BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR Norma dan nilai gender dalam masyarakat merujuk pada gagasan-gagasan tentang bagaimana seharusnya atau layaknya laki-laki dan perempuan dalam semua generasi dalam masyarakat tersebut. Laki-laki dan perempuan adalah berbeda. Sebagai contoh: di banyak masyarakat anak perempuan harus patuh dan manis serta diperbolehkan untuk menangis. Anak laki-laki, di pihak lain, diharapkan untuk berani dan tidak boleh menangis. Norma dan nilai gender yang berlaku di masyarakat ini menimbulkan adanya stereotipe gender. Stereotipe gender adalah pandangan masyarakat tentang apa yang anak laki-laki atau lelaki dewasa dan anak perempuan atau perempuan dewasa mampu lakukan. Beberapa ciri dari pandangan stereotipe tradisional yaitu: bahwa anak perempuan kurang pandai dibandingkan anak laki-laki, anak perempuan mempunyai kepekaan sosial, lembut, hangat, periang, suka mengalah dan tidak agresif; anak perempuan lebih mampu bekerjasama, perempuan adalah penata rumah tangga yang lebih baik; sedangkan anak laki-laki lebih impulsif, agresif, egosentrik, dominan, rasional, mandiri, dan percaya diri, anak laki-laki lebih baik dalam matematika dibandingkan anak perempuan, dan laki-laki lebih baik dalam hal kepemimpinan. Stereotipe gender tersebut melahirkan peran gender dalam masyarakat. Peran gender merujuk pada kegiatan-kegiatan yang secara nyata dilakukan oleh kedua jenis kelamin. Sebagai contoh: anak laki-laki membantu ayahnya bekerja di luar rumah di ladang dan anak perempuan membantu ibunya dalam pekerjaan rumah tangga. Pembedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin ini akan membawa dampak psikologis, baik pada laki-laki maupun pada perempuan. Ada tingkah laku tertentu yang dianggap hanya pantas dilakukan oleh laki-laki dan tidak patut dilakukan oleh perempuan, dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian ada pekerjaan-pekerjaan yang dianggap hanya sesuai untuk kaum laki-laki, dan ada jenis pekerjaan tertentu yang hanya bisa diberikan kepada perempuan. Perbedaan ini tidak begitu saja terjadi sejak seseorang dilahirkan, melainkan terbentuk
melalui suatu proses interaksi yang terus menerus antara orang tersebut dengan lingkungan sosialnya, yang disebut sebagai proses sosialisasi. Penanaman nilai-nilai sejak awal menjadi penting. Pola asuh yang diberikan orang tua kepada anak sangat mempengaruhi nilai-nilai tersebut, dimana nilai-nilai itu akan menjadi sebuah keyakinan dalam diri individu. Keyakinan bahwa perempuan lemah menyebabkan seseorang menempatkan perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan. Sebaliknya, perempuan yang posisinya rendah dibiarkan karena perempuan dianggap lemah. Hal ini berawal dari penekanan pada perbedaan aspek biologis antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan perbedaan tersebut menjadi bagian dari cara pandang dan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan. Karena kuatnya sistem kemasyarakatan dan budaya yang berlaku menyebabkan laki-laki dan khususnya, perempuan menerima perbedaan itu. Keyakinan yang dimiliki oleh anggota KOWAR perempuan maupun lakilaki sebagai hasil proses sosialisasi adalah berbeda-beda sesuai latar belakang budaya keluarga masing-masing. Sosialisasi peran gender dalam keluarga seluruh anggota KOWAR adalah baik. Hal ini sesuai dengan jawaban mereka dalam kuesioner dan hasilnya dapat dilihat dalam Tabel 15 berikut: Tabel 15. Jumlah dan Persentase Jawaban Responden mengenai Sosialisasi Peran Gender dalam Keluarga, Tahun 2009 Laki-laki (n) Sosialisasi Peran Gender Perempuan (n) (%) Jumlah (n) (%) (%) Baik
17 (100)
13 (100)
30 (100)
Buruk
0 (0)
0 (0)
0 (0)
Jumlah
17 (100)
13 (0)
30 (100)
Tingkat sosialisasi peran gender dalam keluarga yang baik ini diduga mengandung hubungan dengan tingkat kesetaraan gender dalam KOWAR. Seluruh anggota KOWAR perempuan dan laki-laki yang tingkat sosialisasi peran gender dalam keluarganya kuat relatif mengatakan bahwa tingkat tingkat kesetaraan gender KOWAR adalah setara. Hasil uji Rank-Spearman antara sosialisasi peran gender dalam keluarga anggota KOWAR dengan tingkat kesetaraan gender ialah sebesar 0,011. Taraf nyata yang digunakan adalah 0,05 sehingga hipotesis uji (H1) diterima, artinya terdapat hubungan yang
nyata/signifikan antara tingkat sosialisasi peran gender dalam keluarga anggota KOWAR dengan tingkat kesetaraan gender dalam KOWAR. Secara khusus, tingkat sosialisasi peran gender dalam keluarga anggota KOWAR ikut menentukan tingkat kesetaraan gender dalam KOWAR. Tabel 16. Jumlah dan Persentase Hubungan Tingkat Sosialisasi Peran Gender dalam Keluarga Responden dengan Tingkat Kesetaraan Gender dalam KOWAR, Tahun 2009 Tingkat Sosialisasi Peran Gender dalam Tingkat Kesetaraan Jumlah (n) Keluarga Gender (%) Kuat (n) (%) Lemah (n) (%) Setara
30 (100)
0 (0)
30 (100)
Tidak Setara
0 (0)
0 (0)
0 (0)
Total
30 (100)
0 (0)
30 (100)
Keterangan: p-Value: 0,011
Taraf Nyata: 0,05
Seluruh responden perempuan dan laki-laki menjawab bahwa perempuan perlu dan pantas untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi. Pendidikan tinggi berarti SMA dan perguruan tinggi, mulai dari D3, S1, S2, sampai S3. Seluruh responden juga menjawab bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama berhak untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Perempuan boleh mendapatkan pendidikan sampai tingkat tinggi, begitu juga dengan laki-laki. Seluruh responden perempuan dan laki-laki pun menjawab bahwa perempuan pantas untuk menjadi pemimpin. Tidak ada pandangan bahwa perempuan tidak pantas untuk memimpin yang diberikan oleh keluarga masingmasing responden, terutama orangtua. Perempuan syah-syah saja untuk menjadi pemimpin. Tingkat sosialisasi peran gender dalam keluarga masing-masing responden ini menunjukkan hasil yang kuat. Tingkat sosialisasi peran gender yang kuat tersebut menunjukkan bahwa responden perempuan dan laki-laki memiliki pemahaman yang cukup mengenai gender. Responden perempuan dan laki-laki sama-sama berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki berhak memiliki pendidikan yang setara, perempuan berhak untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi, dan perempuan juga berhak untuk menjadi pemimpin.
