri memerlukan modal yang tinggi sehingga biasanya negaranegara maju yang mampu merekayasa teknologi tersebut, juga untuk investasi ditingkat pengguna memerlukan modal dan ketrampilan yang relatif cukup tinggi. Dalam melihat keragaan alsintan baik berupa traktor, pompa irigasi, power thresher, maupun rice milling unit, di pedesaan tentunya meliputi beberapa cakupan yaitu populasi jumlah, pengadaan teknologi itu sendiri, kepemilikan, pengelolaan, penggunaan dan penjualan jasa. Kesemua itu akan dapat ditangkap dalam dimensi kelembagaan alsintan. Naskah disusun
261
untuk menjawab beberapa pertanyaan diantaranya bagaimana perkembangan jumlah alsintan, bagaimana cara pengadaan alsintan tersebut, bagaimana cara pengelolaannya yang meliputi aturan main antara operator dan pemilik, bagaimana sistem kepemilikannya, bagaimana cara penggunaannya, serta berapa harga pelayanan jasanya. Kondisi sumberdaya, baik sumberdaya alam, kapital dan manusia di lokasi penelitian adalah sangat beragam, oleh karena itu secara apriori dapat dikatakan bahwa, dimensi kelembagaan alsintan akan bervariasi antara lokasi penelitian. Seperti yang dikemukakan Sumaryanto et al. (1995), bahwa latar belakang inisiatif pembangunan irigasi pompa cukup beragam, tergantung faktor sosial ekonomi calon pemrakarsa, pengguna, dan ketersediaan sumberdaya baik volume air itu sendiri maupun topografi dan teknologi yang terjangkau. Di Kiarasari Jawa Barat misalnya, pembangunan irigasi pompa berawal dari keinginan masyarakat untuk menanggulangi ketersediaan air gravitasi yang sangat terbatas, sehingga masih ada 82 hektar (13%) dari 620 hektar yang terairi. Sedangkan di Sidajaya, Indramayu, pengembangan irigasi pompa merupakan prakarsa dari LSM, karena LSM memandang ada sumberdayanya dan masyarakat perlu didorong untuk menanggulangi kerawanan pangan di daerah tersebut. Sedangkan di Sidowareg Jawa Timur, Bulay Mudura, Jawa Timur, Playen, Gunung Kidul; pengembangan irigasi pompa lebih ditentukan oleh Pemerintah (c.q. PU Pengairan melalui proyek P2AT), karena pada daerah-daerah tersebut potensi luas hamparan sawah yang kekurangan airnya cukup luas serta potensi air tanah berupa “air tanah dalam” (deep aquifer). Berdasarkan latarbelakang tersebut, suatu penelitian dilaksanakan untuk mempelajari keragaan variasi kelembagaan alsintan di lokasi penelitian, terutama mengenai perkembangan jumlah alsintan, pengadaan kepemilikan, pengelolaan penggunaan, sistem penjualan jasa (harga jasa) dan kelembagaan lainnya. Sehingga dari informasi tersebut, diharapkan dapat diketahui sejauh mana keberadaan alsintan dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi dan efisiensi usahataninya. Apabila ada benefit yang lebih baik dari informasi tersebut juga dapat memberikan arahan bagaimana pengembangan alsintan dalam
262
rangka menunjang peningkatan produksi dan efisiensi usaha. METODE PENELITIAN Sumber Data, Lokasi dan Waktu Penelitian Suatu penelitian dilaksanakan atas kerjasama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dengan Development Alternatif Inc. (DAI) melalui proyek “Food Policy Support Activity”. Pada tahap pertama, penelitian dilaksanakan di lima kabupaten yang masing-masing kabupaten mewakili provinsi. Lokasi (kabupaten) contoh berturutturut yaitu Kabupaten Majalengka, Jawa Barat; Klaten, Jawa Tengah; Kediri, Jawa Timur; Agam, Sumatera Barat dan Sidrap, Sulawesi Selatan. Sedangkan pada tahap kedua, ditambah dua kabupaten yaitu Indramayu, Jawa Barat dan Ngawi, Jawa Timur. Waktu pelaksanaan tahap pertama yaitu tahun 1999 dan 2000, sedangkan tahap kedua dilaksanakan pada tahun 2000 dan 2001 yang dikelompokkan ke dalam musim hujan dan musim kemarau. Sedangkan jenis alsintan yang dianalisis adalah jenis traktor, pompa air irigasi, power thresser. Penelaahan topik alsintan khususnya traktor lebih banyak terjadi pada komoditi padi, sedangkan pompa selain padi juga untuk komoditi lain seperti cabe, kedelai, melon. Sedangkan power thresser biasanya digunakan untuk padi dan kedelai. Analisis Data Untuk data yang bersifat kuantitatif, dianalisis dengan menggunakan analisis tabulasi sederhana (cross tabulation) yang selanjutnya diinterpretasikan. Sedangkan data yang bersifat kualitatif, dianalisis dengan cara interpretasi dari fenomena yang ada (interpretation analysis). Fokus analisis yang dilakukan adalah mengenai dimensi-dimensi pengadaan, kepemilikan, penggunaan dan harga penjualan jasa alsintan tersebut. Pemilihan Kecamatan dan Desa Pemilihan kecamatan dan desa di masing-masing kabupaten dilaksanakan dengan metode yang sama, yakni dilakukan dengan dua pendekatan yaitu: (a) berdasarkan luasan
absolut dan persentase lahan sawah terbesar menurut klasifikasi definisi Dinas PU Pengairan, (b) berdasarkan ketersediaan air, dan (c) berdasarkan keadaan diversifikasi tanaman yang diusahakan oleh petani. Dalam studi ini ini dipertimbangkan pula aspek ketersediaan air yang meliputi dimensi jumlah dan waktu ketersediaan air berdasarkan keadaan sebenarnya di lapangan, seperti yang terinci pada Tabel 1. Dengan tiga pendekatan tersebut, maka tahap pertama dalam pemilihan kecamatan adalah: (1) meranking urutan kecamatan berdasarkan absolut luasan irigasi; (2) melakukan pengecekan ketersediaan air; dan (3) meranking berdasarkan tingkat diversifikasi. Setelah melakukan ranking, maka ditentukan empat kecamatan nominator pada masing-masing tipe irigasi, dilakukan pengecekan untuk membuktikan konsistensi antara kondisi fisik bangunan irigasi dengan ketersediaan airnya. Dengan asumsi bahwa kondisi ketersediaan air dan bangunan fisik irigasi dapat mempengaruhi pola tanam, maka semakin baik kondisi bangunan irigasi dan ketersediaan air, petani semakin dapat merencanakan pola tanam, dan jenis tanaman sesuai dengan kehendak petani itu sendiri. Oleh karena itu selain dua faktor tadi juga keragaman diver-
sifikasi pada keempat kecamatan yang akan terpilih juga menjadi pertimbangan. Dan sejak awal telah dirancang bahwa penelitian ini ditujukan untuk membandingkan daya saing antara padi dan pesaingnya, sehingga keberagaman jenis dan pola tanam menjadi sangat penting. KERAGAAN UMUM JUMLAH ALSINTAN DI TUJUH KABUPATEN Keragaan Jumlah Pompa Perkembangan jumlah pompa di Indonesia telah terjadi sejak lama, sejalan dengan perubahan fisik lingkungan, sosial ekonomi dan kelembagaan. Dengan adanya perubahan iklim global dimana terjadi musim kemarau yang panjang dan perubahan inovasi teknologi pertanian dan perubahan sosial ekonomi dan budaya, maka inisiasi petani akan investasi terhadap pompa semakin meningkat dari waktu ke waktu. Survei Pertanian yang dilaksanakan oleh BPS Jakarta, menunjukkan bahwa dari tahun 1995 sampai tahun 2000, perkembangan pompa di Jawa Barat dan Sulawesi selatan (Sidrap) cenderung menurun secara tajam, sedangkan di Jawa Timur dan Jawa Tengah cenderung me-
Tabel 1. Kriteria Irigasi yang Digunakan dalam Penelitian Karakteristik Sumber air Ketersediaan air : - Keberlangsungan - Kecukupan untuk padi
Baik Ya
Tipe irigasi definisi penelitian Sedang Kurang Ya Ya
Tadah hujan Tidak
Sepanjang tahun
Sepanjang tahun
Tidak sepanjang tahun
Musiman
Padi sepanjang tahun, atau lebih dari 2 kali padi
Beberapa musim padi, atau dua kali padi
Semusim padi, atau satu kali padi
Semusim, atau satu kali padi
Tabel 2. Perkembangan Jumlah Pompa Irigasi, pada Tujuh Kabupaten Lokasi Penelitian, t995 – 2000 Lokasi Indramayu, Jawa Barat Majalengka, Jawa Barat Klaten, Jawa Tengah Kediri, Jawa Timur Ngawi, Jawa Timur Agam, Sumatera Barat Sidrap, Sulawesi Selatan
1995 1862 809 447 1856 4043 7 204
2000 1027 134 996 3659 4093 38 156
Perubahan (%) -45 -83 123 97 1 443 24
Sumber: Survei Pertanian, 1995 dan 2000, BPS. Jakarta
263
ningkat. Hal ini diduga lebih banyak disebabkan oleh faktor teknis yaitu ketersediaan sumberdaya air tanah maupun air permukaan di Jawa Barat dan Sidrap relatif kurang, disamping karena di Jawa Barat curah hujan relatif lebih stabil dibanding dengan di Jawa Timur atau Jawa Tengah. Hal lain juga luas hamparan sawah di Jawa Barat relatif tidak seluas di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang layak dikembangkan oleh irigasi pompa, sehingga tuntunan masyarakat akan penggunaan pompa di Jawa Barat relatif rendah. Perkembangan jumlah pompa irigasi di tujuh kabupaten dapat disimak pada Tabel 2. Karena lokasi penelitian cakupannya adalah empat desa dalam satu kabupaten yang mereprestasikan tipe irigasi, maka keberadaan pompa tidak ditemukan pada seluruh tipe irigasi atau desa. Keberadaan pompa pada masingmasing tipe irigasi setelah diidentifikasi tertera seperti pada Tabel 3.
