Negara para budak? “Ketika negara tidak lagi hadir, rakyat kesulitan mencari pelabuhan harapan. Ketika negara tidak lagi tampil membela, rakyat pun apatis terhadapnya. Dan ketika sang pemimpin tidak lagi mendengar jeritan kaum papa, revolusi hanyalah soal waktu”
Sekitar delapan tahun lalu, dalam sebuah forum World Social Forum (WSF) di Paulo Alegre, Brazil, Presiden Luis Inazio da Silva atau “Lula” mengungkapkan bahwa ia bermimpi suatu hari nanti semua rakyat Brazil mempunyai tanah, tidak ada lagi anak yang bangun pagi dengan ketakutan karena tidak lagi mendapat sarapan pagi, tidak ada lagi anak kekurangan gizi, rakyat mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan dengan mudah dan murah, dan suatu hari nanti akan terbangun masyarakat penuh solidaritas, ketulusan, setara, dan adil. Pidato tersebut adalah reaksi spontan Presiden Lula atas kondisi kehidupan negara miskin yang semakin terpuruk di era globalisasi. Kemiskinan, ketimpangan pendapatan, keadilan hukum, dan jeratan hutang yang menggangu sustainabilitas dan kemandirian negara adalah fenomena nyata betapa globalisasi dan kapitalisme hanya menyisakan luka bagi sebagian orang di kasta terbawah piramida kehidupan (bottom of the pyramid). Praktis, kedigdayaan para negara maju (AS, Jepang, dan negara Eropa) tak tertandingi dan semakin tak manusiawi mencaplok aset strategis bangsa lain. Hampir tidak ada kekuatan penyeimbang, karena mayoritas negara Asia dan Amerika Latin saat itu baru sembuh dari era krisis ekonomi terburuk sepanjang sejarah, sedangkan Rusia belum terlalu kuat setelah ditempa krisis politik yang membenamkan negara bernama Uni Soviet. Saat berpidato di WSF tersebut, Presiden Lula baru saja diangkat menjadi presiden Brazil pada tanggal 1 Januari 2003 dan sebenarnya telah mencatatkan sejarah penting yaitu untuk pertama kalinya dalam sejarah politik Brazil seorang tokoh gerakan dari sektor sosial berhasil masuk pusat kekuasaan politik. Istilah “penyingkiran sosial” pun terpatahkan. Kemenangan Presiden Lula menghadirkan situasi penuh harapan para buruh Brazil akan pencapaian kehidupan yang lebih layak dan berkualitas. Keyakinan bahwa impiannya dapat menjadi kenyataan, Presiden Lula yang pernah berprofesi sebagai buruh pabrik, melakukan beberapa terobosan penting. Filosofi utamanya adalah tidak mungkin sebuah kapitalisme tanpa modal (capital). Langkah terbaik adalah membangun kapitalisme terlebih dahulu, setelah itu menuju sosialisme melalui pendistribusian apa yang sudah dihasilkan. Meskipun di awal pemerintahannya sempat dikecam karena menerima bantuan dari IMF dan Bank Dunia, Presiden Lula berhasil meningkatkan kesejahteraan kaum buruh melalui program Bolsa familia. Program tersebut sangat terkenal karena jantungnya adalah menjembatani kaum miskin dan kaya. Bolsa familia berhasil menjangkau sedikitnya 12,7 juta rumah tangga miskin dengan uang, makanan, pendidikan anak-anak, dan kesehatan dan memberikan subsidi bulanan keluarga miskin berkisar antara 22-200 reais per anak. Outcome kebijakannya sangat fantastis: 30 juta orang Brazil masuk jajaran kelas menengah dan 19 juta berhasil keluar dari kemiskinan. Selain itu, pemerintahan Lula juga berhasil menaikkan upah minimum dan uang 1 | STRATEGI C
DEVELO PMENT INSTI TUTE ©2011
bagi pensiunan rakyat Brazil. Keberhasilan dan kemandiriannya dalam membangun ekonomi pertanian dan kerakyatan dalam dua periode kepemimpinannya (2002-2010) berhasil mengangkat derajat Brazil dari negara miskin menjadi salah satu negara terkaya dunia dan raksasa perekonomian Amerika Latin. Tidak heran ketika rakyat Brazil merasa sangat kehilangan ketika masa jabatan Presiden Lula berakhir tahun 2010, meskipun kini harapan kontinuitas program pro-rakyat dengan jaminan kualitas hidup yang lebih baik masih relatif tinggi seiring diangkatnya Dilma Rousseff -yang juga dari Partai Buruh- sebagai Presiden. Cerita sukses pembangunan ekonomi kerakyatan dan keadilan sosial