BAB VII EVALUASI PROGRAM KOMPOSTING RUMAH TANGGA Evaluasi program merupakan suatu proses untuk menentukan relevansi, efisiensi, efektivitas dan dampak program sesuai dengan tujuan yang akan dicapai secara sistematis dan objektif. Secara umum program ini bertujuan untuk mengurangi volume sampah yang keluar dari masing-masing rumah tangga, melalui upaya pemilahan sampah organik dengan anorganik, pengomposan dengan Keranjang Takakura atau lubang resapan Biopori, dan daur ulang sampah anorganik. Evaluasi Program Komposting Rumah Tangga menggunakan Model CIPP yaitu model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem, artinya konteks, masukan, proses dan hasil merupakan sasaran evaluasi yang tidak lain adalah komponen dari proses sebuah program kegiatan (Musa, 2005). 7.1 Evaluasi Konteks Evaluasi konteks merupakan upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, serta tujuan proyek. Evaluasi konteks fokus pada evaluasi tujuan program, aksi, dan kesepakatan kolektif rumah tangga. 7.1.1 Tujuan Program Tabel 28 menunjukkan perbandingan antara tujuan khusus program yang dalam kerangka acuan dengan hasil yang telah dicapai. Kerangka acuan kerja tujuan pertama yakni berkurangnya sampah dari RW percontohan yang harus dibuang ke TPS. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa jumlah sampah yang dibuang ke TPS berkurang, hal ini didasarkan pada keterangan petugas pengangkut sampah dari Dinas Kebersihan Bapak HS: “Biasanya saya ngambil sampah di TPS kompleks ini hari rabu atau jumat, seminggu sekali mbak, tapi semenjak jadi RW percontohan, jumlah sampahnya berkurang mbak, biasanya kan sampai numpuk-numpuk gitu. Saya juga jadi enak,
ngangkut sampah dari TPS ini jadi dua minggu sekali, malah pernah sebulan sekali.” Berdasarkan pernyataan diatas maka terdapat kesesuaian antara tujuan dengan implementasi di lapang, artinya tujuan pertama tercapai dengan baik. Tabel 28. Perbandingan Tujuan Program Menurut Kerangka Acuan dan Hasil yang Dicapai di RW 14, Kelurahan Rangkapanjaya Baru, Kota Depok Tahun 2009 Fokus Kerangka Acuan Hasil yang Dicapai Evaluasi Berkurangnya sampah dari RW Jumlah sampah yang dibuang ke percontohan yang harus dibuang ke TPS berkurang TPS Terbangunnya modal sosial warga Warga mengelola sampah secara di RW percontohan untuk secara kolektif dan mandiri dimulai Tujuan kolektif dan mandiri mengelola dari skala rumah tangga sampah di lingkungannya Terbentuknya kelembagaan di Terbentuknya kelompok kerja tingkat RW untuk menjamin (Pokja) RW Hijau keberlanjutan program
Kerangka acuan untuk tujuan kedua adalah terbangunnya modal sosial warga di RW percontohan untuk secara kolektif dan mandiri mengelola sampah di lingkungannya. Hal ini sesuai dengan fakta di lapangan yakni warga mengelola sampah secara kolektif dan mandiri, hal ini didasarkan pada pernyataan kader yang memantau kegiatan pengelolaan sampah di masing- masing rumah tangga, Ibu DS: “ Semenjak ada program komposting warga jadi termotivasi untuk mengelola sampah, ya bikin kompos pakai Takakura, ngumpulin sampah kemasan yang nantinya dikumpulkan secara kolektif oleh kader untuk dijual ke lapak bahkan ada yang membuat kreasi dari sampah, serti kader di RT 3 itu lho mbak yang bikin tas, dompet, dari sedotan bekas aqua gelas.” Pernyataan kader didukung dengan pernyataan responden, Ibu TY: “ Biasanya saya kalau ada sampah ya langsung dibuang gitu aja mbak, nggak pakai dipilah atau diolah dulu. Tapi semenjak ada program ini, setiap habis masakn kan banyak tu sampah sayurannya, ya saya masukin ke Takakura ajah biar jadi kompos, kan lumayan buat pupuk tanaman hias di halam rumah saya, jadi nggak perlu beli pupuk di luar. Saya juga suka ngumupulin sampah yang plastiknya mbak, kan lumayan kalau dijual masuk ke kas RT daripada dikasih pemulung.” Pernyaataan kedua responden diatas menunjukkan bahwa tujuan kedua tercapai dengan baik.
