POTENSI KOMPOSTING SAMPAH SKALA RUMAH TANGGA UNTUK MEREDUKSI TIMBULAN SAMPAH (Pilot Proyek di Perumahan Puspiptek Serpong) Potential Scale of Household Waste Composting to Reduce Waste Generation (Pilot Project in Puspiptek Serpong Residence) Firman L. Sahwan Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Gedung Geostech 820 Lt-2, Kawasan Pusiptek, Tangerang Selatan, Banten 15314 Email :
[email protected] Diterima: 17 September 2012; Dikoreksi: 25 September 2012; Disetujui: 29 September 2012 Abstract The position of composting household waste in terms of waste management at the macro level is very important, because household acts as a source of waste. When organic waste at household can be composted, then the waste transported to landfill will be reduced, so that the transportation costs of transporting waste involved is reduced, beside can extend the life of the landfill. To determine the effectiveness of household-scale composting process using aerobic composter, its potential in reducing household waste generation, as well as the quality of the resulting compost, we conducted this study. The results showed that: the composting process using "composter" aerobics can be run well and fairly effective, as well as describing the process of aerobic decomposition. It is heavily influenced by the composting process of assistance given to environment volunteers. Potential production of compost that can be generated by each family in one year as much as 43 kg, for families who have 1 (one) composter and 86 kg for a family that has 2 (two) composters. While the potential to reduce household waste generation by 21%, to which has 1 composter, and 42% to which has 2 composters. The compost production has good quality because it is free from microbial contaminants (pathogens), meet the requirements of mature compost and generally meet the parameters required by Permentan No 70 of 2011 or SNI compost of 2004. Keywords: composting, household waste, composter and reduction of waste generation Abstrak Posisi pengomposan sampah rumah tangga dalam kerangka pengelolaan sampah secara makro sangat penting, karena rumah tangga berperan sebagai sumber sampah. Apabila sampah organik di rumah tanggga dapat dikomposkan, maka sampah yang diangkut ke TPA menjadi berkurang, sehingga biaya transportasi pengangkutan sampah ikut berkurang, selain dapat memperpanjang umur TPA. Untuk mengetahui efektifitas proses komposting skala rumah tangga menggunakan komposter aerobik, potensinya dalam mereduksi timbulan sampah rumah tangga, serta kualitas kompos yang dihasilkan, maka dilakukanlah penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: proses pengomposan menggunakan ”komposter” aerobik dapat berjalan dengan baik dan cukup efektif, serta menggambarkan proses dekomposisi secara aerobik. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh proses pendampingan pembuatan kompos yang tetap diberikan kepada kader lingkungan. Potensi produksi kompos yang dapat dihasilkan oleh masing-masing keluarga dalam 1 tahun sebanyak 43 kg, untuk keluarga yang memiliki 1 buah komposter dan 86 kg untuk keluarga yang memiliki 2 buah komposter. Sedangkan potensinya untuk mereduksi timbulan sampah rumah tangga sebesar 21%, untuk yang memiliki 1 komposter, dan 42% untuk yang memiliki 2 komposter. Produk kompos yang dihasilkan berkualitas baik karena bebas dari mikroba kontaminan (patogen), memenuhi persyaratan kompos matang dan secara umum memenuhi parameter-parameter yang dipersyaratkan oleh Permentan No. 70 Tahun 2011 atau SNI kompos Tahun 2004. Kata kunci: Komposting, sampah rumah tangga, komposter dan reduksi timbulan sampah
Potensi Komposting (Firman L. Sahwan)
25
1. PENDAHULUAN Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (PSBM) sebagai pendekatan pengelolaan sampah yang didasarkan pada kebutuhan masyarakat, direncanakan, dilaksanakan, dikendalikan dan dievaluasi bersama masyarakat[1], saat ini begitu populer dan dianggap sangat mendukung upaya pengelolaan sampah. Secara sederhana, PSBM merupakan sistem penanganan sampah yang direncanakan, disusun, dioperasikan, dikelola dan dimiliki oleh masyarakat[2]. Dalam pengertian tersebut, pemeran utama dalam pengelolaan sampah adalah masyarakat. Pemerintah dan lembaga lainnya sebagai motivator dan fasilitator. Oleh karena itu, ada juga yang menyebutnya dengan sistem pengolahan sampah berbasis masyarakat[3]. Konsep