matan Rajagaluh), pertimbangan petani menggunakan pompa pada daerah ini adalah untuk membantu kekurangan air terutama pada musim kemarau, artinya penggunaan pompa berfungsi sebagai suplesi bukan substitusi. Memang walaupun Rajagaluh sebagai daerah irigasi teknis, namun keterjaminan air pada musim kemarau tidak bisa dijamin, mungkin daerah resapan airnya sudah terganggu. Di Klaten, Jawa Tengah penggunaan pompa hanya ada pada daerah yang kondisi irigasi baik dan sedang, sementara pada daerah yang beririgasi kurang dan tadah hujan tidak ditemukan. Hal ini perlu dijelaskan bahwa khusus di daerah tadah hujan memang tidak memungkinkan dikembangkan irigasi pompa yang inisiasinya dari masyarakat (sumur dangkal), karena daerah ini betul-betul daerah kering yang terletak dengan perbatasan dengan Gunung Kidul. Disamping itu pada kedua daerah ini, dengan kondisi yang ada masyakarat
Tabel 3. Keberadaan Penggunaan Pompa menurut Tipe Irigasi, pada Desa Penelitian, 2002 Lokasi Indramayu, Jawa Barat Majalengka, Jawa Barat Klaten, Jawa Tengah Kediri, Jawa Timur Ngawi, Jawa Timur Agam, Sumatera Barat Sidrap, Sulawesi Selatan Jumlah keberadaan
Baik tidak ada ada ada ada tidak tidak 4
Ketersediaan air Sedang Kurang tidak ada tidak Tidak ada Tidak ada ada ada ada tidak Tidak ada Tidak 3 3
Tadah hujan ada ada Tidak ada ada Tidak ada 5
Sumber : Hasil Pengamatan di lokasi Penelitian, 2002
Dari tabel tersebut tampak bahwa di lokasi penelitian di Kabupaten Indramayu, pompa hanya ditemukan pada daerah irigasi yang kurang (sederhana) dan pada daerah tadah hujan, sedangkan di Majalengka ditemukan pada daerah irigasi baik dan tadah hujan. Berdasarkan potensi sumber air, Jawa Barat secara umum potensi sumber air yang paling besar adalah berasal dari sumber air gravitasi, karena curah hujan di Jawa Barat relatif lebih tinggi dibanding Jawa bagian Timur termasuk Madura (Direktorat Pengairan, PU. 1995). Dengan demikian adalah logis, penggunaan pompa di Jawa Barat lebih banyak diterapkan pada daerah yang kurang air (irigasi sederhana) dan tadah hujan. Di Majalengka penggunaan pompa ditemukan pada daerah irigasi yang baik (Keca-
264
lebih suka merekayasa pola tanam dengan cara menggeser waktu tanam. Misalnya di daerah tadah hujan pada musim hujan tanam padinya menjadi Gogo Rancah, yang dipadukan dengan tumpang sari seperti padi + jagung atau padi + kacang tanah dan lain-lain. Dengan demikian dalam satu tahun tetap dapat ditanami dengan dua kali tanam. Sedangkan pada daerah irigasi sederhana petani mengembangkan tanaman yang membutuhkan air sedikit seperti tembakau yang ditanam menjelang musim kemarau. Di Kabupaten Agam agak unik, sama sekali tidak ditemukan adanya pengunaan irigasi pompa. Dari pengamatan di lapangan dapat dijelaskan, bahwa di daerah irigasi teknis di Kecamatan Palembayan dan setengah teknis
di Kecamatan Lubuk Basung, sumber airnya masih relatif banyak yaitu dari Danau Maninjau untuk Lubuk Basung dan pegunungan sekitar Kecamatan Palembayan untuk Pelembayan. Disamping itu curah hujan pada kedua daerah ini relatif tinggi dan merata sepanjang tahun. Hal ini secara empirik dapat dibuktikan dengan adanya pola tanam yang tidak teratur atau terjadi hampir sepanjang tahun karena keterjaminan pasokan air irigasi. Sedangkan pada daerah yang airnya kurang dan tadah hujan, kendatipun sumber air relatif kurang, karena kedua lokasi berada di daerah Bukit Tinggi, mereka sangat memungkinkan untuk mengadaptasi kekurangan air dengan menanam sayuran seperti tomat dan cabe. Di Kabupaten Sidrap, penggunaan pompa ditemukan di daerah irigasi sedang dan tadah hujan. Dari informasi yang dikumpulkan sebenarnya masyarakat lain pada daerah irigasi baik dan sedang pun ada yang menggunakan pompa dengan cara pembayaran per jam, namun di kedua daerah tersebut informasi mengenai penggunaan pompa tidak tertangkap oleh petani contoh. Rendahnya penggunaan jasa pompa di kabupaten Sidrap disebabkan oleh faktor-faktor: (a) Luas areal sawah yang relatif luas, tidak menuntut petani di Sidrap untuk berfikir merekayasa pola tanam, karena dengan intensitas tanam dua kali dalam satu tahun pun mereka sudah merasa cukup, sehingga kebutuhan air tidak menjadi kendala. (b) Potensi sumberdaya air di Kabupaten Sidrap cukup besar yang berasal dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Wajo Sidrap dan Enrekang dengan jumlah lima sungai, dengan panjang sungai 156 km dan DAS Pinrang Sidrap dan Polmas dua sungai, dengan panjang sungai 214 Km. Di samping itu di Kabupaten Sidrap terdapat satu
buah danau yaitu danau Sidenreng dengan luas 15000 ha dengan kedalaman 2-4 m. Dengan ketersediaan sumberdaya air seperti di atas dan adanya pola curah hujan dengan dua puncak musim hujan (Januari-Februari) dan (Juni-Juli) maka ketersediaan air cukup baik. Sumber pengairan lahan sawah yang ada di Kabupaten Sidrap berasal dari bendung Sadang dan beberapa bendung lokal yang berskala kecil, dari yang sangat sederhana (Bendung Boto) hingga yang cukup permanen (Bendung Biloka). (c) Di Kabupaten Sidrap terdapat ku-rang lebih 60 kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan kurang lebih delapan P3A Gabungan. P3A ini dikhususkan dalam pengelolaan air pada lahan sawah beririgasi, sehingga kelembagaan P3A ini relatif eksis pada desa-desa lahan sawah irigasi teknis, semi teknis, maupun irigasi sederhana. Di samping itu juga terdapat pompa air baik dengan sumber air berasal dari saluran irigasi dan sungai maupun pompa pantek. Keragaan Jumlah Traktor dan Thresher Introduksi alsintan pada usahatani tanaman pangan dimulai sekitar tahun 1950. Dalam perkembangannya, alsintan yang berkembang pesat pada usahatani padi adalah traktor roda dua dan penggilingan padi (Simatupang, 1995; Soentoro, 1998). Namun keragaan alsintan di tujuh kabupaten contoh bervariasi, hal ini diduga karena kebutuhan jenis alsintan berbeda antar lokasi sesuai dengan sumberdaya lahan, sumberdaya air, dan ketersediaan tenaga kerja. Keragaan jumlah dan jenis alsintan di kabupaten contoh terlihat pada Tabel 4. Traktor roda empat di semua lokasi jumlahnya relatif kecil dan kurang berkembang
Tabel 4. Keragaan Jumlah Traktor, Thresher dan RMU di Lokasi Penelitian Kabupaten Indramayu Majalengka Klaten Kediri Ngawi Agam Sidrap
1995 2197 701 478 240 443 128 1344
Traktor 2000 1038 203 813 723 700 272 1504
Perubahan -1159 -498 335 483 257 144 160
1995
Thresher 2000
Perubahan
200 96 1356 697 13790 329 773
208 122 1840 809 12519 396 771
8 26 484 112 1271 67 -2
Sumber: Survei Pertanian, 1995 dan 2000, BPS. Jakarta
265
karena ada kendala faktor teknis dan ekonomis. Berbeda halnya dengan traktor roda 2 yang jumlahnya jauh lebih besar dari traktor roda 4, menurut Simatupang (1989), penggunaan traktor secara implisit bukan merupakan substitusi bagi tenaga kerja manusia, melainkan saling membutuhkan. Dari tujuh kabupaten contoh, terlihat bahwa jumlah traktor di Indramayu dan Majalengka pada tahun 2000 telah terjadi penurunan jumlah dibanding dengan tahun 1995, sementara di kabupaten lainnya Klaten, Kediri, Ngawi, Agam dan Sidrap terjadi peningkatan sekitar 150-500 unit dalam kurun waktu lima tahun. Kendatipun demikian, dari segi jumlah di Indramayu tetap paling tinggi yaitu 1038 unit dan di luar Jawa (Sidrap) mencapai 1504 unit. Hal ini erat kaitannya dengan luas lahan sawah, ketersediaan tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak dan introduksi awal. Temuan dari beberapa desa contoh seperti Majalengka, Klaten, Ngawi dan Agam menunjukkan bahwa pengolahan lahan di desa-desa tersebut masih menggunakan tenaga kerja ternak. Tingginya jumlah traktor di Sidrap menurut Simatupang (1995) terkait dengan potensi lahan sawah yang besar di daerah ini, disamping juga sebagai pemecahan masalah kelangkaan tenaga kerja pada saat pengolahan lahan. Sedangkan thresher, hampir di semua lokasi menunjukkan peningkatan, kecuali di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Baik dari segi jumlah maupun perkembangannya di Kabupaten Ngawi, menunjukkan perkembangan yang relatif tajam yaitu sampai 1271 unit dalam kurun waktu lima tahun. Di Majalengka dan Indramayu kurang berkembang dibandingkan dengan Klaten dan Ngawi. Hal ini disebabkan karena di Jawa Barat secara umum tenaga kerja panen masih melimpah, belum berkembang sistem tebasan, adanya sistem ceblokan dan tingkat kepedulian sosial masih relatif tinggi. Suatu hal yang menarik adalah berkembangnya pedal thresher di kabupaten Ngawi, hal ini didorong oleh keterbatasan tenaga panen. Informasi lain yang menarik adalah bahwa hampir di setiap lokasi penelitian terjadi pergeseran jumlah thresher dan yang bermesin (power thresher) ke thresher pedal, seperti yang terjadi di Agam, Ngawi, Indramayu. Dari hasil wawancara mereka mengemukakan bahwa Power Thresher kurang begitu praktis, sementara topografi dan masa panen tidak serempak, sehingga lebih mudah memindah-mindahkan thresher pedal. Sedangkan untuk traktor dan
266
RMU tidak berpola, pada lokasi tertentu bertambah dan pada lokasi lain berkurang. Untuk traktor di Indramayu dan Majalengka cenderung berkurang. Dalam penggunaan alsintan, khususnya traktor dan thresher pertimbangan petani tidak semata-mata mengganti tenaga kerja manusia karena upahnya terlalu mahal, akan tetapi sampai saat ini masih sebagai tambahan kekurangan tenaga kerja manusia terutama pada masa-masa puncak permintaan tenaga kerja seperti pada masa pengolahan lahan, atau pada masa panen raya. Pada daerah-daerah tertentu dimana jumlah air terbatas, maka untuk mengejar waktu dan keserempakan tanam, waktu pengolahan lahan menjadi sangat ketat dan singkat, oleh karena itu petani memanfaatkan tenaga mekanis sebagai tambahan tenaga yang kurang. Walaupun menggunakan mekanisasi tetap tenaga manusia tidak dapat dihapuskan sepenuhnya, karena pada kegiatan tertentu mekanisasi tidak bisa menggantikan manusia. Begitu pula penggunaan thresher, pada saat panen raya tenaga manusia hanya mampu memotong dan mengumpulkan, sementara untuk mengejar waktu pemanenan petani menggunakan tambahan tenaga dengan menggunakan thresher. Dengan demikian baik traktor maupun thresher sebenarnya merupakan tenaga tambahan terhadap tenaga kerja manusia (complement) pada masamasa kegiatan puncak. Disamping data empiris seperti itu, data yang dikumpulkan oleh BPS menunjukkan hal yang sama, dimana upah riil buruh pertanian yang dideplasi oleh harga gabah GKG di Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur sejak tahun 1980 sampai dengan 2002 menunjukkan kecenderungan yang meningkat sebesar 40-60 persen (Tabel 5 dan Gambar 1). Hal ini menunjukkan secara teoritis bahwa tidak terjadinya penggantian (substitution) tenaga kerja manusia oleh alsintan, tetapi lebih bersifat melengkapi (complement), karena apabila terjadi substitution, maka akan diindikasikan oleh kecenderungan upah riil yang konstan atau menurun. KELEMBAGAAN JASA IRIGASI POMPA Partisipasi Pengguna Jasa Pompa Derajat penggunaan irigasi pompa oleh petani sangat tergantung kepada kondisi sumberdaya air, jenis tanaman dan pola tanam. Di lokasi penelitian tingkat partisipasi penggunaan
Tabel 5. Upah Riil Buruh Pertanian di Empat Provinsi Jawa, 1980 – 2001 (kg GKG/setengah hari) Tahun 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Pertumbuhan*)
Jawa Barat 3,93 4,22 4,21 4,26 4,59 5,33 4,92 4,88 4,43 4,56 4,45 4,53 5,12 6,48 6,05 5,71 6,14 5,96 4,17 3,82 6,06 6,32 0,43
Jawa Tengah 2,54 2,81 2,93 2,87 3,11 3,78 3,75 3,61 3,09 3,29 3,36 3,28 3,65 4,47 4,13 3,91 4,34 4,39 3,36 3,47 4,72 4,78 0,49
Yogya 1,76 1,89 1,86 1,97 2,06 2,54 2,53 2,36 2,12 2,33 2,33 2,31 2,40 2,67 2,27 2,16 2,31 2,27 1,73 1,80 3,44 3,55 0,22
tertinggi adalah di Jawa Timur yaitu Kabupaten Ngawi dan Kediri. Di Ngawi jumlah pengguna irigasi pompa pada musim hujan adalah 47 persen pada irigasi baik, 89 persen pada irigasi sedang, 100 persen pada irigasi kurang dan 73 persen pada tadah hujan, sedangkan pada musim kemarau 60 persen pada irigasi baik, 84 persen pada irigasi sedang, 84 persen pada irigasi kurang dan 100 persen pada tadah hujan.
