BAB VII. Strategi Resolusi Konflik dan Metode Pemilihan Strategi
Pokok Bahasan a. Strategi Resolusi Konflik Dipandang dari sudut kajian tentang masalah sosial sebagai suatu fenomena yang komplek dan mengandung banyak dimensi, hadirnya berbagai perspektif dalam analisis permasalahan sosial juga dapat dipetik segi positifnya. Apabila masing-masing perspektif melakukan kajian masalah sosial dari sudut pandangnya maka akan dihasilkan penjelasan dan analisis yang cukup fokus dan mendalam dari dimensi tertentu. Selanjutnya, apabila kemudian hasil kajian dari masing-masing perspektif tersebut digabungkan, maka akan menghasilkan pemahaman masalah sosial yang bukan saja mendalam melainkan juga komprehensif. Dengan demikian jika hasil kajian tersebut kemudian digunakan sebagai referensi pemecahan masalahnya, maka akan dapat dirumuskan suatu upaya penanganan masalah sosial yang komprehensif pula (Soetomo, 2008).
Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaiaan konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik memiliki 4 tujuan yaitu: konflik jangan hanya dilihat sebagai fenomena milik politik-militer saja tetapi konflik harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear, siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula, dan sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variable tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat.
Resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng
1
Menurut Pruitt dan Rubin (2004), ada lima macam strategi yang dapat digunakan dalam proses resolusi konflik dan akan dijelaskan satu per satu berikut ini. Strategi dasar pertama adalah contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lain. Suatu pihak kemungkinan akan menerapkan perilaku contentious dalam usahanya untuk menurunkan aspirasi pihak lain dengan tetap mempertahankan aspirasinya sendiri pada tingkat yang tinggi. Strategi contending agak bersifat langsung dan tidak membutuhkan banyak elaborasi, yaitu bahwa suatu pihak ingin menurunkan aspirasi pihak lain, enggan untuk yielding, dan ingin menemukan solusi dengan mengorbankan orang lain.
Contending merupakan segala macam usaha untuk menyelesaikan konflik menurut kemauan seseorang tanpa mempedulikan kepentingan pihak lain. Dalam strategi ini, masing-masing pihak tetap mempertahankan aspirasinya dan membujuk pihak lain untuk mengalah. Taktik (tindakan penyelesaian) yang bisa diambil diantaranya : mengeluarkan ancaman, menjatuhkan penalti atau hukuman, melumpuhkan lawan, atau melakukan tindakan-tindakan yang mendahului pihak lain untuk memperoleh aspirasi tersebut tanpa sepengetahuan pihak lawan.
Strategi kedua adalah yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan. Masing-masing pihak bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya mereka inginkan untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak. Apakah kesepakatan semacam itu benar-benar dapat memuaskan kedua belah pihak? Kita tidak dapat memastikannya, tetapi ada satu alasan untuk mempertanyakan apakah sebuah solusi „yang terburuk dari dua pilihan‟ tidak mempunyai dampak tertentu. Yielding memang menciptakan solusi, tetapi bukan berarti solusi yang berkualitas tinggi.
Strategi ketiga adalah problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Ada banyak argumentasi untuk menggunakan problem solving. Salah satunya adalah karena strategi ini mengurangi kemungkinan terjadinya eskalasi yang tak terkendali. Hal ini disebabkan karena strategi ini tidak menjadi ancaman bagi pihak lain dan secara psikologis bersifat kompatibel 2
dengan penggunaan taktik-taktik contentious berat. Ibarat pepatah „lebih baik ngobrolngobrol daripada perang-perangan‟ (It is better to jaw-jaw than to war-war). Problem solving juga mendorong ditemukannya kompromi dan opsi-opsi integratif yang sesuai dengan kepentingan semua pihak. Dalam strategi ini terdapat segala macam usaha yang dilakukan untuk mendapatkan suatu solusi dari kontroversi yang terjadi yang dapat memuaskan dan diterima oleh semua pihak. Dalam implementasinya, problem solving meliputi berbagai aktifitas berikut : masing-masing pihak (wakilnya) harus bicara dengan bebas dan terbuka bertukar informasi tentang kepentingan dan prioritas masing-masing mengidentifikasi isu-isu yang memisahkan mereka mencari alternatif untuk menjembatani kepentingan masing-masing secara kolektif mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dari sudut pandang keuntungan bersama
Strategi keempat untuk mengatasi konflik adalah withdrawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis. Perginya anak yang lebih kecil dari tempat kejadian, yang menyebabkan berakhirnya pertengkaran, merupakan suatu cara pendekatan terhadap konflik yang sangat berbeda dengan problem solving, yielding, maupun contending. Withdrawing melibatkan pengabaian terhadap kontroversi, sedangkan di dalam ketiga strategi yang lain terkandung upaya mengatasi konflik yang berbeda satu sama lain. Adapun strategi kelima adalah inaction (diam), artinya masing-masing pihak diam dan tidak melakukan apa pun.