tersebut penting untuk dilaksanakan dalam rangka membantu dan mendukung upaya pengelolaan sampah di Perumahan Puspiptek Serpong khususnya, dan Kota Tangerang Selatan umumnya. Kota Tangerang Selatan dengan luas wilayah 2 147,19 km , kepadatan penduduk 8.766 2 orang/km , memiliki jumlah penduduk 1.290.322 jiwa[4]. Kalau diasumsikan jumlah timbulan sampah sebesar 2,97 liter per orang per hari[5], maka timbulan sampah per hari di Kota 3 Tangerang Selatan sebesar 3.832 m . Saat ini, Kota Tangerang Selatan sebagai daerah pemekaran baru menghadapi permasalahan sampah yang cukup pelik antara lain: keberadaan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) sampah Cipeucang yang masih bermasalah, selain minimnya sarana pengangkutan sampah. Apabila hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, dapat menyebabkan menurunnya kualitas sanitasi kota, selain permasalahanpermasalahan yang lain. Untuk mengatasinya perlu keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, khususnya dukungan seluruh masyarakat yang menghuni wilayah Tangerang Selatan. Salah satu bentuk dukungan masyarakat yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan sampah rumah tangga menjadi kompos, dengan menggunakan komposter aerobik. Komposter arobik dinyatakan paling cocok sebagai alat pembuat kompos untuk kondisi Indonesia[6]. Dengan komposisi sampah di Indonesia yang 71% merupakan sampah yang dapat dijadikan kompos[7], dan timbulan sampah rumah tangga sebesar 1,36 liter per orang per hari[5], maka potensi sampah yang dapat dikurangi sebagai akibat pembuatan kompos skala rumah tangga cukup besar, yaitu 32,51 %, apabila semua sampah organik rumah tangga dapat dijadikan kompos. Posisi pengomposan sampah rumah
26
tangga dalam kerangka pengelolaan sampah secara makro sangat penting, karena rumah tangga berperan sebagai sumber sampah. Dengan proses dan pendekatan tersebut, potensi sampah yang diangkut ke TPA menjadi berkurang, sehingga biaya transportasi pengangkutan sampah berkurang, selain dapat memperpanjang umur TPA Kota Tangerang Selatan yang sudah ada. Perumahan Puspiptek Serpong, sebagai salah satu wilayah pemukiman di Tangerang Selatan, saat ini berusaha melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat secara mandiri. Perumahan tersebut luasnya sekitar 120 Ha dan dihuni oleh warga yang bekerja di lingkungan Pusat Pengetahuan, Ilmu, dan Teknologi (PUSPIPTEK). Dengan jumlah kepala keluarga sekitar 595, kompleks tersebut 3 memproduksi sampah sekitar 8 m /hari. Saat ini, di perumahan tersebut telah dilantik 100 kader lingkungan, yang kepadanya telah dibagikan komposter. Mereka berkewajiban untuk membuat kompos dari sampah rumah tangga di rumah masing-masing. Sesuai dengan namanya yaitu kader lingkungan, maka kepadanya juga diamanahkan untuk mengajak tetangganya yang lain, sehingga jumlah warga yang membuat kompos bertambah banyak. Agar para kader lingkungan dapat membuat kompos menggunakan komposter aerobik dengan baik, maka kepadanya diberikan pelatihan terlebih dahulu, yang dilanjutkan dengan pendampingan pada saat pembuatan kompos oleh tim dari Pusat Teknologi Lingkungan BPPT. Untuk mengetahui sejauh mana proses komposting telah dilakukan, perannya dalam mereduksi sampah, ataupun kendala yang dihadapi, maka dilakukanlah penelitian ini dalam rangka pengembangan kegiatan sejenis di tempat lain. 1.2. Proses Komposting, Karakteristik Sampah Kota dan Manfaat Kompos. Komposting merupakan proses dekomposisi bahan organik (sampah organik) secara biologis dalam kondisi aerobik dan termofilik terkendali menjadi produk stabil seperti humus, yaitu kompos[8,9,10,11]. Kompos merupakan salah satu jenis pupuk organik. Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran hewan dan/atau bagian hewan dan/atau limbah organik lainnya yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair, dapat diperkaya dengan bahan mineral dan/atau mikroba, yang bermanfaat untuk meningkatkan kandungan hara dan bahan organik tanah, serta memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah[12]. Dengan difinisi tersebut, pupuk kompos merupakan pupuk organik yang sengaja
J. Tek. Ling. Vol. 14. No. 1 Januari 2013 Hal 25-34
