BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN Bab 5 sampai 7 telah memaparkan bagaimana kepentingan aktor kebijakan menyebabkan ketidakadilan sudah terjadi sejak penyusunan regulasi yang dicerminkan oleh diserahkannya urusan yang seharusnya publik menjadi keputusan individu atau kelompok aktor. Hal ini menjawab sebagian besar pertanyaan tentang bagaimana peran para aktor kebijakan yang merupakan determinan penentu keputusan dan pola rent-seeking. Hasil utama kajian ini berupa persamaan dan perbedaan pelaku, regulasi, dan pola rent-seeking dari tiga pemerintah tahun 1999-2009. Peta perbandingan tiga rejim tersebut dijelaskan dengan indikator-indikator turunan dalam tabel berikut: Tabel 8.1. Perbandingan Indikator Kebijakan Pangan pada Tiga Pemerintahan Periode Tahun 1999 -2009 No 1
Indikator
Gus Dur 1999-2001 Kinerja atas kebijakan pangan Produksi Impor Raskin
2
BM dan kebjkn Turunan
Penurunan sejak 1990-an pasca RH Surge impor 1998 dan 2000 Diinisiasi sejak 1998
Penurunan produksi dan pelarangan impor Surge impor impor beras ilegal Jumlah meningkat sejak 2003
Klaim swasembada pada 2008 Pengaturan waktu impor
Bebas impor sampai 1999 Bea masuk 0% menjadi 30% 2000
Kuota berupa perintah impor Inkonsistensi data, SKep Ganda
Kuota berupa perintah impor kecuali b khusus Hire and Fire, perubahan syarat importir
SP, WP Golkar, PKB Individual Linear & Individual Triangle
NH-WH, SN-SL, WP-WP1 Golkar, PDIP Individual Linear & Individual Triangle
SN, SL WP Golkar,PKS Individual Triangle & Org Corporatism
IMF dan Structural Adjustment prog. Menguasai input pertanian sjk 60an
Resep Raskin WB dan Privatisasi Worls Food Regime
WTO dan tekanan eksportir pangan MNCs to feed the world
Jumlah raskin diturunkan pada 2007
Aktor Kebijakan dan Partai Politik Aktor Parpol Pola rentseeking
4
SBY 2004-2009
Regulasi Kuota
3
PEMERINTAHAN MEGA 2001-2004
Faktor eksternal Institusi Internasional MNCs
Sumber: Hasil penelitian
184
Kesimpulan dalam bab-bab tersebut juga menjelaskan bahwa keputusan impor beras yang dilakukan sepanjang tiga periode lebih mengutungkan pelaku impor beras yaitu Bulog dan importir swasta. Kedua eksekutor impor ini didominasi oleh elites partai politik terutama partai politik yang berkuasa. Partai politik tersebut memiliki wewenang dalam menentukan impor beras melalui lobby para aktor legislatif dan intervensi ke dalam institusi Bulog maupun regulasi pemerintah.184 Kekuatan elit partai tersebut dijelaskan melalui penjelasan penguasaan mekanisme impor dari proses pengusulan sampai pelaksanaan impor. Hal ini dijelaskan dalam pembahasan Bab 7 mengenai afiliasi partai dan secara historis karir politik masing masing elit. Dari penjelasan tabel tersebut dapat dilihat hubungan bisnis yang sudah terjalin sebelumnya yang kemudian memudahkan regulasi pada saat eksekusi impor. Hasil penelitian menjelaskan bentuk dan pola rent-seeking yang beragam yaitu Individual Linear, Organizational Corporatism, dan Individual Triangle Alliances. Pola Organizational atau hubungan antar instansi dilakukan secara sistematis di bawah kendali partai-partai penguasa sepanjang tahun 1999 - 2009. Faktanya, para pelaku pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang dalam kasus impor beras Vinafood berafiliasi pada tiga organisasi yaitu Golkar-PDIP, Bulog /INKUD dan PSSI. Pola individual yaitu hubungan melalui pihak ketiga atau perantara dilakukan untuk memperlancar hubungan antar instansi tersebut. Pola rent-seeking tersebut tidak hanya khas Indonesia karena terjadi di banyak negara berkembang. Meskipun demikian pola rent-seeking di Indonesia termasuk unik yaitu bermuara pada usaha untuk mendapatkan lisensi yang diterbitkan oleh pemerintah yaitu dalam bentuk kuota dan perintah impor. Penelitian yang dilakukan oleh Hausken (2009) mengungkapkan bahwa kualitas pemerintah yang buruk akan menyebabkan perilaku korupsi sebagai salah satu
184
Empat alasan utama impor beras sepanjang 1999-2009 adalah (1) Cadangan Nasional Bulog. (2) Stabilisasi Harga (3) Operasi pasar untuk mengevaluasi pasar oleh Bolog (4) iklim El Nino.