Lebih lanjut Pruitt dan Rubin (2004) menjelaskan bahwa walaupun memperbedakan kelima strategi untuk mengatasi konflik ini bermanfaat dari segi konsep, tetapi kami ingin menambah beberapa catatan yang berisi penjelasan dan peringatan. Pertama, kebanyakan situasi konflik, baik itu berupa pertikaian bersenjata, aksi mogok, perundingan internasional, atau pertentangan diam-diam di antara dua pengemudi mobil yang berebut posisi pada sebuah persimpangan jalan yang tidak bertanda lalu lintas, menuntut diterapkannya kombinasi dari beberapa strategi di atas. Sangat jarang hanya digunakan satu macam strategi secara ekslusif. 3
Sementara itu menurut Zartman (1997), ada enam tipe atau macam langkah dalam mengelola konflik, baik yang berhubungan dengan konflik kepentingan maupun konflik antar kelompok atau organisasi sebagaimana tercakup dalam metode RAISAR, yaitu reconciling, allocating, institutionalizing, submerging, adjudicating, dan repressing. Reconciling adalah mengelola konflik dengan mempertemukan pihak yang berkonflik dalam rangka berdiskusi tentang bagaimana mengatasi perbedaan kepentingan tersebut. Allocating adalah tindakan langsung pemerintah guna menyelesaikan konflik, dalam hal ini pemerintah menyediakan sarana untuk menyelesaikan perselisihan atau membuat keputusan langsung. Institusiomalizing adalah pembentukan aturan-aturan main agar nasing-masing pihak dapat meraih kepentingannya dengan aturan itu. Submerging adalah inisiatif pemerintah untuk mengatasi masalah dengan membuat satu program baru yang bisa mengakomodir secara adil seluruh kepentingan pihak yang bertikai. Adjudicating adalah penetapan siapa yang benar dan salah dalam sebuah konflik secara bijaksana. Dan yang terakhir repressing adalah menghukum pihak yang salah secara ekstrim dan dianggap membahayakan.
b. Governance dan Manajemen Konflik Governance adalah hal-hal yang menyangkut pengurusan permasalahan politik, masyarakat dan tatanan global. Dia dapat bersifat sentralis (dimiliki dan dilakukan oleh negara) maupun desentralis (dilakukan oleh lembaga-lembaga non pemerintah). Menurut Zartman (1997), governance merupakan sebuah manajemen konflik. Mengatur atau menjalankan pemerintahan dalam sebuah negara tidak hanya sebatas permasalahan mencegah bencana konflik yang mengancam negara, namun juga merupakan usaha kontinyu untuk mengelola konflik diantara kelompok-kelompok dengan berbagai kepentingan masing-masing yang muncul ketika masyarakat menjalankankan perannya dalam kehidupan politik bangsa secara normal. Ketika kelompok-kelompok kepentingan atau organisasi mengajukan tuntutannya kepada pemerintah, terkadang mereka harus berkonflik dengan kelompok lain, baik disaat kepentingan mereka berlawanan dengan kepentingan kelompok lain maupun tidak. Manajemen dan resolusi konflik adalah sesuatu yang harus ada dan dilaksanakan, yaitu ketika sebuah konflik sedang terjadi secara berulang, dan hampir tidak dapat dihindarkan lagi. Governance yang efektif mencakup tiga hal yaitu pembuatan kesepakan mengenai norma atau aturan 4
yang harus ditaati bersama, penegakan norma atau nilai tersebut oleh lembaga yang berwenang, dan pembentukan institusi dan prinsip-prinsip baru jika institusi atau prinsip lama sudah tidak cocok lagi.
Ada enam tipe atau macam langkah dalam mengelola konflik, baik yang berhubungan dengan konflik kepentingan maupun konflik antar kelompok atau organisasi sebagaimana tercakup dalam metode RAISAR, yaitu reconciling, allocating, institutionalizing, submerging, adjudicating, dan repressing. Reconciling adalah mengelola konflik dengan mempertemukan pihak yang berkonflik dalam rangka berdiskusi tentang bagaimana mengatasi perbedaan kepentingan tersebut. Allocating adalah tindakan langsung pemerintah guna menyelesaikan konflik, dalam hal ini pemerintah menyediakan sarana untuk menyelesaikan perselisihan atau membuat keputusan langsung. Institusiomalizing adalah pembentukan aturan-aturan main agar nasing-masing pihak dapat meraih kepentingannya dengan aturan itu. Submerging adalah inisiatif pemerintah untuk mengatasi masalah dengan membuat satu program baru yang bisa mengakomodir secara adil seluruh kepentingan pihak yang bertikai. Adjudicating adalah penetapan siapa yang benar dan salah dalam sebuah konflik secara bijaksana. Dan repressing adalah menghukum pihak yang salah secara ekstrim dan dianggap membahayakan.