dibuat melalui suatu proses yang terkendali yang disebut pengomposan, untuk menghasilkan pupuk organik yang berkualitas. Proses pengomposan sampah rumah tangga biasanya dilakukan dengan menggunakan komposter atau composting bin. Dikenal berbagai macam jenis komposter. Berdasarkan hasil analisis multikriteria pengambilan keputusan dalam seleksi komposter, komposter arobik dinyatakan paling cocok untuk kondisi di Indonesia[6]. Dikenal beberapa parameter yang mempengaruhi proses komposting. Parameter yang utama adalah: rasio C/N, kadar air, konsentrasi oksigen, ukuran partikel, suhu, pH dan ketersediaan konsorsium mikroorganisme[8,9,10,11]. Perbandingan karbon dan nitrogen (rasio C/N) yang ideal untuk suatu proses komposting adalah antara 20 sampai 40 atau optimalnya 30 karbon berbanding dengan 1 (satu) nitrogen[8,9,10,11]. Sampah kota memiliki rasio C/N 30-40 berbanding 1(satu), sehingga cukup optimal untuk suatu proses komposting. Begitu pula kadar air sampah kota yang berkisar antara 44,81-56,58% untuk sampah pemukiman dan pasar di DKI Jakarta[5] akan mendukung kebutuhan kadar air optimal proses komposting yang 50-60%[8,9,10,11]. Untuk sampah organik rumah tangga yang didominasi oleh sampah dapur, biasanya memiliki kadar air yang tinggi. Apabila dalam proses komposting dirasakan kekurangan kadar air, maka dapat dilakukan penyiraman agar kondisi kadar air optimal selalu dapat dipertahankan. Proses pengomposan merupakan proses aerob. Paling sedikit 50% konsentrasi oksigen yang ada di udara dapat mencapai seluruh bagian materi yang dikomposkan[8,9,10,11]. Untuk itu aerasi dari materi yang dikomposkan harus baik, dan hal tersebut bisa dicapai apabila ukuran bahan baku berkisar antara 2,5-7,5 cm[8,9,10,11]. Secara umum, sampah kota sudah memenuhi kriteria tersebut. Dengan bahan baku yang baik dan ditunjang oleh proses yang benar, maka suhu dari materi sampah yang dikomposkan akan naik hingga 0 sekitar 70 C. Namun proses komposting dengan menggunakan komposter, biasanya sulit untuk mencapai suhu tinggi. Kalau proses komposting berjalan baik, biasanya pH akan berada pada rentang pH netral (7). Kalau itu yang terjadi, maka proses komposting dapat dikatakan berjalan baik Proses komposting merupakan proses dekomposisi secara biologis oleh konsorsium mikroorganisme. Oleh karena itu konsorsium mikroba merupakan mesin utama dalam proses dekomposisi, sehingga keberadaannya mutlak diperlukan. Keberadaan konsorsium mikroba
Potensi Komposting (Firman L. Sahwan)
dalam sampah kota sudah berlimpah[10,11], sehingga tidak perlu penambahan mikroba khusus dari luar. Berdasarkan hal tersebut di atas terlihat bahwa sifat dan karakter sampah kota cukup ideal untuk suatu proses pengomposan. Kompos yang dihasilkan selain untuk mengatasi permasalahan persampahan, bermanfaat pula untuk mengatasi permasalahan rendahnya kandungan bahan organik tanah. Tanah umumnya mengandung sedikit bahan organik (2-10%), namun peranannya sangat penting terhadap kesuburan tanah dan nutrisi tanaman[13], sehingga bahan organik disebut sebagai nyawanya tanah[14]. Kondisi kandungan C-organik tanah di Indonesia saat ini 73% tergolong rendah (<2%), 23% tergolong sedang (2-3%) dan hanya 4% yang tergolong tinggi (>3%)[15]. Secara lebih spesifik, dinyatakan bahwa 65% dari 7,9 juta hektar lahan sawah di Indonesia memiliki kandungan bahan organik rendah sampai sangat rendah (Corganik<2%)[16]. Penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk mengetahui potensi produksi kompos sampah rumah tangga yang dibuat dengan menggunakan komposter, potensi komposting sampah rumah tangga untuk mereduksi timbulan sampah, proses pengomposan dan kendala yang dihadapi komposting sampah rumah tangga dan mengetahui kualitas kompos yang dihasilkan. 2. BAHAN DAN METODE 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Perumahan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan. Rentang waktu penelitian dilakukan selama 2 (dua) tahun yaitu tahun 2010 dan tahun 2011. 2.2. Jenis Komposter dan Proses Pembuatan Kompos. ”Komposter” yang digunakan merupakan ”komposter” aerobik rancangan dari Pusat Teknologi Lingkungan, BPPT, yang dibuat dengan menggunakan bahan: tong plastik 60 liter, styrofoam bekas, net/jaring, karpet dan kompos. Sedangkan pembuatan komposnya dilakukan dengan sistem aerobik terkendali, dengan tahapan sebagai berikut: Tahap 1. Sampah organik yang baik untuk dikomposkan, setelah dipisahkan dari sampah yang lain, dipotong-potong kecil sehingga berukuran 0,5-1 Cm. Tahap 2. Memasukkan sampah ke dalam ”komposter” yang telah berisi 3 kg kompos yang berfungsi sebagai starter sekaligus conditioner.