Jawa Timur 3,02 3,52 3,77 4,07 4,45 5,16 4,77 4,39 3,98 4,25 4,31 4,39 4,77 5,77 5,36 5,43 6,13 5,84 4,49 4,27 5,67 6,03 0,51
Partisipasi di Kediri agak unik justru pada kondisi irigasi yang baik yang banyak menggunakan irigasi pompa baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau. Perlu diketahui bahwa secara empiris penggunaan pompa baik di Kediri maupun di Ngawi pada musim hujan lebih banyak digunakan untuk masa pengolahan lahan untuk mengejar tanam lebih awal, kecuali pada musim kemarau baik pada irigasi baik maupun tidak pompa biasanya digunakan untuk membantu kekurangan irigasi gravitasi (conjunctive use), sedangkan di daerah tadah hujan irigasi pompa merupakan pengganti irigasi gravitasi (substitute). Tingkat partisipasi penggunaan pompa di Jawa Barat, terutama di Indramayu baik pada musim hujan maupun kemarau banyak ditemukan pada petani daerah irigasi kurang dan tadah
*) Pertumbuhan 1980 – 1984 sampai 1993 – 1997 Sumber: BPS, Jakarta (diolah)
Kg GKG/setengah hari
7 6 5 4 3 2 1 0 80 19
82 19
84 986 19 1
88 990 19 1
92 19
94 996 998 19 1 1
00 20
Tahun Jaw a Barat
Jaw a Tengah
DIY
Jaw a Timur
Gambar 1. Perkembangan Upah Riil Buruh Pertanian di Empat Provinsi di Jawa, 1980-2002
irigasi pompa secara rinci dapat disimak pada Tabel 6. Dari tabel tersebut tampak bahwa, baik pada musim hujan maupun musim kemarau tingkat partisipasi penggunaan irigasi pompa
hujan. Sedangkan di kabupaten Majalengka digunakan pada musim hujan di irigasi baik, sedangkan pada musim kemarau pada tadah hujan. Hal yang sama dengan daerah lain bah-
267
Tabel 6. Tingkat Partisipasi Rumahtangga, Pengguna Pompa di Tujuh Kabupaten Contoh, Menurut Ketersediaan Air, 2002 Ketersediaan air
Kur ang
Ta da h huj an
2 0
67
2 2
-
2
-
-
-
7
73
7 7
-
-
-
2
71
2 6
13
3
-
3
-
2 4
10 0
8 2
-
-
10
4
Lokasi Bai k
Se dan g
-
-
R a t a a n
Musim Hujan 2000/2001: Indramayu, Jawa Barat Majalengk a, Jawa Barat Klaten, Jawa Tengah Kediri, Jawa Timur Ngawi, Jawa Timur Agam, Sumatera Barat Sidrap, Sulawesi Selatan Musim Kemarau 2001 Indramayu, Jawa Barat Majalengk a, Jawa Barat Klaten, Jawa Tengah Kediri, Jawa Timur Ngawi, Jawa Timur Agam, Sumatera Barat Sidrap, Sulawesi Selatan
6
-
-
-
7
2 0
4 7
8 9
-
-
6
-
1 0 0 -
3 1 -
1 3
-
-
4 0
2 9
2 9
6 0
8 4
8 4
-
-
-
-
6
Sumber: data primer (diolah), 2002
268
-
-
wa penggunaan pompa pada musim hujan adalah dalam upaya menggeser waktu agar dapat tanam lebih awal. Perlu ditekankan bahwa perbedaan penggunaan irigasi pompa antara di Jawa Barat dengan Jawa Tengah atau Jawa Timur terletak pada perbedaan sumber sadapan, dimana di Jawa Barat sebagian besar pompa umumnya menggunakan sumber sadapan dari air permukaan (surface water), sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak menggunakan air tanah baik dangkal (shallow water aquifer) maupun air tanah dalam (deep water aquifer). Kepemilikan dan Latarbelakang Pemilikan Pompa Kepemilikan irigasi pompa pada lokasi penelitian relatif beragam antar lokasi, namun pada setiap desa untuk pompa kecil umumnya dimiliki oleh perseorangan, kelompok dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Secara rinci bentuk kepemilikan pompa tertera pada Tabel 7. Pada Tabel tersebut terlihat bahwa di lokasi penelitian umumnya pemilikan pompa adalah secara perorangan, kelompok, milik LSM dan P2AT. Di Indramayu dan Sidrap hampir sebagian besar pompa perorangan menggunakan air sadapan dari air permukaan (sungai). Sedang-
kan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dominan adalah air sadapan dari air tanah dengan menggunakan sumur pantek. Fenomena ini sejalan dengan temuan penelitian terdahulu (Pakpahan et al., 1992) bahwa semakin mengarah kebagian Timur Jawa potensi air tanah semakin baik dan semakin ke arah Barat potensi curah hujan semakin besar. Di Sumatera Barat, kendatipun pada petani contoh tidak ditemukan adanya penggunaan pompa, namun dari informasi yang terkumpul dalam lingkup kabupaten Agam pada tahun 2000 tercatat ada 38 unit. Di Sumatera Barat pengembangan alsintan secara intensif baru dimulai pada tahun 1990-an melalui proyek Angkatan Muda Terdidik (AMT) serta Second Kennedy Round yang berasal dari bantuan Jepang, itu pun lebih banyak kepada introduksi alsintan berupa hand tractor, thresher, hydro tiller, corn sheller, win blower, hand sprayer dan trailer (Agusli Taher, 1998). Latar belakang dan motivasi pengadaan irigasi pompa, dapat diungkap dari kasus di Kabupaten Ngawi, yaitu di Desa Tawun (semi teknis) dan Desa Kalang (tadah hujan). Latar belakang pengadaan pompa perorangan di Desa Tawun adalah bahwa sebelum tahun 1998 sawah Desa Tawun memperoleh pengairan dari
269
Tabel 7. Bentuk Kepemilikan Pompa di Kabupaten Contoh, menurut Ketersediaan Air, 2002 Ketersediaan air Lokasi Baik
Sedang
Indramayu, Jawa Barat
Tidak
tidak
Majalengka, Jawa Barat
Peroran gan Pantek, Sungai
Klaten, Jawa Tengah
Peroran gan pantek, kelomp ok
Kediri, Jawa Timur
Peroran gan pantek, P2AT Kelomp ok
Ngawi, Jawa Timur
Peroran gan pantek, kelomp ok
Agam, Sumatera Barat
Tidak
tidak
Tidak
Peroran gan Air permuka an
Sidrap, Sulawesi Selatan
tidak Peroran gan Pantek, air permuka n Peroran gan pantek, P2AT Kelomp ok Peroran gan Pantek, Air permuka an
Kurang Peroran gan Sungai, pantek
Tadah hujan Peroran gan Sungai,
Tidak
Peroran gan Pantek
Tidak
Tidak
Peroran gan Pantek
Peroran gan Air permuka an
Peroran gan Pantek,
Peroran gan Air permuka an, Pantek
Tidak
Tidak
Tidak
Peroran gan Air permuka an
Sumber : Hasil Pengamatan di lokasi Penelitian, 2002
irigasi “Kedung Bendo”, namun setelah adanya pembangunan pasar, maka ada saluran yang diperdalam disekitar pasar, tanpa disadari pendalaman saluran tersebut menyebabkan saluran menjadi lebih rendah sehingga air tidak bisa mengalir ke sawah di desa tersebut yang luasnya mencapai 30 ha. Namun apabila saluran dipindahkan dengan cara membuat pintu bagi baru yang lurus dengan desa tersebut, sebenarnya luas lahan sawah sudah bisa diairi bisa mencapai 10 ha. Dengan kondisi inilah, maka petani di Desa Tawun berinisiatif untuk membeli pompa pada tahun 1998. Mesin pompa yang dibeli adalah jenis KUBOTA dan pompa EBARA seharga Rp 1.500.000.
270
Jumlah pompa di desa Tawun 21 unit yang terdiri dari 8 unit dengan mesin penggerak KUBOTA dan 13 unit menggunakan mesin penggerak “Dong Feng”. Dari sini tampak bahwa mesin penggerak pompa yang banyak diminati adalah “Dong Feng” buatan Cina, kendati pun kualitasnya lebih rendah dibanding dengan KUBOTA. Pertimbangan petani membeli “Dong Feng” adalah: (a) harganya jauh lebih murah, sehingga terjangkau oleh petani, (b) lebih aman dari kehilangan, karena bobot fisiknya sangat berat, (c) tenaganya sama dengan KUBOTA. Sementara KUBOTA, sekalipun kualitasnya bagus, menurut petani memiliki kelemahan yaitu harganya mahal dan mudah dicuri orang (resiko hilang sangat tinggi).
Di daerah tadah hujan Kabupaten Ngawi, latar belakang pemilikan pompa berbeda. Sebelum tahun 1988, lahan di Desa Kalang (tadah hujan) hampir seluruhnya merupakan sawah tadah hujan dan lahan kering, kecuali hanya sedikit lahan pinggir-pinggir sungai yang bisa diairi oleh irigasi pompa pribadi (kecil-kecil). Pada tahun 1988 pemilik modal dari Madiun yang melakukan investasi usaha jasa irigasi pompa, dan karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka diijinkan untuk beroeprasi selama 5 tahun. Mesin penggerak pompa yang digunakan adalah “Thames” dengan kekuatan + 150 PK dengan menggunakan pompa 8 dim. Sesuai dengan kondisi topografi yang ada, areal yang diairi berkembang dari waktu ke waktu sehingga pada tahun 1999 mencapai 25 ha. Dua tahun setelah pompa milik pribadi berkembang (1999) maka pompa besar tersebut tidak mampu bertahan lagi sehingga usaha pompanya berhenti, dengan alasan: (a) luas areal yang dioncori semakin berkurang, sehingga menjadi tidak efisien lagi bagi usaha jasa pompa, (b) harga solar pada waktu itu mengalami kenaikan yang sangat tajam, (c) harga suku cadang meningkat. Namun demikian, dampak dari berhentinya usaha pompa besar tersebut adalah kembalinya lahan sawah irigasi pompa ke lahan tadah hujan sekitar 10 ha, karena sawah ini letaknya jauh dari sungai Bengawan Solo sehingga apabila memakai pompa kecil pun lahan lebih tidak efisien. Pada saat ini (2002) jumlah pompa di Desa Kalang ada 25 unit dengan daya mesin penggerak berkisar antara 10-12 PK, dengan rata-rata oncoran 2 ha/unit pompa. Luas luas lahan yang bisa diairi oleh pompa sekitar 50 ha, namun luas lahan sawah di desa Kalang ini ada 90 ha sehingga masih ada 40 ha yang belum bisa diairi oleh pompa, karena topografinya yang tidak terjangkau dan terpencar-pencar. Pengusahaan lahan yang tidak memungkinkan memakai pompa, biasanya petani menyewakan lahannya kepada Pabrik Gula (PG)/juragan dengan harga sewa lahan berkisar antara Rp.2–Rp.4 juta/umur tebu/ha (18 bulan), sedangkan nilai sewa lahan sawah untuk tanaman padi berkisar antara Rp. 400.000 – Rp. 500.000/per 0,25 ha per tiga bulan. Silvia (1993) mengemukakan hasil studinya bahwa dalam pengembangan irigasi pompa menghadapi kendala-kendala sebagai berikut : (a) kemungkinan tidak semua daerah baik pada
daerah tadah hujan maupun non tadah hujan memiliki sumberdaya air yang sama, (b) kemampuan sumber permodalan petani yang masih lemah untuk melakukan investasi irigasi pompa, dan (c) apabila pemompaan air bawah tanah sudah berkelebihan (over pumping), maka akan menimbulkan konflik baru dalam penggunaan air bawah tanah. Kekhawatiran kendala pada tahun 1993an tersebut apabila di amati pada tahun 2002-an tidak terbukti. Secara empiris hal ini tergali dari penelitian ini bahwa para petani cenderung melakukan investasi pompa pada kondisi sebagai berikut: (a) apabila petani memiliki luasan sawah lebih dari 1 - < 2 hektar, maka investasi pembelian pompa selain untuk sendiri juga untuk disewakan kepada petani lain. Sedangkan apabila petani memiliki lebih dari 2 hektar biasanya pembelian pompa hanya untuk digunakan sendiri. (b) dengan adanya mesin penggerak pompa impor dari Cina serti Dong Feng yang harganya seperlima dari harga mesin penggerak pompa buatan Jepang, maka membuka pilihan yang lebar bagi petani yang memiliki modal terbatas dapat membeli pompa, (c) setetah lepas dari masa krisis ekonomi dan terjadi perubahan beberapa harga komoditi pertanian, maka petani mengakui bahwa pendapatannya meningkat sehingga daya belipun meningkat. Selain faktor luas lahan dan rasa keterjaminan memperoleh air, latar belakang petani untuk memutuskan membeli pompa juga atas pertimbangan untung-rugi. Seperti kasus yang terjadi di Desa Kalang (tadah hujan) Kabupaten Ngawi, menunjukkan bahwa dengan memiliki lahan garapan satu hektar, memiliki pompa sendiri, biaya air irigasi pompa lebih rendah 47 persen dibanding dengan harus menyewa dari pihak lain. Namun demikian hal ini tidak dapat disimpulkan untuk umum, karena besarnya biaya air yang harus dibayar tersebut sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air, jarak dari sumber air dan kedalaman sumur. Sistem Pembayaran, Harga Jasa Pompa dan Sistem Pengelolaannya Sistem pembayaran dan harga jasa irigasi pompa bervariasi antara lokasi bahkan antar tipe irigasi. Variasi ini tergantung kepada beberapa hal diantaranya: (a) Asal sumber air terutama yang menyangkut sumber sadapan, sungai atau air tanah, kedalaman sumur dan
271