185
proxy rent-seeking lebih sering terjadi, yang kemudian menyebabkan inefisiensi biaya tinggi sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Blackburn (2009) yang menjelaskan bahwa pola dan dampak korupsi dan rent-seeking tidak selalu sama di masing-masing negara, tergantung pada sistem politik dan ekonomi.Sistem yang 1999-20009 yang masih memungkinkan terjadi kepentingan politik dalam eksekusi impor. Karena dalam melakukan kegiatannya importir membutuhkan surat keterangan dan lisensi kuota impor. Hal ini menyebabkan lobby politik yang sistem yang melanggengkan rent-seeking dengan mengamankan lisensi yang seharusnya diberikan secara gratis. Pola tersebut juga tergantung pada perilaku rent-seeking para birokratnya. Menurut Blackburn dan Forgues-Pucciob (2009) peran birokrasi ini menentukan apakah korupsi dalam suatau negara tersebut ―well organized‖ atau tidak.185 Korupsi yang terorganisir karena peran birokrasi menyebabkan jumlah suap yang relatif lebih kecil dan kemungkinan pertumbuhan ekonomi, seperti kutipan hasil penelitian berikut: … the effects of corruption depend on the extent to which bureaucrats coordinate their rent-seeking behaviour. The analysis predicts that countries with organised corruption networks are likely to display lower levels of bribes, higher levels of research activity and higher rates of growth than countries with disorganised corruption arrangements (Blackburn, 2009: 797).
Model rent seeking menurut Fisman and Gatti (2006) lebih mewakili apa yang terjadi pada dinamika rent-seeking dalam suatu implementasi kebijakan. Sepanjang tahun 2004-2009, model ini menjelaskan tentang mekanisme tawarmenawar di mana pihak swasta dan birokrat melakukan proses negosiasi atas nama suap, yang memungkinkan untuk menghindari aturan yang rumit atau menghindari pembayaran. Pada periode ini, praktik suap diatur secara lebih regulatoris dengan adanya SKep ganda, dokumen ilegal dan perubahan kuota impor. Analisis yang dilakukan menjelaskan bahwa proses tawar menawar ini 185
Di Indonesia, nampaknya penyelenggaraan negara belum well organized , demikian pula penyelenggara korupsinya juga. Hal ini menyebabkan dampak secara ekonomi sangat tinggi, nila suap begitu besar, dan jumlah penelitian yang sangat terbatas dalam hal ini.
186
utamanya dipengaruhi oleh kondisi institusional. Dalam hal ini peran aktor kebijakan yang berada di dalam institusi formal sangat penting dalam mengatur friksi yang terjadi terutama dalam proses justifikasi besarnya data angka dan kuota.