27
Sampah diaduk merata dengan kompos, kemudian diselimuti dengan karpet dan ditutup. Tahap 3. Pada hari berikutnya dilakukan hal yang sama dengan tahap 1 dan tahap 2 sampai komposter penuh. Setelah penuh, proses pengadukan diusahakan tetap dilakukan setiap minggu sekali. 2.3. Cara Penelitian. Penelitian diawali dengan pembuatan komposter, pelatihan dan pembagian komposter yang dilakukan 2 (dua) kali, yaitu di awal tahun 2010 dan 2011. Kegiatan selanjutnya adalah proses pendampingan pembuatan kompos sebagai sarana pembinaan dan evaluasi proses komposting. Kegiatan tersebut dilakukan sepanjang kegiatan berjalan, yaitu selama 2 (dua) tahun. Kegiatan yang terakhir adalah pengambilan sampel kompos untuk dianalisis kualitasnya di Laboratorium Balai Penelitian Tanah Bogor. Potensi produksi kompos yang dihasilkan oleh 100 kader lingkungan, dihitung berdasarkan kapasitas komposter, lama proses pengomposan dan proses dekomposisi bahan organik. Sedangkan potensi reduksi timbulan sampah diketahui berdasarkan perhitungan: timbulan sampah per orang, timbulan sampah rumah tangga per orang dan produksi kompos yang dihasilkan Untuk mengetahui jalannya proses pengomposan serta kendala yang dihadapi komposting sampah rumah tangga, dilakukan pemantauan langsung di lapangan, bersamaan dengan kegiatan pendampingan. Sedangkan untuk mengetahui kualitas kompos yang dihasilkan, dilakukan analisa lapangan dan laboratorium. Analisa lapangan merupakan analisa kualitas produk kompos secara visual langsung di lapangan berdasarkan parameter fisik seperti kadar air (kebasahan), bau, warna, kehancuran (struktur) fisik, keberadaan belatung, komposisi campuran sampah dan kesempurnaan pengadukan. Sedangkan pengambilan sampel kompos dan analisa laboratorium dilakukan untuk mengetahui kualitas kompos secara laboratoris. Parameter analisis kualitas kompos yang digunakan adalah: keberadaan mikroba kontaminan (E. coli dan Salmonella sp[12,17]); tingkat kematangan berdasarkan rasio (C/N[12,17], N-NH4/N-total[18] dan N-NO3/NNH4[19]) serta kesesuaian dengan Permentan Pupuk Organik atau SNI Kompos 3. HASIL DAN PEMBAHASAN. 3.1. Proses Komposting dan Kendala yang Dihadapi. Secara umum proses komposting yang dilakukan oleh kader lingkungan dapat
28
dikatakan berjalan baik, sesuai dengan tata cara yang telah diajarkan saat pelatihan. Kompos yang dihasilkanpun secara visual memiliki kualitas yang baik. Namun demikian ada beberapa kader lingkungan yang menghadapi kendala dalam proses pembuatan komposnya. Hasil pengamatan terhadap proses komposting yang dilakukan oleh para kader lingkungan, secara lebih terinci disajikan pada Tabel 1. 3.2. Perhitungan Potensi Produksi Kompos. Untuk mengetahui potensi produksi kompos perlu dibuat asumsi atau penyamaan pengertian terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan potensi produksi kompos pada kajian ini adalah produksi kompos maksimal per tahun yang dapat dihasilkan oleh tiap-tiap keluarga (kader lingkungan). Komposter yang telah dibagikan sebanyak 150 buah, dengan sebaran 100 komposter untuk 50 kader lingkungan angkatan pertama (tahun pertama), dan 50 komposter untuk kader lingkungan angkatan ke dua (tahun ke dua). Untuk 1 buah komposter yang volumenya 60 liter, maka volume sampah rumah tangga (sampah dapur) yang dikomposkan akan sama dengan volume komposter, yaitu 60 liter. Dari jumlah tersebut, yang menjadi kompos untuk satu periode proses komposting sebanyak 25% nya[20,21,22,23], yaitu 15 liter, yang setara dengan 7,5 kg (BJ kompos 0,5[20,21,22,23]). Dengan menggunakan asusumsi tiap keluarga terdiri 5 jiwa, maka jumlah sampah rumah tangga per keluarga = 5 X 1,36 liter per orang[5] = 6,8 liter per hari. Jumlah tersebut ) terdiri dari sampah organik sebesar 71%[7] X 6,8 liter = 4,8 liter.per hari. Dengan demikian untuk memenuhi komposter dengan sampah organik, setiap keluarga membutuhkan waktu = 60 liter : 4,8 liter per hari = 13 hari (dua minggu). Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk 1 periode pembuatan kompos sampai diperoleh kompos matang adalah 6 minggu, hal ini sama dengan waktu proses pembuatan kompos secara umum[20,21,22,23]. Kemudian waktu untuk panen kompos dan persiapan pembuatan kompos baru diasumsikan 1 minggu. Dengan demikian untuk satu periode proses komposting dibutuhkan waktu selama 9 minggu. Dengan menggunakan asumsi waktu tersebut, maka potensi produksi kompos untuk masing-masing keluarga dalam periode 1 tahun sebanyak: (52:9) X 7,5 kg = 43 kg, untuk keluarga yang memiliki 1 buah komposter dan 86 kg untuk keluarga yang memiliki 2 buah komposter. Kompos yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pupuk di rumah
J. Tek. Ling. Vol. 14. No. 1 Januari 2013 Hal 25-34
masing-masing, atau apabila dikelola dengan baik dapat juga dijual secara bersama-sama.
•
1 Periode komposting butuh waktu: 9 minggu.
3.3. Perhitungan Potensi Reduksi Timbulan Sampah. Dengan menggunakan hasil perhitungan sebelumnya, diketahui: Tabel 1. Hasil Pengamatan Proses Komposting, Kendala dan Saran Pemecahan. Parameter Sampah organik digunakan.
Hasil Pengamatan yang
Pencacahan atau pemotongan bahan baku. Pengadukan.
