BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah : 1.
Metode atau cara masyakarat untuk mendapatkan obat yang mengandung hormon prostagladin yang disalahgunakan sebagai media aborsi ilegal bermacam-macam. Antara lain adalah dengan cara pembelian langsung kepada oknum Dokter maupun Apoteker yang memang tidak mengindahkan etika profesi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh Bunga dan Budi yang mendapatkan obat yang mengandung hormon prostagladin melalui pembelian langsung dengan perantara seorang teman Budi yang mengenal oknum Apoteker yang memperjualbelikan obat tersebut. Metode lain yang populer di kalangan masyarakat Indonesia adalah melalui melalui Online Pharmacies. Metode tersebut memanfaatkan internet sebagai media jual beli.
2.
Dengan adanya kemajuan teknologi, metode penjualan langsung untuk mendapatkan obat aborsi menjadi kurang dinimati karena resiko yang dihadapi begitu besar. Oknum pelaku penjual obat aborsi dewasa ini banyak yang beralih menggunakan adalah metode Online pharmacies. Namun hingga saat ini, Pemerintah belum menemukan metode yang efektif untuk mengawasi online pharmacies karena setiap dilakukan pemblokiran situs-
102
situs liar, maka dalam hitungan menit situs-situs liar tersebut sudah bermunculan kembali. 3.
Terdapat gap atau celah dalam kebijakan Pemerintah tentang obat yang memungkinkan masyarakat untuk dapat mengakses dan menyalahgunakan obat keras yang mengandung hormon prostagladin sebagai media aborsi ilegal dimana seharusnya obat keras hanya hanya dapat diperoleh berdasarkan resep dokter, namun pada kenyataan di lapangan fakta menunjukkan
bahwa
terdapat
sebagian
oknum
apoteker
yang
memperjualbelikan obat keras, terutama yang mengandung hormon prostagladin tanpa disertai dengan resep dokter dikarenakan adanya perbedaan penafsiran terhadap undang-undang, yaitu pada Undang-undang No 419 tahun 1949 tentang Ordonasi Obat Keras pada pasal 3 ayat 1 dan Undang-Undang No 1 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Dalam menyikapi dua peraturan perundang-undangan tersebut terdapat perbedaan penafsiran dikalangan Apoteker, BPOM dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dimana sebagian pihak menafsirkan pasal tersebut sebagai pembenaran ketika Apotek atau Apoteker memperjualbelikan obat keras tanpa resep dokter asalkan yang menyerahkan obat tersebut adalah Apoteker. 4.
Pengawasan terhadap Apotek dan Apoteker di Kota Yogyakarta yang dilakukan oleh BPOM Yogyakarta dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta belum efektif. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya tindakan tegas oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta ketika terdapat temuan penjualan obat 103
keras tanpa resep dokter. Seringkali Apotek hanya diberikan sanksi berupa teguran lisan tanpa ada tindak lanjut dari penemuan pelanggaran tersebut. 6.2 Saran Dengan melihat permasalahan yang ada mengenai pengawasan peredaran dan penyalahgunaan obat keras yang mengandung hormon prostagladin sebagai media aborsi ilegal di Yogyakarta, maka peneliti memberikan saran agar dapat meningkat pengawasan dengan lebih baik lagi. Adapun saran dari peneliti adalah : 1.
Pemerintah hendaknya melakukan revisi terhadap Peraturan Perundangundangan yang sudah lebih dari 50 tahun tidak direvisi. Seperti pada Undang-undang No 419 tahun 1949 tentang Ordonasi Obat Keras yang terakhir kali direvisi pada tahun 1949. Hal tersebut dikarenakan peraturan yang sudah lama dibuat dan direvisi dirasa sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat ini sehingga membutuhkan banyak penyesuaian dan menimbulkan penafsiran beragam.
2.
Hendaknya diadakan koordinasi antar instansi seperti BPOM, IAI dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta untuk menyamakan pandangan dan sikap tentang penyerahan obat keras tanpa resep. Dengan demikian, ketika terjadi temuan pelanggaran maka pihak terkait seperti Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tidak akan merasa berada di posisi yang serba salah dan dapat menindak dengan tegas sesuai dengan peraturan Perudang-undangan yang berlaku.
104
3.
BPOM dan Dinas Kesehatan perlu menjalin kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika atau membentuk sub unit baru di instansi masing-masing tentang teknologi informasi untuk memantau dan melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang menjual obat aborsi karena oknum pelaku penjual obat aborsi dewasa ini telah banyak yang beralih dari metode penjualan langsung menjadi metode online pharmacies.
4.
Pemerintah perlu menunjuk suatu instansi untuk mengawasi tindakan aborsi akibat pemerkosaan ataupun karena darurat medis. Karena apabila tidak diawasi
secara
detail,
aturan
pemerintah
yang
memperbolehkan
dilakukannya aborsi karena pemerkosaan maupun karena darurat medis rawan untuk diselewengkan. 5.
Apoteker dan Dokter sebagai garda terdepan dalam dalam akses masyarakat terhadap obat seharusnya lebih mementingkan keselamatan pasien dan mematuhi etika profesi dibandingkan dengan mengejar keuntungan penjualan semata. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) kepada masyarakat tentang khasiat, penggunaan, efek samping yang mungkin timbul serta bahaya penyalahgunaan obat kepada masyarakat sehingga hal-hal yang tidak diinginkan dapat diminimalisir presentasenya.
6.
Ketika ingin melakukan swamedikasi atau pengobatan sendiri, masyarakat hendaknya melakukan konseling terlebih dahulu kepada pihak-pihak yang dirasa lebih mengerti tentang hal-hal tersebut, seperti kepada Dokter, Apoteker dan tenaga kesehatan lainnya sehingga kesalahan pengobatan 105
(medication error) dapat diminimalisir seminimal mungkin. Selain itu, masyarakat juga dituntut untuk berlaku cerdas dalam mengkonsumsi dan menggunakan obat agar sesuai dengan dosis yang telah dianjurkan oleh dokter serta tidak membeli obat di tempat sembarangan.
106