Tujuan ketiga kerangka acuannya adalah terbentuknya kelembagaan di tingkat RW untuk menjamin keberlanjutan program. Tujuan ini terwujud dengan dibentuknya Kelompok Kerja (Pokja) RW Hijau yang bertugas untuk mewadahi semua kegiatan dalam program. Ketika ada surat keputusan mengenai rencana pelaksanaan Program Komposting Rumah Tangga di RW 14, maka warga berinisiatif membentuk lembaga untuk mewadahi pelaksanaan program. yang dinamakan Pokja RW Hijau. Berikut pernyataan Bapak MN selaku inisiator Pokja RW Hijau: “ Begitu tahu akan ada program ini, saya langsung rembug dengan RW, namun peran RW yang menjabat saat itu kurang maksimal. Jadi, saya bersama para ketua RT dan perwakilan warga inisiatif membentuk kelembaagaan ini, supaya pelaksanaan program terkoordinasi dengan baik. Kemudian kami mengajukan proposal kepada DKLH (saat itu belum berganti nama menjadi DKP) untuk melegalkan kelembagaan ini hingga akhirnya SK turun dan sayalah yang diberi amanah oleh warga untuk mengetuai Pokja RW Hijau.” Berdasarkan pernyataan Bapak MN, maka tujuan ketiga tercapai dengan baik karena pembentukan Pokja RW Hijau atas dasar inisiatif warga bukan karena intervensi dari pemerintah (Dinas Kebersihan dan Pertamanan). 7.1.2 Aksi Kolektif Aksi individu sebagai bagian dari rumah tangga untuk mencapai tujuan program dibingkai dalam aksi kolektif karena aksi individu tidak akan mampu mengurangi sampah tanpa didukung oleh aksi kolektif. Tabel 29 menunjukkan perbandingan antara aksi kolektif yang terdapat dalam kerangka acuan dengan hasil yang telah dicapai. Tabel 29 menunjukkan bahwa secara garis besar hasil yang dicapai sesuai dengan kerangka acuan kerja yang telah ditetapkan. Namun, pada kerangka acuan yang ketiga, hasil yang dicapai menujukkan bahwa Tidak semua rumah tangga mengelola sampah dengan Keranjang Takakura ataupun Biopori. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu untuk membuat kompos dengan Takakura atau Biopori dan keterbatasan lahan yang dimiliki untuk membuat lubang resapan Biopori. Hal ini didukung oleh pernyataan responden, Ibu SP sebagai berikut:
“Saya dan suami kan sama-sama kerja mbak, jadi nggak ada waktu untuk ngolah sampah gitu, apalagi bikin kompos, sibuk banget apalagi nggak ada pembantu! Akhirnya sampah langsung dibuang gitu ajah nggak dipilah dulu, habisnya mau gimana lagi mbak.” Pernyataan tersebut didukung dengan pernyataan responden di RT 05 (Ibu AF) yang tidak memiliki lahan untuk Biopori: “Saya kan nggak punya halaman rumah mbak,jadi mau bikin lubang Biopori dimana kan nggak ada lahannya. Tapi biasanya Pak RT suka bikin lubang Biopori di sepanjang jalan kompleks khususnya di RT ini mbak.” Berdasarkan kedua pernyataan responden, maka hasil yang dicapai dari aksi kolektif kerangka acuan ketiga kurang maksimal, karena tidak semua rumah tangga mengelola sampah dengan Keranjang Takakura atau Biopori. Tabel 29. Perbandingan Aksi Kolektif Menurut Kerangka Acuan dan Hasil yang Dicapai di RW 14, Kelurahan Rangkapanjaya Baru, Kota Depok Tahun 2009 Fokus Hasil yang Dicapai Kerangka Acuan Evaluasi Tiap rumah tangga membuang Sampah sisa dibuang ke tempat sampah di tempat sampah di sampah yang terletak di depan rumahnnya masing-masing rumah masing-masing rumah tangga Tiap rumah tangga berupaya Sebagian besar rumah tangga mengurangi sampah yang keluar sudah berusaha meminimalisir dari persil lahannya masing- sampah domestik masing Tiap rumah tangga mengelola Tidak semua rumah tangga sampah organik di rumahnya mengelola sampah dengan Aksi masing-masing dengan Keranjang Keranjang Takakura ataupun Kolektif Takakura dan komposter resapan Biopori Biopori Tiap rumah tangga Hampir setiap rumah tangga mengumpulkan sampah anorganik mengumpulkan sampah yang masih dapat dijual dan anorganik yang dapat dijual menjualnya secara kolektif ke lapak Tiap rumah tangga membuang Rumah tangga membuang sampah sisa untuk diangkut oleh sampah sisa ke bak sampah yang gerobak pengangkut sampah terletak di depan rumah
7.1.3 Kesepakatan Kolektif Aksi kolektif dilakukan melalui kesepakatan kolektif komunitas di tingkat lokal tentang bagaimana pengelolaan sampah di masing-masing rumah tangga.