bukanlah hal baru. Selain Presiden Lula, banyak pemimpin dunia yang sukses membangun sistem ekonomi kerakyatan dengan menempatkan rakyat sebagai tujuan utama kebijakan. Presiden Singapura Lee Kuan Yeuw berhasil membentuk negara kecil yang tangguh dan berdaya saing melalui penanaman jiwa “wirausaha”, etika, dan semangat nasionalisme “Singaporean” setelah ditolak Malaysia bergabung. Presiden Hugo Chavez (Venezuela) dan Evo Morales (Bolivia) dengan jantan memiliki keberanian untuk melakukan negosiasi ulang kontrak migas yang lebih mengutamakan kepentingan nasional. Dalam konteks yang lebih sederhana, kita dapat melihat bagaimana Presiden Chile Sebastian Pinera mengintruksikan dan memantau langsung penyelamatan 33 pekerja tambang Chile sebagai upaya nyata aplikasi kesadaran berbangsa, jiwa nasionalisme, dan kepedulian terhadap rakyatnya. Namun, mengapa hal yang sama tidak terjadi di Indonesia? Mengapa Presiden Yudhoyono sebagai kepala negara dan pemimpin rakyat Indonesia “hanya” diam dan terkesan tidak mendengar jeritanjeritan rakyatnya? Mulai dari lambannya menyelamatkan awak kapal Sinar Kudus yang tersandera perompak Somalia sampai terakhir eksekusi mati “pahlawan devisa” negara bernama Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bernama Ruyati di Arab Saudi. Mengapa Presiden Yudhoyono lebih tanggap terhadap isu yang berkaitan dengan pencitraan dirinya sendiri? Mengapa Presiden pun lebih melindungi para koruptor “jalang” dan pengusaha “hitam” yang telah mencuri uang rakyat? Mengapa ketidakhadiran negara selalu terjadi ketika rakyat membutuhkan? Kejadian tersebut cukup ironis, mengingat belum lama ini Indonesia disebut sebagai salah satu pilar ekonomi Asia dan dunia masa depan dalam World Economic Forum (WEF) Asia Timur dengan prediksi jumlah populasi kelas menengah mencapai 220 juta jiwa dan pendapatan perkapita sebesar USD 13.500. Besaran ekonomi Indonesia juga diprediksi menggeser Republik Korea dan Jepang di tahun 2030 dengan porsi 11,4% dari total PDB negara Asia. Tak lama setelah WEF selesai, Presiden Yudhoyono pun mendapatkan “standing ovation” atas pidatonya di International Labour Organization (ILO) karena ungkapan komitmennya terhadap perlindungan buruh migran. Hal kontrakdiktif yang membuat rakyat Indonesia marah besar terhadap pemerintah, karena selama ini hanya beretorika dan menjalankan politik pencitraan. Tidak satunya kata dan perbuatan menyisakan harapan kosong dan keraguan rakyat Indonesia akan kewibawaan dan efektifitas pemerintahan Yudhoyono. Bahkan muncul gurauan bahwa Yudhoyono hanya seorang “pendongeng ulung” atau “ksatria tak bernyali”, bukan seorang pemimpin yang rakyat butuhkan selama ini. 2 | STRATEGI C
DEVELO PMENT INSTI TUTE ©2011
Predikat negara “budak” Kejadian diatas sekali lagi menunjukkan kenyataan bahwa tanpa disadari sebenarnya kita cukup layak berpredikat sebagai negara budak. Pertama, jumlah wirausaha di Indonesia sangat minim yaitu 0,24% dari total penduduk. Padahal, jumlah usia produktif (15-64 tahun) hampir mencapai 70%-nya. Jumlah angkatan kerja sebesar 116 juta orang di tahun 2010 ternyata belum mampu meningkatkan produktifitas dan nilai tambah ekonomi, khususnya peningkatan kualitas hidup manusia. Secara komparatif, jumlah wirausaha di Indonesia sangat jauh dibanding negara lain seperti AS (11,5%), Jepang (10%), China (10%), Singapura (7,2%), Thailand (4,1%), dan Malaysia (2,1%). Jangankan melebihi raihan negara-negara tersebut, untuk mencapai jumlah minimum kemakmuran dengan 2% wirausaha masih tergolong sulit. Selain disebabkan oleh sistem pendidikan yang hanya didesain untuk membentuk “kelas pekerja” dan “budak” kapitalisme, kondisi lingkungan keluarga dan masyarakat yang tidak mendukung menjadi faktor penentu mandulnya jiwa wirausaha di Indonesia. Jiwa dan pemikiran entrepreneurial yang umumnya bersifat risk taking, opportunity seeking, dan proactive, selalu mandul oleh badai tuntutan kestabilan