8.1 Kesimpulan Sebagaimana menjadi tujuan penelitian, studi ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan bagaimana aktor pembuat kebijakan dapat mempengaruhi arah kebijakan impor beras dan bagaimana mekanisme rent-seeking dalam studi kasus impor beras periode 1999-2009. Gambaran mekanisme rent-seeking tersebut telah dijelaskan dalam
perbedaan dan persamaan dalam tiga rejim
pemerintahan dalam Tabel 8.1. Jawaban tersebut didapatkan dari temuan penelitian yang memaparkan karakter kebijakan impor beras dan dinamika hubungan antar aktor lembaga pangan dan elit politik yang terlibat dan diuntungkan di dalamnya. Hasil penelitian dibagi menjadi tiga bagian yaitu periodisasi tiga pemerintahan dan pola rent-seeking dalam kurun waktu 19992009. Bagian pertama berupa dinamika impor beras dalam tiga periode berbeda. Periode Gus Dur pada 1999-2001 ditandai dengan dominasi aktor Bulog dalam mendekati pusat kekuasaan untuk mempertahankan kepentingannya. Periode ini dimanfaatkan elites untuk menyesuaikan dengan sistem yang berubah pasca reformasi yaitu dengan munculnya pemain impor baru dari kalangan politisi. Periode 2001-2004 ditandai dengan perubahan fungsi Bulog dan terjadi pelanggaran oleh Bulog secara masif. Pada masa ini dilakukan pembatasan impor tetapi sekaligus melegalisasi impor lewat status baru Bulog. Dalam periode ini pula data/angka hanya dipakai untuk tujuan politis dan wajah baru Bulog justru dimaksudkan untuk cari profit dengan aman. Periode 2004-2009 bercirikan kebijakan
berbasis produksi. Kebijakan ini tidak didukung regulasi sehingga
menyebabkan fluktuasi impor beras dan pemaksaan pada klaim swasembada beras 187
di tahun politik 2008. Tahun 2006 ditandai dengan semakin dinamisnya peran lembaga legislatif dalam kontrol atas kebijakan impor pangan. Bagian kedua adalah temuan pola rent-seeking berdasarkan tiga periode tersebut kemudian menjawab pertanyaan whose finally interest counts. Seperti dipaparkan dalam Bab VIII. Kepentingan impor beras bermuara pada elites kebijakan melalui partai politik. Elites kebijakan dengan dukungan oknum birokrat melanggengkan justifikasi impor beras dengan cara (a) politisasi program raskin dan justifiasi impor beras oleh pengusaha parpol dengan dominasi partai politik,
(b) hire and fire dalam wilayah birokrasi, dan
(c) melanggengkan
kebijakan yang bias produksi. Dengan demikian dalam tiga pemerintah berbeda, rejim pangan tetap menunjukkan kecenderungan arah kebijakan yang sama yang justru menolak kedaulatan pangan. Dari analisis kebijakan dengan pendekatan ekonomi politik yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kebijakan impor beras yang menentukan hajat hidup masyarakat menyebabkan kebijakan ini menjadi sangat politis. Banyaknya aktor yang terlibat dan kemudian menyebabkan campur tangan kebijakan yang didasarkan pada kepentingan aktor kebijakan tersebut. Kebijakan impor beras berdampak pada potensi penyalahgunaan wewenang terkait impor beras. Kuota impor beras ditentukan oleh Departemen Perdagangan dengan koordinasi Departemen Pertanian dan Bulog, sedangkan kebijakan ekonomi yang menyertainya dikeluarkan oleh Departemen Keuangan. Meski demikian hasil penelitian menegaskan bahwa kendali dalam menentukan jumlah dan pelaku impor didominasi oleh Bulog dengan pengaruh kepentingan Partai. 2. Rent-seeking yang terjadi pada tiga pemerintahan berbeda selama 19992009 membentuk pola dan melibatkan elit partai politik, pejabat publik dan pengusaha dan birokrat dengan pola rent seeking yang berbeda tetapi menyebabkan dampak yang serupa. Praktik rent seeking pada periode 1999-2009 tersebut diakomodir oleh regulasi pemerintah yang berbeda. 188
Penerapan bea masuk 0% menimbulkan surge impor yang menimbulkan kasus penyalahgunaan wewenang re-ekspor oleh WP pada tahun 2001 dan tarif BM 340,-/kg menimbulkan penggelapan bea masuk oleh Nurdin Halid pada tahun 2002. Faktor eksternal juga mempunyai kekuatan untuk memberikan
kemudahan
justifikasi
impor
beras.