lain-lain, (b) Jenis pompa, (c) Kepemilikan apakah perorangan atau kelompok, (d) Kultur sosial yang berlaku. Berdasarkan informasi yang tertangkap dari studi ini, untuk Kabupaten Ngawi pada daerah yang beririgasi baik bagi petani yang mau menanam padi pada MK1 dan MK2 terpaksa harus membayar biaya air irigasi pompa lebih mahal. Dengan kedalaman air sumur untuk irigasi pompa berkisar antara 35-40 m biaya sewa pompa untuk mengairi sawah adalah Rp 2.500 – 3.000 per jam untuk musim MH dan MK1, sedangkan untuk MK2 akan mengalami kenaikan menjadi Rp 4.000-Rp 4.500 per jam, dengan cacatan biaya solar dan olie menjadi tanggungjawab pemilik pompa. Sedangkan apabila mau membayar bulanan harganya adalah Rp 400.000,- per bulan serta solar dan olie pelumas menjadi tanggungjawab penyewa. Sedangkan di Desa Tawun irigasi sedang sistem menyewakan pompa dilakukan dengan cara “harian” (12 jam) sebesar Rp.20.000, dengan perjanjian solar ditanggung oleh penyewa dan pemilik pompa bertanggung jawab mengawasi pompa dan air. Kapasitas mengairi dari masing-masing pompa bervariasi menurut dayanya. Menurut pengalaman petani daya mesin penggerak pompa 7,5 – 12 PK dapat mengairi 5-6 ha per musim (MK-1 dan MK-2). Sedangkan 5 - 6,5 PK dapat mengairi 2 – 2,5 ha per musim (MK-1 dan MK-2). Di Desa Kalang Kabupaten Ngawi yang merupakan desa contoh tadah hujan, terdapat dua sistem menyewakan pompa air yaitu dengan sewa jam-jaman dan sistem bagi hasil. Besarnya bagi hasil adalah 25 persen dari hasil kotor setelah dikurangi bawon untuk MH dan MK-2, sedangkan untuk MK-1 sebesar 20 persen. Sejalan dengan berkembangnya jenis mesin penggerak pompa yang harganya lebih murah, sejak tahun 1998, maka sebagian masyarakat mulai berinisiasi untuk membeli pompa Dong Feng baik untuk digunakan sendiri maupun untuk disewakan ke orang lain. Pertimbangan membeli pompa sendiri-sendiri ini adalah: (a) petani memandang dengan harga pompa yang ada biaya air irigasi akan lebih efisien, dan (b) keterjaminan mempeorleh air menjadi lebih pasti. Di Desa Tirak (Irigasi sederhana) Kabupaten Ngawi, penggunaan pompa sebagai alat
272
untuk membatu pengairan, dilakukan terutama pada awal musim hujan dan MK2, biaya irigasi dengan menggunakan pompa dilakukan dengan sistem per jam, yaitu Rp 3000 per jam, Biaya irigasi pompa usahatani padi sangat tergantung kepada, jenis lahan dan curah hujan kisaran biaya irigasi pompa perha pada MK2 bisa mencapai Rp 1.000.000,-. Hal ini jelas secara finansial akan menyebabkan petani menjadi rugi, karena dari analisis finansial usahatani per hektar pada daerah irigasi sederhana, pada MK2 dengan rata-rata penerimaan Rp 5,7 juta, total biaya mencapai Rp 5,08 juta (didalamnya termasuk biaya irigasi pompa Rp 604 ribu) keuntungan diperoleh sekitar Rp 600 ribu. Berarti apabila petani tersebut membayar biaya irigasi pompa sampai satu juta rupiah, maka kerugian petani tersebut sekitar Rp 400 ribu. Namun dalam kondisi seperti ini, yang dipertimbangkan oleh petani bukan kerugian yang Rp 400 ribu, tetapi kalau petani memutuskan untuk berhenti mengairi sawahnya, maka kerugian petani bisa mencapai Rp 5,08 juta karena kegagalan panen. Di Sidrap besarnya iuran air irigasi pada irigasi sedang dan baik sebesar Rp. 25.000/ ha/musim yang terdiri dari iuran HIPPAIR 18.000/ha/musim dan iuran untuk menggaji pengurus P3A sebesar Rp. 7000 /ha/musim. Sementara itu ada keragaman dalam sistem sewa untuk irigasi pompa, antara lain: (1) Persatuan waktu, yaitu sebesar Rp. 8.000-15.000/jam, khusus pada lahan sawah irigasi teknis dan semi teknis; (2) Berdasarkan jumlah bahan bakar yang digunakan, di mana penyewa membayar bahan bakar yang digunakan dan nilai sewa dihitung per liter bahan bakar, kasus pada lahan sawah irigasi sederhana, kurang lebih 3000-5000/liter bahan bakar; (3) Dengan sistem bagi hasil, yaitu 4:1 hingga 5:1, kasus pada lahan sawah irigasi sederhana dan pada lahan sawah tadah hujan yang sudah berkembang sistem pompa. Di Klaten, ketersediaan pompa air di desa contoh irigasi teknis Desa Jatipuro Kecamatan Trucuk sebanyak 12 unit pompa (10 milik petani secara individu dan dua milik kelompok); di desa contoh irigasi setengah teknis Desa Daleman, Kecamatan Tulung sebanyak empat unit pompa yang secara keseluruhan milik kelompok; di Desa Solodiran, Kecamatan Manisrenggo terdapat empat pompa air milik kelompok, dan di
desa contoh tadah hujan Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat hanya ada satu pompa milik perorangan. Rata-rata kemampuan pompa air mengairi lahan sawah adalah 5-6 jam perpathok (0,20 ha) dengan kebutuhan bahan bakar solar 1,5 – 2 liter. Adanya kekurangan air pada daerahdaerah tertentu telah menyebabkan air mempunyai nilai ekonomis, baik pada daerah irigasi teknis bagian hilir, irigasi setengah teknis, dan pada irigasi sederhana, serta pada lahan sawah tadah hujan. Sebagai ilustrasi, pengelolaan pompa air untuk lahan sawah pada irigasi setengan teknis, kasus Desa Daleman Kecamatan Tulung, menunjukkan besarnya iuran air irigasi pompa milik kelompok adalah Rp. 3.500/ jam. Namun demikian tidak dijumpai adanya sistem bagi hasil antara pemilik lahan sawah dengan pengusaha jasa pompa air yang menunjukkan masih relatif tersedianya sumber-sumber air. Di Kediri, air merupakan salah input penting dalam kegiatan produksi. Tersedianya air secara memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas tidak hanya berpengaruh terhadap produksi juga berpengaruh terhadap harga dan sewa lahan yang berlaku. Hasil penelitian di empat lokasi di Kabupaten di Jawa Timur menunjukkan bahwa kecuali pada petani di lahan sawah tadah hujan ketersediaan air cukup memadai. Sedangkan pada lahan sawah tadah hujan walaupun pada musim hujan masih banyak petani yang memanfaatkan jasa pompa air. Pada musim MK kecuali pada petani lahan sawah irigasi sederhana, pada umumnya ketersediaan air kurang, karena pada saat itu debit air sungai mulai menurun. Selain memanfaatkan jasa pompa air, salah satu cara yang dilakukan petani dalam mengatasi kelangkaan air yaitu dengan cara penjadwalan gilir air dengan lama dan urutan sesuai kesepakatan. Sedangkan di Desa Punjul walaupun secara teknis merupakan lahan sawah dengan tipe irigasi sederhana, karena lokasi ini airnya bersumber dari pegunungan maka pada musim kemaraupun ketersediaan airnya relatif memadai. Ketersediaan mesin pompa air di semua lokasi penelitian di Kabuapaten Kediri cukup memadai, dengan sewa Rp 4.000/jam untuk kapasitas 4 dim. Besarnya sewa ini berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan
harga gabah dan biaya hidup. Mobilitas pasar jasa pompa air antar desa juga berjalan cukup baik. Kelembagaan pengelolaan jasa air pompa sudah berkembang namun pengelolaannya masih bersifat perorangan, kecuali pada petani lahan sawah tadah hujan, masih sebatas pada P2AT. Analisis kelayakan jasa pengelolaan air pompa menunjukkan bahwa usaha pengelolaan jasa pompa air mampu memberikan pendapatan sebesar Rp 1,6 juta per tahun. Kapasitas pompa air adalah 28 jam untuk mengairi lahan seluas satu hektar, dan efektif beroperasi sekitar 900 jam dalam setahun. Sedangkan aturan main dalam pembagian hasil adalah 87,5 persen untuk pemilik dan 12,5 persen untuk operator. Kecuali pada petani lahan sawah irigasi sederhana, kelembagaan P3A sudah ada, namun demikian dilihat dari partisipasi anggotanya baik dalam membayar iuran irigasi, pertemuan maupun dalam gotong royong memperbaiki saluran irigasi masih kurang. Sementara itu pada petani lahan sawah irigasi sederhana yang airnya tersedia sepanjang tahun belum ada organisasi P3A. Kehadiran organisasi P3A di lokasi ini tidak begitu penting, karena petani melihatnya tanpa diaturpun air itu sudah dengan lancar sampai pada petakan sawah petani. Adanya perubahan harga sewa pompa air dan mobilitas jasa pengelolaan air antar desa menunjukkan bahwa pasar air melalui jasa pengelolaan pompa air irigasi sudah berjalan cukup baik, namun demikian untuk pasar air irgasi yang bersumber dari sungai maupun pegunungan tidak berjalan secara aktif. Adanya pemikiran petani bahwa air itu merupakan barang umum sehingga tidak perlu dibayar, dan pemakaiannya yang cenderung boros pada saat MH merupakan faktor-faktor yang menghambat bekerjanya pasar air non pompa air berjalan dengan baik. Sedangkan di Majalengka pengelolaan pompa agak berbeda dengan daerah lain, pelayanan jasa pompa air memiliki karakteristik yang berbeda dengan jasa alsintan di pedesaan yang lain. Untuk pompa portable umumnya tidak memiliki tenaga operator, dalam hal ini pompa dioperasionalkan sendiri oleh pemiliknya. Namun untuk pompa tetap, memiliki susunan kepengurusan tersendiri, karena cakupan pelayanan yang luas dan pengelolaan yang cukup besar. Pompa air besar ini dikelola oleh kelompok tani, kepengurusannya terdiri dari ketua, sekretaris,
273
bendahara, pengatur air dan operator pompa. Masing-masing pengurus memiliki tugas dan tanggungjawab. Pengatur air bertanggungjawab untuk mendistribusikan air pada areal tanggung jawabnya. Operator pompa bertanggung jawab pada operasionalisasi pompa air, sementara ketua, sekretaris dan bendahara menangani manajemen kelompok. Di Indramayu sistem pembayaran jasa pompa ada yang per jam. Sebagai contoh, untuk pompa portable ukuran 3” , tingkat sewa per jam senilai Rp. 5.000-Rp.6.000. Untuk areal satu bau diperlukan waktu dua sampai tiga hari “oncoran” dengan durasi masing-masing 10 jam. Dalam satu musim panen diperlukan kurang lebih 5–10 oncoran, tergantung pada curah hujan. Dengan perbandingan ini sewa pompa besar jauh lebih murah dibandingkan dengan pompa portable. Di Desa Wanakaya Kabupaten Indramayu, hampir setiap KK mempunyai pompa air portable dengan sumber air permukaan. Kasus pompa air merek ‘Honda’ kapasitas 3”, harga pompa pada tahun 1999 adalah Rp 2.300.000. Pompa tersebut dipakai untuk menyedot air tanah dengan membangun sumur pantek dengan biaya pembuatan sumur Rp 200.000 pada tahun 1999. Mesin pompa ini tidak disewakan kepada orang lain tetapi digunakan untuk mengairi lahan sawah yang disewa seluas 6 bau (sekitar 3,5 ha). Untuk mengairi sawah seluas 3,5 ha tersebut, pada MH diperlukan pemompaan air sebanyak 4 kali setiap kali pemompaan diperlukan waktu pengairan 2 hari 2 malam. Sedangkan pada MK frekuensi pemompaan meningkat sampai 8 kali. Untuk setiap pemompaan air diperlukan bahan bakar sebanyak 1,5 liter bensin/2 jam (@ Rp 2.200/lt) dan olie sebanyak satu liter senilai Rp 18.000/10 jam dan tenaga operator dengan upah (diperhitungkan) Rp 15.000 + makan 3 x /10 jam atau sekitar Rp 20.000/10 jam tanpa makan. Penggunaan pompa untuk irigasi banyak dilakukan oleh petani di Desa Jambak, desa contoh irigasi ½ teknis di Kabupaten Indramayu. Pada MH pompa digunakan untuk persemaian, karena persemaian padi dilakukan pada saat hujan belum turun. Pada MK-1 umumnya tidak diperlukan pompa, namun pada MK-2 kadangkadang diperlukan pompa untuk membuang kelebihan air, dan untuk mengairi bagi petani yang lahan sawahnya jauh dari saluran irigasi.
274
Sewa pompa umumnya dilakukan dengan sistem harian ( Rp. 10. 000–Rp. 15.000 per hari, dari jam 07.00 – 17.00) dengan biaya bahan bakar ditanggung penyewa. Apabila mesin pompa merek Honda 5.5 PK dan diameter 3 inci digunakan untuk menyedot sumur pantek (air tanah) diperlukan bahan bakar bensin 6 – 7 liter/10 jam/200 bata, namun bila digunakan untuk menyedot air dari sungai dibutuhkan 5 liter bensin. Harga bensin eceran di desa saat ini (Juli 2002) adalah Rp.2.100/liter. Selain bensin pengoperasian pompa juga memerlukan olie sebanyak 0,7 liter ( Rp 15.000/liter)/7 HOK pompa. Untuk mengoperasikan pompa juga diperlukan tenaga yang menunggu dengan upah Rp 15.000/hari ditambah 3x makan atau Rp 20.000/ hari tanpa makan. Analisis Finansial Usaha Pompa Hasil studi Sumaryanto et al. (1997) menyimpulkan bahwa, keberlangsungan usaha pompa di pedesaan sangat tergantung kepada beberapa faktor diantaranya : (a) Jaminan luas oncoran pengairan pompa, (b) Kelancaran pembayaran iuran air, sebagai jaminan kemampuan pembiayaan operasional dan pemeliharan, (c) Jaminan ketersediaan sumber air sadapan baik dari air permukaan maupun air bawah tanah. Kesemuanya ini akan menentukan tingkat viabilitas usaha pompa secara finansial. Namun bagi petani, keputusan untuk investasi irigasi pompa kadang-kadang tidak semata-mata atas pertimbangan kelayakan ekonomi akan tetapi ada pertimbangan lain seperti: (a) Jaminan memperoleh air, (b) Jaminan keberhasilan panen yang identik dengan jaminan terhindar dari kebanjiran dan kekeringan. Dari hasil analisis viabilitas finansial, Silvia (1993) menyimpulkan bahwa investasi irigasi pompa pada daerah tadah hujan memiliki viabilitas finansial pada masa yang akan datang mengingat: (a) Berdasarkan hasil analisis finansial investasi irigasi pompa pada daerah tadah hujan menunjukkan variasi kelayakan yang cukup baik, seperti gross BCR 1.3 – 1.6, net BCR 2,9 – 5,2, NPV Rp 1,2 – Rp 2,6 juta dan IRR 66 – 135 persen. (b) Pemakaian irigasi pompa berdampak positif terhadap perubahan pola dan intensitas tanam, pendapatan dan resiko kegagalan panen baik akibat kebanjiran
Tabel 8.