c. Metode Pemilihan Strategi Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan pilihan strategi penyelesain konflik adalah metode kepedulian rangkap dua (dual concern model). Dual concern model sebagaimana tampak dalam gambar dibawah ini mempostulasikan dua macam kepedulian „kepedulian terhadap hasil yang diterima sendiri‟ yang digambarkan di absis, dan „kepedulian terhadap hasil yang diterima oleh pihak lain‟ yang digambarkan di ordinat. Kepedulian ini digambarkan sebagai sebuah bentangan yang dimulai dari sikap tidak peduli (pada titik koordinat nol) sampai sikap peduli yang sangat tinggi, sebagaimana digambarkan dalam grafik berikut :
5
KEPEDULIAN TERHADAP AKIBAT YANG DITERIMA PIHAK LAIN
Y
YIELDING
PROBLEM SOLVING
WITHDRAWING/ INACTION
CONTENDING X
0 KEPEDULIAN TERHADAP HASIL YANG DITERIMA SENDIRI
-
Kedua kepedulian di dalam model ini didefinisikan sebagai berikut: Kepedulian terhadap hasil yang diterima sendiri berarti menempatkan pentingnya hasil itu bagi kepentingan sendiri, bagi kebutuhan dan nilai-nilainya sendiri di dalam konteks pertikaian. Orang dengan kepedulian yang kuat atas hasil yang diperolehnya sendiri sangat tahan terhadap yielding; dengan perkataan lain, aspirasi mereka cenderung kaku dan tinggi, Kepedulian terhadap hasil yang diterima oleh pihak lain berarti menempatkan pentingnya hasil tersebut bagi kepentingan
pihak
lain
merasa
bertanggungjawab
atas
kualitas
hasil
yangditerima oleh pihak lain. Kepedulian ini kadang-kadang bersifat tulus, dilandasi perhatian intrinsik atas kesejahteraan orang lain. Tetapi, yang lebih sering terjadi, kepedulian ini bersifat instrumental, yaitu didasari maksud untuk memenuhi kepentingannya sendiri. -
Kepedulian terhadap hasi yang diterima sendiri dapat dilacak dari sejumlah determinan. Salah satunya adalah pentingnya nilai-nilai yang dipengaruhi oleh 6
hasil tersebut. Si „B‟ mungkin mempunyai pekerjaan yang berat, yang membuatnya merasa sangat membutuhkan waktu untuk membuatnya merasa sangat membutuhkan waktu untuk beristirahat dan bersantai selama masa liburannya, sementara Si „A‟ mungkin tidak mempunyai kebutuhan sebesar itu. Ketika mereka bertengkar tentang preferensi liburan, maka Si „A‟ mungkin akan memilih yielding atau inaction, sementara Si „B‟ mungkin akan berusaha memenangkan kesukaannya melalui tindakan-tindakan contentious atau problem solving. -
Determinan lain untuk kepedulian terhadap hasil yang akan diterima sendiri di dalam suatu hal adalah pentingnya hasil yang akan diperoleh di dalam hal lain. Orang memiliki keterbatasan waktu dan energi, sehingga mereka tidak dapat memenuhi semua kepentingan mereka dengan intensitas yang sama. Kepedulian yang kuat atas isu sering kali menyebabkan kepedulian terhadap isu lain menjadi lemah. Sebagai contoh, Si „A‟ mungkin relatif tidak peduli mengenai masalah kualitas liburan karena terbelenggu di dalam pekerjaannya, di dalam kampanye pembekuan penggunaan tenaga nuklir, atau di dalam beberapa aktivitas lain yang menyita waktu dan tenaganya.
-
Kepedulian terhadap hasil yang diterima sendiri cenderung rendah bila orang takut akan konflik. Hal ini disebabkan karena sikap menolak yielding, yang terjadi karena adanya kepedulian yang tinggi atas hasil yang diterima sendiri, cenderung melahirkan konflik. Bagi sebagian orang, ketakutan akan konflik adalah sebuah predisposisi oleh situasi-situasi tertentu, misalnya karena tertarik atau bergantung kepada orang lain tetapi tidak yakin tentang bagaimana pendapat orang tersebut mengenai dirinya.
c. Contoh Kasus Berikut ini akan diuraikan contoh analisis konflik dalam kasus pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani : 1. Kasus penambangan minyak bumi ilegal di BKPH Nliron, KPH Randublatung, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Berdasarkan data temuan di lapangan, dinamika konflik penambangan ilegal oleh masyarakat di BKPH Ngliron melibatkan beberapa aktor dan sebagai aktor utama 7
adalah masyarakat Dusun Semanggi dan Perum Perhutani. Pertamina menjadi aktor ketiga yang sebenarnya perannya lebih pada pemicu atau pendorong terhadap eskalasi konflik yang ada. Secara sederhana dinamika konflik tersebut dapat digambarkan dalam matrik berikut : Elemen Analisis
Peristiwa Konflik berdasarkan Aktor yang
Konflik Sosial
Terlibat Perhutani
1. Struktur
1.
Konflik
Masyarakat
Perbedaan
Perhutani ingin
Masyarakat ingin
Kepentingan
mendapatkan
memenuhi
benefit dari
kebutuhan hidup
hutan dan
sehari-hari dari
melestarikan
hutan.
potensi hutan serta kelangsungan fungsi-fungsi hutan. 2.