Kepentingan
internasional yang diwakili oleh World Bank dengan Resep Program Raskin menjadi salah satu justifikasi. 3. Perumusan kebijakan memungkinkan aktor kebijakan memelihara melanggengkan rent-seeking. Kepentingan pemerintah dalam kebijakan impor beras
ini diakomodir melalui patronase antara elit politik dan
pelaku bisnis serta birokrat dengan ijin impor, pembagian kuota impor, dan pengaturan hire dan fire. Menjawab pertanyaan penelitian tentang aktor elit kebijakan, penelitian memunculkan tiga pasang nama kembar yang menjadi pemain utama impor beras: Widjanarko PuspoyoWidjokongko Puspoyo, Nurdin Halid-Waris Halid, dan Setya NovantoSetyo Lelono. 4. Argumen dari teori elite terkait sistem pemerintah (Downs, 1974) menunjukkan tujuan pemerintah adalah untuk memperoleh keuntungan, kekuasaan dan prestige. Tujuan tersebut kemudian dicapai melalui rentseeking yang sistemik dengan mekanisme: (1) rekrutmen dan promosi jabatan berada pada satu otoritas. Pencopotan dan penggantian dengan mudah dilakukan untuk kepentingan rents, (2) gejala rent-seeking tersebut dikonfirmasi dengan adanya fenomena penguasa-pengusaha dalam lingkaran importasi beras, dan (3) peran penting Bulog sebagai importir tunggal dan potensinya sebagai sumber rents bagi partai politik. 5. Langgengnya pola rent-seeking menyebabkan social loss sebagai dampak rent-seeking dalam waktu lama. Temuan ini mengkonfirmasi teori Poulantzas (1972) yang melihat pendekatan kepentingan pemilik modal secara jangka panjang melalui elites pemerintah. Ketika kebijakan dikendalikan oleh para elites demi kepentingan rents, akibatnya adalah 189
ketimpangan (Stiglitz, 2012: 246). Ketimpangan sosial yang dialami oleh masyarakat di Indonesia merupakan social loss yang sebenarnya.
Dengan penjelasan dalam 5 poin kesimpulan tersebut maka dapat dijawab hipotesis awal penelitian yaitu bahwa: (1) elites pemerintah terutama dalam lembaga Bulog adalah aktor utama dalam menentukan keputusan impor beras, (2) para aktor tersebut berasal dari lembaga dan partai politik berbeda tetapi dalam hubungan para aktor terdapat benang merah yang didominasi partai Golkar dalam tiga pemerintahan berbeda, (3) lembaga pangan dikuasai oleh aktor partai politik yang juga menguasai aktivitas impor beras terutama dibuktikan dengan adaanya 3 pasang nama kembar yang berafiliasi dengan partai politik. Pertimbangan dalam merumuskan suatu kebijakan publik berdasarkan kepentingan maasyarakat sudah menjadi kesadaran tapi belum terlembagakan sehingga belum menjadi laku dalam mekanisme pembuatan kebijakan impor beras.
8.2 Kontribusi Akademik Kekuatan disertasi ini adalah pada sifat kebaruan penelitian. Kebanyakan studi terdahulu lebih menekankan adanya rent-seeking behaviour dalam perspektif ekonomi sebagai akibat dan bukan sebagai sebab. Dalam pendekatan ekonomi politik, rent-seeking sebagai bagian dari perilaku corrupted merupakan bagian dari kebijakan dan mata rantai penting dalam menyebabkan ketimpangan ekonomi dan sosial. Mengacu pada fokus yang dikaji Tullock, bagian terpenting dari rentseeking adalah dalam mengukur welfare loss dan social cost. Meskipun penelitian ini tidak mengukur dampak rent-seeking, ia mencoba memetakan pada titik mana saja praktik rent-seeking ini terjadi sehingga terlembagakan dan menjadi kuat berakar. Rent-seeking tidak hanya berwujud pada tindak korupsi semata karena gambaran besar rent-seeking sudah terbentuk pada tahap awal formulasi ketika justifikasi terhadap rencana impor beras disosialisasikan.
190
Studi ini menggambarkan bahwa kebijakan impor beras periode 19992009 merupakan keputusan yang diambil oleh pelaku kebijakan untuk melayani dirinya sendiri. Vested-interest pemerintah dan aktor kebijakan dalam bentuk rentseeking yang menyebabkan terjadinya dinamika hubungan antar-aktor di dalam lembaga pemerintah. Temuan utama yang dihasilkan dalam penelitian ini masih terbatas pada bukti empiris baru kasus kebijakan pangan. Meski demikian analisis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan konsep Teori Rent Seeking yaitu pada aspek social loss dalam perburuan rente.