Tabel 30 menunjukkan perbandingan antara kesepakatan kolektif menurut kerangka acuan dengan hasil yang dicapai. Kesepakatan pertama mengenai pengangkutan sampah dilakukan oleh petugas kebersihan dengan gerobak pengangkut sampah terpilah yang dikoordinir RT atau RW berjalan dengan baik. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pengurus RT mengkoordinir pengangkutan sampah melalui petugas kebersihan yang bertugas untuk mengangkut sampah dari masing-masing rumah tangga dengan gerobak sampah terpilah. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu petugas kebersihan yang mengangkut sampah di RT 03 dan RT 05: “Saya ngangkut sampah di dua RT mbak, RT 03 dan 05. Temen saya juga sama, tapi ada yang megang tiga RT. Petugas kebersihan diurusin sama masing-masing RT, termasuk gaji petugas. Kalau darimana uang gajinya saya kurang tahu mbak, mungkin dari iuran warga di RT yang sampahnya kita ambilin rutin setiap pagi.” Berdasarkan pernyataan petugas kebersihan diatas maka hasil yang dicapai oleh kesepakatan pertama sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan. Kesepakatan kedua mengenai pemanfaatan kompos hasil pengomposan sampah organik secara kolektif tidak tercapai karena hasil pengomposan sampah dimanfaatkan sendiri oleh rumah tangga, belum ada yang mengumpulkan kompos untuk dikelola secara kolektif. Hal ini didukung oleh pernyataan salah satu responden dari RT 01: “Kompos dari Takakura kalau sudah jadi saya pakai sendiri mbak untuk pupuk tanaman hias saya. Sampai saat ini belum ada kader atau Pokja yang mengumpulkan kompos untuk dikelola secara kolektif, jadi ya dipakai sendiri, lumayan kan mbak ngurangin biaya pembelian pupuk.” Berdasarkan pernyataan responden RT 01, maka hasil dari kesepakatan kedua tidak tercapai, karena hasil yang dicapai tidak sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan. Kesepakatan ketiga dan keempat mengenai dana hasil penjualan sampah anorganik secara kolektif dan besar iuran sampah yang harus dibayar tercapai dengan baik yaitu uang hasil penjualan sampah masuk ke kas masing-masing RT dan iuran yang dibayar oleh warga tiap bulan meliputi iuran kebersihan dan
keamanan masing-masing RT yakni rata-rata Rp 35.000 setiap bulannya. Hal ini didasarkan pada pernyataan salah satu kader RT 03 (Ibu NS): “Sampah yang dijual ke lapak, uangnya masuk ke kas RT mbak, kalau iuran per bulan yang Rp 35.000 itu biasanya juga kader yang narikin ke warga, tapi ada juga sih warga yang inisiatif bayar tanpa perlu ditagih. Laporan keuangan hasil penjualan sampah dan iuran juga ada per bulannya, nanti baru dilaporkan ke RT dan warga biasanya saat arisan, biar transparan gitu, jadi warga nggak curiga dan tahu dikemanakan uangnya.” Pernyataan kader RT 03 menunjukkan bahwa hasil yang dicapai pada kesepakatan ketiga dan keempat sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan Tabel 30. Perbandingan Kesepakatan Kolektif Menurut Kerangka Acuan dan Hasil yang Dicapai di RW 14, Kelurahan Rangkapanjaya Baru, Kota Depok Tahun 2009 Fokus Kerangka Acuan Hasil yang Dicapai Evaluasi Pengangkutan sampah dilakukan Pengangkutan sampah oleh gerobak pengangkut sampah dikoordinir oleh masing-masing yang dikoordinir RT atau RW RT melalui petugas kebersihan yang mengangkut