Perbedaan Pemahaman
Hutan adalah
Hutan adalah
aset negara yang
warisan nenek
dikelola dan
moyang yang bisa
dimanfaatkan
mereka
oleh negara.
manfaatkan.
Pengelolaan
Hutan
hutan terutama
merupakan
untuk
barang publik
kepentingan
yang dapat
negara dan
dimanfaatkan
sebagian untuk
secara leluasa.
membantu peningkatan ekonomi masyarkt 8
2. Proses
1
Tawar-menawar
Konflik
Melakukan
Mohon agar tetap
pendekatan
diijinkan sebagai
secara persuasif
bentuk keadilan
dan memberikan
pada mereka.
pengertian tentang hukum kehutanan 2
Debat
Perhutani
Mengancam akan
bersama pihak
merusak hutan
Kepolisian
dan mencuri kayu
melakukan
jika aktivitas
operasi
penambangan
penghentian
dihentikan
penambangan 3. Pengaruh 1. Orang/Organisasi Konflik
Perhutani gagal
Tindakan yang
mencapai
dilakukan oleh
kesepakatan
masyarakat
dengan pihak
sangat
Pertamina.
tergantung dari pihak Pertamina.
2.
Variabel
Program PHBM
Situsional
belum signifikan
masyarakat
perannya dalam
berpenghasilan
pemenuhan
rendah.
kebutuhan
Sebagian besar
Banyak
hidup
masyarakat yang
masyarakat.
tidak mempunyai
Perhutani belum secara tegas dan maksimal dalam
pekerjaan (pengangguran) Lahan yang
menghentikan
dimiliki untuk
kegiatan
bertani sangat 9
penambangan,
minim
bahkan ada kesan pembiaran.
Kemudian untuk melakukan pemilihan strategi resolusi konflik yang tepat, maka terlebih dahulu dilakukan analisis untuk menidentifikasi determinan-determinan yang ada dengan menggunakan metode kepedulian rangkap dua (dual concern model). Dual concern model mempostulasikan dua macam kepedulian „kepedulian terhadap hasil yang diterima sendiri‟ dan „kepedulian terhadap hasil yang diterima oleh pihak lain‟, yang keduanya akan ditinjau dari dua aktor utama yang terlibat dalam konflik yang ada. Analisis tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut : Aktor
Kepedulian thd Diri Sendiri
Kepedulian thd Pihak Lain
Kepedulian
Menginginkan kawasan
Mampu
berkontribusi
dan potensi hutannya
terhadap
peningkatan
tetap aman dan lestari
kesejahteraan
Tidak
masyarakat
terjadi
pidana penyimpangan Perum Perhutani
tindak atau
dalam
konflik
kawasan hutan
Menyelesaikan
dengan
masyarakat hasil
kekeluargaan
optimal dari produksi
musyawarah
Mengharapkan
sdh
setiap
secara dan
Mengembalikan setiap permasalahan aturan
hukum
perundangan
pada dan yang
berlaku Masyarakat
Kontribusi optimal dari
Cenderung tidak mau
sdh untuk memenuhi
tahu
terhadap
kebutuhan hidup adalah
aturan
harga mati
hutan yang berlaku
tata
pemanfaatan
10
Bersikeras
tetap
melakukan
kegiatan
kepada Perhutani jika
sebagai
aktifitas penambangan
penambangan
bentuk keadilan pada
Memberikan ancaman
dihentikan
mereka
Berdasarkan uraian sebelumnya dan tabel di atas terlihat bahwa Perhutani sebenarnya sudah berupaya untuk menurunkan aspirasinya untuk memenuhi tuntutan masyarakat melalui mekanisme yang legal menurut perundang-undangan kehutanan di Indonesia. Perhutani telah mendorong Pertamina dan masyarakat untuk mengajukan secara resmi ijin pinjam pakai kawasan hutan kepada pemerintah. Untuk hal itu Perhutani telah memberikan penyuluhan dan penyadaran kepada masyarakat dan masih memberikan tenggang waktu guna pengurusan ijin tersebut. Namun himbauan itu tidak didengar baik oleh masyarakat maupun Pertamina.
Berbagai upaya musyawarah baik dengan Pertamina maupun masyarakat juga telah dilakukan untuk mencari solusi terbaik. Kenyataannya pihak masyarakat dan Pertamina tetap tidak mau untuk bersikap cooperatif dalam kasus ini. Masyarakat dan Pertamina bersikeras untuk tetap melanjutkan kegiatan penambangan ini dengan landasan yang sama sekali tidak benar secara hukum. Di sini dapat dipahami bahwa motivasi mereka memang untuk menghasilkan keuntungan tanpa mempedulikan benar tidaknya tindakan mereka. Ada dugaan keterlibatan beberapa oknum Perhutani sehingga aktifitas ini menjadi agak sulit dihentikan. Selain itu, pembiaran sementara kegiatan penambangan tersebut juga dikarenakan berbagai pertimbangan dan dampak negatif jika penambangan dihentikan.