Uraia n Penerim aan Biaya a. Tenaga kerja b. Bahan bakar (Solar) c. Minyak pelumas (olie) d. Perbaika n e. Penyusu tan
Analisis Finansial Usaha Pompa pada Berbagai Kasus Luas Oncoran di Kabupaten Ngawi dan Indramayu, 2002 Ngawi Oncoran 4 Oncoran 1 ha ha 14.970. 3.465. 000 000
Indramayu Oncoran 71 ha 36.000. 000
1.651. 600 519.7 50 261.0 00 100.0 00 128.0 00 642.8 50
10.627. 000 2.227.5 00 6.292.0 00 460.00 0 900.00 0 747.50 0
31.075. 000 11.400. 000 17.040. 000 960.00 0 500.00 0 1.175.0 00
1.813. 400
4.343.0 00
4.925.0 00
2,10
1,41
1,16
Keuntun gan R/C rasio Sumber : Data primer (diolah), 2002.
maupun kekeringan, (c) Kedua faktor tersebut memerlukan dukungan fasilitas-fasilitas dalam pelaksanaan irigasi pompa, mulai dari potensi daerah terutama sumber air, adanya motivasi petani, peranan pemerintah daerah dan adanya kredit dengan suku bunga yang rendah. Hasil analisis viabilitas usaha pompa yang telah dilakukan oleh Sumaryanto et al. (1999) baik usaha pompa sebagai usaha yang terpisah dari usahatani padi, maupun pengusahaan pompa merupakan bagian integral dengan usahatani padi, kedua-duanya dengan kondisi perekonomi pada saat itu (sebelum krisis) memiliki derajat viabilitas usaha yang cukup memadai. Hal ini ditunjukkan oleh nilai B/C rasio sebesar 1,52 dan IRR sebesar 60,7 persen untuk usaha pompa terpisah dari usahatani. Sedangkan untuk usaha pompa yang tertintegrasi dengan usahatani padi B/C rasio 2,16 dan IRR 125,6 persen. Fenomena analisis finansial usaha pompa di desa contoh tadah hujan di Kabupaten Ngawi dapat disimak pada Tabel 8. Tabel tersebut
menginformasikan bahwa tingkat keun-tungan finansial usaha pompa tidak berbanding lurus dengan luas oncorannya, bahkan tingkat profitabilitas finansialnya berbanding terbalik dengan luas oncorannya. Artinya semakin besar luas oncoran yang dilayani, maka semakin rendah R/Cnya. Hal ini diduga bahwa dalam pengusahaan irigasi pompa memiliki tingkat kelayakan luas oncoran yang optimum. KELEMBAGAAN JASA TRAKTOR Partisipasi Pengguna Jasa Traktor Penggunaan traktor pada usahatani padi di Indonesia baru berkembang sejak tahun 1970-an, dan perkembangannya cukup pesat, terutama perkembangan traktor roda dua. Dalam periode tahun 1981–1995, perkembangan traktor roda 2 cukup besar yaitu 19 persen per tahun (Soentoro, 1998). Faktor-faktor pendorong perkembangan traktor antara lain : meningkatkan produktivitas, mempercepat waktu pengolahan lahan dan lebih ekonomis (Bagyo,
275
1983; Simatupang, 1989 dan Soentoro, 1998). Walau demikian, secara teknis tidak semua lahan dapat diolah dengan traktor. Tingkat partisipasi pengguna traktor di tujuh kabupaten contoh bervariasi, rendahnya tingkat partisipasi di beberapa desa contoh lebih disebabkan karena faktor teknis lahan sawah, misalnya topografi lahan berlereng dan petakan sawah kecil-kecil.
traktor di lokasi ini kurang berkembang karena memang banyak lahan yang relatif sulit dijangkau dengan traktor, disamping di lokasi ini petani masih relatif banyak yang memiliki ternak sapi. Sementara itu, pengolahan lahan dengan tenaga kerja manusia (cangkul) sudah lama tidak ada, tergeser oleh perkembangan traktor yang sangat pesat.
Secara rataan tingkat partisipasi pengguna traktor (Tabel 9) yang relatif tinggi terjadi di Kabupaten Indramayu, Ngawi dan Sidrap. Lambatnya perkembangan penggunaan traktor di beberapa desa contoh terkait dengan topografi tanah yang berlereng sehingga sulit menerapkan mekanisasi dalam pengolahan tanah. Pada desa-desa yang belum menerapkan mekanisasi dalam pengolahan lahan, pengolahan lahan dilakukan dengan ternak dan atau tenaga kerja manusia. Namun akhir-akhir ini, khususnya di desa dengan irigasi sedang di Kabupaten Majalengka sudah nampak pergeseran penggunaan traktor di sebagian areal yang dapat dijangkau. Perkembangan traktor di desa tersebut baru satu tahun yang lalu dengan adanya bantuan alsintan dari pemerintah, kemudian ditambah dengan jasa traktor yang berasal dari luar desa. Kasus di Kabupaten Kediri, pada lahan tadah hujan, jumlah petani yang menggunakan ternak dan traktor dalam kegiatan mengolah lahan hampir berimbang. Pengunaan
Kepemilikan Traktor
276
Menurut kepemilikannya, secara garis besar traktor dibagi dalam tiga kelompok kepemilikan yaitu Dinas (dalam hal ini khusus dinas-dinas di lingkup Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan), petani/kelompok tani dan usaha jasa sewa. Namun, ketersediaan data traktor menurut kepemilikan untuk masingmasing kabupaten belum tersedia. Satu kasus yang dapat dikemukakan adalah kepemilikan traktor di Indramayu, tahun 2000, nampaknya kepemilikan traktor didominasi oleh petani yang mencapai 97 persen, sementara kepemilikan oleh Dinas hanya mencapai tiga persen, sementara usaha jasa sewa belum berkembang di Indramayu. Menurut Simatupang (1995), kepemilikan traktor menurut povinsi bervariasi, di Jawa Barat 96 persen kepemilikan traktor oleh petani dan kepemilikan Dinas sekitar empat persen. Se-
Tabel 9. Tingkat Partisipasi Rumahtangga Pengguna Traktor di Tujuh Kabupaten Contoh Menurut Ketersediaan Air, 2002
Lokasi
Ketersediaan air Tadah Baik SedangKurang Rataan hujan
Musim Hujan 2000/2001: 1 0 0 8 0
9 7 5 7
1 4
3 5
8
6 4
9 4
2 5 1 0 0 1 0 0
9 3
9 5
-
9 3
-
-
2 3
9 4
8 8
8 8
8 8
9 0
1 0 0 9 4 1 0 0
1 0 0
8 0 1 0 0
7 9
1 0 0
Klaten, Jawa Tengah
1 0 0 8 8 1 0 0
Kediri, Jawa Timur
8 0
6 7
Ngawi, Jawa Timur Agam, Sumatera Barat Sidrap, Sulawesi Selatan Musim Kemarau 2001
9 3
Indramayu, Jawa Barat Majalengka, Jawa Barat
Indramayu, Jawa Barat Majalengka, Jawa Barat Klaten, Jawa Tengah Kediri, Jawa Timur Ngawi, Jawa Timur Agam, Sumatera Barat Sidrap, Sulawesi Selatan
1 0 0
-
-
8 4 1 0 0 5 0
8 7 6 0
8 5 5 7 1 3 1 0 0
1 0 0 8 0 1 0 0
9 6 5 8 5 3
-
6 5
9 3
9 3
9 3
1 0 0
-
2 5
8 3
8 3
Sumber: Data primer (diolah), 2002
mentara di Jawa Tengah, 32 persen kepemilikan dikuasai oleh petani dan 68 persen merupakan usaha jasa sewa. Fenomena di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa kepemilikan traktor oleh Dinas hanya sekitar satu persen, sebagian besar (91%) adalah kepemilikan oleh petani, dan 8 persen adalah usaha
jasa traktor. Kasus di Sulawesi Selatan, pemilikan traktor oleh kelompok tani memegang peranan penting bukan saja dalam perbaikan tingkat persaingan antar pasar tenaga kerja mekanik pengolahan lahan, tetapi juga dalam memberikan fasilitas kemudahan pembayaran kepada anggota kelompok tani.
277
Tabel 10. Sistem Pengupahan dan Harga Jasa Traktor di Lokasi Penelitian menurut Ketersediaan Air, Tahun 2002. (Rp 000/ha) Kabupaten, sistem upah, harga Indramayu Majalengka Klaten Kediri Ngawi Agam Sidrap
Ketersediaan air
Baik 250260 420 275360 420 340360 350400
Sedan g 280300 360 315 200280 400720 350400
Kuran g 490700 420 275320 315 200280
Tada h hujan 250300 385 275320 315 200280
350400
350400
Sumber: Data primer (diolah), 2002
Harga Jasa Traktor dan Sistem Pembayaran Pada umumnya sistem pengupahan jasa traktor adalah borongan per satuan luas, kecuali di desa dengan irigasi sedang (irigasi setengah teknis) di kabupaten Agam masih ada sistem pengupahan harian. Pada kasus terakhir, upah traktor harian mengacu pada upah ternak harian. Harga jasa penyewaan traktor atau ongkos sewa traktor bervariasi antar kabupaten, bahkan di kabupaten Indramayu, Majalengka dan Kediri ada variasi antar desa. Ongkos sewa traktor di tujuh kabupaten contoh ditampilkan pada Tabel 10. Sewa jasa traktor di Indramayu pada MK 2002 meningkat (berkisar antara 15 – 20%) dibandingkan dengan musim-musim sebelumnya, peningkatan sewa jasa traktor disebabkan karena adanya kebijakan kenaikan BBM. Pada saat ini sewa jasa traktor di desa irigasi teknis, irigasi setengah teknis dan tadah hujan berkisar antara Rp. 250.000 – Rp. 300.000 per ha. Sewa jasa traktor di desa irigasi sederhana relatif mahal, yaitu antara Rp 700 – Rp 1.000 per bata atau Rp. 490.000–Rp. 700.000 per ha sampai siap tanam, tergantung lokasi lahan. Tingginya sewa jasa traktor di desa ini dibandingkan dengan desa contoh lain disebabkan karena kondisi lahan sawah yang berbeda. Lahan sawah di desa ini terdiri atas petakan kecil-kecil dengan topografi berlereng, sehingga banyak menyita waktu dan tenaga untuk pindah petakan. Atau dengan kata lain untuk mengolah
278
lahan satu ha diperlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan desa lain. Sewa traktor di Majalengka per hektar siap tanam berkisar antara Rp.315.000-Rp. 420.000. Pada MT 2001/2002 terjadi kecenderungan peningkatan sewa traktor yang disebabkan karena kebijaksanaan kenaikan harga BBM yang diambil pemerintah, peningkatan sewa traktor berkisar antara 17-22 persen. Pada kasus Desa Maja Utara, traktor baru masuk MH 2001 /2002. Sebagai bahan perbandingan upah olah tanah dengan ternak yang berlaku sebesar Rp 470.000 rupiah, lebih mahal dari upah traktor sebesar Rp. 360.000/ha, sehingga petani mulai beralih menggunakan traktor dan meninggalkan ternak. Penggunaan ternak kerja sebagian besar untuk lahan milik sendiri, saudara atau yang tidak dapat dijangkau dengan traktor. Sistem upah pengolahan tanah dengan traktor sampai siap tanam di Klaten berkisar antara Rp. 55.000 sampai dengan Rp. 60.000 per patok atau sekitar Rp. 275.000 sampai dengan Rp 300.000 per hektar pada MH 2001/ 2002, sementara itu pada MK I 2002 mengalami kenaikan rata-rata naik Rp 5.000-10.000/patok yaitu Rp. 60.000-Rp. 70.000/pathok atau ratarata Rp. 300.000-Rp. 320.000 per hektar atau meningkat sekitar tujuh sampai sembilan persen. Sementara itu di Kediri, sewa traktor bervariasi antar wilayah yaitu berkisar Rp 315.000 – Rp 420.000 per hektar. Bervariasinya besar sewa traktor disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: (a) topografi sawah, (b) kondisi tanah itu