sampah sisa dengan gerobak untuk dibawa ke TPS Komunitas RT menyepakati Hasil pengomposan sampah pemanfaatan kompos hasil organik dimanfaatkan sendiri Kesepakatan pengomposan sampah organik tidak secara kolektif secara kolektif kolektif Komunitas RT menyepakati dana Uang hasil penjualan sampah hasil penjualan sampah anorganik anorganik masuk ke kas RT secara kolektif. Menyepakati besar iuran sampah Iuran yang dibayar oleh warga yang harus dibayar tiap rumah tiap bulan meliputi iuran tangga kebersihan dan keamanan berbeda masing-masing RT yakni rata-rata Rp 35.000/bulan
7.2 Evaluasi Input Evaluasi Input fokus pada Implementasi program tentunya melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan program (stakeholders), diantaranya Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Pokja RW Hijau, kader lingkungan, dan warga RW 14. Dinas Kebersihan dan Pertamanan seharusnya memiliki tanggung jawab penuh terhadap seluruh rangkaian kegiatan percontohan mulai dari tahapan perencanaan hingga evaluasi program, akan tetapi tanggung jawab DKP baru
sampai pada tahap pelaksanaan saja, belum sampai pada tahap monitoring dan evaluasi program. Ketika dikonfirmasi ke DKP mengenai masalah ini berikut pernyataan narasumber: “Waduh mbak, saya kurang tahu menahu mengenai masalah monitoring dan evaluasi program komposting yang di Kelurahan Rangkapanjaya Baru, udah setahun yang lalu kan programnya..” Peneliti tidak mendapatkan kepastian mengenai belum terlaksananya monitoring dan evaluasi terhadap Program Komposting Rumah Tangga. Namun warga sendiri juga menyayangkan tindakan dinas yang seolah-olah melepaskan tanggung jawab kepada warga. Berikut pernyataan yang dikutip dari salah satu responden: “DKP belum pernah datang lagi mbak, pertama dan terkahir ya waktu sosialisasi program itu, udah habis itu nggak pernah kesini lagi. Jadi, gimana mau monitor atau evaluasi. Baru mbak dari IPB ini yang datang untuk evaluasi program. Saya bersyukur mbak datang karena akhirnya warga ada yang memperhatikan, jadi harapannya dengan kedatangan mbak warga termotivasi untuk melanjutkan program..” Salah satu informan juga mengungkapkan hal yang serupa: “Belum pernah ada monitoring atau evaluasi dari DKP. Mbak dari IPB ini yang pertama datang untuk evaluasi program ini. Jujur kami sangat senang dan merasa terbantu. Akhirnya ada juga yang datang untuk memantau pelaksanaa program ini, warga juga merasa diperhatikan. Semoga kedatangan mbak dapat memotivasi semangat warga untuk melaksanakan program kembali.” Berdasarkan kedua pernyataan diatas, maka dapat dikatakan bahwa Dinas Kebersihan dan Pertamanan kurang menjalankan fungsinya dengan baik, karena ada tahapan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan. Pokja RW Hijau yang menangani segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan program sekaligus penjamin keberlangsungan program ternyata kinerjanya mulai menurun, akibat kesibukan masing-masing anggota Pokja, hanya ketua Pokja RW Hijau yang masih aktif. Berikut pernyataan salah satu informan: “Awalnya masih pada semangat mbak, tapi semakin kesini semakin menurun kinerjanya. Rata-rata anggota pokja bekerja dan jam kerjanya padat, sehingga sulit untuk menemukan waktu yang tepat untuk aktif dalam kegiatan pokja..”