Ancaman dari masyarakat untuk merusak hutan dan pemboikotan dari keterlibatan dalam aktifitas pengelolaan hutan menjadi pertimbangan tersendiri dari Perhutani untuk sementara waktu “membiarkan” kegiatan ilegal tersebut. Tidak dipungkiri bahwa ada keuntungan bagi Perhutani dan masyarakat dari aktifitas tersebut, diantaranya adalah : -
Penurunan jumlah pencurian kayu di kawasan yang ada kegiatan penambangan oleh masyarakat 11
-
Peningkatan pendapatan oleh beberapa warga masyarakat
-
Tetap terjalinnya hubungan yang harmonis antara pihak perhutani dengan masyarakat selama kegiatan penambangan tersebut dibiarkan
Sementara disisi lain ada beberapa dampak negatif jika kegiatan penambangan dibiarkan, diantaranya adalah : -
Akan terus bertambahnya sumur-sumur tua yang ditambang masyarakat yang berada di kawasan hutan
-
Terjadinya pencemaran dan pengrusakan tanah yang semakin luas
-
Menunjukkan kinerja buruk bagi Perhutani jika tidak mampu menghentikannya Masyarakat cenderung tidak peduli akan peringatan dari Perhutani sebagai
pemegang hak kelola sah pada kawasan hutan yang mereka tambang. Mereka hanya akan berhenti jika pihak Pertamina berhenti untuk membeli minyak hasil tambang mereka, yang sikap ini didukung oleh pihak Pertamina yang memberikan jaminan kepada masyarakat untuk tetap membeli minyak mereka. Bahkan Pertamina tidak segan-segan untuk memberikan bantuan modal dan peralatan guna membuka sumursumur baru yang dipandang potensial untuk menghasilkan minyak.
Analisis diatas memunculkan beberapa determinan yang dapat dipertimbangkan untuk memilih strategi yang tepat, diantaranya adalah : -
Satu pihak (masyarakat) hanya peduli terhadap hasil yang diterima oleh diri sendiri dan tidak peduli pada aspirasi dari pihak lain (Perhutani)
-
Aspirasi dari masyarakat sangat tinggi dan enggan menurunkannya dan bahkan berani melawan Perhutani (bersifat antagonistik)
-
Beberapa upaya penyelesaian yang bersifat integratif dan sejalan dengan peraturan perundangan yang ada selalu gagal dan tidak ada tanda-tanda dari satu pihak (masyarakat) untuk menurunkan aspirasinya
-
Adanya kemungkinan peningkatan aspirasi masyarakat yang diperjuangkan dan diduga akan semakin mendorong eskalasi konflik serta kekacauan yang mungkin terjadi
Berdasarkan determinan tersebut maka dapat dipilih strategi yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik penambangan ilegal di BKPH Ngliron tersebut yaitu 12
contending. Startegi ini mengharuskan adanya pihak yang mesti dikalahkan aspirasinya baik secara halus maupun paksa dan memenangkan aspirasi dari pihak lain dengan alasan penegakan hukum dan kebenaran. Dalam kasus ini jelas yang menyimpang dari hukum adalah masyarakat yang didukung oleh Pertamina, sehingga pihak Perhutani harus segera mengambil langkah-langkah tegas menyelesaikan konflik ini.
Dalam kacamata teori konflik, Perhutani harus melakukan beberapa taktik yang bersifat contentious guna menurunkan aspirasi masyarakat dan mempertahankan aspirasinya sendiri. Hal ini disebabkan aspirasi dari Perhutanilah yang sejalan dengan hukum dan perundangan yang berlaku di Indonesia dan sudah ada upaya-upaya untuk memberikan penyadaran dan peringatan kepada masyarakat bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah dan perlu diluruskan. 2. Kasus Perlawanan Masyarakat Desa Hutan di KPH Randublatung Pada awal tahun 1999, di wilayah ini muncul kasus berupa adanya perlawanan dan tindakan anarkhis masyarakat desa hutan terhadap Perhutani beserta aset yang dimilikinya. Perlawanan masyarakat desa hutan di KPH Randublatung sesungguhnya bersumber pada tiga hal pokok, yaitu : kebutuhan akan kayu, kekurangan lahan, dan kekerasan yang seringkali mereka terima dari petugas perhutani. Persoalan kebutuhan kayu merupakan masalah yang cukup serius bagi masyarakat di desa tersebut. Pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan oleh Perhutani tidak memiliki skema tata niaga khusus yang bisa diakses oleh masyarakat desa hutan. Harga kayu masih sangat tinggi karena harus memenuhi standar harga dasar kayu jati resmi, dan ini sama sekali tidak bisa dijangkau oleh masyarakat setempat. Oleh karena itulah masyarakat menempuh jalan keluar dengan mengembangkan cara-cara perbanditan untuk mendapatkan kayu tersebut. Perbanditan itu diekspresikan dengan pencurian kayu yang hingga tahun 2000-an terus mengalami eskalasi.