Namun pada kenyataannya, masih terdapat anggota koperasi yang menganut anggapan bahwa perempuan tidak pantas menjadi pemimpin. Pada pemilihan calon ketua koperasi pada periode 2007-2011 contohnya, perempuan yang mendapatkan suara terbanyak dan otomatis menjadi ketua telah menolak kemenangannya menjadi ketua. Beliau menyerahkan posisi yang seharusnya ia tempati menjadi ditempati orang lain, yaitu laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh anggapan yang masih dianut perempuan tersebut bahwa seorang perempuan tidak pantas menjadi pemimpin. Berikut penjelasannya: ”...saya nolak jadi ketua karena Pak Haji (Bapak Mhd) kan lebih pantes jadi ketua, kalo laki-laki yang jadi ketua kan pasti lebih berwibawa, tegas, dan bijaksana, toh selisih suara saya dan dia juga dikit...” (Ibu Yn, 47 tahun). Pernyataan Ibu Yn tersebut menyiratkan bahwa ia masih menganut anggapan bahwa perempuan tidak pantas menjadi pemimpin. Anggapan ini tidak lepas dari faktor keluarga. Keluarga, terutama ayah dan ibu sebagai orangtua, banyak memberikan pengaruh kepada anak melalui nasihat, kisah pengalaman hidup mereka, ataupun pandangan mereka terhadap apa yang seharusnya pantas atau tidak pantas dilakukan perempuan dan laki-laki. Melihat latar belakang keluarga Ibu Yn, beliau merupakan etnis Jawa, dimana etnis Jawa masih menganut budaya patriarkhi. Budaya patriarkhi melahirkan keterbatasan perempuan dalam hal pengambilan keputusan baik di dalam keluarga maupun di masyarakat. Dalam keluarga, pengambilan keputusan didominasi oleh kaum laki-laki, demikian juga di lingkungan masyarakat yang lebih luas. Konstruksi gender yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan berakar pada berbagai faktor, diantaranya budaya, pendidikan, dan pemahaman ajaran agama. Sosialisasi peran gender dalam keluarga perempuan dan laki-laki merupakan faktor pikiran dan perasaan yang mempengaruhi seseorang dalam melakukakan tindakan. Tingkat sosialisasi peran gender dalam keluarga perempuan dan laki-laki ini berhubungan dengan tingkat kesetaraan gender dalam KOWAR. Tingkat kesetaraan gender dalam KOWAR masih menunjukkan adanya bias gender. Bias gender ini dipengaruhi oleh tingkat sosialisasi peran gender
dalam keluarga perempuan dan laki-laki yang lemah. Meskipun secara kuantitatif tingkat sosialisasi peran gender dalam keluarga perempuan dan laki-laki menunjukkan hasil yang kuat, masih terdapat bias gender yang menimbulkan isu ketidakadilan gender berupa stereotipe dan subordinasi pada penempatan posisi perempuan dan laki-laki dalam KOWAR. Kesimpulannya, tingkat sosialisasi peran gender dalam keluarga perempuan dan laki-laki menunjukkan adanya hubungan dengan tingkat kesetaraan gender. Semakin kuat tingkat sosialisasi peran gender dalam keluarga perempuan dan laki-laki maka tingkat kesetaraan gender dalam KOWAR juga semakin setara. Sebaliknya, semakin lemah tingkat sosialisasi peran gender dalam keluarga perempuan dan laki-laki maka tingkat kesetaraan gender dalam KOWAR juga semakin tidak setara. Tingkat sosialisasi peran gender dalam keluarga perempuan dan laki-laki dalam KOWAR adalah kuat, sejalan dengan tingkat kesetaraan gender KOWAR yang setara, meskipun masih adanya bias gender dalam penempatan posisi perempuan dan laki-laki. Agar organisasi berkembang dengan pola hubungan yang setara, harus ada pola asuh yang baik dalam keluarga, sehingga bisa menerapkan nilai-nilai dalam organisasi yang tepat pula dan tidak mengutamakan kepentingan jenis kelamin tertentu.