Pernyataan tersebut didukung oleh salah satu anggota pokja yang sudah jarang aktif di kegiatan Pokja RW Hijau: “Waktu awal program ini bergulir, saya masih tdak terlalu sibuk, kerjaan juga belum banyak. Tapi sekarang sudah berbeda mbak, pekerjaan menumpuk dan jam kerja saya juga padat, kadang weekend masih ngantor, jadi jarang bias ikut ngurusin pokja. Tapi, kalau ada waktu senggang saya usahain untuk membantu kegiatan pokja..” Berdasarkan kedua pernyataan diatas, maka Pokja RW Hijau kurang menjalankan fungsinya dengan baik, hal ini dibuktikan dengan kinerja anggota Pokja yang semakin menurun akibat kesibukan kerja. Kader lingkungan hanya melaksanakan tugas dan kewajiban ketika di awal program saja. Kinerja kader lingkungan mulai menurun akibat tidak adanya lagi insentif yang diberikan oleh DKP setiap bulannya. Awalnya Pokja dan kader lingkungan mendapatkan insentif sebesar Rp 385.000 setiap bulannya selama tiga bulan program berjalan. Hal ini dimungkinkan menyebabkan beberapa kader mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas. Berikut pernyataan salah seorang informan: “Tiga bulan sejak program ini berjalan DKP memberikan insntif kepada kader lingkungan dan Pokja RW Hijau sebesar Rp 385.000. Hal ini merupakan bentuk penghargaan kepada mereka dan harapannya kader dan pokja dapat bekerja secara maksimal.” Namun, informan lain berpendapat lain: “Justru karena itu mbak, kenapa hanya tiga bulan di awal saja DKP memberikan perhatian terhadap kinerja kami, setelah itu dilepas begitu saja. Bukannya kami bergantung kepada mereka, tetapi hal ini justru malah mengindikasikan bahwa mereka lepas tanggung jawab begitu saja karena merasa sudah memberikan insentif di awal..” Menurut warga, kader juga sudah jarang memonitor ke rumah warga. Berikut pernyataan salah satu responden: “Awalnya kader rajin memantau pengelolaan sampah yang dilakukan ke rumah warga, mungkin karena masih dibayar. Tapi sekarang udah jarang tuh malah nggak pernah, jadi saya juga males mbak ngejalaninnya..” Berdasarkan pernyataan kedua informan dan responden diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kurangnya komunikasi antara DKP, Pokja RW Hijau, dan
kader lingkungan, sehingga mereka kurang dapat melaksanakan fungsinya sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan. Hal ini dikarenakan masing-masing stakeholders memiliki persepsi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, diperlukan komunikasi yang efektif antara DKP, Pokja RW Hijau dan kader lingkungan agar mereka dapat meningkatkan kinerja dalam melaksanakan fungsi mereka dalam Program Komposting Rumah Tangga. Warga RW 14 juga tidak seluruhnya berpartisipasi aktif dalam program dikarenakan sibuk kerja dan bosan dengan pelaksanaan program yang monoton. Tabel 31 menunjukkan bahwa hasil yang dicapai tidak sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan, artinya stakeholders kurang dapat melaksanakan fungsinya sesuai dengan kerangka acuan kerjanya. Tabel 31. Perbandingan Stakeholders Menurut Kerangka Acuan dan Hasil yang Dicapai di RW 14, Kelurahan Rangkapanjaya Baru, Kota Depok Tahun 2009 Fokus Kerangka Acuan Hasil yang Dicapai Evaluasi bertanggungjawab Dinas Kebersihan dan Hanya sampai tahap pelaksanaan Pertamanan: bertanggungjawab penuh terhadap program saja, belum sampai seluruh rangkaian kegiatan pada tahap monitoring dan percontohan mulai dari tahapan evaluasi perencanaan hingga evaluasi program Kinerja mulai menurun, Kelompok Kerja RW Hijau: menangani segala hal yang sehingga hanya ketua Pokja RW berkaitan dengan pelaksanaan Hijau yang masih aktif program sekaligus penjamin berpartisiapasi dalam keberlanjutan program pelaksanaan program Stakeholders Kader lingkungan Ketika awal program kader - memantau pengomposan masih semangat menjalankan ‘Takakura’ (sebulan sekali) tugas dan kewajiban, namun - memilah sampah (sesuai semenjak tidak mendapatkan jenisnya) yang telah insentif dari dinas, kinerja menurun, ada beberapa kader dikumpulkan di pos sampah - penyambung lidah RW yakni yang mengundurkan diri tanpa menyampaikan informasi dari alasan yang jelas, selain itu RW ataupun RT kepada warga kader juga sudah jarang - menyadarkan warga untuk memonitor ke rumah masingmasing warga menjaga kebersihan Tidak seluruh warga Warga RW 14 : sasaran program berpartisipasi aktif