penghasilan, kemampanan instan, dan tekanan pemikiran tradisional para orang tua. Bahkan tidak jarang orang tua yang lebih senang anaknya bekerja sebagai “budak” ketimbang “berusaha” secara mandiri dan kreatif. Kreatifitas dan jiwa inovatif selalu terbentur limitasi kognitif tradisional dan persepsi negatif lingkungan terhadap wirausaha baru (karena sifatnya lebih tidak pasti dibanding penghasilan pekerja). Bagi orang tua, keberhasilan anak diukur dengan jenjang karir pegawai yang memiliki penghasilan pasti dan rutin, bukan dari sisi kemandirian dan kreatifitas anaknya menjadi wirausaha muda yang menciptakan nilai tambah (pekerjaan dan penghasilan) bagi orang lain. Lingkungan dan persepsi semacam ini bersifat destruktif dan tanpa disadari menimbulkan celah-celah potensi produktifitas yang tidak terisi secara maksimal, sehingga Indonesia kesulitan mengurangi tingkat pengangguran. Mayoritas karyawan hanya mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri dan tidak memperluas lapangan pekerjaan seperti wirausaha. Kedua, para pengambil kebijakan sudah terbiasa menjadi calo negara. Bentuknya bermacam-macam, dari paling kecil (calo KTP) sampai calo anggaran yang berkeliaran di gedung “terhormat” DPR. Saat krisis ekonomi tahun 1997/1998, para ekonom dan pengambil kebijakan pun tidak lepas dari praktik mafia utang dan persekongkolan dengan lembaga donor internasional (IMF dan World Bank). Kekeringan likuiditas adalah alibi terbaik untuk melegalkan praktik percaloan utang. Upaya restrukturisasi seperti Paris Club dan London Club hanya melegalisasi konsensus utang yang lebih merugikan negara, karena mempunyai dampak jangka panjang yang destruktif. Praktik percaloan kini menjadi wabah paling berbahaya di Indonesia yang memiliki dampak lebih besar dari virus flu burung atau wabah E-coli di Eropa, karena sifatnya sistemik, turun temurun (terkaderisasi dengan baik), dan menjalar semua lapisan masyarakat tak terkecuali instansi pendidikan dan keagamaan. Singkatnya, pengambil kebijakan adalah budak kapitalisme korporasi multinasional asing. Negara digadaikan demi kepentingan diri sendiri dan kelompok. Ketiga, kesulitan memutus lingkar kemiskinan Nurske. Menurut Nurske, lingkaran kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh tidak maksimalnya eksternalitas pembangunan sektoral menciptakan keseimbangan ekonomi, melainkan juga oleh mental inferior rakyat negara berkembang 3 | STRATEGI C
DEVELO PMENT INSTI TUTE ©2011
terhadap kemajuan negara maju. Alih-alih termotivasi dan mengikuti perkembangan negara maju, rakyat negara berkembang malah terjebak dan mengikuti budaya konsumerisme dan individualisme negara maju. Efek tularan (contagion effects) sosial dan budaya dengan cepat terakumulasi mengubah tatanan dan karakter budaya bangsa, sehingga kita tidak mempunyai definisi dan konsep yang jelas tentang karakter berbangsa. Lihat bagaimana para manusia Indonesia selalu berkeinginan dan bermimpi bekerja di perusahaan multinasional asing dan tenggelam dalam praktik “perbudakan” global. Lihat pula bagaimana para pegawai negeri sipil (PNS) dengan bangga mempertontonkan praktik pembangkrutan negara dan “kleptokrasi” nasional, dalam bentuk penggelembungan dan penerimaan komisi anggaran atau kooptasi dengan pengusaha terkait perizinan, pembayaran pajak, dan kegiatan proyek pembangunan nasional. Lihat bagaimana struktur persaingan usaha dan kepemilikan sektor strategis seperti perbankan, energi, telekomunikasi, dan pangan tidak didesain untuk mengutamakan kepentingan nasional dan asas manfaat lebih besar bagi rakyat Indonesia. Lihat pula bagaimana praktik liberalisasi perdagangan memunculkan deindustrialisasi dan meningkatkan gelombang PHK sektor industri. Semuanya adalah akibat akumulatif ketidakpedulian kita sebagai bangsa (pemimpin dan rakyat) untuk membangun fondasi berbangsa dan struktur ekonomi politik yang mengutamakan pencapaian misi bernegara. Tesis Gunar Myrdal