Sejak pertengahan tahun 1998, sebenarnya sudah mulai terjadi pencurian kayu jati oleh masyarakat di wilayah KPH Randublatung, namun volumenya masih relatif kecil dan masyarakat masih sangat takut dengan petugas kehutanan. Namun ketika memasuki tahun 1999, ada seorang pencari kayu bakar yang disangka pencuri kayu ditembak mati 13
oleh salah seorang petugas Perhutani. Akibat kejadian ini, masyarakat menjadi sangat marah, dan kemarahan itu diekspresikan dengan melakukan penjarahan kayu dengan tidak lagi merasa takut kepada petugas Perhutani. Bahkan pada saat itu banyak diantara petugas keamanan Perhutani yang malah merasa takut berhadapan dengan masyarakat yang menjarah kayu di kawasan hutan milik Perhutani. Beberapa kantor Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) di wilayah KPH Randublatung juga dirusak dan dibakar oleh masyarakat. Selain melakukan penjarahan dan pengrusakan terhadap aset Perhutani, muncul pula bentuk-bentuk ketegangan lain yang terjadi antara masyarakat dengan aparat pemerintah terutama petugas Perhutani di wilayah KPH Randublatung. Hampir setiap hari terjadi perkelahian masal antara penjarah dengan petugas Perhutani. Masyarakat sering melakukan penghadangan dan penyiksaan terhadap petugas Perhutani dikarenakan dendam, dan begitu pula sebaliknya. Tidak jarang terjadi aktivitas penculikan warga yang dituduh melakukan pencurian kayu oleh aparat keamanan Perhutani dibantu oleh pihak kepolisian.
Dalam perkembangannya, aksi penjarahan dan pengrusakan oleh masyarakat menjadi semakin brutal dan meluas. Masyarakat menjadi semakin berani melawan Perhutani dan bahkan aparat keamanan (TNI dan Polisi) yang dimintai tolong oleh Perhutani untuk ikut menjaga hutan. Diduga kuat tindakan ini juga dipicu oleh situasi politik negara yang sedang goncang, yaitu pada saat turunnya Suharto dan kemudian digantikan oleh Habibie sebagai rangkaian dari proses reformasi di Indonesia. Pada masa itu (tahun 1999), kepercayaan rakyat kepada pemerintah menurun karena krisis moneter yang tak kunjung teratasi, kewibawaan pemerintah juga semakin berkurang dan lemahnya penegakan hukum oleh aparatus negara. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi semakin berani untuk melakukan tindakan melanggar hukum demi memenuhi ambisi atau kepentingan mereka.
Analisis Konflik Perbedaan persepsi terhadap keberadaan hutan juga merupakan permasalahan mendasar yang dapat menimbulkan berbagai macam konflik kepentingan. Disatu sisi hutan dipandang sebagai sumber kekayaan alam yang sangat potensial untuk menghasilkan uang bagi negara, sehingga dalam pandangan ini penguasaan terhadap hutan adalah 14
mutlak oleh negara dan hasilnya juga sebagian besar untuk negara. Namun dari kacamata masyarakat desa hutan atau perambah hutan, hutan merupakan tempat bagi mereka untuk menghasilkan berbagai macam barang yang dapat dijual guan memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Mereka merasa hutan merupakan barang publik yang mereka dapat memanfaatkannya secara leluasa. Mereka tidak menganggap hutan itu hak milik mereka namun seperti telah menjadi miliknya, karena keterikatannya dengan hutan yang demikian kuatnya.
Memahami konflik antara pemerintah dengan masyarakat desa hutan, tidak dapat lepas dari persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan jati yang selama ini menjadi domain Perum Perhutani. Salah satu persoalan dasarnya adalah tertutupnya akses masyarakat desa hutan terhadap sumberdaya hutan disekitarnya. Ditambah lagi dengan persoalan sosial ekonomi masyarakat yang belum tersentuh oleh kebijakan makro pemerintah. Jika pemerintah benar-benar ingin mengatasi berbagai permasalahan tersebut, maka Perhutani harus mau merubah paradigma pengelolaan hutan dengan memberikan porsi lebih pada usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Ketika kemudian praktek kehutanan negara tidak mampu menyelesaikan problem kemiskinan bagi masyarakat desa hutan. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu adanya deforestasi dan dehumanisasi. Situasi ini akan memicu tindakan-tindakan brutal dan anarkhis masyarakat dalam mengambil kemanfaatan dari hutan maupun ketika mereka harus berhadapan dengan petugas Perhutani ketika sedang mengambil sesuatu secara ilegal dari hutan. Proses radikalisasi masyarakat berupa penjarahan kayu dan lahan hutan tersebut dapat dijelaskan melalui dua hal. Pertama, proses radikalisasi ini dipicu oleh adanya konflik berkepanjangan antara masyarakat lokal dengan Perhutani (sebagai representasi dari pemerintah) yang tidak kunjung selesai. Kedua, ketika reformasi berjalan, yang kemudian mengakibatkan semakin longgarnya ikatan-ikatan sosial serta menurunnya kewibawaan pemerintah, hal ini memicu munculnya keberanian masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan radikal tersebut. Reformasi dipahami oleh masyarakat sebagai sebuah momentum untuk balas dendam terhadap ketidakadilan selama Orde Baru, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan hutan. Ketika pada era Orde Baru pemerintah memonopoli hampir seluruh kemanfaatan 15
hutan dan masyarakat desa yang tinggal di sekitarnya tidak mendapat bagian yang cukup dan cenderung termarjinalkan, maka ketika reformasi berjalan, mereka seolah menemukan momentum yang tepat untuk mengekspresikan aksi balas dendamnya dengan melakukan pencurian kayu jati secara besar-besaran. Mereka melakukannya secara membabi buta tanpa rasa takut kepada aparat kemanan hutan yang bertugas.