Cenderung basah. Sebagian besar sesuai SOP. Ada yang belum sesuai. Sebagian besar sudah dicacah. Ada yang belum dicacah. Sudah diaduk merata sampai bagian dasar. Sebagian besar sudah diaduk, tapi tidak merata sampai bagian dasar. Ada yang belum diaduk.
Kendala
Saran Pemecahan
Banyak sampah dapur. Belum paham SOP.
Diaduk dan dicampur dengan sampah yang kering. Pendampingan.
Belum paham SOP.
Pendampingan.
Pengadukan tidak merata.
Diaduk merata.
Belum paham SOP. Pendampingan.
Bau menyengat keberadaan larva (belatung).
Keberadaan semut
Hasil kompos.
dan lalat
Sebagian besar tidak berbau menyengat dan tidak ada larva lalat. Sebagian ada bau dan larva lalat (belatung). Sebagian besar tidak ada semut. Ada yang menjadi sarang semut. Gembur, berwarna coklat kehitaman, dan berbau seperti tanah. Ada yang menggumpal pada bagian bawah.
Dalam 1 tahun setiap keluarga dapat membuat kompos : 52 minggu : 9 minggu = 6 kali. • Dalam 1 periode komposting, dibutuhkan 13 hari untuk mengisi dan memenuhi komposter dengan sampah organik dari satu keluarga. Dari data tersebut dapat dihitung potensi jumlah sampah organik dari masing-masing keluarga yang dapat dimanfaatkan menjadi kompos yaitu: 6 kali X 13 hari X 6,8 liter = 530 liter, untuk yang memiliki 1 komposter, dan 1.060 liter untuk yang memiliki 2 komposter. Diketahui pula: • Jumlah sampah rumah tangga per keluarga: 6,8 liter per hari. • Jumlah sampah organik rumah tangga per keluarga: 4,8 liter.per hari. Atau: •
Potensi Komposting (Firman L. Sahwan)
Terlalu basah
Diaduk dengan kering.
Pengadukan tidak sempurna dan tempatnya berdekatan dengan lokasi semut.
Diaduk merata dan dipindahkan tempat komposternya
Pengadukan merata sampai dasar komposter
Diaduk merata
•
•
kurang bagian
dan dicampur sampah yang
Jumlah sampah rumah tangga per keluarga per tahun: 6,8 liter X 365 = 2.482 liter. Jumlah sampah organik rumah tangga per keluarga per tahun: 4,8 liter.X 365 = 1.752 liter.
Dengan perhitungan dan asumsi tersebut, maka potensi reduksi timbulan sampah rumah tangga sebagai dampak dari upaya pembuatan kompos menggunakan komposter sebesar: • Untuk sampah rumah tangga: 530 : 2.482 X 100% = 21%, untuk yang memiliki 1 komposter, dan 42% untuk yang memiliki 2 komposter. • Untuk sampah organik rumah tangga: 530 : 1.752 X 100% = 30%, untuk yang memiliki 1 komposter, dan 60% untuk yang memiliki 2 komposter.
29
3.4. Kualitas Produksi Kompos Berdasarkan hasil analisa laboratorium, secara umum dapat dikatakan bahwa kompos yang dihasilkan berkualitas baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan keberadaan mikroba kontaminan, tingkat kematangan dan kesesuaiannya dengan Permentan 70 maupun dengan SNI Kompos, seperti terlihat pada Tabel 1. 3.4.1. Keberadaan Mikroba Kontaminan Yang dimaksud dengan mikroba kontaminan menurut SNI Kompos dan Permentan No. 28 Tahun 2009 adalah E. coli dan Salmonella sp.[14,15]. Kedua jenis mikroba tersebut termasuk jenis mikroba yang patogen, dan keberadaannya dijadikan sebagai parameter adanya bakteri patogen yang lain di dalam kompos yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk kompos tidak mengandung bakteri E. coli dan Salmonella sp. Hasil ini sangat positif, karena komposter kapasitas 60 liter yang digunakan, sangat kecil kemungkinannya untuk mampu membunuh bakteri patogen, kalau bahan bakunya sudah tercemar bakteri patogen. Efek pembentukan panas dari proses pengomposan menggunakan komposter kecil tidak tinggi, yang merupakan salah satu kelemahan komposting dengan komposter. Dengan menggunakan komposter sejenis yang volumenya lebih besar (160 liter), suhu tertinggi yang pernah dilaporkan hanya 500 55 C dan berlangsung selama 10 hari[20]. Suhu yang dibutuhkan untuk mematikan bakteri 0 0 patogen, lebih tinggi dari 55 C atau 65 C[10]. Sebagai perbandingan, suhu yang ditimbulkan oleh proses pengomposan sampah kota sistem open windrow dengan volume bahan baku yang 3 besar (lebih besar dari 6 m ), dan dianggap dapat mematikan bakteri patogen adalah 60-75 0 C, dan terjadi untuk rentang waktu minimal 5 (lima) minggu[21,22,23]. Bebasnya bakteri patogen dari produk komposnya, tidak terlepas dari tatacara proses pembuatan kompos yang baik, yang dimulai dari seleksi yang ketat terhadap bahan baku yang digunakan. Bahan baku yang digunakan merupakan sampah dapur yang masih segar (belum mengalami proses pembusukan), yang kadang-kadang dicampur dengan sampah halaman berupa daun-daunan. Proses pemilihan bahan baku yang ketat memang harus dilakukan, untuk menghindarkan dari kontaminasi bakteri patogen. Sekali bahan bakunya tercemar bakteri patogen, maka bakteri tersebut kemungkinan besar akan tetap berada di produk komposnya, karena proses pengomposan dengan komposter bervolume kecil, tidak memiliki kemampuan untuk mematikan bakteri patogen yang sudah terlanjur ada.