7.3 Evaluasi Proses Evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Implementasi program dilakukan secara bertahap dimana masing-masing tahapan memiliki kerangka acuan kerja yang telah ditetapkan. Tabel 32 menunjukkan hasil evaluasi program dengan membandingkan kerangka acuan setiap tahapan program dengan hasil yang telah dicapai. Sosialisasi dan penyepakatan di tingkat RT/RW merupakan tahapan program yang pertama. Hasil yang dicapai dalam tahapan sosialisasi adalah komunitas RW dan RT paham atas latar belakang, tujuan, dan tahapan program, serta sepakat untuk melaksanakan program. Hal ini didasarkan pada pernyataan salah satu responden peserta sosialisasi program: “Sosialisasi di tingkat komunitas RW dan RT bermanfaat, karena saya jadi tahu apalatar belakang, tujuan, tahapan, dan manfaat program ini terutama bagi lingkungan, sehingga muncul kesepakatan untuk melaksanakan program ini..” ” Berdasarkan pernyataan diatas maka tahap sosialisasi dan penyepakatan hasil berjalan dengan baik karena hasil yang dicapai sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan. Tahapan kedua adalah pelatihan tim kerja RW Hijau yang diwujudkan dalam Pelatihan Komposting Sampah Rumah Tangga yang diadakan pada Sabtu, 21 Juni 2008 mulai pukul 08.30 sampai dengan pukul 14.15 yang bertempat di Perumahan Griya Pancoran Mas Indah RW 14, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, dengan jumlah peserta lebih dari 300 orang. Pelatihan ini dihadiri oleh pejabat pemerintah Kota Depok, Kader PKK dan LPM se-Kota Depok serta pejabat, serta para pemberi materi. Perwakilan RW 14 yang hadir dalam kegiatan pelatihan ini adalah pengurus Pokja RW Hijau dan para kader lingkungan masing-masing RT. Hasil pelatihan yakni Pokja RW Hijau dan kader lingkungan paham dan trampil dalam mengelola sampah rumah tangga sehingga materi yang telah disampaikan dalam program ini kemudian disosialisasikan kepada warganya pada pertemuan, rapat atau arisan pada masing-masing RT. Tahapan ketiga adalah fasilitasi perlengkapan pengelolaan sampah rumah tangga. Serah terima fasilitas perlengkapan pengelolaan sampah rumah tangga yaitu keranjang belanja sebagai wadah sampah anorganik, keranjang Takakura beserta perlengkapannya dan alat
bor untuk membuat lubang resapan Biopori dilakukan ketika pelatihan tim kerja RW Hijau. Fasilitas perlengkapan pengelolaan sampah didistribusikan langsung ke setiap rumah tangga di masing-masing RT, sehingga masing rumah tangga dapat memanfaatkannya dengan baik. Tahapan keempat adalah aksi informasi dengan kerangka acuan pemahaman warga tentang program meningkat. Hasilnya berupa buletin dwi mingguan yang dibuat dan disusun oleh Pokja RW Hijau serta didistribusikan secara merata kepada warga melalui kader lingkungan. Buletin yang dibagikan kepada warga maka pengetahuan warga semakin meningkat sehingga
warga
semakin
memahami
pentingnya
pelaksanaan
Program
Komposting Rumah Tangga. Tabel 32. Perbandingan Tahapan Program Menurut Kerangka Acuan dan Hasil yang Dicapai di RW 14, Kelurahan Rangkapanjaya Baru, Kota Depok Tahun 2009 Tahapan Program Sosialisasi dan penyepakatan di tingkat RT/RW
Pelatihan tim kerja RW Hijau
Fasilitasi perlengkapan pengelolaan sampah rumah tangga Aksi informasi