Jika konflik pengelolaan hutan jati di Jawa ingin dikurangi atau dikelola lebih baik, maka diperlukan sebuah perubahan mendasar terhadap paradigma dan politik dalam pengelolaan hutan. Salah satu sistem pendukungnya adalah manajemen konflik dalam pengelolaan hutan harus segera dipersiapkan, disamping juga harus dilaksanakan penegakan hukum yang konsisten berdasarkan sistem hukum yang benar dan betul betul mencerminkan semangat keadilan. Satu hal yang harus disadari adalah bahwa konflik akan selalu ada, dan bukan hanya dalam persoalan-persoalan sumber daya hutan. Dengan demikian solusi pemecahannya bukan dengan menghilangkan konflik sama sekali.
Pola Manajemen Konflik 1. Level Tindakan Ditingkat lokal, penyelesaian konflik yang terjadi antara perhutani dan masyarakat dapat dilakukan dengan cara mediasi, advokasi, negosiasi dan berbagai bentuk penyelesaian lain yang lebih mengedepankan penghormatan kepada pihak yang berkonflik. Sehingga nantinya akan ada semacam equal bargaining yang dikembangkan dan dapat menyelesaikan konflik secara win-win solution. Pada awal munculnya konflik antara masyarakat dengan Perhutani, sebenarnya telah dilakukan upaya rekonsiliasi (menurut Zartman, 1997 dikenal dengan istilah reconciling), yaitu dengan mempertemukan pihak yang berkonflik dalam rangka berdiskusi tentang bagaimana mengatasi perbedaan kepentingan tersebut. Namun diskusi diantara kedua pihak yang berkonflik di atas tidak pernah mencapai kesepakatan, karena Perhutani selalu tidak dapat memenuhi tuntutan masyarakat terkait dengan akses masyarakat untuk menikmati hasil hutan. Ketidakmampuan Perhutani tersebut sekali lagi disebabkan karena paradigma pengelolaan hutan yang mereka lakukan masih bersifat state forestry,
16
sehingga dia tidak mau untuk melakukan skema bagi hasil kepada masyarakat. Situasi ini terus berlanjut sampai dengan akhir tahun 2000.
Dalam kondisi tersebut, maka kemudian tindakan yang muncul dari Perhutani dalam rangka menyelesaikan konflik adalah berupa penetapan atau pengkaliman siapa yang benar dan salah (adjudicating). Setelah itu otomatis Perhutani bersama dengan aparat keamanan dari pemerintah (Polisi) akan melakukan tindakan penghukuman pihak yang salah secara ekstrim dan dianggap membahayakan (repressing), yang dalam hal ini yaitu masyarakat yang melakukan aksi penjarahan hutan dan pengrusakan aset pemerintah. Kedua macam pola manajemen konflik tersebut ternyata masih belum mampu menyelesaikan konflik yang terjadi, bahkan tindakan represi yang dilakukan malah lebih memancing kemarahan masyarakat dan memicu konflik yang lebih besar dan luas. Dari pengalaman ini kemudian memunculkan gagasan untuk berusaha mencari solusi pada level yang lebih tinggi, yaitu level politik dan kebijakan, yang selama ini dianggap tidak berpihak kepada masyarakat. Diharapkan nantinya jika sudah ada skema politik dan kebijakan yang kondusif, maka akan dihasilkan aturan-aturan dalam hal pengelolaan hutan yang lebih mengakomodir kepentingan masyarakat, dengan tanpa merugikan negara secara signifikan (institutionalizing).
2. Level Kebijakan Dalam tataran politik dan kebijakan, berdasarkan uraian dan analisis konflik di atas, maka Perhutani diharapkan untuk mau merubah visi dan misi pengelolaan hutannya dalam rangka lebih memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Budaya pengelolaan hutan warisan kolonial yang selalu memarjinalkan masyarakat desa hutan harus segera ditinggalkan. Strategi pengelolaan hutan dengan tujuan memaksimalkan hasil dengan meminimalkan input masyarakat sudah tidak cocok lagi. Paradigma yang dibutuhkan saat ini adalah yang lebih memberikan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi di dalamnya. Partisipasi ini tidak hanya dalam pengelolaannya namun juga dalam menikmati hasilnya kelak. Dalam paradigma ini mungkin pendapatan negara akan berkurang, namun keamanan dan kelestarian hutan relatif terjaga karena tidak lagi ada penjarahan oleh masyarakat dan adanya pertisipasi
17
aktif masyarakat dalam setiap kegiatan pengelolaan. Disamping itu misi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga dapat dipenuhi.