sendiri, sehingga memungkinkan traktor menggunakan rotary atau bajak, (c) jauh dekatnya dari jalan usahatani. Ongkos sewa traktor di Ngawi berkisar antara Rp 340.000 – Rp 360.000 per hektar sampai siap tanam pada tahun 2002 meningkat dari Rp 200.000 - Rp 280.000 per hektar pada tahun sebelumnya. Besarnya sewa traktor di Agam pada periode 2000-2001 berkisar antara Rp. 300.000– 350.000/ha tergantung jarak lahan sawah terhadap jalan serta sistem pembayarannya, kemudian meningkat menjadi berkisar antara Rp.350.000 - Rp.650.000/ha (2001-2002) atau meningkat 14–17 persen. Hal menarik di Desa Gumarang (irigasi teknis) Kabupaten Agam adalah disamping traktor, tenaga ternak untuk pengolahan lahan juga masih digunakan. Hal ini terkait dengan kondisi teknis lokasi sawah yang sulit dan umumnya petani memiliki ternak sendiri. Perbandingan hari kerja pengolahan traktor dan ternak adalah 7 hari kerja ternak setara dengan 1 hari kerja traktor. Upah tenaga ternak saat ini Rp 20.000/hari. Biaya pengolahan lahan dengan ternak Rp 20.000 (+ makan 2x) selama 10 hari dan tiga kali pengolahan sampai siap tanam atau sekitar Rp 600.000/ha sampai siap tanam. Sementara pengolahan dengan traktor biayanya adalah Rp 80.000/0,3 ha dengan tiga kali pengolahan sampai siap tanam atau Rp 240.000/ 0,3ha atau Rp 720.000/ha. Biaya pengolahan dengan ternak lebih murah secara tunai namun masih harus menanggung makan dua kali per hari selama 30 hari (tiga kali masing-masing 10 hari). Besarnya tingkat upah untuk pengolahan tanah dengan traktor di Sidrap pada periode 2000-2001 berkisar antara Rp 300.000-350.000/ ha tergantung jarak lahan sawah dari jalan serta sistem pembayarannya, kemudian meningkat menjadi berkisar antara Rp 350.000-400.000/ha (2001-2002). Kenaikan sewa traktor yang diakibatkan kebijakan kenaikan harga BBM, terutama harga solar di Klaten relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain. Hasil penelitian Simatupang (1994) menunjukkan bahwa elastisitas sewa traktor terhadap harga solar sebesar 0,4160 artinya kalau harga solar meningkat satu persen, sewa traktor akan meningkat sebesar 0,416 persen. Kenaikan harga solar pada bulan Februari sebesar 31,8 persen akan mengakibatkan sewa traktor meningkat sebesar 13,2
persen. Kecuali di Klaten, kenaikan sewa traktor pada MT 2002 lebih besar dari yang seharusnya. Dengan kenaikan harga solar petani menanggung kenaikan sewa traktor yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa posisi petani lebih lemah dibanding pemilik traktor. Sistem pembayaran upah sewa traktor dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: (a) bayar langsung, (b) ada tenggang waktu, umumnya sekitar satu minggu, (c) bayar setelah tanam, dan (d) bayar setelah panen. Tidak ada perbedaan upah antara keempat cara pembayaran tersebut, sistem pembayaran yang umum dilakukan petani adalah bayar setelah tanam. Sistem pembayaran mencakup beberapa alternatif, yaitu: (a) Bayar tunai dengan biaya yang lebih rendah dari pasaran umum, yaitu Rp 300.000/ha; (b) Bila pembayaran 50 persen tunai, nilai sewa diperhitungkan sebesar Rp 350.000/ha; (c) Bila pembayaran sewa traktor dilakukan setelah panen (yarnen), maka nilai sewa sebesar Rp 400.000/ha yakni sama dengan nilai sewa tunai bila menyewa traktor diluar kelompok tani. Sistem hubungan kerja antara pemilik traktor dan operator sebagian besar adalah bagi hasil (dengan proporsi yang bervariasi), sementara sistem hubungan kerja harian ditemui di Kabupaten Majalengka. Pembagian hasil antara pemilik traktor dan operator di Kabupaten Indramayu dan Majalengka, pemilik memperroleh 70 persen dari pendapatan kotor dengan kewajiban menanggung biaya operasional dan operator memperoleh 30 persen dari pendapatan kotor. Di Majalengka, pada sistem harian upah operator traktor umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan upah harian tenaga kerja pertanian. Hal ini dapat dimengerti karena operator traktor memerlukan keahlian tersendiri. Satu unit traktor tangan (hand tractor) dioperasikan oleh dua orang operator, dengan upah harian sebesar Rp 30.000/hari/orang. Jam kerja operator umumnya sekitar 12 jam per hari. Pada musim-musim mendesak tanam biasanya harus kerja lembur pada malam hari. Upah kerja malam diperhitungkan setara dengan kerja siang hari. Apabila dibandingkan antara sistem bagi hasil dan harian, kedua sistem relatif sama, hanya saja sistem bagi hasil lebih mendorong operator untuk bekerja keras dibandingkan dengan sistem harian. Pembayaran kepada operator, baik dengan sistem harian maupun bagi hasil dilakukan setelah pemilik traktor memperoleh pembayaran dari penyewa, yang
279
umumnya dibayar setelah kegiatan tanam selesai. Namun dimungkinkan operator mengambil uang muka jika memerlukan dari pengusaha traktor. Di Klaten ditemui dua variasi sistem bagi hasil, yang pertama pemilik memperoleh 60 persen dari pendapatan kotor dengan kewajiban menanggung biaya operasional (seperti halnya di Kediri), dan yang kedua baik pendapatan kotor maupun biaya operasional dibagi dua masing-masing 50 persen. Berbeda dengan Klaten dan Kediri, di Ngawi dan Agam, pemilik maupun operator sama-sama memperoleh 50 persen dari pendapatan kotor dan sementara biaya operasional ditanggung oleh operator. Di kabupaaten Sidrap, pemilik memperoleh 70-80 persen dari pendapatan kotor dengan kewajiban menanggung biaya operasional, dan operator memperoleh 20–30 persen dari pendapatan kotor. Perbedaan hasil yang diterima operator tergantung oleh tingkat kesulitan pengolahan lahan. Apabila tingkat kesulitan pengolahan lahan cukup tinggi, operator akan memperoleh bagi hasil yang lebih tinggi dan sebaliknya. Sistem hubungan kerja di tujuh kabupaten contoh ditampilkan pada Tabel 11. Analisis Finansial Usaha Traktor Keuntungan usaha jasa traktor antara lain dipengaruhi oleh nilai sewa traktor, tenaga traktor (PK), umur traktor, jumlah traktor yang beroperasi dan ketrampilan operator. Analisis finansial usaha jasa traktor di beberapa desa contoh (Tabel 12) menunjukkan bahwa usaha jasa traktor masih memberikan keuntungan per ha berkisar antara Rp.120.000–Rp.390.000. Penerimaan bersih yang cukup tinggi terjadi untuk kasus di Kabupaten Agam, hal ini diduga disebabkan karena ongkos traktor yang relatif tinggi. Pada kasus di Kabupaten Agam, ongkos traktor dibayar secara harian, sebesar Rp 70.000 per hari, dengan kapasitas olah 0,3 ha per hari dan diperlukan tiga kali pengolahan untuk sampai siap tanam. Dengan demikian ongkos traktor sebesar Rp.210.000/0,3 ha atau Rp 630.000/ha. Sementara usaha jasa traktor dengan penerimaan bersih per ha yang terkecil terjadi pada kasus di Kabupaten Kediri. Hal ini antara lain disebabkan karena, proporsi bagi hasil operator di Kabupaten Kediri relatif besar yaitu 40 persen dari pendapatan kotor, sementara di Indramayu dan Majalengka hanya 30 persen.
280
Tabel 11. Sistem Hubungan Kerja antara Pemilik dan Operator Traktor Tahun 2002 Lokasi penelitan, alternatif
Siste m
Bagian (%) Pe mili Operator k
Tanggu ngan biaya OP
Bagi hasil -
7 0 -
30 -
Pemilik -
Rp 3000/hr/ org
Pemilik
30
Pemilik
40 50
Pemilik Pemilik +Ope
Indramayu, Jawa Barat a. Sistem I b. Sistem II Majalengka, Jawa Barat a. Sistem I b. Sistem II Klaten, Jawa Tengah a. Sistem I b. Sistem II Kediri, Jawa Timur a. Sistem I b. Sistem II Ngawi, Jawa Timur a. Sistem I b. Sistem II Agam, Sumatera Barat a. Sistem I b. Sistem II Sidrap, Sulawesi Selatan a. Sistem I b. Sistem II
Haria n Bagi hasil
7 0
Bagi hasil Bagi hasil
6 0 5 0
Bagi hasil
6 0
40
Pemilik
-
-
-
-
50 -
50 -
Operat or -
Bagi hasil -
50
50
-
-
Operat or -
Bagi hasil -
70 80 -
20 - 30 -
Pemilik -
Bagi hasil -
Sumber: Data primer (diolah), 2002
Tabel 12. Analisis Finansial Usaha Jasa Traktor per Ha di Beberapa Kabupaten Contoh, Tahun 2002
Uraian
Penerimaan kotor (Rp) Biaya-biaya (Rp) :
Indram ayu
Kabupaten Majalen gka Kediri
Agam
280.0 00
420.0 00
315.00 0
630.00 0
a. Solar
19.50 0
22.75 0
33.000
63.518
b. Olie
3.600
6.750
2.100
10.318
84.00 0
126.0 00
140.00 0
315.00 0
18.00 0
26.25 0
9.770
6.121
e. Penyusutan
14.06 2
36.48 6
20.571
89.763
f. Total biaya
139.1 62
218.2 36
205.44 1
484.72 0
140.8 38
201.7 64
109.55 9
145.28 0
c. Operator d. Perbaikan/Perawa tan
Penerimaan bersih (Rp)
281
Kapasitas olah atau kemampuan mengolah lahan dari traktor contoh bervariasi dari 8,86 – 43,5 ha, sehingga keuntungan usaha jasa traktor per musim berkisar antara Rp 3,46 – Rp 5,63 juta. Kasus di Kediri, walau penerimaan bersih per hektar relatif kecil namun penerimaan per musimnya cukup besar. Hal yang sama dikemukakan oleh Simatupang (1995) dan Soentoro (1998), dimana usaha jasa traktor milik perorangan di Deli Serdang, Karawang, Subang, Ciamis, Indramayu, Ngawi, Jember, Wajo dan Sidrap masih memberikan keuntungan dan layak diusahakan. Lebih lanjut Simatupang (1994) mengemukakan bahwa dengan adanya kenaikan harga solar keuntungan pemilik jasa traktor bertambah. Fenomena ini mengindikasikan bahwa kenaikan ongkos sewa traktor akibat kenaikan harga solar seluruhnya ditanggung oleh petani. Kinerja pengusahaan traktor di beberapa kabupaten contoh adalah sebagai berikut: (1) Wilayah operasi traktor mencakup beberapa desa dalam satu kecamatan yang sama atau di luar kecamatan yang berbatasan; (2) Masa operasi dalam satu musim pengolahan tanah kurang lebih 20-30 hari, bahkan ada yang 30 hari siang dan malam (kasus di Indramayu kalau terjadi kekurangan traktor); (3); Kemampuan olah traktor per hari (7 JK) bervariasi antara 0,3 –0,6 ha sampai siap tanam dan (4) Traktor bersifat serbaguna, di samping untuk membajak juga dapat dimanfaatkan sebagai alat pengangkut saprodi dan hasil pertanian. KELEMBAGAAN JASA THRESHER Dalam usahatani padi, thresher merupakan alat untuk merontokkan padi menjadi gabah. Alat ini merupakan alat bantu bagi tenaga kerja untuk memisahkan gabah dengan jeraminya. Terdapat variasi kegiatan dalam penggunaan thresher. Di beberapa desa penggunaan thresher menjadi satu kesatuan dengan tenaga kerja panen, namun di desa lain penggunaan thresher tidak menyatu dengan tenaga pemanen. Terdapat dua jenis thresher berdasar alat penggeraknya yaitu: (1) digerakkan secara manual dengan menggunakan pedal (selanjutnya disebut thresher pedal); dan (2) digerakkan dengan mesin (selanjutnya disebut power thresher).