Monitoring
Evaluasi
Kerangka Acuan
Hasil yang Dicapai
- Komunitas RW dan RT memahami latar belakang program, tujuan, dan tahapan kegiatan yang tercantum dalam program - Kesepakatan bersama untuk melaksanakan percontohan Pokja RW Hijau dan kader lingkungan memiliki ketrampilan dan mendampingi warga dalam mengelola sampah rumah tangga - Setiap warga memiliki dan menggunakan fasilitas atau perlengkapan untuk pengelolaan sampah rumah tangga - Adanya laporan pelaksanaan fasilitasi perlengkapan untuk mengetahui apakah perlengkapan tersebut didistribusikan secara merata Pemahaman warga tentang kegiatan percontohan meningkat - Memastikan bahwa kesepakatan di tingkat RT dan RW berlangsung secara optimal - Memperbaiki proses jika ada hal yang menyimpang dari kesepakatan atau untuk membangun kesepakatan baru - Menilai kesesuaian antara rencana dan pencapaian secara partisipatif - Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program - Merumuskan rekomendasi pelaksanaan program sejenis selanjutnya
Komunitas RW dan RT paham latar belakang, tujuan, dan tahapan program dan sepakat untuk melaksanakan percontohan Pokja RW Hijau dan kader lingkungan trampil dalam mengelola sampah rumah tangga Distribusi merata sehingga tiap rumah tangga mendapatkan perlengkapan pengelolaan sampah dan menggunakannya dengan baik
Buletin yang diedarkan dwi mingguan kepada warga RW 14 Pelaksanaan program belum dimonitor oleh dinas, sehingga belum ada laporan tentang pelaksanaan program
Belum ada evaluasi yang dilakukan oleh dinas terkait pelaksanaan program sehingga belum ada laporan hasil evaluasi program
Tahapan berikutnya adalah monitoring dan evaluasi program. Monitoring diadakan untuk memastikan bahwa kesepakatan di tingkat RT dan RW berlangsung secara optimal memperbaiki proses jika ada hal yang menyimpang dari kesepakatan atau untuk membangun kesepakatan baru. Kerangka acuan evaluasi adalah menilai kesesuaian antara rencana dengan pencapaian secara partisipatif, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program, dan merumuskan rekomendasi pelaksanaan program sejenis selanjutnya. Namun hasil yang dicapai dari kedua tahapan ini tidak sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan. Hingga saat ini belum ada monitoring ataupun evaluasi yang dilaksanakan oleh dinas terkait, sehingga belum ada laporan tertulis mengenai hasil monitoring dan evaluasi mengenai pelaksanaan program. Hasil wawancara
mendalam
dengan
responden
diketahui
bahwa
pihak
penanggungjawab program tidak melakukan monitoring ataupun evaluasi terhadap pelaksanaan program, berikut pernyataan salah satu responden: “Program ini sebenarnya masih berjalan mbak, cuman ya gitu nggak pernah dimonitor sama pemkot atau dinas, nggak diperhatikan lah, jadinya warga setengah hati ngerjainnya, ya termasuk saya ini!” Pernyataan ini didukung oleh pernyataan responden lain berikut: “Pas awal mulai sih warga masih semangat, maklum yah awalawal jadi masih anget-angetnya gitu, tapi semakin kesini kok nggak ada perhatian yah dari dinas, boro-boro monitoring atau evaluasi mbak, kesini aja nggak! Baru mbak dari IPB ini yang datang.” Berdasarkan Tabel 32 dapat dirumuskan bahwa tahapan sosialisasi dan penyepakatan di tingkat RT/RW, pelatihan tim kerja RW Hijau, fasilitasi perlengkapan pengelolaan sampah rumah tangga, dan aksi informasi terwujud dengan baik karena hasil yang dicapai sesuai dengan kerangka acuan yang ditetapkan. Lain halnya dengan tahapan monitoring dan evaluasi program yang tidak dapat terwujud dengan baik, karena hasil yang dicapai bertolak-belakang dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan. Pada dasarnya program telah dilaksanakan dengan baik walaupun tahapan program tidak dilaksanakan sepenuhnya.