30
3.4.2. Analisa Tingkat Kematangan Kompos Ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kematangan kompos. Masing-masing parameter sebaiknya tidak digunakan secara mutlak (sendiri)[11], melainkan dikombinasikan dengan parameter yang lain. Salah satu parameter untuk menilai tingkat kematangan kompos adalah rasio C/N[8,9,10,11]. Kompos dikatakan matang apabila rasio C/N nya turun menjadi lebih kecil dari 20[8,9,10,11]. Penggunaan rasio C/N untuk mengukur tingkat kematangan kompos menjadi valid apabila rasio awal dari bahan baku yang digunakan adalah 20-40[4]. Syarat tersebut dipenuhi oleh sampah organik yang memiliki rasio C/N sebesar 37,1[20]. Hasil analisa rasio C/N kompos yang dihasilkan, sudah lebih kecil dari 20 yaitu 11. Hasil tersebut menunjukkan tingkat kematangan yang sangat optimal, karena sudah mendekati rasio C/N tanah yaitu 12[13]. Walaupun nilai tersebut tidak memenuhi Permentan 70, namun tetap memenuhi persyaratan SNI kompos. Perbandingan nilai antara N-NH4 dan N-total, dapat juga dijadikan untuk mengevaluasi nilai kematangan[18]. Kompos dikatakan matang apabila nilai N-NH4 lebih kecil dari 10% N-total. Hasil penelitian pada Tabel 1, sudah menunjukkan nilai yang memenuhi kriteria kematangan kompos. Begitu juga dengan perbandingan nilai NNO3 dan N-NH4 dapat digunakan untuk menilai tingkat kematangan kompos[19]. Kompos dikatakan matang apabila rasio N-NO3/NNH4>1[19]. Hasil penelitian rasio N-NO3/N-NH4 menunjukkan nilai yang sudah >1. Berdasarkan pembahasan semua parameter tesebut di atas, dapat disimpulkan bahwa produk kompos yang dihasilkan sudah memenuhi kriteria kompos matang.Kondisi tersebut juga diperkuat oleh hasil pengamatan visual di lapangan. 3.4.3. Kesesuaian Dengan Permentan Pupuk Organik dan SNI Kompos Secara umum dapat dikatakan bahwa kompos yang dihasilkan oleh kader lingkungan sudah memenuhi persyaratan Permentan Pupuk Organik atau SNI Kompos, walaupun ada beberapa parameter yang tidak memenuhi, sehingga perlu dibahas lebih mendalam. Nilai kandungan C-organik kompos sebesar 11,62%, memperlihatkan bahwa nilai tersebut tidak memenuhi Permentan 70 yang membatasi > 15 %, namun tetap memenuhi SNI kompos yang membatasi nilainya antara 9,8% - 32%. Kalau mengacu pada Permentan 70, nilai kandungan C-organiknya memberikan J. Tek. Ling. Vol. 14. No. 1 Januari 2013 Hal 25-34
gambaran bahwa produk komposnya memiliki kandungan C-organik yang kurang. Namun tidak berarti bahwa kualitas komposnya rendah. Proses pengomposan merupakan proses penguraian C-organik yang terus berlangsung sampai terbentuk kestabilan Karbon. Besarnya persentase nilai kestabilan Corganik sangat ditentukan oleh nilai persentase besaran C-organik pada bahan baku awal, serta
rasio C/N kompos yang dihasilkan. Adanya batas bawah kandungan C-organik, karena C organik merupakan unsur penting bagi pupuk organik dalam rangka untuk meningkatkan kandungan C-organik tanah yang pada umumnya sudah rendah sampai sangat rendah yaitu di bawah 2 %[15].