282
Penggunaan thresher untuk merontok padi tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan varietas unggul baru berumur pendek dan mudah rontok. Penggunaan thresher di Jawa Tengah diawali dengan penggunaan sabit untuk memanen dan merontok padi dengan memukulkan batang padi, kemudian berkembang perontok manual (thresher pedal) dan penggunaan alat ini terkait erat dengan adanya sistem tebasan dalam penjualan padi (Soentoro, 1998). Sementara itu berdasar studi Soentoro tersebut, penyebar luasan thresher di Jawa Timur diawali adanya kelompok panen dan adanya sistem hubungan kerja kedokan. Sedangkan di Sulawesi Selatan, jenis thresher yang berkembang hampir seluruhnya berupa power thresher dan hal ini diikuti oleh tumbuhnya kelompok panen yang diorganisasikan oleh pemilik thresher. Partisipasi Pengguna Jasa Thresher Tingkat partisipasi petani pengguna jasa thresher di tujuh kabupaten lokasi penelitian dapat disimak pada Tabel 13 dan Tabel 14, masing-masing untuk partisipasi penggunaan thresher pedal dan penggunaan power thresher. Dari tabel tersebut terlihat bahwa tingkat partisipasi pengguna thresher di desa-desa penelitian bervariasi antar musim dan antar lokasi, secara umum partisipasi pengguna jasa power thresher lebih tinggi dari pada pengguna pedal thresher. Untuk jenis thresher pedal (Tabel 13) pada musim hujan, alat ini digunakan sekitar 20 persen sampai 47 persen petani di desa-desa contoh Kabupaten Ngawi, sementara di Kabupaten Agam tingkat partisipasi petani yang memakai pedal thresher sekitar 17 sampai 53 persen, sedangkan di Kabupaten Sidrap partisipasi yang menggunakan jasa pedal thresher sekitar enam persen sampai 32 persen. Pada musim kemarau, partisipasi petani pengguna jasa pedal thresher di Kabupaten Ngawi, Agam dan Sidrap berturut-turut rataannya sebesar 24, 24 dan 29 persen, sementara di Kabupaten Klaten partisipasi petani pengguna alat ini sebesar 23 persen. Petani contoh di desa-desa di Kabupaten Indramayu, Majalengka dan Kediri baik pada musim hujan maupun kemarau tidak menggunakan pedal thresher. Di desa-desa penelitian Indramayu dan Majalengka perontokan padi masih menggunakan tenaga manu-
sia dengan membanting atau istilah lainnya adalah digebot. Berbeda keragaannya untuk pengguna jasa power thresher, pengguna jasa ini pada musim hujan secara rataan di Kabupaten Klaten, Kediri, Ngawi, Agam dan Sidrap bertu-
283
Tabel 13. Tingkat Partisipasi Pengguna Thresher Pedal di Tujuh Kabupaten Contoh, Menurut Ketersediaan Air, 2002 (%) Ketersediaan air Musim/kabupat Kuran Tadah Rataa Sedan en Baik n hujan g g Musim hujan Indramayu Majalengka
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
Klaten
0
0
0
24
Kediri Ngawi
0 2 0 3 3 6
0 22
31
0 4 7 2 1 6
8 6 0 2 7 1 7 2 4
Indramayu
0
0
0
0
0
Majalengka
0
0
0
0
0
Klaten
0
0
6
23
Kediri
0
0
0
7 6 0
Ngawi
2 0 3 3 9
11
4 3 1 3 0
2 9 0
24
5 0
24
Agam Sidrap
53
0 29 31 16
Musim kemarau
Agam Sidrap
54 50
0
29
Tabel 14. Tingkat Partisipasi Rumahtangga Pengguna Power Thresher di Kabupaten Contoh, Menurut Ketersediaan Air, Tahun 2002 (%) Ketersediaan air Musim/kabupaten
Baik Sedang Kurang
Tadah Rataan hujan
Musim hujan Indramayu Majalengka Klaten Kediri Ngawi Agam Sidrap Musim kemarau Indramayu Majalengka Klaten Kediri Ngawi Agam Sidrap Sumber: Data primer (diolah), 2002
284
0 0 63 93 80 7 89
0 0 53 93 0 0 63
0 0 75 29 53 0 100
0 0 0 0 0 0 76
0 0 43 60 32 2 82
0 0 81 90 80 0 91
0 0 50 100 16 8 50
0 0 63 17 57 0 100
0 0 0 0 0 0 50
0 0 48 80 37 2 76
turut-turut sebesar 43 persen, 60 persen, 32 persen, dua persen dan 82 persen. Rendahnya partisipasi pengguna alat ini di Kabupaten Agam karena desa beririgasi baik (Desa Gumarang, Kecamatan Palembayan) thresher yang umum digunakan adalah pedal thresher. Di Kabupaten Indramayu dan Majalengka power thresher juga tidak digunakan oleh petani contoh di desa-desa penelitian. Pada musim kemarau, partisipasi pengguna jasa power thresher di Kabupaten Klaten, Kediri, Ngawi, Agam dan Sidrap berturut-turut sebesar 48 persen, 80 persen, 37 persen, 2 persen dan 76 persen. Dibandingkan dengan studi yang dilakukan oleh Darwanto (1998) partisipasi pengguna jasa power thresher di desa-desa di lima kabupaten penelitian tersebut menujukkan adanya peningkatan.Hasil studi Darwanto secara nasional, rata-rata pengguna jasa power thresher pada tahun 1993 baru mencapai sekitar 26,5 persen. Padahal berdasar hasil studi Reddy et al. (1985) dalam Pakpahan et al. (1990) penggunaan mesin perontok padi dapat menurunkan penggunaan tenaga kerja panen sebesar 32,6 persen atau sekitar 10 persen dari total tenaga kerja dalam usahatani padi. Sementara itu studi Soentoro (1998) menyebutkan bahwa penggunaan thresher oleh petani di Kabupaten Jombang dapat meningkatkan hasil produksi (karena menekan kehilangan hasil) antara lima sampai delapan kuintal per hektar. Ada beberapa alasan yang dikemukakan petani mengapa tidak menggunakan jasa perontok padi. Di desa-desa contoh Kabupaten Indramayu misalnya, petani mengatakan bahwa penggunaan jasa perontok padi akan mengurangi pendapatan para buruh panen dimana sebagian besar para buruh tersebut juga para tetangga pemilik sawah. Penggunaan jasa perontok padi dikawatirkan oleh para pemilik lahan akan dapat mengurangi ‘rezeki’ tetangga. Selain itu, perontokan padi dengan alat tidak dapat dilakukan oleh seluruh tenaga kerja yang ada dalam kelompok pemanen karena dalam satu kelompok umumnya hanya digunakan satu alat perontok. Hal ini menurut para pemanen kurang sesuai, bila padi digebot maka semua tenaga pemanen dapat melakukan kegiatan tersebut secara bersama-sama. Berbeda dengan di Kediri, kurang berkembangnya thresher di desa contoh tadah hujan di Kabupaten Kediri mengingat petani menghadapi masalah dalam penyediaan rumput alam untuk ternaknya, sehingga kekurangannya
disuplai dari jerami bekas panen. Menurut petani, jerami dari panen yang menggunakan thresher tidak disukai ternak sapi karena bau oli dan mesin. Sistem Pembayaran dan Harga Jasa Thresher Secara umum penggunaan thresher dalam operasinya dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) thresher merupakan satu kesatuan dalam kelompok kerja pemanen, dan (2) usaha jasa thresher terpisah dengan kelompok pemanen. Pada usaha thresher yang (1) dapat pula diartikan bahwa kelompok kerja pemanen padi melakukan kegiatan menyabit, merontok dan atau tidak mengangkut. Sementara pada usaha jasa thresher yang (2) berarti para tenaga pemanen hanya berkewajiban menyabit padi, sedangkan perontokan dilakukan oleh pemilik thresher dimana dalam operasionalnya para pemilik ini mempercayakan pengoperasiannya kepada para operator. Di Kabupaten Ngawi, pengupahan mesin perontok gabah tersebut umumnya diperlakukan sebagai tim kerja dalam tenaga pemanen dengan bagi hasil perolehan gabah (bawon) yang bervariasi antar desa. Di desa Tawun (desa irigasi setengah teknis atau ketersediaan air sedang) alat perontok ini mendapat dua bagian untuk pedal thresher, dan tiga bagian untuk power thresher (satu bagian untuk alat, satu bagian untuk operator dan satu bagian untuk bahan bakar atau solar). Di desa Kasreman (desa irigasi teknis atau ketersediaan air baik), bagian untuk alat perontok (power thresher) adalah lima bagian. Perolehan bawon dalam kelompok tenaga kerja pemanen dibagi rata antar pekerja dan power thresher mendapat bagian setara dengan lima orang tenaga kerja. Hubungan Kerja Pemilik Power Thresher dan Kelompok Pemanen Kasus usaha jasa power thresher di desa irigasi tektis Kabupaten Ngawi alat yang dipakai adalah sebuah power thresser Mitsubishi yang dibeli tahun 2001 dalam kondisi bekas dengan harga Rp.1.250.000. Erek dan terpal tahun 1998 dibeli dengan harga masing-masing Rp 80.000 dan Rp.75.000. Kelompok pemanen berjumlah 25 orang (24 orang didatangkan dari luar desa ditambah satu orang pemilik thresher yang ikut sebagai pekerja pemanen). Dari 25 orang tersebut, enam orang diantaranya adalah wanita. Pekerja didatangkan dari luar desa yaitu Desa
285
Panekan Kabupaten Magetan dengan biaya transportasi Rp3.000 per orang dan ditanggung oleh masing-masing pekerja. Pekerja ini sudah menjadi tim yang tetap setiap musim panen padi di Ngawi. Selama bekerja di Kasreman, para pekerja menginap di rumah pemilik thresher, sedangkan makanan mereka ditanggung oleh pemilik lahan yang sawahnya dipanen para pekerja tersebut (sistem bawon yang berlaku ditambah makan tiga kali dan kopi serta makanan ringan). Berdasarkan sistem yang berlaku, dari jumlah bawon yang diterima akan dibagi menjadi 30 bagian, masing-masing orang memperoleh satu bagian sedangkan power thresher memperoleh lima bagian (jika pedal thresher biasanya tiga bagian). Rata-rata thresher bisa memperoleh sekitar dua sampai tiga kuintal GKP pada MH dan sekitar dua kuintal pada MK1 (selama10 hari dalam satu musim panen). Jika dilihat dari luasan, masing-masing pekerja panen dari luar desa tersebut memperoleh sekitar 50 kg GKP per ha lahan. Pada MK2 kelompok panen tidak aktif karena hanya sedikit petani yang menanam padi. Secara umum tenaga pemanen dapat memperoleh 150 kg GKP/musim (10 hari). Gabah yang diperoleh pekerja jarang sekali yang dijual. Mereka biasanya pulang dengan menyewa truk seharga Rp.120.000 karena harus membawa gabah. Dalam keseharian, para pekerja dari Desa Panekan tersebut mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok. Gabah yang diperoleh dari berburuh panen baru akan dikonsumsi jika sudah tiba musim panen berikutnya atau saat akan bekerja panen lagi. Menurut informasi pemilik thresher terlihat adanya perasaan bangga dan terhormat dari para pekerja tersebut saat bisa mengkonsumsi beras. Saat ini lebih banyak ditemukan power thresher dalam kegiatan panen di wilayah Ngawi, setidaknya di desa Kasreman, sedangkan penggunaan pedal thresher hampir hilang. Pedal dipandang kerja lebih lambat sehingga produktivitas alat sangat rendah. Akibatnya perolehan upah pada sistem bertani serentak sekarang ini akan lebih kecil. Artinya, inovasi power thresher dapat meningkatkan produktivitas pekerja dan memperpendek masa panen per musim. Di Klaten, untuk merontokkan padi umumnya sudah menggunakan perontok mesin (power thresher), kecuali di desa Ngerangan
286
(desa tadah hujan) masih menggunakan perontok manual (pedal threhser). Sistem upah untuk merontokkan dengan mengggunakan power thresher umumnya borongan. Ada variasi sistem upah borongan antar lokasi contoh, misalnya upah merontok di desa contoh irigasi teknis berlaku borongan per satuan luas. Sedangkan di desa contoh irigasi setengah teknis, sederhana dan tadah hujan menggunakan sistem borongan per satuan berat. Hal ini nampaknya terkait dengan tingkat homogenitas dari hasil panen, dimana pada lahan sawah tipe irigasi teknis tingkat produktivitas relatif homogen dibandingkan pada tipe irigasi lainnya. Seperti halnya traktor, ketersediaan thresher di dalam desa-desa penelitian di Kabupaten Klaten tidak mencukupi untuk melayani kebutuhan dalam desa karena saat panennya hampir bersamaan. Penggunaan thresher ini baru dimulai sekitar tahun 1980-an, dan mulai berkembang pesat setelah tahun 1990-an. Sebelumnya petani menggunakan sistem gebot. Perubahan teknologi tersebut umumnya tidak merubah sistem bawon yang berlaku. Dari sisi pemilik lahan ada tambahan biaya sewa alat perontok, dan ini dikompensasi dengan kehilangan hasil (tercecer) yang relatif lebih rendah dan waktunya lebih singkat. Di desa-desa penelitian di Kabupaten Sidrap, pembagian insentif kelompok pemanen (termasuk perontokan dengan power thresher) adalah sebagai berikut: (1) Biasanya jumlah anggota kelompok kerja panen terdiri dari 6-12 orang operator mesin dan 24 - 48 orang tukang sabit dan angkut; (2) Sebelum hasil dibagi maka dikeluarkan dulu untuk mesin yaitu sebesar 20 persen dari hasil; (3) Selanjutnya dari 80 persen hasil tersebut dikeluarkan dalam bentuk uang Rp. 3.000/orang khusus kepada operator (mesin sebagai pembeda dengan anggota lainnya); (4) Sisa hasil selanjutnya dibagi kepada seluruh anggota penderos (kelompok pemanen) dengan bagian yang sama antara operator, penyabit maupun tenaga angkut. Adanya mesin perontok di desa-desa contoh di Kabupaten Kediri mendorong berkembangnya sistem panen tebasan ataupun borongan. Dalam penggunaan thresher, umumnya menggunakan sistem upah borongan. Di Kabupaten Kediri sistem tebasan sudah mendominasi petani dalam menjual hasil panennya. Sekitar 50 - 70 persen petani menjual padinya dalam bentuk tebasan. Kecuali petani pada lahan sawah tadah hujan, penggunaan thresher