8.3 Kelemahan Penelitian Kelemahan penelitian ini adalah pada keterbatasan periode waktu yang bisa diteliti. Kasus impor yang terbaru tentu saja akan memberikan gambaran yang lebih up to date tentang kondisi dan tingkatan politis suatu kebijakan. Hanya saja dalam penelitian ini rentang waktu kasus yang dikaji harus dibatasi karena untuk pengujian indikator rent seeking diperlukan kasus yang sudah selesai dan memiliki dokumen peradilan. 8.4 Rekomendasi Penelitian Lebih Lanjut Studi ini pada awalnya melakukan perbandingan pola rent-seeking pada dua kebijakan impor yang berbeda yaitu komoditas beras dan daging. Pada akhirnya, untuk mempertahankan fokus penelitian, kajian hanya dilakukan pada impor beras. Meski demikian semakin banyak studi kasus dilakukan tentu akan memperkaya bukti empiris kebijakan impor. Meski demikian diperlukan studi komparatif yang lebih sistematis agar dapat memberikan sumbangan teoritis lebih baik. Untuk mewujudkan maksud tersebut selanjutnya penelitian ini bisa dilanjutkan dengan melakukan penelitian komparasi berupa kajian rent-seeking pada studi kasus kebijakan berbeda yaitu (a) membuat komparasi dengan kebijakan pertanian lain, misalnya program Perlindungan Lahan Pangan (LP2B) untuk mengkaji lebih dalam tentang kepentingan siapa kebijakan yang bias 191
produksi tersebut dibuat, (b) penelitian dengan kajian ekonomi politik dalam hal importasi dari sektor yang berbeda. Meskipun diasumsikan bahwa pola rentseeking ini bisa digeneralisasi untuk kebijakan importasi yang lain, bagaimanapun juga pola tersebut dan kontestasi partai politik memiliki coraknya masing-masing pada setiap periode pemerintahan.
8.5 Implikasi Kebijakan Kajian ini berdasarkan 9 indikator penelitian. Penekanan pada indikatorindikator dalam kesimpulan tersebut
tidak saling bertentangan. Meskipun
demikian, implikasi kebijakan dari hipotesis-hipotesis dari kesimpulan tersebut bisa bertentangan.
Jika distorsi pasar terkait harga beras
disebabkan oleh
kebijakan politik yang state-centric, maka pemerintah harus menghentikan campur tangannya di pasar. Sebaliknya, kalau rent-seeking dan regulasi perdagangan menjadi penyebab utama blunder importasi pangan, maka implikasi kebijakannya adalah bahwa pemerintah melalui sektor publik justru harus lebih berperan dalam arena ekonomi pangan. Hal ini sesuai tujuan utama tugas pemerintah menurut Stiglitz (2012) yaitu melalui intervensi dan daya paksanya untuk mengoreksi pasar ketika terjadi market failure. Implikasi kebijakan yang tercakup dalam kajian tulisan ini kemudian berada dalam tiga sektor berbeda yaitu politik pemerintahan, pertanian dan penegakan hukum. Dengan demikian saran yang dapat diberikan adalah pertama, penataan ulang struktur pemerintahan pusat yang melibatkan pejabat negara maupun pejabat publik yang berasal dari partai politik. Selama sistem kepartaian menuntut biaya tinggi, maka perilaku rent-seeking dalam kementerian yang dikuasai partai politik hampir tidak mungkin dihindari. Kedua, kebijakan berbasis produksi pertanian sangat diperlukan jika pemerintah bermaksud mendorong citacita kedaulatan pangan dalam mengantisipasi ancaman krisis pangan dan memenuhi hak ekonomi dan sosial masyarakat petani. Ketiga, penegakan hukum secara menyeluruh. Pola rent-seeking yang masif dan menggurita menegaskan bahwa pola kebijakan impor beras memiliki gambaran pola kepentingan yang 192
mirip sepanjang setidaknya 40 tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh lemahnynya penegakan hukum bagi pelaku pelanggaran kebijakan impor beras maupun kebijakan turunannya. Keempat, dalam konteks kelembagaan, implikasi kebijakan terkait dengan bentuk ideal Bulog adalah kejelasan fungsi lembaga pangan tersebut. Masalah inefisiensi Bulog bermuara pada dua tujuan Bulog yaitu sebagai stabilisator harga sekaligus bertujuan mencari keuntungan (profitoriented). Dengan status ―berkelamin ganda‖ tersebut Bulog berpotensi untuk menjustifikasi impor beras demi keuntungan ekonomi, dan di saat yang sama menyerukan kestabilan harga. Dengan status tunggal sebagai stabilisator harga saja, maka Bulog akan dapat menjalankan tugasnya secara lebih efisien dan transparan.
193