7.4 Evaluasi Hasil Evaluasi hasil diarahkan pada perubahan yang terjadi pada masukan mentah seperti pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, dampak program (misalnya, perubahan perilaku individu setelah dikenai sebuah program). Hasil atau output yang diharapkan dari Program Komposting Rumah Tangga adalah perubahan perilaku peserta program meliputi aspek pengetahuan, sikap, dan tindakan dalam mengelola sampah domestik. Perubahan perilaku dipengaruhi oleh tingkat partisipasi peserta program. Tingkat pengetahuan seluruh responden dalam program adalah tinggi, begitu pula dengan sikap seluruh responden adalah positif, sehingga tidak ada korelasi antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan tingkat partisipasi peserta program. Lain halnya dengan tindakan memiliki hubungan yang nyata atau positif dengan tingkat partisipasi, artinya tingkat partisipasi peserta program mempengaruhi tindakan responden. Jadi, tingkat partisipasi peserta program mempengaruhi perubahan perilaku baik aspek pengetahuan, sikap, dan tindakan dalam mengelola sampah domestik. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi perubahan perilaku seperti yang diharapkan, artinya output dalam program tercapai.
7.5 Ikhtisar Evaluasi Program Komposting Rumah Tangga menggunakan model evaluasi CIPP, yaitu evaluasi konteks (tujuan, aksi kolektif, kesepakatan kolektif), evaluasi input (stakeholders dan tingkat partisipasi rumah tangga), evaluasi proses (tahapan program), dan evaluasi hasil (perubahan perilaku rumah tangga dalam mengelola sampah domestik). Tabel 33 menunjukkan model evaluasi program CIPP secara umum. Tabel 33. Model Evaluasi CIPP Program Komposting Rumah Tangga di RW 14, Kelurahan Rangkapanjaya Baru, Kota Depok Tahun 2009 No.
Fokus Evaluasi
1.
Konteks
2.
Input
3. 4.
Proses Hasil
Komponen Evaluasi - Tujuan program - Aksi kolektif - Kesepakatan kolektif - Stakeholders - Tingkat partisipasi rumah tangga Tahapan program Perubahan perilaku rumah tangga
Secara umum, tujuan program relevan dengan implemantasi di lapangan, artinya tujuan Program Kompsoting Rumah Tangga tercapai dengan baik. Namun, pada aksi dan kesepakatan kolektif terdapat hasil yang tidak dapat tercapai dengan baik. Hasil aksi kolektif yang ketiga mengenai pengelolaan sampah rumah tangga dengan Keranjang Takakura dan lubang resapan Biopori sebagai komposter tidak relevan dengan hasil yang dicapai. Sama halnya dengan kesepakatan kolektif yang kedua mengenai pemanfaatan kompos secara individu oleh rumah tangga. Artinya, ada aksi dan kesepakatan kolektif yang hasilnya tidak tercapai karena tidak relevan dengan kerangka acuan yangtelah ditetapkan. Stakeholders yang terlibat dalam Program Komposting Rumah Tangga belum melaksanakan fungsinya dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan pelaksanaan fungsi masingmasing stakeholders tidak relevan dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan. Tahapan Program Komposting Rumah Tangga pada dasarnya berjalan sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan, akan tetapi ada tahapan yang tidak tercapai, yakni monitoring dan evaluasi yang seharusnya dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan selaku penggagas program mengingat program pengelolaan sampah rumah tangga ini bersifat top down. Artinya hasil monitoring dan evaluasi program tidak relevan dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan, sehingga tahapan program tidak dilaksanakan secara utuh. Tingkat partisipasi peserta program pada setiap tahapan partisipasi cenderung tinggi, kecuali pada tahapan perencanaan. Output Program Komposting Rumah Tangga tercapai. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan perilaku peserta progam (aspek pengetahuan, sikap, dan tindakan) dalam mengelola sampah domestik.