hampir 100 persen terutama pada MH. Sedangkan pada petani lahan tadah hujan penggunaan thresher baru mencapai 10,0 persen, dan sisanya sebanyak 90 persen petani melakukan pemanenan secara manual atau digebot. Analisis Finansial Usaha Jasa Power Thresher Kasus usaha jasa thresher di Desa Balai Ahad, Kecamatan Lubuk Basung dan Desa Gumarang,Kecamatan Palembayan Kabupaten Agam diuraikan sebagai berikut. Responden di Desa Balai Ahad memiliki dua buah power thresher dengan kekuatan masing-masing 4.5 PK. Mesin pertama dibeli 12 tahun yang lalu seharga Rp 800.000 dan diperbaiki menghabiskan biaya Rp 2,5 juta; sementara mesin lainnya merk Yanmar dibeli tahun 2002 seharga Rp 8 juta (diperkirakan umur teknisnya 6 – 7 tahun, nilainya tinggal 10 persen dari harga beli). Hari kerja efektif power thresher adalah lima hari/minggu dan masa kerja hampir sepanjang tahun mengingat sistem panen padi yang tidak serentak. Upah perontokan dalam bentuk natura, dalam satu hari kerja (jam 8.00 – 16.00) dapat merontok 1000 liter GKP dengan upah bersih sebesar 50 liter GKP. Upah merontok dengan mesin ini adalah setiap 100 liter gabah upahnya 11 liter gabah. Dari hasil upah tersebut dibagi dua (50:50) dengan operator yang terdiri dari tiga orang tenaga tetap. Dengan sistem upah seperti ini adalah logis pengakuan pemilik mesin bahwa dengan kapasitas mesin 1000 liter GKP per hari dapat menghasilkan pendapatan bersih 50 liter GKP. Biaya operasional untuk power thresher ini adalah sebagai berikut: solar 7 liter/hari @ Rp 1.600/lt; olie setiap 5.000 liter gabah (lima hari kerja) sebanyak satu liter = Rp 14.000,/lima hari; servis untuk gigi dan las Rp 50.000/ 2bulan dan tali karet Rp 22.000,-/3bulan. Menurut pengakuan pak Abdul usaha jasa perontok padi ini lebih menguntungkan dibanding usaha jasa traktor. Di Kampung Sawah desa Balai Ahad mesin perontok padi ini hanya dua buah, namun di saat banyak panenan beroperasi pula dua mesin perontok dari desa lain yang masuk ke Desa Balai Ahad dengan sistem dan tingkat upah yang sama. Dengan adanya sistem upah harian pada kegiatan panen dan merontok dengan menggunakan mesin perontok, maka biaya panen menjadi lebih tinggi di banding dengan provinsi lainnya. Karena sewa mesin perontoknya saja
sudah hampir sama dengan upah bawon di Jawa yaitu 9:1 atau 10:1. Yang agak mengherankan adalah bahwa penggunaan mesin perontok tidak sejalan dengan kualitas irigasi, sehingga tidak pernah didapatkan pada daerah irigasi teknis kecamatan Palembayan digunakan mesin perontok, tetapi mereka hanya menggunakan tangan dengan cara dipukul-pukul dan diiles-iles. Khusus pada Desa Balai Ahad upah diberikan berbeda dengan di desa lainya yaitu (a) 100 sukat padi diberikan upah sebesar 7,5 sukat untuk merontok dan (b) 100 sukat padi diberikan 11 sukat untuk menyabit dan merontok. Sedangkan di IV Angkat Candung untuk setiap satu sumpit GKP maka upah rontoknya 4,3 kg GKP (0,2%). Analisis usaha jasa thresher di Desa Balai Ahad secara ringkas dapat disimak pada Tabel 15. Tabel 15. Analisis Jasa Penyewaan Thresher per Hari di Desa Balai Ahad, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Tahun 2002 Uraian Penerimaan: 165 kg GKP @ 1000 Biaya-biaya: Solar: 7 liter per 1500 kg Oli: 1 liter per 7500 kg Servis: Rp 50000/2 bulan Tali karet: Rp 22000/3 bulan Penyusutan: Operator: 50% dari hasil kotor Total biaya: Keuntungan R/C
Nilai (Rp/hari) 165.000 11.200 2.800 1.250 367 3.956 82.500 102.073 62.927 1,6
Sumber: Data primer (diolah), 2002 Catatan: 1. Tingkat upah: 11% dari hasil; 2. Kemampuan merontok: 1000 sukat (1500 kg) GKP per hari (08.00-17.00); 3. Upah operator: 50% dari hasil kotor; 4. Hari kerja: 5hari per minggu, sepanjang tahun; 5. Harga pembelian: Rp 8000000,-; 6. Umur ekonomis: 7 tahun; 7. Nilai sisa: Rp 800000,-
Kasus usaha jasa power thresher di Desa Kasreman, Kabupaten Ngawi, menunjukkan bahwa dalam kegiatan perontokan dibutuhkan 4 liter solar dan 0,25 liter oli per ha lahan. Biaya operasional ini ditanggung oleh pemilik thresher. Selama dua tahun pemilik mengeluarkan biaya perbaikan sebanyak Rp 700.000. Dari analisis finansial yang ditampilkan pada Tabel 16 terlihat bahwa usaha jasa power thresher di desa ini layak untuk diusahakan, dengan tingkat
287
keuntungan sekitar Rp. 94.745 per ha atau sekitar Rp.663.215 per musim, dengan hari kerja sekitar 10 hari per musim. Relatif kecilnya keuntungan usaha jasa power thresher lebih disebabkan karena sempitnya waktu panen. Tabel 18. Analisis Jasa Penyewaan Thresher per ha di Desa Kasreman, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi, 2002 Uraian Penerimaan: 600 kg GKP @ 1050 Biaya-biaya: Solar: 4 liter Oli: 0.25liter Servis Penyusutan: Tenaga kerja panen Total biaya: Keuntungan R/C
Nilai (Rp/hari) 630.000 6.000 2.875 760 610 525000 535245 94745 1.18
Sumber: Data primer (diolah), 2002 Catatan: 1. Tingkat upah (bawon): 10% dari hasil 2. Kemampuan merontok: 7 ha per musim 3. Upah tenaga kerja panen : 83.3 bagian, alat 16,7 bagian dari bawon 4. Hari kerja: 10 hari per musim 5. Harga pembelian: Rp 1250000, peralatan tambahan Rp 155000 6. Umur ekonomis: 5 tahun 7. Nilai sisa: 0 8. Produktivitas : 60 kw per ha
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 1. Kecenderungan menurunnya tenaga kerja sektor pertanian disatu sisi, dan di sisi lain terjadinya perubahan lingkungan dan sosial ekonomi seperti meningkatnya daya beli dan masuknya impor alat dari negara Cina, telah mendorong penggunaan mekanisasi pada usaha tani, khususnya usahatani padi. Alsintan yang berkembang di tujuh lokasi penelitian adalah pompa, traktor, thresher. Penggunaan alsintan yang sudah hampir merata di semua lokasi penelitian adalah traktor, namun tingkat perkembangannya berbeda antar lokasi seperti di Indramayu dan Sidrap lebih cepat dibanding daerah lainnya. Di desa kabupaten ini tingginya penggunaan alsintan (terutama traktor) didorong oleh luasnya lahan sawah dan terbatasnya tenaga kerja untuk kegiatan usahatani di kedua wilayah tersebut. Namun demikian ketersediaan sarana pendukung pengembangan traktor (bengkel dan suku cadang) di tingkat desa terbatas. Implikasi
288
dari temuan ini adalah perlu didukung kebijakan yang kondusif untuk mengembangkan sarana pendukung traktor tersebut. Untuk irigasi pompa, pengembangannya terkait dengan kualitas sumberdaya fisik (tanah dan air) di masing-masing wilayah. Namun demikian mengingat secara finansial pengusahaan pompa untuk irigasi relatif mahal, diperlukan dukungan permodalan bagi petani yang menghadapi kendala modal. Sementara itu untuk thresher, karena alat ini berperan signifikan dalam menekan kehilangan hasil, maka pengembangannya perlu didorong pada tingkat petani. Namun demikian karena adopsi thresher ini terkait dengan kelembagaan hubungan kerja, maka dalam pelaksanaan pengembangannya perlu melibatkan tokoh masyarakat agar perubahan terjadi secara gradual. 2. Penggunaan pompa dan thresher belum merata, seperti di Kabupaten Agam, di desa contoh tidak ditemukan adanya penggunaan pompa. Sementara itu, thresher tidak berkembang secara merata. Secara umum di Kabupaten Indramayu dan Agam thresher kurang berkembang dibandingkan dengan di Klaten, Kediri dan Ngawi. Hal ini dipengaruhi oleh sistem pemasaran, sistem hubungan kerja dan budaya setempat. 3. Pada saat ini, belum diadopsinya sebagian jenis alsintan, seperti pompa, traktor atau thresher pada daerah tertentu lebih banyak disebabkan oleh faktor teknis, seperti topografi, petakan lahan yang sempit, masa panen tidak serempak, sumber air sadapan dan modal petani. Pada kondisi tertentu, misalnya pengembangan pompa diakibatkan oleh keterbatasan sarana irigasi, secara otomatis inisiasi pengadaan pompa akan mengarah pada pembiayaan swadaya oleh petani, namun biasanya terkendala oleh modal. Implikasi dari temuan ini perlu adanya dorongan dari pihak lain baik swasta maupun pemerintah untuk memecahkan masalah permodalan alsintan berupa: (a) Bantuan permodalan pengadaan alsintan ditingkat petani; (b) Pengembangan sistem sewa yang adil antara pemilik alsintan dan petani. 4. Dari sisi finansial usaha jasa alsintan terutama pompa, traktor dan thresher, masih menunjukkan indikasi adanya kelayakan
usaha yang memadai. Seperti terlihat nilai R/C berkisar antara 1,2 – 2,0. Hal ini berarti tingkat keuntungan usaha alsintan berkisar antara 20 – 100 persen dari biaya yang dikeluarkan per satuan waktu. Begitu pula secara nominal tingkat keuntungan usaha alsintan relatif masih tinggi, seperti usaha traktor antara Rp 1,2 – Rp. 5,6 juta per musim, usaha pompa berkisar antara Rp. 1,6– 4,9 juta per musim dan usaha thresher berkisar antara Rp 663 ribu – Rp. 4,8 juta per musim. Implikasiny adalah bahwa usaha jasa alsintan masih layak dikembangkan oleh investor/penanam modal terutama di wilayah-wilayah yang usaha jasa alsintannya belum berkembang. DAFTAR PUSTAKA Al Sri Bagyo. 1983. Pengaruh Mekanisasi Terhadap Produksi dan Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Sawah Di Jawa Barat. Dalam. Konsekuensi Mekanisasi Pertanian di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Agro-Ekonomi. Bogor. Colter, J. M. 1983. Pendapatan dan Kesempatan Kerja Buruh Migran di Mariuk dan Tambak Dahan, Subang, Jawa Barat. Dalam. Konsekuensi Mekanisasi Pertanian di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Agro-Ekonomi. Bogor. Darwanto, H. D. 1998. Dampak Mekanisasi Pertanian Terhadap Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan. Dalam. Perspektif Pemanfaatan Mekanisasi Pertanian Dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. P:72-85. Djauhari, A dan Gatoet S. H. 1999. Investasi Irigasi Pompa: Urgensi Pengembangan, Motivasi Petani dan Faktor Determinan. Dalam. Pasaribu, S.M. dkk. 1999. Prosiding Seminar. Perspektif Keswadayaan Petani dalam Pengembangan Irigasi Pompa. Hasil Kerjasama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor. Hafsah, J dan Ma’mun, Y. 1983. Pemilikan dan Pengusahaan Traktor di Sulawesi Selatan. Dalam. Konsekuensi Mekanisasi Pertanian di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian AgriEkonomi. Bogor. Karim Saleh, A. 1983. Pola Penggunaan Traktor Kecil Pertanian di Sulawesi Selatan. Dalam. Konsekuensi Mekanisasi Pertanian di Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor. Pakpahan, A., Sumaryanto, Hendiarto dan S. Friyatno. 1992. Studi Kebijaksanaan Irigasi Pompa di Indonesia. Hasil Kerjasama Penelitian Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Pakpahan, A. F. Kasryno, A. Djauhari dan C. Saleh. 1990. Diversifikasi Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Puslit
Sosial Ekonomi Pertanian. 1991. Studi Kebijaksanaan Nasional Irigasi Pompa di Jawa. Kerjasama Penelitian antara The Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Silvia K, Rr. 1993. Viabilitas Finansial Pemakaian Irigasi Pompa Pada Sawah Tadah Hujan (Studi Kasus Desa Sidorejo, Kecamatan Kedung Tuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah). Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Simatupang, P; A. Purwoto; B. Santoso; Hendiaarto, Supriyati; S.H. Susilowati; V. Siagian; B. Prasetyo; E. Ariningsih; E.E. Ananto dan J. Situmorang. 1995. Pola Pengembangan Mekanisasi Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonmi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Simatupang, P; D.H. Darmawan; A. Purwoto; V.T. Manurung; Supriyati, S.H. Susilowati; Hendiarto; V. Siagian dan J. Situmorang. 1994. Dampak Deregulasi Sektor Riil Terhadap Produksi dan Produktivitas Sektor Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Siregar, M. 1983. Dampak Penggunaan Traktor Terhadap Kesempatan Kerja. Dalam. Konsekuensi Mekanisasi Pertanian di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor. Soentoro. 1998. Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Tinjauan Aspek Ekonomi dan Kelembagaan. Dalam. Perspektif Pemanfaatan Mekanisasi Pertanian Dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. P:26-36. Sumaryanto; S. Friyatno dan A. Pakpahan. 1995. Adaptasi dan Inovasi Kelembagaan Dalam Sistem Irigasi Pompa: Studi Kasus di Subang, Gunung Kidul, Kediri dan Pamekasan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. FAE. Vol. 13 No. 1, Juli 1995. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Taher, A. 1998. Prospek Pengembangan Alsintan di Sumatera Barat. Dalam. Erwidodo et al. 1998. Prosiding Perspektif Pemanfaatan Mekanisasi
289
Pertanian Dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Todaro, M.P. 1983. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Alih Bahasa : Aminuddin dan Mursid. Ghalia Indonesia. Jakarta.
290