Tabel 1. Kualitas Produk Kompos Berdasarkan Hasil Analisa Laboratorium. NO
1 2 3
4
5
6
7
8
9
Parameter
C-Organik C/N rasio Kadar air
Satuan
% % % % % % %
11,62 11 63,1 Logam berat td td 11 td 5,8 Kadar total 0,78 0,09 0,2 1,08 0,12 0,65 1,45
E. coli
cfu/g;cfu/ml
Mikroba kontaminan negatif
Salmonella sp
cfu/g;cfu/ml
AS Hg Pb Cd pH N Organik N-NH4 N-NO3 N-total P 20 5 K 20 N+P205+K20
%
Kualitas Produk Kompos
% ppm ppm ppm ppm
Fe Mn Cu Zn
ppm ppm ppm ppm
La Ce
ppm ppm
negatif Kadar unsur mikro 8000 1290 9 42 Unsur lain 0,0 0,0
Kadar air yang dipersyaratkan oleh Permentan 70 sebesar 15-25%, sedangkan yang dipersyaratkan SNI sebesar 50% (maksimum) atau yang umumnya disarankan oleh para ahli sebesar 35-45%[8,9,10,11]. Kalau dianalisis, maka angka kadar air yang ditentukan oleh Permentan 70, merupakan angka yang terlalu rendah untuk kadar air kompos. Angka yang ideal adalah angka yang banyak dikemukakan para ahli, yaitu 35-45%. Kadar air kompos penelitian sebesar 63,1% memberikan gambaran kadar air yang masih terlalu tinggi, terutama apabila kompos tersebut Potensi Komposting (Firman L. Sahwan)
Permentan 70 Th 2011
SNI Kompos
min 15 15-25 15-25
9,8-32 10-20 <50
maks 10 maks 1 maks 50 maks 10 4-9
<13 <0,8 <150 <3 6,8-7,49
>0,4 >0,1 >0,2 Min 4 <10
2
<10
<10
2
<12
0-8000 0-5000 0-5000 0-5000
3
<20.000 <1.000 <100 <500
0 0
akan dikemas. Tingginya kadar air tersebut disebabkan oleh penggunaan sampah dapur yang memang berkarakter basah. Kondisi demikian harus mendapatkan perhatian, karena akan menghambat proses pengomposan. Cara mengatasinya adalah dengan menambahkan bahan organik berkarakter kering (daun kering atau kompos) pada saat proses pengomposan berlangsung, atau mengangin-anginkan terlebih dahulu kompos yang telah matang sebelum dilakukan pengemasan. Kandungan logam berat dari kompos yang diteliti memenuhi persyaratan Permentan 70 31
ataupun SNI kompos. Dengan demikian tidak perlu ada keraguan untuk menggunakan produk komposnya karena khawatir terkontaminasi logam berat. Tingkat keasaman (pH) merupakan parameter yang perlu pula untuk diperhatikan, karena pada awal proses pengomposan akan terjadi penurunan pH sebagai akibat penguraian bahan organik menjadi asam-asam organik[8,9,10,11]. Setelah itu pH terus naik menjadi netral sampai cenderung basa. Kalau pH suatu produk pupuk kompos asam, berarti kompos tersebut ada kecenderungan belum matang dan berbahaya bagi tanaman, terutama untuk pembibitan tanaman. Standar pH menurut Permentan 70 sebesar 4-9, sebenarnya kalau dicermati, nilai batas bawahnya terlalu rendah. Sebagai perbandingan nilai pH menurut SNI adalah 6,8-7,49. Kompos hasil penelitian yang memiliki nilai pH 5,8, memberikan nilai pH yang cukup baik. Standar Permentan 70, membatasi total kandungan unsur pupuk (N+P2O5+K2O) pada batas minimal 4%, sedangkan SNI membatasi pada batas bawah untuk masing-masing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai masingmasing unsur yaitu N total, P2O5 dan K2O dari kompos yang diteliti lebih besar dari batas minimal masing-masing unsur menurut SNI kompos, sehingga dapat dikatakan berkualitas baik. Namun kalau mengikuti standar Permentan 70, maka nilai total (N+P2O5+K2O) hasil penelitian tidak memenuhi, karena standar Permentan 70 memang terlalu tinggi untuk pupuk organik murni. Unsur mikro merupakan zat yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit dan tidak boleh berlebihan. Kandungan unsur mikro dari kompos yang diteliti secara keseluruhan memenuhi standar Permentan atau SNI Kompos. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat ditarik beberapa kesimpulan di antarnya posisi pengomposan sampah rumah tangga dalam kerangka pengelolaan sampah secara makro sangat penting, karena rumah tangga berperan sebagai sumber sampah. Apabila sampah organik di rumah tanggga dapat dikomposkan, maka sampah yang diangkut ke TPA menjadi berkurang, sehingga biaya transportasi pengangkutan sampah ikut berkurang, selain dapat memperpanjang umur TPA Kota Tangerang Selatan yang sudah ada, proses pengomposan menggunakan ”komposter” aerobik dapat berjalan dengan baik dan cukup efektif, serta menggambarkan proses dekomposisi secara aerobik. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh proses pendampingan pembuatan kompos yang tetap diberikan 32
kepada kader lingkungan, potensi produksi kompos yang dapat dihasilkan oleh masingmasing keluarga dalam 1 tahun sebanyak 43 kg, untuk keluarga yang memiliki 1 buah komposter dan 86 kg untuk keluarga yang memiliki 2 buah komposter, potensi reduksi timbulan sampah rumah tangga yang dapat dikurangi sebagai akibat dari upaya pembuatan kompos menggunakan komposter sebesar 21%, untuk yang memiliki 1 komposter, dan 42% untuk yang memiliki 2 komposter, produk kompos yang dihasilkan berkualitas baik karena: bebas dari mikroba kontaminan (patogen), memenuhi persyaratan kompos matang dan secara umum memenuhi parameter-parameter yang dipersyaratkan oleh Permentan No. 70 Tahun 2011 atau SNI kompos Tahun 2004. DAFTAR PUSTAKA 1.
Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan, 2009. Keterlibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah: Suatu Keniscayaan. Laporan Utama Majalah Percik Bulan Mei, Edisi Khusus Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat. 2. Sidik, U.S. 2009. Implementasi Peran Masyarakat Sesuai UU NO. 18 Tahun 2008. Majalah Percik Bulan Mei, Edisi Khusus Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat, Pokja AMPL, Jakarta. 3. Yuwono, R, L. Wardhani, U. Ninghadiyati, dan E. Adinugroho, 2008. Pengembangan Sistem Persampahan Berbasis Masyarakat. Pokja AMPL, Jakarta. 4. Pemerintah Kota Tangerang Selatan, 2013. Gambaran Umum Kota Tangerang Selatan. 5. Dinas Kebersihan DKI Jakarta, 2005. Solid Waste Management for DKI Jakarta, Master Plan Review and Program Development. 6. Wahyono, S., 2012. Metabolisme Pengelolaan Sampah Organik Melalui Teknologi Komposting di Wilayah Internal Perkotaan (Kajian Pengelolaan Sampah Organik pada Tipologi Kota Sedang, Studi Kasus di Kota Probolinggo, Jawa Timur). Ringkasan Disertasi Jenjang Doktor, Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. 7. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2008. Statistik Persampahan Indonesia Tahun 2008. 8. Haug, R.T., 1980. Compost Engineering, Principles and Practice, An Arbor Science Publisher Inc., Michigan. 9. Tchobanouglous, G., H. Theisen and S. Vigil, 1993. Integrated Solid Waste Management, Engineering Principles and Management Issues. Mc Graw-Hill Inc., USA. 10. Epstein, E., 1997. The Science of Composting, Technomic Publishing Company Inc., USA. 11. Wahyono, S., F.L. Sahwan dan F. Suryanto, 2003. Menyulap Sampah Menjadi Kompos, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan, BPPT, Jakarta. 12. Menteri Pertanian Republik Indonesia, 2011. Peraturan Menteri Pertanian No 70/Permentan/SR.140/10/2011, Tentang Pupuk
J. Tek. Ling. Vol. 14. No. 1 Januari 2013 Hal 25-34
13. 14.
15.
16.
17.
Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 137. Munawar, A., 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman, IPB Press, Bogor. Iswandi, A., 2010. Peranan Pupuk Organik dan Pupuk Hayati dalam Peningkatan Produktivitas Beras Berkelanjutan. Makalah pada Seminar Nasional Peranan Pupuk NPK dan Organik dalam Meningkatkan Produksi dan Swasembada Beras Berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta. Las, I., 2010. Arah dan Strategi Pengembangan Pupuk Majemuk NPK dan Pupuk Organik, Seminar Nasional Peranan Pupuk NPK dan Organik dalam Meningkatkan Produksi dan Swasembada Beras Berkelanjutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2010. Pemulihan Kesuburan Tanah pada Lahan Sawah Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian dan Ditjen Tanaman Pangan, Jakarta. Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2010. Pemulihan Kesuburan Tanah pada Lahan Sawah Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian dan Ditjen Tanaman Pangan, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional, 2004. Standar Nasional Indonesia, SNI 19-7030-2004 Tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik.
Potensi Komposting (Firman L. Sahwan)
18. Schuchardt, F, 1995.Parameter Analysis for Mature Compost. FAL Braunsweigh, Germany, (komunikasi pribadi). 19. Hogg, D., J. Bart, E. Favoino, M. Centemero, V. Caimi, F. Amlinger, W. Devliegher, W. Brinton and S. Antler, 2002. Review of Compost Standards in Belgium (Flanders). Nation Specific Supplement 2, The Waste and Resources Action Programme (WRAP). 20. Sahwan, F.L., R. Irawati dan F. Suryanto, 2004. Efektivitas Pengkomposan Sampah Kota dengan Menggunakan “Komposter” Skala Rumah Tangga. Jurnal Teknologi Lingkungan, Pusat Teknologi Lingkungan-BPPT, 5(2): 134-139. 21. Sahwan, F.L., 2010. Kualitas Produk Kompos dan Karakteristik Proses Pengomposan Sampah Kota Tanpa Pemilahan Awal. Jurnal Teknologi Lingkungan Pusat Teknologi Lingkungan-BPPT, 11(1):79-85. 22. Pusat Teknologi Lingkungan, 2008. Laporan Kegiatan Pemanfaatan Sampah Kota Menjadi Pupuk Organik dengan Teknologi Accelerated Revolver Windrow Composting untuk Ketahanan Pertanian Padi di Probolinggo, BPPT, Jakarta. 23. Sahwan, F.L., S. Wahyono dan F. Suryanto, 2010. Kualitas dan Produksi Pupuk Organik Granul (POG) Sampah Kota Serta Manfaatnya Untuk Mengurangi Pengaruh Emisi Gas Rumah Kaca. Jurnal Teknologi Lingkungan, Pusat Teknologi Lingkungan-BPPT, Edisi Khusus Global Warming: 51-59.
33