dalam salah satu bukunya yaitu Asian Drama (1969) bahwa negara berkembang seperti Indonesia tergolong soft state, karena terlalu toleran dan permisif sehingga tidak mau membebani rakyatnya dengan peraturan dan kebijakan yang ketat dan penuh disiplin, dapat dibenarkan. Saat ini, kita sedang terjebak pada pusaran atau jebakan penjajahan kapitalisme baru yang disuarakan cukup keras melalui globalisasi. Uniknya, kita tidak memiliki alasan pemahaman yang jelas tentang keberadaan globalisasi, mengapa kita harus ikut, dan bagaimana mengikuti irama globalisasi yang selalu menguntungkan kepentingan pemilik modal. Bangsa yang cerdik Hukum globalisasi layaknya hukum rimba. Siapa yang memiliki kekuatan modal lebih kuat dialah pemenangnya. Globalisasi ternyata tidak pernah menghadirkan keseimbangan, tetapi malah memperlebar rongga ketimpangan dan kasta sosial. Globalisasi telah menggeser peran negara dan menggantinya dengan korporasi global. Korporatokrasi dan kleptokrasi global adalah praktik yang merugikan rakyat di negara berkembang. Globalisasi juga gagal menghadirkan ketentraman, karena selalu mendapatkan perlawanan dari pihak yang anti-globalisasi (terorisme dan gerakan sosialisme global). Ketika pakta perjanjian regional dan multinasional (Doha Round, APEC, dan WTO) disepakati, berbagai hambatan perdagangan (tarif dan bea masuk) perlahan memang terkisis, namun hambatan non-tarif terus menerus bermunculan secara masif dan bahkan paling kencang justru terjadi di negara pencetus globalisasi. Inilah paradoks. AS, sebagai negara pencetus liberalisme ekonomi, kini kesulitan menahan gempuran produk manufaktur China, sehingga menghasilkan defisit perdagangan sangat besar (mencapai US$ 5 miliar per bulan). Pasca krisis, Presiden Obama pun menjalankan “visi sosialisme” dengan meningkatkan anggaran kesehatan, menyelamatkan korporasi 4 | STRATEGI C
DEVELO PMENT INSTI TUTE ©2011
besar melalui proses restrukturisasi atau lebih dikenal dengan sebutan Chapter 11, serta mengurangi pajak. Inkonsistensi yang terjadi membuat makna globalisasi semakin absurd. Bagi Indonesia, praktik perbudakan global dan kleptokrasi nasional harus disadari sebagai praktik yang merusak tatanan kehidupan pemikiran dan struktural generasi penerus bangsa. Tidak ada lagi ruang untuk bersilat lidah, bertengkar, dan menyelamatkan citranya masing-masing. Sekarang adalah waktu untuk bertindak, bukan hanya sekedar berdebat dan menyusun rencana demi rencana. Masih banyak waktu untuk menjalankan program-program strategis negara tanpa terkecuali dan tanpa intervensi pihak pengusaha dan pihak asing. Kuncinya terletak pada komitmen dan efektifitas kepemimpinan tingkat nasional dan daerah, harmonisasi kebijakan dan perangkat regulasi, integrasi center of gravity pengembangan hulu ke hilir sektor strategis, perbaikan kontrol dan moralitas birokrat, serta koordinasi antar kementerian, lembaga negara, dan pemerintah pusat-daerah. Kita semua tahu bahwa tidak ada satupun bangsa di dunia yang dapat berdiri sendiri, namun kita pun harus menyadari bahwa kecerdikan berbangsa dan bergaul dengan komunitas internasional adalah prasyarat pembentukan daya saing bangsa dan pencapaian kemenangan kompetisi global. Rakyat kini sudah semakin pandai, kontrol sosial sudah sedemikian meluas, dan demokrasi melahirkan kutub-kutub kekuatan politik baru. Jika negara abai melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia, maka jangan salahkan rakyat jika menjadi semakin apatis (tidak peduli terhadap negara) dan menganggap peran negara tidak ada (stateless). Sebagian rakyat mementingkan dirinya sendiri dan sebagian lain meluapkan amarahnya tak terkendali karena kesulitan merubah sistem pragmatisme politik tidak bermoral, mentalitas pejabat yang tidak manusiawi, dan praktik kemanusiaan yang tidak beradab. Penulis: Aji Jaya Bintara, MSM Founder of Strategic Development Institute (SDI)
5 | STRATEGI C
DEVELO PMENT INSTI TUTE ©2011