Kalau Zartman (1997), menjelaskan bahwa salah satu model manajemen konflik adalah berupa tindakan submerging, yaitu adanya inisiatif pemerintah untuk mengatasi masalah dengan membuat satu program baru yang bisa mengakomodir secara adil seluruh kepentingan pihak yang bertikai, maka Perum Perhutani sebenarnya sudah berusaha menginisiasi upaya untuk merubah paradigma pengelolaan hutannya dengan dilaksanakannya program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sejak tahun 2001. Jika dilihat dari landasan filosofisnya, dengan PHBM ini seolah-olah Perhutani sudah mulai merubah visi dan misi pengelolaan hutannya dan berani berbagi hasil dengan masyarakat. Namun kalau dicermati lebih jauh dan setelah dilihat realita yang ada setelah program ini dilaksanakan, ternyata masih terdapat beberapa kelemahan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program tersebut. Kelemahan tersebut antara lain bahwa program ini masih bersifat sentralistik, dalam artian seluruh tata aturannya masih ditetapkan di level atas Perhutani. Selain itu juga konsep bagi hasil yang ditawarkan masih terbatas pada hasil kayu yang ini akan sangat sempit perannya dalam kontribusinya untuk memecahkan masalah pembangunan wilayah, karena ada beberapa masyarakat yang mungkin lebih membutuhkan pangan, pakan ternak ataupun kayu bakar.
Oleh karena itu kedepan, Perhutani harus mau merubah arah dan model kebijakan pengelolaan hutan dengan lebih mengedapankan aspek partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun dalam menikmati hasilnya. Perhutani harus mengakomodir input masyarakat berupa persepsi, aspirasi, kemampuan dan kearifan lokal secara proporsional. Sebagai konsekuensinya, agar masyarakat dapat lebih berdaya guna, maka Perhutani juga harus mau melakukan penyuluhan, pelatihan dan penyediaan sarana prasarana bagi masyarakat. Nantinya setelah masyarakat berdaya guna, maka harus ada pembagian kerja dalam pengelolaan hutan secara jelas dan profesional sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dengan strategi ini diharapkan nantinya hutan akan menjadi lebih aman karena masyarakat ikut serta menjaganya.
18
Hasil Pembelajaran (1) Mampu memahami dan menjelaskan berbagai macam strategi dalam resolusi konflik sosial (2) Mampu menemukan dan menganalisis kasus konflik di kehutanan sampai pada perumusan strategi resolusi konfliknya
Aktifitas (1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah, (2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan (3) Mencari kasus konflik pengelolaan hutan di Indonesia dan menganalisisnya (4) Diskusi dan menjawab kuis
Kuis dan latihan (1) Terangkan berbagai macam strategi yang dapat dipilih dalam upaya pemecahan konflik sosial dan berikan contohnya ! (2) Data apa saja yang dibutuhkan untuk dapat merumuskan sebuah strategi resolusi konflik dan berikan contoh kasusnya di kehutanan !
19
DAFTAR PUSTAKA
Awang S.A. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Awang S.A. 2005. Menuju Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional. FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi. 2008. Konflik Kepentingan antara Masyarakat dan Pemerintah di Kawasan Suaka Margasatwa Paliyan (SMP). FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi. 2010. Konflik dan Upaya Meredam oleh Masyarakat (Kasus Kelompok Tani Hutan Rakyat “Jati Mulyo Lestari” di Blitar). FKT UGM. Yogyakarta Panggabean S.R., 2007, Manajemen Konflik; Handout Mata Kuliah Governance dan Manajemen Konflik Politik, Program Pascasarjana, Jurusan Ilmu Politik, UGM Pruit D.G., dan Rubin J.Z., 2004, Teori Konflik Sosia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta. Siswoko B.D. 2008. Perlawanan Masyarakat Desa Hutan terhadap Perum Perhutani. FKT UGM. Yogyakarta Siswoko B.D. 2010. Analisis Konflik dalam Penambangan Ilegal di BKPH Ngliron, KPH Randublatung. FKT UGM. Yogyakarta Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Sukisno, 1999, Kesejahteraan Masyarakat dalam Hubungannya dengan Pencurian Kayu Jati di BKPH Pojok KPH Purwodadi, Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta. Usman S., 2007, Analisis Konflik Sosial, Jurusan Sosiologi, Fisipol, UGM, Yogyakarta. Yasmi Y., 2007, Institutionalization of Conflict Capability in the Management of Natural Resources. PhD Thesis Wageningen University, Wageningen, Netherland. Zartman W., 1997, Governance and Conflict Management, Brooking Institution Press, Washington D.C.
20